makalah sag

Upload: kartika-amalia-silalahi

Post on 17-Jul-2015

402 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Mata kuliah : Sistem Agribisnis Dosen : Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc

Tanggal : 14 Desember 2011

DAMPAK KEBIJAKAN IMPOR GULA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN GULA NASIONAL

Disusun oleh : Arif Kurniadi Astrid Harera Valentina Kartika Amalia Mochamad Iskandarsyah Riza Purbo Widiasto

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

ABSTRAK

Keyword :

I. PENDAHULUAN

Secara historis, perkebunan gula merupakan salah satu perkebunan

dan

industri tertua yang berada di Indonesia sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Indonesia pernah mengalami masa kejayaan industri gula nasional pada tahun 1930-an dimana produksi gula nasional mencapai 3 juta ton dan ekspor gula mencapai 2.4 juta ton. Hal ini terjadi berkat adanya kemudahan dalam

memperoleh tenaga kerja yang murah, irigasi yang baik, pemanfaatan teknologi yang tepat guna, dan masih tersedianya lahan yang subur (Simatupang et al dalam Susila 2005). Dewasa ini, industri gula nasional mengalami kemunduran dalam hal jumlah pabrik gula dan produksi gula nasional. Menurut Dewan Gula Nasional (2000), saat ini terdapat 60 pabrik gula yang aktif dimana 43 pabrik dikelola oleh BUMN, dan 17 pabrik dikelola oleh swasta. Luas area tebu yang dikelola sekitar 341.057 ha yang umumnya berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung dan Suwalesi Selatan. Penurunan produksi gula nasional salah satu penyebabnya adalah

penurunan harga gula internasional yang berdampak pada kemunduran industri gula nasional. Salah satu penyebab harga gula internasional menurun adalah adanya kebijakan hampir semua negara produsen utama dan konsumen utama melakukan intervensi terhadap industri dan perdagangan gula Hal diatas berpengaruh pada produksi gula nasional yang cenderung mengalami penurunan sedangkan kebutuhan gula dalam negeri cenderung meningkat Untuk mensiasatinya, pemerintah melakukan impor gula agar kebutuhan gula dalam negeri cukup. Namun impor gula yang terjadi cenderung meningkat dari tahun ke tahun dimana pada periode 1999-2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Impor gula yang terus meningkat dapat membahayakan industri gula dalam negeri . Pertama, dapat mematikan para petani tebu dan tenaga kerja industri gula yang berjumlah 1.4 juta jiwa. Kedua, kebangkrutan industri gula juga berkaitan dengan aset yang sangat besar, yakni bernilai sekitar Rp. 50 triliun. Ketiga, gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang berpengaruh langsung terhadap inflasi.

Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai dampak dari kebijakan impor gula yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap pemenuhan kebutuhan gula nasional yaitu produksi gula, harga, dan konsumsi gula dalam negeri.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi Gula di Indonesia

Secara umum, ada dua tipe pengusahaan tanaman tebu. Untuk pabrik gula (PG) swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan (estate) dimana PG sekaligus memiliki lahan HGU untuk pertanaman tebunya, seperti Indo Lampung dan Gula Putih Mataram. Untuk PG milik BUMN, terutama yang berlokasi di Jawa, sebagian besar tanaman tebu dikelola oleh rakyat. Dengan demikian, PG di Jawa umumnya melakukan hubungan kemiteraan dengan petani tebu. Secara umum, PG lebih berkonsentrasi di pengolahan sedangkan petani sebagai pemasok bahan baku tebu. Dengan sistem bagi hasil, petani memperoleh sekitar 66% dari produksi gula petani, sedangkan PG sekitar 34%. Petani tebu di Jawa secara umum didominasi (70%) oleh petani kecil dengan luas areal kurang dari 1 ha. Proporsi petani dengan areal antara 1-5 ha diestimasi sekitar 20%, sedangkan yang memiliki areal diatas 5 ha, bahkan sampai puluhan ha diperkirakan sekitar 10%. Bagi petani yang arealnya luas, sebagian lahan mereka pada umumnya merupakan lahan sewa (Suryana, A, 2005). Pengusahaan tebu di Jawa dapat dibedakan atas tebu rakyat yang di tanam di lahan sawah dan lahan kering, serta tebu milik pabrik gula (Malian, 1998). Sebelum deregulasi industri gula pada tahun 1998, pengusahaan tebu dapat dibedakan atas pertanaman kolektif dan pertanaman individual (Rachmat, 1992). Pertanaman kolektif merupakan usahatani tebu dalam satu hamparan yang pengelolaannya di tangani oleh kelompok tani. Sedangkan pertanaman individual pengelolaannya dilakukan oleh petani secara individu. Namun setelah deregulasi industri gula, sebagian besar pertanaman tebu rakyat merupakan usahatani individu. Setelah mengalami masa kejayaan pada tahun 1930-an dengan produksi mencapai 3,1 juta ton dan ekspor 2,4 juta ton, industri gula mengalami pasang surut. Pada saat ini, luas areal tanaman tebu Indonesia mencapai 473 ribu hektar dengan total produksi sebesar 3..159.836 ton (Tabel 1.). sekitar 289 ribu hektar atau 61% berada di jawa. Dari luasan pertanaman tebu di Jawa tersebut, sekitar 40 persen diusahakan di lahan sawah dan 60 persen di lahan tegalan. Namun karena

tebu tidak lagi mampu bersaing dengan tanaman alternatifnya, khususnya padi, tanaman tebu sejak akhir tahun 1980-an semakin tersingkir dari lahan sawah berpengairan teknis. Sebagai akibatnya, di Jawa saat ini pertanaman tebu hampir seluruhnya berada di lahan sawah tadah hujan dan lahan tegalan, sementara di luar Jawa seluruhnya diusahakan di lahan tegalan. Perlu diketahui, potensi produktivitas tanaman tebu di lahan kering hanya sekitar 70 persen dari produktivitas tanaman tebu di lahan sawah yang berpengairan teknis.

Tabel 1.

Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tebu 1990 - 2011

Adanya kebebasan bagi petani untuk memilih komoditas yang akan diusahakan, telah menyebabkan luas areal pertanaman tebu dan produksi gula di Indonesia menurun. Data dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, tingkat rendemen dan produksi gula mengalami penurunan sejalan dengan liberalisasi perdagangan dan dihapuskannya subsidi gula sejak 1 Oktober 1998. Penurunan tersebut terkait dengan insentif yang masih diberikan terhadap komoditas tanaman pangan (khususnya beras), serta terjadinya peningkatan harga pupuk yang mencapai dua kali lipat. Disamping itu harga gula

di pasar domestik menunjukkan penurunan, sehingga sebagian besar petani tebu mengalami kerugian. Berkurangnya pasokan bahan baku tebu telah memberikan dampak langsung terhadap industri gula nasional. Dari 71 pabrik gula yang ada saat ini, hanya 63 pabrik yang masih beroperasi. Kapasitas setiap pabrik gula tersebut berkisar antara 1.000 - 12.000 ton hablur, dengan areal pertanaman tebu mencapai hampir 400.000 ha. Secara umum industri gula nasional saat ini hanya ditopang oleh beberapa pabrik gula BUMN yang efisien dan pabrik gula swasta (A. Husni Malian dan Saptana. 2002). Produksi gula dalam negeri diperkirakan 2,3 juta-2,4 juta ton pada tahun 2011, angka tersebut menjadi patokan bahwa tahun depan pasar domestik masih kekurangan sekitar 300.000 ton 500.000 ton gula (Krisnamurthi, B, 2011). Adanya rencana impor gula pada awal 2012 mendatang menyusul hasil perhitungan Dewan Gula Indonesia (DGI) bahwa produksi gula pada 2011 hanya mencapai 2,31 juta, meleset dari target produksi tahun ini sebesar 2,5 juta ton (DGI, 2011) kebutuhan gula rata-rata nasional sebesar 220-240 ribu ton/bulan (Ari, N dan Jati, K, 2011).

2.2 Perkembangan harga rata-rata gula domestik Permintaan gula akan turun akibat tingginya harga, tetapi selera konsumen yang sudah terbiasa mengkonsumsi makanan yang manis atau jenis minuman yang mengandung/memakai gula tidak akan begitu saja menurunkan jumlah konsumsi gula masyarakat secara drastic, hal ini karena gula sangat dibutuhkan masyarakat dan termasuk ke dalam Sembilan bahan makanan pokok. Harga gula domestik cenderung meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan gula impor lebih murah karena kondisi industri pergulaan di Negara-negara pengimpor gula lebih baik sehingga biaya produksi mereka tidak setinggi di Indonesia. Harga rata-rata gula di 33 kota di Indonesia pada Januari 2011 naik sebesar 0,3 persen jika dibandingkan dengan Desember 2010. Sedangkan jika dibandingkan dengan Januari 2010, terjadi penurunan harga sebesar 1,1 persen

(Tabel 2.). Rata-rata harga gula pada Januari 2011 mencapai Rp.11.179,-/kg, sedangkan pada Desember 2010 sebesar Rp.11.150,- /kg.

Tabel 2. Harga Rata-rata mingguan gula di Indonesia (Rp/Kg)

Sumber : dinas Perindag 2010-2011

Secara rata-rata nasional, fluktuasi harga gula relatif stabil yang diindikasikan oleh koefisien keragaman harga bulanan untuk periode bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Januari 2011 sebesar 3,4 persen. Hal ini berarti perubahan rata-rata harga bulanan adalah sebesar 3,4 persen. Jika dilihat per kota, fluktuasi harga berbeda antar wilayah. Kota Jayapura, kota Palu dan kota Jakarta adalah contoh kota-kota yang perkembangan harganya sangat stabil dengan koefisien keragaman di bawah 5% persen yaitu sebesar 1,8; 2,9, dan 3,3. Di sisi lain, kota Makasar, kota Mamuju, dan kota Banjarmasin adalah beberapa kota dengan harga yang paling bergejolak dengan koefisien keragaman harga lebih dari 9 persen yaitu sebesar 10,5; 9,8 dan 9,3 persen (IKU koefisien keragaman Kementerian Perdagangan 5-9). Koefisien keragaman harga antar wilayah pada bulan Januari 2011 sebesar 6,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara nasional disparitas harga gula antar wilayah relatif rendah. Wilayah yang harganya relatif tinggi adalah kota Manokwari dengan tingkat harga sebesar Rp.13.550,-/kg dan kota Pekanbaru dengan tingkat harga sebesar Rp.12.500,-/kg. Wilayah yang tingkat harganya relatif rendah adalah kota Kendari, kota Yogyakarta dan kota Pontianak dengan harga sebesar Rp. 10.500,-/kg, Rp.10.480,-/kg, dan Rp.9.769,-/kg. (sumber: disperindag, Januari 2011)

Grafik 1. Perkembangan harga gula (BPS, Dipsperindag 2000-2011)

2.3 Kebijakan Impor Gula Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat. Jika impor gula hanya dilakukan pihak swasta, maka harga jual di pasaran domestik akan fluktuatif (Alimoeso, Sutarto, 2011). Sampai akhir Februari 2011 setidaknya sudah ada kontrak realisasi impor gula sebanyak 30.000 ton. Sejumlah kontrak gula impor itu berasal dari importir terdaftar (IT) perusahaan plat merah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebelumnya telah mengeluarkan izin impor gula kristal putih (GKP) sebanyak 450.000 ton. Izin impor ini diberikan kepada importir terdaftar (IT) sebanyak 6 BUMN.Izin impor itu diberikan kepada PTPN X sebanyak 90.000 ton, PTPN IX sebanyak 70.000 ton, PTPN XI sebanyak 90.000 ton, RNI sebanyak 50.000 ton, PPI sebanyak 90.000 ton, dan BULOG 60.000 ton. Izin impor ini dikeluarkan pada 8 September 2010 untuk periode impor 1 Januari 2011 hingga 15 April 2011. Impor GKP untuk menutupi kekurangan pasokan gula di dalam negeri sebelum musim giling periode Januari-April 2011 (Saleh, Deddy, 2011).

Tabel 3. Impor non migas indonesia sepuluh golongan barang utama H2S 2 dijit Januari 2010 dan 2011

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) http://wwww.bps.go.id, diakses 9 desember 2011

Latar Belakang Impor Gula Gula dalam negeri tidak dapat bersaing dengan gula impor karena petani dinegara pengekspor diberi subsidi oleh pemerintahnya. Pemerintah Indonesia tidak memiliki dana untuk memberikan subsidi. Petani tebu sangat tergantung kepada industri gula karena tidak ada pilihan untuk menjual tebunya kepada industri yang berada jauh dari lokasi sehingga posisi tawarnya sangat rendah. Perlu diberikan insentif kepada industri gula dan mewajibkan untuk membeli (menyangga) gula petani pada tingkat harga yang wajar agar petani mampu memperbaiki budi daya tanamannya.

Tujuan Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sehingga mampu memperbaik budi daya tanaman tebu. Industri gula dapat melakukan restrukturisasi industrinya. Menjamin pemenuhan kebutuhan gula didalam negeri baik untuk konsumen maupun untuk industri.

