lap ekstraksi rhei radix coe
TRANSCRIPT
VI. DATA PENGAMATAN
Nama Simplisia : Capsici fructus
Metode Ekstraksi : Maserasi (Maserasi Dingin)
1. Organoleptik Ekstrak
Bentuk : cairan
Warna : merah
Bau : pedas dan menyengat
Rasa : pedas
2. Rendemen Ekstrak
Berat simplisia : 63,49 g
Berat ekstrak yang diuapkan : 0,59 g
Berat ekstrak total : 5,84 g
Rendemen ekstrak : 9,198 % b/b
3. Bobot Jenis Ekstrak
Berat piknometer kosong : 10,13 g
Berat piknometer + air : 20,05 g
Berat air : 9,92 g
Volume piknometer : 10 mL
Kerapatan air : 0,992 g/mL
Berat piknometer + ekstrak : 18,28 g
Volume pknometer : 10 mL
Berat ekstrak : 8,15 g
Kerapatan ekstrak : 0,815 g/mL
Bobot jenis ekstrak : 0,8216 g/mL
4. Kadar air Ekstrak
Berat ekstrak uji : 1,01g/mL
Volume air : 0,1 mL
Kadar air : 9,9 % v/b
5. Pola Kromatogram Lapis Lipis
No.
Bercak
Rf Pengamatan
Sinar Tampak UV 254 nm UV 366 nm
1 0 orange pekat ungu keabuan biru muda
2 0,175 orange muda - -
3 0,35 orange muda - -
4 0,7125 - - -
5 0,825 - - -
6 0,9875 orange pekat ungu keabuan biru muda
Rf Pengamatan dalam H2SO4 10 %
No.
Bercak
Sebelum dioven Setelah dioven
UV 254 nm UV 366 nm UV 254 nm UV 366 nm
1 0 ungu keabuan biru muda ungu keabuan biru muda
2 0,175 - biru muda - biru muda
3 0,35 - - - -
4 0,7125 - - - biru muda
5 0,825 - - - biru muda
6 0,9875 - biru muda - biru muda
6. Pola Dinamolisis
Keterangan :
VII. PERHITUNGAN
1. Rendemen
Berat simplisia : 63.49 g
no Diameter (cm) warna
1 0,967 Jingga +++++
2 1,50 Jingga +++
3 2,0 Jingga ++++
4 2,63 Jingga ++
5 4,7 Jingga +
Berat ekstrak yang diuapkan : 0.59 g
Berat ekstrak total = 146 x 0.59 = 5.84 g 25
Rendemen ekstrak = Berat ekstrak total x 100% Berat simplisia
= 5.84 x 100% = 9.198 % 63.49
2. Bobot Jenis Ekstrak
Berat piknometer kosong : 10.13 g
Berat piknometer + air : 20.05 g
Volume piknometer : 10 mL
Volume piknometer + ekstrak : 18.28
Berat air = 20.05 – 10.13 = 9.92 g
Kerapatan air = Berat air volume piknometer
= 9.92 = 0.992 g/mL 10
Kerapatan ekstrak = Berat air volume piknometer
= 8.15 = 0.815 g/mL 10
Bobot jenis ekstrak = kerapatan ekstrak Kerapatan air
= 0.815 g/mL = 0.8126 0.992 g/mL
3. Kadar Air Ekstrak
Massa ekstrak kental : 1.01 g/mL
Volume : 0.1 mL
Kadar air ekstrak = Volume x 100% Massa ekstrak kental
= 0.1 x 100% = 9.9 % 1.01 g/mL
4. Rf
Rf = a/b
Bercak no.2 Rf = 1,4 cm = 0,175 8 cm
Bercak no.3 Rf = 2,8 cm = 0,35 8 cm
Bercak no.4 Rf = 5,7 cm = 0,7125 8 cm
Bercak no.5 Rf = 6,6 cm = 0,825 8 cm
Bercak no.6 Rf = 7,9 cm = 0,9875 8 cm
PembahasanB. Pemekatan Ekstrak
1. Ekstrak cair hasil maserasi dimasukkan dalam labu yang
dihubungkan dengan rotavapor.
2. Alat dijalankan dengan kecepatan 6 rpm pada suhu 60°C.
3. Ekstrak yang masih mengandung sedikit etanol 95% dimasukkan
dalam cawan penguap, lalu diletakkan di atas water bath
sampai diperoleh ekstrak kental.
4. Ekstrak kental ditimbang untuk selanjutnya dapat ditentukan
rendemennya.
Randemen (%) = Berat ekstrak total x 100%
Berat simplisia
C. Dinamolisis
1. Kertas Whatman diameter 10 cm, titik pusatnya dilubangi.
2. Dipasang sumbu yang terbuat dari kertas saring.
3. Kertas saring bersumbu ditutupkan pada cawan petri yang berisi
maserat/ekstrak cair.
4. Dibiarkan terjadi proses difusi sirkular selama kurang lebih 10
menit.
5. Gambaran dinamolisis diamati.
D. KLT
1. Dibuat pengembang yang terdiri dari toluen dan etil asetat
dengan perbandingan 7:3.
2. Diberi garis batas dan garis awal pada pelat KLT.
3. Ekstrak cair
E. Penetapan Bobot jenis Ekstrak
1. Ditimbang piknometer dengan volume tertentu dalam keadaan
kosong.
2. Piknometer diisi penuh dengan air dan ditimbang ulang.
3. Kerapatan air ditetapkan.
4. Piknometer dikosongkan dan didisi penuh dengan ekstrak, lalu
ditimbang.
5. Melalui berat ekstrak yang mempunyai volume tertentu, dapat
ditetapkan bobot jenis ekstrak dengan rumus sebagai berikut:
Bobot jenis ekstrak = Kerapatan ekstrak
Kerapatan air
Setelah 24 jam, maserat diambil lalu dimasukkan ke dalam suatu wadah
tertutup. Sebagian kecil hasil ekstraksi di ambil untuk dilakukan uji KLT,
dinamolisis, dan untuk menentukan bobot jenis ekstrak. Selain itu, 25 ml
dipisahkan dan dimasukkan ke dalam cawan penguap untuk dihitung berat
rendemennya. Sebagian besar lagi dipekatkan di rotavapor untuk dihitung
kadar airnya.
Ekstrak kental yang diperoleh dari rotavapor yang masih mengandung
sedikit pelarut di masukkan ke dalam cawan penguap lalu ditaruh di atas
water bath. Tujuan dari penguapan ini adalah untuk menguapkan pelarutnya.
Ketika berat dari ekstrak kental tersebut konstan, maka menunjukkan bahwa
pelarut sudah menguap sempurna. Penguapan dengan evaporator disengaja
tidak semua pelarut diuapkan agar ekstrak kental tidak banyak yang lengket
di dalam labu.
Setelah ekstrak kental diperoleh, kemudian ditimbang sebanyak satu
gram untuk dihitung kadar airnya. Ekstrak kental tersebut didistilasi bersama
dengan toluen selama 15 menit. Dari percobaan, diperoleh kadar air dari
ekstrak capsici fructus adalah 0,1% v/b. Nilai ini telah memenuhi syarat kadar
air dari ekstrak yaitu ≤ 10%.
Dalam menghitung berat rendemen dari ekstrak, kita hanya
menggunakan metode sampling, yaitu sebanyak 25 ml dari hasil ekstrak. Hal
tersebut dilakukan karena untuk mengefektifkan waktu yang tersedia. Karena
jika kita menggunakan sebagian besar atau keseluruhan dari jumlah ekstrak,
maka dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menguapkan pelarut dari
ekstrak sampel yang kita buat. Pertama- tama yang dilakukan adalah
menimbang berat dari cawan penguap, kemudian ekstrak sejumlah 25 ml
tersebut diuapkan di atas water bath sampai ekstrak benar-benar kering.
Kemudian ditimbang kembali berat ekstrak kering dan cawan penguap dan
hasilnya dikurangi dengan berat cawan penguap. Sehingga diperolehlah
rendemen ekstrak,yaitu sebesar 13,12 % b/b
Ekstrak cair yang sudah dipisahkan ditentukan bobot jenisnya dengan
cara menghitung terlebih dahulu berat jenis air menggunakan piknometer.
Langkah pertama yaitu mengkalibrasi piknometer. Tujuan dari pengkalibrasian
piknometer ini sendiri yaitu untuk mengetahui kapasitas volume dari
piknometer yang kita gunakan, karena sebagaimana kita ketahui, piknometer
merupakan alat kuantitatif, jadi volumenya dapat berubah-ubah jika disimpan
atau dikondisikan pada suhu yang berbeda. Prosedur pengkalibrasian
piknometer yang pertama yaitu dengan menimbang piknometer kosong,
kemudian piknometer tersebut diisi dengan air lalu ditimbang kembali,
dilakukan triplo agar mendekati hasil yang sebenarnya. Diperoleh kapasitas
volume pikno dengan mengurangkan berat piknometer berisi air dengan berat
piknometer kosong lalu hasilnya dibagi dengan kerapatan jenis air yang
tertera pada literatur. Selanjutnya, menghitung berat jenis ekstrak dari
simplisia. Pertama, piknometer diisi dengan ekstrak cair lalu ditimbang,
dilakukan triplo. Kerapatan ekstrak diperoleh dengan mengurangkan berat
piknometer dan ekstrak dengan berat piknometer kosong, lalu hasilnya dibagi
dengan kapasitas volume piknometer (volume dari hasil pengkalibrasian).
Sehingga bobot jenis ekstrak dapat diperoleh dengan membagi kerapatan
ekstrak dengan kerapatan air yaitu 0,810.
Selanjutnya adalah penentuan pola dinamolisis, yaitu dengan cara
melubangi titik pusat kertas Whatman diameter 10 cm, lalu dipasang sumbu
yang terbuat dari kertas saring. Keras saring ini kemudian ditutupkan pada
cawan petri yang berisi maserat/ ekstrak cair. Dibiarkan terjadi proses difusi
sirkular selama 10 menit. Dinamolisis dilakukan agar dapat melihat pola dari
ekstrak Dari hasil percobaan, terjadi pergerakan ekstrak membentuk pola
seperti bulat oval dengan diameter 2 cm; 2,63 cm;4,45 cm.Bagian terluar
pola berwarna orange muda, kuning, hijau muda.
Selanjutnya dilakukan analisis KLT (Kromatografi Lapis Tipis)
pengembang yang digunakan adalah toluen dan etil asetat dengan
perbandingan 7;3. Penempatan pelat pada pengembang tidak boleh melebihi
dari garis yang ditentukan pada pelat dan harus tegak lurus terhadap
pengembang agar pergerakan noda dan pembacaan harga Rf menjadi akurat.
Rf dihitung dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh ekstrak
terhadap jarak tempuh pelarut.
Dari hasil percobaan, nilai Rf yang didapatkan di bawah sinar UV 254
nm, hasilnya adalah noda dengan Rf 0,1125 (warna kuning-hjau), noda
dengan Rf 0,3625 (warna kuning), noda dengan Rf 0,4560 (warna kuning), dan
noda dengan Rf 0,8375 (warna kuning pias). Sedangkan pada sinar UV 366
dan sinar tampak tidak ditemukan bercak.
1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Pada teknik kromatografi lapis tipis, fase diamnya terdiri dari lapisan tipis
adsorben berupa silika gel, alumina atau selulosa pada plat pembawa seperti
lempengan gelas, alumunium foil yang tebal, atau lembaran plastik.
Prosesnya hampir sama dengan kromatografi kertas dengan keuntungan lebih
cepat, pemisahan yang lebih baik, dan penggunaan adsorben yang berbeda-beda.
KLT merupakan metode laboratorium yang standar pada kimia organik. Karena
kesederhanaan dan kecepatannya, KLT seringkali digunakan untuk mengawasi
reaksi kimia dan untuk analisis kualitatif dari suatu produk reaksi.
Plat KLT dibuat dengan mencampur adsorben dengan sejumlah kecil pengikat
yang inert seperti Kalsium sulfat (CaSO4) dan air yang menyebar pada pembawa,
mengeringkan plat, dan mengaktivasi adsorben dengan memanaskannya dalam
oven. Ketebalan lapisan adsorben berukuran kira-kira 0,1-0,25 mm pada analisis
dan 1-2 mm pada KLT preparatif.
Beberapa metode untuk menghasilkan titik tidak berwarna yang dapat terlihat :
Sejumlah kecil pewarna yang berfluorosensi ditambahkan pada adsorben
yang dapat menunjukkan visualisasi titik penyerapan UV dibawah cahaya
gelap (UV254).
Uap Iodin merupakan pereaksi warna umum yang tidak spesifik.
Pereaksi warna yang spesifik digunakan pada pelarut yamg digunakan
untuk merendam plat KLT atau disemprotkan terhadap plat tersebut.
Pada pengamatan pertama, nilai Rf dari titik tersebut dapat ditentukan. Nilai
tersebut harus sama dengan pergerakan pelarut, dan pada teori tidak tergantung
pada pergerakan eksperimen tunggal melainkan bergantung pada pelarut yang
digunakan, dan jenis plat KLT yang digunakan.
Kromatografi lapis tipis juga digunakan dalam menemukan pigmen yang terdapat
pada tumbuhan. Dengan mengambil ekstrak dari selulosa tumbuhan dan
diaplikasikan dengan teknik KLT, maka pigmen yang terkandung pada tumbuhan
tersebut dapat diketahui.
Teknik ini digunakan juga untuk mendeteksi residu dari pestisida dan insektisida
dalam makanan. KLT juga digunakan dalam keperluan forensik untuk
menganalisa komposisi warna dari suatu serat.
PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini dilakukan ekstraksi simplisia Capsici fructus
untuk memperoleh metabolit sekunder. Metode ekstraksi yang dipakai
adalah metode ekstraksi cara dingin. Metode ekstraksi cara dingin biasanya
dilakukan pada simplisia yang termolabil. Ekstraksi cara dingin memerlukan
waktu yang lebih lama daripada ekstaksi cara panas. Metode ekstraksi yang
digunakan adalah maserasi.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam simplisia yang telah
dihaluskan dalam cairan penyari, yaitu etanol 95%. Etanol digunakan karena
bersifat polar dan tidak bersifat toksik, lebih selektif dan memiliki daya
absorpsi yang baik.selain itu etanol juga bersifat netral, sulit ditumbuhin
oleh tapang dan kumang, dapat bercampur baik dengan air pada segala
perbandingan dan memerlukan panas yang sedikit untuk pemekatan.
Simplisia yang digunakan harus dihaluskan agar luas permukaan
menjadi bertambah sehingga kontak antara cairan penyaring dan simplisia
akan semakin banyak dan cepat. Pada proses awal maserasi dilakukan
pembasahan terhadap sample dengan tujuan untuk memberikan kesempatan
kepada cairan penyaring untuk memasuki seluruh pori – pori simplisia
sehingga mempermudah proses pencarian. Pada proses pengeringan
simplisia, cairan dalam dinding sel akan menguap sehingga terbentuk pori –
pori berisi udara yang menyebabkan berat simplisia menjadi lebih kecil. Jika
seluruh cairan penyaring langsung ditambahkan maka akan terjadi
pengapungan dari simplisia karena berat sel pada simplisia lebih ringan.
Volume yang diperlukan dalam proses pembasahan kurang lebih 10 mL
dalam waktu 10 menit. Setalah dilakukan pembasahan cairan penyaring
dapat ditambahkan sebanyak 250 mL sehingga jumlah cairan penyari total
adalah 260 mL. Kemudian bejana ditutup rapat dengan plastik wrap dan
kertas alumunium foil untuk mencegah kontaminan masuk. Bejana bewarna
coklat agar proses terlindung dari cahaya, karena cahaya dapat
mempengaruhi reaksi yang terjadi. Kemudiaan bejana dibiarkan selama
minimal 24 jam. Selama proses maserasi, zat aktif dalam simplisia akan
larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel
dan diluar sel maka larutan larutan yang terpekat akan didesak keluar.
Setelah 24 jam proses maserasi akan diperoleh ekstrak kasar (crude
extrac) yang akan ditampung dan dihitung volumenya. Volume yang
diperoleh adalah 246 mL yang memiliki selisih dengan banyaknya cairan
penyari yang ditambahkan pada awal maserasi, hal ini dapat terjadi karena
kesalahan teknis saat penambahan cairan penyari yang tidak menggunakan
gelas ukur atau alat volumetri lainnya tetapi hanya digunakan beaker glass
yang keakuratannya kecil dan adanya cairan penyari yang menguap.
Setelah diperoleh ekstrak kasar, selanjutnya ditentukan harga
rendemen, bobot jenis, pola dinamolisis dan analisisnya dengan ekstrak hasil
ekstraksi cara panas melalui metode Kromatografi Lapis Tipis. Awalnya,
ekstraksi kasar dibagi menjadi dua bagian yaitu 100 mL untuk penentuan
bobot jenis, pola dinamolisis dan analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis
dan sisanya untuk dipekatkan.
Ekstrak kasar dipekatkan dengan menggunakan alat rotavapor
selama kurang lebih 30 menit lalu dilanjutkan dengan evaporasi ekstrak
diatas penangas air sampai diperoleh ekstrak kering, pada prinsipnya kedua
cara ini bertujuan sama, yaitu mengeringkan ekstrak. Kelebihan rotavorapor
ini adalah melalui alat ini kita dapat memperoleh cairan penyari kembali
secara utuh, sehingga menghemat biaya yang dihabiskan. Setelah diperoleh
ekstrak kering maka kita dapat menghitung rendemennya dengan rumus
yang sudah ada yaitu sebesar 9,198 % b/b. Ekstrak kering ini kemudiaan
disimpan untuk praktikum selanjutnya.
100 mL ektrak kasar tadi digunakan untuk beberapa pengujian.
Untuk memperoleh bobot jenis ekstrak digunakan piknometer sebagai alat
bantu, karena piknometer merupakan alat volumetri yang akurat yang
dapatmenunjukan volume dan berat dari sampel. Setelah dilakukan
penimbangan dan analisis volume diperoleh kerapatan ekstrak sebesar 0,815
gram/mL. Lalu besarnya bobot jenis ekstrak dapat dihitung dengan
membandingkan keraptan ekstrak dan kerapatan air (9,92 gram/ml )
sehingga diperoleh bobot jenis ekstrak sebesar 0,8216. Penentuan kerapatan
air dilakukan sama dengan perlakuan pada ekstrak.
