laporan resmi p2 ppok revisi 1.docx
TRANSCRIPT
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM PENCERNAAN DAN PERNAFASAN
PRAKTIKUM II
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)
Oleh :
Golongan/Kelompok : I/I D
Hari/Tanggal Praktikum : Selasa/22 Oktober 2013
1. Naeli Alfafaroh 105010531
2. Dea Maulina Utami 105010549
3. Hilda Tania Mursela 105010554
4. Tegar Bagus Prasetyo 105010553
5. Efta Lita Ikke Rizki 105010563
6. Halimatus S Zein 105010567
7. Nandang Prasetyo W 105010566
Dosen Pengampu : Kiki Damayanti, S. Farm
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2013
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM PENCERNAAN DAN PERNAFASAN
PRAKTIKUM II
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)
I. TUJUAN
Mahasiswa mampu memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK).
II. DASAR TEORI
a. DEFINISI
b. ETIOLOGI
c. PATOFISIOLOGI
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia
sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
d. DIAGNOSIS
e. MANIFESTASI KLINIK
f. GEJALA KLINIK
g. PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi PPOK dapat dibedakan menjadi terapi untuk pemeliharaan pada PPOK
yang stabil, dan terapi pada aksaserbasi akut.Tujuan terapi PPOK pada PPOK stabil
adalah memperbaiki keadaan obstruksi kronik, mengatasi dan mencegah eksaserbasi
akut, menurunkan kecepatan perkembangan penyakit, meningkatkan keadaan fisik
dan psikologis pasien sehingga pasien dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari,
menurunkan jumlah hari-hari tak bekerja, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah
sakit, dan menurunkan jumlah kematian. Terapi pada eksaserbasi akut adalah untuk
memelihara fungsi pernafasan dan memperpanjang survival.
TERAPI NON FARMAKOLOGI
Diagnosa klinik terhadap PPOK perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami
dyspnea (sesak nafas), batuk kronis atau terjadi produksi sputum dengan riwayat
paparan terhadap faktor risiko. Diagnosa sebaiknya ditegakkan dengan pengukuran
spimoteri. Spimotri merupakan standar baku karena merupakan cara yang telah
terstandarisir, dan reprodusibel, dan obyektif untuk mengukur fungsi pernafasan. Nilai
FEV1/FVC<70% dan pasca bronkodilator FEV1< 80% menunjukkan adanya
gangguan pernafasan yang tidak reversibel, yang merupakan karakteristik PPOK.
Penilaian terhadap keparahan PPOK harus didasarkan pada tingkat gejala pasien,
keparahan abnormalitas hasil uji spirometri, dan adanya komplikasi.
Pengukuran tekanan udara arteri harus dipertimbangkan untuk dilakukan jika
FEV1<50%, atau jika ada tanda klinis yang mengarah pada kegagalan pernafasan atau
gagal jantung kanan. Sselain itu, perlu dilakukan skrining terhadap defisiensi ATT,
terutama pada pasien di bawah 45 tahun, dan pasien dengan riwayat keluarga yang
kuat untuk penyakit PPOK. Konsentrasi serum AAT 15-20% di bawah nilai normal
menunjukkan adanya kemungkinan defisiensi AAT homozigos. Penyakit penyerta
cukup sering terjadi pada pasien PPOK dan harus diidentifikasi dengan benar, karena
adanya komordibitas ini bisa mempersulit penatalaksanaan PPOK, dan sebaliknya.
Pemantauan dan asesmen terhadap gejala perlu dilakukan baik pada PPOK yang
baru terdiagnosis, maupun PPOK yang sudah lama. Karena penyakit ini merupakan
penyakit yang progresif, maka pemantauan harus dilakukan terus menerus terhadap
perkembangan gejala maupun kemungkinan terjadinya komplikasi. Beberapa hal yang
harus dimonitor antara lain meliputi fungsi paru, gas darah arteri, kemungkinan
terjadinya cor pulmonale atau gagal jantung kanan, hematokrit, fungsi otot respirasi,
efek pengobatan yang diperoleh dan terapi yang lain, serta riwayatn kejadian
eksaserbsi.
Berikutnya, yang termasuk dalam komponen kedua adalah mengurangi faktor
resiko. Penghentian merokok merupakan tahap pertama yang penting yang dapat
memperlambat memburuknya tes fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan
meningkatkan kualitas hidup pasien. Jika diperlukan, terdapat beberapa pengobatan
untuk mengatasi ketergantungan terhadap merokok, seperti penggantian nikotin
(nicotine replacement therapy), bupropion, varaniklin, dll. Penghentian merokok
memerlukan usaha yang komprehensif dari berbagai sektor, termasuk dari pemerintah
dan institusi kesehatan. Selain itu, perlu menghindari polusi udara dan menjaga
kebersihan untuk mencegah infeksi.
Penatalaksanaan lain adalah dengan rehabilitasi paru-paru secara komprehensif
termasuk fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase
postural, mengoptimalkan perawatan medis, mendukung secara psikososial, dan
memberikan edukasi kesehatan. Perlu diberikan hidrasi secukupnya (minum air
cukup: 8=10 gelas sehari), dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya protein dan
mencegah makanan berat menjelang tidur. Susu dapat menyebabkan sekresi bronkus
meningkat, sebaiknya dicegah.
TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil, dan terapi untuk
eksaserbasi akut. Untuk PPOK yang stabil, penggunaan obat ditujukan untuk
mengurangi gejala dan komplikasi. Sampai saat ini, tidak ada satu obatpun yang dapat
memodifikasi penurunan fungsi paru yang merupakan tanda khas PPOK. Penggunaan
bronkodilator merupakan terapi utama untuk menatalaksana gejala PPOK, yang bisa
diberikan bila perlu atau secara reguler, tergantung pada kondisi pasien. Bronkodilator
utama adalah ß2 agonis, antikolinergik, teofilin yang dapat diberikan secara tunggal
atau kombinasi.
Pada pasien PPOK, vaksinasi influenza dapat mengurangi angka kesakitan yang
serius. Jika tersedia, vaksin pneumococcus direkomendasikan bagi penderita PPOK
yang berusia di atas 65 tahun dan mereka yang kurang dari 65 tahuntetapi nilai FEV1-
nya <40% prediksi. Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara reguler hanya boleh
diberikan kepada pasien yang telah tercatat (dari hasil spirometri) memang berespon
terhadap steroid, atau pada pasien yang FEV1 <50%. Penggunaan steroid sistemik
secara kronis harus dihindarkan, karena lebih banyak risiko dari pada manfaatnya.
Penggunaan oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) pada pasien dengan kegagalan
pernafasan kronis dapat memperpanjang harapan hidup pasien.
Penatalaksanaan terapi untuk eksaserbasi akut umumnya memerlukan intervensi
medis dan obat-obatan. Bronkodilator inhalasi (terutama ß agonis atau antikolinergik),
teofilin, dan kortikosteroid sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti
peningkatan volume dan purulensi sputum dan demam sebaiknya diberi antibiotika.
Bantuan pernafasan berupa Noninvase Positive Pressure Ventilation (NIPPV) terbukti
dapat memperbaiki gas dan pH darah, mengurangi mortalitas di RS, mengurangi
ventilasi yang invasif, dan mengurangi lama rawat di RS.
Terapi Farmakologi Berdasarkan Keparahan Penyakit
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu
disesuaikan dengan keparahan penyakitnya.
Pada pasien dengan keparahan tingkat I (PPOK ringan), penggunaan inhalasi
bronkodilatoraksi pendek (jika perlu) sudah cukup adekuat. Jika tidak tersedia
bronkodilator inhalasi, penggunaan secara rugular teofilin lepas lambat dapat
dipertimbangkan. Sedangkan pada pasien dengan keparahan tingkat II (sedang)
sampai IV (sangat berat) dimana gejala sesak nafas selama aktivitas harian tidak bisa
diatasi dengan bronkodilator aksi pendek, maka direkomendasikan penambahan
penggunaan regular bronkodilator aksi panjang.
Padapasien yang FEV1-nya <50% setelah pemberian bronkodilator (tingkat
keparahan III sampai IV) dan ada riwayat eksaserbasi berulang (min 3x dalam 3
tahun), dapat diberikan inhalasi kortikosteroid secara regular, yang dapat mengurangi
frekuensi eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan pasien.
III. URAIAN KASUS
Pak Dahlan, seorang pensiunan berusia 66 tahun. Pak Dahlan dahulu bekerja
sebagai akuntan sebelum pensiun 16 tahun yang lalu. Pak Dahlan kemudian memutuskan
untuk menghabiskan masa pensiunnya di sebuah desa dan mengelola kebun buah, sayur,
dan bunga. Sayangnya, Pak Dahlan mempunyai keterbatasan fisik untuk mengelola
perkebunan tersebut karena sesak nafas sehingga Pak Dahlan akhirnya menjual
perkebunannya dan pindah ke kota. Pak Dahlan didiagnosis mengalami COPD karena
kebiasaannya merokok bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada masalah kesehatan lain pada
Pak Dahlan kecuali masalah COPD-nya. Pak Dahlan juga sudah menghentikan
kebiasaannya merokok 10 tahun yang lalu. Tekanan darah Pak Dahlan normal, begitu
pula dengan kadar gula darah, profil lipid, ECD, dan CXR-nya. Obat yang sekarang
dipakai Pak Dahlan adalah ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg, masing-masing
4 kali sehari melalui spacer. Selain itu Pak Dahlan juga menggunakan salbutamol
inhalasi apabila diperlukan. Tahun ini Pak Dahlan juga diterapi dengan 3 kur antibiotik
dan prednison karena perburukan COPD yang disertai infeksi bakteri.
Hasil pemeriksaan dengan spirometri didapatkan hasil sebagai berikut:
Baseline:
FEV1 = 40%
FEV1/FVC = 32%
Setelah memakai bronkodilator: FEV1 = 1,04
Pertanyaan :
Bagaimana pendapat anda mengenai terapi yang digunakan Pak Dahlan
sekarang ini? Sudah rasionalkah?
Bila terapi tidak rasional, bagaimana terapi yang tepat untuk Pak Dahlan?
IV. PENYELESAIAN KASUS
Metode SOAP
1. Subjective
Nama : Pak Darlan
Usia : 66 tahun
Pekerjaan : Dahulu bekerja sebagai akuntan sebelum pensiun 16 tahun
yang lalu
Keluhan : Sesak nafas
Riwayat penyakit : COPD
Riwayat pengobatan :
• ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg, masing-masing 4 kali sehari
melalui spacer
• salbutamol inhalasi sprn
• antibiotik dan prednison
Kebiasaan : Merokok ( tetapi sudah berhenti merokok semenjak 10 tahun yang
lalu )
2. Objective
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan
FEV1/FVC 38% 75-80% Dibawah normal
FEV1 40% 75-80% Dibawah normal
Pemeriksaan lain :
Tekanan darah pak Dahlan normal, begitu pula dengan kadar gula darah, profil lipid,
ECD, dan CXR-nya.
3. Assessment
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pasien didiagnosis
PPOK tingkat III (berat).
Dapat dilihat dari nilai FEV1 dan gejala yang dialami pasien :
4. Plan
Tujuan Terapi
Memperbaiki keadaan obstruksis kronik
Mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut
Menurunkan kecepatan perkembangan penyakit
Meningkatkan keadaan fisik dan psikis pasien
Menurunkan jumlah hari tidak masuk kerja
Menurunkan jumlah hari masuk rumah sakit
Menurunkan angka kematian
Target Terapi
Perbaikan nilai ≥ 20% FEV1 dan FEV1/FVC pasien
5. Terapi Non-Farmakologi
Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan,
latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural.
Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )
nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan mencegah
makan berat (ex: nasi) sebelum tidur.
Tidak minum susu
Rehabilitasi paru meliputi fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, dan
dukungan psikososial.
6. Terapi Farmakologi
1. Vaksin influenza : 1 tahun sekali
2. Salbutamol inh : 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)
3. Tiotropium bromida : inhalasi 22,5 mcg 1 hirupan 1x sehari
4. Budesonid : 400 mcg 2 hirupan 2 x sehari.
7. Evaluasi Kerasionalan Obat
a) Tepat Indikasi
Nama Obat Indikasi Mekanisme Keterangan
TI
b) Tepat Obat
Nama Obat Alasan Dipilihanya obat Keterangan
TO
c) Tepat Pasien
Nama Obat Kontraindikasi Keterangan
TP
d) Tepat Dosis
Nama Obat Rekomendasi
dosis
Dosis yang
diberikan
Keterangan
TD
e) Waspada Efek Samping
Nama Obat Efek samping
f) Tersedia dan Terjangkau
Nama Obat Harga Keterangan
Tersedia dan terjangkau
g) Monitoring dan Evaluasi
h) Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE)
V. PEMBAHASAN
Bapak Dahlan mengalami PPOK dan sudah mengehentikan kebiasaan merokoknya
selama 10 tahun. Berdasarkan data uji fungsi paru hasilnya FEV1 = 40% dan FEV1/FVC =
32%, hasil tersebut menunjukkan bahwa pak Dahlan mengalami PPOK tingkat 3 (berat)
sesuai klasifikasi tingkat keparahan PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala menurut
GOLD 2010 sebagai berikut:
Bapak Dahlan sudah mendapat terapi ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg,
masing-masing 4 kali sehari melalui spacer, dan salbutamol inhalasi apabila diperlukan
(kambuh). Terapi yang digunakan pak Dahlan tersebut belum rasional, karena terapi
pemeliharaan yang digunakan seharusnya bukan ipratropium (aksi pendek) namun
tiotropium (jangka panjang) yang berefek mencegah terjadinya eksaserbasi akut. Ketika
ipratopium digunakan untuk terapi pemeliharaan, tidak akan dapat berefek untuk
mencegah eksaserbasi akut karena aksinya pendek. Ipratropium bromida hanya
dianjurkan untuk terapi kekambuhan bukan pemeliharaan.
Terapi yang tepat dan sesuai untuk PPOK tingat 3 pak Dahlan seharusnya sesuai
algoritma PPOK sebagai berikut:
Berdasarkan algoritma terapi diatas terapi yang diberikan yaitu:
1. Penghindaran aktif faktor resiko dengan pemberian vaksinasi influenza.
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius kematian akibat
PPOK sampai 50% (Wongsurakiat, P., dkk, 2004). Vaksin influenza
direkomendasikan pada pasien PPOK usia lanjut karena cukup efektif dalam
mencegah eksaserbasi akut. Bapak Dahlan disarankan untuk melakukan imunisasi
influenza 1 tahun sekali, hal tersebut sesuai rekomendasi imunisasi influenza
dilakukan 1-2 kali dalam setahun pada pasien PPOK (Wongsurakiat, P., dkk, 2004).
2. Penambahan bronkodilator aksi pendek.
Salbutamol menjadi pilihan pertama untuk penangan eksaserbasi akut, karena
onset kerjanya sangat cepat dalam menangani kekambuhan. Salbutamol hanya
digunakan ketika terjadi kekambuhan saja, dosis yang diberikan 200 mcg 1 hirupan
Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh). Hal tersebut sesuai rekomendasi 100-200 mcg
(1-2 hirupan) 3-4 x sehari (IONI, 2008)
3. Penambahan obat reguler bronkodilator aksi panjang satu atau lebih dan
berikan terapi rehabilitasi.
a. Bronkodilator aksi panjang yang dipilih adalah tiotropium bromida. Tiotropium
bromida memiliki aksi panjang dan efektif untuk terapi pemeliharaan pada
PPOK karena dapat mencegah terjadinya eksaserbasi akut pada COPD (zullies,
2011). Tiotropium ketika dikombinasikan dengan salbutamol akan memiliki efek
sinergis yang dapat meningkatkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Hal tersebut
sesuai dengan Zulies (2011) yang menyatakan bahwa kombinasi antara ß-agonis
aksi pendek atau panjang dengan antikolinergik akan menurunkan potensi efek
samping, meningkatkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Dosis yang diberikan
18 mcg 1 hirupan 1 x sehari sesuai rekomendasi IONI (2008) yang
merekomendasikan tiotropium 18-22 mcg 1 hirupan 1 x sehari (tidak boleh
digunakan lebih dari 1 x sehari).
b. Terapi rehabilitasi yang diberikan yaitu rehabilitasi paru-paru secara
komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi
dada, dan drainase postural.
4. Penambahan glukokortikosteroid jika terjadi serangan berulang.
Sebelumnya pak Dahlan sudah pernah mendapatkan terapi 3 kur antibiotik dan
prednison karena perburukan COPD yang disertai infeksi bakteri. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pasien memiliki riwayat eksaserbasi berulang (minimal 3 kali
dalam 3 tahun) sehingga terapi yang dianjurkan adalah inhalasi kortikosteroid secara
reguler. Sebelum prednison diganti dengan inhalasi kortikosteroid, pengehntian
prednison dilakukan dengan cara penurunan dosis secara bertahap. Hal ini dilakukan
untuk menghindari terjadinya hipokortisol didalam tubuh. Setelah dosis diturunkan
pada dosis terendah, prednison diganti dengan kortikosteroid fluticason propionat
inhalasi.
Penggunaan kortikosteroid fluticason propionat inhalasi dapat mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada PPOK(Paggiaro, et al., 1998). Hal tersebut sesuai dengan
Zullies (2011) yang menyatakan bahwa dari berbagai penelitian akhirnya GOLD
2010menyrankan penggunakan kortikosteroid inhalasi dapat dipertimbangkan pada
pasien PPOK dengan FEV1 <50% dengan tingkat keparahan III atai IV dan
mengalami eksaserbasi berulang (minimal 3 kali dalam 3 tahun terakhir). Inhalasi
kortikosteroid yang diberikan adalah fluticason propionat. Fluticason propionat
diberikan pada pasien usia 50-75 dan mantan perokok yang hasilnya selama 6 bulan
inhalasi fluticason propionat dapat mengurangi eksaserbasi berulang pada penggunaan
jangka panjang (Paggiaro, et al., 1998). Fluticason propionat diberikan dengan dosis
100 mcg 2x semprotan 2x sehari (IONI, 2008).
Terapi non farmakologi yang diberikan sebagai berikut:
a. Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan,
latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural
b. Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )
c. Nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan mencegah
makan berat (ex: nasi) sebelum tidur
d. Tidak minum susu, karena susu dapat menyebabkan sekresi bronkus meningkat
sehingga dapat mengakibatkan penyempitan lumen yang diikuti fibrosis dan
ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil yang akan mempersempit
saluran pernafasan
e. Dukungan psikososial sangat penting untuk memberi sugesti pasien agar cepat
sembuh.
Monitoring dan evaluasi yang harus dilakukan pada pak Dahlan yaitu
• Monitoring hasil FEV1 dan FEV1/FVC dengan spirometer untuk mengetahui adanya
perbaikan atau perburukan fungsi paru.
• Evaluasi FEV1 dan FEV1/FVC sudah mengalami perbaikan atau belum, jika sudah
terjadi perbaikan dosis fluticason propionat dapat diturunkan secara bertahap. Jika
tidak ada perbaikan rencanakan pengobatan selanjutnya.
Komunikasi, Edukasi, dan Informasi (KIE) yang diberikan yaitu
• Komunikasikan kepada pasien tentang penyakit PPOK pada pasien.
• Memberi informasi pasien tentang penggunaan obat
• Vaksin influenza 1 tahun sekali
• Salbutamol inh 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)
• Tiotropium bromida inhalasi 18 mcg 1 hirupan 1x sehari
• Fluticason propionat inhalasi 100 mcg 2x hirupan 2x sehari
• Memberi edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan sediaan inhalasi
1. Buka penutupnya
2. Hembuskan nafas
3. Letakkan bagian lubang inhaler untuk mulutpersis didepan mulut, kemudian
mjulai bernafas perlahan dan dalam. Lalu tekan MDI, dan sementara obatnya
menyembur, hirup dalam-dalam selama 5 detik atau lebih. Cara ini disebut teknik
“close mouth”. Selain ini, ada teknik yang disebut “open mouth”, dimana lubang
inhaler diletakkan dengan selang dua jari di depan mulut. Mana yang kan dipilih
tergantung kesukaan pasien.
4. Saat mencapai inspirasi maksismal, tahan nafas selama 10 detik dengan mulut
terkatup agar obat mencapai targetnya.
5. Kemudiaan nafas biasa selama 3-5 menit.
6. Jika diminta lebih dari 1 hirupan, tunggu 30 detik, dan ulangi langkah kedua.
7. Setelah selesai menggunakan inhaler, sebaiknya berkumur.
• Edukasikan kepda pasien untuk melakukan rehabilitasi paru-paru secara
komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada,
dan drainase postural.
• Memberi informasi dan edukasi pada pasien untuk minum air putih cukup 8-10 gelas
sehari), nutrisi yang tepat dengan diet protein tinggi (contoh: telur dan kacang-
kacangan), dan mencegah makan berat (contoh: nasi) sebelum tidur.
• Memberi informasi pada pasien untuk melakukan tes spirometer secara periodik untuk
mengetahui perkembangan penyakit PPOK pasien.
VI. KESIMPULAN
VII. DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Sagung Seto: Jakarta.
Ikawati, Zullies, 2011, Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya, Bursa
Ilmu: Yogyakarta.
Paggiaro, P.L., Dahle, R., Bakran, I., et al., 1998, Multicentre, randomized,
placebocontrolled trial of inhaler fluticasone propionate in patiens with COPD,
International COPD Group, Lancet, 351:773-780.
Wongsurakiat, P., Maranetra, K. N., Wasi, C., Kosinont, U., Dejsomritruai, W.,
Chaloenratanakul, S., 2004, Acute respiratory illness in patients with COPD and
the effectiveness of influenza vaccination: a randomized controlled study, Chest,
125(6):2011-20