Dasar Hukum a. Keppres Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan gula sebagai Barang Dalam Pengawasan. b. Keppres Nomor 58 Tahun 2004 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/2004 tanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula. d. Peraturan MENDAG No. 08/M-DAG/PER/4/2005 perubahan Kep. MENDAG No. 02/M/Kep/XII/2004 tentang perubahan Kep. Menperindag No.

527/MPP/Kep/9/2004

Pokok-Pokok pengaturan Impor gula konsumen hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) yang ditunjuk Depperindag yang memenuhi syarat minimal 75 % bahan baku bersumber dari petani. Untuk gula industri hanya dapat diimpor oleh Importir Produsen (IP) yang ditunjuk depperindag. Importasi gula dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan impor terlebih dahulu dari Depperindag dan jumlah yang boleh diimpor ditentukan bersamasama dengan instansi/asosiasi terkait. Importir terdaftar yang mendapat izin wajib membeli/menyangga harga gula ditingkat petani rendah Rp. 4.800,-/kg Impor dapat dilakukan apabila : - Diluar masa 1 bulan sebelum musim giling, musim giling dan 2 bulan setelah musim giling. - Harga pembelian ditingkat petani diatas harga Rp. 4.800,-/kg. - Produksi dan atau persediaan gula kristal putih didalam negeri tidak mencukupi kebutuhan.

Jenis gula yang dapat diimpor : a. Gula kristal mentah/gula kasar (raw sugar) adalah gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi yang termasuk dalam Pos Tarip/HS. 1701.11.00.00 dan 1701.12.00.00.

b. Gula Kristal Rafinasi (Refinet sugar) adalah gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, yang termasuk dalam Pos Tarip/HS 701.99.11.00 dan 1701.99.19.00. c. Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) adalah gula yang dapat dikonsumsi langsung tanpa proses lebih lanjut, yang termasuk dalam Pos Tarip/HS 1701.91.00.00 dan 1701.99.90.00.

Pelaksana Impor a. Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) dan Gula Kristal Rafinasi (Refinet Sugar) hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Importer Gula (IP) Gula. b. Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) dan Gula Kristal Rafinasi (Refinet Sugar) yang diimpor oleh IP Gula sebagaimana di maksud dalam ayat (2) hanya di pergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi dari hasil industri yang dimiliki oleh IP Gula dan di larang diperdagangkan maupun dipindah tangankan. c. Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) hasil industri yang dimiliki oleh IP Gula Kasar yang bersumber bahan bakunya berupa Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw sugar) berasal dari impor hanya dapat diperjualbelikan atau didistribusikan kepada industri dan dilarang diperdagangkan ke pasar di dalam negeri. d. Impor Gula Putih (Plantation White Sugar) yang memenuhi ketentuan dibawah ini hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Gula (IT Gula). Ketentuan tsb antara lain: 1. Gula Kristal Putih (Plantation White sugar) hanya dapat diimpor : a) Di luar Masa : - 1 (satu) bulan sebelum musim giling tebu rakyat, musim giling tebu rakyat. - 2 (dua) bulan setelah musim giling tebu rakyat. b) Apabila harga Gula Kristal Putih (Plantation White sugar) di tingkat petani mencapai di atas Rp.3.800,/kg (tiga ribu delapan ratus rupiah per kilogram)

c) Apabila produksi dan atau persediaan Gula Kristal Putih (Plantation White sugar) didalam negeri tidak mencukupi kebutuhan. 2. Musim giling tebu rakyat ditentukan oleh Menteri Pertanian. 3. Penentuan keadaan harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani mencapai diatas Rp. 3.800,-/kg (tiga ribu delapan ratus rupiah per kilogram) dan atau keadaan produksi dan atau persediaan Gula Krista I Putih (Plantation White sugar) di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan didasarkan pada hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait. 4. Harga Gula Kristal Putih (Pantation White Sugar) ditingkat petani sebesar Rp.3.400/kg (tiga ribu empat ratus rupiah per kilogram) dapat diubah dan ditetapkan lain oleh Menteri setelah mempertimbangkan hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait (Kemenperin, 2007).

Tarif impor pada dasarnya dapat dibedakan atas tiga jenis (Salvatore, 1995), yaitu: Tarif spesifik; (2) Tarif ad valorem; dan (3) Tarif campuran, yaitu dengan menerapkan kedua jenis tarif terdahulu secara bersamaan. Tarif spesifik adalah tarif yang dikenakan sebagai beban tetap dari setiap unit barang yang diimpor. Tarif ad valorem adalah tarif yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari harga barang yang diimpor. Besarnya tarif ad valorem ini harus dibayar oleh importir dalam mata uang lokal, yang besarnya ditentukan oleh nilai tukar rupiah. Sebelum bulan Juli 2002, pemerintah menerapkan tarif ad valorem sebesar 25 persen untuk gula putih yang diimpor. Selain itu kepada pabrik makanan olahan diberikan kemudahan impor, dengan tarif yang lebih rendah. Penerapan tarif impor gula yang rendah dalam kondisi nilai tukar rupiah yang makin menguat terhadap US $ telah menurunkan harga gula paritas impor di Indonesia. Untuk menjaga stabilitas harga gula di pasar domestik, pemerintah. sejak bulan Juli 2002 pemerintah telah menetapkan tarif impor spesifik untuk komoditas gula impor, yaitu sebesar Rp. 550/kg untuk gula tebu (raw sugar) dan Rp. 700/kg untuk gula putih (refined sugar) (A, Husni Malian dan Saptana. 2002).

Tabel 4. Perkembangan kebijakan pergulaan NasionalNo/SK/Keppres/Kepmen Keppres No.43/1971,14 juli 1971 Surat mensegneg no.B136/ABN SEKNEG/3/74,27 Maret 1974 Inpres no.9/1975, 22 April 1975 Kepmen perdagangan dan koperasi no.122/kp/III/81,12 Maret 1981 Kepmenkeu no.342/KMK.011/1987 Perihal Pengadaan, penyaluran dan pemasaran gula Pengusaan,pengawasan,dan penyaluran gula pasir non PNP Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) Tataniaga gula pasir dalam negeri Tujuan Menjaga stabilitas pasokan gula sebagai bahan pokok Penjelasan mengenai kepres no.43/1971 yang meliputi PNP Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Menjamin pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Menjamin stabilitas harga,devisa,serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik Memberikan kebebasan kepada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar Pemberian peranan kepada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Kebebasan kepada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan inpres no.12/1992 Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industry dalam negeri Peningkatan efektivitas bea masuk Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importer gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen Revisi dan mempertegas kepmenperindag no.643/MPP/Kep/9/2002,23 September 2002

UU no.12/1992

Penetapan harga gula pasirproduksi dalam negeri dan impor Budidaya tanaman

Inpres no. 5/1997, 29 Desember 1997 Inpres no. 5/1998, 21 januari 1998

Program pengembangan tebu rakyat Penghentian pelaksanaan inpres no.5 /1997 Komoditas yang diatur tataniaga impornya Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Tataniaga impor gula