Pengamatan pola dinamolisis dilakukan dengan menggunakan kertas
saring Whatman yang dilubangi kecil ditengahnya. Digunakan kertas ini
karena serat selulosanya memungkinkan adanya difusi sekular senyawa,
selain itu kertas yang digunakan harus dalam keadaan utuh ( tidak dilipat )
untuk menghindari perubahan pola dinamolisis karena kedudukan kertas
telah berubah. Lalu dipasang sumbu yang terbuat dari kertas yang sama
bersumbu ditutupkan pada cawan petri berisi ekstrak cair. Sumbu ini tidak
boleh terlalu tebal untuk mempermudah proses difusi pada kertas
selanjutnya ekstrak didiamkan selama kurang lebih 10 menit hingga ekstrak
naik ke sumbu ( daya difusi ) dan membentuk pola warna. Warna yang
terbentuk ada 5 macam dengan diameter yang juga berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan kecepatan difusi dari senyawa – senyawa yang
terkandung dalam ekstrak.
Analisis dengan menggunakan KLT dilakukan pada dua ekstrak yang
diperoleh dari cara ekstraksi yang berbeda, yaitu dengan cara panas dan cara
dingin. Larutan pengembang sebagai fasa gerak digunakan toluen:etil asetat
dengan perbandigan 70:30. Fase gerak dibiarkan selama 20 menit agar
terjadi penjenuhan. Sampel ditutulkan pada selica gel (fasa diam) yang telah
diberi tanda sebanyak 6 kali penotolan. Penotolan dilakukan dalam interval
waktu tertentu untuk menghindari kemungkinan totolan terlalu lebar, juga
penotolan dilakukan saat totolan sebelumnya masih basah. Selanjutnya plat
silica gel dimasukkan dalam bejana berisi pengembang dan diamati
pergerakan totolan sampai pengembang mencapai batas atas plat, lalu
dikeringkan dan diamati pada sinar tampak, sinar UV 254 nm dan 366 nm.
Penampakan warna ditulis dan nilai Rf dihitung. Pada sinar tampak
seharusnya terdapat enam bercak tanpa penambahan zat apapun, akan tetapi
hal ini tidak terjadi, plat hanya menunjukkan empat bercak. Hal ini
dimungkinkan karena pada saat penotolan, ekstrak yang ditotolkan kurang
banyak. Begitu pun pada pengamatan di bawah sinar UV 254 nm dan 366
nm untuk kedua ekstrak hasil ekstraksi yeng berbeda diperoleh hasil yang
sama. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan semua cara ekstraksi tidak
mempengaruhi kandungan zat aktif yang ada pada simplisia.
Penetapan kadar air ekstrak dilakukan dengan metode distilasi
menggunakan toluen. Sejumlah berat ekstrak (1 mg) dimasukkan dalam lanu
destilasi dan ditambahkan toluen, lalu dipasangkan pada alat destilasi.
Larutan toluen akan menguap dan terkondensasi menjadi cairan kembali
terpisah dari ekstrak. Begitupun dengan air akan menguap dan terkondensasi
menjadi cairan terpisah dari ekstrak. Molekul air akan bergerak menuruni
lapisa toluen karena berat jenisa air lebih besar dari berat jenisa toluen.
Pisahkan fraksi air dan fraksi toluen. Fraksi toluen dapat digunakan kembali
untuk distilasi berikunya. Kadar air dapat dihitung dengan membagi volume
fraksi air dengan berat ekstrak yang ditentukan kadar airnya. Dari percobaan
diperpleh kadar air sebesar 9.9 %.
•Soxhletasi
Prinsip: uap cairan penyari naik keatas melalui pipa samping,
kemudian diembunkan kembali oleh penegak pendingin. Cairan turun
ke labu melalui tabungan yang berisi serbuk simplisia. Cara ini disebut juga
dengan cara penyarian berkesinambungan.
Keuntungan:
a. Cairan penyari lebih sedikit
b. Langsung diperoleh ekstrak yamg lebih pekat
c. Penyarian dapat diteruskan sesuai keperluan tanpa penambahan
cairan penyari.
Kerugian: Larutan dipanaskan terus-menerus tidak cocok untuk zat aktif
termolabil
Cairan penyari dididihkan terus-menerus, sehingga cairan penyari
harus murni.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Percobaan
Berat simplisia = 100 gram
Volume ekstrak kental = 450 mL
Berat ekstrak kental = 2,9 gram
Berat Ekstrak total = 450 x 2,9 gram 400
= 3,2625 gram
Randemen (%) = Berat ekstrak total x 100 % Berat simplisia
= 3,5625 x 100 % 50
= 6.525 %
Berat piknometer kosong = 13,19 gram
Berat piknometer + air = 23,61 gram
Volume piknometer = 10 mL
Berat air = 10,42 gram
Kerapatan air = ρ = m/ v
= 10,42/10
= 1,042 g/ml
Berat piknometer + ekstrak = 21,62 gram
Berat ekstrak = 8,43 gram
Kerapatan ekstrak = 0,843 gram/mL
Bobot jenis ekstrak = Kerapatan ekstrak x 100 % Kerapatan air
= 0,843 = 0,8090211 1,042
Pola Dinamolisis Ekstrak :
Diameter dalam : 2,075 cm
Diameter luar : 2,6 cm
Uji KLT
Rf Sinar biasa UV 254 nm UV 366 nnm
0,6818 Kuning - Pink pucat
0,9090 Hijau Ungu Pink tua
4.2 Pembahasan
Pada percobaan ini ekstraksi simplisia dilakukan dengan metode maserasi.
Tujuan dari maserasi ini adalah untuk mendapatkan komponen kimia pada sample
dengan cara merendamnya pada pelarut yang sesuai. Maserasi adalah cara
ekstraksi yang paling mudah dan sederhana. Keuntungan menggunakan metode
ini antara lain menggunakan sedikit sample yang dapat dikerjakan pada
laboratorium farmasi, peralatan sederhana dan murah.
Adapun kerugian menggunakan cara maserasi adalah bahwa dalam
prosesnya tidak dapat mengekstrak obat secara sempurna. Karena tidak adanya
katalis yang membantu proses ekstraksi agar sempurna. Sehingga ekstrak yang
akan diperoleh menjadi tidak maksimal. Kenyataan ini menjadi sangat penting
jika bahan tanaman obat yang digunakan mempunyai harga yang mahal, karena
akan menjadi tidak efektif dalam segi financial.
Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi simplisia Sonchi folium dengan
metode maserasi menggunakan pelarut metanol karena sebagai pelarut, metanol
lebih baik untuk ekstraksi daripada etanol walaupun metanol lebih berbahaya.
Setelah didapat maserat, dilakukan penguapan pada alat yang disebut
rotavapor. Dengan alat ini dapat dipisahkan antara ekstrak dengan pelarutnya,
yaitu methanol. Dengan pemanasan maka methanol yang mempunyai sifat mudah
menguap terpisah dari ekstrak menetes ke labu yang lain, sehingga didapat ekstrak
kental tanpa methanol.
Dari hasil percobaan, diperoleh suatu persen randemen. Randemen ini
ditentukan untuk mengetahui apakah bagus atau tidak ekstrak dari tanaman.
Masing- masing tanaman akan memberikan nilai randemen yang bervariasi.
Randemen ini bergantung pada simplisianya sendiri, pelarut, proses ekstraksi, dan
peralatan yang digunakan. Pada percobaan diperoleh randemen sebesar 6,525 %.
Hasil ini dapat menunjukkan bahwa hasil ekstrak dari simplisia tidak bagus
karena persentase perolehannya terlalu kecil. Hal ini bisa disebabkan karena pada
saat maserasi tidak dilakukan pengadukan yang konstan dan hanya beberapa kali
diaduk, selain itu pada saat waktu yang digunakan untuk melakukan evaporasi
kurang lama.
Pada uji bobot jenis ekstrak, diperoleh hasil sebesar 0,8090211 dengan
kerapatan ekstrak 0,843 g/ml. Kerapatan ekstrak lebih kecil daripada air. Hal ini
dikarenakan ekstrak yang digunakan untuk uji bobot jenis masih tercampur
dengan methanol, tidak menggunakan ekstrak yang telah dievaporasi.
Untuk mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder yang terdapat di
dalam simplisia dilakukan Kromatografi Lapis Tipis. Dari percobaan ini diperoleh
dua bercak pada pelat silika gel. Bercak yang pertama mamiliki Rf 0,6818 yang
apabila dilihat dengan sinar biasa menunjukkan warna kuning, pada UV 254 nm
tidak menunjukkan warna ungu, dan pada UV 366 nm menunjukkan warna pink
pucat. Bercak yang kedua memiliki Rf 0,9090 serta menunjukkan warna hijau
pada sinar biasa, warna ungu pada UV 254 nm dan warna pink tua pada UV 366
nm.
Percobaan dinamolisis bertujuan untuk melihat pola dinamolisis dari
ekstrak simplisia. Pola dinamolisis ini berbeda-beda tergantung pada jenis
simplisia. Pada simplisia Sonchi folium yang digunakan pada praktikum ini, pola
dinamolisisnya hampir berbentuk lingkaran dan terdapat dua diameter yaitu
diameter dalam dan diameter luar.
