lecture notes : update tatalaksana penyakit hepatitis
TRANSCRIPT
Lecture Notes : Update
PT. MULTIMEDIKA DIGITAL INDONESIA
Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
Penulis Editor
: Salma Mazkiyah, dr : Lutifta Hilwana, dr
i
Lecture Notes Update
Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
Penulis: Salma Mazkiyah, dr Editor: Lutifta Hilwana, dr
Daftar Isi
1. Problem dan Tatalaksana Hepatitis B
di Indonesia 1
2. Problem Hepatitis C di Indonesia dan
Tatalaksana DAA untuk terapi
Hepatitis C 19
3. Post Exposure Prophylaxis Hepatitis B 28
4. Vaksinasi Hepatitis B 39
5. Aspek Klinis Transplantasi Hati 50
6. Update Tatalaksana Asites 64
7. Update Tatalaksana Ensefalopati
Hepatik 79
1
Problem dan Tatalaksana Hepatitis B
di Indonesia
Infeksi Virus Hepatitis B (HBV) adalah
suatu masalah kesehatan utama di dunia pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya.
Kasus hepatitis B dan C di seluruh dunia
hingga saat ini sudah mencapai 325 juta
dengan kematian sekitar 900.000 orang per
tahun. Prevalensi pasien hepatitis B di
Indonesia masih tinggi. Menurut data
Riskesdas, 10% orang di Indonesia menga-
lami hepatitis B dan 1% mengalami hepatitis
C. Persebaran penyakitnya di Indonesia paling
banyak adalah di luar pulau Jawa dengan
rata-rata 7,6% kasus.
Terdapat 3 jenis virus hepatitis yang
menyebabkan kronisitas yakni HBV, virus
hepatitis C (VHC), dan virus hepatitis D (VHD).
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
2
Jika dilihat dari rata-rata kronisitasnya, anak
anak yang terinfeksi virus hepatitis B, maka
sebesar 90% akan mengalami infeksi kronis.
Sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5%
hingga 10%. Pada hepatitis C, sebesar 80%
hingga 90% anak yang terinfeksi dapat
mengalami kronisitas. Tingkat kronisitas pada
dewasa juga cukup tinggi yakni 70% hingga
85% untuk infeksi hepatitis C.
Hepatitis B disebakan infeksi oleh virus
hepatitis B, sebuah virus DNA dari keluarga
Hepadnaviridae dengan struktur virus
berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200
pasang basa. Penularannya dapat melalui 2
jalur yakni vertikal dan horizontal. Beberapa
penularan yang sering terjadi adalah transmisi
dari ibu ke anak, terpapar darah pasien yang
terinfeksi, transmisi seksual, serta pengguna-
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
3
an jarum suntik yang sama. Di Indonesia,
penularan yang terbanyak adalah dari ibu ke
anak atau penularan secara vertikal. Hal ini
disebabkan karena pemeriksaan HBV pada ibu
hamil masih belum rutin dilakukan. Selain itu,
pengobatan antiviral untuk wanita yang
terinfeksi belum diadopsi sebagai pencegahan
transmisi kembali.
Dalam perjalanannya, sebagian virus
Hepatitis B dapat menjadi akut dan sebagian
dapat menjadi kronik. Batasan akut dan kronik
adalah 6 bulan. Jika infeksi tidak sembuh
dalam waktu 6 bulan, maka infeksi virus dapat
merusak hati hingga menjadi sirosis. Pada
hepatitis B akut, nilai HBsAg pada bulan ke-4
sudah mengalami penurunan dan kembali
normal pada bulan ke-5. Sedangkan pada
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
4
hepatitis B kronis, HbsAg masih tinggi
meskipun sudah bulan ke-5.
Terdapat 4 fase dalam perjalanan
penyakit hepatitis B yaitu fase immune
tolerant, fase immune clearance, fase
pengidap inaktif, dan fase reaktivasi. Fase
immune tolerant ditandai dengan kadar DNA
HBV yang tinggi dengan kadar alanin
aminotransferase (ALT) yang normal. Sedang-
kan, fase immune clearance terjadi ketika
sistem imun berusaha melawan virus. Hal ini
ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA
HBV. Fase ini adalah fase terbaik dalam
pemberian antiviral untuk mencegah
terjadinya kronisitas. Fase ketiga adalah fase
inaktif, ditandai dengan DNA HBV yang
rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, dan
kerusakan hati minimal. Seringkali pasien
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
5
pada fase inaktif dapat mengalami fase
reaktivasi ketika DNA HBV kembali mencapai
lebih dari 2000 IU/ml dan inflamasi hati
kembali terjadi.
Gambar 1. Fase dalam Perjalanan Penyakit
Hepatitis B
Diagnosis hepatitis B dapat ditegakkan
dari gelaja, tanda, dan meningkatnya enzim
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
6
hepar di sirkulasi darah. HBsAg dan HBeAg
disekresikan ke pembuluh darah ketika virus
sedang bereplikasi. HBsAg adalah penanda
pertama infeksi HBV akut yang muncul
beberapa minggu sebelum gejala. Sedangkan
untuk HBcAg tidak terdeteksi secara rutin di
dalam serum tetapi anti-HBc dapat cepat
terlihat dalam 1 hingga 2 minggu pertama
setelah timbulnya HBsAg mendahului
terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa
minggu sampai bulan. Adanya variasi waktu
antara munculnya HBsAg dan anti-HBs
menyebabkan terdapat masa tenggang yang
disebut window period. Dalam masa
tenggangnya tersebut HBsAg dan anti-HBs
tidak dapat di deteksi, sehingga anti-HBc yang
akan menjadi penanda infeksi HBV sedang
berlangsung
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
7
Gambar 2 : imunologi Hepatitis B
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
8
Pemeriksaan serologi hbv memiliki peran
diagnostik yang cukup tinggi. Hal ini
disebabkan karena setiap fase pada infeksi
HBV akut maupun kronik memiliki kadar yang
berbeda beda. Jika dilihat dari gambar 2, nilai
HBsAg, HBeAg, anti Hbs dan lain sebagainya
berfluktuasi. Artinya pada fase tertentu,
antibody tersebut bisa terdeteksi dan dalam
hitungan minggu hingga bulan, antibody
tertentu bisa tidak terdeteksi. Pemeriksaan
serologi sangat penting untuk menentukan
fase serta jenis infeksi supaya terapi yang
digunakan bisa sesuai.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
9
Tabel 1 : Diagnosis infeksi HBV berdasarkan
pemeriksaan serologi
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
10
Permasalahan yang terjadi di Indonesia
perihal hepatitis hingga saat ini adalah karena
kurangnya kesadaran masyarakat tentang
hepatitis B. Tingkat screening di masyarakat
masih relatif rendah, serta banyak pasien
dengan HbsAg positif enggan untuk
melanjutkan pengobatannya. Permasalahan
selanjutnya adalah pemeriksaan dan beberapa
obat hepatitis yang tidak ditanggung oleh
asuransi negara atau BPJS. Selain itu, masih
banyaknya stigma sosial dan diskriminasi
masyarakat pada pasien HbsAg positif.
Tatalaksana hepatitis B menggunakan
National Consensus of InaASL tahun 2017.
Pertama yang harus dilakukan adalah evaluasi
pre-treatment yakni diagnosis infeksi HBV,
evaluasi derajat kerusakan liver, ada tidaknya
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
11
penyebab lain dari kerusakan liver, dan
tatalaksana sesuai indikasi.
Terdapat 3 target dari pengobatan
hepatitis B kronis. Pertama adalah target ideal
yakni hilangnya HBsAg dengan/atau tanpa
serokonversi anti HBs. Kedua adalah target
memuaskan yakni tidak ditemukannya relaps
klinis setelah terapi dihentikan pada pasien
HBeAg positif dan HBeAg negatif. Ketiga
adalah target diinginkan yakni penekanan
DNA HBV yang bertahan selama terapi jangka
panjang untuk pasien HBeAg positif tidak
mencapai serokonversi anti HBe dan pada
pasien HBeAg negatif.
Tatalaksana HBeAg positif yang belum
ditemukan adanya tanda sirosis liver
mengikuti diagram di bawah. Jika kadar HBV
DNA di bawah 2000 IU/mL atau 2000 –
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
12
20.000 IU/mL, atau lebih dari 20.000 iu/mL
dengan ALT meningkat 1 sampai 2x dari batas
normal, maka tatalaksana yang dilakukan
adalah observasi setiap 3 bulan, penilaian
fibrosis non invasif, biopsi hati sesuai indikasi,
serta terapi dimulai jika ditemukan inflamasi
sedang berat atau fibrosis signifikan. Namun,
pada pasien dengan HBV DNA lebih dari
20.000 IU/mL dengan ALT meningkat lebih
dari 2x batas normal, maka observasi dalam 3
bulan jika tidak ada tanda dekompresi, terapi
dimulai jika ALT menetap selama lebih dari
sama dengan 3 bulan atau terdapat resiko
dekompresi serta perlunya dilakukan
pemeriksaan histologi atau derajat fibrosis non
invasif.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
13
Gambar 3. Tatalaksana HBeAg positif yang
belum ditemukan adanya tanda sirosis liver
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
14
Pada pasien dengan HBeAg negatif
dengan kadar HBV DNA lebih dari 2000 IU/mL
dan nilai ALT 1 hingga 2 kali batas normal,
tatalaksana yang dilakukan adalah biopsi hati.
