makalah kanker paru
DESCRIPTION
hghgjhTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai
salah satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan
angka kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena
kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 1990.
Data yang dibuat WHO menunjukan bahwa kanker paru adalah jenis penyakit
keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok kematian akibat
keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada perempuan .2. Buruknya prognosis
penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya penderita datang ke dokter ketika
penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit. Hasil penelitian pada penderita
kanker paru pasca bedah menunjukkan bahwa, rerata angka tahan hidup 5 tahunan stage I
sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika
dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
Salah satu factor prognostic kanker paru adalah sindroma vena cava superior
(SVCS). SVCS merupakan salah satu kegawatan nafas yang dapat terjadi di saluran nafas,
pembuluh darah toraks dan parenkim paru. SVCS terjadi apabila karena adanya gangguan
aliran darah dari kepala dan leher akibat berbagai sebab. SVCS merupakan salah satu gejala
pada keganasan di paru yang mengganggu aliran darah vena kava superior atau cabang-
cabangnya. Identifikasi yang cepat dan terapi yang tepat dapat menghindari kegawatan
akibat SVCS dan meningkatkan hasil terapi terhadap penyebabnya.
A. KANKER PARU
1. Definisi
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di
paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan
dari luar paru (metastasis tumor di paru). Namun dalam penelitian ini, yang
dimaksud dengan kanker paru adalah kanker paru primer, yaitu tumor ganas
yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic
carcinoma).
2. Epidemiologi
Kanker paru masih menjadi salah satu keganasan yang paling sering,
berkisar 20% dari seluruh kasus kanker pada laki-laki dengan risiko terkena
1 dari 13 orang dan 12% dari semua kasus kanker pada perempuan dengan
risiko terkena 1 dari 23 orang. Di Inggris rata-rata 40.000 kasus baru
dilaporkan setiap tahun. Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki tahun
2005 di Amerika Serikat adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang
meninggal karena kanker.
Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki
dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa
insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan
pada usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi 440 pada laki-
laki dan 72 pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik
yang luas juga dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan
kebiasaan merokok yang bervariasi di seluruh dunia.
Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit
Persahabatan jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan.
Kekerapan kanker paru di rumah sakit itu merupakan 0.06% dari jumlah
seluruh penderita rawat jalan dan 1.6% dari seluruh penderita rawat inap. 18
3. Factor risiko dan etiologi
Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab
utama kanker paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan
terjadinya kanker paru adalah 15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok
dalam 1 tahun yang dihabiskan dan usia dimulainya merokok, sangat erat
dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker paru. Variasi geografik dan
pola dari insidensi kanker paru baik pada laki-laki maupun perempuan
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Di Asia kebiasaan merokok masih
tinggi, tetapi angka kebiasaan merokok pada laki-laki berkurang. Angka
kebiasaan merokok pada perempuan Asia masih rendah, tetapi sekarang
semakin meningkat pada perempuan-perempuan usia muda.
Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap
arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas,
penghalusan nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl
chloride. Insidensi kanker paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada
industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan logam. Predisposisi
genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru.
4. Diagnosis Kanker Paru
a. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat
bervariasi. Faktor-faktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah
bening di berbagai lokasi, dan keterlibatan berbagai organ jauh dapat
mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru.
Manifestasi klinis kanker paru dapat dikategorikan menjadi:
1. Manifestasi local kanker paru ( intrapulmonal intratorakal)
Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa produksi
sputum. Produksi sputum yang berlebih merupakan suatu gejala
karsinoma sel bronkoalveolar (bronchoalveolar cell carcinoma).
Hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala pada hampir 50% kasus.
Nyeri dada juga umum terjadi dan bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi
tumor atau nyeri yang lebih berat oleh karena adanya invasi ke dinding
dada atau mediastinum. Susah bernafas (dyspnea) dan penurunan berat
badan juga sering dikeluhkan oleh pasien kanker paru. Pneumonia fokal
rekuren dan pneumonia segmental mungkin terjadi karena lesi obstruktif
dalam saluran nafas. Mengi unilateral dan monofonik jarang terjadi
karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor dapat ditemukan bila
trakea sudah terlibat.
