limfoma kepala dan leher

Upload: tara-sefanya-kairupan

Post on 12-Jul-2015

296 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

translated by: [email protected]

xxx113xxx LIMFOMA KEPALA DAN LEHERALAN R. YUEN CHARLOTTE JACOBS

_______________Meskipun limfoma non-Hodgkin cenderung menyerang kelenjar getah bening servikal, sekitar 10% terjadi di luar area getah bening pada regio kepala dan leher. Area-area ini meliputi cincin Waldeyer, sinus-sinus paranasalis, rongga hidung, laring, rongga mulut, kelenjar saliva, tiroid, dan orbita (1). Penilaian limfoma harus dilakukan dengan cermat karena terapinya bervariasi berdasarkan stadium, gambaran histologik, dan situs yang terkena. Limfoma memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi apabila ditangani dengan benar. Yang paling utama ialah para ahli tumor kepala dan leher harus sudah terbiasa dengan penanganan yang akan mereka lakukan.

EVALUASI DAN DIAGNOSIS Insidens dari limfoma telah meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir ini (2). Faktor-faktor resiko meliputi penyakit imunodefisiensi kongenital, imunodefisiensi didapat, dan gangguan otoimun. Regimen imunosupresif yang dipakai untuk transplantasi organ dapat menyebabkan suatu spektrum gangguan limfoproliferatif dari hiperplasia orofaring hingga limfoma. Infeksi kronik oleh virus HIV dapat menghasilkan peningkatan resiko hingga 100 kali terhadap terjadinya limfoma (3,4). Pasien dengan sindrom Sjogren memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk terkena limfoma kelenjar liur (5). Pasien-pasien Cina di Hongkong memiliki insidens yang relatif tinggi akan limfoma nasal, yang dikaitkan dengan virus Epstein Barr (6). Limfoma ekstranodal non-Hodgkin pada kepala dan leher terjadi lebih sering pada pasien di antara umur 50 dan 60 tahun (1,7). Rasio laki-laki dan perempuan ialah 1,6:1, dengan pengecualian untuk limfoma kelenjar liur, orbita,

1

translated by: [email protected]

dan tiroid, yang biasanya terjadi dengan rasio yang sama atau lebih sering pada wanita.

Lokasi dan Gejala Lebih dari separuh limfoma ekstranodal daerah kepala dan leher terjadi pada cincin Waldeyer; tonsil merupakan lokasi yang paling sering, diikuti dengan daerah nasofaring dan pangkal lidah (1,7). Gejala yang tampak mirip dengan kanker sel skuamous. Limfoma tonsil ditandai dengan pembengkakkan tonsiler atau nyeri tenggorokan. Pasien dengan limfoma nasofaring sering mengeluhkan adanya massa servikal atau obstruksi hidung. Perasaan adanya benda asing atau suara parau sering menjadi gejala awal dari limfoma pangkal lidah (Tabel 113.1). Limfoma sering menyerang submukosa, dan dapat dibedakan dengan kanker sel skuamous ulseratif melalui penampakkannya.

Tabel 113.1. Diagnosis dan Penentuan Stadium Limfoma Kepala dan Leher Diagnosis (Lokasi) Tonsil Nasofaring Pangkal lidah Sinus-sinus paranasalis Rongga hidung Gejala Edema tonsil, tenggorokan Tes Penentuan Stadium (untuk semua lokasi) nyeri Tinjauan patologik, pemeriksaan fisik lengkap Laringoskopi darah lengkap Tes fungsi hati Tes HIV (adanya faktor resiko), foto thoraks CT-scan atau MRI kepala dan leher, pemeriksaan saluran pencernaan atas dan usus halus (Waldeyer ring) CT-scan abdomen Limfangiogram (apabila tersedia) Pungsi lumbal (sinus paranasal) Pungsi sum-sum tulang proptosis, ptosis. indirek, hitung

Massa servikal, obstruksi Perasaan adanya benda asing Eksoftalmus, diplopia, nyeri Onstruksi, rinore

Rongga mulut Laring Kelenjar saliva Tiroid Orbita

Edema lokal, nyeri Suara parau, dispneu, disfagia Massa Massa Edema, nyeri

2

translated by: [email protected]

Sekitar sepertiga dari limfoma kepala dan leher terjadi pada lokasi ekstralimfatik, termasuk sinus-sinus paranasalis, rongga hidung, kelenjar liur, rongga mulut, laring, dan orbita. Sekali lagi, hal ini menyerupai gambaran karsinoma sel skuamous. Limfoma sinus sering memberikan gejala sinusitis, sedangkan diplopia dan eksoftalmus dapat terjadi pada tumor yang besar (8). Limfoma rongga hidung dapat menyebabkan gejala obstruktif dan perdarahan nasal; limfoma rongga mulut memberikan gambaran klinis edema lokal, nyeri, dan ulkus; sedangkan limfoma laring memberikan gambaran parau, sulit bernapas, dan gangguan menelan. Limfoma kelenjar liur seringkali muncul dengan massa parotid, dan jarang melibatkan nervus fasialis. Limfoma primer dari kelenjar tiroid hanya memberikan kontribusi 5% hingga 10% dari keseluruhan kanker tiroid (5,9). Tujuh puluh lima persen dari pasien datang dengan massa tiroid yang membesar dengan cepat, suara parau, atau disfagia. Pasien dengan limfoma orbital sering mengeluh adanya bengkak orbital dan mungkin dapat ditemukan eksoftalmus melalui pemeriksaan fisik. Keluhan lain meliputi gangguan penglihatan, proptosis, posis, dan nyeri. Lapangan pandang biasanya tidak terpengaruh, dan kelainan pada fundus biasanya ringan. Pasien dengan kelainan konjungtival sering memberikan gamabaran massa palpable berwarna merah muda pada konjungtiva. Secara keseluruhan, sekitar 15% dari pasien dengan limfoma kepala dan leher terdapat adenopati leher sebagai keluhan, selain itu 12% datang dengan gejala demam, keringat malam, atau penurunan berat badan. Dua puluh persen dari pasien dengan limfoma menyerang lokasi multipel pada daerah kepala dan leher.

Diagnosis dan Klasifikasi Histologik Teknik diagnosis limfoma non-Hodgkin yang paling dapat diandalkan adalah melalui biopsi terbuka. Aspirasi jarum halus dapat berguna, terutama untuk mendeteksi penyakit rekuren atau transformasi histologik. Namun sayangnya evaluasi sitologi sendiri tidak dapat menilai apakah limfoma tersebut tipe folikuler atau difus, yang merupakan faktor penting dalam penentuan stadium dan prognosis. Walaupun demikian biopsi terbuka tetap dipakai sebagai teknik

3

translated by: [email protected]

diagnosis awal. Pengecatan imunohistokimia dapat membantu membedakan limfoma tipe undifferentiated dengan neoplasma anaplastik: antibodi antikeratin untuk karsinoma, antibodi protein anti-S-100 untuk melanoma, dan antibodi panleukosit untuk limfoma. Studi imunohistokimia dapat juga membedakan infiltrat limfoid jinak dengan limfoma dengan mikroskop cahaya (2). Sebagian besar limfoma non-Hodgkin mengekspresikan penanda sel T dan sel B. Pemeriksaan panel antigen sel T dapat membedakan limfoma sel T dengan hiperplasia. Limfoma sel B menunjukkan kelas tunggal rantai kecil (misalnya kappa atau lambda), sedangkan hiperplasia menunjukkan gabungan antara dua kelas. Baik pewarnaan imunohistokimia maupun uji molekular lainnya, seperti studi penyusunan gen untuk pengujian sifat klonal, akan lebih terlihat pada jaringan segar, sehingga seorang ahli patologi harus diberi tahu apabila klinisi kemudian curiga akan adanya suatu limfoma. Subtipe histologik yang umum pada limfoma Hodgkin mempengaruhi penilaian stadium, terapi, dan kemungkinan bertahan hidup (tabel 113.2). Klasifikasi histologik untuk limfoma telah berkembang sejalan dengan pemahaman yang lebih baik akan karakteristik molekuler, hal ini memberikan kesempatan bagi ahli patologik untuk mengenali tanda-tanda khas sebenarnya yang mungkin sebelumnya telah saling bercampur aduk. Perubahan yang terusmenerus dari klasifikasi ini, membingungkan para klinisi. Salah satu teknik yang berguna secara klinis dan sering dipakai sebagai dasar klasifikasi adalah The Working Formulation (10). Sistem ini menggunakan dua tanda histologik utama: pola arsitektural (misalnya folikuler atau difus) dan sel tipe predominan (misalnya sel besar, sel kecil utuh atau sel limfoblastik). Limfoma diklasifikasikan ke dalam tiga sub kategori utama yaitu keganasan gradasi rendah, menengah dan tinggi, masing-masing dengan riwayat perjalanan penyakit dan gejala yang khas. Kirakira 4% dari limfoma merupakan keganasan campuran, dimana dua jenis keganasan terjadi pada lokasi yang sama. Sekitar 10% dari pasien memiliki limfoma yang tidak selaras, dimana terdapat dua jenis limfoma pada lokasi yang berbeda. Seiring dengan waktu, limfoma dapat berkembang, paling sering dari subtipe gradasi rendah ke gradasi menengah.

4

translated by: [email protected]

Tabel 113.2. Klasifikasi Histologik Limfoma Kepala dan Leher Formulasi Kerja Gradasi rendah Limfositik kecil Pecahan sel folikuler Folikuler campuran Ekuivalen WHO Sel B limfositik kecil atau zona marginal ekstranodal Limfoma folikuler, grade 1 Limfoma folikuler, grade 2

Gradasi menengah Limfoma folikuler, grade 3 Sel folikuler besar Pecahan sel folikuler kecil Sel Mantle, limfoplasmasitik difus Sel B difus besar, sel T periferal Campuran difus Sel T atau sel NK ekstranodal Sel B difus besar, sel T periferal Sel difus besar Sel T atau sel NK ekstranodal Gradasi tinggi Imunoblastik Limfoblastik Sel kecil utuh Sel B besar difus, sel T periferal Sel T atau NK ekstranodal Limfoblastik Limfoma Burkitt / mirip Burkitt

The Working Formulation telah menjadi sistem yang cukup bermanfaat bagi para klinisi, karena dapat membagi limfoma ke dalam subkelompok berdasarkan riwayat perjalanan penyakit yang berbeda, sehingga berdampak pada strategi pengobatan. The Working Formulation, didasarkan pada kriteria morfologik dan tidak memperhatikan karakteristik molekuler dan imunofenotipik sehingga sulit membedakan limfoma yang terlihat mirip. Sebagai contoh, limfoma cleaved cell kecil difus terdiri atas beberapa subtipe yang berbeda seperti limfoma sel mantel, sel B monositoid, sel B zona marginal. Klasifikasi terkini saat ini dikeluarkan oleh WHO (11). WHO memperbaharui dan merevisi klasifikasi yang lama dari The International Lymphoma Study Group (12). Sistem klasifikasi baru ini membagi keganasan hematologik berdasarkan galur silsilah sel, misalnya mieloid, limfoid, sel mast, dan histiosit. Kategori limfoid dibagi lagi atas subtipe sel B, sel T, atau limfoma Hodgkin. Meskipun demikian, baik kriteria WHO maupun klasifikasi Eropa-Amerika yang telah direvisi keduanya membagi

5

translated by: [email protected]

limfoma dengan maksud agar bermanfaat dalam panduan terapi dan memprediksi sifat klinis. Perubahan yang terus menerus dari klasifikasi patologik dapat

menyulitkan para klinisi dalam menginterpretasikan laporan patologik. Terlebih lagi, banyak literatur didasarkan pada sistem klasifikasi sebelumnya yang mungkin membawa pada kesulitan pembagian saat ini. Meskipun demikian, kunci dan kebanyakan pembagian dari The Working Formulation yang masih dapat dikenali. Tabel 113.2 mendaftarkan subtipe The Working Formulation dengan pembagian yang didasarkan pada klasifikasi WHO. Sebagian besar bab ini mengacu pada The Working Formulation karena kegunaan klinisnya dan banyak literatur lain yang juga berpatokan pada sistem klasifikasi ini. Limfoma kepala dan leher sebagian besar pada gradasi menengah, sedangkan sekitar 12% gradasi rendah dan sekitar 16% gradasi tinggi (1,7). Secara umum, sel besar difus merupakan subtipe terbanyak, meskipun pola subtipe histologik bervariasi berdasarkan lokasi. Limfoma sinus paranasalis dan rongga hidung hampir selalu gradasi menengah atau tinggi, sedangkan lebih dari separuh pasien dengan limfoma kelenjar saliva memiliki gambaran histologik gradasi rendah (8,13). Sebagian besar limfoma tiroid merupakan keganasan gradasi menengah, dan persentase yang tinggi pasien-pasien ini menunjukkan bukti tiroiditis Hashimoto (5,9). Limfoma yang bertempat pada rongga orbita biasanya gradasi rendah (14) dan mungkin akan sulit dibedakan dari infiltrat limfoid orbital nonmalignant. Kebanyakan limfoma kepala dan leher mengekspresikan penanda sel B. Limfoma limfoblastik dan persentase kecil limfoma sel besar difus merupakan galur sel T. Sel T dan tipe sel natural killer berkembang paling sering pada rongga hidung dan sinus paranasalis (15).

Penilaian Klinis Pembagian stadium yang akurat sangat penting dilakukan sebelum merumuskan terapi (Tabel 113.1). Pasien harus mengikuti serangkaian anamnesis dan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laringoskopi indirek. Perhatian

6

translated by: [email protected]

khusus harus diberikan pada seluruh kelenjar getah bening serta pada pembesaran hati dan limpa. Computed Tomography (CT) atau studi Magnetic Resonance Imaging dapat lebih akurat memberi gambaran perluasan lesi awal pada kepala dan leher. Hitung darah lengkap dan tes fungsi hati juga direkomendasikan. Pemeriksaan CT-scan dada perlu dilakukan untuk mengevaluasi adenopati mediastinal maupun hiler. CT-scan juga berguna dalam pemeriksaan terhadap keterlibatan hati, limpa, dan mesenterik. Limfangiogram dapat menilai adenopati paraaortik dan pelvik dengan lebih akurat, serta zat warnanya bertahan dan viable hingga 2 tahun, member kesempatan untuk menilai abdomen pada kunjungan kembali. Hubungan antara limfoma cincin Waldeyer dengan saluran pencernaan dilaporkan pada 3% hingga 11% pasien. Oleh sebab itu, pemeriksaan saluran pencernaan atas dan usus halus atau pemeriksaan endoskopi saluran pencernaan atas direkomendasikan dalam rangka penentuan awal stadium pada pasien-pasien (16). Biopsi sum-sum tulang krista liaka posterior perlu dilakukan. Sekitar 18% pasien dengan limfoma ekstranodal kepala dan leher mengalami gejala keterlibatan sum-sum tulang. Persentase ini lebih tinggi pada pasien-pasien dengan limfoma gradasi rendah (2). Pungsi lumbal dengan pemeriksaan kimia cairan serebrospinalis, hitung darah lengkap, dan analisis sitologik

direkomendasikan pada penentuan stadium untuk pasien yang cenderung mengalami keterlibatan sistem saraf pusat. Pasien dengan faktor resiko termasuk pasien dengan limfoma gradasi tinggi atau gradasi menengah yang melibatkan sinus-sinus paranasalis, sum-sum tulang, testis, dan area paranasal. Akibat peningkatan akurasi dari penentuan stadium klinis dan kebiasaan penggunaan kemoterapi, penentuan stadium saat laparotomi sudah tidak lagi rutin dianjurkan untuk limfoma non-Hodgkin. Setelah selesai terapi, pasien harus diperiksa secara teratur. Termasuk evaluasi seluruh lokasi keganasan dahulu, pemeriksaan CT-scan atau radiograf dada, foto polos abdomen (apabila limfangiogram dilakukan), hitung sel darah

7

translated by: [email protected]

lengkap, tes fungsi hepar, dan pemeriksaan pencitraan yang sesuai dengan keluhan baru.

Sistem Penentuan Stadium Setelah penilaian dilakukan, stadium ditentukan menggunakan sistem Ann Arbor (Tabel 113.3) (2). Stadium ditentukan berdasarkan lokasi kelenjar getah bening dan organ yang terlibat. Stadium E mengindikasikan adanya keterlibatan ekstralimfatik jaringan sekitar suatu kelenjar getah bening, misalnya rongga mulut, kelenjar saliva, atau sinus-sinus paranasalis. Stadium A ditentukan bagi pasien tanpa gejala sistemik, atau B untuk pasien dengan demam tanpa sebab yang jelas, keringat malam, atau terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan semula. Beberapa peneliti menganjurkan sistem TNM sebagai penentuan stadium limfoma kepala dan leher yang lebih berguna, karena sistem penentuan stadium Ann Arbor tidak memasukkan ukuran dan perluasan lokal dalam pembagiannya. Meskipun demikian, sistem Ann Arbor, terlihat lebih bermanfaat dalam memprediksikan kemampuan hidup bebas penyakit (disease-free survival) pada pasien dengan limfoma.

Tabel 113.3. Penentuan Stadium Ann Arbor Stadium Stadium I Stadium II Karakteristik Keterlibatan kelenjar getah bening regional tunggal (I) atau keterlibatan organ atau situs ekstralimfatik tunggal (IE) Keterlibatan dua atau lebih kelenjar getah bening regional pada sisi yang sama dari diafragma (II) atau keterlibatan lokal dari organ atau situs ekstralimfatik disertai satu lebih kelenjar getah bening regional pada sisi yang sama dari diafragma (IIE). Keterlibatan kelenjar-kelenjar getah bening regional pada kedua sisi dari diafragma (III) Keterlibatan difus atau diseminata dari satu atau lebih organ atau jaringan ekstralimfatik dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening Tanpa gejala sistemik Demam yang tidak dapat dijelaskan, keringat malam, atau penurunan berat badan lebih dari 10% berat semula

Stadium III Stadium IV

Gejala A B

8

translated by: [email protected]

Pada pengamatan terhadap lebih dari 900 pasien dengan limfoma kepala dan leher, terdapat stadium I sebanyak 31%, stadium II sebanyak 35%, stadium III sebanyak 14%, dan stadium IV sebanyak 19% (7). Hanya sebagian kecil yang memiliki gejala stadium B. Sebagian besar pasien dengan limfoma tiroid datang dengan stadium I ataupun IIE. Sekitar duapertiga limfoma orbital berada pada stadium I.

Tatalaksana Tatalaksana limfoma kepala dan leher harus dilakukan secara

multidisipliner oleh para ahli patologi, radiologi, THT, radioterapi, dan ahli onkologi medik. Hasil akhirnya akan bergantung pada tipe histologik, stadium, dan lokasi primer. Pada tahun 1980an, suatu kelompok 156 pasien, sebagian besar stadium I dan II, diterapi dengan hanya terapi radiasi pada Universitas Stanford (1,7). Angka ketahanan hidup 5 tahun (five years survival rates) juga ditentukan oleh klasifikasi histologik: 65% pasien dengan neoplasma gradasi rendah dan 39% pasien dengan keganasan gradasi menengah dan tinggi mampu bertahan hidup selama 5 tahun. Dengan pendekatan modalitas kombinasi, terjadi peningkatan yang signifikan pada hasil terapetik. Penentuan pengobatan bergantung pada subtype histologik dan stadium. Rekomendasi umum dapat dilakukan pada subkelompok tertentu (Tabel 113.4), namun tim onkologi harus tetap mengevaluasi setiap pasien secara individual.

Tabel 113.4. Penanganan Limfoma Kepala dan Leher Histologi Gradasi rendah Stadium I,II III,IV I,II III,IV I-IV Pilihan Terapi Involved-field XRT CVP, klorambusil, observasi CHOP X 3-XRT-CHOP X 3, CHOP X 3 XRT CHOP atau kemoterapi kombinasi lainnya Kombinasi kemoterapi intensif

Gradasi menengah Gradasi tinggi+vinkristin+prednisone,

*XRT, irradiation; CVP, siklofosfamid+vinkristin+prednisone; CHOP, siklofosfamid+doksorubisin

9

translated by: [email protected]

Meskipun pembedahan memiliki peranan dalam penentuan stadium limfoma kepala dan leher, penanganan primer adalah terapi radiasi, kemoterapi, ataupun kombinasi keduanya. Radiasi dengan dosis 200-cGy fraksi harian atau total dosis 3000 hingga 4000 cGy untuk limfoma gradasi rendah serta 4900 hingga 5000 cGy untuk limfoma gradasi menengah (1). Penanganan optimal untuk llimfoma memerlukan akselerator linier yang menghasilkan foton dengan energy 4 MeV atau lebih (17). Mesin Kobalt 60 sudah tidak lagi digunakan dalam penanganan keganasan. Lapangan radiasi diatur sesuai dengan tipe tumor, lokasi dan anatomi individual dari pasien. Biasanya meliputi situs yang terlibat dan kelenjar getah bening disekitarnya. Lapangan terapi pasangan biasanya ditentukan untuk dapat menghasilkan dosis yang lebih merata pada jaringan. Kelompok limfoid multipel diterapi sebagai satu lapangan untuk menghindari masalah terjadinya radiasi tumpang tindih. Timah penghalang dipakai untuk melindungi laring, saraf spinal, paru-paru, dan jantung. Lapangan radiasi yang paling sering dipilih pada limfoma kepala dan leher adalah lapangan Waldeyer, yang meliputi jaringan limfoid nasofaring, orofaring, pangkal lidah, dan kelenjar getah bening regio servikal atas, preaurikuler, submandibuler, aksiler, mediastinal, dan hiler. Lapangan mantle melipuli kelenjar getah bening regio servikal, preaurikuler, infraklavikuler, aksiler, mediastinal, dan oksipital. Penyinaran lapangan yang terlibat (involved-field irradiation) menunjuk pada terapi radiasi yang dibatasi pada daerah limfoid yang terlibat. Penyinaran lapangan luas (extended-field irradiation) menunjuk pada terapi daerah yang terlibat serta kelompok limfoid yang terkait. Limfoma sensitive terhadap banyak agen-agen kemoterapi, misalnya siklofosfamid, klorambusil, vinkristin, prednison, doksorubisin (Adriamisin), bleomisin, metotreksat, dan fludarabin (2,17). Kemoterapi biasanya dipakai sebagai kombinasi dimana obat-obat tersebut diberikan dalam aturan siklik untuk menghasilkan tingkat respons tertinggi dengan daya toksisitas yang masih dapat diterima. Secara umum, kemoterapi diberikan hingga didapatkan respons yang komplit, diikuti dengan dua siklus kemoterapi konsolidasi. Apabila kemoterapi digunakan dalam kombinasi dengan penyinaran untuk stadium awal (stadium I

10

translated by: [email protected]

atau II), tiga sampai enam siklus kemoterapi biasanya cukup. Karena intensitas dosis sangat penting dalam mencapai respons optimal, sangatlah penting untuk memberikan obat dengan dosis tertinggi yang masih dapat ditoleransi sesuai jadwal. Banyak kombinasi obat yang tersedia untuk terapi limfoma, termasuk regimen terapi yang sering dipakai dibawah ini: CVP: siklofosfamid, 400 mg/m2 oral hari I-V; vinkristin, 1,4 mg/m2 hari I, prednison, 100 mg/m2 oral hari I-V. Diulangi setiap 21 hari. CHOP: siklofosfamid, 750 mg/m2 iv hari I; doksorubisin, 50 mg/m2 iv hari I, vinkristin, 1,4 mg/m2 iv hari I; prednison, 50 mg/m2 oral hari I-V. Diulangi setiap 21 hari.

Regimen lainnya menambahkan bleomisin dan/atau metotreksat dosis tinggi pada kombinasi di atas.

Limfoma Gradasi Rendah Stadium I atau II Hanya sebagian kecil limfoma kepala dan leher yang menunjukkan keganasan stadium awal gradasi rendah. Terapi standar terdiri atas radiasi lapangan yang terlibat atau radiasi lapangan luas, dan kebanyakan percobaan tidak memperlihatkan adanya keuntungan penambahan kemoterapi (17,18). Setelah 5 tahun, kira-kira 65% pasien bebas penyakit, dan 75% bertahan hidup. Angka ketahanan hidup 10 tahun diantara 60% dan 65%.

Limfoma Gradasi Rendah Stadium II atau IV Standar terapi untuk limfoma gradasi rendah adalah kemoterapi dengan CVP atau klorambusil. Dengan kedua pendekatan tersebut, kira-kira 60% sampai 80% pasien memperlihatkan respon sempurna (2,17). Sebagian besar pasien mengalami relaps, dan hanya 20% sampai 30% pasien yang tetap bebas penyakit hingga 10 tahun; meskipun demikian, 50% sampai 60% tetap bertahan hidup dengan penyakit. Fludarabin, suatu analog purin baru, efektif digunakan untuk relaps. Rituximab, antibodi monoklonal dengan toksisitas minimal yang melawan

11

translated by: [email protected]

antigen sel B CD20, memberikan 50% tingkat respons pada limfoma gradasi rendah. Durasi respon ini kira-kira 1 tahun (19). Interferon menghasilkan tingkat respon rata-rata sekitar 50% dan tingkat respon komplit sekitar 20% pada pasien dengan limfoma gradasi rendah (20). Akibat sifat dasar limfoma gradasi rendah yang lambat berkembang, masih dapat diterima pendekatan observasi pasien hingga penyakit menjadi simptomatik dengan adenopati besar, gejala sistemik, atau membahayakan organ. Studi yang membandingkan antara penggunaan terapi inisial kemoterapi kombinasi dengan tanpa penggunaan terapi inisial, diikuti dengan kemoterapi kombinasi bila diperlukan, tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam tingkat kelangsungan hidup.

Limfoma Gradasi Menengah Stadium I atau II Limfoma gradasi menengah (terutama sel besar difus) memiliki program terapi yang mirip. Usia, keadaan umum, stadium, besarnya tumor, jumlah keterlibatan kelejar getah bening, serta kadar laktat dehidrogenase (LDH) serum mempengaruhi prognosis penyakit. Dahulu, kebanyakan pasien dengan limfoma kepala dan leher stadium awal hanya diterapi dengan radiasi lapangan terlibat atau lapangan luas. Pada serial laporan oleh Universitas Stanford, kelangsungan hidup bebas penyakit pada pasien dengan limfoma stadium I atau II adalah 48% dan 35% (1). Kira-kira 79% pasien mengalami rekurensi pada kelenjar getah bening atau organ lokasi, dan 21% mengalami relaps local atau pada kelenjar getah bening didekatnya. Saluran pencernaan memiliki predileksi yang tinggi terhadap relaps pasien dengan limfoma cincin Waldeyer. Kemoterapi telah ditambahkan pada program penanganan primer, membawa hasil yang lebih baik dibandingkan terapi tunggal dengan radiasi. Salah satu pendekatan standar ialah tiga siklus CHOP diikuti dengan radiasi lapangan terlibat diikuti dengan tiga siklus CHOP kembali. Pasien dengan hanya satu atau dua lokasi yang terlibat serta dengan tumor yang tidak besar dapat diberikan kemoterapi dengan siklus yang lebih kurang (2,17).

12

translated by: [email protected]

Untuk pasien dengan limfoma stadium I, kelangsungan hidup 5 tahun bebas penyakit berkisar antara 80% dan 100%, dengan angka kelangsungan hidup keseluruhan antara 95% dan 100%. Untuk pasien dengan limfoma stadium II, angka kelangsungan hidup 5 tahun bebas penyakit antara 75% dan 80%, dan angka kelangsungan hidup keseluruhan antara 75% dan 90%. Beberapa melaporkan hasil yang buruk pada pasien dengan limfoma sinus paranasalis atau limfoma dengan sel natural killer sebagai imunofenotip. Karena sebagian besar pasien datang dengan limfoma yang sudah meluas lokal, penyinaran konsolidatif mungkin dapat berperan, dan penyinaran profilaktik seluruh otak perlu dipertimbangkan pula. Limfoma yang berkembang pada rongga hidung memiliki perjalanan klinis yang berbeda dengan limfoma yang berkembang pada sinus-sinus paranasalis. Sebagian besar memiliki gambaran histologik gradasi menengah maupun tinggi; angka kelangsungan hidup 5 tahun pada pasien dengan stadium I atau II yang diterapi dengan kemoterapi dan radiasi dapat mencapai 50% hingga 60%. Relaps sistem saraf pusat pada limfoma ini jarang ditemukan (6).

Limfoma Gradasi Menengah Stadium III atau IV Untuk pasien dengan limfoma stadium III atau IV, kemoterapi merupakan penanganan primer, dan regimen yang paling sering digunakan adalah CHOP (2,17). Telah dilaporkan bahwa angka respons komplit berkisar antara 30% hingga 60% dan angka kelangsungan hidup keseluruhan berkisar antara 35% hingga 70%. Regimen yang menambahkan agen lain seperti metotreksat atau bleomisin, juga dapat digunakan. Terapi radiasi secara primer digunakan untuk area konsolidasi tumor besar atau untuk penanganan darurat obstruksi saluran napas. Prediktor yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidup meliputi kemampuan hidup ambulasi, usia di bawah 60 tahun, satu atau kurang keterlibatan kelenjar getah bening, serta kadar LDH serum yang normal (22). Pasien dengan limfoma gradasi menengah stadium lanjut yang gagal berespon terhadap kemoterapi primer ataupun limfoma relaps setelah terapi, sulit untuk mencapai respons yang bertahan lama terhadap regimen kemoterapi lini

13

translated by: [email protected]

kedua. Pada pasien-pasien ini, terapi dosis tinggi dengan terapi stem sel menjadi pilihan utama (2). Untuk pasien dengan limfoma non-Hodgkin, sumber cangkok biasanya autolog. Stem sel dikumpulkan dari darah perifer atau dari sum-sum tulang, kriopreservitasi, dan diinfus kembali setelah terapi dosis tinggi. Hal ini memberikan kesempatan beberapa kali lipat dosis kemoterapi untuk eradikasi limfoma yang resisten terhadap dosis kemoterapi standar. Untuk subkelompok pasien prognosis baik dengan limfoma rekuren (misalnya limfoma sensitif kemoterapi, usia kurang dari 60 tahun, serta keadaan umum yang cukup), sebagian besar pasien mengalami remisi dengan baik.

Limfoma Gradasi Tinggi Limfoma limfoblastik sebagian besar merupakan keganasan sel T yang muncul secara primer pada pasien muda sebagai massa mediastinal yang bertumbuh cepat, meskipun jarang terjadi pada region kepala dan leher. Limfoma ini sering menyebar ke sistem saraf pusat dan sum-sum tulang. Apapun stadiumnya, diperlukan kombinasi kemoterapi, termasuk profilaksis sistem saraf pusat (2,17). Kira-kira 60% pasien dapat disembuhkan dengan pendekatan agresif. Limfoma sel kecil utuh dapat muncul sebagai limfoma Burkitt atau tipe mirip Burkitt (Burkitt-like). Tipe mirip Burkitt lebih cenderung terjadi pada orang dewasa. Terapi yang paling efektif meliputi kemoterapi kombinasi siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin, prednison, metotreksat, etoposid, citarabin, dan metotreksat intratekal dengan dosis yang lebih dari biasa. Selama beberapa hari pertama setelah terapi inisiasi, pasien-pasien ini beresiko mengalami sindrom lisis tumor (tumor lysis syndrome). Dengan pendekatan di atas, sekitar 65% pasien mampu bertahan hidup dalam jangka waktu 2 tahun. Pasien dengan keterlibatan sum-sum tulang atau sistem saraf pusat memiliki prognosis yang lebih buruk, meskipun demikian sebagian besar pasien masih memiliki kemungkinan disembuhkan dengan protokol kemoterapi berbasis pediatrik.

14

translated by: [email protected]

Limfoma Tiroid Terapi radiasi menjadi pilihan utama untuk limfoma tiroid stadium IE dan IIE. Dengan menggunakan terapi penyinaran lapangan luas yang meliputi kelenjar getah bening servikal dan mediastinal, angka kelangsungan hidup 5 tahun bebas penyakit sekitar 75%. Faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis antara lain tumor yang besar, perluasan ekstrakapsuler, fiksasi, dan keterlibatan retrosternal. Pasien stadium IE dengan salah satu dari faktor tersebut maupun stadium IIE perlu diterapi dengan pendekatan modalitas kombinasi menggunakan tiga atau enam siklus kemoterapi CHOP sebagai tambahan terapi radiasi (9). Pasien dengan stadium III atau IV perlu diterapi secara primer dengan kemoterapi; regimen spesifik bergantung pada subtipe histologiknya.

Limfoma Orbital Limfoma gradasi rendah yang terbatas pada orbita dapat diterapi baik dengan terapi tunggal radiasi dengan dosis 3000 sampai 3500 cGy (14). Angka kelangsungan hidup bebas penyakit sekitar 70%. Pasien dengan histologi gradasi menengah mendapatkan kontrol lokal yang sangat baik dengan 3600 sampai 4000 cGy. Kemoterapi perlu dipertimbangkan sebagai tambahan, terutama pada pasien dengan histologi gradasi tinggi. Pasien dengan stadium III atau IV perlu diterapi dengan kemoterapi kombinasi.

Limfoma terkait HIV Insidensi limfoma non-Hodgkin meningkat dengan nyata pada pasien dengan infeksi HIV (3). Biasanya, limfoma ini tampil dengan histologi gradasi menengah ataupun tingi dengan stadium lanjut dan sering terjadi keterlibatan di luar kelenjar getah bening (ekstranodal). Limfoma ekstranodal pada region kepala dan leher dapat terjadi pada 10% pasien dengan limfoma terkait HIV. Lokasi yang paling sering meliputi gusi, mukosa oral, kelenjar parotis, dan konjungtiva (4). Penentuan stadium dan pengobatan serupa dengan pasien-pasien tanpa infeksi HIV. Namun, angka kelangsungan hidup keseluruhan biasanya buruk akibat

15

translated by: [email protected]

kecenderungannya berada pada stadium lanjut serta ketidakmampuan untuk mentoleransi dosis penuh dari terapi standar.

KOMPLIKASI DARI TERAPI Terapi Radiasi Efek toksik akut utama dari penyinaran adalah mukositis (17). Hal ini biasanya dapat ditangani dengan cairan pencuci mulut (mouthwashes), dan penghentian terapi radiasi bila diperlukan (Tabel 113.5). Beberapa pasien mungkin mengalami disfagia dan memerlukan terapi simptomatik dengan antasida. Terapi pada cincin Waldeyer biasanya menimbulkan alopesia pada punggung leher. Efek toksik jangka panjang meliputi xerostomia akibat penyinaran kelenjar saliva bersama dengan infeksi oral dan karies dentis. Hipotiroidisme dapat terjadi bertahun-tahun setelah radiasi, sehingga tes TSH (tiroid stimulating hormone) perlu diperiksa setiap tahun.Tabel 113.5. Komplikasi Terapi Limfoma Kepala dan Leher Komplikasi Mukositis Xerostomia Hipotiroidisme Tanda Nyeri oral, ulserasi Mulut kering, karies, infeksi Kelelahan, konstipasi, intoleransi dingin Neutropenia Mual Kardiomiopati Demam Muntah Gagal jantung digoksin, diuretic Neuropati Neuropati perifer, konstipasi, suara parau Hentikan obat Antibiotik, G-CSF Antiemetik Hentikan obat Penanganan Cairan pencuci mulut Sialogog, pilokarpin oral Penggantian tiroid

Kemoterapi Mielosupresi merupakan komplikasi dari kemoterapi. Efek yang paling berpotensi membahayakan hidup ialah netropenia atau trombositopenia. Pasien yang timbul gejala demam selama mengikuti kemoterapi perlu diperiksa hitung

16

translated by: [email protected]

darah lengkap; dan mereka dengan netropenia perlu dirawat inap dan diterapi dengan antibiotik sistemik. Vinkristin, siklofosfamid, dan doksorubisin dapat menyebabkan alopesia. Mual dan muntah terjadi segera setelah penyuntikan doksorubisin dan siklofosfamid dan dapat dikendalikan dengan obat-obat antiemetik. Efek jarang yang sangat serius dari siklofosfamid adalah sistitis hemoragik, yang dapat bermanifestasi sebagai disuria atau hematuria.

Doksorubisin dapat menyebabkan disfungsi jantung dan pada akhirnya menyebabkan gagal jantung pada pasien yang menerima lebih dari 550 mg/m2. Disfungsi jantung dapat terjadi sebagai efek kumulatif dosis rendah pada pasien lanjut usia, pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, atau pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkan penyinaran mediastinal. Pasien yang diterapi dengan doksorubisin perlu dilakukan pemeriksaan berkala terhadap kontraktilitas jantung. Efek toksik utama dari vinkristin yaitu pada saraf, dimana dapat terjadi neuropati perifer, konstipasi, dan ileus. Pada sebagian kecil pasien dapat terjadi suara parau akibat disfungsi korda vokalis. Komplikasi utama dari metotreksat mukositis, ulserasi gastrointestinal, dan toksisitas hematologicdapat dikurangi apabila pemberian metotreksat dosis tinggi diikuti dengan pemberian leukovorin. Metotreksat diekskresi melalui ginjal, dengan demikian fungsi ginjal harus baik sebelum pemberian obat ini. Bleomisin tidak menyebabkan penekanan pada sumsum tulang dan muntah, akan tetapi obat ini dapat menimbulkan eritema, rash, dan hiperpigmentasi. Pada dosis diatas 200 mg khususnya pada pasien-pasien dengan gangguan paru kronis dapat saja terjadi toksisitas pulmoner, terutama suatu fibrosis interstitial. Untuk itu, pengukuran kapasitas difusi karbon monoksida akan membantu dalam menentukan toksisitas secara dini. Banyak obat-obat dapat menyebabkan amenore ataupun azoospermia dan bahan-bahan kemoterapetik terutama golongan alkilator, dikaitkan dengan berkembangnya neoplasma sekunder.

17

translated by: [email protected]

KEDARURATAN Limfoma kepala dan leher, khususnya subtype gradasi menengah dan tinggi dapat menyebabkan penyumbatan jalan napas atau mengancam penglihatan (Tabel 113.6). Terapi radiasi dapat menyebabkan penyembuhan yang segera pada situasi darurat sambil menunggu evaluasi lanjut dan pemastian histologik subtipe tumor. Hancurnya tumor secara cepat dapat terjadi setelah pemberian kemoterapi pada limfoma gradasi tinggi. Sindroma lisis tumor dihubungkan dengan terjadinya hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan gagal ginjal akut. Hal ini dapat terjadi dalam waktu beberapa jam setelah pemberian kemoterapi, dan menyebabkan kematian akibat aritmia jantung. Pasien-pasien dengan tumor yang besar yang memiliki peluang terjadinya lisis tumor yang cepat dan besar harus diberikan allopurinol, hidrasi cairan intravena, serta alkalinisasi urine selama 24-48 jam pertama setelah terapi.

Tabel 113.6. Kedaruratan Limfoma Kepala dan Leher Diagnosis Limfoma orofaringeal/laringeal Sindrom lisis tumor Kedaruratan Obstruksi jalan napas Hiperurisemia, hiperkalemia, Komplikasi Gangguan respirasi Aritmia jantung,

hiperfosfatemia, hipokalsemia gagal ginjal, kematian Demam neutropenik Limfoma leptomeningeal Sepsis Penekanan saraf, pusing, neuropati kranial Syok, kematian Paralisis, koma

UNTUK MASA MENDATANG Evaluasi histologik dan klarifikasi dari limfoma terus berkembang seiring dengan kemampuan ahli patologik dalam mengembangkan penanda molekuler yang lebih rinci dan spesifik untuk penyakit. Kemajuan di dalam pencitraan dengan CT-scan dan MRI telah meningkatkan akurasi penilaian dari limfoma kepala dan leher. Teknik pembedaan antara reaksi inflamasi, efek radiasi, dan limfoma aktif telah berkembang pesat dengan teknologi yang lebih spesifik.

18

translated by: [email protected]

Peranan dari PET (positron emission tomography) dalam upaya memisahkan penyakit aktif dari bentuk-bentuk yang lain, masih perlu dibuktikan secara teori. Beberapa teori berbasis imun untuk limfoma sedang dikembangkan dan tampaknya sangat menjanjikan (2). Antibodi monoklonal melawan antigen permukaan sel B seperti rituximab, memiliki aktivitas pada limfoma gradasi rendah. Apabila antibodi monoklonal dihubungkan dengan radioisotope seperti yodium 131 maka laju respons lebih tinggi (24). Pendekatan terapi berbasis imun lainnya meliputi pembuatan suatu vaksin spesifik untuk tumor yang diberikan pada pasien dengan limfoma setelah diberikan kemoterapi. Agen kemoterapi yang baru terus dikembangkan. Beberapa agen kemoterapi yang baru yang bekerja aktif pada limfoma non-Hodgkin meliputi penghambat taksan dan toksoisomerase I. Manfaat kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sum-sum tulang telah dilakukan pada pasien-pasien dengan limfoma gradasi menengah dan tinggi yang refrakter atau mengalami kekambuhan setelah terapi lini pertama. Oleh karena angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan penyakit telah dapat diturunkan secara mendasar, upayaupaya sedang dilakukan untuk menggabungkan terapi dosis tinggi ke dalam penatalaksaan primer pasien dengan prognosis buruk (stadium lanjut, kadar LDH tinggi, keadaan umum yang jelek, serta keterlibatan situs ekstranodal multipel).

GARIS-GARIS BESAR Limfoma-limfoma non-Hodgkin kepala dan leher paling banyak terjadi pada cincin Waldeyer dan sinus-sinus paranasalis Gejala-gejala yang muncul mirip dengan gejala-gejala pada karsinoma sel skuamous. Biopsi akan lebih membantu diagnosis dan klasifikasi histologik dibandingkan aspirasi jarum halus. Pewarnaan imunohistokimia khusus atau studi-studi molekuler dapat membedakan limfoma dari karsinoma lainnya dan dari proses-proses jinak, namun jaringan segar maupun beku biasanya diperlukan. Kebanyakan limfoma kepala dan leher merupakan sel besar difus, suatu

19

translated by: [email protected]

limfoma gradasi menengah. Penentuan stadium secara menyeluruh perlu dilakukan sebelum terapi direncanakan. Sebagian besar limfoma kepala dan leher diterapi dengan kombinasi penyinaran dan kemoterapi. Limfoma dengan gejala obstruksi jalan napas atau membahayakan penglihatan perlu melalui suatu terapi penyinaran darurat. Limfoma-limfoma pada sinus-sinus paranasalis memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan limfoma-limfoma pada cincin Waldeyer atau pada tiroid, dengan insidensi yang tinggi untuk terjadi relaps pada sistem saraf pusat. Hasil akhir dipengaruhi oleh lokasi, stadium, subtipe histologik, dan terapi.

20