majalah diffa edisi 18 - juni 2012
DESCRIPTION
Isu utama edisi 18 Majalah Diffa ini adalah "Latihan Kerja Untuk Tunagrahita"TRANSCRIPT
diffa edisi 18 - Juni 2012
Media Dunia Disabilitas
Perlukah Ujian Na-sional untuk Siswa SLB
No. 18 - Juni 2012 l Rp 21.500,-
Mas Bejo dan Pojok Disabilitas h.06 h.46 h.24
Latihan Kerja untuk Tunagrahita
Anggie Regina dan Filma: Sinetron dan Down Syndrome
S E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A Ndiffa
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 1 5/22/12 7:21 PM
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 2 5/22/12 7:21 PM
03diffa edisi 18 - Juni 2012
Miracle Still Happen
diffaS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N
Pemimpin Perusahaan/Pemimpin RedaksiFX Rudy Gunawan
General ManagerJonna Damanik
Redaktur EksekutifNestor Rico Tambunan
KonsultanYunanto Ali, HandoyoSinta Nuriah WahidMohamad Sobary, Jefri Fernando
RedakturIrwan Dwi KustantoAria IndrawatiMila K. KamilPurnama NingsihAthurtian
KontributorAndhika Puspita Dewi (Semarang)Fadjar Sodiq (Yogyakarta)Yovinus Guntur (Surabaya)Lutfi Anandika (Jawa Tengah)
Redaktur BahasaArwani
Redaktur KreatifEmilia SusiatiHilma Awalina Rizky
Fotografer Adrian MuljaSigit D Pratama
IlustratorDidi Purnomo
Iklan dan PromosiVenny Asyita Octatya
AdministrasiEka Rosdiana
Distribusi dan SirkulasiJonna DamanikBerliaman HalohoPT Trubus Media SwadayaJl Gunung Sahari III/7Jakarta Pusat 10610
PenerbitPT Diffa Swara MediaYayasan Mitra Netra
PercetakanPT Penebar Swadaya
Alamat RedaksiJl. Salemba Tengah No. 39 BB Lt. 2 Jakarta Pusat 12430
Telepon 62 21 44278887Faxs 62 21 3928562e-mail: [email protected]
PERTANDINGAN penentu-
an juara Liga Utama Inggris
antara Manchester City dan
Queens Ranger Park ber-
langsung di luar ramalan,
analisis, dan hitungan-hitungan di atas
kertas dari para pengamat dan pakar sepak
bola. Dalam pertandingan pada 13 Mei
2012 malam itu, Manchester City ternyata
tidak menang dengan mudah. City bahkan
sempat kecolongan gol dan tertinggal 1-2.
Suatu hal yang sungguh di luar dugaan
banyak orang. Para fans City bahkan sudah
meneteskan air mata, menginjak-injak
jaket, kaos, syal, dan atribut yang mereka
bawa dengan penuh kekecewaan, kesedih-
an, dan kemarahan. Komentator pertan-
dingan sudah berucap, “…banjir airmata
sepertinya bakal segera melanda.…” Sang
pelatih, Roberto Mancini, juga dilanda ke-
bingungan karena tak mengerti mengapa
bisa terjadi seperti itu.
Harkafka Nagendra, 12 tahun, seorang
anak penggemar berat Manchester City di
kawasan Jabodetabek, pada menit-menit
akhir pertandingan, akhirnya berkomen-
tar pasrah, “…only miracle can help
City….” Sama seperti para penggemar lain
di seluruh pelosok dunia, Harkafka juga
sangat kecewa dan tak percaya kesebela-
san favorit nya bisa dipecundangi sam-
pai mendekati akhir pertandingan oleh
kesebelasan yang tak dijagokan dalam
liga itu. Akankah keajaiban terjadi? Masih
adakah keajaiban dalam hidup ini? Tentu
saja pertanyaan-pertanyaan itu tidak ter-
lintas dalam benak seorang anak berumur
12 tahun. Ketika mengucapkan kalimat
“only miracle can help City”, Harkafka jelas
percaya masih ada keajaiban dalam hidup
ini. Bahwa keajaiban masih terjadi dan bisa
diharapkan terjadi dalam situasi-situasi
yang di luar kuasa kekuatan dan kehebat-
an manusia.
Pikiran kanak-kanak yang masih
polos tidak terkontaminasi oleh kerumitan
dan arogansi kehebatan pikiran manusia
dewasa. Namun justru dalam kepolosan
pikiran itulah sebuah kekuatan yang jauh
lebih besar bisa kita temukan, bukan dalam
kerumitan atau kehebatan pikiran manusia
dewasa. Dalam kepolosan pikiran dan jiwa
kanak-kanak terdapat kepercayaan besar
pada kekuatan-kekuatan di luar nalar pikir-
an manusia dewasa. Dan dalam kepercaya-
an tanpa syarat pada kekuatan-kekuatan
itulah, keyakinan bahwa miracle still (atau
bahkan always) happen terjaga sebagai
sebuah keutuhan jiwa, hati, dan pikiran
seorang anak seperti Harkafka Nagendra.
Pada kasus duel Manchester City - Queens
Park Ranger, keajaiban lalu benar-benar
terjadi sebagaimana yang diyakini Harkaf-
ka. Dalam 2 menit terakhir dari waktu
tambahan, City berhasil mencetak dua gol
sehingga memenangi pertandingan itu dan
mewujudkan mimpi panjang 44 tahun,
menjadi juara Liga Utama Inggris.
Kisah nyata di atas bisa menjadi pela-
jaran penting bagi semua manusia dewasa,
baik penyandang disabilitas maupun
nondisabilitas. Dalam menjalani hidup,
kita –para manusia dewasa–terlalu banyak
terkontaminasi oleh arogansi kebablasan
yang akhirnya berujung pada frustrasi,
skeptik, dan akhirnya keputusasaan yang
terus-menerus berusaha kita ingkari. Kita
tak pernah mau mengakui dan kemudian
berserah diri dengan segala kerendahan
hati bahwa kita hidup karena kehendak
Yang Maha Kuasa dan bahwa kita ada
dalam kekuatan mahabesar Sang Maha
Kuasa. Dan dalam kekuatan mahabesar itu,
semua keajaiban bisa terjadi jika kita tetap
dan terus percaya tanpa sedetik pun ragu.
Para penyandang disabilitas seperti Nick
Vujicic, Stevie Wonder, atau Helen Keller
adalah bukti nyata bagaimana kekuatan
mahabesar Sang Pencipta mewujud di ha-
dapan kita semua. n FX Rudy Gunawan
Mata Hati
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 3 5/22/12 7:21 PM
sambung rasa
04 diffa edisi 18 - Juni 2012
Salam dari London
HELLO, Bang Nestor, paribanku,
bagaimana kabar? Semoga
sehat-sehat selalu. Dua hari
yang lalu, saya menyempat-
kan membaca ulang majalah-
majalah diffa yang pariban kasih padaku waktu
kita bertemu di Jakarta, akhir April lalu. Wah,
aku sangat terharu dan tarilu (meneteskan air
mata – Red.). Keren sekali majalah ini. Pariban
dan teman-teman yang mengerjakan majalah
ini sungguh keren, karena punya visi sosial yang
bagus. Mestinya harus mendapat dukungan besar
dari pemerintah, organisasi atau yayasan-yayas-
an disabilitas di seluruh Indonesia.
Pariban, apakah saya bisa saya bisa berlang-
ganan? Saya ingin pesan 4 eksemplar tiap nomor
setiap bulan untuk dikirim ke kampung kita
di Tobasa. Salah satunya ke perpustakaan desa
yang baru saya rintis ketika pulang kemarin di
Lumbanlobu, Kec. Bonatua Lunasi, Kabupaten
Tobasa. Isi majalah ini akan menggugah kesadar-
an dan kehormatan orang Batak kepada orang
cacat. Mereka akan salut, karena ternyata banyak
orang catat lebih mandiri dari orang yang nor-
mal tapi malas.
Saya minta tolong, bagaimana cara pem-
bayarannya. Sebelumnya saya mengucapkan
banyak terimakasih. Sukses untuk Pariban dan
teman-teman di majalah diffa. Horas!
Nelly Br. Torus,
London, Inggris
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 4 5/22/12 7:21 PM
daftar isi
05diffa edisi 18 - Juni 2012
Belajar dari Kesultanan Tidore 39pirantiMouse and Keyboard untuk Kaki 30
mata hatiMiracle Still Happen 03
cerita sampulSenyum Iim Bersama Dua Bidadari 06
berandaIsara Anak dari Kineck Xbox untuk Tunarungu 08
tapakBerbagi Kasih ala Smile For Children 20
kolom mas Bejo Pojok Disabilitas 24
sambung rasa 04sudut pandang 35apresiasi 38ragam 43konsultasi pendidikan 46ruang hati 48puisi 50cerpen 52konsultasi kesehatan 56pindai 58bisikan angin 62cermor 68pelangi 70
biografiGuru dan Pendamping Hellen Keller64
Did
i Pur
nom
o
Did
i Pur
nom
o
retinaPelatihan Kerja untuk Tunagra-hita 09
empati Berbuat Banyak Lewat Komite Sekolah 16
sosokLukisan Pembangkit Spirit 26
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 5 5/22/12 7:22 PM
cerita sampul
06 diffa edisi 18 - Juni 2012
SORE itu menjadi hari yang berbeda untuk Filma
Aditya Fimartiananda yang akrab dipanggil
Iim, karena dia akan difoto untuk cover majalah
diffa. Iim seorang down syndrome yang me-
miliki banyak talenta. Dia bisa bernyanyi dan
berakting di depan kamera. Semua itu Iim dapatkan setelah
belajar di Sanggar Ananda, sekolah nonformal dalam
pengembangan talenta usia dini.
Sore itu Iim bersama ibu dan kakaknya sudah berada
di kantor VHRmedia, di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan.
Adrian dan Sigit sudah mempersiapkan perlengkapan
pemotretan. Sebelum pemotretan, FX Rudy Gunawan,
Pemred diffa, mengajak Iim bersama sang ibu Herlina dan
sang kakak Anggie ngobrol sambil bercanda, agar Iim tidak
bosan menunggu.
Iim anak kedua pasangan H. Kamaruzaman dan
Hj. Ir. Herlina Machmur MM. Iim anak istimewa. Meski
menyandang down syndrom, dia tidak minder pada teman
temannya. Dia sangat ceria dan tidak pemalu. Ia memiliki
banyak kegiatan. Selain sekolah di SLB, Iim juga mengikuti
sekolah akting.
Tak heran Iim meraih banyak prestasi. Tahun 1995 Iim
mendapat penghargaan juara favorit dalam lomba akting
lenong. Bersama grup lawak cilik, dia memperolah berbagai
penghargaan. Iim juga mendapatkan peran spesial mem-
bintangi film layar lebar Rumah Tanpa Jendela.
Prestasi Iim itu termotivasi oleh sang kakak, Kilau Angie
S.Psi, yang akrab disapa Anggie, artis multitalenta. Dia
bisa bernyanyi, berakting, dan menjadi pembawa acara. Di
bidang tarik suara, Angie sudah mengeluarkan dua album
solo. Di bidang akting, Anggie antara lain pernah main
dalam sinetron Lenong Bocah, Liontin, dan Rahasia Ilahi.
Di layar lebar Anggie pernah membintangi Buruan Cium
Gue.
Belakangan kesibukan artis Anggie sedikit berkurang.
Setelah mengantongi gelar sarjana psikologi, ia meneruskan
ke jenjang S2. Selain sibuk sebagai artis dan kuliah, Ang-
gie juga sering menyempatkan diri bermain bersama sang
adik. Memiliki adik yang berkebutuhan khusus tak pernah
Senyum Iim Bersama Dua Bidadari
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 6 5/22/12 7:22 PM
07diffa edisi 18 - Juni 2012
membuat Anggie malu. Bahkan ia teramat sayang pada
Iim. “Pipi dan wajah polosnya itu yang bikin gue gemes,”
ujarnya.
Begitu pula dengan Herlina, sang ibu. Waktu pertama
mengetahui putranya menyandang down syndrom, Her-
lina kaget dan bingung. Tapi sang suami memberinya du-
kungan moral dan kekuatan. Akhirnya Herlina menyadari
putranya anak istimewa yang dititipkan Allah kepadanya.
Sejak itu ia mencari berbagai macam terapi dan pengobatan,
juga pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Semangat
dan kasih sayang Anggie dan Herlina menjadi payung yang
melindungi Iim. Ia seakan didampingi dua bidadari.
Pemotretan dimulai. Adrian mengatur pose Iim, Anggie,
dan Herlina. Tidak terlalu susah menyuruh Iim tersenyum,
karena sudah akrab dengan kamera. Anggie mengajak Iim
berpose dengan berbagai gaya sambil mengajak bercanda.
Hal ini memudahkan Sigit mengambil gambar. Hanya seki-
tar satu setengah jam sesi pemotretan rampung.
Sebelum pulang, Herlina menunaikan salat maghrib.
Melihat itu, Iim langsung melepaskan sepatunya. “Jangan
dibantuin. Dia sudah terbiasa mandiri kok,” kata Anggie, ke-
tika seorang kru diffa akan membantu melepaskan sepatu
Iim.
“Iim salat sendiri, ya. Mama kan sudah selesai,” ujar Her-
lina ketika selesai salat. Iim langsung mengambil sajadah
dan salat sendiri.
Tak lama kemudian, FX Rudy mengajak Iim, Anggie,
dan Herlina makan nasi kotak bersama-sama. Iim makan
sendiri sambil bercanda-canda. Tak tampak lelah di wajah-
nya. Dia tetap bersemangat. Begitu pula ketika pamit pulang
bersama kedua bidadari pendampingnya.
n Lutfi Anandika
Foto
: Sig
it D
. Pra
tam
a
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 7 5/22/12 7:22 PM
Beranda
08 diffa edisi 18 - Juni 2012
Foto
:-fo
to: H
avel
Har
dian
Ker
sna
Nar
endr
a, L
utfiT
EKNOLOGI terus berkembang di tengah kemajuan peradaban. Manusia mampu menyulap teknologi yang sudah ada men-jadi teknologi yang inovatif
dan luar biasa untuk membantu penyan-
dang disabilitas. Para penyandang tunarungu masih
dianggap kaum minoritas yang terping-girkan hak-haknya, termasuk dalam hal ini pemenuhan atas kebutuhan teknologi. Padahal, sebagai manusia, penyandang tunarungu memiliki hak yang sama untuk memperoleh edukasi dan informasi.
Dari pemikiran tersebut hadir alat Sensor Kinect XBOX 360 dari Micro-soft. Ini teknologi yang menjadikan game tambah mengasyikkan dengan menggunakan sensor gerak tubuh atau
Isara Anak dari Kinect Xbox untuk Tunarungu
gesture. Alat yang diciptakan dengan menggunakan Kinect sebagai sensor gerak dan video ini didesain agar tu-narungu menjadi lebih asyik, interaktif, real time, dan menyenangkan dalam belajar bahasa isyarat.
Aplikasi Isara kamus bahasa isyarat ini berbasis Natural User Interface (NUI). Aplikasi ini utamaya merupakan perangkat sensor yang dihubungkan dengan PC webcam. Pengguna berdiri di depan sensor dalam jarak satu meter. Dalam layar akan muncul menu utama berisi kamus, video, dan game yang semuanya berbasis gesture. Fitur game berisi tebakan kosakata yang harus dijawab dengan gesture. Pengguna menirukan gambar video, kemudian terlihat apakah gerakan tubuh benar atau belum. Jika salah atau benar akan
muncul notifikasi. Teknologi tersebut ditujukan agar
perbedaan para penyandang disabili-tas tidak menjadi penghalang untuk menikmati kecanggihan teknologi dan, menjadi manusia yang “sadar teknolo-gi”. n Athurtian
Sumber gambar:
http://web-vassets.ea.com/Assets/Richme-dia/Image/Screenshots/Kinect_RH_01-uk.jpg?cb=1315963650
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 8 5/22/12 7:22 PM
retina
W
09diffa edisi 18 - Juni 2012
Pelatihan Kerja untuk Tunagrahita
Foto
:-fo
to: H
avel
Har
dian
Ker
sna
Nar
endr
a, L
utfi
Anak dengan tunagrahita (ADTG), penyandang dis-abilitas dengan keterba-tasan kecerdasan, termasuk insan yang sulit memperoleh kesempatan kerja karena keterbatasan intelektual dan mental yang tidak stabil. Beberapa lembaga membuat unit latihan kerja khusus untuk mereka.
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 9 5/22/12 7:22 PM
10 diffa edisi 18 - Juni 2012
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 10 5/22/12 7:22 PM
11diffa edisi 18 - Juni 2012
ANAK dengan tunagrahita (ADTG), penyandang disabilitas dengan
keterbatasan kecerdasan, termasuk insan yang sulit memperoleh
kesempatan kerja karena keterbatasan intelektual dan mental
yang tidak stabil. Beberapa lembaga membuat unit latihan kerja
khusus untuk mereka.
Salah satu lembaga yang memiliki unit latihan kerja khusus untuk penyan-
dang disabilitas tunagrahita adalah SLB Unit Latihan Kerja di Jalan Lebak Bulus 3,
Jakarta Selatan. Lembaga pendidikan ini berdiri dan beroperasi sejak tahun 1987
dan telah berbuat banyak hal sangat berarti dan berguna untuk anak-anak belia
penyandang tunagrahita.
Pendidikan dan PelatihanRamartini, Kepala Sekolah SLB Unit Latihan Kerja, mengatakan awalnya lem-
baga pendidikan ini hanya berupa tempat pelatihan kerja di bawah Dinas Sosial
Pemda DKI Jakarta. Tanah tempat berdirinya lembaga pendidikan ini berupa ta-
nah seluas 3.500 m² hibah Gubernur Ali Sadikin. Agar dapat memberikan layanan
yang lebih bebas dan luas, status lembaga pelatihan diubah menjadi sekolah luar
biasa (SLB) dan pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Bina Karya Wahana.
Dengan status sebagai SLB, lembaga ini memberikan layanan pendidikan dari
tingkat SD, SMP, hingga SMA dan menerima segala jenis disabilitas, bahkan yang
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 11 5/22/12 7:22 PM
12 diffa edisi 18 - Juni 2012
Masruchah Lily Purba
double handicap alias disabilitas gan-
da. Yang khas dan menonjol dari SLB
ini, sesuai dengan namanya, adalah
unit latihan kerja. Mayoritas yang
mengikuti pendidikan di unit latihan
kerja ini penyandang tunagrahita.
Penyandang disabilitas tunagrahi-
ta termasuk paling sulit masuk dalam
lapangan kerja karena mental tidak
stabil. “Mereka tiba-tiba bisa ngambek,
mogok kerja, atau ngamuk. Hari ini
mau kerja, besok nggak. Atau maunya
hanya mengerjakan yang dia suka.
Ya, bekerja kan tidak boleh seperti itu,”
ujar Ramartini.
Karena itu, unit pelatihan kerja
di SLB ini dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, pelatihan kerja tingkat dasar,
meliputi pemanduan atau pemilihan
bakat hingga pelatihan sampai tahap
mampu bekerja atau berproduksi. Ba-
gian kedua unit workshop. Di bagian
ini anak-anak yang sudah mengikuti
pelatihan dan mampu berproduksi
mengerjakan pesanan dan mem-
peroleh penghasilan.
Pendidikan latihan kerja berlang-
sung selama tiga tahun. Setelah lulus,
peserta pelatihan diberikan sertifikasi
sesuai bidang pelatihan. Sertifikasi itu
untuk bukti keahlian mereka sekaligus
untuk memudahkan mereka mencari
kerja. “Biasanya, ada yang diterima
untuk bekerja di luar. Ada yang bekerja
secara mandiri. Mereka yang belum
mendapat kesempatan bekerja di luar,
kami tampung di unit workshop,” kata
Ramartini.
Lulusan yang diterima bekerja di
luar, menurut Ramartini, ada yang
bekerja jadi office boy. Sementara yang
memilih bekerja mandiri, antara lain
membuka usaha air isi ulang. “Tapi
kebanyakan memilih bekerja di work-
shop di sini, mengerjakan pesanan-
pesanan,” ujar sarjana pendidikan
lulusan Universitas Negeri Jakarta ini.
Fasilitas dan PelatihanSejalan dengan perkembangan
dan perjalanan waktu, kini di lokasi
SLB ini tersedia berbagai layakan pen-
didikan dan pelatihan beserta sarana
dan prasana pendukungnya. Prasa-
rana utama adalah bangunan gedung
sekolah SLB beserta berbagai fasilitas
pendukungnya, ruang baca, dapur,
ruang makan, dan asrama. Juga ada
lapangan serbaguna
yang bisa digunakan
untuk tempat upa-
cara, lapangan senam
aerobik, olahraga bulu
tangkis, sepak bola, dan
sebagainya. Ada pula
lapangan khusus olah-
raga bocci, permainan
bola khusus penyan-
dang tunagrahita.
SLB ini memiliki
beberapa ruang untuk
pelatihan kerja dan
workshop. Unit latihan
kerja dalam ruangan
antara lain perkayuan,
tata busana, tenun,
sablon, dan tata boga.
Tanah kosong di peka-
rangan sekolah dimanfaatkan untuk
pertanian.
Menurut Sumardi, guru sekaligus
pembimbing, di bidang perkayuan,
peserta pelatihan didik membuat alat
peraga untuk anak TK seperti balok
dan puzzle (bongkar pasang). Bidang
sablon dan percetakan membuat kop
surat dan amplop. Di bidang kerajinan
membuat hiasan meja dan dinding,
antara lain tempat tisu. Biasanya hasil
kerajinan itu dijual saat ada undangan
berpam-
eran.
Di
bidang
tata boga,
untuk
kesehar-
ian anak-
anak yang
mengikuti
pelatihan
menjual
makanan
ringan ke
kantin-
kantin.
“Saat
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 12 5/22/12 7:22 PM
13diffa edisi 18 - Juni 2012
Lebaran atau hari besar lainnya, kami
juga mendapat banyak pesanan kue,”
ujar Sumardi.
Di bidang pertanian, anak-anak
dilatih menanam, memelihara, dan
memanen berbagai tanaman sayuran,
seperti jagung, kangkung, terong,
bayam, singkong, dan pisang. Untuk
menghemat pengeluaran, peserta
pelatihan diajari memanfaatkan ba-
han yang ada untuk dijadikan pupuk
kompos.
Selain aneka pelatihan dan
workshop SLB ini juga menyediakan
asrama dengan kapasitas 20 orang
untuk anak-anak yang mengalami
kendala transportasi atau tempat
tinggalnya jauh. Kamar asrama berisi
tempat tidur, lemari, dan meja kecil.
Ada seorang penanggung jawab untuk
mengurus dan mengawasi mereka
selama di asrama.
Ada perjanjian dan persyaratan
tertentu untuk tinggal di asrama.
Menurut Sumardi, perlu kejelasan
misalnya punya riwayat sakit apa,
kalau kambuh penanganannya harus
bagaimana, rumah sakit langganan,
dannya, biasanya di mana. Kalau hari
libur, mereka harus tetap dijemput dan
tinggal bersama keluarga.
SLB ini mengantisipasi jika ada
orang tua yang kesulitan ekonomi.
“Karena, tidak semua orang keadaan
ekonominya sama. Kami bantu den-
gan pembebasan biaya yang berasal
dari subsidi dana BOS. Selebihnya
dibantu pihak yayasan,” jelas Sumardi.
Dikelola BersamaMenurut Sumardi, yang sudah
memegang unit latihan kerja selama
tiga tahun, pengelolaan latihan kerja
dan workshop serta penyaluran hasil-
nya dilakukan bersama-sama. Ada
pengurus yang mendampingi anak-
anak bekerja, ada yang menyalurkan
atau memasarkan ke masyarakat.
Hasilnya dari semua unit disetor
ke yayasan untuk menambah biaya
operasional. Sebagian dari penghasilan
dikembalikan kepada anak-anak yang
bekerja di workshop sebagai insentif
dan penyemangat. “Tidak terlalu besar.
Tapi mereka bisa mendapatkan sekitar
Rp 200 ribu.“
Dari seluruh unit latihan kerja
dan workshop pemasukan terbesar
diperolah dari pertanian. Hasil perta-
nian biasanya dijual ke masyarakat
sekitar. “Pisang kami tidak menjualnya
kepada masyarakat umum, karena di
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 13 5/22/12 7:22 PM
14 diffa edisi 18 - Juni 2012
lingkungan ini sendiri sudah sangat
laris,” katanya.
Selain untuk memperoleh
pemasukan, penjualan ke masyara-
kat sekaligus untuk menunjukkan
bahwa anak-anak peserta unit latihan
kerja bisa menghasilkan sesuatu atau
mengerjakan sesuatu yang berguna.
“Keuntungan belum kami pikirkan
secara ekonomi profesional. Tapi, ya
tetap masih ada pemasukan,” ujar
Sumardi.
Unit latihan kerja tata boga pun
demikian. Selain secara rutin meny-
alurkan kue ke kantin-kantin, unit ini
juga mendapat banyak pesanan pada
waktu tertentu, misalnya saat Lebaran
dan Hari Natal.
Begitu pula hasil unit latihan kerja
lain seperti perkayuan dan tata boga.
Menurut Sumardi, alat-alat bantu
pelajaran motorik
bagi anak-anak TK
, seperti puzzle
bongkar pasang,
dan alat permain-
an susun, hasil
kerja anak-anak
tunagrahita tidak
kalah bagus dari
buatan pabrik.
“Pokoknya apa
saja kami lakukan
demi mencapai
visi dan misi Ulaka
(unit latihan kerja)
ini, yaitu menja-
dikan anak-anak
yang siap bersaing
dalam dunia kerja
yang sesungguh-
nya.”
ULK Versi Asih Budi
Lembaga
pendidikan lain
yang sudah lama
memiliki unit latihan kerja adalah
Sekolah Asih Budi. Selain memberikan
layanan pendidikan dari TK/LB hingga
SMA/LB, Asih Budi juga memiliki
ULK dengan empat bidang kegiatan,
yaitu tata boga, tata busa/keterampilan
menjahit, hasta karya, serta sablon dan
percetakan.
“Yang berjalan dengan baik tata
busana, menjahit, dan kerajinan dari
tekstil. Sekarang kami punya outlet di
daerah Mega Kuningan. Permintaan-
nya cukup baik,” kata Toeti Aryanto,
Ketua Yayasan Asih Budi, sudah 30
tahun memimpin Asih Budi. Unit
lain yang memberikan harapan cerah
adalah layanan sablon dan per-
cetakan. “Layanan ini sudah mendapat
order rutin, antara lain dari sebuah
sekolah swasta di Jakarta. Semua buku
dan barang cetakan sekolah tersebut
dipesan di Ulaka Asih Budi.”
Menurut ibu yang mendiang
anaknya juga penyandang tunagra-
hita ini, ULK sangat penting, bahkan
jadi muara utama dari pemberdayaan
anak tunagrahita. “Sebab, dari semua
penyandang disabilitas, yang paling
termarginalkan tunagrahita. Yang
lain-lain kan bisa menggunakan
intelektualnya, bisa masuk sekolah
inklusi, dan sebagainya. Mereka ini
nggak. Nggak ada kurikulim untuk
tunagrahita di dalam sekolah inklusif.”
Karena itu, menurut Toeti Ary-
anto, penyandang tunagrahita perlu
mendapat perhatian yang lebih spe-
sifik dan intens, seperti menyediakan
ULK. “Perlu dibangkitkan kepedulian
dan layanannya terhadap komunitas
tunagrahita, agar mendapat kesempa-
tan yang sama pada setiap aspek ke-
hidupan dan penghidupan, terutama
dalam hal kemampuan mandiri dan
bekerja.” Karena itu, menurut mantan
pejabat bank ini, Asih Budi termasuk
yang pertama merintis pendirian unit
latihan kerja.
Pemerintah dan masyarakat
memang masih perlu berbuat ban-
yak. Karena lembaga pendidikan,
khususnya unit latihan kerja untuk
penyandang tunagrahita di negeri kita
amat sedikit. Bisa dihitung dengan jari.
Betapa! n Hilma/Nestor
Foto-Foto: Sigit D. Pratama, Lutfi A.
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 14 5/22/12 7:22 PM
15diffa edisi 18 - Juni 2012
Jangan Mengaku Sudah Beradab
Kalau Belum Memahami
DISABILITAS..!
Majalah diffa
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 15 5/22/12 7:22 PM
empati
16 diffa edisi 18 - Juni 2012
Berbuat Banyak Lewat Komite
Sekolah
Budiarti Sofyan
BUDIARTI Sofyan,
yang biasa dipanggil Bu
Yayuk, mungkin tidak
seterkenal aktivis disabi-
litas lain. Tetapi ia salah
satu sosok ibu yang mau, mampu,
dan banyak berbuat untuk anak-anak
berkebutuhan khusus (ABK), khusus-
nya tunagrahita.
Kebetulan, salah seorang buah
hati Bu Yayuk, Amal Zaky Sofyan,
penyandang tunagrahita. Kebetulan
pula, di semua sekolah tempat Amal
belajar, Bu Yayuk selalu dipercaya
menjadi ketua komite sekolah. Baik
ketika di SD Asih Budi, SMP Wimar
Asih, maupun SLB Ulaka Penca seka-
rang ini.
Mengapa Bu Yayuk jadi “spesialis”
ketua komite sekolah? Apa saja yang
bisa dilakukan lewat organisasi per-
satuan orang tua murid ini? Ternyata
peran orang tua memang sangat besar
dalam penanganan disabilitas. Berikut
petikan percakapan Bu Yayuk dengan
diffa.
Sejak kapan aktif dalam organisasi komite sekolah?
Saat anak saya Amal memasu-
ki usia delapan tahun, tepatnya
tahun 1988. Ketika itu saya melihat
ia butuh perhatian lebih dari saya.
Sebelumnya ia lebih banyak diasuh
oleh omanya. Setelah itu saya turun
tangan sendiri mengasuhnya. Sejak
saat itu juga saya mulai aktif dalam
kepengurusan komite sekolah di
tempat anak saya belajar, di Asih
Budi. Dulu, namanya masih POM
(persatuan orang tua murid). Anak
saya sekolah di Asih Budi hanya
sampai SD. Untuk tingkat SMP,
sekolah Asih Budi berlokasi di Du-
ren Sawit, Jakarta Timur.
Buat saya terlalu jauh. Jadi,
saya menyekolahkan Amal di SMP
Wimar Asih, yang lebih dekat ke
rumah, di Pejaten.
Mengapa hanya aktif dalam komite sekolah? Tidak ingin masuk kepengurusan yayasan?
Saya memang tidak pernah
mau terlibat dengan yayasan.
Karena saya berpikir, kalau di POM
saya bekerja sama dengan orang
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 16 5/22/12 7:22 PM
17diffa edisi 18 - Juni 2012
Foto
: Sig
it D
. Pra
tam
a
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 17 5/22/12 7:22 PM
18 diffa edisi 18 - Juni 2012
tua yang lain. Kalau di yayasan
itu, kan lain. Kalau terjun langsung
di sekolah, saya akan lebih dekat
dengan guru, orang tua, dan anak-
anak. Kebetulan, di semua tempat
anak saya sekolah, saya selalu diberi
kepercayaan menjadi ketua komite.
Saya berusaha selalu menjalankan
kepercayaan itu dengan baik.
Apa saja kegiatan dan tanggung jawab ketua komite sekolah?
Kegiatan yang dilakukan
biasanya bersifat insidentil. Seperti
kegiatan di SOIna (Special Olympic
Indonesia), mengadakan berbagai
lomba. Saya lebih suka terjun lang-
sung bersama anak-anak, bermain
bersama anak-anak. Terus terang,
kepuasan saya ada di situ: bisa
main dengan anak-anak. Kalau
suntuk di rumah, saya bisa seharian
bermain dengan mereka. Rasanya
hidup saya untuk mereka. Di sana
saya merasa beruntung sekali jadi
manusia, dibandingkan dengan
anak-anak itu, yang selalu membu-
tuhkan dampingan, perhatian, dan
kasih sayang.
Meskipun demikian, saya juga
tetap punya kehidupan lain. Selain
sibuk mengurus keluarga, dulu saya
juga aktif di kepengurusan Dharma
Wanita. Saya juga kan harus melu-
angkan waktu khusus untuk Amal.
Ya, saya harus pintar-pintar juga un-
tuk membagi waktu. Tapi, sekarang
sudah pensiun. Sudah selesai.
Kalau untuk kegiatan sekolah,
biasanya tidak terlalu padat atau
sibuk. Biasanya, kalau ada acara tu-
juh belasan, saya bantu koordinasi,
mencari dana, dan macam-macam.
Kadang-kadang ada masalah, seperti
kekurangan guru atau masalah lain
yang kurang tertangani. Tapi biasa-
nya kami bisa bersama-sama men-
cari solusinya. Contoh masalah yang
terakhir kam tangani, pembangun an
asrama. Itu kerja komite sekolah.
Untuk apa asrama itu?Asrama itu untuk anak-anak. Ada
beberapa murid di sini yang tidak bisa
mengikuti pendidikan karena terken-
dala transportasi. Dulu kami punya
dua unit mobil untuk antar-jemput.
Karena rusak, sedangkan kami tidak
punya biaya perbaikan, dan yayasan
belum mampu mengganti, akhirnya
untuk jalan keluar kami buat asrama.
Tapi, dengan adanya asrama itu
kami tidak mau anak-anak seratus
persen ada di asrama. Hanya pada hari
sekolah. Jumat siang mereka harus
dijemput keluarga masing-masing.
Kemudian Senin pagi baru diantar
kembali untuk bersekolah.
Maksud kami dengan aturan
seperti itu, mereka tetap punya waktu
dengan keluarga. Karena yang sudah-
sudah, banyak sekali saya perhatikan,
tidak semua orang tua mau mengurus
sepenuhnya anak mereka yang berke-
butuhan khusus. Dengan berbagai
alasan, dan terus terang banyak orang
tua yang merasa terbeban, sehingga
membiarkan anak-anak mereka ting-
gal menetap di asrama. Mereka hanya
memberikan uang untuk biaya pera-
watan. Tidak ada kasih sayang. Pada-
hal, anak-anak ini kan tetap manusia
yang butuh kasih sayang keluarga.
Tapi, buat saya, semua yang saya
lakukan ini bukanlah beban. Saya
selalu berpikir ini adalah ladang amal.
Jadi, saya jalankan dengan senang
hati. Untuk asrama itu saya tidak
bekerja sendiri, bersama teman yang
lain. Tapi, karena tesman saya harus
ikut suami bertugas di luar negeri,
untuk sementara saya tangani sendiri
dengan anggota lain.
Apa kesulitan selama menjadi ketua komite sekolah?
Sebenarnya, karena menjalani
dengan enjoy, saya tidak merasa ada
beban, tidak pernah merasa sulit.
Hanya kadang-kadang saya merasa
prihatin. Saya ingin berbuat lebih ba-
nyak, tapi kemampuan saya terbatas.
Saya juga salut pada guru-guru di
sini, yang begitu sabar. Hari-harinya
dihabiskan bersama anak-anak. Kalau
dipikir-pikir, saya punya anak satu
saja masih butuh banyak bantuan
dari keluarga. Sedangkan, di sini satu
guru bisa menangani beberapa anak.
Itu luar biasa buat saya. Saya sangat
hargai. Sejauh ini kesulitannya hampir
tidak ada. Saya happy-happy saja.
Saya malah senang kalau Ibu Martini,
Kepala Sekolah, butuh bantuan saya
dan saya bisa bantu.
Bagaimana pelayanan yang diberikan? Apakah sudah merasa puas?
Bicara soal pelayanan, sebenarnya
kalau dibilang kurang, ya kurang
maksimal, sih. Tapi itu sebatas keter-
batasan guru-guru dalam menangani
mereka. Kalau saya lihat dan boleh
mengusulkan, saya ingin dalam satu
bulan ini ada dokter gigi yang mau
mampir ke sini, memeriksa, melihat
gigi anak-anak. Lalu, bulan berikutnya
ada dokter umum memeriksa kese-
hatan anak-anak. Hal tersebut juga
berguna untuk memperkenalkan
me reka dengan dokter. Anak-anak ini
juga kan kalau dibawa ke dokter gigi
atau dokter umum sangat sulit. Tapi
untuk saat ini, usul tersebut masih
terkendala dengan keterbatasan dana.
Selain itu, yang sudah dilaksa-
nakan soal pelayanan, yaitu diberikan
makan siang untuk anak-anak. Hal
itu saya usulkan atas dasar jam belajar
mereka yang cukup panjang. Karena
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 18 5/22/12 7:22 PM
Foto
: Sig
it D
. Pra
tam
a
19diffa edisi 14 - Februari 2012
Foto
: Dok
. Hum
as U
GM
waktu itu saya usulkan agar hari Sabtu
diliburkan, otomatis jam belajar di
hari lain harus ditambah. Jadi, mereka
belajar dari pukul 08.00 sampai 15.00.
Dan untuk mendukung aktivitas be-
lajar yang padat, saya usulkan seperti
itu. Kan sudah tersedia dapur dan
ruang makan. Di asrama sudah ada
penanggung jawab satu orang, karena
memang yang tinggal di asrama baru
tiga anak.
Interaksi guru dengan anak-anak
sangat baik. Menurut saya, guru-
guru ini hebat. Tidak ada perbedaan
sikap dalam menangani setiap anak.
Contoh nya, perlakuan guru-guru
terhadap anak saya. Mereka perlaku-
kan sama seperti kepada anak-anak
lain. Memang dari awal saya sudah
katakan, “Saya tidak mau anak saya
diistimewakan.”
Pelayanan dalam hal biaya? Bagaimana dengan orang tua yang secara ekonomi kurang mampu?
Untuk hal itu, di sini banyak orang
tua yang tidak mampu secara ekono-
mi, sehingga dibebaskan dari biaya
SPP. Kan dari pemerintah juga sudah
ada bantuan subsidi, seperti dana BOS.
Kami manfaatkanlah bantuan itu.
Selebihnya, ya dibantu oleh yayasan.
Apa rencana ke depan sebagai ketua komite sekolah?
Saya bersama dengan anggota
komite yang lain ingin mencari tena-
ga-tenaga relawan seperti dokter gigi,
mahasiswa dari fakultas kedokteran
gigi atau umum. Pokoknya pelayanan
kesehatan dari pihak lain. Misalnya
dari salah satu produsen pasta gigi un-
tuk menjaga kesehatan gigi anak-anak.
Ibu merasa bangga dengan tanggung jawab ini?
Oh, kalau dibilang kebanggaan
sih, ya nggaklah. Saya lakukan ini un-
tuk ibadah. Untuk anak-anak. Kalau
dibilang kebanggaan, saya merasa
belum banyak berbuat apa-apa untuk
anak-anak itu. Tidak seperti jasa guru
kepada anak-anak muridnya. Saya
hanya turut membantu.
Apa pesan untuk para orang tua dengan anak tunagrahita?
Satu hal yang paling penting,
luangkanlah waktu untuk anak-anak
kita. Saya melihat banyak juga orang
tua yang sulit sekali meluangkan
waktu untuk anak sendiri. Seka-
dar mengambil rapor anak-anak
mereka, banyak orang tua yang
menyuruh anggota keluarga
lain, bahkan pengasuh. Padahal,
kedatangan orang tua ke sekolah
akan memudahkan komunikasi
dan sharing langsung antara guru
dan orang tua. Toh, itu semua un-
tuk anak sendiri. Mereka sangat
butuh perhatian dan kasih sayang
kita, terutama orang tua.
n Hilma Awalina
BUDIARTI lahir di Jakarta, 28 Januari 1955. Ia meni-
kah dengan Sofyan Rais, asal Aceh yang bekerja di
Elnusa, 28 Oktober 1977. Mereka dikaruniai tiga buah
hati: Nadya Ismoedi (33 tahun), Amal Zaky Sofyan
(31 tahun), dan Ziad “Emenk” Risqi (30 tahun).
Anak nomor dua, Amal Zaky Sofyan, menjadi anak spesial
karena karena menyandang tunagrahita. Tapi kondisi itu tidak
mempengaruhi kasih sayang keluarga, bahkan mendorong Bu Ya-
yuk banyak berbuat untuk dunia tunagrahita. Amal berkembang
menjadi atlet Special Olympic dan pernah meraih medali emas
tingkat Asia-Pasifik dalam olahraga bocci, permainan bola khusus
penyandang tunagrahita.
Amal menempuh pendidikan formal hingga lulus SMA-LB
dan kini mengikuti pelatihan di SLB Unit Latihan Kerja Penca di
Lebak Bulus, di mana Bu Yayuk juga jadi ketua komite sekolah.
Keluarga Sofyan Rais tinggal di rumah yang nyaman di kawasan
Pejaten, Jakarta Selatan.
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 19 5/22/12 7:22 PM
tapak
20 diffa edisi 18 - Juni 2012
Berbagi Kasih ala Smile For Children
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 20 5/22/12 7:22 PM
21diffa edisi 18 - Juni 2012
KEBAHAGIAAN bisa lahir dari memberi. Itu-
lah yang dilakukan anak-anak muda Yogya-
karta yang bergabung dalam komunitas Smile
For Children. Mereka berbagi kebahagian
dengan anak-anak penyandang disabilitas
dari panti asuhan.
Ruang kafe di kawasan Monjali, Yogya, malam 2 Mei
2012 itu lebih ramai dari hari biasa. Rombongan anak-anak
istimewa penyandang aneka disabilitas memadati salah
satu sudut kafe. Mereka memeriahkan konser amal yang
diselenggarakan komunitas Smile For Children.
Konser bertajuk Charity for Difable itu untuk mencari
dana yang akan disumbangkan ke panti-panti anak berke-
butuhan khusus. Ada dua panti yang diundang dan akan
mendapatkan sumbangan dana dari acara tersebut, yaitu
Panti Asuhan Sayap Ibu dari Kalasan dan Panti Asuhan
Bina Remaja dari Monjali.
Komunitas Smile For Children atau SFC terbentuk
pada 2 Desember 2011. Mereka sudah melakukan ban-
yak hal untuk berbagi kebahagiaan dengan anak-anak
penyandang disabilitas. SFC memiliki 70 anggota aktif
dan banyak anggota donatur. Para anggota iuran Rp 25
ribu untuk serangkaian kegiatan, termasuk menyum-
bang panti asuhan.
Komunitas SFC berjalan per periode. Tiga bulan
sekali dilakukan pergantian pengurus. Ketua periode
ke-2 saat ini Asari Taswin yang biasa dipanggil Mas Ari.
Ia juga sedang menggalakkan kegiatan sosial dengan
anak panti asuhan berkebutuhan khusus.
“SFC ingin berbagi kebahagian dengan cara menga-
jak anak-anak bernyanyi, sekalian membantu mereka
dengan menyumbangkan sedikit dana,” ujar Radin,
ketua panitia Charity for Difable.
Para pengunjung disuguhi penampilan band-band
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 21 5/22/12 7:22 PM
22 diffa edisi 18 - Juni 2012
Foto
-foto
: Lut
fi A
.
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 22 5/22/12 7:22 PM
23diffa edisi 18 - Juni 2012
asal Yogya, di antaranya Kata Kita, Devous, 81 liiv, serta
Jony and Friends. Pengunjung juga diajak tertawa lewat
penampilan stand up comedy dari Universitas Negeri Yog-
yakarta.
Di pertengahan acara, anak-anak dari Sayap Ibu dan
Bina Remaja berpartisipasi memeriahkan acara. Anak-anak
berkebutuhan khusus itu menyanyikan beberapa lagu,
antara lain “Bunda” ciptaan Melly Guslouw dan “Jangan
Mmenyerah” ciptaan D’Masiv. Penampilan mereka disam-
but tepuk tangan meriah penonron.
Menurut Radin, justru anak-anak itu meminta ikut
mengisi acara. Panitia langsung mempersiapkan pendu-
kung dan pendamping. Salah satu band juga kemudian
mengajak anak-anak bernyanyi bersama.
Di tengah keceriaan, panitia menyodorkan kejutan
berupa sebuah video serangkaian kegiatan di beberapa
panti sebelum acara konser. Ada rangkaian permain-
an game, kegiatan outbond, dan sebagainya. Video
menampilkan keceriaan anak-anak bercanda dengan
anggota komunitas SFC yang membuat anak-anak
dan pendamping tersenyum dan tertawa.
Selama acara, panitia berkeliling membawa kotak
untuk mengumpulkan dana amal dari pengunjung.
“Kotak ini adalah kotak ajaib. Seberapa pun kebaha-
giaan yang Anda masukkan di dalamnya, akan
berlipat ganda kebahagiaan yang Tuhan berikan
kembali,” ujar Radin.
Acara berakhir dengan kegembiraan anak-anak
dan para pengunjung kafe serta panitia. Komunitas
Smile For Children sukses berbagi senyum kebaha-
giaan bagi anak-anak penyandang disabilitas.
n Lutfi Anandika
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 23 5/22/12 7:22 PM
24 diffa edisi 18 - Juni 2012
kolom mas bejo
Pojok Disabilitas
FX. Rudy Gunawan IDE untuk memunculkan
pojok disabilitas terpercik
dalam pembicaraan Mas
Bejo di tengah kerja keras
awak redaksi diffa yang
berjuang memenuhi tenggat waktu
atau deadline penerbitan. Mas Bejo
hadir di tengah-tengah kesibukan
itu karena kebetulan hari “libur
kejepit” nasional yang sekarang
lebih dikenal dengan istilah cuti
bersama. Jadi, pada saat sebagian
besar orang Jakarta berlibur ke
Puncak, Bandung, Anyer, atau
tempat rekreasi lain, para awak
redaksi justru bekerja keras tanpa
kenal lelah. Itulah dedikasi mereka
pada dunia disabilitas. Selain itu,
mungkin juga karena orang-orang
seperti Mas Bejo dan awak redaksi
memang tidak cukup punya uang
untuk berlibur. “Hahaha, ya benar
sekali itu, Mas Bejo,” sahut salah
seorang staf redaksi sambil tertawa
keras. Untuk soal kemampuan
menertawakan diri sendiri, di ka-
langan kawan-kawan penyandang
disabilitas memang sudah menjadi
kemampuan tersendiri, termasuk
kalangan yang akrab dan dekat
dengan mereka seperti tim redaksi
diffa. Mas Bejo pun belajar untuk
menertawakan diri sendiri dari
mereka.
Hidup ini lucu. Itulah kalimat
yang sering dilontarkan kawan
Mas Bejo, seorang penulis yang
bukan penyandang disabilitas.
Namun, meski kawan penulis ini
sangat meyakini pendapatnya
tentang hidup yang lucu itu, Mas
Bejo masih lebih sering melihatnya
berwajah murung daripada tertawa-
tawa. Sebaliknya, para penyandang
disabilitas yang hidupnya jauh lebih
terpuruk, baik oleh keadaan eksternal
maupun internal mereka, kerap lebih
sering tertawa-tawa, meski itu seka-
dar menertawakan diri sendiri. Tentu
tak semua memiliki kemampuan
itu. Banyak juga yang masih “asyik”
terpuruk dalam hidup yang penuh
kemurungan. Pada akhirnya pilihan
ada di tangan kita masing-masing. Na-
mun, bagi mereka yang mau bangkit
dari keterpurukan —disabilitas atau
bukan—pasti pertama-tama harus
bisa belajar menertawakan diri sendiri
terlebih dulu. Selanjutnya, upaya
kebangkitan atau keluar dari keterpu-
rukan akan bisa menjadi sesuatu yang
tidak melulu dipenuhi derai air mata.
Keluar dari KeterpurukanTema “keluar dari keterpurukan”
itulah yang menjadi pintu masuk
munculnya ide pojok disabilitas. Se-
lama ini, sepanjang sejarah perjuang-
an disabilitas di berbagai wilayah atau
bidang kehidupan, hanya segelintir
penyandang disabilitas yang ter-
ekspose oleh media dan kemudian
diketahui masyarakat luas. Biasanya
itu lebih disebabkan adanya faktor
akses pada media yang sangat sedikit
dimiliki para penyandang disabili-
tas. Media massa adalah dunia yang
kini lebih banyak dikendalikan oleh
hukum dagang dan industri, sehingga
jika secara dagang dan industri, dunia
disabilitas tidak profitable, atau tidak
bisa mendatangkan untung, maka por-
Did
i Pur
nom
o
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 24 5/22/12 7:22 PM
25diffa edisi 18 - Juni 2012
si peluangnya untuk muncul di media
massa menjadi sangat kecil. Padahal,
sebenarnya asumsi tersebut juga
belum tentu benar, karena secara kasar
saja, jumlah penyandang disabilitas
di setiap negara lebih kurang 10% dari
jumlah total penduduk. Artinya, untuk
industri apa pun di Indonesia, angka
25 juta orang adalah potensi pasar
yang sangat besar untuk mendatang-
kan keuntungan.
Lepas dari konteks industri besar,
para penyandang disabilitas dalam
skala sangat kecil selama ini telah
berjuang untuk menjadi bagian atau
kelompok masyarakat yang juga
produktif. Mereka mencoba keluar dari
kungkungan keterpurukan sebagai
kelompok yang termarginalkan dan
terdiskriminasi dengan mengikuti kur-
sus-kursus di balai atau unit latihan
kerja sampai memiliki keterampilan
untuk memproduksi barang-barang
kerajinan yang bisa dijual. Tahap
mempelajari suatu keterampilan
sampai masuk dalam proses produksi
masih merupakan tahapan yang boleh
dikatakan menyenangkan, karena
belum berhadapan dengan persoalan
paling berat dalam dunia industri
sesungguhnya, mulai dari permodalan
sampai strategi pemasaran. Mas Bejo
yang pernah beberapa kali terjun ke
dunia bisnis juga merasakan betul
betapa susah proses mencari modal
dan kemudian proses memasarkan
hasil produksi. Nah, dari membahas
yang sulit-sulit inilah terlontar ide
dari Jonna Damanik, General Manager
diffa, yang sangat sederhana namun
konkret: pojok disabilitas di mal.
“Kita mulai saja dengan menye-
diakan satu outlet di salah satu mal
Jakarta yang mau membantu. Isi
outlet itu adalah semua karya keraji-
nan, aksesoris, pernik-pernik, kaos, dan
barang-barang sejenis yang memang
dibuat dan diproduksi oleh individu
ataupun komunitas penyandang dis-
abilitas. Nah, kita namakan outlet itu
sebagai pojok disabilitas atau apalah,”
tutur Jonna dengan bersemangat. Mas
Bejo pun langsung manthuk-man-
thuk. “Ide yang luar biasa. Sederhana,
konkret, tapi sekaligus mengena dan
penting!” Lantas diskusi pun langsung
menjadi seru dan serius. Untuk keluar
dari keterpurukan kita harus mulai
dari satu langkah kecil dulu. Tak usah
muluk-muluk, tak usah langsung
bermimpi mewujudkan ide-ide besar
seketika, karena itu jauh lebih sulit.
Lebih masuk akal jika kita memulai-
nya dari ide-ide kecil yang sederhana.
Tak perlu modal besar untuk memulai
sebuah ide kecil. Semua bisa dilakukan
dalam satu networking dari berbagai
kelompok atau organisasi yang ada.
Itulah poin-poin penting yang
muncul dalam diskusi spontan Mas
Bejo dengan kawan-kawan redaksi di
tengah kesibukan memenuhi tenggat
tulisan-tulisan dan hasil liputan lain-
nya. Kesimpulannya sederhana saja:
keluar dari keterpurukan bisa dimulai
dengan mendirikan outlet pojok dis-
abilitas di salah satu mal Jakarta.
Konsep Pojok DisabilitasSederhana saja konsepnya. Mulai
dari mencari tempat di salah satu mal
yang mau memberikan keringanan,
lalu mengajak kerja sama semua
jaringan yang memiliki basis atau
sentra produksi, membuat seleksi
dan workshop standar kualitas, dan
ak hirnya membuka outlet dengan se-
buah acara yang dipersembahkan oleh
komunitas budaya disabilitas. Dengan
konsep sederhana semacam itu, tak
perlu waktu lama untuk menginisiasi
gagasan ini. Modal yang diperlukan
relatif kecil. Selama ini sedikit sekali
barang yang dihasilkan komunitas
atau individu disabilitas mendapat
tempat untuk dipasarkan langsung ke
masyarakat.
Pojok disabilitas atau apa pun na-
manya nanti, sekaligus akan menjadi
pusat informasi dan interaksi masyara-
kat umum dengan dunia disabilitas.
Melalui karya-karya langsung yang
akan dijelaskan siapa yang membuat,
bagaimana proses produksinya, dan
sejarah perjuangannya, masyarakat
akan mengenal lebih jauh tentang
dunia disabilitas dengan cara yang
benar dan mudah. Tidak perlu semi-
nar, diskusi, teori, atau analisis apa pun
yang rumit. Cukup dengan menghad-
irkan karya yang bisa dibeli sekaligus
mendapatkan informasi yang akurat.
Itulah terobosan kecil, sebuah langkah
sederhana yang tidak muluk namun
nyata. Setiap bulan sekali bisa diada-
kan acara-acara kecil menampilkan
potensi, kemampuan, dan kiprah para
penyandang disabilitas di berbagai
bidang sebagai bagian dari perluasan
strategi kampanye sekaligus market-
ing produk-produk yang dijual. Wow!
Alangkah keren gagasan ini. Mas Bejo
tak henti-henti menguatkan dan men-
gompori Bang Jonna agar serius segera
mewujudkan pojok disabilitas pertama
di Jakarta.
Tak terasa diskusi spontan itu ber-
langsung sampai jam makan malam.
Dan nasi goreng pun segera dimasak
oleh chef andalan diffa, Mas Giatno,
yang selalu siap masak dengan bumbu
yang ada. Sama seperti gagasan pojok
disabilitas yang bisa diwujudkan
dengan apa yang sudah ada. Sambil
agak kepedasan, Mas Bejo melahap
nasi goreng ikan asin yang memang
enak itu. Satu pelajaran sederhana Mas
Bejo petik: kita bisa berbuat sesuatu
kapan saja, tak perlu menunggu jadi
kaya raya terlebih dahulu. Syaratnya
cukup dengan kreativitas, niat, dan
kesungguhan hati. Selebihnya tinggal
mengerjakannya. Jadi, mari kita wu-
judkan. Let’s do something!
n FX Rudy Gunawan
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 25 5/22/12 7:22 PM
diffa edisi 18 - Juni 201226
sosok
Lukisan Pembangkit SpiritMaghfur Rondi
Maghfur Rondi mengalami koma dan lumpuh karena ugal-
ugalan di jalanan. akibat kecelakaan itu dia tenggelam
dalam keterpurukan. Sampai kemudian sahabat tunanetra
membangkitkan semangatnya. Dan semangat itu menjelma jadi
lukisan.
Foto
-foto
: And
ika
P.D
MAGHFUR Rondi
mengalami koma
dan lumpuh
karena ugal-uga-
lan di jalanan.
Akibat kecelakaan itu dia tenggelam
dalam keterpurukan. Sampai kemu-
dian sahabat tunanetra membangkit-
kan semangatnya. Dan semangat itu
menjelma jadi lukisan.
Seekor kerbau besar kokoh di
tengah sawah yang segar. Kerbau abu-
abu dengan otot yang kuat itu seakan
hendak menunjukkan tekad tak kenal
lelah. Areal persawahan yang baru
selesai dibajak memberi harmoni yang
menyejukkan.
Komposisi kerbau dengan
areal persawahan itu sebenarnya tidak
nyata. Tidak ada. Itu hanya ada dalam
imajinasi Maghfur Rondi, seorang
tunadaksa dengan kelumpuhan dari
dada hingga ke bawah karena ke-
celakaan. Dan imajinasi kemudian
ia goreskan dalam permainan warna
cat di atas kanvas. Ya, lahirlah lukisan
kecil dengan dimensi 30 cm x 40 cm.
Lukisan yang cantik. Siapa
sangka pemuda berusia 23 tahun ini
baru menekuni dunia lukis pada Janu-
ari 2012?
Remuk Karena KecelakaanYa, Maghfur Rondi belum lama
menekuni seni lukis. Sebelumnya
Rondi hanyut dalam keterpurukan.
“Dunia saya hancur begitu saya men-
galami kecelakaan sembilan tahun
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 26 5/22/12 7:22 PM
diffa edisi 18 - Juni 2012 27
lalu. Saya hanya mengurung diri
dikamar. Baru pada Januari lalu saya
belajar melukis dan langsung jatuh
cinta pada dunia lukis,” ujarnya sambil
tersenyum, mengenang masa sulitnya.
Keterpurukan Rondi beraw-
al dari jalanan. Dia mendapatkan mo-
tor baru dari ayahnya, yang membuat
Rondi yang ketika itu baru berusia 14
tahun lupa diri. Setiap hari dia me-
luncur di jalanan dengan kecepatan
tinggi. Hingga kemudian kecelakaan
pada Desember 2004 mengubah
hidupnya seketika.
“Tiga hari saya koma, tidak
ingat apa-apa. Bahkan untuk meng-
ingat saya menabrak apa pun saya
tidak tahu. Memori saya hilang separo.
Ibu yang memberi tahu bahwa orang
yang saya tabrak meninggal seketika,”
tutur Rodi dengan mata berkaca-kaca.
Ketika sadar pun, Rondi
tidak berdaya. Tulang ekornya hancur
yang mengakibatkan tubuh bagian
dada ke bawah lumpuh. Rondi mulai
merasakan duka dan penyesalan yang
amat dalam. Meskipun sang ibu, Siti
Musaadah, terus memberinya dukun-
gan, Rondi telanjur patah dan hilang
semangat. Sekolahnya tidak dilanjut-
kan, meskipun ketika itu sudah kelas
III madrasah tsanawiyah. Hari-hari
Rondi benar-benar hanya sebatas
kamar di rumahnya yang kecil di Desa
Lebosari, Krajan Kidul, Kecamatan
Kangkung, Kendal, Jawa Tengah.
Sampai kemudian Rondi
berkenalan dengan Basuki, penyan-
dang tunanetra yang kemudian
menjadi sahabat matanya. “Sahabat
mata” berarti orang yang butuh ban-
tuan dalam hal penglihatan. Bertemu
dengan Basuki membuat mata dan
pikiran Rondi terbuka. “Kalau Mas
Basuki yang tidak bisa melihat saja
bisa berkarya, kenapa aku yang masih
diberi kesempatan untuk hidup justru
larut dalam kesedihan?” ujar Rondi
mengungkapkan awal kebangkitan
semangatnya.
Spirit kebangkitan dan
naluri survival serta kegelisahan
eksistensi yang ditularkan Basuki
kemudian mendorong Rondi kembali
terpikir menekuni dunia lamanya.
Dunia masa kecilnya adalah suka
mencoret-coret dinding rumah dan
menggambar. Dunia yang member-
inya kegembiraan. Masuklah Rondi ke
ruang seni lukis.
Melihat semangat Rondi
bangkit, ibunya pun senang dan men-
dukung. Rondi dibelikan peralatan me-
lukis. Dan dengan bantuan semangat
adik-adiknya, Robitul Ikhwan, Robiah
Aldawiyah, dan Imam Romli, jadilah
lukisan pertama Rondi, sawah dan
kerbau dengan komposisi indah itu.
“Tanpa bantuan adik-adikku, aku
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 27 5/22/12 7:22 PM
28 diffa edisi 18 - Juni 2012
tak akan mampu
menjadi seperti ini.
Merekalah yang
memberi aku
semangat untuk
terus berkarya,”
ujarnya. Rondi
merasa, sebagai
anak sulung
harus mempunyai
semangat untuk
memberi contoh
kepada adik-
adiknya.
Semangat dan Harapan
Meskipun baru
menekuni seni
lukis secara serius
sejak Januari 2012,
Rondi sesung-
guhnya memang
dianugerahi talenta sejak kecil. Cuma,
karena asyik dengan sekolah, bermain,
dan kemudian tenggelam dalam frus-
trasi, dia tidak pernah terpikir meneku-
ni kembali kegemaran dan talenta itu.
“Sebelum kecelakaan, kalau di sekolah,
ya paling banyak belajar pengetahuan
umum, IPA, matematika, bahasa, dan
lain-lain. Namun untuk melukis ng-
gak pernah,” ujarnya.
Kini Rondi sadar, bakat dan
kegemaran di masa kecil, seperti ho-
binya mencoret-coret gambar, mung-
kin akan bisa memiliki nilai kalau kita
sudah dewasa. Rondi juga berpikir,
seseorang tidak akan menjadi sesuatu
jika tanpa karya. Dan dia memilih
berkarya melalui lukisan.
Hingga kini Rondi sudah
menghasilkan sekitar tujuh lukisan,
yang semuanya bertemakan alam.
Seluruhnya lukisan itu beraliran natu-
ralis. Dengan penuh semangatnya
untuk belajar, Rondi terus mencoba
mematangkan teknik melukisnya.
Bahkan dalam kondisi kelelahan seka-
lipun, tangannya masih tetap lincah
memainkan kuas. Bulan Mei ini,
misalnya, dia mesti menyelesaikan
empat lukisan dalam seminggu untuk
diikutkan sebuah festival budaya.
Soal spirit, Rondi mengakui
peran Basuki sangat vital. Sebagai
sesama penyandang disabilitas,
meski disabilitas berbeda, Rondi
merasa Basuki berhasil membang-
kitkan kegelisahan eksistensinya.
“Meskipun tidak bisa melihat, orang-
orang mengenal Mas Basuki. Bahkan
Mas Basuki lebih terkenal dibanding
orang-orang normal di kampungnya.
Saya ingin juga terkenal, melebihi
teman-teman sekolah saya dulu,” kata
Rondi.
Karena barua berkecim-
pung di dunia lukisan, Rondi juga
tidak mematok harga tinggi untuk
lukisannya. Dia berharap lukisannya
mampu menjadi sumber penghasilan
dan penghidupannya kelak. Tentu
saja Dan Rondi punya hak untuk itu.
Lebih dari itu, dia sudah menunjuk-
kan menjadi penyandang disabili-
tas tidak berarti kiamat, kalau mau
bangkit. Dan, memang harus bangkit!
n Andhika PD
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 28 5/22/12 7:22 PM
29diffa edisi 18 - Juni 2012
Jangan Mengaku Sudah Memahami
Disabilitas Kalau Belum
Membaca
Majalah diffa
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 29 5/22/12 7:22 PM
piranti
TIM mahasiswa Teknik
Industri Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta mencip-
takan perangkat mouse dan
keyboard komputer untuk
penyandang disabilitas yang mengal-
ami masalah dengan tangan atau tu-
buh bagian atas. Perangkat yang dina-
mai Difmonkey (difable mouse and
keyboard) ini mendapat penghargaan
internasional di Bangkok. PT Telkom
pun mensponsori agar perangkat unik
ini bisa diproduksi untuk membantu
para penyandang disabilitas.
Terpilih ke BangkokMenurut Reza Bayu, mahasiswa
Jurusan Teknik Industri UGM ang-
30 diffa edisi 18 - Juni 2012
Mouse dan Keyboard untuk Kaki
Difmonkey
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 30 5/22/12 7:22 PM
katan 2008, awal mula penciptaan
Difmonkey bermula dari teman seang-
katannya, Rheza Adipratama, yang
melihat informasi mengenai konfe-
rensi internasional tentang disabilitas
di jejaring sosial Facebook. Informasi
itu di-posting dosen mereka, Budi
Hartono.
Konferensi internasional iCreate
Asia (International Convention on
Rehabilitation Engineering and As-
sistive Technology) itu dilaksanakan
di Bangkok, Thailand, Juli 2011.
Dalam konferensi tersebut
terdapat rang-
kaian ke-
giatan untuk
mahasiswa,
Student
Design Chal-
lenge, yaitu
eksibisi dan
kompetisi ide untuk rehabilitasi dan
teknologi bantu untuk disabilitas.
Rheza Adipratama kemudian
mengajak Reza Bayu mencoba mengi-
kuti Student Design Challenge. Reza
tertarik dan mengajak dua teman lain,
Sunu Wicaksono, mahasiswa Teknik
Industri 2007, dan Helmi Andang
Kurniawan, mahasiswa Teknik In-
dustri 2009. “Kami mulai berkumpul,
mencari ide dan membuat proposal
kompetisi,” tutur Reza Bayu. Akhirnya,
muncul ide membuat mouse dan
keyboard yang dioperasikan dengan
kaki untuk orang yang menyandang
disabilitas tubuh bagian atas. “Kami
memberinya nama Difmonkey.”
Setelah ide terbentuk, para
mahasiswa itu merancang konsep
dan segera menyelesaikan proposal.
”Proposal kami kirim pas pada hari
deadline,” kenang Reza Bayu. Dan,
surprise, sebulan kemudian mereka
menerima pemberitahuan lolos dalam
Student Design Challenge bersama 20
kontestan lain dari Singapura, Thai-
land, dan India.
Didukung Telkom Reza dan kawan-kawan dari tim
Teknik Industri UGM berangkat ke
Bangkok dengan bimbingan Budi
Hartono, arahan semua dosen, dan
dukungan dari pihak kampus, baik
dukungan finansial maupun jarin-
gan, seperti KBRI di Thailand. Di sana,
mereka mengikuti eksebisi SDC dalam
iCreate Asia selama tiga hari.
Hari pertama, mereka presentasi
Difmonkey. Hari kedua, eksibisi.
Dan hari ketiga pre-
sentasi kepada
Her Royal
Highness
Thailand.
Pada eksi-
bisi, peserta
memamerkan
prototipe dari ide
masing-masing. Tim UGM membawa
perangkat prototipe Difmonkey hasil
mitra produksi dengan unit usaha
open source UGM dan sebuah peru-
sahaan otomotif di Yogyakarta. Pada
eksebisi ini tim UGM bertemu dengan
tim dari PT Telkom Indonesia, yang
juga mempresentasikan karyanya.
Karya tim UGM mendapat tang-
gapan baik dari peserta konferensi.
Seusai konferensi, tim UGM diminta
mempresentasikan Difmonkey di
ASIA TV dalam program “ASIA Talks”.
Pemerintah dan masyarakat Thailand
memang dikenal sangat memiliki
atensi terhadap persoalan disabilitas.
Setelah segala aktivitas di Thai-
land selesai, tim Teknik Industri UGM
kembali ke Indonesia. Selang satu
bulan, Rheza menerima e-mail dari
PT Telkom. Isinya, Telkom tertarik
bekerja sama dalam program Difmon-
key sebagai bentuk program corporate
social responsibility (CSR) Telkom
dan bakti untuk kampus. Reza dan
kawan-kawan segera menyambut
dan terjalinlah perjanjian kerja sama
dalam pengembangan Difmonkey.
Untuk melaksanakan proyek
pengembangan Difmonkey, Reza dan
tim dibantu 16 rekan mahasiswa dari
Teknik Industri UGM. Bentuk proyek
terdiri atas pengembangan perangkat
Difmonkey (desain, ergonomi, fungsi,
kualitas) dan implementasi (work-
shop, seminar, coaching) kepada tar-
31diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 31 5/22/12 7:22 PM
get penyandang disabilitas di sekitar
Yogyakarta.
Bentuk pengembangan, semula
Difmonkey 1 hanya produk dengan
konsep alphanumeric, seperti key-
board handphone konvensional (non-
qwerty). Kemudian dikembangkan
menjadi Difmonkey 2, dengan konsep
model keyboard qwerty dan mouse
touchpad seperti di laptop. Namun,
biaya Difmonkey 2 menjadi dua kali
lipat, sekitar Rp 10 juta. Karena itu
diluncurkan Difmonkey 3, gabungan
Difmonkey 1 (keyboard alphanumer-
ic) dan Difmonkey 2 (mouse touchpad)
dan biayanya kembali ke awal, sekitar
Rp 5 juta.
Selanjutnya dilakukan user test-
ing (test ergonomi dan penggunaan)
seberapa cepat produk tersebut dapat
dipelajari pengguna awal, seberapa
efektif, dan seberapa puas pengguna
menggunakan produk. Setelah itu,
ditetapkan desain fix dari pengem-
bangan dan penelitian tersebut, dan
segera diproduksi 10 produk Difmon-
key. Setelah itu, menuju implementasi
yang nantinya terdapat serangkaian
acara seperti workshop, seminar, atau
coaching terkait Difmonkey ataupun
dalam bentuk forum diskusi.
Rencananya, program CSR ini
dilakukan dalam tempo delapan
bulan, terhitung dari penandatang-
anan perjanjian kerja sama. Saat ini
perjanjian kerja sama sedang dalam
proses revisi dan penandatanganan.
Rencananya akhir Mei 2012 proyek
siap dilaksanakan.
CSR untuk DisabilitasAndreas W. Yanuardi dari Business
Research & Development Center
PT Telkom Bandung, mengatakan
pihaknya berkomitmen mendukung
pengembangan kualitas hidup ma-
syarakat secara berkelanjutan melalui
program CSR. Salah satu program CSR
untuk orang berkebutuhan khusus
adalah i-CHAT (I Can Hear and Talk),
yaitu aplikasi dan portal untuk pem-
belajaran bahasa bagi tunarungu yang
diluncurkan 18 April 2010. Aplikasi
ini dibagikan kepada seluruh SLB di
Indonesia secara gratis.
Menurut Andreas, tim Telkom
bertemu dengan tim UGM pada event
i-CREATe 2011 di Bangkok. i-CREATe
merupakan wadah bagi para rese-
archer, engineer, serta akademisi
-- termasuk para profesional -- di Asia
untuk mempresentasikan dan sha-
ring atas kegiatan riset dan aktivitas
pengembangan aplikasi yang berkai-
tan dengan rehabilitasi dan teknologi
untuk membantu orang-orang berke-
butuhan khusus. Pada event tersebut
tim Telkom mempresentasikan paper
“Multimedia Sign Language Diction-
ary for The Deaf and Hard of Hearing”.
Saat penyusunan rencana dan
kegiatan Telkom untuk tahun 2012,
Andreas dan teman-teman Business
Research & Development Center Tel-
kom Bandung menyampaikan kepada
unit Community Development Center
(CDC) di kantor pusat Jakarta, rencana
kegiatan CSR Telkom untuk masyara-
kat berkebutuhan khusus, yaitu pen-
dampingan i-CHAT yg saat ini sudah
masuk versi 3 dan kerja sama dengan
tim UGM untuk pengembangan
Difnonkey bagi masyarakat disabilitas
tunadaksa.
Rencana kerja sama itu disetujui.
Menurut Andreas, saat ini kerja sama
pengembangan dan implementasi
Difmonkey memasuki tahap per-
janjian kerja sama yang akan segera
ditandatangani. Kerja sama meli-
puti pembuatan prototipe Difmonkey
sesuai hasil diskusi tim UGM dan tim
Telkom. Uji coba Difmonkey kepada
yayasan, SLB, komunitas tunadaksa
dan pembuatan atau produksi Dif-
monkey sesuai hasil uji coba untuk
beberapa institusi disertai pemberian
bantuan komputer. Dana untuk keg-
iatan pengembangan dan implemen-
tasi Difmonkey menggunakan dana
kegiatan CSR Telkom.
Semoga dukungan PT Telkom un-
tuk Reza dan kawan-kawan dari tim
Teknik Industri UGM untuk pengem-
bangan dan memproduksi Difmon-
key berjalan lancar. Dan Difmonkey
menjadi sumbangan yang berarti bagi
masyarakat disabalitas Indonesia, khu-
susnya penyandang tunadaksa.
n Nestor
32 diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 32 5/22/12 7:22 PM
33diffa edisi 18 - Juni 2012
Foto
-foto
: Tim
Tek
nik
Indu
stri
UG
M
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 33 5/22/12 7:23 PM
Nantikan...LOMBA CIPTA LAGU DISABILITAS
ORGANIZED BY diffaS E T A R A D A L A M K E B E R A G A M A N
34 diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 34 5/22/12 7:23 PM
PnEsai Foto oleh Sigit D Pratama
35diffa edisi 18 - Juni 2012
sudut pandang
Jiwa yang Bergerak
Ada belahan tubuh yang terasa hampa.Ketika mata tak bisa melihat dunia.Ketika telinga tak bisa mendengar,dan mulut tak bisa berkata-kata.Ketika akal tak mampu memahami.Atau tubuh lumpuh tak berdaya.
Tapi tubuh punya roh dan jiwa.Dan ketika sekelompok seniman membagikan roh.Jiwa-jiwa pun bergerak.Lihatlah, gadis-gadis kecil down syndorame bisa menari.Si tunarungu berpantomim dan melukis.Tunadaksa dan tunanetra menghasilkan benda seni.Seni dari jiwa-jiwa yang bergerak.
Bergerak! Opung Nestor
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 35 5/22/12 7:23 PM
36 diffa edisi 16 - April 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 36 5/22/12 7:23 PM
37diffa edisi 16 - April 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 37 5/22/12 7:23 PM
TAMAN dalam pandangan
kita pada umumnya adalah
suatu tempat yang hijau,
teduh, rimbun, penuh warna-war-
ni bunga, tempat duduk-duduk,
atau tempat bermain anak-anak.
Itulah yang ada dalam bayangan
kita tentang taman.
Namun, dalam Taman Dalam
Gelap, buku kumpulan sajak Ir-
wan Dwikustanto, kita akan men-
emukan makna taman dari sudut
pandang yang berbeda. Penyair
tunanetra ini mempunyai persepsi
dan mempunyai cara tersendiri
dalam menggambarkan taman
lewat baris-baris puisinya.
Meskipun tak pernah menyak-
sikan taman yang sesungguhnya,
karena sejak lahir tunanetra,
Irwan dengan sebebas-bebasnya
mengambarkan taman dengan
indera rasa, dengan pendengaran,
dengan sentuhan, dan mungkin
yang lebih dalam lagi… dengan
mata hati!
Maka, saat membaca puisi-
puisi dalam buku ini, kita dapat
Judul Buku : Taman Dalam Gelap Kumpulan Sajak Seorang ButaPenulis : Irwan DwikustantoPenerbit : Spasi Media Halaman : 106 + xvi hal.
merasakan nuansa yang berbeda.
Kita seperti diajar melihat alam dan
kehidupan lewat indera rasa. Lihat-
lah, bagaimana Irwan mengajak kita
melihat dengan “pendengaran” dalam
sajak “Keluh”:
Waktu senja menggumam
padamu
Di taman itu aku bisu
Bayang-bayang angin
menjelma rumpun bambu
Duduk di antara kita termangu
Irwan mengajak kita melihat
kehidupan lewat kegelapan dan
kesunyian melalui 93 puisi yang
terhimpun dalam buku kumpulan
sajak pertamanya sendiri. Sebelumnya
ia menerbitkan buku kumpulan puisi
Angin Pun Berbisik bersama istri
(Siti Atmamiah) dan anaknya (Zeffa
Yurihana).
Dalam 93 puisi itu Irwan men-
gungkapkan berbagai rasa. Dari rasa
syukur atas jasa huruf Braille dan
tongkat putih, hingga kegalauan pada
belantara Jakarta yang tak ramah bagi
seorang penyandang disabilitas seperti
dia. Kegelisahan akan cita-cita,
keterpurukan kondisi, semangat
untuk mewujudkan mimpi, hak
mencintai dan dicintai. Semua itu
menjadi bahan renungan dalam
puisi-puisi Irwan.
Buku kumpulan puisi ini
mendapat apreasi dari penyair
yang juga dosen Sastra UI Ibnu
Wahyudi, yang memberi catatan
pengantar buku. tersebut menga-
ku kagum atas pilihan kata dan
penggambaran suasana puisi-puisi
Irwan yang benar-benar mem-
bawa pembaca pada nuansa yang
berbeda.
Kemampuan puitik Irwan
memang tak perlu diragukan.
Banyak puisinya dari buku Angin
Pun Berbisik dimusikalisasi. Lebih
dari itu, Irwan Dwikustanto telah
menunjukkan bahwa menyan-
dang disabilitas tunanetra tidaklah
menghambatnya menjadi penyair
yang awas dan tajam melihat
situasi dan kondisi sosial. Ia telah
menunjukkan disabilitas itu: bisa!
n Jonna Damanik
38 diffa edisi 18 - Juni 2012
apresiasi
Sudut Pandang “Taman“ dari Seorang Tunanetra
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 38 5/22/12 7:23 PM
Belajar dari Kesultanan Tidore
INDONESIA adalah negara kepulauan. Tidore salah satu pulau di
kawasan Maluku Utara yang masih memelihara dan menjaga keaslian
budaya, sistem sosial-ekonomi, dan kemandirian dalam mengelola
sumber daya yang mereka miliki. Salah satunya yang terkenal adalah
cengkeh. Adi, seorang anak muda Tidore, menjelaskan dengan bangga
bahwa di Tidore kehidupan masyarakat masih teguh berpegang pada budaya asli
Kesultanan Tidore dan perekonomian tidak tergantung pada peranan pihak luar.
“Di Tidore pendatang pun masih sangat sedikit dibandingkan dengan daerah lain
di Maluku Utara,” ujarnya. Dibandingkan dengan Ternate misalnya, pendatang
jauh lebih banyak dan para anak muda pun sudah lebih bergaya metropolitan.
Tempat hiburan seperti karaoke sudah banyak terdapat di Ternate, sedangkan di
Tidore tak ada satu pun.
jejak
39diffa edisi 16 - April 2012
Foto
-foto
Sid
it D
Pra
dana
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 39 5/22/12 7:23 PM
Dari Pelabuhan Ternate ke Tidore
hanya berjarak tempuh 15 menit de-
ngan menumpang speed boat. Laut
biru kehitaman pun seperti aspal
keras saat diterjang speed boat dengan
kecepatan tinggi. Setiap penumpang
hanya dikenai biaya Rp 8 ribu untuk
sampai ke Pelabuhan Rum, Tidore.
Sesampai di Pelabuhan Rum, ada dua
pilihan angkutan untuk mencapai
kota Tidore. Kita bisa naik angkutan
umum atau menyewa ojek motor.
Naik angkutan umum akan makan
waktu lebih lama tentunya. Jadi, jika
bergegas atau waktu terbatas, lebih
baik naik ojek dengan biaya Rp 20
ribu hingga Rp 40 ribu tergantung
tujuan jarak tempuh. Untuk beberapa
tujuan sekaligus dan ditunggu oleh
abang tukang ojek, kita harus merogoh
kocek sekitar Rp 50 ribu. Kita bisa
berhenti pertama di benteng pening-
galan Portugis, Tangga Seribu, Keraton
Kesultanan Tidore, dan air terjun, serta
putar-putar kota. Tak banyak tempat
wisata atau situs sejarah dan budaya
di Tidore karena kotanya kecil saja.
Hanya butuh waktu 2 jam saja untuk
berkeliling kota de ngan naik ojek.
Kesultanan TidoreKesultanan Tidore mencapai
kejayaan pada masa pemerintahan
Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad
Muhammad al-Mabus Amir ud-din
Syah alias Kaicil Paparangan yang
oleh kawula Tidore dikenal dengan
sebutan Jou Barakati. Pada masa
kekuasaannya (1797 - 1805), wilayah
Kerajaan Tidore mencakup kawasan
yang cukup luas hingga mencapai
tanah Papua.
Wilayah sekitar Pulau Tidore yang
menjadi bagian wilayahnya adalah
Papua, gugusan pulau-pulau Raja
40 diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 40 5/22/12 7:23 PM
Ampat dan Pulau Seram Timur. Menu-
rut beberapa tulisan di berbagai situs
internet, kekuasaan Tidore sampai ke
beberapa kepulauan di Pasifik Selatan,
di antaranya Mikronesia, Melanesia,
Kepulauan Solomon, Kepulauan
Marianas, Kepulauan Marshal, Ngulu,
Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Kapita
Gamrange. Disebutkan pula hingga
hari ini beberapa pulau atau kota
masih menggunakan identitas nama
daerah dengan embel-embel Nuku,
antara lain Kepulauan Nuku Lae-lae,
Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa,
Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku
Nau, Nuku Oro,
dan Nuku Nono.
Itu terjadi
pada masa-masa
kejayaan Tidore.
Namun, sebagai
jejak sejarahnya,
hingga saat ini
masih ada sebuah
kampung yang
penduduknya
lebih mirip orang
Papua daripada
orang Tidore. Saat
ini mereka telah
menjadi bagian
dari suku-suku
yang ada di ma-
syarakat Tidore.
Ketika Tidore mencapai masa
kejayaan di era Sultan Nuku, sistem
pemerintahan telah ditata dengan
baik. Saat itu Sultan (Kolano) dibantu
Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore
disebut Syaraa, adat Nakudi. Dewan
ini dipimpin Sultan dan pelaksana
tugas diserahkan kepada Joujau (Per-
dana Menteri). Anggota Dewan Wazir
terdiri atas Bobato Pehak Raha (Bobato
Empat Pihak) dan wakil dari wilayah
kekuasan. Bobato bertugas mengatur
dan melaksanakan keputusan Dewan
Wazir.
Sistem dan
struktur pemerin-
tahan yang di-
jalankan di Kerajaan
Tidore pada masa
lampau cukup
mapan dan berja-
lan dengan baik.
Struktur tertinggi
kekuasaan berada
di tangan Sultan.
Menariknya, di
keempat Kerajaan
di jazirah Maluku
Utara yang dikenal
dengan Moloku
Kie Raha”, yaitu
Kerajaan Jailolo, Kerajaan Bacan,
Kerajaan Ternate, dan Kerajaan Tidore,
tidak mengenal sistem putra mahkota
sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di
kawasan Nusantara. Seleksi seseorang
untuk menjadi Sultan dilakukan me-
lalui mekanisme seleksi calon-calon
yang diajukan Dano-dano Folaraha
(wakil-wakil marga dari Folaraha),
yang terdiri atas Fola Yade, Fola Ake
Sahu, Fola Rum, dan Fola Bagus. Dari
nama-nama ini, kemudian dipilih satu
di antaranya untuk menjadi Sultan
Tidore.
41diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 41 5/22/12 7:23 PM
Kearifan Lokal Saya mengunjungi Tidore dalam
kesempatan berkeliling ke beberapa
pulau di kawasan Halmahera Utara.
Satu kesan yang menancap kuat,
selain pemandangan laut dan gu-
nung yang indah, adalah kehidupan
masyarakat yang ditopang dan ber-
fondasi kearifan lokal yang ternyata
tetap relevan menjawab tantangan
zaman. Saat banyak kearifan lokal
dari ber bagai daerah mulai teronggok,
dianggap usang, dan ditinggalkan oleh
masyarakat yang terbius racun moder-
nitas, sepertinya kita perlu menengok
kembali nilai-nilai kearifan lokal.
Di Tidore, penghormatan pada
kearifan lokal sebagai tata nilai yang
mengatur kehidupan masyarakat
terasa masih kental. Adat istiadat
masyarakat berpegang pada kearifan
itu dengan pemahaman yang jernih
bahwa nilai-nilai itu bisa menjaga
keseimbangan dalam kehidupan. Baik
dalam hubungan sesama manusia
maupun hubungan manusia dengan
alam. Inilah pelajaran penting yang
bisa dijadikan sebagai acuan bagi
semua wilayah lain di Indonesia.
Atau bagi Indonesia secara keselu-
ruhan sebagai satu kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sekadar informasi: Presiden perta-
ma RI Soekarno semula ingin mema-
sukkan seluruh wilayah kekuasaan
Kerajaan Tidore pada masa kejayaan
menjadi bagian dari NKRI, namun
akhirnya diputuskan hanya bekas
jajahan kerajan Belanda yang menjadi
wilayah RI. Soekarno pernah berkata,
“…Tanpa Tidore, tak akan ada lagu
‘Dari Sabang sampai Merauke’….” Ya,
itulah pesan penting yang tak boleh
kita lupakan. Terutama jika kebetulan
Anda melancong ke Tidore.
n FX Rudy Gunawan
42 diffa edisi 18 - Juni 2012
Foto
-foto
Sid
it D
Pra
tam
a
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 42 5/22/12 7:23 PM
43diffa edisi 16 - April 2012
ragam
YAYASAN Tunarungu Sehat
Jiwa Raga (Sehjira) bekerja sama
dengan Disability Right Fund
menggelar Training Capacity Building
2 untuk para penyandang tunarungu
dan organisasi disabilitas lain. Pelati-
han ini bertujuan agar para tunarungu,
khususnya dan aktivis organisasi
disabilitas umumnya, lebih memahami
pengelolaan keuangan perusahaan
atau organisasi.
Pelatihan diadakan di Gedung
Rektorat Universitas Mercu Buana,
Puri Kembangan, Jakarta Barat, 17 Mei
2012. Menurut Revita, ketua pelaksana,
pelatihan ini merupakan acara lanjut-
an dari Training Capacity Building 1.
Pelatihan pertama lebih mengarah
pada kegiatan secara internal, an-
tara lain bagaimana membuat artikel
dan pembahasan mengenai hak-hak
penyandang disabilitas. Sedangkan
pelatihan ke-2 lebih terfokus pada ma-
nagemen atau kesekretariatan, melipu-
ti administrasi, keuangan, monitoring
hasil kerja laporan, dan sebagainya.
Pelatihan diikuti sekitar 40
peserta dari organisasi disabilitas,
menampilkan dua pembicara, yaitu
Drs H Nasrudin Hasibuan dan Asep
Supena dari Universitas Negeri
Jakarta. Asep Supena menyampai-
kan, dalam pengelolaan organi sasi
atau perusahaan perlu dua hal
utama. Pertama, pemimpin. Kedua,
manajemen yang mengatur seluruh
keiatan organisasi atau perusahaan.
“Kedua hal tersebut saling berkaitan
dan membuat organisasi berjalan
dengan baik. Tanpa keduanya tidak
mungkin organisasi atau perusahan
bisa berjalan. Kalaupun berjalan,
pasti menuju suatu kehancuran,”
kata Asep.
Yayasan Sehjira mengundang
banyak organinasi penyandang
disabilitas untuk mengikuti pelati-
han ini, antara lain PPCI, HWPCI,
PPUA, Pertuni, dan Portupencanak.
“Peserta pelatihan tidak dipungut
biaya. Biaya dari saya pribadi,” kata
Rachmita M Harahap, pendiri dan
Ketua Yayasan Sehjira. Majalah
diffa ikut berpartisipasi dengan
membagikan majalah secara gratis
kepada semua peserta.
n Athurtian
Foto
-foto
: Ath
urtia
n
Pelatihan Manajemen Sehjira
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 43 5/22/12 7:23 PM
MASIH banyak orang
belum mengerti tentang
glaukoma. Glaukoma
salah satu jenis penyakit mata dengan
gejala tidak langsung, yang secara
bertahap menyebabkan pandangan
atau penglihatan semakin berkurang
dan bisa menyebabkan kebutaan. Hal
ini disebabkan saluran cairan yang
keluar dari bola mata terhambat, se-
hingga bola mata akan membesar dan
menekan saraf di belakang bola mata.
Akhirnya saraf mata tidak mendapat-
kan aliran darah dan mati.
Memperingati Hari Glaukoma
Internasional sekaligus hari jadi
ke-32 Rumah Sakit Mata Aini Jakarta
pada Sabtu 5 Mei 2012 mengadakan
seminar tentang glaukoma. Seminar
bertema “Jangan Biarkan Hidupmu
Gelap dengan Glaukoma” ini untuk
menyadarkan masyarakat bahwa
glaukoma bisa menyerang siapa saja
tanpa terkecuali.
Direktur Utama Rumah Sakit
Mata Aini Farida Sirlan mengatakan,
penduduk Indonesia yang mengidap
kebutaan mencapai 1,5 persen dari
jumlah penduduk. Penyebab kebutaan
paling banyak katarak dan glaukoma.
“Kebutaan yang terjadi akibat katarak
bisa disembuhkan dengan melakukan
operasi dan penglihatan bisa kembali
pulih. Glaukoma menyebabkan kebu-
taan total dan kebutaan permanen.”
Dokter Amyta Miranty, ketua
pelaksana seminar yang juga salah satu
pembicara, mengingatkan masyarakat
akan pentingnya penglihatan dan men-
jaga penglihatan dengan pemeriksaan
reguler di rumah sakit. Pembicara lain dr
Srinagar M Ardjo, dr Rudi Putranto, dan
perwakilan Yayasan Glaukoma Indone-
sia.
Dokter Srinagar menjelaskan be-
berapa jenis glaukoma dapat menyerang
mata secara perlahan dan mengungkap-
kan beberapa cara pencegahan. Antara
lain tidak sembarangan meneteskan
obat mata yang bisa melebarkan pupil.
Tidak emosional berlebihan. Tidak be-
rada di tempat gelap atau remang-re-
mang. Semua itu, selain faktor genetis,
dapat dapat menyebapkan glaukoma
secara tidak langsung.
Acara dihadiri sekitar 70 peserta
dari Yayasan Glaukoma Indonesia,
perwakilan WHO Indonesia, serta ma-
syarakat umum. Masyarakat umum
dikenakan biaya Rp 50.000 sebagai
pengganti konsumsi. Pada kesempa-
tan itu Rumah Sakit Mata Aini juga
memberikan pelayanan gratis peme-
riksaan mata dan cek gula darah.
“Kalau bisa acara serupa lebih
sering diadakan, untuk menyadar-
kan masyarakat bahwa penglihatan
sangat penting,” kata Monang, peserta
seminar yang juga penderita glau-
koma.
n Athurtian
44 diffa edisi 18 - Juni 2012
Hidup Tenang Tanpa Glaukoma
Foto
-foto
: Ath
urtia
n
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 44 5/22/12 7:23 PM
LAHIR lagi komunitas baru di bidang disabilitas,
Indonesia Disabled Care Community atau IDCC.
Kelahiran komunitas ini dicanangkan di Learn-
ing Lounge, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, 5 Mei 2012.
Peluncurannya dilaksanakan di Taman Bacaan Blok
M-Mall, Kebayoran, Jakarta Selatan, 20 Mei 2012.
Pendirian IDCC dimotori Habibie Afsyah dan En-
dang Setyati dari Yayasan Habibie Afsyah. Pencanangan
di Plaza Semangi dihadiri perwakilan berbagai komuni-
tas disabilitas, antara lain Yayasan Tunarungu Sehjira,
Panti Bina Daksa Pondok Bambu, mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Indone-
sia, Sampoerna Education School, Universitas Trisakti,
Unindram, dan UNJ. Juga hadir perwakilan komunitas
disabilitas dari Solo dan beberapa pemerhati disabilitas,
antara lain Nestor Rico Tambunan dari majalah diffa.
Menurut Endang Setyati, tujuan pendirian komu-
nitas ini untuk lebih menyatukan gerak dan semangat
dalam menggerakan disabilitas di Indonesia. “Kita
berharap banyak dukungan dari anak-anak muda maha-
siswa ini,” ujar ibunda Habibie Afsyah ini.
Seperti ketika pencanangan di Plaza Semanggi,
dalam peresmian komunitas dan peluncuran website
IDCC di Taman Bacaan Masyarakat Blok M-Mall, hadir
perwakilan berbagai komunitas disabilitas dan kelom-
pok mahasiswa pemerhati disabilitas dari berbagai
kampus.
Peresmian komunitas dan peluncuran website yang
bersamaan dengan perayaan Hari Kebangkitan Nasio-
nal itu menampilkan tiga narasumber: wartawan senior
majalah diffa Nestor Rico Tambunan, penulis dan
pakar creative parenting Melly Kiong, dan komisioner
Komnas HAM penyandang tunanetra Dr. Saharuddin
Da ming. Masukan dari para narasumber diharapkan
menjadi bekal bagi para pengurus dan aktivis pendu-
kung IDCC. Selamat datang di dunia perjuangan disabili-
tas. Kita pasti… bisa!
n Nestor
Foto
-foto
: Nes
tor
45diffa edisi 18 - Juni 2012
IDDC, Komunitas Disabilitas Baru
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 45 5/22/12 7:23 PM
46 diffa edisi 18 - Juni 2012
konsultasi pendidikan
Perlukah Ujian Nasional untuk Siswa SLB?
Ibu Netty yang baik,
PELAKSANAAN
pendidikan di SLB
memang masih mengha-
dapi sejumlah persoalan.
Salah satunya persoalan
yang Ibu tanyakan. Saya sependapat,
tunanetra yang cukup cerdas memang
sebaiknya difasilitasi untuk menem-
puh pendidikan di sekolah reguler
secara inklusif. Hal ini terutama untuk
siswa tunanetra pada tingkat SMP dan
atau SMA.
Alasan yang melatarbelakangi
pemikiran ini, karena tunanetra yang
memiliki kecerdasan cukup, apalagi
yang di atas rata-rata, sangat mungkin
untuk melanjutkan studi ke tingkat
perguruan tinggi. Dan untuk bisa
melanjut ke perguruan tinggi, mereka
harus berasal dari SMA umum atau
yang biasa disebut SMA inklusif.
Mengapa begitu? Karena kuriku-
lum SMA/LB tunanetra (SMA yang
ada di SLB) tidak sama dengan kuriku-
lum SMA reguler. Kurikulum SMA/LB
tunanetra lebih banyak mengandung
muatan keterampilan daripada materi
akademik. Artinya, siswa SMA/LB
tunanetra lebih dipersiapkan untuk
menguasai keterampilan yang akan
bermanfaat untuk kehidupan di ma-
syarakat.
Dengan demikian, tunanetra yang
memiliki kemampuan akademik rela-
tif kurang dan diprediksi tidak dapat
melanjutkan studi ke perguruan tinggi,
memang lebih disarankan sekolah di
SMA/LB daripada di SMA reguler. Per-
Pak Asep yang terhormat,
Saya Netty, guru sekolah luar biasa (SLB) untuk tunanetra. Saya sudah mengajar sekitar lima tahun. Saat awal saya mengajar, beberapa senior mengatakan SLB untuk tunanetra, khususnya tingkat SMP dan SMA, lebih diperuntukkan mereka yang tidak dapat menempuh pendidikan di sekolah umum secara inklu-sif. Mereka adalah siswa tunanetra yang juga memiliki disabili-tas lain, misalnya tunanetra dan tunarungu serta tunanetra dan hambatan kecerdasan. Sedangkan pada tingkat sekolah dasar, SLB untuk tunanetra juga berperan menyiapkan siswa tunanetra – yang tak memiliki disabilitas lain – agar dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum secara inklusif.
Dalam praktiknya, sekolah kami memang menjalankan itu. Siswa tunanetra di SLB kami sebagian mengalami disabilitas ganda. Selain tunanetra, mereka juga memiliki hambatan kecerdasan atau hambatan dalam interaksi sosial.
Dengan kondisi siswa SLB yang semacam ini, menurut saya tidaklah tepat jika sistem pendidikan kita menerapkan ujian nasional untuk siswa tunanetra di SLB. Apakah pendapat saya ini benar? Mohon penjelasan Pak Asep.
Penjelasan ini sangat penting bagi saya, agar dapat menyikapi pencapaian siswasiswa dengan lebih tepat. Saya menyadari, sebagai guru saya harus mengikuti sistem pendidikan yang diterap-kan pemerintah. Namun, memiliki pemahaman yang benar akan membantu saya dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai guru di SLB dengan lebih baik.
Terima kasih.
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 46 5/22/12 7:23 PM
Did
i Pur
nom
o
47diffa edisi 18 - Juni 2012
Dr. Asep Supena, M.Psi
Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta
timbangan yang melatarbelakangi
pemikiran ini adalah karena SMA/
LB akan lebih bermanfaat secara
fungsional bagi mereka daripada
SMA reguler.
Untuk melengkapi penjelasan
ini, silakan Ibu Netty mencermati
ulang isi kurikulum SLB tunanetra,
kemudian bandingkan dengan
kurikulum yang ada di sekolah
umum. Pada tingkat SD, kuriku-Pada tingkat SD, kuriku-
lum SLB tunanetra hampir sama
atau sama persis dengan kuriku-
lum SD umum. Tetapi untuk
tingkat SMP sudah mulai berbeda.
Muatan keterampilan lebih diper-
banyak dalam kurikulum SMP/LB.
Dan kurikulum SMA/LB jumlah
muatan keterampilan lebih diper-
banyak, bahkan porsinya lebih
banyak daripada materi akademik.
Untuk tingkatan TK dan SD,
sementara ini saya berpendapat
tunanetra sebaiknya berada di SLB.
Paling tidak ada dua alasan yang
mendasarinya. Pertama, karena
kurikulum yang digunakan di SD/
LB dan SD umum sama. Jadi, tidak
ada bedanya mereka belajar di SD
umum atau di SD/LB.
Alasan kedua yang lebih
mendasar adalah karena tunane-
tra pada usia TK dan SD membu-
tuhkan pelayanan khusus untuk
mengembangkan kompetensi-
kompetensi khusus yang diperlu-
kan sebagai modal untuk belajar
dan berinteraksi dengan dunia
luar. Misalnya kemampuan baca
tulis Braille, kemampuan orientasi
dan mobilitas, penanaman konsep-
konsep yang membutuhkan peralatan
dan strategi khusus. Hal-hal tersebut
umumnya tidak tersedia di SD umum
dan hanya ada di SLB.
Pertanyaannya, apakah seperti itu
format kurikulum SLB yang dianggap
ideal? Ini merupakan pertanyaan
penting yang harus terus dikaji dan
didiskusikan. Prinsip dasar yang
perlu dipahami, SLB dan sekolah
umum harus memiliki keseteraan dan
memberikan peluang yang sama bagi
tunanetra untuk berkembang dan
mewujudkan potensinya, baik secara
akademik maupun psikomotorik
(skill). Ke depan mungkin perlu diwa-
canakan agar SMP/LB dan SMA/LB
memiliki keseteraan akademik dengan
SMP/SMA umum.
Bagaimana dengan ujian nasion-
al? Jika ujian nasional adalah kebi-
jakan pemerintah yang harus
dijalankan, maka prinsipnya
tetap bisa dilakukan juga di
SLB, dengan catatan soal-
soalnya harus merujuk kepada
standar kompetensi (SK) dan
kompetensi
dasar (KD)
yang berlaku
di SLB. Arti-
nya,
jika kurikulum SMP/LB tidak sama
dengan kurikulum SMP umum,
maka seharusnya soal-soal ujian
nasional-nya juga tidak sama,
karena soal ujian nasional harus
berangkat dari kurikulum yang
diberlakukan. Apalagi untuk
tingkatan SMA/LB, karena kuriku-
lum mereka semakin berbeda lagi
dibanding kurikulum SMA umum.
Ini adalah prinsip dasar yang
harus dijadikan acuan. n
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 47 5/22/12 7:23 PM
Ibu Tari yang baik,
SEMOGA Ibu dan ke-
luarga dalam keadaan
baik dan sejahtera.
Kami bisa memba-
yangkan kerepotan
yang Ibu rasakan sehari-hari pada
saat kedua puteri Ibu terlibat
dalam keributan. Suatu hal yang
sebenarnya wajar, karena juga
dialami oleh banyak keluarga
dengan anak-anak yang berang-
kat remaja. Namun bukan berarti
kita harus berdiam diri membiar-
kannya. Kita harus terus mengu-
payakan terciptanya hubungan
yang harmonis di antara anak.
Hubungan yang dilandasi dengan
perasaan saling menerima dan
menghargai masing-masing.
Saya akan mencoba memulai
penjelasan dari Vina, sang adik.
Agar dapat membantu Vina untuk
memahami hal yang baru dan
cukup sulit dipahaminya, kita
harus mengingat dan mengikuti
beberapa prinsip. Hal pertama
adalah kesederhanaan. Kata-kata
yang dipakai untuk berkomu-
nikasi atau menjelaskan adalah
kata-kata yang sederhana yang
telah dikenal dan biasa dipakai
oleh Vina sehari-hari. Hal kedua
adalah kekonkritan atau keberwu-
judan. Selama berkomunikasi, Ibu
bisa menggunakan benda-benda
yang berada di sekitarnya (di
dalam rumah) atau benda yang
ruang hati
Ibu Farida yang terhormat,
Nama saya Tari. Saya seorang ibu yang memiliki dua anak perempuan, satu di antaranya anak dengan lemah kecerdasan atau tunagrahita, namanya Vina. Vina adalah anak kedua. Jika baru bertemu pertama kali, sepintas Vina tampak seperti anak
yang tidak memiliki hambatan apa pun. Namun, jika sudah berbicara, lambat laun kita akan dapat merasakan jika Vina
memiliki kekurangan intelektual.
Rosa, kakak Vina, saat ini telah remaja. Usianya 16 tahun.
Sedang Vina tiga tahun lebih muda. Sebagai anak remaja, Rosa mulai memiliki “wilayah pribadi” yang ia ingin setiap
orang dapat menghormatinya. Sebagai orang tua, saya dan suami tentu memahami itu. Namun, tidaklah mudah bagi kami untuk mengajarkan soal privacy itu kepada Vina yang memiliki
hambatan kecerdasan.
Sebagai Ibu, saya terus berusaha memberikan pengertian soal privacy itu kepada Vina. Contoh kecil, jika ingin masuk ke kamar
kakaknya dan pintu kamar sedang tertutup, saya ajarkan agar Vina mengetuk pintu terlebih dahulu. Contoh lain, saya juga
mengajarkan agar Vina tidak membuka lemari kakaknya tanpa ijin dari Rosa, dan hal-hal lain terkait soal privacy.
Karena Vina memiliki hambatan kecerdasan, kami orang tu-anya juga mengerti bahwa tidak mudah untuknya memahami
itu. Ia selalu bertanya, mengapa tak boleh ini, tak boleh itu. Se-Ia selalu bertanya, mengapa tak boleh ini, tak boleh itu. Se-mentara Rosa, kakaknya, juga belum sepenuhnya dapat berem-pati pada adiknya yang lemah kecerdasan. Ketidakmengertian itu sering kali berdampak pada timbulnya pertengkaran, baik
antara Rosa dan Vina serta antara saya dan Rosa.
Pertanyaan saya, adakah saran dari Ibu Farida bagaimana cara praktis mengajarkan soal “privacy” kepada anak yang memili-ki hambatan kecerdasan seperti Vina? Karena privacy adalah
sesuatu yang sangat abstrak, terlebih mungkin bagi orang yang memiliki hambatan kecerdasaran seperti Vina. Atas bantuan Ibu
Farida saya mengucapkan terimakasih.
Did
i Pur
nom
o
48 diffa edisi 18 - Juni 2012
Mengajarkan “Privacy” pada Anak Lemah Kecerdasan
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 48 5/22/12 7:23 PM
Farida Kurniawati YusufPsikolog anak, termasuk anak dengan kebutuhan
khusus. Dosen Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Master’s Degree Inclusive Education
Universitas Meulborne, Australia. Doctoral
Programme, Faculty of Behavioural and Social
Sciences, Universitas Groningen, Belanda.
disaya nginya, seperti boneka, dan
sebagainya. Hindari menggunakan
perumpamaan atau membanding-
bandingkannya dengan seseorang.
Hal ketiga adalah waktu penyam-
paian yang cukup singkat. Sampai-
kan sesuatu sedikit demi sedikit, dan
jangan terlalu lama. Hal ini untuk
menyiasati perhatian Vina yang
mudah teralih. Hal keempat adalah
pengulangan. Janganlah Ibu bosan
untuk mengulangi dan melakukan-
nya secara rutin. Vina mudah lupa
dan harus ada yang membantunya
untuk terus ingat.
Hal kelima adalah penghargaan.
Berilah pujian, misalnya, “pintar”,
“anak cantik” dan lain-lain, setiapka-
li dia berhasil melakukan sesuatu
dengan baik. Adanya pujian membuat
ia tahu bahwa perilakunya menda-
tangkan hal yang positif dan menye-
nangkan, dan ia akan terdorong untuk
mengulanginya.
Lalu bagaimana mengguna-
kan kelima hal di atas dalam men-
gajarkan “privacy” kepada Vina?
Ajaklah ia berkeliling rumah sambil
menjelaskan bahwa setiap orang di
dalam rumah memiliki kamar. Ada ka-
mar Ibu, kamar kakak, dan kamar Vina.
Apabila Ibu memelihara hewan, bisa
juga disampaikan ada kandang untuk
Hero (nama hewan). Berilah tanda un-
tuk setiap kamar untuk memudahkan-
nya mengingat. Misalnya gambar
warna kesukaan masing-masing yang
di bawahnya bertuliskan Ibu dan
Bapak, Kakak, Vina, lalu ditempel di
pintu kamar masing-masing. Beri pula
tanda pada setiap barang yang dimiliki
Vina dan kakaknya, misalnya di lemari
pakaian, atau mug kesukaan.
Untuk membantunya mengingat
suatu aturan, Ibu bisa menempelkan
gambar dan tulisan seperti “ketok
pintu sebelum masuk” di tempat yang
sesuai. Atau menyediakan tempat
yang berbeda untuk menyimpan
barang-barang mereka. Misalnya alas
kaki (sandal atau sepatu) Vina di rak
warna ungu, kakaknya di rak merah.
Apabila Vina masih sering menanya-
kan “mengapa begini, mengapa begitu”
untuk hal yang Ibu atur, ambillah con-
toh pelajaran dari lingkungan
sehari-hari. Nyalakan TV, dan
tontonlah acara kehidupan
fauna. Tunjukkan bahwa
sarang burung hanya cocok
untuk burung, bukan untuk
kucing. Mengapa? karena
letaknya di pohon yang
tinggi, dan kucing tidak bisa
terbang ke sarang burung
tersebut.
Penggunaan kelima
prinsip di atas mem-
butuhkan waktu dan
dukungan dari orang di sekitar
agar dapat mencapai keberha-
silan yang Ibu harapkan. Vina
tetap membutuhkan contoh dari
orangtua dan saudaranya. Hal
tersebut juga perlu diterapkan secara
konsisten oleh semua anggota keluar-
ga. Dan hal yang tidak kalah penting
adalah sikap sabar menghadapinya.
Vina membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk memahami dan menerap-
kannya, karenanya tetaplah menjaga
sabar dan semangat.
Rosa, sang kakak, tetap mem-
butuhkan perhatian dan ingin pula
dimengerti. Sediakan waktu khusus
untuknya. Ibu bisa mengajaknya
berjalan-jalan atau berbelanja berdua
sambil menyelami keinginan dan
kebutuhannya. Hal ini bisa membuat-
nya merasa disayangi, sama besarnya
dengan yang diterima oleh adiknya.
Mintalah kepadanya untuk sedikit
demi sedikit mendukung orangtua da-
lam mengasuh adiknya. Pada awalnya
mungkin susah baginya, seperti yang
Ibu telah katakan. Namun setelah
melihat betapa sabarnya Ibu dalam
menghadapi Vina, saya yakin ia akan
mengikutinya. Ajarkan kasih sayang
pada adik, sehingga dia juga mau me-
maklumi dan membantu memperla-
kukan si adik seperti langkah-langkah
yang ibu lakukan. Semoga saran ini
bermanfaat. Salam hangat. n
Did
i Pur
nom
o
49diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 49 5/22/12 7:23 PM
Rachman Hadi
Kuterima Amanahmu
puisi
Kusambut Kau dengan Syukurku
50 diffa edisi 18 - Juni 2012
Ada dada yang berdebar
Ada hati yang bergetar
Saat tangan bergenggam erat
Saat bibir mengucap akad
Ya Robbi…
Telah Kau akhirkan kesendirianku
Telah Kau tutup masa sunyiku
Dan Kau buka hidup baru untukku
Mengarungi samudra luas,
membawa sebongkah hati, amanah-Mu
Ya Robbi…
Tanganku terlalu lemah untuk menjaganya
Jemariku terlalu kecil untuk membelanya
Jaga belahan jiwaku ini ya Rabbi…
Dari kerasnya hidup
Dari riuhnya godaan
Ya Robbi…
Jadikan kesetiaan sebagai fondasi
Sakinah sebagai pagar hati
Mawaddah warahmah sebagai penjaga nurani
Hingga hanya takdir yang mampu menceraikan hati
Syahdu tangismu memecah gelisah
Berlaksa harap terjawab sudah
Berjuta cemas tersingkap, berubah
Haru, bahagia, membaur menepis gelisah
Azan dan iqamah kusenandungkan
Deraian shalawat kudendangkan
Berlaksa syukur kupersembahkan
Demi menyambutmu, permataku, sayang
Kan kuseka air matamu dengan shalawat
Kan kubalut tubuh mungilmu dengan doa
Kan kuukir lembar hidupmu dengan ahlaqul karimah
Dan kuisi ruang hatimu dengan firman-firman-Nya
Tenanglah engkau dalam timangan
Jadilah kelak Qurata a’yun, shalikhah, dan muslimah
tauladan
Sejuk bagi siapa saja yang bersamamu
Pembuka pintu syurga, bagi ayah bundamu
Jangan pernah ada tangismu, sayang
Jangan pernah ada air matamu
Kecuali untuk Rabbimu
Saat engkau mesra di sepertiga malammu
Kami titipkan doa dalam genggamanmu
Untuk kau ukir, dan kau kirim saat kami tak kuasa
merengkuhmu
Saat kami hanya membutuhkan doa-doamu
Segera besar, permataku sayang
Tenteramlah siapa pun yang bersamamu
Tebarkan firman Allah di setiap langkahmu
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 50 5/22/12 7:23 PM
Kusambut Kau dengan Syukurku
51diffa edisi 18 - Juni 2012
Syahdu tangismu memecah gelisah
Berlaksa harap terjawab sudah
Berjuta cemas tersingkap, berubah
Haru, bahagia, membaur menepis gelisah
Azan dan iqamah kusenandungkan
Deraian shalawat kudendangkan
Berlaksa syukur kupersembahkan
Demi menyambutmu, permataku, sayang
Kan kuseka air matamu dengan shalawat
Kan kubalut tubuh mungilmu dengan doa
Kan kuukir lembar hidupmu dengan ahlaqul karimah
Dan kuisi ruang hatimu dengan firman-firman-Nya
Tenanglah engkau dalam timangan
Jadilah kelak Qurata a’yun, shalikhah, dan muslimah
tauladan
Sejuk bagi siapa saja yang bersamamu
Pembuka pintu syurga, bagi ayah bundamu
Jangan pernah ada tangismu, sayang
Jangan pernah ada air matamu
Kecuali untuk Rabbimu
Saat engkau mesra di sepertiga malammu
Kami titipkan doa dalam genggamanmu
Untuk kau ukir, dan kau kirim saat kami tak kuasa
merengkuhmu
Saat kami hanya membutuhkan doa-doamu
Segera besar, permataku sayang
Tenteramlah siapa pun yang bersamamu
Tebarkan firman Allah di setiap langkahmu
n Rachman Hadi, tunanetra, guru sekolah luar biasa untuk tunanetra di Jember, Jawa Timur
Lindungi Aku Ya Robbi
Ketika hatinya tak lagi senandungkan lagu rasa tulus
Ketika tuturnya tak lagi tertata halus
Ketika tembang-tembang penggoda menebar lirik di hati indahnya
Tangan lemah ini terlalu rapuh untuk bersamanya
Ampuni aku, ya Robbi…
Sebegitu lemahnya jiwa ini hingga tak mampu menjaga amanah suci
Sebegitu rapuhnya hati ini hingga tak kuasa membentengi belahan hati
Sehingga tarian indah mengusik kalbunya, menebarkan aroma penggoda
Ya Robbi… izinkan aku mengeluh
Lihatlah, hatinya tak lagi utuh
Mengoyak hati dengan nyanyian selingkuh
Di hatinya nama indah telah tersimpan kukuh
Perlahan, namaku layu, jatuh… luruh
Jaga aku, ya Robbi…
Agar tidak menabrak kaidah-Mu
Untuk kuat menjaga amanahmu
Dan kembalikan hatinya yang perlahan menjauhiku
Kuatkan aku, ya Robbi…
Agar bergeming dari hatinya
Saat ada jelita tiba
Dan nafsu mengajakku mengisi hatinya
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 51 5/22/12 7:23 PM
cerpen
Bunga untuk IbuJonna Damanik
52 diffa edisi 18 - Juni 2012
Did
i Pur
nom
o
SUDAH agak siang ketika
aku terbangun. Aku tidak
tahu sudah jam berapa.
Yang jelas, aku merasakan
kepenatan yang luar biasa
mendera seluruh tubuhku.
Seminggu lebih mengawasi
persiapan dan pelaksanaan masa bim-
bingan alias mabim, masa perkenalan
dan orientasi mahasiswa baru di tujuh
fakultas, bukanlah kerjaan ringan.
Rapat sana, rapat sini. Cek sana, cek
sini. Kadang lewat tengah malam baru
berhenti.
Tapi aku merasa puas. Ini perhe-
latan besar pertama bagiku sebagai
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa.
Semua acara mabim di semua fakultas
ber- jalan lancar.
Tidak ada
kasus atau
skandal
yang ha-
rus dipertang-
gungjawabkan ke pemimpin
universitas. Hanya ada
pengaduan-pengaduan kecil, seperti
panitia senior yang sok overacting.
Tapi, hei… ke mana teman-teman ang-
gota BEM yang lain?
Aku bangkit dari matras tipis di
sudut kantor BEM yang berantakan.
Jangankan mandi, bahkan untuk cuci
muka pun rasanya malas. Aku meng-
hempaskan pantat dengan malas di
salah satu kursi, mengangkat kaki ke
meja, dan menghidupkan TV dengan
remote control. Masih dengan celana
pendek dan kaos belel yang kupakai
tidur.
Tok-tok-tok! Terdengar ketukan di
pintu.
“Masuk!” kataku, tanpa mengalih-
kan pandangan dari televisi. Kupikir,
paling salah seorang teman anggota
BEM.
“Permisi, Kak.…”
Aku tersentak, dan … waaw, enam
bidadari cantik berdiri di depan pintu.
Cantik semua. Aku terpana, hingga
kemudian menyadari tawa kecil me-
reka. Mereka menatapku dengan geli.
Mungkin karena penampilanku yang
super hancur dan di luar bayangan
mereka.
“Ada apa?” ujarku, agak gugup.
Ya, jujur, aku tidak biasa menghadapi
situasi seperti ini. Aku boleh perkasa
dan lantang ketika berpidato, boleh
berwibawa ketika memimpin rapat,
apalagi dengan setelan jeans dan
t-shirt serta dibalut jaket almamater.
Tapi menghadapi enam perempuan
cantik dalam keadaan seperti ini…?
Alamaak!
“Kak, kami mau minta tanda tan-
gan,” kata salah seorang dari mereka
yang kelihatan lebih berani, dengan
wajah tersenyum-senyum.
“Kok nekat ke sini? Kenapa nggak
minta tanda tangan sama senior ka-
lian di fakultas masing-masing?”
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 52 5/22/12 7:23 PM
53diffa edisi 18 - Juni 2012
“Bukan gitu, Kak. Kata senior
kami, kalau dapat tanda tangan
kakak di buku suci kami, nilainya
paling besar dari nilai tanda ta ng-
an senior yang lain.”
Si Pemberani itu melangkah
masuk mendekati aku, diikuti lima
temannya yang lain. “Sekalian,
Kak… kenalan sama presidennya
mahasiswa di kampus ini,” kata si
Pemberani sambil menyodorkan
tangannya kepadaku dengan gaya
yang agak genit. Lima temannya
mengikuti.
Ketika menyalami orang yang
terakhir, aku terpaku. Tangannya
terasa amat dingin dan lembut.
Ketika menatap wajahnya, aku
tersirap. Begitu cantik dan lem-
but. Matanya bening, tapi seperti
menyimpan sesuatu yang sendu.
Aku seperti tiba-tiba menemukan
wajah yang telah puluhan tahun
kucari-cari. Anggun sekali cewek
ini, batinku bergelora.
“Okelah. Mana buku kalian?”
kataku. Pikirku, agar mereka cepat
pergi. Suasana ini sangat tidak
menguntungkan.
“Kok, nggak dihukum, Kak…?”
Si Pemberani yang centil itu malah
menantang.
“Nggak usahlah!” kataku sam-
bil meraih bukunya dan menore-
hkan tanda tangan. Satu per satu
temannya menyodorkan bukunya.
Ketika tiba pada yang terakhir,
pada wajah lembut dan mata be-
ning yang menyimpan kesenduan
itu, aku seperti grogi sendiri.
“Terima kasih, Kak.…”
Aku seperti tersirap. Suara
gadis itu pelan tapi merdu.
“Terima kasih, ya Kak. Ternyata
Kakak baik, kok. Orang bilang,
galak.” Si Pemberani menatapku
dengan matanya yang genit. “Bo-
leh dong, Kak, sering main-main
ke sini? Ngajak makan siang sambil
belajar jadi anggota BEM.”
“Itu nanti saja. Selesaikan dulu
mabim kalian dengan baik.”
Satu per satu enam mahasiswi
cantik yang masih berbau SMA itu
mengucapkan terima kasih dan pamit.
Aku hanya memperhatikan langkah si
mata bening. Bahkan langkahnya pun
tampak anggun dan lembut. Alamaak!
Jonna, apa yang terjadi pada dirimu?
Dan tiba-tiba saja aku tersentak?
Tadi mereka dari fakultas mana?
*
HARI-HARI selanjutnya aku
dibayangi keinginan untuk bertemu Si
Anggun itu. Aku jadi rajin berkeliling
fakultas. Tapi ternyata sulit bertemu
dengan seseorang di belantara kampus
yang luas dengan ribuan mahasiswa,
apalagi tidak tahu nama dan fakultas-
nya. Kadang aku mengutuk kebodoh-
anku yang waktu itu tidak bertanya
fakultas dan jurusan yang jelas. Itu
gara-gara aku grogi. Katro benar!
Sampai suatu saat Senat Maha-
siswa Fakultas Psikologi mengundang-
ku dalam acara fakultas mereka. Acara
itu semacam inaugrasi penyambutan
ikatan mahasiswa terhadap maha-
siswa baru. Acara diadakan di sebuah
tempat berpemandangan bagus di luar
kota.
Aku pun berangkat dengan
beberapa rekan anggota BEM. Malam
inaugrasi itu berlangsung sangat
meriah, di tengah dinginnya malam
yang menusuk, meskipun dihiasi
hangatnya bara api unggun. Lebih
dari itu, mahasiswi psikologi terkenal
cantik-cantik dan keren. Mereka juga
menampilkan berbagai acara yang tak
kalah keren.
Aku menikmati semua acara.
Sampai kemudian pembawa acara
mempersilakan aku menyampaikan
sambutan. Tidak seperti kalau pidato
di kampus, aku menyampaikan
sambutan dengan gaya santai. Tapi
mahasiswa-mahasiswa baru yang
duduk melingkar di depanku keli-
hatan mendengar dengan serius.
Sampai tiba-tiba aku seperti ter-
henyak, karena mataku menang-
kap wajah Si Anggun berada di
barisan terdepan sebelah kiriku.
Aku benar-benar terkejut.
Selama dua bulan ini khayalanku
dihantui bayangan wajah lembut
dan mata mata bening itu. Selama
dua bulan terakhir aku mencari-
carinya di keluasan kampus. Berge-
muruh rasanya dadaku, hingga
tanpa sadar sambutanku sempat
terhenti, dan membuat heran
teman-teman mahasiswa senior.
Tapi, akhirnya aku tersadar
dan menyelesaikan sambutanku
dengan baik. Para mahasiswa baru
bertepuk tangan, tampak senang
mendengar sambutanku. Termasuk
Si Anggun.
Selesai itu, ketika acara di-
lanjutkan dengan hiburan, aku
tak mau membuang waktu. Aku
mendekati Si Anggun. “Hai…!”
sapaku. Entah kenapa, dia tampak
kaget dan terdiam. Mukanya tam-
pak memerah, kemudian tertun-
duk. “Apa kabar?”
“Baik,” jawabnya, dengan suara
merdunya yang hampir tak ter-
dengar. Sebelum aku melanjutkan
menyapa, tiba-tiba beberapa teman
anggota BEM dan mahasiswa
senior riuh menyoraki.
“Gile… aku yang ngotot
mencari kakak ke kantor BEM, tapi
ternyata Ajeng yang dikenang,”
si Pemberani nan centil tiba-tiba
muncul mendekat. ”Wah… patah
hati aku.”
“Jadi… itu yang membuat
pidato Jonna tadi terhenti?” teriak
seorang teman anggota BEM.
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 53 5/22/12 7:23 PM
54 diffa edisi 18 - Juni 2012
“Akhirnya ketua kita dapat
jodoh…!”
Teriakan terakhir kontan
diikuti tepuk tangan dan sorakan.
Aku jadi salah tingkah. Ajeng
tampak malu. Wajahnya memerah.
Ak hirnya dia berlari ke tengah
kerumunan teman-temannya. Tapi
di sana pun dia menjadi sasaran
godaan teman-temannya. Aku me-
lihat ada yang memeluknya, ada
yang mencubit pipinya, ada yang
menarik rambutnya. Sampai kemu-
dian ada yang berteriak. “Hidup
Ibu Ketua BEM!”
Semua tepuk tangan riuh dan
bersorak-sorak. Aku terdiam. Entah
malu, entah merasa bahagia.
*
SEJAK pulang dari malam
inaugurasi mahasiswa psikologi
itu, hari-hariku menjadi penuh
sema ngat dan keceriaan. Aku su-
dah tahu ke mana harus berburu Si
Anggun. Hidupku terasa jadi terasa
penuh gelora.
Tanpa malu aku mulai rajin
mengunjungi gedung Fakultas
Psikologi, untuk bertemu atau seka-
dar melihat wajah Si Anggun. Aku
tidak peduli, walau risikonya seba-
gai orang ngetop di kampus aku
harus menerima godaan teman-
teman mahasiswa senior yang tahu
tujuanku ke ke sana. Bahkan aku
dengan terus terang meminta ban-
tuan teman-temannya. Salah satu-
nya si centil pemberani Riana, yang
dulu memimpin teman-temannya
menemuiku di kantor BEM.
“Susah dekati dia. Orangnya
pendiam, hatinya beku sedingin
salju,” goda Riana sambil tertawa
berderai. “Dekati gue aja. Hatiku
penuh bara api,” lanjut Si Rame ini.
Tapi akhirnya aku mendapatkan
banyak info tentang keseharian
Ajeng, tempat kosnya, bahkan kemu-
dian nomor HP-nya.
Sejak itu aku berusaha rajin
mengubungi Ajeng. Mula-mula SMS,
kemudian menelepon. Dia selalu men-
jawab SMS teleponku dengan santun,
tapi selalu menolak dengan halus
setiap diajak bertemu. Alasannya, dia
masih mahasiswa baru. Dia masih
belajar menyesuaikan diri dengan sua-
sana kuliah dan beradaptasi dengan
para dosen.
Sebagai orang yang sudah beru-
mur 18 tahun dan sudah mahasiswa,
aku yakin dia mengerti maksud SMS
dan teleponku. Dia pasti tahu aku
melakukan itu karena naksir dirinya.
Karena itu aku yakin dia menolak
ajakanku karena tidak tertarik kepa-
daku.
Hal itu membuat aku agak sedih
dan kecewa. Tapi aku tidak mau
menye rah. Bayangan sosok dan
wajahnya yang anggun telanjur ber-
semayam dalam rongga hatiku. Aku
akan terus berusaha sampai titik batas
yang kubisa.
Mungkin karena merasa tidak
enak terus menolak, akhirnya Ajeng
mau juga sesekali bertemu denganku.
Itu pun hanya dalam bentuk ngobrol
sambil makan siang di kantin fakultas-
nya. Ia tidak mau diajak pergi, makan
di tempat lain, atau nonton. Bahkan
ia tidak mengizinkan aku main ke
tempat kosnya.
Aku tentu kecewa. Tapi bisa
memaklumi. Sedikit banyak aku jadi
mengerti, dia teguh dengan prin-
sipnya. Selain itu dia serius menuntut
ilmu. Dia pintar di kelas. Paper-paper-
nya selalu mendapat nilai bagus. Tipe
cewek, yang terus terang, aku suka.
Aku tidak suka mahasiswi yang terlalu
banyak pecicilan sana-sini.
Satu hal yang membuat aku lebih
tersentuh, dia cenderung pemurung
karena ternyata diliputi kesedihan.
Tiga bulan sebelum dia kuliah di Ja-
karta, ibunya meninggal karena suatu
penyakit. Kesedihan itu masih terus
membekas di hatinya. Waktu Ajeng
bercerita tentang bagaimana ia begitu
menyayangi ibunya dan bagaimana
rasa kehilangan itu, aku seperti ikut
merasakan kesedihan yang luar biasa.
Cara dia bercerita dan kesedihan di wa-
jahnya sangat membekas di batinku.
Dia anak yang begitu penyayang pada
orang tua.
Hal itu membuat aku merasa
makin suka dan sayang padanya.
Tapi aku juga jadi tidak berani terlalu
memaksa untuk menerimaku. Aku
mungkin terkenal di kampus ini. Tapi
aku tidak bisa memaksa semua orang
menyukaiku. Aku bisa saja mencintai
dia. Tapi aku tidak mungkin memaksa
dia mencintai aku. Aku takut ditolak
dan malah kehilangan dia jika me-
maksakan keinginan hati.
Menyadari itu aku jadi merasa
diriku kecil. Intensitas hubungan dan
pertemuan kami tetap baik dan relatif
makin sering. Tapi, entah kenapa, aku
tidak punya keberanian untuk me-
nyatakan perasaanku kepadanya.
*
Ujian akhir semester tiba. Seperti
biasa semua mahasiswa sibuk mem-
persiapkan diri untuk mengikuti ujian,
termasuk aku dan Ajeng. Selama ujian
aku tidak berani mengganggunya.
Hanya beberapa kali mengirim SMS
menanyakan kesehatan dan ujiannya.
Seperti biasa dia menjawab dengan
bahasa yang singkat dan santun.
Hingga akhirnya masa ujian se-
mester selesai. Malam itu aku menele-
ponnya, ingin mengajaknya makan
atau nonton, sekadar melepaskan
stres ujian. Tapi Ajeng bilang dia mau
pulang dulu ke kotanya untuk berlibur
sekaligus bertemu dengan keluarg-
anya yang sudah sekitar 10 bulan dia
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 54 5/22/12 7:24 PM
55diffa edisi 18 - Juni 2012
tinggalkan. “Lusa aku berangkat, naik
pesawat jam 11,” katanya.
Aku terdiam. Wah, berarti sebulan
lebih aku tidak akan bertemu dengan
dia. Alamak! Apakah aku sanggup
berpisah, tidak melihat wajahnya
selama itu? Lebih dari itu, aku belum
sempat mengungkapkan isi hatiku
kepadanya. Aku belum mendapat
kepastian, apakah sebenarnya dia mau
menerima cintaku.
Pikiran itu membuat malam itu
kulewati dengan sangat gelisah. Aku
merasa bodoh karena selalu ini tidak
pernah berani mengungkapkan isi
hati. Aku tidak boleh terus seperti ini.
Aku harus melakukan sesuatu.
Besoknya aku menelepon, me-
nyampaikan aku ingin mengantarnya
ke bandara. “Boleh kan, aku mengan-
tar Ajeng?”
“Nggak usah repot-repot, Bang.
Aku bisa sendiri.”
Aku bingung. Ajeng tetap seperti
menolak. Tapi aku tidak boleh menye-
rah. Kalau tidak sekarang, aku tidak
akan pernah punya kesempatan. Aku
sibuk memutar otak, sampai tak terasa
aku tidak bisa tidur. Tapi akhirnya aku
menemukan cara itu.
Esok paginya aku sudah berada di
depan tempat kos Ajeng. Dia kelihatan
agak keberatan, tapi tidak berani
menolak ketika aku membantu mem-
bawakan kopernya. Kami menuju
bandara dengan bus DAMRI. Di dalam
bus, Ajeng lebih banyak diam. Hal itu
membuat perasaanku semakin kalut.
Dia kelihatan tak begitu suka aku an-
tar. Aku jadi grogi dan tegang sendiri.
Bagaimana nanti aku menyampaikan
perasaanku, yang kurencanakan dan
kusiapkan semalaman?
Satu jam kemudian kami turun di
teras Terminal A Bandara Soekarno-
Hatta. Bersamaan dengan itu terde ng-
ar pengumuman pesawat yang akan
Ajeng tumpangi akan berangkat sejam
lagi dan calon penumpang dipersi-
lakan chek in.
“Aku harus langsung masuk,
check in,” kata Ajeng sambil menarik
roda kopernya dan menyeret perla-
han menuju pintu masuk. Aku kalut.
Aku mengiringi langkahnya sambil
berpikir keras.
“Tunggu sebentar, Ajeng,” akh-
irnya aku memberanikan diri. Kalau
mau ditolak, ditolak-lah. Tapi aku
harus menyampaikan.
“Ada apa?” Ajeng menghentikan
dengan wajah heran.
“Aku ingin menyampaikan se-
suatu…” ujarku agak gemetar, sambil
membuka ranselku. Aku mengambil
beberapa tangkai bunga mawar putih
yang kuikat jadi satu dengan pita.
Ajeng tampak kaget bercampur heran.
Aku mengacungkan bunga itu
kepada Ajeng. Tapi… semua kata yang
kususun semalam, bahwa bunga itu
sebagai pertanda melepas dia dengan
cinta, seketika seperti hilang begitu
saja. Aku tak berani mengucapkan.
Mulutku seperti terkunci.
“Aku… aku titip ini, yah… buat
ditaruh dimakam Ibu….”
Aku tidak tahu dari mana asalnya
kata-kata itu, karena sama sekali tidak
terpikir sebelumnya. Tapi, wajah Ajeng
seperti tersentak. Seperti ada badai di
matanya yang bening. Ia mengulur-
kan tangan menerima bunga yang
kusodorkan tanpa berkata apa-apa.
“Terima kasih.…” gumamnya. Dan
ketika ia menunduk, memasukkan
bunga itu dengan hati-hati ke dalam
tas tangannya, aku melihat setitik
air jatuh dari matanya. Dan ketika ia
menengadahkan wajahnya, aku me-
lihat mata yang bening itu memang
berkabut penuh air.
Aku jadi merasa bersalah karena
membuat dia jadi sedih. Aku jadi
mengutuki diriku sendiri. Kenapa
ucapan itu yang keluar dari mulutku?
Kenapa tidak mengatakan, bunga
itu sebagai tanda cinta, yang ingin
dikenang dan dibawa pergi. Aku
memang tolol. Aku….
“Terima kasih, ya.…” tiba-tiba
Ajeng menggenggam tanganku
dengan kedua tangannya. “Ajeng
akan meletakkan bunga itu di sisi
nisan Ibu. Nanti, kalau kembali ke
Jakarta, jemput aku, ya.…”
Aku ternganga, seakan tidak
percaya. Dia memintaku menjem-
putnya? Berarti.… “Pasti! Pasti aku
akan menjemput Ajeng.”
“Abang baik-baik jaga diri.
Sekarang Ajeng berangkat dulu.”
Ia melepas tanganku sambil
tersenyum.
“Iya… iya.…”
Hanya itu yang mampu
kuucapkan. Aku sungguh tidak
mengira bahwa ucapan yang
salah itu justru menyentuh hati
Ajeng. Ah, dasar aku memang
bodoh. Kutatap langkah anggun
Ajeng menuju pintu pemeriksaan.
Sejenak ia berbalik, melambai-
kan tangan sambil tersenyum.
Senyum terindah yang pernah
kulihat sepanjang hidupku. *
* Jonna Damanik,
Sarjana Teknik penyandang low-vision,
General Manajer diffa
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 55 5/22/12 7:24 PM
Bayiku Tidak Dapat Melihat. Bisakah Berkembang?
Dr. Ferial yang baik,
Tiga bulan lalu saya melahirkan anak pertama, seorang bayi perempuan. Sampai sekarang anak
saya hanya bisa telentang, lengannya belum bisa meraih benda. Menurut dokter, kedua matanya tidak bisa melihat sama sekali sejak lahir dan
penyebabnya jenis yang tidak bisa disembuhkan lagi. Mengapa ya, anak saya?
Mengapa pula, walaupun lengan dan tungkainya dapat bergerak, dia belum bisa tengkurap dan
meraih sesuatu di depannya?
Mohon saran dokter, apa yang bisa saya lakukan
di rumah untuk memacu perkembangannya
sehingga anak saya bisa berkembang seperti bayi lainnya. Kalau sudah besar apakah anak saya bisa
melakukan berbagai kegiatan? Saya sungguh cemas akan perkembangan bayi saya.
Terima kasih.
Siska - Jakarta
56 diffa edisi 18 - Juni 2012
konsultasi kesehatan
Did
i Pur
nom
o
Ibu Siska,
PERTAMA, saya ingin
membesarkan hati Ibu.
Walaupun putri Ibu
tidak dapat melihat sama
sekali, ia tetap masih
dapat dilatih mengerjakan hampir
semua kegiatan yang dapat dilaku-
kan oleh anak lain sebaya dan tidak
terganggu penglihatannya.
Mengenai perkiraan penyebab
dan tindakan pencegahan berikutnya,
sebaiknya Ibu menghubungi
dokter spesialis mata anak, bila
memungkinkan dokter spesialis
anak dan dokter spesialis kandungan.
Sekadar data, penyebab kebutaan
pada anak antara lain ambliopi (retina
lepas), katarak, glaucoma, dan per-per-
tumbuhan abnormal retina pada bayi
yang lahir prematur.
Mengapa putri Ibu belum bisa
tengkurap dan meraih sesuatu di de-
pannya walaupun lengan dan tungka-
inya bisa bergerak? Karena bayi yang
tidak dapat melihat sama sekali akan
mempunyai hambatan dalam belajar
menggunakan anggota tubuhnya.
Hal ini karena bayi yang tidak dapat
melihat tidak mengetahui kejadian
di sekitarnya, tidak mengetahui ada
posisi telentang dan tengkurap, bagai-
mana menggunakan bagian tubuh,
cara orang miring, cara dari telentang
ke tengkurap, dari tengkurap ke te-
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 56 5/22/12 7:24 PM
57diffa edisi 18 - Juni 2012
Ferial Hadipoetro Idris
Doktor Ilmu Kedokteran FKUI, Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi USTH Philippines, Magister Faal dan Kesehatan Olahraga Pasca UNPAD, dokter FKUI. Dosen/Narasumber/Saksi Ahli bidang Rehabilitasi Medik dan RBM (Rehabilitasi Bersum-berdaya Masyarakat). Pendiri dan Ketua PSIKI (Pusat Studi dan Informasi Kecacatan Indonesia). Koordinator Pemberdayaan Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia)
Did
i Pur
nom
o
lentang, cara merangkak, cara duduk,
berdiri, berjalan, dan sebagainya.
Bayi yang tidak dapat melihat
tidak mengetahui cara meraih benda,
menyentuh, meraba, memungut, me-
megang, dan menggunakan benda.
Tidak dapat mengetahui anggota
keluarga dan orang lain, cara ber-
komunikasi dengan mimik wajah, dan
sebagainya. Karena itu, bayi dengan
gangguan penglihatan tidak akan bisa
mem-
pelajari keja-
dian atau kegiatan di sekitarnya bila
tidak dibantu dengan menjelaskan
dan melatihnya.
Jadi, rangsanglah putri Ibu untuk
mempelajari hal-hal baru. Tunjukkan
kasih sayang dengan memberikan
waktu lebih banyak bersamanya.
Tunjukkan Ibu senang bila anak telah
berhasil mempelajari hal baru dengan
cara mengatakan secara lembut,
dengan dekapan, sentuhan hangat,
dan sebagainya.
Bayi yang tidak dapat melihat
mempelajari dunia sekelilingnya
deng an meraba, mendengar, men-
cium, dan menjilat.
Larang-
an hanya
dilakukan bila
anak mengerjakan
hal-hal yang dapat mencederai
dirinya. Apa yang diajarkan? Ajarkan
secara bertahap sesuai dengan umur
perkembangannya, menyusu, makan,
mendengar, dan mengenal anggota
keluarga. Ajarkan anak mendengar
dan mengetahui suara-suara di sekitar.
Ajarkan anak mengenal orang dari
suaranya. Misalnya, “Ini kakakmu Sri
yang sedang bicara,” sambil mendekat-
kan wajah yang sedang bicara ke si
anak sehingga ia dapat merabanya.
Demikian juga dalam hal gerakan.
Ajarkan anak bertepuk tangan secara
pelan, keras, cepat, dan lambat. Letak-
kan tangan Ibu di atas tangan anak
dan ajarkan anak untuk mendengar-
kan. Buatlah bermacam-macam bunyi
seperti meniup, bersiul, bunyi gerakan
lidah, atau bunyi gerakan jari. Suruh
anak mendengar dan menirukan
bagaimana cara membuat bunyi terse-
but dengan meraba gerakan mulut
dan tangan Ibu.
Anak sering mudah takut men-
dengar sesuatu yang asing karena
tidak dapat melihat. Bila dia sedang
ketakutan, peluklah dan jelaskan itu
suara apa. Bicaralah sesering mungkin
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 57 5/22/12 7:24 PM
58 diffa edisi 18 - Juni 2012
kepada anak sehingga mengetahui
bahwa Ibu berada di dekatnya dan
memberikan rasa aman.
Ajarkan anak berbicara. Anak
tunanetra tidak dapat melihat gerakan
bibir orang yang sedang berbicara,
karena itu biasanya perkembangan
bicaranya terlambat dan perlu dilatih.
Letakkan tangan anak pada mulut Ibu
waktu berbicara agar anak merasakan
gerakan bibir dan aliran udara keluar-
masuk mulut dan hidung. Setiap kali
anak memegang benda, sebutkan
namanya. Setiap berbicara, sebutlah
namanya, karena kalau tidak demiki-
an dia tidak akan tahu Ibu berbicara
dengannya.
Ajarkan mengenal rasa gerak
de ngan cara anak dipangku dan
dibiarkan meraba gerakan kepala dan
lengan Ibu ketika berbicara. Anak
digendong dan Ibu berjalan. Anak
berdiri di pangkuan dan digoyang-
goyangkan.
Kalau umurnya sudah cukup,
ajarkan merangkak. Peganglah anak
yang bertumpu pada kedua lutut
dan tangannya serta rangsanglah
agar anak mau bergerak maju den-
gan membunyikan bunyi-bunyian
atau memanggil manggil namanya.
Bila anak telah dapat merangkak,
rangsang lah agar bergerak dan menge-
nal alam sekitarnya. Merangkak juga
mengajar anak menggunakan lengan
dan tungkainya.
Pada saat Ibu mulai mengajarkan
anak berjalan, bicaralah pada anak
bahwa tanah yang diinjak kasar, halus,
berpasir, atau berumput. Ajaklah mera-
sakan tanah yang diinjak dengan kaki
atau tangannya untuk mengetahui
perbedaannya. Ajarkan berjalan deng-
an bantuan/petunjuk tali. Jelaskan
permukaan tanah/lantai yang sedang
diinjak seperti kerikil, lumpur pasir,
atau ubin.
Ajarkan anak berjalan dengan me-
lindungi dirinya, satu tangan di depan
muka dan tangan yang lain meraba
di depan dada. Hal ini diajarkan bila
anak tidak mau bergerak karena takut
membentur benda di depannya.
Ajarkan anak cara jatuh yang aman,
yaitu kepala dan badan diusahakan
tidak membentur dan jatuh bertumpu
pada lengan. Lindungilah anak dari
tempat-tempat yang berbahaya seperti
api, sumur, atau sungai. Buatkan pagar
pengaman di sekitar tempat yang
berbahaya.
Kalau sudah bisa jalan-jalan,
ajarkan anak mengenal lingkungan-
nya. Ajarkan meraba dan memegang
benda-benda. Letakkan tangan Ibu di
atas tangan anak, kemudian rabakan
tangan anak pada permukaan benda,
sehingga ia dapat mengenal benda
tersebut pada saat Ibu menjelaskan.
Kalau bepergian, ajaklah anak menge-
nali/meraba benda-benda di sekitar.
Untuk mengenalkan anak pada
benda yang bergerak seperti binatang,
letakkan tangan Ibu di atas tangan
anak kemudian rabakan pada benda
yang bergerak, sehingga ia dapat mera-
sakan gerakan tersebut. Bantulah anak
mengenal benda-benda dan gunanya.
Berikan benda pada anak agar dapat
mengenal bentuknya seperti apa dan
gunanya untuk apa.
Bila Ibu menganggap anak sudah
siap untuk bergerak sendiri, mintalah
paket pelatihan pada kader Rehabilita-
si Bersumberdaya Masyarakat (RBM).
Anak sebaiknya dapat makan, mi-
num, berpakaian, dan ke toilet tanpa
bantuan orang lain. Biarkan anak
melakukannya sendiri walaupun
sangat lambat. Hal ini akan men-
gakibatkan anak lebih mandiri, lebih
bahagia, dan lebih sehat. Ibu pun jadi
mempunyai waktu untuk menger-
jakan pekerjaan lain.
Berikanlah kesempatan seluas-
luasnya agar bayi dan anak bermain
untuk mengembangkan diri. Sebab,
sekali lagi, anak dengan gangguan
penglihatan dapat berkembang mela-
lui permainan meraba, mendengar,
mencium, menjilat, dan merasakan.
Melalui permainan juga anak dapat
mengembangkan kemampuan
berbicara, belajar, dan bergerak.
Melalui permainan, anak belajar
berperilaku seperti anak lainnya.
Anak dengan gangguan pengli-
hatan harus sekolah seperti anak lain.
Secara garis besar banyak tunanetra
yang sudah meraih gelar sarjana, bah-
kan master dan doktor. Modal utama
ialah tekad yang tinggi dan dukungan
keluarga serta orang lain di sekitarnya.
Ini yang disebut aksesibilitas non-fisik.
Artinya, memberikan kemudahan
agar anak dapat mempelajari sesuatu.
Bila telah besar, anak diwajibkan
pula mengerjakan pekerjaan di rumah
seperti anak lain. Bila anak telah
dewasa ia dapat belajar bekerja dan
mencari penghasilan sendiri. Apabila
Ibu ingin panduan lebih detail, sudah
tersedia buku-buku manual Rehabili-
tasi Bersumberdaya Masyarakat untuk
keluarga. Antara lain Ibu bisa meng-
hubungi Pusat Studi dan Informasi
Kecacatan Indonesia (PSIKI).
Juga banyak banyak lembaga
tunanetra atau disabilitas yang mem-
berikan pelayanan assesmen terha-
dap keluarga yang dianugerahi anak
penyandang disabilitas, seperti Mitra
Netra dan Rawinala. Mendapat tuntu-
nan dari ahli dan berkumpul bersama
orang-orang tua lain yang memiliki
persoalan sama akan memberikan
pengetahuan dan dorongan semangat
bagi Ibu. Jangan berputus asa, karena
kesempatan begitu luas. n
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 58 5/22/12 7:24 PM
pindai
SEPASANG suami-istri
membuat rumah belajar un-
tuk anak-anak jalanan kota
Bandung, termasuk anak
penyandang disabilitas.
Niat tulus, bagaimana
pun bentuknya, selalu
memberi arti.
Rumah Belajar
Tabo di Jalan Dago
Pojok, Bandung, Jawa
Barat, mulai dirintis
tahun 2002. Saat itu
rumah belajar ini
belum memiliki nama.
Rumah ini bermula
dari pendidikan anak-
anak jalanan kota
Bandung.
Kemudian pada
tahun 2003 Rahmat
Jabaril mendirikan
Rumah Belajar Tabo
bersama sang istri, Ika Ismurdyahwati,
dengan satu teman dari Jerman, Sabi-
neu Muller. Mereka membuka kursus
gratis bagi anak-anak yang berminat
belajar. Nama “Tabo” diambil dari
istilah yang dikemukakan ahli psiko-
analisa Sigmund Freud dalam salah
satu bukunya. Tabo berarti larangan.
“Larangan dalam kata ini berarti laran-
gan untuk tidak belajar,” ujar Rahmat
Jabaril.
Rahmat Jabaril dan kawan-kawan
melibatkan anak-anak muda, teruta-
ma mahasiswa yang berminat men-
jadi relawan di Rumah Belajar Tabo.
Mereka mulai mencoba mendekati
masyarakat sekitar dengan menga-
dakan berbagai kegiatan di daerah
Dago. Kegiatan itu bermula dari acara
kegiatan Agustusan. Dari keterlibatan
dalam Agustusan itu mulailah Rumah
Belajar Tabo dikenal masyarakat
sekitar.
Konsep dan HambatanMenurut Rahmat Jabaril, konsep
pendidikan yang dirintis Rumah
Belajar Tabo memiliki dua falsafah.
Pertama, belajar tidak mengenal batas.
Tempat Belajar Semua Anak
Rumah Belajar Tabo
Kedua, di Rumah Belajar Tabo guru
dengan murid sama-sama sebagai
subjek pendidikan.
Rumah Belajar Tabo melawan
konsep pragmatisme dalam pendi-
dikan. Dalam
pandangan
kebanyakan orang,
belajar untuk
memiliki ijazah. Di
rumah belajar ini
ijazah bukanlah
tujuan. Rumah
Belajar Tabo juga
melawan kon-
sep birokratisme.
Menurut Rahmat
Jabaril, kehidu-
panlah yang harus
dijadikan pembe-
lajaran. “Apa pun
yang terjadi dalam
lingkungan dan
kehidupan kita,
itulah pembelajaran.”
Tidak kalah penting, Rumah
Belajar Tabo memandang semua anak
sama. Artinya, semua anak memiliki
hak pendidikan yang sama tanpa
memandang latar belakang budaya,
agama, ras, gender, disabilitas, dan
sebagainya. Dari falsafah inklusif terse-
but, semua anak termasuk anak-anak
disabilitas, bisa belajar dengan leluasa
di rumah belajar ini.
Untuk mencapai pendidikan
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 59 5/22/12 7:24 PM
yang bermutu tentu membutuhkan
proses dan pasti menghadapi berbagai
hambatan. Begitu pula Rumah Belajar
Tabo. Salah satu hambatan utama
pada awal berdirinya adalah ketidak-
setujuan masyarakat akan keberadaan
rumah belajar ini. Karena sebagian
masyarakat menganggap Rumah
Belajar Tabo memiliki misi-misi
tertentu untuk anak-anak di daerah
Dago. Bahkan sempat beredar rumor
dan provokasi negatif tentang Rumah
Belajar Tabo.
Selain itu ada beberapa kelompok
dan ormas agama yang berpura-pura
ingin membantu, padahal hanya
ingin menjalankan misi kelompoknya.
Namun, seiring dengan perjalanan
waktu, hambatan-hambatan tersebut
dapat diatasi. Rumah Belajar Tabo bisa
membuktikan kepada masyarakat
sekitar mereka murni ingin berbuat
sesuatu untuk pendidikan anak-anak
marginal.
Warna InklusifRumah Belajar Tabo yang hanya
bermula dari kursus bimbingan belajar
gratis mulai merambah ke dunia kur-
sus melukis dan kursus Paket C gratis
bagi anak-anak jalanan yang ingin
mengikuti ujian nasional. Termasuk
anak-anak penyandang disabilitas.
Tidak banyak lembaga sosial yang
dapat menampung minat dan bakat
anak-anak penyandang disabilitas.
Rumah Belajar Tabo menerima anak-
anak penyandang disabilitas sebagai
manusia seutuhnya yang mampu
mengaktualisasikan bakat dan minat.
Terutama dalam mengekspresikan
emosi-emosi positif lewat lukisan,
belajar bersama, dan melakukan keg-
iatan positif lainnya.
Anak-anak penyandang disabilitas
yang belajar di Tabo mayoritas pe-
nyandang tunadaksa. Mereka belajar
setiap hari Minggu, karena di hari
biasa melakukan aktivitas lain, sep-
erti sekolah atau bekerja.
Mereka ikut belajar di
tempat ini dengan hara-
pan memperoleh ilmu
dan pengalaman yang
tidak didapatkan di luar.
Anak-anak penyan-
dang disabilitas ini men-
gaku merasakan banyak
kemajuan setelah belajar
di komunitas ini. Mereka
mampu mengoptimal-
kan potensi. Motorik
halus mereka, terutama
anak tunadaksa, men-
galami kemajuan. Emosi-
emosi negatif di-manage
dengan baik dan di sal-
urkan pada hal positif seperti melukis,
bermain musik, dan bersosialisasi.
Gaya belajar yang diterapkan
kepada penyandang disabilitas di Tabo
lebih difokuskan pada pengenalan ter-
hadap diri sendiri. Belajar meningkat-
kan kemampuan, tanpa memikirkan
ijazah. Selain itu, mengikuti pembe-
lajaran di Tabo tidak dipungut biaya.
Meskipun gratis, tidak mengesamping-
kan kualitas pembelajaran.
Menurut salah seorang maha-
siswa yang menjadi pengajar di Tabo,
anak-anak penyandang disabilitas san-
gat semangat dan riang mendapatkan
pelajaran baru. Hal tersebut sejalan
dengan ungkapan salah satu murid,
Jefri. “Senang banget belajar di Tabo.
Soalnya guru-gurunya baik, mengerti
kebutuhan kita,” katanya.
Sesudah belajar di Tabo, banyak
anak yang yang bisa mengembang-
kan bakat, bahkan dalam perlombaan
bergengsi. Contohnya dalam hal
lomba melukis. Anak-anak Tabo yang
masih duduk di jenjang SD umum-
Foto
-foto
: Ner
a In
san
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 60 5/22/12 7:24 PM
nya mampu mengukir prestasi lebih
baik dibanding dengan teman-teman
sebaya.
Menyebarkan SemangatKini Rumah Belajar Tabo, yang
hanya bermula dari kursus bimbingan
belajar gratis, mulai merambah berb-
agai kegiatan. Selain kegiatan kursus
melukis, kini ada dan kursus Paket
C gratis bagi anak-anak jalanan dan
penyandang disabilitas yang ingin
mengikuti ujian nasional.
Selain itu, Rumah Belajar Tabo
juga mulai mengembangkan seman-
gat inklusif ke kampung-kampung
lain. Mereka ingin semangat inklusif
berkembang di masyarakat umum
agar pendidikan bisa menyentuh
semua anak, termasuk anak-anak
disabilitas. Untuk itu, Rumah Belajar
Tabo mengadakan festival kampung,
antara lain di daerah Cicadas, Ciroyom,
dan Leuwi Panjang.
Pesan Rahmat Jabaril, pendidikan
bukan alat untuk tipu-tipu. “Pendidi-
kan harus menjadi ruang yang mampu
menciptakan semua anak dan pelaku
pendidikan mengenali siapa
dirinya,” katanya. Benar! n Nera
Insan Nurfadilah
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 61 5/22/12 7:24 PM
62 diffa edisi 18 - Juni 2012
Foto
: Sig
it D
Pra
tam
a
Bisikan Angin
ANGGIE Regina
Anandari bisa disebut
artis multitalenta.
Selain penyanyi, dara
cantik kelahiran Pon-
tianak ini pemain sinetron, aktris layar
lebar, presenter, dan bintang iklan.
Awal kariernya di dunia tarik suara
ketika dia mengikuti ajang Asia Bagus
1999. Di tengah segudang kesibukan
sebagai artis, Anggie tetap memen-
tingkan pendidikan. Dia sudah meraih
gelar sarjana psikologi dan berniat
melanjutkan kuliah ke jenjang S2.
Sore itu diffa bertemu dengan
Anggie karena adiknya, Filma, yang
biasa dipanggil Iim, akan dipotret
untuk cover diffa edisi Juni 2012. Sang
adik penyandang down syndrome.
Anggie datang mengantar Iim ber-
sama sang bunda, Herlina.
Keberadaan sang adik membuat
Anggie sejak kecil sudah terbiasa
dengan dunia disabilitas. Anggie
mengakui, awal mengetahui adiknya
menyandang down syndrome, ia
dan keluarga sangat terkejut. Sebab,
dalam sejarah keluarga mereka tidak
ada penyandang disabilitas seperti
itu. Tapi kemudian mereka sadar, sang
adik adalah manusia spesial yang
dianugerahkan dan dititipkan Tuhan
kepada mereka. “Kami belajar ten-
tang disabilitas. Bahkan kemudian
saya mengambil kuliah di psikologi,”
ujarnya.
Iim terlihat sangat dekat dengan
Anggie. Anggie sangat sayang pada
sang adik. Kalau jalan jalan ke tempat
Anggie
hiburan, Iim pasti ikut kakaknya.
Anggie juga tidak merasa malu
memperkenalkan adiknya kepada
teman-temannya. Dan teman-
tamannya banyak yang suka Iim.
“Mukanya yang polos dan imut itu
bikin gemes,” ujar Anggie.
Kedekatan dua bersaudara ini
terlihat selama sesi pemotretan. Iim
ceria memeluk sang kakak. Ang-
gie pun memeluk adiknya dengan
penuh kasih.
Seusai pemotretan, Anggie men-
gatakan ingin sekali berpartisipasi
dalam Lomba Cipta Lagu Penyandang
Disabilitas (LCLPD) yang akan digelar
majalah diffa. Sebab, ajang tersebut
dapat menggugah semangat para
penyandang disabilitas untuk terus
mengembangkan potensi. “Saya siap
membantu,” ujarnya tulus.
n Lutfi Anandika
Siap Membantu
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 62 5/22/12 7:24 PM
Menulis dengan Hati
63diffa edisi 18 - Juni 2012
Foto
: Nes
tor
Ahmad Tohari
DI usia 63 tahun, Ahmad Tohari, penu-
lis novel trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk, Lintang Kemukus Dinihari,
Jentera Bianglala, masih terlihat
segar, sehat, kalem, ramah, dan san-
tun, sebagaimana ia dikenal dari dulu.
Mas Tohari, begitu ia biasa dipanggil sebagian
teman dekatnya, diminta kelompok penulis Cendol -
Secoteng jadi pembicara dalam workshop penulisan
bertema “Budaya Lokal dan Sastra” di Purawisata,
Yogyakarta, akhir April 2012. Ia tampil bersama penga-
rang dan penulis skenario Nestor Rico Tambunan.
Dengan gaya kalem dan kebapakannya yang khas,
Mas Tohari bercerita tentang proses kreatif menulis
karya triloginya yang terkenal, diterjemahkan di ber-
bagai negara, dan belum lama ini difilmkan. “Tujuan
saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk adalah mela-
hirkan. Karena saya sudah hamil selama 15 tahun,”
katanya.
Ia lalu bercerita betapa peristiwa
huru-hara G30S tahun 1965 men-
imbulkan guncangan yang hebat
dalam dirinya. Ia melihat langsung
pembunuhan – pembunuhan
yang dilakukan bangsa ini terha-
dap sesama sebangsa sendiri. Ia
merasa bangsa ini telah kehilangan
rasa sopan dan kemanusiaan. Ia
marah. Dan ia menunggu pengarang-
pengarang menulis tentang peristiwa
itu. “Akhirnya saya tulis sendiri. Trilogi
ini saya tulis selama lima tahun, dari
tahun 80 sampai 85. Jadi, novel
ini sebenarnya pemberon-
takan. Novel Ronggeng
Dukuh Paruk ini penderi-
taan kita semua,” katanya.
Selama bercerita ia berkali-
kali menghapus air mata.
Tapi ayah lima ini mengaku
sangat bersyukur, novel yang menceritakan penderi-
taan itu memberi rezeki tak terukur bagi keluarganya.
“Alhamdulillah, sudah 31 tahun dan berkali-kali dicetak
ulang. Novel itu mengentaskan kelima anak saya
menjadi sarjana, tiga di antaranya jadi doktor,” ujarnya,
lagi-lagi dengan haru. Ia memang seniman yang penuh
perasaan.
n Nestor
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 63 5/22/12 7:24 PM
biografi
Did
i Pur
nom
o
Did
i Pur
nom
o
64 diffa edisi 18 - Juni 2012
ANNE SULLIVANGuru dan Pendamping Helen Keller
Anne Sullivan adalah tokoh paling penting di balik kesuksesan dan nama besar Helen Keller. Ia mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk Helen Keller. Dan Helen Keller men-cintainya lebih dari siapa pun.
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 64 5/22/12 7:24 PM
65diffa edisi 18 - Juni 2012
ANNE Sullivan berna-
ma lengkap Johanna
Mansfield Sullivan.
Ia lahir di Feeding
Hills, Massachusets,
Amerika Serikat, 14 April 1866. Anne
mempunyai tiga saudara kandung,
yaitu Jimmie, Ellen, dan Mary.
Kedua orang tua Anne, suami-istri
Thomas Sullivan dan Alice Cloesy
Sullivan, adalah pasangan imigran
Irlandia yang buta huruf dan miskin.
Begitu miskin mereka, hingga tidak
sanggup merawat anak-anak mereka
dengan layak. Mungkin karena ke-
miskinan itu pula, saat Anne berumur
5 tahun kehilangan sebagian besar
penglihatannya karena penyakit tra-
choma yang tidak segera ditangani.
Saat Anne menginjak usia 12 ta-
hun, ibunya meninggal dunia karena
penyakit tuberculosis. Sepeninggal
ibunya, Anne diabaikan oleh ayah-
nya. Dia dan Jimmie dikirim ke sebuah
panti di Tewksbury dan tinggal di sana
selama 4 tahun. Tahun 1880, saat ma-
sih tinggal di panti, Jimmie meninggal
dunia. Anne lalu dikirim ke Perkins
School for the Blind, sekolah tunanetra
tertua di Amerika Serikat. Di sekolah
itu Anne dilatih untuk menjadi guru
bagi anak-anak tunanetra.
Ketika bersekolah di Perkins, dua
kali Anne menjalani operasi mata, se-
hingga memperoleh penglihatannya
kembali. Meskipun tidak sepenuhnya
sembuh, dia kembali dapat membaca
huruf dalam ukuran normal.
Guru Privat HelenPada usia 20 tahun Anne lulus
dari Perkins dan mulai mencari peker-
jaan. Ini hal yang sulit karena kondisi
penglihatannya yang tidak sempurna.
Karena itu, ketika ditawari Michael
Anagnos, Kepala Perkins School for the
Blind untuk mengajar Helen Keller,
dia menerima dengan senang hati,
meskipun belum pernah punya pen-
galaman mengajar anak buta-tuli yang
nyaris bisu.
Di kemudian hari, terbukti me-
milih Anne sebagai guru untuk Helen
adalah keputusan yang tepat. Karena
selain pernah menjadi murid teladan,
Anne pernah mengalami kebutaan
sehingga dapat sangat mengerti apa
yang dirasakan dan dialami Helen.
Anne datang ke rumah keluarga
Keller pada Maret 1887. Itu merupakan
awal bagi hubungan yang harmonis
Anne dan Helen. Sejak itu, sebagai
guru dan pendamping seumur hidup
bagi Helen, Anne tinggal, bekerja, bela-
jar, membantu, dan menemani Helen
ke mana pun dan kapan pun.
Saat pertama mengajar, Anne
memberi Helen hadiah sebuah boneka
dan mengajarinya kata pertama,
yaitu doll. Caranya, Anne menulis
huruf demi huruf di telapak tangan
Helen. Tapi Helen tak bisa menangkap
pelajaran pertamanya itu dan merasa
frustrasi. Helen tidak mengerti bahwa
setiap benda mempunyai sebutan
masing-masing untuk membedakan-
nya dari benda-benda lain. Tapi Anne
tidak putus asa. Dia mengajari Helen
kata berikutnya, yaitu mug, yang
berarti cangkir. Namun Helen masih
tetap tidak mengerti. Dia justru sema-
kin frustrasi dan merusak bonekanya.
Karena Helen nyaris tak bisa
berkomunikasi dan berinteraksi
dengan orang-orang sekitarnya, maka
dia pun tak mengerti apa-apa tentang
sopan santun. Helen menjadi anak
yang berperilaku liar dan pemarah.
Anne kemudian mengajak Helen
tinggal di pondok kecil di pekarang-
an rumah keluarga Keller agar bisa
mengajarinya berperilaku baik. Untuk
tahap awal, perhatian utama Anne
adalah mengajari tata cara makan.
Helen mempunyai kebiasaan yang
buruk, selalu makan dengan tangan,
yang bagi orang Barat dianggap tidak
sopan. Dia mengambil makanan dari
piring-piring orang lain tanpa izin.
Anne harus berjuang keras mengajari
Helen sopan santun.
Namun upaya Anne mengajari
tata cara makan, membiasakan menyi-
sir rambut, dan mengancing sepatu-
nya, justru membuat Helen semakin
sering mengamuk secara tiba-tiba.
Sering kali Anne menghukum Helen
dengan cara menuliskan kata-kata di
telapak tangan Helen. Anne menolak
berbicara pada Helen bila Helen tidak
mau bersikap manis.
Pengalaman satu bulan pertama
Anne mengajar Helen ini di kemudian
hari diabadikan dalam novel Miss
Spitfire: Reaching Helen Keller, yang
ditulis Sarah Miller. Novel ini ditulis
dengan menggunakan sudut pandang
dan sisi emosional Anne saat berjuang
keras menangani Helen.
Anne akhirnya berhasil mem-
buat Helen memahami konsep nama
benda saat mengajaknya memompa
air di halaman rumah. Helen mem-
punyai kenangan abadi tentang
kejadian bersejarah yang menjadi titik
balik hidupnya ini. “Dia meletakkan
tanganku di bawah pancuran. Ketika
aliran air yang dingin menyiram se-
belah tanganku, dia menuliskan kata
‘water’ di telapak tanganku yang satu-
nya lagi. Awalnya lambat, kemudian
semakin lama semakin cepat. Seluruh
perhatianku tertumpah pada gerakan
jari-jarinya. Tiba-tiba aku merasakan
seberkas kesadaran akan sesuatu yang
selama ini terabaikan. Akhirnya aku
memecahkan ‘misteri bahasa’. Aku
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 65 5/22/12 7:24 PM
66 diffa edisi 18 - Juni 2012
mulai mengerti bahwa ‘water’ adalah
nama benda yang dingin dan ajaib
yang mengalir di atas telapak tang-
anku. Kata ‘water’ seolah hidup dan
membangunkan jiwaku; memberi
cahaya, harapan, kesenangan, dan
membebaskan jiwaku!”
Begitulah, berkat kecerdikan, keu-
letan, dan kesabaran Anne, Helen pun
akhirnya dapat memahami konsep
nama benda dan menghubungkan
kata dengan benda. Dia lalu meminta
Anne menuliskan kata “pump” di
telapak tangannya. Dan sepanjang
perjalanan kembali pulang ke rumah,
Helen menyentuh berbagai macam
benda dan meminta Anne menu-
liskan nama-nama benda itu. Anne
juga menuliskan “teacher” di telapak
tangan Helen untuk memberi tahu
bahwa dia boleh memanggil Anne
dengan sebutan itu.
Mampu SekolahSejak saat itu kemajuan Helen
sangat pesat. Kemampuannya belajar
jauh melebihi penyandang bisu-tuli
mana pun saat itu. Itu terjadi tak lama
setelah Anne mengajari Helen mem-
baca (mula-mula dengan huruf Latin
timbul, lalu dengan huruf Braille) dan
menulis (dengan mesin ketik biasa dan
mesin ketik Braille).
Anne juga mengajari Helen cara
“mendengarkan” suara orang lain.
Setiap kali berbicara, Anne meletak-
kan jari-jari Helen di wajah Anne. Ibu
jari diletakkan di pangkal tenggorokan
untuk meraba getaran pita suara, jari
telunjuk diletakkan di bibir untuk
membaca gerak bibir, dan jari tengah
diletakkan di sisi hidung. Dengan cara
itulah Helen merasakan getaran suara
Anne. Di kemudian hari, cara ini tetap
digunakan Helen untuk “mendengar-
kan” perkataan lawan bicaranya.
Pada Mei 1888 Helen mening-
galkan rumah untuk kali pertama,
didampingi Anne. Helen menjalani
pendidikan
di Perkins
Institute for the
Blind sebagai
tamu bagi
Kepala Sekolah
Michael Anag-
nos. Bagi Anne,
ini adalah saat-
saat nostalgia,
karena dulu
pun dirinya
menuntut ilmu
di sekolah yang
sama.
Setamat
dari Perkins,
pada usia 13
tahun, Helen
melanjutkan
pendidikan
ke Wright-
Humason
School for the
Deaf di New
York. Anne
pun mengikuti
Helen pindah
ke New York.
Di sekolah itu
Helen menjadi satu-satunya murid
bisu-tuli. Dengan setia, Anne menyen-
tuh-nyentuhkan jarinya di telapak
tangan Helen membentuk setiap kata
yang ada di buku atau diucapkan oleh
guru. Dengan cara itu Helen bisa me-
nyerap begitu banyak informasi dan
mampu berkomunikasi baik dengan
orang dewasa maupun anak-anak.
Helen yang dulunya tak bisa berba-
hasa lisan sebagai akibat dari kondisi
tulinya, kini bahkan mulai belajar
berbicara.
Hasrat Helen untuk berbicara
akhirnya terwujud pada tahun 1890.
Dia belajar berpidato pada Sarah Fuller
di Horace Mann School for the Deaf,
sekolah tunarungu tertua dan terbaik
di Amerika Serikat. Ini semua adalah
hasil perjuangan Anne yang telah
dengan gigih membuat Helen mampu
berkomunikasi dengan orang lain.
Tahun 1900 Helen melanjutkan
studi di Radcliffe College di Cambridge,
Massachusetts. Ini adalah masa yang
sulit bagi Helen dan Anne. Banyaknya
tugas yang harus dikerjakan Helen
berpengaruh buruk bagi penglihatan
Anne.
Keliling Dunia Selama masa studi di Radcliffe,
Helen mulai menulis kisah hidupnya
yang kemudian diedit oleh John Al-
bert Macy, pengajar dan kritikus sastra
di Harvard University. Berkat bantuan
John pulalah maka buku pertama
Helen The Story of My Life dapat diter-
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 66 5/22/12 7:24 PM
67diffa edisi 18 - Juni 2012
bitkan pada tahun 1903.
Di antara kesibukan membantu
Helen menulis buku itu, cinta bersemi
antara Anne dan John. Mereka berdua
akhirnya menikah pada tahun 1905.
Karena Anne tak mau mening-
galkan Helen, setelah mereka me-
nikah, John ikut tinggal bersama
dengan Anne dan Helen di Wrentham,
Massachusetts. Anne dan John tetap
mendampingi Helen saat pindah ke
Forest Hills, Queens. Di sana, Helen
menggunakan rumahnya sebagai
awal perjuangan untuk The American
Foundation for the Blind, organisasi
yang mempunyai misi untuk meng-
hilangkan kendala, menciptakan
solusi, dan memperbesar kemung-
kinan bagi tunanetra menampilkan
potensi terbaik mereka.
Sayang, pernikahan Anne dan
John tak bertahan lama. Pada tahun
1914 mereka berpisah meskipun tak
pernah secara resmi bercerai. John
menghilang dari kehidupan Anne,
dan sejak itu Anne tak pernah meni-
kah lagi.
Anne kemudian mendampingi
Helen berkeliling dunia untuk mem-
beri kuliah umum di berbagai tempat.
Helen berbicara tentang pengalaman
dan keyakinannya kepada banyak
orang. Karena Helen tak bisa mengu-
capkan kata-kata sejelas orang lain,
maka dalam kuliah itu kalimat-kali-
mat yang diucapkan Helen diulang
kembali oleh Anne. Helen dan Anne
memperoleh banyak penghasilan
dari mengisi kuliah umum di seluruh
dunia itu.
Sejak tahun 1918 permintaan men-
gisi kuliah mulai sepi. Sebagai ganti,
Anne dan Helen melanjutkan per-
jalanan keliling dunia untuk menjadi
bintang utama dalam berbagai pertun-
jukan teater dan film. Cerita yang di-
angkat dalam pertunjukan itu adalah
kisah bersejarah titik tolak kemajuan
Helen saat dia mulai memahami arti
kata “water”.
Peran Anne Sullivan sebagai guru
bagi Helen juga diangkat ke dalam
pementasan drama The Miracle
Worker yang naskahnya ditulis Wil-
liam Gibson. Drama ini menceritakan
perjuang an Anne menembus keter-
asingan yang dialami Helen karena
ketidaktahuan bahasa dan kondisi
buta-tuli, sampai kemudian Helen
memiliki kemampuan berbahasa.
Drama yang sesungguhnya
diproduksi untuk tontonan di televisi
ini dipentaskan di Broadway untuk
kali pertama pada tahun 1957, sebe-
lum akhirnya dijadikan film bergenre
feature pada tahun 1962. Dalam film
ini Anne Sullivan diperankan Anne
Bancroft dan Helen Keller diperankan
Patty Duke. Drama tiga babak yang
diadaptasi dari novel karya Hellen The
Story of My Life ini berhasil mengan-
tarkan Anne Bancroft dan Patty Duke
memenangi Academy Awards untuk
kategori Pemeran Wanita Terbaik dan
Pemeran Pembantu Wanita Terbaik.
Karier akting Helen berlanjut ke
panggung drama vaudeville. Anne
mendampingi Helen selama tur keli-
ling. Dalam tur keliling itu Helen juga
tak absen memberi kuliah. Sebetulnya
Anne tidak menyukai gaya hidup
glamor, berlawanan dengan Helen.
Akhirnya pada tahun 1922 mereka ber-
henti main teater dan film karena tur
keliling semacam itu terlalu melelah-
kan untuk Anne.
Persahabatan AbadiPada tahun 1914 kondisi kesehat-
an Anne, termasuk penglihatannya,
mulai memburuk.
Helen lalu menggaji Polly
Thomson untuk bekerja sebagai
sekretaris pribadinya. Tahun 1922
Anne terserang bronchitis akut
yang membuatnya tak mampu lagi
berbicara kecuali sekadar berbisik.
Kesehatan Anne terus memburuk,
terutama setelah mendengar kabar
kematian John Macy pada tahun 1932.
Meskipun perkawinan mereka sudah
hancur beberapa tahun sebelumnya,
kematian John membuat semangat
hidup Anne meredup. Penglihatan
Anne juga terus memburuk dan pada
tahun 1935 buta total.
Setahun kemudian, tepatnya 20
Oktober 1936, Anne meninggal dunia
di Forest Hills, New York, dalam usia
70 tahun. Abu jenazah Anne kemudi-
an disimpan di Washington National
Cathedral.
Setelah Anne meninggal dunia,
Helen dan Polly pindah ke Arcan
Ridge, di Westport, Connecticut. Di
sanalah Helen menghabiskan sisa
hidupnya. Tahun 1953 Helen mu-
lai kembali menulis buku berjudul
Teacher yang bercerita tentang Anne
Sullivan dari kaca mata Helen Keller.
Buku ini dipublikasikan pertama kali
pada tahun 1955.
Saat Helen meninggal dunia,
tahun 1968, abu jenazahnya ditempat-
kan bersebelahan dengan abu jenazah
Anne. Sebuah simbol persahabatan
dan cinta abadi yang mesra dan indah
antara guru dan murid.
Kini tempat peristirahatan ter akhir
Helen dan Anne menjadi tempat
wisata yang terkenal. Di sana ada
sebuah piagam perunggu yang ditulis
dengan huruf Braille: “Helen Keller
dan pendamping tercintanya, Anne
Sullivan Macy, dikebumikan dalam
makam di kapel ini”. Kisah mereka
sungguh menggetarkan. Dan, meng-
gugah dunia.
n Mila K. Kamil
Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Anne_Sullivan
http://en.wikipedia.org/wiki/Helen_Keller
http://www.afb.org/braillebug/hkmuseum.asp
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 67 5/22/12 7:24 PM
cermor
Pahala Kapal Kaki
PADA bulan Ramadhan, Pondok
Pesantren Windan mengadakan ke-
giatan pesantren kilat bagi para penyan-
dang disabilitas. Juminten tidak mau
ketinggalan. Selain aktif di kegiatan
pondok, kebetulan ia menjadi organiser di komunitas
para penyandang disabilitas.
Waktunya salat maghrib berjamaah, Juminten
bergegas ke masjid pondok. Nahas, ketika di depan
tempat wudhu Juminten terpeleset dan jatuh. Pak
Kiai pun bergegas menolong Juminten, sambil ber-
kata, “Hati-hati, Nduk, itu licin.”
“Terima kasih, Pak Kiai. Tapi tidak apa-apa, Pak,
cuma sakit sedikit,” sahut Juminten.
Saat itu, tanpa sengaja Juminten melihat ada
kapal, kerak di kulit karena sering dipakai bertumpu,
di lutut, punggung telapak kaki, dan mata kaki Pak
Kiai. Juminten mengira itu lebam. Jangan-jangan Pak
Kiai habis kecelakaan, pikir Juminten.
Selesai salat maghrib, acara dilanjutkan dengan
ramah tamah dan buka bersama. Saat buka bersama
Juminten mendekati Pak Kiai. “Pak Kiai, Bapak se-
dang sakit, ya?” tanyanya.
Jawab Pak Kiai, “Tidak, Nduk, Bapak sehat-sehat
saja.”
Juminten diam sejenak sambil berpikir merang-
kai kalimat yang baik. “Tapi tadi saya lihat di kaki
Bapak ada bekas luka-luka memar, hitam seperti
bekas jatuh atau kecelakaan,” katanya kemudian.
Sejenak Pak Kiai menghentikan makan kemu-
dian melirik ke kakinya sambil tersenyum. “Ini, ya
Jum? Oalah, Nduk, ini bukan bekas luka, melainkan
kapal karena sering dipakai untuk salat. Ini besok
bisa menjadi bukti dan saksi kalau badan ini sering
digunakan untuk salat. Ini ada hitungan pahalanya,”
ujar Pak Kiai.
“Oh, begitu, ya Pak Kiai? Saya juga punya kapal
di kaki, Pak, lebih tebal dan lebih lebar. Tapi bukan
karena sering dipakai untuk salat.”
Pak Kiai menatap Juminten dengan penuh tanda
tanya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut.
“He-he-he... kaki Juminten kapalan karena dipakai
untuk ngesot dan merangkak, Pak.”
Tiba-tiba Pak Kiai tertawa sambil menatap Jumin-
ten. “Wah, itu berpahala juga, Nduk. Karena kaki itu
lulus ujian kesabaran. Dia telah berusaha keras untuk
membantu aktivitas kamu.”
“Ah, Pak Kiai menghibur,” ujar Juminten sambil
tersenyum malu. n
Did
i Pur
nom
o
68 diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 68 5/22/12 7:24 PM
Keranda Kursi Roda
SUATU ketika Juminten diundang mewakili penyandang disabilitas
se-Jawa Tengah dalam Kongres Nasional HAM dan Disabilitas, di
Denpasar, Bali. Setelah lima hari, kongres pun selesai dan Juminten
harus kembali ke kampung halaman.
Saat itu giliran Juminten masuk ke pesawat, karena para
penyandang disabilitas mendapat prioritas yang pertama masuk ke pesawat.
Ternyata di Bandara Ngurah Rai Bali belum ada fasilitas belalai untuk masuk
ke kabin pesawat. Jadi Juminten harus naik tangga. Lumayan, ada 13 anak
tangga. Dia pun bingung setengah mati karena tiba-tiba kakinya kesemutan.
Juminten kemudian bilang kepada petugas bandara yang mendorongnya di
kursi roda, “Mas, maaf ini kaki saya kesemutan, jadi saya tidak bisa jalan naik
tangga.”
Sahut petugas, “Tidak apa-apa, Mbak, nanti saya gendong.”
“Waduh, yang benar saja, Mas. Saya berat banget. Sampean yakin kuat
mengangkat saya seorang diri? Saya 65 kilo, lho. Benar, tidak bohong. Nanti
kalau roboh bagaimana?” ujar Juminten. Padahal, sejujurnya ia malu kalau ha-
rus digendong, apalagi kalau harus digotong-gotong. Ia merasa tidak nyaman
karena menyusahkan orang lain.
Tanpa menyahut atau meninggalkan pesan, Juminten ditinggal di bawah
anak tangga. Petugas bergegas naik ke pesawat kemudian keluar membawa
dua teman awak pesawat. “Ayo, diangkat saja langsung dengan kursi rodanya,”
kata si Petugas.
Tiga petugas itu pun bekerja dengan kompak. Dua orang mengangkat di
kanan dan kiri, satu orang menjaga di belakang jika kursi roda tergelin-
cir ke belakang. Juminten pun sampai di kabin pesawat dengan kursi
rodanya. Sambil tersenyum malu-malu Juminten berkata, “Terima
kasih, Mas. Waduh, ini kursi roda saya bisa jadi keranda, ya Mas.”
“Wah, kalau keranda harus ada kain penutupnya, Mbak,” si
Petugas tertawa sambil melap keringatnya yang bercucuran.
“Tapi diet ide yang bagus untuk dicoba lho, Mbak.”
“Tapi, tidak ada bersyaratan berat maksimal orang naik
pesawat, kan?“ kata Juminten berusaha menutupi rasa
malu. n
n Zipora Purwanti, penyandang disa bilitas daksa pengguna kursi roda, aktivis disabilitas di Solo
Did
i Pur
nom
o
69diffa edisi 18 - Juni 2012
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 69 5/22/12 7:24 PM
Did
i Pur
nom
o
BELUM lama ini diffa
menghadiri pesta perni-
kahan seorang penyan-
dang disabilitas tunane-
tra dengan seorang
wanita penggiat pendidikan inklusif
bagi penyandang disabilitas.
Sepanjang prosesi hari yang baha-
gia itu diffa turut serta dalam setiap
acara, karena kebetulan penyandang
disabilitas ini adik General Manager
Majalah Diffa. Banyak hal mengharu-
kan, terutama dari keluarga yang hadir
pada prosesi adat yang dijalankan. Me-
mang luar biasa pernikahan ini, meng-
gabungkan setidaknya tiga budaya,
yaitu Flores, Jawa, dan Batak, sehingga
banyak hal yang harus dijalankan
seperti pada umumnya pernikahan
lintas budaya.
Jika kita berbicara budaya, ten-
tulah pernikahan ini tidak mudah
terlebih karena pengantinnya penyan-
dang disabilitas. Budaya di Indonesia
masih banyak yang keliru dalam
mempersyaratkan calon menantu.
Seperti ungkapan kesempurnaan, latar
belakang, ekonomi, bibit, bebet, dan
bobot. Jika kita masukkan persyaratan
tersebut ke dalam dunia disabilitas,
tentu ada hal-hal yang tak terpenuhi.
Oleh sebab itu pernikahan ini
boleh dikatakan sesuatu yang menem-
bus keterbatasan, bahkan mendobrak
paradigma budaya yang lazim di In-
donesia. Perjuangan yang sama dalam
mewujudkan pendidikan inklusif di
Indonesia ternyata juga menumbuh-
kan benih cinta di antara kedua insan,
sehingga berujung pada pernika-
han suci. Mungkin tak mudah bagi
pengantin wanita untuk menerima
pengantin pria. Namun, kasih telah
mempersatukan mereka. Setidaknya
itulah yang dikatakan pengantin
wanita ketika kami berbincang pada
saat persiapan.
Seusai acara pernikahan, diffa
menyempatkan bertanya kepada
orang tua pengantin wanita, menge-
nai menantunya yang disabilitas. Sang
ibu berujar, “Kasih mengalahkan se-
galanya! Dan Ibu tidak pernah merasa
aneh. Semua Ibu kembalikan kepada
mereka berdua dan men-
jadi tugas Ibu untuk
menjelaskan ke-
pada keluarga
besar Ibu
yang seba-
gian besar
berlatar
belakang
budaya
Jawa.”
Hal
yang
sama diffa
tanyakan kepada bapak mempe-
lai wanita, yang menjawab, “Saya
seorang akademisi yang puluhan
tahun menjadi pendidik. Wajar awal-
nya saya melihat dari sudut pandang
logika. Namun, dalam pertemuan
kedua dengan menantu saya, saat
itu saya sudah menggunakan mata
batin dan mata hati untuk melihat
calon menantu secara keseluruhan.
Kemudian kami makan bersama dan
saya melihat menantu apa adanya.
Dan seperti kata Ibu, kasih yang lebih
besar dari sekadar cinta itu sempurna,
termasuk dalam menerima siapa pun
apa adanya. Sudah menjadi tugas
Bapak dan Ibu untuk menjadi juru
bicara kepada keluarga besar yang
berlatar belakang budaya Flores dan
Jawa untuk menjelaskan, bahkan tak
jarang berargumentasi, bahwa kasih
tak mengenal disabilitas.
Selamat untuk kedua mempelai,
teruskan perjuangan pendidikan
inklusif di Indonesia. Diffa mendo-
akan keluarga kalian bahagia dan
hanya maut yang memisahkan kalian
berdua.
n Jonna Damanik
70 diffa edisi 18 - Juni 2012
Kasih Menembus Batas Disabilitas
pelangi
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 70 5/22/12 7:24 PM
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 71 5/22/12 7:24 PM
draf diffa edisi 18 Juni 12.indd 72 5/22/12 7:24 PM