2. Manifestasi ekstrapulmonal intratorakal
Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasi/ekstensi kanker paru
ke struktur/organ sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan
oleh keterlibatan pleura atau perikardial. Efusi pleura dapat
menyebabkan sesak nafas, dan efusi perikardial dapat menimbulkan
gangguan kardiovaskuler. Tumor lobus atas kanan atau kelenjar
mediastinum dapat menginvasi atau menyebabkan kompresi vena kava
superior dari eksternal. Dengan demikian pasien tersebut akan
menunjukkan suatu sindroma vena kava superior, yaitu nyeri kepala,
wajah sembab/plethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran vena-vena
dada. Tumor apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis
superior dan menyebabkan sindroma Horner, melibatkan pleksus
brakialis dan menyebabkan nyeri pada leher dan bahu dengan atrofi dari
otot-otot kecil tangan. Tumor di sebelah kiri dapat mengkompresi nervus
laringeus rekurens yang berjalan di atas arcus aorta dan menyebabkan
suara serak dan paralisis pita suara kiri. invasi tumor langsung dan
mediastinum yang membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus
dan akhirnya disfagia.
3. Manifestasi ektratorakal non metastasis
Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma
paraneoplastik. Biasanya hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor,
melainkan karena zat hormon/peptida yang dihasilkan oleh tumor itu
sendiri. Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah lelah,
mual, nyeri abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti
galaktorea (galactorrhea). Produksi hormon lebih sering terjadi pada
karsinoma sel kecil dan beberapa sel menunjukkan karakteristik neuro-
endokrin. Peptida yang disekresi berupa adrenocorticotrophic hormone
(ACTH), antidiuretic hormone (ADH), kalsitonin, oksitosin dan hormon
paratiroid. Walaupun kadar peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien
kanker paru, namun hanya sekitar 5% pasien yang menunjukkan
sindroma klinisnya. Jari tabuh (clubbing finger) dan hypertrophic
pulmonary osteo-arthropathy (HPOA) juga termasuk manifestasi non
metastasis dari kanker paru. Neuropati perifer dan sindroma neurologi
seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan dengan
kanker paru.
4. Manifestasi ektratorakal metastasis
Penurunan berat badan >20% dari berat badan sebelumnya (bulan
sebelumnya) sering mengindikasikan adanya metastasis. Pasien dengan
metastasis ke hepar sering mengeluhkan penurunan berat badan. Kanker
paru umumnya juga bermetastasis ke kelenjar adrenal, tulang, otak, dan
kulit. Keterlibatan organ-organ ini dapat menyebabkan nyeri local.
Metastasis ke tulang dapat terjadi ke tulang mana saja namun cenderung
melibatkan tulang iga, vertebra, humerus, dan tulang femur. Bila terjadi
metastasis ke otak, maka akan terdapat gejala-gejala neurologi, seperti
confusion, perubahan kepribadian, dan kejang. Kelenjar getah bening
supraklavikular dan servikal anterior dapat terlibat pada 25% pasien dan
sebaiknya dinilai secara rutin dalam mengevaluasi pasien kanker paru.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting dalam mendiagnosis suatu
penyakit. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat
memberikan gambaran normal pada pemeriksaan fisik. Tumor dengan
ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi
bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan hasil
yang informatif. Pada pasien kanker paru dapat ditemukan demam,
kelainan suara pernafasan pada paru, pembesaran pada kelenjar getah
bening, pembesaran hepar, pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, atau
pergelangan kaki, nyeri pada tulang, kelemahan otot regional atau
umum, perubahan kulit seperti rash, daerah kulit menghitam, atau bibir
dan kuku membiru, pemeriksaan fisik lainnya yang mengindikasikan
tumor primer ke organ lain.
c. Pemeriksaan radiologi
1. Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral, kelainan dapat dilihat bila
massa tumor berukuran >1 cm. Tanda yang mendukung keganasan
adalah tepi yang ireguler, disertai indentasi pleura, tumor satelit, dan
lain-lain. Pada foto toraks juga dapat ditemukan invasi ke dinding dada,
efusi pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner.