ABSTRAK
Capsici fructus adalah simplisia yang berasal dari buah masak Capsicum annum
L. Zat ini memiliki bau yang merangsang dan rasa yang pedas. Dalam percobaan
ini, Capsici fructus dapat diekstrasi dengan tujuan melakukan isolasi metabolit
sekunder dari simplisia tumbuhan obat dengan metode refluks. Prinsip percobaan
ini adalah ekstraksi berdasarkan hukum distribusi Nerst dan like dissolve like;
refluks yang terdiri dari reaksi kesetimbangan dan kondensasi; dinamolisis; dan
kromatografi lapis tipis yang memberikan hasil bilangan Rf. Prosedur
percobaannya adalah penimbangan simplisia, penambahan pelarut, ekstraksi
metode refluks, pemisahan ekstrak, evaporasi, dinamolisis, dan kromatografi lapis
tipis. Dari percobaan ini diperoleh hasil : volume ekstrak yang diperoleh 250 mL,
berat ekstrak kental 10,0125 g, dan rendemen sebesar 20,025%.
ABSTRACT
Capsici fructus is a simplisia that comes from fruit of Capsicum annum L. This
substance has stimulant odor and hot taste. In this experiment Capsici fructus can
be extracted to isolate secondary metabolite from herbal medicine simplisia
through reflux method. The principles are extraction based on Nerst Distribution
Law and like dissolve like; reflux that divided into balancing reaction and
condensation; dinamolisis; and Thin Layer Chromatography that could give R f
number. The experiment procedures are weighing of simplisia, adding solvent,
extraction reflux, separating extract, evaporation, dinamolisis, and Thin Layer
Chromatography. The results of this experiment : extract’s volume is 250 mL,
weigh of concentrate extract is 10,0125 g, and the rendemen is 20,025%.
EKSTRAKSI METABOLIT SEKUNDER
SIMPLISIA CAPSICI FRUCTUS
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Tanaman Capsicum annum LINN mempunyai nama daerah cabe merah,
suatu terna yang agak mengayu setinggi hingga 1 m dan dapat dibiakkan pada
semua daerah. Capsicum annum LINN termasuk ke dalam suku Solanaceae,
digunakan sebagai bumbu yang dapat membangkitkan air mata karena rasa pedas
yang dikandungnya. Seperti halnya pada tumbuh-tumbuhan, cabe merah ditanam
karena bentuknya yang sangat menonjol. Buah-buahnya itu dapat sangat berubah ,
kadang-kadang kecil dan berbentuk bola, sekali lagi lonjong atau berbentuk garis
atau sangat menggembung. ( Hembing, 1997).
Ekstraksi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam isolasi
metabolit sekunder dari suatu tanaman. Ekstraksi (dari bahasa latin extraction,
diturunkan dari extrahere untuk membawa keluar) dalam dunia farmasi digunakan
secara eksklusif untuk menunjukkan proses mengambil atau menarik bagian yang
larut dari obat mentah atau yang sudah mengalami proses sebagian dengan
perlakuan menggunakan pelarut yang sesuai. (Parrot, E.L, Saski. L, 1971).
Metode yang tepat dalam ekstraksi tergantung pada tekstur dan kandungan
air dari bahan tanaman yang akan diekstraksi dan pada tipe dari substansi yang
akan diisolasi. Ekstraksi diperlukan untuk mematikan jaringan tumbuhan terlebih
dahulu dengan etanol mendidih supaya tidak terjadi oksidasi enzimatis atau
hidrolisis. (Harborne, 1973)
Metode yang digunakan dalam ekstraksi antara lain meserasi, perkolasi,
perkolasi fraksional, perkolasi dengan tekanan, dekok, infuse, dan digesti. (Parrot,
E.L, Saski. L, 1971)
1.2 Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka identifikasi
masalah dalam percobaan ini adalah :
Metabolit sekunder apakah yang terdapat dalam simplisia Capsici fructus?
Apakah ekstraksi merupakan metode yang tepat untuk melakukan isolasi
metabolit sekunder dalam simplisia Capsici fructus?
1.3 Tujuan percobaan
Tujuan percobaan ini adalah melakukan isolasi metabolit sekunder dari
simplisia tumbuhan obat (Capsici fructus) dengan cara ekstraksi melalui
prosedur refluks.
1.4 Pendekatan
Percobaan isolasi metabolit sekunder ini berdasarkan pada prinsip polar
loves polar, nonpolar loves non polar. Percobaan ini menggunakan metode
ekstraksi dengan cara panas, yaitu refluks sebagai pendekatan.
1.5 Kegunaan penelitian
Hasil percobaan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas tentang
metabolit sekunder yang terdapat di dalam simplisia Capsici fructus.
1.6 Metode Penelitian
Tahapan kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pengumpulan bahan
2. Determinasi bahan
3. Ekstraksi bahan dengan prosedur refluks
BAB II
TEORI
Simplisia
Capsici Fructus adalah buah masak Capsicum annum L.
Capsicum annum L.
Klasifikasi : Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Sympetalae
Bangsa : Solanales / Tubiflorae
Suku : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annum
(Gembong, 1994)
Morfologi Tumbuhan
Terna semusim berbatang basah dan berbulu pendek yang tipis pada
bagian ujungnya. Bentuk daun bundar telur, elips, lonjong sampai lanset, pada
bagian ujungnya berbentuk pita atau pendek lancip, agak berbulu atau gundul.
Bunga keluar dari ketiak daun, satu atau kadang dua sampai tiga mengumpul.
Helaian mahkota bunga bentuknya bundar telur sampai bundar memanjang,
berwarna putih terang, diameter 1,5 cm sampai 2 cm. Tangkai sari agak ramping
dan lebih pendek daripada kepala sari. Mula-mula berwarna ungu kemudian
menjadi hijau suasa, panjang 3-4 mm. Ketiak putik berbentuk jala. Buah
mengangguk atau menggantung, panjang dan sempit, meruncing pada bagian
ujungnya, permukaan licin. Buah muda hijau dan buah tua menjadi merah,
berbentuk bulat telur sampai bulat, panjang 10-15 cm, lebar 1-2 cm.
Keanekaragaman
Keanekaragaman besar, terdapat banyak varietas dan kultivas yang
dibedakan terutama berdasarkan ukuran, bentuk, dan rasa pedas buahnya. Varietas
yang dikenal antara lain adalah var. minimum (bird pepper atau chilitepia), var.
abberviatum (cabe domba), var. grossum Sendt (bell pepper atau sweet pepper),
var. longum Sendt, var. acuminatum Fiagernuth (Long cayenne, green chili).
Menurut Departemen Perdagangan, yang dimaksud lombok keriting adalah buah
tua dan masak yang utuh dari tanaman Capsicum annum L. var longum L. (Sendt)
yang dikeringkan dan dibuang tangkai atau gagang buahnya.
Ekologi dan Penyebaran
Berasal dari Amerika daerah tropis, dari Meksiko, hingga bagian utara
Amerika Selatan. Dapat ditanam baik di daerah Eropa maupun Asia dan Afrka
daerah tropis. Sering terdapat tumbuh liar sebagai sisa pertanaman atau dari benih
yang tercecer. ( Depkes RI, 1977)
Kandungan Kimia
Buah : - Resin : Kapsaisin, Kapsisin, Kapsakin
- Zat warna : Kabsarubin, Kapsatin, Kriptosatin, Karoten, Karotenoid
- Vitamin : Vit A, vit B dan vit C
- Minyak lemak
-Alkaloid yang mudah menguap
Khasiat Farmakologis
o Spasmolitik, karminatif, stomakik
o Diatoretik (BRA Mooryati S , 1998)
o Penambah nafsu makan
o Perangsang kulit (Depkes RI, 1985)
o Rubifacient
o Irritan (Tyler et al, 1988)
Persyaratan Simplisia
Capsici Fructus / Buah Cabe
Buah cabe adalah buah masak Capsicum annum L.
Pemerian : Bau merangsang, rasa pedas.
Makroskopik :
Buah berbentuk kerucut tau bulat panjang dengan ujung meruncing
lutrus atau bengkok, panjang 3,5-10 cm, lebar 0,5-2 cm. Permukaan luar licin
mengkilap, buah berrongga, bagian ujung beruang 1 sedang bagian pangkal
beruang 2 atau 3, warna merah, merah kecoklatan atau jingga, jarang berwarna
kuning. Dinding buah liat, tebal ± 1 mm. Gagang buah panjang 1,5-2,5 cm,
warna hijau kelabu. Kelopak berbentuk bintang atau lonceng terdiri dari 5-6 helai
daun kelopak yang saling berlekatan di pangkal, warna hijau kelabu. Biji banyak,
relatif besar, berbentuk bundar atu segitiga pipih garis tengah ± 4 mm, warna
kuning muda sampai kuning jingga, terlepas atau melekat pada plasenta.
Mikroskopik :
Kulit buah : Epidermis luar terdiri dari selapis sel dengan lumen
berbentuk kerucut. Dinding tangensial luar dan sedikit dinding radier sangat tebal,
bernoktah, tidak berlignan, warna kuning, kutikula tebal. Hipotermis terdiri dari
sel kolenkimatik, tebal sampai 7 lapis sel, dinding berwarna kuning, sel
hypodermis berisi tetes minyak berwarna merah kekuningan dan khromoplastida
berwarna coklat kemerahan. Parenkim mesokarpterdiri dari sel berbentuk
polygonal membulat, dinding tipis, berisi tetes minyak berwarna kuning
kemerahan, berkas pembuluh tipe bikolateral. Lapisan sel besar terdiri dari satu
atau dua lapis sel parenkim berbentuk polygonal membulat, dinding tipis, lumen
sangat lebar dan jernih serta tidak berisi minyak. Epidermis dalam terdiri dari
selapis sel yang berdinding tipis dan berdinding tebal. Yang berdinding tipis berisi
tetes-tetes minyak yang berwarna kuning kemerahan, sedangkan yang berdinding
tebal terdapat di bawah sel besar, dinding bernoktah, serta menyerupai sel batu
yang pada pengamatan tangensial tampak berkelompok dan berbentuk memanjang
membundar dengan dinding berkelok-kelok, lumen agak lebar, tidak berisi
minyak, kutikula bagian dalam tipis.
Serbuk : Warna coklat kemerahan, rasa pedas, bau merangsang, fragmen
pengenal adalah epidermis dalam berdinding tebal yang menyerupai sel batu
terlihat tangensial, fragmen pembuluh kayu bernoktah atau dengan penebalan
tangga dan spiral, fragmen hypodermis.
Kadar abu tidak lebih dari 5,5 %
Kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 35 %
Kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 22 %
Bahan organic asing tidak lebih dari 2 %
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik. (Depkes RI, 1977)
Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan kembali sutau senyawa
yang terikat atau pun tidak pada suatu massa dengan penarikan, penghisapan,
destilasi, perlakuan dengan suatu pelarut, dengan cara kimia maupun cara fisika.
Dalam bidang farmasi, ekstraksi secara khusus diartikan sebagai penarikan
kembali komponen-komponen zat terlarut dari bahan kasar atau bahan mentah
atau yang telah dimurnikan sebagian dengan perlakuan memakai pelarut yang
sesuai dan untuk mengambil komponen-komponen ini dari larutan dimana
komponen-komponen tersebut terikat dengan memasukkan larutan tersebut ke
dalam pelarut yang tidak bercampur atau dengan metode mekanik.
Destilasi dapat dilakukan dengan memanaskan campuran senyawa
bersama pelarutnya di satu labu, mengkondensasi uapnya dan menampung destilat
di labu yang lain. Destilasi tunggal dari larutan tidak akan menghasilkan produk
murni, hanya menghasilkan pemisahan sebagian (parsial) dari komponen fase uap
diperkaya oleh komponen yang mudah menguap. Untuk itu digunakan teknik
destilasi terfraksi, dimana dilakukan proses pemisahan parsial ini berkali-kali,
pada setiap kali pengulangan akan diperoleh pemisahan yang lebih baik.
(Roekmiyati, 2000)
Refluks
Refluks merupakan proses pemanasan berulang untuk menyempurnakan
reaksi, menggunakan labu bundar dengan suatu kolom yang dilengkapi aliran air
sebagai kondensator. Kondensasi uap terjadi pada ujung atas setiap kolom, dan
kondensat dapat diambil sebagai produk atau masuk kembali ke dalam kolom.
Perbandingan antara jumlah yang dikembalikan dan yang diambil disebut
Perbandingan Refluks (Reflux Ratio) R, yang dapat berubah-ubah antara C dan
tak terhingga. Untuk skala industri R diinginkan kecil, untuk meningkatkan
jumlah destilat. Untuk keperluan analisis, diperlukan harga R yang lebih besar
(biasanya 10-50) untuk menjaga kondisi yang mendekati kesetimbangan sehingga
diperoleh pemisahan yang lebih baik.
Kolom Fraksionasi
Dengan kolom fraksionasi, uap akan terkondensasi dan diuapkan lagi
secara parsial berkali-kali waktu melalui kolom dan aliran berkesinambungan dari
kondensat kembali ke kolom. Kalau kolom benar-benar terisolasi, suhunya akan
menurun kea rah bagian atas kolom. Hasil guna dari kolom seperti ini tergantung
pada banyak faktor, seperti desain kemasan, pengendalian suhu, panjang kolom
dan kecepatan pengambilan produk untuk mengukur daya guna kolom.
Macam-macam kolom yang digunakan antara lain :
o Kolom Vigneux : terdiri dari tabung gelas yang dilakukan dengan teratur
dengan tonjolan mengarah ke dalam dan sedikit ke bawah. Tabung ini dapat
diisolasi dengan abses atau dibungkus dengan penutup vakum. Kolom ini
murah, hasil cukup baik tetapi masih kurang efisien.
o Tabung gelas yang diisi potongan-potongan bahan berbentuk tak teratur.
Potongan gelas atua logam memberikan permukaan yang besar untuk
kesetimbangan antara uap dan cairan yang baik. Potongan logam membuat
kolom lebih efisien dibandingkan gelas, tetapi tidak dapat digunakan untuk
campuran korosif.
o Tabung konsentris terdiri dari tabung dalam yang lurus dengan diameter yang
sama ditempatkan persis di tengah tabung luar. Uap melewati bagian kosong
(0,75 mm) di antara kedua tabung, sedangkan cairan turun melalui dinding.
o Kolom pita berputar, memberikan kinerja yang optimum, dengan kawat yang
dilekuk-lekuk dimasukkan ke dalam tabung dan diputar pada 2000-3000 rpm
yang membuat cairan yang berlebih mengalir turun secara bebas.
Dinamolisis
Dinamolisis adalah suatu metode yang digunakan untuk identifikasi zat
berdasarkan diameter. Dinamolisis dapat dilakukan dengan cara kertas saring
Whatman diameter 10 cm, titik pusatnya dilubangi kemudian dipasang sumbu
yang terbuat dari kertas saring. Kertas saring bersumbu ini kemudian ditutupkan
pada cawan Petri yang berisi maserat atau ekstrak cair. Kemudian dibiarkan
sampai terjadi proses difusi sirkular selama kurang lebih 10 menit.
Kromatografi Lapis Tipis
Teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Egon Stahl
dengan menghamparkan penyerap pada lempeng gelas, sehingga merupakan
lapisan tipis. Sistem ini segera popular karena memberikan banyak keuntungan,
misalnya peralatan yang diperlukan sedikit, murah, sederhana, waktu analisis
cepat dan daya pisah cukup baik. (Sudjadi, 1988)
Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik
langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat
adalah :
o Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
o Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus
(adsorpsi/penjerapan)
o Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap
(keatsirian)
(Gritter et al,1991)
Sekarang kromatografi mencakup beberapa macam proses didasarkan
pada distribusi diferensial dari komponen-komponen sampel antara dua fasa.
Salah satu fasa yang tinggal dalam sistem dinamai fasa diam (stationary phase),
fasa lain yang melalui fasa diam dinamai fasa gerak (mobile phase). Pergerakan
dari fasa gerak menimbulkan migrasi diferensial komponen-komponen dalam
sampel.
(Tjokronegoro, 2000)
Fasa diam
Kondisi optimum suatu pemisahan merupakan hasil kecocokan antara
fasa diam dan fasa gerak. Dalam KLT fasa diam harus mudah didapat. Fasa diam
berupa lapisan tipis (tebal 0,1-2 mm) yang terdiri atas bahan padat yang
dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca,
tetapi dapat pula terbuat dari pelat polimer atau logam. Lapisan melekat kepada
permukaan dengan bantuan bahan pengikat biasanya kalsium sulfat atau amilum.
(Gritter,1991)
Jenis-jenis fasa diam yang dapat digunakan :
o Silika gel : - Silika gel dengan pengikat
- Silika gel dengan pengikat dan indikator fluorosensi
- Silika gel tanpa pengikat dengan indikator fluorosensi
- Silika gel tanpa pengikat
- Silika gel untuk preparative
o Alumina
o Keiselguhr
o Selulosa
(Sudjadi,1988)
Fasa Gerak
Untuk fasa diam yang menggunakan silika gel, alumina, dan fasa diam
lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi kolom serapan. Sistem
tak berair paling banyak digunakan, yang meliputi (sifat hidrofob menaik)
methanol, asam asetat, etanol, aseton, etil asetat, eter, kloroform (perlu
diperhatikan pada kloroform yang distabilkan dengan etanol), benzene,
sikloheksan dan eter petroleum. Campuran pelarut yang terdiri dari dua atau tiga
pelarut dapat pula digunakan. Penyusunan sistem pelarut dapat dipilih sesuai
dengan kemampuannya membentuk ikatan hydrogen dalam satu seri dari hidrofil
sampai ke hidrofob. Kombinasi pelarut yang mempunyai sifat berbeda
memungkinkan didapatnya sistem pelarut yang cocok.
(Sudjadi,1988)
Faktor Retensi (Rf)
Derajat retensi pada kromatografi lempeng biasanya dinyatakan sebagai
faktor retensi Rf :
Rf = Jarak yang ditempuh senyawa terlarut
Jarak yang ditempuh pelarut
Jarak yang telah ditempuh pelarut dapat diukur dengan mudah dan jarak tempuh
cuplikan diukur pada pusat bercak itu, atau pada titik kerapatan maksimum.
(Sudjadi,1988)
BAB III
ALAT DAN BAHAN
ALAT :
o Beaker glass besar
o Cawan Penguap
o Labu alas destilasi
o Batu didih
o Alat refluks
o Piknometer
o Botol coklat
o Cawan Petri
o Kertas saring Whatman
o Rotavapor
o Pelat silika gel
o Pipa kapiler
o Timbangan
o Botol bening besar
o Lemari pendingin
o Spektroskopi UV 254 dan 366 nm
BAHAN :
o Simplisia Capsici fructus
o Metanol
o Air
o Larutan pengembang :
o Penampak bercak
BAB IV
PROSEDUR
Ekstraksi refluks
Ditimbang gram simplisia Capsici fructus, dimasukkan serbuk simplisia yang
telah ditimbang ke dalam labu alas bulat. Kemudian dituang pelarut metanol
sampai kurang lebih ½ - 2/3 bagian volume labu ke dalam labu alas bulat yang
telah berisi simplisia lalu dimasukkan batu didih. Dipasang alat-alat refluks pada
tempatnya dan diatur suhunya kemudian dialirkan air lalu simplisia diekstraksi
sampai tetesan pelarut dari tabung hampir tidak berwarna. Setelah itu alat refluks
dimatikan, labu alas bulat diambil lalu didinginkan di udara terbuka. Setelah itu
pindahkan hasil ekstrak yang diperoleh dari labu alas bundar ke dalam botol
bening besar lalu disimpan di lemari pendingin.
Evaporasi
Ekstrak yang diperoleh dari hasil refluks disisihkan 50 mL untuk dinamolisis dan
disimpan dalam lemari pendingin. Kemudian sisanya digunakan untuk evaporasi.
Dimasukkan sisa ekstrak ke dalam labu alas bulat kemudian dipasang alat
evaporator (rotavapor), lalu setelah seluruh alat dipasang, alat dinyalakan dan
dibiarkan sampai tidak terdapat lagi cairan yang menetes melalui kondensor
sehingga dihasilkan ekstrak kental. Setelah itu diangkat dan dihitung kembali
volume ekstrak kental tersebut. Lalu dimasukkan ke cawan penguap dan diuapkan
kemudian dihitung berat ekstrak yang sudah bebas methanol.
Dinamolisis
Disiapkan kertas saring Whatman berdiameter 10 cm. Lalu titik pusat kertas
Whatman tersebut dilubangi dan dipasang sumbu yang terbuat dari kertas saring.
Ekstrak encer dari hasil refluks dituang ke dalam cawan Petri. Cawan Petri ditutup
oleh kertas Whatman yang telah disiapkan dan dibiarkan sampai terjadi difusi
sirkular selama 10 menit.
Penetapan Bobot Jenis Ekstrak
Ditimbang piknometer dalam keadaan kosong, lalu piknometer diisi penuh dengan
air dan ditimbang kembali, kemudian dihitung kerapatan air. Setelah itu
piknometer dikosongkan dan dikeringkan kembali dan diisi penuh dengan ekstrak
encer hasil refluks, lalu ditimbang. Melalui berat ekstrak yang mempunyai volume
tertentu, dapat dihitung kerapatan ekstrak.
Kromatografi Lapis Tipis
Disiapkan pelat silika gel sebagai penyerap berukuran 10 x 2 cm. Lalu pelat
tersebut ditandai dengan cara memberi dua buah garis yang masing-masing
berjarak 1 cm dari ujung bawah dan atas.
Kemudian disiapkan larutan pengembang untuk simplisia Capsici fructus yaitu
kloroform pekat, metanol pekat dan asetat pekat dengan perbandingan 95 : 1 : 5.
Pengembang ditempatkan pada wadah yang telah disediakan. Tinggi pengembang
dari dasar wadah tidak lebih daripada 1 cm. Kemudian wadah ditutup dan
ditunggu hingga larutan pengembang jenuh dan ditandai dengan hangatnya suhu
di dalam wadah.
Setelah itu pipa kapiler yang telah disediakan dibersihkan dengan ditotolkan ke
dalam metanol lalu dikeringkan. Setelah itu ekstrak hasil refluks ditotolkan pada
pelat silica gel yang telah disiapkan. Silika gel ditempatkan di wadah berisi
pengembang. Dan perambatan spot diamati. Setelah jarak rambat pengembang
mencapai batas ujung pelat, pelat diangkat dari wadah. Pelat kemudian disemprot
dengan penampak bercah (vanillin asam sulfat pekat). Lalu spot diamati secara
berturut-turut di bawah sinar biasa, sinar UV 254 nm dan 366 nm. Kemudia
dihitung Rf dari tiap-tiap spot lalu dibandingkan dengan literatur.
BAB V
HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
Berat simplisia: 50 g
Volume ekstrak yang diperoleh: 250 mL
Berat ekstrak kental: 200 + 50 x 8,01 g = 10,0125 g200
Rendemen : 10,0125 x 100 % = 20,025 % 50
Berat piknometer kosong: 15,54 g
Berat piknometer + air: 25,72 g
Volume piknometer: 10 mL
Berat air: 10,18 g
Kerapatan air: 10,18 = 1,018 g/mL 10
Berat piknometer + ekstrak: 23,84 g
Berat ekstrak: 8,30 g
Kerapatan ekstrak: 8,30 = 0,83 g/mL 10
Bobot jenis ekstrak: 0,830 = 0,815 1,018
Pengukuran diameter lingkaran hasil dinamolisis
Lingkaran Pengukuran I Pengukuran II Pengukuran III Rata-rata
I 1,1 cm 1,2 cm 1,1 cm 1,13 cm
II 1,35 cm 1,3 cm 1,35 cm 1,33 cm
III 1,85 cm 1,55 cm 1,8 cm 1,73 cm
Hasil pengamatan kromatografi lapis tipis
Spot Sinar biasa Sinar UV
254 nm
Sinar UV
366 nm
Rf tanpa pereaksi
bercak
I kuning kuning kuning 1,3 / 6,4 = 0,203125
II kuning kuning Kuning 4,4 / 6,4 = 0,6875
III kuning kuning Kuning 5,4 / 6,4 = 0,84375
IV jingga kuning Merah 6,4 / 6,4 = 1
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada percobaan ekstraksi metabolit sekunder dari simplisia capsici fructus,
langkah awal yang harus dilakukan adalh mengekstrak metabolit sekunder yang
ada dalam simplisia. Menurut literature yang diperoleh Capsici fructus
mengandung resin (kapsisin, kapsaisin, kapsakin), sejumlah zat warna
(kapsarubin, kapsantin, karoten), minyak lemak serta vitamin A, B, dan C. Untuk
menarik komponen-komponen metabolit tersebut, dipakai pelarut etanol,
menggunakan proses refluks. Ke dalam labu bundar dimasukkan 50 gram serbuk
simplisia, ditambahkan sedikit etanol hingga semua simplisia terbasahi, baru
ditambahkan sisa pelarut sampai 2/3 labu terisi (300 mL). Setelah ditambahkan
batu didih, labu dipasang pada kolom, dan dipanaskan selama ± 1 jam. Refluks
merupakan proses pemanasan berulang untuk menyempurnakan reaksi, dalam hal
ini etanol sebagai pelarut diharapkan dapat menarik secara optimal metabolit-
metabolit sekunder yang terdapat di dalam simplisia. Di samping itu dengan
adanya pemanasan kelarutan zat-zat tersebut akan semakin besar sehingga ekstrak
yang diperoleh lebih baik. Etanol dipilih sebagai pelarut karena komponen utama
metabolit sekunder dalam simplisia bersifat polar, sehingga penggunaan etanol
sebagai pelarut organic yang polar akan dapat menarik metabolit yang diinginkan
dengan baik, sesuai dengan prinsip like dissolve like. Dalam pembahasan ini
“ekstraksi” mengacu pada pengertian ekstraksi dalam bidang farmasi, bukan
dalam bidang kimia secara umum. Ekstraksi dalam bidang kimia diartikan sebagai
proses pemisahan dimana zat terlarut didistribusikan di antara dua pelarut yang
tidak bercampur. Sedangkan dalam bidang farmasi diartikan sebagai proses
penarikan suatu senyawa dari bahan mentah atau setengah murni dengan
perlakuan menggunakan pelarut yang sesuai.
Berdasarkan kandungan simplisia, kelarutan masing-masing komponen
dalam etanol adalah sbb :
o Resin : larut dalam pelarut organik termasuk etanol
o Zat warna : umumnya larut dalam etanol
o Minyak lemak : larut dalam etanol
o Vitamin A : larut dalam etanol
o Vitamin B1, B2, B6 : sukar larut dalam etanol
o Vitamin C : agak sukar larut dalam etanol
Jadi dapat diperkirakan metabolit sekunder yang akan diperoleh dari
ekstrak meliputi resin (kapsisin, kapsaisin, kapsakin), zat warna (kapsantin,
kapsarubin, karoten, karotenoid), minyak lemak dan vitamin A. Menurut
Departemen Kesehatan, persyaratan simplisia Capsici fructus antara lain adalah
bahwa sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 22%. Menunjukkan bahwa
ekstrak akan mengandung bahan metabolit dalam jumlah yang cukup besar.
Capsici fructus juga diketahui mengandung sedikit alkaloid yang mudah
menguap, adanya proses pemanasan dipastikan akan menyebabkan komponen ini
menguap.
Refluks merupakan salah satu metode ekstraksi dengan hanya
menggunakan satu labu, uap hasil kondensasi akan kembali ke dalam labu, tidak
dialirkan ke dalam labu lain. Sistem harus tertutup rapat agar tidak ada komponen
yang lepas. Uap dari labu akan naik ke dalam kolom dan dikondensasi kembali ke
bentuk cair. Komponen yang paling mudah menguap akan berada di puncak
kolom, jadi kemungkinan alkaloid yang mudah menguap akan berada pada bagian
ini selama proses refluks, dan segera menguap ketika refluks dihentikan dan labu
dilepaskan dari kolom dalam keadaan yang cukup panas.
Setelah direfluks selama ± 1 jam, labu diambil dan didinginkan beberapa
saat, ekstrak yang berwarna merah jingga diambil, sedangkan ampasnya dibuang.
Dari volume awal 300 mL, diperoleh ekstrak sebanyak 250 mL. Kehilangan ini
disebabkan oleh adanya pelarut yang masih tertinggal di dalam kolom dan di
dalam ampas. 50 mL ekstrak dipisahkan untuk proses dinamolisis, perhitungan
berat jenis dan kromatografi lapis tipis, sedangkan sisanya dievaporasi. Pada
prinsipnya rotavapor bertujuan untuk memekatkan larutan dengan cara menarik
pelarut. Proses evaporasi melibatkan pemanasan disertai pemutaran labu yang
kontinyu pada tekanan rendah untuk mempercepat penguapan pelarut, selanjutnya
uap dikondensasi dan dialirkan ke labu yang lain, sehingga larutan yang tertinggal
makin lama konsentrasinya makin besar. Idealnya evaporasi dihentika bila tidak
ada lagi tetesan pelarut yang mengalir dari kondensator, namun karena
keterbatasan waktu, pada percobaan evaporasi hanya dilakukan selama ½ jam.
Hasil evaporasi belum dapat dikatakan ekstrak kental karena kandungan
pelarutnya masih cukup banyak. Agar diperoleh ekstrak kental yang diinginkan,
hasikl evaporasi selanjutnya dipindahkan ke cawan penguap dan dibiarkan berada
di water bath sampai ekstrak mengental. Untuk keperluan perhitungan rendemen,
cawan penguap harus ditimbang terlebih dahulu. Berat ekstrak kental ditimbang,
rendemen diperoleh dengan membandingkan berat ekstrak total terhadap
simplisia, dikalikan 100%. Diperoleh rendemen sebesar 20,025%.
Untuk perhitungan berat jenis, digunakan piknometer yang kosong dan
bersih, jika masih basah, piknometer harus dibilas dengan sedikit etanol/ methanol
hingga kering. Lalu berat piknometer kosong ditimbang, dan ditimbang pula berat
piknometer yang berisi air, sehingga kerapatan air dapat ditentukan. Selanjutnya
piknometer dibersihkan dan dikeringkan, diisi ekstrak hasil refluks lalu ditimbang,
sehingga kerapatan ekstrak dapat dihitung. Selanjutnya berat jenis diperoleh
dengan membandingkan kerapatan ekstrak dengan kerapatan air. Dari percobaan,
diperoleh berat jenis ekstrak 0,815.
Proses dinamolisis yang dilakukan akan memberikan gambaran secara
kualitataif dari kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak. Karena masing-
masing ekstrak memiliki pola dinamolisis yang berbeda.
Untuk memisahkan komponen-komponen senyawa yang terdapat di dalam
ekstrak, dilakukan teknik pemisahan dengan kromatografi lapis tipis. Sebagai fasa
diam digunakan plat logam yang dilapisi silica gel. Silika gel bersifat asam,
sehingga penggunaan fasa diam silica gel pada KLT sebaiknya untuk memisahkan
komponen yang bersifat basa, ia akan terekan kuat pada permukaan oleh gaya ion
sehingga sukar digerakkan dan dipisahkan. Selain bersifat asam, silica gel
[(SiO2)x] mempunyai atom oksigen yang polar dan adnya gugus hidroksi pada
permukaan menjadi silica gel bahan yang benar-benar polar. Jadi akan menarik
molekul polar daripada molekul nonpolar. Seperti diketahui, ekstrak yang akan
dipisahkan dilarutkan dalam etanol yang polar, sehingga dapat dikatakan bahwa
komponen-komponen yang akan dipisahkan pun mempunyai sifat yang cukup
polar pula.
Sebelum melakukan kromatografi lapis tipis, faktor-faktor yang perlu
diperhatikan adalah :
o Kualitas sorben / zat penjerap / fasa diam
o Prosedur preparasi
o Ketebalan dan keseragaman lapisan
o Kualitas pelarut
o Derajat kejenuhan dalam bejana
o Teknik pengembangan kromatografis
o Jumlah sampel yang ditotolkan
o Suhu
Pertama-tama pada plat dibuat garis 1 cm dari masing-masing ujung. Titik
tempat campuran ditempatkan disebut titik awal. Campuran diletakkan pada titik
awal dengan menotolkannya dengan menggunakan suatu kapiler halus dari kaca,
dan diusahakan agar luas totolan sekecil mungkin. Beberapa kali penotolan dapat
dilakukan pada tempat yang sama asalkan lapisan totolan pertama harus keringa
dahulu sebelum totolan selanjutnya. Karena campuran berada dalam pelarut etanol
yang mudah menguap, maka setelah tiap totolan, plat cukup dibiarkan sesaat atau
ditiup sedikit hingga etanolnya menguap. Jumlah totolan tidak boleh terlalu
banyak karena menyebabkan bercak menjadi asimetris dan menyebabkan
perubahan pada harga Rf.
Pelarut pengembang yang digunakan adalah campuran toluene : etOAc
dengan perbandingan 7 : 3 sebanyak 5 mL (campuran 3,5 mL toluene dengan 1,5
mL etOAc). Campuran pelarut dimaksudkan untuk memperoleh kepolaran yang
diinginkan agar komponen-komponen terpisah dengan baik.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mencampur pelarut adalah :
o Hanya pelarut yang mempunyai kepolaran yang hampir sama yang dapat
dicampur. Dalam hal ini etOAc bersifat sedikit lebih polar daripada toluene,
namun pada dasarnya keduanya dapat dianggap kurang polar jika
dibandingkan dengan fasa diam silica gel.
o Kepolaran campuran tidak merupakan fungsi linier dari susunan campuran,
tetapi merupakan fungsi logaritma. Jadi campuran toluene : etOAc
mempunyai kepolaran yang mendekati kepolaran toluene (makin kurang
polar).
o Dapat dibuat elusi landaian dengan menambahkan sedikit demi sedikit pelarut
lain dalam pelarut murni selam kromatografi sehingga kepolaran meningkat /
menurun terus-menerus.
Campuran pelarut dimasukkan ke dalam bejana pengembang dari gelas,
pengerjaan dilakukan di dalam bejana tertutup agar tidak terjadi penguapan
pelarut dan bejana jenuh oleh uap pelarut. Bila bejana tidak jenuh, akan
mempengaruhi harga Rf. Untuk memastkan bejana jenuh sempurna, sebaiknya
dinding bejana dilapisi dengan kertas saring, jika kertas tersebut telah basah
sempurna, berarti bejana tersebut telah jenuh. Karena keterbatasan waktu dan alat,
langkah di atas tidak dilakukan. Tetapi kejenuhan diuji dengan memasukkan
tangan ke dalam bejana, jika terasa cukup hangat, berarti bejan sudah cukup
jenuh.
Ke dalam bejana yang telah jenuh, dimasukkan pelat silica gel yang telah
diberi totolan ekstrak. Satu pelat dpat diisi dua sampai tiga totolan. Dalam
percobaan, pelat diberi dua totolan yang berdampingan, yaitu ekstrak Capsici
fructus yang diperoleh dengan cara refluks dan yang diperoleh dengan cara
sohxlet. Tinggi campuran pelarut dalam bejana cukup beberapa millimeter, dan
titik awal tidak boleh terendam dalam campuran pelarut tersebut. Bejana ditutup
dan campuran pelarut dibiarkan merambat naik sampai bagian atas pelat yang
telah ditandai sebelunya(1 cm dari tepi atas), garis ini disebut garis depan. Jadi
garis depan adalah titik tertinggi yang dicapai fasa gerak/ pelarut pada fasa diam
setelah pengembangan selesai. Faktor retensi Rf diperoleh dengan
membandingkan jarak tempuh noda/komponen terhadap jarak tempuh pelarut
(garis depan). Pada percobaan, noda terakhir berada tepat pada garis depan,
sehingga diperoleh harga Rf =1.
Selama pengembangan, komponen yang lebih polar akan terikat lebih kuat
pada lapisan silica gel sehingga akan tertahan lebih lama, sedangkan komponen
yang kurang polar akan cepat bergerak bersama campuran pelarut (yang relative
kurang polar jika dibandingkan dengan slikia gel). Kromatogram yang diperoleh
menunjukkan adanya empat bercak yang terpisah, berarti bahwa komponen yang
berada di garis depan adalah komponen yang paling kurang polar di antara
komponen-komponen lainnya. Tiap-tiap noda berwarna kuning-orange dan
mempunyai dan mempunya sedikit “ekor”. Bentuk noda yang ideal pada
kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis adalah yang benar-benar bulat
sehingga luas dapat diukur, tetapi pada prakteknya tidak selalu bulat karena
beberpa hal :
o Zat yang ditotolkan terlalu banyak (volume besar atau konsentrasi tinggi)
o Pada waktu pengembangan, lapisan tipis mudah rusak sehingga elusi noda
tidak bersamaan
o Bila menggunakan lebih dari satu pelarut, maka terjadi lebih dari satu front,
sehingga noda berbentuk garis tipis
o Bila satu komponen dapat terjadi dalam lebih dari satu bentuk, akan terjadi
dua noda.
