major recurrent apthous stomatitis in mother and …

26
i MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND SON WITH HIV/AIDS INFECTION Disusun Oleh : drg. Putri Rejeki, SKG NIK. 1987100920180122001 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2018

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

i

MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND SON

WITH HIV/AIDS INFECTION

Disusun Oleh :

drg. Putri Rejeki, SKG

NIK. 1987100920180122001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2018

Page 2: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Major Recurrent

Apthous Stomatitis in Mother an Son with HIV/AIDS Infection” dengan baik.

Karya ilmiah ini disusun dalam rangka memenuhi penugasan pada Program Studi

Pendidikan Dokter Gigi FK Universitas Udayana. Dalam penyusunan karya ilmiah ini,

berbagai bantuan, petunjuk, serta saran dan masukan penulis dapatkan dari banyak

pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis berterimakasih kepada beberapa

pihak yang membantu melancarkan pembuatan dari karya ilmiah ini, yaitu:

1. Koordinator Prodi, Dr. dr. Ni Made Linawati, M.Si yang telah membantu dan

membimbing penulis dalam menyusun karya tulis ini.

2. drg. I Gusti Agung Dyah Ambarawati, M.Biomed selaku Kepala Departemen

llmu Penyakit Mulut

3. Rekan-rekan dosen dan teman sejawat di Universitas Udayana serta teman- teman

yang penulis banggakan, atas dukungannya dalam penyusunan karya tulis ini.

Penulis sadar bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab

itu penulis berharap agar mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi

penyempurnaan karya tulis ini. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat membantu

berbagai pihak.

Denpasar, 24 Mei 2018

Penulis

Page 3: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

KATA PENGATAR ............................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3

BAB III KAITAN DENGAN TEORI ..................................................................... 5

3.1 Jenis Jenis Recurrent Apthous Stomatitis ............................................. 5

3.2 Treatment Recurrent Apthous Stomatitis .............................................. 7

3.3 Dampak Antiretroviral .......................................................................... 8

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 13

4.1. Simpulan ............................................................................................. 13

4.2. Saran ................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

Page 4: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

4

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lesi Ulserasi pada Mukosa Labial (pada Anak) .................................... 4

Gambar 2. Lesi Ulserasi pada Lidah (pada Anak) .................................................. 4

Gambar 3. Lesi Ulserasi pada Dasar Mulut (pada Anak) ....................................... 4

Gambar 4. Lesi Ulserasi pada Mukosa Labial (pada Ibu) ....................................... 4

Gambar 5. Lesi Ulserasi pada Mukosa Bukal (pada Ibu) ....................................... 4

Gambar 6. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Minor................................................... 5

Gambar 7. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Mayor .................................................. 6

Gambar 8. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Herpetiformis ...................................... 6

Gambar 9. Sindrom Steven-Johnson ....................................................................... 8

Gambar 10. Makroglosia ......................................................................................... 9

Gambar 11.Warts .................................................................................................. 10

Gambar 12. Xerostomia ........................................................................................ 11

Gambar 13. Cheilitis.............................................................................................. 12

Page 5: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

5

BAB I

PENDAHULUAN

Rongga mulut merupakan salah satu bagian tepenting dalam proses

pengolahan makanan. Rongga mulut berperan sebagai pintu masuk bahan – bahan

makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia. Sebagai pintu masuk bahan

makanan, rongga mulut tentunya tak dapat terhindar dari kontaminasi benda –

benda asing yang masuk bersama makanan sehingga rentan terhadap timbulnya lesi.

Salah satu lesi yang mucul pada rongga mulut yaitu Recurrent Apthous Stomatitis.

Recurrent Apthous Stomatitis adalah kondisi pada rongga mulut yang

memiliki karakteristik berupa ulkus yang terasa nyeri. Ulkus ini dapat muncul

dalam ukuran dan durasi yang bervariasi. Recurrent Apthous Stomatitis merusak

jaringan yang tidak berkeratin pada rongga mulut (ID Miziara dkk, 2005).

Recurrent Apthous Stomatitis (RAS) diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu

minor, mayor, dan herpetiformis. RAS minor berukuran tidak lebih dari 10 mm dan

akan sembuh kurang lebih pada hari kesepuluh sampai keempatbelas. RAS minor

ini merupakan jenis yang paling sering terjadi. Jenis lain dari lesi ini adalah RAS

mayor. RAS mayor memiliki ukuran 10 mm – 30 mm dan akan sembuh dalam

jangka waktu yang lebih lama, yaitu dalam hitungan pekan bahkan bulan. RAS

mayor ini lebih jarang terjadi tetapi rasa sakit yang ditimbulkan akan lebih berat.

Jenis ketiga yaitu RAS herpetiformis yang berukuran 1 – 3mm. RAS herpetiformis

merupakan jenis ras yang jarang terjadi dan apabila terinfeksi dapat muncul sampai

100 ulser dalam satu kali periode (ID Miziara dkk, 2005). Recurrent Apthous

Stomatitis dapat menyebabkan gangguan dalam berbicara dan makan yang akan

Page 6: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

6

dapat mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan kualitas hidup rendah.

Penelitian menunjukkan bahwa Recurrent Apthous Stomatitis lebih sering

terjadi pada dewasa muda dan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya

umur (SS Natah dkk, 2004). Etiologi menunjukkan bahwa masih belum dapat

diketahui penyebab terjadinya RAS akan tetapi meskipun terdapat faktor

imunogenetik (SS Natah dkk, 2004). Kemungkinan penyebab lain dari Recurrent

Apthous Stomatitis adalah trauma, penggnaan obat, kekurangan vitamin B12, asam

folat, zat besi, dan bahan makanan lainnya. Selain itu, kemungkinan lainnya adalah

stress, perubahan hormon, penyakit metabolik, dan infeksi mikroorganisme (L

Preeti dkk, 2011).

Pengobatan Recurrent Apthous Stomatitis belum mencapai titik terang.

Intervensi sistemik digunakan sebagai pengobatan paliatif tetapi masih terdapat

belum cukup bukti untuk medukung atau tidak menyetujui perawatan apapun (P

Brocklehurst dkk, 2012). Sampai sekarang masih belum ada penelitian yang cukup

untuk menentukan tingkat efektivitas penggunaan obat – obatan topikal, terlebih

pada pasien dengan HIV/AIDS (T Kuteyi dkk, 2012). Pengobatan secara cepat dan

efektif diperlukan untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan serta rasa sakit yang

dialami penderita.

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai dua orang

pasien (ibu dan anak) yang menggunakan imunosupresan injeksi akibat dari HIV

dan secara bersamaan mengalami Recurrent Apthous Stomatitis mayor.

Page 7: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

7

BAB II

LAPORAN KASUS

Pasien anak laki-laki kulit putih berusia 10 tahun dibawa oleh ibunya ke klinik

Penyakit Mulut Sekolah Kedokteran Gigi (Universidade Federal do Paraná,

Brazil) dengan keluhan ulkus di seluruh mulut. Pasien didiagnosis positif HIV

dengan transmisi vertikal pada usia 6 bulan. Pasien menerima perawatan untuk

infeksi HIV dengan obat antiretrovirus.

Pada saat anamnesis, ibu pasien melaporkan bahwa anaknya sering

mengalami infeksi telinga yang menyebabkan perforasi gendang telinga dan

mengakibatkan kehilangan pendengaran. Pemeriksaan intraoral menunjukkan

adanya lesi ulserasi pada mukosa labial (Gambar 1), mukosa bukal, lidah (Gambar

2) dan dasar mulut (Gambar 3). Ulkus memiliki dasar nekrotik kekuningan dengan

tepi terangkat dan halo eritema. Pasien mengeluhkan rasa sakit yang parah dengan

kesulitan makan dan menggosok gigi. Menurut ibu pasien, lesi ulserasi ini sering

terjadi. Terlebih lagi, limfadenopati submandibula bilateral ditemukan pada

pemeriksaan ekstraoral. Lesi didiagnosis sebagai stomatitis aftosa rekuren mayor

karena ukuran, bentuk dan riwayat rekurensinya.

Riwayat keluarga menunjukkan bahwa ibunya merupakan mantan pecandu

alkohol, mantan perokok, memiliki hipertensi dan positif HIV selama 16 tahun. Ibu

pasien sedang dirawat dengan obat-obatan antriretrovirus dan antihipertensi.

Pemeriksaan intraoral pada ibu pasien menunjukkan keberadaan lesi ulserasi pada

mukosa labial (Gambar 4), mukosa bukal (Gambar 5), dan lidah. Limfadenopati

submandibula tercatat pada sisi kanan leher. Diagnosis stomatitis aftosa rekuren

Page 8: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

8

mayor didapatkan menurut tanda dan gejala pasien.

Kedua pasien diberikan obat kumur deksametason 0,5 mg setiap 8 jam selama 7

hari. Kedua pasien diinstruksikan untuk tidak menelan obat. Pada akhir perawatan,

kedua pasien masih menunjukkan beberapa lesi residual. Tetapi, tidak ada keluhan

rasa sakit atau ketidaknyamanan saat makan dan ulkus telah menunjukkan tanda-tanda

remisi. Dua minggu kemudian, kedua pasien tidak memiliki ulkus aftosa dalam mulut

dan dirujuk untuk perawatan gigi. memiliki ulkus aftosa dalam mulut dan dirujuk

untuk perawatan gigi.

Gambar 3. Lesi Ulserasi pada Dasar

Mulut (pada Anak)

Gambar 2. Lesi Ulserasi pada Lidah

(pada Anak)

Gambar 4. Lesi Ulserasi pada Mukosa

Labial (pada Ibu)

Gambar 1. Lesi Ulserasi pada Mukosa

Labial (pada Anak)

Page 9: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

9

BAB III

KAITAN DENGAN TEORI

3.1 HIV/AIDS

3.1.1. Definisi HIV/AIDS

Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau Human Immunodeficiency Virus

adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang kemudian

berdampak pada penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga menimbulkan satu

penyakit yang disebut AIDS. HIV menyerang sel-sel darah putih yang dimana sel-sel

darah putih itu merupakan bagian dari sitem kekebalan tubuh yang berfungsi

melindungi tubuh dari serangan penyakit. Manusia yang terinfeksi HIV akan berpotensi

sebagai pembawa (carrier) dan penularan virus tersebut selama hidupnya. AIDS

(Acquired Immune Deficiency Syndrome) kumpulan gejala penyakit spesifik yang

disebabkan oleh rusaknya system kekebalan tubuh oleh virus HIV (Komisi

Penangulangan AIDS Provinsi Maluku, 2015).

3.1.2. Perjalanan Infeksi HIV/AIDS

Pada saat seseorang terinfeksi HIV maka diperlukan waktu 5-10 tahun untuk

sampai ke tahap AIDS. Setelah virus masuk kedalam tubuh manusia, maka selama 2-4

bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah

meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia.Tahap ini disebut sebagai

periode jendela. Sebelum masuk tahap AIDS, maka orang tersebut dinamai HIV positif

karena dalam darahnya terdapat HIV (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Pada tahap HIV positif ini maka keadaan fisik yang bersangkutan tidak mempunyai

kelainan khas ataupun keluhan lainnya dan bahkan bisa diperpanjang menjadi 3 tahun.

Page 10: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

10

Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan merusak sel darah putih

(yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh) dan setelah 5-10 tahun maka kekebalan

tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS. Dimana akan muncul

berbagai infeksi seperti infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dan sebagainya

(Departemen Kesehatan RI, 2008).

3.1.3. Cara Penularan HIV/AIDS

Menurut Departemen kesehatan RI (2008) penularan HIV/AIDS melalui 3 cara

yaitu:

1. Penularan Seksual

Secara umum dapat dikatakan, hubungan seksual adalah cara penularan HIV/AIDS

yang paling sering terjadi. Virus dapat ditularkan dari seseorang yang terinfeksi kepada

pasangan seksualnya, baik itu sesama jenis (Homoseks) kelamin atau sebaliknya

berbeda jenis kelamin (Heteroseks), atau ada yang mendonorkan semennya kepada

orang lain. Hubungan seksual tersebut adalah hubungan seksual dengan penetrasi penis-

vagina, penis-anus atau kontak mulut. Resiko terinfeksi HIV/AIDS melalui hubungan

seksual tergantung kepada beberapa hal:

a. Kemungkinan Bahwa Pasangan Seksual Terinfeksi HIV.

Angka kejadian infeksi HIV pada penduduk seksual aktif sangat bervariasi antara

satu daerah dengan daerah lainnya, juga berbeda antara satu kelompok penduduk

dengan kelompok penduduknya lainnya dalam satu daerah.Kemungkinan proporsi

seseorang terinfeksi HIV terbanyak melalui hubungan heteroseksual maka kelompok

masyarakat yang beresiko untuk terinfeksi HIV adalah PSK dan laki-laki yang sering

kali melakukan hubungan seks dengan PSK.

Page 11: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

11

b. Penularan HIV/AIDS melalui Hubungan Seksual Berganti-ganti Pasangan.

