majalah sinar muhammadiyah mesir edisi 55

33

Upload: sinarmuhammadiyah

Post on 19-Jan-2016

341 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Politik; Analisa Sistem DemokrasiApakah terdapat kesalahan dalam sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia?Sehingga banyak dagelan di ranah politik menjelang pemilu ini, seperti politik uang,caleg artis, politisasi agama, hingga politisasi tokoh-tokoh ormas. Tanda tanya besar,apakah ini yang disebut sebagai demokrasi kebablasan? Maka tak pelak jika banyakoknum yang lebih memilih untuk golput sebagai buah antipati terhadap parpol yangada.Instrumen demokrasi yang ada seharusnya saling mendukung antara satu denganyang lain. Rakyat memang penentu akhir dalam pemilu nanti, namun parpol, oknum,sistem pemilihan yang ada harus dapat meyakinkan rakyat sebelum pesta demokrasiini ditutup dengan kemenangan oleh mayoritas pilihan rakyat.

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55
Page 2: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

1 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

EDITORIAL 01

————————————————–-

DAPUR REDAKSI 02

————————————————–-

LAPORAN UTAMA 03

————————————————–-

KAJIAN UTAMA 06

————————————————–-

DUNIA MUHAMMADIYAH 10

————————————————–-

TELISIK TOKOH 11

————————————————–-

TRANSFORMASI 12

————————————————–-

HIWAR 13

————————————————–-

PERSPEKTIF 18

————————————————–-

ETALASE 19

—————————————————

KAJIAN FAKULTATIF 20

————————————————–-

SASTRA 24

————————————————–-

SHAFFATUL ‘AISYIYAH 26

————————————————–-

GALERY 31

—————————————————

RENUNGAN 32

DAFTAR ISI

P ada 9 April 2014 Indonesia akan menyelenggarakan pagelaran akbar yang

akan menentukan pemerintahan Indonesia 5 tahun mendatang. Suara rakyat

dengan sistem demokrasi yang berjalan seakan menjadi suara Tuhan. Vox

populi vox dei (Suara rakyat adalah suara tuhan) menjadi patokan ter-

bentuknya suatu tatanan baru dengan kepemimpinan yang baru pula. Kendati

demikian, segolongan orang bertanya-tanya, apa gunanya suara tuhan, jika setiap lima

tahun tak ada perubahan, justru lebih terpuruk?

Apakah terdapat kesalahan dalam sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia?

Sehingga banyak dagelan di ranah politik menjelang pemilu ini, seperti politik uang,

caleg artis, politisasi agama, hingga politisasi tokoh-tokoh ormas. Tanda tanya besar,

apakah ini yang disebut sebagai demokrasi kebablasan? Maka tak pelak jika banyak

oknum yang lebih memilih untuk golput sebagai buah antipati terhadap parpol yang

ada.

Instrumen demokrasi yang ada seharusnya saling mendukung antara satu dengan

yang lain. Rakyat memang penentu akhir dalam pemilu nanti, namun parpol, oknum,

sistem pemilihan yang ada harus dapat meyakinkan rakyat sebelum pesta demokrasi

ini ditutup dengan kemenangan oleh mayoritas pilihan rakyat.

Parpol harus memberi pengenalan sejak dini, transparasi visi dan misi, serta ke-

legowo-an ketika menerima kekalahan dan tetap bersumbangsih demi kemajuan bang-

sa. Jangan sampai berkampanye dengan cara membantu korban bencana, silaturahim

dengan ormas yang ada sebagai bentuk pencitraaan para politisi.

Politik pencitraan realitanya masih menghiasi langit-langit publik. Terbukti dengan

nyaringnya sumbangsih para parpol hanya pada setiap momen pergantian pemimpin.

Sementara di hari lain, tanpa bermaksud mengatasnamakan kampanye, yang terlihat

masih jauh dari permukaan. Ini hanya sebagai suatu gambaran realita yang ada. Oleh

karena itu, pendidikan politik perlu didengungkan lebih nyaring terutama kepada ka-

langan menengah kebawah, sehingga suara rakyat yang notabenenya adalah suara Tu-

han tidak dipermainkan. WalLâhu A‟lamu bi al-Shawâb

Vox Populi Vok Dei?

EDITORIAL

Page 3: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

2 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

P asca mengikuti rangkaian kegiatan Mu5cab beberapa waktu lalu, kini

sepertinya menjadi momen yang tepat untuk SINAR kembali

melanjutkan tongkat estafet penerbitan pasca bangun tidurnya be-

berapa waktu silam. Kembali merapatkan barisan, menata niat dan

mewujudkan tujuan utama, menyegarkan kita semua dari dahaga akan ilmu

dan informasi. Sebagai media yang informatif-edukatif, SINAR mencoba kem-

bali menyajikan mutiara-mutiara berharga dari buah pena para kolumnis demi

memberikan informasi baru kepada sahabat SINAR yang semoga dapat menc-

erahkan.

April 2014 merupakan detik-detik menegangkan bagi bangsa Indonesia.

Mengapa demikian?, ya, pemilu legislatif akan berlangsung pada bulan terse-

but. Sebuah peristiwa yang akan menentukan siapa yang akan menjadi pem-

impin bagi ratusan juta penduduk Indonesia kedepan. Manuver politik kian

gencar dilakukan, masing-masing calon telah memberikan pandangan poli-

tiknya untuk kebaikan Indonesia kedepan. Atas nama sebuah sistem demo-

krasi, seluruh elemen rakyat berhak bersuara, berhak turut serta menjadi bagi-

an dari proses kemajuan negeri. Selama cara yang ditempuh itu sah secara

konstitusional berangkat dari semangat pancasila.

Sebagai pelajar yang mempunyai peran sebagai agent of social control, kita

dituntut untuk kritis dan mampu menganalisa setiap kenyataan sosial yang

terjadi di masyarakat demi out put sebuah solusi atas problem kebangsaan pra

maupun pasca pemilu 2014 ini. Edisi kali ini, SINAR hadir memberikan gam-

baran spesifik seputar perpolitikan secara gamblang, dan lebih khusus masuk

pada domain politik tanah air. Apa saja problematika yang ada di dalamnya?

Melalui goresan pena para penulis yang tertuang dalam majalah SINAR Mu-

hammadiyah edisi ke-55 ini, diharap mampu memberi wacana baru terkait

tema kali ini, dan memberi solusi yang mencerahkan demi kebaikan bangsa.

Semoga!.

Tidak lupa kami keluarga besar SINAR Muhammadiyah di Mesir men-

gucapkan selamat dan sukses kepada Pimpinan Cabang Istimewa Muham-

madiyah (PCIM) Republik Arab Mesir yang baru dilantik beberapa waktu

silam. Semoga dapat mengemban amanah sebaik-baiknya pada masa bakti

2013-2015.

Menyongsong Pemilu Legislatif 2014

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Senang sekali rasanya bisa menyapa tim redaksi Sinar Muhammadiyah yang tak kenal lelah me-

racik sajian menarik nan ilmiah untuk para pembaca setia. Salah satu rubrik yang paling saya tunggu-tunggu tiap edisinya ada-

lah rubrik wawancara. Apalagi akhir-akhir ini, dari status Facebook-nya, kru Sinar sudah beberapa kali mewawancarai tokoh-

tokoh penting di Mesir, seperti Dr. Najih Ibrahim dan Dr. Muhammad Imarah. Jadi penasaran, apa sih tema yang diangkat di

edisi berikutnya? Sekedar usul, bagaimana kalau Sinar menambah satu rubrik khusus yang mengupas tuntas artikel-artikel

terbaru yang terbit di majalah Al-Azhar. Tujuannya, agar artikel itu bisa dikonsumsi secara lebih luas, baik oleh Masisir sendiri,

maupun para pembaca dari tanah air sana. Dengan adanya Majalah Al-Azhar 'versi Indonesia', saya yakin bisa turut berkontri-

busi menyebarkan manhaj Al-Azhar yang moderat di bumi nusantara. Tetaplah semangat dalam berkarya!!!

Dana A. Dahlani (Penikmat Karya Anak Bangsa)

Jawaban:

Wa‟alaikumsalam Wr. Wb. Terima kasih buat mas Dana atas perhatian mas buat majalah SINAR, khususnya terkait rubrik

wawancara. Alhamdulillah, SINAR mendapat kesempatan untuk mewancarai tokoh-tokoh di negeri para nabi ini dan akan

senantiasa berbagi dengan rekan-rekan pembaca sekalian. Untuk edisi kali ini, khusus kita wawancara terkait tema pemilu dan

demokrasi bersama Dr.Najih Ibrahim. Adapun Dr.Muhammad Imarah kami simpan untuk edisi mendatang terkait reformasi

pergerakan Islam. Usulan yang bagus mas Dana. Terkait upaya penerjemahan artikel untuk disediakan satu rubrik secara ek-

plisit membahas tema terkait Azhar belum ada. Kalaupun dimasukkan bisa ditunggu di rubrik transformasi yang mengolah ana-

lisa tokoh maupun lembaga tertentu terhadap suatu kasus. Akan tetapi, secara implisit ide-ide dan gagasan yang ada dalam

majalah SINAR ini juga berkiblat kepada Al- Azhar. Terimakasih atas motivasinya, dan semoga SINAR dapat menyajikan sajian

yang nikmat bagi para penikmat karya anak bangsa.

PELINDUNG:

Ketua Pimpinan Cabang

Istimewa Muhammadiyah Mesir

Muhammad Rifqi Arriza, Lc.

LITBANG:

Wahyudi Abdurrahim, Lc.

Nuhdi Febriansyah, Lc.

Zuhdi Amin, Lc.

Laila Masnun, Lc.

Hanna Juairiyyah, Lc.

PEMIMPIN UMUM:

Khoirul Faizin

SEKRETARIS:

Muhammad Bakhrul Ilmi

PEMIMPIN REDAKSI:

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

PEMIMPIN PERUSAHAAN:

Fahruddin El-Brengkoi

REDAKTUR PELAKSANA:

Shilma Syahida, Illa Haliza,

Lukman Nur, Alda Kartika Y,

Fathurrabbani, Tuty Hanafia,

Ika Halimatunnisa, Heni SW

DISTRIBUSI:

Syafiq, Umair Fahmiddin, Azwar

REPORTER:

Mukhtashim Billah, Nafi‟atush Sholihah,

Muhammad Rizqi Utama

EDITOR:

Musa Al-Azhar, Ismail Sujono,

Fahmi Hasan

LAYOUTER:

Syaifuddin Nur, Zaky al-Rasyid,

Ali Muzajjad

PEMBANTU UMUM:

Keluarga Besar Sinar Muhammadiyah

Telp: 011148415352/01064524417

Surat Pembaca

DAPUR REDAKSI

Page 4: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

3 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

G eliat perpolitikan men-

jelang Pemilu 2014 tepat-

nya 9 April mendatang se-

makin marak dengan mun-

culnya berbagai retorika dan gerakan

politik yang ada. Tak lain gerakan politik

ini bertujuan untuk mendapatkan tempat

di hati masyarakat. Sejumlah partai poli-

tik mulai bergerak mengatur strategi

dengan mengusung calon-calon terbai-

knya yang akan menduduki kursi-kursi

pemerintahan. Berbagai retorika politik,

dari masing-masing partai sangat be-

ragam. Namun apabila kita cermati,

kesemuanya memiliki arah yang sama

yaitu untuk menghimpun dukungan ba-

ru.

Berdasarkan UUD 45 pasal 28 D ayat

3 tercantum bahwa setiap warga negara

berhak memperoleh kesempatan yang

sama dalam pemerintahan. Berawal dari

sini, munculah berbagai pertanyaan di

kalangan masyarakat apakah semua war-

ga negara saat ini memiliki kompetensi

untuk menduduki jabatan publik?

Sinar Muhammadiyah edisi khusus

2014 akan mewartakan kepada pembaca

mengenai geliat perpolitikan tanah air.

Bagaimana sebenarnya pemimpin ideal

yang diharapkan? Bagaimana dengan

adanya golput sendiri? Dan bagaimana

pandangan ormas Islam baik itu Muham-

madiyah, Nahdhatul Ulama, ataupun

lainnya terhadap politik? Dalam pemba-

hasan kali ini, Kami (kru Sinar)

melakukan wawancara dengan Bapak

Ghilmanul Wasath, MA selaku kandidat

Doktoral Dakwah dan Kultur Islam Uni-

versitas al-Azhar Kairo, serta Bapak Mu-

hammad Syaifuddin, MA selaku kandidat

Doktoral Tafsir dan Ilmu al-Quran Uni-

versitas al-Azhar Kairo.

Karakteristik Figur Pemimpin

Fenomena caleg artis sebenarnya

bukan merupakan suatu hal yang baru.

Hal ini karena pada pemilihan tahun

2009 lalu kita temukan beberapa partai

politik yang mengusung sederet nama

artis untuk dijadikan calon legislatif.

Akan tetapi pada tahun 2014 ini calon

legislatif dari kalangan artis presentasen-

ya mengalami peningkatan yang cukup

signifikan dibanding tahun-tahun sebe-

lumnya. Latarbelakang meningkatnya

caleg artis disebabkan karena mereka

memiliki popularitas dan modal yang

besar dalam mengikuti pemilihan ini.

Mengenai kualifikasi standar seorang

pemimpin, sebenarnya terdapat 3

mekanisme yang berperan dalam menjar-

ing calon pemimpin. Pertama, institusi

rekruitmen yang ada di partai, institusi

verifikasi yang di lakukan di KPU (Komisi

Pemilihan Umum). Dan ketiga, institusi

rekruitmen di masyarakat itu sendiri,

yang mana porsi terbesar tentunya be-

rada pada institusi ketiga tersebut.

Dengan adanya 3 mekanisme standar di

atas, diharapkan permasalahan yang

berkaitan dengan siapa yang sebenarnya

berkompeten dan layak menempati kursi

kepemimpinan bisa teratasi. Kalaupun

ada caleg dari kalangan artis, maupun

pekerja kasar, hal tersebut tak lagi men-

jadi problema.

"Semakin cerdas masyarakatnya, se-

makin pendidikan politiknya bagus,

maka kemungkinan lahirnya pemimpin

yang baik, semaikn lebih besar. Akan

tetapi apabila kesadaran masyarakat ter-

hadap politiknya jelek, kemungkinan

pemimpin yang dilahirkanpun kuali-

tasnya kurang bagus," ungkap bapak

Ghilman, Dosen Fakultas Dirasat Islami-

yah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal

ini pun senada dengan apa yang

diungkapkan oleh Bapak Syaifuddin

selaku ketua PPLN (Panitia Pemilihan

Luar Negeri) Mesir yang mengatakan

bahwa mengenai permasalahan caleg,

Geliat Perpolitikan Tanah Air

LAPORAN UTAMA

Page 5: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

4 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

masyarakat lebih tahu, lebih berhak, dan

lebih cerdas tentunya dalam menilai.

Boleh saja orang mengatakan caleg harus

demikian, persepsi ini tetap sah adanya,

namun belum tentu masyarakat yang lain

akan mengatakan hal yang senada. Oleh

karena itu, keputusan KPU yg disetujui

DPR mensyaratkan adanya persyaratan

rata-rata (persyaratan secara umum)

yang dapat diterima masyarakat. Misal-

nya untuk menjadi caleg harus memiliki

latarbelakang pendidikan minimal SMA

ataupun sederajat. Oleh karena itulah

kita tidak bisa membuat persyaratan

secara subyektif saja.

Abu Hasan al-Mawardi dalam kitab al

-Ahkâm al-Sulthaniyah juga menjelaskan

bahwa untuk mengangkat seorang pem-

impin, idealnya diperlukan beberapa

syarat sebagai berikut.

1. Seorang pemimpin harus mempunyai

sifat adil.

2. Seorang pemimpin harus mempunyai

ilmu pengetahuan dan mampu

melakukan ijtihad.

3. Seorang pemimpin harus sehat secara

fisik.

4. Seorang pemimpin harus pandai be-

rargumentasi dan membina politik

rakyat serta mengatur kemaslahatan.

5. Seorang pemimpin harus berani ber-

juang melawan musuh. Kebodohan,

kemiskinan, keterbelakangan meru-

pakan musuh yang harus dihilangkan.

6. Seorang pemimpin harus dari nasab

Quraisy.

Syarat pemimpin harus dari nasab

Quraisy, tidak dapat diterapkan lagi

pada zaman sekarang. mengingat

konsep nasab merupakan konsep

fanatisme kesukuan yang akan me-

lahirkan perbedaan. padahal islam

tidak mengenal adanya perbedaan,

siapapun dapat menjadi pemimpin.

Islam untuk semua dan bukan untuk

segolongan saja, yakni Quraisy.

Golput, antara Sejarah dan

Harapan

Menurut seorang Sejarawan Muslim,

Ahmad Mansur Suryanegara, kesadaran

berpolitik umat Islam di Indonesia san-

gat tinggi ditinjau dari kacamata sejarah.

Hal itu ditunjukan pada perolehan kursi

terbanyak yang diraih oleh Partai Politik

Islam Masyumi dan NU ketika itu. Dalam

buku Api Sejarah 2 dia menggambarkan

hal tersebut sebagai berikut;

“Menjelang pemilu Indonesia dibagi

dalam 16 Daerah Pemilihan, meliputi

208 Kabupaten, 2.139 Kecamatan, dan

43.249 Desa. Hasil Pemilu DPR, berang-

gotakan 272 wakil. Dengan perhitungan

per wakil DPR mewakili 300.000 orang,

sedangkan Konstitusi mencapai 542

wakil. Kemudian diadakan pelantikan

DPR pada tanggal 20 Maret 1956, Selasa

Wage, 6 Sja‟ban 1375, dan Konstitusi pa-

da peringatan Hari Pahlawan, 10 Novem-

ber 1956, Sabtu Wage, 6 Rabiul Akhir

1375.”

Bisa dibayangkan bagaimana rumit-

nya pelaksanaan pemilu dalam wilayah

yang terpencar menjadi ribuan kepulaua

dengan sistem transportasi yang masih

tergolong sederhana dan daya dukung

sistem komunikasi pemberitaan yang

masih sangat sederhana. Walaupun

demikian, Pemilu dapat terlaksana

dengan baik.

Pada kisaran tahun 1950-1964, di-

jelaskan terbentuknya DPR hasil Pemilu

terdiri dari 19 Fraksi . Jumlah angka kur-

si yang menjadikan Partai islam Masjumi

memperoleh jumlah tertinggi dan me-

menangkan 14 Daerah Pemilihan dari 16

Daerah Pemilihan, tidak hanya di Jawa

barat tetapi juga di Luar Jawa, merupa-

kan pertanda umat Islam benar-benar

merupakan mayoritas yang hidup dan

sadar berpolitik. Demikian pula Partai

Nahdlatul Ulama meraih suara pemilih

yang besar di Jawa Timur dan Jawa Ten-

gah serta di Kalimantan Selatan, sebagai

gambaran wilayah kerjanya dan

pengaruh Nahdlatul Ulama. Angka-angka

yang demikian besar menjadikan lawan

politik Islam resah karenanya.

Cacatan sejarah di atas merupakan

bukti kesadaran berpolitik umat Islam

sudah tumbuh sejak awal diberlakukann-

ya sistem Parpol di Indonesia. Kearifan

dan kesederhanaan cara hidup para

politisi Islam pada masa itu men-

imbulkan nuansa perjuangan yang sangat

kental, rapat rutin yang diadakan setiap

selesai sholat Jum‟at di warung angkrin-

gan membuat para tokoh Islam yang ber-

juang lewat parlementer ketika itu jauh

dari sebutan glamor dan kepentingan

pribadi.

Sebut saja salah satu tokoh itu M.

Nastir, ketika dia tengah menjabat se-

bagai Perdana Menteri Republik Indone-

sia rumahnya tidak megah dan berting-

kat, hanya sepetak rumah sederhana di

ujung gang. Tidak pula memiliki ken-

daraan mewah. Namun dengan keseder-

hanaan itu, dia dapat menorehkan se-

jarah emas bagi Indonesia. Bahkan sang

Proklamator RI, Ir. Soekarno menobat-

kan dia sebagai arsitektur NKRI.

Artawijaya, Editor Pustaka al-Kaustar

dan Dosen STDI Mohammad Nastir Ja-

karta dalam sebuah artikel yang dimuat

oleh Hidayatullah.com dalam artikelnya

berjudul “ Buya Hamka, Masjumi dan

Perang Melawan Korupsi” menuturkan:

“Fenomena ini (baca: korupsi-red)

ternyata sudah sejak lama terjadi. Buya

Hamka, salah seorang tokoh Partai Mas-

jumi yang terpilih menjadi anggota

Majelis Konstituante pada Pemilu tahun

1995, mengkritik cara-cara yang dil-

akukan oleh Partai Nasionalis Indonesia

(PNI, rival politik Masjumi, yang

mengedepankan uang sebagai kekuatan

politik. Dalam tulisannya di Majalah

Hikmah, No. 10 Thn IX, 5 Sya‟ban 1374

H/ 17 Maret 1956, ulama asal Sumatra

barat ini mengungkapkan cara-cara kotor

yang dilakukan oleh partai politik sekuler

yang ingin merebut simpati rakyat.

Kekuatan Partai Masyumi yang mam-

pu memenangkan Pemilu di beberapa

LAPORAN UTAMA

Page 6: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

5 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

wilayah pada tahun 1955, dan banyak

mendapatkan kursi di parlemen, mem-

buat lawan-lawan politiknya ketar-ketir

untuk menghadapi Pemilu berikutnya

pada tahun 1960. Meskipun akhirnya,

pemilu tahun itu tidak dapat terlaksana,

setelah Soekarno secara sepihak

mengajukan gagasan “Demokrasi Ter-

pimpin” dan berniat mengubur partai-

partai yang ada.

Hamka mengatakan dalam tu-

lisannya, “Plan (rencana-pen) utama

rupanya bagaimana supaya Masjumi

dapat dikalahkan dalam pemilihan

umum. Partai-partai yang berkuasa itu,

terutama PNI insjaf bahwa kekuatan

mereka tidak besar pada masa. Oleh

sebab itu, uang mesti ditjari. Halal atau

haram bukan soal: „Lil ghoyati tubarrirul

wasilah‟ (untuk mentjapai maksud boleh

dipakai sembarang tjara)” .“

Mungkin, ketulusan serta

kesungguhan berjuang yang ditunjukan

oleh para mujahid politik kita dahulu

lah yang akhirnya dapat menumbuhkan

kesadaran berpolitik masyarakat luas.

Walaupun satu orang hanya memiliki

satu hak suara saja, tapi dengan

kesadaran tersebut Partai berbasis Is-

lam mendapat dukungan penuh dari

rakyat.

Jika mengaca pada catatan sejarah

di atas, kemudian melihat fenomena

Golput semakin marak, rasanya pen-

dapat Mahasiswa Al Azhar, Muhammad

Syafrudin saat Persentasi Makalah

Lomba tentang Pemilu pada Acara So-

sialisasi Pemilu yang diselenggrakan

oleh PPLN Mesir di Limas, District 10

pada hari Jum‟at (25/03) dapat dijadi-

kan kesimpulan, dia berpendapat,

“Walaupun sebab meluasnya gerakan

golput itu ada alasan apatisme masyara-

kat dan juga alasan ideologi, namun

usaha mengatasinya harus berawal dari

pembenahan diri para wakil rakyat itu

sendiri!”

Fenomena golput (golongan putih)

dalam tatanan sebuah sistem demokrasi

merupakan fenomena yang syah dan

wajar. Seorang warga negara mempunyai

hak atau kebebasan untuk memilih atau-

pun sebaliknya. Bapak Ghilman Wasath,

MA juga memberikan komentarnya

mengenai fenomena golput, bahwa adan-

ya golput merupakan kewajaran dari

sistem demokrasi. Sistem demokrasi

memberikan kebebasan kepada wargan-

ya untuk menggunakan hak pilihnya

ataupun tidak. "Memilihih merupakan

hak dan bukan kewajiban", tegas Beliau.

Adanya golput dilatarbelakangi oleh be-

berapa faktor. Misalnya faktor

kekecewaan masyarakat. Dapat juga

masyarakat tidak sepaham dengan

jalannya sistem demokrasi yang ada,

tetapi karena demokrasi memberikan

wilayah kepada semua warga negara un-

tuk berpartisipasi, maka akhirnya

masyarakat memilih untuk golput. Bapak

Muhammad Saifuddin, MA dalam prma-

salahan ini juga menambahkan bahwa

latar belakang golput dapat terjadi

dikarenakan sikap apatis masyarakat

terhadap partai politik itu sendiri. Ban-

yak yang berasumsi bahwa keikutsertaan

dalam pemilu, tidak memberikan

pengaruh perubahan terhadap sebuah

negara. "Dalam satu sisi golput bukan

merupakan sebuah solusi tetapi dalam

dimensi lain adanya golput adalah untuk

mengkritisi demokrasi itu sendiri. Se-

hingga pemerintah, perangkat negara,

dan partai politik dapat memikirkan

bagaimana sebenarnya yang diharapkan

masyarakat. Sehingga ada sinergi antara

sistem negara dengan masyarakat.

Ormas dan Politik

Eksistensi partai politik (parpol) dan

organisasi kemasyarakatan (ormas) da-

lam ranah negara demokrasi merupakan

pilar yang sangat penting. Keduanya sal-

ing bersinergi untuk membangun sebuah

bangsa yang diharapkan. Menurut Ghil-

man Wasath, MA, sinergi ormas dan par-

pol disini artinya membangun hubungan

positif dan tidak harus berkoalisi. Dalam

berbagai kasus berkoalisi justru sangat

merugikan. Dalam kepentingan-

kepentingan tertentu untuk berjalannya

program suatu ormas, diperlukan adanya

dukungan tidak hanya dari anggota or-

mas itu sendiri, melainkan perlu adanya

sinergi antara ormas dan partai politik.

Ormas bisa berkembang baik apabila

keadaan masyarakatnya stabil. Artinya

dalam bidang ekonomi berkecukupan,

sarana prasarananya tersedia, maka da-

lam hal seperti ini ormas bisa menjalin

sinergi dengan kekuatan politik. Wilayah

kehidupan aspeknya sangat banyak. Bisa

jadi dalam wilayah-wilayah tertentu tid-

ak dapat diterapkan. Jadi ormas sendiri

yang nantinya bisa memilah. Hal seperti

ini kita kenal dengan istilah pendekatan

kultural struktural. Sekalipun ada yang

beranggapan ormas itu sebaiknya tidak

struktural, tetapi kenyataannya ada.

Misalnya, apabila kita ingin mendirikan

Bank Islam pasti akan terkait dengan

kebijakan pemerintah.

Bapak Muhammad Syaifuddin, MA

juga menambahkan bahwa ormas mem-

bangun mitra yang sangat kuat dan erat

dari papol. Masing-masing baik ormas

maupun parpol sama sama membangun

bangsa. “Parpol tanpa ormas akan sew-

enang wenang. Sedangkan ormas tanpa

parpol hidup di awang awang”, ujar

Bapak Syaifuddin selaku ketua panitia

PPLN Mesir. Parpol tanpa ormas mak-

sudnya parpol yang kita tahu sebagai

penguasa pemerintahan, penguasa legis-

latif, kalau tidak ada kontrol dari ormas

mereka akan semaunya sendiri. Tetapi di

samping itu ormas tanpa parpol ibarat

hidup di awang-awang. Karena sejuta ide

mereka tidak bisa terealisasi.

Terkait dengan masalah keterlibatan

ormas dengan partai politik, misalnya

ormas Muhammadiyah dengan PAN atau

Nahdhatul Ulama dengan PKB merupa-

kan pembacaan dari luar saja. Secara

umum ormas tersebut menyatakan tidak

berafiliasi pada partai tertentu. Tetapi

keterlibatan sebagian ormas kemung-

kinan ada. Muhammadiyah dan

Nahdhatul Ulama lebih menjaga diri

kaitannya dengan politik praktis. Kedua

organisasi ini tidak mencantumkan

kegiatan politik praktis sebagai program

kerja mereka. Dengan catatan, mereka

tetap memberikan kebebasan pada ang-

gotanya untuk aktif dalam berpolitik.

WalLâhu A‟lamu bi al-Shawâb

Tim Laput:

Nafi'atush Sholihah, Muhammad

Rizqi Utama, Fahrudin

LAPORAN UTAMA

Page 7: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

6 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

P ada tahun 70-an, banyak buku tentang Islam dan

sosialis. Memang pada masa itu, ideologi sosialis

di Timur Tengah menjadi idola. Meski UUD di

setiap negara menyatakan bahwa Islam adalah

agama resmi dan hukum Islam sebagai sumber hukum negara,

namun dalam prakteknya, mereka menganut sistem sosialis,

seperti Mesir, Libia, Suriah, Irak dan lain sebagainya.

Pada tahun 1989, Uni Soviet runtuh. Bersamaan dengan itu,

runtuh pula ideologi sosialis. Secara otomatis, Amerika dan

Barat dengan ideologi demokrasi liberalnya, menguasai dunia

inetrnasional. Muncullah istilah tatanan dunia baru, yaitu

tatanan dunia yang hanya satu kutub saja, kutub Barat dan

satu ideologi saja, yaitu demokrasi liberal.

Umat Islam pun ikut latah. Para pemikir muslim rame-

rame memberikan kritikan terhadap sistem sosialis dan men-

gagung agungkan demokrasi liberal. Bermunculah berbagai

buku tentang Islam dan demokrasi, seperti karya Khalid Mu-

hammad Khalid.

Memang benar bahwa tentang model kepemimpinan, Islam

tidak memberikan ketentuan pasti. Islam memberikan nilai,

namun terkait bentuk sebuah tatanan Negara, umat Islam

diberi kebebasan mutlak untuk berijti-

had agar lebih sesuai dengan konteks

dan masalat. Umat Islam dituntut kre-

atif menyesuaikan kebutuhan saat itu.

Sedih sebenarnya jika melihat gaya

inferioritas para sarjana muslim.

Dengan menuliskan buku-buku yang

mengagung-agungkan demokrasi dan

menganggapnya sesuai dengan syariat

Islam, seakan-akan, ajaran Islam hanya

disematkan dan dicocok-cocokkan saja.

Umat Islam terdahulu sangat kre-

atif. Banyak sekali sarjana muslim kita

yang menelorkan konsep kepemimpi-

nan secara utuh, bahkan sampai teori praktisnya. Tidak hanya

itu, umat Islam juga telah menerapkan teori kenegaraan terse-

but dalam tataran praktis.

Lihatlah buku klasik, seperti al-Ahkâm al-Sulthâniyyah

karya Imam Amidi. Buku ini sangat fenomenal, karena

mengupas persoalan politik secara detail. Tidak hanya masalah

pengangkatan pemimpin, syarat pemimpin, hak dan kewajiban

pemimpin, namun juga membahas mengenai struktur

pemerintahan serta hak dan kewajiban semua pemangku ke-

bijakan. Lebih dari itu, buku ini juga membahas mengenai

berbagai sumber keuangan negara.

Tidak hanya dari Ahlu Sunnah saja yang memiliki konsep

kepemimpinan, Muktazilah, Syiah, Khawarij, dan banyak

firqah Islam lainnya juga mempunyai konsep tersendiri.

Persoalannya, para sarjana muslim itu, terkadang tidak

mau melihat pada turats Islam yang sangat kaya. Mereka ter-

lanjur terpukau dengan peradaban Barat. Atau, banyak juga

dari mereka yang memang tidak kenal dengan turats kita dan

dengan khazanah pemikiran politik ulama kita. Akibatnya,

mereka menerima mentah-mentah pemikiran Barat. Islam

lantas dijadikan sebagai justifikasi saja, dengan sekadar dico-

cok-cocokkan.

Belakangan mulai banyak yang mencoba untuk menuliskan

kembali model pemerintahan Islam dengan mengaca pada

kitab kuning untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan

umat Islam saat ini. Tentu ini hal positif yang harus didukung

bersama. Kedepan, mudah-mudahan makin banyak bermuncu-

lan buku politik Islam yang mencoba berijtihad dari ladang

umat Islam sendiri..

Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan mencoba untuk

mengeksplorasi ide politik Islam klasik, utamanya dari ke-

lompok muktazilah. Mudah-mudahan dengan begitu dapat

memancing kita untuk lebih kreatif dalam berijtihad dengan

tetap berpegang pada turats kita dan maslahat umat islam saat

ini.

Problematika Politik Umat

Sejak Rasulullah saw. meninggal, umat

Islam dihadapkan kepada persoalan

besar, yaitu banyaknya umat Islam yang

kembali kepada kekafiran. Banyak suku

Arab, yang sebelumnya mengaku wala

dan tunduk kepada Negara Islam Madi-

nah, namun selepas kepergian

Rasulullah, seketika itu pula, mereka

meninggalkan ajaran Islam. Mereka

mengira bahwa keberagaam tersebut,

hanya waktu Rasulullah hidup saja. Se-

bagian mereka menganggap bahwa

sepeninggal Rasulullah, bearti setiap

suku berhak untuk independen dan mengatur sukunya masing-

masing persis seperti sebebelum mereka disatukan ke dalam

satu Negara Madinah oleh Raulullah saw.

Melihat gelagat seperti ini, tidak heran jika para sahabat

langsung menuju Tsaqifah Bani Saidah untuk memilih kha-

lifah, pemimpin umat yang akan menjadi komando bagi dalam

meneruskan perjuangan Rasulullah saw. Bahkan para sahabat

tersebut melihat, persoalan kepemimpinan ini sangat penting.

Jika terlambat, maka Negara Madinah akan mencadi cerita

saja. Negara Madinah akan kembali terpecah dan menjadi

Negara kecil atau kembali kepada masyarakat suku, seperti

sebelumnya. Sahabat bahkan mendahulukan pemilihan kha-

lifah, dibandingkan dengan mengurus jenazah Rasulullah saw.

Di Tsaqifah Bani Saidah pun, dalam pemilihan kepemimpi-

nan, terjadi kericuhan dan perseteruansengit. Kaum Muhajirin

Inferioritas Pemikiran Politik Islam Oleh: Wahyudi Abdurrahim, Lc.*

KAJIAN UTAMA

“Banyak suku Arab, yang

sebelumnya mengaku

wala dan tunduk kepada

Negara Islam Madinah,

namun selepas kepergian

Rasulullah, seketika itu

pula, mereka meninggal-

kan ajaran Islam.”

Page 8: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

7 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

bersikukuh agar pemimpin dari golongan mereka, demikian

juga kaum Ansar. Hingga salah seorag dari mereka men-

gusulkan agar kaum Muhajirin mempunyai pemimpin, semen-

tara kaum Anshar juga mempunyai pemimpin. Namun perse-

teruan dapat diredam setelah Umar bin Khatab Ra. membaiat

Abu Bakar Shiddiq Ra. sebagai Khalifah umat Islam.

Dengan terpilihnya Abu Bakar tersebut, bukan bearti perso-

alan umat selesai. Umat masih akan dihadapkan oleh persoa-

lan politik lain. Pada masa kepemimpinan Utsman, umat kem-

bali terbelah. Utsman dianggap terlalu mengedepankan ke-

lompok dalam menjalankan roda pemerintahan. Para menteri

dan gurbenur banyak beradal dari sukunya Bani Umayyah. Ini

pula yang akhirnya menimbulkan gesekan dengan kelompok

lain. Mereka akhirnya membuat makar dan berhasil mem-

bunuh sahabat Utsman bin Affan.

Selepas Utsman Ra terbunuh, persoalan semakin

meruncing. Sebagian segera membaiat Ali bin Abi thalib Kara-

mallahu wajhahu yang berasal dari Bani Hasyim menjadi kha-

lifah. Namun sebagian lagi tidak mau membat Ali karamahlla-

hu wajhahu. Sementara itu, banyak kelompok yang meminta

sahabat Ali bin Abi Thalib segera mengusut pembunuh

Utsman, seperti Aisyah, Thalhah, Zubair dan juga Umawiyah

bin Abi Sufyan, gurbenur Syam yang diangkat oleh Utsman.

Perseteruan umat Islam tidak hanya dalam ranah

pemikiran, namun sudah menjurus kepada konflik bersejata.

Terjadilah perang Shiffin dan perang Jamal. Banyak korban

syahid dari kalangan para sahabat Nabi sendiri.

Memang dalam sejarah Islam, persoalan umat yang sering

menimbulkan kericuhan hingaa sampai mengangkat senjata

adalah masalah politik. Perebutan kekuasaan antara kelompok,

kerap kali dilakukan dengan kekuatan militer. Pada akhirnya,

darah umat Islam tumpah begitu saja.

Kepemimpinan, Hak Allah atau Hak Hamba?

Pasca terbunuhnya Khalifah Utsman, umat Islam terpecah

ke dalam berbagai kelompok politik. Kelompok-kelompok

politk tersebut mirip dengan partai politik di era modern. Se-

tiap partai mempunyai struktur organisasi yang sangat rapi,

dengan program kekuasaan jelas. Mereka juga memiliki visi

dan misi politik. Selain itu, untuk meraih dukungan publk,

mereka melakukan kampanye politik dengan berbagai macam

cara, di antaranya orasi, penyebaran buletin (rasail) dan

mencetak buku.

Memang sangat disayangkan bahwa umat Islam terpecah

belah menjadi sekian kelompok. Namun di balik perpecahan

tadi, ada sisi-sisi positifnya. Partai politik itu seakan menjadi

arena bersaing dalam menentukan konsep kenegaraan. Mereka

berlomba-lomba untuk menuliskan konsep kenegaraan secara-

lengkap dalam bentuk tulisan. Terjadi persaingan idelasisme

luar biasa di kalangan umat Islam.

Jika diringkas, setidaknya filsafat pemikiran Islam dalam

memanang kepemimpinan, setidaknya ada dua aliran besar:

Pertama, mereka yang menganggap bahwa kepemimpinan

merupakan urusan agama. Menurut kelompok ini, kepemimpi-

nan terkait dengan kemaslahatan manusia dan tegaknya aga-

ma Allah di muka bumi. Untuk itu, urusan kepemimpinan

merupakan urusan agama yang bearti juga urusan Allah dan

rasul-Nya. Karena pentingnya masalah kepemimpinan ini,

maka Allah akan selalu memberikan petunjuk kepada rasul-

Nya mengenai siapa yang akan memimpin negara. Rasul lantas

memberikan wasiat kepada orang yang berhak dan kelak imam

tadi juga akan memberikan wasiat kepada pemimpin yang

akan datang.

Di sini, manusia sama sekali tidak mempinyai wewenang

untuk turut aktif dalam memilih calon pemimpinnya. Rakyat

hanya boleh tunduk dan taat kepada pemimpin yang sudah

mendapatkan wasiat dari pemimpin sebelumnya.

Pemimpin tadi, akan mengendalikan kekuasaan atas nama

Allah. Segala perbuatan yang dilakukan, merupakan ilham dari

langit. Oleh karenanya, ia tidak akan pernah terpeleset ke da-

lam jurang kesalahan. Ia adalah imam yang maksum. Seder-

hananya, kepemimpinan menjadi hak Allah untuk menentukan

pemimpin di muka bumi ini.

Kedua, adalah kelompok yang memandang bahwa

Rasulullah saw. adalah Nabi terakhir. Rasulullah saw. juga

meninggalkan wasiat, namun bukan dengan menunjuk seorang

pemimpin. Wasiat tersebut adalah dua pusaka, al-Quran dan al

-Sunnah.

Kepemimpinan merupakan persoalan dunia. Ia terkait

dengan kemaslahatan umat manusia dan bukan bagian dari

urusan agama atau keimanan.

Kelompok ini juga memandang bahwa risalah Nabi Mu-

hammad saw. sudah sempurna. Manusia sudah sampai pada

titik kemampuan menggunakan akalnya untuk mengurusi

berbagai persoalan dunia, termasuk urusan kepemimpinan.

Mereka menganggap bahwa pemikiran manusia sudah cukup

matang (al-Rusyd).

Karena terkait dengan maslahat manusia, maka kepem-

impinan juga diserahkan kepada manusia. Mereka yang akan

menentukan siapa pemimpinnya. Mereka pula yang akan

melakukan pengawasan terhadap pemimpin yang ia angkat.

Mereka juga berhak untuk memakzulkan pimpinan manakala

mereka melenceng dari apa yang sudah digariskan oleh wasiat

Nabi, yaitu Quran dan Sunnah.

Karena manusia diberi wewenang untuk berijtihad dan

mereka dianggap sudah sampai pada tingkat kematangan intel-

ektual (al-Rusyd), maka para pemimpin itu disebut dengan

Khulafaurasyidin. Mereka adalah pemimpin yang diangkat dan

diberi mandate oleh para mujtahid umat. Sederhananya,

kepemimpinan menjadi hak hamba untuk menentukan siapa

pemimpinnya.

Dua kelompok di atas, yaitu antara yang menganggap bah-

wa kepemimpinan merupakan urusan Tuhan dan kelompok

yang menganggap bahwa kepemimpinan menjadi urusan

manusia, antara keduanya terjadi perseteruan sengit, Bahkan

mereka tidak hanya perang pemikiran, namun juga perang

fisik hingga jatuh banyak korban jiwa. Mereka berseteru kare-

na masalah kepemimpinan (imamah), pinsip kepemimpinan

dan filsafat hukum dalam politik. Mereka melakukan pergu-

latan idealisme antara kepemimpinan yang dianggab sebagai

lapangan ijtihad dan kepemimpinan yang merupakan bagian

dari wasiat Nabi. WalLâhu A`lam bi al-Shawâb.

KAJIAN UTAMA

“...mereka dianggap

sudah sampai pada Tingkat kematangan

Intelektual (al-Rusyd), maka para pemimpin itu

disebut dengan Khulafaurasyidin.”

Page 9: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

8 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

S istem kekhilafahan merupakan dambaan setiap

umat muslim di seluruh penjuru dunia. Kendati

demikian, bagaimana sistem tersebut dapat kemba-

li terbangun pasca runtuhnya kekhalifahan Turki

Utsmani pada tahun 1924 M? Hingga kini umat Islam terbagi

ke berbagai wilayah dan telah manunggaling (menyatu -red)

dengan kultur ,budaya, dan sistem perpolitikan yang menaungi

wilayah tersebut. Maka tak ayal, berbagai bentuk sistem seperti

presidensial, parlementer, monarki, hingga demokrasi menjadi

identitas.Dapatkah umat Islam bersatu di tengah berbagai sis-

tem yang ada di masing-masing negara?

Ibnu Qayim al-Jawziyyah dalam bukunya at-Turuq al-

Hukmiyyah fî Siyâsah al-Syar‟iyyah mengungkapkan bahwa

sistem yang adil merupakan bagian dari syariat Islam. Beliau

juga menambahkan dengan menyitir pendapat Abu al-Wafa

ibn Aqil bahwasanya esensi dari sistem perpolitikan adalah

mampu mendekatkan manusia pada kebaikan dan men-

jauhkan dari kemunkaran, meskipun sistem tersebut tidak

disebutkan oleh Allah dan RasulNya.

Hakikat Demokrasi dalam Sistem Pemerintahan

Ahmad Said dan Ahmad Jamal dalam buku al-Watan al-

„Arabi wa Tahdiyyat al-Mu‟âshirah menyatakan bahwa istilah

demokrasi muncul dan berkembang di Athena, Yunani. Kata

demokrasi itu sendiri terdiri dari dua kata, yaitu demos yang

bermakna rakyat dan kratos yang berarti hukum atau

pemerintahan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa de-

moskratos bermakna hukum rakyat. Artinya rakyat berperan

penuh dalam penentuan hukum atau pemerintahan. Abraham

Lincoln, Presiden Amerika ke-16 mendefinisikan demokrasi

sebagai hukum rakyat yang melalui peran rakyat dan untuk

rakyat.

Definisi di atas merupakan definisi klasik, karena prak-

tiknya saat ini tidak demikian. Jika definisi tersebut digunakan

secara harfiah, maka tak ayal jika masing-masing individu

bebas menentukan hukum sekehendak pribadi mereka tanpa

memandang kapasitas dirinya.

Muhammad Nasr Muhanna dalam buku fî Nadzariyyah al-

Dawlah wa Nadzm al-Siyâsah berpendapat bahwa mustahil

untuk dapat mengakomodasi kehendak setiap individu, oleh

karena itu kesepakatan yang diharapkan oleh mayoritas men-

jadi titik tolak hukum dalam ranah teori dan praktik. Sementa-

ra Abdul Qadir Raziq dalam buku Âkhir al-Dawâ` al-

Diymaqarâthiyyah menambahkan bahwa penerapan demo-

krasi bukan berarti mengakomodasi seluruh kehendak individu

secara mutlak, akan tetapi mengambil hukum yang disepakati

banyak pihak untuk mencapai hukum rakyat atau mayoritas

rakyat. Lantas menurut Abu Imran Syaikh melalui karyanya

Islâm wa al-Diymaqarâthiyyah baina Tanâqudh wa Takâmul

menuturkan bahwasanya banyak individu yang mendefinisikan

demokrasi dengan pemahamanan yang lain, seperti sebagai

sistem pemilihan pemimpin, sistem perpolitikan yang

dikehendaki oleh rakyat atau lewat mediator partai dalam

perpolitikan untuk mewujudkan kehendak rakyat.

Demokrasi memiliki multi definisi sesuai bidang di mana

istilah tersebut digunakan, apakah dalam hal sosial, ekonomi,

atau perpolitikan. Di sini penulis lebih menekankan pembaha-

san demokrasi sebagai sistem hukum. Maka definisi demokrasi

sebagai sistem hukum dapat terwakili oleh definisi Ahmad

Thal‟at dalam buku al-Wajh al-Âkhir li al-Diymaqarâthiyyah

bahwa demokrasi adalah sistem yang mana rakyat menetapkan

sistem tersebut untuk diri mereka melalui jalur pemerintahan

yang mereka pilih, sesuai dengan kehendak dan di bawah

pengawasan mereka. Artinya, rakyat berperan penuh untuk

mengambil sikap memilih dengan konsekuensi atas pilihannya

dan juga ikut berperan aktif dalam jalannya roda pemerinta-

han yang menaungi mereka.

Penggunaan demokrasi sebagai sistem hukum masih debat-

able. Terdapat berbagai pandangan mengenai demokrasi itu

sendiri. Abdurrahman Umar dalam buku Hâdhihi Hiya al-

Diymaqarâthiyyah menilai bahwa demokrasi merupakan sis-

tem yang digagas oleh Freemasonry yang berhulu pada dua

tujuan utama, yaitu sekularisme dan kebebasan mutlak bagi

setiap individu.

Abdul Aziz Shaqar dalam An-Naqd al-Gharby li al-Fikrah

al- al-Diymaqarâthiyyah menyitir perkataan Plato dalam

bukunya The Republic atau versi arabnya dengan judul Jum-

hûriyyah bahwa demokrasi berdiri di atas kebodohan dan kee-

goisan. Hal ini akan memunculkan individu yang tak memiliki

kapabilitas, praktik suap-menyuap, ketidaksetaran derajat

(karena mayoritas individu lebih menghegemoni daripada mi-

noritas), dan dampak-dampak buruk lainnya.

Realitanya, apa yang dikatakan Plato terbukti kebena-

rannya. Demokrasi yang telah berjalan juga memunculkan

polemik yang cukup akut karena banyak para calon pemimpin

yang tidak memiliki kapabilitas dalam memimpin ikut serta

berpartisipasi dalam pemilihan. Hal ini selaras dengan per-

kataan Abu A‟la al-Mawdudi dalam buku al-Khilâfah wa al-

Mulûk yang melarang seseorang dipilih karena keinginannya

untuk menjadi pemimpin disebabkan kekhawatiran ia akan

berijtihad dengan minimnya kapabilitas. Di sisi lain, demokrasi

juga memunculkan banyaknya praktik suap-menyuap atau

money politic di ranah publik. Lantas pertanyaan selanjutnya,

apakah nilai-nilai Islam dapat dimasukkan kedalam relung-

relung demokrasi? Karena demokrasi seakan-akan dianggap

sebagai sistem kebebasan berkehendak.

Hubungan antara Demokrasi dan Kebebasan Asasi

Demokrasi sering diidentikkan dengan kebebasan berper-

ilaku. Hal ini tidak mengejutkan karena sumbu pemantik dem-

okrasi itu sendiri berasal dari liberalisasi pemikiran. Demo-

krasi liberal sebagaimana diterapkan pada peradaban barat

berimbas pada pemikiran sekuler, seakan-akan manusia hidup

tanpa mengenal sejarah dan keterkaitan dengan agama-agama

Mengulas Demokrasi

Menurut Sudut Pandang Syar’i Oleh: Fardan Satrio

KAJIAN UTAMA

Page 10: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

9 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

pendahulunya, demikian ungkapan Dr.Abdul Razq „Id dalam

buku al-Diymuqarâthiyyah baina al-„Ilmâniyyah wa Islâm.

Umat Islam dalam memandang demokrasi terkhusus

kebebasan asasi senantiasa berkelit kelindan dengan undang-

undang Syar‟i. Artinya, segala tutur kata, tingkah laku, dan

tindak-tanduk umat Islam diatur oleh agama. Bahkan, jiwanya

sendiri bukan miliknya. Umat Islam memadang jiwa adalah

sebuah amanah, kebebasan untuk bertindak diwajibkan untuk

tidak menyelisihi amanah. Maka dalam hal ini benih demo-

krasi dapat hidup berdampingan dengan agama Islam. Demo-

krasi menurut Sarwat Badawi dalam buku al-Qânun al-

Dustûry wa At-Tathawwur al-Andhimah al-Dustûriyyah ha-

rus dapat melayani dan mengakomodasi kebutuhan masyara-

kat. Maka jika suatu saat rakyat tidak menyetujui hukum yang

berlaku, mereka berhak ikut andil dalam perubahan undang-

undang.

Mungkinkah Nilai-nilai Islam Berdiri di atas

Bendera Demokrasi?

Demokrasi sebagai sistem perpolitikan dititikberatkan pada

demokrasi niyâbiyyah (perwakilan). Artinya, sistem yang ter-

bentuk berdasarkan pemilihan rakyat yang menjadi represen-

tasi diri rakyat dalam kursi pemerintahan.

Segolongan umat Islam berpendapat bahwa demokrasi

merupakan sistem yang bertentangan dengan panji-panji Is-

lam. Tidak terdapat pendekatan antara Islam dan demokrasi.

Ulama yang pro dengan pendapat ini adalah Muhammad Baqir

Sadr dan Sayyid Qutub. Menurut Baqir Sadr demokrasi

kapitalistik adalah sistem hukum yang gagal dalam pandangan

Islam karena hanya bertumpu pada materialisme semata. Se-

mentara Sayyid Qutub dalam buku al-„Adâlah al-Ijtimâ‟iyyah

fî al-Islâm juga menilai bahwa demokrasi merupakan sistem

yang dibuat oleh manusia yang memiliki kelebihan dan juga

kekurangan. Kemudian beliau menegaskan bahwasanya

hukum adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan

tidak dapat disangkutpautkan dengan hukum lain.

Di sisi lain, terdapat tokoh yang mendukung sistem demo-

krasi secara mutlak, salah satunya adalah Muhammad Abid al-

Jabiri. Beliau berpendapat dalam buku Diymuqarâthiyyah wa

Huqûq al-Insân bahwa demokrasi hari ini bukanlah suatu te-

ma baru yang akan ditulis oleh pena sejarah, karena demokrasi

itu sendiri sudah ada sejak dahulu dan menjadi permasalahan

darurat bagi manusia pada masa kini. Manusia tidak hidup

secara individu dalam suatu kelompok akan tetapi tergabung

dalam hak-hak yang mana hak-hak tersebut adalah hak-hak

demokrasi untuk memilih pemerintah dan mengawasi

pemerintahan.

Terdapat kelompok yang berusaha mengkompromikan an-

tara Islam dan demokrasi. Dalam satu waktu, terdapat kesa-

maan antara Islam dan demokrasi, namun di waktu yang lain

terdapat perbedaan yang menonjol. Muhammad Dhiyaudin al-

Ris dalam buku An-Nadzariyyât al-Siyâsah al-Islâmiyyah

memaparkan beberapa perbedaan antara Islam dan demo-

krasi, di antaranya; pertama,Sistem demokrasi terbatas pada

batasan geografis Negara saja, akan tetapi agama Islam sis-

temnya melewati batas teriotorial, gender, warna kulit, mau-

pun Negara. Kedua,Sistem demokrasi bertujuan untuk ke-

maslahatan dunia saja dalam aspek materialistik. Sementara

Islam bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan

akhirat dengan ridhoNya. Ketiga, Kekuasaan pada sistem dem-

okrasi bersifat mutlak, artinya jalannya sistem tergantung para

pemimpinnya. Akan tetapi Islam bergantung pada Syariat yang

telah Allah tentukan.

Abu A‟la al-Mawdudi yang pro dengan pendapat ketiga ini

menuturkan penerimaan sistem demokrasi harus memenuhi

syarat-syarat tertentu. Dalam buku al-Islâm wa al-

Madâniyyah al-Hadîtsah beliau menyatakan bahwa tidak

mungkin orang yang berakal memungkiri demokrasi yang ma-

na tetap berada dalam koridor hukum Allah. Hukum dapat

berubah sesuai kehendak rakyat, kesamaan dalam hak, kesem-

patan, dan kebebasan berserikat tanpa membeda-bedakan

warna kulit, garis keturunan, maupun pangkat. Beliau juga

menambahkan jika demokrasi barat sebagaimana persepsi

Islam terhadap demokrasi maka tidak ada perbedaan, dan

demokrasi niyâbiyyah dapat diterima. WalLâhu A`lam bi al-

Shawâb

KAJIAN UTAMA

Page 11: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

10 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

D alam rentang perjalanan Indonesia pasca ke-

merdekaan, Muhammadiyah di bawah tampuk

pimpinan AR Sutan Mansur (1953-1959) pernah

berkecimpung dan menjadi anggota Istimewa

Masyumi. Pada Sidang Tanwir 1956 Muhammadiyah menegas-

kan identitas Muhammadiyah sebagai organisasi Muhammadi-

yah dan barangsiapa yang hendak berperan aktif dalam politik

praktis dipersilahkan untuk masuk Masyumi. Namun, dalam

perjalanannya terdapat ketidakharmonisan persepsi antara

Muhammadiyah dengan Masyumi. Akhirnya resmi pada tahun

1959 atau setahun sebelum Masyumi dibubarkan, Muham-

madiyah mengundurkan diri dari keanggotaannya dalam

Masyumi.

Tidak berhenti di situ, keikutsertaan Muhammadiyah khu-

susnya kader Muhammadiyah dalam ranah politik juga ter-

wujud kembali pada terbentuknya Partai Muslimin Indonesia

(PARMUSI). Berdasarkan surat Keputusan Presiden No. 70

tanggal 20 Februari 1968, diangkatlah Djarnawi Hadikusumo

sebagai ketua Umum dan Drs. Lukman Harun sebagai sekreta-

ris umum, keduanya adalah aktivis Muhammadiyah. Karena

duet ini dianggap tidak sesuai dengan kehendak penguasa,

maka digantilah kedua tokoh Muhammadiyah ini. Namun pas-

ca pergantian tersebut, orang Muhammadiyah pun dipilih

kembali untuk mengemudikan PARMUSI dan dipilihlah tokoh

yang saat itu menjadi Menteri Sosial Orde Baru, HMS

Mintaredja.

Rentang waktu pasca dipilihnya HMS. Mintaredja, Muham-

madiyah tidak bercampur tangan lagi dengan partai politik

apapun. Pada tahun 1998, Ketua Umum Muhammadiyah yang

ke-12, Prof.Dr. Amien Rais pada saat itu mendirikan partai

ketika dirinya masih menjabat sebagai ketua umum. Secara

otomatis banyak orang yang beropini PAN sebagai kendaraan

Muhammadiyah untuk menyalurkan aspirasinya di panggung

politik.

Kendati demikian, mari kita merujuk pada Muktamar 1971

di Makassar. Sangat jelas dibentangkan bahwa Muhammadi-

yah tidak memiliki hubungan organisatoris atau strukturalis

dan tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun. Disebut-

kan pula dalam buku “1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pem-

baruan Sosial Keagamaan” bahwa Muhammadiyah masih

mampu menjaga jarak dengan kekuatan politik formal. Malik

Fadjar menyebutkan zona politik Muhammadiyah masih

mengikuti zona high politics (berpolitik tanpa masuk partai

politik).

Oleh karena itu, PP Muhammadiyah dalam anggaran da-

sarnya pasal 15 ayat (1) dan (2) serta SK PP Muhammadiyah

101/KEP/I.O/B/2007 tentang “Ketentuan Jabatan di Ling-

kungan Persyarikatan yang tidak dapat dirangkap dengan Jab-

atan Lain” salah satunya menetapkan kadernya untuk tidak

rangkap jabatan di parpol pada berbagai tingkatan manapun

kecuali atas izin PP Muhammadiyah.

Sebagaimana ditetapkan dalam SK PP Muhammadiyah

149/KEP/I.O/B/2006, bahwa secara khusus seluruh anggota

dan lini organisasi Persyarikatan termasuk di lingkungan amal

usaha Muhammadiyah harus bebas dari pengaruh, misi, infil-

trasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini men-

gusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah.

Dalam Pagelaran Akbar 9 April 2014 mendatang, Muham-

madiyah telah menentukan kebijakan kepada seluruh wargan-

ya dalam butiran-butiran sebagai berikut:

1. Muhammadiyah memandang Pemilihan Umum (Pemilu)

adalah proses politik yang sangat bermakna, strategis, serta

menentukan eksistensi, arah perjalanan dan masa depan

bangsa dan negara Indonesia.

2. Muhammadiyah mendukung sepenuhnya penyelenggaraan

Pemilu yang bermutu, demokratis, konstitusional, dan

bekeadaban.

3. Muhammadiyah mendorong dan berusaha bersama dengan

segenap komponen bangsa yang lainnya menjadikan Pemi-

lu 2014 sebagai tonggak sejarah untuk; (a) Menghasilkan

anggota legislatif (DPR, DPRD dan DPD) yang kompeten

dan amanah serta pemimpin nasional (presiden dan wakil

presiden) yang berakhlak, berkepribadian kuat, reformis,

visioner, dan melayani serta mampu menggalang solidari-

tas, menyelesaikan masalah dan berani mengambil resiko;

(b) Mengakhiri praktik demokrasi prosedural-transaksional

yang korup dan berorientasi kekuasaan yang partisan, pri-

mordial, dan feodalistik serta dimulainya konsolidasi dem-

okrasi multikultural yang berkeadaban; (c) Menegakkan

Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Pembukaan Undang

-Undang Dasar 1945 dan ber-Bhinneka Tunggal Ika dalam

bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia disertai cara

mengurus negara yang benar untuk menjadikan Indonesia

maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.

4. Pemilu untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPD, dan

DPRD) harus benar-benar menghasilkan wakil rakyat yang

jujur, terpercaya, bertanggungjawab, dan berkualitas tinggi.

5. Kepada Partai politik peserta Pemilu dan calon legislatif

beserta pendukungnya harus memiliki investasi moral-

kebangsaan dengan mengedepankan kontestasi politik yang

bermartabat, kampanye yang santun dan mencerdaskan,

bersaing secara sehat dan membangun kebersamaan, men-

gutamakan program, dan menaati segala ketentuan yang

berlaku.

6. Kepada seluruh rakyat Indonesia khususnya yang memiliki

hak pilih, hendaknya menggunakan hak politiknya secara

cerdas dan bermartabat, menjunjung tinggi kejujuran dan

kebersamaan, serta terus mengawasi para wakilnya yang

telah dipilih agar benar-benar menjalankan amanat dengan

sebaik-baiknya.

7. Kepada warga Muhammadiyah agar menggunakan hak

pilihnya secara cerdas dengan pikiran dan kalbu yang

jernih, istiqamah dalam menegakkan Khittah dan ke-

bijakan Persyarikatan, memelihara ukhuwah dan

menghindarkan diri dari perpecahan, tidak menggunakan

amal usaha untuk kampanye, serta senantiasa menjunjung

tinggi kepentingan dan martabat organisasi.

Semoga Muhammadiyah tetap senantiasa berkhidmah un-

tuk kepentingan Bangsa dengan tetap menjaga netralitasnya

dan menjaga anggotanya dari infiltrasi parpol manapun.

Muhammadiyah dan

Infiltrasi Parpol Oleh: Elang Perja

DUNIA MUHAMMADIYAH

Page 12: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

11 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

M uhammad Natsir lahir di Alahan Panjang

Sumatra Barat 17 Juli 1908 dan wafat di Ja-

karta 6 Februari 1993. Natsir kecil mendapat

pendidikan dari orang tua dan lingkungann-

ya. Pendidikan formal di HIS Padang 1923, MULO 1927, AMS

Bandung 1930 dan ditahun 1932 Natsir berguru dan ber-

sahabat dengan Ulama pergerakan Islam Toen A. Hassan di

Pesantren Islam Bandung. Natsir juga mendapat gelar Doktor

Honoris Causal dari Universitas Islam Indonesia.

Beberapa jabatan beliau baik di dunia pendidikan, perge-

rakan, maupun pemerintahan cukup banyak, diantaranya Ket-

ua Jong Islamieten Bond Bandung 1928-1932, Direktur Pengu-

rusan Pendidikan Islam 1932-1942, Terpilih menjadi Wakil

P.B Persatoean Islam 1937, Anggota Dewan Kaboepaten Ban-

doeng 1940-1942, Kepala Biro Pendidikan Kota Bandoeng 1942

-1945, ,Anggota BP KNIP 1945-1946, Ketua Umum Partai Islam

Indonesia Masyumi, 1949-1958. Mentri Penerangan Kabinet

Sjahrir III 1946-1947 dan Kabinet Hatta 1948-1949.

Arsitektur Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI)

Dalam perjalanan NKRI tidak berdiri begitu saja, sebelum

itu kita mengenal nama Negara Indonesia Serikat dengan kum-

pulan negara-negara boneka buatan Van Mook, Negara Ma-

doera diketuai R.A.A Tjakraningrat 23 januari 1948, diikuti

pembentukan Negara Sumatra Timur diketuai Dr. Tengkoe

Mansjoer 24 Maret 1948, menyusul Negara Pasoendan yang

diketuai R.A.A Wiranatakoesoemah April 1948, diteruskan

pembentukan Negara Jawa Timur diketuai R.T.P Achmad

Koesoemonegoro 3 Desember 1948.

Banyak kemelut yang terjadi sebab propaganda Van Mook

dalam usahanya meruntuhkan Republik Indonesia ketika

masih seumur jagung. Maka perjalanan sampai dengan ber-

hasil mendirikan NKRI yang diproklamirkan Ir. Soekarno pada

Ulang Tahun ke-5 Republik Indonesia 17 Agustus 1950 me-

nyimpan banyak catatan sejarah diantaranya sejarah peran

tokoh Islam Muhammad Natsir dengan Muso Integralnya.

Dalam Api Sejarah 2, Ahmad Mansur Suryanegara menu-

turkan, “Pada pertemuan Dana Al Falah di Masjid Al Azhar

Jakarta. Muhammad Natsir kepada penulis, menjelaskan pros-

es lahirnya NKRI melalui Mosi Integral. Semula mendapat per-

lawanan dari pimpinan Negara Boeneka Van Mook dan Presi-

den RI Yogyakarta, Namun akhirnya menjadi terbuka dan set-

uju bersama membentuk NKRI di bawah Pimpinan Soekarno-

Hatta. Selanjutannya Mohammad Natsir dinilai oleh Presiden

sebagai arsitek gagasan NKRI dandiangkat sebagai Perdana

Mentri Pertama NKRI.” [Api Sejarah 2, hal. 322, Cetakan 1,

Maret 2010, Pustaka Salamadani Pustaka Semesta, Bandung].

Walau tidak sedikit pihak yang memojokkan kaum Islam

dan gerakan Islam sebagai “ancaman” bagi NKRI, namun se-

jarah mencatat Moh. Natsir yang merupakan tokoh besar Islam

menjadi pencetus Muso Integral yang menjadi embirio

berdirinya NKRI.

Keteladanan Natsir

Akbar Muzakki, Wartawan Senior sekaligus saksi hidup

bertemu langsung dengan Mohammad Natsir, menuliskan se-

buah artikel berujdul “Jihad Politik” Mohammad Natsir.

Kutipan dari artikel tersebut kiranya dapat menjadi gambaran

keteladanan tokoh Islam ini.

Mohammad Natsir seakan berasal dari negeri yang jauh.

Sebuah negeri politikus berjuang sungguh-sungguh demi

rakyat yang diwakilinya. Mereka memegang teguh ideologi

partai masing-masing, beradu argument, tapi tetap dengan

tutur kata sopan, dan sesudahnya bercakap hangat dengan

lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat rehat.

Mereka berperang kata, tapi tetap bersatu saat menghadapi

penjajah.

Indonesia diawal kemerdekaan, ketika Mohmmad Natsir

menjadi politikus dari Partai Masyumi, bukanlah negeri khaya-

lan. Ketika beda pendapat, Para politikus tak perlu memamer-

Muhammad Natsir Oleh: Rizki Utama*

TELISIK TOKOH

Bersambung ke halaman 30

Page 13: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

12 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

D emokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh

rakyat dan untuk rakyat. Pernyataan legendaris

Abraham Lincoln ini boleh dikatakan sebagai

sebuah definisi ringkas tentang demokrasi.

Karena dalam sistem pemerintahan demokrasi, rakyat dituntut

untuk terlibat berpolitik secara langsung maupun tidak

langsung.

Di Indonesia, demokrasi yang dipakai adalah demokrasi

perwakilan. Seluruh rakyat berhak untuk berpartisipasi dalam

politik, namun tidak secara langsung. Rakyat terlibat dengan

memilih perwakilan mereka di kursi pemerintahan.

Namun partisipasi rakyat dalam politik terlihat menurun

dari tahun ke tahun. Sebaliknya, presentase rakyat yang tidak

mengikuti pemilu atau golongan putih (golput) menunjukan

peningkatan yang memprihatinkan.

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi

dan Sosial (LP3EM) mencatat, jumlah golput pada pemilu

tahun 2009 memecahkan rekor terbanyak dalam rentang

waktu antara 1999 hingga 2009. Pada pemilu tahun 2009,

presentasenya mencapai 30%, tahun 2004 sebanyak 26%,

sedangkan pemilu tahun 1999 sebanyak 20%.

Penurunan signifikan ini tentu menimbulkan pertanyaan,

ada apa sebenarnya dengan pemilu?

Kurangnya sosialisasi dan sulitnya transportasi bukanlah

alasan tepat, karena nyatanya, dari tahun ke tahun, sarana

transportasi terus meningkat, media informasi pun semakin

canggih.

Jika terus meraba, maka kemungkinan lain akan muncul.

Meningkatnya presentase golput di Indonesia boleh jadi timbul

akibat meningkatnya ketidakpercayaan rakyat terhadap calon

wakil mereka.

Hal ini bisa dimaklumi, karena rakyat sebenarnya memang

tidak memilih perwakilan secara bebas, namun mereka hanya

memilih dari daftar pilihan yang sudah ada. Lebih jauh lagi,

kebanyakannya hanyalah orang-orang yang tidak dikenal dan

hanya melakukan aksi beberapa waktu sebelum pemilu

dilaksanakan.

Hal ini bisa dianalogikan dengan seorang muslim yang

mengadakan kunjungan ke negara nonmuslim, dan ingin

mencari makanan. Di sebuah restoran, ia diberikan daftar

menu yang tidak ia pahami tulisannya. Karena ia dituntut

untuk memakan makanan yang halal saja, maka ia harus

memilih menu vegetarian, atau paling tidak, sea food. Dengan

daftar tidak jelas yang ia tidak tahu mana yang halal, mana

yang haram, dari pada bertaruh dengan memilih satu di antara

daftar yang tidak jelas, tentu lebih baik baginya untuk tidak

memilih apa-apa, kemudian keluar dari restoran tersebut dan

mencari restoran yang lebih jelas seperti restoran vegetarian,

bukan?

Hal ini bukan tanpa pertimbangan. Aksi golput sebenarnya

menunjukan bahwa pelakunya adalah orang melek politik.

Melakukan golput sebenarnya adalah reaksi dari aksi tim

sukses partai yang melakukan kampanye tidak sehat, seperti

pertunjukan hiburan erotis, ataupun ritual-ritual pagan para

calon anggota dewan untuk meraih simpati publik.

Aksi anggota dewan yang telah menjabat pun juga menjadi

bahan pertimbangan para pemilih. Dalam kampanye,

semuanya menyuarakan perubahan. Memang, saat menjabat

terdapat banyak perubahan, namun sayangnya perubahan itu

menuju arah penurunan, bukan perbaikan. Banyaknya aspirasi

yang tidak direalisasikan membuat rakyat bersikap apatis,

dengan pola pikir, “Ikut atau tidak, nasib saya akan tetap

seperti ini”.

Parahnya, beberapa calon yang akan dipilih adalah orang-

orang yang tidak berkompeten secara keilmuan, bahkan juga

memiliki riwayat moral yang memprihatinkan. Tak sedikit dari

daftar calon anggota dewan, dulunya adalah artis yang suka

mencari sensasi, atau pekerja seni yang suka mengumbar

pornografi. Modal untuk mewakili rakyat hanyalah “Saya

dikenal masyarakat”. Padahal modal untuk mewakili rakyat

bukanlah itu, melainkan “Saya mengenal masyarakat, dan saya

siap berjuang untuk mereka”.

Memang, bakal calon yang tidak berkompeten tadi tetap

mendapatkan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian)

karena kepolisian hanya mensyaratkan tidak adanya nama

pemohon surat di daftar pelaku kriminal. Dan sudah menjadi

rahasia umum, sebesar apapun kriminal yang dilakukan

seseorang, jika tidak terendus pihak penegak hukum, maka

pelaku tetaplah orang baik. Dan sayangnya, orang baik jadi-

jadian seperti ini banyak berkeliaran.

Mengantisipasi hal ini, KPU (Komisi Pemilihan Umum)

harus mencari solusi untuk meningkatkan kepercayaan rakyat

terhadap calon wakil mereka di kursi pemerintahan. Karena

memang nyatanya, pilihan untuk golput bukanlah salah

pelaku, namun itu adalah salah sistem yang membuat pemilih

gamang untuk menentukan sebuah pilihan.

Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah dengan

menegaskan dan mengetatkan syarat-syarat untuk menjadi

calon pilihan rakyat. Saat ini, persyaratan yang diatur oleh Un-

dang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, BAB VII, Bagian Kesatu

tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provin-

si, dan DPRD Kabupaten/Kota, pasal 51 secara global hanya

mencakup aspek ketuhanan, pendidikan, bebas dari catatan

kriminal serta kesediaan untuk bekerja penuh waktu.

Namun ada satu hal yang luput sehingga masih banyak

calon tidak berkompeten tetap bisa unjuk gigi dalam pesta

demokrasi, yaitu aspek norma, moral dan rekam jejak akhlak

serta prilaku. Dan menimbang hal ini tidak bisa hanya

berpatokan pada SKCK, namun harus dengan investigasi

terhadap keseharian bakal calon dan bagaimana hubungan

sosialnya selama ini. Semua aspek harus diuji agar gedung

DPR tidak diisi oleh orang-orang beruang, namun diisi oleh

orang-orang yang siap untuk berjuang.

Bukan Salah Peng-Golput Oleh: Fakhry Emil Habib*

TRANSFORMASI

Bersambung ke halaman 30

Page 14: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

13 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

Sinar: Setelah runtuhnya Khil-

afah Turki Utsmani pada tahun

1924, telah banyak usaha-usaha

untuk kembali mendirikan khilafah

dan mempersatukan umat muslim

di bawah satu pemerintahan. Na-

mun ternyata selama 90 tahun

hingga saat ini, usaha-usaha sema-

cam itu belum juga berhasil.

Bagaimana pandangan bapak da-

lam hal ini?

Dr. Najih Ibrahim: Ini pertanyaan

yang bagus. Pertama-tama, sistem khil-

afah dengan bentuknya yang lama akan

sangat sulit untuk dikembalikan lagi.

Namun sistem pemerintahan modern

untuk umat Islam yang mungkin bisa

dicapai saat ini adalah model persatuan

antara negara-negara muslim seperti Uni

Eropa. Setiap negara memiliki kedau-

latannya dan tentaranya sendiri, namun

ada saling sokong dalam hal pertahanan,

ekonomi, sosial, politik, dan hubungan

multilateral. Mereka memiliki pajak ber-

sama, mata uang bersama, setiap orang

bebas bepergian ke mana saja, tanpa ada

birokrasi yang berbelit. Ini adalah bentuk

yang logis untuk zaman sekarang.

Namun gerakan-gerakan Islam masih

mengiginkan satu model pemerintahan

yang sama untuk umat muslim, yaitu

model pemerintahan yang ada saat masa

Umar bin Khatthab. Sistem kepemimpi-

nan Umar bin Khatthab tidak akan kem-

bali karena masyarakat yang memiliki

kriteria seperti masyarakat saat itu sudah

tidak ada.

Islam itu agama yang mengumpulkan

antara konsep dan realita. Dan Islam itu

agama yang realistis (wâqi`iyy). Islam

bukan agama yang sebatas konsep

belaka. Maka, saat Islam mengharamkan

praktek riba, Islam tidak hanya melarang

praktek riba namun memberikan solusi

yaitu dengan praktek jual beli yang sah.

Saat Islam mengharamkan praktek zina,

Islam memberikan solusi dengan

menghalalkan pernikahan. Maka, jangan-

lah kamu berkata “Pilih sistem khilafah

Umar bin Khatthab atau tidak!”, jika

tidak maka kamu tidak akan mendapat-

kan apa-apa.

