major recurrent apthous stomatitis in mother and …
TRANSCRIPT
i
MAJOR RECURRENT APTHOUS STOMATITIS IN MOTHER AND SON
WITH HIV/AIDS INFECTION
Disusun Oleh :
drg. Putri Rejeki, SKG
NIK. 1987100920180122001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Major Recurrent
Apthous Stomatitis in Mother an Son with HIV/AIDS Infection” dengan baik.
Karya ilmiah ini disusun dalam rangka memenuhi penugasan pada Program Studi
Pendidikan Dokter Gigi FK Universitas Udayana. Dalam penyusunan karya ilmiah ini,
berbagai bantuan, petunjuk, serta saran dan masukan penulis dapatkan dari banyak
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis berterimakasih kepada beberapa
pihak yang membantu melancarkan pembuatan dari karya ilmiah ini, yaitu:
1. Koordinator Prodi, Dr. dr. Ni Made Linawati, M.Si yang telah membantu dan
membimbing penulis dalam menyusun karya tulis ini.
2. drg. I Gusti Agung Dyah Ambarawati, M.Biomed selaku Kepala Departemen
llmu Penyakit Mulut
3. Rekan-rekan dosen dan teman sejawat di Universitas Udayana serta teman- teman
yang penulis banggakan, atas dukungannya dalam penyusunan karya tulis ini.
Penulis sadar bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu penulis berharap agar mendapatkan kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan karya tulis ini. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat membantu
berbagai pihak.
Denpasar, 24 Mei 2018
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGATAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3
BAB III KAITAN DENGAN TEORI ..................................................................... 5
3.1 Jenis Jenis Recurrent Apthous Stomatitis ............................................. 5
3.2 Treatment Recurrent Apthous Stomatitis .............................................. 7
3.3 Dampak Antiretroviral .......................................................................... 8
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 13
4.1. Simpulan ............................................................................................. 13
4.2. Saran ................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lesi Ulserasi pada Mukosa Labial (pada Anak) .................................... 4
Gambar 2. Lesi Ulserasi pada Lidah (pada Anak) .................................................. 4
Gambar 3. Lesi Ulserasi pada Dasar Mulut (pada Anak) ....................................... 4
Gambar 4. Lesi Ulserasi pada Mukosa Labial (pada Ibu) ....................................... 4
Gambar 5. Lesi Ulserasi pada Mukosa Bukal (pada Ibu) ....................................... 4
Gambar 6. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Minor................................................... 5
Gambar 7. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Mayor .................................................. 6
Gambar 8. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Herpetiformis ...................................... 6
Gambar 9. Sindrom Steven-Johnson ....................................................................... 8
Gambar 10. Makroglosia ......................................................................................... 9
Gambar 11.Warts .................................................................................................. 10
Gambar 12. Xerostomia ........................................................................................ 11
Gambar 13. Cheilitis.............................................................................................. 12
5
BAB I
PENDAHULUAN
Rongga mulut merupakan salah satu bagian tepenting dalam proses
pengolahan makanan. Rongga mulut berperan sebagai pintu masuk bahan – bahan
makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia. Sebagai pintu masuk bahan
makanan, rongga mulut tentunya tak dapat terhindar dari kontaminasi benda –
benda asing yang masuk bersama makanan sehingga rentan terhadap timbulnya lesi.
Salah satu lesi yang mucul pada rongga mulut yaitu Recurrent Apthous Stomatitis.
Recurrent Apthous Stomatitis adalah kondisi pada rongga mulut yang
memiliki karakteristik berupa ulkus yang terasa nyeri. Ulkus ini dapat muncul
dalam ukuran dan durasi yang bervariasi. Recurrent Apthous Stomatitis merusak
jaringan yang tidak berkeratin pada rongga mulut (ID Miziara dkk, 2005).
Recurrent Apthous Stomatitis (RAS) diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu
minor, mayor, dan herpetiformis. RAS minor berukuran tidak lebih dari 10 mm dan
akan sembuh kurang lebih pada hari kesepuluh sampai keempatbelas. RAS minor
ini merupakan jenis yang paling sering terjadi. Jenis lain dari lesi ini adalah RAS
mayor. RAS mayor memiliki ukuran 10 mm – 30 mm dan akan sembuh dalam
jangka waktu yang lebih lama, yaitu dalam hitungan pekan bahkan bulan. RAS
mayor ini lebih jarang terjadi tetapi rasa sakit yang ditimbulkan akan lebih berat.
Jenis ketiga yaitu RAS herpetiformis yang berukuran 1 – 3mm. RAS herpetiformis
merupakan jenis ras yang jarang terjadi dan apabila terinfeksi dapat muncul sampai
100 ulser dalam satu kali periode (ID Miziara dkk, 2005). Recurrent Apthous
Stomatitis dapat menyebabkan gangguan dalam berbicara dan makan yang akan
6
dapat mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan kualitas hidup rendah.
Penelitian menunjukkan bahwa Recurrent Apthous Stomatitis lebih sering
terjadi pada dewasa muda dan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya
umur (SS Natah dkk, 2004). Etiologi menunjukkan bahwa masih belum dapat
diketahui penyebab terjadinya RAS akan tetapi meskipun terdapat faktor
imunogenetik (SS Natah dkk, 2004). Kemungkinan penyebab lain dari Recurrent
Apthous Stomatitis adalah trauma, penggnaan obat, kekurangan vitamin B12, asam
folat, zat besi, dan bahan makanan lainnya. Selain itu, kemungkinan lainnya adalah
stress, perubahan hormon, penyakit metabolik, dan infeksi mikroorganisme (L
Preeti dkk, 2011).
Pengobatan Recurrent Apthous Stomatitis belum mencapai titik terang.
Intervensi sistemik digunakan sebagai pengobatan paliatif tetapi masih terdapat
belum cukup bukti untuk medukung atau tidak menyetujui perawatan apapun (P
Brocklehurst dkk, 2012). Sampai sekarang masih belum ada penelitian yang cukup
untuk menentukan tingkat efektivitas penggunaan obat – obatan topikal, terlebih
pada pasien dengan HIV/AIDS (T Kuteyi dkk, 2012). Pengobatan secara cepat dan
efektif diperlukan untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan serta rasa sakit yang
dialami penderita.
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai dua orang
pasien (ibu dan anak) yang menggunakan imunosupresan injeksi akibat dari HIV
dan secara bersamaan mengalami Recurrent Apthous Stomatitis mayor.
7
BAB II
LAPORAN KASUS
Pasien anak laki-laki kulit putih berusia 10 tahun dibawa oleh ibunya ke klinik
Penyakit Mulut Sekolah Kedokteran Gigi (Universidade Federal do Paraná,
Brazil) dengan keluhan ulkus di seluruh mulut. Pasien didiagnosis positif HIV
dengan transmisi vertikal pada usia 6 bulan. Pasien menerima perawatan untuk
infeksi HIV dengan obat antiretrovirus.
Pada saat anamnesis, ibu pasien melaporkan bahwa anaknya sering
mengalami infeksi telinga yang menyebabkan perforasi gendang telinga dan
mengakibatkan kehilangan pendengaran. Pemeriksaan intraoral menunjukkan
adanya lesi ulserasi pada mukosa labial (Gambar 1), mukosa bukal, lidah (Gambar
2) dan dasar mulut (Gambar 3). Ulkus memiliki dasar nekrotik kekuningan dengan
tepi terangkat dan halo eritema. Pasien mengeluhkan rasa sakit yang parah dengan
kesulitan makan dan menggosok gigi. Menurut ibu pasien, lesi ulserasi ini sering
terjadi. Terlebih lagi, limfadenopati submandibula bilateral ditemukan pada
pemeriksaan ekstraoral. Lesi didiagnosis sebagai stomatitis aftosa rekuren mayor
karena ukuran, bentuk dan riwayat rekurensinya.
Riwayat keluarga menunjukkan bahwa ibunya merupakan mantan pecandu
alkohol, mantan perokok, memiliki hipertensi dan positif HIV selama 16 tahun. Ibu
pasien sedang dirawat dengan obat-obatan antriretrovirus dan antihipertensi.
Pemeriksaan intraoral pada ibu pasien menunjukkan keberadaan lesi ulserasi pada
mukosa labial (Gambar 4), mukosa bukal (Gambar 5), dan lidah. Limfadenopati
submandibula tercatat pada sisi kanan leher. Diagnosis stomatitis aftosa rekuren
8
mayor didapatkan menurut tanda dan gejala pasien.
