lapsus adri anes
DESCRIPTION
ixxxxTRANSCRIPT
Laporan Kasus
MANAJEMEN ANESTESI PADA
LABIOSCHIZIS
Oleh :
Muhammad Adriwansah
NIM : 70 2009 004
Pembimbing:
dr. Susi Handayani, Sp. An, M.Sc
KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESI DAN REANIMASI
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2013
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan presentasi kasus yang
berjudul ” Manajemen Anestesi pada Labioschizis“
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Susi Handayani, Sp.An, M.Sc selaku kepala bagian anestesi FKUMP / RS
Muhammadiyah Palembang dan pembimbing pada pembuatan presentasi kasus ini.
2. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di bagian anestesi RS Muhammadiyah
Palembang
3. Semua pihak yang telah membantu selama penulisan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa di dalam presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna,
karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman, walaupun demikian penulis telah
berusaha sebaik mungkin. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun diharapkan guna
penyusunan dan kesempurnaannya.
Palembang, April 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
Bab I. Pendahuluan........................................................................................... 4
Bab II. Tinjauan Pustaka................................................................................... 6
Bab III. Laporan Kasus..................................................................................... 17
Bab IV. Pembahasan......................................................................................... 21
Bab V. Kesimpulan.......................................................................................... 26
Daftar Pustaka................................................................................................... 27
4
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Bersama-sama cabang kedokteran lain serta anggota
masyarakat ikut aktif mengelola bidang kedokteran gawat darurat.1
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi
terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan
mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada
hari operasi. Tahap penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi
dan pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.1,2
Labioschisis atau biasa disebut bibir sumbing adalah cacat bawaan yang menjadi
masalah tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial
ekonomi yang lemah. Akibatnya operasi dilakukan terlambat dan malah dibiarkan
sampai dewasa. Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah
langit-langit 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh
Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel
menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang. Insiden bibir sumbing di Indonesia
belum diketahui.5
Hidayat dan kawan-kawan di propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986
sampai November 1987 melakukan operasi pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah
langit-langit pada bayi, anak maupun dewasa di antara 3 juta penduduk. Etiologi bibir
sumbing dan celah langit-langit adalah multifaktor. Selain faktor genetik juga terdapat
faktor non genetik atau lingkungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
bibir sumbing dan celah langit-langit adalah usia ibu waktu melahirkan, perkawinan antara
penderita bibir sumbing, defisiensi Zn waktu hamil dan defisiensi vitamin B6. Bayi yang
terlahir dengan labioschisis harus ditangani oleh klinisi dari multidisiplin dengan
pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi efektif dari berbagai aspek
multidisiplin tersebut.5
5
Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih ada masalah lain yang
perlu dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan psikososial.
Masalah-masalah ini sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya
hasil fungsional yang baik dari rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh
masalah-masalah tersebut. Dengan pendekatan multidisipliner, tatalaksana yang
komprehensif dapat diberikan, dan sebaiknya kontinyu sejak bayi lahir sampai remaja.
Diperlukan tenaga spesialis bidang kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi ortodonti,
serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan audiolog. Kelainan ini sebaiknya secepat
mungkin diperbaiki karena akan mengganggu pada waktu menyususui dan akan
mempengaruhi pertumbuhan normal rahang serta perkembangan bicara.5
Penatalaksanaan labioschisis adalah operasi. Bibir sumbing dapat ditutup pada semua
usia, namun waktu yang paling baik adalah bila bayi berumur 10 minggu, berat badan
mencapai 10 pon, Hb > 10g%. Dengan demikian umur yang paling baik untuk operasi
sekitar 3 bulan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan diketahui
bahwa alasan terbanyak anak penderita labioschisis terlambat (berumur antara 5-15 tahun)
untuk dioperasi adalah keadaan sosial ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua
yang masih kurang.5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan fisiologi pernafasan pada pediatrik
Anatomi pernafasan pada pediatrik :1
Ukuran lidah besar, ukuran lubang hidung, glottis dan pipa tracheobronkial relatif
sempit meningkatkan resistensi jalan nafas.
Sering ditemukan pembesaan kelenjar adenoid dan tonsil semakin
meningkatkan resistensi jalan nafas
Leher dan trakea pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit
pada bagian cricoid mudah tersumbat oleh sekret dan edema
Tulang costa cenderung horizontal, otot diafragma dan intercostal relatif lemah
kemampuan dalam memelihara tekanan negative intrathorak dan volume paru
rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus
Pernafasan alveolus yang belum adekuat menyebabkan neonatus bernafas secara
diafragmatis menimbulkan tekanan negative dalam lambung saat inspirasi,
sehingga udara atau gas anestesi mudah masuk ke dalam lambung.
Elemen elastis paru yang lebih sedikit menyebabkan keterbatasan
pengembangan paru ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan
frekuensi nafas
7
Rasio permukaan tubuh yang relatif luas, pusat pengatur suhu di hipotalamus
yang belum terbentuk sempurna, kelenjar keringat yang belum berfungsi normal,
serta lemak subkutan yang masih tipis mengakibatkan tubuh lebih mudah
kehilangan panas meningkatkan resiko hipotermia
Kecepatan reaksi homeostasis pembuluh darah yang cenderung lambat
kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume akan sulit ditoleransi.
Otot leher bayi masih sangat lunak, leher lebih pendek, sulit menyangga atau
memposisikan kepala, dengan tulang occipital yang menonjol. Lidah neonatus
relatif besar, epiglottis berbentuk “U” dengan proyeksi lebih ke posterior dengan
sudut sekitar 450, relatif lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan
menempel pada palatum molle sehingga cenderung bernafas melalui hidung.
Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi kadangkala
diperlukan pengangkatan epiglottis untuk visualisasi. Sementara lubang hidung,
glottis, pipa tracheobronkial relatif sempit, sehingga dapat meningkatkan
resistensi jalan nafas, mudah sekali tersumbat oleh adanya sekret atau edema.
Trakea neonatus yang pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter
tersempit adalah pada bagian krikoid.
Fisiologi pernafasan pada pediatrik :1
Frekuensi jantung pada bayi dan anak lebih cepat dibandingkan dewasa (100-
120x/menit), tekanan darah lebih rendah dan frekuensi nafas lebih cepat
meningkatkan laju metabolisme pediatrik dan meningkatkan kebutuhan oksigen
(2x lebih besar dibanding dewasa) sehingga desaturasi oksigen dari Hemoglobin
lebih cepat dan mudah terjadi, terutama pada premature.
Bayi dan anak memiliki relatif lebih banyak air dibandingkan dewasa, yaitu 75%
dari massa tubuh untuk neonatus dan 65% untuk anak di atas 1 tahun. Sedangkan
pada dewasa berkurang menjadi 55-60%.
Fungsi hepar dalam memetabolisme karbohidrat masih rendah sehingga
memudahkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolik.
Saraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga parasimpatis lebih
dominan dan cenderung mengakibatkan bradikardia terutama saat bayi dalam
keadaan hipoksia, maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring.
Pada neonatus sangkar dada lemah dan ukurannya kecil dengan iga horizontal.
Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan 8
dalam memelihara tekanan negatif intratorakal dan volume paru rendah, sehingga
memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas secara
diafragmatis. Kadang-kadang tekanan negatif dapat timbul dalam lambung pada waktu
proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam lambung.
Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya kembung dipertimbangkan
pemasangan pipa lambung. Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung
mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat
sedikitnya elemen elastis paru, maka akan menurunkan FRC (Functional Residual
Capacity) sementara volume tidalnya relatif tetap.3
Untuk meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi
nafas, karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas. Peningkatan frekuensi nafas juga
dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang relatif tinggi, sehingga
kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi
alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi
oksigen dapat menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau
cepat, terlebih pada neonatus prematur, karena adanya stress dingin maupun sumbatan
jalan nafas.3
Perbedaan pernafasan pediatrik dan dewasa
1. Tuba Eustachius
Tuba eutachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi, drenase sekret dan menghalangi
masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Bila tuba terbuka maka terasa
udara masuk ke dalam rongga telinga tengah yang menekan membran timpani ke
arah lateral. Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen
diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan
menguap.gangguann fungsi tuba dapat terjadi oleh beberapa hal, seperti tuba terbuka
abnormal yang memungkinkan infeksius bisa masuk.3
Pada anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizotal dari
tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah 9
bulan adalah 17,5 mm. Perbedaan inilah yang memungkinkan lebih cepat terjadinya
infeksi pada anak dibawah 9 bulan karena secret lebih cepat masuk ke tuba eutachius
dari hidung sehingga kemungkinan anak untuk terkena infeksi telinga lebih besar
seperti otitis media.2,3
9
2. Laring
Ukuran laring bayi sama pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi lebih kecil
perbandingannya dengan ukuran tubuh daripada laring dewasa. Pada bayi, kerangka
tulang rawang laring lebih lunak, dan ligamen yang menyangganya lebih longgar,
membuat laring lebih mudah mengempis jika mendapat tekanan negatif di bagian
dalam.2
Bagian laring Anak PubertasDewasa
Pria Wanita
Pita suara
Panjang
Bag. Membran
Bag. Kartilago
Glotis
Lebar istirahat
Maksimum
Infraglotis
Sagital
Transversal
6-8 mm
3-4 mm
3-4 mm
3 mm
6 mm
5-7 mm
5-7 mm
12-15 mm
7-8 mm
5-7 mm
5 mm
12 mm
15 mm
15 mm
17-23 mm
11,5-16 mm
5,5-7 mm
8 mm
19
25 mm
24 mm
12,5-17 mm
8-11,5 mm
4,5-5,5 mm
6 mm
13 mm
18 mm
17 mm
Jaringan epithel krang padat, lebih banyak dan lebih bervaskuler pada bayi, yang
cendrung mengakumulasi cairan jaringan. Hal ini merupakan faktor penting
penyebabterjadinya obstruksi daerah infraglotik dan supraglotik akibat edem
inflamasi pada anak kecil. Beberapa struktur laring mempunyai perbedaan bentuk
pada bayi. Epiglotis cendrung berbentuk huruf omega, maka akan cendrung lebih
besar untuk menutup vestibulum bila terjadi edema. Tepi epiglotis yang berbentuk
huruf omega kurang menopang plika ariepiglotik dibandingkan tepi epiglotis yang
rata pada orang dewasa yang dapat membantumenahan plikaariepiglotik tersebut
pada posisi lateral.2
B. Labioschizis
1. Definisi
Labioschisis atau cleft lip atau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana
terdapatnya celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini
10
dapat berupa takik kecil pada bahagian bibir yang berwarna samapai pada
pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung.
Celah pada satu sisi disebut labioschisis unilateral, dan jika celah terdapat pada
kedua sisi disebut labioschisis bilateral.4
Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah
mulut, palato skisis (subbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk
menyatu selama perkembangan embrio.6
Gambar 2.1. bayi dengan labioschizis5
2. Epidemiologi
Dari beberapa jenis cacat bawaan celah muka, bibir sumbing dan celah langit-
langit adalah yang paling sering dijumpai, angka kejadiannya di seluruh dunia
adalah : celah bibir saja atau dengan celah langit-langit adalah 1 : 77,5-1000
kelahiran ras Kaukasia, 1 : 1350-5000 kelahiran ras Afrika Amerika, 1 : 400-800
kelahiran ras Asia. Celah langit-langit saja 1 : 1500-3000 ras Kaukasia, 1 : 2000-
5000 ras Afrika Amerika, 1 : 1600-4000 ras Asia. Labio gnato palato schizis ini
tidak hanya menimbulkan abnormalitas bentuk wajah, namun juga menimbulkan
masalah biopsikososial bagi penderita dan keluarganya, sehingga diperlukan
suatu perawatan dan penatalaksanaan yang baik agar dapat tercapai pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal bagi anak tersebut.4
3. Etiologi
Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Terdapat dua
teori :
Teori dari His dan Drusy yang menyatakan celah bibir dan langit-langit
akibat kegagalan pertemuan ujung-ujung (prominentia) di sekitar mulut saat
trimester awal kehamilan.
11
Teori dari Stark yang menyatakan bahwa sebenarnya pertemuan ujung-ujung
tersebut terjadi namun disusul dengan kegagalan karena salah satu lapisan
pembentuknya yang disebut mesoderm gagal menyatu.
Pembentukan wajah terjadi pada trimester pertama kehamilan. Tonjolan-tonjolan
yang membentuk wajah terdiri dari : prosesus frontalis, prosesus nasalis
(medialis dan lateralis), prosesus maxilaris, prosesus mandibularis. Apabila
terjadi kegagalan fusi dari prosesus-prosesus tersebut maka akan terbentuk
celah. Kegagalan penyatuan prosesus maxillaris kanan-kiri dengan prosesus
nasalis media bisa mengakibatkan cheiloschizis, cleft lips, labio gnato palato
schizis. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai
akibat dari kombinasi faktor genetik dan factor-faktor lingkungan.7
Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa
40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan mengalami
labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis
meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung)
mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika,
kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan,
atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi / anak
dengan labioschisis.7
Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:8
Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional
dalam hal kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas
(defisiensi asam folat, vitamin C, dan Zn)
Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
Faktor genetik
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena
tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang
telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali.8
Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya labio palato schizis antara lain :
1. Herediter / genetik
Bila orangtua normal dan anak pertama sumbing, persentase
kemungkinan anak berikutnya sumbing 4%.
12
Bila salah satu orangtua sumbing dan anak pertama sumbing, persentase
kemungkinan anak berikutnya sumbing 17 %.
Bila kedua orangtua sumbing, maka persentase kemungkinan anaknya
sumbing 60%
2. Gangguan nutrisi : defisiensi asam folat, defisiensi Zn
3. Hipoksia : gangguan sirkulasi fetomaternal
4. Obat-obatan : anti kancer kemoterapi, kortikosteroid berlebihan, kontrasepsi
saat hamil
5. Radiasi
6. Infeksi saat hamil, seperti infeksi Rubella, Toxoplasmosis, Klamidia, Sifilis.
4. Klasifikasi
Labioschisis diklasifikasikan berdasarkan lengkap / tidaknya celah yang
terbentuk :8,9
Komplit
Inkomplit
Dan berdasarkan lokasi / jumlah kelainan :10
Unilateral
Bilateral
Gambar 2.2. Klasifikasi Labioschisis.10
Berdasarkan organ yang terlibat diklasifikasikan menjadi :10
Celah di bibir (labioschizis)
Celah di gusi (gnatoschizis)
Celah di langit (palatoschizis)
Celah dapat terjadi lebih dari satu organ, misalnya terjadi di bibir dan langit-
langit (labiopalatoschizis)
13
Berdasarkan lengkap / tidaknya celah terbentuk, bibir sumbing terbagi menjadi :9
Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir
dan tidak memanjang hingga ke hidung.
Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi
bibir dan memanjang hingga ke hidung.
Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung
Bilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan tidak
memanjang hingga ke hidung
5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari kelainan labioschisis antara lain :
Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis.
Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan
hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi
dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral.
Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex hisap dan reflek
menelan pada bayi dengan labioschisis tidak sebaik bayi normal, dan bayi
dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Memegang bayi
dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusu bayi.
Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga daapt membantu. Bayi
yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum
biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis
biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan
dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi
dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan /
asupan makanan tertentu.4,6
Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah
tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi
dari gigi geligi pada arean dari celah bibir yang terbentuk.4,6
Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi
14
telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang
mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.4,6
Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas
pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat
palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat
bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi
(hypernasal quality of speech). Meskipun telah dilakukan reparasi
palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/
rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya
normal. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata
"p, b, d, t, h, k, g, s, sh, and ch", and terapi bicara (speech therapy) biasanya
sangat membantu.4,6
6. Penatalaksanaan
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh “team
labiopalatoschisis” yang terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial, terapis
bicara dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi, psikoloog, dan perawat spesialis.
Perawatan dan dukungan pada bayi dan keluarganya diberikan sejak bayi
tersebut lahir sampai berhenti tumbuh pada usia kira-kira 18 tahun.
Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada saat usia anak 3 bulan.11
Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu :12
Tahap sebelum operasi
Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh
bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari
keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan
yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10
pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10
minggu, jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang
harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang
terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot
khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan
jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi
15
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak
cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi
cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam
posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu
melewati langit-langit yang terbelah.12
Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan
plester khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir
menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang
menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla)
akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan
koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil
akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap
direkatkan sampai waktu operasi tiba.12
Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang
diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan
operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia
optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan
Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6
bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka
pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan
operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.11
Gambar 2.3. Reparasi labioschisis (labioplasti). (A and B) pemotongan sudut
celah pada bibir dan hidung. (C) bagian bawah nostril disatukan dengan
sutura. (D) bagian atas bibir disatukan, dan (E) jahitan memanjang sampai
kebawah untuk menutup celah secara keseluruhan.8
Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 - 20 bulan
mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk
sekolah. Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti
dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara
sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa 16
melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi
memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bilagusi juga terbelah
(gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk
gusi dilakukan pada saat usia 8–9 tahun bekerja sama dengan dokter
gigi ahli ortodonsi.12
Tahap setelah operasi.
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya
tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter
bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua pasien
misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan
terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk
memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang
datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi
membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan
secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti
sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan
speech therapy pun tidak banyak bermanfaat.12
Gambar 2.4. Sebelum dan sesudah tindakan operasi.11
7. Prognosis
Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat dimodifikasi /
disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan
operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan
wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik pembedahan yang makin
berkembang, 80% anak dengan labioschisis yang telah ditatalaksana
mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara
yang berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada
masalah-masalah berbicara pada anak labioschisis.8
BAB III
LAPORAN KASUS
17
A. Identitas penderita
Nama : Dina
Umur : 6 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Desa pengajaran
Diagnosis Pre Operasi : Labioschizis
Macam operasi : Labioplasty
Macam anestesi : General Anestesi
Tanggal masuk : 28 Maret 2013
Tanggal operasi : 29 Maret 2013
No RM : 148139
No Reg : 1001195
B. Pemeriksaan Pra Anestesi
1. Anamnesis (allow anamnesis)
a. Keluhan utama : Bibir sumbing sejak lahir
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dikeluhkan bibir sumbing pada bagian kiri sejak lahir. Delapan bulan
yang lalu (SMRS), pasien dilahirkan dari seorang ibu yang berumur 26 tahun. Ibu
pasien mengatakan bahwa kelainan pada bibir pasien tidak mengganggu asupan
ASI yang diberikan. Makan, dan minum lancar. Keluhan demam (-), batuk (-) sesak
napas (-), susah makan (+). BAB (+), konsistensi kenyal, warna kekuningan, darah
(-), 3-4 kali per hari. BAK (+), konsistensi cair, berwarna putih kekuningan, 5-6
kali per hari
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi Obat/Makanan : disangkal
Riwayat penyakit kuning : disangkal
d. Riwayat persalinan
Ibu pasien mengatakan bahwa proses persalinan dibantu bidan. Pasien lahir per
vaginam, cukup bulan dengan kelainan bawaan bibir sumbing (+), kelainan lain (-).18
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital :
RR : 26 X/menit
N : 130 X/menit
b.Keadaan umum : baik, compos mentis
1. Kepala – Leher
- Kepala : Normochepali
- Mata : Konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterus -/-, refleks pupil (+/+)
- THT :
o Telinga: bentuk telinga kanan/kiri normal
o Hidung : deformitas os nasal (-)
- Mulut : labium superior sinistra tampak celah sepanjang 3 cm kearah nares
nasi sinistra
- Leher : massa (-), tidak terdapat pembesaran KGB
2. Thoraks – Kardiovaskuler
- Inspeksi : tampak pergerakan dinding thoraks simetris, retraksi (-), iktus
kordis tidak tampak.
- Palpasi : Teraba pergerakan dinding thorak simetris,
- Perkusi :
Paru : sonor pada daerah dinding thorak sinistra dan dekstra
Jantung : pekak dengan batas kanan atas ICS II parasternalis dekstra, batas
kiri atas pada ICS II parasternalis sinistra, batas kiri bawah pada ICS V
midclavicular line.
- Auskultasi :
Jantung : murmur -/-, gallop -/-.
Paru : Suara napas terdengar vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
3. Abdomen
- Inspeksi : kulit tampak normal, dinding abdomen tidak tampak distensi,
tidak tampak massa.
- Auskultasi : terdengar bising usus pada semua lapang abdomen
19
- Perkusi : timpani pada semua lapang abdomen
- Palpasi : nyeri tekan (-) pada seluruh area abdomen
4. Urogenital
Suprapubis : massa (-), nyeri tekan (-)
Genitalia : kelainan bawaan (-)
5. Anal – perianal
Anus (+)
6. Ekstremitas atas – Axilla
- Inspeksi : Edema -/-, deformitas -/-
- Palpasi : nyeri tekan (-) motorik dan sensibilitas baik, Pembesaran KGB -/-
-
7. Ekstremitas bawah
- Inspeksi : Edema -/-, deformitas -/-
- Palpasi : nyeri tekan (-) motorik baik
3. Pemeriksaan Penunjang
Pre operasi
a. Bleeding Time, Cloting Time
b. Rontgen Thorax AP
4. Diagnosa
Labioschizis
5. Terapi
Anestesi
Persiapan Operasi
- Persetujuan tertulis (+)
- Puasa 6 jam
- BB : 10 kg
Jenis Anestesi : General Anestesi
20
Teknik Anestesi : Semi closed dengan Endotracheal Tube no.2,5
Premedikasi : Dexamethason 5 mg, Athropin 5 mg
Pelumpuh otot : Atrakurium 5 mg
Induksi : O2, N2O, Sevoflurance
Pemeliharaan : O2, N2O, Sevoflurance
Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman
anestesi, perdarahan
Perawatan pasca anestesi di ruang RR
Pembedahan
Labioplasty
6. Status ASA : 1
Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology) :2
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi
/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
BAB IV
PEMBAHASAN
21
Perempuan, dengan umur 6 bulan, di diagnosis Labioschizis. Status fisik ASA 1
Direncana operasi : Labioplasty dan rencana anestesi General Anestesi. Dari hasil
anamnesis (allow anamnesis) didapatkan keluhan utama bibir sumbing sejak lahir pada
bagian kiri sejak lahir. Delapan bulan yang lalu (SMRS), pasien dilahirkan dari seorang
ibu yang berumur 26 tahun. Ibu pasien mengatakan bahwa kelainan pada bibir pasien
tidak mengganggu asupan ASI yang diberikan. Makan, dan minum lancar. Keluhan
demam (-), batuk (-) sesak napas (-), susah makan (+). BAB (+), konsistensi kenyal,
warna kekuningan, darah (-), 3-4 kali per hari. BAK (+), konsistensi cair, berwarna putih
kekuningan, 5-6 kali per hari. Riwayat asma, alergi obat/makanan, penyakit kuning
disangkal. Riwayat persalinan ibu pasien mengatakan bahwa proses persalinan dibantu
bidan. Pasien lahir per vaginam, cukup bulan dengan kelainan bawaan bibir sumbing (+),
kelainan lain (-). Pemeriksaan fisik umum yaitu tanda vital ; RR : 26 X/menit, N : 130
X/menit.
Rencana Anestesi
Persiapan Operasi
- Persetujuan tertulis (+)
- Puasa 6 jam
- BB : 10 kg
Jenis Anestesi : General Anestesi
Teknik Anestesi : Semi closed dengan Endotracheal Tube no.2,5
Premedikasi : Dexamethason 5 mg, Athropin 5 mg
Pelumpuh otot : Atrakurium 5 mg
Induksi : O2, N2O, Sevoflurance
Pemeliharaan : O2, N2O, Sevoflurance
Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman
anestesi, perdarahan
Perawatan pasca anestesi di ruang RR
Premedikasi merupakan pemberian tindakan premedikasi pada pediatrik dilakukan untuk
mengkondisikan pasien dalam keadaan yang tenang dan kooperatif sehingga dapat
dipisahkan dari orang tuanya dan mudah menuruti instruksi dari tenaga medis. Keamanan
obat, onset, reaksi disforik seperti mual dan muntah harus dipertimbangkan sebelum
melakukan premedikasi. Premedikasi yang ideal diberikan dengan administrasi yang baik,
onset dan panjang durasi yang dapat diperkirakan, dan komplikasi yang minimal. Sulfas
22
Atropine Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran. Dosis
atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara
intravena dengan pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan
umumnya jelek. Penenang Tidak dianjurkan, karena susunan syaraf pusat belum
berkembang, mudah terjadi depresi, kecuali pasca anestesi dirawat diruang perawatan
intensif.8
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya dilakukan dengan meminimalisasi trauma.
Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau intravena.
Induksi inhalasi
Dikerjakan pada bayi dan anak yang tidak kooperatif sehingga sulit dilakukan injeksi
obat secara intravena. Dapat diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N20
dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 1 vol% kemudian
dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka mula-
mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kemudian dirapatkan ke
wajah penderita setelah tertidur.9
Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang kooperatif untuk dilakukan injeksi atau pada anak yang
sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya dengan tiopenton (pentotal) 2~4
mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg pada anak. Atau dengan ketamin (ketalar) 1-
2mg/kg.LV. Kadang-kadang ketalar dapat diberikan secara intra muskular.8,9
Intubasi
Pada pediatrik, intubasi harus dipertimbangkan sematang mungkin, karena dapat
meningkatkan resiko pembengkakan mukosa pada saluran pernapasan kecil akibat irtitasi
laring oleh pipa, peralatan atau uap. Jika penggunaan masker anestesi sudah cukup,
sebaiknya tindakan intubasi dihindari. Intubasi dapat dicapai dengan atau tanpa bantuan
relaksan otot. Jika pelumpuh otot tidak digunakan, bayi atau anak dapat ditidurkan dalam
kemudian diberikan analgesia topikal dan intubasi dapat dilakukan. Sedangkan jika
menggunakan pelumpuh otot, suksinil-kolin dosis 2 mg/kgBB secara intravena dapat
diberikan setelah pasien tertidur.5
Jika terdapat kelainan saluran pernapasan, paling aman untuk memperdalam anestesi
sampai pipa dapat disisipkan sementara pernapasan spontan berlangsung. Jika nafas
spontan sulit dicapai, ventilasi pada paru menggunakan kantong, dan masker dapat
dilakukan sebelum membuat penderita menjadi lumpuh dengan relaksan otot. Laringoskopi
pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal kepala. Kepala bayi terutama neonatus 23
oksiputnya menonjol. Dengan adanya perbedaan anatomis padajalan nafas bagian atas,
lebih mudah menggunakan laringoskop dengan bilah lurus pada bayi. Intubasi dalam
keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat atau diperkirakan akan menjumpai
kesulitan. Harus diwaspadai adanya resiko hipertensi dan peningkatan tekanan intrakranial
yang dapat menyebabkan perdarahan intrakranial akibat laringoskopi dan intubasi.7
Pemeliharaan / maintenance anestesi.
Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas kendali. Pada tindakan
bedah yang tidak memerlukan waktu lama, sungkup muka dengan nafas spontan dapat
dilakukan. Sedangkan pada tindakan bedah yang membutuhkan waktu lama, intubasi dan
nafas kendali (CR/Controlled Respiration) lebih dianjurkan, gas anestetika yang umum
digunakan untuk maintenance anestesi adalah N20 dan O2 dengan perbandingan (0-65%)
dan (35-100%). Walapun N20 mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat anestetikanya
sangat lemah sehingga dapat dicampur dengan halotan, enfluran atau isofluran.6
Pengakhiran anestesia
Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan pemberiannya, kemudian rongga
hidung dan mulut dibersihkan dari lendir. Jika pelumpuh otot digunakan, dan efek
pelumpuh otot belum hilang setelah tindakan bedah selesai dilakukan, gunakan
antagonisnya seperti prostigmin (0,04 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi nafas oleh
narkotika-analgetika dapat dinetralkan dengan naloksin 0,2-0,4mg secara titrasi.8
Ekstubasi pada bayi dapat dikerjakan saat bayi sudah sadar penuh, dalam keadaan
anestesia ringan, maupun saat masih teranestesi dalam. Ekstubasi dalam keadaan anestesia
ringan kurang dianjurkan karena akan menyebab kan batuk-batuk, spasme laring atau
bronkus. Sementara ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam lebih sering dilakukan
karena mengurangi resiko trauma, tetapi pengawasan intensif harus dilakukan. Sebelum
memindahkan pasien ke ruangan, sebaikya keadaan pasien dinilai terlebih dahulu.
Penilaian keadaan pasien dapat dilakukan dengan perhitungan Alderette skor.5
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas
motorik
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas
perintah atau secara sadar.
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah
atau secara sadar.
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas
2
1
0
24
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk
Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi
Apneu/tidak bernafas
2
1
0
3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula
Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula
Tekanan darah berbeda >50% dari semula
2
1
0
4 Kesadaran Sadar penuh
Bangun jika dipanggil
Tidak ada respon atau belum sadar
2
1
0
5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula
Pucat
Sianosis
2
1
0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.5
Respon Farmakologi Pediatrik
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada pediatrik akan
sedikit berbeda dibanding dengan dewasa. Hal ini disebabkan oleh :12
Perbandingan volume cairan intravaskuler dan cairan ekstravaskuler yang berbeda
dengan orang dewasa beberapa obat seperti sucsinil cholin dapat diberikan dalam
dosis yang lebih tinggi karena ruang ekstravaskular pediatrik lebih besar dibanding
dewasa.
Laju filtrasi glomerulus masih rendah sehingga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna
Laju metabolisme yang tinggi
Kemampuan obat dalam berikatan dengan protein masih rendah
Hepar yang belum berfungsi dengan baik akan mempengaruhi proses biotransformasi
obat.
Aliran darah ke organ vital relatif lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver dan
ginjal)
Neuromuscular junction yang belm terbentuk sempurna mengakibatkan kenaikan
sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.
Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier dapat
menyebabkan akumulasi obat-obatan tertentu seperti barbiturat dan narkotik, sehingga
memperpanjang aksi kerja dan meningkatkan resiko depresi pada periode pasca
anestesi.
25
Sisa dari blok obat relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi yang diberikan
secara intravena dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan, depresi
pernafasan dan apnea pada periode pasca anestesi.
BAB V
KESIMPULAN
1. Penatalaksanaan anestesi pada pediatrik harus mempertimbangkan perbedaan anatomi,
fisiologi dan respon farmakologi pediatrik yang berbeda dengan dewasa.26
2. Pemberian tindakan premedikasi pada pediatrik dilakukan untuk mengkondisikan
pasien dalam keadaan yang tenang dan kooperatif sehingga dapat dipisahkan dari
orang tuanya dan mudah menuruti instruksi dari tenaga medis.
3. Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya dilakukan dengan meminimalisasi
trauma. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau intravena.
4. Anestesia neonatus dianjurkan dilakukan dengan intubasi dan nafas kendali, terutama
untuk yang memerlukan waktu lama.
5. Keamanan obat, onset, reaksi disforik seperti mual dan muntah harus
dipertimbangkan. Pemberian terapi yang ideal diberikan dengan administrasi yang
baik, onset dan panjang durasi yang dapat diperkirakan, dan komplikasi yang minimal.
6. Penilaian keadaan pasien dapat dilakukan dengan perhitungan Alderette skor
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonimus, Pediatric Anesthesiolgy:The Basics. http://www.anesthesia.wisc.edu/
med3/ Peds/ pedshandout.html. Diakses pada tanggal 3 April 2013
27
2. Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2005. Textbook of Medical Physiology 11th ed.,
Philadelphia: Saunders.
3. Seeley, Stephens,Tate, 2004, Anatomy and Physiology,Sixth Edition, The
McGraw−Hill Companies, available in server.fkunram.edu/anatomy fisiologi.
4. Webmaster. Cleft Lip. Disitasi dari : http://www.allianceforsmiles.org /?
q=content/what-cleft-lip-cleft-palate.html. Diakses pada tanggal 3 April 2013
5. Converse JM, hogan VM, McCarthy JG. Cleft Lip And Palate, Introduction.
Dalam: Reconstructive Plastic Surgery, ed. 11, vol. 4. Philadelphia: WB
Saunders.
6. Centers for Disease Control and Prevention. Cleft Lip and Cleft Palate.
Disitasi dari : http://cdc.gov/ncbddd/bd/cleft.html. Diakses pada tanggal 3 April 2013
7. Webmaster. Cleft Lip and Palate. Disitasi dari : http://www.healthofchild
ren.com/C/Cleft-Lip-and-Palate.html?Comments[do]=mod&Comments[id] =4.html.
Diakses pada tanggal 3 April 2013
8. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Sumbing Bibir dan Langitan. Dalam : Kapita
Selekta. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius – FK UI. 2005.
9. Webmaster. Cleft Lip and Cleft Palate. Disitasi dari :
http://www.wrongdiagnosis.com/c/cleft_palate/book-diseases-7a.html. Diakses
pada tanggal 3 April 2013
10. Webmaster. Cleft Lip. Disitasi dari : http://www.allianceforsmiles.org /?
q=content/what-cleft-lip-cleft-palate.html. Diakses pada tanggal 3 April 2013
11. Cleft Lip and Palate Association (CLAPA). Case study : Facts About Cleft Lip
and Palate Surgey. Disitasi dari : http://www.opsa-charity.org/case-study.html.
Diakses pada tanggal 3 April 2013.
12. Kaneshiro NK. Cleft Lip Repair – Series. Disitasi dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100010_4.html .
28