luka bakar super duper fixed
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Luka bakar menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi
dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang diperlukan dalam
penanganannya pun relatif tinggi. Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000
orang mengalami luka bakar setiap tahunnya. Dari angka tersebut, 112.000
penderita luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210 penderita
luka bakar meninggal dunis. Di Indonesia, belum ada angka pasti mengenai luka
bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri, angka luka
bakar terseut semakin meningkat (Sjamsuhidajat, 2010).
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan etiologi, kedalaman serta luasnya
luka bakar yang menentukan gejala klinis serta beratnya luka bakar. Luka bakar
menyebabkan terjadinya hipermetabolisme akibat stimulasi sitokin-sitokin
berlebihan yang menyebabkan meningkatnya respons stres akibat proses infeksi.
Proses inflamasi umumnya meningkat segera setelah trauma terjadi dan bertahan
sekitar 5 minggu paska trauma. Respons metabolisme yang terjadi diantaranya
peningkatan suhu, kebutuhan O2, glukosa serta peningkatan produksi CO2.
Komplikasi yang terjadi pada pasien luka bakar antara lain, gagal napas, syok dan
infeksi sistemik ke berbagai organ yang dapat menyebabkan kematian. Seringkali
pasien luka bakar mengalami syok akibat kehilangan banyak cairan atau sepsis,
sehingga diperlukan pemantauan hemodinamik ketat. Tatalaksana penanganan
luka bakar di ruang perawatan intensif harus bersifat holistik yang mencakup
tatalaksana jalan napas dan oksigenasi, resusitasi cairan, pemberian antibiotika,
tatalaksana nutrisi, penanganan nyeri hingga perawatan luka untuk menurunkan
mortalitas (Dzulfikar, 2012)
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka bakar adalah luka yang disebabkan karena pengalihan energi dari
suatu sumber panas kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau
radiasi elektromagnetik. Luka bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar
termal, radiasi atau kimia. (Idris, 1997)
2.2. Etiologi
Etiologi luka bakar dapat dibagi menjadi Scald Burns, Flame Burns, Flash
Burns, Contact Burns, Chemical Burns, Electrical Burns, Frost Bite. (Jeschke,
2007)
2.2.1. Scald Burns
Luka karena uap panas, biasanya terjadi karena air panas, merupakan
kebanyakan penyebab luka bakar pada masyarakat. Air pada suhu 60°C
menyebabkan luka bakar parsial atau dalam dengan waktu hanya dalam 3 detik.
Pada 69°C, luka bakar yang sama terjadi dalam 1 detik. (Jeschke, 2007)
2.2.2 Flame Burns
Luka terbakar adalah mekanisme kedua tersering dari injuri termal.
Meskipun kejadian injuri disebabkan oleh kebakaran rumah telah menurun
seiring penggunaan detektor asap, kebakaran yang berhubungan dengan merokok,
penyalahgunaan penggunaan cairan yang mudah terbakar, tabrakan kendaraan
bermotor dan kain terbakar oleh kompor atau pemanas ruangan juga bertanggung
jawab terhadap luka terbakar. (Jeschke, 2007)
2.2.3. Flash Burns
Flash burns adalah berikutnya yang paling sering. Ledakan gas alam,
propan, butane, minyak destilasi, alkohol dan cairan mudah terbakar lain seperti
aliran listrik menyebabkan panas untuk periode waktu. Flash burns memiliki
distribusi di semua kulit yang terekspos dengan area paling dalam pada sisi yang
terkena. (Jeschke, 2007)
2
2.2.4. Contact Burns
Luka bakar kontak berasal dari kontak dengan logam panas, plastik, gelas
atau bara panas. Kejadian ini terbatas. Balita yang menyentuh atau jatuh dengan
tangan menyentuh setrika, oven dan bara kayu menyebabkan luka bakar yang
dalam pada telapak tangan. (Jeschke, 2007)
2.2.5. Chemical Burns
Luka bakar yang diakibatkan oleh iritasi zat kimia, apakah bersifat asam
kuat atau basa kuat. Kejadian ini sering pada karyawan industri yang memakai
bahan kimia sebagai bagian dari proses pengolahan atau produksinya. Penanganan
yang salah dapat memperluas luka bakar yang terjadi. Irigasi dengan NS (NaCl
0.9%) atau akuabides atau cairan netral lainnya adalah pertolongan terbaik, tidak
dengan cara menetralisirnya. (Jeschke, 2007)
2.2.6. Electrical Burns
Sel yang teraliri listrik akan mengalami kematian yang bisa menjalar dari
sejak arus masuk sampai bagian tubuh tempat arus keluar. Luka masuk adalah
tempat aliran listrik memasuki tubuh, luka keluar adalah tempat keluarnya arus
dari tubuh menuju bumi/ground. Sulit secara fisik menentukan berat ringannnya
kerusakan yang terjadi, mengingat perlu banyak pemeriksaan klinis dan
penunjang lainnya untuk mengevaluasi keadaan penderita. Gangguan jantung,
ginjal, kerusakan otot sangat mungkin terjadi. Besarnya luka masuk atau luka
keluar tidak berhubungan dengan kerusakan jaringan sepanjang aliran luka masuk
sampai keluar. Maka dari itu setiap luka bakar listrik dikelompokan pada derajat
III. (Jeschke, 2007)
2.2.7. Frost Bite
Adalah luka akibat suhu yang terlalu dingin. Pembuluh darah perifer
mengalami vasokonstriksi hebat, terutama di ujung-ujung jari, hidung dan telinga.
Fase selanjutnya akan terjadi nekrosis dan kerusakan yang permanen. Untuk
tindakan pertama adalah sesegera mungkin menghangatkan bagian tubuh tersebut
dengan pemanas dan gerakan-gerakan untuk memperlancar sirkulasi. (Jeschke,
2007)
3
2.3. Zona Kerusakan Jaringan
1. Zona Koagulasi
Daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh panas. (Marzuki, 1993)
2. Zona Statis
Daerah yang berada langsung di luar zona koagulasi, terjadi kerusakan
endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga
terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas
kapiler dan respons inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam
pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan. (Marzuki, 1993)
3. Zona Hiperemi
Daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa
banyak melibatkan reaksi seluler. (Marzuki, 1993)
4
2.4. Fase Luka Bakar
Dalam perjalanan penyakit dibedakan 3 fase pada luka bakar, yaitu :
a. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini problem yang berkisar pada gangguan saluran nafas karena
adanya cedera inhalasi dan gangguan sirkulasi. Pada fase ini juga terjadi gangguan
keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit, akibat cedera termis yang bersifat
sistemik. (Latief dkk, 2001)
b. Fase setelah syok berakhir / diatasi / fase subakut
Fase ini berlangsung setelah syok berakhir / dapat di atasi. Luka terbuka
akibat kerusakan jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya) dapat menimbulkan
masalah, yaitu : (Latief dkk, 2001)
1) Proses inflamasi
a. Proses inflamasi yang terjadi pada luka bakar berbeda dengan luka
sayat elektif; proses inflamasi di sini terjadi lebih hebat disertai
eksudasi dan kebocoran protein.
b. Pada saat ini terjadi reaksi inflamasi lokal yang kemudian berkembang
menjadi reaksi sistemik dengan dilepaskannya zat-zat yang
berhubungan dengan proses immunologik, yaitu kompleks lipoprotein
(lipid protein complex, burn-toxin) yang menginduksi respon
inflamasi sistemik (SIRS = Systemic Inflammation Response
syndrome).
2) Infeksi yang dapat menimbulkan sepsis
Proses penguapan cairan tubuh disertai panas / energi (evaporative
heat loss) yang menyebabkan perubahan dan gangguan proses
metabolisme. (Latief dkk, 2001)
c. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadi maturasi.
Masalah pada fase ini adalah timbul penyulit dari luka bakar berupa parut
hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan
atau organ-organ stuktural, misalnya bouttoniérre deformity. (Latief dkk, 2001)
5
2.5. Patofisiologi
Kulit merupakan barrier yang kuat untuk transfer energi ke lapisan di
bawahnya. Area luka di bagain kulit terbagi menjadi 3 zona, yaitu zona koagulasi,
zona stasis dan zona hiperemia. (Dewi)
1) Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terkena suhu tinggi rusak sel darah yang di
dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
2) Meningkatnya permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan bula
dengan membawa serta elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya
volume cairan intravaskuler. Tubuh kehilangan cairan antara ½ % - 1 %,
“Blood Volume ” setiap 1 % luka bakar. Kerusakan kulit akibat luka bakar
menyebabkan kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang
berlebih (insensible water loss meningkat).
3) Bila luka bakar lebih dari 20 % akan terjadi syok hipovolemik dengan
gejala yang khas yaitu : gelisah, pucat dingin berkeringat, nadi kecil, dan
cepat, tekanan darah menurun dan produksi urine menurun (kegagalan
fungsi ginjal).
4) Pada luka bakar daerah wajah dapat terjadi kerusakan mukosa jalan nafas
karena gas, asap atau uap panas yang terhisap. Gejala yang timbul adalah
sesak nafas, takipneu, stridor, suara serak dan berdahak berwarna gelap
karena jelaga. Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lain.
CO akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga tak mampu
mengikat oksigen lagi. Tanda keracunan yang ringan adalah lemas, 6
bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan berat terjadi koma.
Bila lebih 60 % hemoglobin terikat CO, penderita akan meninggal.
(sunarso)
2.6. Klasifikasi berdasarkan kedalaman luka
Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan
kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, maka semakin luas
dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi. (Idris, 1997)
2.6.1. Luka bakar derajat satu
Ditandai dengan luka bakar superfisial dengan kerusakan pada lapisan
epidermis. Tampak eritema. Penyebab tersering adalah sengatan sinar matahari.
Pada proses penyembuhan terjadi lapisan luar epidermis yang mati akan
terkelupas dan terjadi regenerasi lapisan epitel yang sempurna dari epidermis yang
utuh dibawahnya. Tidak terdapat bula, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi. Dapat sembuh spontan selama 5-10 hari. (Idris, 1997)
2.6.2. Luka bakar derajat dua
Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis dan sebagian dermis dibawahnya,
berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi. Pada luka bakar derajat dua
ini ditandai dengan nyeri, bercak-bercak berwarna merah muda dan basah serta
pembentukan blister atau lepuh.biasanya disebabkan oleh tersambar petir,
tersiram air panas. Dalam waktu 3-4 hari, permukaan luka bakar mengering
sehingga terbentuklah krusta tipis berwarna kuning kecoklatan seperti kertas
perkamen. Beberapa minggu kemudian, krusta itu akan mengelupas karena
timbul regenerasi epitel yang baru tetapi lebih tipis dari organ epitel kulit yang
tidak terbakar didalamnya. Oleh karena itu biasanya dapat terdapat penyembuhan
spontan pada luka bakar superfisial atau partial thickness burn. (Idris, 1997)
7
Gambar. 1 Luka ini digolongkan ke dalam luka bakar derajat dua, karena
epidermis berada diatas luka
Dibedakan menjadi 2 (dua):
a. Derajat II dangkal (superfisial)
1. kerusakan mengenai sebagian superfisial dari dermis
2. apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjer keringat, kelenjer sebasea
masih utuh penyembuhan terjasi spontan dalam waktu 10-14 hari. (Idris,
1997)
b. Derajat II dalam (deep)
1. kerusakan mengenai hampir saluruh bagian dermis
2. apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjer keringat, kelenjer sebasea
sebagian masih utuh.
3. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa.
Biasanya terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan. (Idris, 1997)
8
Gambar.2 ;luka bakar derajat dua dalam, luka berwarna merah muda, lunak pada
penekanan, dan tampak basah, sensasi nyeri sulit ditentukan pada anak.(sunarso)
2.6.3. Luka bakar derajat tiga
Terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan kulit. Meskipun tidak seluruh
tebal kulit rusak, tetapi bila semua organ kulit sekunder rusak dan tidak ada
kemampuan lagi untuk melakukan regenerasi kulit secara spontan/ reepitelisasi,
maka luka bakar itu juga termasuk derajat tiga. Penyebabnya adalah api,
listrik,atau zat kimia. Mungkin akan tampak berwarna putih seperti mutiara dan
biasnya tidak melepuh, tampak kering dan biasanya relatif anestetik. Dalam
beberapa hari, luka bakar semacam itu akan membentuk eschar berwarna hitam,
keras, tegang dan tebal. (Idris, 1997)
9
Gambar.3 ;luka bakar derajat tiga, luka kering tidak kemerahan dan berwarna
putih
Selama periode pasca luka bakar dini sampai 5 hari, akan sulit untuk
membedakan luka bakar derajat dua atau tiga, tetapi pada minggu kedua sampai
minggu ketiga pasca luka bakar di mana tampak drainase dan eschar yang terpisah
dari luka bakar derajat tiga. Setelah eschar diangkat, sisa jaringan dibawahnya
(biasanya lapisan subkutan) akan membentuk jaringan granulasi, suatu massa
yang terdiri dari sel-sel fibroblas dan jaringan penyambung yang kaya pembuluh
darah kapiler. Permukaan jaringan granulasi yang berwarna merah tua itu
terbentuk setelah 21 hari, dan dalam waktu 1 sampai 2 minggu kemudian
sebaiknya dilakukan skin graft. (Idris, 1997)
Gambar 4 Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalaman luka
10
Klasifikasi Penyebab Penampakan luar SensasiWaktu
penyembuhan
Jaringan
parut
Luka bakar
dangkal
(superficial
burn)
Sinar UV,
paparan
nyala api
Kering dan
merah; memucat
dengan
penekanan
Nyeri 3 – 6
hari
Tidak
terjadi
jaringan
parut
Luka bakar
sebagian
dangkal
(superficial
partial-
thickness
burn)
Cairan atau
uap panas
(tumpahan
atau
percikan),
paparan
nyala api
Gelembung berisi
cairan,
berkeringat,
merah; memucat
dengan
penekanan
Nyeri bila
terpapar
udara dan
panas
7-20 hari Umumnya
tidak
terjadi
jaringan
parut;
potensial
untuk
perubahan
pigmen
Luka bakar
sebagian
dalam
(deep
partial-
thickness
burn)
Cairan atau
uap panas
(tumpahan),
api, minyak
panas
Gelemb-text-
color; border-
style: none solid
solid none;
border-width:
medium 1pt
1ptung berisi
cairan (rapuh);
basah atau kering
berminyak,
berwarna dari
putih sampai
merah; tidak
memucat dengan
penekanan
Terasa
dengan
penekanan
saja
>21 hari Hipertrofi,
berisiko
untuk
kontraktur
(kekakuan
akibat
jaringan
parut yang
berlebih)
11
Luka bakar
seluruh
lapisan
(full
thickness
burn)
Cairan atau
uap panas,
api,
minyak,
bahan
kimia,
listrik
tegangan
tinggi
Putih berminyak
sampai abu-abu
dan kehitaman;
kering dan tidak
elastis; tidak
memucat dengan
penekanan
Terasa
hanya
dengan
penekanan
yang kuat
Tidak dapat
sembuh (jika
luka bakar
mengenai
>2% dari
TBSA)
Risiko
sangat
tinggi
untuk
terjadi
kontraktur
Tabel 2 Klasifikasi kedalaman luka bakar (Sunarso)
2.7. Perhitungan Luka Bakar
Walaupun hanya perkiraan saja , the rule of nine, tetap merupakan petunjuk
yang baik dalam menilai luasnya luka bakar: kepala, 7 persen, dan leher, 2 persen
sehingga totalnya 9 persen. Setiap ekstrimitas atas, 9 persen : dan bagian
anterior,2 x 9 persen. Badan bagian posterior, 13 persen, dan bokong 5 persen,
sehingga total 18 persen: dan setiap ekstrimitas bawah, 2 x 9 : dan genitalia , 1
persen. (Syaifudin, 2006)
12
Gambar 5. Perhitungan luas luka bakar berdasarkan Rule of Nine oleh Wallace
Untuk area luka bakar yang tersebar kita dapat memperkirakan
persentasenya dengan menggunakan tangan dengan jari-jari pasien, dimana jari-
jari dalam keadaan abduksi, dimana sama dengan kurang lebih 1 persen dari total
luas permukaan tubuh pasien. (Syaifudin, 2006)
Pada anak-anak terdapat perbedaan dalam luas permukaaan tubuh, yang
umumnya mempunyai pertimbangan lebih besar antara luas permukaan kepala
dengan luas ekstrimitas bawah dibandingkan pada orang dewasa. Area kepala
luasnya adalah 19 persen pada waktu lahir (10 persen lebih besar daripada orang
dewasa). Hal ini terjadi akibat pengurangan pada luas ekstrimitas bawah, yang
masing-masing sebesar 13 persen. Dengan bertambahnya umur setiap tahun,
sampai usia 10 tahun, area kepala dikurangi 1 persen dan jumlah yang sama
ditambah pada setiap ekstrimitas bawah. Setelah usia 10 tahun, digunakan
persentase orang dewasa. (Syaifudin, 2006)
Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi karena
luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan
13
kaki lebih kecil. Oleh karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-
15-20 dari Lund dan Browder untuk anak. (Syaifudin, 2006)
Area
Lahir-1
tahun
1 – 4
tahun
5 – 9
tahun
10 – 14
tahun
15
tahun dewasa2nd*3rd* TBSA
Kepala 19 17 13 11 9 7
Leher 2 2 2 2 2 2
Badan bagian depan 13 13 13 13 13 13
Badan bagian
belakang
13 13 13 13 13 13
Pantat kanan 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
Pantat kiri 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
Genitalia (kemaluan) 1 1 1 1 1 1
Lengan kanan atas 4 4 4 4 4 4
lengan kiri atas 4 4 4 4 4 4
Lengan bawah kanan 3 3 3 3 3 3
Lengan bawah kiri 3 3 3 3 3 3
Tangan kanan
(telapak tangan
depan dan punggung
tangan)
2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
Tangan kiri (telapak
tangan dan punggung
tangan)
2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
Paha kanan 5.5 6.5 8 8.5 9 9.5
Paha kiri 5.5 6.5 8 8.5 9 9.5
Betis kanan 5 5 5.5 6 6.5 7
Betis kiri 5 5 5.5 6 6.5 7
Kaki kanan (bagian 3.5 3.5 3.5 3.5 3.5 3.5
14
tumit sampai telapak
kaki)
Kaki kiri 3.5 3.5 3.5 3.5 3.5 3.5
Total:
*derajat dua saat ini merupakan luka bakar sebagian baik dangkal maupun dalam;
derajat 3 sebagai luka bakar seluruh lapisan (full-thickness)
Tabel 3. Penilaian luas area tubuh menurut Lund and Browder
Berdasarkan berat-ringannya luka bakar (American Burn Association):
I. Luka Bakar Berat ( Major Burn Injury )
Derajat II, terbakar >25% area permukaan tubuh pada dewasa
Derajat III, terbakar >25% area permukaan tubuh pada anak-anak
Derajat III, terbakar >10% area permukaan
Kebanyakan meliputi tangan, muka, mata, telinga, kaki atau perineum
Kebanyakan pasien meliputi :
- Luka inhalasi
- Luka elektrikal
- Luka bakar dengan komplikasi trauma
II. Luka Bakar Sedang
Derajat II, terbakar 15-25% area permukaan tubuh pada dewasa
Derajat II, terbakar 10-20% are permukaan tubuh pada anak-anak
Derajat III, terbakar <10% area permukaan tubuh.
