laporan akhir kajian pemekaran kota salatiga

104
LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga Tahun Anggaran 2015 Oleh: Drs. Daru Purnomo, M.Si Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM Dr. Umbu Rauta, SH.,M.Hum Dr. Bambang Ismanto, M.Si Seto Herwandito, S.Pd, M.Ikom Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA 2015

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

LAPORAN AKHIR

Kajian Pemekaran Kota Salatiga Tahun Anggaran 2015

Oleh:

Drs. Daru Purnomo, M.Si Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM

Dr. Umbu Rauta, SH.,M.Hum Dr. Bambang Ismanto, M.Si

Seto Herwandito, S.Pd, M.Ikom

Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman

Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

2015

Page 2: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

KATA PENGANTAR

Ketersediaan wilayah yang cukup sesuai kebutuhan pembangunan di daerah,

merupakan satu permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah Kota Salatiga.

Dibatasi dengan wilayahnya yang sempit/terbatas, upaya pembangunan Kota Salatiga

tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Sementara itu keberadaan daerah-daerah di

sekitar Kota Salatiga yang relatif “jauh” dari pusat Kabupaten Semarang, secara

geografis, akan memudahkan jangkauan pelayanannya dari Kota Salatiga. Kondisi ini

memunculkan pemikiran yang wajar untuk mengkaji potensi dan peluang pemekaran

(baca: penyesuaian) Kota Salatiga.

Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi

menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang lebih maju dan berkembang.

Kami, dari Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di

dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW, merasa bangga karena dipercaya

oleh DPRD Kota Salatiga untuk mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun

kajian ini dapat memperoleh dukungan dari semua pihak yang terkait dengan

permasalahan pengembangan wilayah di Kota Salatiga dan hasilnya dapat menjadi

masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan pemekaran Kota Salatiga di waktu

mendatang.

Laporan akhir ini disusun sebagai wujud tanggung jawab kami dalam

menyelesaikan tahapan awal kegiatan kajian ini. Kiranya semua yang kita lakukan

dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.

Salatiga, 21 Agustus 2015

Tim Penyusun

i  

Page 3: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Identifikasi Masalah ................................................................................ 3 1.3. Maksud dan Tujuan ................................................................................ 3 1.4. Sasaran dan Ruang Lingkup ...................................................................... 4 BAB II. LANDASAN TEORI .............................................................................. 5 2.1. Dimensi Normatif Penataan Wilayah ........................................................ 5 2.2. Implikasi Politik Penataan Wilayah .......................................................... 7 2.3. Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah ........................ 10 2.4. Teori Struktur, Tata Ruang, dan Perkembangan Kota .............................. 12 2.5. Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007 ....................... 21 BAB III. METODOLOGI ..................................................................................... 23 3.1. Metode Penelitian .................................................................................... 23 3.2. Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data ................................................. 27 3.3. Jadwal Pelaksanaan ................................................................................. 28 3.4. Pelaksanaan Kegiatan .............................................................................. 28 3.5. Pelaksana Kegiatan .................................................................................. 29 3.6. Pengawasan Pekerjaan ............................................................................. 29 3.7. Analisis Manfaat dan Biaya ..................................................................... 29 BAB IV. HASIL KEGIATAN AKHIR ................................................................. 31 4.1. Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah .................. 31 4.2. Sejarah dan Dinamika Kota Salatiga ......................................................... 42 4.3. Kondisi Sosial Politik ................................................................................ 45 4.4. Kondisi Kependudukan Kota Salatiga ...................................................... 50 4.5. Potensi Daerah Kota Salatiga ………………………………………….. . 68 4.6. Aspek Ekonomi Dalam Dinamika Pemekaran .......................................... 74 BAB V. PENUTUP ................................................................................................ 96 DAFTAR PUSTAKA  

ii  

Page 4: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

1  

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten

dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,

kabupaten/kota atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan

undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu,

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat

istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18, 18A dan 18B UUD NRI

1945).

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya

menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prinsip

penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah

diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar

yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan

daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas

kepada Pemerintahan Daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan

dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintahan Daerah harus mengoptimalkan

pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU

No. 23 Tahun 2014, Pemerintahan Daerah dan masyarakat di daerah lebih

diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat

laju pembangunan daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan

otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural,

fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Page 5: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

2  

Baik UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No.23

Tahun 2014 memberi pesan perlunya mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan

kepada masyarakat di daerah-daerah. Karena itu, banyak urusan pemerintahan yang

kemudian diserahkan dan didelegasikan kepada daerah-daerah melalui asas

desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Luas wilayah kabupaten/kota antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Bagi

kabupaten/kota yang terlalu luas, maka pemerintah daerah otonom sulit untuk

memberikan pelayanan yang mampu menjangkau semua wilayah. Berdasarkan kondisi

ini, maka banyak daerah-daerah yang berusaha memekarkan diri terpisah dengan

daerah otonom yang menjadi induknya. Daerah yang ingin menjadi daerah otonom

sendiri umumnya adalah daerah memiliki kekayaan sumber daya alam.

Pertimbangannya, dengan menjadi daerah otonom sendiri, maka daerah bersangkutan

akan memiliki infrastruktur kepemerintahan, sarana dan prasarana, dana dan policy

sendiri sehingga kekayaan sumber daya alam di daerahnya dapat diolah untuk lebih

memakmurkan masyarakat di daerahnya. Apalagi melihat luasnya wilayah Indonesia

dengan kondisi hutan dan laut, maka pemekaran dapat dipandang sebagai upaya untuk

mempercepat pemeratan pembangunan.

Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 yang

selanjutnya diganti dengan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan,

Penghapusan dan Penggabungan Daerah, sampai sekarang telah terbentuk lebih dari

200 daerah baru (baik berupa kabupaten, kota dan provinsi).

Penataan wilayah (teritorrial reform) pada dasarnya merupakan bagian dari

manajemen pemerintahan daerah, yang dimaksudkan untuk menata wilayah

administratif suatu daerah agar rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien.

Idealnya, penataan wilayah ini dilakukan seiring dengan perkembangan suatu daerah,

sehingga pertumbuhan dan kemajuan tersebut tidak hanya terpusat tetapi dapat

dinikmati secara merata di seluruh wilayah. Pertumbuhan pusat-pusat kegiatan

ekonomi yang baru biasanya menjadi awal bagi perkembangan suatu daerah.

Pertumbuhan ini sejalan dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut, baik yang

bersumber dari kekayaan alam, maupun yang berupa sumber-sumber daya lainnya,

seperti kemajuan industri, dan sebagainya.

Page 6: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

3  

1.2. Identifikasi Masalah

Demikian pula dengan Kota Salatiga, dengan luas wilayah administratif

5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dan jumlah penduduk pada tahun 2013 sebanyak

178.594 jiwa sehingga kepadatan per Km² mencapai 3.145 jiwa/km2, maka Kota

Salatiga mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan titik berat pada sektor

industri/jasa. Letak Kota Salatiga yang sangat strategis, berbatasan dengan Kabupaten

Semarang, dan berdekatan dengan ibukota propinsi Jawa Tengah (Semarang), DIY

(Jogja) dan Solo, menyebabkan Kota Salatiga menjadi sangat potensial untuk

dikembangkan sebagai kota satelit. Laju pertumbuhan ekonomi di Kota Salatiga

terutama berpusat di Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Diponegoro dan sekitarnya.

Keberadaan Kota Salatiga, yang berada di dalam wilayah Kabupaten

Semarang, telah menjadi daya tarik dan memberikan kontribusi ekonomi bagi

masyarakat di Kabupaten Semarang. Namun, kontribusi yang cukup besar tersebut

dirasakan belum sepadan dengan kesejahteraan yang dinikmati masyarakat di kawasan

tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya wacana pemekaran (baca:

penyesuaian) Kota Salatiga. Wacana pemekaran ini perlu dikaji di kalangan

masyarakat, baik bagi kelompok yang mendukung maupun yang menolak. Oleh

karena itu, dalam menyikapi wacana pemekaran ini, Pemerintah Kota Salatiga perlu

melakukan pengkajian secara mendalam dan komprehensif kelayakan pemekaran

Kota Salatiga. Kajian kelayakan ini merupakan tindak lanjut terhadap aspirasi

masyarakat. Kajian ini terutama difokuskan untuk menganalisis potensi kelurahan-

kelurahan yang ada di wilayah perbatasan Kota Salatiga untuk menjadi bagian wilayah

Kota Salatiga. Pengkajian secara ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan analisis

yang obyektif dan akuntabel, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

pengambilan keputusan mengenai rencana pemekaran dan penataan wilayah Kota

Salatiga.

1.3. Maksud dan Tujuan

Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian tentang potensi pemekaran

(baca: penyesuaian) Kota Salatiga yang berfokus pada studi pengembangan kelurahan

di wilayah perbatasan di Kota Salatiga. Secara rinci tujuan dari kegiatan studi ini

adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis potensi wilayah yang ada di sekitar Kota Salatiga.

Page 7: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

4  

2. Menganalisis kemungkinan pemekaran Kota Salatiga sesuai dengan indikator

dalam PP No. 78 Tahun 2007.

3. Menganalisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya dan manfaat.

1.4.Sasaran dan Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan meliputi pengkajian mengenai

potensi pemekaran wilayah Kota Salatiga, sebagai bahan pertimbangan dalam

mengkaji kemungkinan pemekaran Kota Salatiga. Selanjutnya, berdasarkan hasil

kajian tersebut, dilakukan analisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya

dan manfaat.

Keluaran yang akan dihasilkan dari kegiatan ini berupa Dokumen Studi

Kelayakan Pemekaran (baca: Penyesuaian) Kota Salatiga sebagai bahan

pertimbangan/rekomendasi bagi pengambil kebijakan, yakni Walikota dan DPRD

Kota Salatiga dalam menyusun kebijakan penataan wilayah Kota Salatiga sesuai

dengan kondisi faktual dan kebutuhan masyarakat Kota Salatiga umumnya dan calon

wilayah/kelurahan baru pada khususnya.

 

 

 

 

Page 8: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

5  

II. LANDASAN TEORI

2.1. Dimensi Normatif Penataan Wilayah

Pada dasarnya usaha pemekaran suatu daerah menjadi dua atau lebih luas

adalah tidak dilarang, asalkan didukung oleh keinginan sebagian besar masyarakat

dan memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik wilayah. Selain itu,

berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan

untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat.

Dalam rangka mengatur pemekaran dan atau penggabungan daerah,

pemerintah telah menetapkan syarat-syarat dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan

penggabungan daerah yang tertuang dalam PP No. 129 tahun 2000.

Pada perkembangan berikutnya, PP No. 129 tahun 2000 diganti dengan PP No.

78 Tahun 2007. Dalam Penjelasan PP No. 78 Tahun 2007 secara eksplisit dinyatakan

bahwa seluruh persyaratan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksudkan

agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu

menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningatkan pelayanan publik yang

optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam

memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi

tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang

dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah,

sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Dengan demikian, dalam usulan

pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah secara ilmiah.

Dalam mengkaji daerah calon daerah pemekaran sekurang-kurangnya tiga

langkah pokok yang perlu dilalui yaitu mengkaji tentang kondisi eksisting penataan

wilayah di Kota Salatiga, selanjutnya mengukur potensi pemekaran sesuai dengan

indikator dalam PP No. 78 Tahun 2007 dan terakhir menganalisis kelayakan

pemekaran dilihat dari sisi biaya dan manfaat.

Dari sudut pandang yang berbeda, masyarakat yang menyetujui dan atau

menolak pemekaran suatu daerah, hendaknya secara sadar memiliki alasan rasional.

Artinya, tidak hanya asal menyetujui dan atau menolak tanpa kelengkapan informasi

Page 9: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

6  

yang memadai. Dari seluruh kasus pemekaran daerah, selalu akan ada masyarakat di

daerah setempat yang menolak. Suatu hal yang bersifat manusiawi. Namun, hal yang

perlu dihindari adalah alasan politik yang berlebihan sehingga melupakan aspek

rasional dan mementingkan politik sesaat semata. Beberapa perspektif yang

diharapkan akan memberikan perluasan wawasan dan cara pandang guna melengkapi

kita dalam menyikapi fenomena pemekaran daerah adalah sebagai berikut:

Alasan normatif. Produk hukum yang dilandasi UU Pemerintahan Daerah

adalah wadah yang paling terbuka bagi daerah untuk memiliki akses sebanyak

mungkin dalam pemekaran daerah. Dalam pandangan yang bersifat normatif tersebut,

daerah punya hak otonom seluas-luasnya untuk mengatur dan mengelola urusan rumah

tangganya sendiri. Daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat sentuhan

pembangunan (karena jarak akses kebijakan yang mungkin dirasa terlalu “jauh”) akan

mendapatkan suatu peluang yang besar dalam mengembangkan dirinya. Kebijakan

akan semakin dekat dan peran masyarakat terhadap pembangunan semakin besar.

Namun demikian, pada sisi lain ternyata tidak semua daerah hasil pemekaran memiliki

kesempatan yang sama. Sebagian dari daerah otonomi baru menjadi beban bagi

pemerintah pusat (katakanlah karena PAD lebih sedikit daripada pembiayaan daerah),

akibatnya mereka hanya mengharapkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang masih

banyak bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini dilandasi realita bahwa usaha-usaha

daerah memacu PAD, terutama bagi daerah yang miskin sumber daya alam, tidak

terlalu signifikan.

Gejala ini mendapat fokus perhatian pada UU No. 23 Tahun 2014. Persyaratan

pembentukan daerah otonom baru sudah lebih selektif dan makin ketat, dengan

mekanisme persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Pertimbangan

lainnya yang perlu diperhatikan adalah daerah induk yang ditinggalkan dapat menjadi

lemah, akibat minimnya potensi sumber-sumber PAD yang bisa dikembangkan.

Demikianlah alasan normatif yang perlu dijadikan pegangan bagi penggagas

pembentukan daerah baru.

Alasan memacu diri untuk melakukan kompetisi. Dalam kacamata kompetisi,

pemekaran daerah dapat diartikan sebagai strategi untuk mendapatkan peluang dan

akses yang baru dalam upaya mendapatkan dan mengelola sumberdaya daerah.

Artinya semua daerah punya hak yang sama berkompetisi dalam mengembangkan

daerahnya. Namun demikian, makna kompetisi bisa saja berbalik menjadi ancaman

Page 10: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

7  

bahkan bencana, ketika daerah tidak mampu berkompetisi. Dengan adanya kebijakan

otonomi daerah, tanpa memandang daerah induk maupun daerah pemekaran akan

melakukan kompetisi yang sama. Setiap daerah harus berjuang guna mendapatkan

akses seluas-luasnya bagi transaksi bermacam sumber daya yang dimiliki, baik yang

menyangkut sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Penglolaan sektor riil

mulai dari bidang perdagangan, jasa, pariwisata, transportasi, dan lain-lain akan ramai

diperebutkan. Pemerintahan baru pada awal persaingannya banyak yang tersandung

oleh masa transisi politik di daerah yang bersangkutan, sehingga perhatian terhadap

pembangunan menjadi kurang. Jika pemerintah baru tidak segera menata diri maka

ancaman kebangkrutan akanterjadi.

Perspektif rasional. Motivasi pemekaran satu wilayah yang paling baik adalah

melalui perspektif rasional. Ketika isu pemekaran daerah ditinjau secararasional, maka

aspek politis, normatif, dan lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu. Kebutuhan

daerah untuk mekar atau tidak, sepenuhnya dilandasi pertimbangan rasionalitas. Aspek

logis yang harus dipenuhi antara lain rasioantara daerah otonomi baru dengan kondisi

riil penduduk, harus jadi titik tumpu utama. Dengan memakai pertimbangan rasional,

maka metode, strategi,kebijakan, kalkulasi atau pertimbangan apapun dalam proses

pemekaran akan terarah pada indikator-indikator yang terukur secara akurat dan valid.

Perspektif rasional adalah perspektif yang paling ideal untuk diterapkan,namun

justru ini adalah perspektif yang paling sulit dikongkretkan. Kesulitan terutama datang

(lebih tepatnya dihambat) oleh faktor politis dan normatif.Untuk alasan yang ketiga

itulah, perspektif normatif perlu mencoba mengakomodasi alasan rasional. Jalan

tengahnya perlu ada suatu studi ataupenelitian yang rasional sesuai dengan tuntutan

normatif dan atau perundang-undangan.

2.2. Implikasi Politik Penataan Wilayah

Desentralisasi dalam arti pemencaran kekuasaan dapat dilakukan secara

teritorial melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Desentralisasi teritorial ini

dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan jarak antara pemerintah dengan yang

diperintah. Pemerintahan di tingkat lokal diperlukan untuk efisiensi dan efektivitas

dalam hal keuangan, penegakan hukum, pendaftaran tanah, dan urusan-urusan lain

yang akan sulit dilakukan hanya oleh pemerintah pusat. Karena itu, pemencaran

Page 11: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

8  

kekuasaan secara teritorial juga akan berkaitan dengan penentuan fungsi dan

kewenangan apa yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh level nasional, level

propinsi, ataupun level kota/kabupaten. Dengan kata lain, desentralisasi teritorial akan

diikuti oleh desentralisasi kewenangan. Hal ini akan menentukan jumlah urusan yang

dilaksanakan olehdaerah otonom tersebut.

Dalam konsep negara kesatuan seperti yang diterapkan di Indonesia,

desentralisasi teritorial tidak menyebabkan terjadinya pengurangan wilayah negara

meskipun terjadi pemekaran, penggabungan ataupun penghapusan daerah otonom.

Daerah-daerah otonom yang berupa Kabupaten/Kota tetap menjadi bagian dari

wilayah Provinsi, dan wilayah-wilayah Provinsi tetap menjadi wilayah dari negara.

Yang berbeda antara negara (pusat), provinsi,kabupaten/kota bahkan desa hanyalah

kewenangan atau otoritasnya yang tercermin dari urusan dan fungsi yang menjadi

kewenangannya.

Desentralisasi berimplikasi pada lokalisasi pembuatan kebijakan dimana setiap

daerah berwenang membuat kebijakannya sendiri. Implikasinya banyak permasalahan

yang tidak dapat dibatasi oleh wilayah administrasi (territorial administrative) dan isu

teritorial (territorial issue), seperti pelayanan, pengelolaan sungai, pintu air,

pendidikan dan pariwisata. Suatu tempat wisata yang lokasinya berada di perbatasan

antara dua daerah otonom,seperti pantai atau pegunungan, seringkali menimbulkan

konflik dalam hal pemeliharaannya karena daerah yang satu merasa tidak mendapat

pendapatan dari obyek wisata itu sehingga menyerahkan pemeliharaannya pada

daerahyang mendapat pendapatan. Sementara daerah yang memperoleh pendapatan

dari obyek wisata itu justru menyerahkan pemeliharaannya pada daerah yang

wilayahnya menjadi lokasi obyek wisata itu. Demikian juga dengan masalah

pendidikan, perbedaan kurikulum antar daerah akan mempersulit tercapainya standar

pelayanan minimal. Untuk mengatasi kemungkinan ini, perlu ditetapkan suatu

mekanisme kerja sama antar daerah atau melalui penerapan wewenang koordinasi

pemerintah propinsi.

Implikasi politik yang harus dipertimbangkan dari kebijakan penataan daerah

otonom yang menyangkut pemekaran, penggabungan atau penghapusan daerah-daerah

otonom adalah kemungkinan terjadinya konflik antar daerah yang menyangkut batas-

batas teritorial yang ada kaitannya dengan wilayah potensi sumber daya alam.

Page 12: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

9  

Kepemilikan akan sumber daya alam yang potensial dapat memicu tuntutan untuk

membentuk daerah otonom baru.

Pembentukan atau pemekaran daerah otonom memang dapat menambah ruang

politik lokal bagi tumbuhnya partisipasi politik dan demokratisasi di tingkat lokal.

Namun, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran nasional

maupun propinsi untuk membiayai daerah baru tersebut. Pembiayaan disini

maksudnya adalah alokasi Dana Perimbangan yang harus diperhitungkan untuk

daerah yang bersangkutan.

Banyak kasus mengenai pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru

diawali oleh ketidakpuasan politik maupun ekonomi, misalnya kasus terbentuknya

Provinsi Banten karena merasa kontribusi ekonomi yang diberikan tidak sebanding

dengan yang kembali pada masyarakat Banten. Akan tetapi, seringkali tuntutan

pemekaran atau pembentukan daerah baru tidak disertai perhitungan ekonomi maupun

politik yang cermat dan akurat. Aspek kesiapan aparat dan kesiapan masyarakat

setempat kurang diperhitungkan. Ketika daerah tersebut sudah terbentuk baru

dipikirkan bagaimana mengisi keanggotaan DPRD atau berapa jumlah aparat birokrasi

yang diperlukan untuk mengelola manajemen pemerintahan. Karena itu, dalam

menentukan keputusan pembentukan atau pemekaran daerah, haruslah diketahui

dahulu isu strategisapa yang melatarbelakangi tuntutan tersebut serta bagaimana

dinamika politik lokal di daerah itu.

Penataan wilayah dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni : (1) pemekaran; (2)

penggabungan; dan (3) re-groupping sub-sub wilayah dalam daerah yang

bersangkutan (misalnya re-grouping kecamatan dan/atau desadalam wilayah

kabupaten). Keputusan untuk memilih salah satu cara didasarkan pada outcomes yang

ingin dicapai, apakah efektivitas pelayanan publik; pertumbuhan ekonomi; pemerataan

pembangunan; pemberdayaan masyarakat setempat dll. Kemudian ditentukan pula apa

yang menjadi output dengan realisasi dapat dirasakan secara konkret, misalnya jika

outcomes-nya efektivitas pelayanan publik maka output-nya kemudahan akses

masyarakat untuk dilayani. Atas dasar itu, disusun aktivitas-aktivitas yang akan

dilakukan dalam bentuk berbagai program atau kebijakan. Alternatif pemekaran

wilayah atau tidak, berada pada tahap ini. Apakah pelayanan dapat lebih efektif

jikadaerah dimekarkan atau bisa juga efektif dengan membentuk sub-sub dinas

ditingkat kecamatan dan atau desa. Pertimbangan alternatif mana yang akan diambil

Page 13: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

10  

akan menentukan aparat pelaksananya dan anggaran yang dibutuhkan. Dengan

demikian, keputusan penataan daerah otonom harus disesuaikan dengan kebutuhan

dan potensi riil dengan berpedoman pada prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang

efektif.

Dengan demikian, dalam dimensi politik, penataan daerah otonom tidak

sekedar ditentukan oleh perhitungan kemampuan ekonomi daerah tersebut tapi juga

implikasi yang ditimbulkannya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Pertanyaan yang paling penting untuk dijawab dalam merumuskan kebijakan penataan

daerah otonom adalah apakah kebijakan itu dapat (1)mewujudkan distribusi

pertumbuhan ekonomi yang serasi dan merata antar daerah; (2) mewujudkan distribusi

kewenangan yang sesuai dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat lokal; (3)

penciptaan ruang politik bagi pemberdayaan dan partisipasi institusi-institusi politik

lokal; serta (4) mewujudkan distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh

masyarakat.

2.3. Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah

Penatan daerah otonom atau penataan wilayah, sebenarnya merupakan hal

yang umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena

berkaitan dengan rentang kendali. Rentang kendali ini berkaitan dengan kapasitas

koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik. Dengan kondisi geografis yang

beragam, kemampuan koordinasi dan aksesibilitas pelayanan akan berbeda pula.

Semakin luas suatu daerah, akan semakin sulit rentang kendalinya. Demikian pula,

semakin banyak bagian dari suatu daerah, kapasitas koordinasi dan pelayanan akan

semakin kecil. Di sinilah diperlukan adanya penataan wilayah, sebagai suatu

mekanisme untuk mengelola wilayah suatu daerah agar rentang kendali dan

aksesibilitas pelayanan publik dapat dinikmati secara merata.

Dimensi wilayah mempunyai arti penting dalam pembangunan karena setiap

kegiatan pembangunan pasti akan berlangsung dan membutuhkan sumber daya yang

berupa lahan. Dalam dimensi spatial, lahan merupakan sumber daya lingkungan yang

menjadi ruang bagi berlangsungnya kegiatan dan juga pendukung struktural wadah

kegiatan regional. Karena sifat dan posisinya inilah maka perencanaan wilayah yang

berdimensi spatial dapat memainkan posisi strategis dalam menjembatani persoalan

Page 14: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

11  

desentralisasi dan otonomi daerah terutama yang berkaitan dengan perencanaan

pembangunan.

Pada masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini, implementasi kebijakan

pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah kerap menimbulkan masalah

krusial. Di antaranya adalah konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan kontra,

tarik menarik kepentingan antara daerah induk dengan calon daerah baru, dan

munculnya problematika ketidakmampuan daerah baru hasil pemekaran dalam

menjalankan fungsi-fungsi pemerintahannya. Selain itu, hal yang menonjol dari

maraknya keinginan untuk membentuk daerah baru, dominannya pertimbangan politik

subyektif elit ketimbang hasil kajian ilmiah-obyektif untuk peningkatan efektifitas

pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Sejak UU No. 22 Tahun 1999 diberlakukan, isu pemekaran lebih dominan jika

dibandingkan dengan isu penggabungan atau penghapusan daerah otonom. Di satu sisi

kecenderungan tersebut dapat diterima dan dipahami sebagai wujud kedewasaan dan

harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah dan masyarakatnya.

Namun di sisi lain, mengundang kekhawatiran terhadap kemampuan dan keberlanjutan

daerah otonom baru untuk dapat bertahan mengurus rumah tangganya sendiri.

Pemekaran daerah diharapkan mampu menjadi media untuk membuka simpul-simpul

keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehingga

perlu dibuka kesempatan bagi daerah tersebut untuk mendirikan pemerintahan sendiri

berdasarkan potensi yang dimiliki. Walaupun dalam berbagai peraturan perundang-

undangan tentang pemerintahan daerah telah diuraikan bahwa kriteria daerah dibentuk

berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial

politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang secara teknis

diuraikan lebih lanjut dalam PP No. 78 Tahun 2007, tetapi kenyataannya aspirasi

politik lebih mendominasi dibandingkan dengan pemenuhan kriteria tersebut.

Pada praktiknya, terbentuknya daerah-daerah otonom baru ini seringkali hanya

didasarkan pada pertimbangan atau indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat

pendapatan, aktivitas kegiatan ekonomi, dan potensi sumber daya alam yang dimiliki.

Sedangkan dimensi politik yang kemudian muncul setelah daerah otonom itu

terbentuk baru dipikirkan kemudian. Gejala inilah yang kemudian (tampaknya) ingin

diantisipasi oleh UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004.

Page 15: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

12  

Dalam UU ini, pembentukan daerah baru disertai dengan persyaratan administratif,

teknis, dan fisik wilayah.

Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU sebelumnya yang tidak sampai

ke pengaturan teknis pembentukan daerah. Harapannya, pengaturan yang lebih rinci

dapat membuat pembentukan daerah-daerah baru lebih terarah dan tidak semata-mata

berorientasi politis. Namun demikian, bila penghitungan kapasitas calon daerah baru

masih berbasis pada metode skoring sebagaimana digunakan oleh PP No. 78 Tahun

2007, tampaknya perlu ada banyak penyesuaian yang dilakukan agar tidak semata

berbasis pada penghitungan matematis, tapi jugamemperhatikan aspirasi lokal.

Keputusan mengenai pembentukan daerah baru harus lebih cermat dan

bijaksana untuk melakukan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kapasitas

yang dimiliki, sehingga dalam pelaksanaanya tidak tergesa-gesa dan cenderung

bersifat politis. Bila hal ini tidak diindahkan maka hasil dari pemekaran tidak akan

memberikan dampak terhadap peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat

secara makro maupun mikro, tetapi cenderung akan membebani keuangan negara dan

masyarakat akibat adanya pemekaran, karena social dan political cost pemekaran

suatu wilayah akan lebih besar jika dibandingkan terhadap peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Dampak pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah baru akan

terasa dalam jangka panjang, tetapi bila prosesnya hanya didasari oleh pertimbangan

politis tanpa memperhatikan kriteria-kriteria obyektif maka akan memberikan

pengaruh yang kecil dan parsial terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,

aksesibilitas pelayanan publik, dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Idealnya,

pemekaran daerah terjadi bila penguatan kapasitas dan kapabilitas daerah dilakukan

secara bertahap, misalnya peningkatan kapasitas dalam pembangunan infrastruktur

(jalan, bangunan, pemerintahan, dan lain-lain), aktivitas ekonomi, serta fiskal daerah

sehingga sampai jangka waktu tertentu ketika daerah tersebut lepas dari daerah

induknya. Dengan demikian, daerah yang bersangkutan akan mandiri dengan

sendirinya dan tidak tergantung pada daerah induk, Provinsi maupun Pusat.

2.4. Teori Struktur, Tata Ruang dan Perkembangan Kota

A. Struktur Ekonomi Kota

Wilayah kota menjadi tempat kegiatan ekonomi penduduknya di bidang jasa,

perdagangan, industri, dan administrasi. Selain itu, wilayah kota menjadi tempat

Page 16: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

13  

tinggal dan pusat pemerintahan. Kegiatan ekonomi kota dapat dibedakan menjadi dua

sebagai berikut:

1. Kegiatan Ekonomi Dasar

Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk

keperluan luar kota atau dikirim ke daerah sekitar kota. Produk yang dikirim

dan disalurkan berasal dari industri, perdagangan, hiburan, dan lainnya.

2. Kegiatan Ekonomi Bukan Dasar

Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk

keperluan sendiri. Kegiatan ini disebut juga dengan kegiatan residensial dan

kegiatan pelayanan. Kegiatan ekonomi kota dapat berupa industri dan kegiatan

jasa atau fasilitas yang tidak memerlukan lahan yang luas. Kegiatan ini

menyebabkan kota berpenduduk padat, jarak bangunan rapat, dan bentuk kota

kompak.

Struktur kota dipengaruhi oleh jenis mata pencaharian penduduknya. Mata

pencaharian penduduk kota bergerak di bidang nonagraris, seperti perdagangan,

perkantoran, industri, dan bidang jasa lain. Dengan demikian, struktur kota akan

mengikuti fungsi kota. Sebagai contoh, suatu wilayah direncanakan sebagai kota

industri, maka struktur penduduk kota akan mengarah atau cenderung ke jenis

kegiatan industri.

Pada kenyataan, jarang sekali suatu kota mempunyai fungsi tunggal.

Kebanyakan kota juga merangkap fungsi lain, seperti kota perdagangan, kota

pemerintahan, atau kota kebudayaan. Contoh: Yogyakarta selain disebut kota budaya

tetapi juga disebut sebagai kota pendidikan dan kota wisata.

Di daerah kota terdapat banyak kompleks, seperti apartemen, perumahan

pegawai bank, perumahan tentara, pertokoan, pusat perbelanjaan (shopping center),

pecinan, dan kompleks suku tertentu. Kompleks tersebut merupakan kelompok-

kelompok (clusters) yang timbul akibat pemisahan lokasi (segregasi). Segregasi dapat

terbentuk karena perbedaan pekerjaan, strata sosial, tingkat pendidikan, suku, harga

sewa tanah, dan lainnya. Segregasi tidak akan menimbulkan masalah apabila ada

pengertian dan toleransi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Munculnya segregasi

di kota dapat direncanakan ataupun tidak direncanakan. Kompleks perumahan dan

kompleks pertokoan adalah contoh segregasi yang direncanakan pemerintah kota.

Page 17: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

14  

Bentuk segregasi yang lain adalah perkampungan kumuh/slum yang sering

tumbuh di kota-kota besar seperti Jakarta. Rendahnya pendapatan menyebabkan tidak

adanya kemampuan mendirikan rumah tinggal sehingga terpaksa tinggal di sembarang

tempat. Kompleks seperti ini biasanya ditempati oleh kaum miskin perkotaan.

Permasalahan seperti ini memerlukan penanganan yang bijaksana dari pemerintah.

B. Struktur Intern Kota

Pertumbuhan kota-kota di dunia termasuk di Indonesia cukup pesat.

Pertumbuhan suatu kota dapat disebabkan oleh pertambahan penduduk kota,

urbanisasi, dan kemajuan teknologi yang membantu kehidupan penduduk di kota.

Wilayah kota atau urban bersifat heterogen ditinjau dari aspek struktur bangunan dan

demografis. Susunan, bentuk, ketinggian, fungsi, dan usia bangunan berbeda-beda.

Mata pencaharian, status sosial, suku bangsa, budaya, dan kepadatan penduduk juga

bermacam-macam. Selain aspek bangunan dan demografis, karakteristik kota

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti topografi, sejarah, ekonomi, budaya, dan

kesempatan usaha. Karakteristik kota selalu dinamis dalam rentang ruang dan waktu.

Page 18: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

15  

Gambar 2.1. Bentuk Persegi Empat Struktur Kota Jogja awal Abad XX

Apabila dilihat sekilas wajah suatu kota, maka akan banyak susunan yang tidak

beraturan. Akan tetapi, apabila diamati dengan cermat maka akan dijumpai bentuk dan

susunan khas yang mirip dengan kota-kota lain. Misalnya, kota A berbentuk persegi

empat, kota B berbentuk persegi panjang, dan kota C berbentuk bulat. Begitu juga

dalam susunan bangunan kota terjadi pengelompokan berdasarkan tata guna lahan

kota.Jadi, suatu kota memiliki bentuk dan susunan yang khas. Apabila kamu

mengamati kota berdasarkan peta penggunaan lahan, maka kamu akan mendapatkan

berbagai jenis zona, seperti zona perkantoran, perumahan, pusat pemerintahan,

pertokoan, industri, dan perdagangan. Zona-zona tersebut menempati daerah kota,

baik di bagian pusat, tengah, dan pinggirannya. Zona perkantoran, pusat pemerintahan,

Page 19: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

16  

dan pertokoan menempati kota bagian pusat atau tengah. Zona perumahan elite

cenderung memiliki lokasi di pinggiran kota. Sedang zona perumahan karyawan dan

buruh umumnya berdekatan dengan jalan penghubung ke pabrik atau perusahaan

tempat mereka bekerja. Para geograf dan sosiolog telah melakukan penelitian

berkaitan dengan persebaran zona-zona suatu kota. Penelitian itu bertujuan untuk

mengetahui perkembangan dan persebaran spasial kota.

C. Beberapa Teori Tentang Struktur Kota

1) Teori Konsentris (Concentric Theory)

Teori konsentris dari Ernest W. Burgess, seorang sosiolog beraliran human

ecology, merupakan hasil penelitian Kota Chicago pada tahun 1923. Menurut

pengamatan Burgess, Kota Chicago ternyata telah berkembang sedemikian rupa

dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang konsentris yang mencerminkan

penggunaan lahan yang berbeda-beda. Burgess berpendapat bahwa kota-kota

mengalami perkembangan atau pemekaran dimulai dari pusatnya, kemudian seiring

pertambahan penduduk kota meluas ke daerah pinggiran atau menjauhi pusat.

Zona-zona baru yang timbul berbentuk konsentris dengan struktur bergelang atau

melingkar.

Berdasarkan teori konsentris, wilayah kota dibagi menjadi lima zona sebagai

berikut.

Gambar 2.2. Struktur Kota Menurut Teori Konsentris

Teori Burgess sesuai dengan keadaan negara-negara Barat (Eropa) yang telah

maju penduduknya. Teori ini mensyaratkan kondisi topografi lokal yang

memudahkan rute transportasi dan komunikasi.

Page 20: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

17  

2) Teori Sektoral (Sector Theory)

Teori sektoral dikemukakan oleh Hommer Hoyt. Teori ini muncul berdasarkan

penelitiannya pada tahun 1930-an. Hoyt berkesimpulan bahwa proses pertumbuhan

kota lebih berdasarkan sektorsektor daripada sistem gelang atau melingkar

sebagaimana yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt juga meneliti Kota

Chicago untuk mendalami Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District) yang

terletak di pusat kota.

Ia berpendapat bahwa pengelompokan penggunaan lahan kota menjulur seperti

irisan kue tar. Mengapa struktur kota menurut teori sektoral dapat terbentuk? Para

geograf menghubungkannya dengan kondisi geografis kota dan rute

transportasinya. Pada daerah datar memungkinkan pembuatan jalan, rel kereta api,

dan kanal yang murah, sehingga penggunaan lahan tertentu, misalnya perindustrian

meluas secara memanjang. Kota yang berlereng menyebabkan pembangunan

perumahan cenderung meluas sesuai bujuran lereng.

Gambar 2.3. Struktur Kota Menurut Teori Sektoral

3) Teori Inti Ganda (Multiple Nucleus Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Harris dan Ullman pada tahun 1945. Kedua

geograf ini berpendapat, meskipun pola konsentris dan sektoral terdapat dalam

wilayah kota, kenyataannya lebih kompleks dari apa yang dikemukakan dalam teori

Burgess dan Hoyt.

Page 21: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

18  

Gambar 2.4. Struktur Kota Menurut Teori Inti Ganda

Pertumbuhan kota yang berawal dari suatu pusat menjadi bentuk yang

kompleks. Bentuk yang kompleks ini disebabkan oleh munculnya nukleus-nukleus

baru yang berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Nukleus-nukleus baru akan

berkembang sesuai dengan penggunaan lahannya yang fungsional dan membentuk

struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. Nukleus kota dapat berupa

kampus perguruan tinggi, Bandar udara, kompleks industri, pelabuhan laut, dan

terminal bus. Keuntungan ekonomi menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan

lahan secara mengelompok sehingga berbentuk nukleus. Misalnya, kompleks

industri mencari lokasi yang berdekatan dengan sarana transportasi. Perumahan

baru mencari lokasi yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan dan tempat

pendidikan.

Harris dan Ullman berpendapat bahwa karakteristik persebaran penggunaan

lahan ditentukan oleh faktor-faktor yang unik seperti situs kota dan sejarahnya yang

khas, sehingga tidak ada urut-urutan yang teratur dari zona-zona kota seperti pada

teori konsentris dan sektoral. Teori dari Burgess dan Hoyt dianggap hanya

menunjukkan contoh-contoh dari kenampakan nyata suatu kota.

4) Teori Konsektoral (Tipe Eropa)

Teori konsektoral tipe Eropa dikemukakan oleh Peter Mann pada tahun 1965

dengan mengambil lokasi penelitian di Inggris. Teori ini mencoba menggabungkan

teori konsentris dan sektoral, namun penekanan konsentris lebih ditonjolkan.

Page 22: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

19  

Gambar 2.5. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Eropa)

5) Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)

Teori konsektoral tipe Amerika Latin dikemukakan oleh Ernest Griffin dan

Larry Ford pada tahun 1980 berdasarkan penelitian di Amerika Latin. Teori ini

dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.6. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)

6) Teori Poros

Teori poros dikemukakan oleh Babcock (1932), yang menekankan pada

peranan transportasi dalam memengaruhi struktur keruangan kota. Teori poros

ditunjukkan pada gambar sebagai berikut.

Page 23: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

20  

Gambar 2.7. Struktur Kota Menurut Teori Poros

7) Teori Historis

Dalam teori historis, Alonso mendasarkan analisisnya pada kenyataan historis

yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal penduduk di dalam kota. Teori

historis dari Alonso dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.8. Struktur Kota Menurut Teori Historis

Dari model gambar tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya

standar hidup masyarakat yang semula tinggal di dekat CBD disertai penurunan

kualitas lingkungan, mendorong penduduk untuk pindah ke daerah pinggiran (a).

Perbaikan daerah CBD menjadi menarik karena dekat dengan pusat segala fasilitas

kota (b). Program perbaikan yang semula hanya difokuskan di zona 1 dan 2,

melebar ke zona 3 yang menarik para pendatang baru khususnya dari zona 2 (c).

Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa

perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK

Page 24: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

21  

atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi,

aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan

secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan

kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu

ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat

ekonominya.

2.5. Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007

Indikator dan sub indikator sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007

menunjukkan perlunya diperhatikan kondisi kependudukan; kemampuan ekonomi;

potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial budaya; sosial politik; luas daerah;

pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan masyarakat; dan rentang kendali. Secara

rinci, indikator dan sub indikator yang diatur dalam PP tersebut adalah sebagai

berikut:

Tabel 2.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007

Indikator Faktor Indikator 1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 2. Kemampuan ekonomi 3. PDRB non migas per kapita 4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kontribusi PDRB non migas 3. Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000

penduduk 7. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk 8. Rasio pasar per 10.000 penduduk 9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 12. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk 13. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan

bermotor atau perahu atau kapal motor 15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA

terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1

terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas 19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 4. Kemampuan keuangan 20. Jumlah PDS 21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk

Page 25: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

22  

22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5. Sosial budaya 23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 24. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 25. Jumlah balai pertemuan 6. Sosial politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk

yang mempunyai hak pilih 27. Jumlah organisasi kemasyarakatan 7. Luas daerah 28. Luas wilayah keseluruhan 29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 8. Pertahanan 30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas

wilayah 31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang

pertahanan 9. Keamanan 32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah

penduduk 10. Tingkat kesejahteraan masyarakat

33. Indeks Pembangunan Manusia

11. Rentang kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan

(provinsi atau kabupaten) 35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan

ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

III. METODOLOGI

3.1. Metode Penelitian

Page 26: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

23  

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kelayakan pemekaran Kota

Salatiga menggunakan metoda survei dengan desain penelitian deskriptif analisis.

Unit analisisnya adalah desa atau kelurahan yang ada di Kabupaten Semarang dan

berbatasan dengan Kota Salatiga.

Kajian ini dilakukan dengan berlandaskan pada indikator dan sub indikator

sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007 yang meliputi kondisi

kependudukan; kemampuan ekonomi; potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial

budaya; sosial politik; luas daerah; pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan

masyarakat; dan rentang kendali. Secara rinci, indikator dan sub indikator yang

digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru

berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007

Indikator Faktor Indikator 1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 2. Kemampuan ekonomi 3. PDRB non migas per kapita 4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kontribusi PDRB non migas 3. Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per

10.000 penduduk 7. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk 8. Rasio pasar per 10.000 penduduk 9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 12. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk 13. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan

bermotor atau perahu atau kapal motor 15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah

tangga 16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan

bermotor 17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal

SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1

terhadap penduduk usia 25 tahunke atas

Page 27: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

24  

19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 4. Kemampuan keuangan 20. Jumlah PDS 21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk 22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5. Sosial budaya 23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 24. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 25. Jumlah balai pertemuan 6. Sosial politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada

penduduk yang mempunyai hak pilih 27. Jumlah organisasi kemasyarakatan 7. Luas daerah 28. Luas wilayah keseluruhan 29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 8. Pertahanan 30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas

wilayah 31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang

pertahanan 9. Keamanan 32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap

jumlah penduduk 10. Tingkat kesejahteraan masyarakat

33. Indeks Pembangunan Manusia

11. Rentang kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan

(provinsi atau kabupaten) 35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau

kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuaidengan

perannya dalam pembentukan daerah otonom, sebagaimana pada tabel berikut ini.

Page 28: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

25  

Tabel 3.2. Bobot untuk Setiap Faktor dan Indikator

No. Faktor dan Indikator Bobot 1 Kependudukan 20 1. Jumlah penduduk 15 2. Kepadatan penduduk 5 2 Kemampuan ekonomi 15 1. PDRB non migas per kapita 5 2. Pertumbuhan ekonomi 5 3. Kontribusi PDRB non migas 5 3 Potensi daerah 15

1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk

1

2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 Penduduk 1 3. Rasio pasar per 10.000 penduduk 1 4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 1 5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 1 6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 1 7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 Penduduk 1 8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 1 9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor

atau perahu atau kapal motor 1

10. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 1 11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 1 12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA

terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 1

13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas

1

14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 1 4 Kemampuan keuangan 15

1. Jumlah PDS 5 2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk 5 3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5

5 Sosial budaya 5 1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 2 2. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 2 3. Jumlah balai pertemuan 1

6 Sosial politik 5 1. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk

yang mempunyai hak pilih 3

2. Jumlah organisasi kemasyarakatan 2 7 Luas daerah 5

1. Luas wilayah keseluruhan 2 2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 3

8 Pertahanan 5 1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah 3

Page 29: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

26  

2. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan 2 9 Keamanan 5

1. Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk

5

10 Tingkat kesejahteraan masyarakat 5 1. Indeks Pembangunan Manusia 5

11 Rentang kendali 5 1. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat

pemerintahan (provinsi atau kabupaten) 2

2. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

3

TOTAL 100

Selanjutnya, nilai dari tiap indikator tersebut dihitung denganmenggunakan

sistem skoring, yang terdiri dari 2 (dua) metode sebagai berikut:

1. Metode rata-rata

Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon

daerah dan daerah induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan daerah di

sekitarnya.

2. Metode kuota

Metode kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota

penentuan skoring baik terhadap calon daerah maupun daerah induk. Kuota

jumlah penduduk kabupaten untuk pembentukan kabupaten adalah 5 kali rata-

rata jumlah penduduk kecamatan seluruh kabupaten di provinsi yang

bersangkutan. Semakin besar perolehan besaran/nilai calon daerah dan daerah

induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan daerah, maka

semakin besar skornya.

Dalam hal terdapat beberapa faktor yang memiliki karakteristik tersendiri

maka penilaian teknis dimaksud dilengkapi dengan penilaian secara kualitatif. Nilai

indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing indikator. Kelulusan

ditentukan oleh total nilai seluruh indikator denganka tegori sebagai berikut:

Tabel 3.3

Kategori Kelulusan

Page 30: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

27  

Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru

apabila calon daerah otonom dan daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai

total nilai seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu

(340-419) serta perolehan total nilai indikator faktor kependudukan (80-100), faktor

kemampuan ekonomi (60-75), faktor potensi daerah (60-75) dan faktor kemampuan

keuangan (60-75). Usulan pembentukan daerah otonom baru ditolak apabila calon

daerah otonom atau daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai

seluruh indikator dengan kategori kurang mampu, tidak mampu dan sangat tidak

mampu dalam menyelenggarakan otonomi daerah, atau perolehan total nilai indikator

faktor kependudukan kurang dari 80 atau faktor kemampuan ekonomi kurang dari

60,atau faktor potensi daerah kurang dari 60, atau faktor kemampuan keuangan kurang

dari 60.

3.2. Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data

Pengkajian ini sebagian besar menggunakan data sekunder dari berbagai

sumber, antara lain: 1) basis data indeks pembangunan manusia; 2) Kota Salatiga

dalam angka; 3) statistik keuangan daerah, dan 4) monografi kecamatan di sekitar

Kota Salatiga (yang menjadi bagian Kabupaten Semarang). Untuk memvalidasi data

sekunder tersebut, dilakukan wawancara terhadap para pejabat dari

dinas/badan/lembaga yang relevan, antara lain: Badan Pusat Statistik, Bappeda, dan

aparat kecamatan terkait.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1) wawancara, terhadap

masyarakat, pemuka/tokoh msyarakat maupun para pejabat dari dinas/badan/lembaga

yang relevan; 2) studi kepustakaan; mempelajari dan menelaah serta menganalisas

literatur baik berupa data statistik, monografi, buku-buku, artikel, maupun karya

ilmiah baik itu jurnal maupun buletin yang ada kaitanya dengan permasalahan yang

akan dikaji; 3) kunjungan lapangan untuk memperoleh data primer sekaligus cross

Page 31: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

28  

check data sekunder dengan kondisi faktual; 4) focus group discussion (FGD) untuk

menjaring masukan baik dari masyarakat, SKPD, maupun anggota Dewan.

Metode analisis untuk memprediksi kelayakan pemekaran Kota Salatiga

menggunakan metode analisis biaya dan manfaat (cost and benefit) dengan

memperhatikan potensi, permasalahan, dan kecenderungan perkembangan wilayah

calon pemekaran dikaitkan dengan kondisi Kota Salatiga.

3.3. Jadwal Pelaksanaan

Penyelesaian atas seluruh obyek dan lingkup Kegiatan Kajian Pemekaran Kota

Salatiga dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari kalender atau sekitar 12

minggu hari kerja, terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK).

Dengan batasan waktu penyelesaian tersebut, jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan

adalah sebagai berikut: No Kegiatan Bln1-1 Bln1-2 Bln2-1 Bln2-2 Bln3-1 Bln3-2

1 Persiapan (SPMK, penyusunan kues dsb)

2 Pengumpulan data

3 FGD tahap 1

4 Pengolahan dan Analisa Data

5 Penulisan Laporan

6 FGD tahap 2

7 Perbaikan Laporan Akhir

8 Penyerahan Laporan Akhir

3.4. Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dilaksanakan oleh Kelompok

Masyarakat Perguruan Tinggi, akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab

dengan kewajiban sebagai berikut :

1) bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan pekerjaan Kegiatan Kajian

Pemekaran Kota Salatiga.

2) menyusun hasil Kajian Pemekaran Kota Salatiga;

3.5.Pelaksanan

Page 32: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

29  

Agar supaya Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dapat dilaksanakan

dengan hasil yang maksimal, maka dibentuk tim yang terdiri dari para ahli/pakar lintas

disiplin ilmu. Tim ahli yang dimaksud terdiri dari tenaga-tenaga dengan bidang

keahlian yang berhubungan dengan pekerjaan dan berpengalaman di bidangnya

minimal 2 (dua) tahun, yang terdiri dari :

1) Daru Purnomo, SP, MS (Ahli Geografi Sosial);

2) Prof. Sony Heru Priyanto (Ahli Pembangunan Ekonomi dan Kewirausahaan)

3) Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto (Ahli Ekonomi Pertanian);

4) Dr. Ir. Bistok Hasiholan MSc. (Ahli Pemetaan Lahan dan SIG);

5) Dr. Ir. Bambang Ismanto MS. (Ahli Dinamika Sosial dan Pendidikan);

6) Dr. Tinjung Maria Prihtanti. (Ahli Komunikasi Sosial);

7) Dr. Umbu Rauta, SH, MH (Ahli Hukum Otonomi Daerah);

8) Seto Herwandito, S.Pd, M.M, M.Ikom (Ahli Marketing Manajemen)

3.6. Pengawasan Pekerjaan

Dalam rangka pelaksanaan Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga, Tim

Peneliti akan berkoordinasi dan berkonsultasi dengan:

1) Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Salatiga.

2) Pimpinan SKPD Kota Salatiga.

3) Lembaga non pemerintah sesuai kebutuhan

3.7. Analisis Manfaat Dan Biaya

A. Analisis Manfaat

Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga ini, diorientasikan dapat

memberikan kemanfaatan secara internal dan eksternal. Manfaat internal berupa

tersedianya bahan dasar untuk tersedianya hasil kajian terhadap pelaksanaan kebijakan

mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan

dinamikanya dan tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga

mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan

dinamikanya dan tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik

dari aspek sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat

di Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah yang

Page 33: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

30  

merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga. Manfaat eksternal

yaitu tersusunnya rujukan terhadap upaya pemekaran Kota Salatiga.

B. Analisis Biaya

Analisis biaya Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga, dihitung berdasarkan

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebagaimana tercantum pada Lampiran Proposal ini. 

IV. HASIL KEGIATAN AKHIR

Page 34: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

31  

4.1. Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah

A. Teori Otonomi Daerah

1. Ajaran Pembagian Kekuasaan Vertikal/Teritorial

Pembagian kekuasaan secara vertikal/teritorial yang melengkapi pembagian

kekuasaan secara horisontal/fungsional merupakan cakupan dari ajaran tentang

pembatasan pemerintahan (konstitusionalisme). Friedrich menyatakan:

“At the outset, constitutionalism was described as divided power ...

Constitutionalism by dividing power provides a system of effective

restraints upon governmental action.”

Konsep lain yang digunakan sebagai padanannya adalah federalisme dalam arti

luas, yang artinya tidak melulu berbicara tentang pembagian kekuasaan

vertikal/teritorial di negara federal, tetapi juga di negara kesatuan dengan

desentralisasi. Friedrich menjelaskan:

“There is nothing in the distinction between federalism and

decentralization which would imply an inherent superiority of one

over the other; their advantages and disadvantages can only be

contrasted in terms of the peculiar conditions of the time and place

under which a particular government is supposed to operate.”

Namun ketika berbicara tentang pilihan model pembatasan pemerintahan paling

efektif antara federalisme dan desentralisasi, Friedrich cenderung menganggap bahwa

federalisme dalam arti sempit adalah lebih efektif:

“A federal governmental structure provides a spatial or

territorial, as distinguished from a functional, division of powers.

Such a division operates as a rather effective restraint upon the

abuse of governmental powers by the central authorities ... what

federalism does is to mobilize firmly entrenched local powers in

support of the constitution, and to offer them protection under the

constitution as well.”

Page 35: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

32  

Pendapat ini dapat dipahami rasionya, akan tetapi kebenarannya menurut penulis

relatif. Memang, skema federalisme pada negara federal lebih kuat karena posisi

pemerintah lokal, yaitu negara bagian, tidak bergantung pada kebijakan pemerintah

pusat, pemerintah federal, melainkan langsung bersumber dari konstitusi. Berbeda

dengan skema desentralisasi pada negara kesatuan yang bergantung pada kebijakan

dari pemerintah pusat. Indonesia adalah salah satu contohnya, di mana model

pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah dari waktu ke waktu dipengaruhi

oleh kebijakan pemerintah pusat sebagaimana ditunjukkan dengan berubah-ubahnya

produk legislasi yang melandasi kekuasaan pemerintah daerah tersebut.

Terlepas dari persoalan pilihan sebagaimana dikemukakan di atas, memahami

persoalan kekuasaan pemerintah daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi

daerah tidak dapat mengelak dari ratio legis-nya sebagai bagian dari ajaran tentang

konstitusionalisme. Pengertian demikian nampak dari pendapat The Liang Gie tentang

alasan hadirnya satuan pemerintahan teritorial lebih kecil (Pemerintah Daerah) yang

memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berikut

ini:

• Guna mencegah penumpukan kekuasaan yang bisa membuka ruang bagi

terjadinya tirani;

• Sebagai upaya pendemokrasian;

• Untuk memungkinkan tercapainya pemerintahan yang efisien;

• Guna dapat memberikan perhatian terhadap kekhususan-kekhususan yang

menyertai setiap daerah; dan

• Agar Pemerintah Daerah dapat lebih langsung membantu penyelenggaraan

pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas, pembatasan kekuasaan pemerintah pusat tidak

semata mengambil bentuk pembagian kekuasaan belaka. Tetapi agenda lainnya

sebagai implikasi adalah hasil guna dan daya guna praktik penyelenggaraan

pemerintahan dalam arti luas. Dilakukannya pembagian kekuasaan pemerintahan

secara vertikal atau teritorial ini memungkinkan pemerintah daerah dapat terlibat lebih

langsung dalam penyelenggaraan pembangunan dikaitkan dengan kebutuhan-

kebutuhan khusus daerahnya. Asumsi yang melandasinya adalah daerah lebih tahu

Page 36: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

33  

kebutuhannya ketimbang pemerintah pusat karena persoalan jarak yang lebih dekat

dengan sumber permasalahan.

2. Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Yang Desentralistik

Indonesia adalah Negara Kesatuan atau Unitary State. Meskipun menganut

bentuk atau susunan negara kesatuan, akan tetapi negara Indonesia dijalankan secara

desentralistik sejak masa Indonesia merdeka (terinterupsi sejenak oleh periode

Republik Indonesia Serikat) sampai sekarang. Yang dimaksud dengan negara kesatuan

yang desentralistik adalah negara kesatuan yang diselenggarakan menurut asas

desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (sic: Pusat)

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dasar teoretis mengapa Indonesia tidak menganut konsep negara yang

sentralistik adalah alasan kewilayahan. Kusnardi & Ibrahim mengatakan: “Karena

wilayah negara Republik Indonesia itu sangat luas yang meliputi banyak kepulauan

yang besar dan kecil, maka tidak mungkinlah jika segala sesuatunya akan diurus

seluruhnya oleh Pemerintah yang berkedudukan di Ibukota Negara. Untuk mengurus

penyelenggaraan pemerintahan negara sampai kepada seluruh pelosok daerah negara,

maka perlu dibentuk suatu pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah ini sebenarnya

menyelenggarakan pemerintahan yang secara langsung berhubungan dengan

masyarakatnya.” Lebih lanjut, desentralisasi juga merupakan perwujudan, pada

analisis akhir, gagasan konstitusionalisme (pemerintahan terbatas) yaitu pembagian

kekuasaan secara vertikal/teritorial dan gagasan demokrasi atau kedaulatan rakyat .

Desentralisasi sebagai bentuk pembatasan terhadap kekuasaan Pemerintah Pusat

konsisten dengan prinsip negara hukum yang telah diakui secara konstitusional

sebagai prinsip penyelenggaraan negara Indonesia. Desentralisasi sebagai perwujudan

prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat sangat terkait dengan upaya pemenuhan

kesejahteraan umum seluruh rakyat, bahwa semakin dekat pemerintah hadir di tengah-

tengah rakyatnya dapat berbanding lurus dengan semakin sejahteranya rakyat serta

semakin mudahnya rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan dan sekaligus

mengontrolnya. Legislator UU No. 23 Tahun 2014 meyakini bahwa desentralisasi dan

otonomi daerah dapat: “... mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta

Page 37: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

34  

peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,

keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.”

Konsep negara kesatuan yang desentralistik nampak dari bentuk atau susunan

negara yang tidak mengenal ‘negara’ dalam negara, serta pengakuan atas eksistensi

daerah otonom yang memiliki kewenangan dan dapat menjalankan urusan

pemerintahan sendiri. Menurut Mawardi, sistem desentralisasi memiliki ciri-ciri:

1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya negara

federasi;

2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan bentuk

penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan yang diberikan kepada

daerah;

3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan atau

pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa

dan aspirasi masyarakat.

Dalam rangka asas desentralisasi sebagai dasar untuk penyelenggaraan negara

Indonesia sebagai negara kesatuan tersebut maka pemerintahan daerah provinsi,

daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian, hubungan wewenang antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara provinsi

dan kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan

dan keragaman daerah. Dengan demikian asas otonomi daerah adalah asas dalam

rangka penyelenggaraan negara kesatuan yang desentralistik. Yang dimaksud dengan

otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Sistem Otonomi

Sistem otonomi adalah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah

tangga daerah. Lazimnya ada tiga macam sistem otonomi yang dikenal, yaitu: (1).

Sistem Otonomi Materiil (materiele huishoudingsbegrip); (2). Sistem Otonomi Formil

(formeele huishoudingsbegrip); (3). Sistem Otonomi Riil/Nyata (riele huishoudings-

begrip) yang merupakan kompromi sistem pertama dan kedua.

Page 38: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

35  

Dalam menentukan batas-batas urusan rumah tangga daerah, sistem otonomi

materiil bertolak dari pembedaan secara tegas antara lingkup kekuasaan pemerintah

pusat dengan lingkup kekuasaan daerah otonom. Penentuan tersebut kemudian

ditetapkan menjadi materi undang-undang yang mengatur tentang pembentukan

daerah. Prinsip dari sistem otonomi materiil ini adalah otonomi daerah hanya meliputi

tugas-tugas daerah otonom yang telah ditentukan secara limitatif. Sementara apa yang

tidak tercantum di sana tetap merupakan urusan pemerintah pusat.

Sistem otonomi formil bersifat kebalikannya dari sistem otonomi materiil, yaitu

tidak membedakan antara urusan pemerintah pusat dengan urusan pemerintah daerah.

Prinsip dari sistem otonomi formil ini adalah lingkup rumah tangga yang menjadi

urusan dari daerah otonom tidak ditetapkan secara a priori, tetapi bergantung pada

bagaimana daerah otonom menjabarkannya. Perpaduan kedua sistem ini melahirkan

sistem otonomi riil/nyata yang mengandung prinsip otonomi daerah berdasarkan

faktor riil atau nyata sesuai kebutuhan atau kemampuan sesungguhnya dari daerah

otonom dan pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi. Sehingga

konsekuensinya, jika secara nyata daerah mampu maka apa yang sebelumnya

merupakan urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada daerah otonom; begitu

pula sebaliknya.

Dikaitkan dengan sistem otonomi maka pembentukan daerah baru secara umum

dan atau penyesuaian daerah adalah sejalan dengan pengertian sistem otonomi

riil/nyata. Oleh karenanya, konsisten dengan politik hukum UU Pemerintahan Daerah,

sebagai berikut:

1. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

2. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata

dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,

dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup

dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian

Page 39: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

36  

isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah

otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan

tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk

memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang

merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

B. Landasan Yuridis Penataan Daerah

Istilah “penataan daerah” baru dikenal dalam UU No. 23 Tahun 2014. Saat

berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, istilah yang dikenal dan digunakan yaitu

“pembentukan daerah”. Istilah ini selanjutnya digunakan sebagai salah satu anak judul

dari PP No. 78 Tahun 2008. Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 , telah diberikan

peluang bagi pembentukan daerah baru baik provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,

maupun desa/kelurahan.

Pasca era transisi, peraturan perundang-undangan terkait dengan pembentukan

atau penataan daerah adalah sebagai berikut:

1. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

3. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

4. PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan

Penggabungan Daerah yang mengatur mengenai pembentukan daerah baru pada

tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

5. PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan yang mengatur mengenai

pembentukan daerah baru pada tingkat kecamatan.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004, perihal pembentukan daerah diatur dalam Pasal

4 sampai Pasal 8. Pengaturan lebih lanjut dari UU a quo diatur dalam PP No. 78 Tahun

2007. Adapun pokok-pokok pengaturannya sebagai berikut:

1. Istilah yang digunakan yaitu “pembentukan daerah”. Bentuk hukum pembentukan

daerah ditetapkan dengan undang-undang, yang antara lain mencakup nama,

cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan

pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD,

pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat

daerah.

Page 40: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

37  

2. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian

daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah

atau lebih. Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih dapat

dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

Ini berarti bahwa jenis pembentukan daerah ada 2 (dua) yaitu: penggabungan

daerah dan pemekaran daerah.

3. Pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik

kewilayahan. Syarat administratif untuk pembentukan daerah provinsi meliputi:

persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi

cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta

rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk pembentukan

kabupaten/kota meliputi: persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota

yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi

Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar

pembentukan daerah, yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi

daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,

keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan

provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten,

dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana,

dan prasarana pemerintahan.

Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang

bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penghapusan dan

penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah

beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Perubahan batas suatu daerah,

perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama,

atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

1. Setelah pergantian UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 23 Tahun 2014,

pengaturan perihal pembentukan daerah (baca: penataan daerah) diatur dalam Bab

VI Pasal 31 sampai Pasal 48. Adapun pokok-pokok pengaturan sebagai berikut:

Page 41: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

38  

2. Istilah yang digunakan yaitu “penataan daerah”, dengan tujuan untuk: (a)

mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b) mempercepat

peningkatan kesejahteraan masyarakat; (c) mempercepat peningkatan kualitas

pelayanan publik; (d) meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; (e)

meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah; dan (f) memelihara

keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah.

3. Penataan Daerah terdiri atas Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah.

Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah dapat dilakukan berdasarkan

pertimbangan kepentingan strategis nasional.

4. Pembentukan Daerah terdiri dari dua pola berupa: Pemekaran Daerah dan

Penggabungan Daerah. Pembentukan Daerah mencakup pembentukan daerah

provinsi dan pembentukan daerah kabupaten/kota.

5. Pemekaran Daerah dapat berupa: (a) pemecahan daerah provinsi atau daerah

kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih daerah baru; atau (b) penggabungan

bagian daerah dari daerah yang bersanding dalam 1 (satu) daerah provinsi menjadi

satu daerah baru.

6. Pemekaran Daerah dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau

Daerah Persiapan kabupaten/kota. Pembentukan Daerah Persiapan harus

memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Persyaratan dasar

meliputi: (a) persyaratan dasar kewilayahan; dan (b) persyaratan dasar kapasitas

Daerah.

Persyaratan dasar kewilayahan meliputi: luas wilayah minimal, jumlah

penduduk minimal, batas wilayah, cakupan wilayah; dan batas usia minimal

daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan Kecamatan. Luas wilayah minimal

dan jumlah penduduk minimal ditentukan berdasarkan pengelompokan pulau atau

kepulauan. Batas wilayah dibuktikan dengan titik koordinat pada peta dasar.

Cakupan Wilayah meliputi: (a) paling sedikit 5 (lima) daerah kabupaten/kota

untuk pembentukan Daerah Provinsi; (b) paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk

pembentukan Daerah Kabupaten; dan (c) paling sedikit 4 (empat) kecamatan

untuk pembentukan Daerah Kota. Batas usia minimal meliputi: (a) batas usia

minimal Daerah provinsi 10 (sepuluh) tahun dan Daerah kabupaten/kota 7 (tujuh)

tahun terhitung sejak pembentukan; dan (b). batas usia minimal Kecamatan yang

Page 42: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

39  

menjadi cakupan wilayah daerah kabupaten/kota 5 (lima) tahun terhitung sejak

pembentukan.

Persyaratan dasar kapasitas Daerah adalah kemampuan daerah untuk

berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang didasarkan pada

parameter: geografi, demografi, keamanan, sosial politik, adat, dan tradisi;

potensi ekonomi, keuangan daerah; dan kemampuan penyelenggaraan

pemerintahan.

Persyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut: (a) untuk

daerah provinsi meliputi: persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan

bupati/wali kota yang akan menjadi cakupan wilayah daerah persiapan provinsi;

persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur daerah provinsi

induk. (b). untuk daerah kabupaten/kota meliputi: keputusan musyawarah desa

yang akan menjadi cakupan wilayah daerah kabupaten/kota, persetujuan bersama

DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota daerah induk; dan

persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari daerah provinsi yang

mencakupi daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk.

Pembentukan Daerah Persiapan diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah

Pusat, DPR, atau DPD setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan

persyaratan administratif. Berdasarkan usulan tersebut, Pemerintah Pusat

melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan dasar kewilayahan dan

persyaratan administratif. Hasil penilaian disampaikan kepada DPR dan DPD.

Dalam hal usulan pembentukan Daerah Persiapan dinyatakan memenuhi

persyaratan administratif, Pemerintah Pusat membentuk tim kajian independen

yang bertugas melakukan kajian terhadap persyaratan dasar kapasitas Daerah.

Hasil kajian disampaikan kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya

dikonsultasikan kepada DPR dan DPD. Hasil konsultasi menjadi pertimbangan

Pemerintah Pusat dalam menetapkan kelayakan pembentukan Daerah Persiapan.

Daerah Persiapan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Jangka waktu

Daerah Persiapan adalah selama 3 (tiga) tahun. Daerah Persiapan dipimpin oleh

kepala daerah persiapan. Kepala daerah persiapan provinsi diisi dari pegawai

negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau diberhentikan oleh

Presiden atas usul Menteri. Kepala daerah persiapan kabupaten/kota diisi dari

Page 43: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

40  

pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau diberhentikan

oleh Menteri atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Pemerintah Pusat melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap

Daerah Persiapan, selanjutnya menyampaikan perkembangan pembinaan,

pengawasan, dan evaluasi kepada DPR dan DPD. Pemerintah Pusat melakukan

evaluasi akhir masa Daerah Persiapan, dengan maksud untuk menilai kemampuan

Daerah Persiapan dalam melaksanakan kewajiban. Hasil evaluasi akhir masa

Daerah Persiapan dikonsultasikan kepada DPR dan DPD. Daerah Persiapan yang

dinyatakan layak ditingkatkan statusnya menjadi Daerah baru dan ditetapkan

dengan undang-undang. Sedangkan Daerah Persiapan yang dinyatakan tidak layak

dicabut statusnya sebagai Daerah Persiapan dengan peraturan pemerintah dan

dikembalikan ke Daerah induk.

Penggabungan Daerah dapat berupa: (a) penggabungan dua daerah

kabupaten/kota atau lebih yang bersanding dalam satu daerah provinsi menjadi

daerah kabupaten/kota baru; dan (b) penggabungan dua daerah provinsi atau lebih

yang bersanding menjadi daerah provinsi baru. Penggabungan Daerah dilakukan

berdasarkan: (a) kesepakatan daerah yang bersangkutan; atau (b) hasil evaluasi

Pemerintah Pusat.

Penggabungan Daerah yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Daerah yang

bersangkutan harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan dasar

kapasitas Daerah. Penggabungan Daerah kabupaten/kota yang dilakukan

berdasarkan kesepakatan Daerah diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah

Pusat, DPR, atau DPD setelah memenuhi persyaratan administratif.

Penggabungan Daerah provinsi yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Daerah

yang bersangkutan diusulkan secara bersama oleh gubernur yang daerahnya akan

digabungkan kepada Pemerintah Pusat, DPR atau DPD setelah memenuhi

persyaratan administratif. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah Pusat

melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan administratif, selanjutnya

hasil penilaian disampaikan kepada DPR dan DPD. Dalam hal usulan

penggabungan daerah dinyatakan memenuhi persyaratan administratif,

Pemerintah Pusat dengan persetujuan DPR dan DPD membentuk tim kajian

independen. Tim kajian independen bertugas melakukan kajian terhadap

persyaratan kapasitas daerah. Hasil kajian disampaikan oleh tim kajian

Page 44: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

41  

independen kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada

DPR dan DPD. Hasil konsultasi tersebut menjadi pertimbangan bagi Pemerintah

Pusat, DPR atau DPD dalam pembentukan undang-undang mengenai

penggabungan Daerah. Dalam hal penggabungan Daerah dinyatakan tidak layak,

Pemerintah Pusat, DPR atau DPD menyampaikan penolakan secara tertulis

dengan disertai alasan penolakan kepada gubernur.

Penggabungan Daerah dapat pula dilakukan dalam hal daerah atau beberapa

daerah tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penilaian terhadap

kemampuan menyelenggarakan otonomi daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang mengenai

penggabungan Daerah kepada DPR dan DPD. Dalam hal rancangan undang-

undang mengenai penggabungan Daerah disetujui, rancangan undang-undang

dimaksud ditetapkan menjadi undang-undang.

7. Di samping Pembentukan Daerah, jenis lain dari Penataan Daerah yaitu

Penyesuaian Daerah. Penyesuaian Daerah dapat berupa: (a) perubahan batas

wilayah daerah; (b) perubahan nama daerah; (c) pemberian nama dan perubahan

nama bagian rupa bumi; dan (d) pemindahan ibu kota; dan/atau perubahan nama

ibu kota. Dalam penjelasan Pasal 48 UU No. 23 Tahun 2014 ditegaskan bahwa

yang dimaksud dengan “perubahan batas wilayah Daerah” dalam ketentuan ini

adalah penambahan atau pengurangan Cakupan Wilayah suatu daerah yang tidak

mengakibatkan hapusnya suatu Daerah. Perubahan batas wilayah daerah

ditetapkan dengan undang-undang. Perubahan nama Daerah, pemberian nama dan

perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta perubahan nama

ibu kota ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

8. Dalam UU a quo juga diatur tentang kemungkinan pembentukan daerah dengan

pertimbangan kepentingan strategis nasional. Pembentukan Daerah dimaksud

berlaku untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan daerah tertentu untuk

menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembentukan Daerah tersebut harus dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan

provinsi atau Daerah Persiapan kabupaten/kota paling lama 5 (lima) tahun.

Pembentukan Daerah Persiapan harus memiliki cakupan wilayah dengan batas-

batas yang jelas dan mempertimbangkan parameter pertahanan dan keamanan,

potensi ekonomi, serta paramater lain yang memperkuat kedaulatan Negara

Page 45: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

42  

Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Daerah Persiapan dikonsultasikan

oleh Pemerintah Pusat kepada DPR dan DPD.

Dalam konteks rencana “pemekaran wilayah” Kota Salatiga, dengan mengacu

pada materi muatan UU No. 23 Tahun 2014, pola penataan daerah yang sesuai yaitu

Penyesuaian Daerah, khususnya dalam wujud Perubahan Batas wilayah Daerah.Pada

awalnya analisis pemekaran Kota salatiga ini akan menggunakan UU 23 Tahun 2014

sebagai landasan hukumnya, tetapi karena aturan pelaksanaannya belum ada maka

diputuskan untuk menggunakan PP 78 Tahun 2007 sebagai landasan acuan hukumnya.

Sejalan dengan peraturan tersebut maka indikator utama yang akan

dipergunakan sebagai dasar kajian adalah:

1. Kependudukan

2. Kemampuan ekonomi

3. Potensi daerah

4. Kemampuan keuangan

5. Sosial budaya

6. Sosial politik

7. Luas daerah

8. Pertahanan

9. Keamanan

10. Tingkat kesejahteraan masyarakat

11. Rentang kendali

12. Layanan Publik (kesehatan, perijinan, pendidikan)

13. Analisis Keruangan (ekonomi pusat pertumbuhan)

4.2. Sejarah dan Dinamika Kota Salatiga

Kehidupan global (internasional) telah menjadi bagian Kota Salatiga jauh

sebelum Indonesia merdeka. Alamnya yang sejuk, indah, bersahabat dan aman

menjadi pilihan hunian, Kota militer, lahan perkebunan kopi dan lokasi penyelesaian

kemelut Kerajaan Surakarta.

Alam Salatiga menghasilkan udara sejuk dan nyaman dengan suhu udara rata-

rata 23 -24 derajad celcius. Posisi Salatiga Pada ketinggian rata-rata 600 meter di atas

permukaan laut dan terkesan dipagari alam pegunungan. Keberadaan di lembah

Page 46: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

43  

gunung Merbabu sebelah barat daya bersinggungan dengan pegunungan Telomoyo

dan Gajah Mungkur dan sisi barat terdapat Gunung Ungaran.

Kenyamanan alam dan rasa aman Salatiga menjadi kota pilihan transit orang-

orang yang baru datang dari Eropa dan hendak tinggal di Hindia Belanda dan hunian

Pimpinan / Militer Belanda. Pembangunan hotel, rumah sakit, tempat ibadah, Bisnis,

komnikasi dan fasilitas jalan, pendistrian, transportasi dan pasar telah dibangun secara

standar pada era penjajahan Belanda. Di Salatiga di bangun beberapa Hotel seperti

Hotel Kalitaman, Hotel Berg en Dal, dan Hotel Blommestein. Di dekat Kerkhof

dibangun Rumah Sakit Khusus Tentara dan Rumah Sakit Umum serta menuju arah

Kopeng (Jalan Hasanudin) Rumah Sakit Paru-Paru kini RSU Ario Wirawan. Di

Salatiga didirikan Sekolah seperti Eerste Europeesche Lagere School, Tweede

Europeesche Lagere School, Hollandsche Chinese School (HCS), Normaalscool dan

Kweekschool. Disamping berdiri sekolah swasta seperti HIS Kanisius dan SD Zending.

Fasilitas perkantoran seperti Algemeene Volksch Bank, Pos Telefoon Telegram

Kantoor, fasilitas jalan, lapangan olah raga, taman dan trotoar.

Posisi strategis Semarang, Magelang dan Surakarta, dan hunian orang Belanda

menjadikan pertimbangan Salatiga sebagai Kota Militer. Tahun 1746 VOC

membangun benteng ‘De Hersteller’ di Kota Salatiga dengan maksud untuk menjamin

keamanan jalur Surakarta – Semarang dalam lalu lintas perdagangan Jawa Tengah

pedalaman ke Pantai Utara. Benteng ini memberi rasa aman sehingga pilihan singgah

para pedagang di Salatiga. Benteng ‘Hock’ yang kini menjadi Kantor Korem 073

merupakan citra Salatiga sebagai Kota Militer. Rasa aman dan kedamaian menjadi

pertimbangan para petinggi Belanda dalam mendamaikan pertikaian Kerajaan

Surakarta. Tepatnya tanggal 17 Maret 1757 disepakati ‘Perjanjian Salatiga’ yang

melahirkan Kadipaten Mangkunegaran.

Hingga sekarang, teritorial Salatiga memiliki fasilitas pertahanan dan

keamanan seperti Komando Resort Militer dengan wilayah kekuasaan Semarang,

Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kendal, Purwodadi, Demak, Kudus, Jepara dan

Blora, Komando Distrik Militer dan Polisi Resort dengan wilayah kekuasaan Salatiga

dan Kabupaten Semarang dan Batalyon Infantri berada dalam teritorial Salatiga.

Cikal bakal lahirnya Salatiga tertulis dalam batu besar dalam prasasti

Plumpungan, berisi ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swatantra bagi

desa Hampra. Perdikan berarti suatu daerah yang dibebaskan dari segala kewajiban

Page 47: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

44  

pembayaran pajak atau upeti karena memiliki kekhususan tertentu. Dasar pemberian

daerah perdikan itu diberikan kepada desa atau daerah yang benar-benar berjasa

kepada seorang raja.

Kota Salatiga adalah Staat Gemente yang dibentuk berdasarkan Staatblad 1923

No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 17 tahun 1995 tentang

Pembentukan Daerah-Daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa

Tengah dan Jawa Barat.

Berdasarkan kesadaran bersama dan didorong kebutuhan areal pembangunan

demi pengembangan daerah, muncul gagasan mengadakan pemekaran wilayah yang

dirintis tahun 1983. Kemudian terealisir tahun 1992 dengan terbitnya Peraturan

Pemerintah No. 69 tahun 1992 yang menetapkan luas wilayah Salatiga menjadi 5.898

Ha dengan 4 Kecamatan yang terdiri dari 22 Kelurahan Tahun 2015 bertambah

menjadi 23 Kelurahan.

Sejak jaman Belanda dan Jepang hingga sekarang, Salatiga berkembang Kota

Pendidikan yang berbasis kebhinekaan dan internasional. Kesadaran berpendidikan

masyarakat muncul sejak pemerintahan Belanda, Jepang dan Pemerintahan Republik

Indonesia. Kehadiran tentara KNIL yang berasal dari berbagai suku di wilayah Timur

Indoenesia menjadikan Salatiga sebagai miniatur kehidupan Indonesia. Pendirian dan

perkembangan Universitas Kristen Satya Wacana dengan mahasiswa dan dosen lebih

dari 27 suku di Indonesia semakin mendinamiskan Salatiga sebagai Indonesia Mini

bahkan Kota Global. Oleh karena program pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia

di UKSW yang diikuti masyarakat Australia, Eropa, Amerika Serikat, Jepang,

Singapore, Korea Selatan turut mengenalkan Salatiga secara internasional. Demikian

pula fasilitas kesehatan dalam hal ini Rumah Sakit, layanan air minum dan ketahanan

dan keamanan di Salatiga telah berkembang sejak Pemerintahan Belanda.

Kini Salatiga tumbuh sebagai Kota pendidikan, olah raga, budaya dan transit

wisata. Pesona kota berbukit yang sejuk, nyaman, aman sangat kondusif tumbuh dan

berkembangnya sarana prasarana pendidikan, pengembangan potensi olah raga,

budaya serta menjadi tempat singgah wisata dalam perjalanan Jogjakarta, Solo dan

Semarang (Joglosemar). Pengembangan infrastruktur jalan lingkar, jalan perkotaan,

drainase lingkungan dan dukungan perijinan serta pertumbuhan lembaga Perbankan

menjadi pendukung iklim usaha di Kota Salatiga. Pembangunan Jalan Tol ruas Bawen

– Semarang dan perspektif Bawen ke Solo akan semakin mendinamiskan

Page 48: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

45  

perkembangan Kota Salatiga sebagai hunian yang nyaman. Perkembangan UKSW,

IAIN serta STIE AMA akan mendukung penyiapan SDM yang bermutu sejalan

dengan upaya perwujudan Trifungsi Kota Salatiga sebagai Kota Pendidikan,

Perdagangan dan Transit Wisata.

Keberadaan Salatiga dalam Geografis Kabupaten Semarang sebagai fakta

alami yang tidak bisa saling dipisahkan. Dinamika perkembangan sosial, ekonomi,

budaya dan politik kedua wilayah ini harus diberikan alternatif dalam membangun

masyarakat yang makmur, mandiri dan berkeadilan. Jangkauan layanan dasar kepada

masyarakat Kabupaten Semarang menjadi fakta yang perlu dicarikan solusi agar

kebutuhan tetap dipertahankan dan dikembangkan. Terbatasnya dana transfer APBN

sebagai implikasi terbatasnya wilayah dan jumlah penduduk perlu dipikirkan bersama

agar apa yang selama ini telah dinikmati masyarakat tidak berhenti.

4.3.Kondisi Sosial Politik

A. Aspek Sosial Budaya

Kota Salatiga tergolong kota atau wilayah yang kecil dibanding dengan

wilayah di sekelilingnya seperti kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dll. Lokasi

kota Salatiga yang dikelilingi oleh Kabupaten Semarang menjadikan kota ini unik.

Adapun rentang kendali kota Salatiga dengan kecamatan dalam kabupaten Semarang

yang berdekatan dengan kota Salatiga bisa dibilang berjarak dekat, otomatis rentang

kendali nya mudah atau dekat. Kota Salatiga terdiri dari 4 Kecamatan, dimana 1

kecamatan terdiri dari 4-6 desa, sehingga dalam memberikan pelayanan masih relatif

mudah. Idealnya suatu kecamatan terdiri dari hingga maksimal 10 desa, hal ini tidak

menjadi kendala untuk kota salatiga dalam menambah jumlah desa yang akan ikut

menjadi bagian dari suatu lecamatan. (idealnya 1 kecamatan 10 desa)

Kota Salatiga dengan luas wilayah yaitu 5.678.110 km² memiliki jumlah

penduduk sebesar 178.594 jiwa/m², terdiri dari 87.343 jiwa untuk laki-laki dan 91.251

jiwa untuk perempuan dengan demikian tingkat kepadatan penduduknya adalah 3.145

orang per km²

Kota Salatiga yang terkenal akan “Indonesia Mini” dengan pluralitas yang ada

terdapat 214 masjid, 303 mushola, 80 gereja dan 7 vihara/ pura, dengan total

berjumlah 617 tempat ibadah tersebar di 4 kecamatan. Sedangkan untuk olah raga,

Salatiga sejak dahulu terkenal akan “Pendidikan Latihan” atau DIKLAT, diantaranya

Page 49: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

46  

adalah diklat TC yang sudah mencetak pesebak bola sekelas nasional seperti Bambang

Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, selain itu adapula Oyong Liza, Risdianto,

Iswadi Idris, Sartono Anwar, sampai Anjas Asmara, juga merupakan jebolan Diklat

Salatiga.

Tabel 4.1. Sarana Peribadatan di Wilayah Kota Salatiga

KECAMATAN MASJID MUSHOLA GEREJA PURA/ VIHARA dan Lainnya

Argomulyo 59 75 24 3

Sidomukti 55 48 26 2

Sidorejo 66 107 13 2

Tingkir 38 85 13 1

JUMLAH 218 315 76 8

TOTAL 617

Sumber: Kecamatan dalam angka 2014

Cabang olah raga Atletik juga cukup menonjol dengan adanya klub Dragon

Atletik, dimana mencetak pelari-pelari terbaik, salah satunya seperti Tryaningsih.

Olah raga ketangkasan berkuda (equestrian), Bulutangkis, Basket dan lain sebagainya

juga mulai berkembang, bahkan Salatiga akan dipromosikan menjadi kota atletik

dunia.

Partisipasi masyarakat kota salatiga terhadap permasalahan kemasyarakatan

dapat terwujud dalam organisasi kemasyarakatan (Ormas) sebanyak 128 Lembaga

Swadaya Masyarakat yang bergerak di berbagai bidang. Selain itu adanya balai

pertemuan juga mendukung dalam partisipasi masyarakat terhadap permasalahan

kemasyarakatn yang ada. Jumlah balai pertemuan di Kota Salatiga sebanyak 22 balai

pertemuan, dimana semua Kecamatan (Argomulyo, Sidorejo dan Tingkir) terdapat 6

balai pertemuan dan hanya Kecamatan Sidomukti yang memiliki 4 balai pertemuan.

Page 50: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

47  

Tabel 4.2. Jumlah Balai Pertemuan

Kota Kecamatan Balai Pertemuan

SALATIGA Argomulyo 6

Sidomukti 4

Sidorejo 6

Tingkir 6

JUMLAH 22

Sumber: Kecamatan dalam angka 2014

B. Aspek Sosial Politik

Tabel 4.3 dibawah menunjukkan bahwa partisipasi politik warga khususnya

dalam pelaksanaan Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat cukup

antusias. Terbukti dengan bertambahnya jumlah pemilih dari tahun ke tahun, baik

pada pilihan legislatif maupun pilihan walikota dan wakil walikota. Data diatas

menujukkan adanya kenaikan jumlah pemilih (pada pilihan walikota dan pileg 2014)

sebesar 4.075

Tabel 4.3. Jumlah Pemilih Total Pileg dan Pilihan Walikota-Wakil Walikota

Kecamatan di Salatiga

Jumlah Penduduk

Jumlah Pemilih Pileg 2014

Jumlah Pemilih pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota 2011

Jumlah Pemilih pada Pilpres 2009

Argomulyo 42.133 31.081

Sidomukti 40.664 29.298

Sidorejo 54.074 36.988

Tingkir 41.723 31.017

JUMLAH 178.594 128.384 124.309 122.630

Sumber: KPU Kota Salatiga

C. Aspek Pertahanan

Untuk aspek pertahanan, Salatiga terbilang unik karena dihuni oleh beberapa

instansi militer, diantaranya yaitu Korem 073 Makutarama, Kodim 0714 Salatiga dan

Batalyon Infanteri 411 “Raiders/ Pandawa” padahal untuk luas wilayah Salatiga

terbilang kecil. Akan tetapi hal ini yang menjadikan salatiga menjadi kota yang unik

Page 51: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

48  

dengan aspek pertahanan yang mumpuni. Salatiga menjadi satu-satunya kota yang

terdapat KOREM, KODIM maupun Batalyon Infanteri.

Sedangkan untuk karakteristik wilayah, kota Salatiga yang terdiri dari 4

kecamatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang. Wilayah utara Salatiga yaitu

Kecamatan Sidorejo berbatasan dengan Kecamatan Pabelan-Kabupaten Semarang,

wilayah timur yaitu Kecamatan Tingkir berbatasan dengan Kecamatan Pabelan dan

Kecamatan Suruh-Kabupaten Semarang, wilayah selatan yaitu Kecamatan Argomulyo

berbatasan dengan Kecamatan Tengaran dan Getasan-Kabupaten Semarang dan

wilayah barat yaitu Kecamatan Sidomukti berbatasan dengan Kecamatan Tuntang-

Kabupaten Semarang.

Kesenjangan ekonomi dan sosial merupakan permasalahan klasik dan sistemik

yang harus segera mendapatkan prioritas penanganannya, terutama yang mengarah

pada konflik akibat keterbatasan peluang dan akses terhadap sumberdaya. Suasana

kondusif merupakan faktor utama bergeraknya seluruh aktifitas sektor, sehingga

optimalisasi sumberdaya dapat berjalan optimal dan kesejahteraan masyarakat dapat

terwujud dengan lancar, aman dan terkendali.

Pembangunan yang tidak merata di Kota Salatiga menjadikan kota ini hanya

berpusat di tengah kota saja, sedangkan daerah yang berbatasan dengan Kabupaten

Semarang minim pembangunan yang merata baik infrastruktur, fasilitas publik, jalan,

sekolah, dsb.

D. Aspek Keamanan

Banyaknya konsentrasi militer dan polisi di Salatiga dan sekitarnya

memungkinkan Salatiga terhindar dari tindak kerusuhan massa. Kondisi wilayah yang

jarang tertimpa bencana alam memungkinkan masyarakat dapat menjaga ketertiban

dan ketenteraman. Usaha untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban akan

sekaligus berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan keamanan didaerah masing-

masing. Di dalam hal ini maka usaha untuk mewujudakan ketenteraman dan ketertiban

didasarkan pada sistem Pamswakarsa di bawah bimbingan dan pembinaan POLRI.

Page 52: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

49  

Tabel 4.2. Jumlah Personel Kepolisian Kota Salatiga

NO WILAYAH JUMLAH 1 Sidorejo 38 2 Sidomukti 53 3 Argomulyo 38 4 Tingkir 54

Jumlah 183 Sumber: Polres Salatiga, 2014

Berdasarkan tabel 4.2 nampak bahwa jumlah personel polisi di Kota Salatiga

relatif masih kecil. Secara keseluruhan personel polisi berjumlah 183 personel yang

tersebar dalam 4 Kecamatan. Dengan jumlah personel yang terbatas di satu pihak dan

jumlah penduduk Kota Salatiga yang semakin meningkat, maka Polri dalam hal ini

sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat dapat dipastikan kinerjanya

semakin berat dan masih belum maksimal, hal ini dibuktikan dengan kurangnya tenaga

kepolisian dalam menjangkau seluruh Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Kota

Salatiga. Idealnya adalah 1 Desa terdiri dari 1 polisi, jikalau luas Desa tersebut luas

maka bisa terdiri dari 2 polisi. Berikut adalah ratio polisi dan masyarakat yang ada di

Kota Salatiga.

Tabel 4.3. Rasio Jumlah Penduduk Dengan Jumlah Personel Kepolisian Kota Salatiga

No Kecamatan Jumlah Penduduk

Polsek Jumlah Personel

Perbandingan

1 Sidorejo 54.074 Sidorejo 38 1 : 1.423 2 Sidomukti 40.664 Sidomukti 53 1 : 768 3 Argomulyo 42.133 Argomulyo 38 1 : 1.109 4 Tingkir 41.723 Tingkir 54 1 : 773 178.594 183 1 : 976 Ratio Rata-Rata 1: 1.019 Ratio Nasional 1: 575 JUMLAH PERSONEL

POLRES SALATIGA 341

Sumber: Polres Salatiga, 2014

Dari data tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara jumlah

penduduk dengan jumlah personel kepolisian. Hal ini nampak pada perbandingan di

setiap polsek yang menunjukkan bahwa satu orang anggota polisi rata-rata

bertanggungjawab pada 1.019 jiwa (ratio tertinggi di Kecamatan Sidorejo dan

terendah di Kecamatan Tingkir). Bahkan, secara nasional ratio polisi-masyarakat di

Page 53: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

50  

wilayah Kota Salatiga masih terbilang sangat tinggi, dimana ratio rata-rata polisi-

masyarakat secara nasional adalah 1: 575 (Kompas, Maret, 2014). Kondisi ini

menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun personil polisi harusnya ditambah sejalan

dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Idealnya untuk kota besar adalah 1 :

300, sedangkan untuk kota seperti Salatiga ratio Polisi - masyarakat berkisar 1 : 400.

Berdasarkan kriteria ideal rasio polisi dan masyarakat, maka pada aspek ini personil

polisi harus ditambah, apalagi jika ada rencana untuk melakukan pemekaran wilayah

(baca: penyesuaian).

4.4. Kondisi Kependudukan Kota Salatiga

A. Penduduk dan Dinamika Wilayah

Kebutuhan dasar manusia adalah ruang atau tempat tinggal selain kebutuhan

akan sandang dan pangan. Sekalipun dalam pengertian yang paling sederhana dan

dalam waktu yang terbatas, setiap manusia pada berbagai tingkat peradaban apapun

dan dimanapun pasti membutuhkan ruang untuk bermukim dan melaksanakan

aktivitasnya.

Dinamika suatu kota senantiasa selalu mengalami perubahan, seperti halnya

Salatiga sebagai suatu wilayah administratif dari waktu ke waktu juga mengalami

perubahan. Secara umum terjadinya perubahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari

adanya dua faktor utama sebagai diterminan sifat dinamika kehidupan suatu wilayah,

yaitu aspek demografis (kependudukan) di satu sisi dan aspek dari aktivitas penduduk

itu sendiri di sisi yang lain.

Page 54: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

51  

SPACE  AND DEMOGRAPHICC I T Y

ASPECT of POPULATIONEcon. Soc TechCul.In‐Out Migrat.Birth‐Death

POPULATIONPol.

NumberDemand for Space

Activities

Urban DevelopmentHorizontal Movement Vertikal Movement

Urban Sprowl

Centrifugal

Developers Initiative

AccessibilityPublic Service

Centripetal

Landoners Characteristic

Regulatory Measures

Physical Characteristic

Leap-frog DevRibbon Dev.Concentric Dev

Loss of Agricultural Land

Rural Sectors

Unmanaged GrowthUrban Sectors

Rural-Oriented TechniquesUrban-Oriented Techniques Financ. M. Compr.M.Police M.

Bagan: Penduduk dan Kebutuhan Ruang

Pertambahan penduduk yang terus menerus dan cenderung meningkat, akan

membawa konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan suatu wilayah, yaitu adanya

tuntutan permintaan akan space yang meningkat pula untuk dimanfaatkan sebagai

tempat hunian maupun aktifitas dari kegiatan penduduk lainnya seperti politik,

ekonomi, social, budaya dan teknik. Sebagian besar kota-kota di Indonesia, demikian

halnya kota Salatiga mengalami problematik yang serius dalam memenuhi kebutuhan

akan ruang yang semakin meningkat, sementara itu ketersediaan ruang terbuka yang

masih memungkinkan untuk mengakomodasikan aktivitas mereka semakin terbatas

dan semakin berkurang, jikapun masih ada ruang-ruang yang tersedia merupakan

bagian yang memang tidak layak atau diperuntukan sebagai hunian maupun

aktivitasnya. Migrasi penduduk ke kota Salatiga dan bertambahnya penduduk secara

alami (natural increase) yang terus berlangsung dari tahun ke tahun dan cenderung

semakin meningkat, menyebabkan terjadinya proses densification penduduk,

permukiman maupun bangunan non permukiman di kota yang berjalan tidak

terkendali dan cenderung terjadinya pencaplokan wilayah yang peruntukannya tidak

sesuai (urban sprowl). Untuk mengantisipasi terjadinya proses dentifikasi tersebut

maka perlu adanya strategi perencanaan penataan spasial yang baik dan kongkrit .

Page 55: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

52  

Tidak adanya perencanaan penataan ruang dan atau implementasi hasil

perencanaan penataan ruang yang baik menjadi salah satu penyebab terjadinya

deteriorisasi lingkungan kekotaan (urban environmental deterioration). Hal ini bisa

diidentifikasi dari semakin meningkatnya luasan permukiman kumuh yang ada pada

suatu wilayah. Keberadaan permukiman kumuh ini mempunyai beberapa aspek negatif

terhadap lingkungan, baik aspek spasial, aspek lingkungan biotik, lingkungan abiotik,

lingkungan social, lingkungan ekonomi dan lingkungan budaya. Tentunya untuk

mengatasi hal ini perlu adanya upaya yang terpadu baik secara vertikal maupun

horizontal. Kendala yang dihadapi suatu kota terkait proses dentifikasi adalah

keterbatasan ruang untuk bisa menanmpung penduduk dan aktifitasnya, sehingga

secara alami akan terjadi proses sprowling secara horizontal.

Untuk mengatasi persoalan sprowling, ada banyak alternatif yang bisa

dilakukan (lihat bagan). Namun secara sederhana persoalan itu dapat diatasi dari dua

sisi, yakni pemekaran secara fisik (menambah wilayah) dan atau pengendalian

penduduk.

B. Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga

Aspek kependudukan dengan mengacu pada perspektif demografis, dimana

jumlah penduduk suatu wilayah khususnya di kota Salatiga cenderung memiliki

tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan

dengan tingkat pertumbuhan penduduk provinsi bahkan tingkat nasional (Laju

pertumbuhan penduduk provinsi Jawa Tengah sebesar 0,37 persen, dan nasional

(Indonesia) sebesar 1,49 persen, sedang Kota Salatiga pada tahun 2010 sebesar 1,09

dan meningkat di tahun 2013 sebesar 2,71 persen).

Jika dilihat dari trend laju pertumbuhan penduduk, kota Salatiga mengalami

pertumbuhan penduduk yang cenderung semakin meningkat dengan angka laju

pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dari nasional bahkan tingkat provinsi Jawa

Tengah. Determinan pertambahan penduduk suatu wilayah tidak hanya disebabkan

oleh natural growth saja, tetapi juga oleh aliran penduduk atau migrasi dari bagian

wilayah lain yang masuk ke suatu wilayah (inmigration).

Bertambah dan meningkatnya kegiatan penduduk pada suatu wilayah yang

dipicu oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri maupun

meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat menyebabkan semakin meningkatnya

Page 56: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

53  

volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Hal ini akan memberi konsekuensi

keruangan yang sangat serius yaitu meningkatnya permintaan akan ruang untuk

mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan

aktifitas-aktifitas tersebut. Persoalan yang sering dihadapi oleh pemerintah kota adalah

terbatasnya persediaan ruang yang bisa dimanfaatkan untuk mengakomodasikan

prasarana-prasarana kegiatan baru. Sebagian kecil prasarana fisik ini dapat dibangun

di bagian dalam kota atau bahkan di pusat kota dengan memanfaatkan ruang-ruang

terbuka yang masih tersisa ataupun melakukan rehabilitasi fungsi dari bangunan-

bangunan yang telah ada dengan cara melakukan intensifikasi fungsi maupun

membangun bangunan secara vertikal. Namun hal ini ada batasnya, oleh karena itu

tidak dapat dihindari sebagian besar kebutuhan akan ruang yang tidak dapat dibangun

di bagian dalam kota baik oleh karena kelangkaan ruang maupun karena semakin

tingginya harga tanah yang tidak terjangkau, maka pengembangan akan dialihkan pada

wilayah-wilayah pinggiran kota yang ketersediaan lahan terbukanya relatif masih

memungkinkan untuk dibangun.

Konsekuensi dari semakin meningkatnya permintaan akan ruang, yang dipicu

oleh tuntutan meningkatnya permukiman maupun tuntutan meningkatnya bangunan-

bangunan untuk mengakomodasikan kegiatan akan mengakibatkan munculnya dua

konskuensi spasial yang penting diperhatikan dalam pembuatan kebijakan untuk

mencermati dinamika perkembangan pembangunan wilayah. Konsekuensi spasial

yang penting untuk dicermati adalah konsekuensi keruangan secara fisikal

(perkembangan spasial secara vertical dan horizontal) dan konsekuensi keruangan

yuridis-administratif.

Konsekuensi spasial secara fisikal di kota Salatiga maupun kota-kota lain di

Indonesia cenderung proses perkembangan spasial terjadi secara horizontal, yaitu

suatu proses penambahan ruang yang terjadi secara mendatar dengan cara menempati

ruang-ruang yang masih kosong baik di daerah-daerah bagian dalam kota maupun di

daerah pinggiran kota. Konsekuensi perkembangan spasial di bagian dalam kota

berakibat pada semakin padatnya kota yang disebabkan karena bertambahnya

bangunan-bangunan, penduduk dan aktivitasnya. Sebagai contoh Kota Salatiga,

tingkat kepadatan penduduk tertinggi ada di wilayah-wilayah perkotaan seperti

Kelurahan Salatiga, Kelurahan Gendongan, Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan

Kalicacing yang memiliki tingkat kepadatan penduduk di atas 6000/km2. Sedangkan

Page 57: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

54  

kelurahan-kelurahan lainnya seperti Sidorejo Lor, Ledok, Tegalrejo, dan Mangunsari

akan berproses menjadi kelurahan yang ruang-nya semakin padat sebagai akibat dari

proses perkembangan spasial secara horizontal. Jika melihat dari tingginya

pertumbuhan penduduk Kota Salatiga, maka proses perkembangan spasial akan

mengarah pada bagian-bagian yang masih kosong, dan hal ini akan terjadi di bagian

sub urban dan periphery (pinggiran) kota.

Konsekuensi perkembangan spasial secara yuridis-administratif terjadi sebagai

akibat terjadinya perubahan-perubahan batas fisikal marfologi kekotaan. Perubahan ini

terjadi karena dipengaruhi oleh dua diterminan dinamika suatu wilayah, yaitu jumlah

penduduk yang semakin bertambah dan jumlah, volume, serta frekuensi kegiatan dari

penduduk itu sendiri juga mengalami perubahan. Salatiga pernah melakukan

perubahan spasial secara yuridis-administratif dalam hal ini dengan wilayah-wilayah

kabupaten Semarang. Mengingat perkembangan spasial Kota Salatiga yang begitu

pesat, maka perlu dipikirkan kembali untuk melakukan perubahan batas fisik

marfologis dengan wilayah administratif lainnya, tentunya perlu ada persetujuan

antara pemerintah Kota Salatiga dengan Pemerintah di luar kota Salatiga.

C. Analisis Situasi Kependudukan Kota Salatiga

1) Struktur Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Struktur penduduk menurut umur dan jenis kelamin secara grafik dapat

digambarkan dalam bentuk piramida penduduk. Piramida penduduk adalah cara

penyajian lain dari struktur umur dan jenis kelamin penduduk. Dasar piramida

penduduk menunjukkan jumlah penduduk, dan badan piramida penduduk bagian kiri

dan kanan menunjukkan banyaknya penduduk laki-laki dan penduduk perempuan

menurut umur.

Dengan melihat proporsi penduduk laki-laki dan perempuan dalam tiap

kelompok umur pada piramida tersebut, dapat diperoleh gambaran mengenai sejarah

perkembangan penduduk masa lalu dan perkembangan penduduk masa yang akan

datang. Struktur umur penduduk saat ini merupakan hasil kelahiran, kematian dan

migrasi masa lalu. Sebaliknya, struktur umur penduduk saat ini akan menentukan

perkembangan penduduk di masa yang akan datang. Berikut adalah piramida

penduduk Kota Salatiga tahun 2010 (Sensus Penduduk, 2010) dan tahun 2013.

Page 58: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

55  

Bagan: Piramida Penduduk Kota Salatiga Tahuin 2010 dan 2013

Dari dua piramida penduduk kota Salatiga tahun 2010 dan 2013 menunjukkan

bahwa telah terjadi perubahan struktur umur penduduk kota Salatiga yang lebih

didominasi penduduk usia dewasa (15 – 60 tahun) dengan penduduk usia muda (0 -14

tahun) yang lebih kecil. Selama kurun waktu 3 tahun bentuk piramida penduduk kota

Salatiga semakin cembung ditengah dan semakin sempit di bagian bawah yang berarti

jumlah penduduk muda semakin turun, sedangkan jumlah penduduk dewasa semakin

meningkat. Demikian juga bagian atas piramida yang sedikit melebar menunjukkan

semakin banyaknya jumlah penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas). Dari piramida

penduduk ini dapat digunakan untuk memprediksi besarnya ratio ketergantungan dan

juga angka harapan hidup. Atas dasar piramida di atas dapat dinyatakan bahwa Kota

Salatiga memiliki ratio ketergantungan yang semakin kecil (Bonus Demografi) dan

angka harapan hidup yang semakin meningkat.

Tabel 4.4

Struktur Penduduk Kota Salati

Umur Laki-Laki Perempuan Total 0 – 4 7.262 6.677 13.939 5 – 9 6.957 6.769 13.726 10 – 14 6.916 7.015 13.931 15 – 19 7.465 7.552 15.017 20 – 24 8.299 8.399 16.698 25 – 29 7.646 7.971 15.617 30 – 34 6.995 7.167 14.162 35 – 39 6.686 6.815 13.501 40 – 44 6.044 6.631 12.675 45 – 49 5.676 6.369 12.045 50 – 54 5.429 5.854 11.283 55 – 59 4.372 4.445 8.817

Page 59: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

56  

60 – 64 2.614 2.713 5.327 65 – 69 1.686 2.065 3.751 70 – 74 1.279 1.716 2.995 75 + 2.017 3.093 5.110 Jumlah 87.343 91.251 178.594

Jumlah Total Penduduk

2012 173.874 2011 172.485 2010 171.327 2009 170.024 2008 168.981

Sumber: Statistik Daerah Kota Salatiga 2014, Diolah

Karakteristik penduduk menurut umur dan jenis kelamin Kota Salatiga tahun

2013 merupakan sebuah gambaran stuktur penduduk yang sangat menarik untuk

dilakukan kajian, karena dari karakteristik tersebut dapat diketahui jumlah penduduk

berdasar pengelompokan umur dan jenis kelamin, dan yang menarik pada perbedaan

jumlah penduduk berdasar kelompok umur di Kota Salatiga jumlah terbesar pada

kelompok umur dewasa/produktif (15 – 59 tahun) , dan kelompok umur muda/belum

produktif (0 – 14 tahun) dan tidak produktif (65 tahun ke atas) relatif rendah. Struktur

penduduk Kota Salatiga ditunjukkan pada tabel dan piramida di atas.

2) Persebaran dan Kepadatan Penduduk

Persebaran penduduk atau disebut juga distribusi penduduk menurut tempat

tinggal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu persebaran penduduk secara geografis

dan persebaran penduduk secara administratif, disamping itu ada persebaran penduduk

menurut klasifikasi tempat tinggal yakni desa dan kota. Secara geografis, penduduk

Salatiga tersebar di wilayah provinsi Jawa Tengah dan terletak diantara dua kota pusat

pengembangan yaitu Kota Semarang dan Surakarta. Secara administratif (dan politis),

penduduk Salatiga tersebar di 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Argomulyo, Kecamatan

Tingkir, Kecamatan Sidomukti, dan Kecamatan Sidorejo.

Page 60: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

57  

0,37%Jawa Tengah 2010

1,49%Indonesia 2010

5,64%

1,49%Indonesia 2050*

Papua 2010

+5,27%

Variasi Pertumbuhan Penduduk

Salatiga 2010 : 1.09%

Salatiga Ke-3 terbesar setelahSemarang & Jepara

Bagan: Posisi Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga Di antara Pertumbuhan Penduduk

Provinsi dan Nasional

Jika dilihat dari distribusi penduduk di 4 kecamatan yang ada di Kota Salatiga,

menunjukkan tingkat ketersebaran/distribusi yang relative cukup merata. Namun jika

dilihat dari konsentrasi jumlah penduduk maka kecamatan Sidorejo menempati urutan

pertama dengan jumlah penduduk tertinggi, sedangkan untuk ketiga kecamatan

lainnya jumlah penduduknya relative hampir seimbang (lihat tabel 3.3). Namun jika

dilihat dari indicator tingkat kepadatannya maka kecamatan Tingkir merupakan

kecamatan yang paling tinggi kepadatannya, sedangkan kecamatan Sidorejo

menduduki peringkat ke-3 setelah kecamatan Sidomukti, dan kecamatan Argomulyo

merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk paling rendah.

Page 61: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

58  

Tabel 4.5 Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2009 - 2013

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kepadatan penduduk di masing-

masing kecamatan yang ada di kota Salatiga memiliki trend yang semakin meningkat.

Hal ini dimungkinkan karena perkembangan penduduk baik secara natural growth

maupun migrasi dari tahun- ke tahun di Salatiga selalu mengalami peningkatan,

sedangkan luasan wilayah cenderung tetap, sehingga tingkat kepadatan akan selalu

meningkat. Jika dilihat dari data kepadatan penduduk tersebut, menunjukkan bahwa

tingkat pembangunan kota Salatiga di 4 kecamatan tersebut menunjukkan tingkat

intensifikasi yang sama.

Page 62: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

59  

Tabel 4.6. Jumlah Dan Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2009-2013

No Kelurahan

2009 2010 2011 2012 2013

Jml Penddk

Kepadatan per Km²

Jml Penddk

Kepadatan per Km²

Jml Penddk

Kepadatan per Km²

Jml Penddk

Kepadatan per Km²

Jml Penddk

Kepadatan per Km²

A Kec. Sidorejo 49.683 3,058 50.024 3,079 52.357 3,223 52.688 3,243 54.074 3,328

1 Blotongan 10.367 2,446 10.599 2,501 11.642 2,747 11.822 2,790 11.592 2,735

2 Sidorejo Lor 12.622 4,647 12.697 4,675 14.407 5,304 14.440 5,317 14.914 5,491

3 Salatiga 16.385 8,111 16.298 8, 068 `16.111 7,976 16.004 7,923 17.130 8,480

4 Bugel 2.823 .959 2.844 966 2.824 959 2.844 966 2.886 980

4 Kauman Kidul 3.777 1,929 3.864 1,973 3.643 1,861 3.778 1,930 3.639 1,858

5 Pulutan 3.709 1,564 3.722 1,570 3.730 1,573 3.800 1,603 3.913 1,650

B Kec. Tingkir 41.952 3,977 39.978 3,987 40.562 3,811 41.150 3,830 41.723 3,955

1 Kutowinangun 20.518 6,984 19.187 6,967 19.447 6,645 19.707 6,482 19.961 6.794

2 Gendongan 5.373 7,798 4.961 7,676 5.022 7,010 5.083 6,961 5.142 7.463

3 Sidorejo Kidul 5.239 1,888 5.417 1,952 5.216 1,984 5.306 2,008 5.398 1,945

4 Kalibening 1.642 1,649 1.762 1,648 1.790 1,784 1.817 1,767 1.845 1.825

5 Tingkir Lor 4.758 2,684 4.209 2,698 4.273 2,405 4.338 2,418 4.401 2,428

6 TingkirTengah 4.422 3,209 4.733 3,233 4.814 3,509 4.897 3,539 4.976 3,611

C Kec. Argomulyo 41.816 2,257 40.212 2,302 40.853 2,210 41.500 2,244 42.133 2,274

1 Noborejo 5.068 1,526 5.074 1,527 5.158 1,553 5.243 1,578 5.326 1,603

2 Ledok 10.578 1,682 9.486 5,065 9.630 5,141 9.774 5,218 9.915 5,294

3 Tegalrejo 10.351 5,494 9.915 5,263 10.079 5,349 10.246 5,438 10.409 5,525

4 Kumpulrejo 7.236 3,864 6.581 1,047 6.682 1,062 6.785 1,079 6.887 1,095

5 Randuacir 4.580 1,213 4.904 1,299 4.988 1,321 5.071 1,343 5.153 1,365

6 Cebongan 4.001 2,897 4.252 3,079 4.316 3,125 4.381 3,172 4.443 3,217

D Kec. Sidomukti 36.573 3,912 36.611 3,195 38.975 3,401 39.208 3,422 40.664 3,549

1 Kecandran 4.959 1,242 4.958 1,242 5.150 1,290 5.245 1,314 5.319 1,322

2 Dukuh 9.786 2,594 10.001 2,651 11.736 3,111 11.892 3,153 12.058 3,194

3 Mangunsari 14.968 5,147 14.894 5,122 15.678 5,391 15.770 5,423 16.380 5,633

4 Kalicacing 6.860 8,717 6.758 8,587 6.411 8,146 6.301 8,006 6.907 8,776

Jumlah Total 170.024 2,994 171,327 3,017 172.485 3,038 173.874 3,062 178.594 3,145

Sumber: Salatiga Dalam Angka Diolah , 2014

Page 63: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

60  

Penduduk Kota Salatiga relatif terdistribusi secara merata di seluruh wilayah.

Umumnya penduduk banyak terkonsentrasi di daerah pusat kota dan sub urban

dibandingkan di wilayah peripheri. Secara rata-rata, kepadatan penduduk kota salatiga

pada tahun 2013 tercatat sebesar 3,145 jiwa/Km2 (kategori tingkat kepadatan sedang).

Untuk mengetahui tingkat konsentrasi penduduk di Kota Salatiga dapat digunakan

dengan perhitungan tingkat kepadatan penduduk aritmatik (KPA), yaitu jumlah

penduduk yang menempati 1 Km² atau dengan penghitungan jumlah penduduk dibagi

luas wilayah (Km2). Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel di atas. Dari tabel

tersebut menunjukkan bahwa ada delapan kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan

penduduk yang sangat tinggi, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga

(Kecamatan Sidorejo), Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan

(Kecamatan Tingkir), Kelurahan Ledok dan Kelurahan Tegalrejo (Kecamatan

Argomulyo) serta Kelurahan Mangunsari dan Kelurahan Kalicacing (Kecamatan

Sidomukti)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penduduk Kota Salatiga pada tahun

2009 berjumlah 170.024 jiwa dan pada umumnya mengalami peningkatan tiap tahun,

akan tetapi pada tahun 2013 mencapai angka 178.594 jiwa. Artinya ada lonjakan

jumlah penduduk sebesar 4720 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar

2.71 %. Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh angka kelahiran dan

kematian serta migrasi. Sedangkan kelurahan-kelurahan yang ada di Salatiga, pada

umumnya semua mengalami kenaikan, hanya ada enam kelurahan yang mengalami

penurunan jumlah penduduk, empat kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah

penduduk sedang dan dua kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang

tinggi.

Kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk adalah Kelurahan

Kauman Kidul (Kecamatan Sidorejo), Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan

Gendongan dan Kelurahan Tingkir Lor (Kecamatan Tingkir), Kelurahan Ledok dan

Kelurahan Kumpulrejo (Kecamatan Argomulyo). Kelurahan yang mengalami

kenaikan jumlah penduduk sedang adalah Kelurahan Sidorejo lor (Kecamatan

Sidorejo), Kelurahan Tingkir Tengah (Kecamatan Tingkir), Kelurahan Randuacir dan

Kelurahan Cebongan (Kecamatan Argomulyo). Sedangkan kelurahan yang mengalami

kenaikan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kelurahan Dukuh dan Kelurahan

Mangunsari (Kecamatan Sidomukti).

Page 64: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

61  

Jumlah penduduk Kota Salatiga Tahun 2013 yaitu 178.594 jiwa dengan luas

wilayah 5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dengan Kepadatan per Km² mencapai 3.145.

Jumlah penduduk tertinggi di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidorejo sebesar

54.074 jiwa dengan kepadatan per Km² 3.328 dengan luas Kecamatan 16,247 Km²,

kemudian Kecamatan Argomulyo 42.133 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.274 per

Km² dengan luas 18,526 Km² , Kecamatan Tingkir sebesar 41.723 jiwa dengan

kepadatan penduduk per Km² sebesar 3.355 jiwa dengan luas sebesar 10,549 Km², dan

jumlah penduduk terendah di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidomukti yaitu

sebesar 40.664 jiwa dengan kepadatan 3.549 jiwa per Km² dengan luas 11.459 Km².

Sedangkan jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Sidorejo yaitu di

Kelurahan Salatiga yaitu sebesar 17.130 jiwa dengan kepadatan 8.480 dengan luas

2,020 Km² dan terendah terdapat di Kelurahan Bugel yaitu sebesar 2.886 jiwa dengan

kepadatan 980 Km² dengan luas 2,944 Km². Kemudian di Kecamatan Argomulyo

jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kelurahan Tegalrejo yaitu sebesar 10.409

dengan kepadatan penduduk 5.525 per Km² dengan luas 1,884 Km² dan jumlah

penduduk terendah di Kelurahan Cebongan sebesar 4.443 jiwa dengan kepadatan

penduduk 3.217 dan luas 1,381 Km². Kecamatan Tingkir jumlah penduduk tertinggi di

Kelurahan Kutowinangun sebesar 19.961 jiwa dengan kepadatan penduduk 6,794 per

Km² dan luas 2,938 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Kalibening

sebesar 1.845 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.852 dan luas 9,96 Km². Jumlah

penduduk tertinggi di Kecamatan Sidomukti yaitu di Kelurahan Mangunsari sebesar

16.380 jiwa dengan luas 2.908 Km² dan kepadatan penduduk 5,633 sedangkan jumlah

penduduk terendah di Kelurahan Kecandran sebesar 5.319 jiwa dengan luas 3,992

Km² dan kepadatan penduduk 1,322.

Apabila menggunakan patokan angka kepadatan penduduk, yaitu kategori

kepadatan Sangat Tinggi (> 6 004/ km2), kategori kepadatan tinggi (4.003 – 6.004/

Km2), Kategori kepadatan Sedang (2.002 – 4.002 / Km2) dan kategori Kepadatan

rendah (< 2.002 / km2), maka hanya ada lima wilayah kelurahan yang dikategorikan

sangat tinggi. Pertama yaitu Kelurahan Kalicacing dengan angka kepadatan mencapai

8.776, hal ini terjadi karena lokasi tersebut memiliki wilayah yang tidak luas, akan

tetapi penduduk yang tinggal di lokasi tersebut sangatlah banyak atau terlalu banyak

(overcrowded), sehingga menjadikan angka kepadatannya sangat tinggi. Lokasi

Kelurahan Kalicacing merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota yaitu Salatiga,

Page 65: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

62  

sehingga akses jalan, perekonomian, toko, transportasi sangat mendudukung untuk

ditinggali.

Kedua adalah Kelurahan Salatiga dengan angka kepadatan penduduk mencapai

8.480 jiwa/ Km2 dikatakan sangat tinggi karena lokasi ini merupakan pusat kota, jadi

banyaknya toko, akses jalan, fasilitas publik menjadi magnet bagi penduduk untuk

tinggal di lokasi tersebut. Ketiga adalah Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan

Gendongan, kedua kelurahan ini merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota

Salatiga, dekatnya akses untuk ke fasilitas publik, akses jalan, dekat dengan pusat

perekonomian menjadikan kedua kelurahan ini banyak ditinggali.

Selain itu ada dua kelurahan yang jumlah penduduknya meningkat drastis,

yaitu Kelurahan Dukuh dan Mangunsari (Kecamatan Sidomukti), hal ini disebabkan

adanya JB atau Jalan Baru (Jalan Lingkar Selatan) menjadikan daerah di sekeliling

jalan tersebut menjadi berkembang. Fakta yang terjadi adalah semenjak Jalan Baru

tersebut selesai dibuat maka banyak pembangunan dilakukan, seperti pertokoan, ruko,

rumah penduduk, perumahan, dan sekolah-sekolah, serta harga tanah atau rumah di

pusat kota yaitu Salatiga sudah terlampau mahal menjadikan masyarakat bergeser

untuk mencari lokasi yang harga tanah atau rumah masih murah dan akses jalan atau

transportasi mudah, hal inilah yang menjadikan jumlah penduduk di dua kelurahan

tersebut meningkat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar Peta Kepadatan

Penduduk dan Peta Pola Penggunaan Ruang Kota Salatiga berikut ini.

Trend perkembangan penduduk Kota Salatiga yang cenderung meningkat dari

tahun ke tahun baik dari aspek kuantitas maupus aktifitasnya, berimplikasi terhadap

permintaan akan ruang yang semakin meningkat pula, hal ini tercermin pada distribusi

tingkat kepadatan yang semakin tinggi pada berbagai wilayah Kota Salatiga.

Page 66: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

63  

Gambar

Peta Kepadatan Penduduk Kota Salatiga 2014

Page 67: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

64  

Gambar

Peta Pola Ruang Kota Salatiga Tahun 2014

Page 68: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

65  

3) Mobilitas Penduduk

Dalam pertumbuhan penduduk salah satu komponen yang penting adalah

mobilitas penduduk (migrasi). Banyaknya masyarakat atau penduduk yang melakukan

mobilitas atau migrasi karena berbagai alasan, seperti untuk memperoleh pendidikan

yang lebih baik atau pekerjaan yang lebih baik atau karena mengikuti anggota

keluarga lain yang berpindah – suami misalnya.

Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu

tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas

politik/negara (migrasi internasional). Atau sederhananya migrasi adalah perpindahan

yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Ada dua

dimensi penting dalam penalaahan migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan

dimensi waktu. Digunakan batasan waktu, misal berapa tahun untuk migran, jika dia

tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang baru itu paling sedikit

6 bulan lamanya. Atau dari dimensi ruang atau daerah, adalah penduduk tersebut

pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain dalam jangka waktu tertentu.

Mobilitas penduduk (migrasi) ada yang bersifat permanen dan tidak

permanen.Dua jenis mobilitas penduduk yang tidak permanen ialah migrasi sirkuler

dan migrasi ulang-alik. Migrasi sirkuler atau migrasi musiman, yakni migrasi yang

terjadi jika seseorang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat

tujuan. Sedangkan migrasi ulang-alik (commuter) yakni orang yang setiap hari

meninggalkan tempat tinggalnya pergi ke kota lain untuk bekerja atau berdagang dan

sebagainya tetapi pulang pada sore atau malam harinya, Sedangkan mobilitas

penduduk permanen diantaranya migrasi seumur hidup, migrasi risen, dan migrasi

total. Migrasi seumur hidup (lift time migration) artinya bahwa seseorang dikatakan

sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempat tinggal waktu

lahir.

Perilaku mobilitas penduduk Kota Salatiga selalu mengalami perubahan dari

tahun ke tahun. Semakin padatnya kota Salatiga tidak terlepas dari aspek perilaku

mobilitas penduduk, hal ini jika diamati dari perkembangan mobilitas penduduk

Salatiga mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah

penduduk yang datang ke Salatiga selalu menunjukkan angka yang lebih besar dari

pada penduduk yang pergi.

Page 69: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

66  

Tabel 4.7. Mobilitas Penduduk Kota Salatiga tahun 2013

No Aspek TAHUN 2009 2010 2011 2012

1 Total Jumlah Penduduk Kota Salatiga

170.024 171.327 172.485 173.874

2 Jumlah Penduduk Datang Kota Salatiga

4469 5113 5577 4398

3 Jumlah Penduduk Pergi Kota Salatiga

3886 4627 3367 3477

4 IMIGRASI 26,28 29,84 32,33 25,29 5 EMIGRASI 22,85 27,006 19,52 19,99

Sumber: Salatiga Dalam Angka 2013

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk datang secara

signifikan lebih besar dari pada jumlah penduduk pergi. Dalam konteks perkembangan

penduduk maka sumbangan perilaku mobilitas ini secara signifikan berpengaruh

cukup besar terhadap terjadinya pertumbuhan penduduk yang ada di Kota Salatiga.

Berdasarkan tabel tersebut sumbangan terbesar terhadap perkembangan dan kepadatan

penduduk di Salatiga terjadi pada tahun 2011, dimana ada penambahan penduduk

sebesar 2210 jiwa dan pada tahun 2012 mengalami penurunan walaupun secara

signifikan masih cukup tinggi yakni sebasar 921 jiwa. Yang perlu dicermati terkait

dengan perilaku mobilitas ini adalah keingnan menetap atau tidaknya migran di daerah

tujuan (Salatiga). Jika mereka tidak ada keinginan menetap maka disebut sebagai

migrasi sirkuler, artinya mereka secara resmi atau administrasi masih tercatat dan

terikat dengan daerah asal dan biasanya ini terjadi secara musiman. Kota Salatiga

dapat dikatakan sebagai center/pusat yang memiliki daya tarik bagi kota-kota atau

daerah-daerah disekitarnya sebagai satelit, sehingga alasan ekonomi menjadi faktor

utama terjadinya migrasi sirkuler. Perilaku mobilitas ini nampak nyata pada musim-

musim tertentu seperti pada hari-hari besar dimana banyak terjadi migrasi sirkuler

(“mboro”) atau musim tanam di perdesaan dan musim kemarau panjang.

Berbeda dengan perilaku mobilitas penduduk permanen, dimana dari tabel di

atas menunjukkan bahwa jumlah migrant masuk di Salatiga cukup tinggi dari tahun ke

tahun. Hal ini menggambarkan bahwa kota Salatiga mempunyai kelebihan-kelebihan

tertentu sehingga menjadi magnet bagi penduduk daerah lain untuk dimasuki sebagai

tempat tinggal yang baru, Artinya Kota Salatiga secara social-ekonomi-politik

Page 70: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

67  

dipandang oleh migran memiliki kelebihan bila dibandingkan daerah sekitar lannya

sehingga mendorong mereka untuk memasukinya.

Melihat kondisi mobilitas yang terjadi di Salatiga, maka perlu adanya

pengarahan mobilitas penduduk secara optimal, dengan mendasarkan pada

keseimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung

lingkungan.

4) Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan parameter yang secara

internasional digunakan untuk mengukur tingkat kualitas manusia. Besarnya nilai

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dapat menjadi gambaran tentang capaian tingkat

kesejahteraan masyarakat ditinjau dari tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli

masyarakat. IPM Kota Salatiga dari tahun 2009-2012 cenderung mengalami

peningkatan. IPM Kota Salatiga dari tahun 2009-2012 memiliki nilai lebih tinggi

daripada IPM Jawa Tengah tahun 2009-2012. Berikut perkembangan nilai IPM Kota

Salatiga dibandingkan dengan nilai IPM Jawa Tengah.

Tabel 4.8. Perbandingan IPM Kabupaten/Kota di Jawa Tengah

NO KABUPATEN/KOTA 2009 2010 2011 2012 1 Kota Semarang 76,90 77,11 77,42 77,98 2 Kota Salatiga 76,11 76,53 76,83 77,13 3 Kab.Kendal 70,07 70,41 76,83 71,48 4 Kab.Semarang 73,66 74,41 74,45 74,98 5 Kab.Demak 73,66 74,10 74,45 73,52 6 Kab.Grobogan 70,60 70,63 71,27 71,77 7 Jawa Tengah 71,25 72,49 72,94 73,13

Sumber: TKPK Jawa Tengah, 2014

Angka IPM Kota Salatiga pada tahun 2012 sebesar 77,13 meningkat 0,39

persen dibanding tahun 2011 yang sebesar 76,83 persen. Lambatnya kenaikan IPM ini

dapat dipahami, mengingat dampak dari investasi di sektor kesehatan dan pendidikan

khususnya terhadap peningkatan indikator penyusun IPM biasanya baru terlihat secara

nyata dalam jangka panjang.

Page 71: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

68  

4.5. Potensi Daerah

A. Ratio Pegawai Negeri Terhadap Penduduk

Pada tahun 2013 jumlah karyawan di Salatiga baik PNS, karyawan tetap

maupun kontrak di kota Salatiga berjumlah 5.751 orang, dimana sekitar 80,09 persen

adalah pegawai tetap dan 19,91 persen. Pada tahun 2013 jumlah penduduk Salatiga

sebesar 178.594 jiwa, dengan demikian maka ratio PNS terhadap penduduk adalah

sebesar 1: 31.054, artinya setiap 1 pegawai negeri sipil melayani sebanyak 31.054

penduduk

Tabel 4.9. Jumlah PNS Di Salatiga Tahun 2013

No. PNS Jumlah Persentase Ratio PNS - Penduduk

1 Pegawai Tetap 4606 80.09

2 Pegawai Kontrak 1145 19.91

Total PNS 5751 100.00

Rasio Jumlah PNS Terhadap Penduduk 31.0544

Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah

B. Rasio Fasilitas Kesehatan Terhadap Penduduk

Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai sangat diperlukan dalam upaya

peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat. Ketersediaan akan fasilitas ini

tentunya tidak hanya bisa dicukupi dari pemerintah saja tetapi juga dari dukungan

swasta. Berikut adalah fasilitas kesehatan di Kota Salatiga tahun 2013

Tabel 4.10 Rasio Fasilitas Kesehatan Per 10.000 Penduduk

No. Fasilitas Kesehatan Jumlah Persentase Rasio per 10.000 penduduk

1 Rumah Sakit 6 7.32

2 Puskesmas 6 7.32

3 PUSTU 23 28.05

4 RS. Bersalin 1 1.22

5 Poliklinik 16 19.51

6 Apotek 30 36.58

Total Fasilitas Kesehatan 82 100.00

Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk 121.95

Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah

Page 72: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

69  

Dari tabel nampak fasilitas kesehatan yang ada di Kota Salatiga cukup

beragam yakni meliputi Rumah Sakit, Puskesmas, PUSTU (Puskesmas Pembantu), RS

Bersalin, Poliklinik, dan Apotek. Jumlah keseluruhan fasilitas kesehatan ada 82,

dengan demikian besarnya rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk adalah 1:

121.95, artinya setiap 1 fasilitas kesehatan melayani sebanyak 121.95 atau 122

penduduk.

Kota Salatiga dapat dikatakan memiliki fasilitas kesehatan yang cukup banyak

bila dibanding dengan wilayah sekitar. Hal ini dapat dilihat dari besaran jumlah

pemanfaat fasilitas kesehatan yang ada di salah satu Rumah Sakit di Kota Salatiga.

Tabel 4.11. Data Jumlah dan Asal Pasien Di BPRSUD Kota Salatiga Tahun 2010 – 2014

Tahun Kota

Salatiga Luar Kota

Salatiga Jumlah Keterangan 2010 34,518 30,091 64,609 2011 28,103 26,169 54,272

2012 Masa transisi dari sistem manual ke komputerisasi

2013 27,864 32,506 60,370 2014 30,205 38,046 68,251

Sumber : BPRSUD Kota Salatiga, 2015

Dari tabel nampak bahwa jumlah pasien berasal dari luar Kota Salatiga yang

memanfaatkan Rumah Sakit di BPRSUD Salatiga dari tahun ke tahun menunjukkan

peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan sejak tahun 2013 – 2014 jumlah pasien

dari luar Salatiga yang memanfaatkan fasilitas kesehatan di BPRSUD lebih banyak

dari pada penduduk Salatiga itu sendiri.

C. Rasio Tenaga Medis Per 10.000 Penduduk

Pada tahun 2013, Kota Salatiga memiliki tenaga medis (dokter umum, dokter

spesialis, dokter gigi, dan bidan) berjumlah 408. Dari jumlah tersebut persentase

terbesar adalah dokter umum (42.65 persen). Perkembangan tenaga medis di Salatiga

ini sejalan dengan perkembangan fasilitas kesehatan yang ada.

Jika dilihat dari besarnya rasio tenaga medis per 10.000 penduduk, maka secara

keseluruhan rasionya adalah 1:25, artinya setiap satu tenaga medis mampu

menjangkau sekitar 25 orang. Namun jika dilihat dari variasi tenaga medis maka rasio

terbesar adalah pada tenaga medis dokter spesialis (1:118) dan dokter gigi (1:233).

Page 73: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

70  

Tabel 4.10 Rasio Tenaga Medis Per 10.000 Penduduk

No. Tenaga Medis Jumlah Persentase Rasio per 10.000 penduduk

1 Dokter Umum 174 42.65 57.47

2 Dokter Spesialis 85 20.83 117.65

3 Dokter Gigi 43 10.54 232.56

4 Bidan 106 25.98 94.34

Total Tenaga Media 408 100.00

Rasio Tenaga Medis per 10.000 penduduk 24.51 (25)

Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah

Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka membawa konsekuensi

terhadap kebutuhan tenaga medis khususnya untuk dokter spesialis yang rasionya

masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan tenaga medis lainnya.

D. Rasio Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank Per 10.000 Penduduk

Menurut Statistik Daerah Kota Salatiga Tahun 2014, jumlah Bank di Kota

Salatiga dari tahun 2005 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan. Jumlah terakhir

bank yang ada di Kota Salatiga mencapai 23 Bank, dimana 5 Bank dari pemerintah, 16

dari swasta Nasional dan 2 Bank dari Pemerintah daerah.

Sedangkan jumlah koperasi atau lembaga keuangan non bank, di Kota Salatiga

mencapai 203 koperasi. Angka ini terdiri dari Koperasi Pegawai Negeri sebanyak 28,

Koperasi ABRI sebanyak 6, Koperasi Karyawan sebanyak 33, Koperasi Simpan

Pinjam sebanyak 28, Koperasi Pedagang Pasar sebanyak 4, Koperasi Pensiunan

Pegawai Negeri sebanyak 3, Koperasi Veteran sebanyak 2, Koperasi Kepolisian

sebanyak 1, Koperasi Tahu Tempe sebanyak 1, Koperasi Wanita sebanyak 6, Koperasi

Unit Desa sebanyak 1, Pusat Koeprasi sebanyak 1, Kopinkra sebanyak 1, Koperasi

Pedagang Kaki lima (PKL) sebanyak 1, Koperasi Mahasiswa sebanyak 1, Koperasi

Lain-lain sebanyak 14, KSU sebanyak 57, Koperasi Pondok Pesantren sebanyak 9 dan

Koperasi Pemuda sebanyak 3.

Hasil penggabungan antara Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank akan

diperoleh angka Bank (23) + Koperasi (203) = 226. Untuk ratio bank dan lembaga

keuangan non bank menjadi 226 : 10.000 atau sama dengan 1 : 44,24, artinya 1 bank

atau lembaga keuangan non bank akan melayani 44 nasabah.

Page 74: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

71  

E. Rasio Pasar per 10.000 Penduduk

Pasar yang berfungsi sebagai tempat yang sangat vital untuk pertumbuhan

ekonomi, dimana pasar berperan sebagai tempat penyalur barang. Di Kota Salatiga

sendiri sekarang ini sudah banyak hadir pusat perbelanjaan modern seiring dengan

globalisasi. Akan tetapi walaupun pusat perbelanjaan modern sudah menjamur

kehadiran passar tradisional masih tetap ada. Di Kota Salatiga sendiri terdapat 14 unit

pasar tradisional pada tahun 2013.

Untuk ratio pasar per 10.00 penduduk menjadi 14: 10.000 dengan hasil yaitu 1:

714, 28, yang artinya bahwa satu pasar melayani 714 orang pembeli di Kota Salatiga.

Dari hasil penelitian mahasiswa UKSW, jurusan Sosiologi-Fiskom, Bagus Trianggono

(2015), mengungkapkan bahwa di Kota Salatiga kehadiran PKL sekarang ini sangatlah

meningkat, terutama pada pasar tiban di jalan baru atau (JB). Dari 700 PKL yang ada

di Jalan Baru (JB) kebanyakan berasal dari luar Kota Salatiga, adapun daerah tersebut

adalah Pemalang, Kudus, Demak, Tegal, Pekalongan, Kebumen, Solo, Temanggung.

Untuk persentasenya dari 700 PKL yang asli Salatiga yang terbagi menjadi 4

Kecamatan hanya 30% selebihnya di luar Kota Salatiga. Penelitian tersebut

menguatkan bahwa Kota Salatiga memiliki daya magnet yang kuat di sektor

perekonomian.

F. Rasio Sekolah SD per Penduduk Usia SD

Jumlah SD di Kota Salatiga mencapai 95 sekolah tersebar di empat

Kecamatan. Dengan jumlah sekolah SLTP terbanyak berada pada Kecamatan Sidorejo

dengan 30 sekolah lalu Sidomukti dengan 17 sekolah, dan Argomulyo sebanyak 27

sekolah serta Tingkir terdiri dari 21 sekolah.

Sedangkan untuk jumlah siswa SD di kota Salatiga mencapai angka 17.074

siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa

SD sebanyak 6.266, Kecamatan Sidomukti sebanyak 3.012, Kecamatan Tingkir

sebanyak 4.426 dan Kecamatan Argomulyo sebanyak 3.370 siswa.

Dengan demikian Rasio sekolah SD per penduduk usia SD adalah 30 SD :

17.074. Hasilnya adalah 177, jadi setiap satu sekolah SD mampu menampung siswa

sebanyak 177 siswa.

Page 75: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

72  

G. Rasio Sekolah SLTP per Penduduk Usia SLTP

Jumlah SLTP di Kota Salatiga mencapai 23 sekolah tersebar di empat

Kecamatan. Dengan jumlah sekolah SLTP terbanya berada pada Kecamatan Sidorejo

dengan 13 sekolah lalu Sidomukti dengan 4 sekolah, dan Argomulyo dan Tingkir,

masing-masing terdiri dari 3 sekolah.

Sedangkan untuk jumlah siswa SLTP di kota Salatiga mencapai angka 9.244

siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa

SLTP sebanyak 4.737, Kecamatan Sidomukti sebanyak 2.039, Kecamatan Tingkir

sebanyak 1.063 dan Kecamatan Argomulyo sebanyak 1.405 siswa.

Dengan demikian Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP adalah 23

SLTP : 9.244. Hasilnya adalah 402, jadi setiap satu sekolah SLTP mampu menampung

siswa sebanyak 402 siswa.

H. Rasio Sekolah RT per Penduduk Usia RT

Jumlah RT di Kota Salatiga mencapai 8 sekolah tersebar di empat Kecamatan.

Dengan jumlah sekolah RT terbanya berada pada Kecamatan Sidorejo dengan 6

sekolah lalu Sidomukti dengan 1 sekolah, dan Argomulyo tidak ada sekolah RT dan

Tingkir, terdiri dari 1 sekolah.

Sedangkan untuk jumlah siswa RT di kota Salatiga mencapai angka 4.142

siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa

RT sebanyak 2.663, Kecamatan Sidomukti sebanyak 539, Kecamatan Tingkir

sebanyak 0 dan Kecamatan Argomulyo sebanyak 940 siswa.

Dengan demikian Rasio sekolah RT per penduduk usia RT adalah 8 RT :

4.142. Hasilnya adalah 518, jadi setiap satu sekolah RT mampu menampung siswa

sebanyak 518 siswa.

Page 76: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

73  

I. Persentase Rumah Tangga (Penduduk Kota Salatiga) Yang Mempunyai

Kendaraan Bermotor

Jumlah RT di Kota Salatiga mencapai 1.070 RT tersebar di empat Kecamatan.

Dengan jumlah RT terbanyak berada pada Kecamatan Sidorejo dengan 303 RT lalu

Sidomukti dengan 220 RT, Tingkir dengan 292 RT, dan Argomulyo dengan 255 RT.

Untuk jumlah penduduk kota Salatiga mencapai 178.594 penduduk.

Sedangkan untuk jumlah kendaraan bermotor di Kota Salatiga mencapai

108.313 kendaraan. Angka ini terbagi menjadi 5 kategori, yaitu Kendaraan Bermotor

Roda 2 sebanyak 86.240, Kendaraan Bermotor Penumpang sebanyak 17.692, Bus

Mikro bus sebanyak 408, Kendaraan Bermotor Beban sebanyak 3.922, dan Kendaraan

Bermotor Khusus sebanyak 51 buah.

Dengan demikian Rasio rumah tangga (penduduk kota salatiga) yang

mempunyai kendaraan bermotor menjadi 178.594 (1.070 RT) : 108.313. Hasilnya

adalah 1,648% artinya bahwa 1 rumah tangga rata-rata bisa memiliki 2 kendaraan

bermotor.

J. Persentase Pelanggan Listrik Terhadap Jumlah Rumah Tangga

Kota Salatiga yang terdiri dari 4 Kecamatan ternyata memiliki angka

pemakaian yang cukup besar. Dari 4 Kecamatan tersebut pemakaian KwH mencapai

angka 1.120.861.825 dan jika dirupiahkan maka akan menjadi 868.698.213.928 ribu

rupiah.

Menurut PT PLN Kota Salatiga, banyaknya pelanggan Rumah Tangga (RT)

yang menggunakan listrik sebesar 287.878. Sedangkan jumlah RT kota Salatiga adalah

1.070 RT. Ratio salatiga memiliki pelanggan 1.070__ x 100% = 3,47

287.878

K. Rasio Panjang Jalan Terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor

Untuk panjang jalan di Kota Salatiga di tahun 2013 terbagi menjadi 4 kategori

yaitu, Diaspal sepanjang 504.642 m, Kerikil sepanjang 90.023 m, Tanah sepanjang

30.841 m dan Lainnya 28.705 m, dengan panjang keseluruhan mencapai 654.211m

Page 77: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

74  

Sedangkan untuk jumlah kendaraan bermotor di Kota Salatiga mencapai

108.313 kendaraan. Angka ini terbagi menjadi 5 kategori, yaitu Kendaraan Bermotor

Roda 2 sebanyak 86.240, Kendaraan Bermotor Penumpang sebanyak 17.692, Bus

Mikro bus sebanyak 408, Kendaraan Bermotor Beban sebanyak 3.922, dan Kendaraan

Bermotor Khusus sebanyak 51 buah.

Untuk ratio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor sebesar

654.211m : 108.313 motor = 6,04. Artinya bahwa setiap m² akan dilalui atau dimasuki

oleh paling tidak 6 kendaraan bermotor. Dengan demikian apabila jalan tersebut tetap/

tidak diperpanjang atau diperlebar, maka akan menimbulkan kesesakan yang

disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor di setiap m²..

4.6. Aspek Ekonomi Dalam Dinamika Pemekaran

Salatiga adalah kota yang unik, kas dan menyenangkan bagi sebagian besar

orang. Orang datang ke Salatiga bukan karena ada “gula-gula” atau sumber ekonomi

yang melimpah, namun karena kondisi alam dan suasana kotanya yang nyaman.

Dengan kondisi seperti tersebut diatas, menyebabkan orang datang dan tinggal di

Salatiga. Mereka kemudian bermukim dan menetap di Salatiga. 20 tahun yang lalu,

penduduk salatiga baru sekitar 100 ribuan. Sekarang sudah lebih dari 200 ribuan. Ini

membutuhkan permukiman.

Dalam kasus permukiman di Salatiga pada khususnya dan Indonesia pada

umumnya, pertumbuhan pemukiman terus berkembang pesat. Pertumbuhan

permukiman ini juga tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan perumahan

dan pertumbuhan perumahan ini akibat meningkatnya jumlah rumah yang dibangun.

Jika ada masyarakat yang membangun rumah, akan diikuti oleh pembangunan rumah

berikutnya sehingga menjadi kumpulan rumah atau perumahan. Dengan ada

perumahan yang terus bertambah maka akan ada masyarakat yang bertempat tinggal,

bertumbuh dan berkembang, yang sering disebut dengan permukiman. Dengan

tumbuhnya permukiman, kemudian akan menjadi daya tarik orang lain untuk

membangun rumah di permukiman tersebut.

Disatu sisi, pertumbuhan permukiman ini sangat baik dari sisi ekonomi namun

disisi lain bisa menimbulkan masalah jika pertumbuhannya tidak terkendali, terencana

dan teratur. Untuk pengendalian dan pembangunan permukiman, kita perlu mengenali

Page 78: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

75  

faktor determinan pertumbuhan permukiman itu sendiri. Dengan mengenali faktor

determinan tersebut, Pemerintah Daerah bisa membuat intervensi melalui instrumen-

instrumen pembangunan baik itu regulasi, insentif dan fasilitasi. Namun jika upaya itu

tidak mampu mengendalikan pertumbuhan permukiman, Pemerintah Kota Salatiga

juga bisa mencari alternatif lain diantaranya adalah pemekaran wilayah.

A. Faktor Determinan Ekonomi Pemekaran

Pemekaran wilayah adalah fungsi dari permukiman. Jika permukiman terus

bertambah maka membutuhkan ruang yang lebih besar. Jika ruang tetap, maka

permukiman akan melampaui batas normal dan menyebabkan masalah.

Permukiman sendiri adalah fungsi dari perumahan. Jika perumahan meningkat

maka secara linier maupun tidak akan menyebabkan pertumbuhan permukiman.Selain

dari pertumbuhan permukiman, pemekaran wilayah juga diperlukan karena tuntutan

pertumbuhan kota. Kota yang semakin bertumbuh menyebabkan volatilitasnya

bertambah tinggi. Dengan luas yang terbatas maka pertumbuhan kota akan terhambat.

Secara garis besar, kerangka pemikiran tentang faktor determinan ekonomi

kebutuhan pemekaran seperti tampak pada gambar dibawah ini.

 

Page 79: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

76  

 Berdasarkan pada kerangka kerja model metabolisme pengembangan kota,

tampak bahwa dalam pengembangan kota, perlu diperhatikan atau memerlukan input

sumberdaya diantaranya adalah ketersediaan lahan. Dengan luas wilayah yang

terbatas, pengembangan kota Salatiga akan terhambat salah satunya akibat

ketersediaan lahan.

Page 80: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

77  

 Untuk mengembangkan kota, tidak terkecuali Salatiga, perlu memperhatikan

beberapa indikator dalam pengembangan kota. Beberapa indikator tersebut seperti

pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas hidup, tata kelola yang baik dalam

pemerintahan dan manajemen serta melindungi lingkungan.

B. Faktor Determinan Pertumbuhan Kota dan Permukiman

1) Pertumbuhan Kota/Wilayah

Salah satu aspek yang mempengaruhi dinamika permukiman adalah

pertumbuhan kota atau wilayah. Kota atau wilayah yang sedang membangun atau

banyak membangun, akan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga pergerakan

tenaga kerja akan mengarah ke kota atau wilayah tersebut.

Pergerakan tenaga kerja ini kemudian menyebabkan permintaan akan rumah

baik secara sewa atau dimiliki akan meningkat. Dengan permintaan rumah meningkat

akan menyebabkan peningkatan permukiman baik pada permukiman yang lama

maupun yang baru.

Pertumbuhan kota juga menyebabkan nilai asset menjadi meningkat sehingga

menyebabkan orang ingin berinvestasi di kota/wilayah tersebut, yang pada akhirnya

Page 81: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

78  

akan menyebabkan perubahan permukiman.Dari hasil survey yang dilakukan di Kota

Salatiga, menurut pendapat responden, dulu pertumbuhan kotanya rendah, lebih dari

70%. Sementara itu sekarang ini mereka mengatakan pertumbuhan Kota Salatiga

tinggi. Lebih dari 56% mengatakan tinggi.

Tabel 4.11. Pertumbuhan Kota Dulu Frequency Percent Valid

Percent Cumulative Percent

Valid Rendah 67 73.6 73.6 73.6 Tinggi 24 26.4 26.4 100.0 Total 91 100.0 100.0

Pertumbuhan Kota Sekarang Frequency Percent Valid

Percent Cumulative

Percent

Valid Rendah 40 44.0 44.0 44.0 Tinggi 51 56.0 56.0 100.0 Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

2) Kegiatan Investasi

Ada dua hal yang terkait dengan kegiatan investasi ini yaitu kegiatan investasi

rumah dan kegiatan investasi secara umum, tidak hanya rumah. Dari makna yang

pertama dimana orang berinvestasi pada rumah, maka permintaan akan rumah

meningkat untuk jadi barang invesitasi.

Dengan pertumbuhan kota dan penduduk, berbagai asset menjadi lebih bernilai

dari sebelummnya. Banyak orang kemudian tertarik untuk membeli rumah baik untuk

ditempati, disewakan maupun untuk dijual kembali.Kondisi inilah yang menyebabkan

perubahan dan pergerakan permukiman, masyarakat memiliki motif untuk investasi

kemudian developer atau dirinya sendiri kemudian membangun rumah dan perumahan

yang akhirnya akan membentuk investasi.

Meskipun tidak banyak, hanya sekitar 6%, responden memilih tinggal di

Salatiga dengan pertimbangan untuk investasi. Nilai yang Kecamatan ini tidak terlepas

dari faktor ekonomi yang ada di Salatiga. Perlu diketahui bahwa Salatiga merupakan

Kota Kecamatan yang awalnya hanya memiliki satu Kecamatan, kemudian

Page 82: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

79  

berkembang menjadi 4 Kecamatan yang berasal dari limpahan Kabupaten Semarang

dengan kondisi yang kurang memadai. Jumlah penduduknya juga relatif Kecamatan,

tidak lebih dari 300 ribu jiwa. Kondisi ini menyebabkan perkembangan nilai investasi

cenderung lambat sehingga investor enggan untuk menginvestasikan modalnya di

Salatiga.

Hasil survey yang dilakukan di Salatiga ternyata hanya sekitar 18% membeli

rumah untuk Ruko. Tidak banyak membeli rumah untuk kepentingan rumah toko.

Tabel 4.12. Rumah Untuk Toko (RUKO)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Tidak menjawab 1 1.1 1.1 1.1Sangat Tidak Setuju

17 18.7 19.3 20.5

Tidak Setuju 53 58.2 60.2 80.7Netral 8 8.8 9.1 89.8Setuju 9 9.9 10.2 100.0Total 88 96.7 100.0

Missing System 3 3.3 Total 91 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Hasil yang agak berbeda tampak bahwa responden membeli rumah karena

untuk investasi, karena menurut mereka, nilai rumah terus meningkat dengan cepat

sehingga selain sebagai tempat tinggal, rumah juga berfungsi sebagai investasi.

Tabel 4.13. Rumah Untuk Investasi Frequency Percent Valid

Percent Cumulative

Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju

7 7.7 7.7 7.7

Tidak Setuju 45 49.5 49.5 57.1Netral 7 7.7 7.7 64.8Setuju 31 34.1 34.1 98.9Sangat Setuju 1 1.1 1.1 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Page 83: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

80  

3) Pertumbuhan Usaha

Dalam kehidupan sehari-hari, pertumbuhan usaha sangat mempengaruhi

pertumbuhan permukiman. Usaha yang semakin bertumbuh, menyebabkan banyak

permintaan material, asset dan tenaga kerja. Dengan peningkatan dan pertumbuhan

usaha, banyak orang yang kemudian tinggal disuatu wilayah dimana usaha itu berada.

Akibatnya permintaan perumahan meningkat dan kemudian permukiman juga tumbuh

dan berkembang. Dengan kata lain, jika disuatu daerah pertumbuhan usahanya pesat,

maka akan diikuti oleh pertumbuhan rumah-perumahan yang akhirnya akan

menumbuhkan permukiman.

Tabel 4.14. Pembangunan Industri

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju

22 24.2 24.2 24.2

Tidak Setuju 42 46.2 46.2 70.3Netral 10 11.0 11.0 81.3Setuju 14 15.4 15.4 96.7Sangat Setuju 3 3.3 3.3 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Tabel 4.15. Usaha Maju Frequency Percent Valid

Percent Cumulative

Percent

Valid

Tidak menjawab 1 1.1 1.1 1.1Sangat Tidak Setuju

9 9.9 10.1 11.2

Tidak Setuju 42 46.2 47.2 58.4Netral 18 19.8 20.2 78.7Setuju 19 20.9 21.3 100.0Total 89 97.8 100.0

Missing System 2 2.2 Total 91 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Page 84: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

81  

4) Jangkauan Layanan Umum Tidak Didukung Potensi Fiskal

Perkembangan pendidikan menjadi daya tarik masyakat Kabupaten Semarang,

sebagian Grobogan, Boyolali dan Kabupaten Magelang bersekolah di Salatiga sejak

Pra Sekolah, Pendidikan dasar, Menengah hingga Perguruan Tinggi. Demikian pula

layanan kesehatan, layanan air minum, air minum, fasilitas transportasi dan drainase

serta infrastruktur militer yang melayani penduduk wilayah lain. Layanan ini relatif

menyedot dana transfer APBN baik Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

untuk penyelenggaraan operasional dan investasi layanan publik. Sementara itu

terlayaninya penduduk daerah lain tidak terakomodasi dalam perhitungan dana

transfer APBN untuk menutup kekurangan (gap) fiskal. Oleh karena perhitungan dana

transfer lebih memperhitungkan luas wilayah, potensi daerah dan jumlah penduduk

daerah yang bersangkutan.

Perkembangan pendidikan tidak saja melayani masyarakat Salatiga tetapi juga

masyarakat di sekitar wilayah Kecamatan Tuntang, Beringin, Pabelan, Tengaran,

Getasan bahkan Kedung Jati dan sebagian Boyolali. Mutu pendidikan, sistem layanan

modern dan kedekatan jarak tempat tinggal peserta didik menjadi pertimbangan

dalam pilihan Sekolah. Selisih Angka Parisipasi Kasar dengan Angka Partisipasi

Murni Sekolah baik pendidikan dasar dan menengah menjadi indikator adanya

penduduk luar daerah terdaftar di Sekolah Salatiga. APK SD/MI sekitar 117,68 %,

dan APM : 100,58 %, sementara itu APK SMP/MTs sekitar 118, 44 %, dan APM :

87,23 %. Sedangkan APK SMA/MA/SMK sekitar 146,38 % dan APM nya sekitar :

105.37%. Perbedaan APK dan APM ini disebabkan penduduk usia di luar sekolah

yang telah terdaftar dan atau terdapat jumlah penduduk dari daerah lain yang terdaftar

di Sekolah yang bersangkutan.

PDAM Kota Salatiga melayani sekitar 28.000 pelanggan, 1.500 pelanggan

penduduk Kabupaten Semarang. Pembangunan reservoir Salatiga di Senjoyo sejak

Belanda diperuntukkan bagi masyarakat di Salatiga. Namun karena posisinya dalam

wilayah Kabupaten Semarang maka kepemilikannya bukan Pemerintah Kota Salatiga.

Layanan 1500 pelanggan ini sebagian besar dari pelanggan kelas A dan B yang

mendapatkan subsidi dari Pemerintah Kota Salatiga.

Pemilik dasaran dan Kios Pasar Blauran, Pasar Raya 1, dan 2, dan Pasar Jetis

serta Rejosari sebagian penduduk Kabupaten Semarang. Lebih dari 65 % pemilik Kios

pada pasar-pasar adalah pengusaha Kelas menengah dari Kecamatan Bringin, Pabelan,

Page 85: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

82  

Tuntang, Getasan, Tengaran, Suruh, Susukan dan sebagian Kabupaten Boyolali, dan

Magelang. Keberadaan pengusaha ini secara ekonomis memiliki kontribusi dalam

perhitungan PDRB dan dukungan PAD. Namun dalam hal pemanfaat dana transfer

pembangunan infrastruktur dan fasilitas perijinan mengurangi kesempatan bagi

penduduk Kota Salatiga.

Layanan Kesehatan RSUD Kota Salatiga juga memberikan layanan BPJS

sebagian masyarakat Kecamatan Bringin, Pabelan, Tuntang, Getasan, Tengaran,

Suruh, Susukan dan sebagian Kabupaten Boyolali, dan Magelang serta Purwodadi.

Rasio layanan kesehatan baik rujukan rawat jalan dan rawat inap penduduk bagi

masyarakat Salatiga dan penduduk luar daerah sekitar 30 : 70 persen.

PAD Kota Salatiga dan DAU relatif terbatas karena terbatasnya wilayah dan

jumlah penduduk. Namun layanan publik tidak hanya bagi masyarakat setempat

namun juga masyarakat Kabupaten Semarang, Kabupaten Magelang bahkan

Purwodadi. Oleh karena dalam memberikan layanan dasar baik bidang pendidikan,

kesehatan, UMKM, dan infrastruktur tidak bisa membatasi secara langsung

berdasarkan domisili penduduk. Namun demikian, tidak bisa kenyataan ini

berlangsung terus menerus. Oleh karena layanan dasar harus meningkat mutu dalam

dinamika kebutuhan masyarakat. Sementaran itu dana transfer APBN tidak korelatif

dengan peningkatan jumlah penduduk yang dilayani. Rasionalisasi layanan berbasis

pengembangan wilayah menjadi pemikiran bersama agar layanan dasar dapat

dipertahankan dan ditingkatkan mutunya seiring dengan dinamika kebutuhan

peningkatan mutu kehidupan masyarakat.

5) Faktor Sosial dan Budaya

Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi

perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat

istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi merupakan

faktor-faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh dan

berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi sarana yang dapat

menunjukkan citra dan jati diri penghuninya. Sebagai contoh permukiman masyarakat

Bali di luar Propinsi Bali. Perumahan mereka menyatu dan membentuk permukiman

masyarakat Bali. Dengan adanya permukiman Bali, akan menarik orang Bali lainnya

untuk datang dan membangun rumah di permukiman tersebut.

Page 86: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

83  

6) Faktor Ekonomi

Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian. Tingkat

perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan perkembangan

permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan mempengaruhi tingkat

pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang, maka makin tinggi pula

kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal ini akan meningkatkan

perkembangan permukiman di suatu daerah. Keterjangkauan daya beli masyarakat

terhadap suatu rumah akan mempengaruhi perkembangan permukiman. Semakin

murah harga suatu rumah di daerah tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli

rumah, maka semakin berkembanglah permukiman yang ada.

Determinan Permukiman: Analisis Ekonomi

1. Harga rumah

2. Pendapatan Masyarakat

3. Tingkat Bunga & Fasilitas pendanaan

4. Lokasi

5. Jumlah Penduduk

6. Pertumbuhan kota/wilayah

7. Kegiatan investasi

8. Pertumbuhan usaha

9. Kebutuhan tempat tinggal

10. Kebijakan pemerintah

Untuk membangun sebuah rumah dibutuhkan waktu yang cukup lama,

umumnya kurang dari setahun, maka untuk pembangunan perumahan secara massal

tentunya diperlukan waktu lebih dari itu. Dengan jangka waktu pembangunan

perumahan yang cukup lama, maka pada setiap waktu stok perumahan diasumsikan

tetap, dimana terdapat stok perumahan yang telah tertentu (fixed) yang tidak dapat

disesuaikan dengan cepat sebagai tanggapan terhadap perubahan perubahan harga.

Komponen harga rumah pada keseimbangan merupakan titik pertemuan antara

permintaan dan penawaran. Perubahannya dapat diukur dengan menggunakan

indikator inflasi sektor perumahan. Jika harga rumah terus mengalami kenaikan, maka

permintaan dari masyarakat akan menurun. Sebaliknya, kenaikan harga rumah

merupakan suatu rangsangan bagi pihak pengembang untuk membangun perumahan.

Page 87: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

84  

Harga rumah yang sesuai dengan kualitasnya bahkan cenderung terkesan

murah maka masyarakat akan tertarik untuk membelinya. Jika harga rumah dirasa

lebih murah jika dilihat dari kualitasnya dan jika dibandingkan dari tempat lain, maka

masyarakat akan tertarik dan mengambil keputusan untuk membelinya.

Dari hasil survey yang dilakukan di Salatiga, lebih dari 90 persen responden

menyatakan bahwa membeli rumah di Salatiga karena harganya sesuai dengan

kualitasnya. Dalam persepsi masyarakat, harga rumah di Salatiga relatif murah

dibanding dari daerah lain dengan kualitas yang hampir sama. Ini menunjukkan bahwa

salah satu faktor perkembangan permukiman di Salatiga ada karena harganya sesuai

dengan kualitasnya.

Tabel 4.16. Harga Rumah dan Kualitasnya

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Kurang Setuju

4 4.4 4.4 4.4

Netral 6 6.6 6.6 11.0 Setuju 57 62.6 62.6 73.6 Sangat Setuju

24 26.4 26.4 100.0

Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015 Dari hasil survey tampak bahwa lebih dari 50% penduduk Salatiga berasal dari luar

Salatiga. Mereka menetap dan tinggal di Salatiga dengan berbagai alasan. Ada yang

berasal dari Jawa Tengah, Pulau Jawa pada umumnya, Pulau Sumatera bahkan Papua.

Tempat tinggal asal ini mencerminkan Kota Salatiga sangat terbuka dengan pendatang

dan bersama-sama dengan pendatang berkembang dan mengembangkan Kota.

Page 88: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

85  

Tabel 4.17. Tempat Tinggal Asal Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

15 16.5 16.5 16.5 - 1 1.1 1.1 17.6- 4 4.4 4.4 22.0Ambarawa 1 1.1 1.1 23.1Bandung 1 1.1 1.1 24.2Bogor 1 1.1 1.1 25.3Boyolali 2 2.2 2.2 27.5Depok. 1 1.1 1.1 28.6Gendongan 1 1.1 1.1 29.7Jakarta 4 4.4 4.4 34.1Jambi 1 1.1 1.1 35.2Kab. Semarang 1 1.1 1.1 36.3Kabupaten Semarang 2 2.2 2.2 38.5Kalimantan 1 1.1 1.1 39.6Kartasura 1 1.1 1.1 40.7Kendal 1 1.1 1.1 41.8Klaten 1 1.1 1.1 42.9Kudus 1 1.1 1.1 44.0Magelang. 1 1.1 1.1 45.1Papua Barat, sorong 1 1.1 1.1 46.2Pati 1 1.1 1.1 47.3Purbalingga 1 1.1 1.1 48.4Purwodadi 2 2.2 2.2 50.5Purworejo 1 1.1 1.1 51.6Rembang 1 1.1 1.1 52.7Salatiga 20 22.0 22.0 74.7Semarang 16 17.6 17.6 92.3Solo 3 3.3 3.3 95.6Sragen 1 1.1 1.1 96.7Sumatera Selatan 1 1.1 1.1 97.8Ungaran 1 1.1 1.1 98.9Wonosari 1 1.1 1.1 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Page 89: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

86  

Banyak alasan mengapa mereka tinggal di Salatiga, mulai dari alasan keluarga

sampai menjalankan usaha. Secara rinci, alasan mengapa mereka tinggal di Salatiga

dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Urutan pertama mengapa mereka tinggal di Salatiga adalah alasan keluarga,

yaitu lebih dari 35%. Pada umumnya mereka tinggal di Salatiga karena mengikuti

suami alias alasan menikah. Ada juga yang mengikuti istri, anak dan orang tua. Urutan

kedua adalah karena pekerjaan dan usaha, dengan persentasi sekitar 30%. Mereka

tinggal di Salatiga karena bekerja dan atau berusaha.

Tabel 4.18. Alasan Tinggal di Salatiga Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

1 1.1 1.1 1.1Belajar 1 1.1 1.1 2.2dekat dengan industri

1 1.1 1.1 3.3

Investasi 3 3.3 3.3 6.6Keluarga 33 36.3 36.3 42.9Kuliah 1 1.1 1.1 44.0Lingkungan 11 12.1 12.1 56.0Pekerjaan 28 30.8 30.8 86.8Pekerjaan. 1 1.1 1.1 87.9Pensiun 2 2.2 2.2 90.1tempat lahir 1 1.1 1.1 91.2Tempat lahir 5 5.5 5.5 96.7Tempat tinggal 3 3.3 3.3 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015 Ketika mereka tinggal di Salatiga, ada beberapa hal yang menyenangkan bagi

mereka yaitu nyaman, aman dan sejuk. Mereka merasa Kota Salatiga sangat sejuk,

sangat aman, sangat nyaman dan sangat bersih. Lingkungannya sehat dan dari sisi

sosial sangat welcome atau memiliki kekeluargaan yang tinggi. Disamping alasan

sosial yaitu warganya memiliki toleransi dan penerimaan yang tinggi, mereka

senang tinggal di Salatiga karena biayanya murah. Disamping itu fasilitas cukup

memadai. Letak kota Salatiga juga dianggap strategis meskipun termasuk kota

Kecamatan.

Page 90: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

87  

Tabel 4.19. Hal Yang Menyenangkan di Salatiga

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

1 1.1 1.1 1.1Aksesnya mudah. 1 1.1 1.1 2.2Aman 6 6.6 6.6 8.8Belanja murah 1 1.1 1.1 9.9Beli masih murah 1 1.1 1.1 11.0damai, letak strategis.

1 1.1 1.1 12.1

Fasilitas cukup 1 1.1 1.1 13.2Kekeluargaan 14 15.4 15.4 28.6Kekeluarggan 1 1.1 1.1 29.7Lingkungan sehat 2 2.2 2.2 31.9Murah 1 1.1 1.1 33.0Nyaman 56 61.5 61.5 94.5Strategis 2 2.2 2.2 96.7Tenang 1 1.1 1.1 97.8Transportasi mudah 2 2.2 2.2 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Disamping hal-hal yang menyenangkan diatas, menurut responden, masalah

utama yang ada di Kota Salatiga adalah ketersediaan air. Memang di beberapa

wilayah atas, air memang sulit didapat. Namun untuk daerah-daerah bawah atau

yang bisa terairi dari sumber air Senjoyo, air relatif mencukupi.

Page 91: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

88  

Tabel 4.20. Permasalahan di Kota Salatiga Frequency Percent Valid

Percent Cumulative

Percent

Valid

28 30.8 30.8 30.8Air 32 35.2 35.2 65.9Drainase 1 1.1 1.1 67.0Drainase buruk 1 1.1 1.1 68.1Gangguan sosial 4 4.4 4.4 72.5Jalan sempit 1 1.1 1.1 73.6Keakraban kurang 4 4.4 4.4 78.0Keamanan 7 7.7 7.7 85.7Listrik dan parkir 1 1.1 1.1 86.8Penerangan jalan 2 2.2 2.2 89.0Sarana jalan jelek 7 7.7 7.7 96.7Tempat Pembuangan Sampah

1 1.1 1.1 97.8

tidak ada jaringan untuk komunikasi

1 1.1 1.1 98.9

Transportasi sulit 1 1.1 1.1 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

7) Pendapatan atau Daya Beli masyarakat

Nicolson (1999) mengemukakan bahwa jika pendapatan bertambah maka

secara otomatis bagian dari pendapatan yang akan dibelanjakan akan bertambah,

sehingga jumlah barang yang bisa dibeli juga meningkat (Iskandar, 2002). Sedangkan

Soeharjoto (1998) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan per kapita, maka

pembelian rumah akan bertambah.

Berdasarkan konsep engel, semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin

rendah porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan, dan semakin tinggi pula

porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan non-makanan. Jika pendapatan

per kapita masyarakat meningkat, maka porsi pendapatan yang digunakan untuk

membeli rumah atau membayar cicilan KPR lebih besar.

Berdasarkan pada teori-teori diatas tampak bahwa dengan pendapatan

meningkat, dengan asumsi harga-harga tetap atau margin peningkatan pendapatan

lebih besar dari peningkatan harga, masyarakat akan mengalokasikan peningkatan

Page 92: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

89  

pendapatan tadi untuk membeli rumah, yang akan menyebabkan pertumbuhan

perumahan dan permukiman.

Dari hasil survey yang dilakukan di Kota Salatiga, diperoleh hasil bahwa

pendapatan warga Salatiga dari sisi peningkatan gajinya meningkat sebesar 102%

selama 5 tahun terakhir, sementara itu peningkatan pendapatan yang bersumber dari

usaha meningkat sebesar 46%. Berdasarkan tabel dibawah ini tampak bahwa 63%

peningkatan pendapatan berasal dari mereka bekerja dan pensiunan, baik PNS maupun

Swasta serta 35 persen berasal dari wiraswasta. Dari sini kita bisa mengatakan bahwa

peningkatan pendapatan terutama dari karyawan menyebabkan peningkatan daya beli

terhadap perumahan dan meningkatkan perkembangan permukiman. Seperti yang

tampak pada tabel dibawah ini, sebanyak 75 persen responden menyatakan bahwa

mereka membeli rumah karena gaji mereka naik.

Tabel 4.21. Pekejaan Responden Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

4 4.4 4.4 4.4 1 54 59.3 59.3 63.7 2 32 35.2 35.2 98.9 3 1 1.1 1.1 100.0 Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Keterangan:

1. Karyawan

2. Wiraswasta

3. Lainnya

Page 93: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

90  

Tabel 4.22. Pembelian Rumah Karena Gaji Naik Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju

1 1.1 1.1 1.1

Tidak Setuju

21 23.1 23.1 24.2

Netral 20 22.0 22.0 46.2 Setuju 39 42.9 42.9 89.0 Sangat Setuju

10 11.0 11.0 100.0

Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

8) Tingkat Bunga

Semakin tinggi tingkat suku bunga kredit, maka semakin besar cicilan kredit

yang harus dibayarkan oleh nasabah. Tingkat suku bunga berbeda tergantung tingkat

kepercayaaan kredit dari si peminjam, jangka waktu pinjaman dan bebagai aspek

perjanjian lainnya antara peminjam dengan pemberi pinjaman (Dornbusch et. al.,

2004).

Kenaikan tingkat suku bunga kredit, baik konsumsi maupun investasi akan

mengurangi permintaan agregat untuk setiap tingkat pendapatan, karena disamping

menaikkan jumlah cicilan kredit yang harus dibayar, tingkat suku bunga yang lebih

tinggi juga akan mengurangi keinginan untuk baik untuk konsumsi maupun

berinvestasi.

Tabel 4.23. Bunga Kredit Murah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Sangat tdk Setuju 7 7.7 7.7 7.7Tidak Setuju 19 20.9 20.9 28.6Netral 20 22.0 22.0 50.5Setuju 34 37.4 37.4 87.9Sangat Setuju 11 12.1 12.1 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Page 94: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

91  

Tabel 4.24. Angsuran Terjangkau Frequency Percent Valid

Percent Cumulative

Percent

Valid

Sangat Tdk Setuju 8 8.8 8.8 8.8Tidak Setuju 21 23.1 23.1 31.9Netral 14 15.4 15.4 47.3Setuju 37 40.7 40.7 87.9Sangat Setuju 11 12.1 12.1 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

9) Lokasi Perumahan

Dalam menetapkan pemilihan suatu rumah sebagai tempat untuk tinggal atau

bernaung dari segala kondisi tidaklah mudah, terutama dalam pemilihan suatu rumah

didalam kawasan perumahan. Banyak pertimbangan yang akan dihitung dan banyak

aspek yang akan mempengaruhi penetapan lokasi perumahan

Baik atau tidaknya pemilihan lokasi perumahan akan terkait dengan beberapa

pihak yang menjadi tim atau organisasi pembentukan suatu perumahan. Beberapa

pihak yang terlibat dan motivasi pemilihan lokasi untuk perumahan adalah lokasi dan

fasilitas.

Dari hasil survey tampak bahwa salah satu alasan mereka tinggal di Salatiga

adalah lokasi sangat strategis, nyaman, aman, tenang dan sejuk. Lebih dari 12%

responden mengatakan bahwa mereka senang tinggal di Salatiga karena faktor

lingkungan perumahan yang baik.

Tabel 4.25. Tempat Strategis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju

1 1.1 1.1 1.1

Tidak Setuju 13 14.3 14.3 15.4Netral 12 13.2 13.2 28.6Setuju 42 46.2 46.2 74.7Sangat Setuju 23 25.3 25.3 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

Page 95: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

92  

10) Jumlah Penduduk

Komponen faktor lain yang ditentukan dari waktu ke waktu untuk permintaan

perumahan adalah Jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar

yang potensial dalam memasarkan suatu produk. Kenaikan pada tingkat pertumbuhan

populasi akan menyebabkan kebutuhan perumahan menjadi semakin besar.

Biasanya pertambahan penduduk juga diikuti dengan perkembangan dalam

kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima pendapatan

dan meningkatkan daya beli. Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan permintaan

akan rumah-perumahan yang pada akhirnya akan menumbuhkan permukiman.

Dari hasil survey kepada responden di Kota Salatiga, menurut mereka jumlah

penduduk kota Salatiga sekarang ini banyak. Dari jawaban ini tampak bahwa jumlah

penduduk di Kota Salatiga bertambah. Sekitar 10 tahun yang lalu, jumlah penduduk di

Kota Salatiga sekitar 150 ribu jiwa. Sekarang ini hamper mencapai 200 ribu jiwa, ini

tentu saja membutuhkan rumah dan mempengaruhi pertumbuhan permukiman di Kota

Salatiga.

Tabel 4.26. Jumlah Penduduk Sekarang Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Banyak 59 64.8 64.8 64.8 sedang 1 1.1 1.1 65.9 Sedikit 30 33.0 33.0 98.9 tinggi 1 1.1 1.1 100.0 Total 91 100.0 100.0

11) Kebutuhan Tempat Tinggal

Pertumbuhan permukiman disisi yang lain memang terjadi karena kebutuhan

tempat tinggal. Dengan bertambanya usia, kemudian menikah dan memiliki anak

menyebabkan orang tersebut akan membutuhkan tempat tinggal. Kebutuhan tempat

tinggal ini terjadi karena pertumbuhan keluarga, dari ikut orang tua, kemudian

menikah dan memiliki anak, mulai dari satu, dua dan seterusnya. Kondisi ini terus

bertumbuh seiring dengan waktu. Dengan pertumbuhan keluarga, akan menyebabkan

seseorang membutuhkan rumah, kemudian akan terbentuk perumahan dan akhirnya

akan terbentuk permukiman secara alamiah akibat kebutuhan rumah.

Page 96: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

93  

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan terlihat bahwa sebesar 36%

responden tinggal di Salatiga adalah masalah keluarga dalam hal ini adalah menikah.

Ketika menikah atau berkeluarga, mereka biasanya bertempat tinggal berbeda dengan

orang tua dan akhirnya harus membeli rumah sendiri. Kondisi ini yang menyebabkan

perubahan dalam permukiman di Salatiga. Kebutuhan tempat tinggal selain karena

berkeluarga, sebanyak lebih dari 30% membutuhkan tempat tinggal karena harus

bekerja di Salatiga.

Kalau ditanyakan pada mereka mengapa membeli rumah, sebanyak 75%

mereka menyatakan setuju karena alasan menikah. Sementara itu mereka setuju jika

membeli rumah karena memiliki anak dan bekerja di Salatiga.

Tabel 4.27. Membeli Rumah Karena Menikah Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 7 7.7 7.7 7.7Tidak Setuju 9 9.9 9.9 17.6Netral 3 3.3 3.3 20.9Setuju 51 56.0 56.0 76.9Sangat Setuju 21 23.1 23.1 100.0Total 91 100.0 100.0

Membeli Rumah Karena Mempunyai Anak Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju

4 4.4 4.4 4.4

Tidak Setuju 7 7.7 7.8 12.2Netral 3 3.3 3.3 15.6Setuju 54 59.3 60.0 75.6Sangat Setuju 22 24.2 24.4 100.0Total 90 98.9 100.0

Missing System 1 1.1

Total 91 100.0

Membeli Rumah Karena Bekerja Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid Sangat Tidak Setuju 1 1.1 1.1 1.1Tidak Setuju 9 9.9 10.1 11.2

Page 97: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

94  

Netral 8 8.8 9.0 20.2Setuju 49 53.8 55.1 75.3Sangat Setuju 22 24.2 24.7 100.0Total 89 97.8 100.0

Missing System 2 2.2

Total 91 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

12) Kebijakan Pemerintah

Disadari atau tidak, kebijakan pemerintah sangat menentukan pertumbuhan

dan perkembangan permukiman. Ini artinya, permukiman akan dibuat seperti apa,

Pemerintah bisa melakukannya melalui penerapan kebijakan permukiman. Itu artinya

kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan permukiman.

Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perubahan permukiman adalah:

1. Kebijakan permukiman sendiri

2. Kebijakan moneter dan fiskal

3. Kebijakan pembangunan ekonomi

4. Kebijakan ini kemudian tali temali dengan kebutuhan masyarakat akan

perumahan dengan berbagai motif, membentuk dan atau meniadakan permukiman

Tabel 4.28. Kebijakan Rumah Murah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 7 7.7 7.8 7.8Tidak Setuju 30 33.0 33.3 41.1Netral 14 15.4 15.6 56.7Setuju 29 31.9 32.2 88.9Sangat Setuju 10 11.0 11.1 100.0Total 90 98.9 100.0

Missing System 1 1.1

Total 91 100.0

Kebjikan Kemudahan Uang Muka Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 7 7.7 7.8 7.8Tidak Setuju 24 26.4 26.7 34.4Netral 12 13.2 13.3 47.8Setuju 38 41.8 42.2 90.0

Page 98: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

95  

Sangat Setuju 9 9.9 10.0 100.0Total 90 98.9 100.0

Missing System 1 1.1

Total 91 100.0

Kebijakan Pembangunan Permukiman Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 4 4.4 4.4 4.4Tidak Setuju 14 15.4 15.4 19.8Netral 12 13.2 13.2 33.0Setuju 50 54.9 54.9 87.9Sangat Setuju 11 12.1 12.1 100.0Total 91 100.0 100.0

Sumber: Analisis data primer 2015

4.7. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik di Kabupaten Semarang

dan Kota Salatiga

Keberadaan pemerintah dan masyarakat yang ada pada suatu wilayah

merupakan dua komponen yang saling mempengaruhi. Aktivitas pemerintah dalam hal

pelayanan publik tidak dapat dipungkiri memiliki dampak terhadap masyarakat di

suatu wilayah. Dampak tersebut dapat berupa dampak positif (seperti antara lain

penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan ekonomi, semakin terjangkaunya

pelayanan umum, dll), maupun dampak negatif (seperti antara lain birokrasi yang

bertele-tele, lambannya suatu penanganan permasalah, tidak transparannya dalam hal

pelayanan, dan lain-lain). Masyarakat memiliki cara pandang tersendiri mengenai

pelayanan yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Cara masyarakat memandang

pemerintah dalam pelayanan publik tersebut dapat diartikan sebagai persepsi. Leavitt

(1978) menyatakan bahwa persepsi (perception) adalah pandangan atau pengertian,

yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.

Dalam konteks kekinian ada suatu pergeseran terkait peran pemerintah dalam

hal menjalankan funsi memberikan pelayanan publik. Pelayanan publik adalah segala

kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya

pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, dalam pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Peningkatan pelayanan publik yang efisien dan efektif akan

mendukung tercapainya efisiensi dan efektifitas akan mendukung tercapainya efisiensi

Page 99: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

96  

pembiayaan, artinya ketika pelayanan umum yang diberikan oleh penyelenggara

pelayanan kepada pihak yang dilayani berjalan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya

atau mekanisme atau prosedurnya tidak berbelit-belit, akan mengurangi biaya atau

beban bagi pihak pemberi pelayanan dan juga penerima pelayanan. Pemerintah

sebagai instansi penyelenggara pelayanan public berkewajiban untuk memberikan

pelayanan kepada masyarakat. Ukuran keberhasilan pelayanan akan tergambar pada

indeks kepuasan masyarakat yang diterima oleh para penerima pelayanan berdasarkan

harapan dan kebutuhan mereka yang sebenarnya. Namun sebenarnya pelayanan publik

dapat bekerja sama dengan pihak swasta atau diserahkan kepada swasta apabila

memang dipandang lebih efektif dan sepanjang mampu memberikan kepuasan

maksimal kepada masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut dalam kajian ini akan mencoba melihat secara

kualitatif tentang persepsi masyarakat yang ada di Kabupaten Semarang terhadap

penyelenggaraan pelayanan public baik yang dilaksanakan oleh instansi yang ada di

kabupatennya sendiri maupun persepsi mereka terhadap kota Salatiga. Berbicara

mengenai persepsi berarti berkaitan dengan cara pandang dan wilayah penalaran.

Dalam perspektif social, realitas tidaklah tunggal melainkan sangat kompleks. Hal ini

memungkinkan setiap orang akan memiliki cara pandang tersendiri terhadap fenomena

tersebut. Demikian pula dengan focus kajian ini sehubungan dengan pelayanan public

sebagai asumsi dari indikasi isu yang diangkat. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa

pelayanan public bagi masyarakat menjadi bagian yang sangat penting dalam

mensupport kebutuhan-kebutuhan yang semakin berkembang baik aspek social,

ekonomi, politik maupun budaya. Sebagai contoh hal yang paling bersentuhan dengan

masyarakat adalah dalam pelayanan administrative, dimana sebagian informan

mengatakan bahwa pemerintah di wilayah Kabupaten Semarang relative telah mampu

memberikan pelyanan yang sangat dirasakan masyarakatnya dengan mempermudah

urusan administrasi. Menurut Suyati1 salah satu informan penelitian, menyatakan

betapa memuaskannya pelayanan administrasi yang ada di wilayah Kabupaten

Semarang.

“Kalau di Kabupaten Semarang pelayanan nya bagus. Seperti bikin KTP cepat tidak perlu waktu yang lama. Tapi kalau ngurus apa-apa jauh harus ke Ungaran

                                                            1 Suyati (58 tahun), adalah pensiunan PNS sekaligus sebagai Ketua PKK di Desa Patemon Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang. Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2015 di rumahnya desa Patemon Tengaran 

Page 100: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

97  

seperti ngurus SIM, mungkin karena jauh dari kabupaten ngih jarang diperhatikan”…..Menurut beliau…” Kalau di Kabpuaten pelayanannya cepat, tapi kalau mau perpanjangan sepeda motor jauh harus ke Ungaran. Kalau dibandingkan Salatiga jarak untuk mengurus nya lebih dekat. Tapi, kalau di Salatiga katanya ngurus KTP nya lama tidak seperti kabupaten. Terus pelayanan di Kabupaten lebih baik karena orangnya ramah, kalau di Salatiga harus kenal orang dalam biar ngurus apa-apa cepat”

Hal senada juga disampaikan oleh informan yang lain (Fajar, Joko Parjono) ,

dimana factor pelayanan public salah satunya adalah pelayanan administratif (contoh

KTP) mereka cenderung mempersepsikan bahwa pelayanan di kabupaten lebih baik,

cepat, mudah, dan ramah. Dalam isu yang sama mereka mempersepsikan bahwa

pelayanan administratif (KTP) di Salatiga cenderung ribet, bertele-tele, tidak

transparan, dan nepotisme.

Namun di sisi lain seperti pelayanan pembuatan KTP, SIM, Perpanjangan

STNK, pelayanan kesehatan, perhatian pemerintah ke daerah, dipersepsikan bahwa

wilayah Kota Salatiga secara Geografis lebih terjangkau karena dekat dan lebih mudah

dan lebih maju.

“Aku sih liat kalau di Kabupaten Semarang mau ngurus BPKB jauh, harus ke Ungaran. Itu yang kadang bikin males ngurus”…….. SIM aku ngurus nya di Salatiga soalnya SIM nya di alamatin Salatiga ini. Nembak, jadi biar gampang dan deket ngurusnya. Soal keamanan, Salatiga menurutku ya aman, soalnya ada Polsek, terus Korem sama Kodim. Di Kaupaten Semarang ya samasih, aman juga.2

Hal yang sama juga disampaikan oleh Joko Parjono3 terkait dengan apa yang

menjadi keunggulan dan kelemahan dalam pelayanan public baik di Kabupaten

Semarang maupun persepsi mereka di wilayah Kota Salatiga.

……”Keunggulan Kabupaten Semarang menurut saya cuma luas wilayahnya mas ga ada yang lain, pembangunan apalagi infrastruktur itu belum merata mas, masalah surat menyurat juga aksesnya ke Ungaran, ga ada cabang-cabangnya, itu mas yang bikin malas sampai ga mau mengurusi apapun, bisa mas biasaya diurus sama pak RW atau kadus tapi ya kita tetep ngasih uang saku, sebagai ganti jarak nya lebih dekat ke kota. Kalau desa ini jadi di masuk Salatiga saya sangat setuju karena kalau urusan dengan pemerintah lebih dekat dan di Kota

                                                            2 Wawancara dengan Fajar Satrio Wiguno (21 tahun), seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Jawa Tengah, tinggal di desa Sraten kecamatan Tuntang Kanupaten Semarang. Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2015 

3 Wawancara dengan Joko Parjono, seprang Guru yang tinggal di Desa Pabelan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Beliau juga mantan ketua RT dilingkungan dia tinggal. Wawancara dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2015 

Page 101: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

98  

Salatiga masalah penggajian pegawai itu setahu saya ada tunjangan insentif sama LP, sedang di kabupaten sendiri ga ada mas. Hanya harapan saya kalo masuk Salatiga untuk pelayanan public lebih dipermudah dang a dipersulit”…..

Lain Fajar dan Joko, lain pula Budi Arief4, pada dasarnya setiap orang memiliki

pesepsi yang berbeda mengenai realitas di sekelilingnya (Mulyono, 2007). Arief

meyakini bahwa warga di tempatnya ia tinggal, sebagian besar bekerja mencari rejeki

di wilayah Salatiga. Dan menurutnya pelayanan public seperti akses pendidikan dan

akses surat-menyurat selama ini cukup merepotkan kalau di kabupaten.

“Kalau sekolah ya misalnya.Dari kita itu di Jombor soal sekolah kebanyakannya ke Kodya, ke Salatiga. Soalnya gini, kalau kita sekolah di kabupaten, dari SD mau masuk ke SMP, ke tingkat yg lebih tinggi di kota, itu pasti NEM nya dipotong dan kapasitas penerimaan siswa sekolah di kabupaten juga terbatas” ………..”Lalu untuk urusan surat-surat, pelayanan publik sebenarnya gampang kalau hanya sampai tingkat kecamatan. Tapi kalau sudah masuk kab.Semarang itu jauh harus ke Ungaran itupun antrenya banyak dan lama. Pas mengurus surat elahiran contohnya, itu bisa seharian disana Cuma untuk daftar, tandatangan arsip. Terus nunggu lagi sampai sebulan baru jadi.Kesulitannya disitu…”

Lebih lanjut ketika informan ditanya seandainya ada pemekaran menjadi bagian dari

Kota Salatiga, bagaimna respon masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

…..” Untuk animo masyarakat, saya sering ngobrol-ngobrol dengan masyarakat

sekitar. Mereka kalau ada pilihan pemekaran, mereka memilih ke kodya/kota

salatiga. Terutama dari desa Jombor dan Sraten, karena itu tadi, kedekatan batas

wilayahnya juga dekat, anak sekolah banyak yang di salatiga, aktifitas bekerja

banyak di salatiga. Terus kalau di Salatiga kan per kecamatan, jadi langsung ke

kota.”

Inti dari persepsi adalah interpretasi dan persepsi manusia bersifat dinamis (Rakhmat,

1999). Artinya pemaknaan seseorang terhadap sebuah stimuli tergantung dari latar

belakang pengetahuan ataupun p[engalaman orang tersebut. Pada informan Ibu Suyati,

Fajar, Joko Parjono, dan Arief misalnya, mereka cenderung mempersepsi indikasi isu

pelayanan publik di wilayah Kabupaten Semarang berdasarkan pengalaman yang

selama ini diseleksi menjadi bekal informasi mereka. Walau tidak semua yang

                                                            4 Arief Budi (55 tahun), bekerja sebagai pegawai Swasta di Salatiga dan tinggal di Desa Jombor, Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2015 di lokasi pekerjaannya di Salatiga. 

Page 102: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

99  

dipersepsikan sesuai dengan realita, namun hal tersebut adalah wajar. Karena kunci

untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu

merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang

benar terhadap situasi (Thoha, 2000)

Dari fakta hasil wawancara dengan informan menunjukkan bahwa factor

pengalaman menjadi pengaruh kuat dalam pembentukan persepsi, sebagai contoh

Arief Budi dan Fajar menggunakan pengalamannya sebagai pekerja dan yang pernah

berurusan secara administrative dalam memberikan persepsi terkait indicator isu

pelayanan public. Informan menunjukkan melalui pengalamannya baik dalam akses

pendidikan maupun pelayanan pengurusan surat-surat kendaraan yang begitu mudah

jika dilakukan di Kota Salatiga. Secara khusus persepsi dari ke empat informan

kecuali Joko Parjono hampir sama bahwa di tingkat satuan lingkungan seperti RT,

RW, Dusun, Desa dan Tingkat Kecamatan di Kabupaten Semarang memiliki

pelayanan public yang dipersepsikan oleh mereka cukup bagus, tetapi untuk instansi di

atasnya (Kabupaten) mereka merasa agak kesulitan baik secara geografis maupun

administrative, sehingga pelayanan dipersepsikan menjadi tidak efisien.

Page 103: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

100  

V. PENUTUP

Kajian kelayakan ini merupakan tindak lanjut terhadap kondisi kekinian Kota

Salatiga yang senantiasa dinamis. Kajian ini terutama difokuskan untuk menganalisis

potensi kelurahan-kelurahan yang ada di wilayah yang berbatasan dengan Kota

Salatiga yang memungkinkan untuk dimekarkan (baca: penyesuaian). Pengkajian

secara ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan analisis yang obyektif dan akuntabel,

sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai

rencana pemekaran (baca: penyesuaian) dan penataan wilayah Kota Salatiga pada

umumnya.

Page 104: LAPORAN AKHIR Kajian Pemekaran Kota Salatiga

101  

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), Evaluasi Kebijakan Pembentukan DOB, Kajian Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan Keuangan di DOB, Direktorat Otda Bappenas-Jakarta.

Bintarto R. 1977. Geografi Kota. Yogyakarta: UP Spring. Budihardjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Penerbit Alumni. Departemen Dalam Negeri. (2005), Sinopsis Penelitian: Efektifitas Pemekaran

Wilayah di Era Otonomi Daerah. Pusat Litbang Otonomi Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri. Jakarta

Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Penataan Ruang. 2007. Pedoman Kriteria

Teknis Kawasan Budidaya. Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta Ida, Laode (2005), Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia, Media Indonesia,

Jakarta, 22 Maret 2005 Jaweng, Robert dan Tri Ratnawati. 2005. Meninjau Kebijakan Pemekaran Daerah.

Jentera: Jurnal Hukum 10 (3): 60-73. Laode Ida (2005), Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia. Media Indonesia,

22 Maret 2005 Pemerintah Republik Indonesia (2004), Undang-Undang No. 32/2004 tentang

Pemerintahan Daerah (www.indonesia,go.id) Pemerintah Republik Indonesia (2014), Undang-Undang No. 23/2014 tentang

Pemerintahan Daerah (www.indonesia,go.id) Piliang, Indraa J. (2004), Otonomi, Pemekaran, atau Merdeka?, Kompas, Jakarta

(www.kompas.co.id) Salatiga Dalam Angka, Tahun 2001, 2002, 2003, 2012, 2013, BPS Kota Salatiga USAID Democartic Reform Support Program (2006), Membedah Reformasi

Desentralisasi Di Indonesia, Ringkasan Laporan, USAID-DRSP, Jakarta.