Kedua pasien diberikan obat kumur deksametason 0,5 mg setiap 8 jam selama 7
hari. Kedua pasien diinstruksikan untuk tidak menelan obat. Pada akhir perawatan,
kedua pasien masih menunjukkan beberapa lesi residual. Tetapi, tidak ada keluhan
rasa sakit atau ketidaknyamanan saat makan dan ulkus telah menunjukkan tanda-tanda
remisi. Dua minggu kemudian, kedua pasien tidak memiliki ulkus aftosa dalam mulut
dan dirujuk untuk perawatan gigi. memiliki ulkus aftosa dalam mulut dan dirujuk
untuk perawatan gigi.
Gambar 3. Lesi Ulserasi pada Dasar
Mulut (pada Anak)
Gambar 2. Lesi Ulserasi pada Lidah
(pada Anak)
Gambar 4. Lesi Ulserasi pada Mukosa
Labial (pada Ibu)
Gambar 1. Lesi Ulserasi pada Mukosa
Labial (pada Anak)
9
BAB III
KAITAN DENGAN TEORI
3.1 HIV/AIDS
3.1.1. Definisi HIV/AIDS
Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau Human Immunodeficiency Virus
adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang kemudian
berdampak pada penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga menimbulkan satu
penyakit yang disebut AIDS. HIV menyerang sel-sel darah putih yang dimana sel-sel
darah putih itu merupakan bagian dari sitem kekebalan tubuh yang berfungsi
melindungi tubuh dari serangan penyakit. Manusia yang terinfeksi HIV akan berpotensi
sebagai pembawa (carrier) dan penularan virus tersebut selama hidupnya. AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome) kumpulan gejala penyakit spesifik yang
disebabkan oleh rusaknya system kekebalan tubuh oleh virus HIV (Komisi
Penangulangan AIDS Provinsi Maluku, 2015).
3.1.2. Perjalanan Infeksi HIV/AIDS
Pada saat seseorang terinfeksi HIV maka diperlukan waktu 5-10 tahun untuk
sampai ke tahap AIDS. Setelah virus masuk kedalam tubuh manusia, maka selama 2-4
bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah
meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia.Tahap ini disebut sebagai
periode jendela. Sebelum masuk tahap AIDS, maka orang tersebut dinamai HIV positif
karena dalam darahnya terdapat HIV (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Pada tahap HIV positif ini maka keadaan fisik yang bersangkutan tidak mempunyai
kelainan khas ataupun keluhan lainnya dan bahkan bisa diperpanjang menjadi 3 tahun.
10
Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan merusak sel darah putih
(yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh) dan setelah 5-10 tahun maka kekebalan
tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS. Dimana akan muncul
berbagai infeksi seperti infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dan sebagainya
(Departemen Kesehatan RI, 2008).
3.1.3. Cara Penularan HIV/AIDS
Menurut Departemen kesehatan RI (2008) penularan HIV/AIDS melalui 3 cara
yaitu:
1. Penularan Seksual
Secara umum dapat dikatakan, hubungan seksual adalah cara penularan HIV/AIDS
yang paling sering terjadi. Virus dapat ditularkan dari seseorang yang terinfeksi kepada
pasangan seksualnya, baik itu sesama jenis (Homoseks) kelamin atau sebaliknya
berbeda jenis kelamin (Heteroseks), atau ada yang mendonorkan semennya kepada
orang lain. Hubungan seksual tersebut adalah hubungan seksual dengan penetrasi penis-
vagina, penis-anus atau kontak mulut. Resiko terinfeksi HIV/AIDS melalui hubungan
seksual tergantung kepada beberapa hal:
a. Kemungkinan Bahwa Pasangan Seksual Terinfeksi HIV.
Angka kejadian infeksi HIV pada penduduk seksual aktif sangat bervariasi antara
satu daerah dengan daerah lainnya, juga berbeda antara satu kelompok penduduk
dengan kelompok penduduknya lainnya dalam satu daerah.Kemungkinan proporsi
seseorang terinfeksi HIV terbanyak melalui hubungan heteroseksual maka kelompok
masyarakat yang beresiko untuk terinfeksi HIV adalah PSK dan laki-laki yang sering
kali melakukan hubungan seks dengan PSK.
11
b. Penularan HIV/AIDS melalui Hubungan Seksual Berganti-ganti Pasangan.
Semua hubungan seksual yang dilakukan dengan cara berganti-ganti pasangan
mempunyai resiko penularan infeksi HIV. Namun, resiko tertinggi terjadinya infeksi
HIV pada pria dan wanita ialah mereka yang berlaku sebagai penerima dari hubungan
seksual anal dengan pasangan seksual yang terinfeksi HIV. Hubungan cara vaginal
kemungkinan membawa resiko tinggi bagi pria dan wanita heteroseksual dari pada oral-
genital. Kontak oral-genital memungkinkan penularan HIV.