Kepmen Perindag No.25/MPP/Kep/1998 Kepmenhutbun no.282/KptsIX/1999, 7Mei 1999 Kepmenperindag No.230/MPP/Kep/6/1999, 5 Agustus 1999 Kepmenperindag No.363/MPP/Kep/8/1999, 5 Juni 1999 Kepmenkeu No.324/KMK.01/2002 Kepmenperindag no.643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002

Mencabut kemenperindag No.363/MPP/Kep/8/1999 Perubahan bea masuk Tataniaga impor gula

SK 522/MPP/Kep/9/2004

Tentang peraturan impor gula

Tentang ketentuan impor gula Kepmenperindag 19/MDAG/PER/5/2008 Kepmenperindag 20/MDAG/PER/5/2010 menjaga persedian dan stabilitas harga Gula Kristal Putih

perubahan kelima atas keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor 527/mpp/kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Penetapan harga patokan petani (hpp) Gula kristal putih (plantation white sugar)

Sumber : sudana et.al. (2000) dan Susila (2002); Bisnis Indonesia (2004)

2.4 Permasalahan Gula Domestik Masalah pergulaan nasional yang dihadapi saat ini adalah tidak terpenuhinya kebutuhan gula nasional. Indonesia sampai saat ini masih mencatat defisit gula hingga 2,7 juta ton. Aris Toharisman, peneliti Pusat Penelitian

Perkebunan Gula Indonesia, mengatakan produksi gula nasional saat ini hanya 2,3 juta ton. Di sisi lain, konsumsi gula nasional mencapai 5,01 juta ton. Faktor yang menjadi penyebabnya, berkisar pada produktivitas gula yang cenderung turun serta efisiensi pabrik gula yang rendah. Faktor yang menyebabkan penurunan produksi diantaranya: 1. Penurunan areal dan peningkatan areal tebu regalan. 2. Penurunan produktivitas lahan. 3. Penurunan efisiensi di tingkat pabrik. Penurunan produksi gula secara nasional merupakan suatu akibat yang komplek, baik ditinjau dari segi teknologi, ekonomi dan sosial budaya. Secara teknis penurunan produksi gula diakibatkan karena semakin rendahnya produktifitas lahan dan rendahnya efisiensi pabrik-pabrik gula dalam negeri, yang selanjutnya akan mengakibatkan daya saing gula domestik di pasar gula internasional rendah. Dari sisi ekonomi dapat diamati bahwa kurangnya modal petani dan ditambah sering terlambatnya pencairan kredit semakin menambah rendahnya mutu pengusahaan tebu oleh petani sedangkan dari sisi sosial, yang sebenarnya merupakan akibat dari kedua hal diatas, adalah menurunya tingkat kepercayaan petani pada model pengelolaan kelompok hamparan maupun pada semua hal yang dianggap prakarsa pabrik gula. Permasalahan diatas menuntut adanya upaya peningkatan kemampuan produksi dalam negeri yang dijamin kuantitas dan kualitas pasokan tebu serta produksi dan produktifitas pabrik gula. Untuk menjamin kualitas pemerintah menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk komoditi Gula Kristal Putih (GKP) produksi lokal. Data yang dirilis Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), menyebutkan pada musim giling 2008, belum semua pabrik gula memenuhi standar ICUMSA dari SNI sebesar 300 IU. Hal ini menyebabkan ketergantungan terhadap impor semakin meningkat. Adanya kebebasan bagi petani untuk memilih komoditas yang akan diusahakan, telah menyebabkan luas areal pertanaman tebu dan produksi gula di Indonesia menurun. Berkurangnya pasokan bahan baku tebu telah memberikan dampak langsung terhadap industri gula nasional. Kinerja pabrik gula BUMN secara umum makin tidak efisien, juga memberi kontribusi dalam rendahnya

kemampuan pemenuhan kebutuhan gula nasional, yang antara lain disebabkan oleh : 1. Rendahnya rendemen pasokan tebu yang dihasilkan petani, sebagai akibat dari mandegnya adopsi teknologi dan bergesernya areal pertanaman tebu dari lahan sawah ke lahan kering. Meningkatnya biaya sewa lahan, sehingga tanaman tebu kurang kompetitif dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan dan tembakau. 2. Peningkatan biaya transport yang harus dikeluarkan, karena jauhnya jarak yang harus ditempuh antara sentra produksi tebu dengan pabrik gula. Terbatasnya re-investasi yang dilakukan oleh pabrik gula, sehingga pengolahan tebu yang diterapkan masih menggunakan peralatan dan mesin penggilingan yang sudah usang. 3. Banyaknya birokrasi yang terlibat dalam penanganan industri gula, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economics) dalam industri gula. Faktor lain yang menjadi masalah adalah berkaitan dengan implementasi kebijakan tataniaga impor yang secara umum membatasi importir terdaftar menjadi hanya PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, dan Bulog. Jika badan usaha tersebut tidak mampu mendukung pelaksanaan kebijakan tataniaga impor, maka momentum yang baik tersebut akan hilang. Gejolak harga yang pernah terjadi pada bula April karena keterlambatan impor yang dilakukan oleh badan usaha tersebut adalah salah satu contoh masalah yang tidak boleh terulang. Dengan perkataan lain, badan usaha tersebut harus mampu memanfaatkan proteksi yang diberikan dengan bekerja secara profesional, bebas dari KKN, suatu kelemahan yang sering dialamatkan ke badan usaha tersebut. Masalah lain yang perlu diantisipasi adalah penyelundupan dan adanya upaya-upaya para rent seeker untuk mencari keuntungan yang berlebihan dari pergulaan Indonesia. Berbagai upaya dapat dilakukan oleh mereka untuk mengontrol pergulaan nasional sesuai dengan arah yang diinginkan mereka. Gejolak harga yang demikian tinggi pada bulan April 2003 salah satunya dipicu oleh upaya-upaya mereka.. Adanya penyelundupan ini dapat mempengaruhi berkurangnya pasokan untuk kebutuhan gula nasional.

III. PEMBAHASAN

Efektivitas Kebijakan Impor Gula Gula merupakan salah satu komoditi penting di pasar internasional. Beberapa produsen terbesar di Dunia adalah Brazil, India, Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia, dan Thailand. Di sisi lain, negara importir utama antara lain adalah China, Indonesia, dan beberapa negara pecahan Uni Soviet (Suryana, A, 2005). Banyaknya jumlah penduduk Indonesia menyebabkan konsumsi

masyarakat akan gula juga semakin meningkat, kebutuhan gula rata-rata nasional untuk tahun 2011 sebesar 220-240 ribu ton/bulan (Ari, N dan Jati, K, 2011). Jika dilihat dari kebutuhan gula tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi gula domestik. Produksi gula dalam negeri diperkirakan 2,3 juta-2,4 juta ton pada tahun 2011, angka tersebut menjadi patokan bahwa tahun depan pasar domestik masih kekurangan sekitar 300.000 ton 500.000 ton gula (Krisnamurthi, B, 2011). Adanya rencana impor gula pada awal 2012 mendatang menyusul hasil perhitungan Dewan Gula Indonesia (DGI) bahwa produksi gula pada 2011 hanya mencapai 2,31 juta, meleset dari target produksi tahun ini sebesar 2,5 juta ton (DGI, 2011). Permintaan akan gula pasir akan terus meningkat dengan pertambahan jumlah penduduk dan apabila banyak industri makanan dan minuman yang memakai bahan baku gula pasir. Menurut Poli (1992) bahwa dengan besarnya permintaan tanpa diimbangi dengan penawaran yang seimbang maka akan memicu naiknya harga, dimana dalam hukum permintaan lebih besar dari penawaran maka harga akan meningkat, sebaliknya apabila permintaan lebih kecil daripada penawaran maka harga akan turun. Produktivitas gula Indonesia saat ini sangat jauh jika dibandingkan pada tahun 1930 dimana pada masa tersebut Indonesia dapat memproduksi gula mencapai 3,1 juta ton dan ekspor 2,4 juta ton. Sebagian besar tanaman tebu di Indonesia dominasi dikelola oleh petani tebu rakyat. Permasalahan perluasan areal tebu di Indonesia yang hampir seluruhnya dikerjakan oleh petani rakyat erat kaitannya dengan masalah pendapatan petani tebu yang diakibatkan antara lain oleh tingkat produktivitas produksi dan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan

dengan input seperti penyediaan pupuk, peralatan pertanian, serta sarana transportasi dan output seperti pemberian modal usahatani, penyaluran kredit usaha dengan bunga rendah, serta pemberian subsidi pemerintah terhadap prasaranausaha tani tebu. pada masa sekarang Adanya kebebasan bagi petani untuk memilih komoditas yang akan diusahakan, telah menyebabkan luas areal pertanaman tebu dan produksi gula di Indonesia menurun. Kebutuhan masyarakat Indonesia yang semakin meningkat tanpa diimbangi dengan produksi di dalam negeri yang mencukupi akan mendorong pemerintah untuk melakukan impor gula guna memenuhi kebutuhan gula domestik. Peningkatan impor gula karena tidak bertambahnya lahan areal tebu, besarnya biaya produksi dibandingkan harga jual pada industri gula, kurangnya dukungan pemerintah berupa pinjaman kredit lunak kepada petani tebu dan industrinya, pola konsumsi masyarakat indonesia yang selalu membutuhkan gula sehingga menaikkan impor. Harga gula pasir domestik akan mempengaruhi pemerintah dalam pengambilan kebijakan impor, jika harga gula domestik melonjak maka pemerintah harus mengimpor gula agar harga gula domestik kembali stabil. Akan tetapi jika dilihat dalam jangka panjang maka keberadaan gula impor akan berubah menjadi pengganti gula pasir yang ada di dalam negeri jika harga gula pasir domestik meningkat dan rendahnya kapasitas produksi di Indonesia. Impor gula di salah satu sisi dikatakan dapat membantu kekurangan stok dan mencegah melonjaknya harga gula di pasar domestik. Akan tetapi dampak yang ditimbulkan dari kebijakan mengimpor gula bagi petani yaitu keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksinya, akibatnya petani beralih tanam ke tanaman yang memiliki prospek yang baik di masa yang akan datang. Berkurangnya lahan dan beralihnya petani tebu tersebut akan menyebabkan berkurangnya produksi gula domestik dan ketergantungan akan impor gula, akibatnya pasar gula domestik akan dipengaruhi oleh kondisi pasar internasional, kondisi ini sangat tidak baik terhadap kemandirian pangan indonesia. Sehingga peningkatan produksi gula indonesia merupakan jalan terbaik dalam memenuhi kebutuhan gula nasional.

Kejadian akan tingginya impor gula di Indonesia pernah terjadi pada saat krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Sebelum krisis multi dimensi 1997 sebagian besar kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah dengan proteksi, fasilitasi dan intensif yang tinggi yang didiukung dengan dana utang, pada system demikian pergulaan Indonesia terisolasi dari fluktuasi (harga) dunia (Ismoyowati, 2003). Setelah krisis pemerintah harus melaksanakan pembangunan dengan fasilitas yang sangat terbatas karena utang sudah terlalu besar dan sudah jatuh tempo, sehingga harus membayar utang, sedangkan pemerintah belum bias melunasi utang-utang tersebut. Untuk melunasi utang-utang tersebut pemerintah meminta bantuan kepada IMF yang dananya berasal dari Negara donor. Akan tetapi pemberian bantuan tersebut disertai pula oleh ketentuan dan syarat oleh IMF atas permintaan Negara donor, yaitu pembukaan pintu impor seluas-luasnya termasuk gula. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Letter of Intern (LOI) yang menetapkan bea masuk gula sebesar nol persen dengan kata lain pasar gula menjadi terbuka karena tidak adanya proteksi dari pemerintah, padahal sebelumnya bea masuk yang dikenakan bagi gula impor mulai 1986-1997 sebesar Rp.430/Kg (Zaini, A, 2008). Dampak dari ketentuan tersebut menyebabkan volume impor gula di Indonesia sangat besar sehingga menyebabkan posisi gula domestik semakin terpuruk. Pemerintah kemudian melakukan langkah perbaikan dan koreksi terhadap berbagai kebijakan yang menyangkut pergulaan pada tahun 2000, dengan penetapan kembali bea masuk untuk raw sugar sebesar 20% dan gula pasir sebesar 25%. Tetapi kebijakan tersebut dirubah kembali yaitu sejak bulan Juli 2002 pemerintah telah menetapkan tarif impor spesifik untuk komoditas gula impor, yaitu sebesar Rp. 550/kg untuk gula tebu (raw sugar) dan Rp. 700/kg untuk gula putih (refined sugar) (A, Husni Malian dan Saptana. 2002). Ditinjau dari sisi model ekonomi, tujuan pengenaan tarif pada barang impor adalah untuk mengurangi jumlah impor, mengurangi pengeluar cadangan luar negeri. Produsen dalam negeri menyuplai barang lebih banyak pada harga yanglebih tinggi, sementara permintaan konsumen menurun, jadi hanya sedikit impor yang diperlukan. Sementara itu di pasar luar negeri, harga yang lebih rendah menyebabkan terjadinya penurunan penawaran dan kenaikan permintaan (Krugman, 2000:190-191).

Menurut Cacholiades (1990), bahwa dengan adanya kebijakan tarif diperuntukkan untuk melindungi industri lokal dari industri asing. Peningkatan produksi ini dikenal sebagai production effect. Kemudian penerapan tarif mengakibatkan jumlah barang yang diimpor mengalami penurunan dengan peningkatan produksi domestik ditambah dengan pengurangan konsumsi dan dikenal sebagai trade effect. Setelah penerapan tarif, pemerintah mendapatkan penghasilan menunjukkan revenue effect. Penetapan tarif impor gula sebesar Rp. 550/kg untuk gula tebu (raw sugar) dan Rp. 700/kg untuk gula putih (refined sugar) dalam kondisi harga gula dunia yang rendah dan nilai tukar rupiah yang makin menguat, kenyatannya belum cukup merangsang petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas pasokan tebu. Hal ini ditandai dengan produksi gula nasional yang tidak dapat memenuhi kebutuhan gula nasional yang dari tahun ke tahun makin besar. Akibatnya impor gula malah bertambah besar untuk menutupi gap kebutuhan nasional yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri. Kondisi ini diperparah dengan harga impor yang jauh lebih murah daripada harga gula dalam negeri untuk semua jenis, yang mengakibatkan penjualan gula nasional kalah bersaing dibandingkan dengan gula impor. Dampak langsung yang paling dirasakan adalah para petani tebu yang pendapatan mereka tidak meningkat bahkan semakin berkurang. Secara paradoks tujuan kebijakan tarif impor dengan implementasinya berlawanan. Oleh karena itu Tanpa adanya perubahan kebijakan atau kebijakan tambahan bagi petani tebu, maka industri gula nasional, khususnya para petani tebu terancam bangkrut. Pada masa sekarang, kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk mengatur aktivitas impor gula melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (SK No. 643/MPP/Kep/9/2002) tentang Tataniaga Impor Gula (TIG) ternyata telah menimbulkan reaksi dan hasil akhir yang sangat beragam. Kebijakan tataniaga itu memberikan privilis kepada importir produsen (IP) untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) dan kepada importir terdaftar (IT) untuk mengimpor gula putih (white sugar) yang tidak lain adalah perkebunan gula yang memiliki perolehan bahan baku 75 persen berasal dari petani. Perusahaan perkebunan yang memenuhi kualifikasi sebagai IT adalah empat Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) yang masuk kualifikasi, yaitu: PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI). Pada sisi lain, kebijakan itu juga memberikan peluang bagi pengembangan industri gula rafinasi, yang khusus memutihkan gula mentah impor yang umumnya tidak layak untuk dikonsumsi secara langsung. Catatan penting dari SK 643/2002 tersebut adalah bahwa gula mentah dan gula rafinasi (refined sugar) yang diimpor oleh importir produsen (IP) hanya dipergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi pengolahan gula, dan dilarang diperjualbelikan serta dipindahtangankan. Solusi temporal dengan cara memberikan kesempatan kepada BUMN produsen gula untuk melakukan kerjasama dengan pelaku usaha perdagangan yang telah terbiasa melakukan impor gula adalah pilihan terbaik. Upaya perbaikan kebijakan pengaturan impor gula dengan penerbitan Kepmen baru yaitu No. 527MPP/Kep/9/2004 tertanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG). di antaranya dengan kembali melibatkan BUMN Perum (Perusahaan Umum) Bulog dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) dalam perdagangan gula di Indonesia (Arifin,B, 2008). Nahdodin dan Rusmanto (2008) bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa kebijakan tataniaga gula cukup efektif melindungi produsen gula berdasarkan indikator harga yang berlaku. Kebijakan impor itu tidak menimbulkan monopoli pemasaran sehingga margin pemasaran tidak membesar dan tidak merugikan konsumen. Namun demikian, kebijakan tataniaga gula di dalam negeri tersebut belum dapat memberikan perlindungan dalam melindungi produsen gula (tebu) dari distorsi harga pada pasar gula dunia. Pada intinya, produsen gula (tebu) di dalam negeri masih tertekan oleh perilaku negara produsen gula yang lebih protektif. Pemerintah berupaya melindungi produsen gula (tebu) tersebut dengan memperbaiki kebijakan, diantaranya dikeluarkan kebijakan mengenai ketenuan impor gula, diantaranya Peraturan Menteri Perdagangan R.I. Nomor : 19/MDAG/PER/5/2008 tentang Perubahan kelima atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yang diperbaharui oleh Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/MDAG/PER/5/2010 tentang Penetapan Harga Pokok Petani (HPP) Gula Krital Putih

(Plantation White Sugar). Di dalam peraturan tersebut dijelaskan secara umum mengenai penetapan HPP ditingkat petani sebesar Rp6.350,- yang sebelumnya Rp5.000,-, kemudian diatur kapan impor gula dilakukan, yaitu: (i) di luar masa 1 bulan sebelum musim giling tebu rakyat, pada musim giling tebu rakyat, dua bulan setalah masa musim giling tebu rakyat; (ii) apabila hagar gula kristal putih di tingkat petani mencapai lebih dari Rp6.350,-, dan (iii) apabila produksi nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan gula nasional. Selanjutnya pihak-pihak yang terlibat dalam penentuan impor gula mengalami perluasan, yang sebelumnya lebih dominan ditentukan oleh pemerintah melalui usulan dari Dewan Gula Nasional, tetapi juga melibatkan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Setempat. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan pengendalian impor gula dari sisi harga dan kuantitas dapat dilakukan tidak hanya secara top down (pemerintah) melainkan secara bottom up (petani tebu). Pelibatan petani tebu dalam menentukan impor gula, dilandasi bahwa secara mikro, para petani tersebut yang memahami kondisi di lapangan baik dari sisi produksi tebu sebagai bahan dasar gula, sehingga jumlah kebutuhan gula nasional secara langsung dapat ditentukan secara tepat. Selain itu, kriteria jenis gula impor juga bisa ditentukan secara akurat. Hal ini untuk meminamilisir apabila terjadi overdemand gula dari kebutuhan yang seharusnya, sehingga berakibat kepada harga gula yang naik sehingga merugikan konsumen gula itu sendiri.

Kaitan Kebijakan Impor Gula dengan Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional Setiap kebijakan yang dibuat harus berhubungan dengan tujuan

pembangunan nasional, serta berkesinambungan dengan kebijkan yang lebih makro dengan kebijakan teknis dibawahnya. Kebijakan tentang gula nasional sangat erat kaitannya dengan kebijakan ketahanan pangan nasional, artinya kebijakan ketahanan nasional harus menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan nasional, termasuk gula. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010 -2014 bahwa arah kebijakan umum pembangunan ketahanan pangan

nasional 2010-2014 adalah untuk: (1) meningkatkan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan, (2) meningkatkan sistem distribusi dan stabilisasi harga pangan, serta (3) meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan keamanan pangan. Kebijakan ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dan kerawanan pangan diarahkan untuk: (a) meningkatkan dan menjamin kelangsungan produksi dalam negeri menuju kemandirian pangan; (b) mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat secara sinergis dan partisipatif; dan (c) mencegah dan menanggulangi kondisi rawan pangan secara dinamis. Dalam aspek peningkatan sistem distribusi dan stabilitasi harga pangan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: (a) mengembangkan sistem distribusi pangan yang efektif dan efisien untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan; (b) mengembangkan koordinasi sinergis lintas sektor dalam pengelolaan distribusi, harga dan akses pangan; dan (c) meningkatkan peran serta kelembagaan masyarakat dalam kelancaran distribusi, kestabilan harga dan akses pangan. Sedangkan pada aspek peningkatan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan keamanan pangan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: (a) mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan berbasis pangan lokal, (b) mengembangkan teknologi pengolahan pangan, terutama pangan lokal non beras dan terigu, guna meningkatkan nilai tambah dan nilai sosial, dan (c) mengembangkan keamanan pangan segar di daerah sentra pangan. Dalam pelaksanaan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut, diperlukan dukungan kebijakan, antara: (a) peningkatan dukungan penelitian dan

pengembangan pangan; (b) peningkatan kerjasama internasional, (c) peningkatan pemberdayaan dan peran serta masyarakat; (d) penguatan kelembagaan dan koordinasi ketahanan pangan; serta (e) mendorong terciptanya kebijakan makro ekonomi dan perdagangan yang konduksif bagi ketahanan pangan. Arah kebijakan pembangunan ketahanan pangan nasional 2010 2014 adalah untuk memenuhi salah target nasional, yaitu swasembada pangan, diantaranya swasembada gula, dimana untuk tahun 2014, target produksi gula

nasional sebesar 5,7 juta ton, dengan rincian untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga sebesar 2,96 juta ton dan 2,74 juta ton untuk pemenuhan kebutuhan industri. Selajutnya, jika dikaitkan dengan kebijakan industri nasional sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, bahwa pengembangan industri nasional bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri, dan yang memiliki struktur yang sehat dan berkeadilan, berkelanjutan, serta mampu memperkokoh ketahanan nasional. Di dalam aturan tersebut, bahwa industri gula sebagai bagian dari industri agro menjadi enam prioritas pengembangan industri nasional. Adapun strategi pengembangan industri gula adalah: Industri Agro Industri Gula Strategi Jangka Menengah - Meningkatkan mutu gula melalui pemberlakuan SNI wajib; - Melakukan restrukturisasi pabrik gula untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi pabrik gula; - Memberdayakan industri permesinan dan perekayasaan dalam negeri untuk mendukung restrukturisasi; - Membentuk forum komunikasi industri pengolahan gula di pusat dan kelompok kerja di daerah; - Mengembangkan diversifikasi produk dengan memanfaatkan hasil samping industri gula (molases, bagase, blotong, daun dan lainlain). - Modernisasi mesin peralatan dan proses produksi industri gula rakyat. Strategi Jangka Panjang - Membangun industri raw sugar di dalam negeri untuk mendukung produksi industri gula nasional; - Membangun pabrik gula baru dengan kapasitas minimal 5.000 TCD (ton cane per day) di luar Pulau Jawa.

Dalam menjaga mutu pangan dan produk pertanian, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, bahwa pemerintah menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan produk pertanian. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka: (1) Indonesia akan

kebanjiran produk impor, terutama buah dan sayuran segar yang mutu dan keamanannya kurang jelas; (2) Produk pertanian Indonesia kurang laku dan tidak menjadi pilihan konsumen di dalam negeri dan luar negeri; (3) Daya saing produk semakin rendah; (4) Mematikan petani/produsen dalam negeri; dan (5) Kerugian ekonomi yang semakin besar. Dari penjelasan berbagai arah kebijakan nasional tentang ketahanan pangan nasional, maka terlihat bahwa arah yang dikembangkan lebih berorientasi kepada penguatan pembangunan ketahanan pangan dalam negeri, dari sisi peningkatan mutu dan diverisifikasi produk, peningkatan jumlah produksi untuk memenuhi ketersediaan pangan yang cukup, penguatan manajemen dan modernisasi industri hulu dan hilir, serta pengembangan sistem administrasi dan birokrasi yang lebih efisien. Adapun kebijakan impor, khususnya impor gula tidak menjadi bagian arah kebijakan secara eksplisit maupun implisit dalam mendukung ketahanan pangan nasional, bahkan meminimalisir impor gula merupakan sesuatu yang akan dilakukan dari arah kebijakan ini. Kebijakan impor gula di Indonesia merupakan side effect dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pembangunan industri gula nasional. Ketidakmapuan industri gula dalam memenuhi kebutuhan nasional, akibat dari: a. Semakin terbatasya areal lahan tebu (bahan baku utama gula) yang dikonversi menjadi areal nonpertanian, khususnya di pulau jawa. b. Modernisasi pabrik-pabrik gula yang berjalan lambat sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas produk gula yang semakin kurang; c. Semakin banyaknya penyelundupan gula illegal yang merusak pasar gula nasional terutama dari sisi harga; d. Masih tingginya inefisiensi birokrasi yang menghambat perizinan dan distribusi gula nasional; e. Belum optimalnya peran pemerintah dalam menstabilkan harga gula nasional dan dukungan terhadap anggaran, misalnya dalam bentuk susbsidi. Mengutip pernyataan Menteri Pertanian, Suswono, bahwa kemungkinan Indonesia gagal swasembada gula 2014, yaitu hanya bisa memenuhi produksi 3,25 juta ton dari total kebutuhan gula nasional sebesar 5,7 juta ton. Ahirnya untuk memenuhi hal tersebut, maka kebijakan impor gula masih akan dilakukan.

