laporan sintesis hasil cb

112
LAPORAN SINTESIS Hasil Capacity Building Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGARUSUTAMAAN REDD+ SATUAN TUGAS PERSIAPAN KELEMBAGAAN REDD+ INDONESIA DOKUMEN TIM KERJA PENGARUSUTAMAAN REDD+ KE DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Upload: septianm

Post on 01-Dec-2014

983 views

Category:

News & Politics


8 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS

Hasil Capacity Building Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATANPENGARUSUTAMAAN REDD+SATUAN TUGAS PERSIAPAN KELEMBAGAAN REDD+ INDONESIA

DOKUMEN TIM KERJA PENGARUSUTAMAAN REDD+ KE DALAM SISTEM PERENCANAANPEMBANGUNAN

Page 2: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS

Tim Kerja Pengarusutamaan REDD+ke Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

DESEMBER 2013

Page 3: Laporan Sintesis Hasil CB
Page 4: Laporan Sintesis Hasil CB

1LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

A. Latar Belakang

Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+) merupakan

mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan cara memberikan

kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan

serta melakukan perlindungan hutan. Pada COP 13 UNFCCC tahun 2007 di Bali, Pemerintah

Indonesia menyepakati Bali Action Plan yang berisi antara lain kesepakatan mitigasi perubahan

iklim melalui REDD+. Sebagai persiapan pelaksanaan REDD+, telah dilakukan berbagai upaya

di tingkat kebijakan, penyusunan kerangka penerapan dan pembiayaan, hingga pelaksanaan

demonstration activities (DA) di sejumlah daerah.

Sebagai upaya mitigasi perubahan iklim maka REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi

Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang memuat upaya pengurangan emisi GRK dari berbagai sektor.

Dalam Rencana Aksi Nasional tersebutsektor kehutanan dan lahan gambut diharapkandapat

berkontribusi sebesar minimal 22 persen dari 26% total penurunan emisi yang ditargetkan

pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan pentingnya kegiatan REDD+ dalam mencapai target

penurunan emisi nasional.

Sebagai landasan dan arah pelaksanaan REDD+ di Indonesia secara rinci, telah disusun rancangan

Strategi Nasional REDD+. Rancangan Strategi Nasional REDD+ ini memiliki lima pilar yang saling

berkaitan, yaitu: (1) kelembagaan dan proses, (2) kerangka hukum dan peraturan, (3) pelaksanaan

program strategis, (4) perubahan paradigma dan budaya kerja, serta (5) pelibatan para pihak.

Secara keseluruhan, Strategi Nasional REDD+ diharapkan menjadi acuan untuk memastikan

bahwa pelaksanaan REDD+ dapat mengatasi emisi yang disebabkanoleh deforestasi dan

degradasi hutan. Selain itu, Strategi Nasional REDD+ diharapkan dapat menjamin tercapainya

penurunan emisi gas rumah kaca nasional dari sektor kehutanan sesuai target yang telah

ditentukan.

Pelaksanaan REDD+ tidak hanya terkait sektor kehutanan saja, tetapi juga berkaitan dengan

sektor pembangunan lainnya. Kebutuhan lahan untuk pertanian, perkebunan, pertambangan,

energi, dan permukiman diidentifi kasi sebagai pemicu terjadinya deforestasi. Oleh karena itu,

intervensi kebijakan dan koordinasi perencanaan lintas sektor sangat perlu dilakukan untuk

mencapai tujuan dan sasaran pelaksanaan REDD+. Tantangan pelaksanaan REDD+ adalah

menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan tanpa mengganggu funsi

dan peran kawasan hutan dan kehutanan terhadap pendapatan dan pertumbuhan ekonomi

nasional.

Dalam perencanaan dan pelaksanaan program dan kegiatan REDD+, perlu adanya kajian

keterkaitannya dan implikasinya terhadapsektor pembangunan lain dan pembangunan antar

wilayah (regional). Oleh sebab itu, kegiatan REDD+ harus dapat diarusutamakan ke dalam

perencanaan pembangunan nasional agar terbentuk sinergi, integrasi dan keterpaduan program

Page 5: Laporan Sintesis Hasil CB

dan kegiatan REDD+ dalam mencapai sasaran pembangunan nasional.

Terkait pembangunan bidang ekonomi, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun

2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-

2025 (MP3EI). Substansi dari MP3EI adalah pengembangan koridor ekonomi Indonesia dengan

menggunakan tiga strategi utama yaitu: (1) pengembangan potensi ekonomi, (2) penguatan

konektivitas antar wilayah dan (3) penguatan kemampuan sumber daya manusia serta ilmu

pengetahuan dan teknologi nasional. Prinsip dasar MP3EI adalah pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu, diperlukan harmonisasi antara pelaksanaan MP3EI dengan penurunan GRK khususnya

penurunan emisi karbon yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut

(REDD+).

Terkait dengan hal-hal tersebut, Tim Kerja Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan

Pembangunan pada Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ telah menyusun dua pedoman

yaitu: 1) Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan

2) Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+. Kedua pedoman ini menjadi dasar dalam

proses penyusunan rencana pembangunan yang berkelanjutan serta pembangunan rendah

karbon. Untuk mengadopsi kedua pedoman tersebut, diperlukan proses penguatan kapasitas

para perencana pembangunan di berbagai sektor pembangunan terkait hutan dan lahan

gambut, baik di Kementerian/Lembaga maupun di daerah.

B. Tujuan

Tujuan penguatan kapasitas perencana adalah :

1. Agar rencana pembangunan daerah berorientasi pada penurunan emisi karbon dari

deforestasi, degradasi hutan, dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati,

peningkatan stok karbon dan pelaksanaan prinsip sustainable forest management.

2. Agar rencana pembangunan daerah berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan

berkelanjutan mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial.

NOTA KONSEP PRINSIP KRITERIA DAN INDIKATOR SAFEGUARDS REDD+ INDONESIA – PRISAI2

B. Tujjuannn

TuT jujuuananan pppenenenennnnguguguguguatatatatatananananan kkkapapapappasitas ppppppererererererererenenenenenenennccacccc na adalah :

11.11..1 AgAgAgAgAgAgAggararrrrarr rrrrrrrreneenenenene cacacacacaaanananaa pppppememmememmme babababaaangngngngngngngngunununununnunnananannnnnnannaa dddddddaeaeaeaeaeaeeeeea rararararararararaarahhhhhhhh bebebbbbbbeb rorororiririenenenentatatatatasisisisisisi pppppppppadadadaddadada aaaaaaaaa pepepepepepepepepepepepepep nununununununununuununururururururuurruruunanananananannannannnnnnn emememememememememe isisisiissi iii kakakarbrbrbononon dddararariii

dededededededededededeffofoffofofofofofofooorererereerereererereestststststststsststststts asasasasasssaaasa i,i,i,i,i,i,i dddddddddddddegegegegegegegegegeggrarararararaararar dadadadadadadadaasisissssi hhhhhhhhhhhhhututututuututututuu ananananananaaaan,, , , , , , dededededededededeeeengngngngngngngngngngngggganananananananaaaaa ttttteteeee app mmmmmmmmmemememememememmmme pepepepepepepepepepeppepeppppepepp rhrhrhrhrhrhrhrhrhrhrhhrhrhhatatatatatatataatataatattikikikikikikikikikkkikkkikkkkananananananananananaanaanannanaaa kkkkkkkkkkeaeaeaeaeaeaeaaaeaeaeeeaeaae nnenenenenneneneneneneennennenen kakkakakakakakakkkakakakkkaaaak rarararaarararaararrrrr ggagagagagagagaagagg mammammmm n n hah yay ti, , ,,

pepeppepepepepepeepepeeninininnininnin ngngngngngngngngngngggggkakakakakakakakakakaakatatatatatatatatatatatattannnnnnnnnn stststststststststtsttsts okokokokokokokokokokoook kkkkkkkkkkkkkararararararararaaararararara boboboboboboboobbobobbobonnnnnnnnnnnnnnn dadaddadadadaddadadadddannn nn nnnnn pepepepepeepepeepepepepppepelalalalalalaaalalalal kskskskskskskskskskskskssssananananananaanananaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa nnnnnnnnnnnnnnn prprprprprprprprprprprprpprprprpprpriiininininininininnninininini sisisisisisisissisisip p p p pp pppp ppppp p susususususususususuststststssststtstsstststtttts aiaiaiaaaiaiaiaiaaaiaiaaiaiiiaaiaainanananananananannaannnananaaannnnablblblblblbblblbllbllblblble e eeeee ee eeeeee eee fofoffofofofofofoffofofofofoffofoforerererererererererererererererererererereereststststssttststststsssstttstsssssststtttt mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmananananananananananananaananannanannnna agagagagagagagagagagagggagaggaaaa ememememememememememmmmemmmmeemmeme enenenenenenenenneeenenenenentttttt.. . .

2.2.2.22.222.2.222.2.2.2 AgAgAgAgAgAgAgAgAgAgAgAgAgAggAAgA ararararrarararrarr rrrrrrrrrrrrenenenenenenenenenenenene cacacacacacacaccacaaaananananananananananaa pppppppppppppememememememememememe babbababababababbbabababbaaabb ngngngngngngngngnngngngngngngnggunununununununnununununnuunuu anananananananananananannananann dddddddddddddddddaeaeaeaeaeaeaeaeaeaeaeeaeaeeaeaeeaerararararararararaararaaaraaahhhhhhhhhhhhhhhhhh bebebebebebebebebbebebebeeeb rkrkrkrkrkrkkrkrkrkrkkrkrkkrkkkononononononononononononnontrtrtrtrtrtttrtrtrtrttrtrtribibibbibbibibibibibususususususususssussusuu iiiiiiiiiiiii papapapapapapapapaapapapapapapapapapapaapadadadddadadadadaddaadadaadaadaaaadd pppppppppppppppppppeneneneeneneneeneneeneeeene cacacacacacacaacacaaacaccacacaacaaapapapapapapapapapapapappapappapapppapaaapap iaiaiiaiaiaiaiaaiaaaiaiaaannnnnnnnnnnnn tututututuutututuututuuuuutttt jujujujujujujujuujujujjjujujuujujujujujj anananananananananananannananananaaa ppppppppppppppppppppppppememememememememememememememememeemeemmeeeememeemmbbababababbbbbb ngngngngununununnnnnnanananananananananann

bebebebebbebbebebebebebbebeeerkrkrkrkrkrkrkrkrkrrkr elelelelelelelelelelelelanananananananananananananananjujujujujujujujujujuujuujutatatatatatataatatataaaaatatannnnnnnnnnnnnn mememememememememeeememeemememeemememmeencncncncncncncncncncncncnccncncncnccnccakakakakakakakkakakakakakkkakaakaakupupupupuppupupuupuppupuupppupupupuppp aaaaaaaaaaaaaaspspspspspspspspspspspppsppspekeekekekekkekekeeekeekeekekekekekekkke eeeeeeeeeeeeeeeeekokokokokokokokokokokokokkokokokokokkkokk nonononononoonononononoonomimimimimimmmimimimmmm , ,, ,, lililililiiliiiliilingngngngngngngngngngngnnggnggggkkkkukukukukukukukuukuukukukukukungngngngngngngnngngngngngngnggananananannananananannananananannanaa dddddddddddddddddddddanananananannanananannanaa sssssssssssssososososososooosososoososososoo iaiaiaiaaiaiaiaaiaaiaiaaaaiaaaaiaal.l.ll.l.l.ll.l.l.lll..ll

NOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNONOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNONOTNOTNOTNOTTNOTNOTNOTNOTNOTNOTNOTOTOTTTTNOTTNOOTOTTTN TTNN TA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KA KKA KA KA KA KAA KAA KKA KA KAA KA KA KA KAA KKA KKKA KKKKA KKKAAAAA KA KKA KKA KKKKAAA KA KKONSONSONSONSONSONSONSONSONSONSOONSONSONSONSONSONNSNNONSONSONSONSONSONSONSONSONSONSSOONSONSONONSNONSONSONSONSOONSONSONSONSONSONSNONSONSONONNNONOONNNNNNNSONSNNNNNNSOONNNNNOONNNNSNSONSONSONSNNSSSONSO EP EP EP EP EP EP EP EP EP EP EP EPEP EP EPEPPPPPEP EPEP EPEP PEPP EPEP EP PPPEP PPEP P EPEP PPEPEPEPEEP PPPPEEEPP EPEPPEPEPEPPPPP P PRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRPRPRIPRIPRIPRIRIRIPRIRIRIRIPRIPRIIPRIPRIPRIPRRIPRIPRRIPRIPRIRIRIPRIPRIPRIPRIRIPRIPPRPRIPRIRIPRIRIPRRIRIPRIPRIIIIPRIPRIPRIIPRIPRPRRPRIRRPRIPRIRRPRPRIPRIRIIIIPRIRRIIPR NSINSINSINSINSINSINSINSINNSINSINSINSINSINSNSNSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSINSNSINSIINSINSINNSNSINSISNSINNSINSINNSIINSSINSINSINSINSINNSINSNSSNSN ISIIP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KKP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KKP KP KP KP KP KP KKP KP KP KP KKKKP KP KP KP KP KKKP KKP KKPP KP KP KP KP KKP KP KP KP KKKP KPPP KP KKP KPPPPP KP KPPP KP KP KPP KKPPP KRRRIRITRITRRRITRRITRRRITRRRIIRITRITRITRITRITRITRITRITRITITRITRITRITTRITRITRITRITRITRRRRRIRIRITRITRITRITRITRRRRIRITRITRITRITRITRIRITRITRITITRITITTITRITRITRRITRITRITRIRITRITRITRITRRRIRITTRITTRITRITITRITRITRITTTITRITRITRITRITITTRITR TTRIRITRIRIIRITRITRRITRRR ERERIERIEERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERERIRIERIERIERIERIERIERIERIRIERIERIERIERIERIERIERIERIERIERRIERIERIERIRIERIERIERIERIERIERIRERRIERIERIERIERIERERIERIRERIRIERIEERRRRERIERIRRERERIERIERIERIEEERIEERIERRRERIEEERIEE A DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA A DA DA DDA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DA DAA DA DA DA DAA DA DA DA DA DA DA DA D DA DA A DAAA DA DA DA DA DAA DA DAAAA DA DDAA DAA DAA DA DA DAA DA DA DDA DAA DAA DDA DDA DDDDDDDDDDDDDDAANANANANAANAANANANANAANAN AN AN AN AN AN N AN AN AN AN NNNANANAAANAAANANNN ANANANAN ANANANAN NNANANANAN AN AN ANAAN AN ANANANAN ANANANAN AN AN NANAANANNAN NNAAA INDINDINDINDINDINDINDINDINDINDINDINDNDINNDINDINDINDINDINDINDNDNDINDNDDINDINDINDINDINDINDNNDNDNDINDNDNDNDNDNDINDINDINDDINDINDNDNDINDINNDDINDDINDNDNDINDINDNDINDNNDNDINDIINDINNDININININNNDDDNNNDDINDINDNDINNDDNNDDDINNINDDDINDINNNNDNDDDDNNDDDDDNDDNNNDIKAIKIKIKAIKAIIKIKAIKAIKIKKIKAIKAIKAIKAIKIKIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKAIKIKIKIKIKKAIIKIKIKAIIKAKKKKAKAIKAIIKAIKKIKAAKAIKAIIIKAAIKAIKAIKAAKAKAIKAAKKI AAIKKAAKAAIK TORTOTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORTORORTORTORTORTORTORORRRTORRTORTORTORTTORORORRTORTORRTORTORTORRRTOTORTORTORRRTORRTORTTORTORRTOOORTORRTORTORORORRTOORORRRRRRTORT RORORRRRRRRRRRTORROORRRRTORRORRT RRORTTO SASASASASASASSASASASSSASASASASASASASAASASASASASASASASASASASASSASASASASASSASASASAASASASSASASASSASASSAASSAASASASAAASSSAASASAAASSSSASASSSASSSASASASASSSASSSAASS FEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGFEGEGEGFEGFEGFEGEGFEGEGFEGFEGGFEGFEGFEGFEGFEGFFEGFEFEGEGFEGFEGFEGFEGFEFEFEGFEGEEFEGFEGFEGFEGEGEGFEFEGFEGEFEGFEGFEFEFEGFEFEEEFEGEGFFFFEFFEEGFEGFEFEGFEGFEGEGFEGFFEGEFEGFEGEGEGFEEEGGFEGGFFEFFEFEFFEGFEFEFEFFFEFEFEFEEEEFEEGEGGGUARUARUARUARUARUARUARUARUARUARUARUARUARUAAUARAUARARUARUARUARUARUARUARUARUARUARRUARUARUARRUUAUARUARUARUARARRUARUARUARUARUARUAUAUAUAUAUARRRUARUARUARAARUUARUAAUARUARUAUARUARARUARUUARUAUARUAUARUAARRRAAUAUAAUUUAU RUAAA DSDDSDDDSDSDSDSDDSDSDDSDS DDSSDSDSDSSSSDS DSDSDDDS DSDSDSDSDSDSDSSSDSDDSDSDSSDSDSDSDSDSDS DS DS DDSDSDSSDSSSDSDSDSSDSDSDSDDSSSDDSSDSDSDS DSDSDDSSS DS DDSSDSDS DS DSDSDSSDSDDSSSDDSDDSDSSDSSSS DS DDSDSS SSDSDDS REDREDREDREDREDRREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDRREDRREDREDREDREDREDREDREREDREDEDRRERREDREDREDREDREDREDREDREDREDREDEDDDEDREREEREDRRREREDREDEDRERREDRERERERRREDRREDEDDREDDDEDEREDEEREEREDREEER DEEEEDREDREDEDD+D+ D+ D+DD+D+ D+D+ D+D+ D+ D+ D+D+ D+D+D+D+ D+D+D+D+D+ D+ D+D+ D+ D+D+D+D+ D+ D+ DD+DDDD+D+++DDDDD+ D+++D+ D+D++++++DDD++DD+ DD+DD+DD++ D+++ INDINDINDINDINDINDINDININDININDINDINDINDINDINDINDINDININDNDININDDDDINDINDINDINDININDINDINDINDINDNDINDNDINDINDINDINDINDDINDINDINDINDNDNDINDNDNDDDNDDDNINDDNDINNINDNNDNDINDDNDINDINDNDININININININDINDINDIIINDINDDDDDINDDNDDINDDDDDDDDDDDONEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONONEONEONENEONEONEONEONENEONENEONEONEONEONEONEONEONEONEONEONENENEONEONEONEONENEONEONEEOONEONEEONEONEOONNEONEEONENONONEONONEONENEONENONENENENENEONEONEENNEONEONONEONENEONEONENEOO EEEO EEEEEEOOOO EEEEEEEO EEEEEEO SIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIAISIASIASIASIASIASIASIAASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIASIAAIASSSSISIASIAASIASIASSIASIASISIASIIASIAAASISSSSIAIASIAASSIAS ASIASIASIAAIASSIAAIAS ASSISSSSIASISSISSSSSSSSSISSSSSSS –––––––––––––––––––––––––––––– PRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIIPRIPPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRIIPRIPRIPRIPRIPRIPRIPRPRIPRPPPRIIPRIP IPPPPPP SAISAISAISAISAISAISAISSAISASAISAISAISAISAISAISAISAISAISAISASAISAISAISAISAISAISAISAISSAISAISAISAISAISAISAISAISAISSAIAASAAISAAS ISAISSSAIASS IIAIS222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222

Page 6: Laporan Sintesis Hasil CB

3LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

C. Ruang Lingkup

Capacity Building Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan dan

Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ bertujuan untuk meningkatkan kemampuan perencana

dan pengguna Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

dan Pedoman Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+, baik individu, organisasi maupun sistem

yang terkait agar dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai prinsip dasar

perencanaan pembangunan, melalui pembangunan rendah karbon dalam percepatan dan

perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dengan mengintegrasikan implementasi REDD+

ke dalam proses perencanaan pembangunan dan pelaksanaan MP3EI.

Dalam laporan ini Capacity Building Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan

Pembangunan dan Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ meliputi penguatan pemahaman

dan peningkatan kemampuan perencana di sektor berbasis lahan, serta para pihak terkait, di 11

provinsi prioritas implementasi REDD+, khususnya untuk menginternalisasikan prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan dan menurunkan emisi karbon.

D. Peserta

Peserta Capacity Building yaitu individu yang mewakili instansi atau organisasi yang terlibat secara

langsung dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk menyusun dokumen

MP3EI tingkat provinsi dan kabupaten, antara lain:

1. Perwakilan dari Kelompok Kerja RAD-GRK

2. Perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)

3. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang

kehutanan

4. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang

pertanian/perkebunan

5. Perwakilan Dinas yang menangani Perencanaan Tata Ruang (Dinas PU)

6. Perwakilan Dinas/Kantor Lingkungan Hidup Daerah (bidang yang menangani perencanaan/

perizinan)

7. Akademisi Bidang Perencanaan, Kehutanan dan Lingkungan Hidup

8. LSM yang bekerja di bidang perubahan iklim, kehutanan, atau bidang lain terkait

9. Bidang yang menangani perencanaan/perizinan pada UPT Kementerian Kehutanan di

Daerah (BPKH, BTN, BKSDA, BPDAS, BP2HP)

10. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perizinan) yang menangani bidang

perindustrian

11. Perwakilan Dinas (bidang yang menangani perencanaan/perijinan) yang menangani bidang

pertambangan dan energi

12. Perwakilan KADIN Provinsi

Page 7: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING4

13. Perwakilan Badan Penanaman Modal Provinsi

14. Perwakilan Kabupaten yang memiliki kawasan hutan cukup luas

15. Perwakilan Kelompok Kerja MP3EI

E. Proses Capacity Building

Hingga saat ini Capacity Building (CB) telah dilakukan di 11 provinsi sebagaimana disajikan pada

Tabel 1. Proses CB didahului dengan brainstorming dan FGD untuk menguatkan pemahaman

peserta mengenai isu Perubahan Iklim dan REDD+ dalam konteks sistem perencanaan

pembangunan, serta pentingnya REDD+ dalam perbaikan tata kelola kehutanan (forestry

governance). Proses dilanjutkan dengan diskusi mendalam, baik secara kelompok atau pleno,

untuk membahas mengenai: (1) proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam RPJMD/RKPD

tinkat Provinsi; (2) Greening MP3EI. Diskusi mendalam dilakukan dengan mengikuti alur pikir

yang dituangkan dalam Pedoman Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan

Pembangunan dan Greening MP3EI dalam Kerangka REDD+ dengan mengacu pada dokumen-

dokumen perencanaan yang telah ada (RPJMD/RKPD), RAD GRK dan/atau SRAP REDD+.

Page 8: Laporan Sintesis Hasil CB

5LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

No Provinsi Lokasi Tanggal SRAP REDD+ RAD GRK

1 Kalimantan Barat Kantor Bappeda

Provinsi Kalbar

14-5 Februari 2013 Dalam proses

penyusunan

Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

27/2012)

2 Sumatera

Selatan

Hotel Arista,

Palembang

19-20 Februari 2013 Dalam Proses

Penyelesaian

Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

34/2012)

3 Jambi Hotel Sang Ratu,

Jambi

20-21 Februari 2013 Dalam proses

Penyelesaian

Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

36/2012)

4 Aceh Hotel Kuala

Radja, Banda

Aceh

27-28 Februari 2013 Dalam proses

penyusunan

Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

85/2012)

5 Sumatera Barat Hotel Axana,

Padang

27-28 Maret 2013 Sudah selesai disusun Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

80/2012)

6 Sulawesi Tengah Kantor Bappeda,

Palu

22-23 Mei 2013 STRADA REDD+ sudah

Disahkan melalui

peraturan Gubernur

(No. 36/2012)

Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

30/2012)

7 Riau Kantor Bappeda,

Pekanbaru

7-8 Mei 2013 Dalam proses

penyusunan

Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

77/2012)

8 Papua Kantor Bapeda

Provinsi Papua

15-16 Mei 2013 Dalam proses

penyusunan

Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

9/2013)

9 Kaltim Hotel Aston

Samarinda

27-28 Mei 2013 Sudah selesai disusun Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

54/2012)

10 Papua Barat Hotel Aston,

Manokwari

20-21 Juni 2013 Sudah selesai Disusun Dalam proses

penyusunan

11 Kalimantan

Tengah

Kantor Bappeda

Provinsi Kalteng

27-28 Juni 2013 STRADA REDD+ sudah

Disahkan melalui

peraturan Gubernur

(No. 10/2012)

Sudah Disahkan melalui

peraturan Gubernur (No.

36/2012)

Tabel 1. Implementasi Capacity Building , Status SRAP REDD+ dan RAD GRK

Page 9: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING6

F. Hasil Capacity Building

F1. Pengarusutamaan REDD+, Greening MP3EI dan Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) diimplementasikan oleh pemerintah

dan pemerintah daerah melalui proses perencanaan dan penganggaran yang berjenjang

dengan menganut kombinasi antara pendekatan top down dan bottom up planning. Sinergi

rencana pembangunan tersebut dilaksanakan melalui Musrenbang, mulai dari tingkat

desa, hingga musrenbang nasional. Dari keseluruhan alur perencanaan nasional, dokumen

RPJMN merupakan dokumen induk yang menjadi acuan utama dalam penyusunan

RPJMD yang menjadi acuan dalam penyusunan RKP dan RKPD. RPJMN disusun dengan

mempertimbangkan kinerja pembangunan pada saat awal perencanaan, agenda kinerja

Presiden terpilih, serta aspirasi pemangku kepentingan dan daerah pada saat musrenbang

jangka menengah nasional berlangsung. Dengan mekanisme tersebut, diharapkan terjadi

sinergi perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Untuk menjembatani penanganan

isu lintas sektor dan lintas wilayah, RPJMN dan RPJMD secara eksplisit harus memuat program

lintas kementerian/SKPD dan lintas kewilayahan.

Dalam implementasi rencana pembangunan dimungkinkan adanya penetapan kebijakan

untuk merespon isu strategis tertentu yang dituangkan melalui Peraturan Presiden. Rencana

Aksi Nasional GRK (termasuk turunannya, yaitu REDD+) dan MP3EI merupakan dua dokumen

kebijakan nasional yang dalam implementasinya membutuhkan proses adopsi ke dalam Sistem

Perencanaan Nasional yang sedang berjalan. Hal ini menyebabkan perlunya penyesuaian dan

pengintegrasian kebijakan tersebut ke dalam implementasi pembangunan nasional/daerah.

Dalam konteks laporan ini, proses ini dikenal dengan pengarus-utamaan REDD+ ke dalam

SPPN dan Greening MP3EI. Pengarus-utamaan REDD+ ke dalam SPPN diharapkan mampu

menguatkan peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam penurunan emisi karbon yang

berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, sedangkan greening MP3EI diharapkan mampu

memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dalam upaya

percepatan dan pembangunan ekonomi. Fokus pengarus-utamaan REDD+ ke dalam Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional dan greening MP3EI Bidang REDD+ dalam laporan ini

dibatasi pada 11 Provinsi prioritas implementasi REDD+.

Evaluasi terhadap dokumen/draft/presentasi dokumen SRAP REDD+ yang telah disiapkan

oleh kelompok kerja di 11 Provinsi prioritas menunjukkan ragam format dan substansi yang

dituangkan ke dalam dokumen. Dalam perspektif sistem perencanaan, proses pengarus-

utamaan dinilai akan mengalami kendala akibat berbagai faktor berikut:

Page 10: Laporan Sintesis Hasil CB

7LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

1. Terdapat kesenjangan kerangka pemikiran dalam penyusunan dokumen RAN REDD+

dengan RAD GRK dan SRAP REDD+. RAN REDD+ telah memberikan gambaran mengenai

kesenjangan antara kegiatan dan target pembangunan dengan syarat pencapaian,

baik di tingkat nasional maupun daerah.Secara umum, kesenjangan tersebut bermuara

pada lemahnya kondisi pemungkin yang merupakan ranah kewenangan pusat,

padahal kondisi pemungkin tersebut sangat diperlukan untuk menjalankan rencana

yang tertuang dalam SRAP REDD+.

2. Terdapat kesenjangan antara substansi SRAP REDD+ dengan kewenangan Provinsi

dalam menjalankan urusan pemerintah sesuai PP 38 Tahun 2007. Substansi SRAP

REDD+ yang disusun untuk menyelesaikan akar masalah pembangunan di sektor

berbasis lahan, cenderung akan mengalami “penyesuaian” ketika masuk dalam struktur

birokrasi perencanaan yang bekerja berdasarkan kerangka hukum yang berlaku dan

tupoksi masing-masing sektor, baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten.

3. Terdapat perbedaan format antara strategi dan rencana aksi dalam dokumen SRAP

REDD+ dengan dokumen perencanaan daerah.

4. Terdapat kesenjangan antara substansi SRAP REDD+ dengan kapasitas para aktor

pembangunan di daerah, baik dalam lingkup pemerintah, swasta maupun masyarakat

dalam pelaksanaan REDD+.

Sebagai langkah transisi untuk menata penyediaan kondisi pemungkin bagi perbaikan tata

kelola hutan dan lahan, maka pemfokusan upaya pengarus-utamaan REDD+ pada peran

pemerintah sebaiknya dilakukan sesuai dengan pembagian urusan dan kewenangan

pemerintahan yang berlaku (lihat Gambar 1). Dalam konteks ini, tema pengarusutamaan

diprioritaskan pada nomenklatur yang sudah dikenal dalam SPPN:

1. Penyelesaian tata ruang wilayah Provinsi dan kabupaten/kota.

2. Penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, termasuk penyelesaian konfl ik tenurial dan

penataan ruang kelola masyarakat adat/lokal.

3. Pembenahan sistem perijinan bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan/

pertanian, dan pembangunan infratruktur.

4. Pembangunan KPH dan implementasi adi-praktis pengelolaan hutan di tingkat tapak.

5. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

6. Penegakan hukum atas segala bentuk tindakan haram bidang kehutanan.

7. Implementasi adi-praktis pengelolaan lahan di luar kawasan hutan.

Page 11: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING8

Gambar 1. Struktur Hipotetik implementasi REDD+ di Indonesia

F2. Hasil Pengarusutamaan REDD+

Pemerintah Provinsi umumnya menyambut sangat baik proses pengarusutamaan REDD+

ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan. Tidak ada keluhan yang berkaitan dengan

kesulitan proses pengarusutamaan REDD+ dalam dokumen perencanaan pembangunan.

DOMAIN KEBIJAKAN (RPJMN/D: RKP/D: RENSTRA/RENJA K/L/D)

PENENTU KEBIJAKAN(POLICY MAKERS)

KEBIJAKAN &

REGULASI

KAWASAN BUDIDAYA NON

KEHUTANAN

KAWASAN HUTAN TETAP

KONDISI PEMUNGKIN (ENABLING

CONDITION)PENGELOLAAN HUTAN

IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL

HUTAN & PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

KINERJAPENGELOLAAN

HUTAN TINGKAT TAPAK

DOMAIN PENGELOLAAN (RENCANA PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN)

KINERJAREDD+ TINGKAT

WILAYAH

TATA RUANG

YANG MANTAP

KPHK/KPHL/KPHP

SISTEM PERIJINAN

FASILITAS & BIMBINGAN

TEKNIS

TERKENDALINYAKEBAKARAN

HUTAN &AKTIVITAS

HARAM

KINERJA PENGELOLAAN LAHAN KBNK

TINGKAT TAPAK

HUTAN ADAT

HUTAN RAKYAT

PENGELOLAAN HUTAN TINGKAT

TAPAK

KAWASAN TERTENTU

Page 12: Laporan Sintesis Hasil CB

9LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Hasil diskusi dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan menunjukkan bahwa

mereka mengalami kesulitan untuk mengidentifi kasi dan memasukkan akar masalah REDD+

sebagaimana tercantum dalam Stranas REDD+, RAN REDD+, dan SRAP REDD+ ke dalam

program dan kegiatan RAD GRK serta program dan kegiatan tahunan SKPD.

Secara umum isu Perubahan Iklim, khususnya REDD+, masih dipandang dengan berbagai

ragam perspektif sektoral bahkan di beberapa provinsi terfokus pada makna sebagai sistem

insentif semata. Berbagai masalah pembangunan daerah yang bersifat lintas sektor dalam

konteks REDD+ dipahami peserta sebagai persoalan yang terkait erat dengan pemantapan

kawasan hutan dan penataan ruang. Dalam konteks proses pengarusutamaan REDD+, para

pihak masih mengalami kesulitan untuk mengidentifi kasi akar permasalahan, mengingat

hal tersebut umumnya berkenaan dengan kebijakan nasional/provinsi dan konsistensi

implementasinya di tingkat kabupaten/kota atau tapak. Lemahnya kepastian kawasan hutan,

belum selesainya penataan ruang dan realitas penguasaan kehutanan oleh dunia usaha dan

masyarakat di berbagai tempat merupakan pokok masalah yang didiskusikan.

Para pihak yang tergabung dalam Tim Penyusun SRAP REDD+ telah mengidentifi kasi akar

permasalahan pembangunan di sektor berbasis lahan, khususnya di Provinsi Jambi dan

Sumatera Selatan. Tim Penyusun SRAP REDD+ memaknai pengarusutamaan sebagai akar

masalah yang tidak dapat diakomodasikan dalam sistem perencanaan pembangunan

nasional namun penting untuk dilaksanakan, sehingga perlu dicari mekanisme kelembagaan

lain untuk mewujudkannya, sedangkan WG9 memaknai pengarusutamaan sebagai proses

untuk mengakomodasikan seluruh akar masalah pembangunan di sektor berbasis lahan ke

dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dasar pemikiran WG9 adalah Article 3.4

dari Convention UNFCCC.

Secara umum proses pengarusutamaan dipahami oleh peserta, namun lemahnya pendekatan

holistik dalam sistem perencanaan pembangunan dan carut marut permasalahan kehutanan

yang terlanjur terjadi selama ini cenderung mendorong peserta pada pendekatan perencanaan

yang berbasis tupoksi, berorientasi target dan cenderung mengabaikan “enabling condition”

yang menjadi syarat cukup bagi tercapainya target pembangunan tersebut.

Beberapa hasil penting dari proses capacity building mainstreaming REDD+ dalam sistem

perencanaan pembangunan adalah sebagai berikut:

1. Proses pengarusutamaan sesuai dengan pedoman yang dibuat telah membuka

perspektif baru dalam penyusunan RPJMD dan RKPD mengenai koordinasi perencanaan

pembangunan secara lintas sektor dan lintas wilayah, serta pentingnya identifi kasi akar

Page 13: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING10

masalah dan pendekatan holistik berbasis rencana tata ruang dan kemantapan kawasan

hutan tetap.

2. Penguatan kapasitas untuk pengarusutamaan REDD+ membutuhkan penguatan

pemahaman atas substansi REDD+ pada sektor penataaan ruang dan sektor berbasis lahan,

serta penguatan pemahaman terhadap proses perencanaan yang didukung oleh “spatial

baseline information” yang kuat mengenai kawasan hutan yang akan dipertahankan

sebagai hutan tetap. Perbedaan pemahaman mengenai pengarusutamaan REDD+

dalam sistem perencanaan pembangunan perlu diantisipasi sejak dini untuk memastikan

keberhasilan REDD+ di tingkat provinsi.

3. Pendekatan sektoral dalam sistem perencanaan dan lemahnya sinergi perencanaan

tingkat nasional, provinsi dengan kabupaten akan menyulitkan proses identifi kasi akar

masalah yang secara umum bermuara pada masalah kebijakan dan tata kelembagaan.

Namun demikian provinsi yang telah memiliki dokumen/draft SRAP REDD+ secara

umum juga memiliki pemahaman yang lebih baik dalam melihat akar permasalahan

pembangunan dalam konteks REDD+ dan penurunan emisi karbon.

4. Dalam perspektif perencanaan pembangunan, selama pendekatan sektoral dalam sistem

perencanaan masih digunakan dan sinergi perencanaan tingkat nasional, provinsi dengan

kabupaten masih lemah, maka usulan pembentukan Lembaga REDD+ Daerah berpotensi

semakin menyulitkan proses penyelesaian akar masalah yang telah diidentifi kasi dalam

SRAP REDD+.

5. Dalam penyusunan SRAP, Satgas REDD+ perlu melakukan pendampingan dengan

melibatkan WG terkait, karena sebenarnya substansi SRAP memiliki muatan keseluruhan

output WG. Pendampingan penyusunan SRAP juga disertai kegiatan monitoring kemajuan

dan perkembangannya, sehingga permasalahan penyusunan SRAP dapat teridentifi kasi.

6. Khusus untuk Provinsi Sumatera Selatan, pemahaman terhadap pendekatan dan proses

pengarusutamaan yang dipaparkan oleh Pokja 9 sudah sangat komprehensif. Pendekatan

dan langkah-langkah yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi hampir seluruhnya sesuai

dengan langkah-langkah yang dipersyaratkan dalam Pedoman Pengarusutamaan REDD+.

Sebagai contoh, telah dilakukannya persandingan antara RAD GRK dengan SRAP REDD+

untuk mencari kesesuaian program dan kegiatan dan kemungkinan adanya gap program

dan kegiatan antara keduanya. Selain itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga

telah berkomitmen (dinyatakan melalui SK Gubernur) untuk mengintegrasikan seluruh

kegiatan RAD GRK dan program dan kegiatan SRAP REDD+ ke dalam RPJMD 2014-2019.

7. Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, capacity building pengarusutamaan REDD+

dan MP3EI direspon sebagai peluang untuk menyusun “grand design” pembangunan

wilayah secara berkelanjutan berbasis pembangunan ekonomi rendah karbon. Kedua

Provinsi perlu didukung pemerintah pusat untuk menyusun rencana induk pembangunan

wilayah tersebut guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya

Page 14: Laporan Sintesis Hasil CB

11LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

kehutanan bagi upaya untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari berbasis modal

sosial yang ada dan mendukung pencapaian tujuan REDD+ pada masa yang datang.

F3. Hasil Greening MP3EI

Dua isu greening paling utama, yakni lingkungan dan keadilan sosial, dapat dimengerti dan

diterima meskipun masih memerlukan pemikiran lebih jauh untuk mengimplementasikannya

dalam rencana pembangunan daerah. Secara umum, ego sektoral masih sangat mewarnai

dialog antar sektor, sehingga melemahkan koordinasi antar sektor. Hal ini masih perlu

mendapatkan perhatian yang sangat serius dalam mengimplementasikan MP3EI yang

lebih hijau. Selain itu, pemahaman peserta mengenai pendekatan yang berbasis insentif

dan disinsentif masih sangat kurang sehingga perlu peningkatan segera. Pada Provinsi

Jambi sudah ada kesadaran bahwa pembangunan sumberdaya manusia setempat melalui

pendidikan merupakan kunci pembangunan jangka panjang.

Beberapa hasil penting dari proses capacity building Greening MP3EI adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan tentang MP3EI tidak merata untuk semua peserta. Disamping itu juga

belum ada dokumen MP3EI yang spesifi k untuk tingkat provinsi. Greening MP3EI masih

banyak menghadapi tantangan, khususnya perubahan paradigm pembangunan yang

belum berbasiskan pada paradigma pembangunan berkelanjutan, namun masih

berorientasi kepada pembangunan sektoral-ekonomi.

2. Terbatasnya sosialisasi kebijakan dan rencana aksi MP3EI dari kementrian terkait dan

belum adanya MP3EI untuk provinsi, mengakibatkan minimnya pemahaman stakeholders

pada tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Berdasarkan kondisi ini, proses capacity

building greening MP3EI bidang REDD+, lebih difokuskan pada diskusi konsep dan isu-

isu pembangunan berkelanjutan. Perlunya visi dan misi pemimpin dalam menjabarkan

pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan, strategi, program, dan kegiatan serta

struktur organisasi pendukungnya.

3. secara umum perencanaan pembangunan masih berorientasi pada target output,

sangat terbatas di dalam penetapan tujuan (dampak) dari aspek ekonomi, lingkungan

dan sosial, dan ukuran (indikator) yang jelas; dan masih terbatas dalam menggunakan

informasi statistik wilayah sebagai bahan perencanaan dan evaluasi kinerja pencapaian

tujuan pembangunan daerah.

4. Secara umum mekanisme greening bidang REDD+ sebagaimana pada pedoman dapat

dipahami peserta, namun koordinasi antar sektor masih perlu mendapat perhatian yang

sangat serius dalam mengimplementasikan MP3EI yang hijau, mengingat investasi skala

besar di daerah umumnya masih didominasi oleh capital intensive yang berasal dari

perusahaan skala besar atau perusahaan asing.

5. Proses greening akan mengalami hambatan (lambat) pada proses legal terkait

penggunaan kawasan hutan untuk sektor di luar kehutanan, masalah ketersediaan data,

dan proses pengambilan keputusan greening dan kendala ketidakpastian tata ruang.

6. Pedoman Greening MP3EI bidang REDD+ statusnya di dalam proses perencanaan

pembangunan daerah masih belum memiliki legalitas, sehingga menjadi suatu

Page 15: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING12

tantangan pada tataran implementasinya. Ada dua hal tantangan itu yaitu status legal

pedoman greening MP3EI, dan para pihak yang akan melaksanakan greening MP3EI

bidang REDD+.

7. Di Provinsi Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan Aceh diskusi yang lebih mendalam

dalam proses greening adalah mengenai kriteria dan indikator. Ada kesepahaman bahwa

diperlukan perubahan kebijakan dan strategi pembangunan agar beberapa kriteria

dan indikator greening dapat dipenuhi. Kriteria indikator dimaksud adalah a) indikator

nisbah anggaran pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan terhadap

nilai sumberdaya alam yang tereksploitasi dari daerah yang bersangkutan ;b) konfl ik

di masyarakat; c) perimbangan pembagian hasil dari sumberdaya alam, baik langsung

maupun tidak langsung, antara pusat dan daerah; d) partisipasi/ akses masyarakat local/

adat di dalam kegiatan ekonomi/ pembangunan

8. Di Provinsi Kalimantan Barat MP3EI diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan dan

layanan energy/ listrik, dan tuntasnya transportasi (Trans Kalimantan) khususnya di

jalur Kalbar ke Kalteng/ Kaltim. Disamping itu juga digugah agar kebijakan yang lebih

tinggi (PP) tentang pembangunan perbatasan Kalbar dan Malaysia, diprioritaskan untuk

direalisasikan, kemudian baru implementasi MP3EI dengan status Perpres.

9. Diskusi pembangunan pada MP3EI dan REDD+ sangat mendapat perhatian pada isu

kepentingan sektor pada ruang (diperlukan kepastian tata ruang/ RTRW), isu kerusakan

sumberdaya alam dan dampak lingkungan, serta isu keadilan sosial, terutama hak-hak

masyarakat terhadap sumberdaya dan memperoleh manfaat pembangunan tersebut.

10. Pada provinsi yang infrastrukturnya belum berkembang, ada persoalan yang harus

dipahami secara baik dan bijak, bahwa kebutuhan pembangunan infrastruktur sebagai

prasyarat pengembangan wilayah, yang tidak jarang melewati kawasan hutan khususnya

hutan lindung dan konservasi, perlu mendapatkan perhatian dan alokasi ruang namun

tetap tanpa mengorbankan kelestarian dan ekosistem.

G. Evaluasi Proses Capacity Building

Evaluasi proses capacity building dilakukan melalui evaluasi terhadap a) peserta yang hadir

dan keaktifan berkontribusi di dalam diskusi, b) materi capacity building, c) mekanisme atau

pelaksanaan capacity building, d) isu yang muncul pada saat diskusi kelompok maupun panel.

1. Peserta dan Proses Diskusi

Peserta capacity building berasal dari badan perencana, SKPD kehutanan/perkebunan,

pertanian, pertambangan, perdagangan industri, lingkungan hidup, penanaman modal

daerah pada tingkat provinsi dan sebagian dari kabupaten/kota, dan UPT Kementerian

Kehutanan di daerah. Di samping unsur pemerintah, juga dihadiri oleh peserta dari perguruan

tinggi, lembaga swadaya masyarakat di provinsi maupun kabupaten. Dari sisi target

Page 16: Laporan Sintesis Hasil CB

13LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

keterwakilan peserta, maka capacity building sudah terpenuhi; hal ini berkait kerjasama yang

baik antara WG9 dengan Bappeda sebagai penyelenggara.

Sebagian besar peserta capacity building bukan pengambil keputusan yang dapat secara

langsung menyatakan komitmen mereka untuk mempergunakan dua pedoman tersebut

dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Namun mereka akan berupaya agar dua

pedoman tersebut dapat menjadi dasar dalam penyusunan program dan kegiatan SKPD.

Topik pengarusutamaan REDD+ ke dalam perencanaan pembangunan daerah relatif lebih

banyak mendapat perhatian peserta; peserta lebih banyak mendiskusikan isu-isu terkait topik

REDD+ ini. Hal ini terkait dengan realitas di daerah, pengetahuan tentang isu REDD+ relatif

sudah lebih banyak diperoleh sebagian besar peserta, dan proses sosialisasi ataupun FGD

tentang REDD+ di daerah banyak dilakukan oleh berbagai pihak baik dari Satgas REDD+

maupun dari LSM. Di samping itu peserta yang menjadi anggota pokja (komisi daerah istilah

di Kalteng) RAD GRK atau REDD+ langsung berkepentingan terhadap substansi REDD+

untuk penyusunan dokumen SRAP REDD+ ataupun untuk mendapatkan kejelasan rencana

implementasi dan mekanisme pendanaannya/insentif. Sedangkan, untuk topik MP3EI

peserta relatif lebih banyak memberikan perhatian kepada penyampaian materi oleh nara

sumber dari WG 9 Satgas REDD+. Sehingga proses capacity building juga sekaligus menjadi

sosialisasi MP3EI, pembangunan daerah dalam konteks pembangunan berkelanjutan, dan

metode greening.

2. Materi Capacity Building

Proses capacity building dengan metode brainstorming dan FGD pada topik pengarusutamaan

REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Greening MP3EI bidang

REDD+. Materi capacity building karena pertimbangan alokasi waktu dan prasyarat

peserta sejak awal dirancang bukan untuk tujuan memberikan kemampuan skill di dalam

menggunakan ke 2 jenis pedoman ini. Secara umum substansi materi capacity building

adalah kebijakan dan isu-isu perubahan iklim (REDD+) dan kebijakan serta isu-isu MP3EI;

pedoman pengarusutamaan REDD+ ke dalam perencanaan pembangunan daerah (RPJMD

dan RKPD) serta pedoman greening bidang REDD+.

Materi capacity building sudah memenuhi tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan

capacity building pada dua pedoman dimaksud. Capacity Building pada beberapa provinsi

belum banyak mengupas teknis pengarusutamaan REDD+ dan greening MP3EI, karena

lebih berfokus pada diskusi isu REDD+ dan MP3EI terkait masalah kepastian hukum, otonomi

daerah, penataan dan pemanfaatan ruang yang belum mengakomodir hak-hak masyarakat

adat/ lokal, kordinasi antar sektor, termasuk soal penggunaan kawasan hutan untuk areal

penggunaan lain (APL) seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, infrastruktur dan lain

sebagainya.

Page 17: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING14

3. Mekanisme Pelaksanaan Capacity Building

Mekanisme capacity building dirancang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu

menggunakan pendekatan brainstorming dan FGD, untuk membangun partisipasi peserta

dalam mengungkapkan dan memberikan bahasan terhadap topik dan isu yang dibahas.

Dalam pelaksanaan capacity building dua pedoman ini, setelah mengambil pengalaman di

Provinsi Kalbar, dipandang perlu pihak daerah khususnya Pokja RAD GRK atau SRAP REDD+,

melakukan desiminasi dan sosialisasi program dan kegiatan yang ada pada kedua dokumen

tersebut (RAD-GRK dan SRAP REDD+) kepada seluruh peserta dan proses integrasi program

dan kegiatan REDD+ ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJMD dan

RKPD).

Mekanisme capacity building dipandang cukup untuk mencapai tujuan yaitu membangunan

pemahaman REDD+, keperluan integrasi ke dalam perencanaan pembangunan daerah,

pemahaman kepentingan greening dan/atau pembangunan berkelanjutan. Untuk tujuan

capacity building lebih lanjut, yaitu tujuan praktek, maka diperlukan pengembangan

pelaksanaan, terkait persyaratan peserta yang betul-betul sebagai pelaksana di dalam

perencanaan pembangunan di setiap SKPD, alokasi waktu yang lebih lama, metode latihan

kasus dengan data yang cukup untuk sebuah kasus bahasan.

4. Isu-Isu Pokok Diskusi Pengarusutamaan REDD+ Dan Greening MP3EI

Isu pokok di dalam diskusi secara lebih rinci telah disajikan pada Bab Hasil Capacity Building

(pengarusutamaan REDD+ dan greening MP3EI bidang REDD+). Secara umum, adalah :

Ketidakpastian RTRW provinsi dan kabupaten/ kota dan pemantapan kawasan hutan

tetap, yang dapat menghambat penetapan lokasi, program dan besar kegiatan SRAP/

STRADA REDD+ di lapangan.

Akomodasi kepentingan dan hak-hak masyarakat dalam penataan dan pemanfaatan

ruang, REDD+ maupun pembangunan secara umum, termasuk MP3EI.

Kesesuaian berbagai program dan kegiatan sektoral, RAD GRK, REDD+, MP3EI,

memerlukan koordinasi secara lebih baik, dan didukung oleh data dasar yang akurat

terkait inventarisasi nilai sumberdaya hutan, masyarakat dan ruang.

Memastikan kapasitas daerah dalam perencanaan dan operasionalisasi rencana di

lapangan, dikaitkan dengan kepentingan sektor lain atau para pihak di daerah, maka

diperlukan pendampingan dalam implementasi, monitoring dan evaluasi sampai pada

tingkat lapangan.

Implementasi REDD+ saat ini masih dalam tahap penyiapan kondisi pemungkin. Kendala

yang dihadapi dalam menyiapkan kondisi pemungkin antara lain ketersediaan data dan

informasi termasuk peta yang akurat, kebutuhan ruang untuk kegiatan bukan hutan dan

Page 18: Laporan Sintesis Hasil CB

kehutanan, kebutuhan minimal untuk melakukan konservasi kawasan hutan dan lahan

gambut, kebijakan pemberian akses terhadap kawasan hutan bagi masayarakat adat,

serta kebijakan “one map”.

H. Rekomendasi

1. Penguatan kapasitas untuk pengarusutamaan REDD+ membutuhkan penguatan

pemahaman atas substansi REDD+ pada sektor penataaan ruang dan sektor berbasis lahan,

serta penguatan pemahaman terhadap proses perencanaan yang didukung oleh “spatial

baseline information” yang kuat mengenai kawasan hutan yang akan dipertahankan sebagai

hutan tetap.

2. Disarankan kepada pemerintah daerah provinsi untuk mensosialisasikan pengetahuan pada

capacity building ini ke pemda kabupaten. Cara lain adalah mewajibkan staf perencana

pada SKPD kabupaten untuk mengikuti secara aktif dalam proses capacity building yang

diadakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Pertimbangannya adalah bahwa

SKPD kabupaten merupakan penanggungjawab pelaksanaan REDD+ yang kewenangannya

sudah diberikan kepada mereka.

3. Perlu dipertimbangkan status/legalitas pedoman pengarusutamaan REDD+ dan pedoman

greening MP3EI, di dalam proses perencanaan pembangunan nasional, provinsi dan

kabupaten/kota. Tanpa adanya kejelasan status/legalitas, maka kedua pedoman tersebut

kemungkinan besar hanya menjadi pengetahuan.

4. Desentralisasi anggaran, termasuk anggaran pendidikan yang berorientasi pada peningkatan

sumberdaya manusia, perlu di-reform agar penggunaannya lebih efektif dan sesuai dengan

kebutuhan Daerah.

5. Perlu ada pelatihan khusus mengenai pendekatan insentif dan disinsentif sebagai instrumen

pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

6. Pengarusutamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan

Greening MP3EI bidang REDD+, serta program dan kegiatan implementasi REDD+

secara keseluruhan perlu dilandaskan pada konsep pembangunan berkelanjutan untuk

memastikan bahwa REDD+ selaras dan harmonis dengan pembangunan wilayah.

Page 19: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING16

Page 20: Laporan Sintesis Hasil CB

17LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

MODUL GREENING MP3EI DALAM KERANGKA REDD+

LATAR BELAKANG

DESKRIPSI SINGKAT

TUJUAN

MATERI POKOK

PENUTUP

Page 21: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING18

1. Latar Belakang

Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN), menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan

yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan

negara untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut berlangsung

tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.

Pelaksanaan upaya tersebut dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa

mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.

Pernyataan ini adalah RPJPN secara substansi harusnya pembangunan berkelanjutan. Pemerintah

telah membuat kebijakan pembangunan, khususnya terkait 1) Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK),

dan penurunan emisis karbon dari degradasi dan deforestasi hutan (REDD+). 2) Master Plan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.

Kebijakan dan strategi RAN-GRK Indonesia dirumuskan berdasarkan kesiapan yang sudah

dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam meratifi kasi kesepakatan UNFCCC. Hal ini kemudian,

dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2010 tentang RAN-GRK. Mengacu pada prinsip-

prinsip UNFCCC tersebut, maka pengurangan emisi dari business as usual (BAU) tahun 2020 akan

dilaksanakan sejalan dengan upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata

6-7%, sebagaimana tertuang di dalam RAN-GRK. Jadi, strategi nasional akan mengkombinasikan

antara target nasional tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7% dan komitmen Indonesia

kepada dunia untuk emisi sebesar 26-41%.

Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) adalah skema pemberian

insentif buat usaha-usaha pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan kerusakan

hutan. Pada keputusan Conference of Parties (COP) 13 dan COP 14, peranan hutan dalam mitigasi

perubahan iklim tidak hanya dari sisi negatifnya (mencegah deforestasi dan kerusakan hutan),

tetapi juga dilihat sisi positifnya. Sasaran atau target REDD+ adalah emisi GRK dari hutan dan

gambut turun sebesar 14% dari bagian komitmen nasional sebesar 26% dengan upaya nasional

dan 41% dengan dukungan internasional, pada tahun 2020.

MP3EI adalah dokumen rencana pembangunan ekonomi yang menjadi bagian tidak terpisahkan

dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Undang-Undang No

17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, menyatakan bahwa

pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan

yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk melaksanakan

UUD 1945. Melalui MP3EI, pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami

percepatan dan peningkatan dan akan menempatkan Indonesia sebagai Negara maju pada

tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total

perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mencapai kondisi perekonomian

tersebut diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 –

2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan tersebut diharapkan

Page 22: Laporan Sintesis Hasil CB

19LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

akan dibarengi oleh penurunan infl asi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 - 2014 menjadi

3,0 persen pada 2025.

Perubahan paradigma dari pembangunan “business as usual” saat ini yang mengedepankan

pembangunan ekonomi saja menjadi pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting

dengan permasalahan lingkungan global dan lokal yang berkembang saat ini. Master Plan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Rencana Aksi Nasional

Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Implementasi REDD+ di Indonesia dapat

berpotensi kurang memberikan kontribusi terhadap pencapaian pembangunan nasional dan

kesejahteraan rakyat jika tidak diletakkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang

dilandaskan pada pilar rasionalitas lingkungan, sosial dan ekonomi nasional.

MP3EI tampaknya lebih focus pada gambaran pertumbuhan ekonomi, belum menggambarkan

perwujudan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan substansi RPPLH dan KLHS, dan

mempertimbangkan MP3EI sebagai perencanaan pembangunan ekonomi, operasionalisasi

pembangunan berkelanjutan MP3EI seharusnya meliputi 4 muatan prinsip pembangunan

berkelanjutan, yaitu (1) keberlanjutan cadangan sumber daya alam yang dieksploitasi, (2)

keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk mendukung pembangunan

ekonomi di masa datang, (3) perkiraan dampak dan resiko lingkungan hidup, dan (4) keselamatan,

mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di wilayah pembangunan.

Pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang

“memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi lingkungan hidup dalam pelaksanaannya.

Pembangunan berkelanjutan, para ahli sepakat mengadopsi pengertian yang telah disepakati

oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah

pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan

generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Agar kebijakan MP3EI dan Redd+ itu tidak saling meniadakan dan memenuhi prinsip

pembangunan berkelanjutan diperlukan upaya “greening” MP3EI bidang REDD+.

2. Deskripsi Singkat

Modul greening MP3EI mencakup pembahasan atau diskusi tentang kebijakan pembangunan

Indonesia khususnya tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi

Indonesia (MP3EI), Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) juga Reducing

Emission from Degradation and Deforestation Plus (REDD+).

Diskusi berupa posisi MP3EI didalam konteks pemenuhan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu juga diuraikan tentang konsep pembangunan berkelanjutan di dalam pembangunan.

MP3EI sebagai bagian dari perencanaan pembangunan, maka pembahasan perencanaan

pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) beserta

Page 23: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING20

landasannya juga dikupas.

Operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan, maka pembahasan hal ini dikemas di

dalam pembangunan berkeadilan dan ramah lingkungan. Disini diuraikan secara lebih operasional

tentang prinsip pembangunan berkelanjutan beserta ukuran (kriteria dan indikator) yang dipakai

dalam mengukur rencana pembangunan apakah sudah memenuhi prinsip keberlanjutan.

Secara teknis pelaksanaan greening dibahas di dalam topic Mekanisme Greening MP3EI dalam

Perencanaan Pembangunan.

3. Tujuan

1. Sebagai upaya membangun paradigma pembangunan berkelanjutan dalam penyelenggaraan

MP3EI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan

nasional.

2. Sebagai upaya membangun kapasitas berupa pengetahuan para pemangku kepentingan,

dalam perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah, tentang paradigma

pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan mekanisme proses operasionalisasinya

ke dalam perencanaan pembangunan. Pengetahuan ini sebagai modal dasar integrasi

pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah

khususnya dalam penyelenggaraan MP3EI.

4. Materi Pokok

1.1 Tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

1.2 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan

1.3 Pembangunan Berkeadilan dan Ramah Lingkungan

1.4 Mekanisme Greening MP3EI dalam Perencanaan Pembangunan

5. Penutup

Pembahasan melalui berbagai modul greening ini sebagai upaya melengkapi “Pedoman

Greening MP3EI Bidang REDD+”. Pemahaman “Pedoman Greening MP3EI” dan “modul-modul

greening” dibangun melalui melalui diskusi secara interaktif dan terfokus diantara para pemangku

kepentingan di tingkat nasional dan daerah.

Hasil ideal yang diharapkan adalah memberikan hasil proses perencanaan pembangunan

khususnya respon terhadap MP3EI berupa kebijakan (Perpres) MP3EI itu sendiri, ataupun rencana

aksi MP3EI yang akan diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

Nasional dan Daerah, serta Rencana Strategis Kementerian/Lembaga Non Kementerian dan

Satuan Kerja Pemerintah Daerah, yang telah teruji pemenuhan keberlanjutannya. Jika rancangan

rencana pembangunan belum mampu memenuhi keberlanjutan maka diperlukan revisi dan

penyesuaian, termasuk rancangan rencana aksi MP3EI maupun Rencana REDD+ itu.

Page 24: Laporan Sintesis Hasil CB

21LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Disadari bahwa kegiatan diskusi yang diselenggarakan ini memiliki keterbatasan, khususnya

waktu pelaksanaan, yang juga berimplikasi pada substansi yang dibahas. Oleh karena itu ukuran

keberhasilan diskusi ini adalah adanya pemahaman yang relatif merata di antara para pemangku

kepentingan tentang konsep pembangunan berkelanjutan di dalam perencanaan pembangunan

khususnya di bidang MP3EI dan REDD +. Ukuran sedikit lebih diharapkan adalah berkembangnya

kesadaran dan sikap kritis terhadap kepentingan pembangunan berkelanjutan.

Page 25: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING22

Page 26: Laporan Sintesis Hasil CB

23LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

MODUL 1:TINJAUAN MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA MP3EI DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid, untuk melengkapi

dokumen perencanaan pembangunan, khususnya Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional 2005-2025 (RPJPN) diperlukan adanya masterplan percepatan dan

perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang memiliki arah yang jelas, strategi yang

tepat, fokus dan terukur. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah menetapkan

Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Substansi dari Masterplan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 adalah pengembangan Koridor

Ekonomi Indonesia menggunakan tiga strategi utama yaitu pengembangan potensi

ekonomi, penguatan konektivitas nasional dan penguatan kemampuan sumber daya

manusia dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nasional.

Upaya pemerintah merealisasikan komitmen nasional untuk berperan dalam pengurangan

emisi gas rumah kaca (GRK) telah dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan

Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah melalui

Peraturan Presiden No 61 tahun 2011. Untuk mendukung upaya reduksi emisi GRK

dalam MP3EI, diperlukan upaya integrasi MP3EI dalam perencanaan pembangunan

dengan mempertimbangkan RAN GRK. Disisi lain, terkait perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup nasional, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini sebagai wujud pada amanat Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa pembangunan nasional diselenggarakan

berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan, serta

adanya permasalahan lingkungan hidup yang membutuhkan upaya perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup. MP3EI sebagai perencanaan pembangunan bidang ekonomi,

yang menjadi bagian dari perencanaan pembangunan nasional, juga diamanatkan untuk

berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.

Sebagai upaya membangun paradigma pembangunan berkelanjutan dalam

penyelenggaraan MP3EI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan

Page 27: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING24

pembangunan nasional, dibutuhkan capacity building paradigma pembangunan

berkelanjutan sebagai modal dasar kapasitas integrasi pembangunan berkelanjutan dalam

perencanaan pembangunan nasional, khususnya dalam penyelenggaraan MP3EI.

1.2 Deskripsi Singkat

Modul Tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

(MP3EI) ini meliputi beberapa materi, yaitu (1) landasan hukum pembangunan berkelanjutan

dan MP3EI serta landasan teori pembangunan berkelanjutan, (2) muatan MP3EI, dan (3)

muatan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam MP3EI.

Materi landasan hukum MP3EI dan pembangunan berkelanjutan serta landasan teori

pembangunan berkelanjutan menjelaskan kebijakan yang telah ditetapkan sebagai

landasan hukum MP3EI dan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam

sistem perencanaan pembangunan. Materi landasan teori pembangunan berkelanjutan

menjelaskan teori-teori pembangunan berkelanjutan yang menjadi prinsip dasar MP3EI.

Materi prinsip Muatan MP3EI menjelaskan latar belakang, prinsip dasar dan prasyarat, strategi

utama, program dan kegiatan, dan inisiatif strategis. Materi muatan prinsip pembangunan

berkelanjutan MP3EI menguraikan keterkaitan tema pembangunan dan kegiatan ekonomi

utama MP3EI dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

1.3 Tujuan

Modul tinjauan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

(MP3EI) ini adalah materi yang menjadi bagian dari capacity building greening MP3EI bidang

REDD+ dengan tujuan untuk membangun paradigma pembangunan berkelanjutan

sebagai modal dasar integrasi MP3EI dalam perencanaan pembangunan.

2. Landasan Hukum dan Teori

2.1 Landasan Hukum Pembangunan Berkelanjutan dan MP3EI

Ada beberapa landasan hukum yang menjadi dasar kewajiban untuk menerapkan

pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Berikut beberapa peraturan tersebut dan

penjabarannya:

a. Undang-Undang Dasar 1945

Pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan hidup telah diamanatkan oleh

UUD 1945, yaitu pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4). Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945

secara jelas menyatakan bahwa: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak

untuk memperoleh pelayanan lingkungan hidup serta pelayanan kesehatan yang baik

Page 28: Laporan Sintesis Hasil CB

25LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

merupakan hak asasi manusia. Hadirnya ketentuan pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut

telah menegaskan bahwa norma lingkungan hidup telah mengalami konstitusionalisasi

menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Artinya, segala kebijakan

dan tindakan pemerintahan dalam pembangunan haruslah tunduk kepada ketentuan

mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh

ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan di

bawahnya yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan ini.

Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 33 ayat (4) dinyatakan bahwa: perekonomian nasional

diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efi siensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan dan kemajuan ekonomi nasional. Perekonomian nasional

berdasar atas demokrasi ekonomi yang dimaksud haruslah mengandung prinsip

bekerlanjutan dan berwawasan lingkungan. Oleh sebab itu, berbagai undang-undang

di bidang lingkungan hidup haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan

berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan

hidup.

Dengan diterimanya kedua prinsip tersebut menjadi dasar dalam rumusan hukum

tertinggi di Indonesia, menunjukkan bahwa semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang

kita kembangkan haruslah mengacu dan atau tidak boleh bertentangan dengan prinsip

yang diatur dalam UUD 1945. UUD sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan

kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan tertinggi yang harus dijadikan pegangan

bersama dalam segenap aktivitas penyelenggaraan negara.

b. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Undang-

Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

2005-2025 (RPJMN).

GBHN tahun 1999-2004 menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan telah

diletakkan sebagai kebijakan. Pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah harapan

yang harus diwujudkan. Hal ini kemudian yang mendasari dibentuknya institusi atau

lembaga yang membidangi lingkungan hidup. Kelembagaan ini mempunyai peranan

penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di

Indonesia.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional adalah dokumen pengganti hilangnya

GBHN. Dalam RPJPN, perubahan iklim dan pemanasan global dianggap sebagai tantangan

bagi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam bidang sumber daya

alam dan lingkungan hidup, RPJPN menyebutkan bahwa jasa-jasa lingkungan adalah

penopang hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan itu adalah keanekaragaman hayati,

Page 29: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING26

penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam dan udara bersih.

Oleh sebab itu, aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan sosial adalah aspek penting

untuk keberlangsungan pembangunan di Indonesia dan umat manusia. Dalam RPJMN,

pelaksanaan pembangunan dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa

sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi

kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari pembangunan berkelanjutan,

yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah rencana

pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

c. Undang-Undang tentang lingkungan hidup (UU no. 14/1982 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan Hidup; UU no. 23/2007 tentang Pengelolaan

Lingkungan hidup; dan UU no.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup).

Undang-Undang No. 14 tahun 1982 mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan

pelaksanaan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang

dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan”. Pasal 4 huruf d undang-undang

ini disebutkan juga bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah

“terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi

sekarang dan mendatang”. Pembangunan berwawasan lingkungan dirumuskan dalam

pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan

adalah upaya sadar dan terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara

bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu

hidup.

Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini

menggunakan istilah baru lagi yatu “Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan

Lingkungan Hidup. “Konsideran UU no. 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang

mengapa kita harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan

Lingkungan Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka

mendayagunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti

diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan

Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan

memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Pasal 1 butir

3 menyebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan

lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk

menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa

depan.

Page 30: Laporan Sintesis Hasil CB

27LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

UU No. 23 tahun 1997 selanjutnya diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang

no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada UU

ini masih menggunakan istilah pembangunan berkelanjutan, hanya saja menekankan

juga aspek perlindungan. Pasal 1 butir 2 menjelaskan arti perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sementara, rencana perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan

tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan

pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

d. Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Undang-Undang ini menjabarkan tentang arah kebijakan-kebijakan pembangunan

bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Arah kebijakan tersebut sebagai

berikut:

Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat

bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.

Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup

dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan

menerapkan teknologi ramah lingkungan.

Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan

pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang

diatur dengan undang-undang.

Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,

pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat

lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan undang-undang.

Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan,

keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan

yang tidak dapat balik.

e. Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan tampak dengan

jelas dalam UU no. 41 Tahun 1999. Pasal 3 dari undang-undang ini misalnya menentukan:

“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

yang berkeadilan dan berkelanjutan:

Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang

proporsional.

Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi

Page 31: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING28 LAPLAPALALLALAA ORAORARAO N SN SSSINTINNTNTNTNTNTTNTTNTTTTTTTTTTEEEEESESESESIESIESIESSISISIESIEEEEE S HSSS HS HS HS HS HS HS HS HSS HHASIASIAASAAAASIASIASIASIL LLLLLLLL LL CAPCAPCAPCAPCAPCAPPPCAPCAPCAPCAPPCAPCAPPCAAPCACACAACAC AACIACIACIACIACICICACICACIIA IICIACIIIIIIIIIIITY TY TYTYTY TY TY TYTYTYTYYYTYTYTYTY YYYTTYYYYYYYYYYYYTYYTYYYY BUIBUIBUBUIBUIBUIBBUIBUIBUIBUIBUIBUBUIBBUIBBBUIBUIUBB LDILDILDILDILDILDLDLDILDIDILDILDIDLDIIIDL ILD NGNGNGNGNGNGGNGGGGNGGNGGGG28282288

lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya

dan ekonomi yang seimbang dan lestari.

Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.

Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan

masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga

mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap

akibat perubahan eksternal, dan

Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut, undang-undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan yang

berkelanjutan atau “sustainable forest management” .

f. Undang-undang tentang pengelolaan sumber daya alam (UU No. 5 tahun 1960 tentang

Ketentuan Pokok Agraria; UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan;

Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan).

Semua undang-undang ini menekankan tentang pengelolaan sumber daya alam yang

berkelanjutan atau memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Misalnya di pertambangkan

menerapkan konsep Good Mining Practices. Prinsip keberlanjutan mengandung

makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi

mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya

kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus

dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuannya

dalam meningkatkan pembangunan.

g. Perpres No 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia

Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Substansi dari

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025

adalah pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia menggunakan tiga strategi utama

yaitu pengembangan potensi ekonomi, penguatan konektivitas nasional dan penguatan

kemampuan sumber daya manusia dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi)

nasional. MP3EI dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional

yang lebih solid, khususnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-

Page 32: Laporan Sintesis Hasil CB

29LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

2025 (RPJPN). Pembangunan ekonomi melalui MP3EI diharapkan akan menempatkan

Indonesia sebagai Negara maju pada tahun 2025.

2.2 Teori Pembangunan Berkelanjutan

2.2.1 Defi nisi

Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian

sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi

lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam

konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang

menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor

lingkungan.1 Selanjutnya berkembang pula berbagai defi nisi dari apa yang dimaksud

dengan pembangunan berkelanjutan. Berikut beberapa defi nisi dari pembangunan

berkelanjutan:

a. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah

bagaimana dalam pembangunan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa

mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

b. Laporan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia (2005), pembangunan

berkelanjutan adalah pembangunan yang berlandaskan tiga tiang utama

(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.

c. Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali

konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “keragaman

budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati

bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai

pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan

intelektual, emosional, moral, dan spiritual”. Dalam pandangan ini, keragaman

“pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu

sendiri terbatas.

d. World Commission on Environment and Development/WCED (1988),

pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang sudah hadir sejak lama sebagai

anti tesis atas konsep pembangunan modern yang eksploitatif. Prinsip utama

pembangunan berkelanjutan adalah sebuah pembangunan yang mencukupi

kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang

untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.

Elemen-elemen pokok pembangunan berkelanjutan menurut WCED (1988) adalah

sebagai berikut:

a. Tercukupinya kebutuhan dasar.

b. Pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efi sien karena ada batas sumber daya

lingkungan menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia.

c. Teknologi ramah lingkungan.

1 Lihat Abdurrahman, 2003 “Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia”. Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Denpasar, 14-18 Juli 2003. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

Page 33: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING30

d. Demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber daya.

e. Pembatasan jumlah penduduk.

Berdasarkan dari defi nisi-defi nisi di atas, maka pada dasarnya pembangunan

berkelanjutan itu memiliki 3 (tiga) kaki, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan

sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-

syarat tercapainya proses pembangunan berkelanjutan dari berbagai sumber

dideskripsikan pada Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-syarat tercapainya proses pembangunan

berkelanjutan

Dimensi

Sumber Pikiran

Brundtland (1987) ICPQL (1996) Becker et al (1997)

Sosial

Pemenuhan kebutuhan dasar

bagi semua

Keadilan sosial, kesetaraan

gender, rasa aman, menghargai

diversitas budaya

Penekanan pada proses

pertumbuhan sosial yang

dinamis, keadilan sosial dan

pemerataan

EkonomiPertumbuhan ekonomi untuk

pemenuhan kebutuhan dasar

Ekonomi kesejahteraan Ekonomi kesejahteraan

LingkunganLingkungan untuk generasi

sekarang dan yang akan dating

Keseimbangan lingkungan yang

sehat

Lingkungan adalah dimensi

sentral dalam proses sosial

Sumber: Gondokusumo (2005)

Tiga aspek di atas, sering juga dikenal 3 (tiga) pro kriteria pembangunan berkelanjutan,

yaitu:

a. Pro-keadilan sosial, artinya keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya

alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan gender.

b. Pro-ekonomi kesejahteraan, artinya pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk

kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi

inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.

c. Pro-lingkungan berkelanjutan, artinya etika lingkungan non-antroposentris

menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan

kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan

mengutamakan peningkatan kualitas hidup non-material.

2.2.2 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Memang diakui bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana

Page 34: Laporan Sintesis Hasil CB

31LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan

multi-interpretasi. Beberapa cara pandang tersebut antara lain:

a. Menurut Heal dalam Fauzi (2004) Konsep keberlanjutan ini paling tidak

mengandung dua dimensi: Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan

tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Kedua

adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan

lingkungan.

b. Menurut Pezzey dalam Fauzi (2004) melihat aspek keberlanjutan dari sisi yang

berbeda. Keberlanjutan dari sisi statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya

alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan

dari sisi dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak

terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.

Berkembangnya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk

sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland

yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang

memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”2

Mengacu pada konsep keberlanjutan tersebut, maka dapat dirinci menjadi 3

(tiga) aspek pemahaman, yaitu: (a) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai

pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu

untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya

ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri;

(b) Keberlanjutan lingkungan, dimana sistem keberlanjutan secara lingkungan harus

mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya

alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan

keanekaraman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak

termasuk kategori sumber-sumber ekonomi; (c) Keberlanjutan sosial, keberlanjutan

secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan

layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Dari berbagai konsep yang ada, dapat dirumuskan prinsip dasar dari setiap elemen

pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini ada empat komponen yang perlu

diperhatikan yaitu pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi dan perspektif

jangka panjang (Jaya, 2004):

a. Pembangunan yang menjamin pemerataan dan keadilan sosial

Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi

hal-hal seperti: meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi, meratanya

peran dan kesempatan perempuan, meratanya ekonomi yang dicapai dengan

keseimbangan distribusi kesejahteraan.

2 Lihat Muhajir, 2010 “REDD di Indonesia Kemana Akan Melangkah?” HuMa: Jakarta

Page 35: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING32

b. Pembangunan yang menghargai keanekaragaman hayati

Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa

sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa

datang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan

ekosistem. Pemeliharaan keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan

yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi

berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti.

c. Pembangunan yang menggunakan pendekatan integratif.

Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan

alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak.

Hanya dengan memanfaatkan pengertian tentang kompleksnya keterkaitan

antara sistem alam dan sistem sosial. Dengan menggunakan pengertian ini maka

pelaksanaan pembangunan yang lebih integratif merupakan konsep pelaksanaan

pembangunan yang dapat dimungkinkan.

d. Pembangunan yang meminta perspektif jangka panjang.

Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih dari masa depan, implikasi

pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian

ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pelaksanaan penilaian yang

berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur discounting. Persepsi jangka

panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan.

2.2.3 Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Djajadiningrat (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan

perspektif jangka panjang. Secara ideal keberlanjutan pembangunan membutuhkan

pencapaian keberlanjutan dalam hal:

a. Keberlanjutan ekologis

Keberlanjutan ekologis merupakan prasyarat pembangunan demi keberlanjutan

kehidupan karena akan menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Dikaitkan

Page 36: Laporan Sintesis Hasil CB

33LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

dengan kearifan budaya, masing-masing suku di Indonesia memiliki konsep yang

secara tradisional dapat menjamin keberlangsungan ekologis yang dapat diambil

fi losofi nya terkait harmonisasi dengan alam.

b. Keberlanjutan ekonomi

Keberlanjutan ekonomi yang terdiri atas keberlanjutan ekonomi makro dan

keberlanjutan ekonomi sektoral merupakan salah satu aspek keberlanjutan

ekonomi dalam perspektif pembangunan. Dalam keberlanjutan ekonomi

makro tiga elemen yang diperlukan adalah efi siensi ekonomi, kesejahteraan

ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pemerataan dan distribusi

kemakmuran. Sementara itu keberlanjutan ekonomi sektoral yang merupakan

keberlanjutan ekonomi makro akan diwujudkan dalam bentuk kebijaksanaan

sektoral yang spesifi k. Kegiatan ekonomi sektoral ini dalam bentuknya yang

spesifi k akan mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang

bernilai ekonomis sebagai kapital.

c. Keberlanjutan sosial dan budaya

Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dinyatakan dalam keadilan sosial. Hal-

hal yang merupakan perhatian utama adalah stabilitas penduduk, pemenuhan

kebutuhan dasar manusia, pertahanan keanekaragaman budaya dan partisipasi

masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

d. Keberlanjutan politik

Di bidang keberlanjutan politik terdapat pokok pikiran seperti perhatian terhadap

HAM, kebebasan individu, hak-hak sosial, politik dan ekonomi, demokratisasi serta

kepastian ekologis.

e. Keberlanjutan pertahanan dan keamanan

Keberlanjutan di bidang pertahanan dan keamanan adalah keberlanjutan

kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan

gangguan. Persoalan berikutnya adalah harmonisasi antar struktur (suprastruktur

dan infrastruktur) dalam menghadapi atau melaksanakan idealisasi pembangunan

yang berkelanjutan.

3. Muatan MP3EI

3.1 Latar Belakang MP3EI

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI)

yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 adalah sebagai arahan

strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode

15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025 dalam rangka

pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dan melengkapi

dokumen perencanaan. MP3EI dimaksudkan sebagai dokumen pelengkap dari dokumen

perencanaan guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang lebih solid.

Page 37: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING34

MP3EI memiliki fungsi sebagai berikut, (1) Sebagai acuan bagi menteri dan pimpinan

lembaga pemerintah non kementrian untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka

pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di bidang

tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis masing-

masing kementrian/lembaga pemerintah non kementrian sebagai bagian dari dokumen

perencanaan pembangunan dan (2) Sebagai acuan penyusunan kebijakan percepatan dan

perluasan pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota

terkait.

Melalui MP3EI, pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami

percepatan dan peningkatan dan akan menempatkan Indonesia sebagai Negara maju

pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan

nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mencapai kondisi

perekonomian tersebut diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada

periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan

tersebut diharapkan akan dibarengi oleh penurunan infl asi dari sebesar 6,5 persen pada

periode 2011 - 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025.

Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. MP3EI 2011-2025

Gambar 3.1. Aspirasi Pencapaian PDB Indonesia

Untuk mewujudkan aspirasi pencapaian ekonomi Indonesia, diperlukan suatu transformasi

ekonomi yang membutuhkan perubahan pola pikir yang didasarkan pada semangat “not

business as usual”. Perubahan pola pikir paling mendasar adalah bahwa pembangunan

ekonomi membutuhkan kolaborasi pemerintah, badan usaha pemerintah dan pihak

swasta, dengan dilandasi pemahaman adanya keterbatasan kemampuan pemerintah

2010

2025

2045

POB: USD 700 Miliar

Pendapatan/ kapita

USD 3.000

POB: “USD 4,0 - 4,5 triliun

Pendapatan/kapita

diperkirakan” USD

14.250 - 15.500 (negara

berpendapatan tinggi

POB: “USD 15,0 -17,5 triliun

Pendapatan/kapita

diperkirakan” USD

44.500 - 49.000

Page 38: Laporan Sintesis Hasil CB

35LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

dalam pembiayaan pembangunan melalui APBN da APBD. Selain itu, semakin maju

perekonomian suatu negara, maka semakin kecil pula proporsi anggaran pemerintah dalam

pembangunan ekonomi, yang pada akhirnya dinamika ekonomi suatu negara tergantung

pada dunia usaha yang meliputi BUMN, BUMD dan swasta domestik maupun asing. MP3EI

merefl eksikan pentingnya peran dunia usaha dengan menekankan pentingnya evaluasi

regulasi yang dapat mendorong peran tersebut, dan secara khusus peran dunia usaha

terhadap pengembangan indrfastruktur dengan pengembangan konsep Public-Private

Partnership (PPP).

Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menetapkan sejumlah

program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi

dan kebijakan. MP3EI memiliki 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi,

industri, kelautan, pariwisata dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis.

Kedelapan program tersebut mencakup 22 kegiatan ekonomi utama.

Dokumen MP3EI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembagunan

Nasional, khususnya menjadi dokumen yang terintegrasi dan komplementer terhadap

dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 khususnya untuk

percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Selain itu, MP3EI juga dirumuskan

dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Page 39: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING36

Dinamika Perubahan

• Lingkungan global (krisis 2008, BRICS, dll)

• Komitmen internasional (G20, APEC, FTA, ASEAN, Climate Change)

• Perkembangan sosial-economi domestik

Sistem Perencanaan

dan Penganggaran

UU 25/2004-UU 17/2003

RPJPN 2005-2025

RPJMN

2010-2014

RKP/RAPBN

Tuntutan untuk

mempercepat transformasi

ekonomi nasional

Masterplan Percepatan &

Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia

Rencana Aksi/Proyek

RAN-GRK REDD

RTRWN

Investasi

Swasta dan PPP

ll

1

Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. MP3EI 2011-2025

Gambar 3.2. Posisi MP3EI dalam Rencana Pembangunan Pemerintah dan Isu Strategis

RAN GRK yang merupakan komitmen nasional terhadap perubahan iklim telah menjadi isu

strategis dalam MP3EI. Sejak Conferences of the Parties (COP) ke 13 United Nation Framework

Convention on Climate Cange (UNFCCC) di Bali tahun 2007 dan setelah penandatanganan

letter of intent (LoI) antara Indonesia dengan Norwegia untuk melakukan kerjasama REDD+

dalam rangka mengatasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh degradasi hutan dan

deforestasi serta degradasi lahan gambut di Indonesia, telah memberikan kesempatan

kepada Indonesia untuk melangkah melaksanakan pembangunan karbon rendah (low

carbon development) melalui implementasi REDD+ dalam kerangka RAN GRK.

3.2 Prinsip Dasar

Strategi utama, program dan kegiatan, serta inisiatif strategi yang ada di dalam MP3EI

memiliki prinsip dasar dan prasyarat untuk dapat mewujudkan tujuan MP3EI. Keberhasilan

pelaksanaan MP3EI sangat ditentukan oleh prinsip-prinsip dasar serta prasyarat sebagai

berikut:

Perubahan harus terjadi untuk seluruh komponen bangsa

Perubahan pola pikir dimulai dari pemerintah dengan birokrasinya

Page 40: Laporan Sintesis Hasil CB

37LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Perubahan membutuhkan semangat kerja keras dan keinginan untuk membangun

kerjasama dalam kompetisi yang sehat

Produktivitas, inovasi dan kreatifi tas didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi

(Iptek) menjadi salah satu pilar perubahan

Penigkatan jiwa kewirausahaan menjadi faktor utama pendorong perubahan

Dunia usaha berperan penting dalam pembangunan ekonomi

Kampanye untuk melaksanakan pembangunan dengan mempertimbangkan prinsip-

prinsip pembangunan yang berkelanjutan

Kampanye untuk perubahan pola pikir untuk memperbaiki kesejahteraan dilakukan

secara luas oleh seluruh komponen bangsa

Adapun prasyarat yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan MP3EI yaitu meliputi:

Peran pemerintah dan dunia usaha

Reformasi Kebijakan Keuangan Negara

Reformasi birokrasi

Penciptaan konektivitas antar wilayah di Indonesia

Kebijakan ketahanan pangan, air dan energi serta

Jaminan sosial dan Penanggulangan kemiskinan.

Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,

menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara

untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan

pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan

masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam

konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi

yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari

pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

3.3 Strategi Utama

Untuk mencapai keberhasilan MP3EI, selain berlandaskan pada prinsip dasar dan adanya

prasyarat keberhasilan, juga ditentukan oleh strategi MP3EI, yaitu (1) Pengembangan

potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, (2) Penguatan konektivitas nasional dan (3)

Penguatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi

(Iptek) nasional.

a. Pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi

Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi diselenggarakan berdasarkan

pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada

maupun yang baru. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan

Page 41: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING38

sektoral dan regional. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian

dilakukan dengan mengembangkan kluster industri dan Kawasan Industri Khusus

(KEK). Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan

konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan

ekonomi dengan lokasi kegiatan serta infrastrukur pendukungnya. Secara keseluruhan,

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut menciptakan Koridor

Ekonomi Indonesia.

b. Penguatan konektivitas nasional

Penguatan konektivitas nasional adalah strategi utama MP3EI yang kedua. Keberhasilan

percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada

kekuatan konektivitas ekonomi nasional (intra dan inter wilayah) maupun konektivitas

ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia. Konektivitas nasional merupakan

pengintegrasian 4 (empat) elemen kebijakan nasional yang terdiri dari Sistem Logistik

Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Pengembanga Wilayah

(RPJMN/RTRWN), Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Hasil dari pengintegrasian

keempat komponen konektivitas nasional tersebut selanjutnya menjadi rumusan visi

konektivitas nasional, yaitu “Terintegrasi secara lokal, terhubung secara global”

c. Penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional

Strategi utama ketiga adalah penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional. Peran

sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi, oleh

karena itu, penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional menjadi salah satu strategi

utama MP3EI. Pada era perekonomian yang bebasis pengetahuan, mesin pertumbuhan

ekonomi sangat bergantung pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk inovasi.

Untuk mendorong peran kemampuan SDM dan iptek nasional, sistem pendidikan

dan pelatihan haruslah menciptakan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi

dengan cepat terhadap pertumbuhan sains dan teknologi.

3.2 Program dan Kegiatan

Indonesia menjadi salah satu penghasil dan eksportir beberapa komoditas penting sumber

daya alam di dunia. Sampai dengan tahun 2010, komoditas kelapa sawit, Indonesia adalah

penghasil dan eksportir terbesar di dunia, kemudian untuk komoditi kakao dan timah sebagai

produsen terbesar kedua di dunia. Untuk komoditi nikel, Indonesia memiliki cadangan

terbesar keempat di dunia, sedangkan bauksit memiliki cadangan terbesar ketujuh di

dunia, selain itu memiliki komoditas unggulan lainnya, seperti besi baja, tembaga, karet dan

perikanan. Indonesia juga memiliki cadangan energy yang amat besar, misalnya batubara,

panas bumi, gas alam, dan air. Selain kekayaan sumber daya alamnya, ketersediaan sumber

daya manusia, kondisi geografi s serta posisi Indonesia dalam dinamika regional dan global

membentuk karakteristik potensi dan tantangan pembangunan ekonomi Indonesia.

Page 42: Laporan Sintesis Hasil CB

39LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Setelah mempertimbangkan potensi dan tantangan pembangunan ekonomi Indonesia,

melalui sejumlah kesepakatan yang dibangun bersama-sama dengan seluruh pemangku

kepentingan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi menetapkan sejumlah

program utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategi

dan kebijakan. Program utama terdiri atas 8 program, yaitu, (1) Pertanian, (2) Pertambangan,

(3) Energi, (4) Industri, (5) Kelautan, (6) Pariwisata, (7) Telematika, dan (8) Pengembangan

kawasan strategis.

Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, yaitu sebagai

berikut:

Pertanian; Pertanian Pangan, Kelapa Sawit, Karet, Kakao, Perkayuan, Peternakan

Pertambangan; Bouksit, Tembaga, Nikel

Energi; Batubara, Minyak dan Gas

Industry; Peralatan Transportasi, Tekstil, Makanan Minuman, Besi Baja, Alutsista,

Kelautan; Perkapalan, Perikanan

Pariwisata; Pariwisata

Telematika; Telematika

Pengembangan kawasan strategis; Jabodetabek Area, KSN Selat Sun

Page 43: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING40

22

Kegiatan

Ekonomi

Utama Karet

Kakao

Peternakan

PerkayuanMinyak

dan Gas

Batu-

bara

Nikel

Tembaga

Bauksit

Perikanan

Pariwisata

Pertanian

Pangan

Jabodetabek

Area

KSN

Selat

Sunda

Peralatan

Transportasi

Telematika Perkapalan

Tekstil

Makanan

Minuman

Besi

Baja

Alutsista

Kelapa

Sawit

Gambar 3.3. Kegiatan Ekonomi Utama MP3EI

Kegiatan ekonomi utama ini selanjutnya menjadi muatan pokok penyusunan inisiatif

strategis. Berdasarkan potensi dan tantangan pembangunan ekonomi di masing-masing

Koridor Ekonomi, inisiatif strategis masing-masing Koridor Ekonomi memiliki komponen

dan muatan yang berbeda-beda.

Page 44: Laporan Sintesis Hasil CB

41LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

3.3 Insiatif Strategis

Koridor Ekonomi dibentuk berdasarkan identifi kasi potensi wilayah ekonomi di masing

masing koridor ekonomi, dan selain itu, di setiap Koridor Ekonomi juga memiliki kegiatan

ekonomi utama serta kegiatan ekonomi lainnya. Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki

kegiatan ekonomi utama dan kegiatan ekonomi lainnya yang berbeda-beda. Namun secara

keseluruhan, kegiatan ekonomi utama maupun kegiatan ekonomi lainnya, tercakup dalam

22 kegiatan ekonomi MP3EI. Kegiatan ekonomi utama selanjutnya membentuk suatu

inisiatif strategis MP3EI di suatu Koridor Ekonomi. Secara lengkap, muatan inisiatif strategi

MP3EI Koridor Ekonomi terdiri dari kegiatan ekonomi utama, lokus kegiatan, pelaku kegiatan,

infrastruktur pendukung dan besaran nilai investasi kegiatan ekonomi. Keseluruhan muatan

membentuk suatu sistem percepatan dan perluasan pembangunan eknomi di suatu

Koridor Ekonomi.

Land-based Products

& EnergyMining & Energy

Agriculture, Farming

& Fisheries

Industry & Service

Tourism & Food

Security

Natural & Human

Resources

12

4

5

63

Gambar 3.4. Koridor Ekonomi MP3EI

Page 45: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING42

4. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam MP3EI

MP3EI adalah dokumen rencana pembangunan ekonomi yang menjadi bagian tidak terpisahkan

dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Undang-Undang No

17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, menyatakan bahwa

pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang

meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk melaksanakan UUD 1945.

Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung

tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi.

Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang

tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.

Pernyataan ini adalah substansi dari pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep

pembangunan berkelanjutan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional juga didasarkan

pada pertimbangan bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan

prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi prinsip dasar MP3EI sebagai perwujudan amanat

RPJPN. Sebagai prinsip dasar, maka pembangunan berkelanjutan perlu diintegrasikan dalam

muatan-muatan MP3EI, yang saat ini belum tampak di MP3EI. Instrumen integrasi pembangunan

berkelanjutan telah dituangkan dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Instrumen integrasi pembangunan berkelanjutan

dalam PPLH meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan

dan penegakan hukum. Dalam aspek perencanaan pembangunan, khususnya PPLH, telah

ditetapkan instrumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).

RPPLH dilaksanakan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. RPPLH menjadi landasan

perencanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Selanjutnya untuk kebijakan,

rencana dan program pembangunan suatu wilayah telah ditetapkan Kajian Lingkungan Hidup

Strategis (KLHS) sebagai instrumen pengendalian. RPPLH dan KLHS adalah instrumen PPLH

pada tataran perencanaan pembangunan. Berdasarkan kebijakan KLHS, maka MP3EI adalah

sebuah kebijakan yang menjadi obyek KLHS, namun demikian, digunakannya pembangunan

berkelanjutan sebagai prinsip dasar MP3EI, tetap harus terwujud dalam muatan-muatan MP3EI.

4.1 Tema Pembangunan Koridor Ekonomi

MP3EI memiliki 6 Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu (1) Koridor Ekonomi Sumatera, (2)

Koridor Ekonomi Jawa, (3) Koridor Ekonomi Kalimantan, (4) Koridor Ekonomi Sulawesi, (5)

Koridor Ekonomi Bali Nusa Tenggara dan (6) Koridor Ekonomi Papua- Kepulauan Maluku.

Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki tema pembangunan yang berbeda, sesuai

dengan potensi ekonomi wilayah bersangkutan. Tema pembangunan masing-masing

Koridor Ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut:

Page 46: Laporan Sintesis Hasil CB

43LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Koridor Ekonomi Sumatera

Memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan

Lumbung Energi Nasonal”

Koridor Ekonomi Jawa

Memiliki tema pembangunan sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”

Koridor Ekonomi Kalimantan

Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang

dan Lumbung Energi Nasional”

Koridor Ekonomi Sulawesi

Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian,

Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional

Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara

Memiliki tema pembangunan sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung

Pangan Nasional”

Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku

Memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi,

dan Pertambangan Nasional”

4.2 Pusat Ekonomi dan Kegiatan Ekonomi Utama

Masing-masing Koridor Ekonomi memiliki pusat ekonomi dan kegiatan ekonomi utama

yang berbeda, sesuai dengan potensi ekonomi wilayah bersangkutan. Kegiatan ekonomi

utama masing-masing Koridor Ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut:

Koridor Ekonomi Sumatera memiliki 11 Pusat Ekonomi, yang merupakan ibukota

provinsi serta kota lain yang memiliki peran ekonomi penting, yaitu Banda Aceh,

Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Tanjungpinang, Pangkal Pinang, Padang, Bandar

Lampung, Bengkulu, dan Serang. Pusat ekonomi tersebut sebagai pusat dari 6 kegiatan

ekonomi utama, yaitu kelapa sawit, karet, batubara, perkapalan, besi baja dan kawasan

strategi nasional (KSN) Selat Sunda.

Di Koridor Ekonomi Jawa terdapat 4 pusat ekonomi, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang,

Yogyakarta dan Surabaya. Kegiatan ekonomi utamanya meliputi makanan-minuman,

tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, telematika, alutsista, dan Jabodetabek Area.

Koridor Ekonomi Kalimantan memiliki 4 pusat ekonomi, yaitu Pontianak, Palangkaraya,

Banjarmasin dan Samarinda. Kegiatan ekonomi utama yang ada di Koridor Ekonomi ini

meliputi besi baja, bouksit, kelapa sawit, batu bara, migas, dan perkayuan, dengan empat

Pusat Ekonomi, yaitu Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin dan Samarinda.

Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki 6 pusat ekonomi, yaitu Makassar, Kendari, Mamuju,

Palu, Gorontalo, dan Manado. Kegiatan ekonomi utama di Koridor Ekonomi ini meliputi

pertanian pangan (padi, jagung, kedelai dan ubi kayu), kakao, perikana, nikel, serta

minyak dan gas bumi (migas).

Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara memiliki 4 pusat ekonomi yang terdapat di Koridor

Page 47: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING44

Ekonomi Bali-Nusa Tenggara adalah Denpasar, Lombok, Kupang dan Mataram, dengan

tiga kegiatan ekonomi utama yang meliputi pariwisata, perikanan dan peternakan.

Di Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku terdapat tujuh pusat ekonomi, yaitu Sofi fi ,

Ambon, Sorong, Manokwari, Timika, Jayapura, dan Merauke. Kegiatan ekonomi utama

di Koridor Ekonomi ini yaitu pertanian pangan – MIFEE, tembaga, nikel, minyak dan gas

bumi, serta perikanan.

4.3 Kebutuhan Muatan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam MP3EI

Tema ekonomi beserta kegiatan ekonomi utama didasarkan pada potensi wilayah

ekonomi di masing-masing Koridor Ekonomi. Dalam paradigma pembangunan

berkelanjutan, pembangunan ekonomi di setiap Koridor Ekonomi perlu memperhatikan

aspek keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial yang menjadi pilar pembangunan

berkelanjutan di Koridor Ekonomi bersangkutan. Operasionalisasi perwujudan prinsip

pembangunan berkelanjutan dalam MP3EI didasarkan pada substansi RPPLH dan KLHS

sebagai instrumen pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan,

rencana dan program pembangunan. RPPLH didasarkan pada daya dukung dan daya

tampung lingkungan hidup, serta memperhatikan (1) proses dan fungsi lingkungan hidup,

(2) produktivitas lingkungan hidup, dan (3) keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan

masyarakat. Selain itu sebagai kebijakan perencanaan pembangunan, MP3EI perlu disertai

KLHS yang memuat kajian tentang (1) kapasitas daya dukung dan daya tampung, (2)

perkiraan dampak dan resiko lingkungan hidup, (3) kinerja layanan/jasa ekosistem, (4)

efi siensi pemanfaatan sumber daya alam, (5) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi

terhadap perubahan iklim, dan (6) tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Selain memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari percepatan dan

perluasan pembangunan ekonomi yang direncanakan, MP3EI juga perlu menggambarkan

perwujudan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan substansi RPPLH dan KLHS, dan

mempertimbangkan MP3EI sebagai perencanaan pembangunan ekonomi, operasionalisasi

pembangunan berkelanjutan dalam muatan-muatan MP3EI seharusnya meliputi 4 muatan

prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) keberlanjutan cadangan sumber daya

alam yang dieksploitasi, (2) Keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan

untuk mendukung pembangunan ekonomi di masa datang, (3) perkiraan dampak dan

resiko lingkungan hidup, dan (4) keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat

terutama masyarakat di wilayah pembangunan. Suatu perencanaan pembangunan

ekonomi dianggap telah mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan apabila memiliki

4 muatan pembangunan berkelanjutan tersebut secara nyata.

Tema pembangunan ekonomi, kegiatan ekonomi utama, serta inisiatif strategis di masing-

masing Koridor Ekonomi serta proyeksi capaian percepatan dan perluasan pembagunan

ekonomi MP3EI memberikan gambaran bahwa 4 muatan pembangunan berkelanjutan

belum terwujud dalam dokumen MP3EI tersebut.

Page 48: Laporan Sintesis Hasil CB

45LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Page 49: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING46

Page 50: Laporan Sintesis Hasil CB

47LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

MODUL 2 :PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,

menyatakan bahwa pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara

untuk melaksanakan UUD 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan

pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan

masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam

konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi

yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari

pembangunan berkelanjutan, yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional adalah rencana pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional juga didasarkan pada pertimbangan

bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip

pembangunan berkelanjutan dan berwawaskan lingkungan.

Perubahan paradigma dari pembangunan business as usual saat ini yang mengedepankan

pembangunan ekonomi saja menjadi pembangunan berkelanjutan menjadi semakin

penting dengan permasalahan lingkungan global dan lokal yang berkembang saat ini.

Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Rencana

Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Implementasi REDD+

di Indonesia dapat berpotensi kurang memberikan kontribusi terhadap pencapaian

pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat jika tidak diletakkan dalam kerangka

pembangunan berkelanjutan yang dilandaskan pada pilar rasionalitas lingkungan, sosial

dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, kapasitas pemangku kepentingan pembangunan

nasional dalam memahami paradigma pembangunan berkelanjutan menjadi modal dasar

tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pembangunan nasional, termasuk

implementasi REDD+ ataupun MP3EI.

Untuk mendukung integrasi REDD+ dalam pembangunan nasional, khususnya aspek

pengarusutamaan REDD+ dalam perencanaan pembangunan serta greening MP3EI bidang

REDD+, dibutuhkan capacity building paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai

Page 51: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING48

modal dasar kapasitas integrasi REDD+ dalam perencanaan pembangunan nasional.

1.2 Deskripsi Singkat

Modul Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan ini meliputi

beberapa materi, yaitu (1) landasan hukum dan landasan teori pembangunan berkelanjutan,

(2) pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, dan (3) pembangunan rendah karbon

sebagai tujuan integrasi REDD+ dalam pembangunan nasional.

Materi landasan hukum pembangunan berkelanjutan menjelaskan kebijakan yang telah

ditetapkan sebagai landasan hukum pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam

sistem perencanaan pembangunan. Materi landasan teori pembangunan berkelanjutan

menjelaskan teori-teori pembangunan berkelanjutan yang menjadi dasar penetapan

kebijakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.

Dalam materi pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dijelaskan operasionalisasi

pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan-kebijakan, khususnya kebijakan perencanaan

pembangunan, yaitu dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025

(RPJMN) dan kebijakan lingkungan hidup, yaitu dalam Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (PPLH).

Materi berikutnya yaitu pembangunan rendah karbon yang menjelaskan peran RAN-

GRK dan REDD+ dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui integrasi

pembangunan rendah karbon dalam perencanaan pembangunan.

1.3 Tujuan

Modul Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Pembangunan ini adalah

materi yang menjadi bagian capacity building pengarusutamaan REDD+ dalam perencanaan

pembangunan dan greening MP3EI bidang REDD+ dengan tujuan untuk membangun

paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai modal dasar integrasi REDD+ dan

kegiatan MP3EI dalam perencanaan pembangunan.

2. Landasan Hukum dan Teori

2.1 Landasan Hukum

Ada beberapa landasan hukum yang menjadi dasar kewajiban untuk menerapkan

pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Berikut beberapa peraturan tersebut dan

penjabarannya:

a. Undang-undang Dasar 1945

Pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan hidup telah diamanatkan oleh

UUD 1945, yaitu pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4). Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945

Page 52: Laporan Sintesis Hasil CB

49LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

secara jelas menyatakan bahwa: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak

untuk memperoleh pelayanan lingkungan hidup serta pelayanan kesehatan yang baik

merupakan hak asasi manusia. Hadirnya ketentuan pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut

telah menegaskan bahwa norma lingkungan hidup telah mengalami konstitusionalisasi

menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Artinya, segala kebijakan

dan tindakan pemerintahan dalam pembangunan haruslah tunduk kepada ketentuan

mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh

ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan di

bawahnya yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan

ini.

Selanjutnya, dalam ketentuan pasal 33 ayat (4) dinyatakan bahwa: perekonomian nasional

diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efi siensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

dengan menjaga keseimbangan dan kemajuan ekonomi nasional. Perekonomian

nasional berdasar atas demokrasi ekonomi yang dimaksud haruslah mengandung

prinsip bekerlanjutan dan berwawasan lingkungan. Oleh sebab itu, berbagai undang-

undang di bidang lingkungan hidup haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan

berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan

hidup.

Dengan diterimanya kedua prinsip tersebut menjadi dasar dalam rumusan hukum

tertinggi di Indonesia, menunjukkan bahwa semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang

kita kembangkan haruslah mengacu dan atau tidak boleh bertentangan dengan prinsip

yang diatur dalam UUD 1945. UUD sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan

kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan tertinggi yang harus dijadikan pegangan

bersama dalam segenap aktivitas penyelenggaraan negara.

b. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Undang-

undang no. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

GBHN tahun 1999-2004 menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan telah

diletakkan sebagai kebijakan. Pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah harapan

yang harus diwujudkan. Hal ini kemudian yang mendasari dibentuknya institusi atau

lembaga yang membidangi lingkungan hidup. Kelembagaan ini mempunyai peranan

penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di

Indonesia.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional adalah dokumen pengganti hilangnya

GBHN. Dalam RPJPN, perubahan iklim dan pemanasan global dianggap sebagai tantangan

Page 53: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING50

bagi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Dalam bidang sumber daya

alam dan lingkungan hidup, RPJPN menyebutkan bahwa jasa-jasa lingkungan adalah

penopang hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan itu adalah keanekaragaman hayati,

penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam dan udara bersih.

Oleh sebab itu, aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan sosial adalah aspek penting

untuk keberlangsungan pembangunan di Indonesia dan umat manusia. Dalam RPJMN,

pelaksanaan pembangunan dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa

sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi

kebutuhannya. Pernyataan ini adalah substansi dari pembangunan berkelanjutan,

yang berarti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional adalah rencana

pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

c. Undang-undang tentang lingkungan hidup (UU no. 14/1982 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan Hidup; UU no. 23/2007 tentang Pengelolaan

Lingkungan hidup; dan UU no.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup).

Undang-undang no. 14 tahun 1982 mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan

pelaksanaan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang

dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan”. Pasal 4 huruf d undang-undang

ini disebutkan juga bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah

“terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi

sekarang dan mendatang”. Pembangunan berwawasan lingkungan dirumuskan dalam

pasal 1 angka 13 yang menyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan

adalah upaya sadar dan terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara

bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu

hidup.

Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan dengan

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini

menggunakan istilah baru lagi yatu “Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan

Lingkungan Hidup. “Konsideran UU no. 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang

mengapa kita harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan

Lingkungan Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka

mendayagunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti

diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan

Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan

memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Pasal 1 butir

3 menyebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan

Page 54: Laporan Sintesis Hasil CB

51LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk

menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa

depan.

UU no. 23 tahun 1997 selanjutnya diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-undang

no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada UU

ini masih menggunakan istilah pembangunan berkelanjutan, hanya saja menekankan

juga aspek perlindungan. Pasal 1 butir 2 menjelaskan arti perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sementara, rencana perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah

perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya

perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

d. Undang-undang no. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Undang-undang ini menjabarkan tentang arah kebijakan-kebijakan pembangunan

bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Arah kebijakan tersebut sebagai

berikut:

● Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat

bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.

● Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup

dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan

menerapkan teknologi ramah lingkungan.

● Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan

pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang

diatur dengan undang-undang.

● Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,

pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat

lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan undang-undang.

● Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan,

keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan

yang tidak dapat balik.

Page 55: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING52

e. Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan tampak dengan

jelas dalam UU no. 41 Tahun 1999. Pasal 3 dari undang-undang ini misalnya menentukan:

“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

yang berkeadilan dan berkelanjutan:

● Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang

proporsional.

● Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi

lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya

dan ekonomi yang seimbang dan lestari.

● Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.

● Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan

masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga

mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap

akibat perubahan eksternal, dan

● Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut, undang-undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan

yang berkelanjutan atau “sustainable forest management” .

f. Undang-undang tentang pengelolaan sumber daya alam (UU no. 5 tahun 1960 tentang

Ketentuan Pokok Agraria; UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan;

Undang-undang no. 11 tahun 1974 tentang Pengairan).

Semua undang-undang ini menekankan tentang pengelolaan sumber daya alam yang

berkelanjutan atau memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Misalnya di pertambangan

menerapkan konsep Good Mining Practices. Prinsip keberlanjutan mengandung

makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi

mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya

kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup, harus

dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuannya

dalam meningkatkan pembangunan.

2.2 Teori Pembangunan Berkelanjutan

2.2.1 Defi nisi

Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian

sebagai pembangunan yang “memperhatikan” dan “mempertimbangkan” dimensi

lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah menjadi topik pembicaraan dalam

konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang

menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor

Page 56: Laporan Sintesis Hasil CB

53LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

lingkungan.1 Selanjutnya berkembang pula berbagai defi nisi dari apa yang dimaksud

dengan pembangunan berkelanjutan. Berikut beberapa defi nisi dari pembangunan

berkelanjutan:

a. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah

bagaimana dalam pembangunan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa

mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

b. Laporan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia (2005), pembangunan

berkelanjutan adalah pembangunan yang berlandaskan tiga tiang utama

(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.

c. Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali

konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “keragaman

budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati

bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai

pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan

intelektual, emosional, moral, dan spiritual”. Dalam pandangan ini, keragaman

“pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu

sendiri terbatas.

d. World Commission on Environment and Development/WCED (1988),

pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang sudah hadir sejak lama sebagai

anti tesis antas konsep pembangunan modern yang eksploitatif. Prinsip utama

pembangunan berkelanjutan adalah sebuah pembangunan yang mencukupi

kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang

untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.

Elemen-elemen pokok pembangunan berkelanjutan menurut WCED (1988) adalah

sebagai berikut:

a. Tercukupinya kebutuhan dasar.

b. Pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efi sien karena ada batas sumber daya

lingkungan menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia.

c. Teknologi ramah lingkungan.

d. Demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber daya.

e. Pembatasan jumlah penduduk.

Berdasarkan dari defi nisi-defi nisi di atas, maka pada dasarnya pembangunan

berkelanjutan itu memiliki 3 (tiga) kaki, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan

sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-

syarat tercapainya proses pembangunan berkelanjutan dari berbagai sumber

dideskripsikan pada Tabel 1.1 berikut.

1Lihat Abdurrahman, 2003 “Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia”. Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Denpasar, 14-18 Juli 2003. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

Page 57: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING54

Tabel 1.1. Pemikiran-pemikiran tentang syarat-syarat tercapainya proses pembangunan

berkelanjutan

Dimensi

Sumber Pikiran

Brundtland (1987) ICPQL (1996) Becker et al (1997)

Sosial

Pemenuhan kebutuhan dasar

bagi semua

Keadilan sosial, kesetaraan

gender, rasa aman, menghargai

diversitas budaya

Penekanan pada proses

pertumbuhan sosial yang

dinamis, keadilan sosial dan

pemerataan

EkonomiPertumbuhan ekonomi untuk

pemenuhan kebutuhan dasar

Ekonomi kesejahteraan Ekonomi kesejahteraan

LingkunganLingkungan untuk generasi

sekarang dan yang akan datang

Keseimbangan lingkungan yang

sehat

Lingkungan adalah dimensi

sentral dalam proses sosial

Sumber: Gondokusumo (2005)

Tiga aspek di atas, sering juga dikenal 3 (tiga) pro kriteria pembangunan berkelanjutan,

yaitu:

a. Pro-keadilan sosial, artinya keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya

alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan gender.

b. Pro-ekonomi kesejahteraan, artinya pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk

kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi

inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.

c. Pro-lingkungan berkelanjutan, artinya etika lingkungan non-antroposentris

menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan

kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan

mengutamakan peningkatan kualitas hidup non-material.

2.2.2 Prinsip pembangunan berkelanjutan

Memang diakui bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana

namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan

multi-interpretasi. Beberapa cara pandang tersebut antara laian:

a. Menurut Heal dalam Fauzi (2004) Konsep keberlanjutan ini paling tidak

mengandung dua dimensi: Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan

tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Kedua

adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan

lingkungan.

b. Menurut Pezzey dalam Fauzi (2004) melihat aspek keberlanjutan dari sisi yang

berbeda. Keberlanjutan dari sisi statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya

alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan

Page 58: Laporan Sintesis Hasil CB

55LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

dari sisi dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak

terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.

Berkembangnya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk

sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland

yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang

memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”2

Mengacu pada konsep keberlanjutan tersebut, maka dapat dirinci menjadi 3

(tiga) aspek pemahaman, yaitu: (a) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai

pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu

untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya

ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri;

(b) Keberlajutan lingkungan, dimana sistem keberlanjutan secara lingkungan harus

mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya

alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan

keanekaraman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak

termasuk kategori sumber-sumber ekonomi; (c) Keberlanjutan sosial, keberlanjutan

secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan

layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Dari berbagai konsep yang ada, dapat dirumuskan prinsip dasar dari setiap elemen

pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini ada empat komponen yang perlu

diperhatikan yaitu pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi dan perspektif

jangka panjang (Jaya, 2004):

a. Pembangunan yang menjamin pemerataan dan keadilan sosial

Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi

hal-hal seperti: meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi, meratanya

peran dan kesempatan perempuan, meratanya ekonomi yang dicapai dengan

keseimbangan distribusi kesejahteraan.

b. Pembangunan yang menghargai keanekaragaman hayati

Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa

sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa

datang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan

ekosistem. Pemeliharaan keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan

yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi

berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti.

c. Pembangunan yang menggunakan pendekatan integratif.

Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan

alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak.

2 Lihat Muhajir, 2010 “REDD di Indonesia Kemana Akan Melangkah?” HuMa: Jakarta

Page 59: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING56

Hanya dengan memanfaatkan pengertian tentang kompleksnya keterkaitan

antara sistem alam dan sistem sosial. Dengan menggunakan pengertian ini maka

pelaksanaan pembangunan yang lebih integratif merupakan konsep pelaksanaan

pembangunan yang dapat dimungkinkan.

d. Pembangunan yang meminta perspektif jangka panjang.

Masyarakat cenderung menilai masa kini lebih dari masa depan, implikasi

pembangunan berkelanjutan merupakan tantangan yang melandasi penilaian

ini. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pelaksanaan penilaian yang

berbeda dengan asumsi normal dalam prosedur discounting. Persepsi jangka

panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan.

2.2.3 Indikator pembangunan berkelanjutan

Djajadiningrat (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan

perspektif jangka panjang. Secara ideal keberlanjutan pembangunan membutuhkan

pencapaian keberlanjutan dalam hal:

a. Keberlanjutan ekologis

Keberlanjutan ekologis merupakan prasyarat pembangunan demi keberlanjutan

kehidupan karena akan menjamin keberlanjutan eksistensi bumi. Dikaitkan

dengan kearifan budaya, masing-masing suku di Indonesia memiliki konsep yang

secara tradisional dapat menjamin keberlangsungan ekologis yang dapat diambil

fi losofi nya tekait harmonisasi dengan alam.

b. Keberlanjutan ekonomi

c. Keberlanjutan ekonomi yang terdiri atas keberlanjutan ekonomi makro dan

keberlanjutan ekonomi sektoral merupakan salah satu aspek keberlanjutan

ekonomi dalam perspektif pembangunan. Dalam keberlanjutan ekonomi

makro tiga elemen yang diperlukan adalah efi siensi ekonomi, kesejahteraan

ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pemerataan dan distribusi

kemakmuran. Sementara itu keberlanjutan ekonomi sektoral yang merupakan

keberlanjutan ekonomi makro akan diwujudkan dalam bentuk kebijaksanaan

sektoral yang spesifi k. Kegiatan ekonomi sektoral ini dalam bentuknya yang

spesifi k akan mendasarkan pada perhatian terhadap sumber daya alam yang

bernilai ekonomis sebagai kapital.

d. Keberlanjutan sosial dan budaya

Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dinyatakan dalam keadilan sosial. Hal-

hal yang merupakan perhatian utama adalah stabilitas penduduk, pemenuhan

kebutuhan dasar manusia, pertahanan keanekaragaman budaya dan partisipasi

masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

e. Keberlanjutan politik

Di bidang keberlanjutan politik terdapat pokok pikiran seperti perhatian terhadap

HAM, kebebasan individu, hak-hak sosial, politik dan ekonomi, demokratisasi serta

kepastian ekologis.

Page 60: Laporan Sintesis Hasil CB

57LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

f. Keberlanjutan pertahanan dan keamanan

Keberlanjutan di bidang pertahanan dan keamanan adalah keberlanjutan

kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan

gangguan. Persoalan berikutnya adalah harmonisasi antar struktur (suprastruktur

dan infrastruktur) dalam menghadapi atau melaksanakan idealisasi pembangunan

yang berkelanjutan.

3. Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan

Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan ke dalam Rencana Pembangunan adalah proses

pengintegrasian konsep, prinsip, strategi, dan pilar pembangunan berkelanjutan ke dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (PPLH) yang tercermin baik dalam perencanaan, penganggaran mapun

pelaksanaan kebijakan pembangunan.

3.1 Prinsip Pengarusutamaan

Prinsip pengarusutamaan adalah pencapaian indikator pembangunan berkelanjutan yang

merupakan bagian integral dari pencapaian tujuan pembangunan nasional yang akan

dilaksanakan oleh semua sektor pembangunan dengan mempertimbangkan efi siensi,

efektivitas, keadilan, transparansi dan akuntabilitas. Beberapa prinsip umum yang harus

diperhatikan dalam melaksanakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan

tersebut adalah:

a. Cara berpikir yang integratif

b. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari

kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan,

mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.

c. Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga

saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambil keputusan dalam

pembangunan adalah kerangka pikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkan

hasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Kondisi ini sering kali membuat

keputusan yang tidak memperhitungkan akibat dan implikasi pada jangka panjang.

d. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati.

Untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk

masa kini dan masa mendatang. Selain itu, tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan

dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang

merata terhadap berbagai tradisi masyarakat, sehingga dapat lebih dimengerti oleh

masyarakat.

e. Distribusi keadilan sosial ekonomi.

Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya

pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan

dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada

Page 61: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING58

setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan

ekonomi.

3.2 Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional atau Daerah

Dokumen perencanaan pembangunan nasional berupa RPJP 2005-2025 dikukuhkan

dengan UU no. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

2005-2025. RPJP Nasional merupakan dokumen perencanaan pengganti hilangnya Garis-

garis Besar Haluan Negara (GBHN). RPJPN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program

presiden. RPJPN selanjutnya menjadi pedoman bagi penyusunan Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta acuan bagi penyusunan RPJP Daerah.

Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan aspek

lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam menyusun kerangka strategis, struktur kelembagaan,

strategi dan kebijakan nasional, sektoral dan wilayah, serta dalam proses perencanaan dan

pelaksanaan kegiatan pembangunan. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan juga

harus dilakukan dengan memperhatikan permasalahan strategis lingkungan dan sosial

yang ada.

Langkah-langkah kebijakan dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan antara

lain:

a. Melanjutkan proses internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 3

(tiga) pilar utama pembangunan berkelanjutan.

b. Menjabarkan hal-hal konkrit dalam pilar kerangka kelembagaan terutama untuk

memastikan berbagai pemangku kepentingan dalam kerangka kelembagaan yang tepat

dan dapat mempercepat internalisasi 3 (tiga) prinsip pembangunan berkelanjutan; dan

c. Menyepakati ukuran-ukuran untuk pembangunan berkelanjutan yang tepat dan

dapat digunakan baik di tingkat nasional dan daerah, sehingga prinsip pembangunan

berkelanjutan dapat berjalan nyata di lapangan.

Kebijakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, RPJMN 2004-2009, RPJMN 2010-2014 serta Rencana

Kerja Tahunan telah memfokuskan kebijakan pembangunannya yang selaras dengan

arah pencapaian pembangunan berkelanjutan, yaitu dengan ditetapkannya 4 (four) track strategy: pembangunan yang pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment. Ini

menunjukkan bahwa pilar-pilar pembangunan berkelanjutan mendapatkan perhatian

yang sejajar dan perlu dilakukan secara sinergis.

Pada aspek ekonomi, pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan diupayakan dengan

penerapan model pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan atau disebut sebagai

Page 62: Laporan Sintesis Hasil CB

59LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Green Economy yang menitikberatkan pada:

a. Efi siensi penggunaan sumber daya alam termasuk energi terutama sumber daya alam

tidak terbarukan, penurunan emisi karbon serta pengembangan eko-produk dan

teknologi bersih dan rendah karbon.

b. Perubahan struktur ekonomi, pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan dilakukan

dengan menerapkan konsep ini (penerapan efi siensi energi, pemakaian energi

terbarukan, penerapan mekanisme pembangunan bersih, subsidi dan pajak lingkungan,

peningkatan transportasi massal yang rendah karbon, penerapan penangkapan ikan

berkelanjutan, penerapan pola pertanian berkelanjutan, serta pemanfaatan hasil hutan

yang lestari).

Pada aspek sosial telah diupayakan prioritas untuk pembangunan kesehatan, pendidikan,

perumahan, keamanan dan kependudukan dengan mengedepankan prinsip kesetaraan.

Tujuan pembangunan berkelanjutan juga telah disinergikan dalam pencapaian 8 (delapan)

tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals-MDGs) pada tahun 2015.

Pada aspek lingkungan hidup, aspek keberlanjutan dilakukan dengan upaya-upaya:

a. Pengendalian daya dukung dan daya tampung lingkungan, yang juga meliputi upaya

perlindungan terhadap atmosfer, pengendalian pencemaran dan kerusakan air, laut

dan pesisir, udara, serta perlindungan terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) dengan penyusunan serta evaluasi dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action

Plan (IBSAP).

b. Disusun langkah-langkah konkrit untuk menurunkan dampak perubahan iklim dengan

penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN), yang juga akan diikuti dengan Rencana

Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Penyusuan RAN/RAD GRK

ini merupakan momentum yang tepat untuk mewujudkan konsep pembangunan

berkelanjutan dalam bentuk upaya yang nyata.

3.3 Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam Undang-undang no. 32 tahun 2009 tantang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (PPLH), PPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah

lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu

tertentu. Kebijakan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam implementasi

PPLH dilakukan dengan menyusun kerangka strategis, struktur kelembagaan, strategi dan

kebijakan nasional, serta sektoral dan wilayah baik dalam tahapan proses perencanaan dan

pelaksanaan kegiatan pembangunan. Kriteria pengarusutamaan dilakukan dengan cara

yang terstruktur sebagai berikut:

a. Kegiatannya merupakan upaya integral dalam kegiatan pembangunan sektoral dan

kewilayahan.

Page 63: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING60

b. Kegiatan tidak mengimplikasikan adanya tambahan pendanaan (investasi) yang

signifi kan karena berasaskan koordinasi dan sinergi.

c. Pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial kemasyarakatan,

kondisi daya dukung, dan daya tampung lingkungan dalam proses perencanaan dan

pelaksanaannya; dan

d. Pengarusutamaan dilakukan di semua sektor dan wilayah/daerah, dan diprioritaskan

pada kegiatan strategis yang mendukung pelestarian daya dukung dan daya tampung

lingkungan serta memperhatikan asas keadilan dan keberlanjutan sosial.

Adapun upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam menerapkan prinsip pembangunan

berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, antara lain sebagai

berikut:

a. Melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), yang merupakan analisis terhadap

suatu kebijakan dengan melihat potensi dampaknya terhadap lingkungan. KLHS ini

diharapkan menjadi instrumen yang andal, sehingga setiap pengambilan putusan dan

kebijakan pembangunan dapat memperhatikan pengaruhnya terhadap daya dukung

dan daya tampung lingkungan. KLHS akan memperkuat instrumen Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (Amdal) yang selama ini telah diterapkan di tingkat kegiatan/

proyek.

b. Mensinergikan penataan ruang untuk seluruh wilayah dan provinsi dengan mengacu

kepada Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu setiap provinsi

diharuskan melakukan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) selambat-lambatnya

2 tahun setelah UU tersebut disahkan. Selain itu, dalam peraturan perundangan di

bawahnya, seperti PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

dan PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, juga dapat

menjadi pedoman bagi setiap sektor dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan.

c. Penyusunan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dan penguatan indeks

pembangunan berkelanjutan yang merupakan indeks komposit penilaian kualitas

lingkungan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.

d. Upaya pengelolaan lingkungan dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan hidup

di media air, udara dan lahan, rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan, melalui upaya

pemantauan dan analisis dampak, penerapan standar baku mutu, pengelolaan sumber

daya alam dan lingkungan hidup, serta peningkatan kualitas kelembagaan dan sumber

daya manusia.

e. Peningkatan keterlibatan masyarakat untuk aktif dalam pembangunan, mengedepankan

kearifan lokal dan pendekatan sosial dalam pelaksanaan pembangunan perekonomian;

serta

f. Pengembangan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan perekonomian yang ramah

lingkungan (green economy) demi keberlanjutan ketersediaan sumber-sumber daya

untuk kebutuhan pembangunan di masa mendatang, yang didukung oleh perubahan

Page 64: Laporan Sintesis Hasil CB

61LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

paradigma pembangunan yang berkelanjutan, melalui peningkatan penerapan

teknologi bersih dan produk yang ramah lingkungan (green product), peningkatan

efi siensi energi, pemanfaatan energi alternatif dengan mengembangkan energi baru

dan terbarukan secara optimal dari potensi sumber daya yang ada, pendanaan dengan

sumber alternatif dan peningkatan insentif bagi para pemangku kepentingan yang

menerapkan pembangunan berkelanjutan.

3.4 Rencana Tindak Lanjut yang Diperlukan

Untuk melaksanakan dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

tersebut di atas dalam Rencana Pembangunan Nasional dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, diperlukan upaya tindak lanjut ke depan, baik dalam bentuk kebijakan maupun

langkah nyata yaitu:

a. Penyusunan sistem, serta mekanisme yang andal untuk melakukan pengintegrasian

isu pembangunan berkelanjutan ke dalam program-program pembangunan secara

terarah.

b. Peningkatan sinergi antar pemangku kepentingan dalam menjalankan 3 (tiga) pilar

pembangunan berkelanjutan secara serasi dengan mengembangkan dan menerapkan

instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di setiap sektor.

c. Perluasan kesempatan akses seluruh pihak atau subsistem pembangunan untuk

menggerakkan dan membentuk sistem pembangunan berkelanjutan.

d. Penerapan konsep green economy dalam pembangunan nasional dan daerah.

e. Penerapan metode partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan dan program

pembangunan, termasuk keterlibatan masyarakat terutama masyarakat marjinal (miskin,

perempuan, pemuda dan anak-anak).

f. Penerapan pertimbangan struktur dan nilai sosial kemasyarakatan untuk pengentasan

kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam kegiatan/program pembangunan.

g. Penyusunan peraturan-peraturan operasional di bidang lingkungan hidup yang akan

diprioritaskan pada:

■ Pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi mulai dari hulu ke hilir dan lintas

sektoral, yang dititikberatkan pada penetapan daya dukung dan daya tampung

lingkungan.

■ Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

■ Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, serta

■ Penyusunan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup dan indeks kualitas

lingkungan hidup; dan

h. Penerapan sistem dan instrumen pengendalian dan pengelolaan lingkungan untuk

menahan meningkatnya laju degradasi lahan, meningkatkan kualitas air dan udara, serta

pelestarian struktur dan nilai-nilai masyarakat.

Page 65: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING62

4. Pembangunan Rendah Karbon

Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai pengganti

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyebutkan perubahan iklim dan pemanasan

global sebagai tantangan bagi keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang, pemerintah

telah mencanangkan program rendah karbon berupa Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas

Rumah Kaca (RAN-GRK). Salah satu turunan dari RAN GRK ini adalah program Reducing Emissions

from Deforestation and Forest Degradation (REDD) di sektor kehutanan. Program ini disebabkan

emisi dari tata guna lahan, deforestasi dan kebakaran lahan gambut menyumbang 61% dari total

emisi Indonesia di tahun 2005 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Berikut penjelasan dari

RAN-GRK dan REDD+.

4.1 Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)

Kebijakan dan strategi RAN-GRK Indonesia dirumuskan berdasarkan kesiapan yang sudah

dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam meratifi kasi kesepakatan UNFCCC. Hal ini

kemudian, dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2010 tentang RAN-GRK.

Mengacu pada prinsip-prinsip UNFCCC tersebut, maka pengurangan emisi dari business

as usual (BAU) tahun 2020 akan dilaksanakan sejalan dengan upaya mencapai target

pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 6-7%, sebagaimana tertuang di dalam RAN-GRK.

Jadi, strategi nasional akan mengkombinasikan antara target nasional tingkat pertumbuhan

ekonomi sebesar 6-7% dan komitmen Indonesia kepada dunia untuk emisi sebesar 26-41%.

Kebijakan dan strategi RAN-GRK akan dijabarkan sebagai berikut:

4.1.1 Kebijakan RAN-GRK

Kebijakan RAN-GRK difokuskan pada 5 (lima) sektor utama peyumbang emisi

terbesar di Indonesia. Lima bidang utama yang tercakup adalah kehutanan dan lahan

gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, serta limbah. Target penurunan

emisi GRK per bidang dapat dilihat dalam Tabel 4.1, dengan catatan target angka

penurunan dan kegiatan untuk penurunan emisi GRK ini dapat dikaji ulang sesuai

dengan metodologi, data dan informasi yang lebih baik di masa datang.

Page 66: Laporan Sintesis Hasil CB

63LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Tabel 4.1. Target Penurunan Emisi GRK Per Bidang

Sektor

Rencana Penurunan Emisi

(Giga Ton CO2e)Rencana Aksi K/L Pelaksana

26% 41%

Kehutanan dan

lahan gambut0,672 1,039

Pengendalian kebakaran hutan dan

lahan, pengelolaan sistem jaringan

dan tata air, Rehabilitasi hutan dan

lahan, HTI, HR, Pemberantasan illegal

logging, Pencegahan deforestasi, dan

pemberdayaan masyarakat

Kemenhut, KLH, Kemen

PU, dan Kementan

Pertanian 0,008 0,011

Introduksi varietas padi rendah emisi,

efi sisensi air irigasi, penggunaan pupuk

organik.

Kementan, KLH, Kemen

PU,

Energi dan

Transportasi0,038 0,056

Penggunaan bio fuel, mesin

dengan standar efi siensi BBM lebih

tinggi, memperbaiki TDM, Kualitas

transportasi umum dan jalan, demand

site management, efi siensi energi,

Pengembangan renewable enegry.

Kemenhub, Kemen

ESDM, Kemen PU, KLH

Industri 0,001 0,005Efi siensi energi, penggunaan

renewable energy, dan lain-lainKemenperin dan KLH

Limbah 0,048 0,078

Pembangunan TPA, Pengolahan

sampah dengan 3 R dan pengolahan

air limbah terpadu di perkotaan

Kemen PU dan KLH

0,767 1,189

Sumber: RAN GRK (2010)

Dalam penetapan target penurunan emisi, perlu diperhatikan bahwa Business As

Usual tingkat emisi GRK nasional perlu diperhitungkan dengan lebih akurat. Hal ini

mengingat skenario tingkat emisi Business As Usual untuk beberapa bidang masih

perlu dievaluasi. Untuk itu, RAN-GRK perlu untuk terus secara berkala ditinjau dan

dilakukan pemantauan dan evaluasi berdasarkan perkembangan terkini yang terjadi

di Indonesia. Kebijakan RAN-GRK di 5 (lima) sektor utama tersebut, sebagai berikut:

a. Kebijakan Sektor Kehutanan

Rencana Jangka Panjang Kementerian Kehutanan (2006–2025) telah

mengidentifi kasi beberapa strategi yang secara tidak langsung berkaitan dengan

sumber emisi (kebakaran hutan, konservasi hutan, dan manajemen hutan bakau).

Setidaknya terdapat tiga strategi utama yang terkait dengan hal tersebut:

● SFM – Strategi Mitigasi Hutan 1, peningkatan stok karbon hutan dan menghindari

emisi terkait dengan degradasi dan deforestasi yang tidak terencana.

● RED – Strategi Mitigasi Hutan 2, mengurangi jumlah emisi melalui manajemen

konversi lahan hutan.

● Perkebunan – Strategi Mitigasi Hutan 3 - Meningkatkan kapasitas penyerapan

karbon melalui promosi perkebunan di lahan tutupan non hutan.

Page 67: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING64

Strategi tersebut didukung dengan beberapa program, seperti program riset

dan pengembangan hutan, perencanaan makro hutan, stabilisasi area hutan,

dan program manajemen pendukung dan teknis. Lebih lanjut, terdapat pula

dua peraturan menteri; yakni Peraturan Menteri No. 68 Tahun 2008 mengenai

Penyelenggaraan Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi

Hutan dan Peraturan Menteri No. 39 Tahun 2009 mengenai Tata Cara Pengurangan

Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).

Di dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK),

sektor kehutanan memiliki potensi yang besar dalam upaya penurunan emisi GRK,

di antaranya yaitu pengelolaan hutan yang berkelanjutan dari hutan produksi,

hutan konservasi, dan hutan lindung. Serta, pembatasan konversi lahan hutan

menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan hutan pada lahan

gambut dan pencegahan kebakaran hutan. Arah kebijakan untuk penurunan

emisi GRK di bidang kehutanan diarahkan untuk mensinergikan program-

program bidang kehutanan seperti;

● Mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan program para pemangku

kepentingan di bidang kehutanan.

● Mempertajam kebijakan dan langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari

bidang kehutanan yang secara efektif dapat menyelesaikan masalah penyebab

deforestasi dan degradasi hutan.

● Mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.

● Merevitalisasi ekosistem hutan yang terdegradasi dengan pelibatan masyarakat.

● Menekan laju deforestasi dari berbagai gangguan seperti penebangan liar,

kebakaran hutan, konversi hutan untuk kepentingan non-hutan.

● Mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan hasil hutan

kayu untuk keperluan industri kehutanan.

b. Kebijakan Sektor Pertanian

Hubungan antara kegiatan pertanian dengan emisi gas rumah kaca pada dasarnya

berasal dari fungsi penanaman dan perubahan guna lahan sebagai akibat dari

kegiatan pertanian. Beberapa peraturan telah diterbitkan terkait dengan hal ini,

di antaranya; Peraturan Menteri Pertanian 50 Tahun 2007, No. 47 Tahun 2006,

No. 26 Tahun 2007, No. 14 Tahun 2009, dan lainnya. Peraturan–peraturan terkini

memperketat ketentuan untuk penggunaan lahan gambut bagi perkebunan

tertentu, misalnya sawit, tidak hanya mempertimbangkan kedalaman rawa

gambut (< 3m), tetapi juga komposisi tanah di bawah gambut, kematangan

gambut, dan kesuburan lahan gambut. Dengan demikian akan mempengaruhi

jumlah emisi gas rumah kaca.

Page 68: Laporan Sintesis Hasil CB

65LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Pada RAN-GRK, kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk

meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim dan berkontribusi dalam

penurunan emisi GRK. Hal ini dilakukan melalui pensinergian dan pengintegrasian

kebijakan, perencanaan, dan program pada seluruh pemangku kepentingan di

bidang pertanian seperti, dengan Kementerian Pekerjaan Umum (misalnya untuk

ketersediaan air dan infrastruktur), Kementerian Kehutanan (misalnya untuk

REDD+), dan Pemerintah Daerah.

Dalam Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR), kebijakan pada

sektor pertanian secara umum adalah meminimalisasi dampak negatif dari

fenomena alam tersebut agar sasaran pembangunan pertanian tetap dapat

dicapai. Kebijakan juga diarahkan untuk meningkatkan peran sektor pertanian,

terutama subsektor perkebunan dan subsektor pertanian di lahan gambut. Dalam

menurunkan emisi GRK, secara rinci kebijakan yang akan ditempuh adalah;

● Meningkatkan pemahaman petani dan pihak terkait dalam mengantisipasi

perubahan iklim.

● Meningkatkan kemampuan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan

perubahan iklim, termasuk di dalamnya membangun sistem asuransi

perubahan iklim.

● Merakit dan menerapkan teknologi tepat guna dalam memitigasi emisi GRK, dan

● Meningkatkan kinerja penelitian dan pengembangan di bidang adaptasi dan

mitigasi perubahan iklim.

c. Kebijakan Sektor Industri

Dalam Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, sektor yang menjadi salah satu

penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar yaitu sektor industri. Emisi dari sektor

industri berasal dari 3 sumber, yaitu dari penggunaan energi, proses produksi, dan

limbah. Kebijakan bidang industri dalam rangka mendukung mitigasi perubahan

iklim dilakukan dengan mengarahkan agar sektor industri besar seperti semen,

baja, pulp dan kertas, tekstil, dan lain-lain dapat melakukan program penurunan

emisi GRK secara bertahap melalui 3 program yaitu:

● Melakukan efi siensi energi dengan menggunakan teknologi mesin yang lebih

efi sien.

● Menggunakan bahan bakar alternatif.

● Melakukan efi siensi dalam proses produksi.

Maksud dan tujuan dari dibuatnya roadmap sektor industri adalah untuk

memperkirakan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan industri

dengan penekanan khusus pada industri semen. Perhitungan besarnya potensi

Page 69: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING66

pengurangan dari sektor industri, selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam

menentukan rencana pembangunan ekonomi nasional. Potensi mitigasi yang

dapat dilakukan terkait mitigasi secara teknis, di antaranya yaitu;

● Efi siensi energi: mengurangi konsumsi energi seperti pencahayaan, efi siensi

motor, AC, dan bahan bakar dalam mesin.

● Bahan bakar alternatif: biomassa sebagai limbah pertanian, tanaman bahan

bakar, limbah kota dan industri, termasuk limbah berbahaya.

● Pencampuran bahan: untuk industri semen misalnya menggunakan bahan

pengganti klinker termasuk menggunakan bahan daur ulang.

d. Kebijakan Sektor Energi dan Transportasi

Dalam RAN-GRK arahan kebijakan sektor energi berupa komitmen efi siensi

dalam pemanfaatan energi pada seluruh sektor pengguna energi, yakni sektor

transportasi, industri, rumah tangga, dan komersial. Emisi gas rumah kaca yang

diperoleh dari sektor energi harus dikelola karena sektor ini sangat penting untuk

pembangunan perekonomian Indonesia. Di antaranya untuk ekspor produktif/

tukar pendapatan (valas) asing dan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam

negeri. Dalam Renstra Kementerian ESDM 2010-2014 memiliki salah satu arahan

kebijakan berupa peningkatan kesadaran masyarakat melalui diversifi kasi dan

konservasi energi dalam rangka untuk mengurangi gas rumah kaca.

Sementara itu, untuk sektor transportasi Kementerian Lingkungan Hidup

telah mengesahkan beberapa peraturan terkait transportasi sebagai contoh:

standar emisi untuk kendaraan baru dan lama. Pemerintah Provinsi juga perlu

mempersiapakan regulasi dan dokumen lebih detail untuk mitigasi emisi yang

sesuai dengan strategi avoid/reduce–shift–improve yang tertulis di dalam ICCSR.

Sedangkan pada RAN-GRK pendekatan pengurangan emisi dilakukan dengan

beberapa pendekatan seperti trip demand management, shifting, improvement

and green transport.

e. Kebijakan Sektor Pengelolaan Sampah

Pada RAN-GRK terdapat kebijakan pengelolaan limbah sampah dalam rangka

mitigasi perubahan iklim. Hal ini dilakukan dengan pengelolaan sampah melalui

penerapan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), fasilitasi prasarana pengumpulan/

pengangkutan sampah, pembangunan/ peningkatan Tempat Pemrosesan akhir

(TPA) sampah menjadi sanitary landfi ll dan juga pengembangan TPA yang terpadu

dengan teknologi pemanfaatan GRK untuk energi. Kebijakan pengelolaan sampah

ke depan sekurangnya harus menerapkan dua kebijakan utama. Kebijakan

pertama, adalah pengurangan (reduce) sampah di sumber sebanyak mungkin,

digunakan kembali (reuse) dan didaur ulang (recycle) (3R) sebelum diangkut

ke TPA. Kebijakan kedua, yaitu pengelolaan sampah harus dilakukan dengan

Page 70: Laporan Sintesis Hasil CB

67LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

mengintegrasikan partisipasi masyarakat. Dua kebijakan ini digunakan sebagai

prinsip dasar pengelolaan sampah sebagaimana yang dideskripsikan di dalam

undang-undang pengelolaan sampah. Sementara itu, partisipasi aktif masyarakat

dalam program 3R sampah padat dimulai dari tingkat perumahan dengan

mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat. Partisipasi

industri juga akan dilakukan dengan melaksanakan EPR (Extended Producer

Responsibility), yaitu prinsip untuk produsen dan importir sampah B3.

4.1.2. Strategi RAN-GRK

Perlu dipahami bahwa RAN-GRK mengatur pembagian kegiatan pengurangan emisi

gas rumah kaca ke dalam beberapa bidang. Pada dokumen RAN GRK pemerintah

Indonesia mengklasifi kasikannya dalam berbagai sektor. Juga terdapat beberapa

perbedaan di dalamnya. Pembagian ini kemudian perlu diselaraskan dengan

pengaturan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan pemerintahan,

sebagaimana yang diatur di dalam PP No. 38 Tahun 2007.

Padanan pembagian bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca pada

RAN GRK dengan urusan pemerintahan pada PP No. 38 Tahun 2007 menunjukkan

bahwa seluruh bidang berada pada urusan pemerintahan yang dibagi bersama

antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pada Tabel 4.2, keterkaitan antar

bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pembagian urusan

pemerintahan. Klasifi kasi urusan pemerintahan yang sifatnya wajib maupun pilihan

bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota tergantung pada

karakteristik wilayah masing–masing. Urusan wajib ialah urusan pemerintahan

yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten atau Kota berkaitan dengan pelayanan dasar. Adapun urusan

pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan

potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana

aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan

Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Substansi

pada RAN GRK merupakan dasar bagi setiap provinsi dalam mengembangkan

RAD GRK sesuai dengan kemampuan serta keterkaitannya terhadap kebijakan

pembangunan masing–masing provinsi. Kemudian, RAD GRK ditetapkan melalui

Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan proses bottom-

up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi

dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing–masing.

Lebih lanjut, setiap Pemerintah Provinsi perlu menghitung besar emisi gas rumah

kaca masing–masing, target pengurangan, dan jenis sektor yang akan dikurangi

Page 71: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING68

emisinya. Namun demikian, Pemerintah Provinsi juga tetap harus memastikan bahwa

pengurangan emisi gas rumah kaca di daerahnya tetap berkontribusi terhadap

target pengurangan di tingkat nasional.

Tabel 4.2. Keterkaitan Bidang Pengurangan Emisi GRK pada RAN dengan Pembagian Urusan

Pemerintahan

Bidang

Pembagian Urusan Pemerintah (PP 37 Tahun 2008)

Urusan Wajib Urusan Pilihan

Pe

ke

rja

an

Um

um

Pe

rum

ah

an

Pe

na

taa

n R

ua

ng

Pe

ren

ca

na

an

Pe

mb

an

gu

na

n

Pe

rhu

bu

ng

an

LH

Pe

rta

nia

n

Ke

hu

tan

an

Pe

rin

du

stri

an

En

erg

i d

an

Su

mb

erd

ay

a M

ine

ral

Pengelolaan Limbah v V

Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut v v v V

Pertanian v v V

Energi dan Transportasi v v v V

Industri v v

Sumber: Disarikan dari PP 38/2007

Secara umum, Pemerintah Pusat melalui Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah

memiliki kewenangan untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria

(NSPK) untuk pelaksanaan urusan wajib dan pilihan. NSPK tersebut kemudian

berfungsi sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan setiap urusan wajib serta pilihan

tersebut. Tabel 4.3 di bawah memberikan ilustrasi pembagian kewenangan bagi

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, serta Pemerintah Kota/Kabupaten berdasarkan

PP No. 38 Tahun 2007. Hal tersebut merupakan kerangka penyelenggaraan urusan

pemerintahan yang juga melingkupi kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca.

Page 72: Laporan Sintesis Hasil CB

69LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Tabel 4.3. Kerangka Pembagian Urusan Pemerintahan

Pemerintah Pusat

a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan

b) Pelimpahan sebagian urusan pemerintah kepada Gubernur selaku wakil

pemerintah dalam rangka dekonsentrasi

c) Penugasan sebagian urusan pemerintah kepada Pemda berdasarkan asas tugas

pembantu

Pemerintah Provinsi

a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan tingkat provinsi

b) Penugasan sebagian urusan pemerintah kepada pemerintah daerah kabupaten/

kota berdasarkan asas tugas pembantu

Pemerintah Kabupaten/Kota

a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintah tingkat kabupaten/kota

b) Penugasan sebagian urusan pemerintah kepada pemerintah desa berdasarkan

asas tugas pembantu

Sumber: RAN GRK (2010)

RAD GRK sebagai bagian tidak terpisahkan upaya penurunan emisi gas rumah kaca

yang direncanakan di dalam RAN GRK. Dilaksanakan dalam kerangka institusi yang

sesuai dan telah ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan

dalam mendukung pelaksanaan RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan

beberapa komponen sebagai berikut, pada Tabel 4.4.

Tabel. 4.4. Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK.

Institusi Tugas/Peran

Kementerian

Koordinator

Perekonomian

a. Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK dengan melibatkan para

Menteri dan Gubernur terkait dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

b. Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada Presiden, paling sedikit 1

tahun sekali

Kementerian

Perencanaan

Pembangunan Nasional

a. Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi

b. Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian

c. Menyusun Pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya mencapai target

nasional penurunan emisi GRK

Kementerian

Lingkungan Hidup

a. Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh masing-masing

Kementerian/Lembaga dan Pemda dan melaporkan hasil inventarisasi GRK tersebut

kepada Menteri Koordinator Perekonomian.

b. Menyusun pedoman dan metodologi MRV

Kementerian Dalam

Negeri

a. Memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama-sama dengan Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional dan Menteri Lingkungan Hidup

Kementerian/Lembaga

a. Melaksanakan RAN-GRK dan inventarisasi GRK pada Kementerian/Lembaga masing-

masing

b. Memantau pelaksanaan RAN GRK secara berkala

c. Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang telah terverifi kasi kepada Menteri Koordinator

Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Men LH secara

berkala, minimal satu tahun sekali

Gubernur/Pemerintah

Daerah

a. Menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK)

yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan priorotas pembangunan daerah

berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat

b. Menetapkan RAD GRK melalui peraturan Gubernur

c. Menyampaikan RAD GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan

Pembangunan Nasional untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional

penurunan emisi GRK.

Sumber: RAN GRK (2010)

Page 73: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING70

Penyiapan institusi juga memerlukan pemahaman distribusi kewenangan antar

tingkat pemerintahan yang terkait dengan perubahan iklim. Pemerintah Pusat pada

dasarnya adalah membangun kebijakan umum yang dilengkapi dengan norma,

standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) (Nurhadi, 2009). Pemerintah Provinsi, di sisi lain,

adalah perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat di daerah. Dengan demikian,

Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk pengendalian implementasi

kebijakan nasional dan NSPK. Pemerintah Provinsi juga memiliki peran dalam

memfasilitasi isu antar kabupaten/kota. Adapun konteks desentralisasi untuk setiap

sektor pada dasarnya berbeda tergantung konteks kebutuhan sektoral.

4.2 Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+)

4.2.1 Kebijakan REDD+

Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) adalah

skema pemberian insentif buat usaha-usaha pengurangan emisi yang berasal

dari deforestasi dan kerusakan hutan. Pada awalnya, skema ini hanya memberikan

insentif pada usaha pengurangan laju deforestasi dan kerusakan hutan yang

kemudian diterjemahkan pada seberapa besar karbon yang bisa ditahan di hutan.

Tapi berdasarkan keputusan Conference of Parties (COP) 13 dan COP 14, peranan

hutan dalam mitigasi perubahan iklim tidak hanya dari sisi negatifnya (mencegah

deforestasi dan kerusakan hutan), tetapi juga dilihat sisi positifnya. Diterjemahkan

dalam skema REDD yang berkembang sekarang berupa usaha-usaha peningkatan

karbon, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan konservasi; dikenal dengan REDD+

(Angelsesn et al, 2008).

Di Indonesia, soal REDD+ baru ada empat peraturan perudang-undangan yang

mengaturnya. Itu pun diatur dalam perundang-undangan setingkat menteri, yaitu:

a. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2010 tentang RAN GRK

b. Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan

Pembentukan Kelembagaan REDD

c. Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang Demonstration Activities Pengurangan

Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, dan

d. Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari

Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).

4.2.2 Strategi REDD+

Sasaran atau target REDD+ adalah emisi GRK dari sektor kehutanan turun sebesar

14% dari bagian komitmen nasional sebesar 26% dengan upaya nasional dan 41%

dengan dukungan internasional, pada tahun 2020. Adapun Visi Misi REDD+ di sektor

kehutanan sebagai berikut:

Page 74: Laporan Sintesis Hasil CB

71LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Visi:

Pembangunan yang bertumpu pada penyelenggaraan kehutanan yang

berkelanjutan dan berkeadilan serta mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.

Misi:

a. Mengurangi laju deforestasi

b. Mengurangi degradasi hutan melalui penerapan prinsip Sustainable Forest

Management (SFM) secara baik dan benar.

c. Menjaga sediaan karbon melalui konservasi hutan

d. Meningkatkan stok karbon

e. Meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat.

f. Meningkatkan investasi dan pemanfaatan lahan berlandaskan prinsip-prinsip

ekonomi hijau.

Keterkaitan visi, misi dan sasaran REDD+ di Indonesia digambarkan pada Gambar

4.1 berikut:

VISI

Pembangunan yang bertumpu pada penyelenggaraan

kehutanan yang bekelanjutan dan berkeadilan serta

mendukung upaya mitigasi perubahan iklim

MISI

1. Mengurangi laju deforestasi

2. Mengurangi degradasi hutan melalui penerapan prinsip social fortest Management (SFM) secara

baik dan benar

3. Menjaga kesediaan karbon melalui konserfasi hutan

4. Meningkatkan stok karbon hutan

5. Meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat

6. Meningkatkan investasi dan pemanfaatan lahan berlandaskan prinsip-prinsip

TARGET/SASARAN

Emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan turun sebesar

minimum 14 persen dari komitmen nasional sebesar 26 persen pada

tahun 2020

Sumber: RAN GRK (2010)

Gambar 4.1. Visi, Misi, dan Sasaran REDD+

Berdasarkan visi, misi, dan sasaran yang ditetapkan dan dengan memperhatikan

kondisi umum, serta peluang serta tantangan yang ada, kebijakan dan strategi

nasional penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) terdiri

dari: (1) Penyempurnaan perencanaan dan pemanfaatan ruang secara terpadu

Page 75: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING72

dan seimbang dalam upaya menurunkan deforestasi dan degradasi hutan dengan

tetap menjaga pertumbuhan ekonomi nasional; (2) Peningkatan pengawasan dan

pemantauan (control and monitoring); (3) Peningkatan efektifi tas tata kelola hutan;

(4) Pelibatan dan partisipasi para pihak, terutama masyarakat adat dan masyarakat

sekitar hutan dalam penurunan emisi GRK; (5) Peningkatan dan penguatan dasar

hukum pengelolaan hutan (Gambar 4.2).

Strategi 1:

Penyempurnaan perencanaan

dan pementaatan ruang yang

teroadu dan seimbang.

Sasaran:

Penurunan Emisi Minimal 14%

Strategi 2:

Peningkatan

Pengawasan dan Pemantauan

REDD+

Strategi 3:

Peningkatan

Efektivitas Tata

Kelola Hutan

Strategi 4:

Pelibatan dan partisipasi

para pihak dalam

penurunan emisi GRK

Strategi 5:

Penguatan Sistem

Penegakan Hukum

Sumber: Ran GRK (2010)

Gambar 4.2. Lima Kebijakan Strategis Nasional REDD+

Kebijakan strategis 1: Penyempurnaan perencanaan dan pemanfaatan ruang secara

terpadu dan seimbang dalam upaya menurunkan deforestasi dan degradasi hutan

dengan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi nasional.

Perencanaan dan tata ruang hutan dan lahan yang terpadu dan seimbang adalah

prioritas utama untuk mencapai pembangunan rendah karbon. Dimulai dengan

penundaan izin baru konversi hutan dan lahan gambut untuk jangka waktu tertentu

dan didukung penyusunan peta yang terpadu dan akurat.

Perencanaan tata ruang pemanfaatan hutan pada saat ini lebih cenderung

menempatkan pemanfaatan ekonomi yang tangible dan pemanfaatan untuk

pasokan dan stok karbon dan lingkungan sebagai suatu trade off . Pemanfaatan

ekonomi yang tinggi dengan hasil yang dirasakan dalam jangka pendek seringkali

mengalahkan kepentingan pemanfaatan untuk kebutuhan lingkungan. Sebagai

akibatnya, pemanfaatan ekonomi, baik berupa pemanfaatan hutan untuk produksi

Page 76: Laporan Sintesis Hasil CB

73LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

kayu, budidaya pertanian perkebunan, serta pertambangan telah dirasakan

berlebihan dan meleihi daya dukung ekosistem.

Dalam rangka menurunkan emisi melalui ini, kebijakan yang dipilih adalah:

a. Penundaan/moratorium izin baru konversi hutan dan lahan gambut, termasuk izin

perubahan peruntukan dan/atau fungsi kawasan hutan. Untuk penundaan izin

baru/moratorium disusun dasar peraturan ketentuan yang cukup kuat. Pemberian

penundaan/moratorium izin tersebut tidak diberlakukan bagi pemegang izin

berjalan.

b. Penyusunan peta penggunaan hutan dan lahan secara terpadu dan akurat serta

pemanfaatannya secara efektif bagi penyusunan RTRW.

c. Pembangunan secara terpadu diberbagai sektor, khususnya kehutanan, pertanian,

dan pertambangan menuju ekonomi hijau (green economy) yang memanfaatkan

rendah karbon.

d. Penetapan kawasan-kawasan pusat kegiatan ekonomi dan pemberian izin

investasi yang patuh pada asas pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari

dalam kerangka konsep ekonomi rendah karbon dan ekonomi hijau.

e. Penyelesaian masalah-masalah tenurial, seperti: batas dan status kawasan hutan

yang tidak jelas, masyarakat adat yang tidak memiliki hak kelola formal dalam

pengelolaan hutan, dan konfl ik lahan yang tidak pernah tuntas.

f. Untuk mengurangi laju degradasi hutan dilakukan: penerapan sertifi kasi

pengelolaan hutan lestari dan sistem verifi kasi legalitas kayu (SVLK).

g. Pengarusutamaan pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau dalam

perencanaan pembangunan, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun

kabupaten/kota.

Kebijakan Strategi 2: Peningkatan pengawasan dan pemantauan.

Tersedianya sistem pengawasan dan pemantauan/monitoring kemajuan penurunan

emisi dari REDD+ yang akurat dan up to date sesuai kebutuhan merupakan syarat

penting bagi keberhasilan program REDD+.

Tercapainya penurunan emisi memerlukan pengawasan dan pemantauan (control

and monitoring) kemajuan penurunan emisi untuk terwujudnya keadilan dalam

penerapan strategi nasional REDD+. Pengawasan dan pemantauan hanya dapat

dilakukan apabila tersedia data dan informasi yang akurat dan mutakhir serta dapat

digunakan pengambilan keputusan dan penegakan hukum. Sehubungan dengan

itu, beberapa kegiatan dalam strategi ini, antara lain:

a. Penyempurnaan data dan informasi spasial, terutama data biofi sik dan sosial

ekonomi, yang berkualitas tinggi, transparan, dan shahih, termasuk lahan gambut.

b. Pengembangan alat ukur pemantauan dan evaluasi yang simple, akurat, dan

updated, sehingga dapat digunakan secara transparan dan akuntabel.

Page 77: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING74

c. Penyusunan standar nasional, pengukuran emisi GRK yang sejalan dengan

protokol internasional dan good practices untuk mengukur perubahan stok karbon

di dalam dan di luar kawasan hutan, termasuk lahan gambut.

Pendirian lembaga independen untuk melakukan pengukuran dan pelaporan emisi

GRK dari sektor kehutanan, yang didukung adanya: (i) mekanisme koordinasi untuk

sistem pengukuran karbon dan survei lapangan secara periodik, dan (ii) mekanisme

pelaporan kepada lembaga-lembaga di tingkat nasional dan internasional yang

relevan dan penyediaan informasi yang relevan kepada aktor-aktor pasar karbon.

Kebijakan strategi 3: Peningkatan efektivitas Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut

Tata kelola hutan yang efektif, transparan, dan akuntabel akan menghemat emisi karbon

dan menyumbang penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi (REDD+).

Penurunan emisi dapat pula dilakukan dengan meningkatkan efektivitas

pengelolaan/manajemen hutan dan lahan gambut. Dengan pengelolaan hutan

yang efektif, maka hutan tetap memberikan nilai ekonomi dari penggunaan yang

tangible (tangible use) dan keberlanjutan pasokan dan daya dukung ekosistem

hutan (non tangible use). Terdapat 3 (tiga) unsur pokok dalam peningkatan efektivitas

manajemen hutan dan lahan gambut, yaitu:

a. Meningkatkan administrasi hutan yang efektif melalui penerapan organisasi

pengelolaan hutan dan meningkatkan kapasitas dan integritas pengelolaan

hutan.

b. Tata kelola hutan yang baik, dilakukan antara lain dengan peningkatan

transparansi dalam: (i) proses pembuatan peraturan perundang-undangan; (ii)

proses pengambilan keputusan; (iii) proses pemberian izin di sektor kehutanan;

(iv) pelibatan secara terbuka antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta

masyarakat yang potensial terkena dampak; (v) menyediakan mekanisme resolusi

konfl ik yang efektif untuk mewadahi perbedaan pandangan dan kepentingan.

Transparansi dan partisipasi secara khusus ditingkatkan pada kelompok yang

potensial terkena dampak dengan fokus pada kelompok rentan seperti masyarakat

adat, orang miskin, perempuan, dan anak.

c. Meningkatkan kelengkapan kebijakan hukum (legal policy) melalui: (i)

menyempurnakan UU No.41 tentang Kehutanan, terutama dalam aspek

pembagian kewenangan bertanggungjawab sesuai prinsip desentralisasi,

melengkapi peraturan turunan dan instrumen penerapan hukumnya,

peningkatan sanksi hukum, serta menciptakan mekanisme dan instrumen untuk

mendorong pelestarian oleh pengelola dan masyarakat; (ii) menyempurnakan

dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan di sektor penggunaan

lahan (pertambangan, pertanian, dan tata ruang); (iii) amandemen dan/atau

pembentukan peraturan perundang-undangan terkait perlindungan lahan

Page 78: Laporan Sintesis Hasil CB

75LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

gambut di seluruh sektor (pertambangan, kehutanan, pertanian, infrastruktur

dan industri); (iv) menyempurnakan berbagai aturan teknis untuk memastikan

terjadinya mekanisme check and balances yang konstruktif bagi pelanggar

pemanfaatan hutan dan lahan gambut.

Kebijakan strategi 4: Meningkatkan pelibatan para pihak, terutama masyarakat adat

dan masyarakat sekitar hutan dalam penurunan emisi GRK.

Pelibatan para pihak dalam pengelolaan hutan, terutama masyarakat adat dan

komunitas sekitar hutan, harus nyata untuk meningkatkan manfaat hutan bagi semua

pihak secara adil dan menghindarkan konfl ik, sehingga mendukung pencapaian

sasaran penurunan emisi yang lebih berkelanjutan.

Agar pelaksanaan REDD+ dapat berjalan dengan sukses dan meningkatkan

kesejahteraan para pihak, maka pelibatan para pihak sejak awal secara nyata dan

proporsional sangat penting. Pelibatan para pihak dapat dikelompokkan ke dalam 4

kelompok: (i) pelibatan Pemerintah Daerah; (ii) pelibatan LSM; (iii) pelibatan pelaku

usaha secara adil; dan (iv) pelibatan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan.

a. Pelibatan Pemerintah Daerah. Di era desentralisasi, kewenangan pengelolaan

hutan sebagian sudah dilimpahkan ke daerah. Sehubungan dengan itu, dalam

rangka penurunan emisi GRK dari deforestasi dan degradssi hutan sangat perlu

untuk melibatkan Pemerintah Daerah. Pelibatan harus dilakukan sejak awal, pada

tahap perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan monitoring hasil REDD+.

b. Pelibatan masyarakat, terdiri dari: masyarakat pelaku usaha pengelolaan hutan,

masyarakat yang terkelompok dalam lembaga swadaya masyarakat, masyarakat

adat dan sekitar hutan, serta masyarakat internasional. Pelibatan pelaku

pengelolaan hutan sangat penting karena mereka adalah pengelola hutan yang

men-transform penggunaan/pemanfaatan hutan menjadi nilai fi nansial dan

ekonomi. Pelibatan secara transparan yang disertai dengan adanya ukuran dan

pengukuran beban penyebab/penurunan emisi dan imbalan atas hasil/reward

maupun denda/punishment akan dapat membagi beban dan hasil/reward yang

transparan dan proporsional. Dengan demikian, pelaku usaha akan sukarela

melakukan penurunan emisi karena mendapat manfaat langsung dan tidak

langsung dari penurunan emisi yang dilakukan.

Terkait hal tersebut, maka pelibatan para pihak dalam proses perencanaan,

pelaksanaan, dan pemantauan strategi REDD+ akan dilakukan melalui:

a. Peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah, LSM, masyarakat termasuk pelaku

usaha dan kelompok potensial terkena dampak dalam berbagai upaya pelaksanaan

REDD+. Disisi lain, dilakukan peningkatan pemahaman pengambilan keputusan

di tingkat nasional dan sub-nasional akan peran penting pelibatan pemangku

kepentingan agar keputusan yang diambil leih obyektif dan berkualitas.

Page 79: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING76

b. Membangun mekanisme resolusi konfl ik yang efektif.

c. Pengembangan agenda yang komprehensif (lintas sektoral) terkait dengan

pengakuan dan perlindungan hukum atas keberadaan masyarakat di atas.

d. Penyediaan instrumen perlindungan dan pemberdayaan bagi kearifan tradisional

masyarakat adat.

e. Pengembangan sistem dan mekanisme pelibatan masyarakat agar masyarakat

dan masyarakat adat yang tinggal di dalam dan dise kitar kawasan hutan yang

menggantungkan hidupnya tidak terkena dampak negatif dari implementasi

REDD+.

Kebijakan strategis 5: Penguatan sistem penegakan hukum

Penegakan hukum adalah pengawal proses penurunan emisi GRK dan peningkatan

stok karbon yang adil bagi semua pihak sesuai ketentuan peraturan perundangan yang

berlaku.

Landasan hukum dalam pelaksanaan REDD+ yang masih terlihat lemah telah

mengakibatkan lemahnya penegakan hukum di sektor kehutanan. Sementara

aspek legal policy penting untuk disempurnakan agar manajemen hutan menjadi

lebih efektif. Oleh karena itu, penegakan hukum akan menyempurnakan proses

pencapaian penurunan emisi GRK yang proporsional dan adil. Penegakan hukum

yang efektif, memerlukan terpenuhinya 3 (tiga) prasyarat dalam sistem hukum,

yaitu: (i) kemampuan melakukan pendeteksian (ability to detect); (ii) kemampuan

memberikan tanggapan terhadap hasil pendeteksian; (iii) kemampuan memberikan

hukum. Sehubungan dengan itu, langkah-langkah yang diperlukan dalam strategi

ini, adalah:

a. Pengadaan sarana dan prasarana, pengembangan kapasitas aparatur penegak

hukum, penguatan sistem integritas dan kontrol publik yang memadai serta

koordinasi pelaksanaan ketiga kemampuan di atas harus terpenuhi untuk

mencapai penegakan hukum yang efektif.

b. Penegakan hukum administratif secara tegas dan konsisten terhadap pelanggaran-

pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK HA/HT.

c. Penguatan penegakan hukum pidana.

d. Peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum

e. Penguatan pengawasan masyarakat terhadap proses penegakan hukum.

4.2.3 Implementasi REDD+ di Indonesia

Salah satu wujud keseriusan Indonesia dalam menindaklanjuti dan

mengimplementasikan Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) adalah

ditandatanganinya letter of intent (LoI) antara pemerintah Republik Indonesia

dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerjasama dalam rangka Penurunan Emisi Gas

Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) pada tanggal 26 Mei 2010.

Page 80: Laporan Sintesis Hasil CB

77LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Ada tiga tahap kerjasama dalam kerangka LoI tersebut (DNPI, 2010), sebagai berikut:

Tabel 4.5. Tahapan Kerjasama LoI Indonesia dengan Kerajaan NorwegiaTahapan LoI

Indonesia-NorwegiaWaktu Program

Tahap Persiapan Juli-Desember 2010

■ Penyusunan strategi nasional REDD+

■ Pembentukan lembaga REDD+

■ Penetapan lembaga independen MRV

■ Penetapan instrumen pembiayaan

■ Penetapan provinsi percontohan

Tahap Transformasi 2011-2013

■ Operasional instrumen pembiayaan

■ MRV tier 2 dan kemungkinan meningkatkan ke tier 3

■ Moratorium izin baru konversi hutan alam dan

gambut

■ Pengembangan database hutan yang terdegradasi

untuk investasi

■ Penegakan hukum illegal logging, timber trade, dan

pembentukan Satuan Tindak Kriminal Kehutanan

■ Penyelesaian konfl ik lahan/masalah tenurial

Tahap Pembayaran Kontribusi Mulai 2014

Sumber: Dewan Nasional Perubahan Iklim (2010)

Mekanisme REDD+ adalah pengembangan dari mekanisme REDD yang tidak hanya

berkaitan dengan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga mencakup aspek yang

lebih luas, yakni Sustainable Forest Management (SFM), carbon stock enhancement,

dan forest restoration and rehabilitation. Perlu dicatat bahwa di antara kelompok

negara-negara maju, Norwegia merupakan negara yang menyatakan komitmen

secara resmi untuk mengurangi emisi paling tinggi, dengan target pengurangan

emisi hingga tahun 2020 antara 30% sampai dengan 40%, dengan basis perhitungan

tahun 1990. Oleh karena itu, penandatangan LoI tentang moratorium konversi

hutan alam dan lahan gambut antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan

Norwegia tersebut harus dipahami dalam konteks yang berimbang. LoI moratorium

perlu disikapi secara rasional dan proporsional dengan lebih mengedepankan

kepentingan nasional untuk pembangunan berkelanjutan, bukan sekedar mengejar

kompensasi dana yang jumlahnya tidak seberapa untuk sebuah isu perubahan iklim

yang penuh muatan politik kepentingan. Selain itu, implementasi REDD juga harus

dapat menjawab kekhawatiran terhadap hilangnya akses masyarakat lokal terhadap

sumber daya hutan. Skema REDD hanya dapat terimplementasi secara baik, jika

mendapat dukungan masyarakat. Tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, dapat

dipastikan skema REDD yang disepakati di Kopenhagen hanya eksis di atas kertas.

Page 81: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING78

Page 82: Laporan Sintesis Hasil CB

79LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

MODUL 3:PEMBANGUNAN BERKEADILAN DAN RAMAH LINGKUNGAN

1. Deskripsi Singkat

1. Modul ini membahas konsep tentang pembangunan berkelanjutan yang sedang mekar

yang saat ini menjadi agenda banyak pemerintah, bisnis, lembaga pendidikan, dan lembaga

swadaya masyarakat seluruh dunia. Banyak hal ditulis dalam istilah akademik tentang arti dari

pembangunan berkelanjutan dan perlunya mengintegrasikan prinsip ekologi dan ekonomi

ke dalam pengambilan keputusan personal dan publik.

2. Hanya saja, belum ada defi nisi yang disepakati tentang konsep pembangunan berkelanjutan

dan barangkali hal tersebut tidak perlu. Hal ini karena pembangunan berkelanjutan berkenaan

dengan proses perubahan dan sangat tergantung pada konteks, kebutuhan, dan kepentingan

lokal. Jadi, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang muncul dari dua cara.

Pertama, karena relatif baru dan berkembang saat kita belajar menangkap implikasinya yang

luas bagi semua aspek kehidupan kita. Kedua, karena maknanya muncul dan berkembang

sesuai dengan konteks lokal.

3. Pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan keadilan dalam generasi (intrageneration)

dan antar generasi (intergeneration). Hal ini berarti membutuhkan tindakan untuk

mengentaskan kemiskinan, melindungi lingkungan dan menghindari marginalisasi ekonomi,

yang maknanya memperbaiki kesejahteraan generasi sekarang sementara mempertahankan

kesempatan pembangunan bagi generasi berikutnya.

2. Tujuan Pembelajaran

1. Untuk memahami sepenuhnya kaitan antara lingkungan, sumberdaya alam, dan kesejahteraan.

2. Untuk memperkirakan implikasi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari pembangunan.

3. Untuk mengembangkan defi nisi sendiri yang sesuai dengan kebutuhan lokal.

3. Materi

3.1 Pengertian

1. Istilah `pembangunan berkelanjutan’ dipopulerkan oleh the World Commission on

Environment and Development (WCED) dalam laporan berjudul Our Common Future pada

tahun 1987.

2. Tujuan dari the World Commission adalah untuk menemukan cara praktis untuk

menjawab problem lingkungan dan pembangunan dunia. Ada tiga tujuan umum:

Page 83: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING80

a. Untuk mengkaji ulang isu-isu kritis lingkungan dan pembangunan dan untuk

memformulasikan proposal yang realistik yang berkenaan dengan isu-isu tersebut;

b. Untuk mengusulkan bentuk kerjasama internasional yang baru tentang isu-isu

lingkungan dan pembangunan yang akan mempengaruhi kebijakan dan kejadian

ke arah perubahan yang diperlukan;

c. Untuk meningkatkan tingkat pemahaman dan komitmen terhadap tindakan

individual, organisasi sukarela, bisnis, kelembagaan, dan pemerintah.

3. Pembangunan berkelanjutan dengan demikian adalah:

a. kerangkakerja konseptual: suatu cara mengubah pandangan dunia yang utama

menjadi pandangan yang lebih holistik dan berimbang;

b. proses: cara mengaplikasikan prinsip integrasi - lintas ruang dan waktu - pada semua

keputusan; dan

c. tujuan akhir: mengidentifikasi dan mengoreksi masalah deplesi sumberdaya,

perawatan kesehatan, pengucilan sosial, kemiskinan, pengangguran dan sebagainya.

3.2 Dimensi

1. Salah satu hasil yang paling penting dari Our Common Future adalah kesadaran bahwa

isu-isu lingkungan dan pembangunan adalah terkait erat satu terhadap yang lain dan

karenanya perdebatan apakah mendahulukan lingkungan atau pembangunan tidak

selayaknya terjadi. Disimpulkan bahwa:

“Lingkungan dan pembangunan bukanlah tantangan yang terpisah. Pembangunan tidak dapat hidup

pada basis sumberdaya lingkungan yang rusak; lingkungan tidak dapat dilindungi ketika pertumbuhan

mengabaikan biaya kerusakan lingkungan. Berbagai masalah tersebut tidak dapat ditangani secara

terpisah oleh lembaga dan kebijakan yang terfragmentasi. Mereka terkait dalam sebuah sistem kompleks

sebab dan akibat.’’

2. WCED kemudian berpendapat tentang pendekatan terhadap pembangunan yang

memperhatikan hubungan isu ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi. WCED menyebut

pendekatan ini ̀ pembangunan berkelanjutan’ yang didefi nisikan sebagai “pembangunan

yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.’’

3. Pembangunan berkelanjutan membutuhkan kemajuan yang serentak dan berimbang

dalam empat dimensi yang saling tergantung: sosial, ekonomi, ekologi, dan politik.

Keputusan dalam satu bidang selalu mempengaruhi bidang lainnya. Sebagai contoh,

jika pembangunan ekonomi ingin berkelanjutan:

a. Pembangunan tidak dapat mengabaikan kendala lingkungan atau dilakukan dengan

cara merusak sumberdaya alam;

b. Pembangunan tidak dapat berhasil tanpa diiringi secara paralel dengan

pembangunan sumberdaya sosial;

Page 84: Laporan Sintesis Hasil CB

81LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

c. Pembangunan harus mempertimbangkan kebutuhan semua spesies dan hak

mereka untuk menikmati kualitas hidup yang sama dan berbagi sumberdaya;

d. Pembangunan harus mendukung keadilan antar semua orang sehingga setiap orang

dapat menikmati standar hidup yang sama dan tingkat akses terhadap sumberdaya

dan kualitas hidup yang sama; dan

e. Pembangunan harus mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang.

4. Percepatan pembangunan dapat diterima sejauh tidak mengorbankan keberlanjutan

dari sistem yang kita bangun dalam jangka panjang. Untuk itu, pelaksanaan MP3EI perlu

dipandu oleh beberapa prinsip agar tujuan dari MP3EI dapat tercapai, sementara resiko

yang mengancam keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang dapat dikendalikan

sejauh mungkin. Beberapa prinsip tersebut diturunkan dari pandangan dan keyakinan

bahwa ekonomi konvensional berada dan bekerja di dalam ekonomi sumberdaya sosial

dan ekonomi sumberdaya sosial berada dan bekerja di dalam ekonomi sumberdaya alam

dan lingkungan (Gambar \ref{fi g:greeneconomy}). Tiga prinsip yang perlu diperhatikan

adalah:

a. Pelaksanaan MP3EI harus hemat dalam menggunakan natural capital, tetapi pada

saat yang sama meningkatkan human capital, physical capital, dan financial capital

ekonomi setempat (prinsip ekonomi);

b. Pelaksanaan MP3EI tidak boleh melampaui daya dukung lingkungan (prinsip

lingkungan). Salah satu titik kritis penerapan prinsip ini adalah batas dari lingkungan

yang dimaksud. Daerah Aliran Sungai merupakan salah satu alternatif batas

lingkungan yang layak dipertimbangkan;

c. Pelaksanaan MP3EI harus semakin memperkuat kapital sosial (prinsip sosial). Kapital

sosial sering terabaikan dalam pembangunan sehingga timbul konflik yang dapat

mengancam capaian pembangunan itu sendiri.

5. Atas dasar prinsip ini, kriteria dan indikator dikembangkan untuk tiga bidang, yakni

ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Page 85: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING82

NATURAL RESOURCES ECONOMY

SOCIAL RESOURCES

ECONOMY

Absorption of waste

Common culturalinheritance

(arts and skills)

All forms ofsocial cooperation

Production ofminerals

Production ofenergy

Subsistenceagriculture

Unpaid labour inhousehold,

parenting andcommunity service

Reproduction of plantand animal life

THE FORMAL ECONOMYIncomes

Households Business

Consumerspending

Businessreceipts

Goods and services

Land, la

bour, capital

Gambar 3.1. Perluasan Perhitungan Ekonomi (Cato, 2009)

3.3 Mengukur Kelestarian

1. Menyepakati indikator terbaik untuk mengukur keberlanjutan atau kemajuan menuju

pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah tantangan. Indikator adalah ukuran

ringkas yang memberikan informasi tentang keadaan, atau perubahan, suatu sistem.

Indikator memberi kita gambaran tentang bagaimana kita bekerja pada suatu titik

waktu tertentu relatif terhadap apa yang kita telah putuskan. Indikator juga memberikan

umpan balik tentang pengaruh dari tindakan kita dan kebijakan pemerintah. Dan

indikator harus mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi dan isi dari kebijakan.

2. Selintas, mengukur pembangunan berkelanjutan tampaknya mustahil, subjek

yang sangat luas dan merupakan pengaruh dari begitu banyak hal. Kita tahu bahwa

pembangunan berkelanjutan melibatkan variabel ekonomi, variabel sosial dan variabel

lingkungan - yang semuanya harus diukur sampai batas tertentu. Terdapat banyak

indikator tentang ukuran makroekonomi tradisional, seperti produk nasional bruto (GNP)

dan produktivitas, dengan indikator lingkungan, seperti konsumsi air dan emisi polusi,

dan statistik sosial, seperti harapan hidup dan capaian pendidikan. Tetapi indikator mana

yang paling penting untuk pembangunan berkelanjutan?

Page 86: Laporan Sintesis Hasil CB

83LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

3. Ide kunci dari pembangunan berkelanjutan adalah kaitan antara kesejahteraan generasi

sekarang dan kesejahteraan generasi yang akan datang. Untuk membuat hubungan

ini kita dapat menggunakan konsep kapital. Dalam istilah ekonomi, kapital adalah stok

yang digunakan dalam produksi selama beberapa tahun. Kapital dapat diciptakan

melalui investasi, dan dikonsumsi selama tahunan dan akhirnya aus. Konsep kapital

dapat diterapkan pada sustainability, yang memungkinkan kita mengukur semua tipe

kekayaan yang berkontribusi kepada kesejahteraan secara lebih komprehensif.

4. “Pendekatan kapital’’ merupakan kerangka kerja untuk mengukur pembangunan

berkelanjutan yang beroperasi pada prinsip bahwa mempertahankan kesejahteraan dari

waktu ke waktu membutuhkan kepastian bahwa kita mengganti atau mengkonservasi

kekayaan dalam komponennya yang berbeda-beda. Pendekatan kapital menekankan

perlunya untuk fokus pada penentu pembangunan jangka panjang tidak dengan

mengesampingkan kebutuhan saat ini, melainkan menurut prinsip keberlanjutan.

Pendekatan ini memungkinkan kita untuk membahas dan mengevaluasi apakah yang

kita lakukan sekarang akan berhasil dalam jangka pendek, menengah, dan jangka

panjang, dan bagaimana membahas tentang apakah ada kemajuan, kemunduran, atau

kemandegan.

a. Kapital alam dalam bentuk sumberdaya alam, lahan dan ekosistem yang menyediakan

jasa seperti penyerapan limbah.

b. Kapital finansial seperti saham, bond, dan simpanan mata uang.

c. Kapital buatan seperti mesin, bangunan, telekomunikasi, dan tipe infrastruktur

lainnya.

d. Kapital manusia dalam bentuk tenaga yang sehat dan terdidik.

e. Kapital sosial dalam bentuk jaringan kerja sosial dan kelembagaan.

5. Pembangunan berkelanjutan menyaratkan kepastian bahwa kekayaan nasional per

kapita tidak menurun dengan berjalannya waktu dan, bila mungkin, malah meningkat.

Sebagai contoh, jika kita mengonsumsi semua kapital alam kita dan tidak melakukan

apapun untuk melindungi atau meningkatkannya, sumber kemakmuran ini akan

habis, yang mengarah kepada hasil yang tidak berkelanjutan. Pendekatan kapital

memungkinkan pemantauan bahwa stok kapital tidak menurun hingga tingkat terlalu

rendah.

6. Hal di atas terdengar mudah, tetapi mengoptimumkan kapital melibatkan pengambilan

keputusan penting tentang apa yang dapat digunakan hingga habis dan apa yang harus

diawetkan. Satu pertanyaan penting: dapatkah tipe kapital yang berbeda dipertukarkan

satu terhadap yang lain, sepanjang jumlah totalnya terjaga, atau apakah setiap tipe harus

dipertahankan pada level minimum tertentu? Jawaban praktikal terhadap pertanyaan ini

adalah bahwa hal ini tergantung pada masalahnya. Dalam banyak kejadian, kapital kritis

tertentu adalah esensial bagi berfungsinya dunia dan masyarakat kita secara benar, hal-

Page 87: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING84

hal yang melaksanakan fungsi esensial dan dapat diganti pada margin hanya dengan

biaya yang sangat tinggi.

7. Meskipun tipe lingkungan dari kapital alam esensial adalah yang pertama terlintas di

pikiran, aspek kapital sosial dan kapital manusia dapat kritikal juga. Bila jaringan sosial

dan norma yang merupakan landasan bagi masyarakat hancur, masyarakat terpecah

sebagaimana terjadi dalam kasus konfl ik dan perang. Hal serupa, tanpa pendidikan,

kapital manusia tidak dapat dipertahankan, yang membuat keberlanjutan secara

keseluruhan menjadi tidak mungkin.

3.3.1 Kriteria dan Indikator Ekonomi

Kriteria ekonomi yang digunakan adalah (1) pengembangan potensi ekonomi

wilayah, terdiri atas 4 indikator dan (2) peningkatan konektivitas nasional, terdiri atas

3 indikator. Adapun indikator yang digunakan untuk setiap kriteria adalah sebagai

berikut:

1. Pengembangan potensi ekonomi wilayah dengan indikator

a. PDRB. Ini merupakan indikator kegiatan ekonomi yang paling banyak d igunakan

dan datanya paling tersedia.

b. Stok sumberdaya alam. Pada dasarnya, semua kegiatan ekonomi diawali dari

sumberdaya alam. Stok sumberdaya alam yang lebih tinggi memberi peluang

yang lebih tinggi bagi ekonomi untuk berkembang.

c. Nisbah anggaran pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan

terhadap nilai sumberdaya alam yang tereksploitasi dari daerah yang

bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh stok dari kapital,

baik berupa kapital buatan, kapital alam, kapital manusia, maupun kapital

sosial. Indikator ini dimaksudkan untuk menangkap bagaimana pengurangan

satu jenis kapital diimbangi dengan reinvestasi untuk memupuk kapital lainnya.

2. Peningkatan konektivitas nasional dengan indikator

a. Stok kapital buatan (jembatan, jalan, pelabuhan) per kapita. Konektivitas sangat

ditentukan oleh ketersediaan kapital buatan. Stok kapital buatan per kapita

akan menentukan tingkat keterlayanan atau kemudahan yang dinikmati oleh

seseorang. Harapannya, stok kapital buatan per kapita meningkat dengan

waktu hingga mencapai steady state.

b. Arus barang dan orang per satuan waktu. Melalui pembangunan, arus barang

dan orang per satuan waktu diharapkan dapat meningkat secara signifi kan.

3.3.2 Kriteria dan Indikator Lingkungan

Kriteria lingkungan terdiri dari:

1. Keberlanjutan fungsi pengaturan dengan indikator stok karbon/emisi, tata air,

Page 88: Laporan Sintesis Hasil CB

85LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

biodiversitas, dan habitat.

2. Keberlanjutan fungsi penyediaan dengan indikator ketahanan pangan

ketersediaan hasil hutan

3. Keberlanjutan fungsi kultural dengan indikator terjaganya situs-situs yang

berperan dalam kegiatan ritual dan kultural.

3.3.3 Kriteria dan Indikator Sosial

Kriteria sosial mencakup 1) peningkatan kapital sosial, terdiri atas 6 indikator sosial, 2)

peningkatan keadilan sosial, terdiri atas 4 indikator.

1. Peningkatan kapital sosial dengan indikator. Kapital sosial sebenarnya masih

menjadi perdebatan dan tingkat akumulasinya paling sullit diukur. Indikator

berikut diharapkan dapat mencerminkan tingkat akumulasi kapital sosial,

meskipun beberapa indikator sebenarnya lebih tepat disebut sebagai indikator

kapital manusia.

a. Konfl ik di masyarakat.

b. Tingkat partisipasi dalam kegiatan bersama.

c. Indeks pembangunan manusia (IPM/HDI)

d. Laju pertumbuhan penduduk.

2. Peningkatan keadilan sosial dengan indikator. Keadilan sosial merupakan isu

sentral dari pembangunan. Tidak jarang kegagalan pembangunan bersumber

dari kegagalan dalam melakukan pemerataan hasil pembangunan yang dipacu

pada laju pertumbuhan yang sangat tinggi.

a. Perimbangan pembagian hasil dari sumberdaya alam, baik langsung maupun

tidak langsung, antara pusat dan daerah. Banyak daerah merasa tidak

puas dengan perimbangan pembagian hasil dari sumberdaya alam yang

dieksploitasi di wilayahnya. Semakin kecil bagian daerah semakin eksploitatif

pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi dan berimplikasi semakin jauh dari

prinsip kelestarian.

b. Gini ratio. Ini merupakan indikator pembagian pendapatan yang umum

digunakan. Bila ketimpangan distribusi pendapatan berlangsung lama, maka

kemungkinan akan terjadi ketimpangan akumulasi kapital dan selanjutnya

akan semakin memperparah distribusi pendapatan. Jadi, gini ratio merupakan

peringatan dini kinerja suatu ekonomi.

c. Tingkat pengangguran/ penyerapan tenaga kerja. Ini merupakan indikator

ekonomi yang sering menimbulkan masalah sosial. Masyarakat dengan tingkat

pengangguran yang tinggi secara umum menghadapi problem sosial yang

lebih berat dibandingkan dengan masyarakat dengan tingkat pengangguran

lebih rendah.

d. Partisipasi/ akses masyarakat local/ adat di dalam kegiatan ekonomi/

pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang

penting merupakan memupuk kapital sosial yang akan berdampak pada

kinerja ekonomi.

Page 89: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING86

Page 90: Laporan Sintesis Hasil CB

87LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

MODUL 4:MEKANISME GREENING MP3EI DI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

1. Deskripsi Singkat

1. Modul ini merupakan bagian dari naskah Pedoman Greening MP3EI Bidang Redd+. Meteri ini

menjelaskan proses operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan yang diturunkan ke

dalam prinsip, kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan.

2. Substansi konseptual pembangunan berkelanjutan diuraikan pada modul Pembangunan

Berkeadilan dan Ramah Lingkungan, sedangkan posisi MP3EI dalam konteks perencanaan

pembangunan berkelanjutan dimuat di dalam modul Review MP3EI.

3. Mekanisme greening MP3EI menguraikan kerangka kerja greening terhadap MP3EI, ataupun

rencana aksi yang akan dibuat oleh Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah dalam

rangka merespon MP3EI menurut sektor atau pembangunan daerah.

2. Tujuan Pembelajaran

1. Untuk membangun pemahaman bahwa proses perencanaan pembangunan nasional

maupun daerah, yang implementasinya akan dilaksanakan oleh pemerintah, swasta ataupun

kemitraan antara pemerintah dan swasta seharusnya mempertimbangkan keseimbangan

kepentingan ekonomi, lingkungan dan social.

2. Untuk membangun pemahaman bahwa kegiatan MP3EI harus terbuka untuk ditinjau

pemenuhannya terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan.

3. Untuk membangun pemahaman bersama terhadap prosedur perlaksanaan perencanaan

pembangunan berkelanjutan secara umum dan secara khusus greening MP3EI, rencana aksi

untuk MP3EI oleh K/L ataupun Pemerintah Daerah.

3. Materi

3.1 Pengantar

Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Substansi dari MP3EI 2011-2025

adalah pengembangan koridor ekonomi Indonesia menggunakan tiga strategi utama

yaitu pengembangan potensi ekonomi, penguatan konektivitas nasional dan penguatan

kemampuan sumber daya manusia dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nasional.

Latar belakang berupa “masalah MP3EI” yang mendorong tumbuhnya gagasan greening

adalah belum dipenuhinya prinsip lingkungan dan keadilan sosial. MP3EI sebagai kebijakan

pembangunan ekonomi dinyatakan sebagai not business as usual juga dinyatakan

sebagai kebijakan pembangunan yang memiliki perubahan mendasar, khususnya

Page 91: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING88

perubahan perilaku dan pengembangan konektivitas pusat-pusat pertumbuhan melalui

pembangunan infrastruktur dan pengembangan kegiatan ekonomi dengan skala investasi

besar. Meskipun dinyatakan MP3EI memperhatikan keberlanjutan tetapi yang lebih

tampak adalah kepentingan pembangunan ekonomi, sangat kurang mendukung pada

kepentingan lingkungan dan keadilan sosial, sehingga menimbulkan tidak terpenuhinya

prinsip keberlanjutan. Dari perspektif atau landasan pembangunan berkelanjutan maka

MP3EI masih bernuansa business as usual.

Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UU PPLH) pasal 15 bahwa pemerintah wajib memastikan bahwa

pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan

suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.

Greening MP3EI dilakukan untuk “bukan sekedar mencari pembenaran dengan mengarahkan

pemenuhan prinsip keberlanjutan termasuk juga keselarasan dengan sasaran program

REDD+ khususnya aspek lingkungan dan sosial. Yang lebih mendasar adalah konsistensi

pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional (UU No 25 tahun 2004, pasal

9) maupun amanat RPJPN 2005-2025 (UU No 17 Tahun 2007) yang maknanya bahwa

pembangunan melandaskan pada kerangka pembangunan berkelanjutan”. Berdasarkan

hal ini maka seharusnya setiap kebijakan ,rencana ataupun program pembangunan harus

disusun sedemikian rupa melalui mekanisme dan instrumen yang ada untuk memenuhi

syarat keterujian terhadap kepentingan masyarakat/ rakyat secara keseluruhan pada aspek

ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.

Tujuan penyusunan Pedoman Greening MP3EI Bidang REDD+ adalah “memberikan pedoman

implementasi pemenuhan prinsip, kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan

yang meliputi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam kegiatan MP3EI yang akan

dituangkan dalam perencanaan pembangunan di tingkat nasional maupun daerah”.

Page 92: Laporan Sintesis Hasil CB

89LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Kerangka pikir atau konsep pada pedoman greening (dan juga tertuang pada beberapa

modul greening ini) sesungguhnya dapat diadopsi untuk kepentingan perencanaan

pembangunan secara umum pada tingkat nasional/ sektor maupun daerah.

3.1 Kerangka Kerja Prosedur Greening

Mekanisme penggunaan pedoman greening terdiri dari (1) Penggunaan untuk

penyusunan dokumen rencana strategis kementrian/lembaga pemerintah non kementrian

dan (2) Penggunaan untuk penyusunan dokumen rencana percepatan dan perluasan

pembangunan ekonomi Indonesia pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota,

yang diintegrasikan pada RPJMN atau RPJMD.

Mekanisme kerja penyusunan RPJM, Renstra K/L dilakukan melalui urutan kegiatan sebagai

berikut:

a. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan /Renstra K/L

b. Penyiapan rancangan rencana kerja

c. Musyawarah perencanaan pembangunan

d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan

Mekanisme kerja greening haruslah merupakan proses pengambilan keputusan yang

melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) seperti para perencana di instansi

pemerintah, swasta, peneliti dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi, lembaga

swadaya masyarakat yang terkait pengelolaan sumberdaya, lingkungan dan pembangunan,

masyarakat khususnya yang potensial terkena dampak negatif.

Kerangka tahapan kerja greening MP3EI menggambarkan proses yang dilakukan melewati

penapisan dengan indikator Redd+ maupun pembangunan berkelanjutan. Kerangka kerja

greening ini terbagi atas dua proses yaitu proses pengambilan keputusan MP3EI (proses

greening MP3EI); proses keputusan optimalisasi alokasi ruang. Kedua proses diuraikan di

bawah ini.

1. Pengambilan keputusan greening MP3EI. Proses ini melalui adopsi kerangka kerja KLHS

untuk mengkaji apakah kegiatan MP3EI memenuhi keberlanjutan atau tidak terpenuhi.

Dengan demikian hasil dari proses ini apakah MP3EI stop karena tidak memenuhi

keberlanjutan atau diteruskan untuk menjadi rencana pembangunan yang siap

diimplementasikan oleh pemerintah, swasta atau masyarakat.

2. Pengambilan keputusan penggunaan ruang optimal diantara alternative MP3EI dan

REDD+. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa kegiatan REDD+ ataupun MP3EI harus

memenuhi keberlanjutan, dan kedua alternative kegiatan itu adalah bebas dipilih untuk

dilaksanakan di lokasi tersebut. Hasil proses ini adalah keputusan penggunaan ruang

yang optimal diantara kedua alternative kegiatan pembangunan tersebut.

Page 93: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING90

Secara umum Pengambilan Keputusan Greening MP3EI mencakup 4 tahap utama :

Tahap 1 : Apakah MP3EI objek greening.

Tahap 2 : Apakah MP3EI memenuhi keberlanjutan

Tahap 3 : Analisis trade off antara MP3EI semula (tanpa greening) dan setelah greening

(dengan greening)

Tahap 4 : Pengambilan keputusan

Adapun Pengambilan Keputusan Optimalisasi mencakup 3 tahap yaitu :

Tahap 1 : Penilaian kriteria/indikator (C/I) kegiatan Redd+ dan MP3EI yang telah lulus

penapisan greening MP3EI.

Tahap 2 : Analisis trade off antara REDD+ dan MP3EI

Tahap 3 : Pengambilan keputusan berdasarkan input analisis trade off .

Page 94: Laporan Sintesis Hasil CB

91LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Kerangka kerja greening secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.

KEGIATAN

MP3EI

TIDAKSTOP:

MP3EI BUKAN OBJEK

GREENINGKEGIATAN

REDD+

MP3EI

OBJEK

GREENING?

RTRW, SRAP,

AREAL REDD+

TIDAK

YA

YA

I/1

I/2

I/5

I/6

I/7

I/8I/4

II/3

II/2

I/3

APAKAH MP3EI

BERKELANJUTAN

?

PENILAIAN C/I

KEGIATAN REDD+

PENILAIAN C/I

MP3EI -1

(BERKELANJUTAN)

• KONDISI RUANG

• STAKEHOLDERS

ANALISIS GREENING:

• ALTERNATIF LOKASI

• MUATAN MP3EI

• ADAPTASI/ MITIGASI

ANALISIS

TRADE OFF -1

ANALISIS PRASYARAT

PENGAMBILAN

KEPUTUSAN

STOP:

MP3EI “NOT GREEN”

MP3EI

“GREEN”

PENGAMBILAN

KEPUTUSAN

OPTIMAL

REDD+ VS MP3EI

ANALISIS

TRADE OFF -2

PENILAIAN C/I

MP3EI-1a

(TANPA GREENING)

PENILAIAN C/I

MP3EI-1b

(DENGAN GREENING)

PR

INS

IP K

EB

ER

LA

NJU

TA

N:

C&

I EK

ON

OM

I-LIN

GK

UN

GA

N-S

OS

IAL

Gambar 4.1. Kerangka tahapan pelaksanaan greening MP3EI

Tahap 1 dianalisis melalui bantuan peta RTRW, rencana areal hutan (termasuk gambut)

untuk dipertahankan sebagai hutan atau areal REDD+, yang di superimpose (overlay)

dengan peta lokasi MP3EI. Jika MP3EI berada di dalam rencana areal REDD+ maka MP3EI di

lokasi ini sebagai objek greening.

Tahap 2 menyangkut penapisan keberlanjutan, yang sesungguhnya mencakup dua

kegiatan yaitu :

a) Analisis kesesuaian ruang

b) Analisis trade off , tetapi untuk penjelasan analisis trade off ini dimasukan pada tahap 3.

Page 95: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING92

Penapisan menurut analisis kesesuaian ruang, mencakup :

a) Kesesuaian aspek legal areal Redd+/ kawasan hutan.

Kesesuaian areal lokasi MP3EI terkait dengan status legal kawasan hutan. Kesesuaian

aspek legal ini menyangkut prinsip kepatuhan terhadap hukum. Jika menurut PP/

Perda RTRW (nasional,provinsi, kabupaten/kota) lokasi MP3EI berada di kawasan hutan

dan mengakibatkan perubahan fungsi kawasan atau penggunaan tata ruang, berarti

perlu analisis greening menyangkut alternatif lokasi MP3EI. Alternatif yang dapat

dikembangkan memilih lokasi baru di luar kawasan hutan, mengusulkan revisi kawasan

hutan melalui revisi RTRW.

b) Kesesuaian dari aspek “sensitivitas” kondisi ruang yang mencakup kondisi biofi sik dan

social budaya terhadap risiko ketidakberlanjutan, pada satuan analisis berupa bentang

alam.

Kondisi biofi sik yang penting diperhatikan adalah : kondisi tingkat kekritisan DAS, fungsi

hutan (hutan konservasi dan lindung, hutan produksi tetap ataupun dapat dikonversi),

tutupan lahan (hutan kerapatan tinggi, sedang dan rendah, semak belukar,dll) kondisi

tanah mineral dan gambut, keberadaan masyarakat adat/ lokal terkait dengan status

lahan masyarakat adat / masyarakat lokal serta sumberdaya yang menjadi sumber

penghidupan masyarakat tersebut, ataupun kebutuhan kegiatan budaya serta

peninggalan budaya, keberadaan dan kondisi habitat satwa.

Analisis sensitivitas dan risiko yang timbul dapat dilakukan menggunakan matriks

yang menghubungkan antara karakteristik kondisi biofi sik dan social budaya tersebut

terhadap karaterisitik kegiatan MP3EI, dan implikasinya terhadap tingkat/derajat risiko

ketidakberlanjutan. Tingkat risiko ini bisa dibuat klasifi kasi yaitu risiko tinggi, sedang dan

rendah. Contoh matriks disajikan pata Tabel 1.

Tabel 1. Ilustrasi identifi kasi potensi keberlanjutan MP3EI menurut tipologi kondisi ruang

AspekTingkat Risiko Ketidakberlanjutan Menurut Kondisi Ruang

Kondisi -1 Kondisi -2 Kondisi -3

Lingkungan Risiko tinggi Risiko sedang Risiko rendah

Sosial Budaya Risiko tinggi Risiko sedang Risiko rendah

Kegiatan MP3EI yang berada di ruang yang mempunyai tingkat ketidakberlanjutan sedang

sampai tinggi, perlu dilanjutkan analisis greening.

Analisis greening adalah kajian atau evaluasi untuk mengatasi atau mengurangi tingkat

risiko ketidakberlanjutan MP3EI. Analisis ini anatara lain mencakup :

a) Analisis alternative lokasi

b) Analisis alternative muatan MP3EI (luas areal, tingkat produksi)

Page 96: Laporan Sintesis Hasil CB

93LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

c) Analisis adaptasi dan mitigasi, yaitu pilihan teknologi seperti teknologi yang menyangkut

rancangan pengolahan tanah/lahan, pola pemilihan dan kombinasi jenis tanaman,

konstruksi jalan dan jembatan, restorasi/rehabilitasi, pola pengelolaan kolaboratif, sistem

insentif dan lain-lain.

Analisis greening dapat dilakukan secara berulang-ulang (iteratif ) sehingga diperoleh

beberapa alternatif. Pada tahap penapisan keberlanjutan ini dilakukan penilaian C/I

keberlanjutan. Indikator keberlanjutan yang dijadikan ukuran mencakup aspek lingkungan

sisal budaya dan ekonomi (prinsip, kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan dilihat

di Modul Pembangunan Berkeadilan dan Ramah Lingkungan). Penilaian C/I dilakukan pada :

a) Kegiatan MP3EI semula (sebelum analisis greening)

b) Kegiatan MP3EI setelah ada upaya greening (beberapa alternatif )

Setelah penilaian C/I, selanjutnya adalah analisis trade off pada tahap 3.

Tahap 3 analisis trade off melalui hasil penilaian adalah untuk menguji apakah upaya greening

berhasil memperbaiki kinerja MP3EI terhadap risiko lingkungan/ ketidakberlanjutan

dibandingkan rancangan / muatan MP3EI semula.

Tahap 4, pengambilan keputusan berdasarkan hasil tahap 2 dan 3 di atas. Mekanisme

pengambilan keputusan melibatkan keikutsertaan para pemangku kepentingan. Teknik

dan kriteria yang digunakan di dalam pengambilan keputusan terhadap informasi hasil

penilaian C/I dan analisis trade off , didasarkan atas “Pengembangan Standar Lokal”. Adapun

alternatif teknik/ metode pengambilan keputusan antara lain teknik pembobotan (rating),

ataupun proses analisis hirarkis (analytical hierarchy process).

Hasil keputusan dua kemungkinan yaitu a) Stop MP3EI “not green”, meskipun telah

diupayakan greening, b) MP3EI “green” dapat diusulkan sebagai rencana pembangunan.

Setelah keputusan MP3EI “green” dilanjutkan dengan proses Pengambilan Keputusan

optimalisasi antara MP3EI “green” dengan alternative Redd+. Proses ini juga melalui penilaian

C/I kinerja kedua usulan itu, yang selanjutnya dilakukan analisis trade off . Penilaian C/I dan

analisis trade off menjadi input di dalam pengambilan keputusan optimalisasi, dengan

“Pengembangan Standar Lokal”.

Page 97: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING94

Page 98: Laporan Sintesis Hasil CB

95LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

MODUL CAPACITY BUILDINGPENGARUSUTAMAAN REDD+ DALAM SISTEM PERENCANAAN NASIONAL

LATAR BELAKANG

Salah satu mandat Working Group 9, Satgas REDD+ (Peraturan Presiden N0. 25 Tahun 2011) adalah

menyusun Pedoman Pengarus-Utamaan REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Nasional yang

bertujuan untuk memberikan panduan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam mengadopsi

Stranas REDD+ yang telah dijabarkan menjadi RAN REDD+ dan/atau SRAP REDD+ dalam penyusunan

kebijakan, strategi, program dan kegiatan pembangunan sebagai bagian dari RAN/RAD GRK.

Mengingat konteks dan ruang lingkupnya yang mengedepankan cara-cara baru dalam mengelola

hutan dan lahan gambut secara terpadu dan lintas sektor (business unusual), implementasi sistem

perencanaan pembangunan semestinya diperbaiki untuk meningkatkan sinergi, efektivitas dan

efi siensi kinerja pembangunan nasional dan daerah. Dalam konteks ini, pembangunan tidak

semata-mata berorientasi pada target, namun harus mampu menjawab kebutuhan prakondisi

(enabling condition) dan masalah yang harus diselesaikan dalam mencapai suatu target, termasuk

meningkatkan manfaatnya bagi masyarakat dan tata lingkungan hidup. Seluruh aktivitas REDD+

terfokus pada perbaikan kinerja sektor pembangunan berbasis lahan, terutama kehutanan dan

pertanian lahan gambut, serta pengendalian dampak negatif terhadap luas kawasan hutan tetap,

keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat lokal akibat konversi hutan alam dan kawasan

hutan menjadi lahan pertanian, kebun, tambang dan pembangunan infrastruktur lainnya. Modul

ini disusun untuk mengambangkan kapasitas para perencana pembangunan dalam mengadopsi

panduan yang telah disiapkan oleh WG 9 tersebut.

Para perencana pembangunan seyogyanya telah sangat akrab dengan sistem perencanaan

pembangunan nasional, khususnya dalam penyusunan RPJMD dan RKPD Pemerintah Provinsi.

Dalam tugas pokok dan fungsi perencanaan tersebut, pengarusutamaan REDD+ merupakan strategi

pengintegrasian Stranas REDD+ dan RAN REDD+ ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional, tanpa mengabaikan rencana kerja pembangunan pemerintah dan pemerintah daerah

yang telah disusun sebelumnya. Secara operasional pengarusutamaan REDD+ merupakan

proses adopsi RAN REDD+ dan pengembangan inisiatif baru dalam perencanaan, penganggaran

maupun pelaksanaan kebijakan pembangunan. Pengarusutamaan merupakan strategi proses yang

berorientasi jangka panjang dan terfokus pada penyediaan kondisi pemungkin (enabling condition)

bagi pengelolaan hutan dan lahan gambut pada skala lansekap secara berkelanjutan yang didukung

sepenuhnya oleh kebijakan nasional dan daerah, serta tata kepemerintahan pembangunan nasional

yang baik (good governance) dan keberterimaan masyarakat/pelaku pembangunan di seluruh sektor

berbasis lahan.

Page 99: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING96

Modul ini diharapkan mampu memberikan arahan dan memandu para perencana dalam memahami

Pedoman Pengarus-utamaan REDD+ Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan

mengadopsinya dalam perencanaan daerah, baik RPJMN maupun RKPD. Pada prinsipnya para

perencana diharapkan mampu mengadopsi secara menyeluruh program/kegiatan REDD+ sebagai

bagian integral dari proses pencapaian tujuan pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh semua

sektor pembangunan, terutama pada sektor pembangunan berbasis lahan yang terkait langsung

dengan isu-isu REDD+. Selain itu, pengarusutamaan dilakukan dengan berlandaskan pada prinsip

efi siensi, efektivitas, keadilan, transparansi dan akuntabilitas program sesuai ketersediaan dana

Pemerintah/Pemerintah Daerah dan dana lain yang mungkin dapat digunakan dalam pembangunan

nasional/daerah.

DESKRIPSI RINGKAS

Secara keseluruhan, modul ini menyajikan pokok dan sub pokok bahasan yang berkaitan dengan

REDD+ dan proses pengarus-utamaannya ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional,

khususnya perencanaan pembangunan di daerah. Modul ini berusaha menjawab beberapa

pertanyaan kunci sebagai berikut:

1. Mengapa REDD+ penting bagi pembangunan nasional/daerah?

2. Adakah landasan hukum dan kebijakan yang kuat bagi implementasi REDD+ dalam pembangunan

nasional?

3. Apa konteks REDD+ dalam perencanaan pembangunan nasional/daerah?

4. Bagaimana REDD+ dapat diadopsi secara menyeluruh ke dalam sistem perencanaan

pembangunan nasional, khususnya pembangunan daerah?

5. Bagaimana mekanisme pendanaan REDD+ dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan

pembangunan nasional, khusunya pembangunan daerah?

Untuk mewujudkan harapan dalam peningkatan kapasitas perencanaan nasional/daerah, modul ini

dilengkapi, dan merupakan bagian tak terpisahkan, dengan beberapa bacaan wajib, yaitu:

1. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 mengenai RAN-GRK

2. Strategi Nasional REDD+

3. Rencana Aksi Nasional REDD+

4. Pedoman Pengarusutamaan REDD+ Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Selain bacaan wajib tersebut, modul ini dilengkapi dengan berbagai bahan bacaan yang berkaitan

dengan isu perubahan iklim, khususnya REDD+.

TUJUAN

Modul ini disusun untuk meningkatkan kapasitas peserta dalam mengarusutamakan REDD+ dalam

proses perencanaan nasional/daerah. Setelah menggunakan modul ini, para peserta diharapkan

dapat meningkatkan kompetensinya dalam menyusun rencana pembangunan yang mendukung

secara penuh pencapaian tujuan REDD+ pada tingkat nasional/daerah.

Page 100: Laporan Sintesis Hasil CB

97LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK

Berdasarkan tujuan tersebut, materi pokok dan submateri pokok yang disajikan dalam modul ini adalah:

1. Review mengenai Perubahan Iklim, REDD+ dan Pembangunan Nasional/Daerah:

a. Perubahan Iklim dan dampaknya bagi manusia

b. Perubahan Iklim dan Hutan

c. REDD+ sebagai upaya mitigasi perubahan iklim

d. Permasalahan Pembangunan dan Dampaknya Terhadap Hutan

e. REDD+ dan Pembangunan Nasional/Daerah

2. Review mengenai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berkaitan dengan REDD+:

a. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2011 tentang RAN GRK

b. Stranas dan RAN REDD+

c. Kebijakan REDD+ menuju Good Forestry/Land Governance

3. REDD+ Dalam Pembangunan Nasional/Daerah

a. Ruang Lingkup REDD+

b. Konteks REDD+ dalam Perencanaan Pembangunan Nasional/daerah

c. Kedudukan REDD+ dalam Perencanaan Pembangunan Nasional/Daerah

4. Proses Pengarus-utamaan REDD+ dalam RKPD dan RPJMD

a. Strategi Umum Pengarus-utamaan REDD+

b. Adopsi REDD+ dalam RKPD

c. Adopsi REDD+ dalam RPJMD

d. Mekanisme pendanaan

e. Kebijakan Pendukung

5. Pengawasan dan Evaluasi Implementasi REDD+

a. Tahap Perencanaan

b. Tahap Implementasi

c. Tahap Evaluasi

MATERI POKOK #1

● Judul: Perubahan Iklim, REDD+ dan Pembangunan Nasional/Daerah

● Deskripsi Ringkas

Isu perubahan iklim secara konsisten berusaha dipertahankan momentumnya oleh masyarakat

global melalui berbagai wadah internasional untuk mendapatkan kesepakatan dan

komitmen Negara-negara di dunia dalam upaya menurunkan tingkat emisi global yang kian

mengkhawatirkan. Sangat disadari bahwa perubahan iklim akan memberikan dampak yang

sangat besar bagi kehidupan manusia, mulai dari perubahan tata lingkungan hidup, peningkatan

frekuensi bencana alam dan tuntutan perubahan gaya hidup yang berasosiasi dengannya. Hal ini

membutuhkan kesiapan seluruh Negara di dunia untuk melakukan proses adaptasi dan mitigasi.

Melalui berbagai konvensi internasional, Negara-negara didorong untuk menegosiasikan

kepentingan nasional dan komitmennya dalam memberikan upaya penurunan emisi negaranya

Page 101: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING98

masing-masing. Salah satu konvensi internasional yang telah diratifi kasi Indonesia yang menjadi

dasar pengaturan perubahan perubahan iklim nasional adalah Konvensi Kerangka Kerja Persatuan

Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework on Climate Change

Convention/UNFCCC)) yang kemudian disahkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994

tentang Pengesahan UNFCCC. Dengan demikian Indonesia telah menambahkan perangkat

hukum nasional yang menjadi landasan bagi pengaturan perubahan iklim dan pembangunan

berkelanjutan. Selanjutnya berbagai produk hukum dan kebijakan telah ditetapkan untuk

memperlengkapi Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim melalui berbagai

perangkat rencana aksi adaptasi maupun mitigasi.

● Tujuan Khusus

Peserta memahami pentingnya Isu Perubahan Iklim, REDD+ dan implikasinya bagi pembangunan

nasional/daerah.

● Pokok-Pokok Materi

1. Dampak negatif perubahan iklim semakin nyata dan terbukti telah menerpa di Indonesia.

Bukti dan dampak negative tersebut baru-baru ini disampaikan melalui the Indonesia Country

Report on Climate Variability and Climate Change yang disusun oleh para ahli dari berbagai

sektor dan institusi terkait, yang berisi ulasan analitis mengenai dampak perubahan iklim

di Indonesia. Bukti-bukti tersebut sesuai dengan hasil kajian secara global yang dilakukan

oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dampak-dampak tersebut memiliki

tantangan terhadap pembangunan dalam aspek lingkungan sosial dan ekonomi secara

berkelanjutan, serta terhadap pencapaian tujuan pembangungan Indonesia. Untuk mengatasi

hal tersebut, kita perlu segera mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke

dalam system perencanaan pembangunan nasional. Kita perlu mempersiapkan masyarakat

agar lebih siap, tahan dan kuat terhadap ancaman yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

Menjawab tantangan tersebut masih banyak diperlukan publikasi buku-buku bagi masyarakat

yang haus akan informasi terkait masalah perubahan iklim.

2. Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia pada pertemuan G-20 di Pittsburg menyatakan

komitmennya untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan usaha

sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020 dari kondisi

tanpa adanya rencana aksi (business as usual). Sebagai implementasi komitmen penurunan

emisi tersebut, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi

Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). RAN GRK merupakan dokumen

rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung

menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Kegiatan

RAN GRK meliputi bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi,

industri, pengelolaan limbah dan kegiatan pendukung lain. Persentase terbesar penurunan

emisi diproyeksikan akan berasal dari bidang berbasis lahan yaitu pertanian dan kehutanan,

termasuk didalamnya adalah lahan gambut.

Page 102: Laporan Sintesis Hasil CB

99LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

3. Penyusunan dan peluncuran Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)

mengejawantahkan hasil-hasil negosiasi di tingkat internasional melalui UNFCCC. Pada

tingkat nasional ICCSR menjadi acuan perumusan RAN-GRK dan Strategi Nasional REDD+.

Strategi Nasional REDD+ perlu dirinci pada tataran teknis ke dalam dokumen Rencana Aksi

Nasional REDD+ (RAN REDD+) untuk diadopsi ke dalam rencana pembangunan nasional dan

APBN untuk memastikan ketersediaan anggaran guna memperbaiki kinerja pembangunan

berbasis sumberdaya hutan dan lahan gambut. Pada tingkat daerah, sesuai dengan amanat

dari pasal 6 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden No.61 Tahun 2011 tentang RAN GRK, tiap-tiap

Provinsi diwajibkan untuk menyusun dokumen Rencana Aksi Daerah GRK (RAD GRK) dengan

berpedoman pada RAN GRK dan prioritas pembangunan daerahnya masing-masing. Khusus

untuk REDD+, Stranas REDD+ dan RAD GRK dituangkan menjadi Strategi dan Rencana Aksi

Propinsi (SRAP) REDD+ di tingkat provinsi untuk kemudian diadopsi ke dalam perencanaan

pembangunan daerah. Keseluruhan proses ini dikenal dengan istilah pengarusutamaan

REDD+.

4. Strategi Nasional REDD+ dibangun untuk mencapai tujuan jangka panjang yang dijabarkan

sebagai berikut: (i) menurunkan emisi GRK yang berasal dari sektor pengguna lahan dan

perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change, and Forestry/LULUCF); (ii)

meningkatkan simpanan karbon; (iii) meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati; dan

(iv) meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan. Kerangka program REDD+

terdiri dari lima pilar strategis yang saling terkait satu sama lain, namun memiliki sasaran

secara keseluruhan mendorong terwujudnya tata kepemerintahan yang baik di seluruh sektor

berbasis lahan, termasuk konektivitasnya dengan Lembaga REDD+ tingkat nasional, propinsi

dan kabupaten.

● Bacaan Khusus

1. Rencana Aksi Nasional untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.

2. Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia Harus Beradaptasi Untuk Melindungi Rakyat

Miskinnya (UNDP Indonesia, 2007).

3. Indonesian Climate Change Sectoral Road Map (December, 2009).

4. Roadmap of Mainstreaming Climate Change Issue into National Development Planning.

5. Peraturan Presiden Nomor. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK.

MATERI POKOK #2

● Judul: Peraturan Perundang-undangan REDD+

● Deskripsi Ringkas

REDD+ (Reducing Emission from Deforestation & Degradation) baik sebagai suatu kegiatan

(activity) maupun mekanisme insentif merupakan suatu isu lintas sektor (cross-cutting issue)

yang secara substansi pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Page 103: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING100

Sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan dan lingkungan hidup adalah sektor-sektor kunci

yang secara riil mempengaruhi keberhasilan penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi

hutan dan lahan gambut dalam mengimplementasikan REDD+. Berbagai peraturan perundang-

undangan yang mengatur sektor-sektor tersebut mendefi nisikan ruang lingkup pengaturan

kegiatan REDD+ maupun batas spasial yang menjadi ruang lingkup REDD+. Selain pengaturan

kegiatan di sektor riil, peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang menjadi

tolok ukur penting dalam keberhasilan implementasi REDD+ terutama terkait dengan kesesuaian

pemanfaatan ruang yang disasar menjadi lokus kegiatan REDD+ dengan berbagai kegiatan

sektor riil yang semakin menekan ketersediaan ruang untuk REDD+. Secara khusus Pemerintah

telah mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan iklim yang dituangkan ke dalam Peraturan

Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK.

● Tujuan Khusus

Peserta memahami berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perubahan iklim

dan REDD+ serta implikasinya dalam pembangunan nasional/daerah.

● Pokok-Pokok Materi

1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) dalam konteks

REDD+ membatasi lingkup kegiatan REDD+ yang berada dalam kawasan hutan dan

mengatur pengendalian penggunaan lahan dalam kawasan hutan untuk kegiatan-kegiatan

non kehutanan yang berimplikasi pada kegiatan penurunan tutupan hutan, konversi hutan

dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. UU 41/1999 juga mewajibkan Pemerintah

untuk menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan sebagai upaya pemberian kepastian

hukum dan penyelesaian konfl ik bagi para pemegang kepentingan terutama masyarakat yang

tinggal dalam dan disekitar kawasan hutan. Selain itu, UU 41/1999 juga memberikan ruang

untuk diselenggarakannya kegiatan non-kehutanan di kawasan hutan melalui pemberian izin

pinjam pakai. Dalam keadaan tertentu, disediakan pula ruang untuk perubahan peruntukan

kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Dalam hubungannya dengan

implementasi REDD+, berbagai upaya pelepasan kawasan hutan (perkebunan, pemukiman)

untuk kepentingan pembangunan nasional maupun daerah harus dapat dikendalikan dan

dipertanggungjawabkan secara hukum.

2. Perencanaan kehutanan dan pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan berpegang pada

rencana tata ruang wilayah yang pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007). UU 26/2007 beserta peraturan pelaksanaannya

memberikan acuan dalam perencanaan, pemanfaatan, pembinaan dan pengawasan alokasi

ruang yang harus menjadi dasar perencanaan pembangunan nasional maupun daerah. Hal

yang sama juga berlaku jika dalam penyusunan RTRW, terdapat usulan perubahan peruntukan

dan fungsi kawasan hutan yang mana harus ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebelum

usulan tersebut dapat dimasukan ke dalam perubahan RTRW yang bersangkutan. Dengan

demikian diperlukan pemahaman dalam mengharmonisasikan ketentuan antara Peraturan

Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah

Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 10

Page 104: Laporan Sintesis Hasil CB

101LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun

2012.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009)

berperan sebagai pengendali dampak pengalokasian ruang beserta pemanfaatannya

terhadap lingkungan. UU 32/2009 memandatkan perlindungan dan pengendalian dampak

lingkungan atas pelaksanaan pembangunan melalui instrumen Rencana Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang

digunakan pada tahap perencanaan pembangunan nasional maupun daerah. Pada tahap

perencanaan, RPPLH menjadi acuan dalam pemanfaatan dan pengeloaan sumber daya alam

di suatu wilayah dengan mempertimbangkan ketersediaan cadangan sumber daya alam,

fungsi lingkungan hidup, pemantauan dan pelestarian sumber daya alam serta adaptasi dan

mitigasi perubahan iklim. Sedangkan KLHS berperan penting dalam mengkaji suatu kebijakan,

rencana atau program pembangunan yang melibatkan perencana tata ruang wilayah yang

berpotensi berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Dalam hubungannya dengan

implementasi REDD+, kedua instrumen ini menjadi alat bantu yang wajib diterapkan oleh

Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan

terutama untuk pengalokasian ruang dan pemberian izin pemanfaatan sumber daya alam

yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif dan berdampak pada penurunan tutupan hutan dan

kerusakan lingkungan hidup.

4. Peraturan perundang-undangan tersebut di atas beserta peraturan pelaksanaannya

merupakan beberapa aturan teknis yang mengawal keberhasilan proses perencanaan

pembangunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam hubungannya dengan pengarusutamaan

REDD+ ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional maupun daerah, seluruh

instrumen yang dimandatkan peraturan perundang-undangan tersebut wajib menjadi

acuan dalam perencanaan pembangunan. Kesemuanya menjadi prasyarat keberhasilan

REDD+. Kebijakan lain yang ditetapkan Pemerintah dalam mendukung pencapaian REDD+

adalah melalui Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan

Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut.

5. Dari sisi perencanaan dan penganggaran, maka implementasi perencanaan pembangunan

akan dikembalikan kepada pembagian kewenangan antar susunan dan/atau tingkat

pemerintahan yang harus dibagi habis. Dengan didasari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah maka diperlukan sinergitas dan harmonisasi antara program

dan kegiatan tingkat pusat dan daerah maupun dari sisi penganggaran sehingga dipastikan

optimalisasi pelaksanaan dan pencapaian target dalam program dan kegiatan. Pemetaan pihak

yang bertanggungjawab atas suatu kegiatan di lokus yang spesifi k ditentukan oleh Undang-

Undang juga menentukan beban anggaran yakni APBN ataupun APBD sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kaitannya dengan

implementasi REDD+ bahwa agar seluruh kegiatan REDD+ dapat dikembalikan ke tupoksi

sektoral di Pusat maupun Daerah sehingga seluruh kegiatan dapat diserap seluruhnya dan

Page 105: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING102

dipertanggungjawabkan.

6. Landasan hukum REDD+ sebagai bagian dari upaya penurunan emisi Indonesia harus dapat

dikembalikan kepada Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah

Kaca (RAN GRK) khusus bidang kehutanan dan lahan gambut. RAN GRK maupun RAD GRK

berisi kegiatan-kegiatan yang sudah terdapat dalam rencana pembangunan nasional (RPJMN/

RKP/Renstra K/L) maupun daerah (RPJMD/RKPD/Renstra SKPD) yang wajib dilaksanakan

Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah dan diproyeksikan dapat menurunkan

emisi GRK. Dengan demikian, REDD+ harus terintegrasi dalam kegiatan-kegiatan pencapaian

target emisi dalam RAN GRK maupun RAD GRK melalui fungsi debottlenecking, troubleshooting

dan penyiapan kondisi pemungkin.

7. Berdasarkan uraian di atas, pengarusutamaan REDD+ ke dalam sistem perencanaan

pembangunan nasional merupakan suatu proses integrasi kebijakan REDD+ ke dalam rencana

kerja pemerintah yang melibatkan penerapan ketentuan-ketentuan yang tersebar dalam

berbagai peraturan perundang-undangan. Pengkajian dan harmonisasi peraturan perundang-

undangan lintas sektoral menjadi salah satu prasyarat yang dibutuhkan dalam memantapkan

implementasi REDD+ selain penegakkan hukum.

● Bacaan Khusus

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on

Biodiversity.

3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Framework

Convention on Climate Change.

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United

Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka

Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim).

7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional.

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah.

10. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

11. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional 2005-2025.

12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

13. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

15. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Page 106: Laporan Sintesis Hasil CB

103LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

16. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar

Negeri dan Penerimaan Hibah.

17. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan

Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60

Tahun 2012.

18. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012.

19. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2010-2014.

20. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian.

21. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca

(RAN GRK).

MATERI POKOK #3

● Judul: REDD+ Dalam Pembangunan Nasional/Daerah

● Deskripsi Ringkas

Indonesia sebagai “mega-biodiversity country” yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 130

juta ha (lk. 70 persen dari luas daratan) berpeluang besar untuk mendapatkan manfaat dari

insentif REDD+ sepanjang mampu membuktikan kinerja pengelolaan sumberdaya hutan dan

lahan gambut yang terbukti dapat mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degaradasi

hutan. Selain itu, Indonesia juga berkepentingan untuk mengurangi emisi yang cukup besar dari

sektor kehutanan dan penggunaan lahan dengan menurunkan tingkat deforestasi dan degradasi

hutan secara signifi kan, serta ikut menekan laju pemanasan global karena termasuk salah satu

negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Untuk mendapatkan insentif REDD+

perlu dipahami secara mendalam ruang lingkup REDD+, konteks REDD+ dalam perencanaan

pembangunan nasional/daerah, serta kedudukan REDD+ dalam perencanaan pembangunan

nasional/daerah.

● Tujuan Khusus

Peserta memahami pentingnya REDD+ dalam pembangunan nasional, khususnya sebagai bagian

dari RAN-GRK dan instrumen untuk membenahi tata keperintahan kehutanan dan lahan gambut

di Indonesia.

● Pokok-Pokok Materi

1. Ruang Lingkup REDD+ dapat dilihat dari beberapa perspektif, antara lain: substansi REDD+,

strategi untuk mewujudkan substansi tersebut dan ruang lingkup spasialnya.

2. Secara umum, REDD+ menuntut ketersediaan lahan yang secara legal dialokasikan sebagai

lahan hutan tetap, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, yang harus dikelola secara

berkelanjutan melalui upaya mempertahankan semaksimal mungkin hutan alam, termasuk

hutan adat, yang masih ada, melakukan restorasi ekosisrem dan pembangunan hutan

tanaman, termasuk hutan rakyat. Dengan cara ini, REDD+ akan menyumpangkan penurunan

Page 107: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING104

emisi karbon yang menjadi tujuan utama adaptasi perubahan iklim.

3. Mekanisme legal yang harus dipatuhi oleh seluruh pelaku pembangunan adalah perencanaan

tata ruang yang secara jangka panjang telah memproyeksikan lahan hutan tetap yang harus

dipertahankan.

4. Agar mampu mewujudkan keberhasilan, pencapaian tujuan REDD+ harus direncanakan secara

terintegrasi untuk mengatasi akar masalah deforestasi dan degradasi hutan yang dihadapi

selama ini, serta dipadukan dengan RAN/RAD GRK dan seluruh dokumen perencanaan

nasional/daerah (RPJMN/D dan RKP/D) yang mengikat secara hukum.

Bacaan Khusus

1. Pedoman Pengarus-utamaan REDD+ dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Bab

II: Ruang Lingkup Pengarus-utamaan)

2. RAN GRK (Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut)

3. Stranas REDD+ (Bab II: Strategi Nasional REDD+)

4. RAN REDD+ (Bab I s/d Bab III)

MATERI POKOK #4

● Judul: Proses Pengarus-utamaan REDD+ Dalam RKPD dan RPJMD

● Deskripsi Ringkas

Dalam rangka menuju visi pembangunan nasional Indonesia (UU No.17/2007), yaitu: “Mewujudkan

Indonesia Asri Lestari”, Pemerintah RI telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi

Gas Rumah Kaca atau RAN GRK, rencana menyeluruh untuk mengurangi emisi sesuai dengan

komitmen 26%/41% Indonesia yang dituangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun

2011 pada bulan September 2011. Pada tanggal 28 Oktober 2011, pemerintah telah meluncurkan

“dokumen rencana kerja pelaksanaan kegiatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai

dengan target nasional”. Rencana ini menargetkan enam sektor: pertanian, kehutanan dan lahan

gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah dan kegiatan pendukung lainnya.

Rencana ini mengidentifi kasi target pengurangan emisi untuk setiap sektor, kegiatan dan tujuan

dalam setiap sektor tersebut dan mengidentifi kasikan kementerian terkait yang bertanggung

jawab untuk setiap kegiatan.

REDD+ adalah sebuah komponen penting RAN GRK dan enam strategi relevan telah diidentifi kasi:

(i) mengurangi deforestasi dan degradasi hutan untuk mengurangi emisi GRK; (ii) meningkatkan

wilayah penanaman hutan untuk meningkatkan penyerapan GRK; (iii) memperbaiki perlindungan

hutan dari kebakaran dan pembalakan liar, dan meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan;

(iv) memperbaiki pengelolaan air dan wilayah resapan air dan menstabilisasi tingkat air di

wilayah gambut; (v) mengoptimalkan sumber daya lahan dan air; dan (vi) menerapkan teknologi

pengelolaan lahan dan pemeliharaan pertanian dengan emisi rendah dan penyerapan CO2 yang

optimal.

Page 108: Laporan Sintesis Hasil CB

105LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

● Tujuan Khusus

Peserta mampu melakukan proses pengarus-utamaan REDD+ dalam pembangunan daerah, baik

RKPD berjalan maupun RPJMD yang akan datang.

● Pokok-Pokok Materi

1. REDD+ memiliki sasaran untuk membenahi tata kepemerintahan hutan/lahan di Indonesia,

sehingga memenuhi prinsip-prinsip good governance.

2. Lima akar masalah pembangunan kehutanan dan delapan strategi kunci REDD+ perlu diadopsi

dalam seluruh dokumen perencanaan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Kseluruhan

strategi di atas baru akan secara efektif dapat diadopsi pada saat penyusunan RPJMD,

sedangkan dalam RKPD yang sedang berjalan penyesuaian hanya dimungkinkan sepanjang

dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. RAN REDD+ telah secara kritis menetapkan berbagai program/kegiatan yang harus

diakomodasikan dalam RKPD dan RPJMD. Implementasi berbagai program/kegiatan tersebut

membutuhkan keterpaduan perencanaan antara pusat-daerah dan lintas sektor. Sepanjang

sesuai dengan kewenangan daerah, program/kegiatan RAN REDD+ dapat diakomodasikan

dalam RKPD dan RPJMD.

4. Proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam RKP/RKPD adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifi kasi dan mengelompokkan program, kegiatan prioritas dan indikator kinerja

dalam RKP/RKPD yang secara aktual maupun potensial termasuk dalam ruang lingkup

REDD+ dan/atau relevan dengan tujuan REDD+;

b. Menyandingkan hasil identifi kasi dan pengelompokkan program/kegiatan prioritas

K/L dengan program/kegiatan RAN REDD+. Persandingan yang sama dilakukan antara

program kegiatan SKPD dengan SRAP REDD+/RAD GRK bidang kehutanan dan lahan

gambut;

c. Melakukan analisis kesenjangan (gap analysis) antara program/kegiatan prioritas pada

RKP/RKPD dengan program/kegiatan RAN/SRAP REDD+/RAD GRK;

d. Mengisi kesenjangan dengan merevisi dan menambah indikator kinerja di RKP/RKPD

sepanjang implikasinya terhadap lokus, skala dan intensitas program/kegiatan dapat

dipenuhi dengan alokasi anggaran yang ada. Revisi juga dilakukan apabila program/

kegiatan dalam RAN/SRAP REDD+/RAN GRK dapat dijadikan sebagai pendukung bagi

pencapaian target yang telah ditetapkan tanpa mengubah nama program/kegiatan

yang telah ditetapkan. Apabila tidak dapat dipenuhi dengan alokasi anggaran yang telah

ditetapkan, maka alternatif pembiayaannya dapat diidentifi kasi berdasarkan pendanaan

lain yang mungkin tersedia pada tahun 2014 melalui skema keproyekan tertentu atau

dialihkan pada rencana tahun berikutnya.

e. Untuk mensinergikan perencanaan antara pemerintah dan pemerintah daerah, penyatuan

lokus pada KPHK/KPHL/KPHP dan area yang diregister sebagai area REDD+ perlu dilakukan

guna meningkatkan efektivitas dan efi siensi program/kegiatan pembangunan dalam

pengarusutamaan REDD+.

f. Menyediakan alternatif solusi atas hasil analisis kesenjangan dan revisi RKP/RKPD dengan

Page 109: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING106

menetapkan kebijakan guna menguatkan pelaksanaan kegiatan RAN/SRAP REDD+/RAN

GRK bidang kehutanan dan lahan gambut..

1. Adapun proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam RPJMN/RPJMD adalah sebagai

berikut:

a. Mengevaluasi hasil implementasi RPJMN/RPJMD yang telah dilaksanakan

sebelumnya dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan REDD+. Hasil evaluasi

digabungkan dengan hasil identifi kasi basis data, termasuk data spasial,

identifi kasi keberhasilan, termasuk yang ada di masyarakat, serta identifi kasi

kebutuhan dan akar masalah bagi penyediaan kondisi pemungkin (enabling

condition) yang diperlukan untuk implementasi REDD+ hingga di tingkat tapak.

Masalah perlu dipilah menjadi masalah kebijakan/regulasi, masalah kelembagaan/

kepemerintahan dan masalah manajemen atau implementasi adi praktis (best

practices).

b. Mengidentifi kasi kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan untuk

menyelesaikan akar masalah penyediaan kondisi pemungkin untuk mendukung

implementasi REDD+ pada tingkat kebijakan/regulasi, kelembagaan/

kepemerintahan dan manajemen;

c. Merumuskan tujuan dan strategi nasional/daerah untuk implementasi REDD+

dengan mempertimbangkan strategi kunci yang direkomendasikan dalam

panduan ini (Bab 3.1) dan Stranas REDD+. Patut dicermati bahwa sebagian besar

strategi nasional/daerah untuk implementasi REDD+ membutuhkan koordinasi

dan sinergi yang bersifat lintas sektor dan lintas tingkat pemerintahan (pusat-

provinsi, kabupaten/kota).

d. Merumuskan target, indikator kinerja, program/kegiatan dengan menginklusikan

RAN/SRAP REDD+/RAD GRK bidang kehutanan dan lahan.

e. Merumuskan strategi pendanaan dengan mengoptimalkan pemanfaatan dana

non APBN/APBD, baik dana perwalian, dana hibah maupun FREDDI.

f. Menyatukan seluruh hasil perencanaan di atas dalam format RPJMN/RPJMD secara

utuh.

2. Selain melalui dana APBN/APBD, program/kegiatan REDD+ dapat didanai dari dana

hibah langsung, dana perwalian, dana FREDDI atau insentif fi scal yang tersedia.

3. Untuk mendukung implementasi program/kegiatan REDD+ perlu diidentifi kasi dan

ditetapkan kebijakan pendukung.

● Bacaan Khusus

1. Pedoman Pengarus-utamaan REDD+ dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Bab

III s/d Bab V)

2. RAN GRK (Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut)

3. RAN REDD+ (Lampiran-Lampiran)

4. RAD GRK (Bila sudah tersusun)

5. SRAP REDD+ (Bila sudah tersusun)

Page 110: Laporan Sintesis Hasil CB

107LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING

MATERI POKOK #5

● Judul: Pengawasan dan Evaluasi Implementasi REDD+

● Deskripsi Ringkas

Pengawasan dan evaluasi atas pengarusutamaan REDD+ dalam tahap perencanaan dan

implementasi RKP/RKPD dan RPJMN/RPJMD, maupun dalam pembuatan kebijakan yang

memfasilitasi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dilakukan dengan mengefektifkan sistem

pengawasan dan evaluasi yang sudah ada. Sistem dan mekanisme pengawasan ini tersebar

pada berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan bidang dan kegiatan yang diatur.

Pengawasan dan evaluasi dalam pengarusutamaan REDD+ dilakukan pada tahap perencanaan

sedangkan pelaksanaan hal-hal yang telah diarusutamakan ke dalam RKP dan RPJMN akan

dilakukan oleh berbagai Kementerian/Lembaga sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Selain

itu pengawasan dan evaluasi yang dilakukan akan mengacu pada indikator kinerja utama yang

ditetapkan dalam RAN REDD+ yang akan berada dibawah koordinasi dan pengawasan Lembaga

REDD+.

● Tujuan Khusus

Peserta memahami pentingnya pengawasan dan pemantauan, baik pada tahap perencanaan

maupun implementasi REDD+, sebagai dasar evaluasi bagi keberhasilan pencapaian kinerja

terbaiknya.

● Pokok-Pokok Materi

1. Pengawasan dalam pengarusutamaan REDD+ pada dasarnya dilaksanakan terhadap

bagian perencanaan tepatnya ketika proses penyusunan RKP berlangsung. Dalam proses

ini, diarusutamakannya program/kegiatan dalam RAN REDD+ ke dalam RKP yang sedang

disusun akan dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Lembaga REDD+. Sedangkan

pengawasan ada tidaknya alokasi anggaran untuk pengarusutamaan REDD+ dilakukan oleh

Kementerian Keuangan serta dibantu oleh Lembaga REDD+ khususnya melalui instrumen

pendanaan REDD+ untuk memberikan alternatif pendanaan bagi kegiatan yang tidak memiliki

alokasi anggaran dari APBN. Proses ini terjadi melalui rapat trilateral sebagai bagian dari proses

penyusunan RKP dan penyusunan APBN. Selain itu, proses pengarusutamaan REDD+ ke dalam

RKPD dapat diawasi baik oleh Lembaga REDD+ Pusat maupun Daerah, Kementerian Dalam

Negeri, Kementerian/Lembaga Teknis terkait dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan

dan Bappeda.

2. Setelah RKP ditetapkan, maka pelaksanaan REDD+ akan dilakukan oleh Kementerian/

Lembaga pelaksana (Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian

Lingkungan Hidup), Kementerian PPN/Bappenas, Lembaga REDD+ Pusat maupun Daerah

(jika ada), Bappeda, kepala SKPD maupun Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan

agar pengarusutamaan REDD+ dapat dieksekusi hingga ke tingkat tapak. Ketika Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) telah terbentuk maka, KPH dapat dijadikan alat pengawasan

pelaksanaan REDD+. Indikator yang menjadi ukuran keberhasilan pengarusutamaan REDD+

adalah tercapainya target program/kegiatan yang diperintahkan oleh RAN REDD+ yang

sebelumnya telah diarusutamakan dan diintegrasikan ke dalam RKP dan RPJMN 2015-2019.

3. Evaluasi pengarusutamaan REDD+ ke dalam RKP maupun RPJMN dilakukan beriringan dengan

Page 111: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING108

evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan nasional yakni dengan evaluasi terhadap Renja

K/L maupun RKP untuk kemudian disampaikan kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas. Untuk

mencapai proses evaluasi yang efektif dan tepat guna, dibutuhkan pengukuran indikator

kinerja yang jelas sebagaimana dicantumkan dalam RAN REDD+.

4. Evaluasi kegiatan, kinerja maupun penganggaran dapat dilakukan baik oleh BPKP maupun

oleh BPK. Evaluasi terhadap pengarusutamaan kegiatan aksi REDD+ yang berkaitan dengan

mekanisme insentif dan disinsentif yang dananya berasal dari DAK dilakukan di daerah. Untuk

itu Sekretariat Bersama (Sekber) Pemantauan dan Evaluasi DAK di Tingkat Pusat di Kementerian

Dalam Negeri (Ditjen Bina Bangda) yang melakukan pemantauan DAK secara terpadu dan lintas

K/L. Pelaksanaan pemantauan teknis dan evaluasi pemanfaatan DAK ini dilakukan berdasarkan

Surat Edaran Bersama (SEB) 3 Menteri No. 239/2008 yaitu antara Menteri PPN/Kepala Bappenas,

Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Tujuannya adalah agar pemberian insentif

dan disinsentif dapat tepat waktu dan tepat sasaran sesuai dengan penetapan alokasi DAK

dimaksud. Dalam hal ini yang dilaksanakan adalah review laporan, kunjungan lapangan dan

forum koordinasi. Dari hasil pemantauan dan evaluasi tersebut dapat ditetapkan pemberian/

pengenaan insentif dan disinsentif di tahun anggaran selanjutnya.

● Bacaan Khusus

1. Pedoman Pengarus-utamaan REDD+ dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Bab

VI: Pengawasan dan Evaluasi)

2. RAN REDD+ (Lampiran-Lampiran)

3. SRAP REDD+ (Bila sudah tersusun)

Page 112: Laporan Sintesis Hasil CB

LAPORAN SINTESIS HASIL CAPACITY BUILDING110