majalah diffa edisi 18 - juni 2012

72
diffa edisi 18 - Juni 2012 Media Dunia Disabilitas Perlukah Ujian Na- sional untuk Siswa SLB No. 18 - Juni 2012 l Rp 21.500,- Mas Bejo dan Pojok Disabilitas h.06 h.46 h.24 Latihan Kerja untuk Tunagrahita Anggie Regina dan Filma: Sinetron dan Down Syndrome S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N dia draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 1 5/22/12 7:21 PM

Upload: rudy-gunawan

Post on 22-Mar-2016

279 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Isu utama edisi 18 Majalah Diffa ini adalah "Latihan Kerja Untuk Tunagrahita"

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

diffa edisi 18 - Juni 2012

Media Dunia Disabilitas

Perlukah Ujian Na-sional untuk Siswa SLB

No. 18 - Juni 2012 l Rp 21.500,-

Mas Bejo dan Pojok Disabilitas h.06 h.46 h.24

Latihan Kerja untuk Tunagrahita

Anggie Regina dan Filma: Sinetron dan Down Syndrome

S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A Ndiffa

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 1 5/22/12 7:21 PM

Page 2: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 2 5/22/12 7:21 PM

Page 3: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

03diffa edisi 18 - Juni 2012

Miracle Still Happen

diffaS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N

Pemimpin Perusahaan/Pemimpin RedaksiFX Rudy Gunawan

General ManagerJonna Damanik

Redaktur EksekutifNestor Rico Tambunan

KonsultanYunanto Ali, HandoyoSinta Nuriah WahidMohamad Sobary, Jefri Fernando

RedakturIrwan Dwi KustantoAria IndrawatiMila K. KamilPurnama NingsihAthurtian

KontributorAndhika Puspita Dewi (Semarang)Fadjar Sodiq (Yogyakarta)Yovinus Guntur (Surabaya)Lutfi Anandika (Jawa Tengah)

Redaktur BahasaArwani

Redaktur KreatifEmilia SusiatiHilma Awalina Rizky

Fotografer Adrian MuljaSigit D Pratama

IlustratorDidi Purnomo

Iklan dan PromosiVenny Asyita Octatya

AdministrasiEka Rosdiana

Distribusi dan SirkulasiJonna DamanikBerliaman HalohoPT Trubus Media SwadayaJl Gunung Sahari III/7Jakarta Pusat 10610

PenerbitPT Diffa Swara MediaYayasan Mitra Netra

PercetakanPT Penebar Swadaya

Alamat RedaksiJl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430

Telepon 62 21 44278887Faxs 62 21 3928562e-mail: [email protected]

PERTANDINGAN penentu-

an juara Liga Utama Inggris

antara Manchester City dan

Queens Ranger Park ber-

langsung di luar ramalan,

analisis, dan hitungan-hitungan di atas

kertas dari para pengamat dan pakar sepak

bola. Dalam pertandingan pada 13 Mei

2012 malam itu, Manchester City ternyata

tidak menang dengan mudah. City bahkan

sempat kecolongan gol dan tertinggal 1-2.

Suatu hal yang sungguh di luar dugaan

banyak orang. Para fans City bahkan sudah

meneteskan air mata, menginjak-injak

jaket, kaos, syal, dan atribut yang mereka

bawa dengan penuh kekecewaan, kesedih-

an, dan kemarahan. Komentator pertan-

dingan sudah berucap, “…banjir airmata

sepertinya bakal segera melanda.…” Sang

pelatih, Roberto Mancini, juga dilanda ke-

bingungan karena tak mengerti mengapa

bisa terjadi seperti itu.

Harkafka Nagendra, 12 tahun, seorang

anak penggemar berat Manchester City di

kawasan Jabodetabek, pada menit-menit

akhir pertandingan, akhirnya berkomen-

tar pasrah, “…only miracle can help

City….” Sama seperti para penggemar lain

di seluruh pelosok dunia, Harkafka juga

sangat kecewa dan tak percaya kesebela-

san favorit nya bisa dipecundangi sam-

pai mendekati akhir pertandingan oleh

kesebelasan yang tak dijagokan dalam

liga itu. Akankah keajaiban terjadi? Masih

adakah keajaiban dalam hidup ini? Tentu

saja pertanyaan-pertanyaan itu tidak ter-

lintas dalam benak seorang anak berumur

12 tahun. Ketika mengucapkan kalimat

“only miracle can help City”, Harkafka jelas

percaya masih ada keajaiban dalam hidup

ini. Bahwa keajaiban masih terjadi dan bisa

diharapkan terjadi dalam situasi-situasi

yang di luar kuasa kekuatan dan kehebat-

an manusia.

Pikiran kanak-kanak yang masih

polos tidak terkontaminasi oleh kerumitan

dan arogansi kehebatan pikiran manusia

dewasa. Namun justru dalam kepolosan

pikiran itulah sebuah kekuatan yang jauh

lebih besar bisa kita temukan, bukan dalam

kerumitan atau kehebatan pikiran manusia

dewasa. Dalam kepolosan pikiran dan jiwa

kanak-kanak terdapat kepercayaan besar

pada kekuatan-kekuatan di luar nalar pikir-

an manusia dewasa. Dan dalam kepercaya-

an tanpa syarat pada kekuatan-kekuatan

itulah, keyakinan bahwa miracle still (atau

bahkan always) happen terjaga sebagai

sebuah keutuhan jiwa, hati, dan pikiran

seorang anak seperti Harkafka Nagendra.

Pada kasus duel Manchester City - Queens

Park Ranger, keajaiban lalu benar-benar

terjadi sebagaimana yang diyakini Harkaf-

ka. Dalam 2 menit terakhir dari waktu

tambahan, City berhasil mencetak dua gol

sehingga memenangi pertandingan itu dan

mewujudkan mimpi panjang 44 tahun,

menjadi juara Liga Utama Inggris.

Kisah nyata di atas bisa menjadi pela-

jaran penting bagi semua manusia dewasa,

baik penyandang disabilitas maupun

nondisabilitas. Dalam menjalani hidup,

kita –para manusia dewasa–terlalu banyak

terkontaminasi oleh arogansi kebablasan

yang akhirnya berujung pada frustrasi,

skeptik, dan akhirnya keputusasaan yang

terus-menerus berusaha kita ingkari. Kita

tak pernah mau mengakui dan kemudian

berserah diri dengan segala kerendahan

hati bahwa kita hidup karena kehendak

Yang Maha Kuasa dan bahwa kita ada

dalam kekuatan mahabesar Sang Maha

Kuasa. Dan dalam kekuatan mahabesar itu,

semua keajaiban bisa terjadi jika kita tetap

dan terus percaya tanpa sedetik pun ragu.

Para penyandang disabilitas seperti Nick

Vujicic, Stevie Wonder, atau Helen Keller

adalah bukti nyata bagaimana kekuatan

mahabesar Sang Pencipta mewujud di ha-

dapan kita semua. n FX Rudy Gunawan

Mata Hati

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 3 5/22/12 7:21 PM

Page 4: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

sambung rasa

04 diffa edisi 18 - Juni 2012

Salam dari London

HELLO, Bang Nestor, paribanku,

bagaimana kabar? Semoga

sehat-sehat selalu. Dua hari

yang lalu, saya menyempat-

kan membaca ulang majalah-

majalah diffa yang pariban kasih padaku waktu

kita bertemu di Jakarta, akhir April lalu. Wah,

aku sangat terharu dan tarilu (meneteskan air

mata – Red.). Keren sekali majalah ini. Pariban

dan teman-teman yang mengerjakan majalah

ini sungguh keren, karena punya visi sosial yang

bagus. Mestinya harus mendapat dukungan besar

dari pemerintah, organisasi atau yayasan-yayas-

an disabilitas di seluruh Indonesia.

Pariban, apakah saya bisa saya bisa berlang-

ganan? Saya ingin pesan 4 eksemplar tiap nomor

setiap bulan untuk dikirim ke kampung kita

di Tobasa. Salah satunya ke perpustakaan desa

yang baru saya rintis ketika pulang kemarin di

Lumbanlobu, Kec. Bonatua Lunasi, Kabupaten

Tobasa. Isi majalah ini akan menggugah kesadar-

an dan kehormatan orang Batak kepada orang

cacat. Mereka akan salut, karena ternyata banyak

orang catat lebih mandiri dari orang yang nor-

mal tapi malas.

Saya minta tolong, bagaimana cara pem-

bayarannya. Sebelumnya saya mengucapkan

banyak terimakasih. Sukses untuk Pariban dan

teman-teman di majalah diffa. Horas!

Nelly Br. Torus,

London, Inggris

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 4 5/22/12 7:21 PM

Page 5: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

daftar isi

05diffa edisi 18 - Juni 2012

Belajar dari Kesultanan Tidore 39pirantiMouse and Keyboard untuk Kaki 30

mata hatiMiracle Still Happen 03

cerita sampulSenyum Iim Bersama Dua Bidadari 06

berandaIsara Anak dari Kineck Xbox untuk Tunarungu 08

tapakBerbagi Kasih ala Smile For Children 20

kolom mas Bejo Pojok Disabilitas 24

sambung rasa 04sudut pandang 35apresiasi 38ragam 43konsultasi pendidikan 46ruang hati 48puisi 50cerpen 52konsultasi kesehatan 56pindai 58bisikan angin 62cermor 68pelangi 70

biografiGuru dan Pendamping Hellen Keller64

Did

i Pur

nom

o

Did

i Pur

nom

o

retinaPelatihan Kerja untuk Tunagra-hita 09

empati Berbuat Banyak Lewat Komite Sekolah 16

sosokLukisan Pembangkit Spirit 26

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 5 5/22/12 7:22 PM

Page 6: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

cerita sampul

06 diffa edisi 18 - Juni 2012

SORE itu menjadi hari yang berbeda untuk Filma

Aditya Fimartiananda yang akrab dipanggil

Iim, karena dia akan difoto untuk cover majalah

diffa. Iim seorang down syndrome yang me-

miliki banyak talenta. Dia bisa bernyanyi dan

berakting di depan kamera. Semua itu Iim dapatkan setelah

belajar di Sanggar Ananda, sekolah nonformal dalam

pengembangan talenta usia dini.

Sore itu Iim bersama ibu dan kakaknya sudah berada

di kantor VHRmedia, di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan.

Adrian dan Sigit sudah mempersiapkan perlengkapan

pemotretan. Sebelum pemotretan, FX Rudy Gunawan,

Pemred diffa, mengajak Iim bersama sang ibu Herlina dan

sang kakak Anggie ngobrol sambil bercanda, agar Iim tidak

bosan menunggu.

Iim anak kedua pasangan H. Kamaruzaman dan

Hj. Ir. Herlina Machmur MM. Iim anak istimewa. Meski

menyandang down syndrom, dia tidak minder pada teman

temannya. Dia sangat ceria dan tidak pemalu. Ia memiliki

banyak kegiatan. Selain sekolah di SLB, Iim juga mengikuti

sekolah akting.

Tak heran Iim meraih banyak prestasi. Tahun 1995 Iim

mendapat penghargaan juara favorit dalam lomba akting

lenong. Bersama grup lawak cilik, dia memperolah berbagai

penghargaan. Iim juga mendapatkan peran spesial mem-

bintangi film layar lebar Rumah Tanpa Jendela.

Prestasi Iim itu termotivasi oleh sang kakak, Kilau Angie

S.Psi, yang akrab disapa Anggie, artis multitalenta. Dia

bisa bernyanyi, berakting, dan menjadi pembawa acara. Di

bidang tarik suara, Angie sudah mengeluarkan dua album

solo. Di bidang akting, Anggie antara lain pernah main

dalam sinetron Lenong Bocah, Liontin, dan Rahasia Ilahi.

Di layar lebar Anggie pernah membintangi Buruan Cium

Gue.

Belakangan kesibukan artis Anggie sedikit berkurang.

Setelah mengantongi gelar sarjana psikologi, ia meneruskan

ke jenjang S2. Selain sibuk sebagai artis dan kuliah, Ang-

gie juga sering menyempatkan diri bermain bersama sang

adik. Memiliki adik yang berkebutuhan khusus tak pernah

Senyum Iim Bersama Dua Bidadari

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 6 5/22/12 7:22 PM

Page 7: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

07diffa edisi 18 - Juni 2012

membuat Anggie malu. Bahkan ia teramat sayang pada

Iim. “Pipi dan wajah polosnya itu yang bikin gue gemes,”

ujarnya.

Begitu pula dengan Herlina, sang ibu. Waktu pertama

mengetahui putranya menyandang down syndrom, Her-

lina kaget dan bingung. Tapi sang suami memberinya du-

kungan moral dan kekuatan. Akhirnya Herlina menyadari

putranya anak istimewa yang dititipkan Allah kepadanya.

Sejak itu ia mencari berbagai macam terapi dan pengobatan,

juga pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Semangat

dan kasih sayang Anggie dan Herlina menjadi payung yang

melindungi Iim. Ia seakan didampingi dua bidadari.

Pemotretan dimulai. Adrian mengatur pose Iim, Anggie,

dan Herlina. Tidak terlalu susah menyuruh Iim tersenyum,

karena sudah akrab dengan kamera. Anggie mengajak Iim

berpose dengan berbagai gaya sambil mengajak bercanda.

Hal ini memudahkan Sigit mengambil gambar. Hanya seki-

tar satu setengah jam sesi pemotretan rampung.

Sebelum pulang, Herlina menunaikan salat maghrib.

Melihat itu, Iim langsung melepaskan sepatunya. “Jangan

dibantuin. Dia sudah terbiasa mandiri kok,” kata Anggie, ke-

tika seorang kru diffa akan membantu melepaskan sepatu

Iim.

“Iim salat sendiri, ya. Mama kan sudah selesai,” ujar Her-

lina ketika selesai salat. Iim langsung mengambil sajadah

dan salat sendiri.

Tak lama kemudian, FX Rudy mengajak Iim, Anggie,

dan Herlina makan nasi kotak bersama-sama. Iim makan

sendiri sambil bercanda-canda. Tak tampak lelah di wajah-

nya. Dia tetap bersemangat. Begitu pula ketika pamit pulang

bersama kedua bidadari pendampingnya.

n Lutfi Anandika

Foto

: Sig

it D

. Pra

tam

a

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 7 5/22/12 7:22 PM

Page 8: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Beranda

08 diffa edisi 18 - Juni 2012

Foto

:-fo

to: H

avel

Har

dian

Ker

sna

Nar

endr

a, L

utfiT

EKNOLOGI terus berkembang di tengah kemajuan peradaban. Manusia mampu menyulap teknologi yang sudah ada men-jadi teknologi yang inovatif

dan luar biasa untuk membantu penyan-

dang disabilitas. Para penyandang tunarungu masih

dianggap kaum minoritas yang terping-girkan hak-haknya, termasuk dalam hal ini pemenuhan atas kebutuhan teknologi. Padahal, sebagai manusia, penyandang tunarungu memiliki hak yang sama untuk memperoleh edukasi dan informasi.

Dari pemikiran tersebut hadir alat Sensor Kinect XBOX 360 dari Micro-soft. Ini teknologi yang menjadikan game tambah mengasyikkan dengan menggunakan sensor gerak tubuh atau

Isara Anak dari Kinect Xbox untuk Tunarungu

 

gesture. Alat yang diciptakan dengan menggunakan Kinect sebagai sensor gerak dan video ini didesain agar tu-narungu menjadi lebih asyik, interaktif, real time, dan menyenangkan dalam belajar bahasa isyarat.

Aplikasi Isara kamus bahasa isyarat ini berbasis Natural User Interface (NUI). Aplikasi ini utamaya merupakan perangkat sensor yang dihubungkan dengan PC webcam. Pengguna berdiri di depan sensor dalam jarak satu meter. Dalam layar akan muncul menu utama berisi kamus, video, dan game yang semuanya berbasis gesture. Fitur game berisi tebakan kosakata yang harus dijawab dengan gesture. Pengguna menirukan gambar video, kemudian terlihat apakah gerakan tubuh benar atau belum. Jika salah atau benar akan

muncul notifikasi. Teknologi tersebut ditujukan agar

perbedaan para penyandang disabili-tas tidak menjadi penghalang untuk menikmati kecanggihan teknologi dan, menjadi manusia yang “sadar teknolo-gi”. n Athurtian

Sumber gambar:

http://web-vassets.ea.com/Assets/Richme-dia/Image/Screenshots/Kinect_RH_01-uk.jpg?cb=1315963650

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 8 5/22/12 7:22 PM

Page 9: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

retina

W

09diffa edisi 18 - Juni 2012

Pelatihan Kerja untuk Tunagrahita

Foto

:-fo

to: H

avel

Har

dian

Ker

sna

Nar

endr

a, L

utfi

Anak dengan tunagrahita (ADTG), penyandang dis-abilitas dengan keterba-tasan kecerdasan, termasuk insan yang sulit memperoleh kesempatan kerja karena keterbatasan intelektual dan mental yang tidak stabil. Beberapa lembaga membuat unit latihan kerja khusus untuk mereka.

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 9 5/22/12 7:22 PM

Page 10: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

10 diffa edisi 18 - Juni 2012

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 10 5/22/12 7:22 PM

Page 11: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

11diffa edisi 18 - Juni 2012

ANAK dengan tunagrahita (ADTG), penyandang disabilitas dengan

keterbatasan kecerdasan, termasuk insan yang sulit memperoleh

kesempatan kerja karena keterbatasan intelektual dan mental

yang tidak stabil. Beberapa lembaga membuat unit latihan kerja

khusus untuk mereka.

Salah satu lembaga yang memiliki unit latihan kerja khusus untuk penyan-

dang disabilitas tunagrahita adalah SLB Unit Latihan Kerja di Jalan Lebak Bulus 3,

Jakarta Selatan. Lembaga pendidikan ini berdiri dan beroperasi sejak tahun 1987

dan telah berbuat banyak hal sangat berarti dan berguna untuk anak-anak belia

penyandang tunagrahita.

Pendidikan dan PelatihanRamartini, Kepala Sekolah SLB Unit Latihan Kerja, mengatakan awalnya lem-

baga pendidikan ini hanya berupa tempat pelatihan kerja di bawah Dinas Sosial

Pemda DKI Jakarta. Tanah tempat berdirinya lembaga pendidikan ini berupa ta-

nah seluas 3.500 m² hibah Gubernur Ali Sadikin. Agar dapat memberikan layanan

yang lebih bebas dan luas, status lembaga pelatihan diubah menjadi sekolah luar

biasa (SLB) dan pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Bina Karya Wahana.

Dengan status sebagai SLB, lembaga ini memberikan layanan pendidikan dari

tingkat SD, SMP, hingga SMA dan menerima segala jenis disabilitas, bahkan yang

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 11 5/22/12 7:22 PM

Page 12: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

12 diffa edisi 18 - Juni 2012

Masruchah Lily Purba

double handicap alias disabilitas gan-

da. Yang khas dan menonjol dari SLB

ini, sesuai dengan namanya, adalah

unit latihan kerja. Mayoritas yang

mengikuti pendidikan di unit latihan

kerja ini penyandang tunagrahita.

Penyandang disabilitas tunagrahi-

ta termasuk paling sulit masuk dalam

lapangan kerja karena mental tidak

stabil. “Mereka tiba-tiba bisa ngambek,

mogok kerja, atau ngamuk. Hari ini

mau kerja, besok nggak. Atau maunya

hanya mengerjakan yang dia suka.

Ya, bekerja kan tidak boleh seperti itu,”

ujar Ramartini.

Karena itu, unit pelatihan kerja

di SLB ini dibagi menjadi dua bagian.

Pertama, pelatihan kerja tingkat dasar,

meliputi pemanduan atau pemilihan

bakat hingga pelatihan sampai tahap

mampu bekerja atau berproduksi. Ba-

gian kedua unit workshop. Di bagian

ini anak-anak yang sudah mengikuti

pelatihan dan mampu berproduksi

mengerjakan pesanan dan mem-

peroleh penghasilan.

Pendidikan latihan kerja berlang-

sung selama tiga tahun. Setelah lulus,

peserta pelatihan diberikan sertifikasi

sesuai bidang pelatihan. Sertifikasi itu

untuk bukti keahlian mereka sekaligus

untuk memudahkan mereka mencari

kerja. “Biasanya, ada yang diterima

untuk bekerja di luar. Ada yang bekerja

secara mandiri. Mereka yang belum

mendapat kesempatan bekerja di luar,

kami tampung di unit workshop,” kata

Ramartini.

Lulusan yang diterima bekerja di

luar, menurut Ramartini, ada yang

bekerja jadi office boy. Sementara yang

memilih bekerja mandiri, antara lain

membuka usaha air isi ulang. “Tapi

kebanyakan memilih bekerja di work-

shop di sini, mengerjakan pesanan-

pesanan,” ujar sarjana pendidikan

lulusan Universitas Negeri Jakarta ini.

Fasilitas dan PelatihanSejalan dengan perkembangan

dan perjalanan waktu, kini di lokasi

SLB ini tersedia berbagai layakan pen-

didikan dan pelatihan beserta sarana

dan prasana pendukungnya. Prasa-

rana utama adalah bangunan gedung

sekolah SLB beserta berbagai fasilitas

pendukungnya, ruang baca, dapur,

ruang makan, dan asrama. Juga ada

lapangan serbaguna

yang bisa digunakan

untuk tempat upa-

cara, lapangan senam

aerobik, olahraga bulu

tangkis, sepak bola, dan

sebagainya. Ada pula

lapangan khusus olah-

raga bocci, permainan

bola khusus penyan-

dang tunagrahita.

SLB ini memiliki

beberapa ruang untuk

pelatihan kerja dan

workshop. Unit latihan

kerja dalam ruangan

antara lain perkayuan,

tata busana, tenun,

sablon, dan tata boga.

Tanah kosong di peka-

rangan sekolah dimanfaatkan untuk

pertanian.

Menurut Sumardi, guru sekaligus

pembimbing, di bidang perkayuan,

peserta pelatihan didik membuat alat

peraga untuk anak TK seperti balok

dan puzzle (bongkar pasang). Bidang

sablon dan percetakan membuat kop

surat dan amplop. Di bidang kerajinan

membuat hiasan meja dan dinding,

antara lain tempat tisu. Biasanya hasil

kerajinan itu dijual saat ada undangan

berpam-

eran.

Di

bidang

tata boga,

untuk

kesehar-

ian anak-

anak yang

mengikuti

pelatihan

menjual

makanan

ringan ke

kantin-

kantin.

“Saat

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 12 5/22/12 7:22 PM

Page 13: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

13diffa edisi 18 - Juni 2012

Lebaran atau hari besar lainnya, kami

juga mendapat banyak pesanan kue,”

ujar Sumardi.

Di bidang pertanian, anak-anak

dilatih menanam, memelihara, dan

memanen berbagai tanaman sayuran,

seperti jagung, kangkung, terong,

bayam, singkong, dan pisang. Untuk

menghemat pengeluaran, peserta

pelatihan diajari memanfaatkan ba-

han yang ada untuk dijadikan pupuk

kompos.

Selain aneka pelatihan dan

workshop SLB ini juga menyediakan

asrama dengan kapasitas 20 orang

untuk anak-anak yang mengalami

kendala transportasi atau tempat

tinggalnya jauh. Kamar asrama berisi

tempat tidur, lemari, dan meja kecil.

Ada seorang penanggung jawab untuk

mengurus dan mengawasi mereka

selama di asrama.

Ada perjanjian dan persyaratan

tertentu untuk tinggal di asrama.

Menurut Sumardi, perlu kejelasan

misalnya punya riwayat sakit apa,

kalau kambuh penanganannya harus

bagaimana, rumah sakit langganan,

dannya, biasanya di mana. Kalau hari

libur, mereka harus tetap dijemput dan

tinggal bersama keluarga.

SLB ini mengantisipasi jika ada

orang tua yang kesulitan ekonomi.

“Karena, tidak semua orang keadaan

ekonominya sama. Kami bantu den-

gan pembebasan biaya yang berasal

dari subsidi dana BOS. Selebihnya

dibantu pihak yayasan,” jelas Sumardi.

Dikelola BersamaMenurut Sumardi, yang sudah

memegang unit latihan kerja selama

tiga tahun, pengelolaan latihan kerja

dan workshop serta penyaluran hasil-

nya dilakukan bersama-sama. Ada

pengurus yang mendampingi anak-

anak bekerja, ada yang menyalurkan

atau memasarkan ke masyarakat.

Hasilnya dari semua unit disetor

ke yayasan untuk menambah biaya

operasional. Sebagian dari penghasilan

dikembalikan kepada anak-anak yang

bekerja di workshop sebagai insentif

dan penyemangat. “Tidak terlalu besar.

Tapi mereka bisa mendapatkan sekitar

Rp 200 ribu.“

Dari seluruh unit latihan kerja

dan workshop pemasukan terbesar

diperolah dari pertanian. Hasil perta-

nian biasanya dijual ke masyarakat

sekitar. “Pisang kami tidak menjualnya

kepada masyarakat umum, karena di

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 13 5/22/12 7:22 PM

Page 14: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

14 diffa edisi 18 - Juni 2012

lingkungan ini sendiri sudah sangat

laris,” katanya.

Selain untuk memperoleh

pemasukan, penjualan ke masyara-

kat sekaligus untuk menunjukkan

bahwa anak-anak peserta unit latihan

kerja bisa menghasilkan sesuatu atau

mengerjakan sesuatu yang berguna.

“Keuntungan belum kami pikirkan

secara ekonomi profesional. Tapi, ya

tetap masih ada pemasukan,” ujar

Sumardi.

Unit latihan kerja tata boga pun

demikian. Selain secara rutin meny-

alurkan kue ke kantin-kantin, unit ini

juga mendapat banyak pesanan pada

waktu tertentu, misalnya saat Lebaran

dan Hari Natal.

Begitu pula hasil unit latihan kerja

lain seperti perkayuan dan tata boga.

Menurut Sumardi, alat-alat bantu

pelajaran motorik

bagi anak-anak TK

, seperti puzzle

bongkar pasang,

dan alat permain-

an susun, hasil

kerja anak-anak

tunagrahita tidak

kalah bagus dari

buatan pabrik.

“Pokoknya apa

saja kami lakukan

demi mencapai

visi dan misi Ulaka

(unit latihan kerja)

ini, yaitu menja-

dikan anak-anak

yang siap bersaing

dalam dunia kerja

yang sesungguh-

nya.”

ULK Versi Asih Budi

Lembaga

pendidikan lain

yang sudah lama

memiliki unit latihan kerja adalah

Sekolah Asih Budi. Selain memberikan

layanan pendidikan dari TK/LB hingga

SMA/LB, Asih Budi juga memiliki

ULK dengan empat bidang kegiatan,

yaitu tata boga, tata busa/keterampilan

menjahit, hasta karya, serta sablon dan

percetakan.

“Yang berjalan dengan baik tata

busana, menjahit, dan kerajinan dari

tekstil. Sekarang kami punya outlet di

daerah Mega Kuningan. Permintaan-

nya cukup baik,” kata Toeti Aryanto,

Ketua Yayasan Asih Budi, sudah 30

tahun memimpin Asih Budi. Unit

lain yang memberikan harapan cerah

adalah layanan sablon dan per-

cetakan. “Layanan ini sudah mendapat

order rutin, antara lain dari sebuah

sekolah swasta di Jakarta. Semua buku

dan barang cetakan sekolah tersebut

dipesan di Ulaka Asih Budi.”

Menurut ibu yang mendiang

anaknya juga penyandang tunagra-

hita ini, ULK sangat penting, bahkan

jadi muara utama dari pemberdayaan

anak tunagrahita. “Sebab, dari semua

penyandang disabilitas, yang paling

termarginalkan tunagrahita. Yang

lain-lain kan bisa menggunakan

intelektualnya, bisa masuk sekolah

inklusi, dan sebagainya. Mereka ini

nggak. Nggak ada kurikulim untuk

tunagrahita di dalam sekolah inklusif.”

Karena itu, menurut Toeti Ary-

anto, penyandang tunagrahita perlu

mendapat perhatian yang lebih spe-

sifik dan intens, seperti menyediakan

ULK. “Perlu dibangkitkan kepedulian

dan layanannya terhadap komunitas

tunagrahita, agar mendapat kesempa-

tan yang sama pada setiap aspek ke-

hidupan dan penghidupan, terutama

dalam hal kemampuan mandiri dan

bekerja.” Karena itu, menurut mantan

pejabat bank ini, Asih Budi termasuk

yang pertama merintis pendirian unit

latihan kerja.

Pemerintah dan masyarakat

memang masih perlu berbuat ban-

yak. Karena lembaga pendidikan,

khususnya unit latihan kerja untuk

penyandang tunagrahita di negeri kita

amat sedikit. Bisa dihitung dengan jari.

Betapa! n Hilma/Nestor

Foto-Foto: Sigit D. Pratama, Lutfi A.

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 14 5/22/12 7:22 PM

Page 15: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

15diffa edisi 18 - Juni 2012

Jangan Mengaku Sudah Beradab

Kalau Belum Memahami

DISABILITAS..!

Majalah diffa

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 15 5/22/12 7:22 PM

Page 16: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

empati

16 diffa edisi 18 - Juni 2012

Berbuat Banyak Lewat Komite

Sekolah

Budiarti Sofyan

BUDIARTI Sofyan,

yang biasa dipanggil Bu

Yayuk, mungkin tidak

seterkenal aktivis disabi-

litas lain. Tetapi ia salah

satu sosok ibu yang mau, mampu,

dan banyak berbuat untuk anak-anak

berkebutuhan khusus (ABK), khusus-

nya tunagrahita.

Kebetulan, salah seorang buah

hati Bu Yayuk, Amal Zaky Sofyan,

penyandang tunagrahita. Kebetulan

pula, di semua sekolah tempat Amal

belajar, Bu Yayuk selalu dipercaya

menjadi ketua komite sekolah. Baik

ketika di SD Asih Budi, SMP Wimar

Asih, maupun SLB Ulaka Penca seka-

rang ini.

Mengapa Bu Yayuk jadi “spesialis”

ketua komite sekolah? Apa saja yang

bisa dilakukan lewat organisasi per-

satuan orang tua murid ini? Ternyata

peran orang tua memang sangat besar

dalam penanganan disabilitas. Berikut

petikan percakapan Bu Yayuk dengan

diffa.

Sejak kapan aktif dalam organisasi komite sekolah?

Saat anak saya Amal memasu-

ki usia delapan tahun, tepatnya

tahun 1988. Ketika itu saya melihat

ia butuh perhatian lebih dari saya.

Sebelumnya ia lebih banyak diasuh

oleh omanya. Setelah itu saya turun

tangan sendiri mengasuhnya. Sejak

saat itu juga saya mulai aktif dalam

kepengurusan komite sekolah di

tempat anak saya belajar, di Asih

Budi. Dulu, namanya masih POM

(persatuan orang tua murid). Anak

saya sekolah di Asih Budi hanya

sampai SD. Untuk tingkat SMP,

sekolah Asih Budi berlokasi di Du-

ren Sawit, Jakarta Timur.

Buat saya terlalu jauh. Jadi,

saya menyekolahkan Amal di SMP

Wimar Asih, yang lebih dekat ke

rumah, di Pejaten.

Mengapa hanya aktif dalam komite sekolah? Tidak ingin masuk kepengurusan yayasan?

Saya memang tidak pernah

mau terlibat dengan yayasan.

Karena saya berpikir, kalau di POM

saya bekerja sama dengan orang

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 16 5/22/12 7:22 PM

Page 17: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

17diffa edisi 18 - Juni 2012

Foto

: Sig

it D

. Pra

tam

a

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 17 5/22/12 7:22 PM

Page 18: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

18 diffa edisi 18 - Juni 2012

tua yang lain. Kalau di yayasan

itu, kan lain. Kalau terjun langsung

di sekolah, saya akan lebih dekat

dengan guru, orang tua, dan anak-

anak. Kebetulan, di semua tempat

anak saya sekolah, saya selalu diberi

kepercayaan menjadi ketua komite.

Saya berusaha selalu menjalankan

kepercayaan itu dengan baik.

Apa saja kegiatan dan tanggung jawab ketua komite sekolah?

Kegiatan yang dilakukan

biasanya bersifat insidentil. Seperti

kegiatan di SOIna (Special Olympic

Indonesia), mengadakan berbagai

lomba. Saya lebih suka terjun lang-

sung bersama anak-anak, bermain

bersama anak-anak. Terus terang,

kepuasan saya ada di situ: bisa

main dengan anak-anak. Kalau

suntuk di rumah, saya bisa seharian

bermain dengan mereka. Rasanya

hidup saya untuk mereka. Di sana

saya merasa beruntung sekali jadi

manusia, dibandingkan dengan

anak-anak itu, yang selalu membu-

tuhkan dampingan, perhatian, dan

kasih sayang.

Meskipun demikian, saya juga

tetap punya kehidupan lain. Selain

sibuk mengurus keluarga, dulu saya

juga aktif di kepengurusan Dharma

Wanita. Saya juga kan harus melu-

angkan waktu khusus untuk Amal.

Ya, saya harus pintar-pintar juga un-

tuk membagi waktu. Tapi, sekarang

sudah pensiun. Sudah selesai.

Kalau untuk kegiatan sekolah,

biasanya tidak terlalu padat atau

sibuk. Biasanya, kalau ada acara tu-

juh belasan, saya bantu koordinasi,

mencari dana, dan macam-macam.

Kadang-kadang ada masalah, seperti

kekurangan guru atau masalah lain

yang kurang tertangani. Tapi biasa-

nya kami bisa bersama-sama men-

cari solusinya. Contoh masalah yang

terakhir kam tangani, pembangun an

asrama. Itu kerja komite sekolah.

Untuk apa asrama itu?Asrama itu untuk anak-anak. Ada

beberapa murid di sini yang tidak bisa

mengikuti pendidikan karena terken-

dala transportasi. Dulu kami punya

dua unit mobil untuk antar-jemput.

Karena rusak, sedangkan kami tidak

punya biaya perbaikan, dan yayasan

belum mampu mengganti, akhirnya

untuk jalan keluar kami buat asrama.

Tapi, dengan adanya asrama itu

kami tidak mau anak-anak seratus

persen ada di asrama. Hanya pada hari

sekolah. Jumat siang mereka harus

dijemput keluarga masing-masing.

Kemudian Senin pagi baru diantar

kembali untuk bersekolah.

Maksud kami dengan aturan

seperti itu, mereka tetap punya waktu

dengan keluarga. Karena yang sudah-

sudah, banyak sekali saya perhatikan,

tidak semua orang tua mau mengurus

sepenuhnya anak mereka yang berke-

butuhan khusus. Dengan berbagai

alasan, dan terus terang banyak orang

tua yang merasa terbeban, sehingga

membiarkan anak-anak mereka ting-

gal menetap di asrama. Mereka hanya

memberikan uang untuk biaya pera-

watan. Tidak ada kasih sayang. Pada-

hal, anak-anak ini kan tetap manusia

yang butuh kasih sayang keluarga.

Tapi, buat saya, semua yang saya

lakukan ini bukanlah beban. Saya

selalu berpikir ini adalah ladang amal.

Jadi, saya jalankan dengan senang

hati. Untuk asrama itu saya tidak

bekerja sendiri, bersama teman yang

lain. Tapi, karena tesman saya harus

ikut suami bertugas di luar negeri,

untuk sementara saya tangani sendiri

dengan anggota lain.

Apa kesulitan selama menjadi ketua komite sekolah?

Sebenarnya, karena menjalani

dengan enjoy, saya tidak merasa ada

beban, tidak pernah merasa sulit.

Hanya kadang-kadang saya merasa

prihatin. Saya ingin berbuat lebih ba-

nyak, tapi kemampuan saya terbatas.

Saya juga salut pada guru-guru di

sini, yang begitu sabar. Hari-harinya

dihabiskan bersama anak-anak. Kalau

dipikir-pikir, saya punya anak satu

saja masih butuh banyak bantuan

dari keluarga. Sedangkan, di sini satu

guru bisa menangani beberapa anak.

Itu luar biasa buat saya. Saya sangat

hargai. Sejauh ini kesulitannya hampir

tidak ada. Saya happy-happy saja.

Saya malah senang kalau Ibu Martini,

Kepala Sekolah, butuh bantuan saya

dan saya bisa bantu.

Bagaimana pelayanan yang diberikan? Apakah sudah merasa puas?

Bicara soal pelayanan, sebenarnya

kalau dibilang kurang, ya kurang

maksimal, sih. Tapi itu sebatas keter-

batasan guru-guru dalam menangani

mereka. Kalau saya lihat dan boleh

mengusulkan, saya ingin dalam satu

bulan ini ada dokter gigi yang mau

mampir ke sini, memeriksa, melihat

gigi anak-anak. Lalu, bulan berikutnya

ada dokter umum memeriksa kese-

hatan anak-anak. Hal tersebut juga

berguna untuk memperkenalkan

me reka dengan dokter. Anak-anak ini

juga kan kalau dibawa ke dokter gigi

atau dokter umum sangat sulit. Tapi

untuk saat ini, usul tersebut masih

terkendala dengan keterbatasan dana.

Selain itu, yang sudah dilaksa-

nakan soal pelayanan, yaitu diberikan

makan siang untuk anak-anak. Hal

itu saya usulkan atas dasar jam belajar

mereka yang cukup panjang. Karena

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 18 5/22/12 7:22 PM

Page 19: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Foto

: Sig

it D

. Pra

tam

a

19diffa edisi 14 - Februari 2012

Foto

: Dok

. Hum

as U

GM

waktu itu saya usulkan agar hari Sabtu

diliburkan, otomatis jam belajar di

hari lain harus ditambah. Jadi, mereka

belajar dari pukul 08.00 sampai 15.00.

Dan untuk mendukung aktivitas be-

lajar yang padat, saya usulkan seperti

itu. Kan sudah tersedia dapur dan

ruang makan. Di asrama sudah ada

penanggung jawab satu orang, karena

memang yang tinggal di asrama baru

tiga anak.

Interaksi guru dengan anak-anak

sangat baik. Menurut saya, guru-

guru ini hebat. Tidak ada perbedaan

sikap dalam menangani setiap anak.

Contoh nya, perlakuan guru-guru

terhadap anak saya. Mereka perlaku-

kan sama seperti kepada anak-anak

lain. Memang dari awal saya sudah

katakan, “Saya tidak mau anak saya

diistimewakan.”

Pelayanan dalam hal biaya? Bagaimana dengan orang tua yang secara ekonomi kurang mampu?

Untuk hal itu, di sini banyak orang

tua yang tidak mampu secara ekono-

mi, sehingga dibebaskan dari biaya

SPP. Kan dari pemerintah juga sudah

ada bantuan subsidi, seperti dana BOS.

Kami manfaatkanlah bantuan itu.

Selebihnya, ya dibantu oleh yayasan.

Apa rencana ke depan sebagai ketua komite sekolah?

Saya bersama dengan anggota

komite yang lain ingin mencari tena-

ga-tenaga relawan seperti dokter gigi,

mahasiswa dari fakultas kedokteran

gigi atau umum. Pokoknya pelayanan

kesehatan dari pihak lain. Misalnya

dari salah satu produsen pasta gigi un-

tuk menjaga kesehatan gigi anak-anak.

Ibu merasa bangga dengan tanggung jawab ini?

Oh, kalau dibilang kebanggaan

sih, ya nggaklah. Saya lakukan ini un-

tuk ibadah. Untuk anak-anak. Kalau

dibilang kebanggaan, saya merasa

belum banyak berbuat apa-apa untuk

anak-anak itu. Tidak seperti jasa guru

kepada anak-anak muridnya. Saya

hanya turut membantu.

Apa pesan untuk para orang tua dengan anak tunagrahita?

Satu hal yang paling penting,

luangkanlah waktu untuk anak-anak

kita. Saya melihat banyak juga orang

tua yang sulit sekali meluangkan

waktu untuk anak sendiri. Seka-

dar mengambil rapor anak-anak

mereka, banyak orang tua yang

menyuruh anggota keluarga

lain, bahkan pengasuh. Padahal,

kedatangan orang tua ke sekolah

akan memudahkan komunikasi

dan sharing langsung antara guru

dan orang tua. Toh, itu semua un-

tuk anak sendiri. Mereka sangat

butuh perhatian dan kasih sayang

kita, terutama orang tua.

n Hilma Awalina

BUDIARTI lahir di Jakarta, 28 Januari 1955. Ia meni-

kah dengan Sofyan Rais, asal Aceh yang bekerja di

Elnusa, 28 Oktober 1977. Mereka dikaruniai tiga buah

hati: Nadya Ismoedi (33 tahun), Amal Zaky Sofyan

(31 tahun), dan Ziad “Emenk” Risqi (30 tahun).

Anak nomor dua, Amal Zaky Sofyan, menjadi anak spesial

karena karena menyandang tunagrahita. Tapi kondisi itu tidak

mempengaruhi kasih sayang keluarga, bahkan mendorong Bu Ya-

yuk banyak berbuat untuk dunia tunagrahita. Amal berkembang

menjadi atlet Special Olympic dan pernah meraih medali emas

tingkat Asia-Pasifik dalam olahraga bocci, permainan bola khusus

penyandang tunagrahita.

Amal menempuh pendidikan formal hingga lulus SMA-LB

dan kini mengikuti pelatihan di SLB Unit Latihan Kerja Penca di

Lebak Bulus, di mana Bu Yayuk juga jadi ketua komite sekolah.

Keluarga Sofyan Rais tinggal di rumah yang nyaman di kawasan

Pejaten, Jakarta Selatan.

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 19 5/22/12 7:22 PM

Page 20: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

tapak

20 diffa edisi 18 - Juni 2012

Berbagi Kasih ala Smile For Children

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 20 5/22/12 7:22 PM

Page 21: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

21diffa edisi 18 - Juni 2012

KEBAHAGIAAN bisa lahir dari memberi. Itu-

lah yang dilakukan anak-anak muda Yogya-

karta yang bergabung dalam komunitas Smile

For Children. Mereka berbagi kebahagian

dengan anak-anak penyandang disabilitas

dari panti asuhan.

Ruang kafe di kawasan Monjali, Yogya, malam 2 Mei

2012 itu lebih ramai dari hari biasa. Rombongan anak-anak

istimewa penyandang aneka disabilitas memadati salah

satu sudut kafe. Mereka memeriahkan konser amal yang

diselenggarakan komunitas Smile For Children.

Konser bertajuk Charity for Difable itu untuk mencari

dana yang akan disumbangkan ke panti-panti anak berke-

butuhan khusus. Ada dua panti yang diundang dan akan

mendapatkan sumbangan dana dari acara tersebut, yaitu

Panti Asuhan Sayap Ibu dari Kalasan dan Panti Asuhan

Bina Remaja dari Monjali.

Komunitas Smile For Children atau SFC terbentuk

pada 2 Desember 2011. Mereka sudah melakukan ban-

yak hal untuk berbagi kebahagiaan dengan anak-anak

penyandang disabilitas. SFC memiliki 70 anggota aktif

dan banyak anggota donatur. Para anggota iuran Rp 25

ribu untuk serangkaian kegiatan, termasuk menyum-

bang panti asuhan.

Komunitas SFC berjalan per periode. Tiga bulan

sekali dilakukan pergantian pengurus. Ketua periode

ke-2 saat ini Asari Taswin yang biasa dipanggil Mas Ari.

Ia juga sedang menggalakkan kegiatan sosial dengan

anak panti asuhan berkebutuhan khusus.

“SFC ingin berbagi kebahagian dengan cara menga-

jak anak-anak bernyanyi, sekalian membantu mereka

dengan menyumbangkan sedikit dana,” ujar Radin,

ketua panitia Charity for Difable.

Para pengunjung disuguhi penampilan band-band

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 21 5/22/12 7:22 PM

Page 22: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

22 diffa edisi 18 - Juni 2012

Foto

-foto

: Lut

fi A

.

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 22 5/22/12 7:22 PM

Page 23: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

23diffa edisi 18 - Juni 2012

asal Yogya, di antaranya Kata Kita, Devous, 81 liiv, serta

Jony and Friends. Pengunjung juga diajak tertawa lewat

penampilan stand up comedy dari Universitas Negeri Yog-

yakarta.

Di pertengahan acara, anak-anak dari Sayap Ibu dan

Bina Remaja berpartisipasi memeriahkan acara. Anak-anak

berkebutuhan khusus itu menyanyikan beberapa lagu,

antara lain “Bunda” ciptaan Melly Guslouw dan “Jangan

Mmenyerah” ciptaan D’Masiv. Penampilan mereka disam-

but tepuk tangan meriah penonron.

Menurut Radin, justru anak-anak itu meminta ikut

mengisi acara. Panitia langsung mempersiapkan pendu-

kung dan pendamping. Salah satu band juga kemudian

mengajak anak-anak bernyanyi bersama.

Di tengah keceriaan, panitia menyodorkan kejutan

berupa sebuah video serangkaian kegiatan di beberapa

panti sebelum acara konser. Ada rangkaian permain-

an game, kegiatan outbond, dan sebagainya. Video

menampilkan keceriaan anak-anak bercanda dengan

anggota komunitas SFC yang membuat anak-anak

dan pendamping tersenyum dan tertawa.

Selama acara, panitia berkeliling membawa kotak

untuk mengumpulkan dana amal dari pengunjung.

“Kotak ini adalah kotak ajaib. Seberapa pun kebaha-

giaan yang Anda masukkan di dalamnya, akan

berlipat ganda kebahagiaan yang Tuhan berikan

kembali,” ujar Radin.

Acara berakhir dengan kegembiraan anak-anak

dan para pengunjung kafe serta panitia. Komunitas

Smile For Children sukses berbagi senyum kebaha-

giaan bagi anak-anak penyandang disabilitas.

n Lutfi Anandika

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 23 5/22/12 7:22 PM

Page 24: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

24 diffa edisi 18 - Juni 2012

kolom mas bejo

Pojok Disabilitas

FX. Rudy Gunawan IDE untuk memunculkan

pojok disabilitas terpercik

dalam pembicaraan Mas

Bejo di tengah kerja keras

awak redaksi diffa yang

berjuang memenuhi tenggat waktu

atau deadline penerbitan. Mas Bejo

hadir di tengah-tengah kesibukan

itu karena kebetulan hari “libur

kejepit” nasional yang sekarang

lebih dikenal dengan istilah cuti

bersama. Jadi, pada saat sebagian

besar orang Jakarta berlibur ke

Puncak, Bandung, Anyer, atau

tempat rekreasi lain, para awak

redaksi justru bekerja keras tanpa

kenal lelah. Itulah dedikasi mereka

pada dunia disabilitas. Selain itu,

mungkin juga karena orang-orang

seperti Mas Bejo dan awak redaksi

memang tidak cukup punya uang

untuk berlibur. “Hahaha, ya benar

sekali itu, Mas Bejo,” sahut salah

seorang staf redaksi sambil tertawa

keras. Untuk soal kemampuan

menertawakan diri sendiri, di ka-

langan kawan-kawan penyandang

disabilitas memang sudah menjadi

kemampuan tersendiri, termasuk

kalangan yang akrab dan dekat

dengan mereka seperti tim redaksi

diffa. Mas Bejo pun belajar untuk

menertawakan diri sendiri dari

mereka.

Hidup ini lucu. Itulah kalimat

yang sering dilontarkan kawan

Mas Bejo, seorang penulis yang

bukan penyandang disabilitas.

Namun, meski kawan penulis ini

sangat meyakini pendapatnya

tentang hidup yang lucu itu, Mas

Bejo masih lebih sering melihatnya

berwajah murung daripada tertawa-

tawa. Sebaliknya, para penyandang

disabilitas yang hidupnya jauh lebih

terpuruk, baik oleh keadaan eksternal

maupun internal mereka, kerap lebih

sering tertawa-tawa, meski itu seka-

dar menertawakan diri sendiri. Tentu

tak semua memiliki kemampuan

itu. Banyak juga yang masih “asyik”

terpuruk dalam hidup yang penuh

kemurungan. Pada akhirnya pilihan

ada di tangan kita masing-masing. Na-

mun, bagi mereka yang mau bangkit

dari keterpurukan —disabilitas atau

bukan—pasti pertama-tama harus

bisa belajar menertawakan diri sendiri

terlebih dulu. Selanjutnya, upaya

kebangkitan atau keluar dari keterpu-

rukan akan bisa menjadi sesuatu yang

tidak melulu dipenuhi derai air mata.

Keluar dari KeterpurukanTema “keluar dari keterpurukan”

itulah yang menjadi pintu masuk

munculnya ide pojok disabilitas. Se-

lama ini, sepanjang sejarah perjuang-

an disabilitas di berbagai wilayah atau

bidang kehidupan, hanya segelintir

penyandang disabilitas yang ter-

ekspose oleh media dan kemudian

diketahui masyarakat luas. Biasanya

itu lebih disebabkan adanya faktor

akses pada media yang sangat sedikit

dimiliki para penyandang disabili-

tas. Media massa adalah dunia yang

kini lebih banyak dikendalikan oleh

hukum dagang dan industri, sehingga

jika secara dagang dan industri, dunia

disabilitas tidak profitable, atau tidak

bisa mendatangkan untung, maka por-

Did

i Pur

nom

o

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 24 5/22/12 7:22 PM

Page 25: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

25diffa edisi 18 - Juni 2012

si peluangnya untuk muncul di media

massa menjadi sangat kecil. Padahal,

sebenarnya asumsi tersebut juga

belum tentu benar, karena secara kasar

saja, jumlah penyandang disabilitas

di setiap negara lebih kurang 10% dari

jumlah total penduduk. Artinya, untuk

industri apa pun di Indonesia, angka

25 juta orang adalah potensi pasar

yang sangat besar untuk mendatang-

kan keuntungan.

Lepas dari konteks industri besar,

para penyandang disabilitas dalam

skala sangat kecil selama ini telah

berjuang untuk menjadi bagian atau

kelompok masyarakat yang juga

produktif. Mereka mencoba keluar dari

kungkungan keterpurukan sebagai

kelompok yang termarginalkan dan

terdiskriminasi dengan mengikuti kur-

sus-kursus di balai atau unit latihan

kerja sampai memiliki keterampilan

untuk memproduksi barang-barang

kerajinan yang bisa dijual. Tahap

mempelajari suatu keterampilan

sampai masuk dalam proses produksi

masih merupakan tahapan yang boleh

dikatakan menyenangkan, karena

belum berhadapan dengan persoalan

paling berat dalam dunia industri

sesungguhnya, mulai dari permodalan

sampai strategi pemasaran. Mas Bejo

yang pernah beberapa kali terjun ke

dunia bisnis juga merasakan betul

betapa susah proses mencari modal

dan kemudian proses memasarkan

hasil produksi. Nah, dari membahas

yang sulit-sulit inilah terlontar ide

dari Jonna Damanik, General Manager

diffa, yang sangat sederhana namun

konkret: pojok disabilitas di mal.

“Kita mulai saja dengan menye-

diakan satu outlet di salah satu mal

Jakarta yang mau membantu. Isi

outlet itu adalah semua karya keraji-

nan, aksesoris, pernik-pernik, kaos, dan

barang-barang sejenis yang memang

dibuat dan diproduksi oleh individu

ataupun komunitas penyandang dis-

abilitas. Nah, kita namakan outlet itu

sebagai pojok disabilitas atau apalah,”

tutur Jonna dengan bersemangat. Mas

Bejo pun langsung manthuk-man-

thuk. “Ide yang luar biasa. Sederhana,

konkret, tapi sekaligus mengena dan

penting!” Lantas diskusi pun langsung

menjadi seru dan serius. Untuk keluar

dari keterpurukan kita harus mulai

dari satu langkah kecil dulu. Tak usah

muluk-muluk, tak usah langsung

bermimpi mewujudkan ide-ide besar

seketika, karena itu jauh lebih sulit.

Lebih masuk akal jika kita memulai-

nya dari ide-ide kecil yang sederhana.

Tak perlu modal besar untuk memulai

sebuah ide kecil. Semua bisa dilakukan

dalam satu networking dari berbagai

kelompok atau organisasi yang ada.

Itulah poin-poin penting yang

muncul dalam diskusi spontan Mas

Bejo dengan kawan-kawan redaksi di

tengah kesibukan memenuhi tenggat

tulisan-tulisan dan hasil liputan lain-

nya. Kesimpulannya sederhana saja:

keluar dari keterpurukan bisa dimulai

dengan mendirikan outlet pojok dis-

abilitas di salah satu mal Jakarta.

Konsep Pojok DisabilitasSederhana saja konsepnya. Mulai

dari mencari tempat di salah satu mal

yang mau memberikan keringanan,

lalu mengajak kerja sama semua

jaringan yang memiliki basis atau

sentra produksi, membuat seleksi

dan workshop standar kualitas, dan

ak hirnya membuka outlet dengan se-

buah acara yang dipersembahkan oleh

komunitas budaya disabilitas. Dengan

konsep sederhana semacam itu, tak

perlu waktu lama untuk menginisiasi

gagasan ini. Modal yang diperlukan

relatif kecil. Selama ini sedikit sekali

barang yang dihasilkan komunitas

atau individu disabilitas mendapat

tempat untuk dipasarkan langsung ke

masyarakat.

Pojok disabilitas atau apa pun na-

manya nanti, sekaligus akan menjadi

pusat informasi dan interaksi masyara-

kat umum dengan dunia disabilitas.

Melalui karya-karya langsung yang

akan dijelaskan siapa yang membuat,

bagaimana proses produksinya, dan

sejarah perjuangannya, masyarakat

akan mengenal lebih jauh tentang

dunia disabilitas dengan cara yang

benar dan mudah. Tidak perlu semi-

nar, diskusi, teori, atau analisis apa pun

yang rumit. Cukup dengan menghad-

irkan karya yang bisa dibeli sekaligus

mendapatkan informasi yang akurat.

Itulah terobosan kecil, sebuah langkah

sederhana yang tidak muluk namun

nyata. Setiap bulan sekali bisa diada-

kan acara-acara kecil menampilkan

potensi, kemampuan, dan kiprah para

penyandang disabilitas di berbagai

bidang sebagai bagian dari perluasan

strategi kampanye sekaligus market-

ing produk-produk yang dijual. Wow!

Alangkah keren gagasan ini. Mas Bejo

tak henti-henti menguatkan dan men-

gompori Bang Jonna agar serius segera

mewujudkan pojok disabilitas pertama

di Jakarta.

Tak terasa diskusi spontan itu ber-

langsung sampai jam makan malam.

Dan nasi goreng pun segera dimasak

oleh chef andalan diffa, Mas Giatno,

yang selalu siap masak dengan bumbu

yang ada. Sama seperti gagasan pojok

disabilitas yang bisa diwujudkan

dengan apa yang sudah ada. Sambil

agak kepedasan, Mas Bejo melahap

nasi goreng ikan asin yang memang

enak itu. Satu pelajaran sederhana Mas

Bejo petik: kita bisa berbuat sesuatu

kapan saja, tak perlu menunggu jadi

kaya raya terlebih dahulu. Syaratnya

cukup dengan kreativitas, niat, dan

kesungguhan hati. Selebihnya tinggal

mengerjakannya. Jadi, mari kita wu-

judkan. Let’s do something!

n FX Rudy Gunawan

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 25 5/22/12 7:22 PM

Page 26: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

diffa edisi 18 - Juni 201226

sosok

Lukisan Pembangkit SpiritMaghfur Rondi

Maghfur Rondi mengalami koma dan lumpuh karena ugal-

ugalan di jalanan. akibat kecelakaan itu dia tenggelam

dalam keterpurukan. Sampai kemudian sahabat tunanetra

membangkitkan semangatnya. Dan semangat itu menjelma jadi

lukisan.

Foto

-foto

: And

ika

P.D

MAGHFUR Rondi

mengalami koma

dan lumpuh

karena ugal-uga-

lan di jalanan.

Akibat kecelakaan itu dia tenggelam

dalam keterpurukan. Sampai kemu-

dian sahabat tunanetra membangkit-

kan semangatnya. Dan semangat itu

menjelma jadi lukisan.

Seekor kerbau besar kokoh di

tengah sawah yang segar. Kerbau abu-

abu dengan otot yang kuat itu seakan

hendak menunjukkan tekad tak kenal

lelah. Areal persawahan yang baru

selesai dibajak memberi harmoni yang

menyejukkan.

Komposisi kerbau dengan

areal persawahan itu sebenarnya tidak

nyata. Tidak ada. Itu hanya ada dalam

imajinasi Maghfur Rondi, seorang

tunadaksa dengan kelumpuhan dari

dada hingga ke bawah karena ke-

celakaan. Dan imajinasi kemudian

ia goreskan dalam permainan warna

cat di atas kanvas. Ya, lahirlah lukisan

kecil dengan dimensi 30 cm x 40 cm.

Lukisan yang cantik. Siapa

sangka pemuda berusia 23 tahun ini

baru menekuni dunia lukis pada Janu-

ari 2012?

Remuk Karena KecelakaanYa, Maghfur Rondi belum lama

menekuni seni lukis. Sebelumnya

Rondi hanyut dalam keterpurukan.

“Dunia saya hancur begitu saya men-

galami kecelakaan sembilan tahun

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 26 5/22/12 7:22 PM

Page 27: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

diffa edisi 18 - Juni 2012 27

lalu. Saya hanya mengurung diri

dikamar. Baru pada Januari lalu saya

belajar melukis dan langsung jatuh

cinta pada dunia lukis,” ujarnya sambil

tersenyum, mengenang masa sulitnya.

Keterpurukan Rondi beraw-

al dari jalanan. Dia mendapatkan mo-

tor baru dari ayahnya, yang membuat

Rondi yang ketika itu baru berusia 14

tahun lupa diri. Setiap hari dia me-

luncur di jalanan dengan kecepatan

tinggi. Hingga kemudian kecelakaan

pada Desember 2004 mengubah

hidupnya seketika.

“Tiga hari saya koma, tidak

ingat apa-apa. Bahkan untuk meng-

ingat saya menabrak apa pun saya

tidak tahu. Memori saya hilang separo.

Ibu yang memberi tahu bahwa orang

yang saya tabrak meninggal seketika,”

tutur Rodi dengan mata berkaca-kaca.

Ketika sadar pun, Rondi

tidak berdaya. Tulang ekornya hancur

yang mengakibatkan tubuh bagian

dada ke bawah lumpuh. Rondi mulai

merasakan duka dan penyesalan yang

amat dalam. Meskipun sang ibu, Siti

Musaadah, terus memberinya dukun-

gan, Rondi telanjur patah dan hilang

semangat. Sekolahnya tidak dilanjut-

kan, meskipun ketika itu sudah kelas

III madrasah tsanawiyah. Hari-hari

Rondi benar-benar hanya sebatas

kamar di rumahnya yang kecil di Desa

Lebosari, Krajan Kidul, Kecamatan

Kangkung, Kendal, Jawa Tengah.

Sampai kemudian Rondi

berkenalan dengan Basuki, penyan-

dang tunanetra yang kemudian

menjadi sahabat matanya. “Sahabat

mata” berarti orang yang butuh ban-

tuan dalam hal penglihatan. Bertemu

dengan Basuki membuat mata dan

pikiran Rondi terbuka. “Kalau Mas

Basuki yang tidak bisa melihat saja

bisa berkarya, kenapa aku yang masih

diberi kesempatan untuk hidup justru

larut dalam kesedihan?” ujar Rondi

mengungkapkan awal kebangkitan

semangatnya.

Spirit kebangkitan dan

naluri survival serta kegelisahan

eksistensi yang ditularkan Basuki

kemudian mendorong Rondi kembali

terpikir menekuni dunia lamanya.

Dunia masa kecilnya adalah suka

mencoret-coret dinding rumah dan

menggambar. Dunia yang member-

inya kegembiraan. Masuklah Rondi ke

ruang seni lukis.

Melihat semangat Rondi

bangkit, ibunya pun senang dan men-

dukung. Rondi dibelikan peralatan me-

lukis. Dan dengan bantuan semangat

adik-adiknya, Robitul Ikhwan, Robiah

Aldawiyah, dan Imam Romli, jadilah

lukisan pertama Rondi, sawah dan

kerbau dengan komposisi indah itu.

“Tanpa bantuan adik-adikku, aku

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 27 5/22/12 7:22 PM

Page 28: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

28 diffa edisi 18 - Juni 2012

tak akan mampu

menjadi seperti ini.

Merekalah yang

memberi aku

semangat untuk

terus berkarya,”

ujarnya. Rondi

merasa, sebagai

anak sulung

harus mempunyai

semangat untuk

memberi contoh

kepada adik-

adiknya.

Semangat dan Harapan

Meskipun baru

menekuni seni

lukis secara serius

sejak Januari 2012,

Rondi sesung-

guhnya memang

dianugerahi talenta sejak kecil. Cuma,

karena asyik dengan sekolah, bermain,

dan kemudian tenggelam dalam frus-

trasi, dia tidak pernah terpikir meneku-

ni kembali kegemaran dan talenta itu.

“Sebelum kecelakaan, kalau di sekolah,

ya paling banyak belajar pengetahuan

umum, IPA, matematika, bahasa, dan

lain-lain. Namun untuk melukis ng-

gak pernah,” ujarnya.

Kini Rondi sadar, bakat dan

kegemaran di masa kecil, seperti ho-

binya mencoret-coret gambar, mung-

kin akan bisa memiliki nilai kalau kita

sudah dewasa. Rondi juga berpikir,

seseorang tidak akan menjadi sesuatu

jika tanpa karya. Dan dia memilih

berkarya melalui lukisan.

Hingga kini Rondi sudah

menghasilkan sekitar tujuh lukisan,

yang semuanya bertemakan alam.

Seluruhnya lukisan itu beraliran natu-

ralis. Dengan penuh semangatnya

untuk belajar, Rondi terus mencoba

mematangkan teknik melukisnya.

Bahkan dalam kondisi kelelahan seka-

lipun, tangannya masih tetap lincah

memainkan kuas. Bulan Mei ini,

misalnya, dia mesti menyelesaikan

empat lukisan dalam seminggu untuk

diikutkan sebuah festival budaya.

Soal spirit, Rondi mengakui

peran Basuki sangat vital. Sebagai

sesama penyandang disabilitas,

meski disabilitas berbeda, Rondi

merasa Basuki berhasil membang-

kitkan kegelisahan eksistensinya.

“Meskipun tidak bisa melihat, orang-

orang mengenal Mas Basuki. Bahkan

Mas Basuki lebih terkenal dibanding

orang-orang normal di kampungnya.

Saya ingin juga terkenal, melebihi

teman-teman sekolah saya dulu,” kata

Rondi.

Karena barua berkecim-

pung di dunia lukisan, Rondi juga

tidak mematok harga tinggi untuk

lukisannya. Dia berharap lukisannya

mampu menjadi sumber penghasilan

dan penghidupannya kelak. Tentu

saja Dan Rondi punya hak untuk itu.

Lebih dari itu, dia sudah menunjuk-

kan menjadi penyandang disabili-

tas tidak berarti kiamat, kalau mau

bangkit. Dan, memang harus bangkit!

n Andhika PD

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 28 5/22/12 7:22 PM

Page 29: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

29diffa edisi 18 - Juni 2012

Jangan Mengaku Sudah Memahami

Disabilitas Kalau Belum

Membaca

Majalah diffa

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 29 5/22/12 7:22 PM

Page 30: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

piranti

TIM mahasiswa Teknik

Industri Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta mencip-

takan perangkat mouse dan

keyboard komputer untuk

penyandang disabilitas yang mengal-

ami masalah dengan tangan atau tu-

buh bagian atas. Perangkat yang dina-

mai Difmonkey (difable mouse and

keyboard) ini mendapat penghargaan

internasional di Bangkok. PT Telkom

pun mensponsori agar perangkat unik

ini bisa diproduksi untuk membantu

para penyandang disabilitas.

Terpilih ke BangkokMenurut Reza Bayu, mahasiswa

Jurusan Teknik Industri UGM ang-

30 diffa edisi 18 - Juni 2012

Mouse dan Keyboard untuk Kaki

Difmonkey

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 30 5/22/12 7:22 PM

Page 31: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

katan 2008, awal mula penciptaan

Difmonkey bermula dari teman seang-

katannya, Rheza Adipratama, yang

melihat informasi mengenai konfe-

rensi internasional tentang disabilitas

di jejaring sosial Facebook. Informasi

itu di-posting dosen mereka, Budi

Hartono.

Konferensi internasional iCreate

Asia (International Convention on

Rehabilitation Engineering and As-

sistive Technology) itu dilaksanakan

di Bangkok, Thailand, Juli 2011.

Dalam konferensi tersebut

terdapat rang-

kaian ke-

giatan untuk

mahasiswa,

Student

Design Chal-

lenge, yaitu

eksibisi dan

kompetisi ide untuk rehabilitasi dan

teknologi bantu untuk disabilitas.

Rheza Adipratama kemudian

mengajak Reza Bayu mencoba mengi-

kuti Student Design Challenge. Reza

tertarik dan mengajak dua teman lain,

Sunu Wicaksono, mahasiswa Teknik

Industri 2007, dan Helmi Andang

Kurniawan, mahasiswa Teknik In-

dustri 2009. “Kami mulai berkumpul,

mencari ide dan membuat proposal

kompetisi,” tutur Reza Bayu. Akhirnya,

muncul ide membuat mouse dan

keyboard yang dioperasikan dengan

kaki untuk orang yang menyandang

disabilitas tubuh bagian atas. “Kami

memberinya nama Difmonkey.”

Setelah ide terbentuk, para

mahasiswa itu merancang konsep

dan segera menyelesaikan proposal.

”Proposal kami kirim pas pada hari

deadline,” kenang Reza Bayu. Dan,

surprise, sebulan kemudian mereka

menerima pemberitahuan lolos dalam

Student Design Challenge bersama 20

kontestan lain dari Singapura, Thai-

land, dan India.

Didukung Telkom Reza dan kawan-kawan dari tim

Teknik Industri UGM berangkat ke

Bangkok dengan bimbingan Budi

Hartono, arahan semua dosen, dan

dukungan dari pihak kampus, baik

dukungan finansial maupun jarin-

gan, seperti KBRI di Thailand. Di sana,

mereka mengikuti eksebisi SDC dalam

iCreate Asia selama tiga hari.

Hari pertama, mereka presentasi

Difmonkey. Hari kedua, eksibisi.

Dan hari ketiga pre-

sentasi kepada

Her Royal

Highness

Thailand.

Pada eksi-

bisi, peserta

memamerkan

prototipe dari ide

masing-masing. Tim UGM membawa

perangkat prototipe Difmonkey hasil

mitra produksi dengan unit usaha

open source UGM dan sebuah peru-

sahaan otomotif di Yogyakarta. Pada

eksebisi ini tim UGM bertemu dengan

tim dari PT Telkom Indonesia, yang

juga mempresentasikan karyanya.

Karya tim UGM mendapat tang-

gapan baik dari peserta konferensi.

Seusai konferensi, tim UGM diminta

mempresentasikan Difmonkey di

ASIA TV dalam program “ASIA Talks”.

Pemerintah dan masyarakat Thailand

memang dikenal sangat memiliki

atensi terhadap persoalan disabilitas.

Setelah segala aktivitas di Thai-

land selesai, tim Teknik Industri UGM

kembali ke Indonesia. Selang satu

bulan, Rheza menerima e-mail dari

PT Telkom. Isinya, Telkom tertarik

bekerja sama dalam program Difmon-

key sebagai bentuk program corporate

social responsibility (CSR) Telkom

dan bakti untuk kampus. Reza dan

kawan-kawan segera menyambut

dan terjalinlah perjanjian kerja sama

dalam pengembangan Difmonkey.

Untuk melaksanakan proyek

pengembangan Difmonkey, Reza dan

tim dibantu 16 rekan mahasiswa dari

Teknik Industri UGM. Bentuk proyek

terdiri atas pengembangan perangkat

Difmonkey (desain, ergonomi, fungsi,

kualitas) dan implementasi (work-

shop, seminar, coaching) kepada tar-

31diffa edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 31 5/22/12 7:22 PM

Page 32: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

get penyandang disabilitas di sekitar

Yogyakarta.

Bentuk pengembangan, semula

Difmonkey 1 hanya produk dengan

konsep alphanumeric, seperti key-

board handphone konvensional (non-

qwerty). Kemudian dikembangkan

menjadi Difmonkey 2, dengan konsep

model keyboard qwerty dan mouse

touchpad seperti di laptop. Namun,

biaya Difmonkey 2 menjadi dua kali

lipat, sekitar Rp 10 juta. Karena itu

diluncurkan Difmonkey 3, gabungan

Difmonkey 1 (keyboard alphanumer-

ic) dan Difmonkey 2 (mouse touchpad)

dan biayanya kembali ke awal, sekitar

Rp 5 juta.

Selanjutnya dilakukan user test-

ing (test ergonomi dan penggunaan)

seberapa cepat produk tersebut dapat

dipelajari pengguna awal, seberapa

efektif, dan seberapa puas pengguna

menggunakan produk. Setelah itu,

ditetapkan desain fix dari pengem-

bangan dan penelitian tersebut, dan

segera diproduksi 10 produk Difmon-

key. Setelah itu, menuju implementasi

yang nantinya terdapat serangkaian

acara seperti workshop, seminar, atau

coaching terkait Difmonkey ataupun

dalam bentuk forum diskusi.

Rencananya, program CSR ini

dilakukan dalam tempo delapan

bulan, terhitung dari penandatang-

anan perjanjian kerja sama. Saat ini

perjanjian kerja sama sedang dalam

proses revisi dan penandatanganan.

Rencananya akhir Mei 2012 proyek

siap dilaksanakan.

CSR untuk DisabilitasAndreas W. Yanuardi dari Business

Research & Development Center

PT Telkom Bandung, mengatakan

pihaknya berkomitmen mendukung

pengembangan kualitas hidup ma-

syarakat secara berkelanjutan melalui

program CSR. Salah satu program CSR

untuk orang berkebutuhan khusus

adalah i-CHAT (I Can Hear and Talk),

yaitu aplikasi dan portal untuk pem-

belajaran bahasa bagi tunarungu yang

diluncurkan 18 April 2010. Aplikasi

ini dibagikan kepada seluruh SLB di

Indonesia secara gratis.

Menurut Andreas, tim Telkom

bertemu dengan tim UGM pada event

i-CREATe 2011 di Bangkok. i-CREATe

merupakan wadah bagi para rese-

archer, engineer, serta akademisi

-- termasuk para profesional -- di Asia

untuk mempresentasikan dan sha-

ring atas kegiatan riset dan aktivitas

pengembangan aplikasi yang berkai-

tan dengan rehabilitasi dan teknologi

untuk membantu orang-orang berke-

butuhan khusus. Pada event tersebut

tim Telkom mempresentasikan paper

“Multimedia Sign Language Diction-

ary for The Deaf and Hard of Hearing”.

Saat penyusunan rencana dan

kegiatan Telkom untuk tahun 2012,

Andreas dan teman-teman Business

Research & Development Center Tel-

kom Bandung menyampaikan kepada

unit Community Development Center

(CDC) di kantor pusat Jakarta, rencana

kegiatan CSR Telkom untuk masyara-

kat berkebutuhan khusus, yaitu pen-

dampingan i-CHAT yg saat ini sudah

masuk versi 3 dan kerja sama dengan

tim UGM untuk pengembangan

Difnonkey bagi masyarakat disabilitas

tunadaksa.

Rencana kerja sama itu disetujui.

Menurut Andreas, saat ini kerja sama

pengembangan dan implementasi

Difmonkey memasuki tahap per-

janjian kerja sama yang akan segera

ditandatangani. Kerja sama meli-

puti pembuatan prototipe Difmonkey

sesuai hasil diskusi tim UGM dan tim

Telkom. Uji coba Difmonkey kepada

yayasan, SLB, komunitas tunadaksa

dan pembuatan atau produksi Dif-

monkey sesuai hasil uji coba untuk

beberapa institusi disertai pemberian

bantuan komputer. Dana untuk keg-

iatan pengembangan dan implemen-

tasi Difmonkey menggunakan dana

kegiatan CSR Telkom.

Semoga dukungan PT Telkom un-

tuk Reza dan kawan-kawan dari tim

Teknik Industri UGM untuk pengem-

bangan dan memproduksi Difmon-

key berjalan lancar. Dan Difmonkey

menjadi sumbangan yang berarti bagi

masyarakat disabalitas Indonesia, khu-

susnya penyandang tunadaksa.

n Nestor

32 diffa edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 32 5/22/12 7:22 PM

Page 33: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

33diffa edisi 18 - Juni 2012

Foto

-foto

: Tim

Tek

nik

Indu

stri

UG

M

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 33 5/22/12 7:23 PM

Page 34: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Nantikan...LOMBA CIPTA LAGU DISABILITAS

ORGANIZED BY diffaS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N

34 diffa edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 34 5/22/12 7:23 PM

Page 35: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

PnEsai Foto oleh Sigit D Pratama

35diffa edisi 18 - Juni 2012

sudut pandang

Jiwa yang Bergerak

Ada belahan tubuh yang terasa hampa.Ketika mata tak bisa melihat dunia.Ketika telinga tak bisa mendengar,dan mulut tak bisa berkata-kata.Ketika akal tak mampu memahami.Atau tubuh lumpuh tak berdaya.

Tapi tubuh punya roh dan jiwa.Dan ketika sekelompok seniman membagikan roh.Jiwa-jiwa pun bergerak.Lihatlah, gadis-gadis kecil down syndorame bisa menari.Si tunarungu berpantomim dan melukis.Tunadaksa dan tunanetra menghasilkan benda seni.Seni dari jiwa-jiwa yang bergerak.

Bergerak! Opung Nestor

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 35 5/22/12 7:23 PM

Page 36: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

36 diffa edisi 16 - April 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 36 5/22/12 7:23 PM

Page 37: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

37diffa edisi 16 - April 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 37 5/22/12 7:23 PM

Page 38: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

TAMAN dalam pandangan

kita pada umumnya adalah

suatu tempat yang hijau,

teduh, rimbun, penuh warna-war-

ni bunga, tempat duduk-duduk,

atau tempat bermain anak-anak.

Itulah yang ada dalam bayangan

kita tentang taman.

Namun, dalam Taman Dalam

Gelap, buku kumpulan sajak Ir-

wan Dwikustanto, kita akan men-

emukan makna taman dari sudut

pandang yang berbeda. Penyair

tunanetra ini mempunyai persepsi

dan mempunyai cara tersendiri

dalam menggambarkan taman

lewat baris-baris puisinya.

Meskipun tak pernah menyak-

sikan taman yang sesungguhnya,

karena sejak lahir tunanetra,

Irwan dengan sebebas-bebasnya

mengambarkan taman dengan

indera rasa, dengan pendengaran,

dengan sentuhan, dan mungkin

yang lebih dalam lagi… dengan

mata hati!

Maka, saat membaca puisi-

puisi dalam buku ini, kita dapat

Judul Buku : Taman Dalam Gelap Kumpulan Sajak Seorang ButaPenulis : Irwan DwikustantoPenerbit : Spasi Media Halaman : 106 + xvi hal.

merasakan nuansa yang berbeda.

Kita seperti diajar melihat alam dan

kehidupan lewat indera rasa. Lihat-

lah, bagaimana Irwan mengajak kita

melihat dengan “pendengaran” dalam

sajak “Keluh”:

Waktu senja menggumam

padamu

Di taman itu aku bisu

Bayang-bayang angin

menjelma rumpun bambu

Duduk di antara kita termangu

Irwan mengajak kita melihat

kehidupan lewat kegelapan dan

kesunyian melalui 93 puisi yang

terhimpun dalam buku kumpulan

sajak pertamanya sendiri. Sebelumnya

ia menerbitkan buku kumpulan puisi

Angin Pun Berbisik bersama istri

(Siti Atmamiah) dan anaknya (Zeffa

Yurihana).

Dalam 93 puisi itu Irwan men-

gungkapkan berbagai rasa. Dari rasa

syukur atas jasa huruf Braille dan

tongkat putih, hingga kegalauan pada

belantara Jakarta yang tak ramah bagi

seorang penyandang disabilitas seperti

dia. Kegelisahan akan cita-cita,

keterpurukan kondisi, semangat

untuk mewujudkan mimpi, hak

mencintai dan dicintai. Semua itu

menjadi bahan renungan dalam

puisi-puisi Irwan.

Buku kumpulan puisi ini

mendapat apreasi dari penyair

yang juga dosen Sastra UI Ibnu

Wahyudi, yang memberi catatan

pengantar buku. tersebut menga-

ku kagum atas pilihan kata dan

penggambaran suasana puisi-puisi

Irwan yang benar-benar mem-

bawa pembaca pada nuansa yang

berbeda.

Kemampuan puitik Irwan

memang tak perlu diragukan.

Banyak puisinya dari buku Angin

Pun Berbisik dimusikalisasi. Lebih

dari itu, Irwan Dwikustanto telah

menunjukkan bahwa menyan-

dang disabilitas tunanetra tidaklah

menghambatnya menjadi penyair

yang awas dan tajam melihat

situasi dan kondisi sosial. Ia telah

menunjukkan disabilitas itu: bisa!

n Jonna Damanik

38 diffa edisi 18 - Juni 2012

apresiasi

Sudut Pandang “Taman“ dari Seorang Tunanetra

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 38 5/22/12 7:23 PM

Page 39: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Belajar dari Kesultanan Tidore

INDONESIA adalah negara kepulauan. Tidore salah satu pulau di

kawasan Maluku Utara yang masih memelihara dan menjaga keaslian

budaya, sistem sosial-ekonomi, dan kemandirian dalam mengelola

sumber daya yang mereka miliki. Salah satunya yang terkenal adalah

cengkeh. Adi, seorang anak muda Tidore, menjelaskan dengan bangga

bahwa di Tidore kehidupan masyarakat masih teguh berpegang pada budaya asli

Kesultanan Tidore dan perekonomian tidak tergantung pada peranan pihak luar.

“Di Tidore pendatang pun masih sangat sedikit dibandingkan dengan daerah lain

di Maluku Utara,” ujarnya. Dibandingkan dengan Ternate misalnya, pendatang

jauh lebih banyak dan para anak muda pun sudah lebih bergaya metropolitan.

Tempat hiburan seperti karaoke sudah banyak terdapat di Ternate, sedangkan di

Tidore tak ada satu pun.

jejak

39diffa edisi 16 - April 2012

Foto

-foto

Sid

it D

Pra

dana

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 39 5/22/12 7:23 PM

Page 40: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Dari Pelabuhan Ternate ke Tidore

hanya berjarak tempuh 15 menit de-

ngan menumpang speed boat. Laut

biru kehitaman pun seperti aspal

keras saat diterjang speed boat dengan

kecepatan tinggi. Setiap penumpang

hanya dikenai biaya Rp 8 ribu untuk

sampai ke Pelabuhan Rum, Tidore.

Sesampai di Pelabuhan Rum, ada dua

pilihan angkutan untuk mencapai

kota Tidore. Kita bisa naik angkutan

umum atau menyewa ojek motor.

Naik angkutan umum akan makan

waktu lebih lama tentunya. Jadi, jika

bergegas atau waktu terbatas, lebih

baik naik ojek dengan biaya Rp 20

ribu hingga Rp 40 ribu tergantung

tujuan jarak tempuh. Untuk beberapa

tujuan sekaligus dan ditunggu oleh

abang tukang ojek, kita harus merogoh

kocek sekitar Rp 50 ribu. Kita bisa

berhenti pertama di benteng pening-

galan Portugis, Tangga Seribu, Keraton

Kesultanan Tidore, dan air terjun, serta

putar-putar kota. Tak banyak tempat

wisata atau situs sejarah dan budaya

di Tidore karena kotanya kecil saja.

Hanya butuh waktu 2 jam saja untuk

berkeliling kota de ngan naik ojek.

Kesultanan TidoreKesultanan Tidore mencapai

kejayaan pada masa pemerintahan

Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad

Muhammad al-Mabus Amir ud-din

Syah alias Kaicil Paparangan yang

oleh kawula Tidore dikenal dengan

sebutan Jou Barakati. Pada masa

kekuasaannya (1797 - 1805), wilayah

Kerajaan Tidore mencakup kawasan

yang cukup luas hingga mencapai

tanah Papua.

Wilayah sekitar Pulau Tidore yang

menjadi bagian wilayahnya adalah

Papua, gugusan pulau-pulau Raja

40 diffa edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 40 5/22/12 7:23 PM

Page 41: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Ampat dan Pulau Seram Timur. Menu-

rut beberapa tulisan di berbagai situs

internet, kekuasaan Tidore sampai ke

beberapa kepulauan di Pasifik Selatan,

di antaranya Mikronesia, Melanesia,

Kepulauan Solomon, Kepulauan

Marianas, Kepulauan Marshal, Ngulu,

Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Kapita

Gamrange. Disebutkan pula hingga

hari ini beberapa pulau atau kota

masih menggunakan identitas nama

daerah dengan embel-embel Nuku,

antara lain Kepulauan Nuku Lae-lae,

Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa,

Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku

Nau, Nuku Oro,

dan Nuku Nono.

Itu terjadi

pada masa-masa

kejayaan Tidore.

Namun, sebagai

jejak sejarahnya,

hingga saat ini

masih ada sebuah

kampung yang

penduduknya

lebih mirip orang

Papua daripada

orang Tidore. Saat

ini mereka telah

menjadi bagian

dari suku-suku

yang ada di ma-

syarakat Tidore.

Ketika Tidore mencapai masa

kejayaan di era Sultan Nuku, sistem

pemerintahan telah ditata dengan

baik. Saat itu Sultan (Kolano) dibantu

Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore

disebut Syaraa, adat Nakudi. Dewan

ini dipimpin Sultan dan pelaksana

tugas diserahkan kepada Joujau (Per-

dana Menteri). Anggota Dewan Wazir

terdiri atas Bobato Pehak Raha (Bobato

Empat Pihak) dan wakil dari wilayah

kekuasan. Bobato bertugas mengatur

dan melaksanakan keputusan Dewan

Wazir.

Sistem dan

struktur pemerin-

tahan yang di-

jalankan di Kerajaan

Tidore pada masa

lampau cukup

mapan dan berja-

lan dengan baik.

Struktur tertinggi

kekuasaan berada

di tangan Sultan.

Menariknya, di

keempat Kerajaan

di jazirah Maluku

Utara yang dikenal

dengan Moloku

Kie Raha”, yaitu

Kerajaan Jailolo, Kerajaan Bacan,

Kerajaan Ternate, dan Kerajaan Tidore,

tidak mengenal sistem putra mahkota

sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di

kawasan Nusantara. Seleksi seseorang

untuk menjadi Sultan dilakukan me-

lalui mekanisme seleksi calon-calon

yang diajukan Dano-dano Folaraha

(wakil-wakil marga dari Folaraha),

yang terdiri atas Fola Yade, Fola Ake

Sahu, Fola Rum, dan Fola Bagus. Dari

nama-nama ini, kemudian dipilih satu

di antaranya untuk menjadi Sultan

Tidore.

41diffa edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 41 5/22/12 7:23 PM

Page 42: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Kearifan Lokal Saya mengunjungi Tidore dalam

kesempatan berkeliling ke beberapa

pulau di kawasan Halmahera Utara.

Satu kesan yang menancap kuat,

selain pemandangan laut dan gu-

nung yang indah, adalah kehidupan

masyarakat yang ditopang dan ber-

fondasi kearifan lokal yang ternyata

tetap relevan menjawab tantangan

zaman. Saat banyak kearifan lokal

dari ber bagai daerah mulai teronggok,

dianggap usang, dan ditinggalkan oleh

masyarakat yang terbius racun moder-

nitas, sepertinya kita perlu menengok

kembali nilai-nilai kearifan lokal.

Di Tidore, penghormatan pada

kearifan lokal sebagai tata nilai yang

mengatur kehidupan masyarakat

terasa masih kental. Adat istiadat

masyarakat berpegang pada kearifan

itu dengan pemahaman yang jernih

bahwa nilai-nilai itu bisa menjaga

keseimbangan dalam kehidupan. Baik

dalam hubungan sesama manusia

maupun hubungan manusia dengan

alam. Inilah pelajaran penting yang

bisa dijadikan sebagai acuan bagi

semua wilayah lain di Indonesia.

Atau bagi Indonesia secara keselu-

ruhan sebagai satu kesatuan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Sekadar informasi: Presiden perta-

ma RI Soekarno semula ingin mema-

sukkan seluruh wilayah kekuasaan

Kerajaan Tidore pada masa kejayaan

menjadi bagian dari NKRI, namun

akhirnya diputuskan hanya bekas

jajahan kerajan Belanda yang menjadi

wilayah RI. Soekarno pernah berkata,

“…Tanpa Tidore, tak akan ada lagu

‘Dari Sabang sampai Merauke’….” Ya,

itulah pesan penting yang tak boleh

kita lupakan. Terutama jika kebetulan

Anda melancong ke Tidore.

n FX Rudy Gunawan

42 diffa edisi 18 - Juni 2012

Foto

-foto

Sid

it D

Pra

tam

a

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 42 5/22/12 7:23 PM

Page 43: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

43diffa edisi 16 - April 2012

ragam

YAYASAN Tunarungu Sehat

Jiwa Raga (Sehjira) bekerja sama

dengan Disability Right Fund

menggelar Training Capacity Building

2 untuk para penyandang tunarungu

dan organisasi disabilitas lain. Pelati-

han ini bertujuan agar para tunarungu,

khususnya dan aktivis organisasi

disabilitas umumnya, lebih memahami

pengelolaan keuangan perusahaan

atau organisasi.

Pelatihan diadakan di Gedung

Rektorat Universitas Mercu Buana,

Puri Kembangan, Jakarta Barat, 17 Mei

2012. Menurut Revita, ketua pelaksana,

pelatihan ini merupakan acara lanjut-

an dari Training Capacity Building 1.

Pelatihan pertama lebih mengarah

pada kegiatan secara internal, an-

tara lain bagaimana membuat artikel

dan pembahasan mengenai hak-hak

penyandang disabilitas. Sedangkan

pelatihan ke-2 lebih terfokus pada ma-

nagemen atau kesekretariatan, melipu-

ti administrasi, keuangan, monitoring

hasil kerja laporan, dan sebagainya.

Pelatihan diikuti sekitar 40

peserta dari organisasi disabilitas,

menampilkan dua pembicara, yaitu

Drs H Nasrudin Hasibuan dan Asep

Supena dari Universitas Negeri

Jakarta. Asep Supena menyampai-

kan, dalam pengelolaan organi sasi

atau perusahaan perlu dua hal

utama. Pertama, pemimpin. Kedua,

manajemen yang mengatur seluruh

keiatan organisasi atau perusahaan.

“Kedua hal tersebut saling berkaitan

dan membuat organisasi berjalan

dengan baik. Tanpa keduanya tidak

mungkin organisasi atau perusahan

bisa berjalan. Kalaupun berjalan,

pasti menuju suatu kehancuran,”

kata Asep.

Yayasan Sehjira mengundang

banyak organinasi penyandang

disabilitas untuk mengikuti pelati-

han ini, antara lain PPCI, HWPCI,

PPUA, Pertuni, dan Portupencanak.

“Peserta pelatihan tidak dipungut

biaya. Biaya dari saya pribadi,” kata

Rachmita M Harahap, pendiri dan

Ketua Yayasan Sehjira. Majalah

diffa ikut berpartisipasi dengan

membagikan majalah secara gratis

kepada semua peserta.

n Athurtian

Foto

-foto

: Ath

urtia

n

Pelatihan Manajemen Sehjira

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 43 5/22/12 7:23 PM

Page 44: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

MASIH banyak orang

belum mengerti tentang

glaukoma. Glaukoma

salah satu jenis penyakit mata dengan

gejala tidak langsung, yang secara

bertahap menyebabkan pandangan

atau penglihatan semakin berkurang

dan bisa menyebabkan kebutaan. Hal

ini disebabkan saluran cairan yang

keluar dari bola mata terhambat, se-

hingga bola mata akan membesar dan

menekan saraf di belakang bola mata.

Akhirnya saraf mata tidak mendapat-

kan aliran darah dan mati.

Memperingati Hari Glaukoma

Internasional sekaligus hari jadi

ke-32 Rumah Sakit Mata Aini Jakarta

pada Sabtu 5 Mei 2012 mengadakan

seminar tentang glaukoma. Seminar

bertema “Jangan Biarkan Hidupmu

Gelap dengan Glaukoma” ini untuk

menyadarkan masyarakat bahwa

glaukoma bisa menyerang siapa saja

tanpa terkecuali.

Direktur Utama Rumah Sakit

Mata Aini Farida Sirlan mengatakan,

penduduk Indonesia yang mengidap

kebutaan mencapai 1,5 persen dari

jumlah penduduk. Penyebab kebutaan

paling banyak katarak dan glaukoma.

“Kebutaan yang terjadi akibat katarak

bisa disembuhkan dengan melakukan

operasi dan penglihatan bisa kembali

pulih. Glaukoma menyebabkan kebu-

taan total dan kebutaan permanen.”

Dokter Amyta Miranty, ketua

pelaksana seminar yang juga salah satu

pembicara, mengingatkan masyarakat

akan pentingnya penglihatan dan men-

jaga penglihatan dengan pemeriksaan

reguler di rumah sakit. Pembicara lain dr

Srinagar M Ardjo, dr Rudi Putranto, dan

perwakilan Yayasan Glaukoma Indone-

sia.

Dokter Srinagar menjelaskan be-

berapa jenis glaukoma dapat menyerang

mata secara perlahan dan mengungkap-

kan beberapa cara pencegahan. Antara

lain tidak sembarangan meneteskan

obat mata yang bisa melebarkan pupil.

Tidak emosional berlebihan. Tidak be-

rada di tempat gelap atau remang-re-

mang. Semua itu, selain faktor genetis,

dapat dapat menyebapkan glaukoma

secara tidak langsung.

Acara dihadiri sekitar 70 peserta

dari Yayasan Glaukoma Indonesia,

perwakilan WHO Indonesia, serta ma-

syarakat umum. Masyarakat umum

dikenakan biaya Rp 50.000 sebagai

pengganti konsumsi. Pada kesempa-

tan itu Rumah Sakit Mata Aini juga

memberikan pelayanan gratis peme-

riksaan mata dan cek gula darah.

“Kalau bisa acara serupa lebih

sering diadakan, untuk menyadar-

kan masyarakat bahwa penglihatan

sangat penting,” kata Monang, peserta

seminar yang juga penderita glau-

koma.

n Athurtian

44 diffa edisi 18 - Juni 2012

Hidup Tenang Tanpa Glaukoma

Foto

-foto

: Ath

urtia

n

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 44 5/22/12 7:23 PM

Page 45: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

LAHIR lagi komunitas baru di bidang disabilitas,

Indonesia Disabled Care Community atau IDCC.

Kelahiran komunitas ini dicanangkan di Learn-

ing Lounge, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, 5 Mei 2012.

Peluncurannya dilaksanakan di Taman Bacaan Blok

M-Mall, Kebayoran, Jakarta Selatan, 20 Mei 2012.

Pendirian IDCC dimotori Habibie Afsyah dan En-

dang Setyati dari Yayasan Habibie Afsyah. Pencanangan

di Plaza Semangi dihadiri perwakilan berbagai komuni-

tas disabilitas, antara lain Yayasan Tunarungu Sehjira,

Panti Bina Daksa Pondok Bambu, mahasiswa dari

berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Indone-

sia, Sampoerna Education School, Universitas Trisakti,

Unindram, dan UNJ. Juga hadir perwakilan komunitas

disabilitas dari Solo dan beberapa pemerhati disabilitas,

antara lain Nestor Rico Tambunan dari majalah diffa.

Menurut Endang Setyati, tujuan pendirian komu-

nitas ini untuk lebih menyatukan gerak dan semangat

dalam menggerakan disabilitas di Indonesia. “Kita

berharap banyak dukungan dari anak-anak muda maha-

siswa ini,” ujar ibunda Habibie Afsyah ini.

Seperti ketika pencanangan di Plaza Semanggi,

dalam peresmian komunitas dan peluncuran website

IDCC di Taman Bacaan Masyarakat Blok M-Mall, hadir

perwakilan berbagai komunitas disabilitas dan kelom-

pok mahasiswa pemerhati disabilitas dari berbagai

kampus.

Peresmian komunitas dan peluncuran website yang

bersamaan dengan perayaan Hari Kebangkitan Nasio-

nal itu menampilkan tiga narasumber: wartawan senior

majalah diffa Nestor Rico Tambunan, penulis dan

pakar creative parenting Melly Kiong, dan komisioner

Komnas HAM penyandang tunanetra Dr. Saharuddin

Da ming. Masukan dari para narasumber diharapkan

menjadi bekal bagi para pengurus dan aktivis pendu-

kung IDCC. Selamat datang di dunia perjuangan disabili-

tas. Kita pasti… bisa!

n Nestor

Foto

-foto

: Nes

tor

45diffa edisi 18 - Juni 2012

IDDC, Komunitas Disabilitas Baru

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 45 5/22/12 7:23 PM

Page 46: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

46 diffa edisi 18 - Juni 2012

konsultasi pendidikan

Perlukah Ujian Nasional untuk Siswa SLB?

Ibu Netty yang baik,

PELAKSANAAN

pendidikan di SLB

memang masih mengha-

dapi sejumlah persoalan.

Salah satunya persoalan

yang Ibu tanyakan. Saya sependapat,

tunanetra yang cukup cerdas memang

sebaiknya difasilitasi untuk menem-

puh pendidikan di sekolah reguler

secara inklusif. Hal ini terutama untuk

siswa tunanetra pada tingkat SMP dan

atau SMA.

Alasan yang melatarbelakangi

pemikiran ini, karena tunanetra yang

memiliki kecerdasan cukup, apalagi

yang di atas rata-rata, sangat mungkin

untuk melanjutkan studi ke tingkat

perguruan tinggi. Dan untuk bisa

melanjut ke perguruan tinggi, mereka

harus berasal dari SMA umum atau

yang biasa disebut SMA inklusif.

Mengapa begitu? Karena kuriku-

lum SMA/LB tunanetra (SMA yang

ada di SLB) tidak sama dengan kuriku-

lum SMA reguler. Kurikulum SMA/LB

tunanetra lebih banyak mengandung

muatan keterampilan daripada materi

akademik. Artinya, siswa SMA/LB

tunanetra lebih dipersiapkan untuk

menguasai keterampilan yang akan

bermanfaat untuk kehidupan di ma-

syarakat.

Dengan demikian, tunanetra yang

memiliki kemampuan akademik rela-

tif kurang dan diprediksi tidak dapat

melanjutkan studi ke perguruan tinggi,

memang lebih disarankan sekolah di

SMA/LB daripada di SMA reguler. Per-

Pak Asep yang terhormat,

Saya Netty, guru sekolah luar biasa (SLB) untuk tunanetra. Saya sudah mengajar sekitar lima tahun. Saat  awal saya mengajar, beberapa senior mengatakan SLB untuk tunanetra, khususnya tingkat SMP dan SMA, lebih diperuntukkan mereka yang tidak dapat menempuh pendidikan di sekolah umum secara inklu-sif. Mereka adalah siswa tunanetra yang juga memiliki disabili-tas lain, misalnya tunanetra dan tunarungu serta tunanetra dan hambatan kecerdasan. Sedangkan pada tingkat sekolah dasar, SLB untuk tunanetra juga berperan menyiapkan siswa tunanetra – yang tak memiliki disabilitas lain – agar dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum secara inklusif.

Dalam praktiknya, sekolah kami memang menjalankan itu. Siswa tunanetra di SLB kami sebagian  mengalami disabilitas ganda. Selain tunanetra, mereka juga memiliki hambatan kecerdasan atau hambatan dalam interaksi sosial.

Dengan kondisi siswa SLB yang semacam ini, menurut saya tidak­lah tepat jika sistem pendidikan kita menerapkan ujian nasional untuk siswa tunanetra di SLB. Apakah pendapat saya ini benar? Mohon penjelasan Pak Asep.

Penjelasan ini sangat penting  bagi saya, agar dapat menyikapi pencapaian siswa­siswa dengan lebih tepat. Saya menyadari, se­bagai guru saya harus mengikuti sistem pendidikan yang diterap-kan pemerintah. Namun, memiliki pemahaman yang benar akan membantu saya dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai guru di SLB dengan lebih baik.

Terima kasih.

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 46 5/22/12 7:23 PM

Page 47: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Did

i Pur

nom

o

47diffa edisi 18 - Juni 2012

Dr. Asep Supena, M.Psi

Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta

timbangan yang melatarbelakangi

pemikiran ini adalah karena SMA/

LB akan lebih bermanfaat secara

fungsional bagi mereka daripada

SMA reguler.

Untuk melengkapi penjelasan

ini, silakan Ibu Netty mencermati

ulang isi kurikulum SLB tunanetra,

kemudian bandingkan dengan

kurikulum yang ada di sekolah

umum. Pada tingkat SD, kuriku-Pada tingkat SD, kuriku-

lum SLB tunanetra hampir sama

atau sama persis dengan kuriku-

lum SD umum. Tetapi untuk

tingkat SMP sudah mulai berbeda.

Muatan keterampilan lebih diper-

banyak dalam kurikulum SMP/LB.

Dan kurikulum SMA/LB jumlah

muatan keterampilan lebih diper-

banyak, bahkan porsinya lebih

banyak daripada materi akademik.

Untuk tingkatan TK dan SD,

sementara ini saya berpendapat

tunanetra sebaiknya berada di SLB.

Paling tidak ada dua alasan yang

mendasarinya. Pertama, karena

kurikulum yang digunakan di SD/

LB dan SD umum sama. Jadi, tidak

ada bedanya mereka belajar di SD

umum atau di SD/LB.

Alasan kedua yang lebih

mendasar adalah karena tunane-

tra pada usia TK dan SD membu-

tuhkan pelayanan khusus untuk

mengembangkan kompetensi-

kompetensi khusus yang diperlu-

kan sebagai modal untuk belajar

dan berinteraksi dengan dunia

luar. Misalnya kemampuan baca

tulis Braille, kemampuan orientasi

dan mobilitas, penanaman konsep-

konsep yang membutuhkan peralatan

dan strategi khusus. Hal-hal tersebut

umumnya tidak tersedia di SD umum

dan hanya ada di SLB.

Pertanyaannya, apakah seperti itu

format kurikulum SLB yang dianggap

ideal? Ini merupakan pertanyaan

penting yang harus terus dikaji dan

didiskusikan. Prinsip dasar yang

perlu dipahami, SLB dan sekolah

umum harus memiliki keseteraan dan

memberikan peluang yang sama bagi

tunanetra untuk berkembang dan

mewujudkan potensinya, baik secara

akademik maupun psikomotorik

(skill). Ke depan mungkin perlu diwa-

canakan agar SMP/LB dan SMA/LB

memiliki keseteraan akademik dengan

SMP/SMA umum.

Bagaimana dengan ujian nasion-

al? Jika ujian nasional adalah kebi-

jakan pemerintah yang harus

dijalankan, maka prinsipnya

tetap bisa dilakukan juga di

SLB, dengan catatan soal-

soalnya harus merujuk kepada

standar kompetensi (SK) dan

kompetensi

dasar (KD)

yang berlaku

di SLB. Arti-

nya,

jika kurikulum SMP/LB tidak sama

dengan kurikulum SMP umum,

maka seharusnya soal-soal ujian

nasional-nya juga tidak sama,

karena soal ujian nasional harus

berangkat dari kurikulum yang

diberlakukan. Apalagi untuk

tingkatan SMA/LB, karena kuriku-

lum mereka semakin berbeda lagi

dibanding kurikulum SMA umum.

Ini adalah prinsip dasar yang

harus dijadikan acuan. n

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 47 5/22/12 7:23 PM

Page 48: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Ibu Tari yang baik,

SEMOGA Ibu dan ke-

luarga dalam keadaan

baik dan sejahtera.

Kami bisa memba-

yangkan kerepotan

yang Ibu rasakan sehari-hari pada

saat kedua puteri Ibu terlibat

dalam keributan. Suatu hal yang

sebenarnya wajar, karena juga

dialami oleh banyak keluarga

dengan anak-anak yang berang-

kat remaja. Namun bukan berarti

kita harus berdiam diri membiar-

kannya. Kita harus terus mengu-

payakan terciptanya hubungan

yang harmonis di antara anak.

Hubungan yang dilandasi dengan

perasaan saling menerima dan

menghargai masing-masing.

Saya akan mencoba memulai

penjelasan dari Vina, sang adik.

Agar dapat membantu Vina untuk

memahami hal yang baru dan

cukup sulit dipahaminya, kita

harus mengingat dan mengikuti

beberapa prinsip. Hal pertama

adalah kesederhanaan. Kata-kata

yang dipakai untuk berkomu-

nikasi atau menjelaskan adalah

kata-kata yang sederhana yang

telah dikenal dan biasa dipakai

oleh Vina sehari-hari. Hal kedua

adalah kekonkritan atau keberwu-

judan. Selama berkomunikasi, Ibu

bisa menggunakan benda-benda

yang berada di sekitarnya (di

dalam rumah) atau benda yang

ruang hati

Ibu Farida yang terhormat,

Nama saya Tari. Saya seorang ibu yang memiliki dua anak perempuan, satu di antaranya anak dengan lemah kecerdasan atau tunagrahita, namanya Vina. Vina adalah anak kedua. Jika baru bertemu pertama kali, sepintas Vina tampak seperti anak

yang tidak memiliki hambatan apa pun. Namun, jika sudah berbicara, lambat laun kita akan dapat merasakan  jika Vina

memiliki kekurangan intelektual.

Rosa, kakak Vina, saat ini telah  remaja. Usianya 16 tahun. 

Sedang Vina  tiga   tahun lebih muda. Sebagai anak remaja, Rosa mulai memiliki “wilayah pribadi” yang ia ingin setiap

orang dapat menghormatinya. Sebagai orang tua, saya dan suami tentu memahami itu. Namun, tidaklah mudah bagi kami untuk mengajarkan soal privacy itu kepada Vina yang memiliki

hambatan kecerdasan.

Sebagai Ibu, saya terus berusaha memberikan pengertian soal privacy itu kepada Vina. Contoh kecil, jika ingin masuk ke kamar

kakaknya dan pintu kamar sedang tertutup, saya ajarkan agar Vina mengetuk pintu terlebih dahulu. Contoh lain, saya juga

mengajarkan agar Vina tidak membuka lemari kakaknya tanpa ijin dari Rosa, dan hal-hal lain terkait soal privacy.

Karena Vina memiliki hambatan kecerdasan,  kami orang tu-anya juga mengerti bahwa tidak mudah untuknya memahami

itu. Ia selalu bertanya, mengapa tak boleh ini, tak boleh itu. Se-Ia selalu bertanya, mengapa tak boleh ini, tak boleh itu. Se-mentara Rosa, kakaknya, juga belum sepenuhnya dapat berem-pati pada adiknya yang lemah kecerdasan. Ketidakmengertian itu sering kali berdampak pada timbulnya  pertengkaran, baik

antara Rosa dan Vina serta antara saya dan Rosa.

Pertanyaan saya, adakah saran dari Ibu Farida  bagaimana cara praktis mengajarkan soal “privacy” kepada anak yang memili-ki hambatan kecerdasan seperti Vina? Karena privacy adalah

sesuatu yang sangat abstrak, terlebih mungkin bagi orang yang memiliki hambatan kecerdasaran seperti Vina. Atas bantuan Ibu

Farida saya mengucapkan terimakasih.

Did

i Pur

nom

o

48 diffa edisi 18 - Juni 2012

Mengajarkan “Privacy” pada Anak Lemah Kecerdasan

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 48 5/22/12 7:23 PM

Page 49: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Farida Kurniawati YusufPsikolog anak, termasuk anak dengan kebutuhan

khusus. Dosen Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia. Master’s Degree Inclusive Education

Universitas Meulborne, Australia. Doctoral

Programme, Faculty of Behavioural and Social

Sciences, Universitas Groningen, Belanda.

disaya nginya, seperti boneka, dan

sebagainya. Hindari menggunakan

perumpamaan atau membanding-

bandingkannya dengan seseorang.

Hal ketiga adalah waktu penyam-

paian yang cukup singkat. Sampai-

kan sesuatu sedikit demi sedikit, dan

jangan terlalu lama. Hal ini untuk

menyiasati perhatian Vina yang

mudah teralih. Hal keempat adalah

pengulangan. Janganlah Ibu bosan

untuk mengulangi dan melakukan-

nya secara rutin. Vina mudah lupa

dan harus ada yang membantunya

untuk terus ingat.

Hal kelima adalah penghargaan.

Berilah pujian, misalnya, “pintar”,

“anak cantik” dan lain-lain, setiapka-

li dia berhasil melakukan sesuatu

dengan baik. Adanya pujian membuat

ia tahu bahwa perilakunya menda-

tangkan hal yang positif dan menye-

nangkan, dan ia akan terdorong untuk

mengulanginya.

Lalu bagaimana mengguna-

kan kelima hal di atas dalam men-

gajarkan “privacy” kepada Vina?

Ajaklah ia berkeliling rumah sambil

menjelaskan bahwa setiap orang di

dalam rumah memiliki kamar. Ada ka-

mar Ibu, kamar kakak, dan kamar Vina.

Apabila Ibu memelihara hewan, bisa

juga disampaikan ada kandang untuk

Hero (nama hewan). Berilah tanda un-

tuk setiap kamar untuk memudahkan-

nya mengingat. Misalnya gambar

warna kesukaan masing-masing yang

di bawahnya bertuliskan Ibu dan

Bapak, Kakak, Vina, lalu ditempel di

pintu kamar masing-masing. Beri pula

tanda pada setiap barang yang dimiliki

Vina dan kakaknya, misalnya di lemari

pakaian, atau mug kesukaan.

Untuk membantunya mengingat

suatu aturan, Ibu bisa menempelkan

gambar dan tulisan seperti “ketok

pintu sebelum masuk” di tempat yang

sesuai. Atau menyediakan tempat

yang berbeda untuk menyimpan

barang-barang mereka. Misalnya alas

kaki (sandal atau sepatu) Vina di rak

warna ungu, kakaknya di rak merah.

Apabila Vina masih sering menanya-

kan “mengapa begini, mengapa begitu”

untuk hal yang Ibu atur, ambillah con-

toh pelajaran dari lingkungan

sehari-hari. Nyalakan TV, dan

tontonlah acara kehidupan

fauna. Tunjukkan bahwa

sarang burung hanya cocok

untuk burung, bukan untuk

kucing. Mengapa? karena

letaknya di pohon yang

tinggi, dan kucing tidak bisa

terbang ke sarang burung

tersebut.

Penggunaan kelima

prinsip di atas mem-

butuhkan waktu dan

dukungan dari orang di sekitar

agar dapat mencapai keberha-

silan yang Ibu harapkan. Vina

tetap membutuhkan contoh dari

orangtua dan saudaranya. Hal

tersebut juga perlu diterapkan secara

konsisten oleh semua anggota keluar-

ga. Dan hal yang tidak kalah penting

adalah sikap sabar menghadapinya.

Vina membutuhkan waktu yang lebih

lama untuk memahami dan menerap-

kannya, karenanya tetaplah menjaga

sabar dan semangat.

Rosa, sang kakak, tetap mem-

butuhkan perhatian dan ingin pula

dimengerti. Sediakan waktu khusus

untuknya. Ibu bisa mengajaknya

berjalan-jalan atau berbelanja berdua

sambil menyelami keinginan dan

kebutuhannya. Hal ini bisa membuat-

nya merasa disayangi, sama besarnya

dengan yang diterima oleh adiknya.

Mintalah kepadanya untuk sedikit

demi sedikit mendukung orangtua da-

lam mengasuh adiknya. Pada awalnya

mungkin susah baginya, seperti yang

Ibu telah katakan. Namun setelah

melihat betapa sabarnya Ibu dalam

menghadapi Vina, saya yakin ia akan

mengikutinya. Ajarkan kasih sayang

pada adik, sehingga dia juga mau me-

maklumi dan membantu memperla-

kukan si adik seperti langkah-langkah

yang ibu lakukan. Semoga saran ini

bermanfaat. Salam hangat. n

Did

i Pur

nom

o

49diffa edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 49 5/22/12 7:23 PM

Page 50: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Rachman Hadi

Kuterima Amanahmu

puisi

Kusambut Kau dengan Syukurku

50 diffa edisi 18 - Juni 2012

Ada dada yang berdebar

Ada hati yang bergetar

Saat tangan bergenggam erat

Saat bibir mengucap akad

Ya Robbi…

Telah Kau akhirkan kesendirianku

Telah Kau tutup masa sunyiku

Dan Kau buka hidup baru untukku

Mengarungi samudra luas,

membawa sebongkah hati, amanah-Mu

Ya Robbi…

Tanganku terlalu lemah untuk menjaganya

Jemariku terlalu kecil untuk membelanya

Jaga belahan jiwaku ini ya Rabbi…

Dari kerasnya hidup

Dari riuhnya godaan

Ya Robbi…

Jadikan kesetiaan sebagai fondasi

Sakinah sebagai pagar hati

Mawaddah warahmah sebagai penjaga nurani

Hingga hanya takdir yang mampu menceraikan hati

Syahdu tangismu memecah gelisah

Berlaksa harap terjawab sudah

Berjuta cemas tersingkap, berubah

Haru, bahagia, membaur menepis gelisah

Azan dan iqamah kusenandungkan

Deraian shalawat kudendangkan

Berlaksa syukur kupersembahkan

Demi menyambutmu, permataku, sayang

Kan kuseka air matamu dengan shalawat

Kan kubalut tubuh mungilmu dengan doa

Kan kuukir lembar hidupmu dengan ahlaqul karimah

Dan kuisi ruang hatimu dengan firman-firman-Nya

Tenanglah engkau dalam timangan

Jadilah kelak Qurata a’yun, shalikhah, dan muslimah

tauladan

Sejuk bagi siapa saja yang bersamamu

Pembuka pintu syurga, bagi ayah bundamu

Jangan pernah ada tangismu, sayang

Jangan pernah ada air matamu

Kecuali untuk Rabbimu

Saat engkau mesra di sepertiga malammu

Kami titipkan doa dalam genggamanmu

Untuk kau ukir, dan kau kirim saat kami tak kuasa

merengkuhmu

Saat kami hanya membutuhkan doa-doamu

Segera besar, permataku sayang

Tenteramlah siapa pun yang bersamamu

Tebarkan firman Allah di setiap langkahmu

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 50 5/22/12 7:23 PM

Page 51: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Kusambut Kau dengan Syukurku

51diffa edisi 18 - Juni 2012

Syahdu tangismu memecah gelisah

Berlaksa harap terjawab sudah

Berjuta cemas tersingkap, berubah

Haru, bahagia, membaur menepis gelisah

Azan dan iqamah kusenandungkan

Deraian shalawat kudendangkan

Berlaksa syukur kupersembahkan

Demi menyambutmu, permataku, sayang

Kan kuseka air matamu dengan shalawat

Kan kubalut tubuh mungilmu dengan doa

Kan kuukir lembar hidupmu dengan ahlaqul karimah

Dan kuisi ruang hatimu dengan firman-firman-Nya

Tenanglah engkau dalam timangan

Jadilah kelak Qurata a’yun, shalikhah, dan muslimah

tauladan

Sejuk bagi siapa saja yang bersamamu

Pembuka pintu syurga, bagi ayah bundamu

Jangan pernah ada tangismu, sayang

Jangan pernah ada air matamu

Kecuali untuk Rabbimu

Saat engkau mesra di sepertiga malammu

Kami titipkan doa dalam genggamanmu

Untuk kau ukir, dan kau kirim saat kami tak kuasa

merengkuhmu

Saat kami hanya membutuhkan doa-doamu

Segera besar, permataku sayang

Tenteramlah siapa pun yang bersamamu

Tebarkan firman Allah di setiap langkahmu

n Rachman Hadi, tunanetra, guru sekolah luar biasa untuk tunanetra di Jember, Jawa Timur

Lindungi Aku Ya Robbi

Ketika hatinya tak lagi senandungkan lagu rasa tulus

Ketika tuturnya tak lagi tertata halus

Ketika tembang-tembang penggoda menebar lirik di hati indahnya

Tangan lemah ini terlalu rapuh untuk bersamanya

Ampuni aku, ya Robbi…

Sebegitu lemahnya jiwa ini hingga tak mampu menjaga amanah suci

Sebegitu rapuhnya hati ini hingga tak kuasa membentengi belahan hati

Sehingga tarian indah mengusik kalbunya, menebarkan aroma penggoda

Ya Robbi… izinkan aku mengeluh

Lihatlah, hatinya tak lagi utuh

Mengoyak hati dengan nyanyian selingkuh

Di hatinya nama indah telah tersimpan kukuh

Perlahan, namaku layu, jatuh… luruh

Jaga aku, ya Robbi…

Agar tidak menabrak kaidah-Mu

Untuk kuat menjaga amanahmu

Dan kembalikan hatinya yang perlahan menjauhiku

Kuatkan aku, ya Robbi…

Agar bergeming dari hatinya

Saat ada jelita tiba

Dan nafsu mengajakku mengisi hatinya

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 51 5/22/12 7:23 PM

Page 52: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

cerpen

Bunga untuk IbuJonna Damanik

52 diffa edisi 18 - Juni 2012

Did

i Pur

nom

o

SUDAH agak siang ketika

aku terbangun. Aku tidak

tahu sudah jam berapa.

Yang jelas, aku merasakan

kepenatan yang luar biasa

mendera seluruh tubuhku.

Seminggu lebih mengawasi

persiapan dan pelaksanaan masa bim-

bingan alias mabim, masa perkenalan

dan orientasi mahasiswa baru di tujuh

fakultas, bukanlah kerjaan ringan.

Rapat sana, rapat sini. Cek sana, cek

sini. Kadang lewat tengah malam baru

berhenti.

Tapi aku merasa puas. Ini perhe-

latan besar pertama bagiku sebagai

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa.

Semua acara mabim di semua fakultas

ber- jalan lancar.

Tidak ada

kasus atau

skandal

yang ha-

rus dipertang-

gungjawabkan ke pemimpin

universitas. Hanya ada

pengaduan-pengaduan kecil, seperti

panitia senior yang sok overacting.

Tapi, hei… ke mana teman-teman ang-

gota BEM yang lain?

Aku bangkit dari matras tipis di

sudut kantor BEM yang berantakan.

Jangankan mandi, bahkan untuk cuci

muka pun rasanya malas. Aku meng-

hempaskan pantat dengan malas di

salah satu kursi, mengangkat kaki ke

meja, dan menghidupkan TV dengan

remote control. Masih dengan celana

pendek dan kaos belel yang kupakai

tidur.

Tok-tok-tok! Terdengar ketukan di

pintu.

“Masuk!” kataku, tanpa mengalih-

kan pandangan dari televisi. Kupikir,

paling salah seorang teman anggota

BEM.

“Permisi, Kak.…”

Aku tersentak, dan … waaw, enam

bidadari cantik berdiri di depan pintu.

Cantik semua. Aku terpana, hingga

kemudian menyadari tawa kecil me-

reka. Mereka menatapku dengan geli.

Mungkin karena penampilanku yang

super hancur dan di luar bayangan

mereka.

“Ada apa?” ujarku, agak gugup.

Ya, jujur, aku tidak biasa menghadapi

situasi seperti ini. Aku boleh perkasa

dan lantang ketika berpidato, boleh

berwibawa ketika memimpin rapat,

apalagi dengan setelan jeans dan

t-shirt serta dibalut jaket almamater.

Tapi menghadapi enam perempuan

cantik dalam keadaan seperti ini…?

Alamaak!

“Kak, kami mau minta tanda tan-

gan,” kata salah seorang dari mereka

yang kelihatan lebih berani, dengan

wajah tersenyum-senyum.

“Kok nekat ke sini? Kenapa nggak

minta tanda tangan sama senior ka-

lian di fakultas masing-masing?”

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 52 5/22/12 7:23 PM

Page 53: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

53diffa edisi 18 - Juni 2012

“Bukan gitu, Kak. Kata senior

kami, kalau dapat tanda tangan

kakak di buku suci kami, nilainya

paling besar dari nilai tanda ta ng-

an senior yang lain.”

Si Pemberani itu melangkah

masuk mendekati aku, diikuti lima

temannya yang lain. “Sekalian,

Kak… kenalan sama presidennya

mahasiswa di kampus ini,” kata si

Pemberani sambil menyodorkan

tangannya kepadaku dengan gaya

yang agak genit. Lima temannya

mengikuti.

Ketika menyalami orang yang

terakhir, aku terpaku. Tangannya

terasa amat dingin dan lembut.

Ketika menatap wajahnya, aku

tersirap. Begitu cantik dan lem-

but. Matanya bening, tapi seperti

menyimpan sesuatu yang sendu.

Aku seperti tiba-tiba menemukan

wajah yang telah puluhan tahun

kucari-cari. Anggun sekali cewek

ini, batinku bergelora.

“Okelah. Mana buku kalian?”

kataku. Pikirku, agar mereka cepat

pergi. Suasana ini sangat tidak

menguntungkan.

“Kok, nggak dihukum, Kak…?”

Si Pemberani yang centil itu malah

menantang.

“Nggak usahlah!” kataku sam-

bil meraih bukunya dan menore-

hkan tanda tangan. Satu per satu

temannya menyodorkan bukunya.

Ketika tiba pada yang terakhir,

pada wajah lembut dan mata be-

ning yang menyimpan kesenduan

itu, aku seperti grogi sendiri.

“Terima kasih, Kak.…”

Aku seperti tersirap. Suara

gadis itu pelan tapi merdu.

“Terima kasih, ya Kak. Ternyata

Kakak baik, kok. Orang bilang,

galak.” Si Pemberani menatapku

dengan matanya yang genit. “Bo-

leh dong, Kak, sering main-main

ke sini? Ngajak makan siang sambil

belajar jadi anggota BEM.”

“Itu nanti saja. Selesaikan dulu

mabim kalian dengan baik.”

Satu per satu enam mahasiswi

cantik yang masih berbau SMA itu

mengucapkan terima kasih dan pamit.

Aku hanya memperhatikan langkah si

mata bening. Bahkan langkahnya pun

tampak anggun dan lembut. Alamaak!

Jonna, apa yang terjadi pada dirimu?

Dan tiba-tiba saja aku tersentak?

Tadi mereka dari fakultas mana?

*

HARI-HARI selanjutnya aku

dibayangi keinginan untuk bertemu Si

Anggun itu. Aku jadi rajin berkeliling

fakultas. Tapi ternyata sulit bertemu

dengan seseorang di belantara kampus

yang luas dengan ribuan mahasiswa,

apalagi tidak tahu nama dan fakultas-

nya. Kadang aku mengutuk kebodoh-

anku yang waktu itu tidak bertanya

fakultas dan jurusan yang jelas. Itu

gara-gara aku grogi. Katro benar!

Sampai suatu saat Senat Maha-

siswa Fakultas Psikologi mengundang-

ku dalam acara fakultas mereka. Acara

itu semacam inaugrasi penyambutan

ikatan mahasiswa terhadap maha-

siswa baru. Acara diadakan di sebuah

tempat berpemandangan bagus di luar

kota.

Aku pun berangkat dengan

beberapa rekan anggota BEM. Malam

inaugrasi itu berlangsung sangat

meriah, di tengah dinginnya malam

yang menusuk, meskipun dihiasi

hangatnya bara api unggun. Lebih

dari itu, mahasiswi psikologi terkenal

cantik-cantik dan keren. Mereka juga

menampilkan berbagai acara yang tak

kalah keren.

Aku menikmati semua acara.

Sampai kemudian pembawa acara

mempersilakan aku menyampaikan

sambutan. Tidak seperti kalau pidato

di kampus, aku menyampaikan

sambutan dengan gaya santai. Tapi

mahasiswa-mahasiswa baru yang

duduk melingkar di depanku keli-

hatan mendengar dengan serius.

Sampai tiba-tiba aku seperti ter-

henyak, karena mataku menang-

kap wajah Si Anggun berada di

barisan terdepan sebelah kiriku.

Aku benar-benar terkejut.

Selama dua bulan ini khayalanku

dihantui bayangan wajah lembut

dan mata mata bening itu. Selama

dua bulan terakhir aku mencari-

carinya di keluasan kampus. Berge-

muruh rasanya dadaku, hingga

tanpa sadar sambutanku sempat

terhenti, dan membuat heran

teman-teman mahasiswa senior.

Tapi, akhirnya aku tersadar

dan menyelesaikan sambutanku

dengan baik. Para mahasiswa baru

bertepuk tangan, tampak senang

mendengar sambutanku. Termasuk

Si Anggun.

Selesai itu, ketika acara di-

lanjutkan dengan hiburan, aku

tak mau membuang waktu. Aku

mendekati Si Anggun. “Hai…!”

sapaku. Entah kenapa, dia tampak

kaget dan terdiam. Mukanya tam-

pak memerah, kemudian tertun-

duk. “Apa kabar?”

“Baik,” jawabnya, dengan suara

merdunya yang hampir tak ter-

dengar. Sebelum aku melanjutkan

menyapa, tiba-tiba beberapa teman

anggota BEM dan mahasiswa

senior riuh menyoraki.

“Gile… aku yang ngotot

mencari kakak ke kantor BEM, tapi

ternyata Ajeng yang dikenang,”

si Pemberani nan centil tiba-tiba

muncul mendekat. ”Wah… patah

hati aku.”

“Jadi… itu yang membuat

pidato Jonna tadi terhenti?” teriak

seorang teman anggota BEM.

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 53 5/22/12 7:23 PM

Page 54: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

54 diffa edisi 18 - Juni 2012

“Akhirnya ketua kita dapat

jodoh…!”

Teriakan terakhir kontan

diikuti tepuk tangan dan sorakan.

Aku jadi salah tingkah. Ajeng

tampak malu. Wajahnya memerah.

Ak hirnya dia berlari ke tengah

kerumunan teman-temannya. Tapi

di sana pun dia menjadi sasaran

godaan teman-temannya. Aku me-

lihat ada yang memeluknya, ada

yang mencubit pipinya, ada yang

menarik rambutnya. Sampai kemu-

dian ada yang berteriak. “Hidup

Ibu Ketua BEM!”

Semua tepuk tangan riuh dan

bersorak-sorak. Aku terdiam. Entah

malu, entah merasa bahagia.

*

SEJAK pulang dari malam

inaugurasi mahasiswa psikologi

itu, hari-hariku menjadi penuh

sema ngat dan keceriaan. Aku su-

dah tahu ke mana harus berburu Si

Anggun. Hidupku terasa jadi terasa

penuh gelora.

Tanpa malu aku mulai rajin

mengunjungi gedung Fakultas

Psikologi, untuk bertemu atau seka-

dar melihat wajah Si Anggun. Aku

tidak peduli, walau risikonya seba-

gai orang ngetop di kampus aku

harus menerima godaan teman-

teman mahasiswa senior yang tahu

tujuanku ke ke sana. Bahkan aku

dengan terus terang meminta ban-

tuan teman-temannya. Salah satu-

nya si centil pemberani Riana, yang

dulu memimpin teman-temannya

menemuiku di kantor BEM.

“Susah dekati dia. Orangnya

pendiam, hatinya beku sedingin

salju,” goda Riana sambil tertawa

berderai. “Dekati gue aja. Hatiku

penuh bara api,” lanjut Si Rame ini.

Tapi akhirnya aku mendapatkan

banyak info tentang keseharian

Ajeng, tempat kosnya, bahkan kemu-

dian nomor HP-nya.

Sejak itu aku berusaha rajin

mengubungi Ajeng. Mula-mula SMS,

kemudian menelepon. Dia selalu men-

jawab SMS teleponku dengan santun,

tapi selalu menolak dengan halus

setiap diajak bertemu. Alasannya, dia

masih mahasiswa baru. Dia masih

belajar menyesuaikan diri dengan sua-

sana kuliah dan beradaptasi dengan

para dosen.

Sebagai orang yang sudah beru-

mur 18 tahun dan sudah mahasiswa,

aku yakin dia mengerti maksud SMS

dan teleponku. Dia pasti tahu aku

melakukan itu karena naksir dirinya.

Karena itu aku yakin dia menolak

ajakanku karena tidak tertarik kepa-

daku.

Hal itu membuat aku agak sedih

dan kecewa. Tapi aku tidak mau

menye rah. Bayangan sosok dan

wajahnya yang anggun telanjur ber-

semayam dalam rongga hatiku. Aku

akan terus berusaha sampai titik batas

yang kubisa.

Mungkin karena merasa tidak

enak terus menolak, akhirnya Ajeng

mau juga sesekali bertemu denganku.

Itu pun hanya dalam bentuk ngobrol

sambil makan siang di kantin fakultas-

nya. Ia tidak mau diajak pergi, makan

di tempat lain, atau nonton. Bahkan

ia tidak mengizinkan aku main ke

tempat kosnya.

Aku tentu kecewa. Tapi bisa

memaklumi. Sedikit banyak aku jadi

mengerti, dia teguh dengan prin-

sipnya. Selain itu dia serius menuntut

ilmu. Dia pintar di kelas. Paper-paper-

nya selalu mendapat nilai bagus. Tipe

cewek, yang terus terang, aku suka.

Aku tidak suka mahasiswi yang terlalu

banyak pecicilan sana-sini.

Satu hal yang membuat aku lebih

tersentuh, dia cenderung pemurung

karena ternyata diliputi kesedihan.

Tiga bulan sebelum dia kuliah di Ja-

karta, ibunya meninggal karena suatu

penyakit. Kesedihan itu masih terus

membekas di hatinya. Waktu Ajeng

bercerita tentang bagaimana ia begitu

menyayangi ibunya dan bagaimana

rasa kehilangan itu, aku seperti ikut

merasakan kesedihan yang luar biasa.

Cara dia bercerita dan kesedihan di wa-

jahnya sangat membekas di batinku.

Dia anak yang begitu penyayang pada

orang tua.

Hal itu membuat aku merasa

makin suka dan sayang padanya.

Tapi aku juga jadi tidak berani terlalu

memaksa untuk menerimaku. Aku

mungkin terkenal di kampus ini. Tapi

aku tidak bisa memaksa semua orang

menyukaiku. Aku bisa saja mencintai

dia. Tapi aku tidak mungkin memaksa

dia mencintai aku. Aku takut ditolak

dan malah kehilangan dia jika me-

maksakan keinginan hati.

Menyadari itu aku jadi merasa

diriku kecil. Intensitas hubungan dan

pertemuan kami tetap baik dan relatif

makin sering. Tapi, entah kenapa, aku

tidak punya keberanian untuk me-

nyatakan perasaanku kepadanya.

*

Ujian akhir semester tiba. Seperti

biasa semua mahasiswa sibuk mem-

persiapkan diri untuk mengikuti ujian,

termasuk aku dan Ajeng. Selama ujian

aku tidak berani mengganggunya.

Hanya beberapa kali mengirim SMS

menanyakan kesehatan dan ujiannya.

Seperti biasa dia menjawab dengan

bahasa yang singkat dan santun.

Hingga akhirnya masa ujian se-

mester selesai. Malam itu aku menele-

ponnya, ingin mengajaknya makan

atau nonton, sekadar melepaskan

stres ujian. Tapi Ajeng bilang dia mau

pulang dulu ke kotanya untuk berlibur

sekaligus bertemu dengan keluarg-

anya yang sudah sekitar 10 bulan dia

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 54 5/22/12 7:24 PM

Page 55: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

55diffa edisi 18 - Juni 2012

tinggalkan. “Lusa aku berangkat, naik

pesawat jam 11,” katanya.

Aku terdiam. Wah, berarti sebulan

lebih aku tidak akan bertemu dengan

dia. Alamak! Apakah aku sanggup

berpisah, tidak melihat wajahnya

selama itu? Lebih dari itu, aku belum

sempat mengungkapkan isi hatiku

kepadanya. Aku belum mendapat

kepastian, apakah sebenarnya dia mau

menerima cintaku.

Pikiran itu membuat malam itu

kulewati dengan sangat gelisah. Aku

merasa bodoh karena selalu ini tidak

pernah berani mengungkapkan isi

hati. Aku tidak boleh terus seperti ini.

Aku harus melakukan sesuatu.

Besoknya aku menelepon, me-

nyampaikan aku ingin mengantarnya

ke bandara. “Boleh kan, aku mengan-

tar Ajeng?”

“Nggak usah repot-repot, Bang.

Aku bisa sendiri.”

Aku bingung. Ajeng tetap seperti

menolak. Tapi aku tidak boleh menye-

rah. Kalau tidak sekarang, aku tidak

akan pernah punya kesempatan. Aku

sibuk memutar otak, sampai tak terasa

aku tidak bisa tidur. Tapi akhirnya aku

menemukan cara itu.

Esok paginya aku sudah berada di

depan tempat kos Ajeng. Dia kelihatan

agak keberatan, tapi tidak berani

menolak ketika aku membantu mem-

bawakan kopernya. Kami menuju

bandara dengan bus DAMRI. Di dalam

bus, Ajeng lebih banyak diam. Hal itu

membuat perasaanku semakin kalut.

Dia kelihatan tak begitu suka aku an-

tar. Aku jadi grogi dan tegang sendiri.

Bagaimana nanti aku menyampaikan

perasaanku, yang kurencanakan dan

kusiapkan semalaman?

Satu jam kemudian kami turun di

teras Terminal A Bandara Soekarno-

Hatta. Bersamaan dengan itu terde ng-

ar pengumuman pesawat yang akan

Ajeng tumpangi akan berangkat sejam

lagi dan calon penumpang dipersi-

lakan chek in.

“Aku harus langsung masuk,

check in,” kata Ajeng sambil menarik

roda kopernya dan menyeret perla-

han menuju pintu masuk. Aku kalut.

Aku mengiringi langkahnya sambil

berpikir keras.

“Tunggu sebentar, Ajeng,” akh-

irnya aku memberanikan diri. Kalau

mau ditolak, ditolak-lah. Tapi aku

harus menyampaikan.

“Ada apa?” Ajeng menghentikan

dengan wajah heran.

“Aku ingin menyampaikan se-

suatu…” ujarku agak gemetar, sambil

membuka ranselku. Aku mengambil

beberapa tangkai bunga mawar putih

yang kuikat jadi satu dengan pita.

Ajeng tampak kaget bercampur heran.

Aku mengacungkan bunga itu

kepada Ajeng. Tapi… semua kata yang

kususun semalam, bahwa bunga itu

sebagai pertanda melepas dia dengan

cinta, seketika seperti hilang begitu

saja. Aku tak berani mengucapkan.

Mulutku seperti terkunci.

“Aku… aku titip ini, yah… buat

ditaruh dimakam Ibu….”

Aku tidak tahu dari mana asalnya

kata-kata itu, karena sama sekali tidak

terpikir sebelumnya. Tapi, wajah Ajeng

seperti tersentak. Seperti ada badai di

matanya yang bening. Ia mengulur-

kan tangan menerima bunga yang

kusodorkan tanpa berkata apa-apa.

“Terima kasih.…” gumamnya. Dan

ketika ia menunduk, memasukkan

bunga itu dengan hati-hati ke dalam

tas tangannya, aku melihat setitik

air jatuh dari matanya. Dan ketika ia

menengadahkan wajahnya, aku me-

lihat mata yang bening itu memang

berkabut penuh air.

Aku jadi merasa bersalah karena

membuat dia jadi sedih. Aku jadi

mengutuki diriku sendiri. Kenapa

ucapan itu yang keluar dari mulutku?

Kenapa tidak mengatakan, bunga

itu sebagai tanda cinta, yang ingin

dikenang dan dibawa pergi. Aku

memang tolol. Aku….

“Terima kasih, ya.…” tiba-tiba

Ajeng menggenggam tanganku

dengan kedua tangannya. “Ajeng

akan meletakkan bunga itu di sisi

nisan Ibu. Nanti, kalau kembali ke

Jakarta, jemput aku, ya.…”

Aku ternganga, seakan tidak

percaya. Dia memintaku menjem-

putnya? Berarti.… “Pasti! Pasti aku

akan menjemput Ajeng.”

“Abang baik-baik jaga diri.

Sekarang Ajeng berangkat dulu.”

Ia melepas tanganku sambil

tersenyum.

“Iya… iya.…”

Hanya itu yang mampu

kuucapkan. Aku sungguh tidak

mengira bahwa ucapan yang

salah itu justru menyentuh hati

Ajeng. Ah, dasar aku memang

bodoh. Kutatap langkah anggun

Ajeng menuju pintu pemeriksaan.

Sejenak ia berbalik, melambai-

kan tangan sambil tersenyum.

Senyum terindah yang pernah

kulihat sepanjang hidupku. *

* Jonna Damanik,

Sarjana Teknik penyandang low-vision,

General Manajer diffa

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 55 5/22/12 7:24 PM

Page 56: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Bayiku Tidak Dapat Melihat. Bisakah Berkembang?

Dr. Ferial yang baik,

Tiga bulan lalu saya melahirkan anak pertama, seorang bayi perempuan. Sampai sekarang anak

saya hanya bisa telentang, lengannya belum bisa meraih benda. Menurut dokter, kedua matanya tidak bisa melihat sama sekali sejak lahir dan

penyebabnya jenis yang tidak bisa disembuhkan lagi. Mengapa ya, anak saya?

Mengapa pula, walaupun lengan dan tungkainya dapat bergerak, dia belum bisa tengkurap dan

meraih sesuatu di depannya?

Mohon saran dokter, apa yang bisa saya lakukan

di rumah untuk memacu perkembangannya

sehingga anak saya bisa berkembang seperti bayi lainnya. Kalau sudah besar apakah anak saya bisa

melakukan berbagai kegiatan? Saya sungguh cemas akan perkembangan bayi saya.

Terima kasih.

Siska - Jakarta

56 diffa edisi 18 - Juni 2012

konsultasi kesehatan

Did

i Pur

nom

o

Ibu Siska,

PERTAMA, saya ingin

membesarkan hati Ibu.

Walaupun putri Ibu

tidak dapat melihat sama

sekali, ia tetap masih

dapat dilatih mengerjakan hampir

semua kegiatan yang dapat dilaku-

kan oleh anak lain sebaya dan tidak

terganggu penglihatannya.

Mengenai perkiraan penyebab

dan tindakan pencegahan berikutnya,

sebaiknya Ibu menghubungi

dokter spesialis mata anak, bila

memungkinkan dokter spesialis

anak dan dokter spesialis kandungan.

Sekadar data, penyebab kebutaan

pada anak antara lain ambliopi (retina

lepas), katarak, glaucoma, dan per-per-

tumbuhan abnormal retina pada bayi

yang lahir prematur.

Mengapa putri Ibu belum bisa

tengkurap dan meraih sesuatu di de-

pannya walaupun lengan dan tungka-

inya bisa bergerak? Karena bayi yang

tidak dapat melihat sama sekali akan

mempunyai hambatan dalam belajar

menggunakan anggota tubuhnya.

Hal ini karena bayi yang tidak dapat

melihat tidak mengetahui kejadian

di sekitarnya, tidak mengetahui ada

posisi telentang dan tengkurap, bagai-

mana menggunakan bagian tubuh,

cara orang miring, cara dari telentang

ke tengkurap, dari tengkurap ke te-

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 56 5/22/12 7:24 PM

Page 57: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

57diffa edisi 18 - Juni 2012

Ferial Hadipoetro Idris

Doktor Ilmu Kedokteran FKUI, Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi USTH Philippines, Magister Faal dan Kesehatan Olahraga Pasca UNPAD, dokter FKUI. Dosen/Narasumber/Saksi Ahli bidang Rehabilitasi Medik dan RBM (Rehabilitasi Bersum-berdaya Masyarakat). Pendiri dan Ketua PSIKI (Pusat Studi dan Informasi Kecacatan Indonesia). Koordinator Pemberdayaan Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia)

Did

i Pur

nom

o

lentang, cara merangkak, cara duduk,

berdiri, berjalan, dan sebagainya.

Bayi yang tidak dapat melihat

tidak mengetahui cara meraih benda,

menyentuh, meraba, memungut, me-

megang, dan menggunakan benda.

Tidak dapat mengetahui anggota

keluarga dan orang lain, cara ber-

komunikasi dengan mimik wajah, dan

sebagainya. Karena itu, bayi dengan

gangguan penglihatan tidak akan bisa

mem-

pelajari keja-

dian atau kegiatan di sekitarnya bila

tidak dibantu dengan menjelaskan

dan melatihnya.

Jadi, rangsanglah putri Ibu untuk

mempelajari hal-hal baru. Tunjukkan

kasih sayang dengan memberikan

waktu lebih banyak bersamanya.

Tunjukkan Ibu senang bila anak telah

berhasil mempelajari hal baru dengan

cara mengatakan secara lembut,

dengan dekapan, sentuhan hangat,

dan sebagainya.

Bayi yang tidak dapat melihat

mempelajari dunia sekelilingnya

deng an meraba, mendengar, men-

cium, dan menjilat.

Larang-

an hanya

dilakukan bila

anak mengerjakan

hal-hal yang dapat mencederai

dirinya. Apa yang diajarkan? Ajarkan

secara bertahap sesuai dengan umur

perkembangannya, menyusu, makan,

mendengar, dan mengenal anggota

keluarga. Ajarkan anak mendengar

dan mengetahui suara-suara di sekitar.

Ajarkan anak mengenal orang dari

suaranya. Misalnya, “Ini kakakmu Sri

yang sedang bicara,” sambil mendekat-

kan wajah yang sedang bicara ke si

anak sehingga ia dapat merabanya.

Demikian juga dalam hal gerakan.

Ajarkan anak bertepuk tangan secara

pelan, keras, cepat, dan lambat. Letak-

kan tangan Ibu di atas tangan anak

dan ajarkan anak untuk mendengar-

kan. Buatlah bermacam-macam bunyi

seperti meniup, bersiul, bunyi gerakan

lidah, atau bunyi gerakan jari. Suruh

anak mendengar dan menirukan

bagaimana cara membuat bunyi terse-

but dengan meraba gerakan mulut

dan tangan Ibu.

Anak sering mudah takut men-

dengar sesuatu yang asing karena

tidak dapat melihat. Bila dia sedang

ketakutan, peluklah dan jelaskan itu

suara apa. Bicaralah sesering mungkin

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 57 5/22/12 7:24 PM

Page 58: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

58 diffa edisi 18 - Juni 2012

kepada anak sehingga mengetahui

bahwa Ibu berada di dekatnya dan

memberikan rasa aman.

Ajarkan anak berbicara. Anak

tunanetra tidak dapat melihat gerakan

bibir orang yang sedang berbicara,

karena itu biasanya perkembangan

bicaranya terlambat dan perlu dilatih.

Letakkan tangan anak pada mulut Ibu

waktu berbicara agar anak merasakan

gerakan bibir dan aliran udara keluar-

masuk mulut dan hidung. Setiap kali

anak memegang benda, sebutkan

namanya. Setiap berbicara, sebutlah

namanya, karena kalau tidak demiki-

an dia tidak akan tahu Ibu berbicara

dengannya.

Ajarkan mengenal rasa gerak

de ngan cara anak dipangku dan

dibiarkan meraba gerakan kepala dan

lengan Ibu ketika berbicara. Anak

digendong dan Ibu berjalan. Anak

berdiri di pangkuan dan digoyang-

goyangkan.

Kalau umurnya sudah cukup,

ajarkan merangkak. Peganglah anak

yang bertumpu pada kedua lutut

dan tangannya serta rangsanglah

agar anak mau bergerak maju den-

gan membunyikan bunyi-bunyian

atau memanggil manggil namanya.

Bila anak telah dapat merangkak,

rangsang lah agar bergerak dan menge-

nal alam sekitarnya. Merangkak juga

mengajar anak menggunakan lengan

dan tungkainya.

Pada saat Ibu mulai mengajarkan

anak berjalan, bicaralah pada anak

bahwa tanah yang diinjak kasar, halus,

berpasir, atau berumput. Ajaklah mera-

sakan tanah yang diinjak dengan kaki

atau tangannya untuk mengetahui

perbedaannya. Ajarkan berjalan deng-

an bantuan/petunjuk tali. Jelaskan

permukaan tanah/lantai yang sedang

diinjak seperti kerikil, lumpur pasir,

atau ubin.

Ajarkan anak berjalan dengan me-

lindungi dirinya, satu tangan di depan

muka dan tangan yang lain meraba

di depan dada. Hal ini diajarkan bila

anak tidak mau bergerak karena takut

membentur benda di depannya.

Ajarkan anak cara jatuh yang aman,

yaitu kepala dan badan diusahakan

tidak membentur dan jatuh bertumpu

pada lengan. Lindungilah anak dari

tempat-tempat yang berbahaya seperti

api, sumur, atau sungai. Buatkan pagar

pengaman di sekitar tempat yang

berbahaya.

Kalau sudah bisa jalan-jalan,

ajarkan anak mengenal lingkungan-

nya. Ajarkan meraba dan memegang

benda-benda. Letakkan tangan Ibu di

atas tangan anak, kemudian rabakan

tangan anak pada permukaan benda,

sehingga ia dapat mengenal benda

tersebut pada saat Ibu menjelaskan.

Kalau bepergian, ajaklah anak menge-

nali/meraba benda-benda di sekitar.

Untuk mengenalkan anak pada

benda yang bergerak seperti binatang,

letakkan tangan Ibu di atas tangan

anak kemudian rabakan pada benda

yang bergerak, sehingga ia dapat mera-

sakan gerakan tersebut. Bantulah anak

mengenal benda-benda dan gunanya.

Berikan benda pada anak agar dapat

mengenal bentuknya seperti apa dan

gunanya untuk apa.

Bila Ibu menganggap anak sudah

siap untuk bergerak sendiri, mintalah

paket pelatihan pada kader Rehabilita-

si Bersumberdaya Masyarakat (RBM).

Anak sebaiknya dapat makan, mi-

num, berpakaian, dan ke toilet tanpa

bantuan orang lain. Biarkan anak

melakukannya sendiri walaupun

sangat lambat. Hal ini akan men-

gakibatkan anak lebih mandiri, lebih

bahagia, dan lebih sehat. Ibu pun jadi

mempunyai waktu untuk menger-

jakan pekerjaan lain.

Berikanlah kesempatan seluas-

luasnya agar bayi dan anak bermain

untuk mengembangkan diri. Sebab,

sekali lagi, anak dengan gangguan

penglihatan dapat berkembang mela-

lui permainan meraba, mendengar,

mencium, menjilat, dan merasakan.

Melalui permainan juga anak dapat

mengembangkan kemampuan

berbicara, belajar, dan bergerak.

Melalui permainan, anak belajar

berperilaku seperti anak lainnya.

Anak dengan gangguan pengli-

hatan harus sekolah seperti anak lain.

Secara garis besar banyak tunanetra

yang sudah meraih gelar sarjana, bah-

kan master dan doktor. Modal utama

ialah tekad yang tinggi dan dukungan

keluarga serta orang lain di sekitarnya.

Ini yang disebut aksesibilitas non-fisik.

Artinya, memberikan kemudahan

agar anak dapat mempelajari sesuatu.

Bila telah besar, anak diwajibkan

pula mengerjakan pekerjaan di rumah

seperti anak lain. Bila anak telah

dewasa ia dapat belajar bekerja dan

mencari penghasilan sendiri. Apabila

Ibu ingin panduan lebih detail, sudah

tersedia buku-buku manual Rehabili-

tasi Bersumberdaya Masyarakat untuk

keluarga. Antara lain Ibu bisa meng-

hubungi Pusat Studi dan Informasi

Kecacatan Indonesia (PSIKI).

Juga banyak banyak lembaga

tunanetra atau disabilitas yang mem-

berikan pelayanan assesmen terha-

dap keluarga yang dianugerahi anak

penyandang disabilitas, seperti Mitra

Netra dan Rawinala. Mendapat tuntu-

nan dari ahli dan berkumpul bersama

orang-orang tua lain yang memiliki

persoalan sama akan memberikan

pengetahuan dan dorongan semangat

bagi Ibu. Jangan berputus asa, karena

kesempatan begitu luas. n

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 58 5/22/12 7:24 PM

Page 59: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

pindai

SEPASANG suami-istri

membuat rumah belajar un-

tuk anak-anak jalanan kota

Bandung, termasuk anak

penyandang disabilitas.

Niat tulus, bagaimana

pun bentuknya, selalu

memberi arti.

Rumah Belajar

Tabo di Jalan Dago

Pojok, Bandung, Jawa

Barat, mulai dirintis

tahun 2002. Saat itu

rumah belajar ini

belum memiliki nama.

Rumah ini bermula

dari pendidikan anak-

anak jalanan kota

Bandung.

Kemudian pada

tahun 2003 Rahmat

Jabaril mendirikan

Rumah Belajar Tabo

bersama sang istri, Ika Ismurdyahwati,

dengan satu teman dari Jerman, Sabi-

neu Muller. Mereka membuka kursus

gratis bagi anak-anak yang berminat

belajar. Nama “Tabo” diambil dari

istilah yang dikemukakan ahli psiko-

analisa Sigmund Freud dalam salah

satu bukunya. Tabo berarti larangan.

“Larangan dalam kata ini berarti laran-

gan untuk tidak belajar,” ujar Rahmat

Jabaril.

Rahmat Jabaril dan kawan-kawan

melibatkan anak-anak muda, teruta-

ma mahasiswa yang berminat men-

jadi relawan di Rumah Belajar Tabo.

Mereka mulai mencoba mendekati

masyarakat sekitar dengan menga-

dakan berbagai kegiatan di daerah

Dago. Kegiatan itu bermula dari acara

kegiatan Agustusan. Dari keterlibatan

dalam Agustusan itu mulailah Rumah

Belajar Tabo dikenal masyarakat

sekitar.

Konsep dan HambatanMenurut Rahmat Jabaril, konsep

pendidikan yang dirintis Rumah

Belajar Tabo memiliki dua falsafah.

Pertama, belajar tidak mengenal batas.

Tempat Belajar Semua Anak

Rumah Belajar Tabo

Kedua, di Rumah Belajar Tabo guru

dengan murid sama-sama sebagai

subjek pendidikan.

Rumah Belajar Tabo melawan

konsep pragmatisme dalam pendi-

dikan. Dalam

pandangan

kebanyakan orang,

belajar untuk

memiliki ijazah. Di

rumah belajar ini

ijazah bukanlah

tujuan. Rumah

Belajar Tabo juga

melawan kon-

sep birokratisme.

Menurut Rahmat

Jabaril, kehidu-

panlah yang harus

dijadikan pembe-

lajaran. “Apa pun

yang terjadi dalam

lingkungan dan

kehidupan kita,

itulah pembelajaran.”

Tidak kalah penting, Rumah

Belajar Tabo memandang semua anak

sama. Artinya, semua anak memiliki

hak pendidikan yang sama tanpa

memandang latar belakang budaya,

agama, ras, gender, disabilitas, dan

sebagainya. Dari falsafah inklusif terse-

but, semua anak termasuk anak-anak

disabilitas, bisa belajar dengan leluasa

di rumah belajar ini.

Untuk mencapai pendidikan

 

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 59 5/22/12 7:24 PM

Page 60: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

 

 

yang bermutu tentu membutuhkan

proses dan pasti menghadapi berbagai

hambatan. Begitu pula Rumah Belajar

Tabo. Salah satu hambatan utama

pada awal berdirinya adalah ketidak-

setujuan masyarakat akan keberadaan

rumah belajar ini. Karena sebagian

masyarakat menganggap Rumah

Belajar Tabo memiliki misi-misi

tertentu untuk anak-anak di daerah

Dago. Bahkan sempat beredar rumor

dan provokasi negatif tentang Rumah

Belajar Tabo.

Selain itu ada beberapa kelompok

dan ormas agama yang berpura-pura

ingin membantu, padahal hanya

ingin menjalankan misi kelompoknya.

Namun, seiring dengan perjalanan

waktu, hambatan-hambatan tersebut

dapat diatasi. Rumah Belajar Tabo bisa

membuktikan kepada masyarakat

sekitar mereka murni ingin berbuat

sesuatu untuk pendidikan anak-anak

marginal.

Warna InklusifRumah Belajar Tabo yang hanya

bermula dari kursus bimbingan belajar

gratis mulai merambah ke dunia kur-

sus melukis dan kursus Paket C gratis

bagi anak-anak jalanan yang ingin

mengikuti ujian nasional. Termasuk

anak-anak penyandang disabilitas.

Tidak banyak lembaga sosial yang

dapat menampung minat dan bakat

anak-anak penyandang disabilitas.

Rumah Belajar Tabo menerima anak-

anak penyandang disabilitas sebagai

manusia seutuhnya yang mampu

mengaktualisasikan bakat dan minat.

Terutama dalam mengekspresikan

emosi-emosi positif lewat lukisan,

belajar bersama, dan melakukan keg-

iatan positif lainnya.

Anak-anak penyandang disabilitas

yang belajar di Tabo mayoritas pe-

nyandang tunadaksa. Mereka belajar

setiap hari Minggu, karena di hari

biasa melakukan aktivitas lain, sep-

erti sekolah atau bekerja.

Mereka ikut belajar di

tempat ini dengan hara-

pan memperoleh ilmu

dan pengalaman yang

tidak didapatkan di luar.

Anak-anak penyan-

dang disabilitas ini men-

gaku merasakan banyak

kemajuan setelah belajar

di komunitas ini. Mereka

mampu mengoptimal-

kan potensi. Motorik

halus mereka, terutama

anak tunadaksa, men-

galami kemajuan. Emosi-

emosi negatif di-manage

dengan baik dan di sal-

urkan pada hal positif seperti melukis,

bermain musik, dan bersosialisasi.

Gaya belajar yang diterapkan

kepada penyandang disabilitas di Tabo

lebih difokuskan pada pengenalan ter-

hadap diri sendiri. Belajar meningkat-

kan kemampuan, tanpa memikirkan

ijazah. Selain itu, mengikuti pembe-

lajaran di Tabo tidak dipungut biaya.

Meskipun gratis, tidak mengesamping-

kan kualitas pembelajaran.

Menurut salah seorang maha-

siswa yang menjadi pengajar di Tabo,

anak-anak penyandang disabilitas san-

gat semangat dan riang mendapatkan

pelajaran baru. Hal tersebut sejalan

dengan ungkapan salah satu murid,

Jefri. “Senang banget belajar di Tabo.

Soalnya guru-gurunya baik, mengerti

kebutuhan kita,” katanya.

Sesudah belajar di Tabo, banyak

anak yang yang bisa mengembang-

kan bakat, bahkan dalam perlombaan

bergengsi. Contohnya dalam hal

lomba melukis. Anak-anak Tabo yang

masih duduk di jenjang SD umum-

Foto

-foto

: Ner

a In

san

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 60 5/22/12 7:24 PM

Page 61: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

 

nya mampu mengukir prestasi lebih

baik dibanding dengan teman-teman

sebaya.

Menyebarkan SemangatKini Rumah Belajar Tabo, yang

hanya bermula dari kursus bimbingan

belajar gratis, mulai merambah berb-

agai kegiatan. Selain kegiatan kursus

melukis, kini ada dan kursus Paket

C gratis bagi anak-anak jalanan dan

penyandang disabilitas yang ingin

mengikuti ujian nasional.

Selain itu, Rumah Belajar Tabo

juga mulai mengembangkan seman-

gat inklusif ke kampung-kampung

lain. Mereka ingin semangat inklusif

berkembang di masyarakat umum

agar pendidikan bisa menyentuh

semua anak, termasuk anak-anak

disabilitas. Untuk itu, Rumah Belajar

Tabo mengadakan festival kampung,

antara lain di daerah Cicadas, Ciroyom,

dan Leuwi Panjang.

Pesan Rahmat Jabaril, pendidikan

bukan alat untuk tipu-tipu. “Pendidi-

kan harus menjadi ruang yang mampu

menciptakan semua anak dan pelaku

pendidikan mengenali siapa

dirinya,” katanya. Benar! n Nera

Insan Nurfadilah

 

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 61 5/22/12 7:24 PM

Page 62: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

62 diffa edisi 18 - Juni 2012

Foto

: Sig

it D

Pra

tam

a

Bisikan Angin

ANGGIE Regina

Anandari bisa disebut

artis multitalenta.

Selain penyanyi, dara

cantik kelahiran Pon-

tianak ini pemain sinetron, aktris layar

lebar, presenter, dan bintang iklan.

Awal kariernya di dunia tarik suara

ketika dia mengikuti ajang Asia Bagus

1999. Di tengah segudang kesibukan

sebagai artis, Anggie tetap memen-

tingkan pendidikan. Dia sudah meraih

gelar sarjana psikologi dan berniat

melanjutkan kuliah ke jenjang S2.

Sore itu diffa bertemu dengan

Anggie karena adiknya, Filma, yang

biasa dipanggil Iim, akan dipotret

untuk cover diffa edisi Juni 2012. Sang

adik penyandang down syndrome.

Anggie datang mengantar Iim ber-

sama sang bunda, Herlina.

Keberadaan sang adik membuat

Anggie sejak kecil sudah terbiasa

dengan dunia disabilitas. Anggie

mengakui, awal mengetahui adiknya

menyandang down syndrome, ia

dan keluarga sangat terkejut. Sebab,

dalam sejarah keluarga mereka tidak

ada penyandang disabilitas seperti

itu. Tapi kemudian mereka sadar, sang

adik adalah manusia spesial yang

dianugerahkan dan dititipkan Tuhan

kepada mereka. “Kami belajar ten-

tang disabilitas. Bahkan kemudian

saya mengambil kuliah di psikologi,”

ujarnya.

Iim terlihat sangat dekat dengan

Anggie. Anggie sangat sayang pada

sang adik. Kalau jalan jalan ke tempat

Anggie

hiburan, Iim pasti ikut kakaknya.

Anggie juga tidak merasa malu

memperkenalkan adiknya kepada

teman-temannya. Dan teman-

tamannya banyak yang suka Iim.

“Mukanya yang polos dan imut itu

bikin gemes,” ujar Anggie.

Kedekatan dua bersaudara ini

terlihat selama sesi pemotretan. Iim

ceria memeluk sang kakak. Ang-

gie pun memeluk adiknya dengan

penuh kasih.

Seusai pemotretan, Anggie men-

gatakan ingin sekali berpartisipasi

dalam Lomba Cipta Lagu Penyandang

Disabilitas (LCLPD) yang akan digelar

majalah diffa. Sebab, ajang tersebut

dapat menggugah semangat para

penyandang disabilitas untuk terus

mengembangkan potensi. “Saya siap

membantu,” ujarnya tulus.

n Lutfi Anandika

Siap Membantu

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 62 5/22/12 7:24 PM

Page 63: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Menulis dengan Hati

63diffa edisi 18 - Juni 2012

Foto

: Nes

tor

Ahmad Tohari

DI usia 63 tahun, Ahmad Tohari, penu-

lis novel trilogi Ronggeng Dukuh

Paruk, Lintang Kemukus Dinihari,

Jentera Bianglala, masih terlihat

segar, sehat, kalem, ramah, dan san-

tun, sebagaimana ia dikenal dari dulu.

Mas Tohari, begitu ia biasa dipanggil sebagian

teman dekatnya, diminta kelompok penulis Cendol -

Secoteng jadi pembicara dalam workshop penulisan

bertema “Budaya Lokal dan Sastra” di Purawisata,

Yogyakarta, akhir April 2012. Ia tampil bersama penga-

rang dan penulis skenario Nestor Rico Tambunan.

Dengan gaya kalem dan kebapakannya yang khas,

Mas Tohari bercerita tentang proses kreatif menulis

karya triloginya yang terkenal, diterjemahkan di ber-

bagai negara, dan belum lama ini difilmkan. “Tujuan

saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk adalah mela-

hirkan. Karena saya sudah hamil selama 15 tahun,”

katanya.

Ia lalu bercerita betapa peristiwa

huru-hara G30S tahun 1965 men-

imbulkan guncangan yang hebat

dalam dirinya. Ia melihat langsung

pembunuhan – pembunuhan

yang dilakukan bangsa ini terha-

dap sesama sebangsa sendiri. Ia

merasa bangsa ini telah kehilangan

rasa sopan dan kemanusiaan. Ia

marah. Dan ia menunggu pengarang-

pengarang menulis tentang peristiwa

itu. “Akhirnya saya tulis sendiri. Trilogi

ini saya tulis selama lima tahun, dari

tahun 80 sampai 85. Jadi, novel

ini sebenarnya pemberon-

takan. Novel Ronggeng

Dukuh Paruk ini penderi-

taan kita semua,” katanya.

Selama bercerita ia berkali-

kali menghapus air mata.

Tapi ayah lima ini mengaku

sangat bersyukur, novel yang menceritakan penderi-

taan itu memberi rezeki tak terukur bagi keluarganya.

“Alhamdulillah, sudah 31 tahun dan berkali-kali dicetak

ulang. Novel itu mengentaskan kelima anak saya

menjadi sarjana, tiga di antaranya jadi doktor,” ujarnya,

lagi-lagi dengan haru. Ia memang seniman yang penuh

perasaan.

n Nestor

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 63 5/22/12 7:24 PM

Page 64: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

biografi

Did

i Pur

nom

o

Did

i Pur

nom

o

64 diffa edisi 18 - Juni 2012

ANNE SULLIVANGuru dan Pendamping Helen Keller

Anne Sullivan adalah tokoh paling penting di balik kesuksesan dan nama besar Helen Keller. Ia mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk Helen Keller. Dan Helen Keller men-cintainya lebih dari siapa pun.

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 64 5/22/12 7:24 PM

Page 65: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

65diffa edisi 18 - Juni 2012

ANNE Sullivan berna-

ma lengkap Johanna

Mansfield Sullivan.

Ia lahir di Feeding

Hills, Massachusets,

Amerika Serikat, 14 April 1866. Anne

mempunyai tiga saudara kandung,

yaitu Jimmie, Ellen, dan Mary.

Kedua orang tua Anne, suami-istri

Thomas Sullivan dan Alice Cloesy

Sullivan, adalah pasangan imigran

Irlandia yang buta huruf dan miskin.

Begitu miskin mereka, hingga tidak

sanggup merawat anak-anak mereka

dengan layak. Mungkin karena ke-

miskinan itu pula, saat Anne berumur

5 tahun kehilangan sebagian besar

penglihatannya karena penyakit tra-

choma yang tidak segera ditangani.

Saat Anne menginjak usia 12 ta-

hun, ibunya meninggal dunia karena

penyakit tuberculosis. Sepeninggal

ibunya, Anne diabaikan oleh ayah-

nya. Dia dan Jimmie dikirim ke sebuah

panti di Tewksbury dan tinggal di sana

selama 4 tahun. Tahun 1880, saat ma-

sih tinggal di panti, Jimmie meninggal

dunia. Anne lalu dikirim ke Perkins

School for the Blind, sekolah tunanetra

tertua di Amerika Serikat. Di sekolah

itu Anne dilatih untuk menjadi guru

bagi anak-anak tunanetra.

Ketika bersekolah di Perkins, dua

kali Anne menjalani operasi mata, se-

hingga memperoleh penglihatannya

kembali. Meskipun tidak sepenuhnya

sembuh, dia kembali dapat membaca

huruf dalam ukuran normal.

Guru Privat HelenPada usia 20 tahun Anne lulus

dari Perkins dan mulai mencari peker-

jaan. Ini hal yang sulit karena kondisi

penglihatannya yang tidak sempurna.

Karena itu, ketika ditawari Michael

Anagnos, Kepala Perkins School for the

Blind untuk mengajar Helen Keller,

dia menerima dengan senang hati,

meskipun belum pernah punya pen-

galaman mengajar anak buta-tuli yang

nyaris bisu.

Di kemudian hari, terbukti me-

milih Anne sebagai guru untuk Helen

adalah keputusan yang tepat. Karena

selain pernah menjadi murid teladan,

Anne pernah mengalami kebutaan

sehingga dapat sangat mengerti apa

yang dirasakan dan dialami Helen.

Anne datang ke rumah keluarga

Keller pada Maret 1887. Itu merupakan

awal bagi hubungan yang harmonis

Anne dan Helen. Sejak itu, sebagai

guru dan pendamping seumur hidup

bagi Helen, Anne tinggal, bekerja, bela-

jar, membantu, dan menemani Helen

ke mana pun dan kapan pun.

Saat pertama mengajar, Anne

memberi Helen hadiah sebuah boneka

dan mengajarinya kata pertama,

yaitu doll. Caranya, Anne menulis

huruf demi huruf di telapak tangan

Helen. Tapi Helen tak bisa menangkap

pelajaran pertamanya itu dan merasa

frustrasi. Helen tidak mengerti bahwa

setiap benda mempunyai sebutan

masing-masing untuk membedakan-

nya dari benda-benda lain. Tapi Anne

tidak putus asa. Dia mengajari Helen

kata berikutnya, yaitu mug, yang

berarti cangkir. Namun Helen masih

tetap tidak mengerti. Dia justru sema-

kin frustrasi dan merusak bonekanya.

Karena Helen nyaris tak bisa

berkomunikasi dan berinteraksi

dengan orang-orang sekitarnya, maka

dia pun tak mengerti apa-apa tentang

sopan santun. Helen menjadi anak

yang berperilaku liar dan pemarah.

Anne kemudian mengajak Helen

tinggal di pondok kecil di pekarang-

an rumah keluarga Keller agar bisa

mengajarinya berperilaku baik. Untuk

tahap awal, perhatian utama Anne

adalah mengajari tata cara makan.

Helen mempunyai kebiasaan yang

buruk, selalu makan dengan tangan,

yang bagi orang Barat dianggap tidak

sopan. Dia mengambil makanan dari

piring-piring orang lain tanpa izin.

Anne harus berjuang keras mengajari

Helen sopan santun.

Namun upaya Anne mengajari

tata cara makan, membiasakan menyi-

sir rambut, dan mengancing sepatu-

nya, justru membuat Helen semakin

sering mengamuk secara tiba-tiba.

Sering kali Anne menghukum Helen

dengan cara menuliskan kata-kata di

telapak tangan Helen. Anne menolak

berbicara pada Helen bila Helen tidak

mau bersikap manis.

Pengalaman satu bulan pertama

Anne mengajar Helen ini di kemudian

hari diabadikan dalam novel Miss

Spitfire: Reaching Helen Keller, yang

ditulis Sarah Miller. Novel ini ditulis

dengan menggunakan sudut pandang

dan sisi emosional Anne saat berjuang

keras menangani Helen.

Anne akhirnya berhasil mem-

buat Helen memahami konsep nama

benda saat mengajaknya memompa

air di halaman rumah. Helen mem-

punyai kenangan abadi tentang

kejadian bersejarah yang menjadi titik

balik hidupnya ini. “Dia meletakkan

tanganku di bawah pancuran. Ketika

aliran air yang dingin menyiram se-

belah tanganku, dia menuliskan kata

‘water’ di telapak tanganku yang satu-

nya lagi. Awalnya lambat, kemudian

semakin lama semakin cepat. Seluruh

perhatianku tertumpah pada gerakan

jari-jarinya. Tiba-tiba aku merasakan

seberkas kesadaran akan sesuatu yang

selama ini terabaikan. Akhirnya aku

memecahkan ‘misteri bahasa’. Aku

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 65 5/22/12 7:24 PM

Page 66: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

66 diffa edisi 18 - Juni 2012

mulai mengerti bahwa ‘water’ adalah

nama benda yang dingin dan ajaib

yang mengalir di atas telapak tang-

anku. Kata ‘water’ seolah hidup dan

membangunkan jiwaku; memberi

cahaya, harapan, kesenangan, dan

membebaskan jiwaku!”

Begitulah, berkat kecerdikan, keu-

letan, dan kesabaran Anne, Helen pun

akhirnya dapat memahami konsep

nama benda dan menghubungkan

kata dengan benda. Dia lalu meminta

Anne menuliskan kata “pump” di

telapak tangannya. Dan sepanjang

perjalanan kembali pulang ke rumah,

Helen menyentuh berbagai macam

benda dan meminta Anne menu-

liskan nama-nama benda itu. Anne

juga menuliskan “teacher” di telapak

tangan Helen untuk memberi tahu

bahwa dia boleh memanggil Anne

dengan sebutan itu.

Mampu SekolahSejak saat itu kemajuan Helen

sangat pesat. Kemampuannya belajar

jauh melebihi penyandang bisu-tuli

mana pun saat itu. Itu terjadi tak lama

setelah Anne mengajari Helen mem-

baca (mula-mula dengan huruf Latin

timbul, lalu dengan huruf Braille) dan

menulis (dengan mesin ketik biasa dan

mesin ketik Braille).

Anne juga mengajari Helen cara

“mendengarkan” suara orang lain.

Setiap kali berbicara, Anne meletak-

kan jari-jari Helen di wajah Anne. Ibu

jari diletakkan di pangkal tenggorokan

untuk meraba getaran pita suara, jari

telunjuk diletakkan di bibir untuk

membaca gerak bibir, dan jari tengah

diletakkan di sisi hidung. Dengan cara

itulah Helen merasakan getaran suara

Anne. Di kemudian hari, cara ini tetap

digunakan Helen untuk “mendengar-

kan” perkataan lawan bicaranya.

Pada Mei 1888 Helen mening-

galkan rumah untuk kali pertama,

didampingi Anne. Helen menjalani

pendidikan

di Perkins

Institute for the

Blind sebagai

tamu bagi

Kepala Sekolah

Michael Anag-

nos. Bagi Anne,

ini adalah saat-

saat nostalgia,

karena dulu

pun dirinya

menuntut ilmu

di sekolah yang

sama.

Setamat

dari Perkins,

pada usia 13

tahun, Helen

melanjutkan

pendidikan

ke Wright-

Humason

School for the

Deaf di New

York. Anne

pun mengikuti

Helen pindah

ke New York.

Di sekolah itu

Helen menjadi satu-satunya murid

bisu-tuli. Dengan setia, Anne menyen-

tuh-nyentuhkan jarinya di telapak

tangan Helen membentuk setiap kata

yang ada di buku atau diucapkan oleh

guru. Dengan cara itu Helen bisa me-

nyerap begitu banyak informasi dan

mampu berkomunikasi baik dengan

orang dewasa maupun anak-anak.

Helen yang dulunya tak bisa berba-

hasa lisan sebagai akibat dari kondisi

tulinya, kini bahkan mulai belajar

berbicara.

Hasrat Helen untuk berbicara

akhirnya terwujud pada tahun 1890.

Dia belajar berpidato pada Sarah Fuller

di Horace Mann School for the Deaf,

sekolah tunarungu tertua dan terbaik

di Amerika Serikat. Ini semua adalah

hasil perjuangan Anne yang telah

dengan gigih membuat Helen mampu

berkomunikasi dengan orang lain.

Tahun 1900 Helen melanjutkan

studi di Radcliffe College di Cambridge,

Massachusetts. Ini adalah masa yang

sulit bagi Helen dan Anne. Banyaknya

tugas yang harus dikerjakan Helen

berpengaruh buruk bagi penglihatan

Anne.

Keliling Dunia Selama masa studi di Radcliffe,

Helen mulai menulis kisah hidupnya

yang kemudian diedit oleh John Al-

bert Macy, pengajar dan kritikus sastra

di Harvard University. Berkat bantuan

John pulalah maka buku pertama

Helen The Story of My Life dapat diter-

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 66 5/22/12 7:24 PM

Page 67: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

67diffa edisi 18 - Juni 2012

bitkan pada tahun 1903.

Di antara kesibukan membantu

Helen menulis buku itu, cinta bersemi

antara Anne dan John. Mereka berdua

akhirnya menikah pada tahun 1905.

Karena Anne tak mau mening-

galkan Helen, setelah mereka me-

nikah, John ikut tinggal bersama

dengan Anne dan Helen di Wrentham,

Massachusetts. Anne dan John tetap

mendampingi Helen saat pindah ke

Forest Hills, Queens. Di sana, Helen

menggunakan rumahnya sebagai

awal perjuangan untuk The American

Foundation for the Blind, organisasi

yang mempunyai misi untuk meng-

hilangkan kendala, menciptakan

solusi, dan memperbesar kemung-

kinan bagi tunanetra menampilkan

potensi terbaik mereka.

Sayang, pernikahan Anne dan

John tak bertahan lama. Pada tahun

1914 mereka berpisah meskipun tak

pernah secara resmi bercerai. John

menghilang dari kehidupan Anne,

dan sejak itu Anne tak pernah meni-

kah lagi.

Anne kemudian mendampingi

Helen berkeliling dunia untuk mem-

beri kuliah umum di berbagai tempat.

Helen berbicara tentang pengalaman

dan keyakinannya kepada banyak

orang. Karena Helen tak bisa mengu-

capkan kata-kata sejelas orang lain,

maka dalam kuliah itu kalimat-kali-

mat yang diucapkan Helen diulang

kembali oleh Anne. Helen dan Anne

memperoleh banyak penghasilan

dari mengisi kuliah umum di seluruh

dunia itu.

Sejak tahun 1918 permintaan men-

gisi kuliah mulai sepi. Sebagai ganti,

Anne dan Helen melanjutkan per-

jalanan keliling dunia untuk menjadi

bintang utama dalam berbagai pertun-

jukan teater dan film. Cerita yang di-

angkat dalam pertunjukan itu adalah

kisah bersejarah titik tolak kemajuan

Helen saat dia mulai memahami arti

kata “water”.

Peran Anne Sullivan sebagai guru

bagi Helen juga diangkat ke dalam

pementasan drama The Miracle

Worker yang naskahnya ditulis Wil-

liam Gibson. Drama ini menceritakan

perjuang an Anne menembus keter-

asingan yang dialami Helen karena

ketidaktahuan bahasa dan kondisi

buta-tuli, sampai kemudian Helen

memiliki kemampuan berbahasa.

Drama yang sesungguhnya

diproduksi untuk tontonan di televisi

ini dipentaskan di Broadway untuk

kali pertama pada tahun 1957, sebe-

lum akhirnya dijadikan film bergenre

feature pada tahun 1962. Dalam film

ini Anne Sullivan diperankan Anne

Bancroft dan Helen Keller diperankan

Patty Duke. Drama tiga babak yang

diadaptasi dari novel karya Hellen The

Story of My Life ini berhasil mengan-

tarkan Anne Bancroft dan Patty Duke

memenangi Academy Awards untuk

kategori Pemeran Wanita Terbaik dan

Pemeran Pembantu Wanita Terbaik.

Karier akting Helen berlanjut ke

panggung drama vaudeville. Anne

mendampingi Helen selama tur keli-

ling. Dalam tur keliling itu Helen juga

tak absen memberi kuliah. Sebetulnya

Anne tidak menyukai gaya hidup

glamor, berlawanan dengan Helen.

Akhirnya pada tahun 1922 mereka ber-

henti main teater dan film karena tur

keliling semacam itu terlalu melelah-

kan untuk Anne.

Persahabatan AbadiPada tahun 1914 kondisi kesehat-

an Anne, termasuk penglihatannya,

mulai memburuk.

Helen lalu menggaji Polly

Thomson untuk bekerja sebagai

sekretaris pribadinya. Tahun 1922

Anne terserang bronchitis akut

yang membuatnya tak mampu lagi

berbicara kecuali sekadar berbisik.

Kesehatan Anne terus memburuk,

terutama setelah mendengar kabar

kematian John Macy pada tahun 1932.

Meskipun perkawinan mereka sudah

hancur beberapa tahun sebelumnya,

kematian John membuat semangat

hidup Anne meredup. Penglihatan

Anne juga terus memburuk dan pada

tahun 1935 buta total.

Setahun kemudian, tepatnya 20

Oktober 1936, Anne meninggal dunia

di Forest Hills, New York, dalam usia

70 tahun. Abu jenazah Anne kemudi-

an disimpan di Washington National

Cathedral.

Setelah Anne meninggal dunia,

Helen dan Polly pindah ke Arcan

Ridge, di Westport, Connecticut. Di

sanalah Helen menghabiskan sisa

hidupnya. Tahun 1953 Helen mu-

lai kembali menulis buku berjudul

Teacher yang bercerita tentang Anne

Sullivan dari kaca mata Helen Keller.

Buku ini dipublikasikan pertama kali

pada tahun 1955.

Saat Helen meninggal dunia,

tahun 1968, abu jenazahnya ditempat-

kan bersebelahan dengan abu jenazah

Anne. Sebuah simbol persahabatan

dan cinta abadi yang mesra dan indah

antara guru dan murid.

Kini tempat peristirahatan ter akhir

Helen dan Anne menjadi tempat

wisata yang terkenal. Di sana ada

sebuah piagam perunggu yang ditulis

dengan huruf Braille: “Helen Keller

dan pendamping tercintanya, Anne

Sullivan Macy, dikebumikan dalam

makam di kapel ini”. Kisah mereka

sungguh menggetarkan. Dan, meng-

gugah dunia.

n Mila K. Kamil

Sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/Anne_Sullivan

http://en.wikipedia.org/wiki/Helen_Keller

http://www.afb.org/braillebug/hkmuseum.asp

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 67 5/22/12 7:24 PM

Page 68: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

cermor

Pahala Kapal Kaki

PADA bulan Ramadhan, Pondok

Pesantren Windan mengadakan ke-

giatan pesantren kilat bagi para penyan-

dang disabilitas. Juminten tidak mau

ketinggalan. Selain aktif di kegiatan

pondok, kebetulan ia menjadi organiser di komunitas

para penyandang disabilitas.

Waktunya salat maghrib berjamaah, Juminten

bergegas ke masjid pondok. Nahas, ketika di depan

tempat wudhu Juminten terpeleset dan jatuh. Pak

Kiai pun bergegas menolong Juminten, sambil ber-

kata, “Hati-hati, Nduk, itu licin.”

“Terima kasih, Pak Kiai. Tapi tidak apa-apa, Pak,

cuma sakit sedikit,” sahut Juminten.

Saat itu, tanpa sengaja Juminten melihat ada

kapal, kerak di kulit karena sering dipakai bertumpu,

di lutut, punggung telapak kaki, dan mata kaki Pak

Kiai. Juminten mengira itu lebam. Jangan-jangan Pak

Kiai habis kecelakaan, pikir Juminten.

Selesai salat maghrib, acara dilanjutkan dengan

ramah tamah dan buka bersama. Saat buka bersama

Juminten mendekati Pak Kiai. “Pak Kiai, Bapak se-

dang sakit, ya?” tanyanya.

Jawab Pak Kiai, “Tidak, Nduk, Bapak sehat-sehat

saja.”

Juminten diam sejenak sambil berpikir merang-

kai kalimat yang baik. “Tapi tadi saya lihat di kaki

Bapak ada bekas luka-luka memar, hitam seperti

bekas jatuh atau kecelakaan,” katanya kemudian.

Sejenak Pak Kiai menghentikan makan kemu-

dian melirik ke kakinya sambil tersenyum. “Ini, ya

Jum? Oalah, Nduk, ini bukan bekas luka, melainkan

kapal karena sering dipakai untuk salat. Ini besok

bisa menjadi bukti dan saksi kalau badan ini sering

digunakan untuk salat. Ini ada hitungan pahalanya,”

ujar Pak Kiai.

“Oh, begitu, ya Pak Kiai? Saya juga punya kapal

di kaki, Pak, lebih tebal dan lebih lebar. Tapi bukan

karena sering dipakai untuk salat.”

Pak Kiai menatap Juminten dengan penuh tanda

tanya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut.

“He-he-he... kaki Juminten kapalan karena dipakai

untuk ngesot dan merangkak, Pak.”

Tiba-tiba Pak Kiai tertawa sambil menatap Jumin-

ten. “Wah, itu berpahala juga, Nduk. Karena kaki itu

lulus ujian kesabaran. Dia telah berusaha keras untuk

membantu aktivitas kamu.”

“Ah, Pak Kiai menghibur,” ujar Juminten sambil

tersenyum malu. n

Did

i Pur

nom

o

68 diffa edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 68 5/22/12 7:24 PM

Page 69: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Keranda Kursi Roda

SUATU ketika Juminten diundang mewakili penyandang disabilitas

se-Jawa Tengah dalam Kongres Nasional HAM dan Disabilitas, di

Denpasar, Bali. Setelah lima hari, kongres pun selesai dan Juminten

harus kembali ke kampung halaman.

Saat itu giliran Juminten masuk ke pesawat, karena para

penyandang disabilitas mendapat prioritas yang pertama masuk ke pesawat.

Ternyata di Bandara Ngurah Rai Bali belum ada fasilitas belalai untuk masuk

ke kabin pesawat. Jadi Juminten harus naik tangga. Lumayan, ada 13 anak

tangga. Dia pun bingung setengah mati karena tiba-tiba kakinya kesemutan.

Juminten kemudian bilang kepada petugas bandara yang mendorongnya di

kursi roda, “Mas, maaf ini kaki saya kesemutan, jadi saya tidak bisa jalan naik

tangga.”

Sahut petugas, “Tidak apa-apa, Mbak, nanti saya gendong.”

“Waduh, yang benar saja, Mas. Saya berat banget. Sampean yakin kuat

mengangkat saya seorang diri? Saya 65 kilo, lho. Benar, tidak bohong. Nanti

kalau roboh bagaimana?” ujar Juminten. Padahal, sejujurnya ia malu kalau ha-

rus digendong, apalagi kalau harus digotong-gotong. Ia merasa tidak nyaman

karena menyusahkan orang lain.

Tanpa menyahut atau meninggalkan pesan, Juminten ditinggal di bawah

anak tangga. Petugas bergegas naik ke pesawat kemudian keluar membawa

dua teman awak pesawat. “Ayo, diangkat saja langsung dengan kursi rodanya,”

kata si Petugas.

Tiga petugas itu pun bekerja dengan kompak. Dua orang mengangkat di

kanan dan kiri, satu orang menjaga di belakang jika kursi roda tergelin-

cir ke belakang. Juminten pun sampai di kabin pesawat dengan kursi

rodanya. Sambil tersenyum malu-malu Juminten berkata, “Terima

kasih, Mas. Waduh, ini kursi roda saya bisa jadi keranda, ya Mas.”

“Wah, kalau keranda harus ada kain penutupnya, Mbak,” si

Petugas tertawa sambil melap keringatnya yang bercucuran.

“Tapi diet ide yang bagus untuk dicoba lho, Mbak.”

“Tapi, tidak ada bersyaratan berat maksimal orang naik

pesawat, kan?“ kata Juminten berusaha menutupi rasa

malu. n

n Zipora Purwanti, penyandang disa bilitas daksa pengguna kursi roda, aktivis disabilitas di Solo

Did

i Pur

nom

o

69diffa edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 69 5/22/12 7:24 PM

Page 70: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

Did

i Pur

nom

o

BELUM lama ini diffa

menghadiri pesta perni-

kahan seorang penyan-

dang disabilitas tunane-

tra dengan seorang

wanita penggiat pendidikan inklusif

bagi penyandang disabilitas.

Sepanjang prosesi hari yang baha-

gia itu diffa turut serta dalam setiap

acara, karena kebetulan penyandang

disabilitas ini adik General Manager

Majalah Diffa. Banyak hal mengharu-

kan, terutama dari keluarga yang hadir

pada prosesi adat yang dijalankan. Me-

mang luar biasa pernikahan ini, meng-

gabungkan setidaknya tiga budaya,

yaitu Flores, Jawa, dan Batak, sehingga

banyak hal yang harus dijalankan

seperti pada umumnya pernikahan

lintas budaya.

Jika kita berbicara budaya, ten-

tulah pernikahan ini tidak mudah

terlebih karena pengantinnya penyan-

dang disabilitas. Budaya di Indonesia

masih banyak yang keliru dalam

mempersyaratkan calon menantu.

Seperti ungkapan kesempurnaan, latar

belakang, ekonomi, bibit, bebet, dan

bobot. Jika kita masukkan persyaratan

tersebut ke dalam dunia disabilitas,

tentu ada hal-hal yang tak terpenuhi.

Oleh sebab itu pernikahan ini

boleh dikatakan sesuatu yang menem-

bus keterbatasan, bahkan mendobrak

paradigma budaya yang lazim di In-

donesia. Perjuangan yang sama dalam

mewujudkan pendidikan inklusif di

Indonesia ternyata juga menumbuh-

kan benih cinta di antara kedua insan,

sehingga berujung pada pernika-

han suci. Mungkin tak mudah bagi

pengantin wanita untuk menerima

pengantin pria. Namun, kasih telah

mempersatukan mereka. Setidaknya

itulah yang dikatakan pengantin

wanita ketika kami berbincang pada

saat persiapan.

Seusai acara pernikahan, diffa

menyempatkan bertanya kepada

orang tua pengantin wanita, menge-

nai menantunya yang disabilitas. Sang

ibu berujar, “Kasih mengalahkan se-

galanya! Dan Ibu tidak pernah merasa

aneh. Semua Ibu kembalikan kepada

mereka berdua dan men-

jadi tugas Ibu untuk

menjelaskan ke-

pada keluarga

besar Ibu

yang seba-

gian besar

berlatar

belakang

budaya

Jawa.”

Hal

yang

sama diffa

tanyakan kepada bapak mempe-

lai wanita, yang menjawab, “Saya

seorang akademisi yang puluhan

tahun menjadi pendidik. Wajar awal-

nya saya melihat dari sudut pandang

logika. Namun, dalam pertemuan

kedua dengan menantu saya, saat

itu saya sudah menggunakan mata

batin dan mata hati untuk melihat

calon menantu secara keseluruhan.

Kemudian kami makan bersama dan

saya melihat menantu apa adanya.

Dan seperti kata Ibu, kasih yang lebih

besar dari sekadar cinta itu sempurna,

termasuk dalam menerima siapa pun

apa adanya. Sudah menjadi tugas

Bapak dan Ibu untuk menjadi juru

bicara kepada keluarga besar yang

berlatar belakang budaya Flores dan

Jawa untuk menjelaskan, bahkan tak

jarang berargumentasi, bahwa kasih

tak mengenal disabilitas.

Selamat untuk kedua mempelai,

teruskan perjuangan pendidikan

inklusif di Indonesia. Diffa mendo-

akan keluarga kalian bahagia dan

hanya maut yang memisahkan kalian

berdua.

n Jonna Damanik

70 diffa edisi 18 - Juni 2012

Kasih Menembus Batas Disabilitas

pelangi

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 70 5/22/12 7:24 PM

Page 71: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 71 5/22/12 7:24 PM

Page 72: Majalah Diffa Edisi 18 - Juni 2012

draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 72 5/22/12 7:24 PM