manajemen nyeri rezsfsfa.doc
DESCRIPTION
safsfTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan.1 Pasien dapat menderita nyeri disebabkan dengan adanya kerusakan
jaringan atau suatu keadaan yang menunjukan kerusakan jaringan dalam tubuh.
Pasien dapat menyebabkan perihal nyeri berdasarkan batasan tersebut di atas, pertama
nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman
emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata dan keadaan tersebut
disebut dengan nyeri akut. Kedua, perasaan yang sama disertai dengan kerusakan
jaringan yang nyata dan keadaan tersebut disebut dengan nyeri kronis.1
Nyeri, selain menimbulkan penderita, juga berfungsi sebagai mekanisme
proteksi, defensif dan penunjang diagnositk. Sebagai mekanisme proteksi sensible
nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab
nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai
mekanisme defensif, untuk immobilisasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau
patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat
penyembuhan. Nyeri dapat jadi penuntun diagnostik karena pada daerah tertentu,
proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui.
Derajat terhadap nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara misalnya
tingkah laku pasien, skala verbal dasar ( VRS, verbal rating scales), Skala analog
visual ( VAS, visual analogue scales). Secara sederhana nyeri pasca bedah pada
1
pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya
dikategorikan sebagai tidak nyeri (none), nyeri ringan ( mild, slight), nyeri sedang
(moderat), nyeri berat (severe), sangat nyeri (very severe, intolerable).1
Penatalaksanaan nyeri biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk
golongan nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid untuk nyeri sedang atau
ringan.1Referat ini juga membahas mengenai metode-metode yang dapat dipakai
untuk manajemen nyeri. Akan didiskusikan bagaimana caranya menggunakan obat-
obat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi Non Steroid), obat-obat
yang bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat anestesi lokal untuk mencapai
tujuan ini.
2
BAB II
NYERI
2.1. Definisi Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International
Association for Study of Pain (IASP), nyeri merupakan pengalaman sensoris subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.1,2
2.2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara :
1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat
2.3. Menurut Timbulnya Nyeri
3
Nyeri dibagi 2 nyeri akut dan kronik.
2.3.1. Nyeri Akut
Nyeri akut dibagi menjadi 3:
1. Struktur reseptor nyeri somatik luar terdapat pada nyeri tajam meliputi
reseptor nyeri yang terdapat pada kulit, subkutis, mukosa. 1
2. Struktur reseptor nyeri somatik dalam terdapat pada nyeri tumpul di otot
rangka, tulang, sendi dan jaringan ikat. Karena struktur reseptornya komplek,
nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.1
3. Reseptor nyeri viseral reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti
jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.1
2.3.2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitasnya bervariasi dan biasanya
berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik ini bisa berlangsung terus sampai
kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut.
Pasien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala
hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat).
2.4. Perbedaan Karakteristik Nyeri
4
Tabel 1. Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik
Nyeri Akut Nyeri Kronik
- Lama dalam hitungan menit - Lamanya sampai hitungan bulan
- Sensasi tajam menusuk - Sensasi terbakar, tumpul dan
pegal
- Dibawa oleh serat A-delta - Dibawa oleh serat C
- Ditandai oleh peningkatan BP,
nadi dan respirasi
- Fungsi fisiologi bersifat normal
- Kausanya spesifik, dapat
diidentifikasi secara biologis
- Kausanya mungkin jelas mungkin
tidak
- Respon pasien : focus pada nyeri,
menangis dan mengerang, cemas
- Tidak ada keluhan nyeri, depresi
dan kelelahan
- Tingkah laku menggosok bagian
yang nyeri
- Tidak ada aktivitas fisik sebagai
respon terhadap nyeri
- Respon terhadap analgesik :
meredakan nyeri secara efektif
- Respon terhadap analgesik :
sering kurang meredakan nyeri
2.5. Menurut Derajat Nyerinya
Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan
aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
5
2. Nyeri sedang adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu yang hanya
hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu
tidur.
2.6. Anatomi dan Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielin (A-delta) dan ada juga yang tidak bermielin
(serabut C) dari syaraf perifer. Berdasarkan pembagian nyeri, nyeri dibagi menjadi 2
nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut dibagi menjadi nyeri somatic luar, nyeri
somatic dalam dan nyeri visceral karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.1,2,3
Berdasarkan kualitasnya nyeri dapat di bagi menjadi 2:
a. Nyeri cepat (fast pain)
Nyeri ini singkat dan tempatnya jelas sesuai rangsangan yang diberikan
misalnya nyeri tusuk, nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf
kecil bermielin jenis reseptornya A-delta dengan kecepatan konduksi 12-30
meter/detik.1
6
b. Nyeri lambat (slow pain)
Nyeri ini sulit dilokalisir dan tak ada hubungan dengan rangsangan misalnya
rasa terbakar, rasa berdenyut atau rasa ngilu, linu. Nyeri ini dihantar oleh
serabut saraf primitif tak bermielin jenis serabut C dengan kecepatan
konduksi 0,5-2 meter/detik.1
Reseptor Nyeri ialah ujung-ujung saraf bebas. Nyeri dapat memicu mual
muntah yang melalui peningkatan sirkulasi katekolamin akibat stress.1 Reseptor untuk
stimulus nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung saraf tidak bermielin (delta
A) dan bermielin (saraf C). Nosiseptor terangsang oleh stimulus dengan intensitas
yang potensial dan menimbulkan kerusakan jaringan, stimulus ini disebut sebagai
stimulus noksius. Selanjutnya stimulus ini ditransmisikan ke SSP, menimbulkan
emosi dan perasaan yang tidak menyenangkan, sehingga timbul nyeri dan reaksi
menghindar.
2.7. Mekanisme terjadinya nyeri
Bila stimulus timbul akibat adanya kerusakan jaringan, mekanisme dibawah ini akan
terjadi melewati 4 tahapan, yaitu:
7
Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Nyeri
1. Transduksi
Kerusakan jaringan karena trauma atau pembedahan menyebabkan
dikeluarkannya berbagai senyawa biokimiawi antara lain ion H, K, Prostaglandin dari
sel yang rusak, bradikinin dari plasma, histamine dari sel mast, serotonin dari
trombosit dan susbstansi P dari ujung saraf. Senyawa biokimiawi ini berfungsi
sebagai mediator yang menyebabkan perubahan potensial nosiseptor sehingga terjadi
arus elektrobiokimiawi sepanjang akson. Perubahan menjadi arus elektrobiokimia
atau impuls merupakan proses transduksi.
Kemudian terjadi perubahan patofisiologi karena mediator – mediator ini
mempengaruhi juga nosiseptor di luar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri
meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya nilai ambang
rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator – mediator tersebut diatas dan
8
penurunan pH jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsangan yang
sebelumnya tidak menimbulkan nyeri, misalnya rabaan.
Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu
hipereksitabilitas neuron pada korda spinalis, terpengaruhnya neuron simpatis dan
perubahan intraseluler yang menyebabkan nyeri dirasakan lebih lama.1,2
2. Transmisi
Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal di medulla spinalis
disebut sebagai neuron aferen primer. Jaringan saraf yang naik dari medulla spinalis
ke batang otak dan thalamus disebut neuron kedua. Neuron yang menghubungkan
dari thalamus ke korteks serebri disebut neuron penerima ketiga.1
3. Modulasi
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh system saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Modulasi nyeri dapat timbul
di nosiseptor perifer, medulla spinalis atau supraspinal. Modulasi ini dapat
menghambat atau memberi fasilitasi. Hambatan terjadi melalui system analgesia
endogen yang melibatkan bermacam neurotransmitter antara lain golongan
endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di korda spinalis.1,2
4. Persepsi
Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang
diterima. Nyeri sangat dipengaruhi oleh factor subyektif , walaupun mekanismenya
9
belum jelas.1 Rekonstruksi merupakan hasil interaksi system saraf sensoris,
informasi kognitif (korteks serebri), dan pengalaman emosional (hippocampus dan
amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan.
Gambar 2. mekanisme nyeri
2.8 Zat-zat penghasil nyeri
Pembedahan akan menghasilkan sel-sel dengan konsekuensi yang akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantarnnya (Tabel 1):
bradikinin, histamine, ketekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrien
prostaglandin, subtansi P dan 5-hidroksi triptamin. Nyeri ini dapat berlangsung
berjam-jam sampai berhari-hari.1
Tabel 2. Zat yang timbul akibat nyeri1
10
Zat Sumber Menimbulkan
Nyeri
Efek pada aferen
primer
Kalium Sel – sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosit ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamin Sel – sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat
dan sel rusak
± Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat
dan sel rusak
± Sensitisasi
Substansi P Aferen primer ± Sensitisasi
2.9 Skala Nyeri
Pengetahuan tentang nyeri penting untuk menyusun program penghilang nyeri
pasca bedah. Derajat terhadap nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara
misalnya tingkah laku pasien, skala verbal dasar ( VRS, verbal rating scales), Skala
analog visual ( VAS, visual analogue scales).1 Secara sederhana nyeri pasca bedah
pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya
dikatagorikan sebagai:
1. tidak nyeri (none)
11
2. nyeri ringan ( mild, slight)
3. nyeri sedang (moderat)
4. nyeri berat (severe)
5. sangat nyeri (very severe, intolerable).1
2.10 Penilaian Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti
tentang nyeri itu sendiri. 3,4,5
Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1. Skala intensitas nyeri deskritif
12
2. Skala identitas nyeri numerik
3. Skala analog visual
4. Skala nyeri menurut Bourbanis
13
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
14
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak
terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Petugas menunjukkan Pasien
skala tersebut dan meminta Pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang di
rasakan. Petugas juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan
seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan
pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian
numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-
10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala analog visual (Visual
analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang
mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada
dipaksa memilih satu kata atau satu angka.3,4,5
BAB III
15
MANAJEMEN NYERI
3.1. Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri
Sebelum dilakukan pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus
memahami tatalaksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Didalam pengelolaan
nyeri terdapat prinsip-prinsip umum yaitu:
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyeri dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin
Tujuan dari keseluruhan pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar
besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil.
3.2 Analgetik
16
Beberapa jenis analgetik (obat pereda nyeri) bisa membantu mengurangi
nyeri. Analgetik opioid merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif
untuk mengatasi nyeri yang hebat. 1,2
3.2.1. Analgetik opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering
digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri
pasca pembedahan. Analgetik opioid sangat efektif dalam mengurangi rasa nyeri
namun mempunyai beberapa efek samping. Semakin lama pemakai obat ini akan
membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Selain itu sebelum pemakaian jangka panjang
dihentikan, dosisnya harus dikurangi secara bertahap, untuk mengurangi gejala-gejala
putus obat.1
Tramadol merupakan analgetik sintetik yang merupakan agonis reseptor
opioid. Ia juga menghasilkan analgesia dengan menghambat noradrenalin dan
reuptake serotonin dan meningkatkan pelepasan 5 HT untuk memodifikasi transmisi
nosiseptik melalui aktivasi inhibitor yang menuju ke bawah jaras CNS.
Analgetik opioid bisa memperberat mual yang dirasakan oleh penderita.
Untuk mengatasinya diberikan obat anti muntah, baik dalam bentuk per-oral,
supositoria maupun suntikan (misalnya metoklopramid, hikroksizin dan
proklorperazin). Opioid dosis tinggi bisa menyebabkan reaksi yang serius, seperti
17
melambatnya laju pernafasan dan bahkan koma. Efek ini bisa dilawan oleh nalokson,
suatu penawar yang diberikan secara intravena.
Tabel 3. Analgetik opioid
Obat Masa efektif Keterangan
Morfin Suntikan intravena/intramuskuler:2-3 jam per-oral:3-4 jam sediaan lepas lambat:8-12jam
Mula kerjanya cepat sediaan per-oral sangat efektif untuk mengatasi nyeri karena kanker
Kodein Per-oral:3-4 jam Kurang kuat dibandingkan dengan morfin kadang diberikan bersamaan dengan aspirin atau asetaminofen
Meperidin Suntikan intravena/intramuskuler:sekitar 3 jam per-oral:tidak terlalu efektif
Bisa menyebabkan epilepsi, tremor dan kejang otot
Metadon Per-oral:4-6 jam, kadang lebih lama
Juga digunakan untuk mengobati gejala putus obat karena heroin
Proksifen Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan bersamaan dengan aspirin atau asetaminofen, untuk mengatasi nyeri ringan
Levorfanol Suntikan intravena atau intramuskuler:4 jam per-oral:sekitar 4 jam
Sediaan per-oral sangat ampuh bisa digunakan sebagai pengganti morfin
Hidromorfo Suntikan intravena/intramuskuler:2-4 jam
Mula kerjanya cepat bisa digunakan sebagai
18
n per-oral:2-4 jam suppositoria per-rektum:4 jam
pengganti morfin efektif untuk mengatasi nyeri karena kanker
Oksimorfon Suntikan intravena/intramuskuler:3-4 jam suppositoria per-rektum:4 jam
Mula kerjanya cepat
Oksikodon Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan bersama aspirin atau asetaminofen
Pentazosin Per-oral:sampai 4 jam Bisa menghambat kerja analgetik opioid lainnya kekuatannya hampir sama dengan kodein bisa menyebabkan linglung & kecemasan, terutama pada usia lanjut
3.3. Penggunaan Dalam Anastesia dan Analgesia
Morfin masih popular sampai sekarang. Pada premedikasi sering di
kombinasikan dengan atropine dan fenotiasin ( largaktil). Pada pemeliharaan
anastesia umum di kamar bedah sering digunakan sebagai tambahan analgesia dan
diberikan secara intravena. Untuk digunakan sebagai obat utama anastesia harus
ditambahkan bensodiasepin atau fenotiasin atau anestetik inhalasi volatile dosis
rendah. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang ialah 0,1-
0,2 mg/kgBB. Subkutan, Intramuskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri
hebat dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan.
Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri persalinan digunakan
dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2mg intratekal. Dan dapat diulang antara 6-12 jam.1
19
Petidin
Petidin (merperidin, demerol) adalah zat sintentik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaan dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
2. Metabolisme hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin asam
meperidinatdan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardi.
4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi
lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25mg iv pada dewasa.
Morpin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Dosis petidin intramuscular 1-2mg/kgBB (morfin 10x lebih kuat) dapat
diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan
tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain,sehingga
20
tidak dapat digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis
1-2mg/kgBB.
Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih
larut dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesinya. Dosis 1-3µg/kgBB.
Analgesinya 30 menit digunakan untuk anesthesia pembedahan dan tidak untuk pasca
bedah.
Dosis besar 50-150µg/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan
pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis
rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah inhalasi dosis rendah, pada bedah
jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat
dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar mencegah peningkatan kadar
gula ,katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.
Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari
fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kg
BB.
Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat besar.
Mula kerjanya cepat. Dosis analgesi 10-20 µg/kgBB.
21
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat
diberikan secara oral, i.m. atau i.v. dengan dosis 50-100mg dan dapat diulang setiap
4-6 jam dengan dosis maksimal 400mg perhari.
3.4 Antagonis
Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor mu, delta,
kappa dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin akan
terlihat laju nafas meningkat, kantuk menghilang, pupil dilatasi, tekanan darah jika
sebelumnya rendah jadi meningkat.
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi nafas pada akhir
pembedahan dengan dosis 1-2µg/kgBB intravena dan dapat diulang 3-5 menit,
sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis
intramuscular 2x dosis intravena. Pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan
per-infus dosis 3-10µg/kgBB.
Untuk depresi napas neonatus yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson
10µg/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg
diencerkan sampai 10 ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.
Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan
peroral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paro plasma 8-12 jam.
22
Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg
dapat mengurangi pruritus, mual, muntah pada analgesia epidural saat persalinan,
tanpa menghilangkan efek analgesinya.
23
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu
kerusakan atau gangguan organ tubuh. Menurut International Association for Study
of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.1,2
Derajat terhadap nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara misalnya
Secara sederhana nyeri pasca bedah pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan
pada yang bersangkutan dan biasanya dikategorikan sebagai tidak nyeri (none), nyeri
ringan ( mild, slight), nyeri sedang (moderat), nyeri berat (severe), sangat nyeri (very
severe, intolerable).1
Penatalaksanaan nyeri biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk
golongan nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid untuk nyeri sedang atau
ringan. Golongan opioid yang dipakai morfin, petidin, fentanil, sulfentanil, alfentanil
dan tramadol. Antagonisnya nalokson dan naltrekson.1
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Latief A Said, Suryadi A Kartini, Dachlan M.Ruslam 2010. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Ed. II. Cetakan – 5. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 74-83.
2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute
postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds.
Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book;
1992:253-68
3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a
femoral catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an
anterior cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol.
2001;28:192-4.
4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill
Livingstone. 2006
5. Cousin, MJ. Prevention of Postoperative Pain. Proceeding of the VI World
Congress on Pain. Elsevier, Amsterdam 2001; 41-53.
25