laporan farmakologi 2
DESCRIPTION
farmakoTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Obat Antituberkulosis dan Obat Anti Asma
B. Hari dan Tanggal Praktikum
Rabu, 13 Maret 2013
C. Tujuan Instruksional
1. Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan
obat anti asma
2. Khusus
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa mampu :
a. Menjelaskam mekanisme kerja obat antituberkulosis
b. Menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat antituberkulosis
c. Menerapkan prinsip pengobatan tuberkulosis
d. Mengetahui ESO obat antituberkulosis
e. Menjelaskan mekanisme kerja obat anti asma
f. Menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat anti asma
g. Menerapkan prinsip pengobatan asma
h. Menerapkan prinsip pengobatan status asmatikus
i. Mengetahui ESO obat anti asma
j. Membuat peresepan untuk obat antituberkulosis dan obat anti asma
D. Dasar Teori
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki sifat tahan asam dan dapat
bertahan dalam tubuh manusia selama bertahun-tahun. Penyakit ini ditularkan
melalui droplet yang berasal dari penderita penyakit tuberkulosis (Theodorus,
2008).
Hampir sepertiga dari populasi dunia dapat terinfeksi oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, terdapat lebih kurang 9 juta
kasus baru dan 3 juta meninggal dunia. Di Indonesia sendiri, penyakit ini
merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular pada
semua umur, dan merupakan penyebab nomor 1 dari golongan infeksi
(Theodorus, 2008).
Mulai tahun 1990-an, resistensi majemuk terhadap Obat Anti
Tuberkulosis ( OAT ), atau yang biasa disebut dengan Multi Drug Resistence
( MDR ) terjadi akibat penggunaan obat yang tidak tepat, dan juga
ketidakpatuhan dari penderita. Resistensi ini terjadi paling tidak pada dua obat,
isoniazid dan rifampisin (Theodorus, 2008).
Tujuan pemberian OAT adalah untuk menyembuhkan pasien TB secara
tepat, mencegah kematian atau bahaya lanjutan, mencegah kekambuhan, dan
menurunkan transmisi tuberkulosis terhadap orang lain (Theodorus, 2008).
Asma adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan dengan adanya
hiperresponsif dari trakea dan bronki terhadap rangsangan alergen dan
bermanifestasi sebagai penyempitan saluran napas yang menyebar dan tingkat
keparahan dapat berubah secara spontan atau sebagai hasil dari terapi (Munaf,
2008).
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1985-1986, asma
merupakan penyakit dengan morbiditas kedua setelah ISPA. Asma memiliki
fatality rate sebesar 2,5 per 100.000, dengan terapi yang tidak sempurna dan
terlambatnya memulai pengobatan dengan bronkodilator dan adrenal
kortikosteroid sebagai faktor kontribusi (Munaf, 2008).
Ada beberapa obat yang biasa digunakan untuk penyakit pada saluran
napas, antara lain antitusif, ekspektoran dan mukolitik ( Kee, 1996 ).
Antitusif digunakan untuk batuk non produktif atau batuk kering.
Antitusif dibagi menjadi dua jenis berdasarkan organ target, antitusif sentral dan
antitusif perifer. Antitusif sentral bekerja dengan cara menekan pusat batuk di
medulla oblongata. Sedangkan ekspektoran digunakan untuk batuk produktif.
Ekspektoran bertujuan untuk menurunkan viskositas sekret bronkus dan
membantu pengeluaran sekret (Kee, 1996).
Mukolitik adalah obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas
dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida yang
terdapat pada sputum. Contoh mukolitik adalah bromheksin, asetilsistein, dan
ambroksol (Estuningtyas, 2007).
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan sangat menular.
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan
sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Penularannya sebagian besar
melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang
didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
mengandung basil tahan asam (BTA) (Amin dan Bahar, 2009).
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukurang panjang 1-4µm dan tebal 0,3-
0,6µm. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid),
kemudian peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri
tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan fisis maupun
kimia (Amin dan Bahar, 2009).
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni di
dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang seharusnya memfagosit bakteri
tersebut kemudian menyenanginya karena mengandung banyak lipid. Sifat
lain bakteri ini adalah aerob, sehingga bakteri ini menyukai bagian apikal
paru-paru karena tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tnggi
dari bagian yang lain (Amin dan Bahar, 2009).
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis memiliki 2 macam sifat/
aktivitas, yaitu (Amin dan Bahar, 2009):
a. Aktivitas bakterisid
Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif). Hampir semua obat anti tuberkulosis
mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya
bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap obat.
b. Aktivitas sterilisasi
Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertubuhannya lambat
(metabolismenya kurang aktif). Rifampisin dan pirazinamid mempunyai
aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin
menempati urutan yang lebih bawah.
Obat anti tuberkulosis (OAT) digolongkan atas dua kelompok, yaitu
obat lini pertama dan obat lini kedua. Kelompok obat lini pertama yaitu
isoniazid (INH), rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid,
memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat
diterima (Istiantoro dan Setiabudy, 2009).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut (Kepmenkes, 2009):
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
b. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
c. Untuk menjamin kepatuhan pasien menlan obat, dilakukan pengawasan
langsung (Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
d. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan.
2. Ekspektoran, Mukolitik, dan Antitusif
a. Ekspektoran
Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran
dahak dari saluran nafas. Mekanisme yang diduga berdasarkan stimulasi
mukosa lambung dan selanjutnya secara reflek merangsang sekresi
kelenjar saluran nafas lewat nervus vagus sehingga menurunkan
viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat ekspektoran
yang sering dipakai diantaranya amonium klorida dan gliseril guaikolat
(Page et al, 2006).
b. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang dapat mengencerkan sekret
saluran nafas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida. Contoh obat yang termasuk golongan mukolitik
diantaranya ambroxol, bromhexine, dan carbocystein (Page et al, 2006).
c. Antitusif
Antitusif merupakan obat yang menekan refleks batuk dengan cara
mengurangi sensitifitas reseptor batuk yaitu epitel saluran nafas atas dan
bawah, meatus auditori eksternal, membran timpani, esofagus,
perikardium, diafragma atau langsung menekan pusat batuk yaitu
medula oblongata.Obat yang mengurangi sensitifitas reseptor batuk
diantaranya adalah menthol vapor yang berfungsi melindungi mukosa
dan iritasi, anastesi lokal topikal, dan pelega. Sedangkan yang langsung
menekan pusat batuk diantaranya codein, dextromethorphan,
chlophedianol, dan levopropoxyphene (Page et al, 2006).