2. CT scan toraks
CT scan toraks (Computerized Tomographic Scans) dapat
mendeteksi tumor yang berukuran lebih kecil yang belum dapat
dilihat dengan foto toraks, dapat menentukan ukuran, bentuk, dan
lokasi yang tepat dari tumor oleh karena 3 dimensi. CT scan toraks
juga dapat mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening
regional.Tanda-tanda proses keganasan tergambar dengan baik,
bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor
intrabronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak massif dan telah
terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala.
Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis
intrapulmoner. Pemeriksaan CT scan toraks sebaiknya diminta
hingga suprarenal untuk dapat mendeteksi ada/tidak adanya
pembesaran KGB adrenal.
3. MRI
MRI tidak rutin digunakan untuk penjajakan pasien kanker
paru. Pada keadaan khusus, MRI dapat digunakan untuk mendeteksi
area yang sulit diinterpretasikan pada CT scan toraks seperti
diafragma atau bagian apeks paru (untuk mengevaluasi keterlibatan
pleksus brakial atau invasi ke vertebra)
4. PET scan (Positron Emission Tomography)
PET scan merupakan teknologi yang relatif baru. Molekul
glukosa yang memiliki komponen radioaktif diinjeksikan ke dalam
tubuh kemudian scan diambil. Banyaknya radiasi yang digunakan
sangat kecil. Sel-sel kanker mengambil lebih banyak glukosa
daripada sel yang normal karena sel-sel kanker bertumbuh dan
bermultiplikasi dengan cepat. Oleh karena itu, jaringan dengan sel
kanker tampak lebih terang daripada jaringan yang normal. Tumor
primer, kelenjar getah bening dengan sel-sel keganasan, dan tumor
metastasis tampak sebagai spot yang terang pada PET scan.
d. Sitology sputum
Sputum adalah sekret abnormal yang berasal/diekspektorasikan dari
sistem bronkopulmoner. Sputum bukanlah air liur (saliva) dan bukan
pula berasal dari nasofaring. Sputum yang dibatukkan oleh seorang
pasien mengindikasikan adanya suatu proses patologis pada sistem
bronkopulmoner yang sedang berlangsung. Sputum terdiri dari material
seluler, non seluler, dan non pulmoner tergantung dari proses patologis
yang mendasarinya. Komponen seluler terdiri dari sel-sel inflamasi atau
sel darah merah dari saluran nafas, sel-sel bronkial dan alveolar yang
dieksfoliasikan, atau sel-sel keganasan dari tumor paru. Sel-sel non
pulmoner seperti sel-sel skuamosa orofaring atau sisa-sisa makanan yang
dapat menjadi bagian dari sputum apabila mengalami aspirasi ke paru
dan kemudian dibatukkan. Air merupakan komponen utama dari sputum
(90%), selebihnya terdiri dari protein, enzim, karbohidrat, lemak, dan
glikoprotein. Yang dapat dievaluasi dari sputum adalah karakteristik
fisiknya, mikroorganismenya, adanya sel-sel keganasan, proses
inflamasi, dan perubahan patologis dari mukosa bronkus.
B. Sindroma Vena Cava Superior
1. Anatomi, patofisiologi dan patogenesis
Vena kava superior (VKS) normal berukuran 6-8 cm dengan diameter 1-2
cm. Vena ini terletak di mediastinum anterior, di depan trakea dan di sisi
kanan aorta. Vena kava superior membawa aliran darah dari kepala dan leher
kembali ke atrium kanan. Bagian VKS yang masuk ke rongga perikard sekitar
2-3 cm .Pada bagian atas VKS bermuara vena brakiosefalik kanan dan kiri,
brakiosefalik kanan menerima aliran darah dari vena subklavia dan jugular
interna kanan, sedangkan vena brakiosefalik kiri menerima aliran darah dari
vena subklavia dan jugular interna kiri. Drainase daerah kepala dan leher
mempunyai 8 sistem kolateral vena-vena, di antaranya vena paravertebra,
azigos-hemiazigos, mammaria interna, torakal lateral, jugular anterior, tiroidal,
timik dan perikardiofrenik.4 Pada gambar 1 dapat dilihat anatomi vena kava
superior.
Gambar 1. Anatomi vena kava superior
dan vena-vena utama lain yang membawa
aliran darah dari kepala dan leher.
Kompresi dari luar terhadap VKS dapat terjadi karena vena
ini mempunyai dinding tipis dan tekanan intravaskuler yang rendah. Vena
kava superior dikelilingi oleh bagian/struktur kaku sehingga relatif mudah
terjadi kompresi. Tekanan intravaskuler yang rendah memudahkan
pembentukan trombus, misalnya trombus yang terjadi akibat kateterisasi
(catheter-induced thrombus). Obstruksi dan aliran yang lambat
menyebabkan tekanan vena meningkat dan inilah yang menyebabkan
timbulnya edema interstisial dan aliran darah kolateral membalik
( retrograde collateral flow). Obstruksi pada vena kava superior atau vena
yang berhubungan dengan aliran darah dari kepala dan leher menyebabkan
terjadinya SVKS. Obstruksi dapat disebabkan oleh proses dari luar
yang menyebabkan terjadinya penekanan (kompresi) terhadap vena tetapi
dapat juga terjadi karena proses di dalam vena, misalnya munculnya
trombosis. Kasus SVKS akibat proses dari dalam meningkat seiring dengan
semakin sering dilakukan intervensi pada vena sentral seperti tindakan
kateterisasi.
2. Etiologi
Penyakit yang paling banyak menyebabkan terjadi SVKS adalah
keganasan, tetapi penyakit infeksi seperti sifilis dan tuberkulosis juga
dapat menjadi penyebab SVKS walaupun jarang.
3. diagnosis
Diagnosis SVKS didasarkan pada klinis dan gambaran radiologis
yang menunjukkan kondisi VKS dan vena-vena lain yang tergabung dalam
kolateral aliran darah dari kepala dan leher. Rerata munculnya gejala
SVKS adalah 48 hari 7 dan 40% pasien hanya dapat bertahan kurang dari
8 hari tanpa terapi dari mulai terjadi gejala akibat obstruksi itu.10 Peneliti
lain melaporkan bahwa rerata lama diagnostik dari mulai muncul gejala
adalah 28 hari.8 Sekali SVKS ditemukan maka prosedur diagnosis untuk
mencari penyakit penyebab harus segera dilakukan. Prosedur diagnosis lain
setelah pemeriksaan klinis dan radiologis adalah prosedur untuk keganasan
di paru yaitu sputum sitologi, biopsi transtorakal (TTB), biopsi dan lain-
lain.
4. Gejala klinis
Keluhan atau gejala klinis pada SVKS sangat individual, tergantung
berat ringan gangguan. Tanda khas untuk SVKS adalah
peningkatan gejala disebabkan oleh pertambahan ukuran massa yang
bersifat invasif (khusus untuk keganasan). Sesak napas adalah keluhan
yang paling sering, kemudian leher dan lengan bengkak. Pada keadaan
berat selain gejala sesak napas yang hebat dapat dilihat pembengkakan
leher dan lengan kanan disertai pelebaran vena- vena subkutan leher dan
dada. Keadaan ini kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi untuk
mengatasi keluhan. Berat ringan gejala ini juga dipengaruhi oleh lokasi
obstruksi yang terjadi, perluasan proses penyakit penyebab, aliran cabang
vena yang tersumbat dan kemampuan vena beradaptasi terhadap
perubahan aliran darah.
5. Gambaran radiologi
Pada foto toraks polos terlihat bayangan massa di mediastinum superior
kanan (90%), adenopati hilus (50%), efusi pleura kanan (25%). Informasi
lebih baik dengan menggunakan CT-scan toraks. Pada CT-scan toraks
kadang- kadang gambaran opak pada kolateral vena toraks sering diduga
sebagai SVKS, tetapi indikator paling baik untuk oklusi (penyempitan)
pada VKS adalah jika tampak gambaran opak pada pembuluh darah di
daerah subkutan toraks anterior, tampakan seperti itu mempunyai
spesifikasi 96%. Kemampuan magnetic resonance imaging (MRI) untuk
mendeteksi obstruksi pada vena toraksik juga tinggi yaitu dengan
sensitifiti 94% dan spesifisiti 100%.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk penderita dengan SVKS sangat individual,
faktor yang perlu dipertimbangkan adalah :
a. Ada atau tidak kegawatan pada SVKS itu yang apabila tidak
dilakukan tindakan segera dapat menyebabkan kematian.
b. Bisa atau tidak melakukan prosedur diagnostic
c. Cepat atau lambat identifikasi penyakit penyebab
d. Akurasi penilaian
Sindrom Vena Kava Superior dengan prediksi penyakit penyebabnya
adalah keganasan maka dapat dilakukan prosedur seperti yang dibuat
oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), seperti terlihat pada
gambar 2. Jika keadaan umum penderita baik (PS >50) maka harus
dilakukan prosedur diagnostik, pada kasus keganasan harus diupayakan
tindakan untuk mendapatkan jenis sel kanker. Radioterapi cito dengan dosis
300 – 1000 cGy segera diberikan, bila telah memungkinkan dilakukan
prosedur diagnostik. Terapi selanjutnya tergantung pada diagnosis pasti
penyebab penyakit.
Penatalaksanaan ideal untuk mengatasi SVKS adalah terapi definitif
penyakit penyebab, kadang diperlukan pengobatan multimodaliti
yaitu kemoterapi, radioterapi, bedah, pemasangan stent, trombolisis dan
obat jenis lain.
a. Obat-obatan
Pasien dengan gejala ringan dan telah terbentuk aliran kolateral
mungkin tidak membutuhkan pengobatan. Jika lesi di atas vena
azygos atau penyumbatan berjalan lambat dan terjadi kompensasi
dengan aliran kolateral, cukup waktu untuk menjalani prosedur
diagnosis tanpa pengobatan sampai ditemukan diagnosis pasti
penyebab penyakit. Terapi jangka pendek yang tidak agresif dapat
diberikan untuk mengurangi gejala yaitu dengan pemberian
kortikosteroid dan diuretik untuk mengurangi edema.
b. Radiasi
Jika obstruksi terjadi karena keganasan dan tumornya
kemoresisten, maka radiasi harus diberikan. Dosis radiasi total sesuai
dengan penatalaksanaan keganasan 5000 – 6000 cGy.
c. Kemoterapi.
Kemoterapi adalah terapi pilihan untuk KPKSK dan limfoma. Urban
dkk, mendapatkan bahwa radiasi cito sebelum diagnosis atau
kemoterapi untuk KPKSK tidak membantu. Kemoterapi juga menjadi
pilihan terapi untuk KPKBSK karena SVKS merupakan salah satu
faktor yang menentukan staging penyakit lanjut. Kemoterapi juga
menjadi pilihan untuk tumor mediastinum jenis nonseminoma karena
radioresisten.
d. Trombolisis
Terapi tambahan untuk pasien SVKS yang disebabkan oleh
karena pembentukan trombus adalah trombektomi dengan atau tanpa
aktivator plasminogen (TPA) atau agen trombolitik lain seperti
streptokinase dan urokinase.
e. StentPemasangan stent intravena untuk SVKS masih kontroversial
tetapi pernah dilaporkan walaupun jumlah kasus sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aurora R, Milite F, Vander-Els NJ. Respiratory emergencies.Semin Oncol 2000; 27(3): 256-69.
2. Martins SJ, Pereira JR. Clinical factors and prognosis in non-small cell lung cancer. Am J Clin Oncol 1999; 22(5): 453-7.
3. Wurschmidt F, Bunemann H, Heilmann HP. Small cell lung cancer with and without superior vena cava syndrome: a multivariate analysis of prognostic factors in 408 cases. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1995; 33(1):77-82.
4. Nesbitt JC. Surgical management of superior vena cava syndrome. In: Lung cancer principles and practices. Pass HI, Mitchell JB, Johnson DH, Turrisi AT, eds. Philadelphia, Lippincolt-Raven, 1996, p. 673-81.
5. Naidich DP, Zerhouni EA, Siegelman SS, Kohn JP. Mediastinum. In: Computed tomography and magnestic resonance of the thorax, 2
nd ed, New York, Raven-Press, 1991.p. 35-148.