2. Penularan Parental
Penularan ini terjadi melalui transfusi dengan darah yang terinfeksi HIV atau
produk darah atau penggunaan jarum yang terkontaminasi dengan HIV atau peralatan
lain yang melukai kulit.
3. Penularan Perinatal
Penularan dari seorang wanita kepada janin yang dikandungnya atau bayinya.
Penularan ini dapat terjadi sebelum, selama, atau beberapa saat setelah bayi dilahirkan.
Resiko penularan HIV dalam rahim si ibu atau selama proses kelahiran sebesar 20-40%
3.2 Jenis Jenis Recurrent Apthous Stomatitis
Ulkus RAS adalah kondisi kelainan mukosa yang sering terjadi pada rongga
mulut. Meskipun prevalensinya tinggi, etiopatogenesis masih belum jelas. Jenis
RAS dibagi menjadi 3, yaitu :
1. RAS minor juga dikenal sebagai Aphthae Miculiz atau ulkus aphthous ringan.
12
Jenis RAS ini merupakan varian yang paling umum terjadi, sekitar 80% dari
kasus RAS. Ulkus bervariasi dari 8 hingga 10 mm. ulser bulat atau oval,
dangkal dengan diameter kurang dari 5 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran
yang eritematus. RAS ini paling sering terjadi pada permukaan mukosa yang
tidak berkeratin seperti labial mukosa, mukosa bukal, dan dasar mulut. Durasi
ulkus ini pada umumnya selama 10-14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut
(L Preeti dkk, 2012).
Gambar 6. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Minor (Nisa R, 2011)
RAS mayor juga dikenal sebagai periadenitis mukosa nekrotik kambuh atau
penyakit Sutton. Jenis RAS ini terjadi sekitar 10-15% dari kasus RAS. Ukuran
ulkus dapat mencapai 1 cm atau lebih. Tempat terjadinya RAS ini yang paling
umum adalah pada bagian bibir, langit-langit lunak, dan fauces tetapi dapat
terjadi juga pada bagian mulut yang merupakan daerah berkeratin. Mukosa
pengunyahan seperti dorsum lidah atau gingiva mungkin kadang-kadang
terlibat. Durasi ulkus ini biasanya menetap hingga 6 minggu dan sembuh dengan
meninggalkan jaringan parut (L Preeti dkk, 2012).
13
Gambar 7. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Mayor (Nisa R, 2011)
2. Ulserasi herpetiform ulserasi herpetiformis (HU). Istilah “herpetiformis”
digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri dari 100 ulser
kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer
Tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam
setiap bentuk ulserasi aftosa. RAS ini berukuran kecil, ukurannya 2–3 mm.
Lesi dapat bergabung dan membentuk ulkus besar yang tidak beraturan.
Durasi dari ulkus ini biasanya berlangsung sekitar 10-14 hari. Tidak seperti
ulkus herpes, ini tidak didahului oleh vesikula dan tidak mengandung sel yang
terinfeksi virus. Ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan varian klinis
RAS lainnya (L Preeti dkk, 2012).
14
Gambar 8. Stomatitis Aftosa Rekuren tipe Herpetiformis (Nisa R, 2011)
3.3 Treatment Recurrent Apthous Stomatitis (RAS)
Perawatan RAS jenis apapun tetap menjadi tantangan. Meskipun telah banyak
jenis perawatan yang tersedia, tidak ada terapi atau obat-obatan yang efektif. Obat-
obatan yang diberikan biasanya mengatasi rasa sakit, ketidaknyamanan dan
mengurangi waktu penyembuhan. Penggunaan agen anestesi protektif dan/atau
topikal direkomendasikan pada pasien dengan ulkus aftosa rekuren minor yang
lebih jarang terjadi atau pada tipe herpetiform. Pada kasus tipe minor atau
herpetiform yang lebih sering terjadi atau tipe mayor, terdapat beberapa pilihan
perawatan topikal seperti anestesi, sukralfat dan kortikosteroid (fluosinonid 0,05%,
klobetasol propionat 0,05% dan eliksir deksametason 0,5 mg/5ml). Pilihan
perawatan sistemik dapat melibatkan kortikosteroid seperti prednison (0,5-1,0
mg/kg atau injeksi intralesi triamsinolon 40 mg/ml). Pilihan perawatan sistemik
kedua melibatkan modulator imun seperti talidomid (200 mg/hari)( Kerr AR, Ship
JA, 2003).
Perawatan farmakologi lokal dimulai dengan pengobatan topikal. Pilihan
pengobatan ini terdiri dari antiseptik dan obat antiinflamasi / analgesik seperti
15
klorheksidin 0,2%, tiga kali sehari tanpa menelan. Triclosan juga digunakan dalam
gel atau bilas dengan aturan minum tiga kali sehari tanpa menelan, selama lesi
bertahan, dan memberi efek antiinflamasi, antiseptik dan analgesik. Pada
gilirannya, diklofenak 3% topikal dengan 2,5% asam hyaluronic dapat diterapkan
untuk mengurangi rasa sakit . Penggunaan bilasan oral dengan benzidamine
hydrochloride, yang menawarkan pereda nyeri sementara (Guallar dkk, 2014).
RAS yang diamati selama perjalanan infeksi HIV dapat berat dan menyebabkan
morbiditas yang signifikan pada pasien tersebut. Ulkus dapat mengganggu fungsi
mulut dan mengubah kualitas hidup pasien. Perhatian lebih perlu diberikan terhadap
aspek klinis lesi untuk menegakkan diagnosis serta menentukan perawatan yang
benar. Saat ini, tujuan utama perawatan adalah untuk meningkatkan kecepatan
perbaikan luka, menghilangkan rasa sakit sekaligus mempertahankan asupan nutrisi
dan mengurangi rekurensi.
3.4 Dampak Antiretroviral
Pasien HIV mengalami perubahan imunologi tubuh yang kompleks. Obat yang
diberikan untuk pasien HIV biasanya bermacam-macam sehingga kemungkinan untuk
menimbulkan efek samping semakin besar. Efek samping yang terjadi dapat berupa
reaksi hipersensitivitas obat, seperti alergi kulit (mis: urikaria) tanpa reaksi sistemik
sampai reaksi alergi berat seperti Sindrom Steven Johnson (SSJ). Pasien HIV bahkan
lebih besar 100 kali untuk mengalami hipersensitivitas obat daripada orang normal.
Pada era awal terapi ARV insidensi timbulnya ruam kulit mencapai 50% dari pasien
HIV yang mengkonsumsi obat ARV. Semua obat antiretroviral (ARV) dan obat untuk
mengobati infeksi oportunistik dilaporkan dapat menyebabkan efek samping. Oleh
16
sebab itu menentukan jenis obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas adalah
sebuah tantangan.
Reaksi hipersensitivitas bervariasi dalam manifestasi klinis dan derajat beratnya.
Manifestasi klinis yang terjadi bervariasi mulai reaksi efek samping obat per
kutan/cutaneous adverse drug reaction (CADR), reaksi anafilaktik, demam, kerusakan
hati akibat obat, anemia akibat obat, neutropenia dan trombositopenia. CADR
merupakan manifestasi paling umum dari hipersensitivitas obat. Pasien dapat
mengalami eksantema tanpa gejala sistemik atau sindrom hipersensitivitas obat yang
ditandai dengan ruam eritema makulopapular dengan gejala tambahan seperti demam,
pegal-pegal, nyeri sendi. Gejala tersebut dapat ditambah dengan keterlibatan organ
dalam (hepatitis,nefritis, myokarditis, dsb). Sindrom Steven Johnson terjadi pada
kurang dari 0,5% pasien. Studi dari Coopman, et al yang melibatkan 684 pasien HIV
memperlihatkan CADR berperan dalam 8,2% diagnosis dermatologi pasien HIV.
CADR yang paling umum adalah ruam kemerahan seperti campak. Kebanyakan CADR
disebabkan oleh antibiotik kotrimoksazol. ARV juga berperan dalam CADR walaupun
tidak sesering antibiotik.
Untuk ARV sendiri, terdapat 6 kelas yang telah disetujui pemakaiannya oleh US
Food and Drug Administration (FDA) berdasarkan cara kerja mereka, yaitu nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI), protease inhibitor (PI), fusion inhibitor, cystein-cystein chemokine receptor
5 (CCR5) dan integrase strand transfer inhibitor (INSTI). Regimen ARV harus terdiri
dari sedikit 3 obat dengan cara kerja yang berbeda, biasanya kombinasi 2NRTI dengan
1NNRTI atau 2NRTI dengan 1PI. Semua jenis ARV dapat menyebabkan reaksi efek
samping, terutama hipersensitivitas obat. WHO merekomendasikan satu kali dosis tetap
17
kombinasi tenofovir dengan lamivudin/emtricitabin dan efavirenz untuk
menyederhanakan terapi dan meningkatkan adherens. Regimen ini lebih sedikit
dihubungkan dengan kejadian efek samping dan memiliki respons terapi yang lebih baik
dibandingkan dengan regimen lainnya.
Dimulainya pengobatan menggunakan golongan antiretrovirus telah memberikan
hasil berkurangnya frekuensi dari beberapa kelainan yang disebabkan oleh infeksi HIV,
termasuk kelainan oral. Tetapi disamping menurunkan frekuensi beberapa kelainan
rongga mulut, obat ini ternyata juga dapat menimbulkan bahkan meningkatkannya
kelainan rongga mulut lainnya.
1. Sindroma Steven-Johnson
Sindroma Steven-Johnson merupakan suatu reaksi hipersensitivitas dengan
karakteristik blister pada kulit yang akut dan erosi pada membran mukosa. Etiologi
dari SSJ sukar untuk ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai
faktor. Walaupun demikian pada umumnya SSJ sering berkaitan dengan respon
imun terhadap obat, dimana 50 % penyebab SSJ adalah penggunaan obat. Ada
beberapa jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan SSJ, salah satu diantaranya
adalah Nevirapine antiretrovirus golongan NNRTI4. Dalam menanggulangi
masalah SSJ ini, pertama kali harus dicari penyebab utamanya, jika penyebabnya
adalah obat-obatan antiretrovirus maka penatalaksanaan utamanya adalah
penghentian obat tersebut (Rahmawati, 2016).
18
Gambar 9. Sindrom Steven-Johnson (Rahmawati, 2016).
2. Makroglosia
Makroglosia adalah kelainan pada lidah yang membesar secara abnormal.
Etiologi dari kelainanan lidah ini bervariasi dan dapat disebabkan oleh hipertrofi
otot idiopatik, malformasi vaskuler, kelainan endokrin, reaksi alergi, tumor, dlll.
Selain beberapa etiologi di atas. Makroglosia juga dapat disebabkan oleh
penggunaan obat-obatan, diantaranya Lopinavir/Ritonavir dan obat antiretrovirus
golongan PI juga termasuk di dalamnya. Makroglosia pada penderita HIV/AIDS
karena penggunaan obat-obatan antiretrovirus terjadi karena efek samping berupa
redistribusi lemak pada tubuh, dimana lemak menginfiltrasi jaringan terkhusus pada
jaringan lidah yang terlihat dari bukti histopatologis berupa penumpukan jaringan
lemak pada jaringan lidah. Bila penyebab makroglosia adalah obat antiretrovirus
yang digunakan oleh pasien maka dapat dikonsultasikan kepada dokter yang
memberikan terapi antiretrovirus untuk mengganti obat dengan jenis lain
(Prameswari, 2011).
19
Gambar 10. Makroglosia (Prameswari, 2011)
3. Warts
Warts merupakan tumor atau pertumbuhan pada kulit yang disebabkan oleh
Human Papillomavirus (HPV). Lesi ini umumnya kecil, asimtomatik, dan memiliki
gambaran yang eksofitik dengan hiperkeratosis seperti daun pakis, papula yang
mempunyai bentuk seperti kubah dengan warna seperti mukosa normal atau putih
akibat hiperkeratosis atau papula dengan bagian datar pada puncaknya yang hanya
sedikit bertumbuh diatas permukaan dan umumnya berwarna seperti mukosa
normal. Pada pasien HIV/AIDS kelainan ini telah ada, berdasarkan sebuah
penelitian persentase timbulnya sekitar 5% pada pasien yang tidak diberi terapi
antiretrovirus. Namun setelah diperkenalkannya penggunaan antiretrovirus, lesi ini
mengalami peningkatan yang cukup tinggi, dimana pada pasien yang menggunakan
Reverse Transkriptase, lesi ini meningkat menjadi 15% sedangkan pada pasien
yang diberi tambahan PI persentasenya bisa meningkat sampai 23% ( Dimaio,
2015).
20
Gambar 11. Warts (Dimaio, 2015)
4. Xerostomia
Xerostomia merupakan kondisi dimana saliva tidak dapat berfungsi dengan
baik sehingga menyebabkan kondisi mulut menjadi kering. Xerostomia adalah
keadaan di mana mulut kering akibat pengurangan atau tiadanya aliran saliva.
Xerostomia bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari pelbagai kondisi
seperti perawatan yang diterima, efek samping dari radiasi di kepala dan leher, atau
efek samping dari pelbagai jenis obat. Dapat berhubungan atau tidak berhubungan
dengan penurunan fungsi kelenjar saliva.
Xerostomia menyebabkan mengeringnya selaput lendir, mukosa mulut menjadi
kering, mudah mengalami iritasi dan infeksi. Keadaan ini disebabkan oleh karena
tidak adanya daya lubrikasi dan proteksi dari saliva. Proses pengunyahan dan
penelanan makanan sulit dilakukan khususnya makanan kering. Rasa pengecapan
dan proses bicara juga akan terganggu. Kekeringan pada mulut menyebabkan
fungsi pembersih dari saliva berkurang, sehingga terjadi radang dari selaput lendir
yang disertai keluhan mulut terasa seperti terbakar. Selain itu, pada penderita
21
xerostomia fungsi bakteriostase dari saliva berkurang sehingga menyebabkan
peningkatan proses karies gigi.
Xerostomia disebabkan oleh berbagai hal seperti efek samping obat, komplikasi
penyakit dan infeksi, dehidrasi, terapi radiasi dan pembedahan untuk membersihkan
kelenjar saliva. Antiretrovirus merupakan salah satu obat yang memberikan efek
samping xerostomia. Obat antiretrovirus yang dapat memberikan efek samping
xerostomia adalah Didadosine, Efivarenz, Indinavir, Nelfinavir, Ritonavir dan
Saquinavir. Penyebab xerostomia pada pasien HIV belum diketahui pasti tetapi dari
beberapa efek samping obat antiretrovirus, infiltrasi lemak pada kelenjar parotis.
kemungkinan salah satu hal yang dapat menyebabkan xerostomia, karena
pembesaran kelenjar parotis yang akan mengganggu aliran saliva (Sugalingging,
2009).
Gambar 12. Xerostomia (Sugalingging, 2009)
5. Cheilitis
Cheilitis merupakan kondisi bibir yang terlihat kering, bersisik dan mungkin
memiliki satu atau lebih retakan atau fisur yang kecil. Etiologi dari penyakit ini
terdiri dari berbagai faktor seperti infeksi, faktor mekanik, nutrisional atau
22
imunologi, selain hal tersebut obat-obatan juga dapat menyebabkan timbulnya
cheilitis walaupun tanpa adanya infeksi Candida albicans. Etiologi lain dari cheilitis
adalah dimana cheilitis dapat terjadi akibat satu faktor ataupun kombinasi beberapa
faktor. Faktor tersebut antara lain pemakaian gigi tiruan atau pemakaian gigi tiruan
yang tidak tepat dengan penurunan dimensi vertikal oklusi, keadaan defisiensi
seperti hipovitaminosis (terutama vitamin B), malabsorpsi dan kekurangan zat besi,
serta kelainan dimana terdapat perubahan pada anatomis bibir seperti, Orofacial
granulomatosis, Crohn’s disease, dan Down Syndrome. Obat antiretrovirus
termasuk dalam obat-obatan yang dapat menimbulkan efek samping berupa
cheilitis, khususnya dari golongan PI yaitu Indinavir dan Ritonavir (Sugalingging,
2009).
6. Parotid Lipomatosis
Parotid lipomatosis merupakan penumpukan lemak pada jaringan kelenjar
ludah parotis. Penumpukan lemak yang tidak normal disebabkan oleh obat
antiretrovirus golongan PI yang memberikan efek samping penumpukan lemak
tidak normal pada pasien HIV. Obat antiretrovirus yang memberikan efek samping
parotid lipomatosis diantaranya adalah Saquinavir, Amprenavir, Indinavir,
23
Nelfinavir, Ritonavir (Sugalingging, 2009).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
RAS (Recurrent Aphthous Stomatitis) adalah kondisi yang memiliki ciri- ciri
ulserasi tunggal atau mejemuk yang menyakitkan dengan ukuran dan durasi yang
bervariasi serta biasanya mengenai mukosa mulut yang tidak terkeratinasi. RAS
(Recurrent Aphthous Stomatitis) dapat dibagi menjadi menjadi 3 yaitu
mayor,minor, dan herpetiform. Dari kasus diatas disimpulkan bahwa kedua pasien
(ibu dan anak) yang terinfeksi HIV, pada kasus ini sama-sama mengalami RAS
mayor. Hal ini dapat dilihat dari pemeriksaan intraoral dan ekstraoral pada pasien
baik ibu maupun anak, yang sama-sama menunjukkan ciri-ciri dari RAS mayor.
Diagnosis diatas dikuatkan oleh data-data penting yang meliputi ukuran ulser yang
lebih dari 1cm pada daerah mukosa yang tidak berkeratin serta dengan jumlah yang
majemuk. Pada kedua pasien uklus ditemukan di daerah yang sama yaitu pada
bukal, labial, dan dasar mulut. Pada pemeriksaan ekstraoral menunjukan terdapat
limfadenopati sublingual pada kedua pasien yaitu bilateral pada anak dan sebelah
kanan pada ibu. Selain dari pemeriksaan, dia gnosis juga dikuatkan oleh riwayat
rekuensi dan riwayat keluarga dari pasien dimana sang ibu merupakan mantan
pecandu alcohol dan rokok, memiliki hipertensi dan positif HIV selama 16 tahun.
Pada kasus ini ibu dan anak menunjukkan manifestasi beberapa lesi secara
24
bersamaan. Fakta ini bisa terjadi karena imunosupresi yang berhubungan dengan
HIV yang dianggap sebagai faktor etiologi. Terlebih pengaruh faktor genetik tidak
dapat dikesampingkan karena salah satu orang tua memiliki RAS. Perawatan yang
dipilih oleh kedua pasien pada laporan ini adalah obat kumur dengan eliksir
deksameton 0,5 mg setiap 8 jam selama 7 hari. Pasien diinstruksikan untuk tidak
menelan obat. Terlebih lagi, pasien diawasi secara klinis untuk mengendalikan
infeksi oportunis seperti kandidiasis oral.
4.2. Saran
Adapun saran yang penulis berikan adalah :
1. Kepada seluruh mahasiswa agar nantinya dapat memahami berbagai
jenis penyakit mulut sehingga dapat menegakkan diagnosis dan
penanganan yang tepat.
2. Kepada pembaca agar selalu menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan
mulut serta rajin mengontrolkan diri ke dokter gigi agar dapat terdeteksi
secara dini apabila terdapat suatu penyakit.
25
DAFTAR PUSTAKA
Brocklehurst P, Tickle M, Glenny AM, Lewis MA, Pemberton MN, Taylor J, et al.
2012. Systemic interventions for recurrent aphthous stomatitis (mouth
ulcers). Cochrane Database Syst Rev. 9.
Dedy Syahputra Sugalingging. 2009. Efek Samping Penggunaan Obat
Antiretrovirus di Rongga Mulut Pasien HIV/Aids).
Dimaio Daniel. 2015. Nuns, Warts, Viruses, and Cancer. Yale Journal of Biology
and Medicine. 88: 127-129
Kuteyi T, Okwundu CI. 2012. Topical Treatments for HIV-Related Oral Ulcers.
Cochrane Database Syst Rev. 1.
Miziara ID, Araujo Filho BC, Weber R. 2005. AIDS and Recurrent Aphthous
Stomatitis. Braz J Otorhinolaryngol. 71 (4). 517–520.
Natah SS, Konttinen YT, Enattah NS, Ashammakhi N, Sharkey KA, Häyrinen-
Immonen R. 2004. Recurrent Aphthous Ulcers Today: A Review of The
Growing Knowledge. Int J Oral Maxillofac Surg. 33(3). 221–234.
Nisa, R., 2011. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) yang Dipicu oleh Stres pada
Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
26
Preeti L, Magesh K, Rajkumar K, Karthik R. 2011. Recurrent Aphthous Stomatitis.
J Oral Maxillofac Pathol. 15(3). 252–256.
Preeti, L, Magesh, K.T, Rajkumar K, Karthik, R. 2011. Recurrent Aphthous
Stomatitis. Journal of oral and maxillofacial pathology: JOMFP, 15(3),
p.252.
Prameswari Zuraida Triana, Sjafei Achmad, Winoto Ervina R. 2011. Dental
Anomaly in Osteogenesis Imperfecta Patients. Orthodontic Dental Journal.
2(1) : 16-25
Rahmawati Yuli Wahyu dan Indra Maya Dirah Mirah. 2016. Study Retrospektif :
Sindrome Stefen – Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Kesehatan Kulit
dan Kelamin-Periodikdal of Dermatology and Venereolog