Semua hubungan seksual yang dilakukan dengan cara berganti-ganti pasangan

mempunyai resiko penularan infeksi HIV. Namun, resiko tertinggi terjadinya infeksi

HIV pada pria dan wanita ialah mereka yang berlaku sebagai penerima dari hubungan

seksual anal dengan pasangan seksual yang terinfeksi HIV. Hubungan cara vaginal

kemungkinan membawa resiko tinggi bagi pria dan wanita heteroseksual dari pada oral-

genital. Kontak oral-genital memungkinkan penularan HIV.

2. Penularan Parental

Penularan ini terjadi melalui transfusi dengan darah yang terinfeksi HIV atau

produk darah atau penggunaan jarum yang terkontaminasi dengan HIV atau peralatan

lain yang melukai kulit.

3. Penularan Perinatal

Penularan dari seorang wanita kepada janin yang dikandungnya atau bayinya.

Penularan ini dapat terjadi sebelum, selama, atau beberapa saat setelah bayi dilahirkan.

Resiko penularan HIV dalam rahim si ibu atau selama proses kelahiran sebesar 20-40%

3.2 Jenis Jenis Recurrent Apthous Stomatitis

Ulkus RAS adalah kondisi kelainan mukosa yang sering terjadi pada rongga

mulut. Meskipun prevalensinya tinggi, etiopatogenesis masih belum jelas. Jenis

RAS dibagi menjadi 3, yaitu :

1. RAS minor juga dikenal sebagai Aphthae Miculiz atau ulkus aphthous ringan.

Page 12: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

12

Jenis RAS ini merupakan varian yang paling umum terjadi, sekitar 80% dari

kasus RAS. Ulkus bervariasi dari 8 hingga 10 mm. ulser bulat atau oval,

dangkal dengan diameter kurang dari 5 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran

yang eritematus. RAS ini paling sering terjadi pada permukaan mukosa yang

tidak berkeratin seperti labial mukosa, mukosa bukal, dan dasar mulut. Durasi

ulkus ini pada umumnya selama 10-14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut

(L Preeti dkk, 2012).

Gambar 6. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Minor (Nisa R, 2011)

RAS mayor juga dikenal sebagai periadenitis mukosa nekrotik kambuh atau

penyakit Sutton. Jenis RAS ini terjadi sekitar 10-15% dari kasus RAS. Ukuran

ulkus dapat mencapai 1 cm atau lebih. Tempat terjadinya RAS ini yang paling

umum adalah pada bagian bibir, langit-langit lunak, dan fauces tetapi dapat

terjadi juga pada bagian mulut yang merupakan daerah berkeratin. Mukosa

pengunyahan seperti dorsum lidah atau gingiva mungkin kadang-kadang

terlibat. Durasi ulkus ini biasanya menetap hingga 6 minggu dan sembuh dengan

meninggalkan jaringan parut (L Preeti dkk, 2012).

Page 13: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

13

Gambar 7. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Mayor (Nisa R, 2011)

2. Ulserasi herpetiform ulserasi herpetiformis (HU). Istilah “herpetiformis”

digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri dari 100 ulser

kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer

Tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam

setiap bentuk ulserasi aftosa. RAS ini berukuran kecil, ukurannya 2–3 mm.

Lesi dapat bergabung dan membentuk ulkus besar yang tidak beraturan.

Durasi dari ulkus ini biasanya berlangsung sekitar 10-14 hari. Tidak seperti

ulkus herpes, ini tidak didahului oleh vesikula dan tidak mengandung sel yang

terinfeksi virus. Ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan varian klinis

RAS lainnya (L Preeti dkk, 2012).

Page 14: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

14

Gambar 8. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Herpetiformis (Nisa R, 2011)

3.3 Treatment Recurrent Apthous Stomatitis (RAS)

Perawatan RAS jenis apapun tetap menjadi tantangan. Meskipun telah banyak

jenis perawatan yang tersedia, tidak ada terapi atau obat-obatan yang efektif. Obat-

obatan yang diberikan biasanya mengatasi rasa sakit, ketidaknyamanan dan

mengurangi waktu penyembuhan. Penggunaan agen anestesi protektif dan/atau

topikal direkomendasikan pada pasien dengan ulkus aftosa rekuren minor yang

lebih jarang terjadi atau pada tipe herpetiform. Pada kasus tipe minor atau

herpetiform yang lebih sering terjadi atau tipe mayor, terdapat beberapa pilihan

perawatan topikal seperti anestesi, sukralfat dan kortikosteroid (fluosinonid 0,05%,

klobetasol propionat 0,05% dan eliksir deksametason 0,5 mg/5ml). Pilihan

perawatan sistemik dapat melibatkan kortikosteroid seperti prednison (0,5-1,0

mg/kg atau injeksi intralesi triamsinolon 40 mg/ml). Pilihan perawatan sistemik

kedua melibatkan modulator imun seperti talidomid (200 mg/hari)( Kerr AR, Ship

JA, 2003).

Perawatan farmakologi lokal dimulai dengan pengobatan topikal. Pilihan

pengobatan ini terdiri dari antiseptik dan obat antiinflamasi / analgesik seperti

Page 15: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

15

klorheksidin 0,2%, tiga kali sehari tanpa menelan. Triclosan juga digunakan dalam

gel atau bilas dengan aturan minum tiga kali sehari tanpa menelan, selama lesi

bertahan, dan memberi efek antiinflamasi, antiseptik dan analgesik. Pada

gilirannya, diklofenak 3% topikal dengan 2,5% asam hyaluronic dapat diterapkan

untuk mengurangi rasa sakit . Penggunaan bilasan oral dengan benzidamine

hydrochloride, yang menawarkan pereda nyeri sementara (Guallar dkk, 2014).

RAS yang diamati selama perjalanan infeksi HIV dapat berat dan menyebabkan

morbiditas yang signifikan pada pasien tersebut. Ulkus dapat mengganggu fungsi

mulut dan mengubah kualitas hidup pasien. Perhatian lebih perlu diberikan terhadap

aspek klinis lesi untuk menegakkan diagnosis serta menentukan perawatan yang

benar. Saat ini, tujuan utama perawatan adalah untuk meningkatkan kecepatan

perbaikan luka, menghilangkan rasa sakit sekaligus mempertahankan asupan nutrisi

dan mengurangi rekurensi.

3.4 Dampak Antiretroviral

Pasien HIV mengalami perubahan imunologi tubuh yang kompleks. Obat yang

diberikan untuk pasien HIV biasanya bermacam-macam sehingga kemungkinan untuk

menimbulkan efek samping semakin besar. Efek samping yang terjadi dapat berupa

reaksi hipersensitivitas obat, seperti alergi kulit (mis: urikaria) tanpa reaksi sistemik

sampai reaksi alergi berat seperti Sindrom Steven Johnson (SSJ). Pasien HIV bahkan

lebih besar 100 kali untuk mengalami hipersensitivitas obat daripada orang normal.

Pada era awal terapi ARV insidensi timbulnya ruam kulit mencapai 50% dari pasien

HIV yang mengkonsumsi obat ARV. Semua obat antiretroviral (ARV) dan obat untuk

mengobati infeksi oportunistik dilaporkan dapat menyebabkan efek samping. Oleh

Page 16: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

16

sebab itu menentukan jenis obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas adalah

sebuah tantangan.

Reaksi hipersensitivitas bervariasi dalam manifestasi klinis dan derajat beratnya.

Manifestasi klinis yang terjadi bervariasi mulai reaksi efek samping obat per

kutan/cutaneous adverse drug reaction (CADR), reaksi anafilaktik, demam, kerusakan

hati akibat obat, anemia akibat obat, neutropenia dan trombositopenia. CADR

merupakan manifestasi paling umum dari hipersensitivitas obat. Pasien dapat

mengalami eksantema tanpa gejala sistemik atau sindrom hipersensitivitas obat yang

ditandai dengan ruam eritema makulopapular dengan gejala tambahan seperti demam,

pegal-pegal, nyeri sendi. Gejala tersebut dapat ditambah dengan keterlibatan organ

dalam (hepatitis,nefritis, myokarditis, dsb). Sindrom Steven Johnson terjadi pada

kurang dari 0,5% pasien. Studi dari Coopman, et al yang melibatkan 684 pasien HIV

memperlihatkan CADR berperan dalam 8,2% diagnosis dermatologi pasien HIV.

CADR yang paling umum adalah ruam kemerahan seperti campak. Kebanyakan CADR

disebabkan oleh antibiotik kotrimoksazol. ARV juga berperan dalam CADR walaupun

tidak sesering antibiotik.

Untuk ARV sendiri, terdapat 6 kelas yang telah disetujui pemakaiannya oleh US

Food and Drug Administration (FDA) berdasarkan cara kerja mereka, yaitu nucleoside

reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor

(NNRTI), protease inhibitor (PI), fusion inhibitor, cystein-cystein chemokine receptor

5 (CCR5) dan integrase strand transfer inhibitor (INSTI). Regimen ARV harus terdiri

dari sedikit 3 obat dengan cara kerja yang berbeda, biasanya kombinasi 2NRTI dengan

1NNRTI atau 2NRTI dengan 1PI. Semua jenis ARV dapat menyebabkan reaksi efek

samping, terutama hipersensitivitas obat. WHO merekomendasikan satu kali dosis tetap

Page 17: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

17

kombinasi tenofovir dengan lamivudin/emtricitabin dan efavirenz untuk

menyederhanakan terapi dan meningkatkan adherens. Regimen ini lebih sedikit

dihubungkan dengan kejadian efek samping dan memiliki respons terapi yang lebih baik

dibandingkan dengan regimen lainnya.

Dimulainya pengobatan menggunakan golongan antiretrovirus telah memberikan

hasil berkurangnya frekuensi dari beberapa kelainan yang disebabkan oleh infeksi HIV,

termasuk kelainan oral. Tetapi disamping menurunkan frekuensi beberapa kelainan

rongga mulut, obat ini ternyata juga dapat menimbulkan bahkan meningkatkannya

kelainan rongga mulut lainnya.

1. Sindroma Steven-Johnson

Sindroma Steven-Johnson merupakan suatu reaksi hipersensitivitas dengan

karakteristik blister pada kulit yang akut dan erosi pada membran mukosa. Etiologi

dari SSJ sukar untuk ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai

faktor. Walaupun demikian pada umumnya SSJ sering berkaitan dengan respon

imun terhadap obat, dimana 50 % penyebab SSJ adalah penggunaan obat. Ada

beberapa jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan SSJ, salah satu diantaranya

adalah Nevirapine antiretrovirus golongan NNRTI4. Dalam menanggulangi

masalah SSJ ini, pertama kali harus dicari penyebab utamanya, jika penyebabnya

adalah obat-obatan antiretrovirus maka penatalaksanaan utamanya adalah

penghentian obat tersebut (Rahmawati, 2016).

Page 18: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

18

Gambar 9. Sindrom Steven-Johnson (Rahmawati, 2016).

2. Makroglosia

Makroglosia adalah kelainan pada lidah yang membesar secara abnormal.

Etiologi dari kelainanan lidah ini bervariasi dan dapat disebabkan oleh hipertrofi

otot idiopatik, malformasi vaskuler, kelainan endokrin, reaksi alergi, tumor, dlll.

Selain beberapa etiologi di atas. Makroglosia juga dapat disebabkan oleh

penggunaan obat-obatan, diantaranya Lopinavir/Ritonavir dan obat antiretrovirus

golongan PI juga termasuk di dalamnya. Makroglosia pada penderita HIV/AIDS

karena penggunaan obat-obatan antiretrovirus terjadi karena efek samping berupa

redistribusi lemak pada tubuh, dimana lemak menginfiltrasi jaringan terkhusus pada

jaringan lidah yang terlihat dari bukti histopatologis berupa penumpukan jaringan

lemak pada jaringan lidah. Bila penyebab makroglosia adalah obat antiretrovirus

yang digunakan oleh pasien maka dapat dikonsultasikan kepada dokter yang

memberikan terapi antiretrovirus untuk mengganti obat dengan jenis lain

(Prameswari, 2011).

Page 19: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

19

Gambar 10. Makroglosia (Prameswari, 2011)

3. Warts

Warts merupakan tumor atau pertumbuhan pada kulit yang disebabkan oleh

Human Papillomavirus (HPV). Lesi ini umumnya kecil, asimtomatik, dan memiliki

gambaran yang eksofitik dengan hiperkeratosis seperti daun pakis, papula yang

mempunyai bentuk seperti kubah dengan warna seperti mukosa normal atau putih

akibat hiperkeratosis atau papula dengan bagian datar pada puncaknya yang hanya

sedikit bertumbuh diatas permukaan dan umumnya berwarna seperti mukosa

normal. Pada pasien HIV/AIDS kelainan ini telah ada, berdasarkan sebuah

penelitian persentase timbulnya sekitar 5% pada pasien yang tidak diberi terapi

antiretrovirus. Namun setelah diperkenalkannya penggunaan antiretrovirus, lesi ini

mengalami peningkatan yang cukup tinggi, dimana pada pasien yang menggunakan

Reverse Transkriptase, lesi ini meningkat menjadi 15% sedangkan pada pasien

yang diberi tambahan PI persentasenya bisa meningkat sampai 23% ( Dimaio,

2015).

Page 20: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

20

Gambar 11. Warts (Dimaio, 2015)

4. Xerostomia

Xerostomia merupakan kondisi dimana saliva tidak dapat berfungsi dengan

baik sehingga menyebabkan kondisi mulut menjadi kering. Xerostomia adalah

keadaan di mana mulut kering akibat pengurangan atau tiadanya aliran saliva.

Xerostomia bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari pelbagai kondisi

seperti perawatan yang diterima, efek samping dari radiasi di kepala dan leher, atau

efek samping dari pelbagai jenis obat. Dapat berhubungan atau tidak berhubungan

dengan penurunan fungsi kelenjar saliva.

Xerostomia menyebabkan mengeringnya selaput lendir, mukosa mulut menjadi

kering, mudah mengalami iritasi dan infeksi. Keadaan ini disebabkan oleh karena

tidak adanya daya lubrikasi dan proteksi dari saliva. Proses pengunyahan dan

penelanan makanan sulit dilakukan khususnya makanan kering. Rasa pengecapan

dan proses bicara juga akan terganggu. Kekeringan pada mulut menyebabkan

fungsi pembersih dari saliva berkurang, sehingga terjadi radang dari selaput lendir

yang disertai keluhan mulut terasa seperti terbakar. Selain itu, pada penderita

Page 21: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

21

xerostomia fungsi bakteriostase dari saliva berkurang sehingga menyebabkan

peningkatan proses karies gigi.

Xerostomia disebabkan oleh berbagai hal seperti efek samping obat, komplikasi

penyakit dan infeksi, dehidrasi, terapi radiasi dan pembedahan untuk membersihkan

kelenjar saliva. Antiretrovirus merupakan salah satu obat yang memberikan efek

samping xerostomia. Obat antiretrovirus yang dapat memberikan efek samping

xerostomia adalah Didadosine, Efivarenz, Indinavir, Nelfinavir, Ritonavir dan

Saquinavir. Penyebab xerostomia pada pasien HIV belum diketahui pasti tetapi dari

beberapa efek samping obat antiretrovirus, infiltrasi lemak pada kelenjar parotis.

kemungkinan salah satu hal yang dapat menyebabkan xerostomia, karena

pembesaran kelenjar parotis yang akan mengganggu aliran saliva (Sugalingging,

2009).

Gambar 12. Xerostomia (Sugalingging, 2009)

5. Cheilitis

Cheilitis merupakan kondisi bibir yang terlihat kering, bersisik dan mungkin

memiliki satu atau lebih retakan atau fisur yang kecil. Etiologi dari penyakit ini

terdiri dari berbagai faktor seperti infeksi, faktor mekanik, nutrisional atau

Page 22: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

22

imunologi, selain hal tersebut obat-obatan juga dapat menyebabkan timbulnya

cheilitis walaupun tanpa adanya infeksi Candida albicans. Etiologi lain dari cheilitis

adalah dimana cheilitis dapat terjadi akibat satu faktor ataupun kombinasi beberapa

faktor. Faktor tersebut antara lain pemakaian gigi tiruan atau pemakaian gigi tiruan

yang tidak tepat dengan penurunan dimensi vertikal oklusi, keadaan defisiensi

seperti hipovitaminosis (terutama vitamin B), malabsorpsi dan kekurangan zat besi,

serta kelainan dimana terdapat perubahan pada anatomis bibir seperti, Orofacial

granulomatosis, Crohn’s disease, dan Down Syndrome. Obat antiretrovirus

termasuk dalam obat-obatan yang dapat menimbulkan efek samping berupa

cheilitis, khususnya dari golongan PI yaitu Indinavir dan Ritonavir (Sugalingging,

2009).

6. Parotid Lipomatosis

Parotid lipomatosis merupakan penumpukan lemak pada jaringan kelenjar

ludah parotis. Penumpukan lemak yang tidak normal disebabkan oleh obat

antiretrovirus golongan PI yang memberikan efek samping penumpukan lemak

tidak normal pada pasien HIV. Obat antiretrovirus yang memberikan efek samping

parotid lipomatosis diantaranya adalah Saquinavir, Amprenavir, Indinavir,

Page 23: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

23

Nelfinavir, Ritonavir (Sugalingging, 2009).

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

RAS (Recurrent Aphthous Stomatitis) adalah kondisi yang memiliki ciri- ciri

ulserasi tunggal atau mejemuk yang menyakitkan dengan ukuran dan durasi yang

bervariasi serta biasanya mengenai mukosa mulut yang tidak terkeratinasi. RAS

(Recurrent Aphthous Stomatitis) dapat dibagi menjadi menjadi 3 yaitu

mayor,minor, dan herpetiform. Dari kasus diatas disimpulkan bahwa kedua pasien

(ibu dan anak) yang terinfeksi HIV, pada kasus ini sama-sama mengalami RAS

mayor. Hal ini dapat dilihat dari pemeriksaan intraoral dan ekstraoral pada pasien

baik ibu maupun anak, yang sama-sama menunjukkan ciri-ciri dari RAS mayor.

Diagnosis diatas dikuatkan oleh data-data penting yang meliputi ukuran ulser yang

lebih dari 1cm pada daerah mukosa yang tidak berkeratin serta dengan jumlah yang

majemuk. Pada kedua pasien uklus ditemukan di daerah yang sama yaitu pada

bukal, labial, dan dasar mulut. Pada pemeriksaan ekstraoral menunjukan terdapat

limfadenopati sublingual pada kedua pasien yaitu bilateral pada anak dan sebelah

kanan pada ibu. Selain dari pemeriksaan, dia gnosis juga dikuatkan oleh riwayat

rekuensi dan riwayat keluarga dari pasien dimana sang ibu merupakan mantan

pecandu alcohol dan rokok, memiliki hipertensi dan positif HIV selama 16 tahun.

Pada kasus ini ibu dan anak menunjukkan manifestasi beberapa lesi secara

Page 24: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

24

bersamaan. Fakta ini bisa terjadi karena imunosupresi yang berhubungan dengan

HIV yang dianggap sebagai faktor etiologi. Terlebih pengaruh faktor genetik tidak

dapat dikesampingkan karena salah satu orang tua memiliki RAS. Perawatan yang

dipilih oleh kedua pasien pada laporan ini adalah obat kumur dengan eliksir

deksameton 0,5 mg setiap 8 jam selama 7 hari. Pasien diinstruksikan untuk tidak

menelan obat. Terlebih lagi, pasien diawasi secara klinis untuk mengendalikan

infeksi oportunis seperti kandidiasis oral.

4.2. Saran

Adapun saran yang penulis berikan adalah :

1. Kepada seluruh mahasiswa agar nantinya dapat memahami berbagai

jenis penyakit mulut sehingga dapat menegakkan diagnosis dan

penanganan yang tepat.

2. Kepada pembaca agar selalu menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan

mulut serta rajin mengontrolkan diri ke dokter gigi agar dapat terdeteksi

secara dini apabila terdapat suatu penyakit.

Page 25: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

25

DAFTAR PUSTAKA

Brocklehurst P, Tickle M, Glenny AM, Lewis MA, Pemberton MN, Taylor J, et al.

2012. Systemic interventions for recurrent aphthous stomatitis (mouth

ulcers). Cochrane Database Syst Rev. 9.

Dedy Syahputra Sugalingging. 2009. Efek Samping Penggunaan Obat

Antiretrovirus di Rongga Mulut Pasien HIV/Aids).

Dimaio Daniel. 2015. Nuns, Warts, Viruses, and Cancer. Yale Journal of Biology

and Medicine. 88: 127-129

Kuteyi T, Okwundu CI. 2012. Topical Treatments for HIV-Related Oral Ulcers.

Cochrane Database Syst Rev. 1.

Miziara ID, Araujo Filho BC, Weber R. 2005. AIDS and Recurrent Aphthous

Stomatitis. Braz J Otorhinolaryngol. 71 (4). 517–520.

Natah SS, Konttinen YT, Enattah NS, Ashammakhi N, Sharkey KA, Häyrinen-

Immonen R. 2004. Recurrent Aphthous Ulcers Today: A Review of The

Growing Knowledge. Int J Oral Maxillofac Surg. 33(3). 221–234.

Nisa, R., 2011. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) yang Dipicu oleh Stres pada

Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Page 26: MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND …

26

Preeti L, Magesh K, Rajkumar K, Karthik R. 2011. Recurrent Aphthous Stomatitis.

J Oral Maxillofac Pathol. 15(3). 252–256.

Preeti, L, Magesh, K.T, Rajkumar K, Karthik, R. 2011. Recurrent Aphthous

Stomatitis. Journal of oral and maxillofacial pathology: JOMFP, 15(3),

p.252.

Prameswari Zuraida Triana, Sjafei Achmad, Winoto Ervina R. 2011. Dental

Anomaly in Osteogenesis Imperfecta Patients. Orthodontic Dental Journal.

2(1) : 16-25

Rahmawati Yuli Wahyu dan Indra Maya Dirah Mirah. 2016. Study Retrospektif :

Sindrome Stefen – Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Kesehatan Kulit

dan Kelamin-Periodikdal of Dermatology and Venereolog