III. Luka Bakar Ringan
Derajat II, terbakar <15% area permukaan tubuh pada dewasa
Derajat II, terbakar <10% area permukaan tubuh pada anak-anak
Derajat III, terbakar <2% area permukaan tubuh.(1)
2.8. Penatalaksanaan
15
2.8.1 Pre-hospital
1. Sedapat mungkin penanganan ABC (sesuai ATLS)
2. Jauhkan dari sumber luka bakar
3. Ingatkan pada orang yang terbakar jangan lari atau berdiri karena api
akan lebih besar
4. Padamkan api dengan disiram air, tutup kain basah atau berguling
5. Bilas dengan air jika luka bakar kimiawi, jangan dengan anti karena akan
timbul reaksi → panas
6. Trauma listrik → putuskan aliran
7. Pada keracunan CO biasanya karena terjebak dalam ruangan tertutup,
timbul gejala seperti pusing, sakit kepala dan muntah-muntah, terapi
dengan oksigen murni
8. Lepaskan pakaian dan perhiasan
9. Early cooling, siram air
10. Jangan es/ice-pack !
11. Luka bakar kimia : irigasi sebanyak-banyaknya, jangan netralisir.
12. Luka bakar listrik : padamkan sumber, gunakan non-conducting.
(Syaifudin, 2006)
2.8.2. Penanganan di Emergensi
Tindakan penyelamatan jiwa sesuai dengan prosedur ATLS (Advanced
Trauma Life Support). Penanganan:
1. Bebaskan jalan nafas, perhatikan kemungkinan udem laring.
2. Oksigen lembab 5 liter/mnt
3. Resusitasi cairan sesuai formula Baxter-Parkland,
4. Monitoring tanda-tanda vital, diuresis dari waktu ke waktu
5. Pemasangan CVP bila luas luka bakar ≥ 40 %, dengan nilai normal pada
fase akut adalah 0 – 2 cmH20
6. NGT apabila diperlukan,
7. Kateter untuk monitoring diuresis
8. Antitetanus profilaksis
16
9. Antibiotik spektrum luas
10. Analgetik, bila perlu golongan narkotik dengan pengawasan ketat
11. Debridement dalam narkose bila keadaan umum pasien sudah stabil.
Tindakan debridemen dapat diulangi sesuai kondisi pasien
12. Penutupan defek dengan skin grafting
13. Perawatan luka dengan antibiotik topikal (silversulfadiazine, MEBO,dll)
(Syaifudin, 2006)
2.8.3. Indikasi rawat :
1. Derajat 2 > 15% pada dewasa, > 10% pada anak
2. Derajat 2 pada muka, tangan, kaki, perineum, atau persendian
3. Derajat 3 > 2% dewasa, setiap derajat 3 pada anak berapapun luasnya
4. Disertai trauma jalan nafas, luka listrik dan komplikasi lain (Syaifudin,
2006)
a. Indikasi rawat inap :
1. Derajat 2 lebih dari 15% pada dewasa, dan lebih dari 10% pada anak
2. Derajat 2 pada muka, tangan, kaki, perineum
3. Derajat 3 lebih dari 2% pada dewasa, dan setiap derajat 3 pada anak
4. Luka bakar yang disertai trauma visera, tulang, dan jalan napas (Syaifudin,
2006)
b. Perawatan RS
Apabila termasuk kriteria luka bakar sedang dan berat (sesuai American
Burn Association) maka pasien dirawat :
1. Di burn unit bila tersedia
2. Rawat inap biasa/isolasi bila burn unit tidak tersedia
3. Dirawat di ICU sampai kondisinya stabil. Kemudian dapat dipindahkan ke
burn unit bila tersedia.
4. Tindakan definitif berupa
5. Debridement ulang, escarotomi/escarectomy
6. Penutupan defek dengan STSG/FTSG
7. Fisioterapi (Syaifudin, 2006)
17
2.9. Resusitasi Cairan
Formula resusitasi cairan bukan suatu patokan mutlak monitoring klinis dari
waktu ke waktu lebih penting. (David, 2006)
1. Formula Evans-Brooke
1 (0,5) ml / kg BB / % LB darah (koloid)
1 (1,5) ml / kg BB / % LB saline(elektrolit)
2000 ml glukosa
Monitoring : diuresis (>50 (30-50) ml/jam)
CVP (>+2)
Hb – Ht
2. Formula Baxter (Parkland)
4 ml / kg BB / % LB ringer lactate/asetat
Monitoring :
diuresis 50 – 100 ml / jam,
CVP ( > + 2 ),
Hb - Ht
50 % diberikan pada 8 jam pertama
50 % sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya
Waktu dihitung sejak kejadian, bukan saat mulai pemberian cairan.
2.10. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible).
Komponen trias anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.
Cara pemberian anestesi umum :
1. Parenteral (intramuscular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang
singkat atau induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada
kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan
yang lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain.
2. Parekteral. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan
singkat.
18
3. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestesi yang mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik
melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran
gas (dengan oksigen) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan
kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan
parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat. (Latief
dkk, 2001)
Teknik Anestesi Umum
1. INHALASI dengan Respirasi Spontan
a. Sungkup wajah
b. Intubasi endotrakeal
c. Laryngeal mask airway (LMA)
2. INHALASI dengan Respirasi kendali
a. Intubasi endotrakeal
b. Laryngeal mask airway
3. ANESTESI INTRAVENA TOTAL (TIVA)
a. Tanpa intubasi endotrakeal
b. Dengan intubasi endotrakeal
2.10.1. Anestesi Intravena
Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anestesia, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu
prosedur diagnostic misalnya thiopental, ketamin, dan propofol. Untuk anestesia
intravena total biasanya menggunakan propofol. (Latief dkk, 2001)
b. Tiopental
Thiopental (pentotal,tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk
berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam bentuk ampul 500 mg atau
1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam aquades steril sampai kepekatan
2,5% (1 ml = 25 mg). Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan
dosis 3-7 mg/kg disuntikkan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
19
Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena
akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri akan menyebabkan
vasokontriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau hal ini terjadi dianjurkan
memberikan suntikan infiltrasi lidokain. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan
thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi nafas. (Latief dkk, 2001)
Thiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis
rendah bersifat anti-analgesi. Kontra indikasinya adalah status asmatikus, syok,
anemia, disfungsi hepar, dispnue berat, asma bronchial, versi ekstraksi, miastenia
gravis. Keuntungannya adalah induksi mudah dan cepat, tidak ada delirium, masa
pemulihan cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan nafas, sedangkan kerugiannya
adalah dapat menyebabkan depresi pernafasan, depresi kardiovaskular, cenderung
menyebabkan spasme taring, relaksasi otot perut dan bukan analgetik. (Latief dkk,
2001)
Thiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam
bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi.
Thiopental dapat diberikan secara kontinyu pada kasus tertentu di unit perawatan
intensif, tetapi jarang digunakan untuk anestesia intavena total. (Latief dkk, 2001)
c. Propofol
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak
kedelai, 2,25% gliserol dan lesitin telur. Propofol menghambat transmisi neuron
yang dihantarkan oleh GABA. Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan
emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml =
10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. (Latief dkk, 2001)
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untu anestesia
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intesif 0,2
mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula
dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak
20
dianjurkan. Sebaiknya menyuntikkan obat anestetik ini pada vena besar karena
dapat menimbulkan nyeri pada pemberian intravena. (Latief dkk, 2001)
d. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting non barbiturate general anesthesia.
Indikasi pemakain ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan nafas yang
sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi, tindakan operasi
sibuk dan asma. Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesia,
karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
(Latief dkk, 2001)
Kalau harus diberikan sebaiknya diberikan midazolam (dormikum) atau
diazepam (vallum) terlebih dahulu dengan dosis 0,05-0,08 mg/kg intravena.
(Latief dkk, 2001)
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg). (Latief dkk, 2001)
e. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi. Opioid tidak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan
fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit. (Latief dkk, 2001)
2.11. Penatalaksanaan
Persiapan prebedah dilakukan oleh pasien sebelumnya, sehingga diperlukan
kunjungan pra anestesi yang bertujuan untuk mengurangi kesakitan operasi,
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Penilaian yang dilakukan
21
sebelumnya meliputi identitas penderita, anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, status fisik. Anamesis dilakukan untuk mengetahui
riwayat pasien seperti, hipertensi, jantung, asma, alergi tidaknya terhadap
makanan tertentu atau sesaat sebelum minum obat, serta riwayat operasi.
(Mansjoer dkk, 2000)
Hal ini dikarenakan terdapat obat-obatan tertentu yang dapat menimbulkan
efek samping sampai 3 bulan, seperti halotan. Pemeriksaan fisik meliputi
pemeriksaan gigidan pemeriksaan fisk sistemik tentang keadaan umum seperti
inspeksi, perkusi, palpasi, auskultasi semua system organ. Pemeriksaan
laboratorium harus sesuai indikasi. Pemeriksaan yang biasa dilakukan seperti
darah rutin dan urinalisa. Pada pasien diatas 50 tahun dilakukan pemeriksaan
EKG dan foto thorax. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium dapat dinilai kebugaran pasien atau menggunakan penilaian dari
ASA. (Mansjoer dkk, 2000)
Klasifikasi ASA :
ASA I asien sehat organic, fisiologik, psikiatri, biokimia.
ASA II asien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III asien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
ASA IV asien dengan penyakit sistemik berat, sehingga tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
ASA V asien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. (Mansjoer dkk, 2000)
2.11.1. Premedikasi
Pemberian obat premedikasi bertujuan :
a. Untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan
kekhawatiran, memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan
analgesik).
22
b. Untuk memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari
anestesi.
c. Untuk mengurangi jumlah obat-obatan anestesi.
d. Untuk mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual, dan muntah
pasca anestesi.
e. Untuk menciptakan amnesia.
f. Untuk mengurangi stress fisiologis (takikardi, nafas cepat).
g. Untuk mengurangi keasaman lambung / isi cairan lambung
h. Untuk mengurangi reflex yang membahayakan. (Latief dkk, 2001)
2.11.2. Induksi Anestesi
Tindakan anestesi dengan cara intravena yaitu dengan induksi bolus dengan
kecepatan 30 – 60 detik. Selama induksi intravena perlu dimonitoring tanda-tanda
vital sign, pemberian oksigen. Obat yang biasa sering dipakai adalah propofol
dengan dosis 2-3 mg/kgBB iv dan ketamin dengan dosis 1 – 4,5 mg/kgBB iv.
(Latief dkk, 2001)
2.11.3. Post Anestesi
Stress pasca operasi sering terjadi gangguan nafas, kardiovaskular, mual-
muntah, menggigil, kadang-kadang perdarahan. Pasca operasi berada di ruang
recovery. Di unit ini pasien dinilai tingkat pulih sadarnya.
Observasi dan monitor tanda vital (nadi, tensi, respirasi)
Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan (tekanan darah
dan nadi cepat) atau karena hipoksia (tekanan darah turun dan nadi cepat)
misal karena perdarahan (hipovolemia).
Bila kesakitan beri analgetik NSAID/Opioid.
Jika hipoksia cari sebabnya dan atasi penyebabnya (obstruksi jalan nafas)
karena secret/lender atau lidah jatuh ke hipofharing).
23
Oksigen via nasal kanul 3-4 liter, selama pasien belum sadar betul tetep
diberikan.
Pasien dapat dikirim kembali ke bangsal/ruangan setelah sadar, reflek
jalan nafas sudah aktif, tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal.
Pasien bisa diberi makan dan minum jika flatus sudah ada, itu bukti
peristaltik usus sudah normal. (Latief dkk,2001)
2.11.4. Debridement
a.Indikasi
Debridement luka bakar diindikasikan pada luka bakar yang dalam misalnya
luka bakar deep-dermal dan subdermal. Luka bakar yang dalam ini ditandai
dengan permukaan yang keputihan, merah, kecoklatan, kuning atau bahkan
kehitaman dan tidak adanya capillary refill ataupun sensibilitas kulit. (Marzuki,
1993)
b. Kontraindikasi Operasi
Kondisi fisik yang tidak memungkinkan
Gangguan pada proses pembekuan darah
Tidak tersedia donor yang cukup untuk menutup permukaan terbuka (raw
surface) yang timbul. (Marzuki, 1993)
2.11.5. Tehnik Operasi
1. Informed consent
2. Posisi terlentang dalam narkosa umum
3. Cuci luka dengan Normal Saline (NaCl 0.9 %) sambil dilakukan
nekrotomi & bullektomi hingga bersih (debridement)
4. Keringkan dengan kasa steril
5. Oleskan Silver Sulfadiazin (SSD)/ Dermazin/ Burnazin
6. Bebat dengan kassa lembab diseluruh area luka bakar
7. Dapat juga dilakukan perawatan luka terbukan dengan MEBO (moist
exposure burn ointment - berupa salep) (Marzuki, 1993)
24
2.11.6. Perawatan pasca debridement
Balutan awal harus dipertahankan selama 3-7 hari, kecuali timbul rasa sakit,
berbau, basah dan komplikasi lain yang dapat muncul. Ketika melepaskan
balutan, perlengketan diatasi dengan normal saline untuk mengurangi
perlengketan. Apabila terdapat hematoma atau seroma pada saat ganti balutan,
atasi dengan membuat insisi kecil pada daerah yang paling menonjol dan
keluarkan isinya. (Marzuki, 1993)
2.12. Komplikasi
2.12.1. Syok hipovolemik
Akibat pertama dari luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi
anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan bula
dengan membawa serta elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume
cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan
cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan, cairan yang masuk ke bula
pada luka bakar derajat II dan pengeluaran cairan dari kropeng pada luka bakar
derajat III . (Syaifudin, 2006)
Bila luas luka bakar < 20% biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih
bisa mengatasi tetapi bila > 20 % terjadi Syok hipovolemik dengan gejala yang
khas seperti gelisah, pucat, dingin , berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan
darah menurun dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan
lahan dan maksimal pada delapan jam. (Syaifudin, 2006)
2.12.2. Udem laring
Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bila luka terjadi di muka,.
Dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas , asap, uap panas yang
terhisap, udem yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan
napas karena udem laring. Gejala yang timbul adalah sesak napas, takipnea,
stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap karena jelaga. (Syaifudin, 2006)
25
Setelah 12 – 24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi dan penyerapan cairan edema kembali ke pembuluh darah . ini ditandai
dengan meningkatnya diuresis. (Syaifudin, 2006)
2.12.3. SIRS (systemic inflammatory respone syndrome)
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit untuk mengalami penyembuhan karena tidak terjangkau
oleh pembuluh darah kapiler yang mengalami trombosis. Kuman penyebab infeksi
berasal dari kulitnya sendiri, juga dari kontaminasi kuman dari saluran nafas atas
dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini
biasanya berbahaya karena banyak yang sudah resisten terhadap antibiotik.
(Syaifudin, 2006)
Prosesnya dimulai oleh aktivasi makrofag, netrofil, dan pelepasan mediator –
mediator, yang kemudian diikuti oleh :
1. gangguan hemodinamik berupa vasodilatasi, depresi miokardium,
gangguan sirkulasi dan redistribusi aliran.
2. perubahan mikrovaskuler karena endotel dan edema jaringan,
mikroemboli, dan maldigesti aliran.
3. gangguan oksigenasi jaringan. Ketiganya menyebabkan hipoksia seluler
dan menyebabkan kegagalan fungsi organ. Yang ditandai dengan
meningkatnya kadar limfokin dan sitokin dalam darah. (Syaifudin, 2006)
2.12.4. MOF (Multi Organ Failure)
Adanya perubahan permeabilitas kapiler pada luka bakar menyebabkan
gangguan sirkulasi. Di tingkat seluler, gangguan perfusi menyebabkan perubahan
metabolisme. Pada tahap awal terjadi proses perubahan metabolisme anaerob
yang diikuti peningkatan produksi dan penimbunan asam laktat menimbulkan
asidosis. Dengan adanya gangguan sirkulasi dan perfusi, sulit untuk
mempertahankan kelangsungan hidup sel, iskemi jaringan akan berakhir dengan
nekrosis. (Syaifudin, 2006)
26
Gangguan sirkulasi makro menyebabkan gangguan perfusi ke jaringan –
jaringan organ penting terutama otak, hepar, paru, jantung, ginjal, yang
selanjutnya mengalami kegagalan menjalankan fungsinya. Dalam mekanisme
pertahanan tubuh, terjadi gangguan pada sistem keseimbangan tubuh
(homeostasis), maka organ yang dimaksud dalam hal ini adalah ginjal. Dengan
adanya penurunan atau disfungsi ginjal ini, beban tubuh semakin berat.
(Syaifudin, 2006)
Resusitasi cairan yang inadekuat pada fase ini menyebabkan berjalannya
proses sebagaimana diuraikan diatas. Sebaliknya bila terjadi kelebihan pemberian
cairan (overload) sementara sirkulasi dan perifer tidak atau belum berjalan
normal, atau pada kondisi syok; cairan akan ditahan dalam jaringan paru yang
manifestasi klinisnya tampak sebagai edema paru yang menyebabkan kegagalan
fungsi paru sebagai alat pernafasan, khususnya pertukaran oksigen dengan
karbondioksida, kadar oksigen dalam darah sangat rendah, dan jaringan hipoksik
mengalami degenerasi yang bersifat irreversible. Sel – sel otak adalah organ yang
paling sensitive; bila dalam waktu 4 menit terjadi kondisi hipoksik, maka sel – sel
otak mengalami kerusakan dan kematian; yang menyebabkan kegagalan fungsi
pengaturan di tingkat sentral. (Syaifudin, 2006)
Sementara edema paru juga merupakan beban bagi jantung sebagai suatu
pompa. Pada mulanya jantung menjalankan mekanisme kompensasi, namun
akhirnya terjadi dekompensasi. (Syaifudin, 2006)
2.12.5. Kontraktur
Kontraktur merupakan salah satu komplikasi dari penyembuhan luka,
terutama luka bakar. Kontraktur adalah jenis scar yang terbentuk dari sisa kulit
yang sehat di sekitar luka, yang tertarik ke sisi kulit yang terluka. Kontraktur yang
terkena hingga lapisan otot dan jaringan tendon dapat menyebabkan terbatasnya
pergerakan.
Pada tahap penyembuhan luka, kontraksi akan terjadi pada hari ke-4 dimana
proses ini bersamaan dengan epitelisasi dan proses biokimia dan seluler dari
penyembuhan luka. Kontraktur fleksi dapat terjadi hanya karena kehilangan
27
lapisan superfisial dari kulit. Biasanya dengan dilakukan eksisi dari jaringan parut
yang tidak elastik ini akan menyebabkan sendi dapat ekstensi penuh kembali.
Pada luka bakar yang lebih dalam, jaringan yang banyak mengandung kolagen
akan meliputi neurovascular bundles dan ensheathed flexor tendons, juga
permukaan volar dari sendi akan mengalami kontraksi atau perlekatan sehingga
akan membatasi range of motion. Kontraktur yang disebabkan oleh hilangnya
kulit atau luka bakar derajat III pada daerah persendian harus segera dilakukan
skin grafting. (Syaifudin, 2006)
2.13. Prognosis
Prognosis pada kasus luka bakar ditentukan oleh beberapa faktor, dan
menyangkut mortalitas dan morbiditas atau burn illness severity and prediction of
outcome ; yang mana bersifat bersifat kompleks. (Moenajat, 2003)
Beberapa faktor yang berperan antara lain faktor penderita ( usia, gizi, jenis
kelamin, dan kelainan sistemik), faktor trauma ( jenis, luas, kedalaman luka bakar,
dan trauma penyerta), dan faktor penatalaksanaan (prehospital and inhospital
treatment). (Moenajat, 2003)
Prognosis luka bakar umumnya jelek pada usia yang sangat muda dan usia
lanjut. Pada usia yang sangat muda (terutama bayi) beberapa hal mendasar
menjadi perhatian, antara lain sistem regulasi tubuh yang belum berkembang
sempurna ; komposisi cairan intravaskuler dibandingkan dengan cairan
ekstravaskuler, interstitial, dan intraselular yang berbeda dengan komposisi pada
manusia dewasa, sangat rentan terhadap suatu bentuk trauma. Sistem imunologik
yang belum berkembang sempurna merupakan salah satu faktor yang patut
diperhitungkan, karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat
imunosupresi. (Moenajat, 2003)
28
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama : Ny. N
Tanggal Lahir : 1 Januari 1940
RM : 58.01.59
Alamat : Dusun II Pondok XIII Belpap
Tanggal Masuk : 5 November 2013 pukul 20.30 WIB
Anamnesis : Autoanamnesis
Seorang perempuan, usia 73 tahun
Keluhan Utama
Telaah
RPT
RPO
Primary Survey
Airway
Breathing
Circulation
Luka bakar
Hal ini dialami pasien sejak ± 8 jam setelah kejadian.
Hal ini terjadi akibat ketika pasien hendak membakar
sampah dengan menggunakan minyak lampu sebanyak ±
1 liter, api yang dinyalakan menyambar ke arah kedua
tungkai pasien, tangan kanan hingga siku kanan pasien,
dan sebahagian wajah dan dada pasien. Muntah tidak
dijumpai dan pingsan tidak dijumpai. Setelah kejadian,
pasien segera dibawa ke RSUP HAM.
Tidak jelas
Tidak jelas
(Pukul 20.30 WIB)
Clear, Snoring: (-), gurgling (-), crowing (-), C-Spine:
stabil, jejas di atas klavikula (-)
Spontan, RR: 32 x/i, luka bakar di leher dan dada (+),
ketinggalan bernafas (-), suara pernafasan (SP):
vesikuler, kiri=kanan, suara tambahan (ST): -/-
Akral: H/M/K, pulsasi: (+), regular, t/v: cukup,
29
Disability
Exposure
frekuensi: 120 x/I, TD: 110/60 mmHg, IV line terpasang
dengan bore besar
Compos mentis, pupil bulat isokor, θ: ki 3 mm/ ka 3
mm, RC +/+
Luka bakar di kedua tungkai bawah (+), tangan kanan
hingga siku tangan kanan (+), Luka bakar di sebahagian
daerah wajah, leher, dan dada (+)
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Toraks
- Inspeksi
- Auskultasi
- Perkusi
- Palpasi
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor diameter
θ ki 3 mm dan ka 3 mm, dan terdapat luka bakar di
wajah ± 1% grade II A, terdapat luka bakar di leher ±
1% grade II A
Dada simetris fusiformis, terdapat luka bakar pada dada
kanan setentang mammae ± 2,5% grade II A
Suara pernafasan (SP): vesikuler kanan=kiri, Suara
tambahan (ST): ronki (-),
Sonor pada kedua lapangan paru
Stem Fremitus kanan = kiri
Abdomen
- Inspeksi
- Auskultasi
- Perkusi
- Palpasi
Abdomen simetris
Peristaltik (+)
Timpani
Soepel
Genital Genitalia perempuan, anus (+)
Extremitas Superior dekstra: dijumpai luka bakar ± 4.5% grade II A
Inferior dekstra/ sinistra: dijumpai luka bakar ± 36%
grade II A+II B
30
Gambar keadaan umum pasien
Gambar luka bakar pada kedua tungkai bawah
Gambar luka bakar pada tungkai tangan kanan
Gambar luka bakar pada sebagian daerah wajah, leher, dan dada
31
Diagnosis Sementara
Flame burn 45% Grade II A + II B
Terapi
- IVFD Ringer Laktat 10 gtt/i Volume Parkland= 4. 70 kg. 45% = 12600 cc
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 1 amp/ 12 jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/ 8 jam
Rencana
- Pemeriksaan Radiologis: Foto thorax
- Periksa darah lengkap, KGD ad Random, Elektrolit, HST, RFT, LFT,
AGDA
Hasil Pemeriksaan Radiologi tanggal 5 November 2013
32
CTR ± 57%, jantung membesar ke
lateral kiri dengan apeks tertanam,
pinggang jantung tidak menonjol.
Tampak aorta elongasi.
Tampak perselubungan di
paratrakea kanan (vascular).
Tampak kalsifikasi trakea.
Kesan:
Kardiomegali, aorta elongasi
Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 5 November 2013
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
FAAL
HEMOSTASIS
Waktu Protrombin Detik 30.5 (13.30)
INR 2.49
APTT Detik 28.5 (31.9)
Waktu Trombin Detik 21.9 (16.8)
KIMIA KLINIK
Analisa Gas Darah
pH
pCO2
pO2
Bikarbonat (HCO3)
Total CO2
BE
Saturasi O2
mmHG
mmHG
mmol/L
mmol/L
mmol/L
%
7.372
28.2
184.7
16.0
16.8
-7.8
99.5
7.35-7.45
38-42
85-100
22-26
19-25
(-2) – (+2)
95-100
LFT
Albumin g/dL 1.8 3.4-4.8
KGD ad Random mg/dL 99.20 <200
RFT
Ureum mg/dL 23.20 < 50
Creatinin mg/dL 0.80 0.24-0.85
Elektrolit darah
Natrium mEq/L 122 135-155
Kalium mEq/L 4.8 3.6-5.5
Klorida mEq/L 94 98-106
33
Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 11 November 2013
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
Darah lengkap
Hemoglobin g % 10.30 11.7-16.1
Hematokrit % 30.30 38-44
Eritrosit 106/ mm3 3.34 4.20-4.87
Leukosit 103/mm3 10.18 4.5-11.0
Trombosit 103/mm3 479 150-450
MCV fL 90.70 85-95
MCH pg 30.80 28-32
MCHC
RDW
MPV
PCT
PDW
g%
%
fL
%
fL
34.00
13.10
10.60
0.51
14.5
33-35
11.6-14.6
7.0-10.2
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
%
%
%
%
89.40
3.00
0.50
7.00
37-80
20-40
2-8
1-6
Basofil % 0.100 0-1
KIMIA KLINIK
Analisa Gas Darah
pH 7.462 7.35-7.45
pCO2 mmHg 24.0 38-42
pO2 mmHg 160.4 85-100
Bikarbonat (HCO3)
Total CO2
BE
Saturasi O2
mmol/L
mmol/L
mmol/L
%
16.8
17.5
-5.8
99.5
22-26
19-25
(-2) – (+2)
95-100
LFT
34
Albumin g/dL 2.2 3.4-4.8
KGD ad Random mg/dL 58.00 < 200
RFT
Ureum mg/dL 31.00 < 71
Kreatinin mg/dL 0.76 0.50-0.90
Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
mEq/L
mEq/L
mEq/L
137
5.7
109
135-155
3.6-5.5
96-106
Follow up tanggal 14 November 2013
S Nyeri di seluruh badan
O Sens: Compos Mentis, TD: 120/80 mmHg, Nadi: 85 x/ menit, RR: 23 x/
menit, Temp: 37, 3oC
Kepala: Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya (+/+), pupil isokor, dan terdapat luka bakar ±1% grade IIA,
terdapat luka bakar pada daerah leher ± 1% grade IIA
Toraks:
Inspeksi: Dada simetris fusiformis, terdapat luka bakar ± 2.5%
grade IIA
Auskultasi: SP: Vesikuler, ST: Ronkhi (-)
Perkusi: Sonor pada kedua lapangan paru
Palpasi: Stem fremitus kanan=kiri
Abdomen:
Inspeksi: Abdomen simetris
Auskultasi: Peristaltik (+)
Perkusi: Tmpani
Palpasi: Soepel
Sistem genitourinari: Genitalia perempuan, anus (+)
Extremitas: Superior dekstra: dijumpai luka bakar ± 4.5% yang telah
didebridement grade IIA
35
Inferior dekstra/ sinistra: dijumpai luka bakar ± 36% yang telah
didebridement grade IIA + IIB
A Flame Burn 45% Grade IIA+IIB
P IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 8 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
GV
Mebo
Gambar keadaan umum pasien post GV tanggal 8 November 2013
36
Gambar keadaan umum pasien post GV tanggal 14 November 2013
37
BAB 4
KESIMPULAN
Luka bakar masih merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas
pada anak. Komplikasi terbanyak akibat luka bakar antara lain adalah gagal nafas,
syok dan komplikasi sistemik ke berbagai organ. Tatalaksana yang dilakukan
mencakup tatalaksana holistik yang mencakup rumatan jalan napas, terapi cairan,
dukungan nutrisi, pemberian antibiotika, penanggulangan nyeri akibat luka bakar
dengan obat-obat antinyeri dan perawatan luka.
38
DAFTAR PUSTAKA
David S. Perdanakusuma. Penanganan Luka bakar. Airlangga University Press,
2006
Deirdre, C., Elsayed, S., Reid, O., Winston, B., Lindsay, R. Burn Wound
Infection. Clin Microbiol Rev. 2006; 19(2): 403–434.
Dewi, YRS. Luka Bakar: Konsep Umum dan Investigasi Berbasis Klinis Luka
Antemortem dan Postmortem. FK UI
Idris, A.M. Luka Bakar dalam Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi
pertama, Jakarta : PT Binarupa Aksara;1997
Jeschke MG, Mlcak RP, Finnerty CC, Nor bury WB. Burn size determines the
inflamma- tory and hypermetabolic response. Crit Care J. 2007;11(1):1-11
Latief, Said. A, Suryadi, Kartini, A. Dachlan. M. Ruswan (2001). Petunjuk
Praktis Anastesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Pharos Indonesia
Mansjoer, Arif, dkk (editor); Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, edisi III – Luka
Bakar; Jakarta, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2000.
Marzoeki, Djohansjah. Ilmu Bedah Luka dan Perawatannya, Airlangga
University Press, Surabaya 1993 : 10 - 19.
Moenadjat, Yefta. Luka Bakar – Pengetahuan Klinik Praktis. Jakarta, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2003.
M Sjaifudin Noer. Penanganan Luka Bakar. Airlangga University Press, 2006
39