makalah kusta ternyata

41
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA DISUSUN OLEH : KELOMPOK 3 ANNISA ANDITA SAID (10810000027) AYU DWI LESTARI (10810000031) NURMALITA SANI (10810000033)

Upload: liadzulpesonabahagia

Post on 01-Jul-2015

888 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: makalah kusta TERNYATA

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

ANNISA ANDITA SAID (10810000027)

AYU DWI LESTARI (10810000031)

NURMALITA SANI (10810000033)

PROGRAM STUDI KESEHATAN M ASYARAKAT (KESMAS)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1431 H

2010 M

Page 2: makalah kusta TERNYATA

PENDAHULUAN

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah

nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih

tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan

saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan

ketahanan sosial.

Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan

sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat

keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di

bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ

tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita

tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat

infektivitasnya rendah.

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik

dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih,

asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat

menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita

(Daili, 1998).

SEJARAH KUSTA

Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh

peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India.. Pada 1995, Penyakit kusta atau lepra

menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga kini awet bertahan di dunia. Dari catatan yang

ditemukan di India, penderita kusta sudah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi.

Dalam buku City of Joy (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah

penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta menjadi penyakit yang

'populer' dan menjadi bagian dari kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun, kuman

penyebab kusta kali pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di

Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit Hansen. Saat ini penyakit

kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.

Page 3: makalah kusta TERNYATA

Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 (tiga)

zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman moderen. Pada zaman

purbakala karena belum ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan penderita kusta, maka

penderita tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah

diri dan malu, disamping itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman

pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa tinggal di Leprosaria/koloni

perkampungan penderita kusta seumur hidup.

1. Zaman Purbakala

Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari

peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal

didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala

tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu,

disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.

2. Zaman Pertengahan

Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan sistem

feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap

penguasa dan hak azasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada

penderi ta kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab

penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih ketat dan

dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.

3. Zaman Modern.

Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka

mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha

penanggulangannya. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir

1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri

Page 4: makalah kusta TERNYATA

penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar.

Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit

ini pun mampu ditangani kembali. Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah

mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara

bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah

sebagai berikut :

a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita kusta.

b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di

puskesmas.

c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi Multidrug

Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi World Health Organisation (Depkes RI,

2005).

DEFINISI PENYAKIT KUSTA

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-

gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama

yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga

penyakit ini disebut Morbus Hansen.

Pendapat kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman

kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang

dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi,

budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau

kutukan Tuhan.

Penyakit kusta memiliki waktu inkubasi yang panjang, mungkin beberapa tahun, dan

tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda

seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada

bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka,

dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru

Page 5: makalah kusta TERNYATA

sebaiknya, waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh

dalam jangka waktu lama dan juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA

1. Epidemiologi Secara Global

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di

daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini

bisa menyerang di mana saja.

2. Epidemiologi Kusta di Indonesia

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar

keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan,

perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka

manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara

isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga

dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan

berdagang.

Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak

20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu

Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh

World Health Organisation yaitu tahun 2000.

PREVALENSI

Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka

kejadian di atas 10 per 1.000. Hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk,

misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada

115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record,

prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru

pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi

Page 6: makalah kusta TERNYATA

dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang

terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi

terdaftar. Secara internasional prevalensi  kusta di dunia 5,5 juta kasus, mayoritas terdapat di

daerah tropik dan subtropik. Di seluruh dunia 80% kasus ditemukan di lima negara, yaitu

India, Myanmar, Indonesia, Brazil, dan Nigeria. ( Barrett. TL. 2002).

