laporan resmi p2 ppok revisi 1.docx

22
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM PENCERNAAN DAN PERNAFASAN PRAKTIKUM II PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) Oleh : Golongan/Kelompok : I/I D Hari/Tanggal Praktikum : Selasa/22 Oktober 2013 1. Naeli Alfafaroh 105010531 2. Dea Maulina Utami 105010549 3. Hilda Tania Mursela 105010554 4. Tegar Bagus Prasetyo 105010553 5. Efta Lita Ikke Rizki 105010563 6. Halimatus S Zein 105010567 7. Nandang Prasetyo W 105010566 Dosen Pengampu : Kiki Damayanti, S. Farm FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS WAHID HASYIM

Upload: halimatus-zein

Post on 24-Oct-2015

105 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM PENCERNAAN DAN PERNAFASAN

PRAKTIKUM II

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

Oleh :

Golongan/Kelompok : I/I D

Hari/Tanggal Praktikum : Selasa/22 Oktober 2013

1. Naeli Alfafaroh 105010531

2. Dea Maulina Utami 105010549

3. Hilda Tania Mursela 105010554

4. Tegar Bagus Prasetyo 105010553

5. Efta Lita Ikke Rizki 105010563

6. Halimatus S Zein 105010567

7. Nandang Prasetyo W 105010566

Dosen Pengampu : Kiki Damayanti, S. Farm

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS WAHID HASYIM

SEMARANG

2013

Page 2: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM PENCERNAAN DAN PERNAFASAN

PRAKTIKUM II

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

I. TUJUAN

Mahasiswa mampu memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

II. DASAR TEORI

a. DEFINISI

b. ETIOLOGI

c. PATOFISIOLOGI

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia

sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.

Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai

kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,

terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama

- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan

terbanyak pada paru bagian bawah

- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,

duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena

perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel

goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Page 3: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

d. DIAGNOSIS

e. MANIFESTASI KLINIK

f. GEJALA KLINIK

g. PENATALAKSANAAN TERAPI

Terapi PPOK dapat dibedakan menjadi terapi untuk pemeliharaan pada PPOK

yang stabil, dan terapi pada aksaserbasi akut.Tujuan terapi PPOK pada PPOK stabil

adalah memperbaiki keadaan obstruksi kronik, mengatasi dan mencegah eksaserbasi

akut, menurunkan kecepatan perkembangan penyakit, meningkatkan keadaan fisik

dan psikologis pasien sehingga pasien dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari,

menurunkan jumlah hari-hari tak bekerja, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah

sakit, dan menurunkan jumlah kematian. Terapi pada eksaserbasi akut adalah untuk

memelihara fungsi pernafasan dan memperpanjang survival.

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Diagnosa klinik terhadap PPOK perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami

dyspnea (sesak nafas), batuk kronis atau terjadi produksi sputum dengan riwayat

paparan terhadap faktor risiko. Diagnosa sebaiknya ditegakkan dengan pengukuran

spimoteri. Spimotri merupakan standar baku karena merupakan cara yang telah

terstandarisir, dan reprodusibel, dan obyektif untuk mengukur fungsi pernafasan. Nilai

FEV1/FVC<70% dan pasca bronkodilator FEV1< 80% menunjukkan adanya

gangguan pernafasan yang tidak reversibel, yang merupakan karakteristik PPOK.

Penilaian terhadap keparahan PPOK harus didasarkan pada tingkat gejala pasien,

keparahan abnormalitas hasil uji spirometri, dan adanya komplikasi.

Page 4: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

Pengukuran tekanan udara arteri harus dipertimbangkan untuk dilakukan jika

FEV1<50%, atau jika ada tanda klinis yang mengarah pada kegagalan pernafasan atau

gagal jantung kanan. Sselain itu, perlu dilakukan skrining terhadap defisiensi ATT,

terutama pada pasien di bawah 45 tahun, dan pasien dengan riwayat keluarga yang

kuat untuk penyakit PPOK. Konsentrasi serum AAT 15-20% di bawah nilai normal

menunjukkan adanya kemungkinan defisiensi AAT homozigos. Penyakit penyerta

cukup sering terjadi pada pasien PPOK dan harus diidentifikasi dengan benar, karena

adanya komordibitas ini bisa mempersulit penatalaksanaan PPOK, dan sebaliknya.

Pemantauan dan asesmen terhadap gejala perlu dilakukan baik pada PPOK yang

baru terdiagnosis, maupun PPOK yang sudah lama. Karena penyakit ini merupakan

penyakit yang progresif, maka pemantauan harus dilakukan terus menerus terhadap

perkembangan gejala maupun kemungkinan terjadinya komplikasi. Beberapa hal yang

harus dimonitor antara lain meliputi fungsi paru, gas darah arteri, kemungkinan

terjadinya cor pulmonale atau gagal jantung kanan, hematokrit, fungsi otot respirasi,

efek pengobatan yang diperoleh dan terapi yang lain, serta riwayatn kejadian

eksaserbsi.

Berikutnya, yang termasuk dalam komponen kedua adalah mengurangi faktor

resiko. Penghentian merokok merupakan tahap pertama yang penting yang dapat

memperlambat memburuknya tes fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan

meningkatkan kualitas hidup pasien. Jika diperlukan, terdapat beberapa pengobatan

untuk mengatasi ketergantungan terhadap merokok, seperti penggantian nikotin

(nicotine replacement therapy), bupropion, varaniklin, dll. Penghentian merokok

memerlukan usaha yang komprehensif dari berbagai sektor, termasuk dari pemerintah

dan institusi kesehatan. Selain itu, perlu menghindari polusi udara dan menjaga

kebersihan untuk mencegah infeksi.

Penatalaksanaan lain adalah dengan rehabilitasi paru-paru secara komprehensif

termasuk fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase

postural, mengoptimalkan perawatan medis, mendukung secara psikososial, dan

memberikan edukasi kesehatan. Perlu diberikan hidrasi secukupnya (minum air

cukup: 8=10 gelas sehari), dan nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya protein dan

mencegah makanan berat menjelang tidur. Susu dapat menyebabkan sekresi bronkus

meningkat, sebaiknya dicegah.

Page 5: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

TERAPI FARMAKOLOGI

Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK yang stabil, dan terapi untuk

eksaserbasi akut. Untuk PPOK yang stabil, penggunaan obat ditujukan untuk

mengurangi gejala dan komplikasi. Sampai saat ini, tidak ada satu obatpun yang dapat

memodifikasi penurunan fungsi paru yang merupakan tanda khas PPOK. Penggunaan

bronkodilator merupakan terapi utama untuk menatalaksana gejala PPOK, yang bisa

diberikan bila perlu atau secara reguler, tergantung pada kondisi pasien. Bronkodilator

utama adalah ß2 agonis, antikolinergik, teofilin yang dapat diberikan secara tunggal

atau kombinasi.

Pada pasien PPOK, vaksinasi influenza dapat mengurangi angka kesakitan yang

serius. Jika tersedia, vaksin pneumococcus direkomendasikan bagi penderita PPOK

yang berusia di atas 65 tahun dan mereka yang kurang dari 65 tahuntetapi nilai FEV1-

nya <40% prediksi. Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara reguler hanya boleh

diberikan kepada pasien yang telah tercatat (dari hasil spirometri) memang berespon

terhadap steroid, atau pada pasien yang FEV1 <50%. Penggunaan steroid sistemik

secara kronis harus dihindarkan, karena lebih banyak risiko dari pada manfaatnya.

Penggunaan oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) pada pasien dengan kegagalan

pernafasan kronis dapat memperpanjang harapan hidup pasien.

Penatalaksanaan terapi untuk eksaserbasi akut umumnya memerlukan intervensi

medis dan obat-obatan. Bronkodilator inhalasi (terutama ß agonis atau antikolinergik),

teofilin, dan kortikosteroid sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi

eksaserbasi akut. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti

peningkatan volume dan purulensi sputum dan demam sebaiknya diberi antibiotika.

Bantuan pernafasan berupa Noninvase Positive Pressure Ventilation (NIPPV) terbukti

dapat memperbaiki gas dan pH darah, mengurangi mortalitas di RS, mengurangi

ventilasi yang invasif, dan mengurangi lama rawat di RS.

Terapi Farmakologi Berdasarkan Keparahan Penyakit

Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu

disesuaikan dengan keparahan penyakitnya.

Pada pasien dengan keparahan tingkat I (PPOK ringan), penggunaan inhalasi

bronkodilatoraksi pendek (jika perlu) sudah cukup adekuat. Jika tidak tersedia

bronkodilator inhalasi, penggunaan secara rugular teofilin lepas lambat dapat

dipertimbangkan. Sedangkan pada pasien dengan keparahan tingkat II (sedang)

sampai IV (sangat berat) dimana gejala sesak nafas selama aktivitas harian tidak bisa

Page 6: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

diatasi dengan bronkodilator aksi pendek, maka direkomendasikan penambahan

penggunaan regular bronkodilator aksi panjang.

Padapasien yang FEV1-nya <50% setelah pemberian bronkodilator (tingkat

keparahan III sampai IV) dan ada riwayat eksaserbasi berulang (min 3x dalam 3

tahun), dapat diberikan inhalasi kortikosteroid secara regular, yang dapat mengurangi

frekuensi eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan pasien.

III. URAIAN KASUS

Pak Dahlan, seorang pensiunan berusia 66 tahun. Pak Dahlan dahulu bekerja

sebagai akuntan sebelum pensiun 16 tahun yang lalu. Pak Dahlan kemudian memutuskan

untuk menghabiskan masa pensiunnya di sebuah desa dan mengelola kebun buah, sayur,

dan bunga. Sayangnya, Pak Dahlan mempunyai keterbatasan fisik untuk mengelola

perkebunan tersebut karena sesak nafas sehingga Pak Dahlan akhirnya menjual

perkebunannya dan pindah ke kota. Pak Dahlan didiagnosis mengalami COPD karena

kebiasaannya merokok bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada masalah kesehatan lain pada

Pak Dahlan kecuali masalah COPD-nya. Pak Dahlan juga sudah menghentikan

kebiasaannya merokok 10 tahun yang lalu. Tekanan darah Pak Dahlan normal, begitu

pula dengan kadar gula darah, profil lipid, ECD, dan CXR-nya. Obat yang sekarang

dipakai Pak Dahlan adalah ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg, masing-masing

4 kali sehari melalui spacer. Selain itu Pak Dahlan juga menggunakan salbutamol

inhalasi apabila diperlukan. Tahun ini Pak Dahlan juga diterapi dengan 3 kur antibiotik

dan prednison karena perburukan COPD yang disertai infeksi bakteri.

Hasil pemeriksaan dengan spirometri didapatkan hasil sebagai berikut:

Baseline:

FEV1 = 40%

FEV1/FVC = 32%

Setelah memakai bronkodilator: FEV1 = 1,04

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat anda mengenai terapi yang digunakan Pak Dahlan

sekarang ini? Sudah rasionalkah?

Bila terapi tidak rasional, bagaimana terapi yang tepat untuk Pak Dahlan?

IV. PENYELESAIAN KASUS

Page 7: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

Metode SOAP

1. Subjective

Nama : Pak Darlan

Usia : 66 tahun

Pekerjaan : Dahulu bekerja sebagai akuntan sebelum pensiun 16 tahun

yang lalu

Keluhan : Sesak nafas

Riwayat penyakit : COPD

Riwayat pengobatan :

• ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg, masing-masing 4 kali sehari

melalui spacer

• salbutamol inhalasi sprn

• antibiotik dan prednison

Kebiasaan : Merokok ( tetapi sudah berhenti merokok semenjak 10 tahun yang

lalu )

2. Objective

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan

FEV1/FVC 38% 75-80% Dibawah normal

FEV1 40% 75-80% Dibawah normal

Pemeriksaan lain :

Tekanan darah pak Dahlan normal, begitu pula dengan kadar gula darah, profil lipid,

ECD, dan CXR-nya.

3. Assessment

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pasien didiagnosis

PPOK tingkat III (berat).

Dapat dilihat dari nilai FEV1 dan gejala yang dialami pasien :

Page 8: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

4. Plan

Tujuan Terapi

Memperbaiki keadaan obstruksis kronik

Mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut

Menurunkan kecepatan perkembangan penyakit

Meningkatkan keadaan fisik dan psikis pasien

Menurunkan jumlah hari tidak masuk kerja

Menurunkan jumlah hari masuk rumah sakit

Menurunkan angka kematian

Target Terapi

Perbaikan nilai ≥ 20% FEV1 dan FEV1/FVC pasien

5. Terapi Non-Farmakologi

Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan,

latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural.

Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )

nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan mencegah

makan berat (ex: nasi) sebelum tidur.

Tidak minum susu

Rehabilitasi paru meliputi fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, dan

dukungan psikososial.

6. Terapi Farmakologi

1. Vaksin influenza : 1 tahun sekali

Page 9: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

2. Salbutamol inh : 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)

3. Tiotropium bromida : inhalasi 22,5 mcg 1 hirupan 1x sehari

4. Budesonid : 400 mcg 2 hirupan 2 x sehari.

7. Evaluasi Kerasionalan Obat

a) Tepat Indikasi

Nama Obat Indikasi Mekanisme Keterangan

TI

b) Tepat Obat

Nama Obat Alasan Dipilihanya obat Keterangan

TO

c) Tepat Pasien

Nama Obat Kontraindikasi Keterangan

TP

d) Tepat Dosis

Nama Obat Rekomendasi

dosis

Dosis yang

diberikan

Keterangan

TD

Page 10: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

e) Waspada Efek Samping

Nama Obat Efek samping

f) Tersedia dan Terjangkau

Nama Obat Harga Keterangan

Tersedia dan terjangkau

g) Monitoring dan Evaluasi

h) Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE)

V. PEMBAHASAN

Bapak Dahlan mengalami PPOK dan sudah mengehentikan kebiasaan merokoknya

selama 10 tahun. Berdasarkan data uji fungsi paru hasilnya FEV1 = 40% dan FEV1/FVC =

32%, hasil tersebut menunjukkan bahwa pak Dahlan mengalami PPOK tingkat 3 (berat)

sesuai klasifikasi tingkat keparahan PPOK berdasarkan nilai FEV1 dan gejala menurut

GOLD 2010 sebagai berikut:

Page 11: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

Bapak Dahlan sudah mendapat terapi ipratropium 40 mcg dan salbutamol 200 mcg,

masing-masing 4 kali sehari melalui spacer, dan salbutamol inhalasi apabila diperlukan

(kambuh). Terapi yang digunakan pak Dahlan tersebut belum rasional, karena terapi

pemeliharaan yang digunakan seharusnya bukan ipratropium (aksi pendek) namun

tiotropium (jangka panjang) yang berefek mencegah terjadinya eksaserbasi akut. Ketika

ipratopium digunakan untuk terapi pemeliharaan, tidak akan dapat berefek untuk

mencegah eksaserbasi akut karena aksinya pendek. Ipratropium bromida hanya

dianjurkan untuk terapi kekambuhan bukan pemeliharaan.

Page 12: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

Terapi yang tepat dan sesuai untuk PPOK tingat 3 pak Dahlan seharusnya sesuai

algoritma PPOK sebagai berikut:

Berdasarkan algoritma terapi diatas terapi yang diberikan yaitu:

1. Penghindaran aktif faktor resiko dengan pemberian vaksinasi influenza.

Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius kematian akibat

PPOK sampai 50% (Wongsurakiat, P., dkk, 2004). Vaksin influenza

direkomendasikan pada pasien PPOK usia lanjut karena cukup efektif dalam

mencegah eksaserbasi akut. Bapak Dahlan disarankan untuk melakukan imunisasi

influenza 1 tahun sekali, hal tersebut sesuai rekomendasi imunisasi influenza

dilakukan 1-2 kali dalam setahun pada pasien PPOK (Wongsurakiat, P., dkk, 2004).

2. Penambahan bronkodilator aksi pendek.

Salbutamol menjadi pilihan pertama untuk penangan eksaserbasi akut, karena

onset kerjanya sangat cepat dalam menangani kekambuhan. Salbutamol hanya

digunakan ketika terjadi kekambuhan saja, dosis yang diberikan 200 mcg 1 hirupan

Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh). Hal tersebut sesuai rekomendasi 100-200 mcg

(1-2 hirupan) 3-4 x sehari (IONI, 2008)

3. Penambahan obat reguler bronkodilator aksi panjang satu atau lebih dan

berikan terapi rehabilitasi.

a. Bronkodilator aksi panjang yang dipilih adalah tiotropium bromida. Tiotropium

bromida memiliki aksi panjang dan efektif untuk terapi pemeliharaan pada

Page 13: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

PPOK karena dapat mencegah terjadinya eksaserbasi akut pada COPD (zullies,

2011). Tiotropium ketika dikombinasikan dengan salbutamol akan memiliki efek

sinergis yang dapat meningkatkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Hal tersebut

sesuai dengan Zulies (2011) yang menyatakan bahwa kombinasi antara ß-agonis

aksi pendek atau panjang dengan antikolinergik akan menurunkan potensi efek

samping, meningkatkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Dosis yang diberikan

18 mcg 1 hirupan 1 x sehari sesuai rekomendasi IONI (2008) yang

merekomendasikan tiotropium 18-22 mcg 1 hirupan 1 x sehari (tidak boleh

digunakan lebih dari 1 x sehari).

b. Terapi rehabilitasi yang diberikan yaitu rehabilitasi paru-paru secara

komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi

dada, dan drainase postural.

4. Penambahan glukokortikosteroid jika terjadi serangan berulang.

Sebelumnya pak Dahlan sudah pernah mendapatkan terapi 3 kur antibiotik dan

prednison karena perburukan COPD yang disertai infeksi bakteri. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pasien memiliki riwayat eksaserbasi berulang (minimal 3 kali

dalam 3 tahun) sehingga terapi yang dianjurkan adalah inhalasi kortikosteroid secara

reguler. Sebelum prednison diganti dengan inhalasi kortikosteroid, pengehntian

prednison dilakukan dengan cara penurunan dosis secara bertahap. Hal ini dilakukan

untuk menghindari terjadinya hipokortisol didalam tubuh. Setelah dosis diturunkan

pada dosis terendah, prednison diganti dengan kortikosteroid fluticason propionat

inhalasi.

Penggunaan kortikosteroid fluticason propionat inhalasi dapat mengurangi

frekuensi eksaserbasi pada PPOK(Paggiaro, et al., 1998). Hal tersebut sesuai dengan

Zullies (2011) yang menyatakan bahwa dari berbagai penelitian akhirnya GOLD

2010menyrankan penggunakan kortikosteroid inhalasi dapat dipertimbangkan pada

pasien PPOK dengan FEV1 <50% dengan tingkat keparahan III atai IV dan

mengalami eksaserbasi berulang (minimal 3 kali dalam 3 tahun terakhir). Inhalasi

kortikosteroid yang diberikan adalah fluticason propionat. Fluticason propionat

diberikan pada pasien usia 50-75 dan mantan perokok yang hasilnya selama 6 bulan

inhalasi fluticason propionat dapat mengurangi eksaserbasi berulang pada penggunaan

jangka panjang (Paggiaro, et al., 1998). Fluticason propionat diberikan dengan dosis

100 mcg 2x semprotan 2x sehari (IONI, 2008).

Page 14: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

Terapi non farmakologi yang diberikan sebagai berikut:

a. Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan,

latihan relaksasi, perkusi dada, dan drainase postural

b. Hidrasi dengan cara minum air putih cukup ( 8-10 gelas sehari )

c. Nutrisi yang tepat yaitu diet protein tinggi (ex: telur dan kacang2an) dan mencegah

makan berat (ex: nasi) sebelum tidur

d. Tidak minum susu, karena susu dapat menyebabkan sekresi bronkus meningkat

sehingga dapat mengakibatkan penyempitan lumen yang diikuti fibrosis dan

ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil yang akan mempersempit

saluran pernafasan

e. Dukungan psikososial sangat penting untuk memberi sugesti pasien agar cepat

sembuh.

Monitoring dan evaluasi yang harus dilakukan pada pak Dahlan yaitu

• Monitoring hasil FEV1 dan FEV1/FVC dengan spirometer untuk mengetahui adanya

perbaikan atau perburukan fungsi paru.

• Evaluasi FEV1 dan FEV1/FVC sudah mengalami perbaikan atau belum, jika sudah

terjadi perbaikan dosis fluticason propionat dapat diturunkan secara bertahap. Jika

tidak ada perbaikan rencanakan pengobatan selanjutnya.

Komunikasi, Edukasi, dan Informasi (KIE) yang diberikan yaitu

• Komunikasikan kepada pasien tentang penyakit PPOK pada pasien.

• Memberi informasi pasien tentang penggunaan obat

• Vaksin influenza 1 tahun sekali

• Salbutamol inh 200 mcg 1 hirupan Jika perlu 3-4 x sehari (saat kambuh)

• Tiotropium bromida inhalasi 18 mcg 1 hirupan 1x sehari

• Fluticason propionat inhalasi 100 mcg 2x hirupan 2x sehari

• Memberi edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan sediaan inhalasi

1. Buka penutupnya

2. Hembuskan nafas

3. Letakkan bagian lubang inhaler untuk mulutpersis didepan mulut, kemudian

mjulai bernafas perlahan dan dalam. Lalu tekan MDI, dan sementara obatnya

menyembur, hirup dalam-dalam selama 5 detik atau lebih. Cara ini disebut teknik

“close mouth”. Selain ini, ada teknik yang disebut “open mouth”, dimana lubang

inhaler diletakkan dengan selang dua jari di depan mulut. Mana yang kan dipilih

tergantung kesukaan pasien.

Page 15: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

4. Saat mencapai inspirasi maksismal, tahan nafas selama 10 detik dengan mulut

terkatup agar obat mencapai targetnya.

5. Kemudiaan nafas biasa selama 3-5 menit.

6. Jika diminta lebih dari 1 hirupan, tunggu 30 detik, dan ulangi langkah kedua.

7. Setelah selesai menggunakan inhaler, sebaiknya berkumur.

• Edukasikan kepda pasien untuk melakukan rehabilitasi paru-paru secara

komprehensif seperti: fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada,

dan drainase postural.

• Memberi informasi dan edukasi pada pasien untuk minum air putih cukup 8-10 gelas

sehari), nutrisi yang tepat dengan diet protein tinggi (contoh: telur dan kacang-

kacangan), dan mencegah makan berat (contoh: nasi) sebelum tidur.

• Memberi informasi pada pasien untuk melakukan tes spirometer secara periodik untuk

mengetahui perkembangan penyakit PPOK pasien.

VI. KESIMPULAN

Page 16: LAPORAN RESMI P2 PPOK REVISI 1.docx

VII. DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Sagung Seto: Jakarta.

Ikawati, Zullies, 2011, Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya, Bursa

Ilmu: Yogyakarta.

Paggiaro, P.L., Dahle, R., Bakran, I., et al., 1998, Multicentre, randomized,

placebocontrolled trial of inhaler fluticasone propionate in patiens with COPD,

International COPD Group, Lancet, 351:773-780.

Wongsurakiat, P., Maranetra, K. N., Wasi, C., Kosinont, U., Dejsomritruai, W.,

Chaloenratanakul, S., 2004, Acute respiratory illness in patients with COPD and

the effectiveness of influenza vaccination: a randomized controlled study, Chest,

125(6):2011-20