lembar informasi - good growth partnership

12
Arahan Tata Guna Lahan Mendukung Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau Lembar Informasi Lembar Informasi Temuan: 1 Kabupaten Pelalawan memilikia area kelola dalam bentuk penggunaan lahan yang memerlukan perhatian khusus dengan memperhatikan kebutuhan pertumbuhan penduduk, keseimbangan penguasaan lahan, dan kondisi lingkungannnya, dimana luas total ekosistem gambutnya adalah 791.992 ha, dengan 449.992 ha diantaranya merupakan fungsi lindung ekosistem gambut. 2 Fungsi lindung ekosistem gambut beririsan dengan kawasan peruntukan budidaya yang berada hutan produksi, perkebunan besar, perkebunan rakyat dan beberapa penggunaan lain. 3 Skenario pembangunan dengan memperhatikan aspek keberadaan gambut dan area HCV/HCS merupakan salah satu upaya mempertahankan keberlanjutan pembangunan Kabupaten Pelalawan dimasa yang akan datang. Tiga skenario penggunaan lahan dengan memperhatikan prinsip Sustainable Ecosystems Management (SEM) digunakan untuk melakukan penyelamatan lahan gambut yang ada di Kabupaten Pelalawan terdiri dari Skenario 1 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung, Skenario 2 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung dengan kondisi tutupan hutan dan area High Conservation Value (HCV)/High Carbon Stock (HCS), sedangkan Skenario 3 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung dengan kondisi tutupan hutan. 4 Parapihak di Kabupaten Pelalawan telah bersepakat untuk mengembangkan Skenario 2 dalam proses perencanaan penggunaan lahannya sehingga menghasilkan dua Intervensi sebagai berikut: 1) Intervensi-1 Perlindungan ekosistem penting dan tinggi dan 2) Intervensi-2 Restorasi hutan dan bentang alam di kawasan konservasi dan dilindungi. Total area yang diusulkan adalah 317.800 ha. Ini terdiri dari 248.423 ha area di bawah Intervensi-1 (78.2% dari total area skenario FCT) dan 69.377 ha area di bawah Intervensi-2 (21.8%). 5 Dalam upaya menyesuaikan regulasi yang ada, Kabupaten Pelalawan perlu membuat penyesuaian terhadap pola ruang dan atau arahan pengelolaan zonasi yang bersinergi dengan kerangka regulasi ditingkat nasional dan kebijakan pembangunan operasional yang lain. 1. Pengantar Perencanaan penggunaan lahan merupakan suatu upaya negosiasi parapihak untuk mewujudkan keputusan dalam keberlanjutan penggunaan lahan di suatu wilayah dari tahapan inisiasi sampai pada monitoring dalam implementasinya. Dalam perencanaan penggunaan lahan perlu mengedepankan tiga prinsip utama yaitu inklusif, integratif dan informed. Inklusif mengandung pengertian bahwa proses perencanaan penggunaan lahan harus melibatkan parapihak termasuk pemangku kepentingan dalam mendiskusikan aspirasinya dan menegosiasikan rencana yang akan disetujui bersama. Strategi dan intervensi mengetengahkan masyarakat, pengetahuan dan konteks lokal. Integratif menyarankan bahwa perencanaan ini harus memadukan rencana pembangunan, konservasi dan tata ruang, kebijakan dan proses untuk menghindari silo. Informed menunjukan pentingnya proyeksi dampak sosial, ekonomi maupun lingkungan dari perencanaan penggunaan lahan dimodelkan menggunakan data dan informasi Feri Johana, Fitriana Sylvanita, Asri Joni, Tania Benita, Ni Putu Sekar TL, M Thoha Zulkarnain, Mohamad Nugraha, Arga Pandiwijaya, Aenunaim, Ferdyan Dhio Teguh, Andree Ekadinata, Sonya Dewi Foto-foto: World Agroforestry/Adis Hendriatna

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Arahan Tata Guna Lahan Mendukung Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau

Lembar InformasiLembar Informasi

Temuan:1 Kabupaten Pelalawan memilikia area kelola dalam bentuk penggunaan lahan

yang memerlukan perhatian khusus dengan memperhatikan kebutuhan pertumbuhan penduduk, keseimbangan penguasaan lahan, dan kondisi lingkungannnya, dimana luas total ekosistem gambutnya adalah 791.992 ha, dengan 449.992 ha diantaranya merupakan fungsi lindung ekosistem gambut.

2 Fungsi lindung ekosistem gambut beririsan dengan kawasan peruntukan budidaya yang berada hutan produksi, perkebunan besar, perkebunan rakyat dan beberapa penggunaan lain.

3 Skenario pembangunan dengan memperhatikan aspek keberadaan gambut dan area HCV/HCS merupakan salah satu upaya mempertahankan keberlanjutan pembangunan Kabupaten Pelalawan dimasa yang akan datang. Tiga skenario penggunaan lahan dengan memperhatikan prinsip Sustainable Ecosystems Management (SEM) digunakan untuk melakukan penyelamatan lahan gambut yang ada di Kabupaten Pelalawan terdiri dari Skenario 1 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung, Skenario 2 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung dengan kondisi tutupan hutan dan area High Conservation Value (HCV)/High Carbon Stock (HCS), sedangkan Skenario 3 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung dengan kondisi tutupan hutan.

4 Parapihak di Kabupaten Pelalawan telah bersepakat untuk mengembangkan Skenario 2 dalam proses perencanaan penggunaan lahannya sehingga menghasilkan dua Intervensi sebagai berikut: 1) Intervensi-1 Perlindungan ekosistem penting dan tinggi dan 2) Intervensi-2 Restorasi hutan dan bentang alam di kawasan konservasi dan dilindungi. Total area yang diusulkan adalah 317.800 ha. Ini terdiri dari 248.423 ha area di bawah Intervensi-1 (78.2% dari total area skenario FCT) dan 69.377 ha area di bawah Intervensi-2 (21.8%).