Menurut dr. Iwan, dr. Budi Rahayu MPH, Kepala Bidang P2MK (Pemberantasan

Penyakit dan Masalah Kesehatan) Dinkes Provinsi Jatim dari 33 provinsi yang ada di

Indonesia, terdapat empat propinsi yang masih memiliki angka kasus Kusta lebih dari 1000

kasus. Diantaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan juga Sulawesi Selatan. Di

Indonesia, jumlah penderita baru tahun 2008 adalah 17.243 dan 29% darinya berasal dari

Jawa Timur. Penyakit Kusta di Jawa Timur masih merupakan masalah kesehatan terutama di

15 kabupaten/kota yang berada di pantai utara Pulau Jawa dan Madura karena prevalensi

masih di atas 1/10.000.

GAMBAR 3.14

PREVALENSI DAN ANGKA PENEMUAN PENDERITA BARU

DI INDONESIA TAHUN 2000 - 2008

Sumber: Ditjen PP&PL, Depkes RI 2009

Jumlah kasus Kusta di Indonesia pada tahun 2008 adalah 17.441 kasus terdiri dari tipe PB 3.113 kasus dan tipe MB 14.328 kasus (Sumber Profil DitJen P2PL 2008). Perkembangan jumlah penderita Kusta di Indonesia tahun 2003 - 2008 dapat dilihat pada Tabel 3.12 berikut ini.

TABEL 3.12

JUMLAH PENDERITA KUSTA MENURUT TIPE DAN ANGKA PENEMUAN PENDERITA PER 100.000 PENDUDUK

DI INDONESIA TAHUN 2003 - 2008

Tahun Jumlah Kasus Tipe PB TipeMB

2003 15,550 3,594 11,956

2004 16,572 3,615 12,957

Page 7: makalah kusta TERNYATA

NCDR (per 100.000 pddk) 2005 18,735 3,859 14,876 2006 18,300 3,550 14,750 2007 17,726 3,643 14,083 2008 17,441 3,113 14,328

Sumber: Ditjen PP&PL, Depkes RI 200

Page 8: makalah kusta TERNYATA

ANGKA PENEMUAN PENDERITA BARU

Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB

(76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061

dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan

75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001

dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.

Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per 100.000 penduduk.

Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per

100.000 penduduk. Di tingkat provinsi pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di

Provinsi Papua (49,65) dan terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002

tertinggi di Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi Bengkulu (0,250). Cakupan

penderita dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta

sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90%.

Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785

kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Provinsi yang paling sedikit menemukan

kasus baru adalah Provinsi Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun

2002. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur

termasuk di dalamnya.. Jawa Timur menyandang beban sebagai daerah rawan bersama Irian

Jaya bagian Barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat,

Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Yakarta(Depkes

RI,2005).

KLASIFIKASI PENYAKIT KUSTA

Adapun klasifikasinya penyakit kusta adalah sebagai berikut :

1. Tipe tuberkoloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat

berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang

Page 9: makalah kusta TERNYATA

regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi

bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan

saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi

tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu

yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe borderline tubercoloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering

disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran

hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya

gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya

ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe mid borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit

kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat

berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan

jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam

ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri

khas tipe ini.

4. Tipe borderline lepromatosa

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan

dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.

Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir

simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah

tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir

luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa

hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat

muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.

5. Tipe lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap,

berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.

Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang

dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan

ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping

telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat

Page 10: makalah kusta TERNYATA

disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung.

Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi

testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila

penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi

plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi

hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi

WHO (1988)

1. Pausibasilar (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria

Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.

2. Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan

Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun hasil

pemeriksaan BTA-nya saat ini.

2. Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan

gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

PB MB

1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi,infiltrat, plak eritem, nodus)

2. kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh

1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi yang jelas

Hanya satu cabang saraf

> 5 lesi Distribusi

lebih simetris

Hilangnya sensasi kurang jelas

Banyak cabang saraf

Page 11: makalah kusta TERNYATA

saraf yang terkena)

Sumber :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta

Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan menentukan,

apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi Mycobacterium leprae dan tipe kusta

yang akan dideritanya dalam spektrum penyakit kusta.

TANDA - TANDA PENYAKIT KUSTA

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari

penyakit tersebut yaitu:

1) Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.

2) Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar

dan banyak.

3) Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus

serta peroneus.

4) Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.

5) Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit

6) Alis rambut rontok

7) Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :

1) Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.

2) Noreksia

3) Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.

4) Cephalgia

5) Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis

6) Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.

Page 12: makalah kusta TERNYATA

7) Neuritis

Gambar 1. Jenis Kusta Tipe Paucibacilary

Sumber :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakaerta.

Jenis Multibacillary

a. Tompok putih-kemerahan yang merebak di seluruh kulit badan

b. Tanda-tanda awal dari jenis ini sering terjadi pada cuping telinga dan muka.

c. Kusta jenis ini boleh berjangkit

Gambar 2. Kusta Tipe Multibacilary

Sumber:Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta.

TRANSMISI PENULARAN PENYAKIT KUSTA

a. Organisme Penyebab Penyakit Kusta

Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana microbacterium ini

adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel

lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar

0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan

Page 13: makalah kusta TERNYATA

bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan

tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan

sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan

organisme patogen (misalnya Mycrobacterium tuberculosis, Mycrobakterium leprae) yang

menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion.

Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman Mycobacterium

Leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui

pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-

rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda seseorang menderita penyakit

kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian

anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Melniek, 2001).

b. Reservoir

Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan sebagai

reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara alamiah dapat

menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang dilakukan dengan

binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari Armadilo kepada manusia.

Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap

di Nigeria dan Sierra Lione.

RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan di

dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat

berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada

penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7

hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat

menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan

atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,

penularannya diduga melalui plasenta (Daili, 1998).

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.

Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir

hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

Page 14: makalah kusta TERNYATA

1) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah

mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

2) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,

keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak

yang lama dan berulang-ulang.

Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah

kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya

sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa

organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa

ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan

bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru,

Job et al menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin

superfisialkulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa

organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah

dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta

lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan

bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung

mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat

memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler kepada orang

lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian

besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran

pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu

ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :

1) Faktor Kuman kusta

Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid)

bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada orang yang tidak

Page 15: makalah kusta TERNYATA

utuh lagi Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, bermentuk batang dengan panjang 1-8

mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,

hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup diluar

tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman

kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan (Depkes RI, 2002).

2) Faktor Imunitas

Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian

menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak menjadi sakit, 3 orang

sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi mempertimbangkan

pengaruh pengobatan (Depkes RI, 2002).

3) Keadaan Lingkungan

Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan, merupakan

faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan meningkatnya taraf hidup dan

perbaikan imunitas merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta.

4) Faktor Umur

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini meningkat

sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan kemudian menurun.

Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun

dan kemudian secara perlahan-lahan menurun (Hasibuan, 1990).

5) Faktor Jenis Kelamin

Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita, kecuali di

Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis seperti pubertas,

monopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis

penyakit kusta (Hasibuan, 1990).

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha

mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,

berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan

selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah

terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-

rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.

Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun,

lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda

adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta

adalah 3-5 tahun (Nadesul, 1995).

Page 16: makalah kusta TERNYATA

KERENTANAN DAN KEKEBALAN

Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung pada kemampuan tubuh

untuk membentuk “cell mediated“ kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur

penyuntikan M. Lepraeyang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari

setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis

lepromatosa dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes

ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai pertanda adanya imunitas.

Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya

untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat seiring dengan

bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya prevalensi transformasi limfosit yang

spesifik terhadap M. Leprae dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara

orang yang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi

walaupun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit

kusta.

PENCEGAHAN PENYAKIT KUSTA

Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya

penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk

lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan

unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem

pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan

kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Tapi untuk saat ini pemerintah melakukan

beberapa upaya sebagai pencegahan, diantaranya :

Penyuluhan kesehatan harus menekankan pada pemberian informasi tentang telah

tersedianya obat-obatan yang efektif, tidak terjadi penularan pada penderita yang

berobat teratur serta upaya pencegahan cacat fisik dan sosial.

Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya

sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang

lembab.

Lakukan pencarian penderita, khususnya penderita tipe multibasiler yang menular,

dan berikan pengobatan kombinasi “multidrug therapy“ sedini mungkin secara teratur

dengan berobat jalan jika memungkinkan.

Page 17: makalah kusta TERNYATA

Uji coba lapangan di Uganda, India, Malawi, Myanmar dan Papua Nugini, pemberian

profilaktit Bacillus Calmette – Guérin (BCG) jelas dapat mengurangi timbulnya

penyalit kusta tuberkuloid pada orang-orang yang kontak. Sebuah studi di India,

pemberian BCG menunjukkan adanya perlindungan yang signifikan terhadap kusta

tetapi tidak terhadap tuberkulosis; studi yang dilakukan di Myanmar dan India

menunjukkan erlindungan yang kurang dibandingkan dengan studi di Uganda. Studi

chemoprophylaxis menunjukkan bahwa ± 50% perlindungan dari penyakit ini

diperoleh dengan pemberian dapsone atau acedapsone, tetapi cara ini tidak dianjurkan

kecuali dengan pengawasan yang intensif. Penambahan M. Leprae yang telah mati

pada umumnya BCG tidak meningkatkan perlindungan.

Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya;

Laporan ke instansi Kesehatan setempat: Pelaporan kasus diwajibkan di banyak

negara bagian di AS dan hampir di semua negara.

Isolasi: tidak diperlukan untuk penderita kusta tipe tuberkuloid; isolasi terhadap

kontak harus dilakukan untuk kasus kusta lepromatosa sampai saat pengobatan

kombinasi diberikan. Perawatan dirumah sakit biasanya dilakukan selama penanganan

reaksi obat. Tidak diperlukan prosedur khusus untuk kasus yang dirawat di RS. Di RS

umum dilperlukan ruangan terpisah untuk alasan kesopanan atau sosial. Terhadap

penderita yang sudah dianggap tidak menular lagi, tidak ada pembatasan bagi yang

bersangkutan untuk bekerja dan bersekolah.

Disinfeksi serentak dilakukan terhadap lendir hidung penderita yang menular.

Dilakukan pembersihan menyeluruh.

Karantina

Imunisasi terhadap orang-orang yang kontak

Investigasi orang-orang yang kontak dari sumber infeksi: pemeriksaan dini paling

bermanfaat, tetapi pemeriksaan berkala di rumah tangga dan orangorang yang kontak

dekat sebaiknya dilakukan 12 bulan sekali selama 5 tahun setelah kontak terakhir

dengan kasus yang menular.

Pengobatan spesifik: Mengingat sangat tingginya tingkat resistensi dari dapsone dan

munculnya resistensi terhadap rifampin maka pemberian terapi kombinasi (multidrug

theraphy) sangatlah penting. Rejimen minimal yang dianjurkan oleh WHO untuk

kusta tipe multibasiler adalah rifampin, 600 mg sebulan sekali; dapsone (DDS), 100

Page 18: makalah kusta TERNYATA

mg per hari; dan clofasimine, 300 mg sebulan sekali dan 50 mg per hari Rifampin dan

clofasimin yang diberikan setiap bulan harus diawasi dengan ketat.

Komite Ahli Kusta WHO telah mentapkan waktu minimal yang diperlukan untuk

pengobatan kusta tipe multibasiler dipersingkat menjadi 12 bulan dimana sebelumnya waktu

pemberian pengobatan adalah 24 bulan. Pengobatan jika diperlukan dapat diperpanjang

sampai pada pemeriksaan specimen kulit menunjukkan hasil negative. Untuk penderita kusta

tipe pausibasiler (tuberkuloid) atau untuk penderita denga lesi kulit tunggal pemberian dosis

tunggal obat kombinasi yang terdiri dari 600 mg rifampin, 400 mg ofloxaxin dan 100 mg

mynocyclone sudah mencukupi. Bagi penderita tipoe pausibasiler dengan lesi kulit lebih dari

satu, rejimen yang dianjurkan adalah (600 mg rifampin yang diberikan sebulan sekali dengan

pengawasan yang ketat, 100 mg dapsone setiap hari), diberikan selama 6 bulan. Penderita

yang sedang mendapat pengobatan harus dimonitor untuk melihat kemungkinan terjadinya

efek samping, reaksi kusta, dan ulkus tropikum. Komplikasi yang tertentu yang terjadi selama

pengobatan perlu rujuk pada pusat rujukan.

PENANGGULANGAN PENYAKIT KUSTA

Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud

mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan

percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan

pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial,

rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi,

dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga

metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

a) Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi

1) Rehabilitasi Medik

Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat pada penyakit kusta

merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti. Dari hasil penelitian pada bulan Maret

1996 di Rumah Sakit Kusta Sitanala, menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien yang datang

berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta. Walaupun dengan pengobatan yang benar dan

teratur penyakit kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah timbul atau mungkin

yang akan timbul merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani

Page 19: makalah kusta TERNYATA

secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal. Makin berat keadaan

suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan memburuk.

Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan

benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari

pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik,

pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula

diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar

mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun

negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta

dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan

satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.

Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik

yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk

mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi

anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk

pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai secara dini, disusul dengan

perawatan yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan

terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :

a) Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis,

dan kontraktur.

b) Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.

c) Kontrol nyeri.

d) Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.

Page 20: makalah kusta TERNYATA

Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan. Bila

kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan

kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :

a) Pemeliharaan kulit harian

1) cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun (jangan

detergen)

2) Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin

3) kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas.

4) kulit digosok dengan minyak.

5) secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka dan lain-

lain)

b) Proteksi tangan dan kaki

1) Tangan :

a) pakai sarung tangan waktu bekerja

b)stop merokok

c) jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung

d) lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut

2) Kaki

a) selalu pakai alas kaki

b) batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan

c) meninggikan kaki bila berbaring

c) Latihan fisioterapi

Tujuan latihan adalah :

1) Cegah kontraktur

2) Peningkatan fungsi gerak

Page 21: makalah kusta TERNYATA

3) Peningkatan kekuatan otot

4) Peningkatan daya tahan (endurance)

d) Bidai

Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak terjadi

deformitas. Bidai dipasang pada anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai

dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang

ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak sendi.

e) Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi.

f) Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting untuk

mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat

hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan

rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai

dengan deformitas pasien.

g) latihan redukasi motorik

diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan peregangan.

Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik tangan dan jari-jari,

sekaligus melatih koordinasi gerak dengan bagian ekstremitas yang sehat.

Gerak terampil tangan dan jari

Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.

h) Latihan redukasi sensorik

Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien, dan menolong pasien untuk

mencari alternatif lain untuk meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas fungsional

juga meningkat

Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar, sampai halus, dingin dan

hangat.

Page 22: makalah kusta TERNYATA

Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.

Latihan aktivitas menolong diri

Latihan aktivitas rumah tangga

Latihan aktivitas kerja

latihan daya tahan kerja

i) Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus

dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat

dijadikan titik tolak program terapi psikososial.

2) Rehabilitasi Nonmedik

Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini termasuk

penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan

permasalahan yang sangat kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan

masyarakat. Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat

fisik.

Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisk yang menimbukan rasa jijik

atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal

tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis,

akan tetapi bila fisinya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa

hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.

Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tida dapat menerima

keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya aka nada perubahan mendasar pada

kepribadian dan tingkah laku penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan

keadaannya sebagai seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan

kesembuhan, sebaliknya kan memperbesar resiko timbulnya cacat bagi penderita itu sendiri.

Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali

untuk menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis

Page 23: makalah kusta TERNYATA

akan dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya dapat dialami

oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.

Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan

dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi

yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang keliru

tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negative terhadap penderita

kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di dalam

keluarganya dan masyarakat lingkungannya.

Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai sedini

mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus

menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup bermasyarakat

seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu

sendiri.

Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil pemeriksaan klinis,

bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif,

maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada

penderita harus ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik

yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah digariskan

oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif, dengan

atau tanpa cacat kusta.

3) Rehabilitasi Mental

Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan yang sangat mendalam akan

timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu kita sadari bahwa tidak

seorang sehatpun ingin mendapatkan cacat dalam kehidupannya. Hal ini merupakan dasar

bagi setiap petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta. dengan menekankan

Page 24: makalah kusta TERNYATA

bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati secara dini dan benar akan dapat mengurangi

risiko terjadinya cacat semaksimal mungkin.

Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin

pada setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan

dan semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita dapat

segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh

secara medis. Informasi yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:

a) Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi

b) Masalah psikososial kusta

c) Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul selama

proses pengobatan dan setelah pengobatan selesai.

d) Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut.

e) Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.

f) Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.

g) Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai upaya

kesehatan terhadap penyakit kusta.

Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada penderita dan

keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara sederhana dan mudah dimengerti oleh

mereka. Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan keberhasilan penanggulangan

penyakit kusta secara paripurna.

Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi ini berhasil dilakukan,

tetapi dengan adanya stigma dan leprofobi akan timbul banyak kendala dalam

memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita kusta. Tetapi, dengan memberikan

informasi yang benar tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang baik, maka

stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan hingga seminimal mungkin.

Page 25: makalah kusta TERNYATA

Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama seperti penyakit menular

lainnya dan penderita kusta dapat diterima dan diperlakukan secara wajar oleh masyarakat

dengan hak yang sama seperti orang sehat yang lain.

4) Rehabilitasi Karya

Tidak semua penderita kusta bila sembuh datang kembali bekerja pada pekerjaan

semula, apalagi bila pekerja terlanjur mengalam cacat fisik. Walaupun telah diupayakan

rehabilitasi medis dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya, mantan penderita tidak dapat

melakukan pekerjaan yang sama seperti sediakala. Dalam banyak hal adanya stigma atau

leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali menghadapi kendala sosial,

sehungga perlu mengganti jenis pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan

keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau plantar menyebabkan

pekerjaan tertentu harus dihindari.

Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat dapat

kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru

sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya. Disampng itu

penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat

pada penderita kusta.

5) Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pernderita. Hal ini

sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di

sekitarnya. Rehabilitasi social bukanlah bantuan social yang harus diberikan secara terus

menerus, melaikan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini

dapat berupa :

a) Memberikan bimbingan sosial.

b) Memberikan peralatan kerja.

c) Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.

Page 26: makalah kusta TERNYATA

d) Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan

cacatnya.

e) Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha mereka

f) Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka.

g) Memberikan bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang, papan,

jaminan kesehatan, dan sebagainya.

h) Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.

i) Memberikan bantuan pemulangan ke daerah asal.

j) Memberikan bimbingan mental/spiritual.

k) Memberikan pelatihan ketrampilan/magang kerja dan sebagainya.

Dari segala upaya tersebut , sangat diharapkan peran serta masyarakat dalam

menunjang keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua akan dapat terlaksana dengan baik

apabila stigma dan leprofobi dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Dengan demikian

kehadiran mereka dapat diterima oleh masyarakat, hasil karya dan usaha mereka mau dibeli

serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala usaha tersebut tidak akan

berhasil (Depkes RI, 2005).

Page 27: makalah kusta TERNYATA

DAFTAR PUSTAKA

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani2.pdf

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/

11/9a5c56a394b229d3eaa990126d211c792d3c0d41.pdf

http://syair79.wordpress.com/2009/09/01/skrining-dan-studi-epidemiologi-penyakit-

kusta-di-puskesmas-kulisusu-kabupaten-buton-utara-sulawesi-tenggara-tahun-2009/

http://www.pppl.depkes.go.id/catalogcdc/Wca7ab383c47a8.htm

www.meikelpogalad.blogspot.com