Pemberian antiviral dimulai ketika ditemukan
inflamasi sedang hingga berat atau fibrosis
signifikan. Apabila nilai ALT meningkat 2 kali
lebih dari nilai normal, maka observasi tanda-
tanda sirosis dekompensata dalam 3 bulan,
terapi antiviral dimulai kerika ALT menetap
setelah lebih dari 3 bulan, kemudian dilakukan
pemeriksaan hitologi atau derajat fibrosis non
invasif.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
15
Gambar 4. Tatalaksana Pasien HBeAg
Negatif
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
16
Tatalaksana pada pasien sirosis kom-
pensata yakni Ketika kadar HBV DNA lebih
dari 2000 IU/mL dan ALT normal, maka
diberikan terapi antivirus. Jika pasien sirosis
dekompensata atau terdapat reaktivasi berat
hepatitis kronis, maka terapi antivirus harus
segera diberikan.
Sampai sekarang telah terdapat
setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang
diterima secara luas, yaitu golongan inter-
feron, baik interferon konvensional, pegylated
interferon α-2a, maupun pegylated interferon
α-2b, serta golongan analog nukleosida
(antiviral). Golongan analog nukleosida ini
lebih jauh lagi terdiri atas lamivudin, adefovir,
entecavir, telbivudin, dan tenofovir. Pilihan
pertama dari antiviral yang dapat digunakan
adalah entecavir, telbivudine, dan tenofovir.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
17
Pilihan antiviral yang paling aman adalah
entecavir 0.5 mg.
Pada akhirnya, semua kendala pe-
nanganan pasien hepatitis B adalah kurangnya
kesadaran masyarakat tentang penyakit ini.
Edukasi kepada masyarakat sangat penting
untuk dilakukan untuk mencegah kronisitas
dari infeksi. Apabila persebaran penyakit
sudah dapat terkontrol, untuk kedepannya
diharapkan kasus hepatitis B dapat berkurang
sehingga tidak lagi menjadi masalah di dunia
pada umumnya dan indonesia pada
khususnya.
Daftar Pustaka :
WHO. 2020. World Hepatitis Day. [online
https://www.who.int/campaigns/world-
hepatitis-day/2020]
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
18
Kementrian Kesehatan RI. 2007. Riset
Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia 2007.
PPHI. 2017. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis B.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Jakarta
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
19
Problem Hepatitis C di Indonesia dan
Tatalaksana DAA untuk
terapi Hepatitis C
Sejak ditemukan pada tahun 1989, virus
hepatitis C sudah menjadi salah satu
penyebab utama penyakit hati kronik.
Prevalensi kasus hepatitis C di dunia adalah 1
hingga 5% dari total populasi dunia atau
terdapat 3 hingga 4 juta kasus baru setiap
tahun dengan kematian sebesar 350.000 jiwa
pertahun. Di Indonesia, prevalensi kasusnya
adalah sebesar 1 hingga 3%, dan terbanyak
ditemukan di pulau Jawa.
Hepatitis C adalah RNA virus dari
keluarga Flaviviridae. Virus ini terdiri dari
protein struktural (C, E1, dan E2) serta protein
non-struktural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B,
NS5A, dan NS5B). Virus ini bereplikasi di
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
20
hepar karena pada pasien hepatitis C, protein
non-struktural virus ditemukan dalam hepar.
Penularan hepatitis C terutama pada
paparan media darah dan cairan tubuh pasien
hepatitis C. Penularan paling banyak terjadi
pada usia dewasa yakni pada kalangan
pengguna narkoba suntik (60 sampai 80%),
tenaga medis yang tertusuk jarum (3 sampai
10%), dan penularan ibu ke anak (3 sampai
5%). Pada kasus ini, kronisitas banyak terjadi
ketika pasien terinfeksi pada usia dewasa. Hal
ini sangat berbeda dengan kronisitas hepatitis
B yang menyerang anak.
Pada perjalanan penyakitnya, sebesar
20% pasien hepatitis C akan sembuh dan
80% sisanya akan menjadi hepatitis C kronis.
Setelah 15 hingga 20 tahun, pasien tersebut
dapat mengalami sirosis, dan pada akhirnya
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
21
akan berujung pada kematian. Tanda dan
gejala hepatitis C akut sering kali tidak
muncul, sehingga banyak kasus hepatitis C
yang terlambat diketahui.
Diagnosis hepatitis C dapat dilakukan
dengan memeriksa anti HCV dan HCV RNA.
Jika anti HCV positif dan HCV RNA positif,
maka pasien mengalami hepatitis C akut atau
kronis tergantung pada gejala yang muncul.
Jika anti HCV positif dan HCV RNA negatif,
maka pasien mungkin saja mengalami resolusi
virus hepatitis C (HVC) atau status pasien
belum dapat ditentukan karena kemungkinan
berada dalam fase intermittent viremia. Jadi,
pasien bisa saja sudah sembuh, atau sedang
sakit namun belum terbentuk HCV RNA nya.
Jika anti HCV negatif dan HCV RNA positif,
maka pasien mengalami infeksi HVC akut awal
atau infeksi HVC pada pasien imuno-
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
22
kompromais (HIV, pasien hemodialisis, dan
pengguna obat imunosupresi). Jika anti HCV
dan HCV RNA negatif, maka tidak ada infeksi
HVC. Pada hepatitis C kronis, diagnosis
ditegakkan ketika anti HCV dan HCV RNA
tetap terdeteksi selama lebih dari 6 bulan dan
disertai gejala penyakit hati kronik.
Terapi infeksi HVC diberikan pada pasien
dengan anti HCV dan HVC RNA positif. Tujuan
dari terapi adalah eradikasi virus hepatitis C
terutama mencegah komplikasi penyakit hati,
fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoselular, dan
kematian. Pemberian terapi diprioritaskan un-
tuk pasien yang mengalami fibrosis berat,
koinfeksi dengan HIV atau HBV, kandidat
transplantasi organ yang membutuhkan terapi
imunosupresan, sindrom metabolik dengan
manifestasi ekstrahepatik, dan memiliki risiko
tinggi untuk menularkan virus. Pemberian
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
23
terapi direct acting antivirus (DAA) dapat
ditunda pada pasien tanpa fibrosis maupun
dengan fibrosis ringan. Sedangkan pemberian
terapi DAA tidak direkomendasikan pada
pasien dengan komorbid penyakit hati berat
yang dapat mempengaruhi hidup.
Saat ini, pengobatan hepatitis C
menggunakan kombinasi obat DAA. Tingkat
kesembuhan dengan penggunaan kombinasi
obat ini bisa mencapai 90% pada pasien
hepatitis C. Sebelumnya, tingkat kesembuhan
pasien hepatitis C cukup rendah ketika
menggunakan terapi kombinasi interferon
dengan DAA. Beberapa kelebihan DAA
dibanding interferon adalah DAA merupakan
obat minum, tingkat keberhasilan tinggi,
nyaman, efek samping rendah, dan singkat
yakni hanya 3 bulan atau 6 bulan pada sirosis.
Terapi hepatitis C bekerja di 3 titik siklus
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
24
hidup virus, yakni pada NS3A, NS5A, dan
NS5B.
Beberapa DAA yang sudah beredar di
Indonesia adalah simeprevir, sofosbuvir,
daklatavir, elbavir, dan valvapravir. Semua
DAA yang berakhiran buvir, previr, dan asvirs
dapat dikombinasikan untuk terapi. Efek
samping yang dikeluhkan pada penggunaan
DAA jenis simeprevir adalah mual, ruam,
gatal, dispnea, dan fotosensitifitas. Sedangkan
efek samping yang sering dikeluhkan pada
pemakaian elbavir adalah nyeri kepala dan
mual. Pemakaian sofosbuvir juga harus
diperhatikan pada pasien dengan kelainan
ginjal karena sebanyak 80% sofosbuvir
diekskresi di urin
Pada pasien hepatitis C dengan koinfeksi
HIV, terapi berbasis interferon diberikan jika
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
25
nilai CD4 lebih dari 350 sel/mm3 atau tanpa
memandang CD4 pada terapi DAA tanpa
interferon. Pasien koinfeksi HCV dan HBV
harus ditentukan infeksi yang paling dominan
terlebih dahulu. Jika terdapat peningkatan
HBV DNA, maka diberikan terapi analog
nukleosida. Kombinasi yang disarankan adalah
tenofovir dan DAA lainnya dengan
mengevaluasi fungsi ginjal. Pada pasien
dengan koinfeksi HCV dan TBC, terapi TBC
harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
memulai terapi DAA. Hal ini disebabkan
karena adanya interaksi antara OAT yakni
rifampisin dengan obat DAA.
Monitoring HCV RNA dilakukan
tergantung pada terapi yang digunakan. Pada
terapi DAA, HCV RNA diperiksa pada awal
terapi dan saat SVR 12 (sustained virologic
response 12 minggu setelah pengobatan).
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
26
Sedangkan pada dual terapi DAA dan
interferon, HCV RNA diperiksa pada awal
terapi, minggu ke-4, minggu ke-12, minggu
ke-24, akhir terapi, dan SVR 24.
Pasien yang mencapai SVR 12 tanpa
sirosis atau fibrosis tidak memerlukan follow
up. Pasien dengan sirosis atau fibrosis F3 dan
F4 perlu dilakukan pemeriksaan USG.
Sedangkan pasien dengan risiko terinfeksi
kembali harus melakukan pemeriksaan HCV
RNA setiap 1 tahun sekali.
Pada akhirnya, penggunaan DAA untuk
terapi hepatitis C saat ini sudah memberikan
hasil yang baik dibandingkan dengan
interferon, sehingga pemakaian interferon
sudah banyak ditinggalkan. Jika penyebaran
terapi kombinasi DAA sudah menyeluruh,
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
27
diharapkan tidak ada lagi kompliksi yang
terjadi akibat dari infeksi virus hepatitis C.
Daftar Pustaka :
Kementrian Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
PPHI. 2014. Konsensus Penataksanaan Hepatitis C di Indonesia 2014. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Jakarta
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
28
Post Exposure Prophylaxis Hepatitis B
Resiko paparan Hepatitis B virus (HBV)
dibedakan menjadi 2 yakni paparan karena
pekerjaan dan bukan karena pekerjaan.
Beberapa contoh kasus paparan yang bukab
karena perkerjaan adalah tertusuk jarum
bekas pasien hepatitis B yang ditemukan di
lingkungan rumah, tidak sengaja terkena
darah dan cairan pasien, luka tusuk dikulit
seperti saat kecelakaan, pemasangan tatoo
atau tindik, luka gigitan dari orang yang
terinfeksi HBV, sex bebas dan berbagi jarum
suntik pada orang yang mengonsumsi
narkoba.
Ketika terpapar, kemungkinan tertular
infeksi HBV menjadi sangat tinggi. Pen-
cegahan penularannya salah satunya adalah
dengan Post exposure Prophylaxis (PEP).
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
29
Pemberian PEP adalah pemberian terapi yang
digunakan setelah seseorang kemungkinan
terpapar darah atau cairan yang beresiko
menular. Pemberian PEP pada HBV bertujuan
untuk menurunkan resiko infeksi HBV namun
tidak dapat menurunkan resiko tertularnya
HCV, HIV dan lain sebagainya.
PEP diberikan pada keadaan darurat
ketika terdapat kesalahan dalam perlindungan
diri misalnya pada tenaga medis yang
terpapar cairan pasien, pemakaian kondom
yang bocor, pemerkosaan, sex bebas, berbagi
suntik dengan pasien terinfeksi HBV, dan
tertusuk jarum di lingkungan masyarakat.
Resiko infeksi HBV pada orang yang
terpapar tergantung dari sumber paparan, dan
kejadian perlukaannya. Salah satu yang paling
banyak terjadi adalah akibat dari sharp atau
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
30
needle stick injury. Sekitar 350.000 kasus
tertusuk jarum pasien yang terinfeksi terjadi
dalam 1 tahun, atau terjadi lebih dari 1000
kasus perhari. Kebanyakan kasus terjadi di
rumah sakit, atau beberapa sarana kesehatan
lain. Kejadian Needle stick injury membuat
orang yang mengalaminya memerlukan biaya
yang cukup tinggi, yakni 71 hingga 5000 dolar
perkasus. Hal ini disebabkan karena
kemungkinan berkurangnya produktifitas
kerja, kehilangan pekerjaan atau karir,
gangguan emosional, hingga gangguan sosial.
Kejadian tertusuk jarum paling sering
terjadi saat digunakan, akan dibuang, setelah
dibuang dan dibuang. Sekitar 43% kejadian
needle stick injury dialami oleh perawat, dan
28% dialami oleh dokter. Lokasi kejadian yang
paling sering terjadi adalah di ruang rawat
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
31
inap, ruang Operasi, poli, IGD dan labo-
ratorium. Needle stick injury sebenarnya
dapat dicegah dengan beberapa cara, yakni
bijak dalam menggunakan benda dengan
ujung yang tajam, menggunakan alat yang
memiliki safety features, dan menggunakan
benda tajam dengan hati hati.
Manajemen post exposure pertama
adalah merawat luka bekas tusukan atau
sayatan benda tajam. Kedua adalah
melaporkan kejadian ke pihak yang
menanganinya. Selanjutnya menjelaskan
resiko infeksi yakni tipe dan keparahan
paparan serta riwayat pemeriksaan darah
orang yang memberi paparan. Baru
mendapatkan terapi yang tepat, follow up dan
konseling.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
32
Cara merawat luka bekas tusukan adalah
membersihkan luka dengan air dan sabun.
Selanjutnya siram luka dengan air. Tidak perlu
menggunakan salep antiseptik atau menekan
sekitar luka untuk mengeluarkan darah
(milking).
Pelaporan post exposure harus memenuhi
bebwrapa hal, antara lain :
1. Tanggal dan waktu paparan
2. Prosedur atau cara paparan : lokasi,
bekas siapa, bagaimana prosesnya serta
dengan alat apa
3. Detail tentang paparan : rute, lama atau
durasi kontak dengan paparan.
4. Informasi atau Riwayat pasien yang
memberi paparan. Pada pasien yang
tidak diketahui riwayatnya, maka cari
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
33
tahu prevalensi infeksi HBV, HCV dan
HIV di lingkungannya.
Jika orang yang memberi paparan sudah
diketahui riwayat infeksinya, maka sangat
perlu membuat inform consent serta
merahasiakan identitas pasien. Selain itu bisa
juga dilakukan pemeriksaan fisik dan la-
boratorium berupa HBsAG, pemeriksaan HCV
antibody serta HIV antibody jika diperlukan.
Selanjutnya adalah evaluasi orang yang
terpapar berupa pemeriksaan laboratorium
standar serta menentukan waktu dan jenis
pemberian PEP sesuai dengan hasil pe-
meriksaannya. Lalu bisa juga dilakukan kon-
seling dan follow up tanda dan gejala dari
orang tersebut.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
34
Rekomendasi pemberian PEP untuk
hepatitis B dibedakan berdasarkan status
vaksinasi orang yang terpapar dan hasil pe-
meriksaan HBsAg orang yang memberi
paparan. Jika orang yang tertusuk jarum
belum pernah mendapat vaksin hepatitis B
dan orang yang memberi paparan memiliki
HBsAg positif, maka PEP yang diberikan
adalah HBIG dan vaksin. Namun jika HBsAg
orang yang memberi paparan adalah negatif
atau tidak diketahui, maka orang yang
terpapar hanya diberi PEP berupa vaksin. Jika
orang yang terpapar baru saja mendapat
vaksin hepatitis B, dan orang yang memberi
paparan memiliki HBsAg positif atau negatif,
maka PEP tidak perlu diberikan. Jika orang
yang terpapar sudah pernah divaksinasi
namun belum menunjukkan respon vaksin,
serta orang yang memberi paparan memiliki
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
35
HBsAg positif, maka PEP yang diberikan
adalah PEP berupa HBIG 1 kali dan vaksin
atau HBIG 2 kali.
Perlu dingat bahwa pemberian HBIG
dengan vaksin harus berbeda tempat. HBIG
disuntikkan di pantat kiri, maka vaksin
diberikan di regio deltoid.
Orang yang
terpapar
Orang yang memberi
paparan
HBsAg
(+)
HBsAg
(-)
Tidak
diketahui
Tidak vaksin HBIG +
vaksin Vaksin Vaksin
Baru saja vaksin
hepatitis B
Responder
Tidak
perlu
terapi
TIdak
perlu
terapi
Tidak perlu
terapi
Nonresponder
HBIG 1x
+ vaksin
atau
Tidak
perlu
terapi
Jika
beresiko
tinggi,
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
36
HBIG 2x terapi
sesuai
dengan
HBsAg (+)
Tidak diketahui
status vaksinasi
Periksa
anti HBs
(+) :
tidak
perlu
terapi
(-) :
HBIG 1x
+ vaksin
Tidak
perlu
terapi
Periksa anti
HBs
(+) : tidak
perlu terapi
(-) : vaksin
periksa
ulang 1
hingga 2
bulan
Ketika vaksinasi hepatitis B sudah pernah
dilakukan, maka antibody hepatitis B dapat
bertahan 8 hingga 10 tahun. Sedangkan,
memori imun hepatitis B bisa bertahan hingga
20 tahun di dalam tubuh manusia paska
imunisasi. Saat ini, vaksinasi booster tidak
direkomendasikan untuk diberikan. Sehingga
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
37
jika sudah diberi vaksinasi, maka tidak perlu
khawatir.
Efikasi pemberian PEP untuk mencegah
HBV adalah 70 hingga 75% pada pemberian
HBIG 2 kali dengan jarak 1 minggu. Pada
penggunaan vaksin hepatitis B, efikasi
pencegaha HBV bisa 70 hingga 75 persen.
Sedangkan kombinasi HBIG dan vaksin
hepatitis B dapat memberikan efikasi
pencegahan HBV sekitar 85 hingga 95%.
Pada paparan virus hepatitis C, jika anti
HCV orang yang memberi paparan posistf,
maka orang yang terpapar harus melakukan
pemeriksaan anti HCV dan ALT. sedangkan
jika orang yang terpapar tidak terinfeksi
hepatitis C, maka orang yang terpapar tidak
perlu melakukan pemeriksaan laboratorium.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
38
Daftar Pustaka :
WHO. Occupational health. [online :
http://www.who.int/occupational_healt
h /activities/Spepguid.pdf]
Hepatitis B Foundation. Post exposure
hepatitis B. [online :
http://www.hepb.org/professionals/pos
t-exposure_guidelines_summary.htm]
http://conditions.health.qld.gov.au/HealthCon
dition/condition/14/188/114/post-
exposure-prophylaxis-hepatitis-b
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
39
Vaksinasi Hepatitis B
Hepatitis B adalah salah satu penyakit
menular yang banyak menimbulkan kematian.
Sekitar 325 juta orang di dunia terinfeksi
hepatitis dan 1,4 juta meninggal dunia.
Prevalensi Hepatitis di Indonesia pada tahun
2013 sebesar 1,2% meningkat dua kali
dibandingkan Riskesdas tahun 2007 yang
sebesar 0,6%. Nusa Tenggara Timur
merupakan provinsi dengan prevalensi
Hepatitis tertinggi pada tahun 2013 yaitu
sebesar 4,3%.
Jumlah kasus hepatitis B setiap tahunnya
selalu meningkat, padahal hepatitis me-
rupakan salah satu penyakit yang bisa
dicegah, dan diobati. Menurut data, sekitar
80% orang yang terinfeksi hepatitis terjadi
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
40
akibat kurangnya pencegahan dan diagnosa
dini.
Hepatitis B adalah penyakit yang
ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh
pasien, seperti darah dan produk darah, air
liur, cairan serebrospinal, cairan peritoneum,
cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan
vagina, dan cairan tubuh lainnya. Dalam
perjalanannya, hepatitis B dapat menjadi akut
dan kronis. Jika infeksi tidak sembuh dalam
waktu 6 bulan, maka infeksi virus dapat
merusak hati hingga menjadi sirosis. Sebelum
menjadi kronis, Hepatitis B dapat di-
sembuhkan jika diterapi pada waktu yang
tepat.
Hepatitis B dapat dicegah dengan cara
menghindari kontak langsung degan cairan
tubuh pasien terinfeksi HBV serta pemberian
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
41
vaksin hepatitis B. Vaksin adalah zat atau
senyawa yang berfungsi untuk membentuk
kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit.
Vaksin bisa berisi bakteri atau virus yang
dilemahkan. Ketika masuk ke dalam tubuh,
vaksin akan merangsang sistem kekebalan
tubuh untuk memproduksi antibodi. Proses
pembentukan antibodi inilah yang disebut
imunisasi.
Terdapat dua bentuk imunisasi, yakni
imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif
dicapai dengan memberikan vaksin hepatitis
B. Vaksin tersebut berisi HBsAg dari serum
penderita hepatitis B yang dimurnikan atau
dari hasil rekombinasi DNA sel ragi untuk
menghasilkan HBsAg.
Vaksin hepatitis B adalah vaksin yang
aman dan efektif. Vaksin ini direkomendasikan
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
42
untuk semua bayi saat lahir dan untuk anak-
anak hingga usia 18 tahun. Selain itu, Vaksin
hepatitis B juga direkomendasikan untuk
orang dewasa yang memiliki faktor resiko
tertular virus hepatitis B. beberapa kelompok
yang direkomendasikan antara lain :
1. Semua bayi, dimulai saat lahir
2. Semua anak usia di bawah 19 tahun yang
belum pernah divaksinasi
3. Pasangan seksual yang rentan dari orang
dengan hepatitis B positif
4. Orang yang aktif secara seksual dan sering
berganti pasangan
5. Orang yang sedang pengobatan penyakit
menular seksual
6. Pria yang berhubungan seks dengan pria
7. Pengguna narkoba suntikan
8. Kontak satu rumah dengan orang hepatitis
B positif
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
43
9. Petugas kesehatan
10. Orang dengan penyakit ginjal stadium
akhir, termasuk pra-dialisis, hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan pasien dialisis di
rumah
11. Penghuni dan staf fasilitas penyandang
cacat perkembangan
12. Wisatawan ke negara endemis hepatitis B
misalnya Asia, Afrika, Amerika Selatan,
Kepulauan Pasifik, Eropa Timur, dan
Timur Tengah
13. Orang dengan penyakit hati kronis, selain
hepatitis B (misalnya sirosis, penyakit hati
berlemak, dan lain sebagainya)
14. Orang dengan infeksi hepatitis C.
15. Orang dengan infeksi HIV
16. Orang dewasa dengan diabetes berusia
19 hingga 59 tahun
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
44
17. Semua orang lain yang mencari
perlindungan dari infeksi HBV
Pada anak anak, vaksin hepatitis B
pertama diberikan pada saat anak baru lahir.
Di Indonesia, pemberian vaksin dilanjutkan
pada bulan ke 2, 3 dan 4. Jika terlewatkan,
maka vaksin hepatitis B dapat diberikan catch
up yakni vaksin susulan yang bisa diberikan
diluar jadwal dikarenakan terlambat
mendapatkan vaksin sebelumnya. Pada bayi
yang dilahirkan oleh ibu dengan hepatitis B
positif, maka bayi harus mendapatkan HBIg
dalam 12 jam pertama kehidupannya. Saat ini,
prevalensi vaksin hepatitis B saat pertama kali
lahir sekitar 83,1%, artinya pemberian vaksin
hepatitis B pertama sudah banyak dilakukan.
Selain itu, screening kehamilan terhadap
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
45
infeksi virus hepatitis B juga sudah digalakkan,
namun masih kurang maksimal,
Pada dewasa, vaksin hepatitis B bisa
diberikan dalam dua atau tiga dosis
tergantung vaksin yang digunakan. Pemberian
2 dosis yakni menggunakan Heplisav-B
dengan jarak antar sumtikan adalah 4
minggu. Pemberian vaksin dengan 3 dosis
yakni dengan mengguakan Engerix-B atau
Recombivax HB. Jadwal pemberiannya adalah
0, 1, 6 bulan. Interval dosis pertama dan
kedua minimal adalah 4 minggu, sedangkan
dosis 2 dan 3 minimal harus berjarak 8
minggu. Selain itu dapat pula menggunakan
vaksin kombinasi Hepatitis A dan Hepatitis B
yakni Twinrix yang diberikan pada 0, 1, 6
bulan. Interval minimal dosis 1 dan 2 adalah 4
minggu dan 5 bulan antara dosis 2 dan 3.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
46
Pemberian 3 dosis vaksin ini akan
menghasilkan respon antibodi protektif pada
30-55% dewasa sehat berumur dibawah 40
tahun setelah dosis pertama, kurang dari 75%
setelah dosis kedua dan lebih dari 90%
setelah dosis ketiga. Vaksinasi Hepatitis B
mampu memberikan perlindungan terhadap
infeksi Hepatitis B selama lebih dari 20 tahun.
Keberhasilan vaksinasi dinilai dari
terdeteksinya anti-HBs di serum pasien
setelah pemberian imunisasi hepatitis B
lengkap.
Booster vaksin hepatitis B sebenarnya
tidak dianjurkan untuk orang dengan status
kekebalan normal dan pernah divaksin
sebelumnya. Namun, pada beberapa kasus,
pemberian vaksin hepatitis B booster perlu
diberikan. Misalnya pada pasien hemodialisis,
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
47
jika pemeriksaan antibodi terhadap antigen
permukaan hepatitis B (anti-HBs)
menunjukkan penurunan hingga kurang dari
10 mlU / mL dalam 1 tahun, maka booster
harus diberikan. Booster juga diberikan untuk
orang dengan gangguan kekebalan tubuh
lainnya, seperti HIV, penerima transplantasi
sel induk hematopoietik, dan orang yang
menerima kemoterapi.
Kontraindikasi pemberian vaksin hepatitis
B adalah pada orang yang memiliki alegi
terhadap vaksin hepatitis B. Hal ini
ditunjukkan dengan munculnya keluhan alergi
setelah vaksin pertama kali. Keluhan ringan
seperti batuk pilek dan demam bukan
merupakan alasan untuk tidak memberikan
vaksin hepatitis B.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
48
Pada akhirnya, pencegahan penularan
hepatitis B yang paling utama adalah menjaga
diri dari paparan penyebab penularan. Jika
sudah pernah terinfeksi, maka tindakan yang
harus dilakukan selanjutnya adalah melindungi
orang sekitar supaya tidak tertular. Jika aktif
secara seksual, maka bicarakan dengan
pasangan perihal resiko penularannya,
gunakan kondom lateks baru setiap kali
berhubungan seks, tetapi ingat bahwa
kondom mengurangi tetapi tidak meng-
hilangkan resikonya.
Selanjutnya adalah sarankan pasangan
untuk melakukan pemeriksaan hepatitis B
juga. Selain itu, ingat untuk tidak berbagi
barang perawatan pribadi seperti jarum
suntik, pisau cukur atau sikat gigi yang dapat
membawa darah terinfeksi. Ketika pencegahn
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
49
sudah dilakukan dengan benar, maka
diharapkan kasus infeksi hepatitis B di dunia
dapat berkurang sehingga resiko kejadian
sirosis juga bisa berkurang.
Daftar Pustaka
Hepatitis B Foundation. 2019. Vaccination. [online : https://www.hepb.org/prevention-and-diagnosis/vaccination/]
CDC. 2019. Vaccine Hepatitis B. [online
https://www.cdc.gov/vaccines/hcp/vis/vis-statements/hep-b.html]
PPHI. 2012. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis B Indonesia. Perhimpunan
Peneliti Hati Indonesia. Jakarta
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
50
Aspek Klinis Transplantasi Hati
Hati adalah organ internal terbesar dan
menjalankan beberapa fungsi penting. Fungsi
pertama adalah untuk memproses nutrisi,
obat obatan dan hormon. Kedua adalah
memproduksi empedu untuk membantu tubuh
menyerap lemak, kolesterol, dan vitamin yang
larut dalam lemak. Ketiga adalah membuat
protein yang membantu pembekuan darah.
Kemudian menghilangkan bakteri dan racun
dari darah, mencegah infeksi serta mengatur
respon imun tubuh.
Ketika terdapat kerusakan di hati
seseorang, fungsinya akan berkurang
sehingga dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan dalam tubuh. Jika tidak segera
diperbaiki, maka dapat menimbulkan masalah
kesehatan dan yang paling akhir adalah
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
51
kematian. Kerusakan hati yang terjadi secara
tiba tiba sebagai akibat dari infeksi atau
komplikasi dari pengobatan tertentu disebut
gagal hati akut. Sedangkan gagal hati kronik
adalah ketika kerusakan hati berlangsung
selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau
puluhan tahun. Penyebab paling umum dari
gagal hati kronis adalah jaringan parut pada
hati (sirosis). Ketika sirosis terjadi, jaringan
parut akan menggantikan jaringan hati yang
normal dan menyebabkan hati tidak berfungsi
dengan baik. Pada kasus kasus tersebut,
transplantasi hati adalah salah satu terapi
yang direkomendasikan.
Transplantasi hati adalah prosedur
pembedahan untuk mengangkat hati yang
tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya
(gagal hati) dan menggantikannya dengan
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
52
hati yang sehat dari donor yang sudah
meninggal atau sebagian dari hati yang sehat
dari donor yang masih hidup.
Penyebab utama transplantasi hati adalah
sirosis. Penyakit ini sendiri banyak disebabkan
karena infeksi Hepatitis B dan C, penyakit hati
alkoholik yang menyebabkan kerusakan pada
hati karena konsumsi alkohol berlebihan, fatty
liver non-alcohol, penyakit genetik yang
mempengaruhi hati termasuk hemo-
chromatosis dan penyakit Wilson. Di Amerika,
penyebab paling utama transplantasi hati
adalah kolangitis yang disebabkan oleh
hepatitis C kronis dan penyalahgunaan alkohol
jangka panjang. Pada anak anak, transplantasi
hati sering dilakukan pada kasus atresia bilier.
Berdasarkan kasus yang terjadi, tidak
semua kerusakan hepar atau pasien sirosis
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
53
dekompensata bisa melakukan prosedur
transplantasi hepar. Pasien harus mampu
bertahan dari operasi dan potensi komplikasi
pasca operasi, bisa meminum obat yang
berfungsi mencegah penolakan organ dan
infeksi oportunistik, mematuhi kunjungan
klinik dan tes laboratorium, dan tidak terlibat
dalam aktivitas yang akan melukai hati,
seperti minum alkohol. Beberapa kondisi yang
dianggap kontra-indikasi mutlak untuk
transplantasi hati antara lain :
- Penyakit medis yang parah dan tidak
dapat disembuhkan sehingga membatasi
harapan hidup jangka pendek
- Hipertensi pulmonal yang parah
(tekanan arteri pulmonalis rata rata
lebih dari 50 mmHg)
- Kanker yang telah metastase ke luar hati
- Infeksi sistemik yang tidak terkendali
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
54
- Penyalahgunaan zat aktif (obat obatan
atau alcohol)
- Riwayat ketidak patuhan atau
ketidakmampuan untuk mematuhi
aturan medis yang ketat
- Penyakit kejiwaan yang tidak terkontrol
Terdapat 2 tipe pendonor liver pada
proses transplantasi liver. Pertama adalah
donor organ yang berasal dari orang yang
sudah meninggal. Selama transplantasi donor
yang telah meninggal, ahli bedah mengangkat
hati pasien yang sakit dan menggantinya
dengan hati pendonor. Orang dewasa
biasanya menerima seluruh hati dari donor
yang telah meninggal. Namun, ahli bedah
juga bisa membagi hati pendonor menjadi 2.
Bagian yang besar utuk orang dewasa dan
bagian yang lebih kecil untuk anak-anak yang
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
55
lebih kecil. Tipe pendonor yang kedua adalah
donor dari orang yang masih hidup. Pendonor
hidup yang paling sering terjadi adalah
anggota keluarga pasien. Selama transplantasi
donor hidup, ahli bedah mengangkat sebagian
dari hati sehat donor hidup. Setelah itu akan
mengganti hati pasien dengan sebgaian hati
pendonor. Hati donor yang hidup akan
tumbuh kembali ke ukuran normal segera
setelah operasi. Bagian hati yang diterima
pasien juga tumbuh menjadi ukuran normal.
Namun, transplantasi donor hidup lebih jarang
dilakukan dibandingkan transplantasi donor
yang sudah meninggal.
Setelah melakukan prosedur transplantasi
hati, ada beberapa komplikasi yang bisa
terjadi. Seperti prosedur pembedahan lainnya,
komplikasi yang terkait dengan operasi dapat
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
56
terjadi. Beberapa masalah khusus untuk
transplantasi hati yang mungkin ditemui
meliputi :
1. Tidak berfungsinya hati baru atau
buruknya fungsi hati yang baru.
Kejadian tersebut terjadi pada sekitar 1
hingga 5% kasus. Jika fungsi hati tidak
membaik dengan cukup cepat, pasien
mungkin membutuhkan transplantasi
kedua untuk bertahan hidup.
2. Trombosis arteri hepatik, atau
pembekuan arteri hepatik. Kondisi ini
terjadi pada 2-5% dari semua
transplantasi donor meninggal.
Risikonya menjadi dua kali lipat pada
pasien yang menerima transplantasi
donor hidup. Saluran empedu sangat
bergantung pada arteri hepatik untuk
mendapatkan nutrisi. Hilangnya aliran
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
57
tersebut dapat menyebabkan jaringan
parut dan infeksi saluran empedu. Jika
ini terjadi, maka transplantasi lain
mungkin diperlukan.
3. Trombosis vena porta atau pembekuan
vena besar yang membawa darah dari
organ perut (usus, pankreas, dan limpa
- organ yang termasuk dalam sirkulasi
portal) ke hati jarang terjadi. Komplikasi
ini mungkin memerlukan atau tidak
memerlukan transplantasi hati kedua.
4. Komplikasi bilier: Secara umum, ada dua
jenis masalah bilier yakni kebocoran
atau penyempitan. Komplikasi bilier
mempengaruhi sekitar 15% dari semua
transplantasi donor yang telah
meninggal dan hingga 40% dari semua
transplantasi donor yang masih hidup.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
58
5. Pendarahan adalah risiko dari setiap
prosedur pembedahan. Sebagian besar
pasien transplantasi mengalami pen-
darahan dalam jumlah kecil dan
mungkin mendapatkan transfusi tam-
bahan setelah operasi. Secara umum,
sekitar 10% penerima transplantasi akan
membutuhkan operasi kedua untuk
pendarahan.
6. Infeksi dapat terjadi selama pe-
nyembuhan luka yang disebabkan oleh
operasi apa pun. Penerima transplantasi
hati juga berisiko mengalami infeksi jauh
di dalam perut, terutama jika ada
tumpukan darah atau empedu.
Komplikasi yang dapat terjadi selanjutnya
adalah rejection atau penolakan tubuh
terhadap organ baru di dalam tubuh. Sistem
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
59
kekebalan di dalam tubuh berfungsi untuk
melawan infeksi. Ketika ada benda asing yang
terdapat di dalam tubuh, tubuh secara
otomatis akan mengaktifkan system imun
untuk melawan benda asing tersebut. Ketika
hati pendonor masuk ke dalam tubuh pasien,
maka tubuh pasien akan bereaksi melawannya
karena menganggap benda asing tersebut
adalah ancaman untuk tubuh. proses inilah
yang disebut rejection. Penolakan seluler akut
terjadi pada 25-50% dari semua penerima
transplantasi hati dalam tahun pertama
setelah transplantasi dengan periode risiko
tertinggi dalam empat hingga enam minggu
pertama transplantasi.
Untuk mengontrol respons imun alami ini,
pasien dengan hati yang baru harus meminum
obat immunosuppresant seumur hidup seperti
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
60
prednison, tacrolimus, azathioprine, myco-
phenylate mofetil, cyclosporine, dan sirolimus.
Jika rejection tidak diobati, maka hati dapat
mengalami kerusakan permanen atau bahkan
kematian.
Penggunaan obat immunosuppressant
dapat memunculkan efek samping pada
tubuh. karena sistem imun dilemahkan, virus
dan bakteri lebih mudah menginfeksi tubuh.
Infeksi dapat dicegah dengan mencuci tangan
secara teratur, menghindari kemungkinan
terkena spora jamur di udara dengan meng-
hindari merokok serta paparan pekerjaan
tertentu, dan menghindari kontak dengan
orang sakit.
Selain infeksi, sistem imun yang
dilemahkan dapat berpengaruh pada sel
kanker. Pasien yang mengonsumsi immu-
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
61
nosuppressant berisiko lebih tinggi mengalami
jenis kanker tertentu seperti Non-Melanoma
Skin Cancer (NMSC) atau Limfoproliferatif
Pasca-Transplantasi (PTLD).
PTLD adalah jenis kanker yang tidak
biasa yang muncul secara eksklusif pada
penerima transplantasi. Kanker ini hampir
selalu dikaitkan dengan virus Epstein-Barr
(EBV). PTLD terkait EBV dapat berkembang
setelah transplantasi karena imunosupresi
memungkinkan virus untuk aktif kembali. Saat
ini, pemberian obat rituximab data diberikan
untuk mengantisipasi efek obat immu-
nosuppressant. Namun, jika pemberian obat
tersebut tidak dapat mengendalikan PTLD,
maka rejimen obat kemoterapi yang lebih
konvensional biasanya diberikan untuk
mengobatinya.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
62
Pada akhirnya, hasil transplantasi hati
secara keseluruhan sangat baik, tetapi sangat
bervariasi tergantung pada indikasi
transplantasi hati serta faktor-faktor yang
terkait dengan donor. Secara umum, ke-
langsungan hidup pasien satu tahun setelah
transplantasi hati adalah 88%. Kelangsungan
hidup pasien lima tahun setelah transplantasi
hati adalah 73%. Namun, pasien yang
menjalani transplantasi karena karsinoma
hepatoseluler memiliki kelangsungan hidup
satu tahun hanya 86% sedangkan pasien
yang menjalani transplantasi untuk penyakit
hati atresia bilier memiliki kelangsungan hidup
satu tahun 94%. Selama 20 tahun terakhir,
kelangsungan hidup pasien jangka pendek
dan panjang terus meningkat. Hal ini
disebabkan karena adanya kemajuan dalam
teknik bedah, pengawetan organ, perawatan
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
63
perioperatif, dan imunosupresi sehingga
harapan hidup akan terus meningkat di masa
depan.
Daftar Pustaka
Mayoclinic. Liver Transplant. [online : https://www.mayoclinic.org/tests-procedures/liver-transplant/about/pac-20384842]
American Liver Foundation. Liver Transplant.
[online : https://liverfoundation.org/for-patients/about-the-liver/the-progression-of-liver-disease/liver-transplant/#when-is-a-liver-transplant-recommended]
NIDDK. 2017. The Liver Transplant Process. [online : https://www.niddk.nih.gov/health-information/liver-disease/liver-transplant/definition-facts]
Roayaie K, and Feng S. 2020. Liver Transplant.[online : https://transplantsurgery.ucsf.edu/conditions--procedures/liver-transplant.aspx]
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
64
Update Tatalaksana Asites
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang
banyak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis
B. Sirosis dapat menyebabkan kegagalan
fungsi hati secara bertahap dan mengganggu
sirkulasi darah intrahepatik.
Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) tahun 2010 sirosis
hepatis termasuk kedalam dua puluh
penyebab kematian terbanyak di dunia
dengan prevalensi 1,3%. Komplikasi yang
terjadi pada sirosis adalah salah satu
penyumbang kematian akibat sirosis.
Beberapa komplikasi sirosis yang sering terjadi
adalah ensefalopati hepatik, perdarahan
varises esofagus, serta asites.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
65
Asites adalah penimbunan cairan secara
abnormal dirongga peritoneum. Sekitra 60%
pasien dengan sirosis kompensasi ber-
kembang menjadi asites dalam 10 tahun
selama perjalanan penyakit mereka.
Perkembangan asites penting dalam per-
jalanan alamiah sirosis karena berkaitkan
dengan 50% mortalitas lebih dari dua tahun.
Selain itu, perkembagan asites juga
merupakan salah satu tanda pertimbangan
transplantasi hati sebagai terapi pilihan.
Angka mortalitas sirosis telah meningkat
dari 6 per 100 000 populasi pada tahun 1993
menjadi 12.7 per 100 000 populasi pada
tahun 2000. Asites dapat menyebabkan
komplikasi seperti peritonitis bakterialis
spontan (PBS) dan sindroma hepatorenal
(SHR).
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
66
Asites dapat disebabkan oleh berbagai
hal. Sebagian besar (75%) dari pasien asietes
disebabkan oleh sirosis. Penyebab lain pada
asites adalah keganasan (10%), gagal jantung
(3%), TBC (2%), pankreatitis (1%), dan
penyebab lainnya.
Dua faktor utama yang berperan dalam
pembentukan asites pada pasien sirosis
adalah retensi natrium dan air, serta
hipertensi portal. Perubahan struktur hati
pada sirosis serta meningkatnya aliran darah
ke splanikus adalah penyebab dari hipertensi
portal. Penumpukan kolagen yang progresif
dan terbentuknya nodul mengubah keadaan
normal pembuluh darah hati dan
meningkatkan resistensi terhadap aliran
portal. Sinusoid menjadi kurang lentur karena
terbentuknya kolagen didalam ruang disse.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
67
Hal ini akan menyebabkan tekanan pada
sistem portal static. Hipertensi portal akan
meningkatkan tekanan hidrostatik di dalam
sinusoid hati dan menyebabkan transudasi
cairan masuk kedalam ruang peritoneum.
Beberapa teori lain menyatakan bahwa
retensi natrium pada ginjal pasien sirosis
terjadi karena vasodilatasi arteri splanknikus
yang menyebabkan menurunnya volume
darah arteri dengan aktivasi reseptor. Retensi
natrium ginjal menyebabkan ekspansi volume
cairan ekstrasel dan akhirnya terjadi asites
serta edema.
Pada pemeriksaan, perut pasien asites
penuh dan menonjol sehingga didapatkan
suara perkusi yang redup di panggul. Jika
suara redup didapatkan lebih tinggi dari batas
lateral timpani, maka pasien akan diminta
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
68
untuk mengubah posisi menjadi tidur miring.
Selanjutnya akan diperkusi lagi untuk
mengevaluasi ada tidaknya perpindahan suara
redup ketengah. Pemeriksaan ini disebut
shifting dullness. Adanya shifting dullness
memiliki sensitivitas 83% dan spesifisitas 56%
dalam mendeteksi asites. Suara redup pada
abdomen akan terdengar jika terdapat cairan
sebanyak 1.500 mL. Jika tidak ditemukan
suara redup pada abdomen, kemungkinan
pasien asites adalah kurang dari 10%.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
dengan asites adalah pemeriksaan cairan
asites dengan parasintesis. Analisis cairan
asites sangat penting dilakukan sebelum
pemberian terapi. Tujuanya adalah untuk
menyingkirkan penyebab asites selain karena
sirosis dan spontaneous bacterial peritonitis
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
69
(SBP). Ketika diagnosis sirosis tidak terbukti
secara klinis, asites akibat hipertensi portal
dapat dibedakan dari asites karena penyebab
lain oleh serum-asites albumin gradient
(SAAG). Jika SAAG lebih besar dari atau sama
dengan 11 g / L, maka hipertensi porta
dianggap menjadi penyebab asites dengan
perkiraan akurasi 97%. Selain itu, penilaian
konsentrasi protein cairan asites total harus
diukur untuk menilai risiko SBP. Hal ini
disebabkan karena pasien dengan konsentrasi
protein lebih rendah dari 15 g / L beresiko
lebih tinggi mengalami SBP. Jumlah neutrophil
juga harus diperoleh untuk menyingkirkan ada
tidaknya SBP. Inokulasi cairan asites (10 ml)
dalam botol kultur darah harus dilakukan di
samping tempat tidur pada semua pasien.
Pemeriksaan penunjang lain, seperti amilase,
sitologi, PCR dan kultur untuk mikobakteri
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
70
dilakukan hanya jika diagnosis hipertensi porta
tidak jelas atau ada kecurigaan klinis penyakit
pankreas, keganasan, atau tuberculosis
Tabel 1 : Serum Ascites Albumin Gradient
(SAAG)
SAAG > 11g/L SAAG < 11g/L
Sirosis Hepatis Keganasan
Gagal Jantung Pancreatitis
Sindroma nefrotik Tuberkulosis
Asites tanpa komplikasi diklasifikasikan
menjadi 3 berdasarkan tingkat keparahan dan
penatalaksanaannya. Derajat ringan apabila
asites ringan dan hanya terdeteksi dari USG.
Pada asites ringan, tidak diperlukan
penatalaksanaan karena diharapkan cairan
akan terserap sendiri oleh tubuh. derajat
sedang adalah ketika asites sedang yakni
dibuktikan dengan distensi abdomen sedang
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
71
dan simetris. Penatalaksanaannya berupa
restriksi garam dan pemberian diuretik.
Sedangkan derajat berat adalah ketika asites
luas dengan distensi abdomen yang nyata.
Penatalaksanaannya berupa parasintesis di-
ikuti restriksi garam dan diuretik.
Tabel 2 : Derajat dan Terapi Asites tanpa
komplikasi
Derajat 1 (ringan)
asites ringan dan hanya terdeteksi dari USG
Tidak diterapi
Derajat 2 (Sedang)
asites sedang yakni dibuktikan dengan distensi abdomen sedang dan
simetris
Restriksi garam dan diuretik
Derajat 3 (Berat)
asites luas dengan distensi abdomen
yang nyata
parasintesis diikuti restriksi garam dan diuretic
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
72
atau refrakter
Restriksi garam pada tatalaksana asites
adalah membatasi konsumsi garam 80 hingga
120 mmol/hari atau 4,6 hingga 6,9 gram/hari.
AASLD Practice guideline menyebutkan
restriksi garam sebanyak 88 mmol garam/hari
atau 2000 mg garam/hari. Mengurangi asupan
garam 10-20% terutama pada pasien yang
mengalami asites untuk pertama kalinya dapat
mengurangi asites.
Pemberian diuretik merupakan terapi
utama pada asites. Jenis diuretik yang
disarankan dapat digunakan seharai hari
adalah penggunaan spironolakton, furosemid,
amilorid, dan bumetanide. Retensi natrium
ginjal pada pasien sirosis dengan asites
terutama disebabkan oleh peningkatan
reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
73
distal. Peningkatan ini terjadi Sebagian besar
karena berhubungan dengan hiperaldosteon,
sehingga pemberian antagonis aldosterone
lebih efektif dibandingkan loop diuretik.
Spironolakton adalah pilihan utama ketika
memulai terapi asites. Spironolakton me-
rupakan antagonis aldosteron yang bekerja di
tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis
dan mempertahankan kalium. Dosis awal 100
mg dapat dinaikkan bertahap sampai 400 mg
untuk mencapai natriuresis yang adekuat.
Efek natriuresis akan muncul 3-5 hari setelah
penggunaan spironolakton. Sedangkan, furo-
semid merupakan loop diuretik, dosis awal 40
mg/hari dan dinaikkan setiap 2-3 hari
mencapai dosis 160 mg/hari.
Kombinasi antagonis aldosteron dan
furosemid memberikan hasil yang adekuat
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
74
pada pasien asites rekuren, namun tidak pada
asites baru. Sehingga pemberiannya adalah
spironolakton yang dinaikkan secara bertahap
selama 7 hari (100 – 400 mg/hari dan di-
naikkan 100/mg/hari) dengan menambahkan
furosemid (40 – 160 mg/hari dan dinaikkan 40
mg/hari). Pada pasien baru, pemberian
diuretik yang disarankan adalah spironolakton.
Large Volume Paracentesis (LVP) harus
dilakukan dalam kondisi steril. Jarum
dimasukkan ke kiri atau kanan bawah kuadran
perut menggunakan ‘’Z’’ track kulit ditembus
tegak lurus. Jarum masuk miring di subkutan
jaringan dan kemudian rongga peritoneal
ditusuk dengan menusuk jarum tegak lurus
dinding perut. Hal ini dilakukan untuk
memastikan bahwa jalur jarum memiliki
tusukan pada kulit dan peritoneum yang tidak
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
75
berhimpitan satu sama lain. Seluruh cairan
asites harus dikeluarkan dalam satu sesi
secepat mungkin sekitar 1 hingga 4 jam.
Selain itu, dapat dibantu dengan mobilisasi
lembut dari kanula atau memutar pasien ke
sisi kanula jika diperlukan.
Efek samping dari LVP yang harus
diperhatikan adalah post paracentesis
circulatory dysfunction (PPCD), yakni kondisi
ketika cairan asites keluar dengan cepat
sehingga bisa mengakibatkan retensi cairan,
hiponatremi, dan peningkatan tekanan vena
porta. Pencegahan PPCD yang sesuai adalah
dengan pemberian infus albumin. Selain
albumin, pemberian cairan yang sesuai
dengan jumlah cairan asites yang dikeluarkan
juga bisa menjadi pencegah PPCD. Pada
pengeluaran asites kurang dari 5 liter dapat
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
76
diberikan dextran-70 (8g/liter asites yang
dikeluarkan) atau polygeline (150ml/liter
asites yang dikeluarkan). Namun jika cairan
yang dikeluarkan lebih dari 5 liter, maka
albumin yang harus diberikan.
Pada asites dengan komplikasi, tatalak-
sana yang diberikan harus sesuai dengan
komplikasinya. Asites refrakter yakni ketika
cairan asites tidak bisa dikeluarkan atau
Kembali lagi setelah dilakukan LVP,
tatalaksana yang dilakukan adalah LVP
dengan pemberian albumin (8g/L cairan asites
yang dikeluarkan). Diuretik harus dihentikan
jika ekskresi sodium kurang dari 30
mmol/hari. Selain itu, Transjugular intra-
hepatic portosystemic shunt (TIPS) juga
merupakan terapi yang efektif pada asites
refrakter.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
77
Asites yang sudah menjadi peritonitis
bakterialis spontan (PBS) memiliki angka
mortalitas yang tinggi yakni 90%. Pada pasien
dengan hitung jumlah neutrofil asites > 250
sel/mm3, dapat diberikan antibiotik empiric
seperti sefalosporin generasi (cefotaksim).
Pasien PBS dengan gangguan fungsi ginjal
dapat diberikan albumin 1,5 gram/kg pada 6
jam pertama diikuti dengan 1 gram/kg pada
hari ke tiga. Pasien PBS yang telah sembuh
perlu diberikan profilaksis dengan norfloksasin
400 mg/hari atau siprofloksasin 500 mg satu
kali sehari. Semua pasien PBS dipertim-
bangkan untuk mendapatkan transplantasi
hati.
Terapi asites yang adekuat merupakan
hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan
karena dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien sirosis serta mencegah komplikasi
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
78
serius seperti PBS. Namun, tidak semua
pasien sirosis dengan asites merupakan
kandidat untuk dilakukan transplantasi hati.
Daftar Pustaka
AASLD. 2012. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: Update 2012.
Maghfiroh D, et al. 2018. Penatalaksanaan Asites pada Sirosis Hepatis. J. Ked. N. Med VOL. 1 : no 3, September 2018
ESAL. 2010. EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and
hepatorenal syndrome in cirrhosis. Journal of Hepatology 2010 vol. 53 j 397–417
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
79
Update Tatalaksana Ensefalopati
Hepatik
Ensefalopati Hepatik (EH) adalah kom-
plikasi yang sering terjadi pada pasien sirosis
hepatis. Penyakit ini merupakan perubahan
status mental dan fungsi kognitif yang terjadi
pada kondisi gagal hati. Lebih dari sepertiga
pasien sirosis yang menjalani rawat inap
adalah karena ensefalopati hepatik. Penyakit
ini dapat menyebabkan pasien memiliki
kelangsungan hidup yang buruk serta resiko
kambuh yang cukup tinggi. Prevalensi
terjadinya ensefalopati hepatik adalah se-
besar 30 hingga 40% dari pasien sirosis hati.
Sekitar 30% pasien ensefalopati hepatik
mengalami kematian
Patofisiologi EH tidak sepenuhnya jelas,
tetapi kondisi ini mencerminkan gangguan
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
80
fungsi otak yang menyebar akibat penyakit
hati lanjut atau large liver portosystemic
shunts (PSSs). EH dianggap merupakan
pengaruh bersama dari beberapa faktor
seperti kadar amonia, inflamasi dan kelainan
elektrolit. Amonia dianggap sebagai faktor
yang paling penting pada kejadian
ensefalopati hepatik. Amonia mencapai
sirkulasi sistemik melalui shunting porto
sistemik dan kegagalan hati untuk meta-
bolisme ammonia. Kadar ammonia yang
ekstrim dapat dilihat pada ganglia basalis dan
serebelum pasien sirosis dengan ensefalopati
hepatik. Hal ini diyakini memberikan kontribusi
terhadap terjadinya peningkatan disfungsi
motor dan gejala seperti ekstrapiramidal yang
diakibatkan karena perubahan fungsi dan
morfologi dari astrosit karena peningkatan
kadar dari ammonia.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
81
Berdasarkan penyakit yang mendasari,
EH diklasifikasikan menjadi 3 yakni A, B dan
C. EH A adalah kondisi yang disebabkan oleh
ALF. Tipe B adalah kondisi yang disebabkan
akibat gangguan Bypass portal-sistemik tanpa
ada penyakit hepatoselular intrinsik.
Sedangkan tipe C adalah berasal dari sirosis
dan hipertensi portal.
Secara klinis, EH di klasifikasikan
berdasarkan kriteria West Haven. Derajat 0
berupa asimptomatis. Derajat 1 ditandai
dengan perubahan kesadaran dan perilaku
mulai dari perubahan pola bangun tidur,
penurunan konsentrasi, depresi, ansietas dan
mudah marah. Pada pemeriksaan didapatkan
suara yang monoton, tremor, penurunan
kemampuan untuk menulis serta apraksia.
Derajat 2 ditandai dengan letargi, berperilaku
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
82
aneh, dan disorientasi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan ataksia, disaria dan asteriksis.
Derajat 3 ditandai dengan somnolen, amnesia,
gangguan emosi dan penurunan daya ingat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nystagmus,
kekakuan oot, hiper atau hiporeflek,
Sedangkan derajat 4 ditandai dengan koma.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pupil
dilatasi serta munculnya refleks patologis.
Tabel 1 : kriteria West Haven
Derajat Kognitif dan
perilaku Fungsi
Neuromuskular
Derajat 0 Asimptomatik Tidak ada
Derajat 1
Gangguan tidur, penurunan konsentrasi, depresi, ansietas dan mudah marah
Suara monoton, tremor, penurunan kemampuan menulis, dan apraksia
Derajat 2 Letargi,
disorientasi,
Ataksia, disatria,
asteriksis
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
83
penurunan daya ingat
Derajat 3
Somnolen,
kebingungan, amnesia, gangguan emosi
Nystagmus, kekakuan otot, hiper/hiporeflek
Derajat 4 koma
Pupil dilatasi,
refleks patologis (+)
Terdapat beberapa faktor pencetus EH
pada orang dengan gangguan hati. Tiga faktor
resiko yang paling sering menyebabkan
terjadinya episodic EH infeksi, perdarahan GI,
dan oeverdosis diuretik. Sedangkan tiga faktor
resiko yang paling sering menyebabkan
terjadinya EH berulang (EH terjadi kembali
dalam minimal jangka waktu 6 bulan) antara
lain gangguan elektrolit, infeksi, dan tidak
diketahui.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
84
Pemeriksaan kadar ammonia yang tinggi
dalam darah dapat menambah nilai
diagnostik, menentukan stadium atau
prognosis pada EH. Pemeriksaan lain seperti
CT scan dan MRI tidak banyak membantu
mendiagnosa EH. Namun, pemeriksaan
tersebut dapat dilakukan utnuk mendeteksi
dini ada tidaknya perdarahan intracerebral
pada pasien EH.
Penatalaksaan awal pasien EH adalah
menangani faktor pencetus, mengoreksi
kondisi secara umum dan stabilisasi. Beberapa
terapi farmakologi khusus untuk EH sebagian
besar bekerja untuk menurunkan kadar
amonia darah. Pada EH derajat 0 dan 1, terapi
yang diberikan adalah lactulose. Jika gagal
hanya dengan laktulosa, maka dapat
ditambahkan rifaximin atau Branched-Chain
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
85
Amino Acids (BCAA). Sedangkan pada EH
derajat 2, 3 dan 4, terapi yang dilakukan
pertama adalah stabilisasi, identifikasi faktor
pencetus, terapi faktor pencetus, pemberian
terapi nutrisi yang baik, serta laktulosa.
Farmako terapi untuk pencegahan rekurensi
EH, adalah laktulosa.
Laktulosa bekerja sebagai pencahar
osmotik, prebiotik, dan gut acidifying agent.
Efek menguntungkan dari laktulosa yakni
mengurangi produksi dan penyerapan amonia
di usus dengan cara mengubah mikrobiota
usus. Pada penelitian oleh Cochrane tentang
pengobatan EH menemukan bahwa dari 31 uji
coba terkontrol secara acak, laktulosa memiliki
efek pada pasien EH, serta sebagai
pencegahan EH berulang. Selain itu, laktulosa
juga tidak menimbulkan efek samping yang
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
86
berbahaya seperti gagal hati, perdarahan
varises, peritonitis bakteri spontan, sindrom
hepatorenal, dan kematian. Efek samping dari
laktulosa sebagian besar bersifat sementara
dan tidak berbahaya. Laktulosa juga mudah
ditemukan dan memiliki harga yang ter-
jangkau.
Pada sirosis, kadar plasma asam amino
rantai cabang (BCAA: leusin, isoleusin, valin)
menurun akibat dari homeostasis asam amino
umum. Pemberian BCAA memiliki efeknya
detoksifikasi amonia di luar hati melalui efek
sintesis protein otot rangka. Amonia
menurunkan sintesis protein dengan merusak
pensinyalan mTOR, sebuah efek yang
ditangkal oleh BCAA.
Pada penelitian Cochrane 2016 tentang
efek BCAA pada EH menunjukkan bahwa
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
87
BCAA memiliki efek menguntungkan pada
manifestasi EH. Selain itu, BCAA juga
menurunan risiko relatif pada EH. BCAA yang
disarankan adalah berupa oral bukan
intravena.
Rifaximin adalah antibiotik yang melawan
bakteri usus penghasil urease serta memiliki
efek penurun amonia. Beberapa contoh lain
dari antibiotic jenis ini adalah neomisin,
paromomisin, metronidazol, vankomisin, dan
rifaximin. Rifaximin merupakan obat yang
paling disarankan karena memiliki penyerapan
sistemik yang rendah namun spektrum
antimikrobanya luas. Selain itu, rifaximin juga
memiliki efek samping yang ringan. Antibiotik
ini memiliki peran utama dalam pencegahan
kekambuhan EH ketika penggunaan laktulosa
gagal. Namun, biaya yang harus dikeluarkan
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
88
untuk membeli rifaximin cukup tinggi.
Antibiotik lain sejenis rifaximin memiliki efek
samping yang cukup berbahaya. Neomisin
menyebabkan nefrotoksisitas, ototoksisitas,
dan malabsorpsi. Metronidazol menyebabkan
neurotoksisitas perifer irreversibel. Oleh
karena itu, penggunaan jangka panjang tidak
disarankan.
Pada penyakit hati lanjut, produksi
albumin dalam tubuh akan berkurang.
Pemberian infus albumin pada EH bisa
menjadi kombinasi dari penurunan stres
oksidatif dan peningkatan fungsi sirkulasi.
Beberapa penelitian disebutkan bahwa
albumin mungkin memiliki efek mengun-
tungkan pada pemulihan dan kematian EH.
Namun, belum da bukti yang pasti pada
efektifitas albumin jika dikombinai dengan
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
89
laktulosa sehingga penggunaannya masih
harus diteliti lagi.
Sampai saat ini, pengobatan EH ber-
sumber pada pengalaman pribadi, keter-
sediaan obat, dan tradisi di lingkungan rumah
sakit masing-masing. Karena semakin banyak
penelitian yang dilakukan dan dilaporkan,
semakin banyak pula bukti kuat untuk
mendukung efek menguntungkan yang nyata
dari strategi pengobatan EH konvensional
yakni laktulosa, asam amino rantai cabang,
dan rifaximin. Selain itu, dapat menegaskan
peran sentralnya dalam pengobatan EH
spesifik. Pada beberapa pasien yang terpilih,
embolisasi PSS besar dan transplantasi hati
adalah pengobatan yang efisien.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
90
Daftar Pustaka
Linda S et al. 2018. Update on the Therapeutic Management of Hepatic Encephalopathy. [online : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5895665/]
Suyoso et al. 2015. Ensefalopati Hepatik pada
Sirosis Hati: Faktor Presipitasi dan Luaran Perawatan di RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, No. 4, Agustus 2015
Hendrik et al. 2014. Hepatic Encephalopathy in Chronic Liver Disease: 2014 Practice Guideline by the American Association for the Study of Liver Diseases and the European Association for the Study of the
Liver.
Lecture Notes : Update Tatalaksana Penyakit Hepatitis Kronik 2020
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia