laporan praktikum ototoksik kelompok 3
DESCRIPTION
reaaaadTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM OTOTOKSIK
BLOK XIX KEGAWATDARURATAN MEDIS
Disusun oleh : Kelompok 3
Ahda Firsta Putra P (1010015044)
Bobby Faisyal R (1010015045)
Kalista Yuliet (1010015047)
Liny Rahma Ningtias (1010015040)
Mayshia Prazitya S (1010015026)
Meliana Sulistio (1010015053)
Nesia Yaumi (1010015021)
Nikki Junaedi (1010015061)
Septy Lisdamayanti R (1010015028)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayah-Nyalah laporan kasus praktikum farmakologi pada Blok 19 Modul 1
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber
ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok. Laporan ini secara garis besar berisikan
tentang obat-obat yang memiliki efek ototoksik sesuai dengan kasus yang telah diberikan.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Sjarief Ismail, M.Kes selaku pembimbing praktikum farmakologi pada blok
ini yang telah membimbing kami dalam melaksanakan praktikum.
2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga
dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil praktikum farmakologi ini.
3. Teman-teman kelompok 3 yang telah mencurahkan pikirannya sehingga laporan
kasus praktikum farmakologi ini dapat terselesaikan.
Kami berharap agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun maupun bagi
para pembaca di kemudian hari. Laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi tercapainya
kesempurnaan dari isi laporan hasil praktikum farmakologi ini.
Samarinda, 7 September 2013
Tim Penyusun
1 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
DAFTAR ISI
Kata pengantar...................................................................................................................1
Daftar isi ...........................................................................................................................2
I. Pendahuluan
Latar belakang.......................................................................................................3
Tujuan....................................................................................................................4
Manfaat..................................................................................................................4
II. Pembahasan
Kasus dan Pembahasan…………………………………………………………. 5
III. Penutup
Kesimpulan...........................................................................................................12
Saran.......................................................................................................……… 12
Daftar pustaka...................................................................................................................13
2 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa obat dapat obat dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur telinga dalam,
termasuk koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolit dianggap sebagai ototoksik. Obat
dapat menginduksi struktur pendengaran dan sistem keseimbangan yang dapat menyebabkan
terjadinya kehilangan pendengaran, tinnitus dan pusing. Gangguan pendengaran akibat toksisitas
kadang bersifat sementara tetapi kebanyakan bersifat menetap pada sebagian besar golongan
aminoglikosida.
Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai dampak yang
merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun Negara. Penderita akan mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya dan terisolasi. Kehilangan kesempatan
dalam aktualisasi diri, mengikuti pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan
untuk memperoleh pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas hidup yang
bersangkutan.
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan
bertambahnya obet-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin bartambah. Pada
abad ke-19 Kina, Salisilat, dan Oleum chenopodium telah diketahui dapat menimbulkan tinnitus,
kurang pendengaran dan gangguan vestibuler. Pada tahun 1990 Werner melakukan tinjauan
pustaka yang menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk arsen, etil, metil
alkohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam berat. Dengan ditemukannya
antibiotika streptomisin, kemoterapi pertama yang efektif terhadap kuman tuberculosis, menjadi
kenyataan juga terjadinya penyebab gangguan pendengaran dan vestibuler.
Beberapa jenis obat antibiotika seperti golongan aminoglikosida dan obat anti inflamasi
non-steroid, (NSAID) yang kemudian digunakan di klinik telah terbukti dapat memperkuat efek
ototoksik sehingga dalam pemberiannya harus secara hati-hati baik pada penderita dewasa, anak-
anak, bayi, bahkan juga pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan efek teratogenik. Selain itu
kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam terhadap cedera karena pemberian loop diuretics
juga ditemukan dengan gejala tinnitus yang kuat serta tuli sensorineural secara perlahan-lahan
dan progresif.
3 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
Untuk itulah pada praktikum ini kami akan membahas obat-obatan ototoksik sesuai
dengan kasus yang telah diberikan.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah :
1. Membahas persoalan yang terdapat dalam kasus yang diberikan pembimbing praktikum
farmakologi
2. Mengetahui obat-obat yang bersifat ototoksik sesuai kasus yang diberikan
3. Sebagai syarat untuk mengikuti praktikum farmakologi blok 19 modul 1
C. Manfaat Penulisan
Memahami berbagai jenis obat-obatan yang memiliki efek samping ototoksik serta
mekanismenya sesuai kasus yang diberikan.
4 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
BAB II
PEMBAHASAN
KASUS
Seorang penderita berumur 50 tahun menderita osteomyelitis dan gagal jantung. Mendapat terapi
natrium diklofenak 3 x 50 mg, ciprofloksasin 3 x 750 gram, furosemid 1 x 20 mg, Aspar K
(Kalium aspartat) 1 x 1 tablet. Obat furosemid dan aspar K sudah diminumnya selama satu
tahun. Setelah minum obat selama 2 minggu ia merasa pendengaran sering berdenging dan
pendengaran berkurang.
PEMBAHASAN
1. Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatas.
(kesepakatan hari pertama dari berbagai sumber)
Obat yang bersifat ototoksik pada telinga pada kasus di atas ada 3 yaitu natrium
diklofenak, ciprofloksasin, dan furosemid.
2. Sebutkan obat-obat NSAID yang bersifat ototoksik (katzung)
Obat-obat NSAID yang bersifat ototoksik
NSAID yang dapat menyebabkan hearingloss :
• Diklofenak
• Etocolak
• Fenprofen
• Ibuprofen
• Indomethacin
• Naproxen
• Piroxicam
• Sulindac
NSAID yang dapat menyebabkan tinitus :
• Aspirin
• Acematacine
5 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
• Benorilate
• Benoxaprofen
• Carprofen
• Diflunisal
• MethylSalisilat
• Piroxicam
• Salicilate
• Tolmetin
• Zomepirac
• Diklofenak
• Fenoprofen
• Ibuprofen
• Indomethacin
• Naproxen
• D-Penicilliamin
• Proglumetacin
• Proquazone
• Rofecoxib
• Feprazon
• Isoxicam
• Ketoprofen
• Phenylbutazone
• Sulindac
3. Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada penggunaan obat tersebut ()
Furosemid
Ketulian sementara dapat terjadi dalam penggunaan furosemid, ketulian ini disebabkan
oleh oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Efek ototoksik pada obat loop
diuretic berhubungan dengan stria vascularis yang di pengaruhi oleh perubahan kadar ion di
antara endolymph dan perilymph. Edema pada epitel stria vaskularis di akibatkan oleh
perubahan ion tersebut. Kondisi ketulian ini biasanya bergantung terhadap jumlah
6 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
pemberian dosis yang di ikuti oleh pemberian obat melalui injeksi IV. pada Kebanyakan
kasus kondisi ini merupakan self limiting dan reversible pada pasien usia dewasa akan tetapi
efek dari terapi ini terhadap neonates adalah kondisi irreversible hearing loss.
NSAID
Dosis tinggi menginhibisi pergerakan koklea. Asam salisilat masuk dengan cepat ke
koklea dan cairan perilimfa meningkat menyebabkan tinnitus dan menyebabkan tuli
sensorineural. Mekanisme ototoksiknya disebabkan oleh banyak faktor, namun kerusakan
yang disebabkan bersifat metabolik bukan bersifat kerusakan anatomi dari koklea.
Ciprofloksasin
Penggunaan yang berkelanjutan dengan dosis yang tinggi pada banyak pasien
menunjukkan perubahan hilangnya sel-sel rambut luar, dan pada penelitian tampak
mempengaruhi sirkulasi darah sekitar koklea yaitu mengurangi perfusi, dan menyebabkan
perubahan biokimia. Ciprofloksasin juga dapat melalui plasenta sehingga dapat
menyebabkan tuli congenital dan hipoplasia koklea yang selanjutnya menurunkan potensi
fungsional endolimfatik.
4. Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada penggunaan obat pada
kasus tersebut. (medscape lengkapnya di daftar pustaka)
a. NSAID (Natrium Diclofenac):
1. Tinnitus frekuensi tinggi (7-9 kHz)
2. SNHL (Sensory Neural Hearing Loss/tuli sensorineural) ringan sampai sedang, jarang
permanen.
b. Loop diuretic (Furosemide) :
1. Pasien biasanya akan mengeluhkan kehilangan pendengaran segera setelah menerima
pengobatan. Biasanya bersifat reversible, namun dapat juga bersifat permanen,
terutama apabila pasien memiliki gagal ginjal, menerima obat dalam dosis tinggi, atau
bila dibarengi dengan pemberian antibiotic golongan aminoglikosida.
2. Pasien juga dapat mengeluhkan tinnitus dan gangguan vestibular seperti
disequilibrium, namun gejala ini jarang ditemui tanpa disertai dengan kehilangan
pendengaran.
c. Ciprofloksasin :
7 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
1. Tinitus
2. Hearing Loss, bersifat reversibel dan sensory neural yang terjadi pada frekuensi
4000Hz
3. Dizziness
4. Vertigo
5. Nyeri kepala
6. Nausea
7. Pengurangan penglihatan
5. Apakah risiko untuk penggunaan obat ototoksik tersebut ? (katzung & farmako ui )
Natrium diklofenak
Merupakan suatu turunan asam fenilasetat yang relatif tidak selektif sebagai penghambat
COX. Efek samping terjadi pada sekitar 20 % pasien dan meliputi gangguan saluran cerna,
perdarahan samar saluran cerna, dan ulkus lambung, meskipun ulkus lebih jarang terjadi
daripada beberapa OAINS lainnya. Suatu sediaan yang menggabungkan diklofenak dengan
misoprostol menurunkan kejadian ulkus saluran cerna bagian atas tapi dapat menyebabkan
diare. Kombinasi lainnya yakni diklofenak dengan omeprazole, juga efektif mencegah
perdarahan rekuren, tapi efek sampingnya pada ginjal sering ditemui pada pasien berisiko
tinggi. Diklofenak pada dosis 150 mg/hari tampaknya mengganggu aliran darah ginjal dan
laju filtrasi glomerolus. Peningkatan amino transferase serum dapat terjadi lebih sering pada
obat ini daripada OAINS lainnya. Dari referensi berbeda menyebutkan efek samping dari
penggunaan diklofenak yang lazim adalah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama
seperti OAINS. Kontra Indikasi dari obat ini adalah pasien dengan tukak lambung, juga
pada pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan.
Furosemid
Efek sampingnya adalah Alkalosis metabolik hipokalemik, Ototoksisitas seperti
gangguan pendengaran yang erat hubungannya dengan dosis dan biasanya reversibel. Hal ini
paling sering terjadi pada pasien yang telah mengalami penurunan fungsi ginjal atau yang
juga mendapatkan agen ototoksik lain, seperti antibiotik aminoglikosid, obat ini juga dapat
menyebabkan hiperurisemia, hipomagnesemia, dan reaksi alergik seperti ruam di kulit,
eosinofilia, dan nefritis interstisial (jarang terjadi) merupakan efek samping yang kadang
8 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
timbul pada penggunaan obat ini. Kontra indikasi dari penggunaan obat ini adalah pada
penderita sirosis hepatik, gagal ginjal borderline, atau gagal jantung.
Ciprofloksasin
Efek samping paling sering muncul adalah mual, muntah, diare. Sesekali timbul nyeri
kepala, pusing, insomnia, ruam kulit, dan uji fungsi hati yang abnormal. Obat ini dapat
melukai kartilago yang sedang bertumbuh dan menyebabkan artropati. Kontra Indikasi obat
ini adalah pada penderita berusia dibawah 18 tahun. Akan tetapi artropati ini bersifat
reversibel, penggunaan obat ini juga harus dihindari dalam kehamilan selama tidak terdapat
data spesifik yang menunjukkan keamanannya. Dari referensi berbeda menyebutkan efek
samping dari penggunaan ciprofloksasin yaitu halusinasi, kejang dan delirium.
6. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan obat dan
bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototoksik disebabkan oleh obat tersebut
(tht ui)
Diagnosis untuk ototoksik pada pasien akibat obat-obatan mengikuti alur anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
a. Anamnesis
Anamnesis lengkap sangat diperlukan dalam diagnosis ototoksisitas. Anamnesis meliputi:
Keluhan utama (SOCRATES)
Riwayat penyakit sekarang berupa keterangan lengkap gejala-gejala ototksisitas
(kapan terjadinya, mendadak, unilateral atau bilateral)
Riwayat penyakit dahulu (apa pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya)
Riwayat medis dahulu (pernah trauma, riwayat perawatan di RS, riwayat sakit
telinga)
Riwayat pengobatan (obat-obatan apa saja yang sedang dikonsumsi, dosisnya, dan
sudah berapa lama menggunakan obat tersebut)
Riwayat penyakit keluarga (apa di keluarga juga ada yang mengalami gejala
seperti yang dikeluhkan pasien
Berikut ciri gangguan pendengaran akibat ototoksisitas:
9 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
Tinitus yang terjadi kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz-6 KHz. Bila
kerusakan menetap, tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak
pernah hilang.
Tuli akibat ototoksik dapat menetap berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-
bulan setelah pengobatan. Biasanya bersifat bilateral, tetapi dapat juga unilateral.
Tuli yang terjadi bersifat sensorineural. Bila akibat penggunaan antibiotika
menyebabkan penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram. Bila
akibat diuretik menyebabkan audiogram mendatar atau sedikit menurun.
Gangguan pendengaran akibat gentamisin dan streptomisin terjadi perlahan-lahan
dan beratnya sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta
keadaan fungsi ginjal.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan berupa tes pendengaran, yaitu tes penala dan tes
bisik. Tes penala meliputi tes Rinne, tes Schwabach, dan tes stenger. Tes Rinne dilakukan
untuk membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pasien. Tes Weber digunakan
untuk membandingkan hantaran tulang kanan dan kiri. Tes Scwabach dilakukan untuk
membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang
pendengarannya normal. Gangguan pendengaran akibat ototoksik biasanya adalah tuli
sensorineural sehingga akan didapatkan hasil tes Rinne positif, tes weber terjadi
lateralisasi ke telinga yang sehat, dan tes scwabach memendek.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan menggunakan audiometer untuk membuat
audiogram. Kriteria ototoksisitas yang digunakan adalah
Penurunan ambang nada murni sebesar 20db atau lebih dalam 1 frekuensi
Penurunan 10db atau lebih di dua frekuensi
Kehilang respon pada 3 frekuensi
Berikut adalah derajat ototoksisitas menurut Brock.
Grade 0- ambang pendengaran kurang dari 40 dB di semua frekuensi
Grade 1-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 8000 Hz
Grade 2-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 4000-8000 Hz
Grade 3-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 2000 Hz
10 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
Grade 4-ambang 40 dB atau lebih di frekunesi 1000-8000 Hz
7. Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik ? (farmako ui)
• Penggunaan dosis terendah untuk mencapai efek yang diinginkan dan menghindari laju
infuse yang cepat, dan meminimalisir efek samping yang ditimbulkan.
• Mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik dengan menilai kerentanan atau
faktor resiko pasien dan mempertimbangkan pemilihan obat alternatif lainnya. Sebelum
memulai pengobatan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan audiometri, serta
ditentukan tingkat pendengaran dasar dari pasien dan dilakukan juga uji keseimbangan,
selama pengobatan, serta setelah pengobatan.
• Memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala
ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan
vertigo yang di timbulkan selama pemakaian obat.
• Selama masa pengobatan, dilakukan monitoring fungsi pendengaran. Jika pasien
menunjukan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga, harus dilakukan evaluasi audiologik
dan menghentikan pengobatan atau mengganti dengan obat alternatif lain.
8. Apakah alternatif untuk pengantian obat untuk terapi tersebut ? (farmako ui)
Penyebab ototoksik pada kasus diatas adalah furosemid yang digunakan untuk terapi
pasien gagal jantung dengan mekanisme diuretik. Obat lain yang dapat digunakan sebagai
agen diuretik signifikan pengganti furosemid pada kasus gagal jantung adalah
hydrochlorothiazide 1x25 mg dikonsumsi secara oral pagi hari.
Ciprofloksasin pada kasus diatas dapat menjadi penyebab keluhan tinitus pada pasien.
Terapi antibiotik alternatif untuk pasien osteomyelitis dengan tinitus pada pemberian
antibiotik ciprofloksasin adalah clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, atau rifampin
yang tidak mempunyai efek samping pada telinga dan merupakan pilihan terapi yang juga
efektif terhadap osteomyelitis. Clindamycin dapat diberikan secara oral setelah terapi melalui
IV selama 1-2 minggu. Cloxacillin dari golongan penicillin dapat pula dibelikan pada pasien
osteomyelitis akut dengan dosis 250-500 mg selama 6 hari per oral, diberikan 1 jam sebelum
makan atau 2 jam setelah makan. Dapat pula dipertimbangkan terapi antibiotik dari golongan
cephalosporin generasi 3 jika diduga kuman penyebabnya gram negatif.
11 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
Sedangkan penggunaan Natrium Diklofenak 3 x 50 mg aman untuk dikonsumsi. Jikapun
diganti, dapat diganti dengan Paracetamol 3 x 500 mg ataupun obat anti inflamasi yang lain
seperti Piroxicam.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
12 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
Kesimpulan
Beberapa jenis obat memiliki efek ototoksik dan vestibulotoksik Obat-obat tersebut antara lain
natrium diklofenak (NSAID), ciprofloksasin (fluorokuinolon), dan furosemid (loop diuretik)
Pemakaian obat-obat tersebut dalam jangka lama dapat menyebabkan pasien yang
mengkonsumsinya mengalami gejala-gejala ototoksik dan vestibulotoksik yang bersifat
reversible sampai irreversible. Berat ringannya gangguan yang diakibatkan tergantung pada jenis
obat, jumlah, dan lamanya pengobatan. Jika ketulian telah terjadi dapat dicoba melakukan
rehabilitasi antara lain dengan alat bantu dengar, psikoterapi, dan auditory training. Sedangkan
pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implant koklea (Cochlear
implan).
Saran
Hendaknya sebelum memulai terapi yang memerlukan pengobatan dengan obat-obatan yang
bersifat ototoksik terlebih dahulu ditentukan tingkat pendengaran dasar dari pasien. Selain itu
dilakukan pula uji keseimbangan serta mengingatkan pasien tentang potensial ototoksisitas dari
obat yang digunakannya. Evaluasi juga harus dilakukan selama penggunaan terapi dengan obat
yang bersifat ototoksik ini, sehingga bila terjadi efek ototoksisitas, hal tersebut dapat
ditanggulangi lebih dini.
DAFTAR PUSTAKA
13 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1
Departemen Farmakologi dan Tarapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2009).
Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Katzung, & Bertram. (2004). Basic Clinical Pharmacology. USA: Blackwell Science.
Mudd, A. Pamela. (2012). Ototoxicity. http://www.emedicine.medscape.com/article/857679-overview, diakses pada 5 September 2013.
Soetirto, I., Bashiruddin, J., & Bramantyo, B. (2007). Gangguan Pendengaran Akibat Obat
Ototoksik. In E. A. Soepardi, N. Iskandar, j. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (pp. 53-56). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
14 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1