E. Alat dan Bahan Praktikum
1. OAT KDT Kategori 1 fase awal dan lanjutan
2. OAT KDT kategori 2 fase awal dan lanjutan
3. OAT kombipak kategori anak fase awal
4. OAT kombipak kategori anak fase lanjutan
5. Obat asma inhalasi dan tablet
1
2
3
4
5
6
6. Obat dekongestan dan antitussive
F. Tata Urutan Kerja
1. setiap meja terdapat minimal satu asisten farmakologi
2. Praktikan dibagi menjadi beberapa kelompok dengan 1 kelompok berisi 6-7
praktikan
3. Praktikan dibagi berdasarkan stase, dari stase 1-5
4. Setiap stase praktikan di berikan waktu 15 menit
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. STASE 1 – Peresepan
Untuk menulis sebuah Resep, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
diantaranya:
a. Nama, alamat, nomor izin paktek dari Dokter, Dokter Gigi, atau Dokter
Hewan.
b. Tanggal penulisan Resep (inscription).
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan Resep, nama setiap obat atau
komposisi obat (Invocatio), bentuk sediaan, ukuran sediaan, dan jumlah obat
yang akan diresepkan.
d. Aturan pakai obat (signature).
e. Tanda tangan/paraf Dokter penulis Resep (Subscriptio).
f. Pro atau identitas pasien, berisi nama pasien, usia, alamat, dan berat badan
bila pasien adalah anak-anak.
Beberapa istilah pada resep yang sering digunakan adalah sebagai berikut :
a. Berhubungan dengan waktu minum obat
1. Semel : satu kali
2. Bis : dua kali
3. Ter : tiga kali
4. Quarter : empat kali
5. 1.d.d (semel de die) : satu kali sehari
6. 2.d.d (bis de die) : satu kali sehari
7. 3.d.d (ter de die) : satu kali sehari
8. p.c (post coenam) : setelah makan
9. a.c (ante coenam) : sebelum makan
10. d.c (durante coenam) : pada saat makan
11. vesp. (vespere) : malam
12. m (mane) : pagi
13. m. et v. (mane et vespere) : pagi dan malam
14. noct. (nocte) : tengah malam
15. o.m (omne mane) : setiap pagi
16. o. n. (omne nocte) : setiap malam
17. prn (pro renata) : digunakan jika perlu
b. Berhubungan dengan tempat pemberian obat
1. In loc dol (I locus dollen) : pada tempat yang sakit
2. I.c (intra cutan) : dalam jaringan kulit
3. I. m (intra muscular) : dalam otot
4. S. c (Sub cutan) : bawah jaringan kulit
5. I.v (intra vena) : melalui pembuluh darah vena
6. Supp. Ani (suppositories ani) : melalui dubur ke rectum
7. Supp. Vag (suppositories vagina) : melalui vagina
8. U.e (usus externus) : obat luar
9. U.i (usus internus) : obat dalam
c. Berhubungan dengan bentuk sediaan obat
1. Pulv. (pulvis) : serbuk
2. Unguenta : salep
3. Cream : krim
4. Tab. : tablet
5. Caps. : kapsul
6. Capl. : kaplet
7. Sol : larutan
8. Syr. : syrup
9. Amp. : ampul
10. Flac. (flacon) : botol kecil
11. Flab. (flaboth) : botol besar
12. Gtt. (gutatae : tetes
13. Pil. (pillula) : pil
d. Berhubungan dengan penyerahan obat epada pasien
1. Add. (adde) : tambahkan
2. Imm (im manus medicine): diserahkan pada tenaga medis
3. M.f.l.a : campur sesuai takaran
4. d.i.d : berilah setengahnya
5. dtd : berilah sekian takaran
e. Berhubungan dengan takaran obat
1. C : Sendok makan (15 ml)
2. Cth: Sendok the (5 ml)
f. Berhubungan dengan cara pemakaiannya
1. Inj. : injeksi
2. Instill. (instilla) : teteskan
dr. Novita Dewi
SIP. G1A0110000
Jl. Puteran 25 Berkoh
021577345
Purwokerto, 18 Maret 2013
R/ Bromhexin HCL syr 4mg/5ml lag 60 ml No. I
S. 2. d. d. cth 1 dc
Pro : Budi
Usia : 4 tahun
2. STASE 2 – Jenis OAT dan regimen
a. Obat Anti Tuberkulosis kategori 1
Pada pengobatan pasien TB, kategori penyakit digolongkan menjadi
tiga kategori berdasarkan kasus dari penderita TB dan kebutuhan pengobatan
dalam program. Kasus TB kategori I merupakan suatu kasus baru TB dengan
BTA (+) yang mana kasus baru di sini bermakna bahwa pasien baru pertama
kali mengalami TB dan belum pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya atau
sudah pernah minum OAT tetapi < 1 bulan. TB kategori I ini merupakan
kasus baru pada pasien dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB
milier, perikarditis, peritonitis, pleuritif masif atau bilateral dan penderita
dengan sputum (-) tetapi kelainan parunya luas yang apabila pada gambaran
foto rontgen, terdapat infiltrat yang lebih dari spatiumintercostalis 2 (SIC 2)
(Muttaqin, 2008).
Pada pasien yang termasuk kasus baru/kategori I, maka pengobatan
yang harus diberikan adalah OAT kategori I dengan aturan sebagai berikut :
Tabel 1.Panduan OAT Kategori I (Muttaqin, 2008)
Penderita TB
Kategori I
Panduan Obat
Fase Awal (tiap hari
atau 3x seminggu)
Fase Lanjut
Kasus baru TB paru, dahak
(+)
2 RHZE (RHZS) 4HR
Kasus baru TB paru dahak (-)
dengan kerusakan parenkim
luas
2 RHZE (RHZS) 6HE
Kasus baru TB extra paru 2 RHZE (RHZS) 4 H3R3
Fase lanjutan diberikan ketika setelah pengobatan fase awal/intensif
selama 2 bulan, apabila sputum masih tetap (+). setelah fase lanjutan masih
tetap BTA (+), maka dapat dilakukan pengobatan fase awal lagi dengan
diperpanjang 2-4 minggu (Muttaqin, 2008).
Obat anti tuberkulosis, pencantumannya menyesuaikan dengan bentuk
dan kekuatan sediaan yang digunakan dalam program Pengendalian Penyakit
Tuberkulosis Nasional. Sediaan yang berbentuk “Paduan dalam bentuk dosis
tetap atau FDC ( Fixed Dose Combination) atau “Paduan dalam bentuk
kombipak”, baik untuk dewasa maupun untuk anak.Sedangkan sediaan oral
bentuk tunggal sudah tidak dicantumkan lagi dengan pertimbangan untuk:
1. Meningkatkan kepatuhan pasien
2. Memudahkan dalam pemberian
3. Meminimalkan risiko resistensi (MDR = Multidrug Resistance)
Kecuali untuk Isoniazid tablet, masih disediakan dalam bentuk
tunggal, karena dibutuhkan untuk profilaksis TB pada anak dan HIV AIDS.
Jika dalam kondisi dimana terjadi alergi pada salah satu obat, maka dapat
digunakan sediaan kombipak, dengan mengeluarkan obat yang menyebabkan
alergi tersebut (Kemenkes, 2011).
b. Obat Anti Tuberkulosis Kategori 2
Paduan OAT kategori ini diberikan untuk pasien BTA positif yang
telah diobati sebelumnya:
1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal
3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
Setelah fase intensif, maka diberikan obat fase lanjutan.
Tabel 2. Panduan OAT kategori II (Kemenkes, 2009)
Tabel
3. STASE 3 – Mekanisme kerja dan ESO OAT
a. Rifampisin
1. Mekanisme Kerja
Rifampisin terutama akan aktif pada sel yang sedang bertumbuh.
Kerjanya adalah dengan menghambat DNA-dependent RNA polymerase
dari mikobakterium dan mikroorganisme lainnya dengan cara menekan
mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA. Rifampisisn dapat
menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia namun memerlukan
kadar yang lebih tinggi dari pada kadar untuk penghambatan pada kuman
(Istiantoro et al, 2009).
2. Interaksi Obat
Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorbsi
rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup. Rifampisin
merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehingga obat
OHO, kortikosteroid dan kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya.
Mungkin akan terjadi kehamilan pada pemberian bersama kontrasepsi oral
(Istiantoro et al, 2009).
3. Efek Samping Obat
a. Yang paling sering terjadi ruam kulit, demam, mual, dan muntah
b. Pada pasien penyakit hati kronik, alkoholisme, dan lanjut usia
insidensi ikterik bertambah.
c. Beberapa keluhan yang berhubungan dengan saraf seperti rasa lelah,
mengantuk, sakit kepala, ataksia, bingung, sulit berkonsentrasi, dan
melemahnya otot juga dapat terjadi.
d. Dapat pula terjadi reaksi hipersensitifitas dan reaksi hepatologik.
(Istiantoro et al, 2009).
4. Sediaan Obat
Rifampisin terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. sealain
itu terdapat pula dalam benatuk tablet 450mg dan 600mg serta suspensi
yang mengandung 100 mg/5 ml rifampisin. Beberapa sediaan telah
dikombinasikan dengan isoniazid (Setiabudi, 2008).
5. Dosis Obat
Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50kg ialah
450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 600 mg/hari.
Untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgBB per hari dengan dosis
maksimum 600 mg/hari (Setiabudi, 2008).
6. Indikasi
Indikasi yang disebabkan E. Coli, Pseudomonas, Proteus dan
Klebsiella, serta S. Aureus, Nisseria meningitides, M. Tuberkulosis, M.
Kansasii, M. Scrofulaceum, dan M. Intracellulare (Hardjosaputra, 2008).
Rifampisisn juga di indikasikan untuk pengobatan tuberkulosis
bersama dengan antituberkulosis lainnya (Hardjosaputra, 2008).
7. Kontraindikasi
a. Hipersensitivitas terhadap rifampisin
b. Penderita dengan ikterus
(Hardjosaputra, 2008)
8. Farmakokinetik
Rifampisin memiliki kadar puncak 2-4 jam setelah pemberian secara
oral. Dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 ug/ml.
Rifampisin dalam absorbsinya sering kali dihambat oleh asam
paraaminosalisilat yang mengakibatkan tidak tercapainya kadar terapi
rifampisin dalam plasma. Jika rifampisin harus digunakan dengan asam
paraaminosalisilat, maka pemberian keduanya haruslah diberi jarak 8-12
jam. Obat ini cepat di ekskresikan melalui empedu yang kemudian
mengalami sirkulase enterohepatik. Makanan dapat pula menghambat
penyerapannya. Pada pemberian berulang, eliminasinya akan meningkat.
Masa paruh 1,5-5 jam. Obat akan berdifusi secara baik keberbagai
jaringan termasuk cairan otak. Luasnya distribusi rifampisin tercermin dari
warna merah jingga pada urine, tinja, ludah, sputum, air mata, dan
keringat (Syarif, 2011).
b. Isoniazid
1. Mekanisme Kerja Obat
Mekanisme kerja Isoniazid belum diketahui secara pasti, tetapi ada
beberapa hipotesis yang diajukan, di antaranya efek pada lemak,
biosintesis asam nukleat, dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek
utamanya ialah menghambat biosintesis asam micolat yang merupakan
unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid mencegah
perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan
bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat tahan
asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari
mikobakterium (Istiantoro et al, 2009).
2. Efek Samping Obat
a. Reaksi hipersensitifitas dapat mengakibatkan demam dan keluhan
penyakit kulit.
b. Reaksi hepatologik dapat terjadi seperti agranulositosis, eosinofilia,
trombositopenia, dan anemia.
c. Gejala artritis dapat terjadi seperti sakit pinggang, sakit sendi, dan
atralgia.
d. Neuritis perifer, yang paling sering dan paling banyak terjadi.
e. Dapat mencetus kejang pada pasien yang memiliki riwayat kejang.
f. Dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat
terjadinya nekrosis multilobular.
g. Efek yang lain seperti mulut terasa kering, rasa tekan pada ulu hati,
methemoglobinemia, tinitus, dan retensi urin.
(Istiantoro et al, 2009).
3. Sediaan Obat
Isoniazid tersedia dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400 mg serta
sirup 10 mg/ml (Istiantoro et al, 2009).
4. Dosis Obat
Dosis isoniazid 3-5 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300
mg/hari (Istiantoro et al, 2009).
5. Indikasi
Indikasi Isoniazid adalah untuk semua bentuk tuberkulosis dengan
kuman yang sensitif baik untuk pencegahan maupun pengobatan
(Hardjosaputra, 2008).
6. Kontraindikasi
Isoniazid dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki
hipersensitivitas berat, termasuk hepatitis akibat obat. Pasien yang telah
mengalami kerusakan hati, akan mengalami efek samping berat dengan
pemberian isoniazid seperti, demam, menggigil dan artritis
(Hardjosaputra, 2008).
7. Farmakokinetik
Isoniazid mudah diserap melalui pemberian secara oral ataupun
parenteral. Kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah
pemberian oral. Pada manusia, isoniazid akan mengalami asetilisasi dan
kecepatannya dipengaruhi faktor genetik, yang mempengaruhi kadar obat
dalam plasma dan masa paruh obatnya. Sekitar 75 – 95 % obat akan di
eksresikan melalui urine dalam 24 jam dan hampir seluruhnya dalam
bentuk metabolit, utamanya dalam bentuk Asetil Isoniazid (Syarif, 2011).
c. Pirazinamid
1. Mekanisme Kerja Obat
Mekanisme kerja obat ini belum diketahui secara pasti. Pirazinamid
dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase yang menjadi asam
pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang
bersifat asam. In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosisdalam monosit
dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 μg/mL (Istiantoro et al,
2009).
2. Efek Samping Obat
a. Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainann hati.
Maka dari itu tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
fungsi hati.
b. Obat ini menghambat ekresi asam urat dan dapat menyebabkan
kambuhnya pirai.
c. Efek samping lain adalah artralgia, anoreksia, mual dan muntah,
disuria, malaise, dan demam.
(Istiantoro et al, 2009).
3. Sediaan Obat
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg
(Istiantoro et al, 2009).
4. Dosis Obat
Dosis pirazinamid adalah 20-35 mg/kgBB/hari, maksimum 3 gr
(Istiantoro et al, 2009).
5. Indikasi
Indikasi dari pirazinamid adalah untuk tuberkulosis dan
tuberkulostatik lainnya. Bersifat bakteriosidal yang hanya aktif terhadap
kuman Mikobakterium tuberkulosis yang masih membelah diri dalam sel.
Efeknya menonjol hanya dalam dua atau tiga bulan ertama pengobatan.
Khususnya sangat bermanfaat untuk meningitis tuberkulosa karena
penetrasinya sangat baik ke meningen (Hardjosaputra, 2008).
6. Kontraindikasi
Pasien dengan gangguan fungsi hati
(Hardjosaputra, 2008)
7. Farmakokinetik
Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas keseluruh tubuh.
Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 ug/ml pada 2 jam
setelah pemberian secara oral. Ekskresi pirazinamid utamanya melalui
filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian akan mengalami
hidroksilasis menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit
utama (Syarif, 2011).
d. Etambuthol
1. Mekanisme Kerja
Etambutol efektif terhadap galur M. Tuberkulosis dan M. Kansasi.
Etambutol tidak efektif terhadap kuman lain. Etambutol akan tetap
menekan pertumbuhan dari mikobakterium tuberkulosis meskipun sudah
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Kerja dari obat ini adalah
dengan menghambat sintesis metabolit sel. Sehingga metabolisme sel akan
terhambat dan sel akan mati. Oleh karena itu sel ini hanya efektif terhadap
sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik. Resistensi terhadap
etambutol biasanya sangat lambat, namun resistensi akan timul bila
digunakan tunggal (Istiantoro et al, 2009).
2. Efek Samping Obat
a. Pada dosis harian efek sampingnya biasanya yaitu penurunan
ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.
b. Efek samping lainnya adalah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran
cerna, malaise, sakit kepala, pening, bingung,disorientasi, dan
mungkin juga halusinasi.
c. Efek samping sangat perlu diperhatikan adalah gangguan penglihatan
yang dapat timbul selama penggunaan obat.
d. Dapat menyebabkan peningkatan asam urat pada 50% pasien
(Istiantoro et al, 2009).
3. Sediaan Obat
Tablet 250 mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur
dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap (FKUI, 2007).
4. Dosis Obat
Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang
menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian
diturunkan menjadi 15 mg/kgBB. Pengurangan dosis diperlukan pada
pasien dengan gangguan ginjal (Katzung, 2009).
5. Indikasi
Indikasi etambutol untuk pengobatan tuberkulosis ( infeksi
Mikobakterium tuberkulosis dan Mikobakterium kansasii) dalam
kombinasi dengan antituberkulosis lainnya seperti Rifampisin dan atau
Isoniazid (Hardjosaputra, 2008).
6. Kontraindikasi
a. Penderita yang diketahui menderita neuritis optikus
b. Tidak dianjurkan bagi penderita konvulsi atau epilepsi.
(Hardjosaputra, 2008)
7. Farmakokinetik
Pada pemberian secara preoral sekitar 75-80 % etambutol diserap dari
saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma akan dicapai dalam waktu 2-4
jam. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan kadar dalam plasma 5
ug/ml pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol
dalam eritrosit 1-2 kali kadar dlam plasma. Oleh karena itu, eritrosit dapat
berperan depot dari etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit
demi sedikit kedalam plasma. Dalam 24 jam, 90 % etambutol yang di
ekskresikan dalam bentuk asal melalui urine dan 10 % sebagai metabolit
berupa derivat aldehid dan asam karboksilat (Syarif, 2011).
e. Streptomisin
1. Mekanisme Kerja
Obat ini dinilai secara klinik sebagai obat antituberkulosis yang
efektif. Streptomisin memiliki sifat bakteriostatik dan bakteriosidal
terhadap kuman M. tuberculosis Obat ini bekerja secara supresi bukan
eradikasi kuman tuberkulosis (Istiantoro et al, 2009).
2. Efek Samping
a. Kadang terjadi sakit kepala atau malaise.
b. Parestesi dimuka dapat terjadi.
c. Bersifat neurotoksin pada saraf kranial ke VIII, bila diberikan dengan
dosis besar dan lama.
d. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas sangat tinggi pada kelompok usia
diatas 65 tahun.
e. Efek samping lainnya adalah reaksi anafilaktik, agranulositosis,
anemia aplastik, dan demam obat.
(Istiantoro et al, 2009).
3. Sediaan Obat
Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5
gram (Istiantoro et al, 2009).
4. Dosis Obat
Dosisnya 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2
sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3
kali seminggu. Dosis harus dikurangi untuk orang lansia, anak-anak, orang
dewasa yang berbadan kecil, dan pasien dengan gannguan fungsi ginjal
(Istiantoro et al, 2009).
5. Indikasi
Tuberkulosis dan infeksi lainnya yang membutuhkan streptomisin
(MIMS, 2010).
6. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap aminoglikosida lain (MIMS, 2010).
7. Farmakokinetik
Setelah di serap melalui tempat yang di injeksikan, hampir semua
streptomisin berada dalam plasma. Streptomisin akan dieksresikan melalui
filtrasi glomerulus. Kira – kira 50-60 % dosis yang diberikan parenteral
akan diekresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama.
Sebagian besar zat ini akan dieksresikan dalam waktu 12 jam. Masa paruh
itu pada orang dewasa normal 2-3 jam. Ototoksisitas lebih sering terjadi
pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu (Syarif, 2011).
4. STASE 4 – Obat Asma
a. Aminofilin
1. Farmakodinamik
Menghambat fosfodiesterase, menimbulkan peningkatan konsentrasi
siklik adenosin monofosfat (cAPM) dalam jaringan. Peningkatan kadar
cAMP menyebabkan : bronkodilatasi, stimulasi SSP, diuresis, sekresi
asam lambung (Deglin, 2005).
2. Farmakokinetik
Absorbsi : diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral. Absorbsi
dari bentuk dosis lepas lambat bersifat lama tetapi sempurna. Absorbsi
dari supositoria rektal tidak menentu dan tidak dapat diandalkan (Deglin,
2005).
Distribusi : didistribusi luas sebagai teofilin, dapat menembus plasma
(Deglin, 2005).
Metabolisme dan eksresi : dimetabolisme oleh hati menjadi kafein,
yang dapat terakumulasi pada neonatus. Metabolitnya dieksresikan
melalui ginjal (Deglin, 2005).
3. Sediaan
Suntikan: 1 mg/ml, 2 mg/ml, 25 mg/ml
Tablet, 100 mg, 200 mg
Tablet, pelepasan diperpanjang, 225 mg
Larutan oral, 105 mg/5ml
Larutan rektal, 60 mg/ml
Supositoria rektal, 250 mg, 500 mg
100 mg aminofilin setara dengan 78,9 mg teofilin anhidrosa
(Omoigui, 1997)
4. Dosis
Bronkospasme:
Pemuatan :
IV, 5-6 mg/kg (berikan dalam 20-30 menit) atau PO/rektal, 6mg/kg
Pemeliharaan:
Infus IV, 0,5-1 mg/kg/jam
PO, 2-4 mg/kg setiap 6-12 jam
(Omoigui, 1997)
5. Efek samping
Kardiovaskular : palpitasi, takikardia sinus, aritmia ventrikuler
Pulmoner : takipne
SSP : kejang, sakit kepala, iritabilitas
GI : mual, muntah, nyeri epigastrik
Lain : hiperglikemia, sindrom hormon antidiuretik yang tak semestinya
(SIADH)
(Omoigui, 1997)
6. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi : bronkodilator pada obstruksi jalan napas reversibel akibat
asma atau PPOM (Deglin, Judith Hopfer. 2005).
Kontraindikasi: dikontraindikasikan pada aritmia yang tidak
terkendali, hipertiroidisme (Deglin, 2005).
Gunakan dengan hati-hati pada pasien lansia (>60 tahun), GJK, atau
penyakit hati (diperlukan pengurangan dosis), aman digunakan pada
kehamilan (Deglin, 2005).
b. Salbutamol
1. Farmakodinamik
Salbutamol merupakan sympathomimetic amine termasuk golongan
beta-adrenergic agonist yang memiliki efek secara khusus terhadap
reseptor beta(2)-adrenergic yang terdapat didalam adenyl cyclase. Adenyl
cyclase merupakan katalis dalam proses perubahan adenosine triphosphate
(ATP) menjadi cyclic-3', 5'-adenosine monophosphate (cyclic AMP).
Mekanisme ini meningkatkan jumlah cyclic AMP yang berdampak pada
relaksasi otot polos bronkial serta menghambat pelepasan mediator
penyebab reaksi hipersensitivitas dari mast cells (Dinkestasik, 2011).
2. Farmakokinetik
Onset : inhalasi : 5-15 menit; oral : min 30.
Durasi : Inhalasi : 3-6 jam; oral : 8 jam.
Absorbsi : Mudah diserap dari saluran pencernaan.
Metabolisme : hati dan dinding usus.
Ekskresi : diekskresi di ginjal dalam bentuk urin sebagai metabolit.
(Dinkestasik, 2011)
3. Sediaan
Sirup 2 mg/5ml, 1 mg/5ml, Easyhaler 200 mcg/dosis, 200 dosis MDI 10
ml, 0.1 mg/tiap Semprot Aerosol Inhalasi, 0.5 mg/ml Injeksi, Inhaler
Dosis 200 dan Dosis 400, 2.5 mg/2.5 ml NaCl Digunakan Dengan
Nebulizer. (5,6). Tablet 2 mg, 4 mg, dan 8 mg, Serbuk Inhalasi, Kapsul 2
mg, Kaplet 4 mg
(MIMS, 2010)
4. Dosis
a. Sediaan oral
1. Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari
2. Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari
3. Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari
4. Dewasa : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1
kali minum sebesar 8 mg
Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif
sebesar 2 mg
b. Inhalasi aerosol
1. Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200
mcg (2 hisapan) bila perlu.
2. Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari
c. Inhalasi cair
1. Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali
sehari atau 5 kali bila perlu.
2. Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.
d. Injeksi subkutan atau intramuscular
Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu
e. Injeksi intravena lambat
Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu
(MIMS, 2010)
5. Efek samping
Tremor ringan, palpitasi, mual, pusing,mulut kering, kram otot ,
hipokalemi.
6. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi : Salbutamol digunakan dalam kasus bronkospasme pada
pasien dengan obstruksi jalan napas reversibel : serangan ringan dan
sedang dyspnea pada pasien yang menderita asma bronkial, broncho
obstruction ringan dan sedang pada pasien dengan bronkitiskronis dan
emfisema paru (Katzung, 2001).
Kontraindikasi dari obat ini adalah untuk penderita yang hipersensitif
terhadap salbutamol maupun salah satu bahan yang terkandung di
dalamnya. Adapun efek samping yang mungkin timbul karena pamakaian
salbutamol, antara lain: gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar, pusing,
sakit kepala, kejang, insomnia); nyeri dada; mual, muntah; diare; anorexia;
mulut kering; iritasi tenggorokan; batuk; gatal; dan ruam pada kulit (skin
rush). Untuk penderita asma yang disertai dengan penyakit lainnya
seperti: hipertiroidisme, diabetes mellitus, gangguan jantung termasuk
insufisiensi miokard maupun hipertensi, perlu adanya pengawasan yang
lebih ketat karena penggunaan salbutamol bisa memperparah keadaan dan
meningkatkan resiko efek samping. Pengawasan juga perlu dilakukan
pada penderita asma yang sedang hamil dan menyusui karena salbutamol
dapat menembus sawar plasenta. Untuk meminimalkan efek samping
maka untuk wanita hamil, sediaan inhalasi aeorosol bisa dijadikan pilihan
pertama. Penggunaan salbutamol dalam bentuk sediaan oral pada usia
lanjut sebaiknya dihindari mengingat efek samping yang mungkin muncul
(Katzung, 2001).
c. Ipratropium Bromide
1. Jenis Obat
Ipratropium bromide adalah turunan kuartener atropine yang
bermanfaat untuk pengobatan asma bronkial dan penyakit paru obstruktif
menahun (PPOM), khususnya untuk pasien yang tidak cocok dengan
pemakaian agonis adrenergic (Staf Pengajar FK UNSRI, 2004).
2. Farmakodinamik
Ipratropium bromida adalah antikolinergik (parasympatholytic) agen
yang tampaknya menghambat vagally-dimediasi oleh refleks antagonis
aksi asetilkolin, agen pemancar dirilis di persimpangan neuromuskular di
paru-paru. Antikolinergik mencegah peningkatan konsentrasi intraselular
Ca + + yang disebabkan oleh interaksi asetilkolin dengan reseptor
muskarinik pada otot polos bronkus. Para bronkodilatasim setelah
menghirup ipratropium bromida adalah terutama lokal, sitespecific efek,
bukan yang sistemik. Studi klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa
ipratropium bromida tidak mengubah baik mukosiliar clearance atau
volume atau viskositas sekresi pernapasan. Dalam penelitian tanpa kontrol
positif, ipratropium bromida tidak mengubah ukuran pupil, akomodasi
atau visual ketajaman Ventilasi / perfusi penelitian telah menunjukkan
tidak ada efek signifikan secara klinis pada gas paru pertukaran atau
tekanan oksigen arteri. Pada dosis yang direkomendasikan, ipratropium
bromida tidak menghasilkan perubahan yang signifikan dalam denyut nadi
atau tekanan darah (Staf Pengajar FK UNSRI, 2004).
3. Farmakokinetik
Ipraprotrium memiliki kemampuan untuk dapat menembus sawar
darah otak dan kurang baik dalam absorpsi di saluran gastrointestinal.
Ipratropium lebih baik diserap melalui inhalasi yang mungkin disebabkan
oleh penyerapan kation organik atau carnitine transporters (OCTN) dalam
epitel saluran napas (Fryer, 2012).
4. Sediaan
Sediaan ipratropium bromide adalah dalam bentuk inhaler.
5. Dosis
Dewasa : tambahkan 0,5 mg (0,5 mL) Atrovent kedalam nebulizer
(selain untuk dosis standar albuterol) dan alirkan oksigen 6-8 L/min.
Anak : jika umur pasien < 8 tahun, berikan 0,25 mg (0,25 mL); jika
umur pasien > 8 tahun, berikan 0,5 mg (0.5 mL) Atrovent kedalam
nebulizer (selain untuk dosis standar albuterol pada anak) dan alirkan
oksigen 6-8 L/ min (Jones and Bartlett, 2010).
6. Efek samping
Efek samping yang dapat timbul dari pemakaian Ipratropium Bromide,
adalah:
a. Pada Respirasi : batuk, gejala eksaserbasi.
b. CNS : kecemasan, pusing, sakit kepala.
c. Pada Kardiovaskular : palpitasi.
d. Pada Gastro-intestinal: mual, muntah, distress GI.
e. Lainnya : tremor, mulut kering, pandangan kabur.
(Jones and Bartlett, 2010)
7. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dari ipratropium bromide adalah adanya bronkospasm yang
berkaitan dengan asma dan peyakit gangguan obstruktif paru kronik,
termasuk bronchitis kronik dan emphysema yang tidak berespon terhadap
pemberian pengobatan albuterol tunggal. Sedangkan, kontraindikasi dari
ipratropium bromide adalah hipersensitif terhadap atropine atau
turunannya (Jones and Bartlett, 2010).
d. Kromolin
1. Farmakodinamik
Farmakodinamik kromolin adalah dengan menghambat aktivitas
seluler dengan mengubah fungsi chloride channel untuk menghambat
degranulasi sel mast. Kromolin dapat menghambat respon cepat terhadap
alergen atau kerja fisik, diperkirakan bahwa obat ini menekan pembebasan
mediator dari sel mastosit. Kromolin juga mencegah respons lambat dan
hipersekresi selanjutnya, dan hal ini menunjukkan bahwa obat ini bekerja
pada sel inflamasi lain seperti makrofag atau eosinophil (Staf Pengajar FK
UNSRI, 2004).
2. Farmakokinetik
Kromolin sulit di absorpsi via oral sehingga digunakan melalui
inhalasi aerosol, nasal spray.
3. Sediaan
Sediaan obat kromolin adalah IDT 5mg/semprot.
4. Dosis
a. Dewasa : 1-2 semprot, 3-4 kali/hari.
b. Anak : 1 semprot, 3-4 kali/hari.
5. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dari kromolin adalah sebagai alternative anti inflamasi.
Sedangkan, kontraindikasi adalah infiltrate eosinophil pneumonik
(inhalasi), pada kehamilan (trimester 1), dan pada anak-anak berusia
dibawah 2 bulan (kapsul) (Schmitz, 2008).
6. Efek Samping
Efek samping dari kromolin minimal serta terlokalisir. Efek samping
yang biasa terjadi adalah rekasi-reaksi hipersensitivitas. L/ainnya jarang
terjadi, seperti:
a. Neuritis perifer, vertigo, nyeri kepala, iritasi pengecapan
b. Serak, batuk darah, iritasi bronkial (inhalasi), perdarahan hidung,
ulserasi mukosa, kesulitan bernapas
c. Mata perih, mengganjal, chemosis
(Schmitz, 2008)
d. Dexamethason
1. Jenis
Dexamethason merupakan kortikosteroid kuat dengan khasiat
immunosupresan dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati
berbagai kondisi peradangan (Samtani, 2005).
2. Farmakodinamik
Kerja utama deksametason adalah untuk menekan proses inflamasi
akut. Permulaan kerja dari deksametason memang belum ditentukan,
namun obat yang diberikan secara oral maupun IM memiliki lama kerja
yang panjang (beberapa hari). Kebanyakan glukokorticoid golongan C
untuk kehamilan. Agen-agen yang dipakai untuk mengobati insufisiensi
adrenokortikalterdiri dari glukokortikoid dan mineralokortikoid,
sedangkan obat yang dipakai untuk inflamasi atau antiinflamasi atau
imunosupresif terutama mendukung glukokortikoid (L Keke & Hayes,
1993).
3. Farmakokinetik
Farmakokinetika merupakan proses obat di dalam tubuh manusia,
yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dari
berbagai mekanisme obat di dalam tubuh manusia maka farmakokinetik
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya
di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja,
2002).
Absorpsi Deksametason sama halnya dengan obat lain, yaitu melalui
saluran cerna yang kemudian mengalami metabolisme dihati menjadi
bentuk inaktif, Menurut Widodo 1993, ikatan protein plasma
deksametason yaitu 70% (pada dosis yang lebih tinggi lebih kecil), terikat
pada transcortin (afinitas tinggi, kapasitas kecil) dan pada albumin
(afinitas rendah, kapasitas besar)Informasi tentang kecepatan dan tingkat
absorpsi obat jarang mempunyai kepentingan klinis. Namun, absorpsi
biasanya terjadi selama dua jam pertama setelah dosis obat dan bervariasi
menurut asupan makanan, posisi tubuh dan aktivitas. Oleh karena itu tidak
boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap (kira-kira 2 jam setelah
dosis oral) (Tjay dan Rahardja, 2002).
Pada distribusinya khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah
melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke
seluruh jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstrasel (yang
mengelilingi jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya didalam sel
(cairan intrasel), yaitu organ atau jaringan yang sakit. Obat yang
digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam
darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru,
dan jaringan lainnnya). Di dalam liver terdapat enzim khusus yaitu
sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya.
Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan
cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain.
Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma
dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang
bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang (Tjay
dan Rahardja, 2002).
Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic
Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi Fase II). Reaksi
fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi.
Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak
dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut.
Reaksi fase II berupa konjugasi (glukoronidasi dan sulfatasi) yaitu
penggabungan suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolit umumnya
lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan (Tjay dan Rahardja, 2002).
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim
yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau
obat lain yang dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat
menyebabkan toleransi. Selain itu, inhibisi enzim yang merupakan
kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi obat diperlambat,
menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek menjadi
lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh
terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh
sistem enzim yang sama. Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap
metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang
mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang
sama.Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh, terutama dilakukan
oleh ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat di
ekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli
yang utuh. Tapi adapula beberapa cara lain, yaitu melalui kulit bersama
keringat, paru-paru melalui pernapasan, melalui hati dengan empedu (Tjay
dan Rahardja, 2002).
Deksametason dapat diberikan secara oral, intramuscular (IM),
intravena (IV), topical,intranasal, dan salep atau tetes mata. Bentuk oral
dan IM diabsorpsi dengan baik oleh mukosa saluran gastrointestinal dan
otot. Kemudian masuk dalam sirkulasi tubuh.presentase yang terikat
dalam protein tidak diketahui, dengan waktu paruh 2-5 jam.
Deksametason yang telah di absorpsi kemudian dimetabolisme oleh hepar
dan sebagian kecil diekskresikan di ginjal melalui urin (L Keke & Hayes,
1993).
4. Sediaan
Sediaan deksameason bias dapat berupa obar per oral dan inhalasi (L
Keke & Hayes, 1993).
5. Dosis
Pada dewasa, dosis dextamethason tablet 0,5 mg atau 0,75 mg, 2-4
kali sehari, tergantung pada parahnya penyakit. Sedangkan pada anak-
anak setara dengan 0,006 mg – 0,040 mg deksametason fosfat per kg
bobot badan atau 0,235 mg – 1,250 mg deksametason fosfat per m2 luas
badan, 1-2 kali sehari (L Keke & Hayes, 1993).
6. Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai pada pemakaian glukokortikoid
untuk jangka lama adalah berupa: tukak lambung, osteoporosis,
kelemahan otot, moon face,mual atau muntah, glaukoma, retensi natrium
dan cairan, kelainan SSP, reaksi hipersensitif pada kulit. Dapat juga
terjadinya ekimosis, sakit kepala, takikardi (L Keke & Hayes, 1993).
7. Indikasi
Rematik artritis, shock, asma bronkhial, dermatitis dan urtikaria, serta
gejala alergik lainny (L Keke & Hayes, 1993)
8. Kontraindikasi
Penderita tukak lambung, infeksi berat, psikosis, pemakaian steroid
kronik, infeksi jamur sistemik, osteoporosis, diabetes melitus, infeksi
jamur sistemik,herpes simpleks pada mata (L Keke & Hayes, 1993).
5. STASE 5 – Antitussif Dekongestan
a. Obat Antitussif
1. Dextrometorfan
Zat ini meningkatkan ambang rangsang refleks batuk secara sentral
dengan kekuatan hampir sama dengan codein tetapi bertahan lebih lama.
Zat ini jarang menimbulkan kantuk dan gangguan saluran cerna. Dalam
dosis terap, obat ini tidak mengganggu aktivitas silia bronkus. Dan efek
antitussifnya bertahan selama 5-6 jam. Obat ini memiliki toksisitas yang
rendah. Dalam dosis sangat tinggi bisa menyebabkan depresi pernafasan.
Pada penyalahgunaan dengan dosis tinggi dapat terjadi efek stimulasi SSP
dengan menimbulkan semacam euforia, sehingga kadang digunakan oleh
ecandu drugs (Dewoto, 2007).
Resorpsi diusus sangat cepat dan mengalami FPE luas, sehingga
terbentuk glukoronida aktif dari dextorfan. Waktu paruh di plasma
bervariasi secara individu dari 2 – 4 jam sampai 45 jam (Kirana, 2010).
Obat ini menimbulkan efek samping yang ringan terbatas pada
mengantuk, termangu-mangu, pusing, nyeri kepala, dan gangguan
lambung-usus. Efek itupun sangat jarang timbul dalam penggunaannya
(Dewoto, 2007).
Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sebagai sirup dengan
kadar 10 mg dan 15 mg/5 ml. Dosis dewasa 10 – 30 mg diberikan 3-4 kali
sehari (Dewoto, 2007).
2. Noskapin
Efek meredakan batuknya tidak sekuat codein, tetapi tidak
mengakibatkan depresi pernafasan dan obtipasi, sedang efek sedatifnya
dapat diabaikan. Risiko adiksinya sangat ringan sehingga banyak
digunakan dalam banyak sediaan obat batuk populer (Kirana, 2010).
Noskapin tidak bersifat analgetis dan merupakan pembebas histamin
yang kuat sehingga dosis besar dapat menyebabkan efek bronkokonstriksi
dan hipotensi sementara. Noskapin menghambat kontraksi otot jantung
dan otot polos, tapi efek ini tidak timbul pada dosis antitusif. Dosis toksik
dapat menimbulkan konvulsi pada hewan coba (Dewoto, 2007).
Efek sampingnya jarang terjadi, berupa nyeri kepala, reaksi kulit dan
perasaan lelah letih tidak bersemangat (Kirana, 2010).
Dosis oral 3-4 kali sehari 15-50 mg maksimal 250 mg sehari. Dosis
tunggal 60 mg pernah digunakan untuk batuk paroksismal (Dewoto,
2007).
b. Obat Dekongestan
Dekongestan adalah anti kongesti (sumbatan) golongan
simpatomimetik dan beraksi pada reseptor adrenergik pada mukoa hidung
sehingga menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak dan memperbaiki pernafasan. Penggunaan dekongestan dibagai
atas 2 yaitu (Suhatri, 2011):
1. Dekongestan topikal
Dekongestan topikal bekerja pada reseptor α pada permukaan otot
polos pembuluh darah sehingga menyebabkan vasokonstriksi dan
akhirnya mengurangi oedema mukosa hidung. Dekongestan topikal dinilai
efektif, namun hendaknya dibatasi maksimum 7 hari karena
kemampuannya untuk menimbulkan kongesti berulang (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Digunakan untuk rhinitis akut yang merupakan radang untuk selaput
lendir hidung . Bentuk sedian untuk dekongestan topikal berupa inhaler,
balsem,tetes hidung atau semprot hidung. Contoh obat dekongestan
topikal adalah oxymetazolin dan tetrahidozolin (Suhatri, 2011).
2. Dekongestan sistemik
Dekongestan sistemik diberikan secara oral,meskipun efeknya tidak
secepat topikal namun kelebihannya tidak mengiritasi hidung. Sediaan
obat ini jarang dalam sediaan tunggal, kebanyakan sudah dikombinasikan
dengan kandungan obat lain (Suhatri,2011). Dekongestan oral bekerja
dengan cara meningkatkan pelepasan noradrenalin dari ujung neuron.
Preparat ini mempunyai efek samping sistemik berupa takikardia,
palpitasi, gelisah, tremor, insomnia, serta hipertensi pada pasien yang
memiliki faktor predisposisi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2005). Contoh obat dekongestan sistemik antara lain Fenil
propanolamin, Fenilefrin, Pseudoefedrin, efedrin.
Berdasarkan cara kerjanya dekongestan dibagi atas 3 golongan yaitu:
a. Antihistamin
Antihistamin menghambat reseptor dari mediator inflamasi.
Bekerja secara kompetitif reversible terhadap reseptor histamin 1.
Memiliki kesamaan struktur dengan obat yang memiliki efek
kolinoreseptor, adrenoreseptor alfa dan serotonin. Obat ini mudah
diabsorbsi dengan pemberian oral dan mencapai kadar puncak dalam
1-2 jam. Distribusinya baik sehingga bisa melewati sawar darah otak
namun tidak untuk generasi baru. Metabolisme antihistmain terjadi di
hepar (Suhatri, 2011).
Antihistamin dibagi atas 3 generasi yaitu generasi baru dan lama.
Antihistamin generasi lama diperkenalkan ke publik lebih dari 50
tahun yanglalu, dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini
sudah diperkenalkan antihistamin generasi ketiga. Klasifikasi
antihistamin tersebut dibuat berdasarkan selektivitas reseptor H1 vs
reseptor muskarinik, dan efek sampingnya terutama padasistem saraf
pusat. Durasi kerja obat antagonis kompetitif seperti antihistamin
dipengaruhi oleh (Triandriyani, 2007) :
1. Konsentrasi obat dalam plasma
2. Waktu paruh
3. Afinitas reseptor
4. Lama disosiasi obat di reseptor
Antihistamin generasi lama dapat melewati sawar darah
otak,sehingga bersifat sedatif. Chlorpenamin, Nrompheramine dan
diphendyramin termasuk dalam gnerasi ini (Suhatri, 2011).
Generasi baru golongan ke II memiliki efek sedasi lebih kecil
daripada generasi lama. Sedangkan generasi baru gologan III memiliki
efek sedasi yang minimal dan bekerja 16x lebih efektif. Cetrizzine dan
terfenadine termasuk dalam generasi baru.
b. Vasokonstriktor
Vasokontriktor bekerja pada a1 adrenoreceptor sehingga edema
berkurang, meningkatkan drainase hidung serta sinus paranasal. Efek
samping yang dapat timbul hipertensi, hidung kering, rebound
kongestion. Obat yang sering digunakan antara lain ephedrin(short
acting, naphazolin (intermediete-acting), oxymetazolin (long acting),
xylometazolin (long acting) dan phenylephrine (short intermediete
acting) (Dewoto, 2009).
c. Antiinflamasi
Bekerja dengan menghambat lekosit dan makrofag sehingga
respon terhadap antigen berkurang. Juga menekan sintesis
prostaglandin dan leukotrin yang diaktivasi oleh fosfolipase A2 dan
mengurangi sekresi enxim siklooksigenase 2(berperan dalam sintesis
prostaglandin) (Dewoto, 2009).
Efek samping serius yang dapat ditimbulkan dari obat ini antara
lain menekan sistim imun secara berlebihan, eksaserbasi infeksi dan
menekan aksis adrenocortical. Kortikoseroid yang digunakan pada
sistim respirasi biasanya triamicinolone, beclomethason dipropionate,
budesonide dan fluticasone propionate (Dewoto, 2009).
BAB III
KESIMPULAN
1. Obat antituberkulosis (OAT) digolongkan menjadi kategori 1, 2, dan 3
2. Obat antituberkulosis (OAT) tiap katagorinya dibagi menjadi fase intensif dan
fase lanjutan
3. Obat antituberkulosis terdapat dalam bentuk FDC (Fixed Dose Combination) dan
kombipack
4. Obat anti asma berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi Controller dan
Reliever.
5. Macam obat anti asma antara lain Simpatomimetika, Derivat Xanthine,
Kortikosteroid, Antikolinergik, dan Biskromones
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V:
Tuberkulosis Paru. Jakarta: Interna Publishing.
Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dewoto, Hedi R. 2007. Analgesik Opioid dan Antagonis dalam Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Estuningtyas A, Arif A. 2007. Obat Lokal. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi, Elysabeth ( eds ). Farmakologi dan Terapi: Edisi 5. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hardjosaputra S. L. P., Listyawati P., Tresni K., Loecke K., Indriyantoro, dkk. 2008.
Daftar Obat Indonesia Ed.11 .Jakarta: Muliapurna Jayapenerbit.
Istiantoro, Yati H dan Rianto Setiabudy. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi V:
Tuberkulostatik dan Leprostatik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Katzung, Bertram G. 2009. Pharmacology Examination and Board Review 9th
edition. San Fransisco: McGraw-Hill.
Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi I. Salemba Medika. Jakarta:
EGC.
Kee JL, Hayes ER. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.
Diterjemahkan oleh: Anugerah, Peter. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor2500/Menkes/SK/XII/2011 Tentang Dafar Obat Esensial Nasional
2011.
Kemenkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
(TB).
L Keke, J., & Hayes, E. R. 1993. Pendekatan Proses Keperawatan . Jakarta: EGC.
Munaf, Sjamsuir. 2008. Bronkodilator dan Obat-obat Asma. Dalam: Staf Pengajar
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNAIR. Kumpulan Kuliah
Farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
GangguanSistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika. hal : 81.
Omoigui, sota. 1997. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. Jakarta: EGC.
Page C, Curtis M, Walker M, Hoffman B. 2006. Integrated Pharmacology, 3rd
edition. Philadelphia: Elsevier.
Rahardja, Kirana., Tjay, TH. 2010. Obat-Obat Penting Edisi ke 6. Jakarta: PT elex
Media Komputindo Kelompok Kompas – Gramedia
Setiabudi, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI
Syarif. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI
Theodorus. 2008. Obat Tuberkulosis dan Obat Lepra. Dalam: Staf Pengajar
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNAIR. Kumpulan Kuliah
Farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tjay, T. H., Rahardja, K. 2000. Obat-obat Penting. Edisi kelima. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.