majalah sinar muhammadiyah mesir edisi 55
DESCRIPTION
Politik; Analisa Sistem DemokrasiApakah terdapat kesalahan dalam sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia?Sehingga banyak dagelan di ranah politik menjelang pemilu ini, seperti politik uang,caleg artis, politisasi agama, hingga politisasi tokoh-tokoh ormas. Tanda tanya besar,apakah ini yang disebut sebagai demokrasi kebablasan? Maka tak pelak jika banyakoknum yang lebih memilih untuk golput sebagai buah antipati terhadap parpol yangada.Instrumen demokrasi yang ada seharusnya saling mendukung antara satu denganyang lain. Rakyat memang penentu akhir dalam pemilu nanti, namun parpol, oknum,sistem pemilihan yang ada harus dapat meyakinkan rakyat sebelum pesta demokrasiini ditutup dengan kemenangan oleh mayoritas pilihan rakyat.TRANSCRIPT
![Page 1: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/1.jpg)
![Page 2: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/2.jpg)
1 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
EDITORIAL 01
————————————————–-
DAPUR REDAKSI 02
————————————————–-
LAPORAN UTAMA 03
————————————————–-
KAJIAN UTAMA 06
————————————————–-
DUNIA MUHAMMADIYAH 10
————————————————–-
TELISIK TOKOH 11
————————————————–-
TRANSFORMASI 12
————————————————–-
HIWAR 13
————————————————–-
PERSPEKTIF 18
————————————————–-
ETALASE 19
—————————————————
KAJIAN FAKULTATIF 20
————————————————–-
SASTRA 24
————————————————–-
SHAFFATUL ‘AISYIYAH 26
————————————————–-
GALERY 31
—————————————————
RENUNGAN 32
DAFTAR ISI
P ada 9 April 2014 Indonesia akan menyelenggarakan pagelaran akbar yang
akan menentukan pemerintahan Indonesia 5 tahun mendatang. Suara rakyat
dengan sistem demokrasi yang berjalan seakan menjadi suara Tuhan. Vox
populi vox dei (Suara rakyat adalah suara tuhan) menjadi patokan ter-
bentuknya suatu tatanan baru dengan kepemimpinan yang baru pula. Kendati
demikian, segolongan orang bertanya-tanya, apa gunanya suara tuhan, jika setiap lima
tahun tak ada perubahan, justru lebih terpuruk?
Apakah terdapat kesalahan dalam sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia?
Sehingga banyak dagelan di ranah politik menjelang pemilu ini, seperti politik uang,
caleg artis, politisasi agama, hingga politisasi tokoh-tokoh ormas. Tanda tanya besar,
apakah ini yang disebut sebagai demokrasi kebablasan? Maka tak pelak jika banyak
oknum yang lebih memilih untuk golput sebagai buah antipati terhadap parpol yang
ada.
Instrumen demokrasi yang ada seharusnya saling mendukung antara satu dengan
yang lain. Rakyat memang penentu akhir dalam pemilu nanti, namun parpol, oknum,
sistem pemilihan yang ada harus dapat meyakinkan rakyat sebelum pesta demokrasi
ini ditutup dengan kemenangan oleh mayoritas pilihan rakyat.
Parpol harus memberi pengenalan sejak dini, transparasi visi dan misi, serta ke-
legowo-an ketika menerima kekalahan dan tetap bersumbangsih demi kemajuan bang-
sa. Jangan sampai berkampanye dengan cara membantu korban bencana, silaturahim
dengan ormas yang ada sebagai bentuk pencitraaan para politisi.
Politik pencitraan realitanya masih menghiasi langit-langit publik. Terbukti dengan
nyaringnya sumbangsih para parpol hanya pada setiap momen pergantian pemimpin.
Sementara di hari lain, tanpa bermaksud mengatasnamakan kampanye, yang terlihat
masih jauh dari permukaan. Ini hanya sebagai suatu gambaran realita yang ada. Oleh
karena itu, pendidikan politik perlu didengungkan lebih nyaring terutama kepada ka-
langan menengah kebawah, sehingga suara rakyat yang notabenenya adalah suara Tu-
han tidak dipermainkan. WalLâhu A‟lamu bi al-Shawâb
Vox Populi Vok Dei?
EDITORIAL
![Page 3: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/3.jpg)
2 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
P asca mengikuti rangkaian kegiatan Mu5cab beberapa waktu lalu, kini
sepertinya menjadi momen yang tepat untuk SINAR kembali
melanjutkan tongkat estafet penerbitan pasca bangun tidurnya be-
berapa waktu silam. Kembali merapatkan barisan, menata niat dan
mewujudkan tujuan utama, menyegarkan kita semua dari dahaga akan ilmu
dan informasi. Sebagai media yang informatif-edukatif, SINAR mencoba kem-
bali menyajikan mutiara-mutiara berharga dari buah pena para kolumnis demi
memberikan informasi baru kepada sahabat SINAR yang semoga dapat menc-
erahkan.
April 2014 merupakan detik-detik menegangkan bagi bangsa Indonesia.
Mengapa demikian?, ya, pemilu legislatif akan berlangsung pada bulan terse-
but. Sebuah peristiwa yang akan menentukan siapa yang akan menjadi pem-
impin bagi ratusan juta penduduk Indonesia kedepan. Manuver politik kian
gencar dilakukan, masing-masing calon telah memberikan pandangan poli-
tiknya untuk kebaikan Indonesia kedepan. Atas nama sebuah sistem demo-
krasi, seluruh elemen rakyat berhak bersuara, berhak turut serta menjadi bagi-
an dari proses kemajuan negeri. Selama cara yang ditempuh itu sah secara
konstitusional berangkat dari semangat pancasila.
Sebagai pelajar yang mempunyai peran sebagai agent of social control, kita
dituntut untuk kritis dan mampu menganalisa setiap kenyataan sosial yang
terjadi di masyarakat demi out put sebuah solusi atas problem kebangsaan pra
maupun pasca pemilu 2014 ini. Edisi kali ini, SINAR hadir memberikan gam-
baran spesifik seputar perpolitikan secara gamblang, dan lebih khusus masuk
pada domain politik tanah air. Apa saja problematika yang ada di dalamnya?
Melalui goresan pena para penulis yang tertuang dalam majalah SINAR Mu-
hammadiyah edisi ke-55 ini, diharap mampu memberi wacana baru terkait
tema kali ini, dan memberi solusi yang mencerahkan demi kebaikan bangsa.
Semoga!.
Tidak lupa kami keluarga besar SINAR Muhammadiyah di Mesir men-
gucapkan selamat dan sukses kepada Pimpinan Cabang Istimewa Muham-
madiyah (PCIM) Republik Arab Mesir yang baru dilantik beberapa waktu
silam. Semoga dapat mengemban amanah sebaik-baiknya pada masa bakti
2013-2015.
Menyongsong Pemilu Legislatif 2014
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Senang sekali rasanya bisa menyapa tim redaksi Sinar Muhammadiyah yang tak kenal lelah me-
racik sajian menarik nan ilmiah untuk para pembaca setia. Salah satu rubrik yang paling saya tunggu-tunggu tiap edisinya ada-
lah rubrik wawancara. Apalagi akhir-akhir ini, dari status Facebook-nya, kru Sinar sudah beberapa kali mewawancarai tokoh-
tokoh penting di Mesir, seperti Dr. Najih Ibrahim dan Dr. Muhammad Imarah. Jadi penasaran, apa sih tema yang diangkat di
edisi berikutnya? Sekedar usul, bagaimana kalau Sinar menambah satu rubrik khusus yang mengupas tuntas artikel-artikel
terbaru yang terbit di majalah Al-Azhar. Tujuannya, agar artikel itu bisa dikonsumsi secara lebih luas, baik oleh Masisir sendiri,
maupun para pembaca dari tanah air sana. Dengan adanya Majalah Al-Azhar 'versi Indonesia', saya yakin bisa turut berkontri-
busi menyebarkan manhaj Al-Azhar yang moderat di bumi nusantara. Tetaplah semangat dalam berkarya!!!
Dana A. Dahlani (Penikmat Karya Anak Bangsa)
Jawaban:
Wa‟alaikumsalam Wr. Wb. Terima kasih buat mas Dana atas perhatian mas buat majalah SINAR, khususnya terkait rubrik
wawancara. Alhamdulillah, SINAR mendapat kesempatan untuk mewancarai tokoh-tokoh di negeri para nabi ini dan akan
senantiasa berbagi dengan rekan-rekan pembaca sekalian. Untuk edisi kali ini, khusus kita wawancara terkait tema pemilu dan
demokrasi bersama Dr.Najih Ibrahim. Adapun Dr.Muhammad Imarah kami simpan untuk edisi mendatang terkait reformasi
pergerakan Islam. Usulan yang bagus mas Dana. Terkait upaya penerjemahan artikel untuk disediakan satu rubrik secara ek-
plisit membahas tema terkait Azhar belum ada. Kalaupun dimasukkan bisa ditunggu di rubrik transformasi yang mengolah ana-
lisa tokoh maupun lembaga tertentu terhadap suatu kasus. Akan tetapi, secara implisit ide-ide dan gagasan yang ada dalam
majalah SINAR ini juga berkiblat kepada Al- Azhar. Terimakasih atas motivasinya, dan semoga SINAR dapat menyajikan sajian
yang nikmat bagi para penikmat karya anak bangsa.
PELINDUNG:
Ketua Pimpinan Cabang
Istimewa Muhammadiyah Mesir
Muhammad Rifqi Arriza, Lc.
LITBANG:
Wahyudi Abdurrahim, Lc.
Nuhdi Febriansyah, Lc.
Zuhdi Amin, Lc.
Laila Masnun, Lc.
Hanna Juairiyyah, Lc.
PEMIMPIN UMUM:
Khoirul Faizin
SEKRETARIS:
Muhammad Bakhrul Ilmi
PEMIMPIN REDAKSI:
Muhammad Fardan Satrio Wibowo
PEMIMPIN PERUSAHAAN:
Fahruddin El-Brengkoi
REDAKTUR PELAKSANA:
Shilma Syahida, Illa Haliza,
Lukman Nur, Alda Kartika Y,
Fathurrabbani, Tuty Hanafia,
Ika Halimatunnisa, Heni SW
DISTRIBUSI:
Syafiq, Umair Fahmiddin, Azwar
REPORTER:
Mukhtashim Billah, Nafi‟atush Sholihah,
Muhammad Rizqi Utama
EDITOR:
Musa Al-Azhar, Ismail Sujono,
Fahmi Hasan
LAYOUTER:
Syaifuddin Nur, Zaky al-Rasyid,
Ali Muzajjad
PEMBANTU UMUM:
Keluarga Besar Sinar Muhammadiyah
Telp: 011148415352/01064524417
Surat Pembaca
DAPUR REDAKSI
![Page 4: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/4.jpg)
3 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
G eliat perpolitikan men-
jelang Pemilu 2014 tepat-
nya 9 April mendatang se-
makin marak dengan mun-
culnya berbagai retorika dan gerakan
politik yang ada. Tak lain gerakan politik
ini bertujuan untuk mendapatkan tempat
di hati masyarakat. Sejumlah partai poli-
tik mulai bergerak mengatur strategi
dengan mengusung calon-calon terbai-
knya yang akan menduduki kursi-kursi
pemerintahan. Berbagai retorika politik,
dari masing-masing partai sangat be-
ragam. Namun apabila kita cermati,
kesemuanya memiliki arah yang sama
yaitu untuk menghimpun dukungan ba-
ru.
Berdasarkan UUD 45 pasal 28 D ayat
3 tercantum bahwa setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan. Berawal dari
sini, munculah berbagai pertanyaan di
kalangan masyarakat apakah semua war-
ga negara saat ini memiliki kompetensi
untuk menduduki jabatan publik?
Sinar Muhammadiyah edisi khusus
2014 akan mewartakan kepada pembaca
mengenai geliat perpolitikan tanah air.
Bagaimana sebenarnya pemimpin ideal
yang diharapkan? Bagaimana dengan
adanya golput sendiri? Dan bagaimana
pandangan ormas Islam baik itu Muham-
madiyah, Nahdhatul Ulama, ataupun
lainnya terhadap politik? Dalam pemba-
hasan kali ini, Kami (kru Sinar)
melakukan wawancara dengan Bapak
Ghilmanul Wasath, MA selaku kandidat
Doktoral Dakwah dan Kultur Islam Uni-
versitas al-Azhar Kairo, serta Bapak Mu-
hammad Syaifuddin, MA selaku kandidat
Doktoral Tafsir dan Ilmu al-Quran Uni-
versitas al-Azhar Kairo.
Karakteristik Figur Pemimpin
Fenomena caleg artis sebenarnya
bukan merupakan suatu hal yang baru.
Hal ini karena pada pemilihan tahun
2009 lalu kita temukan beberapa partai
politik yang mengusung sederet nama
artis untuk dijadikan calon legislatif.
Akan tetapi pada tahun 2014 ini calon
legislatif dari kalangan artis presentasen-
ya mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dibanding tahun-tahun sebe-
lumnya. Latarbelakang meningkatnya
caleg artis disebabkan karena mereka
memiliki popularitas dan modal yang
besar dalam mengikuti pemilihan ini.
Mengenai kualifikasi standar seorang
pemimpin, sebenarnya terdapat 3
mekanisme yang berperan dalam menjar-
ing calon pemimpin. Pertama, institusi
rekruitmen yang ada di partai, institusi
verifikasi yang di lakukan di KPU (Komisi
Pemilihan Umum). Dan ketiga, institusi
rekruitmen di masyarakat itu sendiri,
yang mana porsi terbesar tentunya be-
rada pada institusi ketiga tersebut.
Dengan adanya 3 mekanisme standar di
atas, diharapkan permasalahan yang
berkaitan dengan siapa yang sebenarnya
berkompeten dan layak menempati kursi
kepemimpinan bisa teratasi. Kalaupun
ada caleg dari kalangan artis, maupun
pekerja kasar, hal tersebut tak lagi men-
jadi problema.
"Semakin cerdas masyarakatnya, se-
makin pendidikan politiknya bagus,
maka kemungkinan lahirnya pemimpin
yang baik, semaikn lebih besar. Akan
tetapi apabila kesadaran masyarakat ter-
hadap politiknya jelek, kemungkinan
pemimpin yang dilahirkanpun kuali-
tasnya kurang bagus," ungkap bapak
Ghilman, Dosen Fakultas Dirasat Islami-
yah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal
ini pun senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Bapak Syaifuddin
selaku ketua PPLN (Panitia Pemilihan
Luar Negeri) Mesir yang mengatakan
bahwa mengenai permasalahan caleg,
Geliat Perpolitikan Tanah Air
LAPORAN UTAMA
![Page 5: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/5.jpg)
4 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
masyarakat lebih tahu, lebih berhak, dan
lebih cerdas tentunya dalam menilai.
Boleh saja orang mengatakan caleg harus
demikian, persepsi ini tetap sah adanya,
namun belum tentu masyarakat yang lain
akan mengatakan hal yang senada. Oleh
karena itu, keputusan KPU yg disetujui
DPR mensyaratkan adanya persyaratan
rata-rata (persyaratan secara umum)
yang dapat diterima masyarakat. Misal-
nya untuk menjadi caleg harus memiliki
latarbelakang pendidikan minimal SMA
ataupun sederajat. Oleh karena itulah
kita tidak bisa membuat persyaratan
secara subyektif saja.
Abu Hasan al-Mawardi dalam kitab al
-Ahkâm al-Sulthaniyah juga menjelaskan
bahwa untuk mengangkat seorang pem-
impin, idealnya diperlukan beberapa
syarat sebagai berikut.
1. Seorang pemimpin harus mempunyai
sifat adil.
2. Seorang pemimpin harus mempunyai
ilmu pengetahuan dan mampu
melakukan ijtihad.
3. Seorang pemimpin harus sehat secara
fisik.
4. Seorang pemimpin harus pandai be-
rargumentasi dan membina politik
rakyat serta mengatur kemaslahatan.
5. Seorang pemimpin harus berani ber-
juang melawan musuh. Kebodohan,
kemiskinan, keterbelakangan meru-
pakan musuh yang harus dihilangkan.
6. Seorang pemimpin harus dari nasab
Quraisy.
Syarat pemimpin harus dari nasab
Quraisy, tidak dapat diterapkan lagi
pada zaman sekarang. mengingat
konsep nasab merupakan konsep
fanatisme kesukuan yang akan me-
lahirkan perbedaan. padahal islam
tidak mengenal adanya perbedaan,
siapapun dapat menjadi pemimpin.
Islam untuk semua dan bukan untuk
segolongan saja, yakni Quraisy.
Golput, antara Sejarah dan
Harapan
Menurut seorang Sejarawan Muslim,
Ahmad Mansur Suryanegara, kesadaran
berpolitik umat Islam di Indonesia san-
gat tinggi ditinjau dari kacamata sejarah.
Hal itu ditunjukan pada perolehan kursi
terbanyak yang diraih oleh Partai Politik
Islam Masyumi dan NU ketika itu. Dalam
buku Api Sejarah 2 dia menggambarkan
hal tersebut sebagai berikut;
“Menjelang pemilu Indonesia dibagi
dalam 16 Daerah Pemilihan, meliputi
208 Kabupaten, 2.139 Kecamatan, dan
43.249 Desa. Hasil Pemilu DPR, berang-
gotakan 272 wakil. Dengan perhitungan
per wakil DPR mewakili 300.000 orang,
sedangkan Konstitusi mencapai 542
wakil. Kemudian diadakan pelantikan
DPR pada tanggal 20 Maret 1956, Selasa
Wage, 6 Sja‟ban 1375, dan Konstitusi pa-
da peringatan Hari Pahlawan, 10 Novem-
ber 1956, Sabtu Wage, 6 Rabiul Akhir
1375.”
Bisa dibayangkan bagaimana rumit-
nya pelaksanaan pemilu dalam wilayah
yang terpencar menjadi ribuan kepulaua
dengan sistem transportasi yang masih
tergolong sederhana dan daya dukung
sistem komunikasi pemberitaan yang
masih sangat sederhana. Walaupun
demikian, Pemilu dapat terlaksana
dengan baik.
Pada kisaran tahun 1950-1964, di-
jelaskan terbentuknya DPR hasil Pemilu
terdiri dari 19 Fraksi . Jumlah angka kur-
si yang menjadikan Partai islam Masjumi
memperoleh jumlah tertinggi dan me-
menangkan 14 Daerah Pemilihan dari 16
Daerah Pemilihan, tidak hanya di Jawa
barat tetapi juga di Luar Jawa, merupa-
kan pertanda umat Islam benar-benar
merupakan mayoritas yang hidup dan
sadar berpolitik. Demikian pula Partai
Nahdlatul Ulama meraih suara pemilih
yang besar di Jawa Timur dan Jawa Ten-
gah serta di Kalimantan Selatan, sebagai
gambaran wilayah kerjanya dan
pengaruh Nahdlatul Ulama. Angka-angka
yang demikian besar menjadikan lawan
politik Islam resah karenanya.
Cacatan sejarah di atas merupakan
bukti kesadaran berpolitik umat Islam
sudah tumbuh sejak awal diberlakukann-
ya sistem Parpol di Indonesia. Kearifan
dan kesederhanaan cara hidup para
politisi Islam pada masa itu men-
imbulkan nuansa perjuangan yang sangat
kental, rapat rutin yang diadakan setiap
selesai sholat Jum‟at di warung angkrin-
gan membuat para tokoh Islam yang ber-
juang lewat parlementer ketika itu jauh
dari sebutan glamor dan kepentingan
pribadi.
Sebut saja salah satu tokoh itu M.
Nastir, ketika dia tengah menjabat se-
bagai Perdana Menteri Republik Indone-
sia rumahnya tidak megah dan berting-
kat, hanya sepetak rumah sederhana di
ujung gang. Tidak pula memiliki ken-
daraan mewah. Namun dengan keseder-
hanaan itu, dia dapat menorehkan se-
jarah emas bagi Indonesia. Bahkan sang
Proklamator RI, Ir. Soekarno menobat-
kan dia sebagai arsitektur NKRI.
Artawijaya, Editor Pustaka al-Kaustar
dan Dosen STDI Mohammad Nastir Ja-
karta dalam sebuah artikel yang dimuat
oleh Hidayatullah.com dalam artikelnya
berjudul “ Buya Hamka, Masjumi dan
Perang Melawan Korupsi” menuturkan:
“Fenomena ini (baca: korupsi-red)
ternyata sudah sejak lama terjadi. Buya
Hamka, salah seorang tokoh Partai Mas-
jumi yang terpilih menjadi anggota
Majelis Konstituante pada Pemilu tahun
1995, mengkritik cara-cara yang dil-
akukan oleh Partai Nasionalis Indonesia
(PNI, rival politik Masjumi, yang
mengedepankan uang sebagai kekuatan
politik. Dalam tulisannya di Majalah
Hikmah, No. 10 Thn IX, 5 Sya‟ban 1374
H/ 17 Maret 1956, ulama asal Sumatra
barat ini mengungkapkan cara-cara kotor
yang dilakukan oleh partai politik sekuler
yang ingin merebut simpati rakyat.
Kekuatan Partai Masyumi yang mam-
pu memenangkan Pemilu di beberapa
LAPORAN UTAMA
![Page 6: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/6.jpg)
5 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
wilayah pada tahun 1955, dan banyak
mendapatkan kursi di parlemen, mem-
buat lawan-lawan politiknya ketar-ketir
untuk menghadapi Pemilu berikutnya
pada tahun 1960. Meskipun akhirnya,
pemilu tahun itu tidak dapat terlaksana,
setelah Soekarno secara sepihak
mengajukan gagasan “Demokrasi Ter-
pimpin” dan berniat mengubur partai-
partai yang ada.
Hamka mengatakan dalam tu-
lisannya, “Plan (rencana-pen) utama
rupanya bagaimana supaya Masjumi
dapat dikalahkan dalam pemilihan
umum. Partai-partai yang berkuasa itu,
terutama PNI insjaf bahwa kekuatan
mereka tidak besar pada masa. Oleh
sebab itu, uang mesti ditjari. Halal atau
haram bukan soal: „Lil ghoyati tubarrirul
wasilah‟ (untuk mentjapai maksud boleh
dipakai sembarang tjara)” .“
Mungkin, ketulusan serta
kesungguhan berjuang yang ditunjukan
oleh para mujahid politik kita dahulu
lah yang akhirnya dapat menumbuhkan
kesadaran berpolitik masyarakat luas.
Walaupun satu orang hanya memiliki
satu hak suara saja, tapi dengan
kesadaran tersebut Partai berbasis Is-
lam mendapat dukungan penuh dari
rakyat.
Jika mengaca pada catatan sejarah
di atas, kemudian melihat fenomena
Golput semakin marak, rasanya pen-
dapat Mahasiswa Al Azhar, Muhammad
Syafrudin saat Persentasi Makalah
Lomba tentang Pemilu pada Acara So-
sialisasi Pemilu yang diselenggrakan
oleh PPLN Mesir di Limas, District 10
pada hari Jum‟at (25/03) dapat dijadi-
kan kesimpulan, dia berpendapat,
“Walaupun sebab meluasnya gerakan
golput itu ada alasan apatisme masyara-
kat dan juga alasan ideologi, namun
usaha mengatasinya harus berawal dari
pembenahan diri para wakil rakyat itu
sendiri!”
Fenomena golput (golongan putih)
dalam tatanan sebuah sistem demokrasi
merupakan fenomena yang syah dan
wajar. Seorang warga negara mempunyai
hak atau kebebasan untuk memilih atau-
pun sebaliknya. Bapak Ghilman Wasath,
MA juga memberikan komentarnya
mengenai fenomena golput, bahwa adan-
ya golput merupakan kewajaran dari
sistem demokrasi. Sistem demokrasi
memberikan kebebasan kepada wargan-
ya untuk menggunakan hak pilihnya
ataupun tidak. "Memilihih merupakan
hak dan bukan kewajiban", tegas Beliau.
Adanya golput dilatarbelakangi oleh be-
berapa faktor. Misalnya faktor
kekecewaan masyarakat. Dapat juga
masyarakat tidak sepaham dengan
jalannya sistem demokrasi yang ada,
tetapi karena demokrasi memberikan
wilayah kepada semua warga negara un-
tuk berpartisipasi, maka akhirnya
masyarakat memilih untuk golput. Bapak
Muhammad Saifuddin, MA dalam prma-
salahan ini juga menambahkan bahwa
latar belakang golput dapat terjadi
dikarenakan sikap apatis masyarakat
terhadap partai politik itu sendiri. Ban-
yak yang berasumsi bahwa keikutsertaan
dalam pemilu, tidak memberikan
pengaruh perubahan terhadap sebuah
negara. "Dalam satu sisi golput bukan
merupakan sebuah solusi tetapi dalam
dimensi lain adanya golput adalah untuk
mengkritisi demokrasi itu sendiri. Se-
hingga pemerintah, perangkat negara,
dan partai politik dapat memikirkan
bagaimana sebenarnya yang diharapkan
masyarakat. Sehingga ada sinergi antara
sistem negara dengan masyarakat.
Ormas dan Politik
Eksistensi partai politik (parpol) dan
organisasi kemasyarakatan (ormas) da-
lam ranah negara demokrasi merupakan
pilar yang sangat penting. Keduanya sal-
ing bersinergi untuk membangun sebuah
bangsa yang diharapkan. Menurut Ghil-
man Wasath, MA, sinergi ormas dan par-
pol disini artinya membangun hubungan
positif dan tidak harus berkoalisi. Dalam
berbagai kasus berkoalisi justru sangat
merugikan. Dalam kepentingan-
kepentingan tertentu untuk berjalannya
program suatu ormas, diperlukan adanya
dukungan tidak hanya dari anggota or-
mas itu sendiri, melainkan perlu adanya
sinergi antara ormas dan partai politik.
Ormas bisa berkembang baik apabila
keadaan masyarakatnya stabil. Artinya
dalam bidang ekonomi berkecukupan,
sarana prasarananya tersedia, maka da-
lam hal seperti ini ormas bisa menjalin
sinergi dengan kekuatan politik. Wilayah
kehidupan aspeknya sangat banyak. Bisa
jadi dalam wilayah-wilayah tertentu tid-
ak dapat diterapkan. Jadi ormas sendiri
yang nantinya bisa memilah. Hal seperti
ini kita kenal dengan istilah pendekatan
kultural struktural. Sekalipun ada yang
beranggapan ormas itu sebaiknya tidak
struktural, tetapi kenyataannya ada.
Misalnya, apabila kita ingin mendirikan
Bank Islam pasti akan terkait dengan
kebijakan pemerintah.
Bapak Muhammad Syaifuddin, MA
juga menambahkan bahwa ormas mem-
bangun mitra yang sangat kuat dan erat
dari papol. Masing-masing baik ormas
maupun parpol sama sama membangun
bangsa. “Parpol tanpa ormas akan sew-
enang wenang. Sedangkan ormas tanpa
parpol hidup di awang awang”, ujar
Bapak Syaifuddin selaku ketua panitia
PPLN Mesir. Parpol tanpa ormas mak-
sudnya parpol yang kita tahu sebagai
penguasa pemerintahan, penguasa legis-
latif, kalau tidak ada kontrol dari ormas
mereka akan semaunya sendiri. Tetapi di
samping itu ormas tanpa parpol ibarat
hidup di awang-awang. Karena sejuta ide
mereka tidak bisa terealisasi.
Terkait dengan masalah keterlibatan
ormas dengan partai politik, misalnya
ormas Muhammadiyah dengan PAN atau
Nahdhatul Ulama dengan PKB merupa-
kan pembacaan dari luar saja. Secara
umum ormas tersebut menyatakan tidak
berafiliasi pada partai tertentu. Tetapi
keterlibatan sebagian ormas kemung-
kinan ada. Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama lebih menjaga diri
kaitannya dengan politik praktis. Kedua
organisasi ini tidak mencantumkan
kegiatan politik praktis sebagai program
kerja mereka. Dengan catatan, mereka
tetap memberikan kebebasan pada ang-
gotanya untuk aktif dalam berpolitik.
WalLâhu A‟lamu bi al-Shawâb
Tim Laput:
Nafi'atush Sholihah, Muhammad
Rizqi Utama, Fahrudin
LAPORAN UTAMA
![Page 7: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/7.jpg)
6 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
P ada tahun 70-an, banyak buku tentang Islam dan
sosialis. Memang pada masa itu, ideologi sosialis
di Timur Tengah menjadi idola. Meski UUD di
setiap negara menyatakan bahwa Islam adalah
agama resmi dan hukum Islam sebagai sumber hukum negara,
namun dalam prakteknya, mereka menganut sistem sosialis,
seperti Mesir, Libia, Suriah, Irak dan lain sebagainya.
Pada tahun 1989, Uni Soviet runtuh. Bersamaan dengan itu,
runtuh pula ideologi sosialis. Secara otomatis, Amerika dan
Barat dengan ideologi demokrasi liberalnya, menguasai dunia
inetrnasional. Muncullah istilah tatanan dunia baru, yaitu
tatanan dunia yang hanya satu kutub saja, kutub Barat dan
satu ideologi saja, yaitu demokrasi liberal.
Umat Islam pun ikut latah. Para pemikir muslim rame-
rame memberikan kritikan terhadap sistem sosialis dan men-
gagung agungkan demokrasi liberal. Bermunculah berbagai
buku tentang Islam dan demokrasi, seperti karya Khalid Mu-
hammad Khalid.
Memang benar bahwa tentang model kepemimpinan, Islam
tidak memberikan ketentuan pasti. Islam memberikan nilai,
namun terkait bentuk sebuah tatanan Negara, umat Islam
diberi kebebasan mutlak untuk berijti-
had agar lebih sesuai dengan konteks
dan masalat. Umat Islam dituntut kre-
atif menyesuaikan kebutuhan saat itu.
Sedih sebenarnya jika melihat gaya
inferioritas para sarjana muslim.
Dengan menuliskan buku-buku yang
mengagung-agungkan demokrasi dan
menganggapnya sesuai dengan syariat
Islam, seakan-akan, ajaran Islam hanya
disematkan dan dicocok-cocokkan saja.
Umat Islam terdahulu sangat kre-
atif. Banyak sekali sarjana muslim kita
yang menelorkan konsep kepemimpi-
nan secara utuh, bahkan sampai teori praktisnya. Tidak hanya
itu, umat Islam juga telah menerapkan teori kenegaraan terse-
but dalam tataran praktis.
Lihatlah buku klasik, seperti al-Ahkâm al-Sulthâniyyah
karya Imam Amidi. Buku ini sangat fenomenal, karena
mengupas persoalan politik secara detail. Tidak hanya masalah
pengangkatan pemimpin, syarat pemimpin, hak dan kewajiban
pemimpin, namun juga membahas mengenai struktur
pemerintahan serta hak dan kewajiban semua pemangku ke-
bijakan. Lebih dari itu, buku ini juga membahas mengenai
berbagai sumber keuangan negara.
Tidak hanya dari Ahlu Sunnah saja yang memiliki konsep
kepemimpinan, Muktazilah, Syiah, Khawarij, dan banyak
firqah Islam lainnya juga mempunyai konsep tersendiri.
Persoalannya, para sarjana muslim itu, terkadang tidak
mau melihat pada turats Islam yang sangat kaya. Mereka ter-
lanjur terpukau dengan peradaban Barat. Atau, banyak juga
dari mereka yang memang tidak kenal dengan turats kita dan
dengan khazanah pemikiran politik ulama kita. Akibatnya,
mereka menerima mentah-mentah pemikiran Barat. Islam
lantas dijadikan sebagai justifikasi saja, dengan sekadar dico-
cok-cocokkan.
Belakangan mulai banyak yang mencoba untuk menuliskan
kembali model pemerintahan Islam dengan mengaca pada
kitab kuning untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan
umat Islam saat ini. Tentu ini hal positif yang harus didukung
bersama. Kedepan, mudah-mudahan makin banyak bermuncu-
lan buku politik Islam yang mencoba berijtihad dari ladang
umat Islam sendiri..
Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan mencoba untuk
mengeksplorasi ide politik Islam klasik, utamanya dari ke-
lompok muktazilah. Mudah-mudahan dengan begitu dapat
memancing kita untuk lebih kreatif dalam berijtihad dengan
tetap berpegang pada turats kita dan maslahat umat islam saat
ini.
Problematika Politik Umat
Sejak Rasulullah saw. meninggal, umat
Islam dihadapkan kepada persoalan
besar, yaitu banyaknya umat Islam yang
kembali kepada kekafiran. Banyak suku
Arab, yang sebelumnya mengaku wala
dan tunduk kepada Negara Islam Madi-
nah, namun selepas kepergian
Rasulullah, seketika itu pula, mereka
meninggalkan ajaran Islam. Mereka
mengira bahwa keberagaam tersebut,
hanya waktu Rasulullah hidup saja. Se-
bagian mereka menganggap bahwa
sepeninggal Rasulullah, bearti setiap
suku berhak untuk independen dan mengatur sukunya masing-
masing persis seperti sebebelum mereka disatukan ke dalam
satu Negara Madinah oleh Raulullah saw.
Melihat gelagat seperti ini, tidak heran jika para sahabat
langsung menuju Tsaqifah Bani Saidah untuk memilih kha-
lifah, pemimpin umat yang akan menjadi komando bagi dalam
meneruskan perjuangan Rasulullah saw. Bahkan para sahabat
tersebut melihat, persoalan kepemimpinan ini sangat penting.
Jika terlambat, maka Negara Madinah akan mencadi cerita
saja. Negara Madinah akan kembali terpecah dan menjadi
Negara kecil atau kembali kepada masyarakat suku, seperti
sebelumnya. Sahabat bahkan mendahulukan pemilihan kha-
lifah, dibandingkan dengan mengurus jenazah Rasulullah saw.
Di Tsaqifah Bani Saidah pun, dalam pemilihan kepemimpi-
nan, terjadi kericuhan dan perseteruansengit. Kaum Muhajirin
Inferioritas Pemikiran Politik Islam Oleh: Wahyudi Abdurrahim, Lc.*
KAJIAN UTAMA
“Banyak suku Arab, yang
sebelumnya mengaku
wala dan tunduk kepada
Negara Islam Madinah,
namun selepas kepergian
Rasulullah, seketika itu
pula, mereka meninggal-
kan ajaran Islam.”
![Page 8: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/8.jpg)
7 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
bersikukuh agar pemimpin dari golongan mereka, demikian
juga kaum Ansar. Hingga salah seorag dari mereka men-
gusulkan agar kaum Muhajirin mempunyai pemimpin, semen-
tara kaum Anshar juga mempunyai pemimpin. Namun perse-
teruan dapat diredam setelah Umar bin Khatab Ra. membaiat
Abu Bakar Shiddiq Ra. sebagai Khalifah umat Islam.
Dengan terpilihnya Abu Bakar tersebut, bukan bearti perso-
alan umat selesai. Umat masih akan dihadapkan oleh persoa-
lan politik lain. Pada masa kepemimpinan Utsman, umat kem-
bali terbelah. Utsman dianggap terlalu mengedepankan ke-
lompok dalam menjalankan roda pemerintahan. Para menteri
dan gurbenur banyak beradal dari sukunya Bani Umayyah. Ini
pula yang akhirnya menimbulkan gesekan dengan kelompok
lain. Mereka akhirnya membuat makar dan berhasil mem-
bunuh sahabat Utsman bin Affan.
Selepas Utsman Ra terbunuh, persoalan semakin
meruncing. Sebagian segera membaiat Ali bin Abi thalib Kara-
mallahu wajhahu yang berasal dari Bani Hasyim menjadi kha-
lifah. Namun sebagian lagi tidak mau membat Ali karamahlla-
hu wajhahu. Sementara itu, banyak kelompok yang meminta
sahabat Ali bin Abi Thalib segera mengusut pembunuh
Utsman, seperti Aisyah, Thalhah, Zubair dan juga Umawiyah
bin Abi Sufyan, gurbenur Syam yang diangkat oleh Utsman.
Perseteruan umat Islam tidak hanya dalam ranah
pemikiran, namun sudah menjurus kepada konflik bersejata.
Terjadilah perang Shiffin dan perang Jamal. Banyak korban
syahid dari kalangan para sahabat Nabi sendiri.
Memang dalam sejarah Islam, persoalan umat yang sering
menimbulkan kericuhan hingaa sampai mengangkat senjata
adalah masalah politik. Perebutan kekuasaan antara kelompok,
kerap kali dilakukan dengan kekuatan militer. Pada akhirnya,
darah umat Islam tumpah begitu saja.
Kepemimpinan, Hak Allah atau Hak Hamba?
Pasca terbunuhnya Khalifah Utsman, umat Islam terpecah
ke dalam berbagai kelompok politik. Kelompok-kelompok
politk tersebut mirip dengan partai politik di era modern. Se-
tiap partai mempunyai struktur organisasi yang sangat rapi,
dengan program kekuasaan jelas. Mereka juga memiliki visi
dan misi politik. Selain itu, untuk meraih dukungan publk,
mereka melakukan kampanye politik dengan berbagai macam
cara, di antaranya orasi, penyebaran buletin (rasail) dan
mencetak buku.
Memang sangat disayangkan bahwa umat Islam terpecah
belah menjadi sekian kelompok. Namun di balik perpecahan
tadi, ada sisi-sisi positifnya. Partai politik itu seakan menjadi
arena bersaing dalam menentukan konsep kenegaraan. Mereka
berlomba-lomba untuk menuliskan konsep kenegaraan secara-
lengkap dalam bentuk tulisan. Terjadi persaingan idelasisme
luar biasa di kalangan umat Islam.
Jika diringkas, setidaknya filsafat pemikiran Islam dalam
memanang kepemimpinan, setidaknya ada dua aliran besar:
Pertama, mereka yang menganggap bahwa kepemimpinan
merupakan urusan agama. Menurut kelompok ini, kepemimpi-
nan terkait dengan kemaslahatan manusia dan tegaknya aga-
ma Allah di muka bumi. Untuk itu, urusan kepemimpinan
merupakan urusan agama yang bearti juga urusan Allah dan
rasul-Nya. Karena pentingnya masalah kepemimpinan ini,
maka Allah akan selalu memberikan petunjuk kepada rasul-
Nya mengenai siapa yang akan memimpin negara. Rasul lantas
memberikan wasiat kepada orang yang berhak dan kelak imam
tadi juga akan memberikan wasiat kepada pemimpin yang
akan datang.
Di sini, manusia sama sekali tidak mempinyai wewenang
untuk turut aktif dalam memilih calon pemimpinnya. Rakyat
hanya boleh tunduk dan taat kepada pemimpin yang sudah
mendapatkan wasiat dari pemimpin sebelumnya.
Pemimpin tadi, akan mengendalikan kekuasaan atas nama
Allah. Segala perbuatan yang dilakukan, merupakan ilham dari
langit. Oleh karenanya, ia tidak akan pernah terpeleset ke da-
lam jurang kesalahan. Ia adalah imam yang maksum. Seder-
hananya, kepemimpinan menjadi hak Allah untuk menentukan
pemimpin di muka bumi ini.
Kedua, adalah kelompok yang memandang bahwa
Rasulullah saw. adalah Nabi terakhir. Rasulullah saw. juga
meninggalkan wasiat, namun bukan dengan menunjuk seorang
pemimpin. Wasiat tersebut adalah dua pusaka, al-Quran dan al
-Sunnah.
Kepemimpinan merupakan persoalan dunia. Ia terkait
dengan kemaslahatan umat manusia dan bukan bagian dari
urusan agama atau keimanan.
Kelompok ini juga memandang bahwa risalah Nabi Mu-
hammad saw. sudah sempurna. Manusia sudah sampai pada
titik kemampuan menggunakan akalnya untuk mengurusi
berbagai persoalan dunia, termasuk urusan kepemimpinan.
Mereka menganggap bahwa pemikiran manusia sudah cukup
matang (al-Rusyd).
Karena terkait dengan maslahat manusia, maka kepem-
impinan juga diserahkan kepada manusia. Mereka yang akan
menentukan siapa pemimpinnya. Mereka pula yang akan
melakukan pengawasan terhadap pemimpin yang ia angkat.
Mereka juga berhak untuk memakzulkan pimpinan manakala
mereka melenceng dari apa yang sudah digariskan oleh wasiat
Nabi, yaitu Quran dan Sunnah.
Karena manusia diberi wewenang untuk berijtihad dan
mereka dianggap sudah sampai pada tingkat kematangan intel-
ektual (al-Rusyd), maka para pemimpin itu disebut dengan
Khulafaurasyidin. Mereka adalah pemimpin yang diangkat dan
diberi mandate oleh para mujtahid umat. Sederhananya,
kepemimpinan menjadi hak hamba untuk menentukan siapa
pemimpinnya.
Dua kelompok di atas, yaitu antara yang menganggap bah-
wa kepemimpinan merupakan urusan Tuhan dan kelompok
yang menganggap bahwa kepemimpinan menjadi urusan
manusia, antara keduanya terjadi perseteruan sengit, Bahkan
mereka tidak hanya perang pemikiran, namun juga perang
fisik hingga jatuh banyak korban jiwa. Mereka berseteru kare-
na masalah kepemimpinan (imamah), pinsip kepemimpinan
dan filsafat hukum dalam politik. Mereka melakukan pergu-
latan idealisme antara kepemimpinan yang dianggab sebagai
lapangan ijtihad dan kepemimpinan yang merupakan bagian
dari wasiat Nabi. WalLâhu A`lam bi al-Shawâb.
KAJIAN UTAMA
“...mereka dianggap
sudah sampai pada Tingkat kematangan
Intelektual (al-Rusyd), maka para pemimpin itu
disebut dengan Khulafaurasyidin.”
![Page 9: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/9.jpg)
8 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
S istem kekhilafahan merupakan dambaan setiap
umat muslim di seluruh penjuru dunia. Kendati
demikian, bagaimana sistem tersebut dapat kemba-
li terbangun pasca runtuhnya kekhalifahan Turki
Utsmani pada tahun 1924 M? Hingga kini umat Islam terbagi
ke berbagai wilayah dan telah manunggaling (menyatu -red)
dengan kultur ,budaya, dan sistem perpolitikan yang menaungi
wilayah tersebut. Maka tak ayal, berbagai bentuk sistem seperti
presidensial, parlementer, monarki, hingga demokrasi menjadi
identitas.Dapatkah umat Islam bersatu di tengah berbagai sis-
tem yang ada di masing-masing negara?
Ibnu Qayim al-Jawziyyah dalam bukunya at-Turuq al-
Hukmiyyah fî Siyâsah al-Syar‟iyyah mengungkapkan bahwa
sistem yang adil merupakan bagian dari syariat Islam. Beliau
juga menambahkan dengan menyitir pendapat Abu al-Wafa
ibn Aqil bahwasanya esensi dari sistem perpolitikan adalah
mampu mendekatkan manusia pada kebaikan dan men-
jauhkan dari kemunkaran, meskipun sistem tersebut tidak
disebutkan oleh Allah dan RasulNya.
Hakikat Demokrasi dalam Sistem Pemerintahan
Ahmad Said dan Ahmad Jamal dalam buku al-Watan al-
„Arabi wa Tahdiyyat al-Mu‟âshirah menyatakan bahwa istilah
demokrasi muncul dan berkembang di Athena, Yunani. Kata
demokrasi itu sendiri terdiri dari dua kata, yaitu demos yang
bermakna rakyat dan kratos yang berarti hukum atau
pemerintahan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa de-
moskratos bermakna hukum rakyat. Artinya rakyat berperan
penuh dalam penentuan hukum atau pemerintahan. Abraham
Lincoln, Presiden Amerika ke-16 mendefinisikan demokrasi
sebagai hukum rakyat yang melalui peran rakyat dan untuk
rakyat.
Definisi di atas merupakan definisi klasik, karena prak-
tiknya saat ini tidak demikian. Jika definisi tersebut digunakan
secara harfiah, maka tak ayal jika masing-masing individu
bebas menentukan hukum sekehendak pribadi mereka tanpa
memandang kapasitas dirinya.
Muhammad Nasr Muhanna dalam buku fî Nadzariyyah al-
Dawlah wa Nadzm al-Siyâsah berpendapat bahwa mustahil
untuk dapat mengakomodasi kehendak setiap individu, oleh
karena itu kesepakatan yang diharapkan oleh mayoritas men-
jadi titik tolak hukum dalam ranah teori dan praktik. Sementa-
ra Abdul Qadir Raziq dalam buku Âkhir al-Dawâ` al-
Diymaqarâthiyyah menambahkan bahwa penerapan demo-
krasi bukan berarti mengakomodasi seluruh kehendak individu
secara mutlak, akan tetapi mengambil hukum yang disepakati
banyak pihak untuk mencapai hukum rakyat atau mayoritas
rakyat. Lantas menurut Abu Imran Syaikh melalui karyanya
Islâm wa al-Diymaqarâthiyyah baina Tanâqudh wa Takâmul
menuturkan bahwasanya banyak individu yang mendefinisikan
demokrasi dengan pemahamanan yang lain, seperti sebagai
sistem pemilihan pemimpin, sistem perpolitikan yang
dikehendaki oleh rakyat atau lewat mediator partai dalam
perpolitikan untuk mewujudkan kehendak rakyat.
Demokrasi memiliki multi definisi sesuai bidang di mana
istilah tersebut digunakan, apakah dalam hal sosial, ekonomi,
atau perpolitikan. Di sini penulis lebih menekankan pembaha-
san demokrasi sebagai sistem hukum. Maka definisi demokrasi
sebagai sistem hukum dapat terwakili oleh definisi Ahmad
Thal‟at dalam buku al-Wajh al-Âkhir li al-Diymaqarâthiyyah
bahwa demokrasi adalah sistem yang mana rakyat menetapkan
sistem tersebut untuk diri mereka melalui jalur pemerintahan
yang mereka pilih, sesuai dengan kehendak dan di bawah
pengawasan mereka. Artinya, rakyat berperan penuh untuk
mengambil sikap memilih dengan konsekuensi atas pilihannya
dan juga ikut berperan aktif dalam jalannya roda pemerinta-
han yang menaungi mereka.
Penggunaan demokrasi sebagai sistem hukum masih debat-
able. Terdapat berbagai pandangan mengenai demokrasi itu
sendiri. Abdurrahman Umar dalam buku Hâdhihi Hiya al-
Diymaqarâthiyyah menilai bahwa demokrasi merupakan sis-
tem yang digagas oleh Freemasonry yang berhulu pada dua
tujuan utama, yaitu sekularisme dan kebebasan mutlak bagi
setiap individu.
Abdul Aziz Shaqar dalam An-Naqd al-Gharby li al-Fikrah
al- al-Diymaqarâthiyyah menyitir perkataan Plato dalam
bukunya The Republic atau versi arabnya dengan judul Jum-
hûriyyah bahwa demokrasi berdiri di atas kebodohan dan kee-
goisan. Hal ini akan memunculkan individu yang tak memiliki
kapabilitas, praktik suap-menyuap, ketidaksetaran derajat
(karena mayoritas individu lebih menghegemoni daripada mi-
noritas), dan dampak-dampak buruk lainnya.
Realitanya, apa yang dikatakan Plato terbukti kebena-
rannya. Demokrasi yang telah berjalan juga memunculkan
polemik yang cukup akut karena banyak para calon pemimpin
yang tidak memiliki kapabilitas dalam memimpin ikut serta
berpartisipasi dalam pemilihan. Hal ini selaras dengan per-
kataan Abu A‟la al-Mawdudi dalam buku al-Khilâfah wa al-
Mulûk yang melarang seseorang dipilih karena keinginannya
untuk menjadi pemimpin disebabkan kekhawatiran ia akan
berijtihad dengan minimnya kapabilitas. Di sisi lain, demokrasi
juga memunculkan banyaknya praktik suap-menyuap atau
money politic di ranah publik. Lantas pertanyaan selanjutnya,
apakah nilai-nilai Islam dapat dimasukkan kedalam relung-
relung demokrasi? Karena demokrasi seakan-akan dianggap
sebagai sistem kebebasan berkehendak.
Hubungan antara Demokrasi dan Kebebasan Asasi
Demokrasi sering diidentikkan dengan kebebasan berper-
ilaku. Hal ini tidak mengejutkan karena sumbu pemantik dem-
okrasi itu sendiri berasal dari liberalisasi pemikiran. Demo-
krasi liberal sebagaimana diterapkan pada peradaban barat
berimbas pada pemikiran sekuler, seakan-akan manusia hidup
tanpa mengenal sejarah dan keterkaitan dengan agama-agama
Mengulas Demokrasi
Menurut Sudut Pandang Syar’i Oleh: Fardan Satrio
KAJIAN UTAMA
![Page 10: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/10.jpg)
9 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
pendahulunya, demikian ungkapan Dr.Abdul Razq „Id dalam
buku al-Diymuqarâthiyyah baina al-„Ilmâniyyah wa Islâm.
Umat Islam dalam memandang demokrasi terkhusus
kebebasan asasi senantiasa berkelit kelindan dengan undang-
undang Syar‟i. Artinya, segala tutur kata, tingkah laku, dan
tindak-tanduk umat Islam diatur oleh agama. Bahkan, jiwanya
sendiri bukan miliknya. Umat Islam memadang jiwa adalah
sebuah amanah, kebebasan untuk bertindak diwajibkan untuk
tidak menyelisihi amanah. Maka dalam hal ini benih demo-
krasi dapat hidup berdampingan dengan agama Islam. Demo-
krasi menurut Sarwat Badawi dalam buku al-Qânun al-
Dustûry wa At-Tathawwur al-Andhimah al-Dustûriyyah ha-
rus dapat melayani dan mengakomodasi kebutuhan masyara-
kat. Maka jika suatu saat rakyat tidak menyetujui hukum yang
berlaku, mereka berhak ikut andil dalam perubahan undang-
undang.
Mungkinkah Nilai-nilai Islam Berdiri di atas
Bendera Demokrasi?
Demokrasi sebagai sistem perpolitikan dititikberatkan pada
demokrasi niyâbiyyah (perwakilan). Artinya, sistem yang ter-
bentuk berdasarkan pemilihan rakyat yang menjadi represen-
tasi diri rakyat dalam kursi pemerintahan.
Segolongan umat Islam berpendapat bahwa demokrasi
merupakan sistem yang bertentangan dengan panji-panji Is-
lam. Tidak terdapat pendekatan antara Islam dan demokrasi.
Ulama yang pro dengan pendapat ini adalah Muhammad Baqir
Sadr dan Sayyid Qutub. Menurut Baqir Sadr demokrasi
kapitalistik adalah sistem hukum yang gagal dalam pandangan
Islam karena hanya bertumpu pada materialisme semata. Se-
mentara Sayyid Qutub dalam buku al-„Adâlah al-Ijtimâ‟iyyah
fî al-Islâm juga menilai bahwa demokrasi merupakan sistem
yang dibuat oleh manusia yang memiliki kelebihan dan juga
kekurangan. Kemudian beliau menegaskan bahwasanya
hukum adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan
tidak dapat disangkutpautkan dengan hukum lain.
Di sisi lain, terdapat tokoh yang mendukung sistem demo-
krasi secara mutlak, salah satunya adalah Muhammad Abid al-
Jabiri. Beliau berpendapat dalam buku Diymuqarâthiyyah wa
Huqûq al-Insân bahwa demokrasi hari ini bukanlah suatu te-
ma baru yang akan ditulis oleh pena sejarah, karena demokrasi
itu sendiri sudah ada sejak dahulu dan menjadi permasalahan
darurat bagi manusia pada masa kini. Manusia tidak hidup
secara individu dalam suatu kelompok akan tetapi tergabung
dalam hak-hak yang mana hak-hak tersebut adalah hak-hak
demokrasi untuk memilih pemerintah dan mengawasi
pemerintahan.
Terdapat kelompok yang berusaha mengkompromikan an-
tara Islam dan demokrasi. Dalam satu waktu, terdapat kesa-
maan antara Islam dan demokrasi, namun di waktu yang lain
terdapat perbedaan yang menonjol. Muhammad Dhiyaudin al-
Ris dalam buku An-Nadzariyyât al-Siyâsah al-Islâmiyyah
memaparkan beberapa perbedaan antara Islam dan demo-
krasi, di antaranya; pertama,Sistem demokrasi terbatas pada
batasan geografis Negara saja, akan tetapi agama Islam sis-
temnya melewati batas teriotorial, gender, warna kulit, mau-
pun Negara. Kedua,Sistem demokrasi bertujuan untuk ke-
maslahatan dunia saja dalam aspek materialistik. Sementara
Islam bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat dengan ridhoNya. Ketiga, Kekuasaan pada sistem dem-
okrasi bersifat mutlak, artinya jalannya sistem tergantung para
pemimpinnya. Akan tetapi Islam bergantung pada Syariat yang
telah Allah tentukan.
Abu A‟la al-Mawdudi yang pro dengan pendapat ketiga ini
menuturkan penerimaan sistem demokrasi harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Dalam buku al-Islâm wa al-
Madâniyyah al-Hadîtsah beliau menyatakan bahwa tidak
mungkin orang yang berakal memungkiri demokrasi yang ma-
na tetap berada dalam koridor hukum Allah. Hukum dapat
berubah sesuai kehendak rakyat, kesamaan dalam hak, kesem-
patan, dan kebebasan berserikat tanpa membeda-bedakan
warna kulit, garis keturunan, maupun pangkat. Beliau juga
menambahkan jika demokrasi barat sebagaimana persepsi
Islam terhadap demokrasi maka tidak ada perbedaan, dan
demokrasi niyâbiyyah dapat diterima. WalLâhu A`lam bi al-
Shawâb
KAJIAN UTAMA
![Page 11: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/11.jpg)
10 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
D alam rentang perjalanan Indonesia pasca ke-
merdekaan, Muhammadiyah di bawah tampuk
pimpinan AR Sutan Mansur (1953-1959) pernah
berkecimpung dan menjadi anggota Istimewa
Masyumi. Pada Sidang Tanwir 1956 Muhammadiyah menegas-
kan identitas Muhammadiyah sebagai organisasi Muhammadi-
yah dan barangsiapa yang hendak berperan aktif dalam politik
praktis dipersilahkan untuk masuk Masyumi. Namun, dalam
perjalanannya terdapat ketidakharmonisan persepsi antara
Muhammadiyah dengan Masyumi. Akhirnya resmi pada tahun
1959 atau setahun sebelum Masyumi dibubarkan, Muham-
madiyah mengundurkan diri dari keanggotaannya dalam
Masyumi.
Tidak berhenti di situ, keikutsertaan Muhammadiyah khu-
susnya kader Muhammadiyah dalam ranah politik juga ter-
wujud kembali pada terbentuknya Partai Muslimin Indonesia
(PARMUSI). Berdasarkan surat Keputusan Presiden No. 70
tanggal 20 Februari 1968, diangkatlah Djarnawi Hadikusumo
sebagai ketua Umum dan Drs. Lukman Harun sebagai sekreta-
ris umum, keduanya adalah aktivis Muhammadiyah. Karena
duet ini dianggap tidak sesuai dengan kehendak penguasa,
maka digantilah kedua tokoh Muhammadiyah ini. Namun pas-
ca pergantian tersebut, orang Muhammadiyah pun dipilih
kembali untuk mengemudikan PARMUSI dan dipilihlah tokoh
yang saat itu menjadi Menteri Sosial Orde Baru, HMS
Mintaredja.
Rentang waktu pasca dipilihnya HMS. Mintaredja, Muham-
madiyah tidak bercampur tangan lagi dengan partai politik
apapun. Pada tahun 1998, Ketua Umum Muhammadiyah yang
ke-12, Prof.Dr. Amien Rais pada saat itu mendirikan partai
ketika dirinya masih menjabat sebagai ketua umum. Secara
otomatis banyak orang yang beropini PAN sebagai kendaraan
Muhammadiyah untuk menyalurkan aspirasinya di panggung
politik.
Kendati demikian, mari kita merujuk pada Muktamar 1971
di Makassar. Sangat jelas dibentangkan bahwa Muhammadi-
yah tidak memiliki hubungan organisatoris atau strukturalis
dan tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun. Disebut-
kan pula dalam buku “1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pem-
baruan Sosial Keagamaan” bahwa Muhammadiyah masih
mampu menjaga jarak dengan kekuatan politik formal. Malik
Fadjar menyebutkan zona politik Muhammadiyah masih
mengikuti zona high politics (berpolitik tanpa masuk partai
politik).
Oleh karena itu, PP Muhammadiyah dalam anggaran da-
sarnya pasal 15 ayat (1) dan (2) serta SK PP Muhammadiyah
101/KEP/I.O/B/2007 tentang “Ketentuan Jabatan di Ling-
kungan Persyarikatan yang tidak dapat dirangkap dengan Jab-
atan Lain” salah satunya menetapkan kadernya untuk tidak
rangkap jabatan di parpol pada berbagai tingkatan manapun
kecuali atas izin PP Muhammadiyah.
Sebagaimana ditetapkan dalam SK PP Muhammadiyah
149/KEP/I.O/B/2006, bahwa secara khusus seluruh anggota
dan lini organisasi Persyarikatan termasuk di lingkungan amal
usaha Muhammadiyah harus bebas dari pengaruh, misi, infil-
trasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini men-
gusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah.
Dalam Pagelaran Akbar 9 April 2014 mendatang, Muham-
madiyah telah menentukan kebijakan kepada seluruh wargan-
ya dalam butiran-butiran sebagai berikut:
1. Muhammadiyah memandang Pemilihan Umum (Pemilu)
adalah proses politik yang sangat bermakna, strategis, serta
menentukan eksistensi, arah perjalanan dan masa depan
bangsa dan negara Indonesia.
2. Muhammadiyah mendukung sepenuhnya penyelenggaraan
Pemilu yang bermutu, demokratis, konstitusional, dan
bekeadaban.
3. Muhammadiyah mendorong dan berusaha bersama dengan
segenap komponen bangsa yang lainnya menjadikan Pemi-
lu 2014 sebagai tonggak sejarah untuk; (a) Menghasilkan
anggota legislatif (DPR, DPRD dan DPD) yang kompeten
dan amanah serta pemimpin nasional (presiden dan wakil
presiden) yang berakhlak, berkepribadian kuat, reformis,
visioner, dan melayani serta mampu menggalang solidari-
tas, menyelesaikan masalah dan berani mengambil resiko;
(b) Mengakhiri praktik demokrasi prosedural-transaksional
yang korup dan berorientasi kekuasaan yang partisan, pri-
mordial, dan feodalistik serta dimulainya konsolidasi dem-
okrasi multikultural yang berkeadaban; (c) Menegakkan
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Pembukaan Undang
-Undang Dasar 1945 dan ber-Bhinneka Tunggal Ika dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia disertai cara
mengurus negara yang benar untuk menjadikan Indonesia
maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.
4. Pemilu untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPD, dan
DPRD) harus benar-benar menghasilkan wakil rakyat yang
jujur, terpercaya, bertanggungjawab, dan berkualitas tinggi.
5. Kepada Partai politik peserta Pemilu dan calon legislatif
beserta pendukungnya harus memiliki investasi moral-
kebangsaan dengan mengedepankan kontestasi politik yang
bermartabat, kampanye yang santun dan mencerdaskan,
bersaing secara sehat dan membangun kebersamaan, men-
gutamakan program, dan menaati segala ketentuan yang
berlaku.
6. Kepada seluruh rakyat Indonesia khususnya yang memiliki
hak pilih, hendaknya menggunakan hak politiknya secara
cerdas dan bermartabat, menjunjung tinggi kejujuran dan
kebersamaan, serta terus mengawasi para wakilnya yang
telah dipilih agar benar-benar menjalankan amanat dengan
sebaik-baiknya.
7. Kepada warga Muhammadiyah agar menggunakan hak
pilihnya secara cerdas dengan pikiran dan kalbu yang
jernih, istiqamah dalam menegakkan Khittah dan ke-
bijakan Persyarikatan, memelihara ukhuwah dan
menghindarkan diri dari perpecahan, tidak menggunakan
amal usaha untuk kampanye, serta senantiasa menjunjung
tinggi kepentingan dan martabat organisasi.
Semoga Muhammadiyah tetap senantiasa berkhidmah un-
tuk kepentingan Bangsa dengan tetap menjaga netralitasnya
dan menjaga anggotanya dari infiltrasi parpol manapun.
Muhammadiyah dan
Infiltrasi Parpol Oleh: Elang Perja
DUNIA MUHAMMADIYAH
![Page 12: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/12.jpg)
11 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
M uhammad Natsir lahir di Alahan Panjang
Sumatra Barat 17 Juli 1908 dan wafat di Ja-
karta 6 Februari 1993. Natsir kecil mendapat
pendidikan dari orang tua dan lingkungann-
ya. Pendidikan formal di HIS Padang 1923, MULO 1927, AMS
Bandung 1930 dan ditahun 1932 Natsir berguru dan ber-
sahabat dengan Ulama pergerakan Islam Toen A. Hassan di
Pesantren Islam Bandung. Natsir juga mendapat gelar Doktor
Honoris Causal dari Universitas Islam Indonesia.
Beberapa jabatan beliau baik di dunia pendidikan, perge-
rakan, maupun pemerintahan cukup banyak, diantaranya Ket-
ua Jong Islamieten Bond Bandung 1928-1932, Direktur Pengu-
rusan Pendidikan Islam 1932-1942, Terpilih menjadi Wakil
P.B Persatoean Islam 1937, Anggota Dewan Kaboepaten Ban-
doeng 1940-1942, Kepala Biro Pendidikan Kota Bandoeng 1942
-1945, ,Anggota BP KNIP 1945-1946, Ketua Umum Partai Islam
Indonesia Masyumi, 1949-1958. Mentri Penerangan Kabinet
Sjahrir III 1946-1947 dan Kabinet Hatta 1948-1949.
Arsitektur Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI)
Dalam perjalanan NKRI tidak berdiri begitu saja, sebelum
itu kita mengenal nama Negara Indonesia Serikat dengan kum-
pulan negara-negara boneka buatan Van Mook, Negara Ma-
doera diketuai R.A.A Tjakraningrat 23 januari 1948, diikuti
pembentukan Negara Sumatra Timur diketuai Dr. Tengkoe
Mansjoer 24 Maret 1948, menyusul Negara Pasoendan yang
diketuai R.A.A Wiranatakoesoemah April 1948, diteruskan
pembentukan Negara Jawa Timur diketuai R.T.P Achmad
Koesoemonegoro 3 Desember 1948.
Banyak kemelut yang terjadi sebab propaganda Van Mook
dalam usahanya meruntuhkan Republik Indonesia ketika
masih seumur jagung. Maka perjalanan sampai dengan ber-
hasil mendirikan NKRI yang diproklamirkan Ir. Soekarno pada
Ulang Tahun ke-5 Republik Indonesia 17 Agustus 1950 me-
nyimpan banyak catatan sejarah diantaranya sejarah peran
tokoh Islam Muhammad Natsir dengan Muso Integralnya.
Dalam Api Sejarah 2, Ahmad Mansur Suryanegara menu-
turkan, “Pada pertemuan Dana Al Falah di Masjid Al Azhar
Jakarta. Muhammad Natsir kepada penulis, menjelaskan pros-
es lahirnya NKRI melalui Mosi Integral. Semula mendapat per-
lawanan dari pimpinan Negara Boeneka Van Mook dan Presi-
den RI Yogyakarta, Namun akhirnya menjadi terbuka dan set-
uju bersama membentuk NKRI di bawah Pimpinan Soekarno-
Hatta. Selanjutannya Mohammad Natsir dinilai oleh Presiden
sebagai arsitek gagasan NKRI dandiangkat sebagai Perdana
Mentri Pertama NKRI.” [Api Sejarah 2, hal. 322, Cetakan 1,
Maret 2010, Pustaka Salamadani Pustaka Semesta, Bandung].
Walau tidak sedikit pihak yang memojokkan kaum Islam
dan gerakan Islam sebagai “ancaman” bagi NKRI, namun se-
jarah mencatat Moh. Natsir yang merupakan tokoh besar Islam
menjadi pencetus Muso Integral yang menjadi embirio
berdirinya NKRI.
Keteladanan Natsir
Akbar Muzakki, Wartawan Senior sekaligus saksi hidup
bertemu langsung dengan Mohammad Natsir, menuliskan se-
buah artikel berujdul “Jihad Politik” Mohammad Natsir.
Kutipan dari artikel tersebut kiranya dapat menjadi gambaran
keteladanan tokoh Islam ini.
Mohammad Natsir seakan berasal dari negeri yang jauh.
Sebuah negeri politikus berjuang sungguh-sungguh demi
rakyat yang diwakilinya. Mereka memegang teguh ideologi
partai masing-masing, beradu argument, tapi tetap dengan
tutur kata sopan, dan sesudahnya bercakap hangat dengan
lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat rehat.
Mereka berperang kata, tapi tetap bersatu saat menghadapi
penjajah.
Indonesia diawal kemerdekaan, ketika Mohmmad Natsir
menjadi politikus dari Partai Masyumi, bukanlah negeri khaya-
lan. Ketika beda pendapat, Para politikus tak perlu memamer-
Muhammad Natsir Oleh: Rizki Utama*
TELISIK TOKOH
Bersambung ke halaman 30
![Page 13: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/13.jpg)
12 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
D emokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Pernyataan legendaris
Abraham Lincoln ini boleh dikatakan sebagai
sebuah definisi ringkas tentang demokrasi.
Karena dalam sistem pemerintahan demokrasi, rakyat dituntut
untuk terlibat berpolitik secara langsung maupun tidak
langsung.
Di Indonesia, demokrasi yang dipakai adalah demokrasi
perwakilan. Seluruh rakyat berhak untuk berpartisipasi dalam
politik, namun tidak secara langsung. Rakyat terlibat dengan
memilih perwakilan mereka di kursi pemerintahan.
Namun partisipasi rakyat dalam politik terlihat menurun
dari tahun ke tahun. Sebaliknya, presentase rakyat yang tidak
mengikuti pemilu atau golongan putih (golput) menunjukan
peningkatan yang memprihatinkan.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial (LP3EM) mencatat, jumlah golput pada pemilu
tahun 2009 memecahkan rekor terbanyak dalam rentang
waktu antara 1999 hingga 2009. Pada pemilu tahun 2009,
presentasenya mencapai 30%, tahun 2004 sebanyak 26%,
sedangkan pemilu tahun 1999 sebanyak 20%.
Penurunan signifikan ini tentu menimbulkan pertanyaan,
ada apa sebenarnya dengan pemilu?
Kurangnya sosialisasi dan sulitnya transportasi bukanlah
alasan tepat, karena nyatanya, dari tahun ke tahun, sarana
transportasi terus meningkat, media informasi pun semakin
canggih.
Jika terus meraba, maka kemungkinan lain akan muncul.
Meningkatnya presentase golput di Indonesia boleh jadi timbul
akibat meningkatnya ketidakpercayaan rakyat terhadap calon
wakil mereka.
Hal ini bisa dimaklumi, karena rakyat sebenarnya memang
tidak memilih perwakilan secara bebas, namun mereka hanya
memilih dari daftar pilihan yang sudah ada. Lebih jauh lagi,
kebanyakannya hanyalah orang-orang yang tidak dikenal dan
hanya melakukan aksi beberapa waktu sebelum pemilu
dilaksanakan.
Hal ini bisa dianalogikan dengan seorang muslim yang
mengadakan kunjungan ke negara nonmuslim, dan ingin
mencari makanan. Di sebuah restoran, ia diberikan daftar
menu yang tidak ia pahami tulisannya. Karena ia dituntut
untuk memakan makanan yang halal saja, maka ia harus
memilih menu vegetarian, atau paling tidak, sea food. Dengan
daftar tidak jelas yang ia tidak tahu mana yang halal, mana
yang haram, dari pada bertaruh dengan memilih satu di antara
daftar yang tidak jelas, tentu lebih baik baginya untuk tidak
memilih apa-apa, kemudian keluar dari restoran tersebut dan
mencari restoran yang lebih jelas seperti restoran vegetarian,
bukan?
Hal ini bukan tanpa pertimbangan. Aksi golput sebenarnya
menunjukan bahwa pelakunya adalah orang melek politik.
Melakukan golput sebenarnya adalah reaksi dari aksi tim
sukses partai yang melakukan kampanye tidak sehat, seperti
pertunjukan hiburan erotis, ataupun ritual-ritual pagan para
calon anggota dewan untuk meraih simpati publik.
Aksi anggota dewan yang telah menjabat pun juga menjadi
bahan pertimbangan para pemilih. Dalam kampanye,
semuanya menyuarakan perubahan. Memang, saat menjabat
terdapat banyak perubahan, namun sayangnya perubahan itu
menuju arah penurunan, bukan perbaikan. Banyaknya aspirasi
yang tidak direalisasikan membuat rakyat bersikap apatis,
dengan pola pikir, “Ikut atau tidak, nasib saya akan tetap
seperti ini”.
Parahnya, beberapa calon yang akan dipilih adalah orang-
orang yang tidak berkompeten secara keilmuan, bahkan juga
memiliki riwayat moral yang memprihatinkan. Tak sedikit dari
daftar calon anggota dewan, dulunya adalah artis yang suka
mencari sensasi, atau pekerja seni yang suka mengumbar
pornografi. Modal untuk mewakili rakyat hanyalah “Saya
dikenal masyarakat”. Padahal modal untuk mewakili rakyat
bukanlah itu, melainkan “Saya mengenal masyarakat, dan saya
siap berjuang untuk mereka”.
Memang, bakal calon yang tidak berkompeten tadi tetap
mendapatkan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian)
karena kepolisian hanya mensyaratkan tidak adanya nama
pemohon surat di daftar pelaku kriminal. Dan sudah menjadi
rahasia umum, sebesar apapun kriminal yang dilakukan
seseorang, jika tidak terendus pihak penegak hukum, maka
pelaku tetaplah orang baik. Dan sayangnya, orang baik jadi-
jadian seperti ini banyak berkeliaran.
Mengantisipasi hal ini, KPU (Komisi Pemilihan Umum)
harus mencari solusi untuk meningkatkan kepercayaan rakyat
terhadap calon wakil mereka di kursi pemerintahan. Karena
memang nyatanya, pilihan untuk golput bukanlah salah
pelaku, namun itu adalah salah sistem yang membuat pemilih
gamang untuk menentukan sebuah pilihan.
Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah dengan
menegaskan dan mengetatkan syarat-syarat untuk menjadi
calon pilihan rakyat. Saat ini, persyaratan yang diatur oleh Un-
dang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, BAB VII, Bagian Kesatu
tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provin-
si, dan DPRD Kabupaten/Kota, pasal 51 secara global hanya
mencakup aspek ketuhanan, pendidikan, bebas dari catatan
kriminal serta kesediaan untuk bekerja penuh waktu.
Namun ada satu hal yang luput sehingga masih banyak
calon tidak berkompeten tetap bisa unjuk gigi dalam pesta
demokrasi, yaitu aspek norma, moral dan rekam jejak akhlak
serta prilaku. Dan menimbang hal ini tidak bisa hanya
berpatokan pada SKCK, namun harus dengan investigasi
terhadap keseharian bakal calon dan bagaimana hubungan
sosialnya selama ini. Semua aspek harus diuji agar gedung
DPR tidak diisi oleh orang-orang beruang, namun diisi oleh
orang-orang yang siap untuk berjuang.
Bukan Salah Peng-Golput Oleh: Fakhry Emil Habib*
TRANSFORMASI
Bersambung ke halaman 30
![Page 14: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/14.jpg)
13 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
Sinar: Setelah runtuhnya Khil-
afah Turki Utsmani pada tahun
1924, telah banyak usaha-usaha
untuk kembali mendirikan khilafah
dan mempersatukan umat muslim
di bawah satu pemerintahan. Na-
mun ternyata selama 90 tahun
hingga saat ini, usaha-usaha sema-
cam itu belum juga berhasil.
Bagaimana pandangan bapak da-
lam hal ini?
Dr. Najih Ibrahim: Ini pertanyaan
yang bagus. Pertama-tama, sistem khil-
afah dengan bentuknya yang lama akan
sangat sulit untuk dikembalikan lagi.
Namun sistem pemerintahan modern
untuk umat Islam yang mungkin bisa
dicapai saat ini adalah model persatuan
antara negara-negara muslim seperti Uni
Eropa. Setiap negara memiliki kedau-
latannya dan tentaranya sendiri, namun
ada saling sokong dalam hal pertahanan,
ekonomi, sosial, politik, dan hubungan
multilateral. Mereka memiliki pajak ber-
sama, mata uang bersama, setiap orang
bebas bepergian ke mana saja, tanpa ada
birokrasi yang berbelit. Ini adalah bentuk
yang logis untuk zaman sekarang.
Namun gerakan-gerakan Islam masih
mengiginkan satu model pemerintahan
yang sama untuk umat muslim, yaitu
model pemerintahan yang ada saat masa
Umar bin Khatthab. Sistem kepemimpi-
nan Umar bin Khatthab tidak akan kem-
bali karena masyarakat yang memiliki
kriteria seperti masyarakat saat itu sudah
tidak ada.
Islam itu agama yang mengumpulkan
antara konsep dan realita. Dan Islam itu
agama yang realistis (wâqi`iyy). Islam
bukan agama yang sebatas konsep
belaka. Maka, saat Islam mengharamkan
praktek riba, Islam tidak hanya melarang
praktek riba namun memberikan solusi
yaitu dengan praktek jual beli yang sah.
Saat Islam mengharamkan praktek zina,
Islam memberikan solusi dengan
menghalalkan pernikahan. Maka, jangan-
lah kamu berkata “Pilih sistem khilafah
Umar bin Khatthab atau tidak!”, jika
tidak maka kamu tidak akan mendapat-
kan apa-apa.
Hendaknya kamu melakukannya
secara bertahap. Syariat Islam itu datang
secara bertahap, dan hukum alam pun
berjalan secara bertahap. Apakah kamu
pernah melihat seorang bayi baru lahir
kemudian ia berlari? Tidak kan? Ia hanya
bisa menangis, kemudian berjalan
dengan tangan dan kakinya, belajar
berdiri sambil berpegangan, bisa ber-
jalan, baru kemudian ia bisa berlari. Sep-
erti itu juga dalam hal ini. Haruslah
memulai dari perbaikan individu menjadi
individu yang baik, kemudian keluarga
yang baik, masyarakat yang baik, lalu
kemudian negara yang baik, dan barulah
persatuan negara-negara yang baik yang
saling menyokong satu sama lain.
Namun jika model yang kamu ajukan
adalah dengan menggabungkan angkatan
militer di setiap negara, menggabungkan
negara kaya dengan negara miskin,
menggabungkan pendapatan negara satu
dengan lainnya, hal ini jelas akan diten-
tang oleh setiap pemimpin negara.
Islam mengajarkan untuk memulai
dari hal yang realistis terlebih dahulu.
Jika kamu meninggalkan hal yang realis-
tis, maka kita akan tetap berada dalam
kemustahilan.
Khilafah pun tidak bisa didirikan
dengan kekuatan, khilafah itu datang
dengan pilihan dan keinginan. Kamu
berfikir bahwa jika ingin mendirikan
khilafah kamu tinggal mendeklarasikan
diri, kemudian menguasai negara-negara
di sekitarmu dengan angkatan bersenjata
yang kamu miliki. Pikiran inilah yang
harus kamu rubah terlebih dahulu.
Dr. Najih Ibrahim: “Demokrasi itu Dimulai dari Pribadi dan Masyarakat”
HIWAR
![Page 15: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/15.jpg)
14 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
Pada akhir-akhir masa khilafah Ab-
basiyah, sang khalifah tidak memiliki
kuasa atas daerah-daerah yang
dikuasainya. Saat itu di dalam daerah
Abbasiyah juga terdapat Dinasti Thuluni-
yah, Ikhsyidiyah, ini dan itu.
Maka mengenai khilafah, hendaknya
kita kumpulkan tujuan dari adanya khil-
afah tersebut dengan apa yang mungkin
untuk diterapkan pada masa kini. Salah
satu tujuan khilafah adalah terwujudnya
persatuan sesama umat muslim dalam
satu pemerintahan, dan apa yang realistis
untuk diterapkan saat ini adalah bentuk
Uni Eropa. Sedangkan bentuk khilafah
dengan menguasai daerah-daerah
dengan kekuatan militer maka undang-
undang negara dan PBB pun menentang
hal ini. Mari kita lihat contohnya ketika
Saddam Husein menyerang Kuait, apa
yang terjadi kemudian? Irak dihancurkan
dan sekarang terpecah belah.
Dan bagi gerakan-gerakan Islam, saat
ini janganlah dulu mengangkat jargon
khilâfah Islâmiyyah, namun angkatlah
dulu hal-hal yang mungkin untuk
tercapai yaitu persatuan. Galakkan
dakwah terlebih dahulu, dakwah kepada
pribadi, kemudian keluarga, kemudian
masyarakat, dan kemudian negara.
Hendaknya orang yang berbicara ten-
tang khilafah menjadi contoh terlebih
dahulu di masyarakat. Umar bin Khat-
thab sebelum menjadi khalifah telah
dikenal adil dan baik kepribadiannya.
Jika sifat seperti itu belum tertanam da-
lam diri, maka janganlah dahulu ber-
bicara tentang khilafah!
Sinar: Banyak yang melakukan
“black campaign” terhadap sistem
demokrasi, dengan argumen bahwa
ia berasal dari luar Islam. Sikap
anda?
Dr. Najih Ibrahim: Umar bin Khat-
thab meski dengan kebesarannya, beliau
mencontoh pengaturan lembaga-lembaga
pemerintahan (dîwân) dari peradaban
Persia. Lembaga-lembaga tersebut seper-
ti menteri-menteri, sebuah peraturan
yang belum dikenal oleh bangsa Arab
saat itu, namun telah ada di Persia. Be-
liau mengambil sistem itu dari Persia,
dan tidak berkata “ini adalah produk
orang Persia dan orang Persia itu seper-
ti ini dan itu maka janganlah ambil apa-
pun dari mereka!”.
Sistem pengaturan angkatan bersen-
jata juga tidak pernah dikenal oleh bang-
sa Arab. Saat zaman Rasulullah belum
ada angkatan bersenjata yang teratur
lebih rinci beserta pemimpin pasukann-
ya. Saat itu, ketika Rasulullah menyeru
para sahabat untuk perang, maka se-
luruhnya akan ikut berperang. Dan pada
zaman Umar bin Khatthab diimporlah
sistem pengaturan angkatan bersenjata
ini dari Persia. Beliau meski telah mem-
iliki kemampuannya yang luar biasa, na-
mun beliau juga mengimpor sistem
pengaturan seperti ini dari bangsa
penyembah api, Persia. Beliau tidak me-
rasa risih dengan itu, dan tidak berkata
bahwa mereka adalah kaum penyembah
api dan kita tidak boleh mengambil apa-
pun dari mereka.
Rasulullah juga pernah mengimpor
strategi parit dalam perang Ahzab yang
membuat beliau mendapat kemenangan.
Dari mana strategi itu berasal? dari Per-
sia. Itu adalah produk peradaban bangsa
Persia yang dibawa oleh Salman al-Farisi,
beliau berkata: “Kami orang persia biasa
membuat seperti ini.” Maka ketika
pasukan Mekah melihat parit mereka
terkaget dan berkata, “Demi Allah ini
adalah strategi yang sama sekali tidak
dikenal oleh orang Arab!”. Rasulullah
mengambil strategi perang dari Persia,
menggunakannya dan bahkan mendapat-
kan kemenangan, mendapatkan faedah
darinya.
Apakah kamu hendak mendirikan
negara modern dengan perangkat zaman
dahulu? Tidak akan! Islam memerinta-
hkan kita untuk bermusyawarah, namun
tidak menentukan kita harus melakukan
musyawarah dengan cara apa. Islam
meninggalkan hal itu kepada umatnya
agar, mencari solusi yang tepat untuk
setiap waktu dan tempat. Saat ini kita
memiliki parlemen, majlis permusya-
waratan rakyat, ada majlis perwakilan
rakyat, maka sistem itu dibebaskan ter-
gantung setiap zaman dan tempatnya.
Jika keadilan politik telah diterapkan,
musyawarah diterapkan, kebersihan
pemimpin diterapkan, maka dengan itu
kita telah menerapkan
ajaran Islam di
pemerintahan,
bagaimanapun sis-
temnya.
Islam bukan agama
diktatorial dan menen-
tang kediktatoran.
Demokrasi memiliki
beberapa kedekatan
dengan Islam di
berbagai hal, selama
tidak berseberangan
dengan syariah. Umar
bin Abdul Aziz menolak
untuk diangkat sebagai
khalifah kecuali setelah
masyarakat mem-
baiatnya sebagai kha-
lifah. Pada masa sekarang hal itu dic-
erminkan melalui kotak suara.
Islam memiliki nilai-nilai utama yang
harus ditegakkan, dan bagaimana semes-
tinya penegakkan nilai-nilai ini dil-
akukan? Hal itu akan berbeda di setiap
generasi ke generasi, akan berbeda di
tempat satu dengan tempat lainnya.
Keadilan politik dan keadilan sosial
haruslah ditegakkan. Keadilan politik
adalah keikutsertaan berbagai pihak da-
lam pemerintahan sesuai dengan ke-
mampuannya masing-masing melalui
kotak suara. Keadilan sosial adalah se-
tiap masyarakat dapat mengambil
haknya dalam bernegara, hak untuk
orang fakir dan miskin terpenuhi, ada
jaminan keamanan dan jaminan
kesehatan, adanya perhatian terhadap
mereka, pembagian kesejahteraan dan
sumber daya alam negara yang merata.
Pemerintahan Islam itu bukan ter-
letak pada corak sistemnya, namun pada
nilai-nilai yang diusungnya. Maka, terap-
kanlah nilai-nilai itu dengan cara apa-
pun!
Sinar: Kita melihat sejarah
bangsa Arab sejak dahulu hingga
sebelum revolusi Arab Spring, bah-
wa bangsa Arab selalu dipimpin
oleh kekuatan yang absolut meski
bermacam sistemnya. Maka dengan
adanya revolusi Arab Spring tahun
2011 kemarin, muncul mimpi bah-
wa corak pemerintahan kuasa ab-
solut seperti ini akan berubah men-
jadi sistem demokrasi yang baik.
Bagaimana anda melihat hal ini?
Dr. Najih Ibrahim: Penyakit Mesir
dan bangsa Arab memang terletak pada
pemerintahan yang diktator. Pemerinta-
han diktator memang suatu hal yang san-
gat buruk. Pertama, dalam pemerintahan
diktator selalu ada manipulasi suara da-
HIWAR
![Page 16: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/16.jpg)
15 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
lam Pemilu. Kedua, pemerintah pasti
akan memegang kekuasaan dengan ab-
solut, tidak ada kebebasan dan keadilan
politik bagi masyarakat. Ketiga, Ia akan
selalu mengontrol ketat kelompok-
kelompok Islam. Keempat, pemerintah
akan berkuasa penuh atas kekayaan
negara. Di Mesir, pertumbuhan ekonomi
rata-rata pertahun menembus angka 7%,
ini adalah angka yang cukup tinggi dalam
pertumbuhan ekonomi. Namun hal itu
hanya dirasakan oleh segelintir orang
saja, satu dari seribu orang.
Pejabat terus berkuasa hingga men-
capai umur 80 tahun, hingga sakit-
sakitan, tidak lagi mampu mengatur pun
masih menjabat. Tidak ada pergantian
pejabat. Keluarlah sifat-sifat Fir`aun da-
lam diri para pejabat. Itulah penyakin
bangsa Arab.
Meletuslah revolusi 25 Januari 2011
dengan membawa tiga tuntutan utama,
yaitu kebebasan, kehidupan yang lebih
baik dan keadilan sosial. Semua orang
mengungkapkan mimpi mereka. Namun
sayang, dalam revolusi itu terdapat ban-
yak kesalahan.
Kesalahan pertama adalah munculnya
aksi-aksi pembakaran. Revolusi Arab
bermula pada aksi pembakaran, dan diisi
dengan pembakaran. 70 markas polisi
dibakar, lembaga keilmuan dibakar, kan-
tor-kantor dibakar. Aksi-aksi pemba-
karan itu adalah sebuah kesalahan kare-
na membunuh dan merusak dengan api
adalah hak yang hanya digunakan oleh
Allah dan bukan oleh manusia, itupun
hanya di akhirat.
Kesalahan kedua adalah setiap ke-
lompok berusaha untuk naik ke kursi
pemerintahan. Kelompok Islamis beram-
bisi untuk menguasai pemerintahan, ke-
lompok sosialis juga berambisi untuk
menguasai pemerintahan. Banyak ke-
lompok saling berambisi untuk men-
guasai pemerintahan.
Kesalahan ketiga adalah munculnya
pertikaian antar kepentingan yang ada,
dan pertikaian tersebut kemudian dibawa
turun ke jalan-jalan. Maka muncullah
aksi pengepungan terhadap pusat-pusat
pemerintahan, mulailah mereka menge-
pung Kementrian Dalam Negeri, menge-
pung gedung parlemen, mengepung ge-
dung perdana menteri.
Kemudian banyak terjadi pem-
blokiran jalan, setiap ada masalah di sua-
tu daerah maka mereka memblokir jalan.
Kemudian mulailah masuk senjata dari
luar Mesir ke tangan kelompok-
kelompok di Mesir hingga negara ini di-
penuhi dengan senjata. Mulailah terjadi
krisis keamanan di daerah Sinai, mu-
lailah muncul kelompok al-Qaeda di Si-
nai setelah sebelumnya mereka tidak
memiliki tempat di Mesir. Semua hal itu
telah menghilangkan semangat revolusi.
Seolah revolusi Mesir ini bertujuan untuk
memunculkan hal-hal buruk ke per-
mukaan. Orang-orang baik mulai
meninggalkan estafet revolusi hingga
tongkat revolusi dipegang oleh para
pelaku kejahatan yang memiliki senjata.
Kemudian diadakanlah pemilihan
umum dan terpilihlah Muhammad Mursi
sebagai presiden. Ia adalah orang yang
saleh dan bersih, namun ia tidak siap
untuk memimpin negara ini.
Ia pun memiliki beberapa kesalahan.
Kesalahan pertama adalah ia memimpin
sebuah negara dengan pola pikir dakwah,
kita pun tahu bahwa memimpin gerakan
dakwah dan memimpin negara itu jauh
berbeda. Ia memimpin Mesir dengan
pola pikir jemaah bukan dengan pola
pikir seorang pemimpin negara. Jemaah
itu berisi orang-orang yang homogen,
muslim yang taat. Namun negara berisi
orang yang heterogen, seperti Indonesia,
di dalamnya ada orang Islam, Kristen,
dan lainnya.
Salah satu keputusan yang paling ber-
bahaya adalah keputusannya tentang
perang Suriah. Sebuah keputusan yang
menyebabkan militer Mesir membelot
darinya. Mursi sebagai seorang presiden
yang merupakan pimpinan militer
tertinggi menyatakan jihad dan memutus
hubungan dengan Suriah. Ia berbicara
seperti seorang khatib memutus hub-
ungan dengan Suriah dan menyatakan
jihad. Hal itu berarti tentara Mesir harus
berangkat dan pergi ke Suriah untuk ber-
perang. Saat itu orang-orang berkata,
“Perintah ini tidak akan berjalan”.
Bagaimana bisa ia berkata kita harus
berjihad di Suriah? Di Suriah itu terdapat
banyak kepentingan dan pasukan. Di
dalamnya ada Iran, Cina, Inggris, Ameri-
ka, Israel, Hizbullah. Tentara Mesir akan
berantakan jika ikut berperang di sana
seperti tentara Yaman.
Dan saat ini kita berada dalam fase
ketiga dari dampak revolusi 2011. Yaitu
terjadinya pertentangan hebat antara
kaum Islamis dengan negara. Saat ini
muncul al-Qaeda, muncul kelompok tak-
firi, terjadi banyak sekali aksi kekerasan
di mana-mana. Dan kita akan terus men-
galami keadaan kacau seperti ini hingga
batas yang telah Allah tentukan.
Sinar: Sebagian orang menga-
takan bahwa tergulingnya Presiden
Mursi menjadi sebuah tanda bahwa
bangsa Arab umumnya, atau bang-
sa Mesir khususnya memang belum
siap untuk berdemokrasi. Bagaima-
na anda memandang hal ini?
Dr. Najih Ibrahim: Pertanyaan yang
bagus. Demokrasi, jika kamu hendak
menerapkannya di Mesir, maka hen-
daklah terlebih dahulu memunculkan
kesadaran berdemokrasi dari rakyat.
Di Mesir ini terdapat sekitar 40%
penduduk yang buta huruf, tidak bisa
membaca dan menulis. Dan juga sangat
banyak orang yang miskin. Orang buta
huruf mungkin akan ditertawakan ketika
pemilihan. Dan orang miskin mungkin
akan disuap ketika pemilihan. Penerapan
demokrasi setidaknya membutuhkan
beberapa hal yang mesti diutamakan.
Yaitu tingkat ekonomi masyarakat lebih
meningkat, agar orang tidak lagi mudah
dibeli suaranya, dan tingkat pendidikan
yang lebih meningkat dan pemahaman
terhadap pers, agar orang bisa memilih
antara pemimpin yang baik dan yang
tidak baik.
Memang terdapat jarak antara ken-
yataan masyarakat kita sekarang dengan
demokrasi, namun kita harus tetap
memulai, karena dari setiap permulaan
pasti ada akhirnya. Setidaknya, saat ini
keadaan telah sedikit berubah, telah ada
kebebasan pers dan setidaknya dalam
undang-undang kekuasaan presiden te-
lah dibatasi selama delapan tahun saja (2
periode pemilu). Ini merupakan sebuah
kemajuan. Dalam undang-undang sebe-
lumnya tertulis bahwa presiden bisa
berkuasa dalam dua periode atau lebih,
kata “atau lebih” inilah yang berbahaya.
Namun dengan adanya undang-
undang baru sekarang, setidaknya
keadaan akan lebih baik. Kebiasaan di
Mesir itu adalah pemimpin tidak akan
berganti hingga ia mati atau digulingkan.
Kita ingin melihat di Mesir seperti di
Amerika, yaitu saat lima orang mantan
presiden bisa hidup akur berdampingan,
bukan satu presiden di pemerintahan dan
mantan presiden berada di kuburan, atau
satu presiden di pemerintahan dan man-
tan presiden berada di dalam penjara.
Kita tidak ingin seperti itu.
Dan memang antara bangsa Arab atau
Mesir dengan demokrasi, terdapat
kesalahan dalam memahami demokrasi.
Sebagian masyarakat memahami, bahwa
Hurriyyah adalah kebebasan tanpa ba-
tas. Setelah revolusi 25 Januari, ada seke-
lompok orang yang mempraktekkan
kebebasan dengan memiliki senjata dan
melakukan balas dendam. Ada juga seke-
lompok orang yang memblokir jalan dan
memutus aliran listrik. Ada juga yang
mengendarai mobil di jalur yang berla-
wanan.
HIWAR
![Page 17: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/17.jpg)
16 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
Ada jarak memang antara kita dengan
pemahaman bahwa kata Hurriyyah ada-
lah kebebasan yang bertanggungjawab.
Maka memang antara kita dan demokrasi
ada jarak yang jauh, namun mari kita
mencobanya.
Sinar: Kebebasan dalam demo-
krasi menjadikan siapapun bisa
mencalonkan dirinya menjadi pem-
impin, bahkan orang yang tidak
memiliki kemampuan dalam mem-
impin pun mencalonkan dirinya.
Bagaimana anda melihat hal ini?
Setelah Revolusi 25 Januari 2011,
banyak orang yang memahami bahwa
demokrasi dan kebebasan adalah bebas
tanpa batas, hingga saat itu sebanyak 123
orang mencalonkan diri menjadi presi-
den. Dan dari jumlah itu, hanya tiga
hingga empat yang cocok untuk menjadi
presiden. Dari jumlah sebanyak itu di
antara mereka ada yang hanya lulusan
diploma, ada yang seorang penyanyi. Ia
memahami bahwa dengan demokrasi,
maka siapa saja bisa untuk menjadi pem-
impin. Tidak! Sama sekali tidak.
Ada juga kelompok orang yang me-
mahami bahwa kebebasan ditafsirkan
dengan mengambil senjata kemudian
membalas dendam. Sejak revolusi 2011,
telah terbunuh sekitar seribu orang kare-
na dendam. Maka, apakah dengan adan-
ya kebebasan lalu kemudian kamu bisa
memiliki senjata dan membunuh orang
di luar batasan peraturan? Apakah
kebebasan itu berarti kita bebas membeli
senjata? Atau kita berbuat di luar batas
peraturan?
Di dalam masyarakat kita ini ada
masyarakat yang sangat miskin. Dan da-
lam pendapat saya, orang yang sangat
miskin itu tidak memiliki suara, karena
suara mereka bisa saja dibeli dengan
uang dan mereka sama sekali tidak ber-
pikir tentang politik. Maka, demokrasi
akan berjalan dengan masyarakat yang
memiliki tingkat ekonomi yang baik, sta-
bilitas negara dan tingkat pendidikan
yang baik. Sedangkan kita masih mem-
iliki sekitar 40% orang buta huruf dan
sekitar 30% berada di bawah garis kem-
iskinan.
Maka demokrasi memiliki tiga faktor
penunjang, yaitu tingkat kesadaran dan
pendidikan yang baik, tingkat ekonomi
yang baik dan stabilitas negara. Setelah
itu terpenuhi, baru kita bisa sepenuhnya
berbicara tentang demokrasi.
Dilihat dari segi ekonomi, orang
miskin sangat mudah untuk dibeli
suaranya. Orang yang sulit untuk men-
cari kebutuhan sehari-hari tidak akan
menyibukkan dirinya untuk memikirkan
demokrasi, karena ia hanya memikirkan
bagaimana keluarganya bisa makan
dengna baik.
Dan dari segi stabilitas negara, tidak
mungkin demokrasi berjalan dalam
keadaan negara yang berantakan seperti
Irak saat ini, banyak kekerasan, aksi bom
bunuh diri, seperti negeri kita saat ini.
Maka, harus ada stabilitas negara untuk
menjalankan demokrasi.
Sinar: Negara-negara Arab sama
-sama memiliki impian yang sama
saat revolusi Arab Spring 2011 lalu,
menegakkan pemerintahan yang
demokratis. Dalam pandangan an-
da, setelah tiga tahun revolusi ini
berjalan, sejauh mana penerapan
demokrasi di negara-negara arab
saat ini?
Dr. Najih Ibrahim: Mari kita lihat
setiap negara yang terjadi revolusi, di
Suriah misalkan. Kemudian revolusi itu
berubah haluan dari asalnya berupa
demonstrasi damai menjadi angkat sen-
jata. Kemudian konflik tersebut dimasuki
oleh kelompok-kelompok seperti al-
Qaeda, dan beberapa negara pun
kemudian ikut campur dalam konflik ini.
Akhirnya Suriah menjadi medan per-
tempuran kepentingan negara lain.
Amerika ingin memerangi Iran dan
melakukannya di Suriah, maka pecahlah
pertempuran kepentingan antara blok
Irak, Suriah, Hizbullah, dan Rusia mela-
wan blok Amerika, Israel, Qatar dan be-
berapa negara teluk beserta Turki. Dan
pada akhirnya siapa yang mengalami
kerugian? Tidak lain adalah rakyat Suri-
ah sendiri.
Hingga saat ini telah terbunuh sekitar
130 ribu orang. 130 Ribu orang! Dan
korban luka-luka yang mencapai angka
setengah juta, dan seperempat juta
lainnya ditawan, dan Suriah benar-benar
hancur berantakan. Setelah mereka
mengambil senjata kimia, lalu kemudian
Amerika mengundurkan diri dan hilang
begitu saja.
Akhirnya semuanya merugi.
Pemerintah merugi, rakyat Suriah meru-
gi, revolusi telah gagal, dan Suriah telah
hancur. Suriah butuh waktu dua puluh
tahun untuk kembali seperti semula. Ada
lebih dari empat juta orang yang
mengungsi, sebagian ada di Jordania,
sebagian di Mesir, sebagian di Turki, se-
bagian di Libanon, mereka mengemis
kepada orang-orang. Mereka mengemis,
padahal sebelumnya mereka adalah
bangsa yang kuat.
Maka revolusi Suriah telah gagal se-
luruhnya. Hilanglah Suriah, hilanglah
angkatan bersenjata Suriah, dan hilang-
lah segalanya. Sekarang Suriah hanya
seperti bangunan yang hancur.
Mari kita melihat ke Libya.
Muammad Kadafi adalah seorang dikta-
tor yang gila, yang sebelumnya men-
gudeta raja yang saleh, dan kudeta itu
berhasil. Ia memimpin Libya dengan
paksaan dan kekerasan selama 40 tahun,
dan kemudian ingin mewariskan
pemerintahan itu kepada anaknya. Dia
menghabiskan kekayaan negara secara
sembrono, membeli senjata secara sem-
brono, namun meski begitu ia masih
tetap bisa memimpin.
Dan saat terjadi revolusi, ia dengan
menggunakan kekuatan militer mela-
wannya. Maka masuklah kekuatan NATO
untuk menguasai minyak Libya. Hingga
akhirnya saat ini Amerika yang men-
guasai minyak Libya. Militer dan polisi
Libya kini telah hancur seluruhnya.
Sekarang Libya tidak lagi merupakan
sebuah negara. Mereka telah berpindah
dari pemerintahan diktator kepada dae-
rah yang tidak memiliki pemerintahan,
dan ini yang lebih parah. Sekarang Libya
telah terpecah menjadi tiga kelompok.
Seperti Iraq yang terbagi menjadi bebera-
pa kelompok yang saling bersengketa.
Tidak ada militer dan selalu dalam per-
musuhan.
Libya tidak lagi punya kekuatan mili-
ter, tidak ada polisi, di mana sekarang
aparat keamanan Libya? Bagaimana
sekarang bentuk negaranya? Perdana
menterinya disandera selama beberapa
jam, kemudian diusir. Seperti ini tidak
lagi bisa disebut sebagai sebuah negara.
Maka, ada sebagian orang yang ingin
menghancurkan militer Mesir, namun
Alhamdulillah militer Mesir masih ber-
tahan. Hal yang terpenting dalam sebuah
negara adalah kekuatan militer, jika tidak
ada militer dalam satu negara maka ia
akan hancur. Maka dari itu, Saudi men-
dukung militer Mesir karena mereka tahu
bahwa jika militer Mesir hancur maka
hancurlah negara-negara Arab. Maka
tentara Mesir adalah pokoknya bangsa
Arab seluruhnya. Merekalah yang ber-
hasil mengusir tentara salib bersama
Shalahuddin al-Ayubi, yang berhasil me-
menangkan perang di `Ain Jalut bersama
Panglima Qutuz, mereka juga yang ber-
hasil memenangkan peperangan dengan
dinasti Wahhabiyah di Hijaz pada awal
abad 19.
Intinya apa? Apakah kamu mengada-
kan revolusi adalah untuk berpindah dari
suatu keadaan yang banyak kezaliman di
dalamnya kepada keadaan yang jauh
lebih parah dari itu? Apakah kamu ingin
seperti itu?
HIWAR
![Page 18: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/18.jpg)
17 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
Dalam Islam ada yang disebut dengan
maslahat dan mafsadat. Maka apa yang
kamu lakukan harus menghasilkan
maslahat yang lebih besar dan mencegah
timbulnya mafsadat.
Yang kita rubah adalah pemerintahan
dan bukan kedaulatan negara. Negara ini
akan terus ada dan berjalan meski pem-
impinnya silih berganti. Negara ini bukan
milik Mubarak, Anwar Sadat, bukan
milik Jamal Abdul Naser, dan bukan
milik Mursi ataupun Sisi. Negara ini
bukan hanya milik orang Mesir saja, na-
mun juga milik umat seluruhnya.
Sinar: Penerapan demokrasi di
berbagai negara pasti akan men-
galami perubahan sesuai dengan
konteks kebutuhan masyarakat
setempat, oleh karena itu terdapat
perbedaan penerapan demokrasi di
Eropa, Arab dan juga Asia Tengga-
ra. Sejauh pengetahuan anda,
bagaimana penerapan demokrasi
di Indonesia?
Dr. Najih Ibrahim: Demi Allah, saya
dibuat kagum oleh watak orang Indone-
sia setelah saya datang ke sana beberapa
waktu lalu. Rahasia keberhasilan Indone-
sia tidak terletak pada pemerintah na-
mun terletak pada pribadi masyara-
katnya. Saya pernah melihat ada ratusan
sepeda motor berhenti di lampu merah,
tidak ada satupun motor yang menembus
lampu merah itu sampai lampu hijau
menyala. Beda dengan di sini, justru tid-
ak ada yang berhenti di lampu merah.
Maka, demokrasi tidak tumbuh dari
kekosongan. Demokrasi tumbuh dari
individu-individu yang menghormati
peraturan, menghormati aparatur nega-
ra, dan memiliki disiplin yang baik. Jika
ada individu-individu semacam ini, maka
akan tumbuhlah demokrasi. Coba tulis
saja apapun di dalam undang-undang,
jika kamu tidak memiliki individu yang
mematuhinya maka ia tidak akan ber-
jalan.
Perlu diperhatikan bahwa demokrasi
itu tumbuh dari bawah dan bukan dari
atas. Harus ada individu-individu yang
menghormati peraturan, berdisiplin,
membela negara, ada stabilitas kea-
manan negara.
Saya melihat tabiat masyarakat Indo-
nesia itu tenang, damai, tidak banyak
pembunuhan dan keributan seperti di
negara-negara Arab, tidak ada pertikaian
dalam skala yang besar dalam perebutan
kekuasaan seperti di Arab.
Maka, tabiat penduduk Asia Tenggara
yang tenang, damai, tidak banyak ribut
inilah yang menjadikan negara-negara
Asia Tenggara memiliki kesempatan
keberhasilan yang lebih dalam penerapan
demokrasi. Itulah faktor pertama.
Kemudian faktor kedua adalah adan-
ya disiplin dan budaya patuh kepada per-
aturan. Dan faktor lainnya adalah bahwa
negara-negara Asia Tenggara saling
melengkapi dan memberikan contoh
yang baik kepada yang lain dalam banyak
hal.
Perhatikan, Mesir itu lebih dahulu
ada sebelum Indonesia, Mesir telah
merdeka sebelum Indonesia merasakan
kemerdekaan. Bahkan Mesir adalah
negara pertama yang mengakui kedau-
latan Negara Indonesia. Dan Mesir juga
lebih dahulu dari pada Jepang, tapi
sekarang lihatlah! Jepang berada di ma-
na dan Mesir ada di mana. Kok bisa? Pa-
dahal dahulu Jepang benar-benar hancur
setelah perang dunia kedua. Tapi ia
mampu untuk bangkit dan kemudian
hidup dan berkembang.
Maka, konklusinya, kenapa penera-
pan demokrasi di Jepang dan beberapa
negara lain bisa berhasil? Adalah karena
mereka memulainya dari pribadi individu
masyarakatnya sendiri, dan bukan dimu-
lai dari pemerintahnya.
Sedangkan individu orang Mesir khu-
susnya, atau orang Arab pada umumnya,
di dalam diri mereka ada sifat fir`aun.
Maka, ketika meletus revolusi 25 Januari
2011, bangunlah
fir`aun-fir`aun di
setiap diri mereka,
hingga akhirnya
hiduplah 80 juta
fir`aun. Sebelumnya
kita hanya tahu bah-
wa ada satu fir`aun
di negeri ini, namun
setelah revolusi 25
Januari, kita baru
tahu bahwa di Mesir
ini ada 80 juta
fir`aun. Ada yang
memblokir jalan,
memutus jaringan
listrik, ada yang
membunuh, ada
yang berjalan di
jalur yang berseber-
angan, ada yang
menipu. Satu
fir`aun ternyata
lebih mudah ketim-
bang banyak
fir`aun.
Maka, demokrasi
itu mulai tumbuh
dari individu
masyarakatnya.
Demokrasi di Je-
pang dimulai dari individu, demokrasi di
Indonesia dimulai dari individu, begitu
juga dengan Korea Selatan.
Sedangkan di sini, revolusi Arab
Spring 2011 telah terlepas dari jalurnya.
Dan tujuan dari revolusi pun sama sekali
tidak tercapai. Tidak ada kebebasan,
bahkan justru kita dalam keadaan yang
lebih buruk. Tidak ada kehidupan yang
lebih baik, dan tidak ada keadilan sosial.
Rakyat Mesir sekarang menjadi lebih
miskin. Kenapa? Karena banyak pintu
pendapatan negara yang tertutup. Tidak
ada wisatawan, tidak ada investasi, dan
pabrik-pabrik ditutup.
Maka, tujuan dan cita-cita dari Revo-
lusi Arab Spring tidak tercapai, kenapa?
Karena pribadi masyarakatnya belum
berubah. Pemerintahan telah jatuh,
Husni Mubarak telah jatuh, sedangkan
pribadi masyarakatnya juga belum beru-
bah maka tidak akan ada perubahan. Be-
gitulah, gagalnya revolusi adalah karena
manusianya belum berubah. Bahkan bisa
lebih parah, terlebih setelah masuk ke
dalamnya kepentingan-kepentingan poli-
tik dari kelompok-kelompok tersebut.
Tim Hiwar:
Fahmi Hasan, Khoirul Faizin, Fardan
Satrio
Dr. Najih Ibrahim Abdullah, Mantan Ketua Majelis Syuro
Jam`iyyah Islamiyah Mesir.
Lahir : Dimyath, 10 November 1955
Alamat : St.21 Riyadh Basya,Bourj Fajr, Flat no.2, lantai 16,
apartemen no.3. Iskandariyah.
Pendidikan:
Bachelor bedah dari Universitas Asyuth
Lisence Adab Dirasat Islamiyah dari Universitas Minya
Lisence Ilmu Hukum dari Universitas Kairo.
Profesi:
Dai
Dokter organ pencernaan dan bedah
Pemimpin Redaksi Website Jamaah Islamiyah
Karya Tulis:
Taslîthu'l Awdlâ' `alâ mâ Waqa`a fî'l Jihâd
Khâritah at-Tharîq li al-Harakah al-Islâmiyyah al-
Mu‟âshir
Dzikrayât ma`a'l Habîb
Hatmiyatu'l Muwâjahah wa Fiqh al-Natâ'ij
Da`wah li al-Tashâluh ma`a'l Mujtama`
Dan buku-buku lainnya
beliau saat ini aktif sebagai penulis tetap di beberapa media
nasional di Mesir
HIWAR
![Page 19: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/19.jpg)
18 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
M araknya seniman panggung hiburan yang
terjun dikancah perpolitikan dunia menjadi
warna tersendiri dalam dinamika politik.
Masyhur ditelinga kita pada tahun 80-an
sosok Ronald Reagan, presiden ke-40 negara adikuasa
Amerika Serikat yang notabene sebelum menjadi presiden
memiliki karier panjang dalam dunia hiburan di Amerika
Serikat. Tak terkecuali di tanah air, Indonesia, fenomena
tersebut semakin hari semakian deras arusnya. Bahkan boleh
dibilang, presentase munculnya seniman hiburan menjadi
politikus dadakan meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari
pemilihan tingkat walikota hingga presiden kini kian sering
terdengar berita pencalonan artis tersebut. Pamor yang sudah
mentereng dan menjadi publik figure di dunia hiburan
nampaknya menjadi senjata ampuh untuk melaju ke
gelanggang politik demi merebut kursi panas kekuasaan.
Entah para politisi dadakan yang lahir dari dunia hiburan
ini mempunyai kapasitas keilmuan dibidangnya atau tidak,
yang pasti dalam setiap kampanye mereka selalu berdalih akan
mengentaskan berbagai permasalahan pelik di negeri ini.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, memang sah-sah
saja siapa pun boleh maju mengikuti pesta demokrasi.
Masalahnya ketika pencalonan tidak dibarengi dengan
kemampuan dan kecakapan politik, alih-alih hendak
menyelesaikan masalah publik, justru berpotensi akan
menambah masalah yang lain. Meski harus diakui, sebagian
dari mereka ada yang cakap dan mempunyai jiwa negarawan.
Yang penulis harapkan, dan mungkin juga harapan semua
masyarakat, agar jangan sampai kebiasaan akting dalam dunia
hiburan turut dibawa menjadi akting dipanggung politik.
Penulis sempat menyaksikan langsung para politisi
dadakan ini ketika diundang dalam sebuah program acara di
salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Pertanyaan-
pertanyaan sarat politik yang diajukan oleh pembawa acara
hanya mampu dijawab sekenanya oleh politisi dadakan
tersebut tanpa pertimbangan politik, miskin analisa dan
pemahaman terhadap permasalahan bangsa yang kurang.
Mungkin dapat dimaklumi mengingat latar belakang sebagian
dari mereka adalah aktor film, artis sinetron, dan dari
kalangan penyanyi sehingga gerak politiknya dianggap sebagai
corong penyambung “nyanyian politik” atasannya.
Sebagai sampel, dinegara kita, terdapat seorang raja
dangdut yang malang melintang di dunia musik khas tanah air
(baca: dangdut) diketahui mempunyai massa yang tidak
sedikit, lebih-lebih ia juga merupakan dai kondang yang
dijadikan panutan banyak orang. Berangkat dari hal demikian,
ia mengusungkan diri sebagai calon presiden Republik
Indonesia dalam pesta demokrasi beberapa waktu mendatang
dengan wadah salah satu partai politik besar. Namun
sayangnya, kehadirannya banyak dianggap hanyalah sebagai
alat pengeruk suara dengan memanfaatkan ketenarannya.
Asumsi itu menguat sebab setiap jawaban dari pertanyaan
politis-kebangsaan yang diberikan selalu kurang memuaskan,
berkutat pada penyelesian akan dilakukan oleh staff yang
berkompeten dibidangnya. Apakah ia hanya sebagai simbol?
Maju sebagai wakil rakyat sudah barang tentu mengemban
amanah sebagai penyambung aspirasi masyarakat. Namun
ketika tidak disertai dengan kemampuan yang matang jusru
akan menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Sebagai
contoh kongkret kasus korupsi proyek hambalang yang sempat
menjadi headline berita ditanah air, yang melibatkan seorang
artis. Proyek bernilai miliyaran rupiah itu kini tidak jelas
kemana arahnya. Jika sudah demikian, kembali masyarakat
yang dirugikan. Amanah menjadi terbengkalai dan janji-janji
manis sebelumnya hanya jadi pemanis bibir saja.
Islam dalam Memandang Jabatan
Ketika langit hendak diberikan amanah, ia lantas menolak.
Ketika bumi hendak diberikan-Nya amanah lantas ia menolak.
Namun ketika manusia diberikan oleh-Nya amanah, tanpa
ragu ia menerimanya. Dapat disimpulkan bahwa memang
manusia terkadang sangat ambisius demi memperoleh
kekuasaan bahkan tidak ragu untuk meminta jabatan. Amanah
sebagai wakil rakyat bukanlah hal yang ringan, ia mempunyai
beban tanggung jawab dihadapan manusia yang dipimpinnya
dan juga dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian,
ia harus mempunyai kemampuan yang benar-benar mumpuni
sebagai seorang negarawan, bukan hanya sebatas
memanfaatkan dan menjual ketenaran saja. Sebab mengemban
amanah rakyat sama halnya mengampu nasib jutaan manusia.
Ada baiknya politisi dadakan ini mengambil pelajaran dari
para khalifah Islam generasi salaf. Ketika Umar bin Abdul Aziz
ditunjuk oleh khalifah sebelumnya sebagai pemimpin.
Bukannya beliau bergembira ria merayakan kemenangan,
namun justru menangis sesenggukan. Mengapa demikian?
sudah tentu karena merasakan betapa berat amanah yang ada
dipundaknya. Padahal ia dikenal sebagai seorang yang
amanah, jujur, dan takut kepada Allah Swt. Beliau pun juga
telah kenyang akan pengalaman politik, sebab sebelumnya
beliau merupakan gubernur Madinah. Kapasitas
kepemimpinan yang sudah sedemikian tinggi tersebut tidak
juga menjadikannya ambisius menjadi khalifah.
Berkenaan dengan perihal meminta jabatan ini, jauh hari
Nabi Muhammad Saw. telah memberikan peringatan kepada
umatnya. Dalam kitab Shahih Bukhari dengan judul “siapa
yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam
menjalankan tugasnya”, beliau meriwayatkan, Rasulullah
Saw. pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin
Samurah. Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah
engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi
tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah
Swt). Namun jika diserahkan kepadamu karena
permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu. Dalam
artian tidak mendapat pertolongan dari Allah Swt. Kontras
sekali dengan apa yang terjadi saat ini, jabatan bukannya
dihindari justru malah diburu siang dan malam. Tak jarang
juga, telah menjadi rahasia umum, hingga datang ke dudun-
dukun demi sebuah petunjuk gaib, absurd.
*Penulis adalah Pemimpin Umum Majalah Sinar Periode 2014-2015
Absurditas Politisi Dadakan Oleh: Khoirul Faizin*
PERSPEKTIF
![Page 20: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/20.jpg)
19 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
الحمد هلل رب العالمين والصالة والسالم على أشرف األنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين . وبعد ،،،في كتابه مما يتتعلق بعلم السياسة الشرعية؟ ربما فقد وصل إلى منذ شهور كثيرة هذا الكتاب الذي بين أيدينا أال وهو الكتاب الذي قد بّين لنا الكاتب
لقوانين ن اكان هذا البحث يشغل بال أحٍد ما هو علم السياسة الشرعية؟ لقد ذكر الكاتب أنه علم يبحث فيه عما ُتدبَّر به شئون الدولة اإلسالمية ميث ن حوالنظم التي تتفق وأصول اإلسالم, و إن لم يقم على كل تدبير دليل خاص. وأما موضوعه فهو النظم والقوانين التي تتطلبها شؤون الدولة منة عن كفاية بامطابقتها ألصول الدين, وتحقيقها مصالح الناس وحاجاتهم. وغاية هذا العلم الوصول إلى تدبير شؤون الدولة اإلسالمية بنظم من دينها واإل
اإلسالم بالسياسة العادلة وتقبله رعاية مصالحة الناس في مختلف العصور والبلدان. ومن هنا يتجلى ما هو علم السياسة الشرعية.و قد خرج هذا .وهذا الشرح الذي بين يديك أيها القارئ، حوى فوائد عديدة، ونكت جميلة، وتنبيهات مهمة، وزيادات في البيان والتوضيح
الكتاب محققا و مستوفيا البحث في ثالثة من أقسام شؤون الدولة :. وهذا الباب يحتوى على ما هو شكل الحكومة اإلسالمية ودعائمها، وحقوق األفراد، السلطات في اإلسالم ومصادرها الشؤون الدستورية : أحدها
ويتوالها؟والقواعد التي بنيت عليها السياسة ،عالقة الدولة اإلسالمية بالدول غير اإلسالمية وهذا الباب يحتوى على ما هوالشؤون الخارجية. : الثاني
الخارجية للدول اإلسالمية أحكام اإلسالم الحرية ) موازنة بين الشرعية اإلسالمية و القانون الدولي (, وأحاكام اإلسالم السلمية؟ ،وشرائط الضريبة العادلة ،وأسس المواريد اإلسالمية ،أبواب اإليراد المالي للدولة اإلسالمية . وهذا الباب يحتوى على ما هوالشؤون المالية : الثالث
نبذة من تاريخ بيت مال المسلمين؟ ،وجباية اإليراد وصرفه في مصرفه ،وأقسام المصارف المواريد المالية اإلسالمية ،والمواريد المالية اإلسالميةبادئين ،سياسة عادلة و سياسة ظالمة. وأن على المسلمين أن يسعوا جاحدين إلقامة السياسة العادلة :كما أكد على أن هناك نوعين من السياسة
ومن ثم إصالح سياستهم. ،ثم بإصالح مجتمعاتهم ،بإصالح أنفسهم أوالو المزايا من هذا الكتاب ال شك أن حجمه الصغير على حق يسهل علينا أن نحمله في أي مكان. و كذلك صفحته البسيطة ال تستغرق القراءة
وقتا طويال. لقراءة هذا الكتاب حتى يستفيد منه. السياسة ال سيما السياسة الشرعيةوأخيرا فنحن نقترح على من هو له رغبة أو تخصص في أمر
وأن ينفعه وينفع المسلمين بعلمه، وأن يرزقنا جميعا االستقامة على السنة، ثم أسأله تعالى لعالمة الشيخ عبد الوهاب خالفأسأل اهلل تعالى أن يبارك ا على علومه النافعة ، وأن يوفقنا جميعا إلى العلم و العمل و الثبات على الحق والسنة . عبد الوهاب خالفأن يجزل المثوبة لشيخنا
. وصلى اهلل على نبينا وعلى آله وصحبه وسلم
ملخص :عمير فهم الدين
ETALASE
: السياسة الشرعية أو نظام الدولة اإلسالمية اسم الكتاب : العالمة الشيخ عبد الوهاب خالف المألف : أ. د. محمد عمارة المحقق
: دار السالم االمطبوع بـ 811: الصفحة
السياسة الشرعية أو نظام الدولة اإلسالمية
![Page 21: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/21.jpg)
20 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
E ra kebangkitan adalah celah
sejarah yang akan dialami
setiap masyarakat sebagai
bias dari benturan nilai-nilai
progresifitas yang menyulut jiwa dan nalar
dengan alam realitas yang jauh terbelakang.
Sedangkan gerakan kebangkitan adalah
cara suatu masyarakat untuk memenuhi
syarat yang ditawarkan alam, ketika ingin
mengambil peran yang berarti dalam mera-
maikan sejarah peradaban. Sebagaimana ia
merupakan mega proyek yang dirancang
oleh nalar para pembaharu untuk keluar
dari masa kelam kemudian melaju me-
nyongsong masa depan yang gemilang.
Kita sebagai masyarakat Islam tengah
landas melintasi era kebangkitan sejak
gendang kebangkitan itu ditabuh oleh
Jamaluddin al Afghani dan
Muhammad Abduh di pertengahan abad
ke-19. Pada awal mula kelahirannya
gerakan kebangkitan Islam dimotori oleh
para pembaharu dan ditujukan kepada para
tokoh intelektual, pada masa ini gerakan
kebangkitan bertujuan untuk memerangi
segala mitos dan kejumudan yang
membelenggu nalar umat Islam sebagai
warisan dari keterbelakangan Turki
Utsmani. Pada perempat ke-2 abad ke-20,
Pasca tumbangnya Khilafah Utsmani di
Istanbul, Hasan Al Banna berhasil
mengalihkan narasi gerakan kebangkitan
dari para tokoh ke masyarakat biasa,
sehingga gerakan kebangkitan menjelma
menjadi sebuah organisasi yang tersusun
rapi dengan basis masyarakat yang sangat
kuat. Pada masa ini gerakan kebangkitan
selain memerangi kejumudan, juga
melawan gerakan imperialisme dan
gerakan westernisasi yang dibawa oleh
sarjana muslim jebolan Barat.
Pada tahun 70-an dunia intelektual
Arab diramaikan oleh buku-buku yang
membahas tentang pembacaan ulang
terhadap gerakan dan pemikiran
kebangkitan yang tengah berlangsung
selama satu abad lebih. Sebagai langkah
evaluasi terhadap capaian dan kegagalan
yang diperoleh dan dialami gerakan
kebangkitan dalam kontek ruang dan
waktu. Sebut saja buku: Al- Khithab
Al'Arabi Al Mu'ashir karya Dr. Fadhi
Ismail, An- Nahdhah Al- Arabiyyah wa
Mu'adholatu Al Wa'yu wa At Tarikh karya
Dr. Ahmidah An Naifar, Nahwa Shiyaghah
Jadidah Li Asilatin Nahdhah karya Dr.
Muhammad Al Waqidi, dan juga buku
lainnya.
Sekarang kita yang hidup dalam realitas
masyarakat pasca Arab Spring perlu
merenung kembali akan proyek
kebangkitan yang telah berlangsung hampir
dua abad ini. Merenung tentang dimana
posisi kita, apa yang telah kita hasilkan, apa
tantangan yang kita hadapi sekarang, dan
bagaimana langkah kita kedepan.
Jalan Peradaban dan Ideologi Ke-
bangkitan Kita
Di sadari atau tidak, teori Kesserling
tentang pembentukan peradaban Barat
yang merupakan akumulasi dari spirit aga-
ma Kristen dengan tradisi Romawi dan juga
teori challenge and response-nya Toynbee
telah memperpanjang nafas peradaban
Barat yang pernah diramalkan oleh Speng-
ler dalam Decline of the West sedang
menuju titik kemunduran.
Begitu juga teori kontradiksi Engel
yang kemudian dimetamorfosikan oleh
Mark menjadi logika materi dan logika
sejarah telah membidani lahirnya idiologi
komunisme yang meniupkan ruh kebang-
kitan bagi bangsa Rusia.
Namun kita tidak bisa mengadopsi teori
Kesserling dan teori challenge-nya Toyn-
bee untuk menafsirkan sejarah kita agar
mampu menemukan teori yang akan mem-
perpanjang nafas gerakan kebangkitan kita,
tidak juga kontradiksi-nya Engel ataupun
logika sejarah-nya Mark. Bukan karena
teori ini lahir dari akal manusia diluar
akidah kita, namun lebih karena jalan
sejarah mereka berbeda dengan sejarah
kita, dan arah peradaban yang mereka tuju
berbeda dengan arah peradaban kita. Sebab
setiap sejarah memiliki jalannya tersendiri
sebagaimana setiap peradaban memiliki
pilihannya tersendiri kemana ia akan
mengarah.
Dalam artikelnya yang berjudul Masa
Depan Islam dan Tantangan Masa Kini
(DarulFikr, Bairut 2003) Hasan Hanafi
memaparkan bentang jalan sejarah Perada-
ban Barat dan membandingkannya dengan
bentang jalan sejarah Peradaban Islam.
Teori ini beliau istilahkan dengan Masârul
Hadhârah (Jalan-jalan Peradaban).
Menurutnya Peradaban Barat telah berjalan
diatas rel sejarahnya selama tiga fase
(marhalah) dan setiap fase berlangsung
selama 7 abad.
Fase-1:Marhalah Qadîmah (fase lama)
yaitu pada masaYunani dan Romawi, dari
abad ke-1 M hingga ke-7 M. Fase-2:
Marhalah Wasathiyah (fase pertengahan)
yaitu masa berkuasanya Geraja, dari abad
ke-7 hingga abad ke-14 M. Fase-3:
Marhalah Hadîtsah (fase baru) yaitu masa
rasionalisasi dan saintisasi, dari abad ke-14
hingga abad ke-21 M yang sekarang sedang
dijalani. Sedangkan Peradaban Islam baru
berjalan diatas rel sejarahnya selama dua
fase. Fase-1: 'Ashru Ad Dzahabi' (masa
keemasan) yaitu pada awal abad ke-1 H
hingga abad ke-7 H. Fase-2: 'Ashrul
Wasath' (masa pertengahan) di mulai dari
abad ke-7 H—masa berkuasanya Turki
Ustmani—hingga abad ke-14 H. Dan
sekarang kita sudah masuk abad ke-15 atau
tujuh abad ketiga yaitu 'Ashru al-hâdits
(masa baru) bagi umat Islam.
Melalui pemaparan diatas Hasan
Hanafi mengintepretasikan bahwa saat ini
umat Islam berada diantara dua masa yang
membimbangkan, yaitu masa berakhirnya
peradaban Barat yang belum juga habis,
dan masa kejayaan Islam yang belum
kunjung datang. Masa ini merupakan titik
sejarah dimana dua peradaban akan saling
bertemu, kemudian beradu dan berebut
jalan. Yaitu antara Peradaban Islam yang
sekarang berada di akhir masa pertengahan
dan -Insya Allah- akan berjalan menuju
masa baru, dengan Peradaban Barat yang
sekarang berada di akhir fase baru yang
merupakan akhir 'jalan peradaban'-nya dan
setelah itu tak tahu akan pergi kemana.
Teori Hasan Hanafi ini tidak hanya
mengantarkan kita pada kesadaran akan
titik sejarah dimana kita berada, namun
juga mengisyaratkan bahwa kita sebagai
Proyek Kebangkitan Kita Oleh: Nurfarid, Lc*
KAJIAN FAKULTATIF
![Page 22: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/22.jpg)
21 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
bagian dari peradaban Islam memiliki ben-
tang jalan sejarah yang berbeda dengan
peradaban Barat.
Masa kebimbangan yang dialami umat
Islam ini sebenarnya pernah disinggung
oleh Malik bin Nabi dalam bukunya Ba-
ses of Civilization (Darul Fikr, Damaskus
2009). Namun lebih jauh lagi Malik
menyatakan bahwa dalam setiap bentang
sejarah manusia, peradaban selalu
terbentuk karena adanya proses
metabolisme unsur-unsur peradaban
(manusia+tanah+waktu) dengan pemikiran
keagamaan.
Dalam bukunya The Problem of Ideas in
The Islamic World (DarulFikr, Damaskus
2006) Malik juga menyatakan bahwa
peradaban Barat telah memilih „alam
materi‟ sebagai tujuan akhirnya, sedangkan
peradaban Islam telah memilih „alam ide‟
sebagai arah jalan peradabannya. Oleh
karena itu nilai dan moral lebih menonjol
dalam realitas peradaban Islam
dibandingkan materi, sedangkan realitas
peradaban Barat menunjukan sebaliknya.
Dari sini kita dapat pelajaran penting
bahwa idiologi kebangkitan kita harus
disandarkan pada idiologi keagamaan, yang
merupakan unsur terpenting dalam
struktur peradaban kita, bahkan menjadi
arah dari laju peradaban kita, bukan taqlid
buta terhadap keberhasilan yang telah
dicapai oleh peradaban Barat.
Tantangan Gerakan Kebangkitan
Kita
Hari ini, gerakan kebangkitan Islam
bukan lagi gerakan perlawanan kaum
penjajah sekaligus gerakan penyadaran
masyarakat muslim yang tertekan oleh
Rajanya, sebagaimana pada masa Afghani
dan Abduh. Bukan juga gerakan
pembaharuan komprehensif yang terasing
dari arena panggung politik dan kekuasaan,
sebagaimana pada masa Al Banna dan
Sayyid Qutb, walaupun sebagian gerakan
kebangkitan dibeberapa negara Islam
masih mengalami hal itu. Namun pada
umumnya gerakan kebangkitan telah
mampu memasuki arena percaturan politik
dan memberikan kebijakan-kebijakan
berpengaruh untuk kemashlahatan umat.
Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi
gerakan kebangkitan sekarang adalah
bagaimana ia mampu memenangkan
percaturan politiknya dengan
mempertahankan karakteristiknya sebagai
sebuah gerakan Islam, bukan sebuah
gerakan yang hanya mengatasnamakan
Islam. Ia tidak terjebak ke dalam pragma-
tisme politik dengan maksud mengambil
jalan pintas dan memenangkan acceptabili-
tas public.
Disatu sisi gerakan kebangkitan Islam
saat ini masih menghadapi tantangan serius
dari gerakan neo khawarizme yang merupa-
kan warisan dari realitas Shiffin (37 H)
dan juga gerakan sekulerisme yang meru-
pakan warisan dari realitas Istambul
(1342 H). Gerakan neo khawarizme telah
membuat umat Islam mandeg dan terasing
dari peradaban. Sedangkan gerakan
sekulerisme hanya melahirkan generasi
muda Islam yang hobi mengadopsi
pemikiran Barat tanpa proses sterilisasi dan
selalu berupaya untuk menghapuskan
hukum-hukum pokok Islam. Padahal
kemunduran umat Islam terjadi bukan
karena mereka menerapkan hudûd, qishas
dan hukum-hukum pokok lainnya, namun
lebih karena akidah mereka kehilangan
fungsi sosial-politiknya.
Kehadiran kedua gerakan extrim itu
selalu menimbulkan gesekan antar sesama
gerakan kebangkitan, bahkan menjegal satu
sama lain yang berujung pada lahirnya
chaos di tengah masyarakat Islam. Gerakan
neo khawarizme telah berhasil
memunculkan kesan ekstrim terhadap
setiap gerakan yang berasaskan Islam.
Sedangkan gerakan sekulerisme seringkali
menjadi penghalang bagi gerakan
kebangkitan yang bergerak dalam bidang
politik untuk menerapkan syariat Islam
dalam kehidupan bernegara.
Narasi Kebangkitan Kita: Dari
Persinggungan Menuju Dialog
Dalam bukunya
Ta'âruful Hadhârat,
Dr. Zaki Milad mengkaji
bahwa sejak tahun 70-
an gagasan tentang
dialog peradaban
sebagai alternatif utama
dari narasi peradaban
masa kini sebenarnya
sudah dilontarkan oleh
Roger Garaudy dalam
bukunya Dialog
Peradaban (1977),
namun gagasan ini
hanya menjadi wacana intelektuaal saja,
dan kurang mendapat respon positif dari
kalangan intelektual Barat lainnya. Lebih
disayangkan lagi ketika wacana dialog itu
tidak diangkat, munculah gagasan-gagasan
yang sangat konfrontal, dengan lahirnya
Clash of Civilizasion oleh Samuel
Huntington dan The End of History oleh
Francis Fukuyama, sehingga hal ini yang
menyebabkan memanasnya hubungan
antara Islam dan Barat paska Perang
Dingin, dan mencapai klimaksnya pada
peristiwa 11 September 2001.
Begitu juga halnya dengan realitas
kebangkitan kita, hingga saat ini kita masih
menemukan interaksi negatif serta
komunikasi yang tidak harmoni antara
sesama gerakan Islam, sikap yang
ditampilkan adalah saling menjauhi dan
mencurigai. Narasi yang ditunjukan adalah
narasi eliminasi dan memerangi. Kondisi
semacam ini kalau dibiarkan hanya akan
memandegkan dan mengganjal laju
gerakan kebangkitan kita. Oleh karena itu
kita perlu merubah narasi kebangkitan kita,
dari narasi eleminasi menjadi narasi
akomodasi, dari narasi yang menimbulkan
persinggungan menjadi narasi yang
melahirkan dialog. Begitu juga interaksi
yang ditampilkan adalah interaksi positif,
yang saling merangkul dan mengayomi. Hal
ini bisa kita lakukan dengan: 1) Menggali
kembali pemikiran pokok yang dihusung
oleh para tokoh pembaharu dan
kebangkitan, agar setiap gerakan
memahami bahwa proyek kebangkitan ini
adalah silsilah kerja sejarah yang
diupayakan oleh para tokoh pembaharu. 2)
Mengadakan dialog antar gerakan
kebangkitan sebagai upaya untuk mencari
titik temu dan memperkecil ruang
perbedaan. 3) Mengadakan program yang
melibatkan semua gerakan kebangkitan,
agar semakin menyatu dan saling
memfungsikan.
Tema inilah yang sedang digarap oleh
Kajian Al Hikmah, bagaimana mengkaji
kembali pemikiran para tokoh pembaharu
agar mampu menyuguhkan kembali ide-ide
kebangkitan, dan mendiagnosa setiap
pemikiran yang memicu perselisihan, atau
minimal dengan kajian tema ini kita
mampu memahami bahwa proyek
kebangkitan ini adalah proyek kita
bersama, bukan proyek gerakan tertentu
atau organisasi tertentu. WalLâhu A`lam
bi al-Shawâb.
KAJIAN FAKULTATIF
“Disatu sisi gerakan kebangkitan
Islam saat ini masih menghadapi
tantangan serius dari gerakan neo
khawarizme yang merupakan
warisan dari realitas Shiffin (37 H)
dan juga gerakan sekulerisme yang
merupakan warisan dari realitas
Istambul (1342 H).”
![Page 23: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/23.jpg)
22 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
I a adalah Abu al-Hasan, Ali bin
Ismail bin Abu Bisyr Ishaq.
Nasabnya berhenti pada salah
seorang sahabat Rasulullah,
Abu Musa al-Asy`ari. Lahir pada tahun
260 Hijriyah di sebuah daerah di Yaman.
Ia mendalami ilmu kalam dari Abu Ali al-
Juba`i, salah seorang ulama besar Muk-
tazilah di Basrah. Begitu juga dari Abu
Khalifah al-Jamhi, Zakariya al-Saji dan
Sahal bin Nuh. Selama 40 tahun ia men-
dalami paham Muktazilah hingga men-
jadi salah seorang pembesar di Muk-
tazilah.
Suatu saat ia menyadari beberapa
penyimpangan yang terdapat dalam pa-
ham muktazilah akhirnya ia melepaskan
diri dari Muktazilah dan kembali ke jalan
ahlusunah dan berbalik membantah pa-
ham-paham Muktazilah. Kisah pertau-
batannya terkenal ditulis di berbagai bu-
ku biografi tentangnya.
Suatu saat ia mendatangi sebuah mas-
jid, menaiki mimbar dan berkata, “Hai
manusia, siapa yang telah mengenaliku
maka ia telah mengenalku, dan siapa
yang belum mengenaliku maka akan
kukenalkan diriku. Aku adalah fulan bin
fulan. Dulu aku berkata bahwa al-Quran
adalah makhluk, dan Allah tidak akan
bisa dilihat di hari akhirat dengan pan-
dangan mata, dan para hamba Allah
menciptakan sendiri perbuatannya. Aku
telah melepaskan apa yang kuyakini da-
hulu sebagaimana aku melepaskan ju-
bahku ini” lalu ia melepaskan jubahnya
dan melemparkannya.
Kemudian ia mengikuti pemahaman
dari Abdullah bin Sa`id bin Kullab, salah
seorang ulama Ahlusunah pada zaman
Khalifah Al-Makmun dinasti Abbasiyah.
Ia telah meninggalkan banyak karya
tulis, di antaranya adalah kitab al-Fushûl
fi al-Radd `ala al-Mulhidîn, Khalq al-
A`mâl, al-Shifat, al-Radd `ala al-
Mujassimah, Maqalat al-Islâmiyyin, al-
Naqd `ala al-Jubbâ‟i, dan berbagai karya
lain. Ia wafat pada tahun 324 Hijriah.
Imam Abu Ishaq al-Syairazi al-Syafi`i
berkata, “Abu Hasan al-Asy`ari adalah
Imam Ahlusunah, mayoritas pengikut
Syafi`i berada dalam mazhabnya, dan
mazhabnya adalah mazhab pengikut
kebenaran”
Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi ber-
kata, “Para ulama hadis telah sepakat
bahwa Abu Hasan Ali bin Ismail al-
Asy`ari adalah salah seorang Imam ahli
hadis, mazhabnya adalah mazhab ahli
hadis. Ia mengajarkan tentang usul aga-
ma mengikuti jalan Ahlusunah, ia
memerangi para penentangnya yaitu
orang-orang yang menyimpang dan para
pelaku bidah. Ia mengacungkan pedang
perlawanan kepada kaum Muktazilah,
Rafidah, para pelaku bidah, dan para
kaum kafir. Siapapun yang memfit-
nahnya, mencelanya, atau melaknatnya
ataupun memakinya, maka ia telah me-
nyebarkan perkataan buruk kepada kaum
Ahlusunah.”
Sebagian kalangan beranggapan bah-
wa Imam Abu Hasan al-Asy`ari telah
mengalami tiga fase sepanjang hidupnya.
Fase pertama adalah fase di mana ia
tenggelam dalam pengaruh kaum Muk-
tazilah selama empat puluh tahun, fase
kedua ditandai dengan taubatnya dari
paham Muktazilah kemudian mengikuti
paham dari Abdullah bin Sa`id bin
Kullab, dan fase ketiga adalah fase di ma-
na ia bertaubat kembali ke jalan Ahlusu-
nah dengan menyusun kitab al-Ibânah fi
Ushûl al-Diyânah.
Atas dasar itu, sebagian kalangan
menganggap bahwa kelompok
Asy`ariyah yang saat ini tersebar di se-
luruh dunia tidaklah mengikuti ajaran
dari Imam al-Asy`ari, namun mengikuti
ajaran Imam Ibnu Kullab, guru Imam al-
Asy`ari pada fase ke dua. Imam al-
Asy`ari sendiri telah bertaubat dari
kesalahannya di fase ke dua itu dan ma-
suk ke fase ke tiga kembali ke jalan sunah
salafusshalih dengan kitab al-Ibânah
sebagai bukti taubatnya itu. Mereka
menilai bahwa kelompok Asy`ariyah saat
ini lebih tepat disebut dengan kelompok
Kullabiyah, karena menganut paham
Ibnu Kullab.
Dalam hal ini, ada tiga hal yang perlu
diperhatikan. Pertama. Memang benar
Imam al-Asy`ari pernah masuk ke dalam
kelompok Muktazilah selama empat
puluh tahun, dan memang benar pula
bahwa Imam al-Asy`ari keluar dari Muk-
tazilah kemudian berguru kepada Imam
Ibnu Kullab, kita membenarkan adanya
dua fase itu. Namun yang perlu diingat
bahwa tidak ada bukti yang menunjuk-
kan Imam al-Asy`ari kembali bertaubat
dari paham Imam Ibnu Kullab selain
kitab al-Ibânah yang akan penulis jelas-
kan kemudian.
Para ahli sejarah dan para penulis
biografi ulama semisal al-Dzahabi, Ibnu
Khaldun, Tajuddin al-Subki, atau Ibnu
Asakir tidak pernah menuliskan tau-
batnya Imam al-Asy`ari dari pengajaran
Ibnu Kullab. Beberapa biografi Imam al-
Asy`ari yang pernah penulis baca hanya
menyebutkan kisah pertaubatannya dari
Muktazilah, dan tidak ada kisah taubat
yang kedua kalinya. Ini menunjukkan
bahwa Imam al-Asy`ari hanya melewati
dua fase dalam kehidupannya, Muk-
tazilah kemudian Ahlusunah.
Kedua. Klaim bahwa Imam al-Asy`ari
bertaubat kembali menuju jalan salaf
setelah belajar kepada Imam Ibnu Kullab
secara tidak langsung memberikan
penilaian bahwa Ibnu Kullab tidak be-
rada dalam jalan Ahlusunah hingga ia
harus kembali bertaubat. Untuk menja-
wab poin ke dua ini saya nukilkan be-
berapa perkataan ulama yang menyebut-
kan bahwa Ibnu Kullab termasuk Imam
Ahlusunah.
Ibnu Khaldun dalam Mukadimah
menuliskan, “… Dan Imam al-Asy`ari
berada pada jalan Abdullah bin Sa`id bin
Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi, dan al-
Harits al-Muhasibi, para pengikut salaf
dan berada dalam jalan sunah”
Al-Dzahabi dalam Siyâr A`lâm al-
Nubalâ‟ menuliskan, “Ia adalah mutaka-
lim yang terdekat dengan sunnah,
bahkan ia sepadan dengan mereka.”
Tajuddin al-Subki dalam al-Thabaqât
al-Syâfi`iyyah menuliskan, “Dan Ibnu
Kullab bagaimanapun adalah termasuk
Ahlusunah.”
Ibnu Qadhi Syuhbah dalam al-
Thabaqât al-Syâfi`iyyah menuliskan, “Ia
adalah penggawa kaum mutakalim dan
termasuk Ahlusunah.
Mengenal Imam Abu Hasan al-Asy`ari Oleh: Fahmi Hasan Nugroho
KAJIAN FAKULTATIF
![Page 24: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/24.jpg)
23 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
Jika Imam al-Asy`ari dikatakan ber-
taubat dari paham Ibnu Kullab, dan Ibnu
Kullab sendiri adalah Imam Ahlusunah,
maka ke jalan apa lagi Imam al-Asy`ari
bertaubat? Masihkah ada paham ahlusu-
nah lain sehingga ia bertaubat dan masuk
ke dalamnya? Memang, dalam Jami`
Rasa‟il milik Ibnu Taimiyah terdapat
berbagai kritik yang disampaikan Ibnu
Taimiyah kepadanya, namun itu kembali
kepada perbedaan pandangan dan pa-
ham antara Ibnu Taimiyah dan para ula-
ma yang penulis sebut di atas.
Ketiga. Kitab al-Ibânah merupakan
landasan utama klaim kembalinya Imam
al-Asy`ari kepada metode salaf dalam
berakidah. Salah satu landasan mereka
adalah beberapa kalimat ini, “Dan (kami
meyakini) bahwa Allah ber-istiwa di atas
`Arsy sebagaimana Ia berfirman (al-
Rahmân `ala al-`Arsy Istawâ), dan Ia
memiliki wajh sebagaimana Ia berfirman
(wa Yabqa Wajh Rabbik Dzu al-Jalâl wa
al-Ikram), dan Ia memiliki yad se-
bagaimana Ia berfirman (bal Yadâhu
Mabsûthatân) dan (lima Khalaqtu bi
Yadayya), dan Ia memiliki `Ain tanpa
permisalan sebagaimana Ia berfirman
(Tajrî bi A`yunina).”
Perlu diketahui bahwa dalam mazhab
Asy`ari terdapat dua metode dalam me-
nyikapi ayat-ayat mutasyabihat, yaitu
metode Tafwîdh dan Ta‟wîl yang insya
Allah akan saya jelaskan lebih rinci di
lain kesempatan. Metode Tafwîdh adalah
metode generasi salaf, yaitu mengimani
bahwa itu adalah ayat tentang sifat,
berkeyakinan bahwa zhahir-nya bukan-
lah maksud dari ayat itu dan menye-
rahkan maknanya kepada Allah. Se-
dangkan metode Ta‟wil adalah metode
generasi khalaf, yaitu mengimani bahwa
itu adalah ayat tentang sifat, berkeya-
kinan bahwa zhahir-nya bukanlah mak-
sud dari ayat itu dan berusaha untuk
mencarikan makna lain dari kata terse-
but.
Dalam kitab al-Ibânah tersebut,
Imam al-Asy`ari menggunakan metode
tafwidh yang merupakan salah satu
metode yang juga digunakan oleh para
pengikut setelahnya. Itulah yang dijelas-
kan oleh Imam Nawawi dalam syarah
Shahih Muslim berikut, “Hadis ini meru-
pakan hadis tentang sifat, dan di da-
lamnya terdapat dua mazhab yang
masyhur di kalangan ulama. Ringkasnya,
pertama adalah mazhab mayoritas kaum
salaf dan sebagian kaum mutakalim. Yai-
tu beriman bahwa itu adalah benar sesuai
dengan yang pantas bagi Allah,
(berkeyakinan) bahwa zhahir-nya yang
telah kita ketahui maknanya bukanlah
maksud dari (ayat) tersebut, tidak berka-
ta tentang ta‟wil-nya
dan berkeyakinan
menghindarkan Allah
dari sifat makhluk,
dari sifat berpindah
dan bergerak dan ciri-
ciri makhluk lainnya.”
Kemudian ia
melanjutkan, “Dan
kedua adalah mazhab
mayoritas kaum muta-
kalim dan sebagian
kaum salaf, dan itulah
yang dikisahkan dari
Imam Malik, Imam al-
Auza`i, yaitu
menafsirkannya
dengan makna yang
pantas untuknya
sesuai dengan tempatnya.”
Di samping itu, sebagian kalangan
pun meragukan keaslian kitab al-Ibanah
yang tersebar pada saat ini. Salah satunya
adalah Syaikh Wahbi Ghawji yang telah
meneliti beberapa naskah dari kitab al-
Ibanah kemudian menuliskannya dalam
sebuah catatan berjudul “Nadzrah
`Ilmiyah fi Nisbah Kitâbi‟l Ibânah
Jamî`ih ila al-Imam Abi al-Hasan al-
Asy`ari”. Salah satu cetakan yang terse-
bar saat ini adalah cetakan hasil
penelitian Dr. Fauqiyah Husain yang
membandingkan empat buah naskah
berbentuk manuskrip, cetakan itu bisa
dibilang merupakan cetakan terbaik dari
kitab al-Ibânah saat ini, namun di da-
lamnya banyak terdapat penambahan
dan pengurangan hingga mengurangi
nilai keaslian kitab ini.
Syaikh Zahid al-Kautsari dalam pem-
bukaan revisi kitab Tabyîn Kadzib Muf-
tari milik Ibnu Asakir juga mengisyarat-
kan hal yang sama bahwa telah terjadi
perubahan terhadap kitab al-Ibanah yang
tersebar saat ini. Beberapa contoh peru-
bahan telah dituliskan oleh Hamad al-
Sinan dan Fauzi al-`Anjari dalam buku
Ahl al-Sunnah al-Asyâ`irah Syahadah
`Ulamâ al-Ummah wa Adillatuhum.
Terlepas dari perdebatan keaslian
kitab tersebut, metode yang digunakan
oleh Imam al-Asy`ari dalam kitab terse-
but adalah metode yang sama yang di-
ajarkan di dalam mazhab Asy`ariyah se-
bagaimana yang saya jelaskan di atas.
Maka, tidaklah benar bahwa Imam al-
Asy`ari bertaubat untuk yang kedua kali-
nya karena setelah ia bertaubat dari
Muktazilah ia telah berada di jalan
Ahlusunah.
Semoga Allah membalas jasa Imam
Abu Hasan al-Asy`ari dan menempat-
kannya di dalam rahmat-Nya. Amin.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Ahl al-Sunnah al-Asyâ`irah, Sya-
hadah `Ulamâ al-Ummah wa
Adillatuhum, Hamad al-Sinan,
Dar al-Dhiya, Kuait, 2010
Syarh al-Kharîdah al-Bahiyah,
Ahmad bin Muhammad al-Dardir,
tahkik Musthafa Abu Zayd
Mahmud Risywan, Dar al-Bashair,
Kairo, 2010
Siyar A`lâm Nubalâ, al-Dzahabi,
Maktabah Syamilah
Tabyîn Kadzib al-Muftari fî mâ
Nusiba ila al-Imâm Abi al-Hasan
al-Asy`ari, Ibnu Asakir, komentar
Muhammad Zahid al-Kautsari, al-
Maktabah al-Azhariyah li al-
Turats, Kairo, 2010
Al-ThabaqÂt al-Syâfi`iyah, Ibnu
Qadhi Syubhah, Maktabah Syami-
lah
KAJIAN FAKULTATIF
“Jika Imam al-Asy`ari dikatakan
bertaubat dari paham Ibnu Kullab,
dan Ibnu Kullab sendiri adalah
Imam Ahlusunah, maka ke jalan
apa lagi Imam al-Asy`ari
bertaubat? Masihkah ada paham
ahlusunah lain sehingga ia
bertaubat dan masuk ke
dalamnya?”
![Page 25: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/25.jpg)
24 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
S elalu menyenangkan rasanya
ketika aku bersepeda. Menga-
yuh, menjiwai perjalanan
serta selalu berdo‟a di tengah
perjalanan. Karena aku takkan pernah
lupa perkatakan Cak Sulaiman, bahwa
doa musafir adalah salah satu doa yang
tidak mungkin tidak mustajab. Maka aku
habiskan sepertiga hidupku dengan
bepergian, serta menengok rahasia alam
dari ujung hingga ujung di tiap perbata-
san negeri yang surga ini. Dan berhenti di
tiap persimpangan jalan, mengamati
tingkah manusia dengan berbagai rupa,
corak dan warnanya. Lebih sering aku
tersenyum sendiri, terkekeh-kekeh
melihat ragam bahasa manusia bangsa
ini.
Alamnya sungguh benar-benar mem-
buatku takjub, hijaunya pohon dan be-
ragam warna kayu, binatang yang hidup
di semua elemen bumi. Yang hidup di
tanah dengan mulia, yang di udara
dengan bebas, yang di air dengan ceria,
dan yang di pepohonan dengan riang
gembira. Kurasakan semua merasa se-
nang tiada tara. Senyuman mereka me-
menuhi ruang hatiku saat itu. Saat aku
masih bersepeda dengan gembira. Kelil-
ing kota keliling desa. Menyapa warga
hingga kepala desa. Dari yang muda sam-
pai yang tua. Mulai dari yang lelaki hing-
ga wanita. Waktu itu adalah masa
mudaku yang menyenangkan. Dan tak-
kan pernah aku temukan gantinya. Di
antara penggalannya.
“Besok pagi, saya dengar di balai
kota akan diselenggarakan pemilu ya
pak?” Ucap Harun tiba-tiba
“Eh, iya, sepertinya begitu, sampai
-sampai pagi tadi rumahku dikirimi surat
bercap burung garuda. Tapi anehnya tid-
ak tertulis di sana siapa pengirimnya, aku
jadi bingung” timpal Pak Idris sambil
garuk-garuk kepala. Kepalanya manggut-
manggut sembari meluruskan kaki yang
sila sebelumnya.
“Ngomong-ngomong apa saja yang
tertulis di situ pak Idris?” Tanya kek Jar-
wo dari balik dagangan. Usianya sudah
mendekati kepala tujuh. Sekalipun
wajahnya penuh kerutan, namun matan-
ya masih tajam. Sedang uban yang tum-
buh seakan menyala putih di kepalanya.
Dan apabila kau pernah lewat desa ini,
kau akan tahu bahwa dia sudah sejak
lama hidup dari hasil jualannya di
warung kecil pinggir desa ini. Dia hidup
tanpa anak tanpa istri. Semuanya
meninggal saat gerombolan tentara da-
tang berbondong-bondong dan tiba-tiba
menyerang desa. Empat puluh tahun
yang lalu.
“Jam sepuluh pagi tadi, istriku
yang menerima, kata dia surat itu hanya
berisi pemberitahuan dan undangan di-
adakannya pemilu besok pagi serta gam-
bar-gambar calon presiden yang diusung
tiap parpol, yang akan kita pilih besok”
Jawab Pak Idris tersenyum, mengambil
gelas kopi di hadapannya, meminumnya
seteguk demi seteguk.
“Lalu besok bapak mau milih
siapa?” Tanyaku tiba-tiba, membuat
semua yang hadir di situ menghentikan
aktifitas kecil mereka, mengalihkan pan-
dangan ke arahku.
Aku yang dilihat seperti itu, garuk-
garuk kepala. Sepersekian detik aku
tersenyum, menetralkan suasana sambil
melambaikan tangan ke atas.
“Bagaimana pak?” Lanjutku dua
detik kemudian
“Ya, nanti malam kita lihat saja debat
kandidat calon presiden kita. Balai desa
memberikan kita kesempatan menonton
debat itu. Kau lihatlah malam nanti,
supaya tahu. Oh ya, ngomong-ngomong
besok pemilu pertamamu kan? Ya, ba-
guslah, lihat saja, aku juga belum tahu
siapa yang akan aku pilih. Dari kemarin-
kemarin, aku rasa kehidupanku juga sa-
ma saja dari tahun ke tahun walaupun
ganti presiden. Tidak ada yang beda. Be-
gitu-begitu saja” Pak Idris mengambil
napas panjang dan mendengus sebal,
meneguk sisa kopi terakhirnya.
Siang itu angin sangat menyejukkan,
menjadi teman pembicaraan ringan kami
setelah pembahasan pemilu itu, hawanya
sepoi-sepoi menembus dinding kayu
warung dengan tiang utama yang miring
ke kiri, terlihat rapuh dimakan waktu
Ditambah matahari yang tak begitu terik.
Serta gemerisik dedaunan yang bergesek
riang di belakang warung ini,
bercengkrama satu sama lain. Kampung
yang damai. Kek Jarwo menguap, segera
memberesi gelas-gelas di depannya.
***
Aku masih ingat pelajaran IPS di SD
waktu itu bahwa Indonesia terletak di
antara 6⁰ LU - 11⁰ LS dan 95⁰ BT - 141⁰
BT, negeri ini juga diapit oleh samudra
Pasifik dan samudra Hindia, dan diapit
pula oleh benua Australia dan benua
Asia. Dan negeri inilah yang besok pagi
akan melakukan pemilihan penggantian
presiden. Mengajak seluruh rakyatnya
untuk memilih sendiri presiden mereka.
Tua muda, lelaki wanita, petani atau ten-
tara, duda atau perjaka, pengangguran
atau pengacara, semua memiliki hak sa-
ma. Tak beda di depan mata.
Bercengkerama dengan orang-orang
daerah perbatasan adalah hal yang sulit
digambarkan rasanya. Karena kadang
terharu sedih bercampur marah, bercam-
pur pilu, bercampur gembira dan
bercampur-campur yang lain. Seperti
sore ini, setelah aku meletakkan
sepedaku di pinggir warung kek Jarwo
setelah berkeliling desa ini. Ternyata pin-
tu warung ini tertutup. Aku menengok ke
sana-ke mari, mencari hidung Kek jarwo
apakah ada di sekitar situ. Setelah
sepuluh menit melongok ke sana-ke ma-
ri, pandangan mataku tertuju pada se-
buah batu di belakang warung Kek Jar-
wo. Ada seorang yang duduk di sana. Tua
kelihatannya. Aku dekati pelan-pelan.
Berharap supaya tak terkesan meng-
ganggu.
“Oh, ternyata Kek jarwo yang duduk
di sini. Assalamualaikum Kek?” Sapaku
pelan
“Wa alaikumussalam wa rahmatullahi
wa barakatuh, duduklah ray!” jawab Kek
Jarwo sembari menoleh ke arahku. Me-
nyeringai beberapa inci. Tangannya
mengambil rokok di mulutnya,
menghembuskan ke udara. Mempersi-
lahkanku duduk di sampingnya.
Pemimpin yang Nagari Oleh: Syafiqul Lathief*
SASTRA
![Page 26: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/26.jpg)
25 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
“Apa yang sedang kau cari di sini?”
tanyanya melihat mataku.
“Bukan apa-apa kek, aku hanya ingin
jalan-jalan keliling desa” Jawabku seke-
nanya, aku mengambil bungkusan kertas
dari tasku.
“Makanlah kek, silakan” Tawarku
pada Kek Jarwo.
“Apa ini?” Tanyanya penasaran
“Ehm, tadi aku bertemu kak taufik di
jalan, dia jualan singkong bakar hari ini
dan kebetulan aku juga lapar dan di sa-
kuku ada sepuluh ribu rupiah, jadi aku
beli saja” jawabku sambil melihat sing-
kong bakar itu. Manis sepertinya.
“Ya, kau makanlah duluan, aku baru
saja makan nasi. Lagipula kau juga lapar
kan?” Ucapnya santai. Dan tangannya
menahan tanganku yang terulur mem-
berikan singkong itu padanya.
“Maukah kau kuceritakan beberapa
penggalan kisah desa ini?” ucap kek Jar-
wo memandang ke arahku.
“Boleh kek” jawabku santai.
“Baiklah, desa ini bernama Labang.
Sebenarnya termasuk lima desa di Kali-
mantan Timur yang terancam “diakui”
tetangga sebelah, Malaysia. Jika kau ten-
gok berita, maka lima desa itu adalah
Labang, Logos, Ngawol, Simantipal dan
Bulu Lawun Hilir. Semenjak aku kecil,
aku tahu bahwa desa ini memiliki potensi
sumber daya alam yang menjajikan,
bagaimana tidak? Jika dengan kayu
gaharu saja desa ini sanggup menopang
jalannya perekonomian desa ini” Matan-
ya memandang sungai lima meter di de-
pannya. Airnya yang mengalir teratur.
Bergemericik dengan suara yang me-
nyejukkan.
“Aku sungguh heran dengan
pemerintah. Fokusnya ke daerah jawa
yang terlalu diutamakan membuatku
jengah dan malas. Pembangunan infra-
struktur di sana saja yang lebih sering
dipedulikan. Sedangkan di pulau yang
lain terlupakan, seperti di sini. Bukankah
belum lama pulau Sipadan dan Ligitan
telah diambil Malaysia dan dijadikan
bagian negaranya? Seharusnya
pemerintah itu tahu kalau kedua pulau
itu melimpah ruah sumber daya
alamnya!” Suara Kek Jarwo kian mening-
gi. Matanya mengerjap. Kupikir, batinnya
merasakan ganjalan yang besar dan berat
sebagai penduduk daerah perbatasan.
“Dan lihatlah, pemerintah Indonesia
kurang sigap menanggapi masalah ini.
Hingga akhirnya kepemilikan dua pulau
kecil di utara Kaltim ini dimenangkan
oleh Malaysia di peradilan Internasional
di Den Haag Belanda 17 Desember 2002
lalu. Dan ini sungguh membuatku sebal
ray” paparnya berapi-api. Suara tuanya
bergetar menjadikan badannya sedikit
bergetar. Tangannya menggenggam
jemari. Wajahnya sedih dan pilu.
“Nah kek, Besok pagi pemilu digelar
kan? Menurut kakek, jika melihat kondisi
negara yang seperti ini, dibutuhkan pem-
impin yang seperti apa ya?” Seketika
mulutku bertanya otomatis. Aku diam
menunduk. Tiba-tiba aku menyadari ke-
lancangan pertanyaanku. Bukan wak-
tunya saat ini.
“Sebenarnya banyak dan panjang
lebar jawaban dari pertanyaanmu itu
Ray” Kek jarwo menarik napas dalam-
dalam, lalu menghembuskannya.
“Masalahnya, sebenarnya kau pun
sudah sering mendengar ocehan
mengenai pemimpin yang baik, pem-
impin yang sanggup menjadikan
negaranya makmur, pemimpin yang adil
sama rata tak berat sebelah, membela
rakyat kecil, mensejahterakan rakyatnya,
menyediakan pendidikan yang layak bagi
warga negaranya dan seterusnya. Semua
itu tentu juga sudah kau pelajari di
bangku sekolahmu selama dua belas ta-
hun itu bukan? Semua teori yang pernah
dijelaskan gurumu, yang baik-baik, dan
yang benar-benar itu hanya butuh dia-
malkan saja oleh para presiden kita itu.
Tak perlu panjang lebar sampai berbuih-
buih dijelaskan ulang” Jelasnya berse-
mangat. Aku tekun mendengarkan. Ter-
sihir oleh kata-katanya.
Setelah pembicaraan itu, kek Jar-
wo menceritakan kisah-kisah masa kecil-
nya, kisah desanya yang pernah tiba-tiba
diserang
oleh tentara
Indonesia,
tanpa
alasan yang
jelas. Per-
masalahan
warga per-
batasan
yang terjadi
di daerah
yang lain,
fasilitas
negara yang
belum
merata di
sana.
Bahkan
siaran tele-
visi Indone-
sia belum
bisa diakses
di sana.
Mereka
lebih sering
tahu kabar negera sebelah di banding
negara sendiri. Bahkan parahnya di be-
berapa titik, ada di antara mereka yang
tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa
ibunya sendiri.
***
Negeri kami adalah negeri yang kaya
raya. Luasnya terbentang dari selatan ke
utara, tenggara ke barat daya.
Perairannya lebih luas dari daratannya.
Perjalanan sejarahnya telah memukau
manusia seluruh dunia. Sebenarnya, di
dalam bumi kami tambang raya terpen-
dam menunggu di perdaya guna. Ikan-
ikan dari berbagai rasa akan kau
temukan di sana. Terumbu karang yang
tak ada di dunia lainnya akan kau
temukan di Indonesia. Negeri kepulauan
tiada tara dan tiada saingannya. Bahkan
jika kau menancapkan kayu di tanah,
akan kau lihat pohon tertumbuh di anta-
ra gunung-gunungnya. Orang-orang ser-
ing menyebutnya tanah surga.
Sungguh semua ini bukanlah dusta.
Aku melihat bahwa negeri ini butuh yang
berbeda. Yang tidak sama dengan yang
sebelum-sebelumnya. Perubahan dan
perbaikan adalah hal yang niscaya dan
wajib adanya. Di tiap zaman dan tiap
masa kepemimpinan presiden kita.
Semoga kita diperkenankanNya kelak
untuk melihat Indonesia yang merdeka.
Dari tiap nafsu dan angkara murka. Sela-
ma-lamanya.
*Mahasiswa tingkat 2 Syariah Is-
lamiyah, Univ. Al Azhar Cairo.
SASTRA
![Page 27: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/27.jpg)
26 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
M asyarakat indonesia akhir-
akhir ini tengah dilanda
kebingungan yang cukup
rumit menjelang pemilu
tanggal 5 april mendatang. Pasalnya
masyarakat kurang mengenal sosok
capres dan caleg yang mengajukan diri
mereka untuk menduduki kursi parlemen
5 tahun mendatang. Sebagian dari calon
pemimpin yang sudah masyarakat kenal
konon turun reputasinya dikarenakan
satu dan lain hal. Sebagian yang lain
justru baru dikenal saat mencalonkan
dirinya sebagai salah satu kandidat ang-
gota dewan.
Deretan nama yang bermunculan dari
setiap parpol tidak hanya didominasi
kaum pria saja, daftar caleg kaum wanita
pun tak kalah banyak. Bahkan dalam
situs kaskus.us salah satu kaskuser
mendata beberapa caleg wanita yang
dinilai cukup menarik alias cantik dari
sebagian parpol.
Fenomena ini sangat penting untuk
dibahas dari berbagai sudut pandang,
namun penulis kali ini khusus memapar-
kan tentang kepeminpinan wanita, baik
sebagai presiden sebuah negara atau ang-
gota legislatif dari kaca mata Islam,
mengingat mayoritas penduduk indone-
sia yang beragama Islam serta banyaknya
nama caleg perempuan bermunculan
yang memiliki latar belakang pendidikan
yang beragam.
Dalam tulisan kali ini, penulis akan
mengulas tentang hukum seorang wanita
memimpin sebuah negara dari sudut
pandang Fikih Islam, yang nantinya akan
melebar ke arah hak-hak wanita mus-
limah dalam berpolitik.
DR. Hilmy Abdul Hakim al-Faqy
mengemukakan, masyarakat hendaknya
memilih pemimpin yang menurut mere-
ka adalah sosok yang paling pantas, co-
cok dan mampu untuk memimpin negara
dengan adil dan amanah. Saat memilih
juga haruslah terlepas dari embel-embel
personal seperti bila yang mencalonkan
diri memiliki hubungan kerabat, per-
temanan, kenalan, tetangga dan se-
bagainya, serta jauh dari kepentingan
apapun, dan benar-benar memilih karena
Allah Swt. sosok yang mampu menjadi
pemimpin.
Kemampuan dimaksud diukur dari
dua elemen dasar yang telah dijelaskan al
-Quran dalam surat al-Qasas ayat 26:
Artinya: Salah seorang dari kedua
wanita itu berkata: "Ya bapakku ambil-
lah ia sebagai orang yang bekerja (pada
kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.
Al-qowî (Orang yang kuat) dalam ayat
tersebut adalah pengetahuan dan ke-
mampuan menetapkan suatu hukum.
Amanah disini kembali kepada pema-
haman takut kepada Allah Swt. sehingga
setiap keputusan yang diambilnya kelak
murni Lillâhita‟âla.
Dua hal dasar di atas cukup mewakili
kriteria pemimpin idaman suatu negara
maupun kelompok jenis apapun, mes-
kipun tentunya tak lepas dari beberapa
rincian lain. Dalam hasil riset program
doktoralnya selain syarat di atas DR. Mu-
hammad Ri'fat 'Utsman mencantumkan
syarat lain, seorang presiden hendaklah
seorang laki-laki, bukan wanita. Kriteria
inipun sepertinya diamini oleh ijma ula-
ma. Berangkat dari syarat yang satu ini,
penulis mencoba menguak bagaimana
Islam menyikapi peranan wanita dalam
ranah politik.
Hukum Presiden Wanita.
Secara global, ulama terbagi menjadi
dua kelompok menanggapi wacana ini.
Kelompok pertama adalah mereka yang
membolehkan seorang wanita memimpin
negara. Adapun kelompok yang kedua
adalah mereka yang menentangnya. Se-
tiap dari keduanya memiliki landasan
yang kuat baik dari al-Quran maupun
Sunnah. Selanjutnya akan kita bahas lan-
dasan tiap kelompok.
1. Kelompok pertama memiliki lan-
dasan dari al quran, sunnah dan
perilaku sahabat.
Surat an-Nur ayat 55
Artinya: Dan Allah telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-
amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa dimuka bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang sebe-
lum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka, sesudah mereka da-
lam ketakutan menjadi aman sentausa.
Mereka tetap menyembahku-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik.
Surat al-Hajj ayat 41.
Artinya: (yaitu) orang-orang yang
jika Kami teguhkan kedudukan mereka
di muka bumi niscaya mereka mendiri-
kan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali
segala urusan.
Surat at-Taubah ayat 71.
Artinya: Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebaha-
gian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebahagian yang lain. Mereka me-
nyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendiri-
kan shalat, menunaikan zakat dan
mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Al-
lah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
Dalam ayat pertama dan kedua diatas,
Allah Swt. menjanjikan kepada orang
yang beriman dan yang berbuat baik un-
tuk menjadikan mereka khalifah di bumi
dan memakmurkannya. Apabila syarat
yang diinginkan telah terpenuhi, maka
Allah Swt. pun memenuhi janji-Nya. Se-
bagaimana Allah juga mewajibkan hamba
Pemimpin Wanita Menurut Tinjauan Fikih Oleh: Hanna Juairiyah
SHAFFATUL ‘AISYIYAH
![Page 28: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/28.jpg)
27 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
-Nya untuk mendirikan shalat, mem-
bayar zakat, mengajak kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran yang mana
hal tersebut dapat dilakukan oleh siapa-
pun, laki-laki maupun wanita. Sedangkan
dalam ayat ketiga, Allah merinci penyeb-
utan laki-laki dan wanita yang menegas-
kan persamaan keduanya dalam hal
kewajiban dan pembebanan syariat, salah
satunya adalah perkara memimpin nega-
ra.
Penggunaan keumuman ayat di atas
disanggah oleh hadis Nabi yang lebih
khusus berbunyi:
لن يفلح قوم ولوا قال صلي هللا عليه وسلن :
أهرهن اهرأة
Artinya: Nabi Muhammad Saw.
bersabda: Tidak akan berbahagia/
berjaya suatu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada wanita
(mengangkat wanita sebagai pem-
impin). Seperti yang kita ketahui bila ada dalil
„Âm (umum) dan Khâsh (khusus) tentang
suatu masalah, maka yang khususlah
yang diambil. Namun pengusung
pendapat pertama menolak kesimpulan
kaidah ini, mereka lebih mengutamakan
pengunaan kedua dalil al-Quran dan
Sunnah tersebut secara bersamaan, tanpa
ada yang di nomor duakan. Hal ini mem-
bentuk pemahaman gabungan agar mak-
na antara ayat dan sunnah tidak berten-
tangan.
Mereka mengatakan bahwa di dalam
al-Quran juga dapat dilihat bahwa Allah
Swt. memuji kepemimpinan ratu Saba‟
dan mencela kepemimpinan Fir'aun.
Jadi, wanita boleh memimpin negara bila
ia mampu seperti yang dilakukan oleh
ratu Saba‟.
Dari Ummul Hashin al Ahmasiyah ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw.
berkata: " Wahai manusia, bertakwalah
kepada Allah dan apabila kalian dipim-
pin oleh seorang hamba habasy yang
mampu memimpin maka dengarkanlah
ia dan taatilah apa yang ia putuskan
dengan berlandaskan kitab Allah".
Rasulullah Saw. menegaskan dua
syarat yang harus dimiliki seorang pem-
impin. Pertama adalah kemampuan
memimpin umat, seperti keunggulan
dalam setiap lini kehidupan. Kedua ada-
lah hendaklah setiap keputusan yang
diambil sesuai dengan syariat dan tidak
bertentangan dengannya. Maka bila dua
syarat ini ada dalam diri seseorang, maka
ia pantas untuk memimpin sebuah nega-
ra, tanpa membedakan jenis kelamin.
Kelompok pertama menegaskan, bah-
wa hadis yang dianggap khusus oleh
penentang presiden wanita berlaku da-
lam konteks al-Imâmah al-'Udzma, yaitu
seorang wanita tidak diperbolehkan men-
jadi khalifah umat Islam seluruh dunia.
Jadi selain dari itu wanita boleh mem-
impin baik negara maupun sebuah ke-
lompok selama ia mampu.
2. Kelompok kedua ini mengharamkan
seorang wanita menjadi Presiden.
Dalil yang mereka
pakai meliputi empat
elemen penting yaitu
alquran, sunnah, ijma
dan akal.
Surat an-Nisaa
ayat 34.
Artinya: Kaum
laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena
Allah telah melebi-
hkan sebahagian
mereka (laki-laki)
atas sebahagian
yang lain (wanita),
dan karena mereka
(laki-laki) telah
menafkahkan sebagi-
an dari harta mere-
ka. Sebab itu maka
wanita yang saleh,
ialah yang taat kepa-
da Allah lagi memeli-
hara diri ketika sua-
minya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk me-
nyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum
laki-lakilah yang berwenang dan
berkewajiban memikul beban rumah
tangga dan keluarga. Maka sudah semes-
tinya laki-laki pulalah yang lebih cocok
memimpin suatu negara yang ruang ling-
kupnya lebih besar.
Surat al-Baqarah ayat 228.
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka me-
nyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Dan suami-suaminya berhak merujukin-
ya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seim-
bang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para sua-
mi, mempunyai satu tingkatan kelebi-
han daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam kitab Jâmiul Bayan fi Tafsîril
Quran menyebutkan, makna darâjah
disini adalah dalam hak waris, jihad dll.
Disini Islam sangat memperhatikan hing-
ga perkara kecil, maka semestinya yang
lebih besar dari itu seperti pemimpin
negara akan lebih diperhatikan pula.
Surat al-Ahzab ayat 33.
Artinya: Dan hendaklah kamu tetap
di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ta'atilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.
Wanita diperintahkan untuk menetap
di rumah, agar mereka terjaga dari hal
yang berbahaya dan tidak diinginkan.
Lalu bagaimana mungkin Islam memper-
bolehkan seorang wanita memimpin
negara yang pekerjaan tersebut tidak
ringan bahkan sulit baginya?!
Surat al-Baqarah ayat 282.
Artinya:…Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada
dua oang lelaki, maka (boleh) seorang
SHAFFATUL ‘AISYIYAH
![Page 29: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/29.jpg)
28 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya.
Tentang kesaksian wanita ini, Islam
menjadikannya setengah dari kesaksian
laki-laki, disebabkan oleh kemampuan
mayoritas wanita dalam mengingat
sesuatu atau kejadian lebih rendah dari
ingatan laki-laki, yang masing-masing
dari mereka memiliki fitrah demikian
sejak penciptaan. Maka sudah dipastikan
wanita tidak diperbolehkan memimpin
negara yang lebih membutuhkan kemam-
puan ingatan yang baik.
Dalam rekaman sejarah, Rasulullah
tidak pernah menunjuk seorang wanita
untuk memimpin apapun. Baik sebagai
walikota ataupun hakim. Diceritakan
oleh Abu Bakar Ra., pada saat sampai
berita kepada Rasulullah Saw. bahwa
rakyat Persia dipimpin oleh putri Kaisar
ia bersabda " tidak akan beruntung sua-
tu kaum yang dipimpin oleh wanita".
Hadis ini menunjukkan dengan jelas
bahwa wanita tidak boleh memimpin
umat, walaupun syariat telah menyebut-
kan bahwa wanita adalah pemimpin di
dalam rumah suaminya yang bermakna
penjagaan & pemeliharaan yang baik
anggaran dasar rumah tangga suaminya.
Dari Abdullah bin Umar: Rasullah
saw bersabda:” Wanita adalah pem-
impin di rumah suaminya”.
Ibnu Hajar menjelaskan maksud dari
hadis di atas tentang wanita adalah pem-
impin dalam rumah suaminya yang
dikaitkan dengan kata rumah disebabkan
wanita lebih banyak menghabiskan wak-
tunya di rumah dari pada di luar, kecuali
dengan izin khusus dari suaminya.
Para ulama terdahulu telah sepakat
bahwa seorang pemimpin negara atau
imamah hendaklah dari kaum laki-laki.
Dan tidak pernah ditemukan perten-
tangan mengenai syarat ini.
Sejarah telah membuktikan bahwa
pemimpin laki-laki lebih pantas dan co-
cok dibandingkan wanita. Telah banyak
kita temukan bahwa wanita lebih cender-
ung memakai perasaan dalam mengam-
bil suatu putusan dibandingkan memakai
akal. Apalagi dalam hal kepresidenan
yang terkadang terdapat beberapa situasi
sulit yang membutuhkan tindakan cepat
dan kongkrit.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian
adalah bahwa menjadi presiden tentulah
tidak lepas dari rapat dan musyawarah
yang mayoritas peserta di dalamnya ada-
lah laki-laki, dan kita telah mengetahui
bahwa saat menikah seorang wanita hen-
daklah mendatangkan wali nikah agar
pernikahannya dianggap sah. Bila dalam
perkara nikah demikian adanya, maka
kepemimpinan wanita sebagai seorang
presiden tentu harus lebih membutuhkan
perhatian.
Kemudian DR. Hilmy Abdul Hakim al
-Faqy mencoba mendebat pendapat ke-
lompok yang menolak presiden wanita di
atas. Ia mengatakan maksud dari surat
an-Nisa ayat 34 bahwa laki-lakilah yang
pantas memimpin ialah dalam lingkup
rumah tangga, suami istri dan keluarga.
Jadi kepantasan disini sifatnya khusus,
bukan secara umum. Pendapat DR.
Hilmy Abdul Hakim tersebut bukan tidak
memiliki landasan. Ia kemudian me-
maparkan beberapa faktor pendukung
argumentasinya, diantaranya :
Menilik kepada sebab turun ayat ini.
Diceritakan bahwa istri Sa'ad bin al-
Rabi' membangkang pada suaminya.
lalu Sa'ad menamparnya, kemudia
istrinya mengadukan hal tersebut
kepada Nabi, lalu Nabi Saw. berkata
"berlaku qisas diantara kalian". Lalu
Allah Swt. menurunkan ayat ini,
lantas Nabi Saw. berkata "aku
menginginkan sesuatu, namun Allah
memutuskan yang lain". Maka ini
adalah bukti bahwa kepantasan disini
terbatas dalam lingkup keluarga.
Susunan kalimat dalam ayat.
Ayat di atas, mengandung pembaha-
san tentang mahar, nafkah dan hal-
hal yang wajib dipikul oleh suami.
Khalifah Umar bin Khatab Ra. pernah
menunjuk Syafa' binti Abdullah bin
Syams sebagai pengawas timbangan
pada masa kekhalifahannya. Karena
menurut Umar ia mampu untuk men-
jalankan tugasnya dengan baik. Dan
perilaku atau putusan sahabat yang
tidak bertentangan dengan syariat ini
boleh kita jadikan rujukan.
Calon Legislatif Perempuan.
DR. Ali Jum'ah Muhammad dalam
bukunya yang berjudul Fatwa Kontem-
porer menjawab tentang hukum hak
memilih dan mencalonkan diri seorang
wanita sebagai anggota dewan atau
majelis tinggi negara, ia mengatakan
bahwa Islam tidak melarangnya, itu
artinya seorang wanita diperbolehkan
hukumnya untuk mencalonkan diri se-
bagai anggota dewan. Sebagaimana
seorang wanita juga diperbolehkan
menduduki kursi kementrian, bila me-
mang dianggap mampu dan pantas.
Yang tidak diperbolehkan oleh syariat
Islam adalah presiden wanita. Nampak-
nya, DR. Ali Jum'ah sependapat dengan
kelompok yang menentang presiden
wanita. Hal ini karena seorang presiden
memiliki kekuasaan dan wewenang un-
tuk memimpin shalat kaum muslimin,
dan hal itu hanya dapat dilakukan oleh
laki-laki saja. Kecuali bila wanita
mengimami shalat sesama wanita pula.
Boleh tidaknya seorang wanita men-
jadi anggota majelis permusyawaratan
atau semisalnya tidak berarti mutlak.
Pembolehan ini tentunya setelah melalui
banyak pertimbangan, pertama hen-
daklah wanita tersebut mampu menye-
imbangkan antara hak dan kewajibannya
terhadap rakyat dengan hak dan
kewajibannya kepada keluarga. Karena
tugas utama seorang wanita adalah
mengkoordinir dengan baik hal-hal yang
berhubungan dengan hak-hak suami dan
anak-anaknya. Kedua hendaknya kepem-
impinan yang ia nahkodai berlandaskan
kepada norma agama dan akhlak yang
mulia. Sebagaimana dalam firman Allah
Swt. pada surat at-Taubah 71.
Artinya: Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebaha-
gian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebahagian yang lain. Mereka me-
nyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendiri-
kan shalat, menunaikan zakat dan
mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Al-
lah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. WalLâhu A`lam bi
al-Shawâb.
SHAFFATUL ‘AISYIYAH
![Page 30: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/30.jpg)
29 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
M engenal dunia anak tak bisa dipungkiri seha-
rusnya menjadi perhatian utama setiap insan
laki laki maupun perempuan, karena
sewajarnya kita diciptakan oleh Allah Swt.
pasti akan menghadapi sebuah momen terindah menjadi
seorang ayah atau ibu. Dalam tatanan keluarga terkadang
mengasuh anak menjadi kewajiban seorang ibu. Di Indonesia
sendiri, sekarang telah banyak tersedia buku atau artikel dari
majalah yang bertemakan „Ayah„, namun sejauh ini peran ayah
dalam lingkungan keluarga masih minim. Berbagai kajian para
psikolog menyatakan, ayah kini mengambil peranan sangat
besar dalam aktivitas rumah tangga maupun dalam proses
mendidik anak. Peranan yang dimaksud di sini adalah aktif
dalam membentuk perkembangan emosi anak, menanamkan
nilai-nilai hidup, dan kepercayaan dalam keluarga.
Hal lain yang sangat penting untuk diketahui oleh setiap
orangtua adalah pola asuh kita dalam mendidik anak. Perla-
kuan orangtua terhadap anak-anaknya yang memberikan kon-
stribusinya terhadap kompetensi sosial, emosional, dan intel-
ektual anak. Diana Baumrind, seorang Psikolog anak ternama
mengemukakan ada beberapa pola pengasuhan orangtua ter-
hadap anak diantaranya authoritarian, permissive, authotarita-
tive.
Pola asuh authoritarian (Otoriter)
Pola asuh authoritarian (Otoriter) merupakan gaya pola
asuh yang membatasi dan menghukum. Orangtua mendesak
anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghargai kerja
keras serta usaha. Orangtua dengan tipe ini secara jelas mem-
batasi dan mengendalikan anak dengan sedikit pertukaran ver-
bal. Pola asuh authoritarian diasosiasikan dengan ketidakmam-
puan anak secara sosial. Anak dari orangtua yang otoriter ser-
ing kali gagal untuk memulai aktivitas, memiliki kemampuan
komunikasi yang buruk dan membandingkan dirinya dengan
orang lain.
Kekurangan gaya otoriter ini akibat tekanan untuk mem-
berikan performa yang sempurna, pada akhirnya anak merasa
tak nyaman dan benci pada institusi pendidikan. Banyak anak
yang dibesarkan dengan cara otoriter menunjukkan tanda-
tanda masalah psikologi seperti depresi, sering merasa takut,
dan pada kasus terberat keinginan nekat seperti bunuh diri
karena stres. Karena terbiasa harus memiliki sikap tunduk,
mereka sulit memiliki atau mengemukakan ide dan opini. Anak
yang dibesarkan dengan tujuan utama mendapat nilai tertinggi
di sekolah, umumnya hanya memiliki potensi baik dalam hal
belajar namun mereka tak memiliki kreativitas dan imajinasi
yang kaya.
Pola asuh Permissive (Permisif)
Ada dua macam pengasuhan permisif, yaitu permisif me-
manjakan dan permisif tidak peduli. Gaya pengasuhan permisif
tidak peduli adalah suatu pola pengasuhan orangtua sangat
tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Sedangkan gaya
pengasuhan permisif memanjakan adalah suatu pola di mana
orangtua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali
menuntut atau mengendalikan mereka. Orangtua yang bersifat
permisif memanjakan mengijinkan anak melakukan apa yang
mereka inginkan. Anak yang dibesarkan dengan kultur
permisif, tumbuh dengan kemampuan berpikir secara kreatif
dan bisa membuat banyak inovasi. Kebebasan untuk meraih
apa yang mereka inginkan membuatnya bisa berpikir out of the
box. Pola asuh permisif menghasilkan sikap yang cenderung
lebih tegas dan agresif karena mereka tumbuh bukan sebagai
pengikut yang hanya menuruti jalan yang dibuat orang lain,
melainkan mereka tumbuh sebagai master di masa depannya.
Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuk ini umumnya
lebih gembira dan potensi terkena isu psikologis lebih kecil.
Namun dampak negatif pada pola asuh ini menjadikan anak
yang tak terbiasa ditekan oleh orangtua untuk melakukan suatu
hal umumnya tumbuh sebagai sosok yang cukup puas dan tak
berambisi tinggi. Sejak kecil terbiasa untuk dimanja atau diberi
kebebasan, dikhawatirkan ia mudah putus asa ketika tumbuh
besar. Ketika ia harus bekerja keras untuk bertahan, ia bisa saja
memilih jalan lain yang lebih mudah.
Pola asuh Authoritative (Otoritatif)
Pola pengasuhan otoritatif mendorong dan membebaskan
POLA ASUH ANAK ;
Be Authoritarian or Permissive Oleh: Laela Masnun
SHAFFATUL ‘AISYIYAH
![Page 31: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/31.jpg)
30 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
anak tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan
tindakan-tindakan atau perilaku anak. Dalam pola pengasuhan
ini, komunikasi verbal secara timbal balik bisa berlangsung
dengan bebas (komunikasi bersifat dua arah), orangtua bersi-
kap hangat dan bersifat membesarkan hati anak. Orangtua
yang otoritatif dapat merangkul anaknya bila anak berada da-
lam suatu permasalahan, biasanya secara verbal orangtua akan
mengatakan, “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan
hal itu. Ayo, kita bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi
situasi tersebut dengan lebih baik lagi.”
Banyak orangtua menggunakan kombinasi beberapa teknik,
daripada hanya satu teknik tertentu, walaupun salah satu
teknik bisa lebih dominan. Orangtua yang bijak dapat merasa-
kan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu
dan lebih bersifat otoriter pada situasi yang lain, namun lebih
otoritatif di situasi yang berbeda. Pengasuhan yang konsisten,
pembiasaan dan tauladan menjadi sangat penting dalam ke-
hidupan sehari-hari.
Dalam perspektif Islam, Tarbiyatul Aulad menjadi hal yang
sangat penting. Anak adalah amanah suci dari Allah Swt.. Se-
tiap anak telah memiliki fitrah sejak ia dilahirkan atau suatu
potensi yang telah ada di dalam dirinya, orangtuanyalah yang
memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan menjadikan
anaknya seperti apa, tergantung kepada kedua orangtuanya.
Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali dalam kitab-
nya, Ihya Ulumuddin, mengibaratkan anak sebagai sebuah
permata indah (Jauhar) yang belum diukir, dibentuk dalam
suatu rupa. Permata itu merupakan amanat Allah Swt. yang
dititipkan kepada para orangtua. Karena itu, menurut Imam
Ghazali orangtua harus memperhatikan fase-fase perkem-
bangan anaknya dan memberikan pendidikan yang sesuai
dengan tiap fasenya, agar permata yang diamanatkan kepadan-
ya dapat dibentuk menjadi rupa yang indah.
SHAFFATUL ‘AISYIYAH
kan kekayaan kepada publik. Bahkan sebaliknya, mereka cukup
bersahaja bahkan menurut catatan penulis ketika menemuinya
di pesantren PERSIS Bangil 1989 dalam acara silaturahmi
Keluarga besar Bulan Bintang yang dihadiri ormas DDII, PII,
HMI, Persis, Muhammadiyah, Al Irsyad; Natsir memberi tausi-
ah agar masalah idiologi partai politik yang rusak akibat pen-
erapan azas tunggal, Natsir tetap menyarankan agar umat Is-
lam bersatu di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan jika
di masa datang terjadi perubahan besar dalam partai di Indo-
nesia, Natsir tetap berharap partai-partai Islam agar memben-
tuk fraksi Islam dalam dewan, “Biar partai Islam berbeda, tapi
juga terus dalam satu fraksi. Itu kekuatan terakhir.”
Kesantunan politiknya sejalan dengan kepentingan dan
kemauan umat. Tapi cobalah bercermin pada politikus partai
Islam sekarang, bisakah berbuat bijak sebagaimana
diteladankan Natsir.
Sebagai mentri penerangan, Natsir tak malu mengenakan
kemeja kusam dan jas bertambal. Ketika menjadi ketua Fraksi
Masyumi, dia menampik hadiah sebuah mobil Chevrolet Impa-
la yang tergolong mewah dari seorang pengusaha. Ia menolak
dengan halus agar si pemberi tak merasa kehilangan muka.
Padahal di rumah sederhananya yang ada sebuah mobil Deseto
rombeng. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih
cukup”. Begitu nasihat yang disampaikannya kepada istri dan
anak-anak.
Bahkan saat Moh. Natsir masih menjadi ketua umum DDII
Pusat di Jakarta, beliau pernah menerima tamu seorang bakul
tempe hingga larut malam. Bahkan salah satu putrinya sempat
berbisik kepada Buya agar diakhiri saja perbincangan. Meski
bukan lagi sebagai pejabat pemerintah yang tidak ada kai-
tannya dengan masalah tempe. Dengan santun Buya men-
impalinya,“Bagimu masalah tempe soal sepele, tapi bagi peda-
gang dia adalah masalah besar yang perlu
penyelesaian.” [Hidayatullah.com (Selasa, 19 April 2008),
“Jihad Politik” Mohammad Natsir].
Perjalanan panjang Buya dalam kancah dunia dakwah me-
mang penuh aral lintang, namun berhasil dilalui dengan
keikhlasan, kesabaran dan keteguhan yang patut diteladani
oleh penerus generasi bangsa, khususnya pemuda muslim yang
mengambil Allah Swt. sebagai sesembahan, Rosulullah Mu-
hammad Saw. sebagai suri tauladan, dan Islam sebagai pegan-
gan. WalLâhu A`lam bi al-Shawâb.
*Penulis adalah Mahasiswa Al-Azhar Fakultas Ushuluddin
Hal ini sangat penting untuk dipatenkan agar kerusakan
moral seperti skandal seks, korupsi, nepotisme serta hal buruk
lainnya tidak lagi mencemari gedung terhormat yang
seharusnya berisi pilihan terbaik rakyat. Saat syarat yang
memerhatikan aspek akhlak ini dipatenkan, maka pemerintah
akan bisa meyakinkan masyarakat untuk mengikuti pemilu
tanpa takut mereka akan diwakili oleh tikus berdasi.
Karena hanya dengan meningkatkan kualifikasi calonlah,
daftar pilihan terbaik bisa didapat. Dan pematenan syarat-
syarat ini tidak ada dalam wewenang pemilih, melainkan ada
pada wewenang KPU. Dan hanya KPU-lah yang bisa
melakukannya.
Saat semua calon anggota legislatif adalah orang-orang
yang lolos dari sebuah seleksi ketat, maka siapapun yang
nantinya berhasil terpilih akan memberikan yang terbaik untuk
merealisasikan aspirasi rakyat. Seperti saringan yang tidak
meloloskan ampas teh, sehingga penikmat teh tidak akan takut
meminumnya hingga ke dasar gelas. Kalau boleh meminjam
bahasa iklan, “nikmat hingga tetes terakhir”. Karena teh yang
disaring dengan saringan ketat tidak pernah meloloskan
ampas. WalLâhu A`lam bi al-Shawâb
*Penulis adalah mahasiswa tingkat III fakultas Syariah
wal Qanun Universitas Al-Azhar Mesir.
Sambungan dari hal. 11
Sambungan dari hal. 12
![Page 32: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/32.jpg)
31 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
GALERY
![Page 33: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 55](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022082213/55cf971c550346d0338fc19e/html5/thumbnails/33.jpg)
32 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi 55, April 2014
P ernah suatu ketika seorang murid bertanya kepada gurunya tentang kejadian setelah revo-lusi 25 Januari 2011, pertanyaan yang tentunya tidak akan jauh-jauh dari permasalahan politik.
Murid : Wahai guruku, setelah presiden Husni Mubarok turun dari jabatannya, lalu siapa kira-kira yang akan men-jadi presiden berikutnya?
Guru : Hai anakku, aku tak tau jawabannya, tapi begini, siapa sih orang di dunia ini yang mau mencalonkan diri un-tuk menanggung beban 80 juta rakyat Mesir, dan tak hanya itu, pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Satu saja orang Mesir ada yang kelaparan, dia yang akan menanggung beban di akhirat. Hanya orang gila yang mau mencalonkan diri untuk mengambil pekerjaan seperti itu. Membawa beban kita sendiri saja, kita belum tentu bisa. Orang mana yang mau bebannya di tambah 80 juta orang?
Murid : Wahai guruku, lalu jika semua orang berfikir seperti itu dan tidak mau mengambil peran menjadi pem-impin negara karena takut akan akhirat, lalu siapa yang akan memimpin negara ini?
Guru : Nah itu, ketika semua orang sudah berfikir dan takut seperti itu, maka yang akan muncul sebagai pemimpin hanyalah orang-orang yang benar-benar takut dan bertaqwa kepada Allah. Semua yang dia lakukan pasti untuk ke-baikan, penuh pertimbangan, dan sesuai syariat Islam kare-na dia takut kepada Allah.
Jawaban yang cerdas, dan mengesankan bagiku. Dan tentunya jawaban ini juga jawaban yang tidak di sangka-sangka.
Cerita itu fakta adanya. Meskipun begitu, jika melihat badai perpolitikan yang ada di negeri para nabi tahun ini (2014), sepertinya jawaban yang indah dan tak disangka-sangka dari sang guru hanyalah sebuah idealisme yang be-lum bisa terlihat ujungnya. Bagaimana kita bisa melihat, sesama muslim belum bisa bersatu, dan masing-masing golongan sibuk dalam berlomba-lomba untuk memikul beban 80 juta rakyat Mesir di akhirat kelak. Bahkan lebih ngerinya, pertumpahan darah sampai terjadi dalam perma-salahan menentukan siapa yang berhak untuk menjadi pemangku tanggungjawab 80 juta rakyat Mesir di akhirat. Bukan pertanggungjawaban di depan manusia. Itu masih biasa. Tapi di depan Allah. Zat yang maha adil dan bisa memberikan siksaan yang begitu berat kepada para pem-impin itu, jika ternyata pada masa kepemimpinannya ada ketidakadilan yang terjadi di wilayahnya. Satu perkara tidak baik terjadi di wilayah itu, pemimpinnya harus yang ber-tanggungjawab. Apapun itu. Sedangkan kita tahu, di zaman ini, adakah negeri yang didalamnya semuanya adil, tidak ada kemiskinan, dan kezaliman? Dimana negeri impian ini?
Kendati demikian, tak usahlah jauh-jauh kita mengurusi negara lain atau negeri impian yang hanya sebuah mitos itu. Mari kita menengok para pemberani yang ada di negara kita. Tidak hanya 80 juta, penduduk Indonesia tercatat seki-tar 250 juta. Tiga kali lipat dari Mesir. Aneh bin ajaib tapi
nyata, puluhan orang berjejer dan siap membayar demi mendapatkan "hak" untuk membawa beban tanggungjawab 250 juta orang di akhirat. Sekali lagi, puluhan orang ini tid-ak hanya mencalonkan diri dan bersedia untuk me-nanggung beban, tapi mereka bersedia MEMBAYAR untuk mendapatkan beban itu. Hebat (atau bodoh)! Bahkan be-berapa dari mereka berusaha menjatuhkan kandidat lain dengan cara apapun demi mendapatkan "hak" yang tidak lazim ini.
Berbagai cara dilakukan untuk bisa mendapatkan hak ini. Halal atau tidak halal itu perkara nomer tiga belas. No-mor 1-12 adalah menang. Baliho, poster wajah bak pahla-wan perang dipaku di tiap-tiap pohon di pinggir jalan. Ham-pir tak ada pohon yang selamat dari hal ini (bahkan mense-jahterakan pohon yang tidak banyak menuntut saja belum bisa, bagaimana mau mensejahterakan rakyat?). Suara-suara motor dan klakson di gembor-gemborkan di setiap jalan, tak peduli membuat polusi suara atau menggangu orang tidur (belum juga jadi pemimpin sudah menyusahkan orang lain). (Mungkin) Memang apa saja bisa dilakukan untuk bisa menang dan mendapat hak menjadi pemegang tanggungjawab. Seolah dengan kampanye ini mereka berka-ta: "Kami siap menanggung beban tanggungjawab kalian semua di akhirat nanti".
250 juta penduduk Indonesia dan mayoritas adalah muslim. Calon yang mengajukan diripun juga kebanyakan muslim. Partainya juga tidak sedikit yang berwajah Islam. Calon-calon yang diajukan untuk jadi pemimpin negeri ini juga pasti adalah dari dari kalangan orang-orang pandai dan cerdas. Pastinya mereka paham dengan resiko dan pili-han ini. Menjadi pemimpin bukanlah hal yang mudah, lalu jika orang-orang muslim yang pandai ini sampai berebut menjadi pemimpin, mungkin kita yang harus ber-huznuzan bahwa mereka ini mampu. Mampu untuk menjadi pem-impin yang baik dan menanggung segala resikonya.
Terakhir, dan untuk para pemimpin dan calon pem-impin.
Kita tentu masih ingat dengan cerita sahabat Umar Ra.. Bagaimana beliau memikul beras untuk orang miskin kare-na beliau tahu bahwa itu adalah tanggungjawabnya. Bahkan ketika ada budak yang ingin menggantikannya, beliau ma-lah marah dengan mengucapkan "apakah kamu mau mem-ikul dosa-dosaku nanti di akhirat?". Sekelas Umar Ra., sa-habat yang sudah di jamin masuk ke surga saja seperti itu. Nah, kita itu siapa? Mendekati Umar kah? Atau jangan-jangan seper-kuku-nya saja belum. Dan tentu kita tahu bah-wa Umar Ra. tidak pernah meminta jabatan amirul muk-minin di sematkan dirinya, bahkan waktu pertama kali diminta (dan bukan mencalonkan), sahabat yang mulia ini menolak. Sekali lagi kutanyakan, kita itu siapa?
*Penulis adalah mahasiswa tingkat III fakultas Syariah wal Qanun
RENUNGAN
Mereka yang Berlomba Mencari Beban
di Akhirat Oleh: Alda K. Yudha*