5 Dalam upaya menyesuaikan regulasi yang ada, Kabupaten Pelalawan perlu membuat penyesuaian terhadap pola ruang dan atau arahan pengelolaan zonasi yang bersinergi dengan kerangka regulasi ditingkat nasional dan kebijakan pembangunan operasional yang lain.

1. PengantarPerencanaan penggunaan lahan merupakan suatu upaya negosiasi parapihak untuk mewujudkan keputusan dalam keberlanjutan penggunaan lahan di suatu wilayah dari tahapan inisiasi sampai pada monitoring dalam implementasinya. Dalam perencanaan penggunaan lahan perlu mengedepankan tiga prinsip utama yaitu inklusif, integratif dan informed. Inklusif mengandung pengertian bahwa proses perencanaan penggunaan lahan harus melibatkan parapihak termasuk pemangku kepentingan dalam mendiskusikan aspirasinya dan menegosiasikan rencana yang akan disetujui bersama. Strategi dan intervensi mengetengahkan masyarakat, pengetahuan dan konteks lokal. Integratif menyarankan bahwa perencanaan ini harus memadukan rencana pembangunan, konservasi dan tata ruang, kebijakan dan proses untuk menghindari silo. Informed menunjukan pentingnya proyeksi dampak sosial, ekonomi maupun lingkungan dari perencanaan penggunaan lahan dimodelkan menggunakan data dan informasi

Feri Johana, Fitriana Sylvanita, Asri Joni, Tania Benita, Ni Putu Sekar TL, M Thoha Zulkarnain, Mohamad Nugraha, Arga Pandiwijaya, Aenunaim, Ferdyan Dhio Teguh, Andree Ekadinata, Sonya Dewi

Foto-foto: World Agroforestry/Adis Hendriatna

2

yang akurat dan up-to-date sebagai dasar analisa trade-off untuk memilih skenario pembangunan yang paling sesuai. Di Indonesia dalam konteks tata guna lahan telah diatur dua kategori besar dalam pengalokasian lahan yaitu terkait kawasan lindung dan kawasan budidaya.

2. Konteks Kabupaten Pelalawan

Visi Kabupaten Pelalawan adalah Inovasi Menuju Pelalawan EMAS (Independen, Aman dan Sejahtera) dimana tujuan visinya adalah bahwa Inovasi adalah kebijakan Pemerintah Kabupaten Pelalawan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kinerja Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah dapat berinovasi. Inovasi adalah segala bentuk pembaruan dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Inovasi juga merupakan upaya memacu kreativitas daerah untuk meningkatkan daya saing kawasan lindung tanpa menjadi obyek pelanggaran hukum. Inovasi adalah perubahan dan pembaruan pola layanan. Pola kerja bisa menjadi lebih efektif, efisien, sementara juga mendukung penciptaan kreativitas dan terobosan baru baik dalam pelayanan langsung kepada masyarakat dan dalam memecahkan masalah. EMAS adalah akronim untuk Ekonomi Independen, Aman dan Sejahtera, yaitu kondisi wilayah yang memiliki ekonomi independen yang didukung oleh potensi dan kemampuan sumber daya lokal, situasi yang aman di mana hubungan yang harmonis dibangun antara masyarakat, penciptaan kondisi dan kemakmuran daerah yang kondusif, baik dari segi materi maupun spiritual.

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pelalawan dalam tujuh tahun terakhir sebagian besar didorong oleh dua sektor ekonomi: pertanian dan industri pengolahan (BPS, 2018).

Sekitar 87% dari total 41 triliun rupiah Produk Domestik Regional Bruto Pelalawan (PDRB) berasal dari sektor pertanian, dengan sumbangan terbesar dari perkebunan karet dan kelapa sawit yang menyumbang 55% dan 28%.

Dinamika penggunaan lahan Kabupaten Pelalawan dalam 10 tahun terakhir telah mencerminkan kegiatan ekonomi di atas dan menunjukkan beberapa praktik pemanfaatan lahan di beberapa tempat yang tidak berkelanjutan. Kawasan hutan alam telah berkurang dan digantikan oleh sistem penggunaan lahan intensif seperti perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, dan hutan tanaman industri. Pemanfaatan lahan gambut untuk sistem penggunaan lahan intensif yang membutuhkan drainase juga terjadi secara luas.

Hanya 38% dari area Pelalawan yang ditunjuk sebagai area penggunaan lain (APL) yang dapat dikelola oleh masyarakat lokal. Wilayah lainnya adalah tanah milik negara, yang ditetapkan sebagai hutan produksi dan kawasan konservasi dengan berbagai kegiatan dalam skala besar yang sudah berjalan. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No. 130 /, 2017 tentang Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, lebih dari 60% wilayah Kabupaten Pelalawan merupakan lahan gambut dan sebesar 33% dari luas area tersebut tergolong sebagai lahan gambut yang dilindung. Hal inilah yang menjadi dasar pentingnya pengembangan perencanaan penggunaan lahan secara berkelanjutan dengan memperhatikan hajat hidup dan kebutuhan semua pihak yang ada di Kabupaten Pelalawan pada khususnya.

Berdasarkan Rancangan Rencana Tata Ruang Pelalawan untuk 2019-2039, sebagian besar wilayah Pelalawan ditetapkan sebagai kawasan hutan, baik untuk hutan lindung atau kawasan hutan produksi. Sebagian besar hutan produksi dikelola oleh perusahaan skala besar sebagai hutan tanaman industri. Hanya 30% dari wilayah kabupaten digambarkan sebagai zona non-hutan (Area Penggunaan

Foto: World Agroforestry/Adis Hendriatna

3

Lain/APL). Beberapa area APL yang cukup besar diberikan ijin kepada perusahaan kelapa sawit. Masalah tenurial telah menjadi masalah sosial yang serius dan berdampak pada visi pemangku kepentingan lokal terhadap konservasi. Karena lahan yang dapat diakses terbatas, sebagian besar penggunaan lahan dan praktik pemanfaatan lahan saat ini ditargetkan untuk memaksimalkan hasil ekonomi lanskap.

Dalam mengatasi kebutuhan ini, sudah saatnya Pelalawan memiliki rencana penggunaan lahan berkelanjutan berbasis bukti yang dikembangkan bersama oleh semua pemangku kepentingan dan yang mempertimbangkan berbagai agenda dan negosiasi opsi untuk menemukan keseimbangan yang dapat diterima antara lingkungan, tuntutan ekonomi dan sosial. Selain itu, rencana tata guna lahan harus disesuaikan dengan kondisi spesifik, visi, misi dan rencana pemerintah Kabupaten Pelalawan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No. 130 /2017 tentang Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, lebih dari 60% wilayah Kabupaten Pelalawan merupakan lahan gambut dan sebesar 33% dari luas area tersebut tergolong sebagai lahan gambut yang dilindung. Hal inilah yang menjadi dasar pentingnya pengembangan perencanaan penggunaan lahan secara berkelanjutan dengan memperhatikan hajat hidup dan kebutuhan semua pihak yang ada di Kabupaten

Gambar 1. Peta Fungsi Ekosistem Gambut Kabupaten Pelalawan

Pelalawan pada khususnya. Seperti telah dikemukakan di atas, keberadaan lahan gambut adalah di bagian timur wilayah yang berkarakter bagian hilir DAS Kampar dan di Pulau Mendol. Secara administrasi wilayah yang terdapat di dalamnya lahan gambut adalah Kecamatan Teluk Meranti, Kecamatan Kuala Kampar, Kecamatan Kerumutan, dan Kecamatan Pelalawan.

Lahan gambut di sebelah selatan Sungai Kampar, yaitu yang terdapat di Kecamatan Kerumutan dan Kecamatan Teluk Meranti, telah ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Kerumutan. Untuk lahan gambut yang terletak di sebelah utara Sungai Kampar, sebagian di antaranya telah ditetapkan juga sebagai Suaka Margasatwa (SM), yaitu SM Tasik Serkap, SM Tasik Besar Serkap, dan SM Tasik Belat (yang menerus ke Kabupaten Siak). Namun masih terdapat cukup luas lahan gambut lainnya. Untuk itu perlu penetapannya sebagai kawasan lindung berupa kawasan lindung kawasan bergambut. Begitu juga halnya dengan lahan gambut yang terletak di tengah Pulau Mendol, yang perlu penetapannya sebagai kawasan lindung kawasan bergambut.

Merujuk Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, ekosistem gambut memiliki dua fungsi yaitu, fungsi lindung ekosistem gambut dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Fungsi lindung ekosistem gambut ditetapkan 30% (tiga

4

puluh per seratus) dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) serta terletak pada puncak kubah gambut dan sekitarnya. Dalam hal di luar 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas KHG masih terdapat:

a Gambut dengan ketebalan 3 m (tiga meter) atau lebih; b Plasma nutfah spesifik dan/atau endemik;c Spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan; d Ekosistem gambut yang berada di kawasan lindung

sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.

Maka ditetapkan sebagai fungsi lindung ekosistem gambut yang didasarkan pada peta final KHG dan disajikan dalam bentuk peta Fungsi Ekosistem Gambut (FEG). Pada ekosistem gambut yang tidak memenuhi fungsi lindung ekosistem gambut maka ditetapkan sebagai fungsi budidaya ekosistem gambut.

Hasil analisis peta fungsi ekosistem gambut, luas total ekosistem gambut di Kabupaten Pelalawan adalah 791.992 ha, dengan 449.992 ha diantaranya merupakan fungsi lindung ekosistem gambut. Dari peta tersebut dapat dilihat luas fungsi lindung ekosistem gambut beririsan dengan kawasan peruntukan budidaya. Sebaran lokasi ekosistem

gambut pada kawasan peruntukan budidaya berada pada hutan produksi, perkebunan besar, dan perkebunan rakyat.

Dalam rangka melindungi tata air dan keunikan ekosistem gambut maka fungsi lindung ekosistem gambut wajib diatur sesuai peraturan perundangan yang berlaku tentang pengelolaan dan perlindungan gambut. Mengacu pada hasil analisis fungsi ekosistem gambut, fungsi lindung ekosistem gambut yang berada pada kawasan peruntukan budidaya diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi.

3. Proses Perencanaan Penggunaan lahan

Serangkaian diskusi dan konsultasi para pemangku kepentingan dilakukan untuk menyepakati target pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan upaya-upaya penyelamatan lingkungan dengan visi dan misi pembangunan kabupaten, yang dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Prosesnya cukup menarik mengingat bahwa upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang signifikan adalah tujuan paling penting dalam orientasi pembangunan Pelalawan saat ini, dengan juga haruslah dengan upaya perlindungan lingkungan yang memadai. Selain itu, perlindungan sosial juga dibutuhkan karena kenyataan bahwa ada potensi pemanfaatan lahan yang relatif terbatas untuk masyarakat lokal karena adanya pengelolaan skala besar yang luas di bawah konsesi hutan tanaman industri dan perkebunan skala besar.

Dalam mengembangkan skenario sustainable ecosystems management (SEM) atau pengelolaan ekosistem berkelanjutan, telah dilakukan upaya untuk memahami visi pemangku kepentingan Kabupaten Pelalawan dalam mencapai keberlanjutan, mengeidentifikasi tujuan spesifik, dan membangun serangkaian indikator. Target konservasi dibahas sebagai bagian dari target pembangunan berkelanjutan dimana kepentingan pembangunan secara keseluruhan diukur secara memadai. Berbagai skenario dikembangkan untuk memberikan alternatif bagi para pihak menyampaikan aspirasinya berdasarkan pengetahuan dan kepentingannya, dimana didalamnya menggambarkan upaya optimis, layak, dan batas terendah (dikompromikan) dari target kegiatan konservasi yang dapat dilakukan. Skenario SEM juga diselaraskan dengan rencana pembangunan formal Pelalawan saat ini dan juga untuk diformulasikan sebagai rencana penggunaan lahan untuk memastikan bahwa sektor-sektor ekonomi strategis dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan dengan tetap mempertahankan jasa ekosistemnya.

Foto: World Agroforestry/Adis Hendriatna

5

Targeted Scenario Analysis (TSA) dan Land Use Planning for Multiple Environmental Services (LUMENS) digunakan untuk membangun dan mensimulasikan skenario penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan. Metode ini dapat menangkap dan menyajikan nilai jasa ekosistem dalam pengambilan keputusan untuk membantu membuat kebijakan berkelanjutan dan pilihan berbagai kegiatan dengan memeberikan analisis yang seimbangn pada skenario bisnis seperti biasa (BAU) atau mengikuti jalur pembangunan berkelanjutan di mana ekosistem dikelola secara lebih efektif.

Kerangka kerja TSA dan LUMENS digunakan secara bersamaan dengan beberapa tahapan ayng tediri dari (1) menentukan skenario Business as Usual (BAU) dan alternatif SEM, (2) merancang indikator dengan memahami visi dan misi regional sebagai garis besar dari perkembangan masa depan yang ideal, (3) mementukan indikator utama yang diharapkan dapat mengakomodasi beberapa faktor dalam memilih skenario Sustainable Ecosystem Management (SEM), (4) mensimulasikan capaian beberapa indikator dari berbagai skenario menggunkan perangkat lunak LUMENS.

Peta usulan penggunaan lahan (zonasi) diproduksi melalui fase analisis data teknis, pedoman manajemen untuk masing-masing zona. Langkah ini menggunakan analisis pada berbagai kebijakan administrasi pertanahan dan pemanfaatan di Indonesia untuk mengidentifikasi jenis dan tindakan pengelolaan yang tepat untuk setiap zona. Pada bagian akhir rekomendasi penggunaan lahan diwujudkan dalam bentuk pedoman manajemen untuk skenario terpilih yang diusulkan terdiri dari beberapa aspek:

5 Karakteristik manajemen: Menjelaskan persyaratan umum pengelolaan zona.

6 Jenis manajemen: Identifikasi pemangku kepentingan utama berdasarkan karakteristik manajemen.

7 Tindakan yang diizinkan: Daftar kegiatan terkait manajemen yang diizinkan di bawah jenis manajemen tertentu.

8 Tindakan terbatas: Daftar kegiatan terkait manajemen yang terbatas dan/terbatas pada jenis manajemen tertentu.

9 Kegiatan Manajemen: Menjelaskan tindakan yang diperlukan untuk menetapkan dan menerapkan peraturan zonasi untuk periode 20 tahun.

Berbagai regulasi dan peraturan dipahami dalam rangka untuk menghasilkan rekomendasi yang bersesuaian dengan aturan yang telah ditetapkan dan melihat peluang dalam mengembangkan rekomendasi yang sesuai dengan konteks wilayah.

1 Peta Perencanaan Tata Ruang Pelalawan (RTRW) didasarkan pada: (1) Peraturan Menteri Agraria & Tata Ruang No. 1/2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kota, dan (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah.

2 Peta Unit Hidrologi Gambut (KHG) berdasarkan: (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 130/2017 tentang Fungsi Ekosistem Gambut (FEG). Kerusakan di kawasan gambut yang dilindungi tidak dapat dibandingkan dengan area budidaya karena waktu yang mereka butuhkan untuk pulih. Peraturan Pemerintah No. 57/2016 menyatakan bahwa fungsi ekosistem gambut yang dilindungi dianggap rusak jika: (a) ada

Foto: World Agroforestry/Adis Hendriatna

6

Tabel 2. Perkiraan dampak skenario penggunaan lahan terhadap berbagai skenario No SEM Indicator SKenario 2018 2024 2030 2033 2036 20391 Deforestasi (ha/yr) BAU 4,967 1,425 1,092 739 707

Skenario 1 317 104 71 66 59Skenario 2 (FCT) 299 106 57 52 42Skenario 3 4,950 1,435 1,092 739 707

2 Tutupan pohon (%) BAU 60.81% 59.96% 58.48% 57.92% 57.43% 56.96%Skenario 1 60.81% 62.94% 62.31% 61.96% 61.64% 61.33%Skenario 2 (FCT) 60.81% 64.93% 64.14% 63.75% 61.47% 63.05%Skenario 3 60.81% 61.60% 60.32% 59.84% 59.43% 59.04%

3 Luasan agroforestri (%) BAU 4.39% 4.90% 5.29% 5.41% 5.54% 5.62%Skenario 1 4.39% 5.90% 5.79% 5.73% 5.68% 5.65%Skenario 2 (FCT) 4.39% 5.99% 5.94% 5.89% 5.89% 5.87%Skenario 3 4.39% 6.10% 6.42% 6.50% 6.60% 6.66%

drainase buatan dalam ekosistem gambut dengan fungsi perlindungan yang telah ditentukan; (B) ada eksposur ke pirit dan/atau sedimen kuarsa di bawah lapisan gambut; dan/atau (c) ada volume tutupan lahan dan/atau pengurangan area. Area gambut yang dibudidayakan dikategorikan rusak jika memenuhi kondisi berikut: (a) permukaan air tanah pada lahan gambut lebih dari 0,4 m di bawah permukaan gambut pada titik kepatuhan; dan/atau (2) paparan terhadap sedimen pirit dan/atau kuarsa di bawah lapisan gambut.

3 Peta HCV/HCS: UU Kehutanan No. 1/1999, UU No. 26/2007 tentang Perencanaan Tata Ruang dan UU No.5/1990 tentang sumber daya hayati dan konservasi ekosistem. Melalui dokumen-dokumen ini, status tanah dibagi menjadi dua jenis: dilindungi dan diolah. Kawasan lindung dialokasikan untuk konservasi flora dan fauna, dan oleh karena itu perlu sejalan dengan peta hutan lindung dan konservasi, serta peta HCV dan HCS sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang ini untuk data yang digunakan dalam proses perencanaan. Selain itu, ini juga sejalan dengan SDG yang mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dengan memastikan bahwa aset alam tersedia untuk menyediakan layanan lingkungan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Gambar 2. Opsi skenario penggunaan lahan

4. Rekomendasi Skenario Penggunaan Lahan

Tiga skenario penggunaan lahan dengan memperhatikan prinsip SEM digunakan untuk melakukan penyelamatan lahan gambut yang ada di Kabupaten Pelalawan. Skenario 1 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung, Skenario 2 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung dengan kondisi tutupan hutan dan area High Conservation Value (HCV)/High Carbon Stock (HCS), sedangkan Skenario 3 ditujukan untuk menyelamatkan seluruh fungsi ekologis gambut lindung dengan kondisi tutupan hutan.

Gambar 2 adalah perhitungan luas area dari ketiga skenario yang diusulkan kepada para stakeholder yang ada di Kabupaten Pelalawan. Skenario diputuskan melalui berbagai pertimbangan kesesuiannya dan juga memperhatikan kepentingan dan kondisi yang ada dilapangan.

7

Keterangan:1. Deforestasi (ha/th): total area konversi tahunan hutan alam menjadi penggunaan lahan hutan non-alami lainnya. Total area diperoleh

melalui perbandingan peta penggunaan lahan yang disimulasikan di berbagai skenario.2. Persen tutupan pohon (%): total area dari semua kelas sistem berbasis pohon dalam peta simulasi tutupan lahan dibagi dengan

total area Pelalawan. Ini termasuk perkebunan tanaman monokultur seperti karet dan kelapa sawit, dan juga sistem berbasis pohon campuran seperti kawasan agroforestri.

3. Luas agroforestri (%): luas total agroforestri dalam peta penggunaan lahan simulasi Pelalawan. Agroforestri dianggap sebagai jenis penggunaan lahan yang dapat memberikan manfaat ekonomi sambil tetap menyediakan beberapa fungsi ekologis melalui tutupan pohon. Jenis agroforestri di Pelalawan adalah agroforestri karet, agroforestri kelapa dan kebun campuran.

4. Integrasi habitat (DIFA index): fragmentasi habitat diukur menggunakan Total Edge Core Index (TECI) yang dijelaskan dalam Dewi et al, 2012. TECI dihitung menggunakan bobot kontras tepi untuk setiap jenis penggunaan lahan / tutupan lahan di Kabupaten Pelalawan. TECI sub-lanskap berkisar dari 0 hingga 100. TECI mendekati 0 ketika setiap piksel hutan lebat di sub-lanskap hanya dikelilingi oleh piksel yang tidak kontras, yaitu piksel hutan lebat lainnya. TECI mendekati 100 ketika semua tepi untuk setiap piksel dalam sub-lanskap adalah kontras maksimum, misalnya, dalam sub-lanskap di mana setiap piksel hutan lebat dikelilingi oleh piksel permukiman.

5. Emisi gas rumah kaca (Juta ton): total emisi gas rumah kaca yang terkait dengan kegiatan pertanian, hutan dan penggunaan lahan lainnya di Pelalawan. Emisi dihitung dengan menggunakan pendekatan perbedaan stok (IPCC, 2008), dihitung menggunakan nilai stok karbon dari pengukuran lapangan di Pelalawan dan basis data internal ICRAF stok karbon untuk berbagai penggunaan lahan di Indonesia

6. Produk Regional Domestik Bruto (PDRB): estimasi PDRB dihitung menggunakan simulasi model Input-Output berdasarkan Tabel I-O 2017 Pelalawan. Metode peramalan didasarkan pada metode yang dijelaskan dalam Hubacek, 2001. Koefisien distribusi tanah untuk masing-masing sektor ekonomi dalam tabel I-O diperkirakan dengan menggunakan peta penggunaan / tutupan lahan simulasi Pelalawan.

7. Pendapatan per kapita: dengan menggunakan metode yang mirip dengan peramalan PDRB, pendapatan percapita dihitung sebagai bagian dari PDB dibagi dengan perkiraan populasi Pelalawan menggunakan pertumbuhan populasi 2015-2017.

8. Penyerapan tenaga kerja: berdasarkan perkiraan PDRB, pengganda tenaga kerja dihitung untuk skenario dasar tahun 2017. Penyerapan tenaga kerja di masa mendatang didasarkan pada pengganda tenaga kerja dan PDRB yang disimulasikan dari Pelalawan.

9. Intensitas emisi (ton CO2 / juta rupiah): Intensitas emisi dihitung sebagai rasio emisi GRK dan PDRB yang disimulasikan.

Ex-ante analisis dilakukan dan disampaikan untuk memberikan tambahan informasi terhadap gambaran kondisi dimasa yang akan datang dilihat dari berbagai indikator pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam berbagai indikator sosial, ekonomi dan lingkungan yang relevan dan telah disepakati. Berikut di bawah ini

No SEM Indicator SKenario 2018 2024 2030 2033 2036 20394 Integrasi Habitat

(DIFA Index)BAU 0.152 0.146 0.143 0.142 0.141 0.139Skenario 1 0.152 12.012 12.068 16.394 16.384 16.361Skenario 2 (FCT) 0.152 21.449 23.621 27.85 27.87 27.821Skenario 3 0.152 21.779 24.868 41.521 41.493 41.472

5 Emisi CO2 (juta ton) BAU 189,608,646 282,257,721 375,837,294 468,454,123 561,793,114 654,301,581Skenario 1 76,146,484 104,925,058 82,298,611 60,115,575 88,154,227 116,706,140Skenario 2 (FCT) 75,602,931 136,369,278 179,911,669 235,086,176 298,498,997 365,991,820Skenario 3 134,853,182 215,601,724 285,486,862 354,096,028 436,561,893 518,145,143

6 PDRB (Juta Rupiah) BAU 43,864,834 58,978,077 77,443,517 100,498,132 128,572,065 161,796,959Skenario 1 43,864,834 61,319,812 79,340,838 101,476,985 129,361,040 163,547,435Skenario 2 (FCT) 43,864,834 60,613,047 78,448,231 100,365,335 127,606,258 160,107,461Skenario 3 43,864,834 58,540,472 76,860,244 99,777,192 120,077,488 150,661,121

7 Pendapatan Perkapita (Juta Rupiah/tahun)

BAU 2,296 2,291 2,232 2,495 2,749 2,980Skenario 1 2,296 2,381 2,286 2,519 2,766 3,012Skenario 2 (FCT) 2,296 2,354 2,261 2,491 2,728 2,949Skenario 3 2,296 2,274 2,215 2,477 2,567 2,775

8 Jumlah tenaga kerja BAU 512,731 692,858 914,685 914,685 1,193,848 1,535,846Skenario 1 512,731 720,363 939,225 939,225 1,209,834 1,551,413Skenario 2 (FCT) 512,731 712,568 928,988 928,988 1,197,318 1,531,872Skenario 3 512,731 688,919 909,353 909,353 1,187,202 1,527,787

9 Intensitas Emisi (ton CO2/Juta Rupiah)

BAU 4.32 4.79 4.85 4.66 4.37 4.04Skenario 1 1.74 1.71 1.04 0.59 0.68 0.71Skenario 2 (FCT) 1.72 2.25 2.29 2.34 2.34 2.29Skenario 3 3.07 3.68 3.71 3.55 3.64 3.44

adalah perkiraan dampak dari skenario pembangunan berkelanjutan dalam penyelamatan ekosistem gambut dari berbagai indikator penting. Semua skenario diperkirakan akan berdampak positif terhadap kondisi BAU dimasa yang akan datang dengan berbagai besaran yang disesuaikan dengan intensitas masing-masing skenarionya.

8

5. Arahan Tata Guna Lahan Kabupaten Pelalawan

Rekomendasi tata guna lahan diperoleh dari kesepakatan para pihak untuk merekomendasikan Skenario 2 untuk dapat dipertimbangkan dalam proses penyusunan RTRW Kabupaten Pelalawan dalam hal pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan fungsi lindung gambut dan kelayakannya dilihat dari regulasi dalam penyusunan RTRW tersebut. Selanjutnya dengan memperhatikan adanya pengaturan pola ruang RTRW Provinsi Riau, rekomendasi penggunaan lahan dilakukan untuk memberikan masukan dalam penyusunan peraturan zonasi, walaupun dalam proses ini juga masih banyak terdapat berbagai ketentuan rigid yang tidak memberikan keleluasan dalam penyusunan peraturan zonasi tersebut.

Peta arahan penggunaan lahan Kabupaten Pelalawan disajikan pada Gambar 3. Arahan penggunaan lahan terdiri atas dari dua Intervensi berbeda: 1) Intervensi-1 Perlindungan

ekosistem penting dan tinggi dan 2) Intervensi-2 Restorasi hutan dan bentang alam di kawasan konservasi dan dilindungi. Total area yang diusulkan adalah 317.800 ha. Ini terdiri dari 248.423 ha area di bawah Intervensi-1 (78.2% dari total area skenario FCT) dan 69.377 ha area di bawah Intervensi-2 (21.8%).

Intervensi-1 secara khusus mengusulkan zona perlindung baru dan Intervensi-2 mengusulkan tindakan restorasi pada lahan terdegradasi di dalam kawasan lindung yang ada di Pelawan. Dari total area Intervensi-1, 236.633 ha atau 95,2% dari zona lindung yang diusulkan terletak di kawasan Hutan Produksi. Area restorasi dalam Intervensi-2 sebagian besar terletak di area Konservasi/Perlindungan. Total area restorasi yang diusulkan di dalam kawasan Konservasi adalah 65.705 ha atau 94,7% dari total area Intervensi-2.

Dalam hal rekomendasi penggunaan lahan pada intervensi 1 dilakukan berdasarkan aspek pengelolaan lahan yang sudah ada terkait dengan adanya pengelolaan lahan yang terdiri dari konsesi HTI, Restorasi Ekosistem, Perkebunan tanaman pepohonan, dan wilayah yang berada diluar konsesi, seperti pada Gambar 4.

Intervensi-1: Upaya Perlindungan Gambut

Total area di bawah zona lindung yang diusulkan dalam Intervensi-1 adalah 248.423 ha. Ini adalah area yang diklasifikasikan sebagai Ekosistem Gambut yang Dilindungi atau diidentifikasi sebagai area Nilai Konservasi Tinggi (HCV) atau Stok Karbon Tinggi (HCS) di Pelalawan. Dengan menggabungkan peta dengan rancangan rencana tata ruang Pelalawan saat ini, diketahui bahwa sebagian besar wilayah yang diusulkan (236.633 ha) terletak di kawasan Hutan Produksi. Ini lebih dari sepertiga dari total area yang saat ini ditetapkan sebagai Hutan Produksi di Pelalawan

Foto-foto: World Agroforestry/Adis Hendriatna

9

Gambar 4. Peta Konsesi

Gambar 3. Peta Usulan Intervensi Penggunaan Lahan Pada Skenario Terpilih

10

(604.622 ha). Di sisi lain, sebagian kecil Intervensi-1 terletak di Hutan Konversi, Hutan Produksi Terbatas dan area perkebunan Tanaman Pohon Skala Besar. Total ukuran area tersebut masing-masing adalah 6641 ha, 1480 ha dan 3563 ha.

Area intervensi selanjutnya dibedakan menjadi empat kelas: (1) Area tanpa lisensi/diluar konsesi (2) Area di dalam konsesi Hutan Tanaman Industri dan (3) Area di dalam konsesi Restorasi EKosistem, (4) Area dalam konsesi Hak Guna Usaha (HGU). Diferensiasi dilakukan berdasarkan peta konsesi mencerminkan perbedaan dalam hal rezim pengelolaan di mana peraturan zonasi yang diusulkan akan diterapkan di masa depan. Dengan demikian, peta zonasi akhir untuk Intervensi-1 diproduksi berdasarkan diferensiasi ini.

Intervensi-1 berfokus pada pengelolaan fungsi lindung gambut dan nilai konservasi tinggi yang berada di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Kriteria gambut dengan fungsi lindung adalah gambut yang memiliki kedalaman lebih dari tiga meter, memiliki plasma nutfa spesifik dan/atau endemik dan spesies yang dilindungi.

a Pengelolaan Fungsi Lindung pada Hutan Produksi (HP)

Pada Hutan Produksi (HP) pengelolaan ditujukan kepada HP yang sudah dibebani izin pengelolaan dan belum dibebani izin dibawah pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pada area HTI diperbolehkan melakukan kegiatan budidaya Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) serta harus ditetapkan sebagai area tanaman kehidupan, fungsi lindung gambut, dan area perlindungan setempat, dan diperbolehkan melakukan pembangunan untuk kebutuhan infrastruktur penunjang. Pada area yang sudah terlanjur dibudidaya masih diperbolehkan sampai satu kali masa daur. Pembukaan lahan dengan membakar, merubah struktur biofisik dan fungsi utama kawasan tidak diperbolehkan. Pada area yang belum dibebani izin dibawah pengelolaan KPH diperbolehkan pemanenan HHBK dan pemanfaatan jasa lingkungan. Budidaya dan penanaman non-kayu diperbolehkan termasuk pengelolaan tumpang sari. Pemanenan kayu dan merubah struktur biofisik serta fungsi utama kawasan tidak diperbolehkan. Budidaya dengan skema Perhutanan Sosial masih diperbolehkan kecuali budidaya kelapa sawit. Area yang terdapat dalam konsesi restorasi ekosistem (RE) memperlihatkan adanya upaya untuk mempertahankan keberadaan gambut secara berkelanjutan, sehingga area dibawah konsesi RE direkomendasikan dalam tata guna lahan ini.

b Pengelolaan Fungsi Lindung pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK)

Pengelolaan fungsi lindung pada HPK yang dibebani izin hanya diperbolehkan melakukan budidaya sampai

izin pengelolaan habis masa berlakunya. Membuka lahan dengan cara membakar dan atau tebang habis, serta melepas sumberdaya genetik yang terancam punah tidak diperbolehkan. Untuk yang belum dibebani izin ditujukan pada pengelolaan berbasis komunitas yang diperbolehkan untuk berbagai kegiatan budidaya. Membuka lahan dengan cara membakar dan atau tebang habis tidak diperbolehkan.

c Pengelolaan Fungsi Lindung pada Hutan Produksi Terbatas (HPT)

Pada HPT, pengelolaan hanya ditujukan untuk area yang belum dibebani izin. Sebagian besar kegiatan yang diajukan untuk diperbolehkan adalah dibawah skema Perhutanan Sosial. Kegiatan yang diperbolehkan adalah budidaya dan penanaman non-kayu termasuk tumpang sari, pemanenan HHBK dan pemanfaatan jasa lingkungan. Pemanenan kayu dan merubah struktur biofisik serta fungsi utama kawasan tidak diperbolehkan. Budidaya dengan skema Perhutanan Sosial masih diperbolehkan kecuali budidaya kelapa sawit.

d Pengelolaan Fungsi Lindung pada Area Penggunaan Lain (APL)

Pada APL yang sudah diberikan hak pengelolaan dalam bentuk HGU, kegiatan budidaya pada area yang sudah ditetapkan sebagai fungsi lindung hanya

Foto-foto: World Agroforestry/Adis Hendriatna

11

diperbolehkan sampai masa berlaku izin habis. Membuka lahan dengan cara membakar dan atau tebang habis, serta melepas sumberdaya genetik yang terancam punah tidak diperbolehkan. Untuk yang belum diberikan hak pengelolaan, penggunaan ditujukan pada pengelolaan berbasis komunitas. Kegiatan yang diperbolehkan untuk budidaya berbagai kebutuhan komoditas lahan termasuk agroforestri. Pengajuan peruntukkan plasma/bentuk kemitraan lain juga diusulkan untuk komunitas lokal. Membuka lahan dengan cara membakar dan atau tebang habis, serta melepas sumberdaya genetik yang terancam punah tidak diperbolehkan.

Intervensi-2: Restorasi Hutan dan Lahan

Total area untuk restorasi hutan dan lanskap dalam Intervensi-2 adalah 69.377 ha. Saat ini, semua area ini ditetapkan sebagai kawasan Lindung dan Konservasi dalam rancangan Rencana Tata Ruang Pelalawan. Jenis penggunaan/tutupan lahan di area intervensi ini berkisar dari tanah yang dibuka, semak belukar hingga perkebunan tanaman pohon. Melalui proses overlay dengan rancangan rencana tata ruang Pelalawan saat ini, ditemukan bahwa 3636 ha wilayah tersebut terletak di Hutan Lindung,

65.705 ha terletak di kawasan Konservasi dan 34 ha berlokasi di kawasan sempadan. Kelas-kelas ini selanjutnya digabungkan dengan peta kelompok sosial ekonomi untuk menentukan karakteristik intervensinya yang disesuaiakn denngan regulasi yang ada.

a Pengelolaan Restorasi pada Hutan Lindung (HL)

Area HL yang terdegradasi harus direstorasi dengan melakukan memulihkan lahan-lahan rusak/kritis. Pengembalian fungsi sebagai media produksi dan media tata air, serta kegiatan rewetting, revegetasi, revitalisasi menjadi prioritas restorasi pada lahan gambut yang terdegradasi. Restorasi fungsi dengan jenis tanaman yang dapat dimanfaatan sebagai HHBK melalui skema kemitraan menjadi kegiatan yang harus dilakukan.

b Pengelolaan Restorasi pada Kawasan Suaka Alam (KSA)/Kawasan Pelestarian Alam (KPA)

Kegiatan restorasi lahan tidak dapat dilakukan secara bebas di area KPA dan KSA karena setiap zona memiliki pengelolaan masing-masing. Di KPA ada 2 zona terlarang untuk melakukan kegiatan pemulihan lahan, yaitu zona inti dan zona hutan yang hanya diperbolehkan untuk pengelolaan habitat. Artinya, upaya restorasi hanya bergantung pada suksesi alami, namun tetap dilakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi kerusakan tambahan. Kegiatan pemulihan ekosistem hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan dan zona lain sesuai kebutuhan, salah satunya zona rehabilitasi. Pemulihan untuk lahan gambut dalam KPA tetap sejalan dengan aturan yang berlaku untuk zona KPA meskipun zona inti menderita kerusakan gambut parah. Namun, dimungkinkan untuk melakukan zonasi ulang. Pada zona inti KSA berlaku hal yang sama dengan zona hutan di KPA. Kegiatan restorasi hanya diperbolehkan pada zona lain atau zona rehabilitasi serta ada kesempatan untuk melakukan penilaian ulang jika zona inti/zona perlindungan mengalami kerusakan parah.

c Pengelolaan Restorasi pada Sempadan Sungai

Secara aturan, pada sempadan sungai tidak diperbolehkan kegiatan yang mengubah dan atau merusak fungsi sempadan sungai. Kegiatan yang diizinkan adalah pembangunan infrastruktur sumber daya air, fasilitas jembatan dan dermaga, saluran pipa gas dan air minum, kabel listrik dan telekomunikasi serta kegiatan untuk menanam tanaman sayuran. Kegiatan pemulihan, pemeliharaan dan peningkatan fungsi sisi sungai dapat dilakukan sesuai dengan PP No. 38 tahun 2011.Batas-batas sungai dengan area gambut disesuaikan dengan zona hidrologi gambut

12

dan kegiatan pemulihan dapat dilakukan sesuai dengan peraturan Permen LHK No 16 tahun 2017 tentang Pedoman Pemulihan Ekosistem Gambut. Kanalisasi dan penutupan kanal dapat dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis gambut.

PUSTAKA

Aplizar F, Bovarnick A. 2013. Targeted Scenario Analysis: A new approach to capturing and presenting ecosystem service values for decision making. UNDP.

Dewi S, Ekadinata A, Indiarto D, Nugraha A, van Noordwijk M. 2015. Negotiation support tools to enhance multifunctioning landscapes. In: Minang PA, van Noordwijk M, Freeman OE, Mbow C, de Leeuw J, Catacutan D, eds. Climate-Smart Landscapes: Multifunctionality In Practice. Nairobi, Kenya: World Agroforestry Centre (ICRAF): http://worldagroforestry.org/region/sea/publications/detail?pubID=3300

Dewi S, Ekadinata A, Indiarto D, Nugraha A, van Noordwijk M. 2014. Empowering local stakeholders for planning, Indonesia. In: Chavez-Tafur J, Zagt RJ, eds. Towards Productive Landscapes. Wageningen, the Netherlands: Tropenbos International, Wageningen, the Netherlands. http://worldagroforestry.org/region/sea/publications/detail?pubID=3291

Forgy, Edward W. 1965. “Cluster analysis of multivariate data: efficiency versus interpretability of classifications”. Biometrics 21(3):768–769. JSTOR 2528559.

Kang B, Wilson GF. 1987. The Development of Alley Cropping as a Promising Agroforestry Technology. Agroforestry: A Decade of Development. pp. 227-243.

Konsorsium Pembaruan Agraria. (2019, January 3rd). Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik. Catatan Akhir Tahun 2018 Konsorsium Pembaruan Agraria.

Sitasi

Johana F, Sylvanita F, Joni A, Benita T, Laksemi NPST, Zulkarnain MT, Nugraha M, Pandiwijaya A, Aenunaim, Teguh FD, Ekadinata A, Dewi S. 2019. Arahan Tata Guna Lahan Mendukung Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Lembar Informasi. Bogor, Indonesia: World Agroforestry (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.

Informasi Lebih Lanjut: Feri Johana ([email protected])

World Agroforestry (ICRAF) Southeast Asia Regional ProgramJl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16115 | [PO Box 161, Bogor 16001] Indonesia Tel: +(62) 251 8625415 | Fax: +(62) 251 8625416 Email: [email protected] | www.worldagroforestry.org/region/SEA | blog.worldagroforestry.org

Foto: World Agroforestry/Adis Hendriatna