laptup sken 5 kelompok 3
DESCRIPTION
semoga bermanfaatTRANSCRIPT
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial ini
sebagai suatu laporan atas hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan
tutorial pada Blok 11, Blok Hematopoetik dan Limforetikuler
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan
dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan
dengan skenario 5 ini serta Learning Objective yang kami cari. Karena ini semua
disebabkan oleh keterbatasan kami.
Tak lupa terimakasih kami ucapkan kepada dr. Ima Arum Lestari M. Si.
Med, Sp. PK selaku tutor kami atas masukan-masukan beliau selama proses
diskusi. Kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat
kepada para pembaca.
Mataram, 23 Mei 2013
( Kelompok Tutorial III )
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................1
Daftar Isi..........................................................................................................2
I. Pendahuluan
1.1 Skenario 5 Blok 11...............................................................................3
1.2 Mind Map.............................................................................................3
1.3 Learning Objective...............................................................................4
II. Pembahasan
2.1 Drainase Sistem Limfatik……… …............................................. ...6
2.2 Diagnosa Banding Pada Skenario..………..……………………........6
a. Limfadenitis……………………………………………………….6
b. Neoplasma…………………………………………………………8
2.3 Analisis Skenario……………………………………………………..24
III. Penutup
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... ...27
Daftar Pustaka................................................................................................28
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario V Blok 11
Tn. Irawan, 25 tahun datang ke seorang dokter praktek swasta dengan
keluhan terdapat benjolan di leher kanan yang baru disadari sejak 1 minggu yang
lalu. Tn. I tidak mengetahui kapan benjolan tersebut mulai muncul. Menurut
pasien benjolan tersebut tidak nyeri. Pasien juga mengeluh sering mengalami
panas badan hilang timbul sejak sekitar 3 minggu yang lalu namun tidak pernah
diobati. Riwayat penurunan berat badan tidak dikeluhkan namun pasien mengaku
nafsu makan mulai berkurang.
Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan adanya nodul di regio
submandibula coli sinistra, nodul tunggal ukuran 1 x 1 cm, tidak nyeri pada
perabaan, konsistensi padat dan dapat digerakkan. Pada pemeriksaan mulut dan
gusi didapatkan caries dentis pada molar 3 kiri. Dokter yang memeriksa
menyarankan pasien untuk memeriksakan diri ke rumah sakit setempat.
1.2 Mind Map
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
1.3 Learning Objective
1. Drainase sitem limfatik
2. Diagnosis Banding pada Skenario
3. Analisis Skenario
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Drainase Sistem Limfatik
Tabel 1. Kelompok Limpa Nodus : Lokasi, Drainase Limfatik, dan Diagosis Banding
Lokasi Drainase Limfatik Penyebab
Submandibular Lidah, kelenjar
submaksilaris, bibir dan
mulut, konjungtiva
Infeksi pada kepala, leher, sinus,
telinga, mata, kulit kepala, faring
Submental Bibir bawah, lantai mulut,
ujung lidah, kulit pipi
Sindrom mononukleosis, EBV,
CMV, toksoplasmosis
Jugular Lidah, tonsil, pinna,
parotid
Organisme faringitis, rubella
Servikal
posterior
Kulit kepala, leher, kulit
tangan dan pektoral,
toraks, servikal, dan nodus
aksilaris
Tuberkulosis, limfoma, kepala
dan leher, malignansi
Suboccipital
postauricular
Kulit kepala dan kepala,
meatus auditory eksterna,
pinna
Infeksi lokal
Preauricular Kelopak mata dan
konjungtiva, regio
temporal, pinna
Infeks lokal
Nodus
supraclavicular
dextra
Mediastinum, paru-paru,
esophagus
Paru-paru, kanker gastrointestinal
atau retroperitoneal
Nodus Toraks, abdomen via Limfoma, kanker thoraks atau
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
supraclavicular
sinistra
duktus torasikus retroperitoneal, infeksi bakteri
atau fungi
Aksilaris Lengan, dinding toraks,
payudara
Infeksi, cat-scratch disease,
limfoma, kanker payudara, implan
silikon, brucellosis, melanoma
Epithroclear Bagian ulnar pada lengan
bawah dan tangan
Infeksi, limfoma, sarcoidosis,
tularemia, sifilis sekunder
Inguinal Penis, scrotum, vulva,
vagina, perineum, regio
gluteal, dinding abdomen
bawah, kanal anal bawah
Infeksi pada kaki, PMS (herpes
simplex, infeksi gonoccocal,
sifilis, chancroid, granuloma
inguinal, dll) limfoma,
malignansu pelvis, bubonic plak
2.2 Diagnosis Banding
a. Limfadenitis
1. Epidemiologi
Limfadenitis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
terutama di daerah pedesaan. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh infeksi
cacing filaria. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Di
Indonesia Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Provinsi. Berdasarkan
laporan daerah dan hasil survai (Rapid Mapping) pada tahun 2000 yang lalu
tercatat sebanyak 6500 kasus kronis di 1553 desa 674 Puskesmas di 231
Kabupaten, 26 Provinsi. Sampai tahun 2004 kasus kronis yang dilaporkan
sebanyak 8003 orang yang tersebar di 32 provinsi.
Hasil survai darah jari, dengan rentangan didapatkan prevalensi mikrofilaria
(Mf rate) berkisar antara 0,5 – 27,6%. Tingkat penularan penyakit filariasis
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
di Indonesia masih tinggi. Diperkirakan sekitar 10 juta orang sudah
terinfeksi cacing filaria dan sekitar 60 juta orang mempunyai risiko tinggi
untuk tertular karena nyamuk penularnya tersebar luas.
Untuk pemberantasan penyakit ini sampai tuntas, WHO sudah menetapkan
kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis
as a Public Health Problem by The Year 2020). Program eliminasi
dilaksanakan melalui pengobatan massal DEC dan Albendazol setahun
sekali selama minimal 5 tahun di daerah endemis dan perawatan kasus klinis
baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi
penderitaannya.
2. Etiologi
Limfadenitis hampir selalu dihasilkan dari sebuah infeksi, yang
kemungkinan disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, ricketsia, atau jamur.
Ciri khasnya, infeksi tersebut menyebar menuju kelenjar getah bening dari
infeksi kulit, telinga, hidung, atau mata atau dari beberapa infeksi seperti
infectious mononucleosis, infeksi cytomegalovirus, infeksi streptococcal,
tuberkulosis, atau sifilis. Infeksi tersebut bisa mempengaruhi kelenjar getah
bening atau hanya pada salah satu daerah pada tubuh
3. Patogenesis
Suatu cairan disebut getah bening bersirkulasi melalui pembuluh limfatik
dan mmebawa limfosit (sel darah putih) mengelilingi tubuh. limfosit ini
merupakan sel-sel dari system imun yang membantu tubuh melawan
penyakit. Terdapat 2 tipe utama limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B,
karena cairan limfe tidak mengandung sel darah merah maka ia berwarna
putih.
Pembuluh limfatik melalui kelenjar getah bening, kelenjar getah bening
berisi sejumlah besar limfosit dan bertindak sebagai penyaring menangkap
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
organisme yang menyebabkan infeksi seperti bakteri dan virus. Kelenjar
getah bening cenderung bergerombol dalam suatu kelompok sebagai contoh
tardapat sekelompok besar di ketiak, dileher dan lipat.pangkal paha.
Ketika suatu bagian tubuh terinfeksi atau bengkak, kelenjar getah bening
terdekat sering membesar dan nyeri. hal berikut ini terjadi sebagai contoh
jika seseorang dengan sakit leher mengalami “pembengkakan kelenjar” di
leher. cairan limfatik dari tenggorokan mengalir ke dalam kelenjar getah
bening di leher, dimana organisme penyebab infeksi dapat dihancurkan dan
dicegah penyebarannya ke bagian tubuh lainnya.
b. Neoplasma
Neoplasma dibedakan menjadi neoplasma primer dan neoplasma sekunder.
Primer
Limfoma malignum merupakan neoplasma ganas primer pada kelenjar
getah bening atau sistem limfatis dan ditandai oleh pembesaran
kelenjar getah bening yang terkena. Dapat dibedakan menjadi
Limfoma malignum Hodgkin dan Non Hodgkin Limfoma.
Sekunder
Metastasis dari suatu proses keganasan secara limfogen pertama-tama
akan mengenai kelenjar getah bening regional sebelum sampai ke
tempat lain yang lebih jauh, dan keadaan ini yang menyebabkan
pembesaran KGB. KGB yang mengandung metastasis akan teraba
lebih padat atau keras, tidak nyeri, dapat digerakkan dan dapat
multipel.
1. Limfoma Malignum Hodgkin
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
a. Definisi
Limfoma adalah suatu kanker (keganasan) dari sistem limfatik (getah
bening). Sistem limfatik membawa tipe khusus dari sel darah putih yang
disebut limfosit melalui suatu jaringan dari saluran tubuler (pembuluh
getah bening) ke seluruh jaringan tubuh, termasuk sumsum tulang.
Tersebarnya jaringan ini merupakan suatu kumpulan limfosit dalam nodus
limfatikus yang disebut kelenjar getah bening. Limfosit yang ganas (sel
limfoma) dapat bersatu menjadi kelenjar getah bening tunggal atau dapat
menyebar di seluruh tubuh, bahkan hampir di semua organ.
Penyakit Hodgkin (Limfoma Hodgkin) adalah suatu jenis limfoma yang
dibedakan berdasarkan jenis sel kanker tertentu yang disebut sel Reed-
Stenberg, yang memiliki tampilan yang khas dibawah mikroskop. Sel
Reed-Sternberg memiliki limfositosis besar yang ganas yang lebih besar
dari satu inti sel. Sel-sel tersebut dapat dilihat pada biopsi yang diambil
dari jaringan kelenjar getah bening, yang kemudian diperiksa dibawah
mikroskop.
b. Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, walaupun beberapa ahli menduga bahwa
penyebabnya adalah virus, seperti virus Epstein Barr. Penyakit Hodgkin
bisa muncul pada berbagai usia, tetapi jarang terjadi sebelum usia 10
tahun. Paling sering ditemukan pada usia diantara 15-34 tahun dan diatas
60 tahun.
c. Epidemiologi
Di amerika Serikat terdapat 7500 kasus baru Penyakit Hodgkin setiap
tahunnya, rasio kekerapan laki-laki dan perempuan adalah 1,3-1,4
berbanding 1. Terdapat distribusi umur bimodal, yaitu pada usia 15-34
tahun dan usia di atas 55 tahun.
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
Factor resiko untuk penyakit ini adalah infeksi virus onkogenik diduga
berperan dalam menimbulkan lesi genetic, virus memperkenalkan gen
asing ke dalam sel target. Virus-virus tersebut adalah virus EBV,
Sitomegalovirus, HIV, dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Factor resiko
lainnya adalah defisiensi imun misalnya pemberian obat imunosupresan
atau pada pasien cangkok sumsum tulang. Keluarga dari pasien Hodgkin
(adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin.
d. Faktor Resiko
Infeksi virus seperti EBV, CMV, HIV, dan Human Herpes Virus (HHV-
6).
Defisiensi imun misalnya pada transplantasi organ dengan pemberian
imunosupresif atau pada pasien cangkok SST.
Keluarga dari pasien Hodgkin
e. Gambaran Klinis
- Limfadenopati yang bersifat tidak nyeri , tidak nyeri tekan, asimetris,
padat, berbatas tegas.
- Terjadi splenomegali pada 50% pasien dan jarang bersifat massif. Hati
mungkin membesar.
- Tanda-tanda obstruksi seperti edema ekstremitas, sindrom vena cava,
kompresi medulla spinalis, dan lain-lain
- Neuropati
- Demam bersifat continue dan siklik
- Penurunan berat badan, berkeringat pada malam hari, kelemahan,
anoreksia.
f. Pemeriksaan Laboratorium
Temuan Hematologik dan biokimia
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
- Anemia normositik normokromik paling sering ditemukan. Disertai
dengan adanya infiltrasi dari sumsum tulang, dapat terjadi kegagalan
sumsum tulang dengan anemia leukoeritroblastik.
- Sepertiga pasien menderita leukositosis karena peningkatan neutrofil
- Eosinofilia
- Jumlah trombosit normal atau meningkat selama awal penyakit, dan
menurun pada stadium lanjut.
- LED dan protein C reaktif biasanya menigkat, dan berguna dalam
pemantauan perjalanan penyakit
- Kadar Laktat dehidrogenase (LDH) serum meningkat, dan peningkatan
kadar transaminase serum menunjukkan keterlibatan hati.
Histologis
- Pemeriksaan histologis delakukan pada kelenjar getah bening yang
dieksisi. Sel Reed Sternberg poliploid yang berinti lebih dari satu yang
khas penting untuk penegakkan diagnosis.
Radiologis
- Foto toraks untuk melihat efusi pleura atau lesi parenkim paru.
Pemeriksaan ct scan toraks mendeteksi abnormalitas parenkim paru
dan mediastinal, sedangkan CT scan abdomen memperlihatkan
limfadenopati retro peritoneal, mesentrik, hepatosplenomegali atau lesi
ginjal.
g. Tatalaksana
1. Radioterapi
Penderita Hodgkin stadium I dan II dapat disembuhkan dengan
pemberian radioterapi. Radioterapi meliputi Extended Field
Radiotherapy (IFRT),dan radioterapi RT pada limfoma residual dan
bulky disease.
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
Radioterapi juga berperan dalam pengobatan massa tumor besar,
misalnya tumor mediastinum pada penyakit sklerosis nodular atau
deposit rangka, kelenjar getah bening atau jaringan lunak yang nyeri.
2. Kemoterapi
Kemoterapi siklik digunakan untuk penyakit stadium II dan IV dan
juga pada pasien stadium I dan II yang mempunyai penyakit dengan
massa besar, atau lebih mengalami relaps setelah radioterapi awal.
Kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V.
3. Imunoterapi
Imunoterapi merupakan terapi pada penyakit Hodgkin yang masih
diteliti.
h. Prognosis
Ada tujuh faktor resiko independen untuk memprediksi masa bebas
progresi penyakit FFR (Freedom From Progression), yaitu : jenis kelamin,
usia > 45 tahun, stadium IV, Hb < 10 gr%, leukosit > 15000/mm3 , limfosit
< 600/mm3 atau < 8% leukosit, serum albumin < 4gr%.
2. Non Hodgkin Limfoma.
a. Pendahuluan
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit
yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat jarang) berasal
dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem limfe; yang sangat
heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap
pengobatan, maupun prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi
secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel
LNH berasal dari satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH
sel B memililci imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya.
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru,
dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5% kasus LNH
barn terjadi pada pria, dan 4% pada wanita per tahunnya. Pada tahun 1997, LNH
dilaporkan sebagai penyebab kematian akibat kanker utama pada pria usia 20-
39 tahun/Insidensi LNH di Amerika Serikat menurut National Cancer
Institute tahun 1996 adalah 15.5 per 100.000. LNH secara umum lebih sering
terjadi pada pria. Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya usia
dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84 tahun. Saat ini angka pasien
LNH di Amerika semakin meningkat dengan pertambahan 5-10%
pertahunnya ,menjadikannya urutan ke lima tersering dengan angka kejadian 12-
15 per 100.000 penduduk. Di Perancis penyakit ini merupakan keganasan ketujuh
tersering. Di Indonesia sendiri LNH bersama sama dengan penyakit Hodgkin
dan leukemia menduduki urutan ke enam tersering .Sampai saat ini belum
diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya
hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH kiranya memperkuat dugaan
adanya hubungan antara LNH dengan infeksi.
b. Patogenesis Transformasi dan Migrasi Limfosit
Berbeda dengan sel hematopoeitik yang lain, limfosit kecil (matang/tua) bukanlah
merupakan sel tahap akhir dari perkembangannya, akan tetapi mereka dapat
merupakan permulaan limfopoiesis baru yang timbul sebagai reaksi terhadap
rangsangan antigen yang tepat. Hal ini dibuktikan oleh Nowell pada tahun 1960
dan peneliti lain yang memperlihatkan sel limfosit kecil (matang) mampu
mengadakan perubahan morfologi (transformasi) dan berproliferasi sebagai
reaksi terhadap rangsangan lektin nabati (plant lectin).
Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalam kelenjar limfe juga berasal dari sel-
sel induk multipotensial di dalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial
pada tahap awal bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang kemudian
berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami "pematangan" dalam
kelenjar thymus untuk menjadi sel limfosit T, dan sebagian lagi menuju kelenjar
limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi menjadi sel
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
limfosit B.
Apabila ada rangsangan oleh antigen yang "sesuai" maka limfosit T maupun B
akan bertransformasi menjadi bentuk aktif dan berproliferasi. Limfosit T aktif
menjalankan fungsi respon imunitas seluler, sedangkan limfosit B aktif menjadi
imunoblas yang kemudian menjadi sel plasma yang membentuk
imunoglobulin. Terjadi perubahan morfologi yang mencolok pada perubahan
ini, dimana sitoplasma yang sedikit atau kecil pada limfosit B "tua" menjadi
bersitoplasma banyak/luas pada sel plasma, perubahan ini terjadi pada sel limfosit B
disekitar atau di dalam "centrum germinativum"; sedangkan limfosit T aktif
berukuran lebih besar dibanding limfosit T "tua".
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya
mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah
berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya
rangsangan imunogen). Hal yang perlu diketahui adalah proses ini terjadi di
dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada diluar "centrum
germinativum" sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari
"centrum germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua
antara lain: I ). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti menjadi
lebih"halus"; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel mengalami
perubahan (reseptor ?).
Hal mendasar lain yang perlu diingat adalah bahwa sel yang berubah menjadi
sel kanker seringkali tetap mempertahankan sifat "dasar"nya. Misalnya sel
kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masuk aliran
darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari
imunoblas amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat
mitosis yang tinggi.
c. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa
faktor risiko terjadinya LNH, antara lain:
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
ImunoDefisiensi
25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara
lain adalah severe combined immunodeficiency, hypogammaglobulinemia,
common variable immunodeficiency, WiztottAldrich syndrome, dan ataxia-
telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan
tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Ban virus (EBV) dan
jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma
monoklonal.
Agen Infeksius
EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkit endemik, dan lebih jarang
ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus
limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap
terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan
bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan
jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko
terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan
posttransplant lymphoproliferative disorders (PTLDs) dan AIDS-
associated lymphomas.
Paparan Lingkungan dan Pekerjaan
Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah
petemak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya
paparan herbisida dan pelarut organik.
Diet dan Paparan Lainnya
Risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak
hewani, merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
d. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
Umum :
- Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum
- Keringat malam
- Berat badan menurun 10% dalam waktu 6 bulan
- Demam tinggi 38°C 1 minggu tanpa sebab
Gejala sinstemik
- Keluhan anemia
- Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)
- Penggunaan obat (Diphantoine)
Khusus:
- Penyakit autoimun (SLE, Sjogren, Reuma)
- Kelainan darah
- Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis lues,
penyakit cakar kucing)
Pemeriksaan fisik
- Pembesaran KGB
- Kelainan/pembesaran organ
- Performace status: ECOG atau WHO/Karnofsky
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium
a . Rut in
1 . Hemato log i : Darah perifer lengkap (DPL)-Gambaran darah
tepi (GDT)
2 . Urinalisis : urin lengkap
Kimia klinik : SGOT,SGPT, LDH, protein total, albumin, asam
urat alkali fosfatase Gula darah puasa dan 2 jam pp, Elektrolit:
Na, K, Cl, Ca,P
b . Khusus
1. Gamma GT : Cholinesterase (CHE)
2. LDH/fraksi : serum protein
elektroporesis (SPE), Imuno
Elektroforese (IEP)
3. Tes Coombs : B2 Mikroglobulin
- Biopsi
Biopsi KGB dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar perifer atau superfisial
yang representatif, maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau
intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa :
Rutin : Histopatologi: REAL-WHO dan Working Formulation
Khusus : Imunoglobulin permukaan Histo/sitokimia
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi. FNAB
dilakukan atas indikasi tertentu.
a. Aspirasi sumsum tulang (BMP)dan biopsi sumsum tulang dan 2 sisi
spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm.
b. Radiologi
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
Rutin : Toraks foto PA dan lateral dan CT scan seluruh abdomen
(atas dan bawah)
Khusus: CT scan toraks, USG Abdomen, Limfografi dan
limfosintigrafi
c. Konsultasi THT: Bila cincin Waldeyer terkena, dilakukan gastroskopi atau
foto saluran cerna atas dengan kontras
d. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan cerebrospinal jika dilakukan
punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping
pemeriksaan rutin lainnya.
e. Immunophenotyping: Parafm panel: CD 20, CD 3.
f. Faktor Prognostik
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik: Indolent Lymphoma dan
Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan
median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium
lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma
agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat
disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko
kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada
kelompok Indolen maupun Agresif.
International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien
dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang
mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtipe
LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH,
status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal. Tiap faktor
memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan
untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat antara 0-5. Pada pasien
usia <60 " (age adjusted 1131), indeks yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya
meliputi faktor stadium anatomis, serum LDH, dan status "pelformance", tanpa
status ekstra nodal.
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
g. Terapi
1. LNH Indolen
Indolen, Stadium I dan Stadium II,
Kontrol penyakit jangka panjang atau perbaikan masa bebas penyakit ("disease free
survival") secara bermakna dapat dicapai pada sejumlah pasien LNH indolen
stadium I atau stadium II dengan menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada
lokasi yang terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup lokasi
nodal yang berdekatan. (termasuk sistem KGB terkait dengan FAcstra nodal yang
terlibat)
Standar pilihan terapi:
1. Iradiasi
2. Kemoterapi dengan terapi radiasi
3. Extended (regional) irradiasi, untuk mencapai nodal yang bersebelahan
4. Kemoterapi saja atau "Wait and see" jika terapi radiasi tidak dapat dilakukan.
5). Sub total/total iradiasi lymphoid (jarang). Radioterapi luas talc meningkatkan
angka kesembuhan dan dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi
lanjutan nantinya
Indolen Stage
Pengelolaan optimal pada LNH indolen stadium lanjut masih kontroversial dan
masih melalui berbagai penelitian klinis. Standar pilihan terapi:
Tanpa terapi/ Wait and see: pasien asimptomatik dilakukan penundaan terapi
dengan observasi. Pasien stadium lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak
mempengaruhi harapan hidup. Remisi spontan dapat terjadi. Terapi diberikan
bila ada gejala sistemik, perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi
akibat perkembangan tumor.(misal: obstruksi atau effusi )
Rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi; Rituxan, Mab Thera) sebagai
`first line therapy" , diberikan tunggal atau kombinasi. Merupakan anti
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
CD20 antibodi monoklonal kimera yang telah disetujui untuk terapi LNH
indolen yang relaps atau refrakter. Obat ini bekerja dengan cara aktivasi
antibodi-dependent sitotoksik T-sel, mungkin melalui aktivasi komplemen dan
memperantarai sinyal intraseluler:
1. Untuk LNH indolen, dihasilkan ORR 50% dengan lama respons bertahan
sekitar 1 tahun. Pada large cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 30%.
Kombinasi kemoterapi dengan rituximab bersifat sinergis.
2. Dosis baku rituximab 375 mg/m2 IV setiap minggu selama 4 sampai 8
minggu dan dosis maksimum yang bisa ditoleransi belum ditentukan. Terapi
ulang memberikan respons 40%.
Efek samping berupa demam dan menggigil biasa dijumpai terutama pada
infus pertama. Efek samping yang fatal (seperti anafilaksis, ARDS dan
sindrom lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada pasien dengan
sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL
Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2-klorodoksiadenosin; kladribin)
memberikan respons sampai 50% pada pasien yang telah diobati/kambuh.
Alkylating Agent Oral (dengan atau tanpa steroid)
Kemoterapi Kombinasi. Terutama untuk memberikan hasil yang cepat. Biasanya
digunakan kombinasi klorambusil atau siklofosfamid plus kortikosteroid, dan
fludarabin plus mitoksantron. Kemoterapi tunggal atau kombinasi
menghasilkan respons cukup baik (60-80%). Terapi diteruskan sampai
mencapai hasil maksimum. Terapi "maintenance" tak meningkatkan harapan
hidup, bahkan dapat memperlemah respon terapi berikut dan mempertinggi
efek leukemogenik
Beberapa protokol kombinasi antara lain:
CVP : iklofosfamid + Vinkristin + Prednison
C(M)OPP : Siklofosfamid + Vinkristin + Prokarbazin + Prednison
CHOP : Siklofosfamid + Doksorubisin + Vinkristin + Prednison
FND : Fludarabin+Mitoksantron Deksametason
Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons berkisar antara 5080% pada
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
kasus yang pernah diterapi. Sediaan yang tersedia antara lain I-anti CD20
(tositumomab, Bexxar®) dan "Y-anti CD20 (lbritumomabtiuxetan,Zevalin®),
digunakan pada pasien relaps dengan/tanpa keterlibatan sumsum tulang
minimal (< 25%). Suatu penelitian acak yang membandingkan tiuxetan vs
rituximab menunjukan tingkat respon pengobatan (80% vs 55%) dan remisi
lengkap (30% vs 15%) untuk keuntungan radio imuno-konjugasi.
Kemoterapi Intensif dengan/tanpa "total-body irradiation" diikuti dengan
transplantasi sumsum tulang/"stem cell perifer autologous atau allogenic"/
PBSCT (masih dalam evaluasi klinis).
Kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi diikuti anti-idiotype vaccine
(penelitian fase III)
Penggunaan IFN-alpha pada limfoma folikular sampai sekarang belum jelas.
Hasil beberapa penelitian menunjukkan efek potensiasi angka respons,
perpanjangan waktu remisi dan kemungkinan pengaruhnya pada harapan
hidup.
Radioterapi paliatif. Diberikan pada kasus tumor besar (bulky) atau untuk
mengurangi obstruksi dan nyeri.
Konversi Histologis. LNH indolen yang bertransformasi menjadi agresif
memiliki prognosis jelek dan dapat melibatkan sistem saraf pusat
(terutama: meningeal). Biasanya memberikan respon terapi yang baik
dengan protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah atau tinggi.
Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sel induk untuk kasus ini hams
dipertimbangkan.
2. LNH Agresif
LNH Intermediate/High Grade Terlokalisir. Non bulky stadium IA dan IIA,
dengan keterlibatan ekstranodal (E), dapat diterapi dengan regimen yang
mengandung doxorubicin (CHOP/CHVmP/BV) minimal 3 siklus, dilanjutkan
dengan IFRT (ekuivalen dengan 3000 cGy dalam 10 fraksi). Kombinasi
kemoterapi dan radioterapi pada stadium awal memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan kemoterapi saja.
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
Stadium I-II (Bulky), Ill dan IV. diterapi dengan CHOP siklus lengkap atau
CHVmP/BV 8 siklus (dalam penelitian). Untuk daerah "bulky" IFRT dapat
diberikan guna meningkatkan lokal kontrol. Mc Kelvey melaporkan dengan regimen
CHOP 50% sampai 71% pasien mencapai remisi lengkap dan 75% diantaranya bertahan
hidup lebih dart tiga tahun. Harryanto R dan Djumhana melaporkan di Indonesia angka
angka ini lebih rendah, belum diketahui faktor pasti penyebabnya. Penelitian
secara acak terhadap protokol CHOP (generasi pertama) dibandingkan dengan
beberapa protokol generasi 11 / Ill seperti: m-BACOD, MACOP-B, dan
ProMACE-CYtaBOM oleh "The Inter Group Study" melaporkan tidak ada
perbedaan bermakna dart sudut angka harapan hidup dan masa bebas penyakit.
Harapan hidup aktuarial berkisar antara 40% sampai 45%. Dengan demikian
protokol CHOP tetap merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif.
Selain itu, hasil GELA study (Coiffier et al) menunjukkan bahwa pasien usia tua
dengan LNH agresif dengan penambahan rituximab pada setiap siklus CHOP
meningkatkan overall survival dengan pengamatan 3 tahun dan 49% menjadi
62% bila dibandingkan dengan CHOP saja. Selain itu, regimen yang sama dapat
menghasilkan "disease control' (cure) sekitar 30-40% pada pasien stadium lanjut
LNH derajat keganasan menengah dan tinggi
3. LNH Intermediet atau High Grade Yang Refrakter
pasien refrakter yang gagal mencapai complete respons diberikan terapi
salvage dengan RT jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi pilihan bila
mungkin adalah kemoterapi salvage diikuti dengan transplantasi stem cell
autologus/PBSCT
Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabinose, kortikosteroid
dan cisplatin dengan atau tanpa etoposide. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang
lain seperti CEPP/B, EVA, miniBEAM, VAPEC B dan infus EPOCH.
Kemoterapi dosis tinggi dengan RT diikuti PBSCT Allogenic BMT.
MCL (Mantle Cell lymphoma) agresif. Hyper CVAD alternating dengan
metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
regimen ini. Pasien <65 tahun dipertimbangkan dilakukan transplantasi
autologus atau alogenik setelah dua atau empat siklus kemoterapi. Siklus
regimen ini diulang setiap 21 hari. Protokol Leiden khususnya untuk stadium III
dan IV, mengikuti "European Intergroup Trial" membandingkan mieloablatif
radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi sumsum tulang atau dosis
pemeliharaan dengan INF-ct setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan
kemoterapi yang mengandung kombinasi antrasiklin.
Terapi induksi 1: (R-Hyper VCAD)
1. Rituximab 375 mg/m2 N hari I dan 8
2. Siklofosfamid 300mg/m2 N setiap 12 jam hari 1-3
3. Vinkristin 2mg N hari ke 4 dan 11
4. Doksorubisin 25 mg/m2, infus selama 24 jam hari ke 4 dan 5
Deksametason 40 mg N atau PO, hari 14 dan hari ke 11-14 Granulosit
Colony-stimulating factor (G-CSF), 514/kg N atau SC setiap hari,
dimulai hari ke 6 sampai neutropil >4500/gL
Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dan siklus 1)
1. Rituximab 375mg/m2 iv infus hari 1
2. Metotreksat 200 mg/m2 iv bolus hari 1, diikuti 800mg/m2 infus N selam
24 jam; berikan larutan N alkalin
3. Leukovorin, 50mg PO diberikan 24 jam setelah infus metotreksat selesai
diikuti 15mgPo setiap 6 jam total 8 dosis (dosis disesuaikan berdasarkan
kadar serum metotreksat)
4. Sitarabin 3000mg/m2 iv selama 1 jam setiap 12 jam total 4 dosis dimulai
hari ke 2 (dosis dikurangi menjadi 1000 mg/m2 perdosis untuk pasien >60
tahun dengan serum kreatinin lebih dan 1,5mg/d1)
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
2.4 Analisis Skenario
1. Pembesaran kelenjar di leher kanan multipel
Kemungkinan kelenjar yang mengalami pembesaran pada leher kanan pasien
adalah kelenjar limfe karena bersifat multipel. Untuk mengetahui kelainan
kelenjar limfe lebih lanjut, berikut ini adalah anatomi kelenjar limfe :
Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan pembesaran kelenjar limfe antara
lain :
Pembesaran kelenjar limfe ini dapat terjadi akibat penambahan sel-sel
pertahanan tubuh yang berasal dari kelenjar limfe itu sendiri seperti limfosit,
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
sel plasma, monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan
(neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar limfe. Selain itu, pembesaran
kelenjar limfe juga dapat diakibatkan oleh infiltrasi sel-sel ganas.
Selain etiologi diatas, pembesaran kelenjar limfe juga dapat terjadi akibat
reaksi obat. Adapun obat – obat yang dapat memicu perbesaran kelenjar limfe
adalah :
2. Demam Berulang
Keluhan demam berulang kemungkinan besar dapat terjadi akibat adanya
infeksi berulang pada pasien dengan dugaan keganasan
3. Nafsu makan berkurang
Kemungkinan yang dapat menyebabkan keluhan ini pada pasien antara lain :
Gangguan pada mulut, faring atau GI tract
Peradangan
Mediator radang seperti Serotonin yang merupakan Zat Anoreksigenik
menyebabkan nafsu makan menurun sehingga menyebabkan terjadinya
kesulitan makan dan anak kurang aktif.
Infeksi berat dan keganasan
Aktivasi sistem melanokortin meningkat menyebabkan nafsu makan
berkurang namun meningkatkan pengeluaran energi yang menyebabkan
penurunan penyimpanan energi di dalam tubuh yang menyebabkan anak
kurang aktif.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terlihat pada skenario,
diduga pasien mengalami limfoma Hodgkin. Hal ini dilihat dari gambaran klinis
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
yang terlihat seperti: limfadenopati yang tidak nyeri dengan konsistensi padat dan
juga demam yang bersifat hilang timbul. Selain itu jika dilihat dari usia pasien,
limfoma Hodgkin biasanya menyerang usia 15-34 tahun sedangkan limfoma non
Hodgkin 80-84 tahun. Namun jika dilihat kembali mengenai nodul yang dapat
digerakkan, ini merupakan ciri khas adanya metastasis karena pada limfoma nodul
bersifat immovable (tidak dapat digerakkan). Untuk menentukan diagnosis kerja
dari penyakit pada scenario diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Dari hasil diskusi skenario lima tentang keganasan, pada dasarnya tanpa
hasil pemeriksaan penunjang yang lebih khusus tidak bisa ditentukan diagnosis
kerja yang pasti. Namun, jika dilihat dari manifestasi klinis dapat diduga pasien
mengalami limfoma namun dengan adanya nodul yang dapat digerakkan dapat
juga dicurigai adanya metastasis. Namun untuk lebih mengetahui diagnosis kerja
yang pasti masih diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1
DAFTAR PUSTAKA
Reksodipura, Harryanto A, & Irawan, Cosphiadi, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Pusat Penerbit Penyakit Dalam FK UI; Jakarta.
Hoffbrand-Pettit-Moss, 2005. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. EGC : Jakarta.
Sudoyo, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat
Penerbitan IPD FKUI : Jakarta.
Kasper, D. 2004. Harrison’s Principles Internal Medicine. 16th edition. Mc.Grow
Hill : Boston
“ S k e n a r i o 5 ” K e l o m p o k T u t o r i a l 3 Page 1