Hendaknya kamu melakukannya

secara bertahap. Syariat Islam itu datang

secara bertahap, dan hukum alam pun

berjalan secara bertahap. Apakah kamu

pernah melihat seorang bayi baru lahir

kemudian ia berlari? Tidak kan? Ia hanya

bisa menangis, kemudian berjalan

dengan tangan dan kakinya, belajar

berdiri sambil berpegangan, bisa ber-

jalan, baru kemudian ia bisa berlari. Sep-

erti itu juga dalam hal ini. Haruslah

memulai dari perbaikan individu menjadi

individu yang baik, kemudian keluarga

yang baik, masyarakat yang baik, lalu

kemudian negara yang baik, dan barulah

persatuan negara-negara yang baik yang

saling menyokong satu sama lain.

Namun jika model yang kamu ajukan

adalah dengan menggabungkan angkatan

militer di setiap negara, menggabungkan

negara kaya dengan negara miskin,

menggabungkan pendapatan negara satu

dengan lainnya, hal ini jelas akan diten-

tang oleh setiap pemimpin negara.

Islam mengajarkan untuk memulai

dari hal yang realistis terlebih dahulu.

Jika kamu meninggalkan hal yang realis-

tis, maka kita akan tetap berada dalam

kemustahilan.

Khilafah pun tidak bisa didirikan

dengan kekuatan, khilafah itu datang

dengan pilihan dan keinginan. Kamu

berfikir bahwa jika ingin mendirikan

khilafah kamu tinggal mendeklarasikan

diri, kemudian menguasai negara-negara

di sekitarmu dengan angkatan bersenjata

yang kamu miliki. Pikiran inilah yang

harus kamu rubah terlebih dahulu.

Dr. Najih Ibrahim: “Demokrasi itu Dimulai dari Pribadi dan Masyarakat”

HIWAR

Page 15: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

14 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

Pada akhir-akhir masa khilafah Ab-

basiyah, sang khalifah tidak memiliki

kuasa atas daerah-daerah yang

dikuasainya. Saat itu di dalam daerah

Abbasiyah juga terdapat Dinasti Thuluni-

yah, Ikhsyidiyah, ini dan itu.

Maka mengenai khilafah, hendaknya

kita kumpulkan tujuan dari adanya khil-

afah tersebut dengan apa yang mungkin

untuk diterapkan pada masa kini. Salah

satu tujuan khilafah adalah terwujudnya

persatuan sesama umat muslim dalam

satu pemerintahan, dan apa yang realistis

untuk diterapkan saat ini adalah bentuk

Uni Eropa. Sedangkan bentuk khilafah

dengan menguasai daerah-daerah

dengan kekuatan militer maka undang-

undang negara dan PBB pun menentang

hal ini. Mari kita lihat contohnya ketika

Saddam Husein menyerang Kuait, apa

yang terjadi kemudian? Irak dihancurkan

dan sekarang terpecah belah.

Dan bagi gerakan-gerakan Islam, saat

ini janganlah dulu mengangkat jargon

khilâfah Islâmiyyah, namun angkatlah

dulu hal-hal yang mungkin untuk

tercapai yaitu persatuan. Galakkan

dakwah terlebih dahulu, dakwah kepada

pribadi, kemudian keluarga, kemudian

masyarakat, dan kemudian negara.

Hendaknya orang yang berbicara ten-

tang khilafah menjadi contoh terlebih

dahulu di masyarakat. Umar bin Khat-

thab sebelum menjadi khalifah telah

dikenal adil dan baik kepribadiannya.

Jika sifat seperti itu belum tertanam da-

lam diri, maka janganlah dahulu ber-

bicara tentang khilafah!

Sinar: Banyak yang melakukan

“black campaign” terhadap sistem

demokrasi, dengan argumen bahwa

ia berasal dari luar Islam. Sikap

anda?

Dr. Najih Ibrahim: Umar bin Khat-

thab meski dengan kebesarannya, beliau

mencontoh pengaturan lembaga-lembaga

pemerintahan (dîwân) dari peradaban

Persia. Lembaga-lembaga tersebut seper-

ti menteri-menteri, sebuah peraturan

yang belum dikenal oleh bangsa Arab

saat itu, namun telah ada di Persia. Be-

liau mengambil sistem itu dari Persia,

dan tidak berkata “ini adalah produk

orang Persia dan orang Persia itu seper-

ti ini dan itu maka janganlah ambil apa-

pun dari mereka!”.

Sistem pengaturan angkatan bersen-

jata juga tidak pernah dikenal oleh bang-

sa Arab. Saat zaman Rasulullah belum

ada angkatan bersenjata yang teratur

lebih rinci beserta pemimpin pasukann-

ya. Saat itu, ketika Rasulullah menyeru

para sahabat untuk perang, maka se-

luruhnya akan ikut berperang. Dan pada

zaman Umar bin Khatthab diimporlah

sistem pengaturan angkatan bersenjata

ini dari Persia. Beliau meski telah mem-

iliki kemampuannya yang luar biasa, na-

mun beliau juga mengimpor sistem

pengaturan seperti ini dari bangsa

penyembah api, Persia. Beliau tidak me-

rasa risih dengan itu, dan tidak berkata

bahwa mereka adalah kaum penyembah

api dan kita tidak boleh mengambil apa-

pun dari mereka.

Rasulullah juga pernah mengimpor

strategi parit dalam perang Ahzab yang

membuat beliau mendapat kemenangan.

Dari mana strategi itu berasal? dari Per-

sia. Itu adalah produk peradaban bangsa

Persia yang dibawa oleh Salman al-Farisi,

beliau berkata: “Kami orang persia biasa

membuat seperti ini.” Maka ketika

pasukan Mekah melihat parit mereka

terkaget dan berkata, “Demi Allah ini

adalah strategi yang sama sekali tidak

dikenal oleh orang Arab!”. Rasulullah

mengambil strategi perang dari Persia,

menggunakannya dan bahkan mendapat-

kan kemenangan, mendapatkan faedah

darinya.

Apakah kamu hendak mendirikan

negara modern dengan perangkat zaman

dahulu? Tidak akan! Islam memerinta-

hkan kita untuk bermusyawarah, namun

tidak menentukan kita harus melakukan

musyawarah dengan cara apa. Islam

meninggalkan hal itu kepada umatnya

agar, mencari solusi yang tepat untuk

setiap waktu dan tempat. Saat ini kita

memiliki parlemen, majlis permusya-

waratan rakyat, ada majlis perwakilan

rakyat, maka sistem itu dibebaskan ter-

gantung setiap zaman dan tempatnya.

Jika keadilan politik telah diterapkan,

musyawarah diterapkan, kebersihan

pemimpin diterapkan, maka dengan itu

kita telah menerapkan

ajaran Islam di

pemerintahan,

bagaimanapun sis-

temnya.

Islam bukan agama

diktatorial dan menen-

tang kediktatoran.

Demokrasi memiliki

beberapa kedekatan

dengan Islam di

berbagai hal, selama

tidak berseberangan

dengan syariah. Umar

bin Abdul Aziz menolak

untuk diangkat sebagai

khalifah kecuali setelah

masyarakat mem-

baiatnya sebagai kha-

lifah. Pada masa sekarang hal itu dic-

erminkan melalui kotak suara.

Islam memiliki nilai-nilai utama yang

harus ditegakkan, dan bagaimana semes-

tinya penegakkan nilai-nilai ini dil-

akukan? Hal itu akan berbeda di setiap

generasi ke generasi, akan berbeda di

tempat satu dengan tempat lainnya.

Keadilan politik dan keadilan sosial

haruslah ditegakkan. Keadilan politik

adalah keikutsertaan berbagai pihak da-

lam pemerintahan sesuai dengan ke-

mampuannya masing-masing melalui

kotak suara. Keadilan sosial adalah se-

tiap masyarakat dapat mengambil

haknya dalam bernegara, hak untuk

orang fakir dan miskin terpenuhi, ada

jaminan keamanan dan jaminan

kesehatan, adanya perhatian terhadap

mereka, pembagian kesejahteraan dan

sumber daya alam negara yang merata.

Pemerintahan Islam itu bukan ter-

letak pada corak sistemnya, namun pada

nilai-nilai yang diusungnya. Maka, terap-

kanlah nilai-nilai itu dengan cara apa-

pun!

Sinar: Kita melihat sejarah

bangsa Arab sejak dahulu hingga

sebelum revolusi Arab Spring, bah-

wa bangsa Arab selalu dipimpin

oleh kekuatan yang absolut meski

bermacam sistemnya. Maka dengan

adanya revolusi Arab Spring tahun

2011 kemarin, muncul mimpi bah-

wa corak pemerintahan kuasa ab-

solut seperti ini akan berubah men-

jadi sistem demokrasi yang baik.

Bagaimana anda melihat hal ini?

Dr. Najih Ibrahim: Penyakit Mesir

dan bangsa Arab memang terletak pada

pemerintahan yang diktator. Pemerinta-

han diktator memang suatu hal yang san-

gat buruk. Pertama, dalam pemerintahan

diktator selalu ada manipulasi suara da-

HIWAR

Page 16: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

15 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

lam Pemilu. Kedua, pemerintah pasti

akan memegang kekuasaan dengan ab-

solut, tidak ada kebebasan dan keadilan

politik bagi masyarakat. Ketiga, Ia akan

selalu mengontrol ketat kelompok-

kelompok Islam. Keempat, pemerintah

akan berkuasa penuh atas kekayaan

negara. Di Mesir, pertumbuhan ekonomi

rata-rata pertahun menembus angka 7%,

ini adalah angka yang cukup tinggi dalam

pertumbuhan ekonomi. Namun hal itu

hanya dirasakan oleh segelintir orang

saja, satu dari seribu orang.

Pejabat terus berkuasa hingga men-

capai umur 80 tahun, hingga sakit-

sakitan, tidak lagi mampu mengatur pun

masih menjabat. Tidak ada pergantian

pejabat. Keluarlah sifat-sifat Fir`aun da-

lam diri para pejabat. Itulah penyakin

bangsa Arab.

Meletuslah revolusi 25 Januari 2011

dengan membawa tiga tuntutan utama,

yaitu kebebasan, kehidupan yang lebih

baik dan keadilan sosial. Semua orang

mengungkapkan mimpi mereka. Namun

sayang, dalam revolusi itu terdapat ban-

yak kesalahan.

Kesalahan pertama adalah munculnya

aksi-aksi pembakaran. Revolusi Arab

bermula pada aksi pembakaran, dan diisi

dengan pembakaran. 70 markas polisi

dibakar, lembaga keilmuan dibakar, kan-

tor-kantor dibakar. Aksi-aksi pemba-

karan itu adalah sebuah kesalahan kare-

na membunuh dan merusak dengan api

adalah hak yang hanya digunakan oleh

Allah dan bukan oleh manusia, itupun

hanya di akhirat.

Kesalahan kedua adalah setiap ke-

lompok berusaha untuk naik ke kursi

pemerintahan. Kelompok Islamis beram-

bisi untuk menguasai pemerintahan, ke-

lompok sosialis juga berambisi untuk

menguasai pemerintahan. Banyak ke-

lompok saling berambisi untuk men-

guasai pemerintahan.

Kesalahan ketiga adalah munculnya

pertikaian antar kepentingan yang ada,

dan pertikaian tersebut kemudian dibawa

turun ke jalan-jalan. Maka muncullah

aksi pengepungan terhadap pusat-pusat

pemerintahan, mulailah mereka menge-

pung Kementrian Dalam Negeri, menge-

pung gedung parlemen, mengepung ge-

dung perdana menteri.

Kemudian banyak terjadi pem-

blokiran jalan, setiap ada masalah di sua-

tu daerah maka mereka memblokir jalan.

Kemudian mulailah masuk senjata dari

luar Mesir ke tangan kelompok-

kelompok di Mesir hingga negara ini di-

penuhi dengan senjata. Mulailah terjadi

krisis keamanan di daerah Sinai, mu-

lailah muncul kelompok al-Qaeda di Si-

nai setelah sebelumnya mereka tidak

memiliki tempat di Mesir. Semua hal itu

telah menghilangkan semangat revolusi.

Seolah revolusi Mesir ini bertujuan untuk

memunculkan hal-hal buruk ke per-

mukaan. Orang-orang baik mulai

meninggalkan estafet revolusi hingga

tongkat revolusi dipegang oleh para

pelaku kejahatan yang memiliki senjata.

Kemudian diadakanlah pemilihan

umum dan terpilihlah Muhammad Mursi

sebagai presiden. Ia adalah orang yang

saleh dan bersih, namun ia tidak siap

untuk memimpin negara ini.

Ia pun memiliki beberapa kesalahan.

Kesalahan pertama adalah ia memimpin

sebuah negara dengan pola pikir dakwah,

kita pun tahu bahwa memimpin gerakan

dakwah dan memimpin negara itu jauh

berbeda. Ia memimpin Mesir dengan

pola pikir jemaah bukan dengan pola

pikir seorang pemimpin negara. Jemaah

itu berisi orang-orang yang homogen,

muslim yang taat. Namun negara berisi

orang yang heterogen, seperti Indonesia,

di dalamnya ada orang Islam, Kristen,

dan lainnya.

Salah satu keputusan yang paling ber-

bahaya adalah keputusannya tentang

perang Suriah. Sebuah keputusan yang

menyebabkan militer Mesir membelot

darinya. Mursi sebagai seorang presiden

yang merupakan pimpinan militer

tertinggi menyatakan jihad dan memutus

hubungan dengan Suriah. Ia berbicara

seperti seorang khatib memutus hub-

ungan dengan Suriah dan menyatakan

jihad. Hal itu berarti tentara Mesir harus

berangkat dan pergi ke Suriah untuk ber-

perang. Saat itu orang-orang berkata,

“Perintah ini tidak akan berjalan”.

Bagaimana bisa ia berkata kita harus

berjihad di Suriah? Di Suriah itu terdapat

banyak kepentingan dan pasukan. Di

dalamnya ada Iran, Cina, Inggris, Ameri-

ka, Israel, Hizbullah. Tentara Mesir akan

berantakan jika ikut berperang di sana

seperti tentara Yaman.

Dan saat ini kita berada dalam fase

ketiga dari dampak revolusi 2011. Yaitu

terjadinya pertentangan hebat antara

kaum Islamis dengan negara. Saat ini

muncul al-Qaeda, muncul kelompok tak-

firi, terjadi banyak sekali aksi kekerasan

di mana-mana. Dan kita akan terus men-

galami keadaan kacau seperti ini hingga

batas yang telah Allah tentukan.

Sinar: Sebagian orang menga-

takan bahwa tergulingnya Presiden

Mursi menjadi sebuah tanda bahwa

bangsa Arab umumnya, atau bang-

sa Mesir khususnya memang belum

siap untuk berdemokrasi. Bagaima-

na anda memandang hal ini?

Dr. Najih Ibrahim: Pertanyaan yang

bagus. Demokrasi, jika kamu hendak

menerapkannya di Mesir, maka hen-

daklah terlebih dahulu memunculkan

kesadaran berdemokrasi dari rakyat.

Di Mesir ini terdapat sekitar 40%

penduduk yang buta huruf, tidak bisa

membaca dan menulis. Dan juga sangat

banyak orang yang miskin. Orang buta

huruf mungkin akan ditertawakan ketika

pemilihan. Dan orang miskin mungkin

akan disuap ketika pemilihan. Penerapan

demokrasi setidaknya membutuhkan

beberapa hal yang mesti diutamakan.

Yaitu tingkat ekonomi masyarakat lebih

meningkat, agar orang tidak lagi mudah

dibeli suaranya, dan tingkat pendidikan

yang lebih meningkat dan pemahaman

terhadap pers, agar orang bisa memilih

antara pemimpin yang baik dan yang

tidak baik.

Memang terdapat jarak antara ken-

yataan masyarakat kita sekarang dengan

demokrasi, namun kita harus tetap

memulai, karena dari setiap permulaan

pasti ada akhirnya. Setidaknya, saat ini

keadaan telah sedikit berubah, telah ada

kebebasan pers dan setidaknya dalam

undang-undang kekuasaan presiden te-

lah dibatasi selama delapan tahun saja (2

periode pemilu). Ini merupakan sebuah

kemajuan. Dalam undang-undang sebe-

lumnya tertulis bahwa presiden bisa

berkuasa dalam dua periode atau lebih,

kata “atau lebih” inilah yang berbahaya.

Namun dengan adanya undang-

undang baru sekarang, setidaknya

keadaan akan lebih baik. Kebiasaan di

Mesir itu adalah pemimpin tidak akan

berganti hingga ia mati atau digulingkan.

Kita ingin melihat di Mesir seperti di

Amerika, yaitu saat lima orang mantan

presiden bisa hidup akur berdampingan,

bukan satu presiden di pemerintahan dan

mantan presiden berada di kuburan, atau

satu presiden di pemerintahan dan man-

tan presiden berada di dalam penjara.

Kita tidak ingin seperti itu.

Dan memang antara bangsa Arab atau

Mesir dengan demokrasi, terdapat

kesalahan dalam memahami demokrasi.

Sebagian masyarakat memahami, bahwa

Hurriyyah adalah kebebasan tanpa ba-

tas. Setelah revolusi 25 Januari, ada seke-

lompok orang yang mempraktekkan

kebebasan dengan memiliki senjata dan

melakukan balas dendam. Ada juga seke-

lompok orang yang memblokir jalan dan

memutus aliran listrik. Ada juga yang

mengendarai mobil di jalur yang berla-

wanan.

HIWAR

Page 17: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

16 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

Ada jarak memang antara kita dengan

pemahaman bahwa kata Hurriyyah ada-

lah kebebasan yang bertanggungjawab.

Maka memang antara kita dan demokrasi

ada jarak yang jauh, namun mari kita

mencobanya.

Sinar: Kebebasan dalam demo-

krasi menjadikan siapapun bisa

mencalonkan dirinya menjadi pem-

impin, bahkan orang yang tidak

memiliki kemampuan dalam mem-

impin pun mencalonkan dirinya.

Bagaimana anda melihat hal ini?

Setelah Revolusi 25 Januari 2011,

banyak orang yang memahami bahwa

demokrasi dan kebebasan adalah bebas

tanpa batas, hingga saat itu sebanyak 123

orang mencalonkan diri menjadi presi-

den. Dan dari jumlah itu, hanya tiga

hingga empat yang cocok untuk menjadi

presiden. Dari jumlah sebanyak itu di

antara mereka ada yang hanya lulusan

diploma, ada yang seorang penyanyi. Ia

memahami bahwa dengan demokrasi,

maka siapa saja bisa untuk menjadi pem-

impin. Tidak! Sama sekali tidak.

Ada juga kelompok orang yang me-

mahami bahwa kebebasan ditafsirkan

dengan mengambil senjata kemudian

membalas dendam. Sejak revolusi 2011,

telah terbunuh sekitar seribu orang kare-

na dendam. Maka, apakah dengan adan-

ya kebebasan lalu kemudian kamu bisa

memiliki senjata dan membunuh orang

di luar batasan peraturan? Apakah

kebebasan itu berarti kita bebas membeli

senjata? Atau kita berbuat di luar batas

peraturan?

Di dalam masyarakat kita ini ada

masyarakat yang sangat miskin. Dan da-

lam pendapat saya, orang yang sangat

miskin itu tidak memiliki suara, karena

suara mereka bisa saja dibeli dengan

uang dan mereka sama sekali tidak ber-

pikir tentang politik. Maka, demokrasi

akan berjalan dengan masyarakat yang

memiliki tingkat ekonomi yang baik, sta-

bilitas negara dan tingkat pendidikan

yang baik. Sedangkan kita masih mem-

iliki sekitar 40% orang buta huruf dan

sekitar 30% berada di bawah garis kem-

iskinan.

Maka demokrasi memiliki tiga faktor

penunjang, yaitu tingkat kesadaran dan

pendidikan yang baik, tingkat ekonomi

yang baik dan stabilitas negara. Setelah

itu terpenuhi, baru kita bisa sepenuhnya

berbicara tentang demokrasi.

Dilihat dari segi ekonomi, orang

miskin sangat mudah untuk dibeli

suaranya. Orang yang sulit untuk men-

cari kebutuhan sehari-hari tidak akan

menyibukkan dirinya untuk memikirkan

demokrasi, karena ia hanya memikirkan

bagaimana keluarganya bisa makan

dengna baik.

Dan dari segi stabilitas negara, tidak

mungkin demokrasi berjalan dalam

keadaan negara yang berantakan seperti

Irak saat ini, banyak kekerasan, aksi bom

bunuh diri, seperti negeri kita saat ini.

Maka, harus ada stabilitas negara untuk

menjalankan demokrasi.

Sinar: Negara-negara Arab sama

-sama memiliki impian yang sama

saat revolusi Arab Spring 2011 lalu,

menegakkan pemerintahan yang

demokratis. Dalam pandangan an-

da, setelah tiga tahun revolusi ini

berjalan, sejauh mana penerapan

demokrasi di negara-negara arab

saat ini?

Dr. Najih Ibrahim: Mari kita lihat

setiap negara yang terjadi revolusi, di

Suriah misalkan. Kemudian revolusi itu

berubah haluan dari asalnya berupa

demonstrasi damai menjadi angkat sen-

jata. Kemudian konflik tersebut dimasuki

oleh kelompok-kelompok seperti al-

Qaeda, dan beberapa negara pun

kemudian ikut campur dalam konflik ini.

Akhirnya Suriah menjadi medan per-

tempuran kepentingan negara lain.

Amerika ingin memerangi Iran dan

melakukannya di Suriah, maka pecahlah

pertempuran kepentingan antara blok

Irak, Suriah, Hizbullah, dan Rusia mela-

wan blok Amerika, Israel, Qatar dan be-

berapa negara teluk beserta Turki. Dan

pada akhirnya siapa yang mengalami

kerugian? Tidak lain adalah rakyat Suri-

ah sendiri.

Hingga saat ini telah terbunuh sekitar

130 ribu orang. 130 Ribu orang! Dan

korban luka-luka yang mencapai angka

setengah juta, dan seperempat juta

lainnya ditawan, dan Suriah benar-benar

hancur berantakan. Setelah mereka

mengambil senjata kimia, lalu kemudian

Amerika mengundurkan diri dan hilang

begitu saja.

Akhirnya semuanya merugi.

Pemerintah merugi, rakyat Suriah meru-

gi, revolusi telah gagal, dan Suriah telah

hancur. Suriah butuh waktu dua puluh

tahun untuk kembali seperti semula. Ada

lebih dari empat juta orang yang

mengungsi, sebagian ada di Jordania,

sebagian di Mesir, sebagian di Turki, se-

bagian di Libanon, mereka mengemis

kepada orang-orang. Mereka mengemis,

padahal sebelumnya mereka adalah

bangsa yang kuat.

Maka revolusi Suriah telah gagal se-

luruhnya. Hilanglah Suriah, hilanglah

angkatan bersenjata Suriah, dan hilang-

lah segalanya. Sekarang Suriah hanya

seperti bangunan yang hancur.

Mari kita melihat ke Libya.

Muammad Kadafi adalah seorang dikta-

tor yang gila, yang sebelumnya men-

gudeta raja yang saleh, dan kudeta itu

berhasil. Ia memimpin Libya dengan

paksaan dan kekerasan selama 40 tahun,

dan kemudian ingin mewariskan

pemerintahan itu kepada anaknya. Dia

menghabiskan kekayaan negara secara

sembrono, membeli senjata secara sem-

brono, namun meski begitu ia masih

tetap bisa memimpin.

Dan saat terjadi revolusi, ia dengan

menggunakan kekuatan militer mela-

wannya. Maka masuklah kekuatan NATO

untuk menguasai minyak Libya. Hingga

akhirnya saat ini Amerika yang men-

guasai minyak Libya. Militer dan polisi

Libya kini telah hancur seluruhnya.

Sekarang Libya tidak lagi merupakan

sebuah negara. Mereka telah berpindah

dari pemerintahan diktator kepada dae-

rah yang tidak memiliki pemerintahan,

dan ini yang lebih parah. Sekarang Libya

telah terpecah menjadi tiga kelompok.

Seperti Iraq yang terbagi menjadi bebera-

pa kelompok yang saling bersengketa.

Tidak ada militer dan selalu dalam per-

musuhan.

Libya tidak lagi punya kekuatan mili-

ter, tidak ada polisi, di mana sekarang

aparat keamanan Libya? Bagaimana

sekarang bentuk negaranya? Perdana

menterinya disandera selama beberapa

jam, kemudian diusir. Seperti ini tidak

lagi bisa disebut sebagai sebuah negara.

Maka, ada sebagian orang yang ingin

menghancurkan militer Mesir, namun

Alhamdulillah militer Mesir masih ber-

tahan. Hal yang terpenting dalam sebuah

negara adalah kekuatan militer, jika tidak

ada militer dalam satu negara maka ia

akan hancur. Maka dari itu, Saudi men-

dukung militer Mesir karena mereka tahu

bahwa jika militer Mesir hancur maka

hancurlah negara-negara Arab. Maka

tentara Mesir adalah pokoknya bangsa

Arab seluruhnya. Merekalah yang ber-

hasil mengusir tentara salib bersama

Shalahuddin al-Ayubi, yang berhasil me-

menangkan perang di `Ain Jalut bersama

Panglima Qutuz, mereka juga yang ber-

hasil memenangkan peperangan dengan

dinasti Wahhabiyah di Hijaz pada awal

abad 19.

Intinya apa? Apakah kamu mengada-

kan revolusi adalah untuk berpindah dari

suatu keadaan yang banyak kezaliman di

dalamnya kepada keadaan yang jauh

lebih parah dari itu? Apakah kamu ingin

seperti itu?

HIWAR

Page 18: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

17 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

Dalam Islam ada yang disebut dengan

maslahat dan mafsadat. Maka apa yang

kamu lakukan harus menghasilkan

maslahat yang lebih besar dan mencegah

timbulnya mafsadat.

Yang kita rubah adalah pemerintahan

dan bukan kedaulatan negara. Negara ini

akan terus ada dan berjalan meski pem-

impinnya silih berganti. Negara ini bukan

milik Mubarak, Anwar Sadat, bukan

milik Jamal Abdul Naser, dan bukan

milik Mursi ataupun Sisi. Negara ini

bukan hanya milik orang Mesir saja, na-

mun juga milik umat seluruhnya.

Sinar: Penerapan demokrasi di

berbagai negara pasti akan men-

galami perubahan sesuai dengan

konteks kebutuhan masyarakat

setempat, oleh karena itu terdapat

perbedaan penerapan demokrasi di

Eropa, Arab dan juga Asia Tengga-

ra. Sejauh pengetahuan anda,

bagaimana penerapan demokrasi

di Indonesia?

Dr. Najih Ibrahim: Demi Allah, saya

dibuat kagum oleh watak orang Indone-

sia setelah saya datang ke sana beberapa

waktu lalu. Rahasia keberhasilan Indone-

sia tidak terletak pada pemerintah na-

mun terletak pada pribadi masyara-

katnya. Saya pernah melihat ada ratusan

sepeda motor berhenti di lampu merah,

tidak ada satupun motor yang menembus

lampu merah itu sampai lampu hijau

menyala. Beda dengan di sini, justru tid-

ak ada yang berhenti di lampu merah.

Maka, demokrasi tidak tumbuh dari

kekosongan. Demokrasi tumbuh dari

individu-individu yang menghormati

peraturan, menghormati aparatur nega-

ra, dan memiliki disiplin yang baik. Jika

ada individu-individu semacam ini, maka

akan tumbuhlah demokrasi. Coba tulis

saja apapun di dalam undang-undang,

jika kamu tidak memiliki individu yang

mematuhinya maka ia tidak akan ber-

jalan.

Perlu diperhatikan bahwa demokrasi

itu tumbuh dari bawah dan bukan dari

atas. Harus ada individu-individu yang

menghormati peraturan, berdisiplin,

membela negara, ada stabilitas kea-

manan negara.

Saya melihat tabiat masyarakat Indo-

nesia itu tenang, damai, tidak banyak

pembunuhan dan keributan seperti di

negara-negara Arab, tidak ada pertikaian

dalam skala yang besar dalam perebutan

kekuasaan seperti di Arab.

Maka, tabiat penduduk Asia Tenggara

yang tenang, damai, tidak banyak ribut

inilah yang menjadikan negara-negara

Asia Tenggara memiliki kesempatan

keberhasilan yang lebih dalam penerapan

demokrasi. Itulah faktor pertama.

Kemudian faktor kedua adalah adan-

ya disiplin dan budaya patuh kepada per-

aturan. Dan faktor lainnya adalah bahwa

negara-negara Asia Tenggara saling

melengkapi dan memberikan contoh

yang baik kepada yang lain dalam banyak

hal.

Perhatikan, Mesir itu lebih dahulu

ada sebelum Indonesia, Mesir telah

merdeka sebelum Indonesia merasakan

kemerdekaan. Bahkan Mesir adalah

negara pertama yang mengakui kedau-

latan Negara Indonesia. Dan Mesir juga

lebih dahulu dari pada Jepang, tapi

sekarang lihatlah! Jepang berada di ma-

na dan Mesir ada di mana. Kok bisa? Pa-

dahal dahulu Jepang benar-benar hancur

setelah perang dunia kedua. Tapi ia

mampu untuk bangkit dan kemudian

hidup dan berkembang.

Maka, konklusinya, kenapa penera-

pan demokrasi di Jepang dan beberapa

negara lain bisa berhasil? Adalah karena

mereka memulainya dari pribadi individu

masyarakatnya sendiri, dan bukan dimu-

lai dari pemerintahnya.

Sedangkan individu orang Mesir khu-

susnya, atau orang Arab pada umumnya,

di dalam diri mereka ada sifat fir`aun.

Maka, ketika meletus revolusi 25 Januari

2011, bangunlah

fir`aun-fir`aun di

setiap diri mereka,

hingga akhirnya

hiduplah 80 juta

fir`aun. Sebelumnya

kita hanya tahu bah-

wa ada satu fir`aun

di negeri ini, namun

setelah revolusi 25

Januari, kita baru

tahu bahwa di Mesir

ini ada 80 juta

fir`aun. Ada yang

memblokir jalan,

memutus jaringan

listrik, ada yang

membunuh, ada

yang berjalan di

jalur yang berseber-

angan, ada yang

menipu. Satu

fir`aun ternyata

lebih mudah ketim-

bang banyak

fir`aun.

Maka, demokrasi

itu mulai tumbuh

dari individu

masyarakatnya.

Demokrasi di Je-

pang dimulai dari individu, demokrasi di

Indonesia dimulai dari individu, begitu

juga dengan Korea Selatan.

Sedangkan di sini, revolusi Arab

Spring 2011 telah terlepas dari jalurnya.

Dan tujuan dari revolusi pun sama sekali

tidak tercapai. Tidak ada kebebasan,

bahkan justru kita dalam keadaan yang

lebih buruk. Tidak ada kehidupan yang

lebih baik, dan tidak ada keadilan sosial.

Rakyat Mesir sekarang menjadi lebih

miskin. Kenapa? Karena banyak pintu

pendapatan negara yang tertutup. Tidak

ada wisatawan, tidak ada investasi, dan

pabrik-pabrik ditutup.

Maka, tujuan dan cita-cita dari Revo-

lusi Arab Spring tidak tercapai, kenapa?

Karena pribadi masyarakatnya belum

berubah. Pemerintahan telah jatuh,

Husni Mubarak telah jatuh, sedangkan

pribadi masyarakatnya juga belum beru-

bah maka tidak akan ada perubahan. Be-

gitulah, gagalnya revolusi adalah karena

manusianya belum berubah. Bahkan bisa

lebih parah, terlebih setelah masuk ke

dalamnya kepentingan-kepentingan poli-

tik dari kelompok-kelompok tersebut.

Tim Hiwar:

Fahmi Hasan, Khoirul Faizin, Fardan

Satrio

Dr. Najih Ibrahim Abdullah, Mantan Ketua Majelis Syuro

Jam`iyyah Islamiyah Mesir.

Lahir : Dimyath, 10 November 1955

Alamat : St.21 Riyadh Basya,Bourj Fajr, Flat no.2, lantai 16,

apartemen no.3. Iskandariyah.

Pendidikan:

Bachelor bedah dari Universitas Asyuth

Lisence Adab Dirasat Islamiyah dari Universitas Minya

Lisence Ilmu Hukum dari Universitas Kairo.

Profesi:

Dai

Dokter organ pencernaan dan bedah

Pemimpin Redaksi Website Jamaah Islamiyah

Karya Tulis:

Taslîthu'l Awdlâ' `alâ mâ Waqa`a fî'l Jihâd

Khâritah at-Tharîq li al-Harakah al-Islâmiyyah al-

Mu‟âshir

Dzikrayât ma`a'l Habîb

Hatmiyatu'l Muwâjahah wa Fiqh al-Natâ'ij

Da`wah li al-Tashâluh ma`a'l Mujtama`

Dan buku-buku lainnya

beliau saat ini aktif sebagai penulis tetap di beberapa media

nasional di Mesir

HIWAR

Page 19: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

18 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

M araknya seniman panggung hiburan yang

terjun dikancah perpolitikan dunia menjadi

warna tersendiri dalam dinamika politik.

Masyhur ditelinga kita pada tahun 80-an

sosok Ronald Reagan, presiden ke-40 negara adikuasa

Amerika Serikat yang notabene sebelum menjadi presiden

memiliki karier panjang dalam dunia hiburan di Amerika

Serikat. Tak terkecuali di tanah air, Indonesia, fenomena

tersebut semakin hari semakian deras arusnya. Bahkan boleh

dibilang, presentase munculnya seniman hiburan menjadi

politikus dadakan meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari

pemilihan tingkat walikota hingga presiden kini kian sering

terdengar berita pencalonan artis tersebut. Pamor yang sudah

mentereng dan menjadi publik figure di dunia hiburan

nampaknya menjadi senjata ampuh untuk melaju ke

gelanggang politik demi merebut kursi panas kekuasaan.

Entah para politisi dadakan yang lahir dari dunia hiburan

ini mempunyai kapasitas keilmuan dibidangnya atau tidak,

yang pasti dalam setiap kampanye mereka selalu berdalih akan

mengentaskan berbagai permasalahan pelik di negeri ini.

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, memang sah-sah

saja siapa pun boleh maju mengikuti pesta demokrasi.

Masalahnya ketika pencalonan tidak dibarengi dengan

kemampuan dan kecakapan politik, alih-alih hendak

menyelesaikan masalah publik, justru berpotensi akan

menambah masalah yang lain. Meski harus diakui, sebagian

dari mereka ada yang cakap dan mempunyai jiwa negarawan.

Yang penulis harapkan, dan mungkin juga harapan semua

masyarakat, agar jangan sampai kebiasaan akting dalam dunia

hiburan turut dibawa menjadi akting dipanggung politik.

Penulis sempat menyaksikan langsung para politisi

dadakan ini ketika diundang dalam sebuah program acara di

salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Pertanyaan-

pertanyaan sarat politik yang diajukan oleh pembawa acara

hanya mampu dijawab sekenanya oleh politisi dadakan

tersebut tanpa pertimbangan politik, miskin analisa dan

pemahaman terhadap permasalahan bangsa yang kurang.

Mungkin dapat dimaklumi mengingat latar belakang sebagian

dari mereka adalah aktor film, artis sinetron, dan dari

kalangan penyanyi sehingga gerak politiknya dianggap sebagai

corong penyambung “nyanyian politik” atasannya.

Sebagai sampel, dinegara kita, terdapat seorang raja

dangdut yang malang melintang di dunia musik khas tanah air

(baca: dangdut) diketahui mempunyai massa yang tidak

sedikit, lebih-lebih ia juga merupakan dai kondang yang

dijadikan panutan banyak orang. Berangkat dari hal demikian,

ia mengusungkan diri sebagai calon presiden Republik

Indonesia dalam pesta demokrasi beberapa waktu mendatang

dengan wadah salah satu partai politik besar. Namun

sayangnya, kehadirannya banyak dianggap hanyalah sebagai

alat pengeruk suara dengan memanfaatkan ketenarannya.

Asumsi itu menguat sebab setiap jawaban dari pertanyaan

politis-kebangsaan yang diberikan selalu kurang memuaskan,

berkutat pada penyelesian akan dilakukan oleh staff yang

berkompeten dibidangnya. Apakah ia hanya sebagai simbol?

Maju sebagai wakil rakyat sudah barang tentu mengemban

amanah sebagai penyambung aspirasi masyarakat. Namun

ketika tidak disertai dengan kemampuan yang matang jusru

akan menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Sebagai

contoh kongkret kasus korupsi proyek hambalang yang sempat

menjadi headline berita ditanah air, yang melibatkan seorang

artis. Proyek bernilai miliyaran rupiah itu kini tidak jelas

kemana arahnya. Jika sudah demikian, kembali masyarakat

yang dirugikan. Amanah menjadi terbengkalai dan janji-janji

manis sebelumnya hanya jadi pemanis bibir saja.

Islam dalam Memandang Jabatan

Ketika langit hendak diberikan amanah, ia lantas menolak.

Ketika bumi hendak diberikan-Nya amanah lantas ia menolak.

Namun ketika manusia diberikan oleh-Nya amanah, tanpa

ragu ia menerimanya. Dapat disimpulkan bahwa memang

manusia terkadang sangat ambisius demi memperoleh

kekuasaan bahkan tidak ragu untuk meminta jabatan. Amanah

sebagai wakil rakyat bukanlah hal yang ringan, ia mempunyai

beban tanggung jawab dihadapan manusia yang dipimpinnya

dan juga dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian,

ia harus mempunyai kemampuan yang benar-benar mumpuni

sebagai seorang negarawan, bukan hanya sebatas

memanfaatkan dan menjual ketenaran saja. Sebab mengemban

amanah rakyat sama halnya mengampu nasib jutaan manusia.

Ada baiknya politisi dadakan ini mengambil pelajaran dari

para khalifah Islam generasi salaf. Ketika Umar bin Abdul Aziz

ditunjuk oleh khalifah sebelumnya sebagai pemimpin.

Bukannya beliau bergembira ria merayakan kemenangan,

namun justru menangis sesenggukan. Mengapa demikian?

sudah tentu karena merasakan betapa berat amanah yang ada

dipundaknya. Padahal ia dikenal sebagai seorang yang

amanah, jujur, dan takut kepada Allah Swt. Beliau pun juga

telah kenyang akan pengalaman politik, sebab sebelumnya

beliau merupakan gubernur Madinah. Kapasitas

kepemimpinan yang sudah sedemikian tinggi tersebut tidak

juga menjadikannya ambisius menjadi khalifah.

Berkenaan dengan perihal meminta jabatan ini, jauh hari

Nabi Muhammad Saw. telah memberikan peringatan kepada

umatnya. Dalam kitab Shahih Bukhari dengan judul “siapa

yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam

menjalankan tugasnya”, beliau meriwayatkan, Rasulullah

Saw. pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin

Samurah. Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah

engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi

tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah

Swt). Namun jika diserahkan kepadamu karena

permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu. Dalam

artian tidak mendapat pertolongan dari Allah Swt. Kontras

sekali dengan apa yang terjadi saat ini, jabatan bukannya

dihindari justru malah diburu siang dan malam. Tak jarang

juga, telah menjadi rahasia umum, hingga datang ke dudun-

dukun demi sebuah petunjuk gaib, absurd.

*Penulis adalah Pemimpin Umum Majalah Sinar Periode 2014-2015

Absurditas Politisi Dadakan Oleh: Khoirul Faizin*

PERSPEKTIF

Page 20: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

19 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

الحمد هلل رب العالمين والصالة والسالم على أشرف األنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين . وبعد ،،،في كتابه مما يتتعلق بعلم السياسة الشرعية؟ ربما فقد وصل إلى منذ شهور كثيرة هذا الكتاب الذي بين أيدينا أال وهو الكتاب الذي قد بّين لنا الكاتب

لقوانين ن اكان هذا البحث يشغل بال أحٍد ما هو علم السياسة الشرعية؟ لقد ذكر الكاتب أنه علم يبحث فيه عما ُتدبَّر به شئون الدولة اإلسالمية ميث ن حوالنظم التي تتفق وأصول اإلسالم, و إن لم يقم على كل تدبير دليل خاص. وأما موضوعه فهو النظم والقوانين التي تتطلبها شؤون الدولة منة عن كفاية بامطابقتها ألصول الدين, وتحقيقها مصالح الناس وحاجاتهم. وغاية هذا العلم الوصول إلى تدبير شؤون الدولة اإلسالمية بنظم من دينها واإل

اإلسالم بالسياسة العادلة وتقبله رعاية مصالحة الناس في مختلف العصور والبلدان. ومن هنا يتجلى ما هو علم السياسة الشرعية.و قد خرج هذا .وهذا الشرح الذي بين يديك أيها القارئ، حوى فوائد عديدة، ونكت جميلة، وتنبيهات مهمة، وزيادات في البيان والتوضيح

الكتاب محققا و مستوفيا البحث في ثالثة من أقسام شؤون الدولة :. وهذا الباب يحتوى على ما هو شكل الحكومة اإلسالمية ودعائمها، وحقوق األفراد، السلطات في اإلسالم ومصادرها الشؤون الدستورية : أحدها

ويتوالها؟والقواعد التي بنيت عليها السياسة ،عالقة الدولة اإلسالمية بالدول غير اإلسالمية وهذا الباب يحتوى على ما هوالشؤون الخارجية. : الثاني

الخارجية للدول اإلسالمية أحكام اإلسالم الحرية ) موازنة بين الشرعية اإلسالمية و القانون الدولي (, وأحاكام اإلسالم السلمية؟ ،وشرائط الضريبة العادلة ،وأسس المواريد اإلسالمية ،أبواب اإليراد المالي للدولة اإلسالمية . وهذا الباب يحتوى على ما هوالشؤون المالية : الثالث

نبذة من تاريخ بيت مال المسلمين؟ ،وجباية اإليراد وصرفه في مصرفه ،وأقسام المصارف المواريد المالية اإلسالمية ،والمواريد المالية اإلسالميةبادئين ،سياسة عادلة و سياسة ظالمة. وأن على المسلمين أن يسعوا جاحدين إلقامة السياسة العادلة :كما أكد على أن هناك نوعين من السياسة

ومن ثم إصالح سياستهم. ،ثم بإصالح مجتمعاتهم ،بإصالح أنفسهم أوالو المزايا من هذا الكتاب ال شك أن حجمه الصغير على حق يسهل علينا أن نحمله في أي مكان. و كذلك صفحته البسيطة ال تستغرق القراءة

وقتا طويال. لقراءة هذا الكتاب حتى يستفيد منه. السياسة ال سيما السياسة الشرعيةوأخيرا فنحن نقترح على من هو له رغبة أو تخصص في أمر

وأن ينفعه وينفع المسلمين بعلمه، وأن يرزقنا جميعا االستقامة على السنة، ثم أسأله تعالى لعالمة الشيخ عبد الوهاب خالفأسأل اهلل تعالى أن يبارك ا على علومه النافعة ، وأن يوفقنا جميعا إلى العلم و العمل و الثبات على الحق والسنة . عبد الوهاب خالفأن يجزل المثوبة لشيخنا

. وصلى اهلل على نبينا وعلى آله وصحبه وسلم

ملخص :عمير فهم الدين

ETALASE

: السياسة الشرعية أو نظام الدولة اإلسالمية اسم الكتاب : العالمة الشيخ عبد الوهاب خالف المألف : أ. د. محمد عمارة المحقق

: دار السالم االمطبوع بـ 811: الصفحة

السياسة الشرعية أو نظام الدولة اإلسالمية

Page 21: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

20 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

E ra kebangkitan adalah celah

sejarah yang akan dialami

setiap masyarakat sebagai

bias dari benturan nilai-nilai

progresifitas yang menyulut jiwa dan nalar

dengan alam realitas yang jauh terbelakang.

Sedangkan gerakan kebangkitan adalah

cara suatu masyarakat untuk memenuhi

syarat yang ditawarkan alam, ketika ingin

mengambil peran yang berarti dalam mera-

maikan sejarah peradaban. Sebagaimana ia

merupakan mega proyek yang dirancang

oleh nalar para pembaharu untuk keluar

dari masa kelam kemudian melaju me-

nyongsong masa depan yang gemilang.

Kita sebagai masyarakat Islam tengah

landas melintasi era kebangkitan sejak

gendang kebangkitan itu ditabuh oleh

Jamaluddin al Afghani dan

Muhammad Abduh di pertengahan abad

ke-19. Pada awal mula kelahirannya

gerakan kebangkitan Islam dimotori oleh

para pembaharu dan ditujukan kepada para

tokoh intelektual, pada masa ini gerakan

kebangkitan bertujuan untuk memerangi

segala mitos dan kejumudan yang

membelenggu nalar umat Islam sebagai

warisan dari keterbelakangan Turki

Utsmani. Pada perempat ke-2 abad ke-20,

Pasca tumbangnya Khilafah Utsmani di

Istanbul, Hasan Al Banna berhasil

mengalihkan narasi gerakan kebangkitan

dari para tokoh ke masyarakat biasa,

sehingga gerakan kebangkitan menjelma

menjadi sebuah organisasi yang tersusun

rapi dengan basis masyarakat yang sangat

kuat. Pada masa ini gerakan kebangkitan

selain memerangi kejumudan, juga

melawan gerakan imperialisme dan

gerakan westernisasi yang dibawa oleh

sarjana muslim jebolan Barat.

Pada tahun 70-an dunia intelektual

Arab diramaikan oleh buku-buku yang

membahas tentang pembacaan ulang

terhadap gerakan dan pemikiran

kebangkitan yang tengah berlangsung

selama satu abad lebih. Sebagai langkah

evaluasi terhadap capaian dan kegagalan

yang diperoleh dan dialami gerakan

kebangkitan dalam kontek ruang dan

waktu. Sebut saja buku: Al- Khithab

Al'Arabi Al Mu'ashir karya Dr. Fadhi

Ismail, An- Nahdhah Al- Arabiyyah wa

Mu'adholatu Al Wa'yu wa At Tarikh karya

Dr. Ahmidah An Naifar, Nahwa Shiyaghah

Jadidah Li Asilatin Nahdhah karya Dr.

Muhammad Al Waqidi, dan juga buku

lainnya.

Sekarang kita yang hidup dalam realitas

masyarakat pasca Arab Spring perlu

merenung kembali akan proyek

kebangkitan yang telah berlangsung hampir

dua abad ini. Merenung tentang dimana

posisi kita, apa yang telah kita hasilkan, apa

tantangan yang kita hadapi sekarang, dan

bagaimana langkah kita kedepan.

Jalan Peradaban dan Ideologi Ke-

bangkitan Kita

Di sadari atau tidak, teori Kesserling

tentang pembentukan peradaban Barat

yang merupakan akumulasi dari spirit aga-

ma Kristen dengan tradisi Romawi dan juga

teori challenge and response-nya Toynbee

telah memperpanjang nafas peradaban

Barat yang pernah diramalkan oleh Speng-

ler dalam Decline of the West sedang

menuju titik kemunduran.

Begitu juga teori kontradiksi Engel

yang kemudian dimetamorfosikan oleh

Mark menjadi logika materi dan logika

sejarah telah membidani lahirnya idiologi

komunisme yang meniupkan ruh kebang-

kitan bagi bangsa Rusia.

Namun kita tidak bisa mengadopsi teori

Kesserling dan teori challenge-nya Toyn-

bee untuk menafsirkan sejarah kita agar

mampu menemukan teori yang akan mem-

perpanjang nafas gerakan kebangkitan kita,

tidak juga kontradiksi-nya Engel ataupun

logika sejarah-nya Mark. Bukan karena

teori ini lahir dari akal manusia diluar

akidah kita, namun lebih karena jalan

sejarah mereka berbeda dengan sejarah

kita, dan arah peradaban yang mereka tuju

berbeda dengan arah peradaban kita. Sebab

setiap sejarah memiliki jalannya tersendiri

sebagaimana setiap peradaban memiliki

pilihannya tersendiri kemana ia akan

mengarah.

Dalam artikelnya yang berjudul Masa

Depan Islam dan Tantangan Masa Kini

(DarulFikr, Bairut 2003) Hasan Hanafi

memaparkan bentang jalan sejarah Perada-

ban Barat dan membandingkannya dengan

bentang jalan sejarah Peradaban Islam.

Teori ini beliau istilahkan dengan Masârul

Hadhârah (Jalan-jalan Peradaban).

Menurutnya Peradaban Barat telah berjalan

diatas rel sejarahnya selama tiga fase

(marhalah) dan setiap fase berlangsung

selama 7 abad.

Fase-1:Marhalah Qadîmah (fase lama)

yaitu pada masaYunani dan Romawi, dari

abad ke-1 M hingga ke-7 M. Fase-2:

Marhalah Wasathiyah (fase pertengahan)

yaitu masa berkuasanya Geraja, dari abad

ke-7 hingga abad ke-14 M. Fase-3:

Marhalah Hadîtsah (fase baru) yaitu masa

rasionalisasi dan saintisasi, dari abad ke-14

hingga abad ke-21 M yang sekarang sedang

dijalani. Sedangkan Peradaban Islam baru

berjalan diatas rel sejarahnya selama dua

fase. Fase-1: 'Ashru Ad Dzahabi' (masa

keemasan) yaitu pada awal abad ke-1 H

hingga abad ke-7 H. Fase-2: 'Ashrul

Wasath' (masa pertengahan) di mulai dari

abad ke-7 H—masa berkuasanya Turki

Ustmani—hingga abad ke-14 H. Dan

sekarang kita sudah masuk abad ke-15 atau

tujuh abad ketiga yaitu 'Ashru al-hâdits

(masa baru) bagi umat Islam.

Melalui pemaparan diatas Hasan

Hanafi mengintepretasikan bahwa saat ini

umat Islam berada diantara dua masa yang

membimbangkan, yaitu masa berakhirnya

peradaban Barat yang belum juga habis,

dan masa kejayaan Islam yang belum

kunjung datang. Masa ini merupakan titik

sejarah dimana dua peradaban akan saling

bertemu, kemudian beradu dan berebut

jalan. Yaitu antara Peradaban Islam yang

sekarang berada di akhir masa pertengahan

dan -Insya Allah- akan berjalan menuju

masa baru, dengan Peradaban Barat yang

sekarang berada di akhir fase baru yang

merupakan akhir 'jalan peradaban'-nya dan

setelah itu tak tahu akan pergi kemana.

Teori Hasan Hanafi ini tidak hanya

mengantarkan kita pada kesadaran akan

titik sejarah dimana kita berada, namun

juga mengisyaratkan bahwa kita sebagai

Proyek Kebangkitan Kita Oleh: Nurfarid, Lc*

KAJIAN FAKULTATIF

Page 22: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

21 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

bagian dari peradaban Islam memiliki ben-

tang jalan sejarah yang berbeda dengan

peradaban Barat.

Masa kebimbangan yang dialami umat

Islam ini sebenarnya pernah disinggung

oleh Malik bin Nabi dalam bukunya Ba-

ses of Civilization (Darul Fikr, Damaskus

2009). Namun lebih jauh lagi Malik

menyatakan bahwa dalam setiap bentang

sejarah manusia, peradaban selalu

terbentuk karena adanya proses

metabolisme unsur-unsur peradaban

(manusia+tanah+waktu) dengan pemikiran

keagamaan.

Dalam bukunya The Problem of Ideas in

The Islamic World (DarulFikr, Damaskus

2006) Malik juga menyatakan bahwa

peradaban Barat telah memilih „alam

materi‟ sebagai tujuan akhirnya, sedangkan

peradaban Islam telah memilih „alam ide‟

sebagai arah jalan peradabannya. Oleh

karena itu nilai dan moral lebih menonjol

dalam realitas peradaban Islam

dibandingkan materi, sedangkan realitas

peradaban Barat menunjukan sebaliknya.

Dari sini kita dapat pelajaran penting

bahwa idiologi kebangkitan kita harus

disandarkan pada idiologi keagamaan, yang

merupakan unsur terpenting dalam

struktur peradaban kita, bahkan menjadi

arah dari laju peradaban kita, bukan taqlid

buta terhadap keberhasilan yang telah

dicapai oleh peradaban Barat.

Tantangan Gerakan Kebangkitan

Kita

Hari ini, gerakan kebangkitan Islam

bukan lagi gerakan perlawanan kaum

penjajah sekaligus gerakan penyadaran

masyarakat muslim yang tertekan oleh

Rajanya, sebagaimana pada masa Afghani

dan Abduh. Bukan juga gerakan

pembaharuan komprehensif yang terasing

dari arena panggung politik dan kekuasaan,

sebagaimana pada masa Al Banna dan

Sayyid Qutb, walaupun sebagian gerakan

kebangkitan dibeberapa negara Islam

masih mengalami hal itu. Namun pada

umumnya gerakan kebangkitan telah

mampu memasuki arena percaturan politik

dan memberikan kebijakan-kebijakan

berpengaruh untuk kemashlahatan umat.

Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi

gerakan kebangkitan sekarang adalah

bagaimana ia mampu memenangkan

percaturan politiknya dengan

mempertahankan karakteristiknya sebagai

sebuah gerakan Islam, bukan sebuah

gerakan yang hanya mengatasnamakan

Islam. Ia tidak terjebak ke dalam pragma-

tisme politik dengan maksud mengambil

jalan pintas dan memenangkan acceptabili-

tas public.

Disatu sisi gerakan kebangkitan Islam

saat ini masih menghadapi tantangan serius

dari gerakan neo khawarizme yang merupa-

kan warisan dari realitas Shiffin (37 H)

dan juga gerakan sekulerisme yang meru-

pakan warisan dari realitas Istambul

(1342 H). Gerakan neo khawarizme telah

membuat umat Islam mandeg dan terasing

dari peradaban. Sedangkan gerakan

sekulerisme hanya melahirkan generasi

muda Islam yang hobi mengadopsi

pemikiran Barat tanpa proses sterilisasi dan

selalu berupaya untuk menghapuskan

hukum-hukum pokok Islam. Padahal

kemunduran umat Islam terjadi bukan

karena mereka menerapkan hudûd, qishas

dan hukum-hukum pokok lainnya, namun

lebih karena akidah mereka kehilangan

fungsi sosial-politiknya.

Kehadiran kedua gerakan extrim itu

selalu menimbulkan gesekan antar sesama

gerakan kebangkitan, bahkan menjegal satu

sama lain yang berujung pada lahirnya

chaos di tengah masyarakat Islam. Gerakan

neo khawarizme telah berhasil

memunculkan kesan ekstrim terhadap

setiap gerakan yang berasaskan Islam.

Sedangkan gerakan sekulerisme seringkali

menjadi penghalang bagi gerakan

kebangkitan yang bergerak dalam bidang

politik untuk menerapkan syariat Islam

dalam kehidupan bernegara.

Narasi Kebangkitan Kita: Dari

Persinggungan Menuju Dialog

Dalam bukunya

Ta'âruful Hadhârat,

Dr. Zaki Milad mengkaji

bahwa sejak tahun 70-

an gagasan tentang

dialog peradaban

sebagai alternatif utama

dari narasi peradaban

masa kini sebenarnya

sudah dilontarkan oleh

Roger Garaudy dalam

bukunya Dialog

Peradaban (1977),

namun gagasan ini

hanya menjadi wacana intelektuaal saja,

dan kurang mendapat respon positif dari

kalangan intelektual Barat lainnya. Lebih

disayangkan lagi ketika wacana dialog itu

tidak diangkat, munculah gagasan-gagasan

yang sangat konfrontal, dengan lahirnya

Clash of Civilizasion oleh Samuel

Huntington dan The End of History oleh

Francis Fukuyama, sehingga hal ini yang

menyebabkan memanasnya hubungan

antara Islam dan Barat paska Perang

Dingin, dan mencapai klimaksnya pada

peristiwa 11 September 2001.

Begitu juga halnya dengan realitas

kebangkitan kita, hingga saat ini kita masih

menemukan interaksi negatif serta

komunikasi yang tidak harmoni antara

sesama gerakan Islam, sikap yang

ditampilkan adalah saling menjauhi dan

mencurigai. Narasi yang ditunjukan adalah

narasi eliminasi dan memerangi. Kondisi

semacam ini kalau dibiarkan hanya akan

memandegkan dan mengganjal laju

gerakan kebangkitan kita. Oleh karena itu

kita perlu merubah narasi kebangkitan kita,

dari narasi eleminasi menjadi narasi

akomodasi, dari narasi yang menimbulkan

persinggungan menjadi narasi yang

melahirkan dialog. Begitu juga interaksi

yang ditampilkan adalah interaksi positif,

yang saling merangkul dan mengayomi. Hal

ini bisa kita lakukan dengan: 1) Menggali

kembali pemikiran pokok yang dihusung

oleh para tokoh pembaharu dan

kebangkitan, agar setiap gerakan

memahami bahwa proyek kebangkitan ini

adalah silsilah kerja sejarah yang

diupayakan oleh para tokoh pembaharu. 2)

Mengadakan dialog antar gerakan

kebangkitan sebagai upaya untuk mencari

titik temu dan memperkecil ruang

perbedaan. 3) Mengadakan program yang

melibatkan semua gerakan kebangkitan,

agar semakin menyatu dan saling

memfungsikan.

Tema inilah yang sedang digarap oleh

Kajian Al Hikmah, bagaimana mengkaji

kembali pemikiran para tokoh pembaharu

agar mampu menyuguhkan kembali ide-ide

kebangkitan, dan mendiagnosa setiap

pemikiran yang memicu perselisihan, atau

minimal dengan kajian tema ini kita

mampu memahami bahwa proyek

kebangkitan ini adalah proyek kita

bersama, bukan proyek gerakan tertentu

atau organisasi tertentu. WalLâhu A`lam

bi al-Shawâb.

KAJIAN FAKULTATIF

“Disatu sisi gerakan kebangkitan

Islam saat ini masih menghadapi

tantangan serius dari gerakan neo

khawarizme yang merupakan

warisan dari realitas Shiffin (37 H)

dan juga gerakan sekulerisme yang

merupakan warisan dari realitas

Istambul (1342 H).”

Page 23: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

22 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

I a adalah Abu al-Hasan, Ali bin

Ismail bin Abu Bisyr Ishaq.

Nasabnya berhenti pada salah

seorang sahabat Rasulullah,

Abu Musa al-Asy`ari. Lahir pada tahun

260 Hijriyah di sebuah daerah di Yaman.

Ia mendalami ilmu kalam dari Abu Ali al-

Juba`i, salah seorang ulama besar Muk-

tazilah di Basrah. Begitu juga dari Abu

Khalifah al-Jamhi, Zakariya al-Saji dan

Sahal bin Nuh. Selama 40 tahun ia men-

dalami paham Muktazilah hingga men-

jadi salah seorang pembesar di Muk-

tazilah.

Suatu saat ia menyadari beberapa

penyimpangan yang terdapat dalam pa-

ham muktazilah akhirnya ia melepaskan

diri dari Muktazilah dan kembali ke jalan

ahlusunah dan berbalik membantah pa-

ham-paham Muktazilah. Kisah pertau-

batannya terkenal ditulis di berbagai bu-

ku biografi tentangnya.

Suatu saat ia mendatangi sebuah mas-

jid, menaiki mimbar dan berkata, “Hai

manusia, siapa yang telah mengenaliku

maka ia telah mengenalku, dan siapa

yang belum mengenaliku maka akan

kukenalkan diriku. Aku adalah fulan bin

fulan. Dulu aku berkata bahwa al-Quran

adalah makhluk, dan Allah tidak akan

bisa dilihat di hari akhirat dengan pan-

dangan mata, dan para hamba Allah

menciptakan sendiri perbuatannya. Aku

telah melepaskan apa yang kuyakini da-

hulu sebagaimana aku melepaskan ju-

bahku ini” lalu ia melepaskan jubahnya

dan melemparkannya.

Kemudian ia mengikuti pemahaman

dari Abdullah bin Sa`id bin Kullab, salah

seorang ulama Ahlusunah pada zaman

Khalifah Al-Makmun dinasti Abbasiyah.

Ia telah meninggalkan banyak karya

tulis, di antaranya adalah kitab al-Fushûl

fi al-Radd `ala al-Mulhidîn, Khalq al-

A`mâl, al-Shifat, al-Radd `ala al-

Mujassimah, Maqalat al-Islâmiyyin, al-

Naqd `ala al-Jubbâ‟i, dan berbagai karya

lain. Ia wafat pada tahun 324 Hijriah.

Imam Abu Ishaq al-Syairazi al-Syafi`i

berkata, “Abu Hasan al-Asy`ari adalah

Imam Ahlusunah, mayoritas pengikut

Syafi`i berada dalam mazhabnya, dan

mazhabnya adalah mazhab pengikut

kebenaran”

Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi ber-

kata, “Para ulama hadis telah sepakat

bahwa Abu Hasan Ali bin Ismail al-

Asy`ari adalah salah seorang Imam ahli

hadis, mazhabnya adalah mazhab ahli

hadis. Ia mengajarkan tentang usul aga-

ma mengikuti jalan Ahlusunah, ia

memerangi para penentangnya yaitu

orang-orang yang menyimpang dan para

pelaku bidah. Ia mengacungkan pedang

perlawanan kepada kaum Muktazilah,

Rafidah, para pelaku bidah, dan para

kaum kafir. Siapapun yang memfit-

nahnya, mencelanya, atau melaknatnya

ataupun memakinya, maka ia telah me-

nyebarkan perkataan buruk kepada kaum

Ahlusunah.”

Sebagian kalangan beranggapan bah-

wa Imam Abu Hasan al-Asy`ari telah

mengalami tiga fase sepanjang hidupnya.

Fase pertama adalah fase di mana ia

tenggelam dalam pengaruh kaum Muk-

tazilah selama empat puluh tahun, fase

kedua ditandai dengan taubatnya dari

paham Muktazilah kemudian mengikuti

paham dari Abdullah bin Sa`id bin

Kullab, dan fase ketiga adalah fase di ma-

na ia bertaubat kembali ke jalan Ahlusu-

nah dengan menyusun kitab al-Ibânah fi

Ushûl al-Diyânah.

Atas dasar itu, sebagian kalangan

menganggap bahwa kelompok

Asy`ariyah yang saat ini tersebar di se-

luruh dunia tidaklah mengikuti ajaran

dari Imam al-Asy`ari, namun mengikuti

ajaran Imam Ibnu Kullab, guru Imam al-

Asy`ari pada fase ke dua. Imam al-

Asy`ari sendiri telah bertaubat dari

kesalahannya di fase ke dua itu dan ma-

suk ke fase ke tiga kembali ke jalan sunah

salafusshalih dengan kitab al-Ibânah

sebagai bukti taubatnya itu. Mereka

menilai bahwa kelompok Asy`ariyah saat

ini lebih tepat disebut dengan kelompok

Kullabiyah, karena menganut paham

Ibnu Kullab.

Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu

diperhatikan. Pertama. Memang benar

Imam al-Asy`ari pernah masuk ke dalam

kelompok Muktazilah selama empat

puluh tahun, dan memang benar pula

bahwa Imam al-Asy`ari keluar dari Muk-

tazilah kemudian berguru kepada Imam

Ibnu Kullab, kita membenarkan adanya

dua fase itu. Namun yang perlu diingat

bahwa tidak ada bukti yang menunjuk-

kan Imam al-Asy`ari kembali bertaubat

dari paham Imam Ibnu Kullab selain

kitab al-Ibânah yang akan penulis jelas-

kan kemudian.

Para ahli sejarah dan para penulis

biografi ulama semisal al-Dzahabi, Ibnu

Khaldun, Tajuddin al-Subki, atau Ibnu

Asakir tidak pernah menuliskan tau-

batnya Imam al-Asy`ari dari pengajaran

Ibnu Kullab. Beberapa biografi Imam al-

Asy`ari yang pernah penulis baca hanya

menyebutkan kisah pertaubatannya dari

Muktazilah, dan tidak ada kisah taubat

yang kedua kalinya. Ini menunjukkan

bahwa Imam al-Asy`ari hanya melewati

dua fase dalam kehidupannya, Muk-

tazilah kemudian Ahlusunah.

Kedua. Klaim bahwa Imam al-Asy`ari

bertaubat kembali menuju jalan salaf

setelah belajar kepada Imam Ibnu Kullab

secara tidak langsung memberikan

penilaian bahwa Ibnu Kullab tidak be-

rada dalam jalan Ahlusunah hingga ia

harus kembali bertaubat. Untuk menja-

wab poin ke dua ini saya nukilkan be-

berapa perkataan ulama yang menyebut-

kan bahwa Ibnu Kullab termasuk Imam

Ahlusunah.

Ibnu Khaldun dalam Mukadimah

menuliskan, “… Dan Imam al-Asy`ari

berada pada jalan Abdullah bin Sa`id bin

Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi, dan al-

Harits al-Muhasibi, para pengikut salaf

dan berada dalam jalan sunah”

Al-Dzahabi dalam Siyâr A`lâm al-

Nubalâ‟ menuliskan, “Ia adalah mutaka-

lim yang terdekat dengan sunnah,

bahkan ia sepadan dengan mereka.”

Tajuddin al-Subki dalam al-Thabaqât

al-Syâfi`iyyah menuliskan, “Dan Ibnu

Kullab bagaimanapun adalah termasuk

Ahlusunah.”

Ibnu Qadhi Syuhbah dalam al-

Thabaqât al-Syâfi`iyyah menuliskan, “Ia

adalah penggawa kaum mutakalim dan

termasuk Ahlusunah.

Mengenal Imam Abu Hasan al-Asy`ari Oleh: Fahmi Hasan Nugroho

KAJIAN FAKULTATIF

Page 24: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

23 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

Jika Imam al-Asy`ari dikatakan ber-

taubat dari paham Ibnu Kullab, dan Ibnu

Kullab sendiri adalah Imam Ahlusunah,

maka ke jalan apa lagi Imam al-Asy`ari

bertaubat? Masihkah ada paham ahlusu-

nah lain sehingga ia bertaubat dan masuk

ke dalamnya? Memang, dalam Jami`

Rasa‟il milik Ibnu Taimiyah terdapat

berbagai kritik yang disampaikan Ibnu

Taimiyah kepadanya, namun itu kembali

kepada perbedaan pandangan dan pa-

ham antara Ibnu Taimiyah dan para ula-

ma yang penulis sebut di atas.

Ketiga. Kitab al-Ibânah merupakan

landasan utama klaim kembalinya Imam

al-Asy`ari kepada metode salaf dalam

berakidah. Salah satu landasan mereka

adalah beberapa kalimat ini, “Dan (kami

meyakini) bahwa Allah ber-istiwa di atas

`Arsy sebagaimana Ia berfirman (al-

Rahmân `ala al-`Arsy Istawâ), dan Ia

memiliki wajh sebagaimana Ia berfirman

(wa Yabqa Wajh Rabbik Dzu al-Jalâl wa

al-Ikram), dan Ia memiliki yad se-

bagaimana Ia berfirman (bal Yadâhu

Mabsûthatân) dan (lima Khalaqtu bi

Yadayya), dan Ia memiliki `Ain tanpa

permisalan sebagaimana Ia berfirman

(Tajrî bi A`yunina).”

Perlu diketahui bahwa dalam mazhab

Asy`ari terdapat dua metode dalam me-

nyikapi ayat-ayat mutasyabihat, yaitu

metode Tafwîdh dan Ta‟wîl yang insya

Allah akan saya jelaskan lebih rinci di

lain kesempatan. Metode Tafwîdh adalah

metode generasi salaf, yaitu mengimani

bahwa itu adalah ayat tentang sifat,

berkeyakinan bahwa zhahir-nya bukan-

lah maksud dari ayat itu dan menye-

rahkan maknanya kepada Allah. Se-

dangkan metode Ta‟wil adalah metode

generasi khalaf, yaitu mengimani bahwa

itu adalah ayat tentang sifat, berkeya-

kinan bahwa zhahir-nya bukanlah mak-

sud dari ayat itu dan berusaha untuk

mencarikan makna lain dari kata terse-

but.

Dalam kitab al-Ibânah tersebut,

Imam al-Asy`ari menggunakan metode

tafwidh yang merupakan salah satu

metode yang juga digunakan oleh para

pengikut setelahnya. Itulah yang dijelas-

kan oleh Imam Nawawi dalam syarah

Shahih Muslim berikut, “Hadis ini meru-

pakan hadis tentang sifat, dan di da-

lamnya terdapat dua mazhab yang

masyhur di kalangan ulama. Ringkasnya,

pertama adalah mazhab mayoritas kaum

salaf dan sebagian kaum mutakalim. Yai-

tu beriman bahwa itu adalah benar sesuai

dengan yang pantas bagi Allah,

(berkeyakinan) bahwa zhahir-nya yang

telah kita ketahui maknanya bukanlah

maksud dari (ayat) tersebut, tidak berka-

ta tentang ta‟wil-nya

dan berkeyakinan

menghindarkan Allah

dari sifat makhluk,

dari sifat berpindah

dan bergerak dan ciri-

ciri makhluk lainnya.”

Kemudian ia

melanjutkan, “Dan

kedua adalah mazhab

mayoritas kaum muta-

kalim dan sebagian

kaum salaf, dan itulah

yang dikisahkan dari

Imam Malik, Imam al-

Auza`i, yaitu

menafsirkannya

dengan makna yang

pantas untuknya

sesuai dengan tempatnya.”

Di samping itu, sebagian kalangan

pun meragukan keaslian kitab al-Ibanah

yang tersebar pada saat ini. Salah satunya

adalah Syaikh Wahbi Ghawji yang telah

meneliti beberapa naskah dari kitab al-

Ibanah kemudian menuliskannya dalam

sebuah catatan berjudul “Nadzrah

`Ilmiyah fi Nisbah Kitâbi‟l Ibânah

Jamî`ih ila al-Imam Abi al-Hasan al-

Asy`ari”. Salah satu cetakan yang terse-

bar saat ini adalah cetakan hasil

penelitian Dr. Fauqiyah Husain yang

membandingkan empat buah naskah

berbentuk manuskrip, cetakan itu bisa

dibilang merupakan cetakan terbaik dari

kitab al-Ibânah saat ini, namun di da-

lamnya banyak terdapat penambahan

dan pengurangan hingga mengurangi

nilai keaslian kitab ini.

Syaikh Zahid al-Kautsari dalam pem-

bukaan revisi kitab Tabyîn Kadzib Muf-

tari milik Ibnu Asakir juga mengisyarat-

kan hal yang sama bahwa telah terjadi

perubahan terhadap kitab al-Ibanah yang

tersebar saat ini. Beberapa contoh peru-

bahan telah dituliskan oleh Hamad al-

Sinan dan Fauzi al-`Anjari dalam buku

Ahl al-Sunnah al-Asyâ`irah Syahadah

`Ulamâ al-Ummah wa Adillatuhum.

Terlepas dari perdebatan keaslian

kitab tersebut, metode yang digunakan

oleh Imam al-Asy`ari dalam kitab terse-

but adalah metode yang sama yang di-

ajarkan di dalam mazhab Asy`ariyah se-

bagaimana yang saya jelaskan di atas.

Maka, tidaklah benar bahwa Imam al-

Asy`ari bertaubat untuk yang kedua kali-

nya karena setelah ia bertaubat dari

Muktazilah ia telah berada di jalan

Ahlusunah.

Semoga Allah membalas jasa Imam

Abu Hasan al-Asy`ari dan menempat-

kannya di dalam rahmat-Nya. Amin.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Ahl al-Sunnah al-Asyâ`irah, Sya-

hadah `Ulamâ al-Ummah wa

Adillatuhum, Hamad al-Sinan,

Dar al-Dhiya, Kuait, 2010

Syarh al-Kharîdah al-Bahiyah,

Ahmad bin Muhammad al-Dardir,

tahkik Musthafa Abu Zayd

Mahmud Risywan, Dar al-Bashair,

Kairo, 2010

Siyar A`lâm Nubalâ, al-Dzahabi,

Maktabah Syamilah

Tabyîn Kadzib al-Muftari fî mâ

Nusiba ila al-Imâm Abi al-Hasan

al-Asy`ari, Ibnu Asakir, komentar

Muhammad Zahid al-Kautsari, al-

Maktabah al-Azhariyah li al-

Turats, Kairo, 2010

Al-ThabaqÂt al-Syâfi`iyah, Ibnu

Qadhi Syubhah, Maktabah Syami-

lah

KAJIAN FAKULTATIF

“Jika Imam al-Asy`ari dikatakan

bertaubat dari paham Ibnu Kullab,

dan Ibnu Kullab sendiri adalah

Imam Ahlusunah, maka ke jalan

apa lagi Imam al-Asy`ari

bertaubat? Masihkah ada paham

ahlusunah lain sehingga ia

bertaubat dan masuk ke

dalamnya?”

Page 25: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

24 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

S elalu menyenangkan rasanya

ketika aku bersepeda. Menga-

yuh, menjiwai perjalanan

serta selalu berdo‟a di tengah

perjalanan. Karena aku takkan pernah

lupa perkatakan Cak Sulaiman, bahwa

doa musafir adalah salah satu doa yang

tidak mungkin tidak mustajab. Maka aku

habiskan sepertiga hidupku dengan

bepergian, serta menengok rahasia alam

dari ujung hingga ujung di tiap perbata-

san negeri yang surga ini. Dan berhenti di

tiap persimpangan jalan, mengamati

tingkah manusia dengan berbagai rupa,

corak dan warnanya. Lebih sering aku

tersenyum sendiri, terkekeh-kekeh

melihat ragam bahasa manusia bangsa

ini.

Alamnya sungguh benar-benar mem-

buatku takjub, hijaunya pohon dan be-

ragam warna kayu, binatang yang hidup

di semua elemen bumi. Yang hidup di

tanah dengan mulia, yang di udara

dengan bebas, yang di air dengan ceria,

dan yang di pepohonan dengan riang

gembira. Kurasakan semua merasa se-

nang tiada tara. Senyuman mereka me-

menuhi ruang hatiku saat itu. Saat aku

masih bersepeda dengan gembira. Kelil-

ing kota keliling desa. Menyapa warga

hingga kepala desa. Dari yang muda sam-

pai yang tua. Mulai dari yang lelaki hing-

ga wanita. Waktu itu adalah masa

mudaku yang menyenangkan. Dan tak-

kan pernah aku temukan gantinya. Di

antara penggalannya.

“Besok pagi, saya dengar di balai

kota akan diselenggarakan pemilu ya

pak?” Ucap Harun tiba-tiba

“Eh, iya, sepertinya begitu, sampai

-sampai pagi tadi rumahku dikirimi surat

bercap burung garuda. Tapi anehnya tid-

ak tertulis di sana siapa pengirimnya, aku

jadi bingung” timpal Pak Idris sambil

garuk-garuk kepala. Kepalanya manggut-

manggut sembari meluruskan kaki yang

sila sebelumnya.

“Ngomong-ngomong apa saja yang

tertulis di situ pak Idris?” Tanya kek Jar-

wo dari balik dagangan. Usianya sudah

mendekati kepala tujuh. Sekalipun

wajahnya penuh kerutan, namun matan-

ya masih tajam. Sedang uban yang tum-

buh seakan menyala putih di kepalanya.

Dan apabila kau pernah lewat desa ini,

kau akan tahu bahwa dia sudah sejak

lama hidup dari hasil jualannya di

warung kecil pinggir desa ini. Dia hidup

tanpa anak tanpa istri. Semuanya

meninggal saat gerombolan tentara da-

tang berbondong-bondong dan tiba-tiba

menyerang desa. Empat puluh tahun

yang lalu.

“Jam sepuluh pagi tadi, istriku

yang menerima, kata dia surat itu hanya

berisi pemberitahuan dan undangan di-

adakannya pemilu besok pagi serta gam-

bar-gambar calon presiden yang diusung

tiap parpol, yang akan kita pilih besok”

Jawab Pak Idris tersenyum, mengambil

gelas kopi di hadapannya, meminumnya

seteguk demi seteguk.

“Lalu besok bapak mau milih

siapa?” Tanyaku tiba-tiba, membuat

semua yang hadir di situ menghentikan

aktifitas kecil mereka, mengalihkan pan-

dangan ke arahku.

Aku yang dilihat seperti itu, garuk-

garuk kepala. Sepersekian detik aku

tersenyum, menetralkan suasana sambil

melambaikan tangan ke atas.

“Bagaimana pak?” Lanjutku dua

detik kemudian

“Ya, nanti malam kita lihat saja debat

kandidat calon presiden kita. Balai desa

memberikan kita kesempatan menonton

debat itu. Kau lihatlah malam nanti,

supaya tahu. Oh ya, ngomong-ngomong

besok pemilu pertamamu kan? Ya, ba-

guslah, lihat saja, aku juga belum tahu

siapa yang akan aku pilih. Dari kemarin-

kemarin, aku rasa kehidupanku juga sa-

ma saja dari tahun ke tahun walaupun

ganti presiden. Tidak ada yang beda. Be-

gitu-begitu saja” Pak Idris mengambil

napas panjang dan mendengus sebal,

meneguk sisa kopi terakhirnya.

Siang itu angin sangat menyejukkan,

menjadi teman pembicaraan ringan kami

setelah pembahasan pemilu itu, hawanya

sepoi-sepoi menembus dinding kayu

warung dengan tiang utama yang miring

ke kiri, terlihat rapuh dimakan waktu

Ditambah matahari yang tak begitu terik.

Serta gemerisik dedaunan yang bergesek

riang di belakang warung ini,

bercengkrama satu sama lain. Kampung

yang damai. Kek Jarwo menguap, segera

memberesi gelas-gelas di depannya.

***

Aku masih ingat pelajaran IPS di SD

waktu itu bahwa Indonesia terletak di

antara 6⁰ LU - 11⁰ LS dan 95⁰ BT - 141⁰

BT, negeri ini juga diapit oleh samudra

Pasifik dan samudra Hindia, dan diapit

pula oleh benua Australia dan benua

Asia. Dan negeri inilah yang besok pagi

akan melakukan pemilihan penggantian

presiden. Mengajak seluruh rakyatnya

untuk memilih sendiri presiden mereka.

Tua muda, lelaki wanita, petani atau ten-

tara, duda atau perjaka, pengangguran

atau pengacara, semua memiliki hak sa-

ma. Tak beda di depan mata.

Bercengkerama dengan orang-orang

daerah perbatasan adalah hal yang sulit

digambarkan rasanya. Karena kadang

terharu sedih bercampur marah, bercam-

pur pilu, bercampur gembira dan

bercampur-campur yang lain. Seperti

sore ini, setelah aku meletakkan

sepedaku di pinggir warung kek Jarwo

setelah berkeliling desa ini. Ternyata pin-

tu warung ini tertutup. Aku menengok ke

sana-ke mari, mencari hidung Kek jarwo

apakah ada di sekitar situ. Setelah

sepuluh menit melongok ke sana-ke ma-

ri, pandangan mataku tertuju pada se-

buah batu di belakang warung Kek Jar-

wo. Ada seorang yang duduk di sana. Tua

kelihatannya. Aku dekati pelan-pelan.

Berharap supaya tak terkesan meng-

ganggu.

“Oh, ternyata Kek jarwo yang duduk

di sini. Assalamualaikum Kek?” Sapaku

pelan

“Wa alaikumussalam wa rahmatullahi

wa barakatuh, duduklah ray!” jawab Kek

Jarwo sembari menoleh ke arahku. Me-

nyeringai beberapa inci. Tangannya

mengambil rokok di mulutnya,

menghembuskan ke udara. Mempersi-

lahkanku duduk di sampingnya.

Pemimpin yang Nagari Oleh: Syafiqul Lathief*

SASTRA

Page 26: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

25 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

“Apa yang sedang kau cari di sini?”

tanyanya melihat mataku.

“Bukan apa-apa kek, aku hanya ingin

jalan-jalan keliling desa” Jawabku seke-

nanya, aku mengambil bungkusan kertas

dari tasku.

“Makanlah kek, silakan” Tawarku

pada Kek Jarwo.

“Apa ini?” Tanyanya penasaran

“Ehm, tadi aku bertemu kak taufik di

jalan, dia jualan singkong bakar hari ini

dan kebetulan aku juga lapar dan di sa-

kuku ada sepuluh ribu rupiah, jadi aku

beli saja” jawabku sambil melihat sing-

kong bakar itu. Manis sepertinya.

“Ya, kau makanlah duluan, aku baru

saja makan nasi. Lagipula kau juga lapar

kan?” Ucapnya santai. Dan tangannya

menahan tanganku yang terulur mem-

berikan singkong itu padanya.

“Maukah kau kuceritakan beberapa

penggalan kisah desa ini?” ucap kek Jar-

wo memandang ke arahku.

“Boleh kek” jawabku santai.

“Baiklah, desa ini bernama Labang.

Sebenarnya termasuk lima desa di Kali-

mantan Timur yang terancam “diakui”

tetangga sebelah, Malaysia. Jika kau ten-

gok berita, maka lima desa itu adalah

Labang, Logos, Ngawol, Simantipal dan

Bulu Lawun Hilir. Semenjak aku kecil,

aku tahu bahwa desa ini memiliki potensi

sumber daya alam yang menjajikan,

bagaimana tidak? Jika dengan kayu

gaharu saja desa ini sanggup menopang

jalannya perekonomian desa ini” Matan-

ya memandang sungai lima meter di de-

pannya. Airnya yang mengalir teratur.

Bergemericik dengan suara yang me-

nyejukkan.

“Aku sungguh heran dengan

pemerintah. Fokusnya ke daerah jawa

yang terlalu diutamakan membuatku

jengah dan malas. Pembangunan infra-

struktur di sana saja yang lebih sering

dipedulikan. Sedangkan di pulau yang

lain terlupakan, seperti di sini. Bukankah

belum lama pulau Sipadan dan Ligitan

telah diambil Malaysia dan dijadikan

bagian negaranya? Seharusnya

pemerintah itu tahu kalau kedua pulau

itu melimpah ruah sumber daya

alamnya!” Suara Kek Jarwo kian mening-

gi. Matanya mengerjap. Kupikir, batinnya

merasakan ganjalan yang besar dan berat

sebagai penduduk daerah perbatasan.

“Dan lihatlah, pemerintah Indonesia

kurang sigap menanggapi masalah ini.

Hingga akhirnya kepemilikan dua pulau

kecil di utara Kaltim ini dimenangkan

oleh Malaysia di peradilan Internasional

di Den Haag Belanda 17 Desember 2002

lalu. Dan ini sungguh membuatku sebal

ray” paparnya berapi-api. Suara tuanya

bergetar menjadikan badannya sedikit

bergetar. Tangannya menggenggam

jemari. Wajahnya sedih dan pilu.

“Nah kek, Besok pagi pemilu digelar

kan? Menurut kakek, jika melihat kondisi

negara yang seperti ini, dibutuhkan pem-

impin yang seperti apa ya?” Seketika

mulutku bertanya otomatis. Aku diam

menunduk. Tiba-tiba aku menyadari ke-

lancangan pertanyaanku. Bukan wak-

tunya saat ini.

“Sebenarnya banyak dan panjang

lebar jawaban dari pertanyaanmu itu

Ray” Kek jarwo menarik napas dalam-

dalam, lalu menghembuskannya.

“Masalahnya, sebenarnya kau pun

sudah sering mendengar ocehan

mengenai pemimpin yang baik, pem-

impin yang sanggup menjadikan

negaranya makmur, pemimpin yang adil

sama rata tak berat sebelah, membela

rakyat kecil, mensejahterakan rakyatnya,

menyediakan pendidikan yang layak bagi

warga negaranya dan seterusnya. Semua

itu tentu juga sudah kau pelajari di

bangku sekolahmu selama dua belas ta-

hun itu bukan? Semua teori yang pernah

dijelaskan gurumu, yang baik-baik, dan

yang benar-benar itu hanya butuh dia-

malkan saja oleh para presiden kita itu.

Tak perlu panjang lebar sampai berbuih-

buih dijelaskan ulang” Jelasnya berse-

mangat. Aku tekun mendengarkan. Ter-

sihir oleh kata-katanya.

Setelah pembicaraan itu, kek Jar-

wo menceritakan kisah-kisah masa kecil-

nya, kisah desanya yang pernah tiba-tiba

diserang

oleh tentara

Indonesia,

tanpa

alasan yang

jelas. Per-

masalahan

warga per-

batasan

yang terjadi

di daerah

yang lain,

fasilitas

negara yang

belum

merata di

sana.

Bahkan

siaran tele-

visi Indone-

sia belum

bisa diakses

di sana.

Mereka

lebih sering

tahu kabar negera sebelah di banding

negara sendiri. Bahkan parahnya di be-

berapa titik, ada di antara mereka yang

tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa

ibunya sendiri.

***

Negeri kami adalah negeri yang kaya

raya. Luasnya terbentang dari selatan ke

utara, tenggara ke barat daya.

Perairannya lebih luas dari daratannya.

Perjalanan sejarahnya telah memukau

manusia seluruh dunia. Sebenarnya, di

dalam bumi kami tambang raya terpen-

dam menunggu di perdaya guna. Ikan-

ikan dari berbagai rasa akan kau

temukan di sana. Terumbu karang yang

tak ada di dunia lainnya akan kau

temukan di Indonesia. Negeri kepulauan

tiada tara dan tiada saingannya. Bahkan

jika kau menancapkan kayu di tanah,

akan kau lihat pohon tertumbuh di anta-

ra gunung-gunungnya. Orang-orang ser-

ing menyebutnya tanah surga.

Sungguh semua ini bukanlah dusta.

Aku melihat bahwa negeri ini butuh yang

berbeda. Yang tidak sama dengan yang

sebelum-sebelumnya. Perubahan dan

perbaikan adalah hal yang niscaya dan

wajib adanya. Di tiap zaman dan tiap

masa kepemimpinan presiden kita.

Semoga kita diperkenankanNya kelak

untuk melihat Indonesia yang merdeka.

Dari tiap nafsu dan angkara murka. Sela-

ma-lamanya.

*Mahasiswa tingkat 2 Syariah Is-

lamiyah, Univ. Al Azhar Cairo.

SASTRA

Page 27: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

26 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

M asyarakat indonesia akhir-

akhir ini tengah dilanda

kebingungan yang cukup

rumit menjelang pemilu

tanggal 5 april mendatang. Pasalnya

masyarakat kurang mengenal sosok

capres dan caleg yang mengajukan diri

mereka untuk menduduki kursi parlemen

5 tahun mendatang. Sebagian dari calon

pemimpin yang sudah masyarakat kenal

konon turun reputasinya dikarenakan

satu dan lain hal. Sebagian yang lain

justru baru dikenal saat mencalonkan

dirinya sebagai salah satu kandidat ang-

gota dewan.

Deretan nama yang bermunculan dari

setiap parpol tidak hanya didominasi

kaum pria saja, daftar caleg kaum wanita

pun tak kalah banyak. Bahkan dalam

situs kaskus.us salah satu kaskuser

mendata beberapa caleg wanita yang

dinilai cukup menarik alias cantik dari

sebagian parpol.

Fenomena ini sangat penting untuk

dibahas dari berbagai sudut pandang,

namun penulis kali ini khusus memapar-

kan tentang kepeminpinan wanita, baik

sebagai presiden sebuah negara atau ang-

gota legislatif dari kaca mata Islam,

mengingat mayoritas penduduk indone-

sia yang beragama Islam serta banyaknya

nama caleg perempuan bermunculan

yang memiliki latar belakang pendidikan

yang beragam.

Dalam tulisan kali ini, penulis akan

mengulas tentang hukum seorang wanita

memimpin sebuah negara dari sudut

pandang Fikih Islam, yang nantinya akan

melebar ke arah hak-hak wanita mus-

limah dalam berpolitik.

DR. Hilmy Abdul Hakim al-Faqy

mengemukakan, masyarakat hendaknya

memilih pemimpin yang menurut mere-

ka adalah sosok yang paling pantas, co-

cok dan mampu untuk memimpin negara

dengan adil dan amanah. Saat memilih

juga haruslah terlepas dari embel-embel

personal seperti bila yang mencalonkan

diri memiliki hubungan kerabat, per-

temanan, kenalan, tetangga dan se-

bagainya, serta jauh dari kepentingan

apapun, dan benar-benar memilih karena

Allah Swt. sosok yang mampu menjadi

pemimpin.

Kemampuan dimaksud diukur dari

dua elemen dasar yang telah dijelaskan al

-Quran dalam surat al-Qasas ayat 26:

Artinya: Salah seorang dari kedua

wanita itu berkata: "Ya bapakku ambil-

lah ia sebagai orang yang bekerja (pada

kita), karena sesungguhnya orang yang

paling baik yang kamu ambil untuk

bekerja (pada kita) ialah orang yang

kuat lagi dapat dipercaya.

Al-qowî (Orang yang kuat) dalam ayat

tersebut adalah pengetahuan dan ke-

mampuan menetapkan suatu hukum.

Amanah disini kembali kepada pema-

haman takut kepada Allah Swt. sehingga

setiap keputusan yang diambilnya kelak

murni Lillâhita‟âla.

Dua hal dasar di atas cukup mewakili

kriteria pemimpin idaman suatu negara

maupun kelompok jenis apapun, mes-

kipun tentunya tak lepas dari beberapa

rincian lain. Dalam hasil riset program

doktoralnya selain syarat di atas DR. Mu-

hammad Ri'fat 'Utsman mencantumkan

syarat lain, seorang presiden hendaklah

seorang laki-laki, bukan wanita. Kriteria

inipun sepertinya diamini oleh ijma ula-

ma. Berangkat dari syarat yang satu ini,

penulis mencoba menguak bagaimana

Islam menyikapi peranan wanita dalam

ranah politik.

Hukum Presiden Wanita.

Secara global, ulama terbagi menjadi

dua kelompok menanggapi wacana ini.

Kelompok pertama adalah mereka yang

membolehkan seorang wanita memimpin

negara. Adapun kelompok yang kedua

adalah mereka yang menentangnya. Se-

tiap dari keduanya memiliki landasan

yang kuat baik dari al-Quran maupun

Sunnah. Selanjutnya akan kita bahas lan-

dasan tiap kelompok.

1. Kelompok pertama memiliki lan-

dasan dari al quran, sunnah dan

perilaku sahabat.

Surat an-Nur ayat 55

Artinya: Dan Allah telah berjanji

kepada orang-orang yang beriman di

antara kamu dan mengerjakan amal-

amal yang saleh bahwa Dia sungguh-

sungguh akan menjadikan mereka

berkuasa dimuka bumi, sebagaimana

Dia telah menjadikan orang-orang sebe-

lum mereka berkuasa, dan sungguh Dia

akan meneguhkan bagi mereka agama

yang telah diridhai-Nya untuk mereka,

dan Dia benar-benar akan menukar

(keadaan) mereka, sesudah mereka da-

lam ketakutan menjadi aman sentausa.

Mereka tetap menyembahku-Ku dengan

tiada mempersekutukan sesuatu apapun

dengan Aku. Dan barangsiapa yang

(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka

mereka itulah orang-orang yang fasik.

Surat al-Hajj ayat 41.

Artinya: (yaitu) orang-orang yang

jika Kami teguhkan kedudukan mereka

di muka bumi niscaya mereka mendiri-

kan sembahyang, menunaikan zakat,

menyuruh berbuat ma'ruf dan

mencegah dari perbuatan yang

mungkar; dan kepada Allah-lah kembali

segala urusan.

Surat at-Taubah ayat 71.

Artinya: Dan orang-orang yang

beriman, lelaki dan perempuan, sebaha-

gian mereka (adalah) menjadi penolong

bagi sebahagian yang lain. Mereka me-

nyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,

mencegah dari yang munkar, mendiri-

kan shalat, menunaikan zakat dan

mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya.

Mereka itu akan diberi rahmat oleh Al-

lah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat pertama dan kedua diatas,

Allah Swt. menjanjikan kepada orang

yang beriman dan yang berbuat baik un-

tuk menjadikan mereka khalifah di bumi

dan memakmurkannya. Apabila syarat

yang diinginkan telah terpenuhi, maka

Allah Swt. pun memenuhi janji-Nya. Se-

bagaimana Allah juga mewajibkan hamba

Pemimpin Wanita Menurut Tinjauan Fikih Oleh: Hanna Juairiyah

SHAFFATUL ‘AISYIYAH

Page 28: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

27 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

-Nya untuk mendirikan shalat, mem-

bayar zakat, mengajak kepada kebaikan

dan mencegah kemungkaran yang mana

hal tersebut dapat dilakukan oleh siapa-

pun, laki-laki maupun wanita. Sedangkan

dalam ayat ketiga, Allah merinci penyeb-

utan laki-laki dan wanita yang menegas-

kan persamaan keduanya dalam hal

kewajiban dan pembebanan syariat, salah

satunya adalah perkara memimpin nega-

ra.

Penggunaan keumuman ayat di atas

disanggah oleh hadis Nabi yang lebih

khusus berbunyi:

لن يفلح قوم ولوا قال صلي هللا عليه وسلن :

أهرهن اهرأة

Artinya: Nabi Muhammad Saw.

bersabda: Tidak akan berbahagia/

berjaya suatu kaum yang menyerahkan

urusan mereka kepada wanita

(mengangkat wanita sebagai pem-

impin). Seperti yang kita ketahui bila ada dalil

„Âm (umum) dan Khâsh (khusus) tentang

suatu masalah, maka yang khususlah

yang diambil. Namun pengusung

pendapat pertama menolak kesimpulan

kaidah ini, mereka lebih mengutamakan

pengunaan kedua dalil al-Quran dan

Sunnah tersebut secara bersamaan, tanpa

ada yang di nomor duakan. Hal ini mem-

bentuk pemahaman gabungan agar mak-

na antara ayat dan sunnah tidak berten-

tangan.

Mereka mengatakan bahwa di dalam

al-Quran juga dapat dilihat bahwa Allah

Swt. memuji kepemimpinan ratu Saba‟

dan mencela kepemimpinan Fir'aun.

Jadi, wanita boleh memimpin negara bila

ia mampu seperti yang dilakukan oleh

ratu Saba‟.

Dari Ummul Hashin al Ahmasiyah ia

berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw.

berkata: " Wahai manusia, bertakwalah

kepada Allah dan apabila kalian dipim-

pin oleh seorang hamba habasy yang

mampu memimpin maka dengarkanlah

ia dan taatilah apa yang ia putuskan

dengan berlandaskan kitab Allah".

Rasulullah Saw. menegaskan dua

syarat yang harus dimiliki seorang pem-

impin. Pertama adalah kemampuan

memimpin umat, seperti keunggulan

dalam setiap lini kehidupan. Kedua ada-

lah hendaklah setiap keputusan yang

diambil sesuai dengan syariat dan tidak

bertentangan dengannya. Maka bila dua

syarat ini ada dalam diri seseorang, maka

ia pantas untuk memimpin sebuah nega-

ra, tanpa membedakan jenis kelamin.

Kelompok pertama menegaskan, bah-

wa hadis yang dianggap khusus oleh

penentang presiden wanita berlaku da-

lam konteks al-Imâmah al-'Udzma, yaitu

seorang wanita tidak diperbolehkan men-

jadi khalifah umat Islam seluruh dunia.

Jadi selain dari itu wanita boleh mem-

impin baik negara maupun sebuah ke-

lompok selama ia mampu.

2. Kelompok kedua ini mengharamkan

seorang wanita menjadi Presiden.

Dalil yang mereka

pakai meliputi empat

elemen penting yaitu

alquran, sunnah, ijma

dan akal.

Surat an-Nisaa

ayat 34.

Artinya: Kaum

laki-laki itu adalah

pemimpin bagi kaum

wanita, oleh karena

Allah telah melebi-

hkan sebahagian

mereka (laki-laki)

atas sebahagian

yang lain (wanita),

dan karena mereka

(laki-laki) telah

menafkahkan sebagi-

an dari harta mere-

ka. Sebab itu maka

wanita yang saleh,

ialah yang taat kepa-

da Allah lagi memeli-

hara diri ketika sua-

minya tidak ada,

oleh karena Allah telah memelihara

(mereka). Wanita-wanita yang kamu

khawatirkan nusyuznya, maka

nasehatilah mereka dan pisahkanlah

mereka di tempat tidur mereka, dan

pukullah mereka. Kemudian jika mereka

mentaatimu, maka janganlah kamu

mencari-cari jalan untuk me-

nyusahkannya. Sesungguhnya Allah

Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum

laki-lakilah yang berwenang dan

berkewajiban memikul beban rumah

tangga dan keluarga. Maka sudah semes-

tinya laki-laki pulalah yang lebih cocok

memimpin suatu negara yang ruang ling-

kupnya lebih besar.

Surat al-Baqarah ayat 228.

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak

handaklah menahan diri (menunggu)

tiga kali quru'. Tidak boleh mereka me-

nyembunyikan apa yang diciptakan

Allah dalam rahimnya, jika mereka

beriman kepada Allah dan hari akhirat.

Dan suami-suaminya berhak merujukin-

ya dalam masa menanti itu, jika mereka

(para suami) menghendaki ishlah. Dan

para wanita mempunyai hak yang seim-

bang dengan kewajibannya menurut

cara yang ma'ruf. Akan tetapi para sua-

mi, mempunyai satu tingkatan kelebi-

han daripada isterinya. Dan Allah Maha

Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam kitab Jâmiul Bayan fi Tafsîril

Quran menyebutkan, makna darâjah

disini adalah dalam hak waris, jihad dll.

Disini Islam sangat memperhatikan hing-

ga perkara kecil, maka semestinya yang

lebih besar dari itu seperti pemimpin

negara akan lebih diperhatikan pula.

Surat al-Ahzab ayat 33.

Artinya: Dan hendaklah kamu tetap

di rumahmu dan janganlah kamu

berhias dan bertingkah laku seperti

orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan

dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan

ta'atilah Allah dan Rasul-Nya.

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak

menghilangkan dosa dari kamu, hai

ahlul bait dan membersihkan kamu

sebersih-bersihnya.

Wanita diperintahkan untuk menetap

di rumah, agar mereka terjaga dari hal

yang berbahaya dan tidak diinginkan.

Lalu bagaimana mungkin Islam memper-

bolehkan seorang wanita memimpin

negara yang pekerjaan tersebut tidak

ringan bahkan sulit baginya?!

Surat al-Baqarah ayat 282.

Artinya:…Dan persaksikanlah

dengan dua orang saksi dari orang-

orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada

dua oang lelaki, maka (boleh) seorang

SHAFFATUL ‘AISYIYAH

Page 29: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

28 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

lelaki dan dua orang perempuan dari

saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya

jika seorang lupa maka yang seorang

mengingatkannya.

Tentang kesaksian wanita ini, Islam

menjadikannya setengah dari kesaksian

laki-laki, disebabkan oleh kemampuan

mayoritas wanita dalam mengingat

sesuatu atau kejadian lebih rendah dari

ingatan laki-laki, yang masing-masing

dari mereka memiliki fitrah demikian

sejak penciptaan. Maka sudah dipastikan

wanita tidak diperbolehkan memimpin

negara yang lebih membutuhkan kemam-

puan ingatan yang baik.

Dalam rekaman sejarah, Rasulullah

tidak pernah menunjuk seorang wanita

untuk memimpin apapun. Baik sebagai

walikota ataupun hakim. Diceritakan

oleh Abu Bakar Ra., pada saat sampai

berita kepada Rasulullah Saw. bahwa

rakyat Persia dipimpin oleh putri Kaisar

ia bersabda " tidak akan beruntung sua-

tu kaum yang dipimpin oleh wanita".

Hadis ini menunjukkan dengan jelas

bahwa wanita tidak boleh memimpin

umat, walaupun syariat telah menyebut-

kan bahwa wanita adalah pemimpin di

dalam rumah suaminya yang bermakna

penjagaan & pemeliharaan yang baik

anggaran dasar rumah tangga suaminya.

Dari Abdullah bin Umar: Rasullah

saw bersabda:” Wanita adalah pem-

impin di rumah suaminya”.

Ibnu Hajar menjelaskan maksud dari

hadis di atas tentang wanita adalah pem-

impin dalam rumah suaminya yang

dikaitkan dengan kata rumah disebabkan

wanita lebih banyak menghabiskan wak-

tunya di rumah dari pada di luar, kecuali

dengan izin khusus dari suaminya.

Para ulama terdahulu telah sepakat

bahwa seorang pemimpin negara atau

imamah hendaklah dari kaum laki-laki.

Dan tidak pernah ditemukan perten-

tangan mengenai syarat ini.

Sejarah telah membuktikan bahwa

pemimpin laki-laki lebih pantas dan co-

cok dibandingkan wanita. Telah banyak

kita temukan bahwa wanita lebih cender-

ung memakai perasaan dalam mengam-

bil suatu putusan dibandingkan memakai

akal. Apalagi dalam hal kepresidenan

yang terkadang terdapat beberapa situasi

sulit yang membutuhkan tindakan cepat

dan kongkrit.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian

adalah bahwa menjadi presiden tentulah

tidak lepas dari rapat dan musyawarah

yang mayoritas peserta di dalamnya ada-

lah laki-laki, dan kita telah mengetahui

bahwa saat menikah seorang wanita hen-

daklah mendatangkan wali nikah agar

pernikahannya dianggap sah. Bila dalam

perkara nikah demikian adanya, maka

kepemimpinan wanita sebagai seorang

presiden tentu harus lebih membutuhkan

perhatian.

Kemudian DR. Hilmy Abdul Hakim al

-Faqy mencoba mendebat pendapat ke-

lompok yang menolak presiden wanita di

atas. Ia mengatakan maksud dari surat

an-Nisa ayat 34 bahwa laki-lakilah yang

pantas memimpin ialah dalam lingkup

rumah tangga, suami istri dan keluarga.

Jadi kepantasan disini sifatnya khusus,

bukan secara umum. Pendapat DR.

Hilmy Abdul Hakim tersebut bukan tidak

memiliki landasan. Ia kemudian me-

maparkan beberapa faktor pendukung

argumentasinya, diantaranya :

Menilik kepada sebab turun ayat ini.

Diceritakan bahwa istri Sa'ad bin al-

Rabi' membangkang pada suaminya.

lalu Sa'ad menamparnya, kemudia

istrinya mengadukan hal tersebut

kepada Nabi, lalu Nabi Saw. berkata

"berlaku qisas diantara kalian". Lalu

Allah Swt. menurunkan ayat ini,

lantas Nabi Saw. berkata "aku

menginginkan sesuatu, namun Allah

memutuskan yang lain". Maka ini

adalah bukti bahwa kepantasan disini

terbatas dalam lingkup keluarga.

Susunan kalimat dalam ayat.

Ayat di atas, mengandung pembaha-

san tentang mahar, nafkah dan hal-

hal yang wajib dipikul oleh suami.

Khalifah Umar bin Khatab Ra. pernah

menunjuk Syafa' binti Abdullah bin

Syams sebagai pengawas timbangan

pada masa kekhalifahannya. Karena

menurut Umar ia mampu untuk men-

jalankan tugasnya dengan baik. Dan

perilaku atau putusan sahabat yang

tidak bertentangan dengan syariat ini

boleh kita jadikan rujukan.

Calon Legislatif Perempuan.

DR. Ali Jum'ah Muhammad dalam

bukunya yang berjudul Fatwa Kontem-

porer menjawab tentang hukum hak

memilih dan mencalonkan diri seorang

wanita sebagai anggota dewan atau

majelis tinggi negara, ia mengatakan

bahwa Islam tidak melarangnya, itu

artinya seorang wanita diperbolehkan

hukumnya untuk mencalonkan diri se-

bagai anggota dewan. Sebagaimana

seorang wanita juga diperbolehkan

menduduki kursi kementrian, bila me-

mang dianggap mampu dan pantas.

Yang tidak diperbolehkan oleh syariat

Islam adalah presiden wanita. Nampak-

nya, DR. Ali Jum'ah sependapat dengan

kelompok yang menentang presiden

wanita. Hal ini karena seorang presiden

memiliki kekuasaan dan wewenang un-

tuk memimpin shalat kaum muslimin,

dan hal itu hanya dapat dilakukan oleh

laki-laki saja. Kecuali bila wanita

mengimami shalat sesama wanita pula.

Boleh tidaknya seorang wanita men-

jadi anggota majelis permusyawaratan

atau semisalnya tidak berarti mutlak.

Pembolehan ini tentunya setelah melalui

banyak pertimbangan, pertama hen-

daklah wanita tersebut mampu menye-

imbangkan antara hak dan kewajibannya

terhadap rakyat dengan hak dan

kewajibannya kepada keluarga. Karena

tugas utama seorang wanita adalah

mengkoordinir dengan baik hal-hal yang

berhubungan dengan hak-hak suami dan

anak-anaknya. Kedua hendaknya kepem-

impinan yang ia nahkodai berlandaskan

kepada norma agama dan akhlak yang

mulia. Sebagaimana dalam firman Allah

Swt. pada surat at-Taubah 71.

Artinya: Dan orang-orang yang

beriman, lelaki dan perempuan, sebaha-

gian mereka (adalah) menjadi penolong

bagi sebahagian yang lain. Mereka me-

nyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,

mencegah dari yang munkar, mendiri-

kan shalat, menunaikan zakat dan

mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya.

Mereka itu akan diberi rahmat oleh Al-

lah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana. WalLâhu A`lam bi

al-Shawâb.

SHAFFATUL ‘AISYIYAH

Page 30: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

29 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

M engenal dunia anak tak bisa dipungkiri seha-

rusnya menjadi perhatian utama setiap insan

laki laki maupun perempuan, karena

sewajarnya kita diciptakan oleh Allah Swt.

pasti akan menghadapi sebuah momen terindah menjadi

seorang ayah atau ibu. Dalam tatanan keluarga terkadang

mengasuh anak menjadi kewajiban seorang ibu. Di Indonesia

sendiri, sekarang telah banyak tersedia buku atau artikel dari

majalah yang bertemakan „Ayah„, namun sejauh ini peran ayah

dalam lingkungan keluarga masih minim. Berbagai kajian para

psikolog menyatakan, ayah kini mengambil peranan sangat

besar dalam aktivitas rumah tangga maupun dalam proses

mendidik anak. Peranan yang dimaksud di sini adalah aktif

dalam membentuk perkembangan emosi anak, menanamkan

nilai-nilai hidup, dan kepercayaan dalam keluarga.

Hal lain yang sangat penting untuk diketahui oleh setiap

orangtua adalah pola asuh kita dalam mendidik anak. Perla-

kuan orangtua terhadap anak-anaknya yang memberikan kon-

stribusinya terhadap kompetensi sosial, emosional, dan intel-

ektual anak. Diana Baumrind, seorang Psikolog anak ternama

mengemukakan ada beberapa pola pengasuhan orangtua ter-

hadap anak diantaranya authoritarian, permissive, authotarita-

tive.

Pola asuh authoritarian (Otoriter)

Pola asuh authoritarian (Otoriter) merupakan gaya pola

asuh yang membatasi dan menghukum. Orangtua mendesak

anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghargai kerja

keras serta usaha. Orangtua dengan tipe ini secara jelas mem-

batasi dan mengendalikan anak dengan sedikit pertukaran ver-

bal. Pola asuh authoritarian diasosiasikan dengan ketidakmam-

puan anak secara sosial. Anak dari orangtua yang otoriter ser-

ing kali gagal untuk memulai aktivitas, memiliki kemampuan

komunikasi yang buruk dan membandingkan dirinya dengan

orang lain.

Kekurangan gaya otoriter ini akibat tekanan untuk mem-

berikan performa yang sempurna, pada akhirnya anak merasa

tak nyaman dan benci pada institusi pendidikan. Banyak anak

yang dibesarkan dengan cara otoriter menunjukkan tanda-

tanda masalah psikologi seperti depresi, sering merasa takut,

dan pada kasus terberat keinginan nekat seperti bunuh diri

karena stres. Karena terbiasa harus memiliki sikap tunduk,

mereka sulit memiliki atau mengemukakan ide dan opini. Anak

yang dibesarkan dengan tujuan utama mendapat nilai tertinggi

di sekolah, umumnya hanya memiliki potensi baik dalam hal

belajar namun mereka tak memiliki kreativitas dan imajinasi

yang kaya.

Pola asuh Permissive (Permisif)

Ada dua macam pengasuhan permisif, yaitu permisif me-

manjakan dan permisif tidak peduli. Gaya pengasuhan permisif

tidak peduli adalah suatu pola pengasuhan orangtua sangat

tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Sedangkan gaya

pengasuhan permisif memanjakan adalah suatu pola di mana

orangtua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali

menuntut atau mengendalikan mereka. Orangtua yang bersifat

permisif memanjakan mengijinkan anak melakukan apa yang

mereka inginkan. Anak yang dibesarkan dengan kultur

permisif, tumbuh dengan kemampuan berpikir secara kreatif

dan bisa membuat banyak inovasi. Kebebasan untuk meraih

apa yang mereka inginkan membuatnya bisa berpikir out of the

box. Pola asuh permisif menghasilkan sikap yang cenderung

lebih tegas dan agresif karena mereka tumbuh bukan sebagai

pengikut yang hanya menuruti jalan yang dibuat orang lain,

melainkan mereka tumbuh sebagai master di masa depannya.

Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuk ini umumnya

lebih gembira dan potensi terkena isu psikologis lebih kecil.

Namun dampak negatif pada pola asuh ini menjadikan anak

yang tak terbiasa ditekan oleh orangtua untuk melakukan suatu

hal umumnya tumbuh sebagai sosok yang cukup puas dan tak

berambisi tinggi. Sejak kecil terbiasa untuk dimanja atau diberi

kebebasan, dikhawatirkan ia mudah putus asa ketika tumbuh

besar. Ketika ia harus bekerja keras untuk bertahan, ia bisa saja

memilih jalan lain yang lebih mudah.

Pola asuh Authoritative (Otoritatif)

Pola pengasuhan otoritatif mendorong dan membebaskan

POLA ASUH ANAK ;

Be Authoritarian or Permissive Oleh: Laela Masnun

SHAFFATUL ‘AISYIYAH

Page 31: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

30 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

anak tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan

tindakan-tindakan atau perilaku anak. Dalam pola pengasuhan

ini, komunikasi verbal secara timbal balik bisa berlangsung

dengan bebas (komunikasi bersifat dua arah), orangtua bersi-

kap hangat dan bersifat membesarkan hati anak. Orangtua

yang otoritatif dapat merangkul anaknya bila anak berada da-

lam suatu permasalahan, biasanya secara verbal orangtua akan

mengatakan, “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan

hal itu. Ayo, kita bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi

situasi tersebut dengan lebih baik lagi.”

Banyak orangtua menggunakan kombinasi beberapa teknik,

daripada hanya satu teknik tertentu, walaupun salah satu

teknik bisa lebih dominan. Orangtua yang bijak dapat merasa-

kan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu

dan lebih bersifat otoriter pada situasi yang lain, namun lebih

otoritatif di situasi yang berbeda. Pengasuhan yang konsisten,

pembiasaan dan tauladan menjadi sangat penting dalam ke-

hidupan sehari-hari.

Dalam perspektif Islam, Tarbiyatul Aulad menjadi hal yang

sangat penting. Anak adalah amanah suci dari Allah Swt.. Se-

tiap anak telah memiliki fitrah sejak ia dilahirkan atau suatu

potensi yang telah ada di dalam dirinya, orangtuanyalah yang

memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan menjadikan

anaknya seperti apa, tergantung kepada kedua orangtuanya.

Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali dalam kitab-

nya, Ihya Ulumuddin, mengibaratkan anak sebagai sebuah

permata indah (Jauhar) yang belum diukir, dibentuk dalam

suatu rupa. Permata itu merupakan amanat Allah Swt. yang

dititipkan kepada para orangtua. Karena itu, menurut Imam

Ghazali orangtua harus memperhatikan fase-fase perkem-

bangan anaknya dan memberikan pendidikan yang sesuai

dengan tiap fasenya, agar permata yang diamanatkan kepadan-

ya dapat dibentuk menjadi rupa yang indah.

SHAFFATUL ‘AISYIYAH

kan kekayaan kepada publik. Bahkan sebaliknya, mereka cukup

bersahaja bahkan menurut catatan penulis ketika menemuinya

di pesantren PERSIS Bangil 1989 dalam acara silaturahmi

Keluarga besar Bulan Bintang yang dihadiri ormas DDII, PII,

HMI, Persis, Muhammadiyah, Al Irsyad; Natsir memberi tausi-

ah agar masalah idiologi partai politik yang rusak akibat pen-

erapan azas tunggal, Natsir tetap menyarankan agar umat Is-

lam bersatu di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan jika

di masa datang terjadi perubahan besar dalam partai di Indo-

nesia, Natsir tetap berharap partai-partai Islam agar memben-

tuk fraksi Islam dalam dewan, “Biar partai Islam berbeda, tapi

juga terus dalam satu fraksi. Itu kekuatan terakhir.”

Kesantunan politiknya sejalan dengan kepentingan dan

kemauan umat. Tapi cobalah bercermin pada politikus partai

Islam sekarang, bisakah berbuat bijak sebagaimana

diteladankan Natsir.

Sebagai mentri penerangan, Natsir tak malu mengenakan

kemeja kusam dan jas bertambal. Ketika menjadi ketua Fraksi

Masyumi, dia menampik hadiah sebuah mobil Chevrolet Impa-

la yang tergolong mewah dari seorang pengusaha. Ia menolak

dengan halus agar si pemberi tak merasa kehilangan muka.

Padahal di rumah sederhananya yang ada sebuah mobil Deseto

rombeng. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih

cukup”. Begitu nasihat yang disampaikannya kepada istri dan

anak-anak.

Bahkan saat Moh. Natsir masih menjadi ketua umum DDII

Pusat di Jakarta, beliau pernah menerima tamu seorang bakul

tempe hingga larut malam. Bahkan salah satu putrinya sempat

berbisik kepada Buya agar diakhiri saja perbincangan. Meski

bukan lagi sebagai pejabat pemerintah yang tidak ada kai-

tannya dengan masalah tempe. Dengan santun Buya men-

impalinya,“Bagimu masalah tempe soal sepele, tapi bagi peda-

gang dia adalah masalah besar yang perlu

penyelesaian.” [Hidayatullah.com (Selasa, 19 April 2008),

“Jihad Politik” Mohammad Natsir].

Perjalanan panjang Buya dalam kancah dunia dakwah me-

mang penuh aral lintang, namun berhasil dilalui dengan

keikhlasan, kesabaran dan keteguhan yang patut diteladani

oleh penerus generasi bangsa, khususnya pemuda muslim yang

mengambil Allah Swt. sebagai sesembahan, Rosulullah Mu-

hammad Saw. sebagai suri tauladan, dan Islam sebagai pegan-

gan. WalLâhu A`lam bi al-Shawâb.

*Penulis adalah Mahasiswa Al-Azhar Fakultas Ushuluddin

Hal ini sangat penting untuk dipatenkan agar kerusakan

moral seperti skandal seks, korupsi, nepotisme serta hal buruk

lainnya tidak lagi mencemari gedung terhormat yang

seharusnya berisi pilihan terbaik rakyat. Saat syarat yang

memerhatikan aspek akhlak ini dipatenkan, maka pemerintah

akan bisa meyakinkan masyarakat untuk mengikuti pemilu

tanpa takut mereka akan diwakili oleh tikus berdasi.

Karena hanya dengan meningkatkan kualifikasi calonlah,

daftar pilihan terbaik bisa didapat. Dan pematenan syarat-

syarat ini tidak ada dalam wewenang pemilih, melainkan ada

pada wewenang KPU. Dan hanya KPU-lah yang bisa

melakukannya.

Saat semua calon anggota legislatif adalah orang-orang

yang lolos dari sebuah seleksi ketat, maka siapapun yang

nantinya berhasil terpilih akan memberikan yang terbaik untuk

merealisasikan aspirasi rakyat. Seperti saringan yang tidak

meloloskan ampas teh, sehingga penikmat teh tidak akan takut

meminumnya hingga ke dasar gelas. Kalau boleh meminjam

bahasa iklan, “nikmat hingga tetes terakhir”. Karena teh yang

disaring dengan saringan ketat tidak pernah meloloskan

ampas. WalLâhu A`lam bi al-Shawâb

*Penulis adalah mahasiswa tingkat III fakultas Syariah

wal Qanun Universitas Al-Azhar Mesir.

Sambungan dari hal. 11

Sambungan dari hal. 12

Page 32: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

31 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

GALERY

Page 33: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55

32 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014

P ernah suatu ketika seorang murid bertanya kepada gurunya tentang kejadian setelah revo-lusi 25 Januari 2011, pertanyaan yang tentunya tidak akan jauh-jauh dari permasalahan politik.

Murid : Wahai guruku, setelah presiden Husni Mubarok turun dari jabatannya, lalu siapa kira-kira yang akan men-jadi presiden berikutnya?

Guru : Hai anakku, aku tak tau jawabannya, tapi begini, siapa sih orang di dunia ini yang mau mencalonkan diri un-tuk menanggung beban 80 juta rakyat Mesir, dan tak hanya itu, pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Satu saja orang Mesir ada yang kelaparan, dia yang akan menanggung beban di akhirat. Hanya orang gila yang mau mencalonkan diri untuk mengambil pekerjaan seperti itu. Membawa beban kita sendiri saja, kita belum tentu bisa. Orang mana yang mau bebannya di tambah 80 juta orang?

Murid : Wahai guruku, lalu jika semua orang berfikir seperti itu dan tidak mau mengambil peran menjadi pem-impin negara karena takut akan akhirat, lalu siapa yang akan memimpin negara ini?

Guru : Nah itu, ketika semua orang sudah berfikir dan takut seperti itu, maka yang akan muncul sebagai pemimpin hanyalah orang-orang yang benar-benar takut dan bertaqwa kepada Allah. Semua yang dia lakukan pasti untuk ke-baikan, penuh pertimbangan, dan sesuai syariat Islam kare-na dia takut kepada Allah.

Jawaban yang cerdas, dan mengesankan bagiku. Dan tentunya jawaban ini juga jawaban yang tidak di sangka-sangka.

Cerita itu fakta adanya. Meskipun begitu, jika melihat badai perpolitikan yang ada di negeri para nabi tahun ini (2014), sepertinya jawaban yang indah dan tak disangka-sangka dari sang guru hanyalah sebuah idealisme yang be-lum bisa terlihat ujungnya. Bagaimana kita bisa melihat, sesama muslim belum bisa bersatu, dan masing-masing golongan sibuk dalam berlomba-lomba untuk memikul beban 80 juta rakyat Mesir di akhirat kelak. Bahkan lebih ngerinya, pertumpahan darah sampai terjadi dalam perma-salahan menentukan siapa yang berhak untuk menjadi pemangku tanggungjawab 80 juta rakyat Mesir di akhirat. Bukan pertanggungjawaban di depan manusia. Itu masih biasa. Tapi di depan Allah. Zat yang maha adil dan bisa memberikan siksaan yang begitu berat kepada para pem-impin itu, jika ternyata pada masa kepemimpinannya ada ketidakadilan yang terjadi di wilayahnya. Satu perkara tidak baik terjadi di wilayah itu, pemimpinnya harus yang ber-tanggungjawab. Apapun itu. Sedangkan kita tahu, di zaman ini, adakah negeri yang didalamnya semuanya adil, tidak ada kemiskinan, dan kezaliman? Dimana negeri impian ini?

Kendati demikian, tak usahlah jauh-jauh kita mengurusi negara lain atau negeri impian yang hanya sebuah mitos itu. Mari kita menengok para pemberani yang ada di negara kita. Tidak hanya 80 juta, penduduk Indonesia tercatat seki-tar 250 juta. Tiga kali lipat dari Mesir. Aneh bin ajaib tapi

nyata, puluhan orang berjejer dan siap membayar demi mendapatkan "hak" untuk membawa beban tanggungjawab 250 juta orang di akhirat. Sekali lagi, puluhan orang ini tid-ak hanya mencalonkan diri dan bersedia untuk me-nanggung beban, tapi mereka bersedia MEMBAYAR untuk mendapatkan beban itu. Hebat (atau bodoh)! Bahkan be-berapa dari mereka berusaha menjatuhkan kandidat lain dengan cara apapun demi mendapatkan "hak" yang tidak lazim ini.

Berbagai cara dilakukan untuk bisa mendapatkan hak ini. Halal atau tidak halal itu perkara nomer tiga belas. No-mor 1-12 adalah menang. Baliho, poster wajah bak pahla-wan perang dipaku di tiap-tiap pohon di pinggir jalan. Ham-pir tak ada pohon yang selamat dari hal ini (bahkan mense-jahterakan pohon yang tidak banyak menuntut saja belum bisa, bagaimana mau mensejahterakan rakyat?). Suara-suara motor dan klakson di gembor-gemborkan di setiap jalan, tak peduli membuat polusi suara atau menggangu orang tidur (belum juga jadi pemimpin sudah menyusahkan orang lain). (Mungkin) Memang apa saja bisa dilakukan untuk bisa menang dan mendapat hak menjadi pemegang tanggungjawab. Seolah dengan kampanye ini mereka berka-ta: "Kami siap menanggung beban tanggungjawab kalian semua di akhirat nanti".

250 juta penduduk Indonesia dan mayoritas adalah muslim. Calon yang mengajukan diripun juga kebanyakan muslim. Partainya juga tidak sedikit yang berwajah Islam. Calon-calon yang diajukan untuk jadi pemimpin negeri ini juga pasti adalah dari dari kalangan orang-orang pandai dan cerdas. Pastinya mereka paham dengan resiko dan pili-han ini. Menjadi pemimpin bukanlah hal yang mudah, lalu jika orang-orang muslim yang pandai ini sampai berebut menjadi pemimpin, mungkin kita yang harus ber-huznuzan bahwa mereka ini mampu. Mampu untuk menjadi pem-impin yang baik dan menanggung segala resikonya.

Terakhir, dan untuk para pemimpin dan calon pem-impin.

Kita tentu masih ingat dengan cerita sahabat Umar Ra.. Bagaimana beliau memikul beras untuk orang miskin kare-na beliau tahu bahwa itu adalah tanggungjawabnya. Bahkan ketika ada budak yang ingin menggantikannya, beliau ma-lah marah dengan mengucapkan "apakah kamu mau mem-ikul dosa-dosaku nanti di akhirat?". Sekelas Umar Ra., sa-habat yang sudah di jamin masuk ke surga saja seperti itu. Nah, kita itu siapa? Mendekati Umar kah? Atau jangan-jangan seper-kuku-nya saja belum. Dan tentu kita tahu bah-wa Umar Ra. tidak pernah meminta jabatan amirul muk-minin di sematkan dirinya, bahkan waktu pertama kali diminta (dan bukan mencalonkan), sahabat yang mulia ini menolak. Sekali lagi kutanyakan, kita itu siapa?

*Penulis adalah mahasiswa tingkat III fakultas Syariah wal Qanun

RENUNGAN

Mereka yang Berlomba Mencari Beban

di Akhirat Oleh: Alda K. Yudha*