laporan kasus stenosis pca
DESCRIPTION
Laporan Kasus Stenosis PCATRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua diseluruh dunia dan berkontribusi
dalam sebagian besar angka kesakitan global. Penanganan stroke tergantung pada
pengetahuan akurat tentang teritorial arteri serebri. Pengetahuan akan teritorial arteri
serebri atau teritorial yang terlibat pada stroke iskemik dapat membantu praktisi kesehatan
terutama dokter mempersempit atau memperlebar cakupan pemeriksaan. Pengetahuan
akan teritorial arteri serebri juga akan dapat membedakan antara infark yang berlokasi di
dalam teritorial arteri serebri dengan yang berada di zona perbatasan antara teritorial arteri
(Phan et al, 2007).
Penelitian terhadap oklusi teritorial Midle Cerebral Arteries (MCA) lebih banyak
dibandingkan infark akibat oklusi Posterior Cerebral Arteries (PCA ), walaupun faktanya
stroke PCA terjadi sekitar 26,5% dari stroke iskemik dan disabilitas yang disebabkan oleh
infark PCA juga banyak seperti defek lapang pandang, hemiparesis, gangguan sensibilitas
dan gangguan pada kognisi dan perilaku (Phan et al,2007). Sedikit laporan yang menyatakan
infark PCA menyebabkan terjadinya ataksia atau gangguan koordinasi. Oleh karena itu pada
kasus ini ingin mengetahui apakah terdapat keterkaitan antara stenosis PCA dengan
manifestasi berupa defisit serebelum murni.
Arteri Serebri Posterior
Arteri serebri posterior merupakan cabang akhir dari arteri basilaris. Kadang-kadang,
arteri ini merupakan perpanjangan dari arteri karotis interna. Cabang-cabang kecil dari
arteri basilaris dan dari tunggul proksimal arteri PCA memberi darah mesensefalon. Cabang-
cabang paramedial di antara aa pedunkulus berdesenden ke dalam tegmentum separuh
rostral dari pons. Cabang PCA juga bertanggung jawab bagi talamus. Kebanyakan nukleus
lateral dan ventral diberi oleh cabang-cabang talamoperforantes, yang berasenden melalui
substansia perforantes posterior. Cabang-cabang talamogenikulatum memberikan
perdarahan untuk korpus genikulatum lateral dan medial serta daerah di sekitarnya. Arteri
koroidalis posterior medial, yang meninggalkan PCA di depan mesensefalon dan menyertai
arteri-arteri pada perjalanannya melalui sisterna ambiens, mengelilingi pulvinar dan
mengambil arah rostral, memberi darah bagian dorsal talamus sampai berakhir dalam
1
nukleus talamus anterior. Arteri ini juga memasuki pleksus koroid ventrikel ketiga dan sela
media ventrikel lateral (Duus, 1994).
Gambar 1. Sirkulus Willisi dan Area yang diperdarahi. (Mumenthaler,2006).
Penyebab Stroke Sirkulasi Posterior
Secara umum kelainan yang menyebabkan infark sirkulasi anterior juga menyebabkan
infark teritorial sirkulasi posterior dan proporsi sebagian besar sebanding antara sirkulasi
2
carotid dengan vertebrobasilar. Beberapa penyebab stroke merupakan predileksi untuk
teritorial sirkulasi posterior (Martin, 1998).
a. Emboli
Diagnosis stroke emboli memerlukan identifikasi sumber emboli dan tempat yang
menerima emboli. Stroke emboli muncul mendadak dan biasanya tidak progresif setelah
onset. Sekitar 40% infark sirkulasi posterior adalah emboli (Martin, 1998).
b. Trombosis
Populasi kulit putih memiliki kecendrungan memiliki atheroma di dalam pembuluh
darah ekstrakranial, sedangkan populasi kulit hitam dan asia sering mengalami
ateroma pada pembuluh darah intrakranial.
c. Branch Penetrator Disease
Arteri perforasi parenkim profunda kecil dapat teroklusi oleh salah satu dari tiga
mekanisme.
Lipohyalinosis muncul secara segmental sepanjang penetrating vessel dan memicu
oklusinya. Pembentukan mikroateroma dapat mengoklusi cabang asal arteri
penetrating dan ateroma di dalam arteri proksimal dapat mengoklusi cabang awal
arteri perforating. Pasien dengan intracranial small vessel disease memiliki faktor
risiko yang sama dengan aterosklerosis arteri besar yaitu hipertensi (Martin,1998).
Diagnosis branch artery disease memerlukan penunjukkan infark yang terbatas pada
teritorial arteri cabang, biasanya meluas mencapai asal pembuluh darah tersebut.
Pada sirkulasi posterior, oklusi arteri paramedian pontin, midbrain,
thalamogeniculate dan thalamostriata memberikan gambaran infark lakunar
(Martin,1998).
3
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki 43 tahun, swasta, tamat SLTP, kinan datang sadar mengeluh pusing
berputar. Pasien mengatakan sekelilingnya berputar sehingga pasien tidak mau membuka
mata. Pusing dikatakan terjadi mendadak saat beraktivitas mengemudi kendaraan, 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan pusing ini dikatakan menetap, tidak memberat dengan
perubahan posisi dan tidak membaik dengan istirahat. Pusing ini merupakan keluhan yang
pertama kali dirasakan pasien. Pusing ini membuat pasien mual namun tidak sampai
muntah. Keluhan ini disertai kesulitan pasien dalam mengendalikan gerakannya, yang
dirasakan beberapa menit setelah pusing berputar ini terjadi, hal ini menyebabkan pasien
tidak mampu mengerjakan atau mengambil sesuatu kemudian diikuti oleh kurang
tangkasnya kaki kirinya sehingga pasien tidak mampu berdiri dan berjalan. Keluhan pusing
ini tidak disertai gangguan pendengaran, telinga berdenging ataupun terasa penuh pada
telinga. Pasien juga tidak mengeluhkan kesemutan atau rasa tebal pada separuh tubuh atau
pada sekitar mulut.
Riwayat tekanan darah tinggi tidak diketahui namun beberapa hari sebelum masuk
rumah sakit dikatakan tekanan darah pasien sempat 140/90 saat periksa di dokter umum.
Riwayat penyakit kencing manis, penyakit jantung tidak diketahui. Pasien merokok sejak 5
tahun yang lalu dengan jumlah rokok kurang lebih 10 batang perhari.
Pada pemeriksaan didapatkan GCS E4V5M6 dengan tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 78 x/mnt, frekuensi nafas 18 x/mnt, suhu aksila 36,6 C. Status general dalam batas
normal. Pemeriksaan neurologi didapatkan vertigo vestibular tipe sentral, kekuatan tenaga
keempat ekstrimitas dalam batas normal, dismetri pada kedua tangan namun yang lebih
berat pada tangan kiri, gangguan koordinasi berupa gangguan dalam melakukan tes
telunjuk-telunjuk, telunjuk-hidung-telunjuk pada kedua tangan dengan intensitas lebih berat
pada tangan kiri, gangguan tes tumit-lutut-ibu jari kaki pada kedua kaki dengan intensitas
lebih berat pada kaki kiri, fenomena lajak pada kedua sisi, terjadi asinergia serebelar dan
disdiadokinesis pada kedua tangan dengan intensitas lebih berat pada tangan
kiri,propioseptif normal,MMSE 30.
4
Pemeriksaan penunjang menunjukkan dislipidemia (kolesterol 265 mg/dl, HDL 34
mg/dl, LDL, 167 mg/dl, TG 320 mg/dl, hiperuresemia 9,00 mg/dl). Elektrokardiogram
menunjukkan irama sinus, regular, toraks foto dalam batas normal, CT (Computed
Tomography) Scan kepala dalam batas normal. MRA (Magnetic Resonance Angiography)
dilakukan pada hari kesepuluh saat pasien MRS didapatkan gambaran stenosis PCA dextra.
Diagnosis kerja pada pasien adalah stroke non hemoragik serebelum ec susp trombus
dd emboli. Setelah dilakukan MRA, diagnosis pada pasien menjadi Stroke Non Hemoragik ec
susp trombus PCA D.
Pasien mendapatkan terapi neuroprotektor 250 mg/8 jam, asetosal tab 325 mg
selanjutnya 1 x 100 mg, Flunarizin tab 1 x 5 mg, Betahistin mesilat tab 3 x 6 mg, Simvastatin
1 x 20 mg, alupurinol tab 1 x 100mg. Selama 10 hari perawatan keluhan pasien membaik
dan kelainan neurologis membaik, pasien mampu berjalan.
PEMBAHASAN
Pada pasien ini didapatkan gejala neurologis yang terjadi mendadak saat beraktivitas ringan,
hal ini menandakan terjadinya suatu kejadian terkait vaskular. Didukung pula dengan
terdapatnya beberapa faktor risiko vaskular pada pasien ini yaitu faktor yang tidak dapat
5
dimodifikasi yaitu jenis kelamin laki-laki, dan faktor yang dapat dimodifikasi yaitu
dislipidemia, hiperuricemia, dan perokok (Ngoerah, 1991;Warlow et al, 2001).
Awitan subakut, kesadaran yang baik, normotensi, tidak ada muntah, tidak ada kaku
kuduk mengindikasikan pasien pada kasus ini mengalami suatu stroke non hemoragik
(Ngoerah,1991).
Berdasarkan anamnesa didapatkan keluhan berupa pusing berputar atau vertigo.
Vertigo merupakan sensasi rotasi tanpa adanya perputaran yang sebenarnya
(Ngoerah,1991). Rasa rotasi ini digambarkan oleh para penderita dengan cara yang berbeda-
beda. Vertigo akan timbul bila terdapat gangguan pada alat-alat vestibular atau pada
serabut-serabut yang menghubungkan alat/nuklei vestibular dengan pusat-pusat di
serebelum dan korteks serebri. Vertigo ini akan timbul bila terdapat ketidakcocokan dalam
informasi yang oleh susunan-susunan aferen disampaikan kepada kesadaran kita. Susunan
aferen yang terpenting dalam hal ini adalah susunan vestibular atau keseimbangan yang
secara terus menerus menyampaikan impuls ke serebelum. Pada kasus ini terjadi vertigo
vestibular tipe sentral (Tabel 1), berdasarkan gejala yang dirasakan pasien menetap tidak
berkurang atau memberat dengan perubahan posisi, tidak terdapat latensi gejala, tidak
terdapat fatigabilitas gejala dan tidak terdapat habituasi gejala, tidak dikeluhkan tinitus atau
tidak ditemukan penurunan pendengaran, intensitas vertigo sedang-berat, disertai dengan
gangguan koordinasi pada ekstremitas kiri (Hauser, 2006). Lesi batang otak atau serebelum
dapat menyebabkan terjadinya vertigo sentral yang akut.
Tabel 1. Perbedaan Vertigo tipe Perifer dengan Tipe Sentral (Hauser,2006).
6
Gangguan koordinasi, dismetri dan asinergia serebelar yang terjadi pada pasien terkait
dengan lesi pada susunan yang mengatur koordinasi dengan pusat pada serebelum. Serat
eferen dari sel Purkinje pada korteks serebelum mengadakan hubungan dengan inti
serebelum yang merupakan tempat asal jalur keluar dari serebelum (Gambar 2). Output dari
inti serebelum adalah bersifat eksitatori dan glutaminergik kecuali proyeksi ke oliva inferior
yang menggunakan GABA sebagai neurotransmiter. Nukleus fastigii menerima serat aferen
dari palaeocerebellum dan juga dari inti vestibular dan saraf Vestibularis. Impuls eferen,
sebagian besar menyilang pada dasar, melalui batang otak menuju inti vestibularis
khususnya nukleus vestibularis lateral dan menuju formasio retikularis. Beberapa serat
eferen keluar dari serebelum melalui pedunkulus serebelum inferior dan sisanya melalui
pedunkulus serebelum superior pada fasikulus unsinatus. Nukleus fastigii juga
mengeluarkan serat proyeksi menuju nukleus Ventral lateral (VL) talamus, yang selanjutnya
memproyeksikan kepada area motorik. Nukleus dentatus, menerima serat aferen dari sel
Purkinje neoserebelum. Nukleus ini mengeluarkan serat proyeksi menuju VL dan
intralaminar talamus ipsilateral dan secara kontralateral menuju nukleus ruber dan nukleus
olivarius inferior (Campbell, 2005).
Gambar 2. Jalur koordinasi (Campbell,2005)
7
Serebelum merupakan bagian dari kompleks lengkung umpan balik yang terlibat
dalam koordinasi aktivitas motorik. Spindel otot bermielin yang besar dan organ tendon
Golgi yang bersifat aferen berjalan menuju serebelum melalui traktus spinoserebelar dan
masuk kedalam serebelum pada pedunkulus serebelum inferior. Informasi ini diproses pada
hemisfer dan mempengaruhi aktivitas sel purkinje pada inti serebelum profunda pada garis
tengah (khususnya nukleus dentatus). Sel purkinje mengeluarkan akson melalui pedunkulus
serebelum superior menuju nukleus VL talamus kontralateral yang selanjutnya mengirimkan
impuls tersebut ke korteks motorik. Serat kortikopontin desenden bersinaps dengan nukleus
pontis pada basis pons, yang selanjutnya mengirimkan akson pontoserebelar melalui
pedunkulus serebelum media menuju hemisfer serebelum. Serat kortikomotor desending
yang lain secara aktual mengeksekusi tugas-tugas pada tangan. Serebelum diperlukan dalam
memperhalus gerakan yang diakibatkan korteks serebri. Motorik talamus bertugas untuk
mengintegrasikan aktivitas serebelum, ganglia basalis dan korteks serebri (Campbell,2005).
Gambaran CT sken kepala pada kasus ini tidak tampak adanya kelainan hipodens atau
hiperdens abnormal. Ada beberapa alasan yang menjelaskan gambaran CT sken kepala yang
dalam batas normal pada pasien yang menunjukkan defisit neurologis. Dalam dekade
pertama perkembangan CT, penampakan infark pada CT Sken terbatas oleh teknologi.
Seperti yang dikutip oleh Warlow, dikatakan Campbell et al (1978) mengadakan penelitian
pada 141 pasien yang datang ke rumah sakit dengan stroke iskemik akut segera setelah
onset dan setelah 7 hari kemudian dilakukan lagi skening. Mereka menemukan lebih dari
50% lesi iskemik terdeteksi pada CT sken pertama kali dan 66% pada sken yang kedua. Hal
ini membenarkan bahwa perubahan infark dapat tidak tampak pada CT sken dalam 24-48
jam setelah onset walaupun kadang-kadang lesi iskemik dapat tampak lebih awal sekitar 3-6
jam setelah onset (Warlow et al, 2001). Infark yang kecil terlihat belakangan dibandingkan
infark yang lebih besar, karena terdapat sedikit jaringan untuk mengubah densitasnya pada
CT sken. Oleh karena itu, infark lakunar jarang tampak pada 24 jam pertama pada CT sken
atau sama sekali tidak akan pernah tampak pada CT Sken. Infark yang kecil pada batang otak
dan serebelum khususnya, sangat sulit dapat tervisualisasikan dengan CT karena artefak
yang ditimbulkan oleh tulang petrosus, hal ini tidak menjadi masalah lagi bila menggunakan
teknologi skening yang lebih modern dan irisan scan yang lebih tipis (Warlow et al,2001).
Gambaran CT sken yang normal pada kasus ini kemungkinan disebabkan karena belum 8
tampaknya infark pada CT sken atau terjadi infark lakunar atau terjadi infark pada
serebelum. Untuk memastikan hal ini, maka dilakukan rencana pemeriksaan MRA (Magnetic
Resonance Angiography). MRA dapat memberikan gambaran pembuluh darah tanpa
pemberian kontras dengan menggunakan karakteristik sinyal aliran darah. Teknik ini dapat
digunakan pada stroke iskemik akut. MRA dapat digunakan menilai stenosis karotis pada
pasien yang akan menjalani carotid endarterectomy dan juga dapat mengevaluasi deteksi
aneurisma intrakranial (Warlow et al,2001). Hasil MRA pasien pada gambar 1 menunjukkan
terjadinya stenosis arteri serebri posterior kanan (segmen P1 dan P2).
Arteri posterior serebri (PCA) dibedakan menjadi interpedunkular, ambient, dan
quadtraversal sebelum terbagi menjadi cabang-cabang terminal kortikal (Gambar 3). Suatu
sistem alternatif membagi PCA menjadi segmen P1, P2, dan P3. Segmen P1 dari asal PCA
pada percabangan arteri basilaris menuju Posterior Communicating Artery (PcoA). Segmen
P2 berjalan menuju batang otak (mesensefalon bagian posterior). Segmen P3 berakhir pada
perbatasan anterior fisura Kalkarina.
Gambar 3. Anatomi arteri serebri posterior dari percabangan arteri Basilaris, menunjukkan hubungannya terhadap mesensefalon (Chambers et al,1991)
Arteri serebri posterior memberikan tiga kelompok cabang utama : 1) cabang sentral
menuju batang otak, 2) cabang ventrikular menuju pleksus koroid dan 3) cabang kortikal
menuju korteks serebri. Cabang sentral mencakup arteri perforating langsung (peduncular,
thalamoperforate , thalamogeniculate) dan arteri sirkumfleksi. Bersama-sama mensuplai
pedunkulus serebri, tectum, talamus medial dan posterior, nukleus genikulatum dan
pulvinar serta krus posterior kapsula interna. Cabang ventrikular (arteri choroid medial dan 9
lateral) mensuplai pleksus koroid ventrikel lateral dan dinding ventrikel serta memberikan
percabangan menuju pedunkulus serebri, tegmentum, kolikulus, korpus genikulatum,
pulvinar dan posterior talamus. Cabang kortikal mencakup arteri temporal inferior,
parietooccipital, calcarine dan splenial (Chambers et al, 1991).
Sebagian besar peneliti membagi area arteri yang mensuplai talamus menjadi 4
teritorial utama (Gambar 4), walaupun masih terdapat pertentangan. Arteri thalamotuberal
berasal dari PcoA mensuplai nukleus anterolateral, ventral anterior, ventral lateral dan
dorsal medial. Arteri ini biasanya sering tidak ada, sehingga area ini disuplai oleh arteri
thalamoperforate. Arteri thalamoperforate berasal dari segmen P1 PCA dan mensuplai
nukleus medial talamus, kelompok nukleus intralaminar dan sebagian besar nukleus dorsal
medial. Kedua arteri thalamoperforate berasal dari PCA yang sama. Arteri mesensefalic
paramedian superior mensuplai mesensefalon bagian atas. Arteri thalamogeniculate berasal
dari segmen P2 PCA memberikan perdarahan nukleus inferolateral-ventral posterior,
pulvinar dan sebagian kecil ventral lateral bagian posterior. Arteri choroidal posterior medial
dan lateral berasal dari PCA, bersama-sama mensuplai pulvinar dan korpus genikulatum
lateral (Chambers et al,1991).
Gambar 4. Anatomi Vaskularisasi Talamus (Chambers et al, 1991)
Infark talamus terjadi pada sepertiga kejadian PCA infark (Yamamoto et al, 1999). Infark
talamus memberikan gambaran sindrom klinis yang berbeda, walaupun terdapat perbedaan
pada beberapa laporan kasus. Sindrom thalamotuberal mencakup defisit kognitif,
hemineglect, afasia (lesi hemisfer dominan) dan defisit sensorimotorik ringan. Sindrom
10
thalamoperforate terdiri dari drowsiness, gangguan kognitif dan perilaku dan kadang-
kadang hemineglect, afasia (pada lesi hemisfer dominan) dan kesulitan melihat ke atas,
dapat juga terjadi defisit motorik dan sensorik. Keterlibatan bilateral juga sering terjadi, hal
ini karena kelompok thalamoperforate berasal dari PCA yang sama, menyebabkan
terjadinya demensia talamus. Sindrom thalamogeniculate mencakup kehilangan sensoris
hemicorporeal yang lengkap, kelemahan atau ataksia dan kadang-kadang nyeri yang berat
(Sindrom Dejerine-Roussy). Sindrom choroidal posterior jarang dan menyebabkan terjadinya
hemianopia tidak lengkap (Chambers et al,1991). Berikut ini uraian yang dapat membantu
memahami gambaran klinis yang menyertai oklusi PCA proksimal. Hemiparesis akibat infark
pedunkulus serebri (arteri peduncular perforator, sirkumfleksi) atau segmen anterior krus
posterior kapsula interna (arteri thalamotuberal). Ataksia serebelar kontralateral terjadi
akibat terlibatnya nukleus ventral lateral talamus (arteri thalamogeniculate) yang menerima
serat-serat jalur dentatorubrothalamic (Goto et al, 1979, Chambers et al, 1991) sedangkan
Goto et al (1979) menyatakan bahwa ataksia serebelar unilateral dengan atau tanpa
gerakan koreoatetosis diketahui dengan baik akibat oklusi arteri thalamoperforate
interpendicular. Pernyataan ini mendukung gambaran klinis pada kasus yang menunjukkan
gangguan koordinasi bilateral, karena arteri thalamoperforate kedua sisi berasal dari PCA
yang sama.
Proprioseptif pada pasien dalam batas normal. Tidak terlibatnya propioseptif pada lesi
talamus dengan manifestasi serebelum dapat dijelaskan berikut ini. Studi anatomi pada kera
menunjukkan bahwa terdapat serat input serebelum menuju talamus kontralateral melalui
jalur dentatorubrotalamikus, sedangkan serat lemnikus medialis kolum posterior berakhir
pada nukleus ventral posterolateral caudalis terdekat. Kedua traktus ini tidak terjadi
overlaping pada talamus (Gutrecht et al, 1992).
Infark teritorial PCA seringkali akibat aterosklerosis intrinsik. Aterosklerosis yang
terjadi pada PCA adalah sangat berat pada segmen P1 dan P2 (Chambers et al,1991).
Pernyataan ini sesuai dengan hasil MRA pada pasien yang menunjukkan terjadinya stenosis
pada segmen P1 dan P2 PCA. Emboli juga penting namun sebagian besar berasal dari
jantung (Chambers et al,1991).
SIMPULAN
11
Gambaran klinis gangguan serebelum murni pada kedua sisi dapat diakibatkan oleh adanya
stenosis arteri serebri posterior kanan yang memberikan percabangan menjadi arteri
thalamoperforate pada kedua sisi. Arteri thalamoperforate ini mensuplai beberapa area
nukleus talamus. Talamus sendiri terlibat dalam sirkuit koordinasi karena talamus khususnya
bagian motorik menjadi pengatur aktivitas serebelum, ganglia basalis dan korteks serebri.
DAFTAR PUSTAKA
12
Campbell, William, W., 2005. DeJong’s The Neurologic Examination. Sixth edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp 511-533.
Chambers, B.R., Brooder,R.J., Donnan, G.A.,1991. Proximal Posterior Artery Occlusion Simulating Middle Cerebral Artery Occlusion., Neurology :41;385. Available at:http://www.neurology.org/content/41/3/385. Accessed: 2011, October 11.
Duus, Peter., 1994. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Edisi 2., Jakarta: EGC. Hal 315-316
Goto, K., Tagawa,K., Uemra, K.,Ishii, K., Takahashi, S., 1979. Posterior Cerebral Artery Occlusion : Clinical, Computed Tomographic and Angiographic Correlation. Radiology 132: 357-368.
Gutrecht, J.A., Zamani, A.A., Pandya, D.N., 1992. Lacunar Thalamic Stroke with Pure Cerebellar and Proprioceptive Deficits. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry. J Neurol Neurosurg Psychiatry 55: 854-856. Available at jnnp.bmj.com. Accessed: 2011, October 25.
Hauser,S.L.,2006. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. 1th edition. United States: The McGraw-Hill Companies,Inc. Pp 125-126.
Martin., 1998. Vertebrobasilar Ischaemia. Q J Med., 91: 799-811. Available: http://www.qjmed.com. (Accessed: 2011, October 18)
Mumenthaler, M., Mattle, H., Taub, E., 2006. Fundamentals of Neurology An Illustrated Guide. Germany:Georg Thieme Verlag.
Ngoerah, I GNG.,1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Edisi pertama. Surabaya: Airlangga University Press., hal 241-255.
Phan, T.G., Fong, A.C., Donnan, G.,Reutens, D.C. 2007. Digital Map of Posterior Cerebral Artery Infarcts Associated With Posterior Cerebral Artery Trunk and Branch Occlusion.,Stroke. 2007;38:1805-1811. (Available: http://stroke.ahajournals.org. Accessed: 2011, October 18)
Warlow, C.P., Dennis, M.S., van Gijn, J., Hankey, G.J., Sandercock, P.A.G., Bamford, J.M., Wardlaw., 2001. Stroke: A Practical Guide to Management. Second edition. Blackwell science Ltd. Pp 232-233
Yamamoto, Y., Georgiadis, A.L., Chang, H-M., Caplan,L.P., 1999. Posterior Cerebral Artery Territory Infarcts in The New England Medical Center Posterior Circulation Registry.
13
Arch Neurol.,56: 824-832. Available at http://www.archneurol.com. Accessed: 2011, October 18.
14