laporan pengukuran jarak optis
DESCRIPTION
File berikut berisi penjelasan mengenai cara pengukuran jarak optis.TRANSCRIPT
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM ILMU UKUR TANAH 1
PENGUKURAN JARAK OPTIS
Kelompok 4 Kelas A
Anggota :
1. Aeny Sugianto 12/330070/TK/39261
2. Ahmad Baihaqi 12/330398/TK/39565
3. Bondan Galih Dewanto 12/332934/TK/39648
4. I Made Sapta Hadi 12/330081/TK/39272
5. Puji Nurhidayah 12/330456/TK/39598
TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
PRAKTIKUM ILMU UKUR TANAH 1
PENGUKURAN JARAK OPTIS
A. Materi
1. Mencari besaran konstanta pengali teropong (A).
2. Pengukuran jarak optis
B. Tujuan
1. Untuk Mengatahui besaran konstanta pengali teropong (A)
2. Dapat melakukan pengukuran jarak optis.
C. Tempat dan Waktu
Tempat : Sebelah selatan gedung Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika
Waktu : Selasa, 13 November 2012
Pukul : 13.00-16.00 WIB
D. Alat
1. Teodolit FK besar 1 buah
2. Statif 1 buah
3. Pita ukur 1 buah
4. Rambu ukur 1 buah
5. Unting-unting 1 buah
6. Paku payung
7. Alat tulis
E. Teori
Pengukuran jarak optis dapat dilakukan karena pada teropong (teodolit, sipat
datar, BTM, plane table, dan lain –lain) dilengkapi dengan garis bidik (benang silang) dan
benang stadia yang diarsir pada diafragma. Bentuk benang silang pada setiap teropong tidak
sama, tergantung dari pabrik pembuatannya. Bentuk – bentuk tersebut antara lain dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 1. Bentuk – bentuk benang silang.
Adapun yang dimaksud garis bidik yakni adalah garis khayal yang
menghubungkan titik silang benang silang dengan sumbu optis lensa obyektif teropong.
Pengukuran jarak secara optis dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
1. Sistem stadia ( Stadia system)
Pengukuran jarak dengan sistem stadia dilakukan jika pada teropong terdapat tiga benang
stadia, yaitu benang atas (ba), benang tengah (bt), benang bawah (bb). Posisi teropong
pada alat ukur tanah dapat mendatar ataupun miring.
2. Sistem tangensial ( Tangrnsial system )
Sistem ini dipakai karena teropong yang tidak mempunyai benang stadia, sehingga rambu
hanya dibaca benang tengahnya saja. Untuk itu dilakukan pembacaan pada rambu
minimal dua kali dengan sudut miring yang tidak sama.
3. Sistem rambu mendatar ( Substerbar system )
Berbeda dengan sistem sebelumnya, disini rambu dipasang pada statip khusus sehingga
posisinya mendatar. Selain itu pada bagian tengah rambu diberi alat khusus sehingga
rambu dapat di stel tegak lurus terhadap garis hubung instrument ke bagian tengah
rambu, serta target diujung – ujung rambu dapat diberi sinar sehingga dapat dilakukan
pengukuran pada hari gelap dan panjang rambu sudah tertentu.
4. Sistem bayangan rangkap ( Optical wedge system )
Sistem ini sebenarnya hampir sama dengan rambu mendatar, karena disini rambu juga
dibuat mendatar. Bedanya, disini sudut mendatar diperoleh dengan prima akhromatis
yang dipasang di depan lensa obyektif sehingga garis bidik akan kelihatan menjadi dua,
yang satu lurus dan yang lain dibiaskan ke samping dengan sudut deviasi tertentu.
Adapun rumus jarak optis adalah :
Dimana :
A = konstanta nilai pengali teropong.
h = sudut heling
ba = benang atas
bb = benang bawah
Konstanta Pengali Teropong (A)
Pada pengukuran jarak optis perlu menggunakan konstanta pengali A yang besar nilainya
yaitu 100. Namun pada alat teodolit yang belum dikalibrasi konstanta pengali A harus
dicari secara manual untuk menentukan besarnya pada alat itu. Pada alat teodolit yang
belum dikalibrasi biasanya konstanta A tidak tepat selalu bernilai 100, maka dari itu
harus dicari besarnya. Cara mencari besar konstanta pengali A yaitu dengan rumus :
A = d
(ba-bb) cos2 h
Ax(ba - bb)cos2h
Dimana:
d = jarak titik A dengan titik B (10 meter)
ba = benang atas
bb = benang bawah
h = sudut heling
Dimana pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali dengan jarak 10 meter, 20 meter dan 30
meter. Setelah besar ketiga pengukuran didapatkan hasilnya, hasil pengukuran
dijumlahkan dan dirata-rata. Hasil rata-rata itulah konstanta pengali A yang bisa
digunakan untuk menghitung besarnya jarak optis dengan menggunakan teodolit. Hasil
yang baik yaiu mendekati nilai 100.
F. Pelaksanaan Praktek
1. Mencari besaran konstanta pengali teropong
a. Menyiapkan alat yang akan digunakan.
b. Menentukan 4 titik (A, B, C dan D) pada arah yang sejajar, tandai titik-titik tersebut
dengan paku payung/spidol. Jarak antar titik 10 meter diukur dengan pita ukur.
c. Medirikan alat teodolit di titik A kemudian melakukan sentering dan sumbu I
vertikal.
d. Mendirikan rambu ukur di titik B kemudian membaca ba (benang atas), bt (benang
tengah), dan bb (benang bawah) yang terdapat pada lensa teropong, serta membaca
sudut vertikal. Mencatat hasil pembacaan.
e. Memindahkan rambu ukur ke titik C kemudian membaca ba, bt, dan bb serta
membaca sudut vertikal. Mencatat hasil pembacaan.
f. Memindahkan rambu ukur ke titik D dan melakukan langkah yang sama seperti poin
4 dan 5.
g. Menghitung nilai konstanta pengali teropong (A) dengan rumus
i. nilai h (Heling) yang diperoleh dari rumus
ii. 900 - sudut vertikal atau 2700 - sudut vertikal
h. Menghitung nilai rata-rata A dengan menjumlahkan nilai A pada jarak 10 meter, 20
meter, dan 30 meter lalu dibagi 3.
2. Pengukuran jarak optis
a. Menyiapkan alat yang akan digunakan.
b. Menentukan 2 titik (A dan B) pada area datar kemudian menandainya dengan paku
payung/spidol.
c. Mengkur jarak A dan B dengan menggunakan pita ukur ( >10m) kemudian mencatat
hasil pengukuran.
d. Mendirikan alat teodolit pada titik A kemudian melakukan sentering dan sumbu I
vertikal.
e. Mendirikan rambu ukur di titk B kemudian membaca ba, bt, dan bb serta sudut
vertikalnya. Mencatat hasil pembacaan.
f. Dalam mendirikan rambu ukur, angka nol diletakkan dibawah.
g. Besar 2 bt sama dengan ba+bb (2bt=ba=bb).
h. Menghitung jarak A ke B dengan rumus, Ax(ba - bb)cos2h.
i. Nilai konstanta pengali teropong (A) yang digunakan adalah nilai yang diperoleh
pada penghitungan sebelumnya.
j. Nilai heling (h) adalah 900 - sudut vertikal atau 2700 - sudut vertikal.
k. Menghitung selisih jarak AB yang diperoleh melalui pengukuran dengan pita ukur
dan jarak AB yang diperoleh melalui pengukuran jarak optis.
G. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
a. Penentuan besaran konstanta pengali teropong (A).
I. d = 10 m
ba = 1,400
bt = 1,350
bb = 1,300
sudut vertikal = 269°01’00”
h = 270°-269°01’00’’
= 00°59’00’’
A1 =
=
=
= 100,0294
II. d = 20 m
ba = 1,200
bt = 1,100
bb = 1,000
sudut vertikal = 269°31’00”
h = 270°-269°31’00”
= 00°29’00’’
A2 =
=
=
= 100,0072
III. d = 30 m
ba = 1,000
bt = 0,850
bb = 0,700
sudut vertikal = 269°30’30”
h = 270°-269°30’30”
= 00°29’30’’
A3 =
=
=
= 100,0074
Rata-rata A =
=
= 100,014
b. Pengukuran jarak optis
Tabel Konstanta Pengali Teropong
Titik d (jarak) A
A-B 10 meter 100,0294
A- C 20 meter 100,0072
A-D 30 meter 100,0074
Rata-rata A 100,014
Aeny Sugianto
Jarak A-B pita ukur = 12,05 m
ba = 1,260
bt = 1,200
bb = 1,140
Sudut Vertikal = 269°08’30”
h = 270°00’00”- 269°08’30”
= 0°51’30”
Jarak A-B optis = Ax(BA-BB)xcos2h
=100,014x(1,260-1,140)x cos2(0°51’30”)
=100,014x0,12x0,9997755941
= 11,9989675 m
Selisih = 12,05 – 11,9989675 = 0,05101 meter
= 5,101 cm
Ahmad Baihaqi
Jarak A-B pita ukur = 12,012 m
ba = 1,431
bt = 1,370
bb = 1,311
Sudut Vertikal = 269°56’30”
h = 270°00’00”- 269°56’30”
= 0°03’30”
Jarak A-B optis = Ax(BA-BB)xcos2h
=100,014x(1,431-1,311)x cos2(0°03’30”)
=100,014x0,12x0,9999989635
= 12,00166756 m
Selisih = 12,012 – 12,00166756 = 0,010 meter
= 1 cm
Bondan Galih Dewanto
Jarak A-B pita ukur = 10,990 m
ba = 1,720
bt = 1,665
bb = 1,610
Sudut Vertikal = 271°43’00”
h = 270°00’00”- 271°43’00”
h = -1°43’00”
Jarak A-B optis = Ax(BA-BB)xcos2h
=100,014x(1,720-1,610)x cos2(-1°43’00”)
=100,014x0,11x0,999551
= 10,996 m
Selisih = 10,996 – 10,99 = 0,006 meter
= 0,6 cm
I Made Sapta Hadi
Jarak A-B pita ukur = 12,102 m
ba = 0,900
bt = 0,960
bb = 1,020
Sudut Vertikal = 267°00’00”
h = 270°00’00”- 267°00’00”
= 3°00’00”
Jarak A-B optis = Ax(BA-BB)xcos2h
=100,014x(1,431-1,311)x cos2(3°00’00”)
=100,014x0,12x0,9972609477
= 11,96880677 m
Selisih = 12,102 – 11,96880677 = 0,13 meter
= 13 cm
Puji Nurhidayah
Jarak A-B pita ukur = 10,750 m
ba = 1,414
bt = 1,360
bb = 1,306
Sudut Vertikal = 269°30’00”
h = 270°00’00”- 269°30’00”
= 0°30’00”
Jarak A-B optis = Ax(BA-BB)xcos2h
=100,014x(1,431-1,311)x cos2(0°30’00”)
=100,014x0,108x0,9999238476
= 10,8006 m
Selisih = 10,8006 – 10,750 = 0,0506 meter
= 5,06 cm
2. Pembahasan
Dalam melakukan pengukuran jarak optis sistem stadia yang kami lakukan,
diperlukan bacaan tiga buah benang stadia, yaitu benang atas (ba), benang tengah (bt),
dan benang bawah (bb). Selain bacaan benang stadia, juga diperlukan bacaan sudut
vertikal teropong. Pengukuran jarak optis yang baik nilainya akan sama atau tidak jauh
berbeda dengan hasil pengukuran jarak menggunakan pita ukur. Apabila antara
pengukuran jarak optis dengan pengukuran jarak menggunakan pita ukur menghasilkan
jarak yang jauh berbeda, maka dimungkinkan terjadi kesalahan dalam melakukan
pengukuran. Kesalahan tersebut antara lain kesalahan membaca ba, bt, bb, dan atau sudut
vertikal.
Sebelum melakukan pengukuran jarak optis, kita harus mencari besaran konstanta
pengali teropong (A). Pada alat teodolit FK yang mempunyai kalibrasi baik, A nya akan
bernilai 100. Apabila tidak 100, maka kemungkinan terjadi kesalahan sistematis. Hal ini
dapat terjadi karena alat teodolit FK yang digunakan dalam praktikum ini tergolong
sudah tua.
Dalam praktikum yang kami lakukan, kami memperoleh nilai rata-rata A sebesar
100,014. Hasil tersebut menandakan alat teodolit yang kami gunakan tergolong
mempunyai kalibrasi yang baik. Sedangkan pengukuran jarak langsung menggunakan
pita ukur, masing-masing anggota kelompok mendapatkan jarak sebesar:
Nama Anggota
Kelompok
Pengukuran
dengan pita ukur
Pengukuran optis Selisih jarak
Aeny Sugianto 12,05 m 11,9989675 m 5,101 cm
Ahmad Baihaqi 12,012 m 12,00166756 m 1 cm
Bondan Galih Dewanto 10,990 m 10,996 m 0,6 cm
I Made Sapta Hadi 12,102 m 11,96880677 m 13 cm
Puji Nurhidayah 10,750 m 10,8006 m 5,06 cm
Berdasarkan data tersebut, maka hasil pengukuran jarak optis masing-masing anggota
kelompok kami tergolong baik dan dapat diterima.