laporan skenario 1 kegawatdaruratan medik

47
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO 1 NYERI DADA Disusun Oleh : Kelompok A5 Clarissa Rayna S. P. G0010045 Paramita Stella G0010149 Elga Putri Indanarta G0010069 Rachma Dinar Okfiani G0010157 Fernando Feliz C. G0010079 Siska Dewi Agustina G0010179 M. Rama Anshorie G0010117 Yohanes Purbanta S. G0010199

Upload: clarissa-pamudji

Post on 01-Dec-2015

604 views

Category:

Documents


137 download

DESCRIPTION

Skenario 1 Kegawatdaruratan Medik

TRANSCRIPT

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK KEDARURATAN MEDIK

SKENARIO 1

NYERI DADA

Disusun Oleh :

Kelompok A5

Clarissa Rayna S. P. G0010045 Paramita Stella G0010149

Elga Putri Indanarta G0010069 Rachma Dinar Okfiani G0010157

Fernando Feliz C. G0010079 Siska Dewi Agustina G0010179

M. Rama Anshorie G0010117 Yohanes Purbanta S. G0010199

Mifta Wiraswesti G0010125 Yusuf Budi Hermawan G0010203

Tutor : Prof. Muchsin Douwes, dr., PFark.,M.OR.,AIFO.,MARS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seorang laki-laki umur 49 tahun dating ke UGD dengan keluhan nyeri dada.

Nyeri dada dirasakan sejak setengah jam yang lalu dan tidak hilang dengan

istirahat. Riwayat merokok dua pak per hari sejak usia 15 tahun. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan : TD 80/60 mmHg, Nadi: 130x / menit, RR: 20x/

menit, Suhu: 36C. Pemeriksaan fisik: Cor: SI-II Normal, Gallop (-), bising (-).

Pada paru : SD vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-). Pada saat penderita

dilakukan pemasangan dan pemberian Oksigen 4 liter/menit tiba-tiba pasien

mendadak kejang dan tidak sadar. Setelah dilakukan cek respon (AVPU), tidak

didapatkan nadi teraba. Akhirnya dokter menetapkan penderita mengalami henti

napas, henti jantung. Kemudian dilakukan resusitasi jantung paru dan dilakukan

penatalaksanaan ACLS. Akhirnya setelah hemodinamik stabil penderita dipindah

ke ICVCU.

B. RumusanMasalah

1. Bagaimana penanganan kedaruratan medic dengan keluhan nyeri dada?

2. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis gejala dan pemeriksaan

yang didapatkan dari pasien?

3. Mengapa pasien mendadak kejang dan tidak sadar ketika dilakukan

pemasangan infuse dan terapi oksigen?

4. Bagaimana penanganan henti napas dan henti jantung?

C. Manfaat Penulisan

1. Memahami penanganan pasien kedaruratan medic dengan keluhan utama

nyeri dada

2. Memahami gejala-gejala dan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien

dengan keluhan nyeri dada.

3. Memahami penanganan pasien kejang dan tidak sadar dan mengetahui

penyebab kejang dan tidak sadar.

4. Memahami penanganan pasien dengan henti napas dan henti jantung.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri Dada

Nyeri dada dapat diakibatkan oleh berbagai hal yang berasal dari jantung,

paru, saluran cerna, dan muskuloskeletal.

A. Nyeri dada yang berasal dari jantung

Gangguan Karakteristik Tipikal Pemeriksaan Diagnostik

Angina Tekanan substermalleher,

rahang, lengan, durasi <30

menit

dipsun, diaforesis, N/V

diperberat oleh kerja keras,

hilang

dengan

nitrogliserin/istirahat

EKG s (ST , ST , dan

atau TWI)

Infark Miokardium Infark miokardium Sama

dengan angina namun

Intensitasnya lebih sering

atau tinggi, durasi >30

menit

EKG s (ST , ST dan

atau TWI CPK-MB atau

troponin

Perikarditis Nyeri tajam menyekam

kebahu diperberat oleh

respirasi hilang bila duduk

kearah depan

Suara gesekan pericardium

(pericardial friction rub) EKG

s (ST yang cekung dan

difusi) efusi pericardium

Diseksi Aorta Nyeri mendadak, seperti

teriris atau tersayat pisau,

di pertengahan skapula

posterior atau anterior

Tekanan darah atau nadi

asimetris, Al kasus baru

pelebaran mediastinum pada

rontgen toraks lumen palsu

pada tomografi computer

(CT), ekotransesopagus

(TEE),angiografi, atau MRI

B. Nyeri dada berasal dari paru

Gangguan Karakteristik Tipikal Pemeriksaan Diagnostik

Pneumonia Pleuritik, dispnu, demam,

batuk, sputum

Demam, takipnu, krepitasi

dan konsolidasi, infiltrat

pada rontgen toraks

Pleuritis Nyeri tajam, pleuritik Suara gesekan pleura

(pleural friction rub)

Pneumotoraks Unilateral tajam,

pleuritik onset mendadak

Hipersonol unilateral,

penurunanbunyi nafas,

pneumotoraks pada

rontgen toraks

Edema paru Pleiritik, onset mendadak Takipnu, takikardia,

hipoksemia, Scan

ventilasi/perfusi atau

angiogram paru

Hipertensi pulmonal Dipsnu, beban latihan

fisik

Hipoksemia, P2

’d,S3&S4 di sisi kanan

C. Nyeri dada yang berasal dai saluran cerna

Gangguan Karakteristik Tipikal Pemeriksaan

Diagnostik

Refluks Oesophagus Rasa terbakar substemal,

rasa

asam dimulut ; kombinasi

hipersaliva dan regurgitasi

asam diperberat oleh

makan, posisi berbaring

Pemeriksaan pH

esofagus,

uji perfusi asam

bemstein

EGD

hilang dengan antasida

Spasme Oesophagus Nyeri substermal yang

hebat

diperberat saat menelan

hilang dengan nitrogliserin

atau CCB

Pemeriksaan serial

saluran

cerna atas manometri

Ruptur Mallory Weiss Tercetus karena muntah EGD

Penyakit Ulkus

Peptikum

Nyeri epigastrik yang

hilang

dengan antasida

hematemesis,

menelan

EGD, uji H. pylori

Penyakit Empedu Nyeri perut kuadran kanan

atas, mual/muntah

diperberat oleh makanan

berlemak

USG kuadran kanan atas,

uji fungsi hati

Pankreatitis Rasa tidak nyaman

dipunggung/epigastrium

amilase dan lipase,

CT

abdomen yang abnormal

D. Nyeri dada yang berasal dari muskuloskeletal dan yang lainnya

Gangguan Karakteristik Tipikal Pemeriksaan

Diagnostik

Kostokondritis Nyeri tumpul atau tajam

yang terlokalisir

Nyeri tekan ketika

dipalpasi

Penyakit servikal / OA Tercetus karena gerakan,

berlangsung dalam

hitungan detik hingga

Rontgen foto

jam

Herpes Zooster Nyeri unilateral yang

hebat

Ruam dematomal dan

temuan sensorik

Ansietas “rasa sesak” -

B. Kejang

Ada 2 kemungkinan penyebab terjadinya kejang pada skenario tersebut,

yaitu adanya reaksi shock anafilaksis dan adanya Paul Bert Effect karena

penggunaan oksigen yang kurang dikontrol.

1. Shock Anafilaksis/reaksi anafilaktoid

Shock anafilaksis pada skenario ini kemungkinan karena penggunaan

infus. Shock anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas yang berhubungan

dengan degranulasi Mast Cell sehingga menyebabkan terlepasnya mediator-

mediator pro inflamasi. Gejala dan tanda reaksi anafilaksis termasuk timbul rasa

kecemasan, urtikaria, angiodema, nyeri punggung, rasa tercekik, batuk,

bronkospasme atau edema laryng.

Pada beberapa kasus, terjadi hipotensi, hilang kesadaran, dilatasi pupil,

kejang hingga “sudden death”. Shock terjadi akibat sekunder dari hipoksia yang

berat, vasodilatasi perifer atau adanya hipovolemia relative akibat adanya

ektravasasi cairan dari pembuluh darah. Namun demikian vascular kolaps dapat

terjadi tanpa didahului gejala gangguan respirasi dan dalam hal ini kematian dapat

terjadi dalam beberapa menit.Jadi gejala Shock anafilaktif adalah gabungan gejala

anafilaksis dengan adanya tanda-tanda Shock yang secara sistimatis dapat

dikelompokan dengan gejala prodromal, kardiovaskuler, pulmonal,

gastrointestinal dan reaksi kulit.

Gejala prodromal pada umumnya adalah perasaan tidak enak, lemah, gatal

dihidung atau di palatum, bersin atau rasa tidak enak didada. Gejala ini

merupakan permulaan dari gejala lainnya.Gejala pulmoner didahului dengan

rhinitis, bersin diikuti dengan spasme bronkus dengan atau tanpa batuk lalu

berlanjut dengan sesak anoksia sampai apneu.Gejala gastrointestinal berupa mual,

muntah, rasa kram diperut sampai diare. Sedangkan gejala pada kulit berupa gatal-

gatal, urtikaria dan angioedema.

2. Paul Bert Effect

Paul Bert Effect merupakan manifestasi dari pembentukan ROS secara

berlebihan sehingga menyebabkan jejas oksidatif pada permukaan membran sel di

susunan saraf pusat karena pemberian paparan oksigen bertekanan tinggi tanpa

kontrol. Gejala dari Paul Bert Effect ini sangat khas yaitu adanya kejang dengan

tipe Tonic-Clonic setelah pemberian oksigen.

Untuk mengantisipasi terjadinya Paul Bert Effect ada beberapa hal yang

harus diperhatikan saat memberikan oksigen, antara lain:

- Konsentrasi oksigen yang masuk harus selalu dikontrol

- Tidak terjadi penumpukan oksigen dalam tubuh secara berlebih

- Resistensi jalan nafas yang cukup rendah

- Pemberian oksigen harus secara efisien dan ekonomis

C. Triage Gawat Darurat Kardio Vaskuler

1. Nyeri dada

Nyeri dada menetap dengan penjalaran ke leher, lengan, atau rahang (khas

iskemia) dan disertai gambaran iskemia pada EKG, tidak berkurang dengan

istirahat atay nitrogliserin. Rasa lemah waktu aktivitas fisik, pucat, dan keringat

dingin, hipotensi, takikardi, irama tidak teratur, bising atau thrill yang tidak ada

sebelumnya, ronki basah. Penderita dengan rasa kematian yang mengancam harus

dianggap gawat sebelum dibuktikan sebaliknya/dievaluasi.

2. Sesak nafas

Sesak nafas dianggap gawat bila frekuensi nafas 40x/menit atau lebih.

Sesak meningkat waktu berbaring, disertai gelisah dan kelihatan sakit berat, batuk

terus menerus (kadang disertai darah atau busa kemerahan), atau disertai nyeri

dada, nyeri punggung, bising diastolik, nadi asimetris, atau aritmia.

3. Gangguan kesadaran

Gangguan kesadaran yang dianggap gawat bisa berupa sinkop disertai

gangguan irama/aritmia atau tekanan darah abnormal.

4. Penderita dengan tekanan darah tinggi

Bila diastolik 130mmHg atau lebih. Diastolik di atas 110mmHg disertai

gangguan sesak nafas, ronki basah/edema paru, angina, nyeri kepala hebat, edema

papil, gangguan neurologik atau kesadaran, kejang atau oliguria.

5. Penderita dengan gangguan irama jantung

Bila menyebabkan atau terdapat hipotensi, tanda iskemia miokard atau

otak, blok, aritmia ventrikuler, atau sinus takikardia yang menetap (terutama bila

ada tanda klinis kelainan jantung organik atau riwayat infark).

6. Rudapaksa dada (thoraks)

Bila terjadi rudapaksa dengan deselerasi cepat, crush injury, jatuh, terpukul,

pada dada oleh karena kemudi, luka tusuk/tembak, benda asing, terbenam, riwayat

bedah jantung/penyakit jantung dan pada inspeksi terlihat kulit pucat, dingin,

cemas, nyeri, disorientasi, tanda rudapaksa dada/punggung, nafas

lambat/cepat/paradoksikal. Nadi dan BJ lemah/hilang, hipotensi, tamponade,

sianosis, nadi asimetris.

D. Gawat Darurat Kardio Vaskuler

1. Syok kardiogenik

Sindrom klinis syok kardiogenik adalah keadaan yang terjadi akibat

ketidakmampuan curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital

akibat disfungsi otot jantung. Penyebab paling sering adalah infark miokard akut.

a) Gambaran klinis

Tekanan sistolik arteri < 80mmHg (ditentukan dengan

pengukuran intra ateri),

Produksi urin < 20 ml/hari atau gangguan status mental.

Tekanan pengisian ventrikel kiri > 12mmHg

Tekanan vena sentral lebih dari 10 mmH2O dianggap

menyingkirkan kemungkinan hipovolemia

Disertai dengan manifestasi peningkatan katekolamin seperti

gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardi, dll.

b) Patofisiologi

Infark miokard akut/ infark baru pada infark miokard lama kerusakan

iskemik dan nekrosis > 40% yang progresif obstruksi proksimal arteria

koronaria kadar ensim jantung meningkat tinggi syok kardiogenik

c) Gambaran hemodinamik

Tekanan sistolik arteri dan tekanan rata-rata arteri menurun, denyut

jantung meningkat karena adanya disfungsi ventrikel kiri yang berat. Curah

jantung sangat rendah akibat peningkatan tekanan pembuluh sistolik sebagai

akibat kegagalan ventrikel kiri.

d) Tatalaksana

Pendekatan pengobatan

Pemberian cairan kristaloid/koloid dan oksigen

Reperfusi dini dengan trombolisis, angioplasti atau keduanya

menunjukkan hasil yang baik

Pembedahan dini jika semua cara gagal

Monitoring hemodinamik

Pengukuran tekanan pengisian ventrikel dan curah jantung dapat memberi

gambaran beratnya masalah, prognosis dan adanya hipovolemi.

Pompa balon intra aorta

Indikasi pemasangan pompa balon intra aorta adalah:

Hipotensi (sistolik < 90mmHg, tekanan arteri rata-rata

60mmHg atau lebih kecil 30mmHg di bawah tekanan

basal sebelumnya)

Peningkatan tekanan baji arteri (lebih besar 16-18 mmHg)

Indeks jantung yang rendah (< 2 liter/menit/m2)

Kateterisasi jantung

Penderita dengan sakit dada berulang atau berkepanjangan harus segera

dilakukan angiografi koroner untuk memastikan ada tidaknya otot jantung yang

dapat diselamatkan dengan reperfusi. Penderita tanpa tanda-tanda iskemi baru

diperiksa angiografi setelah 24-48 jam untuk menentukan perlu tidaknya tindakan

bedah.

Reperfusi dini

Meskipun reperfusi dini merupakan pendekatan yang rasional dalam

menyelamatkan otot jantung yang terancam rusak, peranan dan saat

pelaksanaannya, seleksi penderita dan metode reperfusi trombolisis, PTCA dan

bedah pintas koroner masih dalam perkembangan dan belum dapat dipastikan.

Pengobatan lain

Tindakan dasar pengobatan infark miokard akut dilakukan bersamaan

seperti mengatasi rasa sakit seperti sedasi dan pengobatan aritmia.

2. Sinkop

a) Etiologi

Penurunan volume penurunan tahanan perifer obstruksi aliran darah

ke otak curah jantung rendah obstruksi dan aritmia sinkop

b) Tatalaksana

ABC

Letakkan penderita posisi kebalikan Tredelenburg (kepala

direndahkan, tungkai bawah ditinggikan) untuk

meningkatkan aliran darah ke otak

Longgarkan pakaian terutama pada leher

Bila serangan di RS segera ambil spesimen darah untuk

pemeriksaan hematokrit, elektrolit, gula darah, dan buat

rekaman EKG 12 sandapan. Berikan 1 ampul dekstrose 50%

intravena

Periksa apakah ada rudapaksa sewaktu sinkop

3. Krisis hipertensi

Suatu sindrom klinis dengan tanda khas berupa kenaikan tekanan darah

sistolik dan diastolik secara tiba-tiba dan progresif. Tekanan darah sistolik naik

menjadi 250mmHg atau lebih, tekanan diastolik menjadi 140mmHg atau lebih.

a) Jenis krisis hipertensi

Ensefalopati hipertensi

Krisis hipertensi karena pelepasan katekolamin

Krisis hipertensi karena perdarahan intrakranial (intraserebral

atau arakhnoid)

Krisis hipertensi yang berhubungan dengan edem paru akut

Krisis hipertensi yang berhubungan dengan penyakit ginjal

biasanya pada glomerulonefritis akut

Diseksi aneurisma aorta akut

Eklampsia dan preeklampsia

b) Tanda dan keluhan

Ensefalopati hipertensi dengan keluhan sakit kepala,

perubahan mental dan gangguan neurologis

Pemeriksaan fisik : papil edema, perdarahan fundus dan

eksudat, kelainan neurologik

Pemeriksaan elektrokardiogram : gambaran iskemia berupa

hipertrofi ventrikel kiri dan perubahan segmen S-T

sedangkan pemeriksaan rontgen dada dapat menunjukkan

tanda bendungan

c) Pengobatan

Prinsip pengobatan adalah menurunkan tekanan darah sistolik dan

diastolik secepat dan seaman mungkin namun harus segera hilang bila pemberian

dihentikan dan sedikit kontraindikasinya. Sodium nitropusside dapat memenuhi

kriteria di atas. Obat lain termasuk nitrogliserin, nifedipin, furosemid juga dapat

dijadikan pilihan.

4. Spel hipoksik

Suatu sindrom yang ditandai dengan serangan gelisah, menangis

berkepanjangan, hiperventilasi, bertambah biru, lemas atau tidak sadar dan

kadang-kadang kejang, yang sering terdapat pada anak-anak dengan penyakit

jantung bawaan biru.

a) Patofisiologi

Spel hipoksik paling sering terjadi pada Tetralogi Fallot defek septum

ventrikel yang besar sehingga ventrikel kanan dan kiri harus berfungsi sebagai

rongga pemompa tunggal penurunan tahanan vaskuler sistemik atau

peningkatan tahanan pada alur keluar ventrikel kanan peningkatan aliran balik

vena sistemik

Faktor-faktor terjadinya akibat menangis lama, aktivitas berat, dehidrasi,

dll. Biasanya serangan tersering pada usia 3 bulan sampai 3 tahun.

b) Tatalaksana

Letakkan pada posisi lutut didekatkan pada dada, supaya

aliran balik vena sistemik berkurang karena darah berkumpul

di ekstremitas bawah

Berikan oksigen 100%

Injeksi morfin sulfat 0,1 mg/kgBB secara subkutan dan dapat

diulang selama 10 menit

Vasopresor secara intravena

5. Diseksi aorta

Diseksi aorta terjadi karena lapisan dinding aorta robek akibat masuknya

darah ke lapisan media. Proses pemisahan dapat terjadi secara akut maupun

kronis. Setelah lewat 2 minggu dianggap fase kronis.

a) Patogenesis

Hipertensi sistemik

Degenerasi jaringan ikat

Robekan intima

Perjalanan hematoma yang menyebabkan diseksi

b) Klasifikasi

De Bakey Lokasi Stanford

Tipe 1 Meluas melampaui aorta desenden Tipe A

Tipe 2 Terbatas hanya di aorta desenden

Lebih distal dari arteri subklavia

kiri

Tipe B

c) Gejala dan tanda

Gejala

Sakit seperti dirobek mulai daerah retrosternal menjalar ke

punggung

Sinkop

Sulit bernafas

Stroke

Iskemia tungkai

Anuria

Sesak saat aktivitas yang progresif akibat regurgitasi aorta

Tanda

Syok

Nadi hilang atau terlambat

Regurgitasi aorta

Edema paru

Efusi perikard

Defisit neurologik

d) Diagnosis

CT scan atau MRI

Rontgen dada memperlihatkan pelebaran mediastinum dan

adanya cairan pleura

Ekokardiografi menunjukkan adanya cairan perikard,

regurgitasi aorta dan flap aorta pada batang aorta

e) Tatalaksana

Memulai pengobatan, menstabilkan tanda-tanda vital dan

menegakkan diagnosis definitif dengan artografi

Tatalaksana definitif dimana obat-obatan diteruskan dan

dilanjutkan intervensi bedah pada kasus-kasus yang

memerlukan.

E. Henti Jantung

Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary

arrest, atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan

tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan

seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi (Terdapat empat jenis ritme yang

menyebabkan henti jantung yaitu ventricular fibrilasi (VF),  ventricular takikardia

yang sangat cepat (VT), pulseless electrical activity (PEA), dan asistol. Untuk

bertahan dari empat ritme ini memerlukan kedua bantuan hidup dasar/ Basic Life

Support dan bantuan hidup lanjutan/ Advanced Cardiovascular Life

Support (ACLS).

Pada orang yang mengalami henti jantung dapat ditemukan gejala-gejala

yang tiba-tiba sebagai berikut:

Tidak sadar secara tiba-tiba (collapse)

Nadi tidak teraba, hipotensi (tekanan darah turun drastis/hampir tidak ada)

Tidak bernapas

Hilangnya kesadaran secara tiba-tiba merupakan tanda terjadinya

kekurangan oksigen di otak (cerebral hipoksia). Namun, kadang kita bisa

menemukan “tanda-tanda peringatan” yang dapat menunjukan akan terjadinya

henti jantung yaitu rasa lelah, lemah, pandangan kabur dan berkunang-kunang,

pusing, nyeri dada, napas dangkal dan pendek, berdebar-debar (palpitasi), atau

muntah; walaupun tidak semua kejadian henti jantung memberikan tanda

peringatan ini.

Henti jantung mendadak (sudden cardiac arrest/ SCA) berbeda dengan

serangan jantung (cardiac arrest). SCA adalah kondisi yang muncul

apabila jantung berhenti memompa darah ke seluruh tubuh yang diakibatkan oleh

gangguan elektrifitas internal jantung yang mengatur denyut jantung. Sedangkan

serangan jantung (heart attack) disebabkan karena kurang adekuatnya

vaskularisasi otot jantung akibat tersumbatnya pembuluh darah coroner jantung.

Pada serangan jantung oksigen tidak adekuat untuk mencukupi kebutuhan sel-sel

otot jantung sehingga otot jantung menjadi iskemia.

Walaupun henti jantung dan serangan jantung berbeda, namun terdapat

hubungan antara keduanya. Pada serangan jantung, kerusakan otot jantung akibat

iskemia sel jantung dapat mengganggu sistem elektrik internal jantung. Gangguan

sistem elektrik internal ini dapat menyebabkan gangguan ritme jantung menjadi

melambat atau menjadi lebih cepat dan bisa menjadi henti jantung. Dengan kata

lain, orang yang memiliki riwayat serangan jantung memiliki resiko yang lebih

besar henti jantung mendadak dibandingkan orang yang tidak memiliki riwayat.

F. Henti Nafas

Gagal nafas secara garis besar dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu :

hipoksemia (tipe 1) dan hiperkapnia (tipe 2). Gagal nafas hipoksia adalah PaO2

kurang dari 55 mmHg ketika FiO2 0,60 atau lebih. Gagal nafas hiperkapnia

adalah saat PaCO2 lebih dari 45 mmHg. Secara umum definisi dari gagal nafas

adalah ketidakmampuan dari system respirasi untuk menjaga keadaan yang

normal pada pertukaran gas dari atmosfer ke sel seperti yang dibutuhkan oleh

tubuh. Penyebab umum terjadi gagal nafas tersebut adalah antara lain :

1. Infeksi akut misalnya bronchitis akut atau pneumonia.

2. Retensi sputum karena tindakan pembedahan, trauma, penurunan

kesadaran.

3. Bronkospasme misalnya pada pasien dengan asma.

4. Pneumothorak, gagal nafas akut dapat terjadi dengan cepat tergantung

dari ukuran pneumothorak dan beratnya penyakit paru yang mendasarinya.

5. Bullae, mirip dengan pneumothoraks dimana bulla subpleural sering

disangka merupakan suatu pneumothorak.

6. Gagal ventrikel kiri, dapat timbul karena adanya penyakit jantung

iskemik, overload cairan atau kegagalan kedua ventrikel karena keadaan

korpulmonale.

7. Emboli paru, ditemukan secara autopsy sebesar 20-50%, sering sulit

untuk mendiagnose karena adanya penyakit paru lainnya.

8. Pemberian oksigen yang tidak terkontrol, dapat menimbulkan hiperkarbia

akut yang dapat menganggu mekanisme hypoxic drive respirasi. Faktor

utama nampaknya adalah pelepasan CO2 dari hemoglobin oleh oksigen

(efek Haldane) dan memperburuk mismatch ventilasi-perfusi (V/Q) yang

disebabkan karena penurunan dari vasokonstriksi pada daerah pintasan,

sehingga memungkinkan lebih banyak darah vena yang kaya CO2 masuk

kedalan sirkulasi arterial.

9. Sedasi, pemberian sedasi yang berlebihan dapat menimbulkan keadaan

hipoventilasi

Patofisiologi gagal nafas misalnya pada PPOK adalah sebagai berikut:

Faktor yang menyebabkan obstruksi aliran udara pada PPOK termasuk edema dan

hipertropi mukosa, secret, bronkospasme, dan hilangnya elastic recoil paru

(karena hilangnya tekanan permukaan alveolar dan elastin paru disebabkan oleh

destruksi dari dinding alveolar). Berkurangnya recoil elastic akan menyebabkan

penurunan aliran udara ekspirasi, karena tekanan alveolar (mengatur aliran udara

ekspirasi) dan tekanan jalan nafas intraluminal (akan mengembangkan jalan nafas

kecil selama ekspirasi) menurun. Obstruksi aliran udara akan menimbulkan

pemanjangan ekspirasi, hiperinflasi paru, peningkatan kerja pernafasan dan

sensasi terhadap dispneu, semuanya bertambah berat pada pasien dengan PPOK.

Distorsi dan destruksi alveoli menimbulkan hilangnya capillary bed , dan

hipoksia menyebabkan vasokonstriksi areteri pulmoner. Ini akan menyebabkan

hipertensi pulmoner, perubahan vaskularisasi sekunder, dan akhirnya

korpulmonale. Peningkatan hipoksia selama gagal nafas akut akan meningkatkan

tekanan arteri pulmoner dan dapat menimbulkan gagal jantung kanan akut.

Kombinasi dari obstruksi jalan nafas, penyakit parenkim paru dan gangguan pada

sirkulasi akan menimbulkan V/Q mismatch yang sangat besar. Daerah paru yang

tidak mengalami ventilasi dengan baik akan menjadi pintasan parsial atau komplit.

Hal ini akan menimbulkan hipoksia arterial, yang mana ketika bersifat kronis,

akan dapat menyebabkan polisitemia sekunder dan peningkatan hipertensi

pulmoner. Daerah yang kurang perfusi atau kelebihan perfusi akan meningkatkan

ruang rugi. Sehingga sebagai hasil dari V/Q mismatch yang berat, kebutuhan

ventilasi untuk untuk mendapatkan keadaan normokarbia akan meningkat.

Peningkatan ventilasi semenit akan menimbulkan peningkatan kerja pernafasan.

Sejak ekspirasi tidak optimal pada sumbatan jalan nafas, ini bersama dengan

peningkatan ventilasi semenit akan menimbulkan peningkatan dinamis yang

permanent dari kapasitas residu fungsional (FRC) atau hiperinflasi paru. Karena

volume paru meningkat, otot-otot pernafasan (diafragma dan interkosta) akan

menjadi tidak efesien karena terjadi pemendekan serat saraf dan ketidakuntungan

secara mekanik, dan kerja pernafasan akan menjadi meningkat. Ketika kapasitas

otot pernafasan tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan peningkatan ventilasi, akan

terjadi hiperkarbia kronis.

Hiperkarbia kronis jarang terjadi pada PPOK, dan cenderung terjadi pada

fase akhir dari penyakit, berhubungan dengan kompensasi asan-basa ginjal.

Biasanya timbulpada PPOK didominsi oleh bronchitis kronis dengan FEV1

dibawah 1 liter, dan berhubungan dengan polisitemia, korpulmonale, dan retensi

CO2 lainnya dengan pemberian oksigen yang tidak terkontrol. Bagaimanapun

juga, gagal nafas hiperkarbia dapat ditimbulkan oleh peningkatan pintasan paru.

G. Resusitasi Jantung Paru Otak

Tujuan : mencegah mati klinis menjadi mati biologis. Mati klinis

merupakan periode dini suatu kematian yang ditandai dengan henti napas dan

henti jantung/sirkulasi serta terhentinya aktivitas otak yang bersifat reversibel.

Pada mati biologis terjadi proses nekrotisasi semua jaringan. Proses ini dimulai

dari neuron-neuron serebral yang seluruhnya akan rusak dalam waktu ± 1jam dan

diikuti organ-organ lain, seperti jantung, ginjal, dan hati yang akan rusak dalam ±

2 jam. Mati biologis mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi atau bila

resusitasi tidak berhasil meliputi mati anatomi, mati organ dan batang otak.

Jika terjadi henti jaantung dan henti napas, yang akan dilakukan adalah

resutasi jantung paru (CPR, Cardiopulmonary resuscitation)

Prinsip untuk keberhasilan ditentukan oleh:

Early access to get help. Sesegera mungkin meminta bantuan untuk

mengaktifkan sistem gawat darurat.

Early (correct) CPR to buy time. Sesegera mungkin melakukan

resusitasi jantung paru dengan teknik yang benar.

Early defibrillation to restart heart. Sesegera mungkin mengupayakan

defibrilasi jantung.

Early ALS to stabilize. Sesegera mungkin bantuan hidup lanjutan

memadai diberikan untuk stabilisasi

Fase RJPO

I. Basic Life Support (bantuan hidup dasar)

Tujuannya ialah oksigenasi darurat, menunda kerusakan fungsi organ,

mempertahankan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Langkah terbaik dan

tercepat untuk penyelamatan korban adalah melakukan pijat jantung. Sebenarnya

tersedia alat defibrilator jantung, semacam alat kejut listrik yang bisa

menghentikan irama jantung yang kacau itu, sesegera mungkin, saat itu juga.

Setiap detik keterlambatan adalah pengurangan kesempatan hidup kembali. Tapi

karena di tempat umum di Indonesia alat semacam itu belum tersedia, dan pijat

jantung masih merupakan metode terbaik maka pentingnya edukasi pijat jantung

disebarluaskan dan diajarkan secara nasional. Bersamaan atau setelah pijat

jantung, harus diberikan bantuan nafas. Kalau perlu berlanjut menjadi nafas

buatan dengan mesin ventilator di ICU. Trik ini agak berbeda dengan doktrin

klasik ABC pada urutan penyelamatan pasien kritis yang mendahulukan A

(Airway, mengamankan jalan nafas), lalu B (Breathing, bantuan nafas) disusul C

(Circulation, membantu sistem jantung dan pembuluh darah). Penelitian terbaru

menunjukkan bahwa dengan membalik urutan A-B-C menjadi C-AB lebih efektif

menyelamatkan nyawa korban henti jantung. Resusitasi sampai ke emergency bisa

dihentikan jika :

Timbul nadi spontan (5-10 dtk) pada a. Carotis

Datang penolong yang lebih menguasai (dokter, perawat, ahli anestesi

yang terlatih)

Penolong kecapekan sesudah + 30 mnt dengan catatan respon dari

fungsi respirasi dan fungsi jantung (-)

Penderita dinyatakan meninggal oleh dokter, dengan parameter mati

biologis: pemberian sulfas atropin, adrenalin respon (-), dilatasi

maksimal pupil.

II. Advanced Life Support (Bantuan Hidup Lanjutan)

D-Drugs and Fluid Intra-Venous Life Line (Obat-obatan dan cairan Intra

Vena)

Obat-obatan dan cairan Intra Vena diberikan paling baik melalui vena

cephalica/basilica kanan, vena cubiti, vena inguinalis.

Adrenalin (0,5-1 mg Intra Vena)

Diberikan setiap 5 menit sampai nadi spontan kembali. Dalam suasana

asam tidak begitu efektif, responsibilitas maksimal adrenalin pada pH 7,35-7,45.

Jika pembuluh darah sulit ditemukan, beri intracardial (harus oleh ahli), pada bayi

bisa diberi sublingual.

Natrium Bicarbonat (1 mEq/kgBB Intra Vena)

Sebagai buffer, terhadap keadaan asam tidak begitu berpengaruh. Harus

diberikan ke vena yang lebih besar (v. Jugularis interna, v. Subclavia, v. Cubiti, v.

Cava superior, v. Femoralis)

Sulfas Atropin ke SA Node

Tujuannya kontraktilitas menjadi lebih baik.

E-Elyectrocardiography

Untuk mendiagnosa gelombang jantung, mengenali dan menentukan

tatalaksana dari disritmia yang terjadi. Contoh kelainan: ventricular fibrillation,

asystole, bizarre complex

F-Fibrillation

Henti jantung paling sering dengan irama ventricle failure (few minutes)

mengakibatkan asystole, setelah diberikan adrenalin, defibrillator paling efektif

mengatasi VF.

Ventricular fibrilation harus diterapi dengan defibrilation cardiac shock.

Dosis: anak 3 J/kgBB ; dewasa 2-5 J/kgBB. Setelah itu monitor dengan EKG

EMS call (< 5 mnt) lakukan early defibrillation akan meningkatkan angka

keberhasilan. Immediate External Defibrillation : 200 J – 200 J – 360 J (1

rangkaian).

Lidocaine 1-2 mg/kgBB/IV jika diperlukan (mis. Pada Bizarre

Complexes), lanjutkan infus

G-Gaughing

Tujuannya menentukan penyebab henti jantung dan henti napas dengan

pemasangan alat-alat monitor.

H-Human Mentation

Cerebral resuscitation dilakukan penilaian kesadaran sampai ke sel-sel

otak. Mempertahankan homeostasis intrakranial maupun ekstrakranial.

Immediately after restoration of spontaneous circulation and throughout coma

dan Ameliorate post anoxic encephalopathy. Semua tindakan dilakukan dengan

prinsip kemanusiaan.

I-Intensive Care

Tempat melakukan semua tindakan cerebral resuscitaion (monitoring &

supports. Monitoring (CV, tekanan arteri, kateter urin, EKG) Mempertahankan

hemodinamik, normotensi, ventilasi oksigen terkontrol, temperatur, relaksasi,

sedasi, cairan, elektrolit, glukosa, dan tekanan intrakranial. Pasang ventilator

mekanik dengan konsentrasi O2 50%. Perhatikan pCO2 (30-35 mmHg), pH 3,5-

4,5.

Penatalaksanaan Syok Kardiogenik

Langkah 1. Tindakan resusitasi Segera

Tujuannya adalah untuk mencegah kerusakan organ, mempertahankan

tekanan arteri rata-rata untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal. Memberikan

aliran oksigen, intubasi atau ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan

abnormalitas difusi oksigen.

Dopamin dan noradrenalin (norepinefrin) untuk meningkatkan tekanan

arteri rata-rata dengan hipotensi. Dobutamin dan dopamin dalam dosis sedang

untuk keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata.

Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) dikerjakan jika tersedia sebelum

transportasi.

Memonitor gas darah dan memberi tekanan udara positif berkelanjutan

jika ada indikasi.

Memonitor EKG dan mempersiapkan alat defribilator, obat antiaritmia

seperti amiodaron dan lidokain

Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika

diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam.

Pada infark miokard dengan elevasi non ST yang menunggu kateterisasi,

diberikan inhibitor glikoprotein IIb/IIIa

Langkah 2. Menentukan secara dini Anatomi Koroner

Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang

berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang perdominan. Hipotensi

diatasi segera dengan IABP.

Langkah 3. Melakukan revaskularisasi

Terapi Atrial Flutter :

Pada pasien simtomatis dengan atrial flutter yang baru, terapinya

kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Flutter dapat diterminasi

dengan stimulasi atrial dengan menggunakan pacemaker sementara atau

permanen. Prosedur ini digunakan setelah pemasangan kabel pacemaker pada

tindakan operasi. Selain itu, beberapa jenis pacemaker dan implantasi defibrilator

dapat diprogram jika terjadi atrial flutter.

Pasien yang tidak memerlukan tindakan kardioversi segera dapat memulai

terapi farmakologis. Pertama, kecepatan ventrikular diperlambat dengan obat AV

block (beta blocker, CCB, atau digoxin). Setelah efektif diperlambat, dapat diberi

obat yang memperlambat atau memperpanjang periode refraktori (class IA, IC,

III).

Untuk terapi kronik dapat ditangani dengan ablasi kateter. Pada metode

ini, elektroda kateter dimasukkan melalui vena femoralis, melewati inferior vena

cava, dan melakukan lokalisasi dan ablasi pada bagian reentran untuk

menghentikan secara permanen.

Secara umum pengelolaan Syok Kardiogenik meliputi:

Patikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi.

Berikan oksigen 8 – 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk

mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg.

• Supportif umum : penanggulangan nyeri. Rasa nyeri akibat infark akut yang

dapat memperbesar syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin.

• Monitoring : Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam

basa yang terjadi. Bila mungkin pasang CVP. Pemasangan kateter Swans Ganz

untuk meneliti hemodinamik.

a) Ukur tekanan arteri

b) Menilai curah jantung

c) EKG, Analisa Gas Darah, Lab (Hb, elektrolit, kreatinin, ureum)

• Perawatan :

a) Selalu jaga jalan nafas bebas

b) Pasang alat pantau jantung

c) Pantau tekanan darah berkala

d) Obat-obatan : vasopressor (dopamine : untuk menaikkan tekanan darah

minimal menjadi 90mmHg dan menambah volume)

e) Koreksi hipovolemia dan asidosis

Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat :

tahap 1 syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap terjadinya respon

kompensatorik

tahap 2, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan

kemunduran fungsi organ.

tahap 3, tahap refrakter (irreversible ) yaitu tahap kerusakan sel yang hebat tidak

dapat lagi dihindari, dan pada akhirnya menuju pada kematian.

Prognosis paling baik apabila segera dikenali gejala henti jantung dan

segera dilakukan CPR oleh seseorang yang terlatih dalam teknik. Bila ada

fibrilasi ventrikel dilakukan defibrilasi dini. Prognosis jelek adalah pasien asistole,

penanganan terlambat, dan pasien dengan penyakit banyak organ.

Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati

klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut mulai

terjadi kerusakan sel-sel otak rang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain.

Dengan demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada

RJP.

Tanpa pertolongan medis, 95% korban mati klinis akan mengalami mati

biologis sebelum tiba di RS. Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya

waktu tertentu diantara mati klinis dan mati biologis. Dikenal pula istilah mati

sosial, yaitu suatu kerusakan otak yang hebat dan ireversibel sehingga pasien tidak

sadar dan tidak responsif, tetapi EEG aktif dan beberapa refleks masih utuh.

Pernapasan bisa spontan atau dibantu dengan alat bantu napas (respirator),

kesadaran koma, kadang-kadang seperti bangun dan membuka mata, tetapi tidak

bisa kontak dengan dunia luar.

Jika henti jantung dan henti napas tidak cepat ditolong, maka akan terjadi

mati biologis yang irreversibel. Setelah tiga menit mati klinis ( jadi tanpa

oksigenisasi ), resusitasi dapat menyembuhkan 75% kasus klinis tanpa gejala sisa.

Setelah empat menit persentase menjadi 50% dan setelah lima menit 25%.

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario, didapatkan keluhan nyeri dada sejak setengah jam yang lalu

tidak hilang dengan istirahat dan menjalar ke lengan kiri, leher dan ke punggung.

Hal ini mungkin terkait dengan kebiasaan pasien yang merokok sampai dua pak

per hari sejak usia 15 tahun. Rokok mengandung ribuan senyawa yang bersifat

toksik, karsinogenik dan teratogenik. Senyawa-senyawa kimia dalam rokok

menurunkan HDL dalam tubuh sehingga menimbulkan aterosklerosis. Adanya

plak aterosklerosis ini menyebabkan lumen pembuluh darah menyempit dan

terjadi oklusi pembuluh darah terutama di arteri coronaria. Oklusi ini

menyebabkan aliran darah koroner tidak adekuat dan terjadi iskemia miokard.

Iskemia miokard akan menyebabkan penurunan perfusi jantung yang

berakibat pada penurunan intake oksigen dan akumulasi hasil metabolisme

senyawa kimia. Akumulasi metabolit ini timbul karena suplai oksigen yang tidak

adekuat, maka sel-sel miokard mengompensasikan dengan berespirasi anaerob.

Produk sampingnya disebut asam laktat yang membuat pH sel menurun.

Perubahan metabolisme sel-sel miokard inilah yang menstimulasi reseptor nyeri

melalui symphatetic afferent di area korteks sensoris primer (area 3,2,1

Broadman) yang menimbulkan nyeri di dada.

Nyeri dada yang dirasakan pasien menyebar ke lengan diklasifikasikan

sebagai nyeri alih. Nyeri alih merupakan nyeri yang berasal dari salah satu daerah

di tubuh tapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke

dermatom (daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medulla spinalis yang sama

dengan viskus nyeri tersebut. Apabila dialihkan ke permukaan tubuh, maka nyeri

visera umumnya terbatas di segmen dermatom tempat organ visera tersebut

berasal pada masa mudigah, tidak harus di tempat organ tersebut pada masa

dewasa.

Saat ini penjelasan yang paling luas diterima tentang nyeri alih

adalah teori konvergensi-proyeksi. Menurut teori ini, dua tipe aferen yang masuk

ke segmen spinal (satu dari kulit dan satu dari otot dalam atau visera)

berkonvergensi ke sel-sel proyeksi sensorik yang sama (misalnya sel proyeksi

spinotalamikus). Karena tidak ada cara untuk mengenai sumber asupan

sebenarnya, otak secara salah memproyeksikan sensasi nyeri ke daerah somatik

(dermatom).

Pada pemeriksaan vital sign, didapatkan RR 20x/menit dan suhu 36oC

yang masih dalam batas normal, nadi 130x/menit dan tekanan darah 80/60 mmHg.

Takikardia dan hipotensi merupakan tanda syok. Syok sendiri dibagi menjadi 2,

yaitu hipovolemik, dimana volume plasma berkurang dan normovolemik, yaitu

volume plasmanya tetap hanya saja pembuluh darah mengalami vasodilatasi

sehingga terlihat seperti volume plasma berkurang relatif. Pada kasus ini, karena

pasien sebelumnya mengalami nyeri dada, maka pasien dikategorikan terkena

syok kardiogenik, yang termasuk bagian dari syok normovolemik.

Pada pemeriksaan fisik pada cor terdapat suara 1 dan 2 yang normal dan

tidak terdapat adanya bunyi gallop atau bising. Hal ini menunjukkan tidak adanya

kelainan pada jantung. Pada pemeriksaan lapang paru juga tidak terdapat suara

tambahan di dekstra maupun sinistra, dan hanya terdapat suara dasar vesikuler

saja yang berarti tidak ada kelainan di paru-paru pasien.

Pada saat diberikan terapi oksigen 4 liter/menit dan infuse tiba-tiba pasien

tidak sadar dan kejang. Pemberian oksigen yang sesuai dosis terapi adalah antara

2-5 liter/menit, tetapi pemberian tersebut harus memperhatikan kebutuhan dan

keadaan pasien sendiri. Sindroma yang sering menyertai pemberian oksigen

adalah Paulbert effect yang disebabkan karena kesalahan pengontrolan terapi

oksigen. Paulbert effect akan menyebabkan kejang tonik klonik pada pasien. Efek

ini disebabkan karena pembentukan ROS yang berlebih pada susunan sel saraf

pusat akibat pemberian oksigen yang tinggi dan tidak dikontrol. Kejang juga bias

disebabkan karena syok anafilaktik akibat pemberian infus. Infus ada banyak

jenisnya dan fungsinya berbeda-beda. Pasien syok anafilaktik biasanya bias

dideteksi apabila pasien sendiri sudah mempunyai gangguan hipersensitivitas tipe

IV. Oleh karena itu, perlu dilakukan tes hipersensitivitas apabila akan diberii nfus

jika waktunya mencukupi. Seorang dokter juga harus siap obat-obat penanganan

syok seperti antihistamin, aminofilin, adrenalin, kortikosteroid, epinefrin, dan

NaCl atau infuse fisiologis lain.

Penanganan kondisi kedaruratan medic pada kasus sebaiknya disesuaikan

dengan penyebabnya, apakah karena reaksi syok dan hipersensitivitas ataupun

karena gangguan di system sirkulasi terutama cor. Henti napas bias diatasi dengan

pemberian oksigen sedangkan henti jantung bias ditangani dengan

menggunanakan teknik Advanced Cardiovaskuler Life Support(ACLS). Prinsip

ACLS hamper sama dengan ATLS, tetapi pada ACLS lebih mengedepankan

penanganan sirkulasi (dimulai dari C). Hal tersebut karena mungkin pasien dapat

bernapas otomatis tetapi terdapat gangguan sirkulasi (jantung) sehingga

kebutuhan oksigen akan berkurang sehingga perlu dijaga system sirkulasinya.

Pasien juga dibawa keruang ICVCU (Intensif Cardiovaculer Care Unit) yaitu

ruangan ICU yang khusus untuk penanganan gangguan kardiovaskuler.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nyeri dada yang dialami pasien kemungkinan besar disebabkan

konsumsi rokok yang sangat berlebihan sejak remaja. Hal tersebut

menimbulkan beberapa komplikasi seperti iskemik miokard akut. Penanganan

kondisi kedaruratan medik pada kasus sebaiknya disesuaikan dengan

penyebabnya, apakah karena reaksi syok dan hipersensitivitas ataupun karena

gangguan di sistem sirkulasi terutama cor.

B. Saran

Tutor sangat membantu tutorial dengan memberikan garis besar

masalah dan memberikan feedback pada info mahasiswa sehingga mahasiswa

lain juga aktif dalam mengungkapkan pendapat. Saran untuk kegiatan diskusi

tutorial adalah partisipasi seluruh anggota kelompok untuk menjaga ketertiban

diskusi dan kemampuan saling menghargai terus ditingkatkan agar tujuan

pembelajaran dapat tercapai dengan sebaik-baiknya oleh seluruh anggota

diskusi.

DAFTAR PUSTAKA

Ismudiati Rilantono et al, Lily. Buku Ajar Kardiologi. 2003. Jakarta:FKUI.

Price, Sylvia. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 2003. Jakarta:

EG

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/02/05/sudden-cardiac-arrest-dan-

bulan-jantung-amerika/

Lilly, L. 2007. Pathophysiology of Heart Disease : Mechanism of Cardiac

Aritmia. Philadelphia : Lippincot William

Price, A. Sylvia, dan Wilson, Lorraine M.. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis

Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC

Sovari dan Kocheril. 2009. U.S National Heart, Lung, and Blood Institute. Sudden

Cardiac Arrest Association

Swartz, Mark H.. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC