makna tradisi makkuliwa lopi dalam masyarakat mandar …

130
MAKNA TRADISI MAKKULIWA LOPI DALAM MASYARAKAT MANDAR DI KECAMATAN BANGGAE KABUPATEN MAJENE SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar Oleh Via Nandasari NIM. 105381116316 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI MARET, 2021

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

35 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Alamat : Jalan Sultan Alauddin No. 259 Makassar Fax (0411) 860 132
Makassar 90221 www.fkip-unismuh-info
Kecamatan Banggae Kabupaten Majene
Dengan menyatakan bahwa Skripsi yang saya ajukan di depan Tim
Penguji adalah hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau
dibuatkan oleh siapapun. Demikian pernyataan ini saya buat dan saya bersedia
menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.
Makassar, Maret 2021
Via Nandasari jkkhh
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Alamat : Jalan Sultan Alauddin No. 259 Makassar Fax (0411) 860 132
Makassar 90221 www.fkip-unismuh-info
Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:
1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai skripsi ini, saya akan
menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun)
2. Dalam penyusunan skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi
dengan pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (plagiat) dalam menyusun
skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2 dan 3 saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Makassar, Maret 2021
Via Nandasari jkkhh
MOTTO
“Selalu bersyukur atas apa yang telah kamu miliki sampai saat ini. Jangan
mengeluh, karena hidup yang kamu keluhkan hari ini adalah hidup yang orang
lain inginkan”
menyelesaikan Skripsi ini meskipun belum secara sempurna, persembahan karya
sederhana ini sebagai wujud bakti penulis kepada kedua orang tua Ichwan
Darwis dan Sari Bintang, Dosen pembimbing, keluarga, dan teman-teman
penulis yang selalu memberikan dukungan sampai hari ini.
vii
ABSTRAK
dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I
Kaharuddin dan Pembimbing II Herdianty, R.
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
studi kasus yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan tradisi makkuliwa
lopi dalam masyarakat Mandar saat ini dan untuk mengetahui pemaknaan
masyarakat terhadap tradisi makkuliwa lopi. Lokasi penelitian ini yaitu di
Kecamatan Banggae kabupaten Majene. informan dalam penelitian ini yaitu
tukang lopi (perahu), nelayan dan keluarga nelayan. pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan tiga cara yaitu, Observasi, Wawancara dan
dokumentasi.
Banggae sampai saat ini masih melakukan tradisi tersebut, meskipun
perkembangan baik dari segi pelaksanaannya maupun perkembangan pemahaman
nya, dimana dalam pelaksanaan makkuliwa lopi yang dulunya terdapat syarat-
syarat yang harus dipenuhi masyarakat, tetapi saat ini para nelayan melakukan
kuliwa sesuai dengan kemampuan masyarakat dalam memenuhi persyaratan
tersebut. Adapun perkembangan pemahaman berupa perubahan sudut pandang
masyarakat yang dulunya mengambil sudut pandang kepercayaan nenek moyang
yang mempercayai adanya makhluk mistis yang di agungkan, sedangkan pada
Zaman sekarang ini masyarakat Banggae yang mayoritas nya menganut
kepercayaan agama Islam merubah sudut pandang sesuai dengan syariat agama
Islam. Tradisi makkuliwa lopi merupakan salah satu ritual yang dilaksanakan
dengan maksud mengharapkan suatu keselamatan bagi para nelayan yang
memiliki lopi baru. Pemaknaan tersebut didapatkan oleh masyarakat pesisir
Banggae dilandasi dengan bersandar pada unsur keagamaan, unsur yang dimaksud
ialah rasa syukur kepada Allah SWT, yang kemudian rasa syukur tersebut
diaplikasikan dengan melakukan ritual makkuliwa lopi.
Dari penelitian ini diharapkan kepada masyarakat Mandar khususnya
masyarakat di kalangan nelayan untuk senantiasa melestarikan dan menjaga
budaya atau tradisi yang sudah ada di daerah kita, sehingga dapat menjadi icon
daerah dan memperkaya kearifan lokal Indonesia.
Kata Kunci: Makna, Tradisi, Makkuliwa Lopi
viii
ABSTRAC
Via Nandasari. 2021. The Meaning of the Makkuliwa Lopi Tradition in
the Mandar Community in Banggae District, Majene Regency. Essay. Faculty of
Teacher Training and Education, Muhammadiyah University of Makassar.
Advisor I Kaharuddin and Advisor II Herdianty, R.
This thesis uses a type of qualitative research with a case study approach
that aims to determine the development of the makkuliwa lopi tradition in Mandar
society today and to determine the meaning of the community towards the
makkuliwa lopi tradition. The location of this research is in Banggae District,
Majene Regency. The informants in this study were the boatman (boat),
fishermen, and fishermen's families. Data collection in this study uses three ways,
namely, observation, interview, and documentation.
The results of research on the development of the makkuliwa lopi tradition,
the Banggae community, are still practicing this tradition, despite developments
both in terms of its implementation and development of understanding, wherein
the implementation of makkuliwa lopi, some conditions must be met by the
community, but now fishermen are doing it. kuliwa by the community's ability to
meet these requirements. As for the development of understanding in the form of
changes in the point of view of the people who used to take the point of view of
the beliefs of their ancestors who believed in the existence of glorified mystical
creatures, in the present era, the Banggae people, the majority of whom adhere to
Islamic religious beliefs, have changed their point of view according to Islamic
law. The makkuliwa lopi tradition is one of the rituals carried out intending to
hope for safety for fishermen who have new lopi. The meaning obtained by the
coastal community of Banggae is based on relying on religious elements, the
element in question is gratitude to Allah SWT, which is then applied by
performing the makkuliwa lopi ritual.
From this research, it is hoped that the Mandar community, especially the
fishermen, will always preserve and maintain the culture or traditions that already
exist in our area so that they can become regional icons and enrich Indonesian
local wisdom.
ix
Alhamdulillah Puji Syukur Kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dan karunia yang tak terhingga sampai saat ini kepada seluruh makhluk-
nya, terutama kita selaku hamba-Nya. Salam dan salawat tak lupa penulis
haturkan kepada junjungan kita yaitu Nabi Muhammad Sal allahu Alaihi
Wassalam yang merupakan panutan hingga akhir Zaman.
Dengan keyakinan tersebut penulis dapat menyelesaikan kewajiban
akademik dalam menyusun skripsi yang berjudul “Makna Tradisi Makkuliwa
Lopi dalam Masyarakat Mandar di Kecamatan Banggae Kabupaten
Majene”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Meskipun upaya yang telah
dilakukan untuk menyusun proposal dengan maksimal, akan tetapi sebagaimana
manusia biasa tentu ada kekurangan yang terdapat dalam penyusunan proposal
penelitian ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya masukan yang dapat
menyempurnakan proposal penelitian ini.
hambatan dan tantangan, namun berkat bantuan dari berbagai pihak, sehingga
hambatan dan tantangan tersebut dapat teratasi dan skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Untuk itu patut diucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan
Kepada kedua orang tua, Ayahanda Ichwan Darwis dan Ibunda Sari Bintang
x
tercinta dengan penuh kasih sayang tiada henti melantunkan doa dan memberikan
motivasi untuk keberhasilan anaknya, Prof. Dr. H. Ambo Esse, M.Ag, Rektor
Universitas Muhammadiyah Makassar, Erwin Akib, M.Pd., P.h.D, dekan FKIP
Universitas Muhammadiyah Makassar, Drs. H. Nurdin, M.Pd, ketua prodi
Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar, Kaharuddin, S.Pd.,
M.Pd., Ph.D, dosen pembimbing 1 dan Herdianty R, S.Pd., M.Pd, dosen
pembimbing 2 yang telah memberikan kritik dan saran yang senantiasa menjadi
arah dan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini, segenap Dosen Jurusan
Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar atas bekal ilmu yang telah diberikan kepada penulis
sejak pertama menjadi mahasiswa.
Akhir kata saya berharap agar skripsi ini dapat menjadi masukan yang
bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Semoga segala
usaha penulis bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Aamiin ya Rabbal aa’ lamiin.
Makassar, 20 Januari 2021
C. Informan Penelitian ......................................................................... 26
D. Fokus Penelitian .............................................................................. 27
G. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 30
H. Teknik Analisis Data ....................................................................... 31
I. Teknik Keabsahan Data .................................................................. 34
J. Etika Penelitian ............................................................................... 35
A. Sejarah Lokasi Penelitian ................................................................ 36
xiii
A. Hasil Penelitian ............................................................................... 47
Kecamatan Banggae Kabupaten Majene Saat Ini .................... 47
2. Pemaknaan Masyarakat Mandar di Kecamatan Banggae Kabupaten
Majene Terhadap Tradisi Makkuliwa Lopi .............................. 59
B. Pembahasan ..................................................................................... 67
A. Kesimpulan ..................................................................................... 75
B. Saran ................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 77
Tabel 4.1 Banyak Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Dasar Menurut
Desa/Kelurahan di Kecamatan Banggae, 2019…………………………41
Tabel 4.2 Banyak Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Banggae, 2019………42
Tabel 4.3 Banyak Sekolah, Murid dan Guru SMA Menurut
Desa/Kelurahan di Kecamatan Banggae, 2019………………………….42
xv
Gambar 5.3 Proses Pembuatan Perahu........................................................ 52
Gambar 5.4 Proses Wawancara Bersama Nelayan dan Tukang Lopi ......... 54
Gambar 5.5 Proses Wawancara................................................................... 56
Gambar 5.6 Proses Wawancara................................................................... 61
Gambar 5.7 Proses Wawancara................................................................... 67
dalam garis kebudayaan yang kemudian memberi nilai dan makna atas
kehidupan manusia. Setiap orang bisa saja dengan mudah mendefinisikan
manusia dari beragam perbedaan dengan melihat kesukuan, bangsa, maupun
ras nya. Akan tetapi, fakta sejarah mengenai manusia sebagai makhluk
budaya tidak terbantahkan oleh siapa pun. Karena itulah kebudayaan
menempati posisi yang dianggap sebagai pusat dalam kehidupan manusia
(Maran, 2010). Berdasarkan pengertian di atas, penulis menyimpulkan
bahwa secara umum kebudayaan merupakan sebuah aturan dalam
kehidupan manusia yang dimiliki setiap manusia sesuai dengan
kebudayaannya masing-masing, serta memberikan nilai dan makna dalam
kehidupan.
Masyarakat dibangun oleh adat, norma atau kebiasaan yang berupa
tradisi dan telah membudaya, sebagai hasil dari proses berfikir yang kreatif
secara bersama-sama yang kemudian membentuk sistem hidup yang
berkesinambungan. Tradisi artinya suatu kebiasaan seperti adat,
kepercayaan, kebiasaan ajaran dan sebagainya yang dilakukan secara turun-
2
cerminan hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan (Mustari, 2009:12).
Penulis menyimpulkan bahwa tradisi tersebut merupakan kebiasaan yang
dilakukan secara turun-temurun dan dianggap sebagai cerminan hidup
masyarakat.
Indonesia memiliki berbagai macam keragaman budaya dan tradisi
unik yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, salah satunya adalah di
provinsi Sulawesi Barat. Provinsi Sulawesi Barat dahulunya masih
merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan, kemudian mengalami
pemekaran dan membentuk provinsi sendiri pada tahun 2004 dengan
lahirnya UU Nomor 26 yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, Hari
Sabarno atas nama Presiden RI pada tahun 2004. Hadirnya Provinsi
Sulawesi Barat memberikan warna baru bagi peradaban kebudayaan
Indonesia, khususnya di Kabupaten Majene (Bodi dan Rahman, 2006).
Berbicara mengenai Mandar, pada abad ke-16 di kawasan ini berdiri
tujuh kerajaan kecil yang terletak di pantai. Pada akhir abad ke-16 kerajaan-
kerajaan kecil tersebut bersepakat membentuk federasi yang dinamai
dengan Pitu Baqbana Binanga yang bermakna tujuh kerajaan di muara
sungai/pantai. Pada Abad ke-17 federasi tujuh kerajaan di muara sungai ini
kemudian bergabung dengan tujuh kerajaan yang berada di pegunungan
yang bernama Pitu Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di hulu sungai.
Gabungan kedua federasi itu bernama Pitu Baqbana Binanga dan Pitu
Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di muara sungai dan tujuh kerajaan di
3
melengkapi, Sipamanda (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui
perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Luyo.
Mandar adalah salah satu suku-bangsa di nusantara yang budayanya
berorientasi melaut (Alimuddin, 2005:2). Karena itulah, sebagian besar
orang-orang Mandar dikenal melalui kebudayaannya yang pandai melaut.
Dalam hal melaut, orang Mandar ini menggunakan lopi atau perahu sebagai
alat yang digunakan dalam mengarungi lautan untuk menangkap ikan. Pada
masyarakat nelayan Mandar masyhur dikenal adanya istilah ussul dan
pantangan (pemali). Ussul ini merupakan pengharapan akan keberhasilan
lewat penggunaan berbagai media dan simbol-simbol yang sarat makna dan
nilai, sementara pemali adalah merupakan kumpulan larangan yang harus
dihindari dan selalu dijauhi. Dengan bekal kemampuan navigasi yang
diwariskan secara turun temurun, dan kepatuhan akan ketentuan yang juga
diturunkan secara tutur, maka suku Mandar lahir menjadi posasiq macanga
atau pelaut yang tangguh (Mansur, 2016). Berdasarkan penjelasan tersebut,
penulis menyimpulkan bahwa nelayan Mandar menggunakan perahu atau
lopi dalam mengarungi lautan dan masyarakat Mandar juga dikenal dengan
istilah ussul atau pengharapan akan keberhasilan dan pemali yaitu sebuah
pantangan atau larangan yang harus dijauhi.
Berbicara mengenai tradisi di Mandar Sulawesi Barat tepatnya di
kabupaten Majene, tidak terlepas dari peran serta masyarakat yang menjadi
objek atau pelaku sebuah tradisi. Masyarakat Majene yang bertempat di
4
pencaharian sebagai seorang nelayan atau posasiq.
Kecamatan Banggae merupakan salah satu kecamatan dari 8
kecamatan yang ada di kabupaten Majene. Kecamatan Banggae dan
kecamatan Banggae Timur merupakan kecamatan yang memiliki luas
wilayah terkecil di antara kecamatan-kecamatan lain yang ada di kabupaten
Majene. Kecamatan Banggae dan kecamatan Banggae Timur merupakan
wilayah yang relatif lebih datar, sehingga mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai nelayan. Sementara wilayah kecamatan lainnya lebih
dominan berupa wilayah berbukit dan pegunungan.
Di kalangan para pelaut atau nelayan di Mandar terselip sebuah tradisi
yang telah ada dan dilakukan secara turun temurun. Para pelaut atau nelayan
ini memiliki pandangan dan tata cara khusus dalam pelaksanaannya. Tradisi
tersebut berkaitan dengan persoalan pekerjaannya di laut yang dianggap
sangat keras dan menantang. Sebagaimana lazimnya, melaut itu
membutuhkan keberanian untuk dapat beraktivitas di perairan, menghadapi
berbagai jenis angin, iklim dan ombak. Keadaan iklim yang berubah-ubah
mendatangkan angin yang berbeda pula dan berpengaruh terhadap waktu
dan arah melaut nelayan (Ismail, 2012). Persoalan itu yang menjadi
tantangan bagi para nelayan untuk diprediksi, sehingga menjadikan
profesinya tersebut berada pada lingkup ketidakpastian.
Tradisi makkuliwa lopi adalah salah satu tradisi atau ritual yang
dilakukan nelayan Mandar sebelum memulai perjalanannya dalam mencari
5
ikan di laut dengan menggunakan perahu atau lopi. Tradisi makkuliwa lopi
ini merupakan tradisi nelayan Mandar yang mengadakan syukuran atau
ma’baca (dalam istilah Mandar) ketika sebuah lopi (perahu) baru atau telah
jadi dan siap pakai, sebelum diturunkan ke laut, dipanjatkan doa guna
memperoleh keselamatan dalam setiap perjalanannya di laut, baik
keselamatan bagi posasiq (istilah bagi pelaut Mandar atau dapat pula
diartikan sebagai nelayan) maupun bagi perahu itu sendiri. Tradisi ini
dilakukan sebagai bentuk jamuan pertemuan antara perahu dan pengguna
perahu dengan laut sebagai tempat mengais rezeki agar kiranya pula dapat
bersahabat langsung dengan berbagai jenis iri’ (angin) dan lembong
(ombak), (Goncing, 2017).
tradisi makkuliwa lopi tersebut dilakukan masyarakat sebagai bentuk rasa
syukur karena telah memiliki perahu baru.
Berbicara mengenai lopi atau perahu yang digunakan masyarakat
dalam melaut, di kecamatan Banggae tepatnya di lingkungan Rangas
dikenal dengan masyarakatnya yang pandai dalam merakit sebuah perahu
atau biasa disebut dengan tukang lopi. Dalam proses pembuatan perahu
tersebut menghabiskan waktu selama 1 sampai 4 bulan tergantung bentuk
dan ukuran perahu yang dibuat, bahkan ada yang sampai setahun. Biasanya
perahu-perahu tersebut dibuat ketika ada warga yang ingin memesan
perahu.
6
Meskipun hasil dari melaut itu tidak seberapa, apalagi bagi nelayan-nelayan
biasa yang sehari-harinya hanya menangkap ikan dengan perahu kecil lalu
dibawa pulang untuk dijual, jika ada lebihnya baru akan dikonsumsi, bahkan
sampai anak-anaknya pun ikut melaut dan tidak tanggung di usianya yang
masih kanak-kanak. Ada pula anak nelayan yang sudah berani dan terbiasa
melaut dengan kawan-kawan sebayanya. Hal ini dapat terjadi, karena para
nelayan Mandar tidak menganggap mudah suatu pekerjaan. Setiap hasil
tangkapan yang dibawa pulang sudah menjadi rezeki yang diberikan Tuhan
di hari itu pula.
tentang “Pengaruh Tradisi Makkuliwa Terhadap Masyarakat Mandar”
(Studi Peristiwa Keagamaan pada Masyarakat Mandar), tepatnya di daerah
Pambusuang Kabupaten Polewali Mandar mengungkapkan bahwa tradisi
makkuliwa merupakan tradisi yang berkembang secara turun temurun yang
tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Budha dan dalam penelitian tersebut
menemukan adanya keterkaitan antara budaya lokal Mandar dengan nilai-
nilai Islam. Masyarakat juga meyakini bahwa tradisi tersebut dianggap
sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan ketika memiliki perahu
baru sebelum melaut karena masyarakat menganggap bahwa setiap benda
memiliki kekuatan magis, sehingga ritual ini harus dilaksanakan agar
terhindar dari marabahaya yang mengancam jiwa ketika hendak melaut dan
7
selain memandang tradisi ini sebagai sebuah kewajiban tradisi ini pun juga
dianggap sebagai suatu kesyukuran atas perahu yang telah dimiliki. Menurut
penulis, tradisi tersebut sangat mempengaruhi kehidupan nelayan selama
mencari rezeki di lautan.
berlokasi di lingkungan Tanjung Batu Timur, Tangnga-tangnga dan
Parappe. Mengungkapkan bahwa dalam penelitian tersebut lebih
menjelaskan mengenai proses pelaksanaan dalam tradisi makkuliwa lopi
yang dimulai dari proses pembacaan barzanji hingga selesai. Isna Arliana
juga mengungkapkan bahwa tradisi makkuliwa ini mulai sukar ditemukan
dan ritual yang dilakukan pun antara warga yang lain terlihat ada perbedaan.
Ada nelayan yang melaksanakannya dengan syukuran besar, ada pula
nelayan yang melaksanakannya dengan sangat sederhana, bahkan terkadang
ada pula nelayan yang tidak melaksanakannya (Goncing, 2017).
Berdasarkan penelitian tersebut, penulis mengemukakan bahwa adanya
perbedaan cara pandang saat ini dalam memaknai tradisi kuliwa lopi.
Seiring dengan perkembangan Zaman, perbedaan ini pun terlihat
dalam masyarakat yang melaksanakan tradisi tersebut di samping
masyarakat yang sudah semakin berkembang, pengetahuan tentang agama
pun mulai berkembang dan masyarakat menganggap bahwa dalam
pelaksanaan tradisi bukanlah suatu hal yang wajib karena terkadang dalam
proses tradisi tersebut terdapat sebuah anggapan tentang kesyirikan. Tetapi
8
ada juga masyarakat yang meyakini bahwa dalam sebuah tradisi dianggap
bahwa cara-cara terdahulu merupakan hal yang paling baik dan benar.
Terlepas dari beberapa anggapan tersebut semua tergantung dari cara
masyarakat dalam memaknai sebuah tradisi. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk mengulas lebih mendalam bagaimana perkembangan tradisi
makkuliwa lopi saat ini dan bagaimana pemaknaan masyarakat Mandar di
kecamatan Banggae kabupaten Majene terhadap tradisi makkuliwa lopi.
Untuk itu peneliti memutuskan meneliti tentang tradisi di kalangan nelayan
dengan judul “Makna Tradisi Makkuliwa Lopi dalam Masyarakat
Mandar di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene”. Semoga dengan
penelitian ini, masyarakat mengetahui makna yang terdapat dalam setiap
proses pelaksanaan tradisi makkuliwa lopi, sehingga tradisi tersebut tetap
ada dan dilakukan secara turun temurun.
B. Rumusan Masalah
kabupaten Majene terhadap tradisi makkuliwa lopi?
C. Tujuan Penelitian
masyarakat Mandar di kecamatan Banggae kabupaten Majene saat ini.
9
Banggae kabupaten Majene terhadap tradisi makkuliwa lopi.
D. Manfaat Penelitian
pembaca baik bersifat teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
tradisi makkuliwa lopi dalam masyarakat Mandar di Majene, Sulawesi
Barat.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi awal bagi penelitian
selanjutnya tentang tradisi makkuliwa lopi dalam masyarakat Mandar
di Majene, Sulawesi Barat.
pengetahuan terutama tentang makna yang terdapat pada tradisi
makkuliwa lopi dalam masyarakat Mandar.
b. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada mahasiswa, khususnya tentang makna tradisi makkuliwa lopi
yang terdapat pada masyarakat Mandar di Majene.
E. Definisi Operasional
1. Makna adalah maksud yang terkandung dalam suatu kata atau nilai dan
pesan yang terdapat dalam suatu hal.
10
secara turun temurun dari generasi ke generasi
3. Makkuliwa berasal dari bahasa Mandar, yakni kuliwa yang artinya
seimbang. Dalam masyarakat Mandar, makkuliwa diartikan dengan
melakukan syukuran, atau doa selamatan, doa ini dimaksudkan agar tatanan
hidup baik di darat maupun di laut senantiasa berada dalam keseimbangan.
Sedangkan lopi dalam masyarakat Mandar, diartikan sebagai perahu. Perahu
yang digunakan untuk melaut seperti mencari ikan layaknya rutinitas
nelayan. Kata lopi jika didahului oleh kata makkuliwa berarti syukuran atau
selamatan atas perahu baru.
4. Masyarakat Mandar yang dimaksudkan di sini adalah penduduk Provinsi
Sulawesi Barat yang khusus mendiami Kabupaten Majene yang pada
umumnya termasuk suku Mandar asli. Kabupaten Majene diawali oleh Kota
Majene yang dekat dengan teritorial laut yang mata pencaharian warganya
adalah nelayan, tepatnya di kecamatan Banggae.
11
dilakukan sejak lama, yang kemudian menjadi bagian dari kehidupan dalam
suatu kelompok masyarakat. Hal yang paling mendasar dari sebuah tradisi
adalah adanya kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi melalui
informasi yang sudah ada sejak dahulu yang kemudian dilakukan secara
turun temurun. Karena tanpa adanya kegiatan sebuah tradisi yang dilakukan
dari generasi ke generasi, akan menyebabkan tradisi tersebut bisa saja hilang
atau bahkan punah (Juliana, 2017).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai adat
kebiasaan yang turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dilakukan
oleh masyarakat dan juga diartikan sebagai penilaian atau anggapan bahwa
cara-cara yang telah ada merupakan hal yang paling baik dan benar.
Menurut Hasan Hanafi, tradisi (turats) segala warisan masa lampau
(baca tradisi) yang masuk pada kita dan masuk ke dalam kebudayaan yang
sekarang berlaku. Dengan demikian, bagi Hanafi tradisi tidak hanya
merupakan persoalan peninggalan sejarah, tetapi sekaligus merupakan
persoalan kontribusi Zaman kini dalam berbagai tingkatannya (Hakim,
2003).
12
atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, dan kebiasaan-
kebiasaan. Tradisi tersebut bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, tradisi
tersebut justru dipadukan dengan beragam perbuatan manusia dan diangkat
dalam keseluruhannya. Karena manusia yang membuat tradisi maka
manusia juga yang dapat menerimanya, menolaknya dan mengubahnya.
Berdasarkan beberapa sumber tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
tradisi sebagai warisan masa lalu yang kemudian dilestarikan, dijalankan,
dan dipercayai sampai saat ini yang kemudian menjadi kebiasaan dari
generasi ke generasi. Tradisi atau adat tersebut dapat berupa, nilai, norma
sosial, adat kebiasaan, seperti upacara adat, ritual dan lain sebagainya.
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian
tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini. Ia
menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih
berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Tradisi memperlihatkan
bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang
bersifat duniawi maupun hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Di
dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang
lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain,
bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana
perilaku manusia terhadap alam yang lain. Ia berkembang menjadi suatu
sistem, memiliki pola dan norma yang sekaligus juga mengatur penggunaan
saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan penyimpangan.
13
Sebagai sistem budaya, tradisi akan menyediakan seperangkat model
untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama.
Sistem dan gagasan utama ini akan terwujud dalam sistem ideologi, sistem
sosial dan sistem teknologi. Sistem ideologi merupakan etika, norma, dan
adat istiadat. Ia berfungsi memberikan pengarahan atau landasan terhadap
sistem sosial, yang meliputi hubungan dan kegiatan sosial masyarakat.
Berbicara mengenai tradisi, hubungan antara masa lalu dan masa kini
haruslah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa kini
ketimbang sekedar menunjukan fakta bahwa masa kini berasal dari masa
lalu. Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk material
dan gagasan, atau objektif dan subjektif. Menurut arti yang lebih lengkap,
tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari
masa lalu namun benar-benar masih ada kini, belum di hancurkan, dirusak,
di buang, atau dilupakan. Disini tradisi hanya berarti warisan, apa yang
benar-benar tersisa dari masa lalu. Seperti yang diungkapkan Shils
(1981:12), bahwa tradisi merupakan segala sesuatu yang diwariskan dan
disalurkan dari masa lalu hingga ke masa kini.
Makkuliwa Lopi
Secara harfiah makkuliwa berarti sama lewa, sitottong (dalam
bahasa Mandar) yang bermakna tidak miring ke kanan dan tidak pula miring
ke kiri. Dari arti tersebut dapat didefinisikan bahwa kuliwa adalah
menyeimbangkan. Makkuliwa dalam kaitannya dengan ritual nelayan
Mandar berarti doa selamatan. Doa ini dimaksudkan agar tatanan
14
kehidupan, baik di darat maupun di laut senantiasa berada dalam
keseimbangan, tidak saling mengganggu dan merusak, sehingga bisa hidup
tenang (Ismail, 2007).
sebagai perahu. Perahu tersebut dijadikan sebagai alat yang digunakan
dalam mencari ikan layaknya rutinitas sebagai seorang nelayan. Kata lopi
jika didahului oleh kata berarti syukuran atau selamatan atas perahu.
Tradisi makkuliwa lopi adalah salah satu tradisi atau ritual yang
dilakukan nelayan Mandar sebelum memulai perjalanannya dalam mencari
ikan di laut dengan menggunakan perahu atau lopi. Tradisi makkuliwa lopi
ini merupakan tradisi nelayan Mandar yang mengadakan syukuran atau
ma’baca (dalam istilah Mandar) ketika sebuah perahu baru atau telah jadi
dan siap pakai, sebelum diturunkan ke laut, dipanjatkan doa guna
memperoleh keselamatan dalam setiap perjalanannya selama mengarungi
lautan, baik keselamatan bagi posasiq (istilah bagi pelaut Mandar atau
nelayan) maupun bagi perahu itu sendiri. Tradisi ini dilakukan sebagai
bentuk jamuan pertemuan antara perahu dan pengguna perahu dengan laut
sebagai tempat untuk mengais rezeki agar kiranya pula dapat bersahabat
langsung dengan berbagai jenis iri’ dan lembong, dalam bahasa Mandar
berarti angin dan ombak (Goncing, 2017).
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam
tradisi makkuliwa tersebut mengandung doa selamatan dan bentuk
15
ungkapan rasa syukur bagi pemilik perahu karena telah memiliki perahu
baru.
Adapun proses dalam pelaksanaan tradisi makkuliwa yang merupakan
serangkaian kegiatan yang diadakan di perahu dan di rumah pemilik perahu.
Pola pelaksanaannya ada dua macam; pertama, pembacaan Barzanji terlebih
dahulu dilakukan di perahu atau di kapal (Ismail, 2012). Kedua, sesudah
acara pembacaan Barzanji di perahu, dilanjutkan serangkaian acara di
rumah warga yang akan melakukan kuliwa lopi yang dihadiri oleh para sawi
(anak buah kapal), kerabat dan para tetangga. Acara di rumah ini didahului
dengan pembacaan Barzanji, kemudian doa, dan makan bersama. Di rumah
juga disiapkan hidangan khusus, yaitu satu baki berisi sokkol tallung rupa
(ketan tiga warna: hitam, merah, dan putih). Khusus ketan berwarna putih
di atasnya diletakkan telur ayam yang sudah matang. Di sekitar baki terdapat
banyak bungkusan kecil yang berisi kue-kue manis ditambah satu bungkus
kecil ketan dan beberapa buah pisang. Bungkusan-bungkusan tersebut
dibagikan kepada semua yang hadir untuk di bawa pulang ke rumah masing-
masing.
Ada beberapa bahan yang penting dipersiapkan dalam makkuliwa,
yaitu tujuh piring kecil sokkol, telur, loka manurung (pisang kapok), loka
tira (pisang ambon), loka warangan (pisang barangan), cucur miana (kue
pelang), dan ule-ule (Ismail. 2012). Hal tersebut merupakan aktualisasi dari
pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan kepada
Allah Swt. Hal itu juga terkadang dimaksudkan sebagai upaya negosiasi
16
spiritual, sehingga segala hal gaib yang diyakini berada di atas manusia
tidak akan menyentuhnya secara negatif.
Masyarakat Mandar
provinsi Sulawesi Barat yang khusus mendiami kabupaten Majene yang
pada umumnya termasuk suku Mandar asli. Kabupaten Majene diawali oleh
kota Majene yang dekat dengan teritorial laut yang mata pencaharian
warganya adalah nelayan atau posasiq (istilah nelayan dalam Mandar),
tepatnya di kecamatan Banggae, seperti yang diungkapkan Muh. Ridwan
Alimuddin dalam bukunya yang berjudul “Orang Mandar Orang Laut”
(Alimuddin, 2005), bahwa Mandar adalah salah satu suku-bangsa di
nusantara yang budayanya berorientasi melaut. Karena itulah, sebagian
besar orang-orang Mandar dikenal melalui kebudayaannya yang pandai
melaut.
dan umumnya masyarakat Mandar bekerja sebagai nealyan atau posasiq.
Posasiq dalam masyarakat Mandar diartikan sebagai pelaut atau nelayan.
Posasiq berasal dari kata sasiq yang berarti laut. Kasarnya, posasiq adalah
pelaut. Akan tetapi, posasiq yang dimaksudkan dalam hal ini adalah orang
yang bekerja di laut atau dengan kata lain adalah nelayan.
Alimuddin (2017) mengemukakan bahwa nelayan menurut istilah
adalah orang yang menangkap ikan di laut. Sedangkan pelaut adalah orang
yang bekerja di laut. Akan tetapi, dalam istilah Mandar, keduanya sama-
17
pekerjaan di laut yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat nelayan
yang berdiam di pesisir laut Mandar. Dengan menggunakan berbagai
macam media, dari berbagai jenis perahu, alat tangkap dan sebagainya.
Sedangkan posasiq dalam arti sebagai pelaut (selain menangkap ikan)
sekarang ini, untuk di daerah Mandar, tidak terlalu banyak ditemukan,
disebabkan perdagangan antar pulau sudah tidak sebanyak pada waktu
lampau. Meski demikian, posasiq dalam arti pelaut tetap dapat melakukan
pekerjaan sebagai posasiq dalam arti nelayan karena mereka mempunyai
dasar akan hal tersebut.
pelaut memiliki makna yang sama. Mereka memilki kemampuan mosasiq
(melaut) yang sama. Memiliki pengetahuan mosasiq yang sama, terutama
dalam hal tradisi ataupun ritual nelayan. Sebagian besar posasiq Mandar
berasal dari keturunan dari generasi ke generasi yang berdiam diri di
wilayah pesisir laut. Akan tetapi, untuk di masa sekarang ini, pekerjaan
melaut sudah dapat dilakukan oleh berbagai kalangan ataupun di luar
wilayah tanah Mandar yang tidak memiliki budaya bahari. Di daerah lain
pun dapat ditemukan orang-orang yang bekerja di laut meskipun tempat
tinggalnya berada jauh dari pesisir laut.
Berbicara mengenai Mandar, pada abad ke-16 di kawasan ini berdiri
tujuh kerajaan kecil yang terletak di pantai. Pada akhir abad ke-16 kerajaan-
kerajaan kecil tersebut bersepakat membentuk federasi yang dinamai
18
dengan Pitu Baqbana Binanga yang bermakna tujuh kerajaan di muara
sungai/pantai. Pada Abad ke-17 federasi tujuh kerajaan di muara sungai ini
kemudian bergabung dengan tujuh kerajaan yang berada di pegunungan
yang bernama Pitu Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di hulu sungai.
Gabungan kedua federasi itu bernama Pitu Baqbana Binanga dan Pitu
Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di muara sungai dan tujuh kerajaan di
hulu sungai (Alimuddin, 2013). Keempat belas kekuatan ini saling
melengkapi, sipamanda (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui
perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka.
B. Kajian Teori
dimana peneliti mampu mengungkap makna tradisi makkuliwa lopi dalam
masyarakat Mandar di kecamatan Banggae, dimana dalam teori ini
didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat
dan berpegangan bahwa individu lah yang membentuk makna melalui
proses komunikasi yang membutuhkan konstruksi interpretif untuk
menciptakan makna. Makna yang kita berikan pada simbol merupakan
produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk
menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula (West dan H. Turner,
2008).
19
Dalam buku Teori Sosiologi (Nursalam dkk, 2016), Herbert Blumer
menyebut teori interaksi simbolis bertumpu pada tiga premis utama, yaitu:
Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada
sesuatu itu bagi mereka. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap
terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan
yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Pemaknaan tentang apa
yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini
sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata,
maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.
Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang
lain. Artinya, pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan
atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul dari sananya.
Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa
(language) dalam perspektif interksionisme simbolik. Di sini, Blumer
menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Kita
memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi bahasa Makna dari sebuah
kata tidaklah memiliki arti dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat
sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata tidak muncul
secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa
pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.
20
berlangsung. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berfikir
sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Berfikir ini sendiri bersifat
refleksi. Sebelum manusia bisa berfikir, kita butuh bahasa Kita perlu untuk
dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya barat software
yang dapat menggerakkan pikiran kita.
C. Kerangka Pikir
temurun terdapat makna yang terkandung di dalamnya bahkan ada
masyarakat yang menganggap bahwa tradisi tersebut harus dilakukan dan
masyarakat pun meyakini bahwa tradisi tersebut akan mendatangkan
kebaikan jika melakukannya. Tetapi tradisi tersebut mulai mengalami
perubahan yang disebabkan oleh perkembangan Zaman yang semakin maju,
pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang semakin berkembang dan
semakin maju. Masyarakat pun memiliki pandangan tertentu dalam sebuah
tradisi. Ada yang melakukan hanya karena tradisi tersebut sudah dianggap
kebiasaan tanpa mengetahui makna yang sebenarnya atau arti dari sebuah
tradisi.
perkembangan tradisi makkuliwa lopi dan bagaimana pemaknaan
masyarakat Mandar di kecamatan Banggae kabupaten Majene terhadap
21
sebagaimana alur penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian.
Gambar 2.1: Kerangka Pikir
permasalahan yang sesuai dengan penelitian ini, yaitu antara lain:
Makkuliwa lopi merupakan ritual yang dilakukan nelayan
ketika memiliki perahu baru, sebelum diturunkan ke laut
dipanjatkan do’a guna memperoleh keselamatan selama melaut.
Perkembangan Tradisi
Makkuliwa Lopi
Pemaknaan Masyarakat
tradisi makkuliwa lopi.
Dalam makkuliwa lopi terdapat nilai religius,
nilai kesederhanaan, nilai sosial dan nilai
gotong royong
Terhadap Masyarakat Mandar” yang berlokasi di daerah Pambusuang
Kabupaten Polewali Manar. Dalam penelitian tersebut lebih memfokuskan
bagaimana pengaruh tradisi tersebut bagi kehidupan masyarakat Mandar
dan kemudian penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa tradisi
makkuliwa merupakan tradisi yang berkembang secara turun temurun
yang tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Budha dan dalam penelitian
tersebut menemukan adanya keterkaitan antara budaya lokal Mandar
dengan nilai-nilai Islam. Kemudian perbedaan penelitian tersebut dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis yaitu terletak pada fokus penelitian
yaitu pengaruh tradisi bagi kehidupan masyarakat, sedangkan penulis
lebih memfokuskan pada makna yang terdapat dalam tradisi makkuliwa
dan perbedaan lain juga terdapat pada lokasi penelitian. Persamaan pada
penelitian yang dilakukan penulis yaitu sama-sama melakukan penelitian
tentang kearifan lokal budaya yang ada di Mandar.
2. Isna Arliana Goncing (2017), dengan judul penelitian “Tradisi Makkuliwa
Lopi dalam Masyarakat Mandar Majene”. Dalam penelitian tersebut
memfokuskan pada proses pelaksanaan, bentuk dalam tradisi makkuliwa
lopi dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam tradisi tersebut serta
nilai-nilai dan pengaruh tradisi makkuliwa lopi bagi masyarakat Majene.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa tradisi makkuliwa lopi
memiliki maksud dan tujuan yaitu syukuran atas perahu dan permohonan
doa keselamatan atas perahu. Dalam penelitian tersebut terdapat
23
perbedaan pada penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yaitu terletak
pada fokus penelitian, dimana penulis tidak hanya berfokus pada proses
pelaksanaan dalam tradisi makkuliwa lopi tapi lebih kepada makna dalam
tradisi tersebut serta bagaimana pemaknaan masyarakat Mandar terhadap
tradisi makkuliwa lopi. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian
penulis yaitu terletak pada metode penelitian yang digunakan yaitu metode
penelitian kualitatif dan penelitian tersebut juga berlokasi di kabupaten
Majene.
3. Tabrani (2017), dengan judul penelitian “Nilai-Nilai Qur’ani dalam
Tradisi Makkuliwa pada Masyarakat Nelayan di Pambusuang Kecamatan
Balanipa Kabupaten Polewali Mandar”. Tujuan penelitian tersebut yaitu
untuk mengetahui pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai yang
terdapat dalam tradisi makkuliwa serta bentuk nilai-nilai Qur’ani dalam
tradisi tersebut. Dalam penelitian tersebut menjelaskan bentuk nilai-nilai
Qur’ani yang terdapat dalam tradisi makkuliwa pada masyarakat nelayan
Pambusuang yaitu: Pertama, nelayan menjadikan Allah Swt. Sebagai
pelindung dari bahaya sebagaimana anjuran dalam QS. Al-Muzammil
(73:9). Hal ini dibuktikan dari penggunaan mantra-mantra dan doa yang
diarahkan pada teologi dengan puncak spiritual kepada Allah Swt. Kedua,
menjaga kesucian jiwa dengan cara menghindarkan diri dari perbuatan
yang tercela dan tidak mengambil hak-hak orang lain sebagaimana anjuran
dalam QS. An-Nur (24:21). Ketiga, nelayan merasa cukup dengan rezeki
yang telah didapatkan. Sikap seperti ini merupakan anjuran dalam QS. Al-
24
Hajj (22: 36). Keempat, berusaha menjaga ekosistem yang ada di laut dari
kerusakan sebagaimana peringatan dalam QS. Ar-Rum (30: 41).
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan
penulis sangat jelas perbedaannya yaitu terletak pada fokus permasalahan
yaitu penelitian tersebut lebih memfokuskan pada nilai-nilai Qur’ani
dalam tradisi makkuliwa, sedang penulis lebih memfokuskan pada
pemaknaan masyarakat Mandar dalam tradisi makkuliwa lopi serta
perbedaan yang paling mendasar terletak pada subjek dan objek dalam
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Persamaan penelitian
tersebut dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu sama-sama
menggunakan jenis metode penelitian yang bersifat kualitatif.
25
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Kualitatif. Metode Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai suatu proses
penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia (Creswell, 2016).
Sedangkan menurut Moleong (2016) mengungkapkan bahwa metode
penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan
suatu kejadian atau fenomena yang terjadi oleh sebuah subjek penelitian
seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistic dan dengan
cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan suatu konteks
yang alamiah. Berdasarkan pengertian tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan untuk
menggambarkan suatu fenomena dan masalah sosial yang terjadi dalam
masyarakat.
perkembangan yang terdapat dalam tradisi makkuliwa lopi, serta
bagaimana pemaknaan masyarakat Mandar terhadap tradisi makkuliwa
lopi.
Sedangkan, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan studi kasus, dimana yang dimaksud dengan kasus di sini dapat
26
secara mendalam, seorang peneliti perlu melakukan penyelidikan dan
eksplorasi terhadap satu atau beberapa kasus dalam jangka waktu tertentu
dan mengumpulkan data dari berbagai sumber melalui observasi,
dokumen, laporan, atau wawancara (Creswell, 2016). Berdasarkan
penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendekatan studi kasus
merupakan pendekatan yang dilakukan untuk memahami suatu
permasalahan secara mendalam dengan cara mengumpulkan data melalui
berbagai sumber.
Penelitian ini berlokasi di daerah Majene Sulawesi Barat, tepatnya
di kecamatan Banggae. Mengapa peneliti mengambil titik lokasi tersebut
karena masyarakat di daerah kecamatan Banggae adalah mayoritas
penduduk yang berprofesi sebagai nelayan atau posasiq. Waktu Penelitian
yang dilakukan peneliti kurang lebih 2 bulan.
C. Informan Penelitian
macam, yaitu:
1. Informan kunci (key informan), yaitu berjumlah 3 orang yakni tukang
lopi dan tokoh agama yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi
tentang tradisi makkuliwa lopi.
2. Informan utama, yaitu nelayan berjumlah 4 orang yang pernah
melakukan tradisi makkuliwa lopi
berjumlah 5 orang yang menjadi pelengkap utama yang digunakan untuk
menambah informasi mengenai tradisi makkuliwa lopi.
Sedangkan dalam menentukan informan, menggunakan teknik
purposive sampling yaitu penentuan informan tidak didasarkan pedoman
atau berdasarkan perwakilan populasi, namun berdasarkan kedalaman
informasi yang dibutuhkan yaitu dengan menemukan informan kunci yang
kemudian akan dilanjutkan pada informan lainnya dengan tujuan
mengembangkan dan mencari informasi sebanyak-banyaknya yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian.
karena peneliti sebelumnya telah mengetahui terkait bagaimana lokasi yang
telah digunakan untuk penelitian. Penentuan informan pada penelitian ini
dilakukan dengan teknik purposive sampling dimana pemilihan informan
sengaja berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan
berdasarkan tujuan penelitian.
D. Fokus Penelitian
penelitian yakni perkembangan tradisi makkuliwa lopi dalam masyarakat
28
Banggae, kabupaten Majene terhadap tradisi makkuliwa lopi.
E. Instrumen Penelitian
itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrument harus “divalidasi”
seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian. Peneliti
kualitatif “human instrument”, berfungsi menetapkan fokus penelitian,
memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, analisis data, dan membuat kesimpulan atas
temuannya (Sugiyono, 2015: 305-306).
observasi, kamera ponsel, alat perekam, alat tulis, dan peneliti sendiri.
1. Lembar Observasi, digunakan untuk mencatat berbagai informasi
berdasarkan hasil pengamatan.
melalui wawancara dengan beberapa informan.
4. Daftar pertanyaan wawancara, digunakan ketika peneliti melakukan
wawancara dengan beberapa tukang lopi, nelayan dan beberapa
masyarakat.
29
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Namun untuk melengkapi data penelitian dibutuhkan dua sumber data, yaitu
sumber data primer dan sekunder (Moleong, 2005).
Sumber Data Primer
primer merupakan data yang diperoleh langsung dengan teknik wawancara
informan atau sumber langsung. Sumber primer adalah data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2015: 187). Adapun
dalam penelitian ini sumber data primer adalah beberapa tukang lopi,
nelayan dan masyarakat di kecamatan Banggae, kabupaten Majene.
Sumber Data Sekunder
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau
dokumen (Sugiyono, 2015:187).
observasi (pengamatan), interview (wawancara), dan dokumentasi.
Observasi
gambaran konkrit dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap
tradisi makkuliwa lopi yang ada di kecamatan Banggae kabupaten Majene.
Wawancara
permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui
hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah responden nya
sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data ini berdasarkan pada laporan
tentang diri sendiri self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan atau
keyakinan pribadi (Sugiyono, 2015: 188). Wawancara dilakukan dengan
cara terstruktur, dan dilakukan melalui tatap muka (face to face). Maka dari
itu, dengan ini peneliti menanyakan seputar perkembangan tradisi
makkuliwa lopi dan pemaknaan masyarakat terhadap tradisi tersebut.
Dokumentasi
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental
31
data tentang sejarah kabupaten Majene dan kecamatan Banggae dari pihak
Camat, data penduduk dan pada saat observasi dan wawancara. Studi
dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2015: 326).
H. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Bilken dalam Moleong
(2007: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-bilahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, menyintesiskan nya, mencari dan menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada
orang lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
analisis data dalam proses penelitian sangatlah penting dengan memilih
data-data yang telah diperoleh agar menjadi data yang dapat dipercaya.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Burhan
Bungin (2003: 70) yaitu sebagai berikut:
Reduksi Data (Data Reduction)
perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak
pengumpulan dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur
32
dilakukan dengan memberikan pertanyaan kepada tukang lopi, nelayan dan
beberapa masyarakat mengenai perkembangan tradisi makkuliwa lopi dan
pemaknaan masyarakat terhadap tradisi tersebut
Display Data
mendisplaykan data tentang perkembangan tradisi makkuliwa lopi dan
pemaknaan masyarakat terhadap tradisi tersebut di kecamatan Banggae
kabupaten Majene.
Penarikan Kesimpulan
berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah
disajikan. Antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas
analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis kualitatif merupakan
upaya berlanjut, berulang, dan terus-menerus. Masalah reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi menjadi gambaran
keberhasilan secara beruntun sebagai rangkaian kegiatan analisis yang
terkait.
bentuk kata-kata untuk mendeskripsikan fakta yang ada di lapangan,
33
diambil inti sarinya saja.
Berdasarkan keterangan diatas maka setiap tahap dalam proses
tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah
seluruh data yang dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan
data dokumentasi melalui metode wawancara.
I. Teknik Keabsahan Data
Karena itu keabsahan data dalam sebuah penelitian kualitatif sangat penting.
Melalui keabsahan data kredibilitas (kepercayaan) penelitian kualitatif
dapat tercapai. Dalam pencapaian ini untuk mendapatkan keabsahan data
dilakukan dengan triangulasi. Adapun triangulasi menurut Moleong (2007:
330) adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang dimanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
perbandingan terhadap data itu. Jadi, triangulasi berarti cara terbaik untuk
menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam
konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian
dan hubungan dari berbagai pandangan. Adapun jenis triangulasi yang
digunakan dalam penelitian ini menurut Sugiyono (2007) yaitu:
Triangulasi Sumber
yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang diperoleh di
34
Triangulasi Teknik
kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya untuk
mengecek data bisa melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Bila
dengan teknik pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang
berbeda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data
yang bersangkutan untuk memastikan data mana yang dianggap benar.
J. Etika Penelitian
melakukan penelitian, mulai dari menyusun desain penelitian,
mengumpulkan data lapangan (melakukan wawancara, observasi, dan
pengumpulan data dokumen), menyusun laporan penelitian hingga
mempublikasikan hasil penelitian. Misalnya:
3. Meminta izin informan jika ingin melakukan perekaman wawancara,
atau mengambil gambar informan.
harus memperhatikan etika dalam melakukan penelitian, jika informan tidak
35
merasa terganggu dengan kehadiran peneliti.
36
Kabupaten Majene dikenal dengan masyarakatnya yang bersuku
Mandar, dimana pada abad ke-16 di kawasan ini berdiri tujuh kerajaan kecil
yang terletak di pantai. Pada akhir abad ke-16 kerajaan-kerajaan kecil
tersebut bersepakat membentuk federasi yang dinamai dengan Pitu
Baqbana Binanga yang bermakna tujuh kerajaan di muara sungai/pantai.
Pada Abad ke-17 federasi tujuh kerajaan di muara sungai ini kemudian
bergabung dengan tujuh kerajaan yang berada di pegunungan yang bernama
Pitu Ulunna Salu artinya tujuh kerajaan di hulu sungai. Gabungan kedua
federasi itu bernama Pitu Baqbana Binanga dan Pitu Ulunna Salu artinya
tujuh kerajaan di muara sungai dan tujuh kerajaan di hulu sungai
(Alimuddin, 2013). Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi,
sipamanda (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang
disumpahkan oleh leluhur mereka.
penamaan Majene sebenarnya berawal dari adanya pendatang (sebagian
masyarakat mengatakan pendatang tersebut adalah orang Belanda dan
sebagian pula mengatakan orang Melayu) yang tiba di pesisir pantai dan
melabuhkan perahunya disana. Pendatang tersebut mendatangi penduduk
lokal yang saat itu sedang ber wudhu di pinggir pantai dan kemudian
37
Oleh karena itu, penduduk lokal tidak mengerti apa yang dikatakan
pendatang tersebut dan menyangka bahwa pendatang itu menanyakan apa
yang sedang dilakukannya, maka ia menjawab ‘’manje’ne’’ (berwudhu).
Mulai saat itulah daerah ini dikenal oleh pendatang luar dengan nama
Majene (Kawu, 2011). Walaupun sumber penamaan Majene tidak diketahui
secara pasti, baik tanggal, bulan maupun tahunnya, namun cerita inilah
berkembang dalam pengetahuan masyarakat Majene dan dijadikan sebagai
pijakan terkait asal mula penamaan Majene
B. Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Majene terletak pada 20 38’ 45” – 30 38’
15” Lintang Selatan dan antara 1180 45’ 00” – 1190 4’ 45” Bujur
Timur. Kabupaten Majene terletak di pesisir barat Pulau Sulawesi, yang
berhadapan langsung dengan Selat Makassar dan Pulau Kalimantan.
Kabupaten Majene ke ibukota Propinsi Sulawesi Barat kurang lebih
146 km. Letak geografis Kabupaten Majene berada dalam jalur lintas barat
Pulau Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
dan Sulawesi Tengah. Secara kondisi Geomorfologi Kabupaten Majene
berada pada ketinggian (5 – 1.327) meter dari permukaan laut. Berdasarkan
keadaan bentang alamnya terdiri atas satuan 4 morfologi yaitu: Satuan
Morfologi Pegunungan, satuan ini menempati Pegunungan Manatattuang;
Satuan Morfologi Perbukitan terletak di Daerah Banggae dan Pamboang;
38
Satuan Morfologi Karst menempati daerah pantai selatan dan utara (Daerah
Tubo) dan Satuan Morfologi Pendataran menempati pesisir pantai barat.
Kabupaten Majene dibangun oleh wilayah yang topografi nya
bervariasi dari datar sampai berbukit dan bergunung, dengan kemiringan
lereng kurang dari 3 % sampai lebih dari 100 %. Hamparan daerah dengan
topografi datar ditemukan di sepanjang wilayah paralel dengan garis pantai
kabupaten ini. Hamparan wilayah datar terutama ditemukan mulai dari
pantai barat Kecamatan Sendana menuju ke selatan sampai ke Kecamatan
Banggae dan Banggae Timur yang merupakan (Ibukota Kabupaten).
Sebagian besar wilayah Kabupaten Majene dengan kondisi topografi
berbukit dan bergunung hampir merata di semua kecamatan (Majene, 2020).
Kecamatan Banggae terletak antara 20 38’ 45” - 30 38’ 15” Lintang
Selatan dan antara 1180 45’ 00” - 1190 4’ 45” Bujur Timur. Luas wilayah
Kecamatan Banggae, adalah seluas 25,15 km2. Sampai Akhir tahun 2019,
wilayah administrasi Kecamatan Banggae terdiri dari 8 wilayah
Desa/Kelurahan, dengan luas daratan masing-masing yaitu:
- Totoli: (4,33 km2)
- Rangas (2,23 km2)
- Baru (2,46 km2)
- Pangali-Ali (4,49 km2)
- Banggae (2,27 km2)
- Galung (2,14 km2)
- Pamboborang (3,11 km2)
Kelurahan dengan dataran tertinggi di Kecamatan Banggae adalah Desa
Pamboborang dengan ketinggian 0,25 meter di atas permukaan laut
sedangkan Desa/ Kelurahan dengan dataran terendah adalah Kelurahan
Rangas dengan ketinggian hanya 0,10 meter di atas permukaan laut
(Majene, 2020)
sebelah utara dan Barat Kabupaten Polewali Mandar sebelah timur, Batas
sebelah selatan masing-masing Teluk Mandar dan Selat Makassar.
C. Keadaan Penduduk
maupun sebagai sumber tenaga yang juga dapat berpengaruh kepada seluruh
kehidupan, sehingga sering diistilahkan sumber daya manusia (SDM).
Keadaan penduduk (population features) dapat diidentifikasi untuk
mengaitkan dengan luas wilayah dan pemerataan penyebarannya,
sedangkan proses penduduk (population process) lebih menekankan pada
perubahan penduduk berdasarkan jumlah/keadaan/sifat yang berlaku secara
berurutan dalam jangka waktu tertentu.
Penduduk Kecamatan Banggae berdasarkan proyeksi penduduk tahun
2019 sebanyak 43.532 jiwa yang terdiri atas 21.506 jiwa penduduk laki-laki
40
dan 22.026 jiwa penduduk perempuan. Sementara itu besarnya angka rasio
jenis kelamin tahun 2019 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan
sebesar 9764. Kepadatan penduduk di kecamatan Banggae 2019 mencapai
1,731 jiwa/km2 dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga 4,68
orang (Majene, 2020).
terendah di Desa Palipi Soreang dari tahun 2019.
D. Keadaan Pendidikan
suatu daerah adalah tersedianya cukup sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas. Ketersediaan fasilitas pendidikan akan sangat menunjang dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Berikut tabel memuat data tentang jumlah
murid, sekolah dan tenaga pendidik atau guru dari tingkat taman Sekolah
Dasar sampai Sekolah Menengah Atas dan sederajat. Jumlah murid sekolah
terbanyak berada pada jenjang sekolah dasar sekitar 4.199 orang.
Selanjutnya pada jenjang sekolah menengah pertama sekitar 1.520 orang.
Dalam mendukung kehidupan sosial, pendidikan merupakan salah
satu faktor penting untuk menjamin mutu sumber daya manusia (SDM).
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir, pola tingkah laku dan
interaksi sosial seseorang sebagai bagian dari anggota masyarakat dalam
melakukan aktivitas untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Pendidikan
41
strategi kelangsungan hidup pada seseorang.
Berikut tabel jumlah sekolah di Kecamatan Banggae:
- Banyak Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Dasar Menurut Desa/Kelurahan
di Kecamatan Banggae, 2019
Palipi
Soreang
Rangas 4 33 429 366 795 14 29 43
Baru 3 24 294 282 576 7 26 33
Pamboang 3 18 171 167 338 12 14 26
Pangaliali 6 41 460 408 868 16 48 64
Banggae 6 47 513 564 1.077 11 55 66
Galung 2 12 85 64 149 4 13 17
Jumlah 31 217 2.444 2.315 4.759 84 229 313
Tabel 4.1 Banyak Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Dasar Menurut
Desa/Kelurahan di Kecamatan Banggae, 2019
42
Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Banggae, 2019
Murid Guru
Desa Sekol
Pamboang
Banggae
Galung
Jumlah 3 41 460 679 1.139 22 61 83
Tabel 4.2 Banyak Sekolah, Murid dan Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Banggae, 2019
- Banyak Sekolah, Murid dan Guru SMA Menurut Desa/Kelurahan di
Kecamatan Banggae, 2019
43
Palipi
Soreang
Rangas
Baru
Pamboang
Pangaliali
Banggae
Galung
Jumlah
Tabel 4.3 Banyak Sekolah, Murid dan Guru SMA Menurut Desa/Kelurahan di
Kecamatan Banggae, 2019
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang
terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti
pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan,
kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan
44
pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan
oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang
bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang
bersangkutan. Atas dasar pemahaman tersebut dan untuk penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang efektif, efisien dan berdayaguna, maka urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Majene
perlu ditetapkan dalam Peraturan Daerah. (Majene, 2019)
Visi & Misi Pemerintahan Daerah Majene
Visi:
- Majene Professional
Majene Profesional Aparat Pemerintah diwujudkan melalui peningkatan
kompetensi dan profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah.
Majene Profesional Sumber Daya Manusia diwujudkan melalui
Peningkatan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat serta
45
- Majene Produktif
kerakyatan dengan optimalisasi dari potensi daerah (Pertanian, Perikanan,
Kelautan dan Pariwisata) yang didukung oleh kemandirian masyarakat
peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat mengedepankan
aspek kemandirian.
- Majene Proaktif
memfasilitasi pemenuhan segala kebutuhan masyarakat menuju
masyarakat Majene Sejahtera tercukupi kebutuhan manusia meliputi
pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja yang
selanjutnya mengarah pada peningkatan kualitas hidup masyarakat
Kabupaten Majene yang layak dan bermartabat.
Majene Proaktif dalam upaya mendayagunakan segala potensi sumber
daya keuangan baik dari APBD Kabupaten Majene dan sumber
pembiayaan lain (APBDP, APBN dan Pelibatan Sektor Swasta) dalam
rangka pembiayaan pembangunan daerah.
berpartisipasi aktif dalam menyelenggarakan pembangunan.
46
Misi:
yang berkualitas
Pertanian, Perikanan Kelautan dan Pariwisata
- Memperkuat dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian kerakyatan
dengan mengoptimalkan potensi daerah yang didukung oleh
kemandirian masyarakat.
pembangunan.
profesional dengan peningkatan kapasitas aparatur didasarkan pada
nilainilai kebenaran dan berkeadilan
Kecamatan Banggae Kabupaten Majene Saat Ini
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan penulis di kecamatan
Banggae, penulis melihat bahwa masyarakat di daerah tersebut sebagian
merupakan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai seorang nelayan
atau posasiq. Berdasarkan letak geografis, kecamatan Banggae merupakan
salah satu kecamatan yang berada di pesisir pantai. Letaknya yang tak jauh
dari pesisir pantai tersebut membuat masyarakat yang ada di sekitar daerah
Banggae bergantung pada hasil laut untuk menunjang perekonomian
mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
(D.1/Observasi/04/01/2021).
Tradisi makkuliwa lopi adalah salah satu tradisi atau ritual yang
dilakukan nelayan Mandar sebelum memulai perjalanannya dalam mencari
ikan di laut dengan menggunakan perahu atau lopi. Tradisi makkuliwa lopi
ini merupakan tradisi nelayan Mandar yang mengadakan syukuran atau
ma’baca (dalam istilah Mandar) ketika sebuah perahu baru atau telah jadi
dan siap pakai, sebelum diturunkan ke laut, dipanjatkan doa guna
memperoleh keselamatan dalam setiap perjalanannya selama mengarungi
48
lautan, baik keselamatan bagi posasiq (istilah bagi pelaut Mandar atau
nelayan) maupun bagi perahu itu sendiri (Goncing, 2017).
Dari hasil pemaparan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam
tradisi makkuliwa tersebut mengandung doa selamatan dan bentuk
ungkapan rasa syukur bagi pemilik perahu karena telah memiliki perahu
yang baru.
kabupaten Majene yang juga sebagai pelaku dalam kegiatan makkuliwa lopi
tepatnya di daerah Banggae, makkuliwa lopi merupakan salah satu ritual
yang dilaksanakan dengan maksud mengharapkan suatu keselamatan bagi
para nelayan yang memiliki lopi baru. Pemaknaan tersebut didapatkan oleh
masyarakat pesisir Banggae dilandasi dengan bersandar pada unsur
keagamaan, unsur yang dimaksud ialah rasa syukur kepada Allah SWT,
yang kemudian rasa syukur tersebut diaplikasikan dengan melakukan ritual
makkuliwa lopi, sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu masyarakat
yang berada di kecamatan Banggae.
“Tradisi makkuliwa lopi adalah sebuah perasaan bersyukur bahwa
kita memiliki perahu baru dan memohon Ridha dari Allah SWT,
supaya yang kita pakai itu tetap ber berkah” (Wawancara,
Hasanuddin 10/01/2021)
49
terdahulu terhadap tradisi makkuliwa lopi, seperti yang disampaikan oleh
salah satu masyarakat yang berada di kecamatan Banggae, yaitu:
“Sepemahamannu anu uissang, intinna dzi’o anna nikuliwa I lopinna
karena bentuk rasa syukurna to’o supaya dilindungi toi pa’jagana
sasi’ na istilahkan to mauweng atau ambolle/ bau kayyang nasanga
to mauweng. Mua’ biasa lopi ndang na kuliwa biasa na ganggui
ambolle di lai’ di tanggana sasi’, rapangi na patallang lopinna atau
biasa tappa bara’I, mindai lembong. Iya dzo’ anna nakuliwai supaya
na lindungi marabahaya bassa dzi’o” (Wawancara, Naim
09/01/2021)
makkuliwa lopi ini adalah karena bentuk rasa syukur kita supaya
dilindungi dari ‘penjaga laut’ atau ikan besar sebagaimana yang
diistilahkan orang tua terdahulu. Terkadang perahu yang tidak
dikuliwa terlebih dahulu akan diganggu oleh penjaga laut yaitu ikan
yang berukuran besar saat berada di tengah laut seperti perahu yang
tiba-tiba tenggelam karena cuaca buruk yang membuat gelombang air
laut meninggi, itulah mengapa perahu baru harus dikuliwa terlebih
dahulu agar terlindung dari marabahaya seperti tadi)
Aktivitas para nelayan Mandar dalam mengarungi lautan tidak dapat
dilepaskan dari unsur-unsur mistik. Kepercayaan masyarakat tentang hal
mistik seperti “penjaga laut” masih sangat kental sampai saat ini.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh narasumber di atas, bahwa makkuliwa
lopi adalah bentuk ungkapan rasa syukur serta senantiasa terlindung dari
“pa’jaga sasiq” atau dalam bahasa Indonesia berarti penjaga laut
sebagaimana yang diistilahkan orang tua terdahulu di Mandar. Penjaga laut
yang dimaksud adalah “ambolle” atau ikan yang berukuran besar. Jika ada
perahu yang tidak dikuliwa terlebih dahulu sebelum digunakan, maka akan
diganggu oleh pa’jaga sasiq, seperti perahu yang tiba-tiba tenggelam
dikarenakan cuaca buruk yang mengakibatkan gelombang air laut meninggi.
50
Arti dari ritual makkuliwa lopi juga agar para nelayan terhindar dari
marabahaya selama mengais rezeki di lautan.
Adapun penjelasan tentang tradisi makkuliwa lopi dari sudut pandang
agama yaitu:
“iya dzi’e makkuliwa lopi merupakan tradisi yang dilakukan posasiq
Mandar sejak dulu sampai sekarang. Dimana makkuliwa ini yakni
memanjatkan doa kepada Allah Swt serta mambaca barazanji sebagai
puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw. Selama tradisi makkuliwa
ini dilakukan tidak keluar dari ajaran Islam, maka boleh-boleh saja
dilakukan posasiq. Tetapi semua itu kembali lagi kepada keyakinan
masyarakat itu sendiri” (Wawancara, Imran 05/01/2021)
(Terjemahan: Makkuliwa lopi ini merupakan tradisi yang dilakukan
Nelayan Mandar sejak dulu sampai sekarang. Dimana makkuliwa ini
yakni memanjatkan doa kepada Allah Swt serta membaca barzanji
sebagai puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw. Selama tradisi
makkuliwa ini dilakukan tidak keluar dari ajaran Islam, maka boleh-
boleh saja dilakukan Nelayan. Tetapi semua itu kembali lagi kepada
keyakinan masyarakat itu sendiri)
tersebut, mengungkap bahwa tradisi makkuliwa merupakan tradisi yang
dilakukan nelayan Mandar sejak dulu sampai saat ini. kemudian tradisi
makkuliwa lopi juga dilakukan untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt
dan di dalamnya juga terdapat pembacaan barzanji sebagai puji-pujian
kepada Nabi Muhammad Saw. Tradisi tersebut juga boleh-boleh saja
dilakukan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, tetapi
semua itu tergantung dari keyakinan masyarakat tersebut.
Awal Mula Tradisi Makkuliwa lopi
Makkuliwa lopi merupakan tradisi yang dilaksanakan masyarakat
Mandar khususnya masyarakat Banggae yang merupakan daerah pesisir dari
51
jaman dahulu yang kemudian diwariskan oleh nenek moyang secara turun-
temurun dari generasi ke generasi, sehingga kegiatan makkuliwa lopi masih
ada sampai saat ini.
dilakukan secara turun temurun oleh para nelayan Mandar yang
berada di kecamatan Banggae sampai saat ini”
(D.2/Observasi/04/01/2021).
tradisi makkuliwa lopi tersebut merupakan tradisi yang masih dilakukan
sampai saat ini karena sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun
temurun, sehingga tradisi tersebut masih ada sampai saat ini.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap
masyarakat Banggae, tidak ketahui awal mula kapan dimulainya tradisi
makkuliwa lopi ini, semua narasumber mengatakan bahwa mereka
mendapatkan pengetahuan mengenai tradisi makkuliwa lopi dari orang tua
mereka yang juga berprofesi sebagai nelayan yang di wariskan turun
temurun dari nenek moyang mereka.
Seperti yang diungkapkan oleh narasumber yakni tukang lopi yang
berada di lingkungan Rangas, “Awal mulana ya nenek-nenek yang dulu
bassa nenek moyang, jadi kita ini keturunan”. Maksud dari ungkapan
narasumber tersebut bahwa tradisi makkuliwa lopi ini berawal dari nenek
moyang terdahulu yang kemudian diwariskan turun temurun dari generasi
ke generasi, sehingga tradisi tersebut masih ada sampai saat ini.
(Wawancara, Abdul R 07/01/2021)
Gambar 5.2 Proses wawancara bersama tukang lopi di kelurahan Rangas
07/01/2021
bahwa dengan melakukan ritual makkuliwa lopi ini akan mendatangkan
kebaikan dan kemudahan dalam menjalani profesinya sebagai pencari ikan
di laut. Pemahaman itulah yang menjadi dasar bagi para nelayan bahwa jika
melakukan tradisi makkuliwa akan mendatangkan kebaikan selama mengais
rezeki di lautan. Para nelayan juga menganggap bahwa tradisi ini harus
dilestarikan secara terus-menerus dan diwariskan kepada anak cucunya,
agar mereka juga mengetahui bahwa ada sebuah tradisi yang harus kita
lakukan ketika memiliki perahu baru yang di mana dalam tradisi tersebut
mengandung unsur keagamaan yaitu bentuk ungkapan rasa syukur kepada
Allah SWT. Sebagaimana yang diungkapkan oleh narasumber yang berada
di lingkungan Tanangan, yaitu:
“Tetap harus dilestarikan, supaya na issang to tia sana’eke manini
bahwa diang tu’u disanga makkuliwa lopi sebagai bentuk rasa
syukurta to ita para nelayan diang lopitta, apa iya disanga mappapia
lopi mai’di sanna i dana na (Wawancara, Naim 09/01/2021)
(Terjemahan: Tetap harus dilestarikan, supaya anak-anak kelak
mengetahui bahwa ada sebuah tradisi yaitu makkuliwa lopi sebagai
bentuk rasa syukur bagi para nelayan ketika memiliki perahu baru,
53
banyak)
Bagi nelayan yang berada di pesisir kecamatan Banggae menganggap
bahwa memiliki perahu baru adalah hal yang patut disyukuri, sebab tidak
mudah bagi masyarakat untuk memiliki sebuah perahu baru karena
membutuhkan dana yang lumayan banyak.
Gambar 5.3 Proses pembuatan perahu di kelurahan Rangas
Perkembangan Tradisi Makkuliwa lopi di Kecamatan Banggae
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis di kecamatan
Banggae, bahwa tradisi makkuliwa lopi yang dilaksanakan oleh masyarakat
Mandar di kecamatan Banggae sejak zaman nenek moyang terdahulu telah
mengalami perkembangan, baik itu perkembangan dari segi pemahaman
maupun perkembangan dari segi sistematika pelaksanaan ritual makkuliwa
lopi.
makkuliwa lopi meskipun tradisi makkuliwa lopi tersebut mengalami
perkembangan” (D.3/Observasi/05/01/2021)
bahwa tradisi makkuliwa masih dilakukan dan masih berkembang sampai
saat ini di daerah Banggae, meskipun tradisi tersebut mulai berkembang
54
baik dari segi pemahaman dan dari segi pelaksanaannya, masyarakat tetap
melakukan tradisi makkuliwa lopi sebagai suatu kebiasaan yang dilakukan
secara turun temurun.
makkuliwa lopi yang diperoleh penulis di kecamatan Banggae.
Perkembangan Pelaksanaan Makkuliwa lopi
wilayah Kecamatan Banggae dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan, seperti perkembangan dalam pelaksanaan makkuliwa lopi
yang dahulunya terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi masyarakat
untuk melakukan tradisi makkuliwa.
sesajian atau makanan-makanan yang akan disajikan sebelum
melakukan makkuliwa lopi” (D.4/Observasi/05/01/2021)
mengungkap bahwa pada saat ini para nelayan Mandar di kecamatan
Banggae melakukan makkuliwa lopi sesuai dengan kemampuan masyarakat
dalam memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini disebabkan karena, biaya
dalam memenuhi persyaratan makkuliwa cukup besar, terutama dalam
menyiapkan bahan-bahan atau sajian yang dibutuhkan ketika akan
melakukan kuliwa.
“Kurang lebih 1 juta, mua’ bassa katitting, tapi mua’ biasa kappal
kayyang di atas 1 juta” (Wawancara, Hamma Ali 07/01/2021)
55
(Terjemahan: Kurang lebih 1 juta, kalau seperti katitting (perahu yang
menggunakan mesin sebagai penggerak), tapi kalau perahu atau kapal
besar di atas 1 juta)
Hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap narasumber di atas
mengungkapkan bahwa dalam melakukan ritual kuliwa lopi membutuhkan
biaya yang cukup besar tergantung dari ukuran perahu tersebut. Dimana jika
perahu kecil yang akan dikuliwa maka biaya yang dibutuhkan hanya sedikit,
Semakin besar perahu maka semakin banyak biaya yang dibutuhkan pemilik
perahu.
Dalam melaksanakan ritual makkuliwa lopi terdapat beberapa syarat-
syarat yang harus dipenuhi, seperti syarat adanya kelengkapan sesajian
sebagaimana yang di ungkapkan oleh (Alimuddin, 2017) dalam melakukan
ritual makkuliwa lopi diperlukan menu ritual sebagai berikut:
a) Satu baki besar yang berisi tujuh piring sokkol (makanan yang
terbuat dari beras ketan) yang lima diantaranya terdapat satu butir
telur di tiap-tiap puncak sokkol.
b) Satu baki besar yang berisi enam sisir pisang, masing-masing satu
sisir loka manurung (pisang kepok), dua sisir loka tiraq (pisang
ambon), satu sisir loka barangan (pisang barangan), dan dua sisir
56
daun pisang, dan 14 kue cucur.
c) Satu baki besar yang berisi satu gelas air putih, tiga piring lauk,
masing-masing berisi daging ayam, ikan, dan sayur. Baki ini
diletakkan di dekat posiq lopi (pusar perahu atau sebuah lubang
kecil yang berada di bagian tengah perahu dan ditutupi kayu
berbentuk paku sebagai alat penyumbat agar air laut tidak masuk
ke dalam perahu).
d) Satu baki kecil yang berisi satu sisir loka tiraq dan di atas pisang
tersebut terdapat satu piring sokkol dan satu butir telur.
e) Barakkaq yang berisi hidangan tersebut di atas
f) Satu baki kecil yang berisi delapan gelas ule-ule (bubur kacang
hijau).
ritual tersebut, namun pada Zaman sekarang ini syarat-syarat tersebut sudah
menjadi hal yang tidak wajib untuk dipenuhi dan disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi pelaku ritual makkuliwa lopi karena membutuhkan
biaya yang cukup besar, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu
narasumber:
ingganna pa’ulleanna ya’ iya tappa’mo” (Wawancara, Ichwan
05/01/2021).
57
memenuhi syarat-syarat ritual sesuai dengan kemampuannya)
Gambar 5.5 Proses wawancara di kelurahan Baru
Maksudnya ialah masyarakat Banggae sudah menerapkan toleransi
terhadap nelayan yang melaksanakan tradisi makkuliwa lopi. Toleransi
tersebut berupa keringanan yang diberikan terhadap nelayan apabila nelayan
tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan dalam pelaksanaan makkuliwa,
seperti persyaratan yang terdapat dalam literatur Ridwan Alimuddin di atas.
Salah satu persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan sesajian pada poin
pertama yaitu satu baki besar yang berisi tujuh piring sokkol, namun pada
saat ini masyarakat yang tidak dapat memenuhi tujuh piring sokkol memiliki
toleransi untuk memenuhi persyaratan hanya satu pring sokkol disesuaikan
dengan kemampuan pemilik perahu, begitupun beberapa persyaratan yang
lain.
terjadi banyak perkembangan pemahaman masyarakat terhadap tradisi
makkuliwa. Perkembangan pemahaman tersebut berupa perubahan sudut
pandang masyarakat yang dulunya mengambil sudut pandang kepercayaan
nenek moyang terdahulu yang mempercayai adanya makhluk-makhluk
58
mistis yang di agungkan, sedangkan pada Zaman sekarang ini masyarakat
Banggae yang mayoritas nya menganut kepercayaan agama Islam merubah
sudut pandang mereka sesuai dengan syariat agama Islam.
Perubahan makna di atas sesuai dengan data yang diperoleh penulis
dari beberapa narasumber seperti yang dikatakan salah satu narasumber
yaitu:
“intinna dzi’o anna nikuliwa I lopinna karena bentuk rasa syukurna
to’o supaya dilindungi toi pa’jagana sasi’ na istilahkan to mauweng
atau ambolle/ bau kayyang nasanga to mauweng. Mua’ biasa lopi
ndang na kuliwa biasa na ganggui ambolle di lai’ di tanggana sasi’,
rapangi na patallang lopinna atau biasa tappa bara’I, mindai
lembong. Iya dzo’ anna nakuliwai supaya na lindungi marabahaya
bassa dzi’o” (Wawancara, Naim 09/01/2021)
(Terjemahan: Inti dari makkuliwa lopi ini adalah karena bentuk rasa
syukur kita supaya dilindungi dari ‘penjaga laut’ atau ikan besar
sebagaimana yang diistilahkan orang tua terdahulu. Terkadang perahu
yang tidak dikuliwa terlebih dahulu akan diganggu oleh penjaga laut
yaitu ikan yang berukuran besar saat berada di tengah laut seperti
perahu yang tiba-tiba tenggelam karena cuaca buruk yang membuat
gelombang air laut meninggi, itulah mengapa perahu baru harus
dikuliwa terlebih dahulu agar terlindung dari marabahaya seperti tadi)
Sedangkan pemahaman yang disandarkan kepada agama Islam
mengatakan:
yang dilaksanakan berdasarkan tradisi yang sudah ada, yakni ketika
ada perahu baru yang akan diturunkan ke laut dan dipakai untuk
mencari nafkah. Intinya adalah bagaimana agar perahu itu mendapat
berkah” (Wawancara, Hasanuddin 10/01/2021).
pemahaman masyarakat pada saat \ memiliki pemahaman yang berbeda,
dimana dahulu para nelayan ketika hendak melakukan sebuah tradisi
makkuliwa lopi berharap agar dilindungi oleh pa’jaga sasiq (penjaga laut)
59
atau ikan yang berukuran besar. Tetapi pada saat ini, masyarakat yang
mayoritas nya memeluk agama Islam merubah sudut pandang mereka
bahwa ketika melakukan kuliwa tidak berharap lagi agar dilindungi dari
pa’jaga sasiq, tetapi agar dilindungi oleh penjaga alam semesta yaitu Allah
SWT, dan berharap agar apa yang mereka lakukan itu mendapatkan sebuah
keberkahan sesuai yang dipaparkan narasumber di atas.
Pemaknaan Masyarakat Mandar di Kecamatan Banggae Kabupaten
Majene Terhadap Tradisi Makkuliwa Lopi
Makkuliwa lopi di mata masyarakat Banggae merupakan ritual yang
dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus menjadi
momen untuk memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar lopi (perahu) baru
mereka selalu berada dalam penjagaan nya ketika mereka melaut dan untuk
keselamatan bersama dalam mengais rezeki selama melaut. Sesuai dengan
yang dikatakan oleh seorang nelayan bahwa:
“Makna dari makkuliwa lopi adalah untuk keselamatan bersama
dalam mencari rezeki, mudah-mudahan hasil dari semua itu ada
berkah dari Allah SWT” (Wawancara, Irfan 10/01/2021).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di kecamatan
Banggae, masyarakat Mandar yang merupakan sebagian besar berprofesi
sebagai seorang nelayan tersebut memberikan pemaknaan mengenai tradisi
makkuliwa bahwa dalam melakukan kuliwa merupakan suatu bentuk
ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT karena telah memiliki perahu baru
yang akan digunakan oleh para nelayan dalam mengais rezeki selama
melaut. Nelayan Mandar di Banggae juga berharap kepada Allah SWT agar
60
serta dilindungi dari marabahaya yang dapat mengancam jiwa para nelayan.
Karena mengarungi sebuah lautan adalah pekerjaan yang tidak mudah bagi
masyarakat pada umumnya.
yang akan dilakukan oleh pelaksana makkuliwa itu sendiri. Tahapan-
tahapan tersebut ialah persiapan, proses dalam makkuliwa lopi. Berikut
adalah tahapan-tahapan pelaksanaan makkuliwa lopi di daerah Banggae.
Tahap Persiapan
Pada tahap ini, pelaksana makkuliwa atau pemilik perahu terlebih
dahulu menyiapkan perahu atau lopi yang akan dikuliwa. Perahu atau lopi
merupakan benda utama yang harus ada dalam proses makkuliwa ini.
Setelah menyiapkan perahu yang akan dikuliwa, pemilik perahu kemudian
menentukan waktu untuk melakukan tradisi makkuliwa. Pemilik perahu
melakukan diskusi dengan orang yang mengetahui mengenai penentuan hari
baik dalam melaksanakan tradisi makkuliwa, biasanya hari-hari baik
tersebut ialah hari senin dikarenakan masyarakat Banggae meyakini bahwa
hari senin merupakan hari yang mulia karena pada hari itu hari dimana Nabi
Muhammad SAW dilahirkan sesuai dengan data yang didapatkan oleh
penulis dari salah satu narasumber.
61
kemudian hari Rabu, Jum’at dan sabtu.” (Wawancara, Jasman
04/01/2021)
pemilik perahu menyiapkan bahan-bahan atau sesaji yang dibutuhkan dalam
makkuliwa sesuai dengan syarat-syarat dalam ritual tersebut. Dalam
melakukan ritual makkuliwa lopi, pemilik perahu juga menyiapkan
makanan yang akan disantap bersama-sama setelah ritual makkuliwa di atas
perahu selesai. Hal itu merupakan suatu ungkapan rasa syukur bagi pemilik
perahu dengan menghidangkan makanan yang akan disantap bersama-sama.
Adapun syarat-syarat sesaji dalam makkuliwa lopi berupa sokkol
(makanan yang terbuat dari beras ketan), tallo manu (telur ayam), cucur (kue
pelang), loka manurung (psang kepok), loka tiraq (pisang ambon), loka
barangan (pisang barangan), loka balambang (pisang raja), dan ule-ule
(bubur kacang hijau).
menyiapkan bahan-bahan sesaji tersebut berupa sokkol, tallo manu, cucur,
pisang 4 macam (loka manurung, loka tiraq, loka barangan, loka balambang)
dan ule-ule yang kemudian diletakkan dalam beberapa baki. Setelah sesaji
atau bahan-bahan sudah siap, maka pemilik perahu membawa sesaji tersebut
ke atas perahu yang akan dikuliwa.
62
tersebut di atas perahu yang akan dikuliwa. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis, salah satu narasumber mengungkapkan bahwa:
“Makkuliwa lopi bassa dzi’o seumpama diang kappal baru ya
dikuliwai dolo, seperti mambaca-baca, mappasadiai tau sokkol dan
lain-lain, kmudian mambaca di kappal” (Wawancara, Maryam
05/01/2021)
perahu yang baru, dimana harus dikuliwa terlebih dahulu atau
semacam baca-baca, kita menyiapkan sokkol dan lain-lain,
kemudian melakukan ritual tersebut di atas perahu)
Gambar 5.6 Proses wawancara di kelurahan Pangali-ali
Dalam pelaksanaan tradisi makkuliwa lopi yang dilakukan di atas
perahu, ada beberapa komponen yang terlibat di dalamnya yaitu Imam
Masjid, pemilik perahu, para sawi’ (anak buah perahu), punggawa lopi
(nakhoda perahu). Para pelaksana makkuliwa yang berada di atas perahu
mulai melakukan duduk bersila. Kemudian imam masjid melakukan
barzanji dan pembacaan doa. Pemilik perahu, sawi’, serta nakhoda perahu
juga ikut berdoa dalam proses ritual yang sedang diikuti.
Setelah ritual makkuliwa di atas perahu dilakukan, maka acara
selanjutnya adalah makan bersama, dimana para pelaksana makkuliwa
menyantap hidangan sajian yang ada di atas perahu tersebut. Setelah semua
63
rangkaian ritual yang dilakukan di atas perahu selesai, maka para komponen
yang terlibat dalam proses ritual tadi kembali ke rumah pemilik perahu
untuk menyantap hidangan yang telah disiapkan pemilik perahu sebelumnya
bersama para tetangga yang turut di undang oleh pemilik perahu.
Setelah melakukan acara inti ritual makkuliwa lopi dan makan
bersama, selanjutnya dilakukan kegiatan mapparondong lopi.
Mapparondong lopi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mempertemukan perahu dan air laut atau peluncuran perahu. Kegiatan
tersebut dilakukan oleh pelaksana makkuliwa lopi termasuk para tetangga
yang diundang dan turut hadir dalam acara tersebut.
Makna di Balik Sesaji dalam Makkuliwa lopi
Dalam pelaksanaan ritual makkuliwa lopi, masyarakat Mandar
khususnya masyarakat nelayan di daerah Banggae, menggunakan sesaji
dalam ritual makkuliwa lopi, sesaji tersebut dibutuhkan sebagai syarat
terlaksananya ritual makkuliwa lopi. Sesaji yang dimaksud merupakan
makanan-makanan yang disiapkan oleh pemilik perahu sebelum melakukan
tradisi makkuliwa lopi.
1. Sokkol (makanan yang terbuat dari beras ketan)
Sokkol merupakan makanan khas yang terbuat dari beras ketan yang
bermakna kesejahteraan. Dimana orang-orang terdahulu menjadikan
64
sokkol sebagai makanan pokok yang mudah didapatkan sebelum adanya
beras biasa