Penyebab utama tidak terpenuhinya swasembada gula adalah penyediaan lahan tebu yang tidak bisa dipenuhi, modernisasi pabrik gula yang tidak berjalan. (Indonesia Gagal Swasembada 2014 (gula), Voice of Indonesia, 19 Desember 2014). Tantangan kedepan dari permasalahan industri gula nasional ini, terkait dengan penerapan pasar bebas seperti perjanjian AFTA yang akan dimulai pada tahun 2015, maka berbagai hambatan (barriers) dalam perdagangan bebas tersebut harus dihapus. Salah satunya adalah tarif bea masuk impor gula yang saat ini masih diberlakukan di Indonesia sebagai upaya mengendalikan impor gula dan melindungi industri gula dalam negeri. Dengan diberlakukannya perdagangan bebas tersebut, maka tarif tersebut akan dihilangkan sehingga segala macam arus barang dari luar negeri akan bebas bea. Hal ini jika tidak diantisipasi oleh Indonesia, maka berbagai produk impor gula akan masuk Indonesia dengan harga yang sangat kompetitif dan pasti akan mengancam daya saing gula produksi nasional. Oleh karena itu, membangkitkan iklim kompetisi dalam perdagangan gula Indonesia menjadi penting. Iklim kompetisi ini dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan (revitalisasi) baik dalam hal produktivitas maupun efisiensi. Kebijakan impor yang dilakukan saat ini seharusnya bukanlah kebijakan permanen dan utama untuk menjamin ketersediaan kebutuhan gula nasional. Dalam jangka pendek kebijakan ini cukup efektif, namun dalam jangka menengah seharusnya tidak menjadi best solution bagi pemerintah. Seharusnya kebijakan impor yang dilakukan lebih ditujukan untuk menjaga kestabilan harga gula di pasaran dalam negeri apabila terjadi kenaikan harga luar biasa di atas harga pasaran dunia atau sebagai cadangan pemerintah apabila terjadi kejadian luar biasa (extraordinary events) di dalam negeri, seperti bencana alam. Namun sifatnya temporer dan secara kuota tidak mengganggu kinerja industri gula nasional. Fenomena kenaikan harga kenaikan harga gula dunia (tahun 2008 sebesar US$264 per ton naik dari tahun 2007 sebesar US$202) sebagai akibat adanya perubahan iklim dan perubahan kebijakan beberapa negara produsen gula dunia, seperti Brazil yang menggenjot produksi etanol sebagai bahan bakar alternatif seharusnya dijadikan titik balik untuk meningkatkan gairah produksi dan

produktivitas tebu di Indonesia, sekaligus untuk mewujudkan wacana revitalisasi pabrik gula milik BUMN yang telah digulirkan selama 10 tahun terakhir (Arifin, 2008). Hal ini diperkuat dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia, yaitu dari luas wilayah yang sangat besar dan strategis untuk peningkatan produksi bahan baku gula (tebu) dan jumlah penduduk yang besar serta culture penduduk Indonesia yang sangat tergantung dengan gula, menjadi pangsa pasar tersendiri untuk digarap.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Permintaan akan gula pasir yang terus meningkat dengan pertambahan jumlah penduduk tanpa diimbangi dengan produksi gula domestik yang baik akan mendorong pemerintah melakukan impor guna memenuhi kebutuhan gula domestik. Impor gula yang dilakukan pemerintah dapat membantu kekurangan stok gula didalam negeri, namun jika kebijakan impor tersebut tidak memihak kepada petani akan berdampak pada kecilnya keuntungan yang diperoleh petani yang tidak sebanding dengan biaya produksinya, akibatnya petani beralih tanam ke tanaman yang memiliki prospek yang akibatnya menurunkan produksi lahan tebu. Penerapan kebijakan proteksi dengan memberlakukan tarif pada impor gula sangat membantu dalam penyeimbangan harga gula domestik serta peraturan mengenai perusahaan pengimpor gula tidak hanya dilakukan oleh pihak swasta namun juga BUMN yang bertujuan menghindari fluktuatif harga di pasar.

4.2 Saran Peningkatan produksi gula domestic dapat dilakukan dengan

mengoptimalkan lahan tebu yang sudah ada dan memperluas areal perkebunan tebu diluar jawa dan mengurangi pengalihan lahan tebu di pulau jawa, diperlukan kebijakan impor gula dan jalur distribusi gula impor yang mampu melindungi petani dari kemerosotan harga tebu, serta peninjauan kembali tarif bea masuk yang proposional.

DAFTAR PUSTAKA A, Husni Malian dan Saptana. 2002. Dampak Peningkatan Tarif Impor Gula Terhadap Pendapatan Petani Tebu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Ari, N dan Jati, K, 2011. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia : Tinjauan Pasar Gula Pasir. Edisi : 01/GULA/01/2011 Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Indonesia. Ekonomi Review No.211. Alimoeso, Sutarto. 2011. Bulog.go.id: Dirut Bulog: Impor Gula Untuk Stabilkan Harga. [12 Desember 2011] Badan Ketahanan Pangan, 2010. Deptan.go.id: Renstra Badan Ketahanan Pangan 2010 - 2014 DGI. 2011. Jika jadi impor, IKAGI minta pemberlakuan bea masuk gula mentah. [12 Desember 2011] Departemen Perdagangan. 2007. Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri : Kebijakan Umum di Bidang Impor. [12 Desember 2011] Krisnamurthi, B, 2011. Kontan.com: Fasilitas investasi hambat kenaikan bea masuk impor gula. [12 Desember 2011] Kemenperin, 2008. Kemenperin.com: Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Malian, A. H., dan A. Syam. 1996. Daya Saing Usahatani Tebu di Jawa Timur, hal 1-11. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 14, No. 1, Juli 1996. Nahdodin dan Joko Roesmanto. 2007. Evaluasi Terhadap Kinerja Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 643/Mpp/Kep/Ix/2002. Pasuruan: Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Poli, C. 1992. Pengantar Ilmu Ekonomi I, Gramedia. Jakarta Rachmat, M. 1992. Profil Tebu Rakyat di Jawa Timur. Jurnal Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Saleh, Deddy. 2011. Bulog.go.id Akhir Februari RI Pegang Kontrak 30.000 Ton Gula Impor. [12 Desember 2011] Salvatore, D. 1995. International Economics. Fifth Edition. Prentice Hall International Editions, Englewood Cliffs, New Yersey. Solihin, D. 2011. Slidesharecdn.com: Lampiran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 2014

Syarif, H. 2011. Laporan Hasil Diskusi: Menuju Industri Gula Nasional yang Kompetitif; H:/IPB/Gula/peraturan/Menuju industri gula nasional yang kompetitif _ Ruang Rakyat.htm Suryana, A, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Departemen Pertanian: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Voice of America, 2011. Voanews.com: Indonesia gagal swasembada 2014 (gula) Widiastuty, Koesuma, L, Haryadi, B. 2001. Analisa Pemberlakuan Tarif Gula di Indonesia. Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi- Universitas Kristen Petra. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 3, No. 1, Maret 2001: 34 - 47 Zaini, A. 2008. Pengaruh Harga Gula impor, Harga Gula Domestik, dan Produksi Gula Domestik Terhadap Permintaan Gula Impor Indonesia. Program Studi Agribisnis Universitas Mulawarman, EPP. Vol.5 No.2 1-9. Samarinda