Jadi belum dapat disimpulkan apakah empat noda tersebut adalah empat
komponen yang berbeda, atau ada salah satu komponen yang menimbulkan dua
bercak.
Jika didiamkan beberapa lama, noda pada kromatogram dapat hilang,
untuk itu digunakan suatu penyemprot bercak agar noda tetap terlihat.
Penyemprot bercak yang digunakan adalah asam sulfat 10% dalam methanol.
Asam sulfat merupakan suatu penampak bercak yang umum digunakan. Reaksi
ini dapat terbentuk dengan pemanasan pelat pada 0-120°C. Dasarnya adalah
bahwa dengan pemanasan sampai 100°C, senyawa organic akan hangus/menjadi
karbon (arang) dan tampak berupa bercak hitam pada latar belakang putih. Karena
itu metode ini hanya cocok untuk fasa diam yang benar-benar berupa bahan
anorganik seperti silica gel maupun alumina, dan tidak dapat digunakan jika fasa
diamnya adalah bahan organic atau pelat yang menggunakan pati sebagai
pengikat.
Metode yang cukup umum digunakan untuk deteksi kromatogram adalah
penggunaan sinar UV panjang gelombang 254 nm dan 366 nm, khususnya untuk
noda yang tidak berwarna. Karena noda pada kromatogram yang diperoleh
berwarna, noda dapat dideteksi pada tiga keadaan, yaitu pada sinar biasa, sinar
UV 254 nm dan 366 nm. Untuk fasa diam silica gel biasa, fluoresensi di bawah
sinar UV hanya terjadi jika senyawa tersebut berfluoresensi. Tapi bila yang
digunakan adalah silica gel berfluoresensi, noda muncul sebagai bercak hitam.
Dari percobaan, noda yang timbul pada pengamatan disinar biasa berwarna
kuning sedangkan pada UV 366 nm berwarna merah.
VII. KESIMPULAN
Volume ekstrak Capsici fructus = 250 ml
Rendemen ekstrak Capsici fructus = 20,025%
Bobot jenis ekstrak Capsici fructus = 0,0815
DAFTAR PUSTAKA
D’ Amelia, F. S. 1999. Botanical, Phytocosmetics Desk Reference. USA : CRC
Press.
Depkes RI. 1977. Materia Medika Jilid I. Jakarta : Depkes RI.
Depkes RI. 1985. Tanaman Obat Indonesia Jilid I. Jakarta : Depkes RI.
Gritter, R. J., J. M. Bobbit and A. E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi.
Bandung : Penerbit ITB.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Kosasih P, Translator. Second Edition.
Bandung : ITB.
Hembing, H.M., 1997, Tanaman Berkhasiat di Indonesia, second edition, Jakarta : Pustaka Kartini
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta.: UI Press.
Moore, J. A., D. L. Dalrymple. 1976. Experimental Methods in Organic
Chemistry 2nd Edition. Philadelphia : Sounders Collage Publishing.
Parrot, E.L, Saski. L. 1971. Experimental Pharmaceutical Technology., 3rd
edition. Minneapolis, Minnesota; Burgess Publishing Company
Pecsok, R. L., L. D. Shields, T. Cairns, I. G. Mcwilliams. 1976. Modern Methods
of Chemical Analysis. 2nd Edition. Ottawa : John Wiley and Sons Inc.
Soedibyo, Moeryati, B. R. A. 1998. Alam Sumber Kesehatan : Manfaat dan
Kegunaan. Jakarta : Balai Pustaka.
Sujadi. 1998. Metode Pemisahan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Tjokronegoro, Roekmiati. 2000. Teknik Pemisahan Kimia. Bandung: Jurusan
Kimia FMIPA UNPAD.
LAPORAN PRAKTIKUM
FITOKIMIA
EKSTRAKSI METABOLIT SEKUNDER
SIMPLISIA CAPSICI FRUCTUS
Disusun Oleh :
Rora Prawira D1E02019Endah Dwi H D1E02020Lolitha H L. D1E02021Nurul Indriati D1E02022Neni Fitria D1E02023Nur Annisa R. D1E02024
Laboratorium FitokimiaJurusan Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran2005
VI. DATA PENGAMATAN
Berat simpisia : 50,1 gram
Volume pelarut : 250 ml
Volume ekstrak yang diperoleh : 157 ml
Berat ekstrak kental : 79,69 gram
Rendemen : 3,65%
Berat piknometer kosong : 13,19 gram
Berat piknometer + air : 23,63 gram
Volume piknometer : 10 ml
Berat air : 10 ml
Kerapatan air : 1,004 gram/ml
Berat piknometer + ekstrak : 21,72 gram
Berat ekstrak : 8,53 gram
Kerapatan ekstrak : 0,853 gram/ml
Bobot jenis ekstrak : 0,853 gram/ml
Berat cawan : 48,09 gram
Berat cawan + ekstrak : 49,92 gram
Berat ekstrak kering : 1,83 gram
KLT:
Panjang kertas (y) = 6,3 cm
Jarak antar bercak (x):
No Sinar Tampak UV 254 nm UV 266nm
1 5,8 5,8 3,2
2 5,4 - 4,5
3 4,6 - 4,7
4 - - 5,4
Pola Dinamolisis Ekstrak
No Diameter Hijau Diameter Kuning
1 1,5 cm 1,85 cm
2 1,8 cm 2,2 cm
3 1,7 cm 2,0 cm
4 1,7 cm 1,9 cm
5 1,6 cm 2,0 cm
6 1,6 cm 2,1 cm
7 1,4 cm 2,2 cm
8 1,6 cm 1,8 cm
Rata-rata 1,6125 cm 2,006 cm
Perhitungan Rf (y/x)
No Rf Sinar tampak Rf UV 254 nm Rf UV 266 nm
1 0,92 Hijau paling muda 0,92 Ungu 0,51 Biru muda
2 0,86 Hijau muda - - 0,71 orange
3 0,73 Hijau tua - - 0,75 kuning
4 - - - - 0,86 Pink
VII. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini yang dilakukan adalah mengekstraksi simplisia
sonchi folium untuk memperoleh metabolit sekunder. Metode ekstraksi yang
dipakai adalah metode refluks (ekstraksi cara panas) dimana pelarut yang
digunakan adalah etanol yang dapat menarik komponen-komponen metabolit
sekunder. Etanol bersifat polar dan metabolit sekunder yang terdapat dalam
simplisia juga bersifat polar, maka sesuai dengan prinsip ”like disolve like” ,
etanol akan dapat menarik metabolit sekunder. Selain itu terdapat beberapa
keuntungan dari pelarut etanol, yaitu :
lebih selektif
kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol
tidak beracun
netral
absorpsinya baik
etanol bercampur dengan air pada segala perbandingan
panas yang diperlukan untuk pemekatan sedikit
Proses refluks dimulai dengan memasukkan simplisia kedalam labu dasar
bulat sebanyak 50,1 gram, ditambahkan 250 ml etanol. Labu dasar bulat dipasang
pada alat refluks yang suhunya telah diatur. Direfluks selama kurang lebih 1,5
jam. Pada proses refluks dilakukan pemanasan berulang. Dengan pemanasan
maka suhu akan meningkat dan akan mendorong tumbukan antar partikel lebih
cepat dan lebih kuat sehingga produk yang terbentuk akan lebih besar. Dalam
proses refluks ini akan terjadi pendidihan dimana dari pendidihan ini etanol akan
menguap yang kemudian akan dikondensasikan kembali menjadi cairan yang akan
dialirkan kembali kedalam labu dasar bulat. Etanol dalam bentuk cairan ini akan
bereaksi dengan simplisia yang masih belum bereaksi. Hal tersebut akan
berlangsung secara terus menerus sehingga zat pengotor pada simplisia akan habis
bereaksi dan dihasilkan produk metabolit sekunder yang lebih banyak. Hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan proses refluks yaitu pengolesan vaselin pada
bagian luar mulut labu dan penambahan batu didih kedalam labu dasar bulat.
Vaselin digunakan untuk menghindari pecahnya labu akibat pemuaian yang
disebabkan oleh pemanasan. Sedangkan batu didih digunakan untuk menghindari
terjadinya bumping, yaitu letupan akibat tekanan dalam sistem lebih besar
daripada diluar sisitem yang besarnya cukup ekstrim sehingga bisa menekan labu
dan membuatnya retak atau pecah. Dengan adanya batu didih, gelembung yang
dihasilkan akibat pemanasan akan masuk dulu ke pori-pori yang terdapat dalam
batu didih sehinnga gelembung yang besar dapat dipecah dan menjadi kecil.
Selain itu juga batu didih dapat membuat pemanasan terpusat sehinnga pemanasan
lebih efektif dan merata. Penambahan batu didih ini dilakukan sebalum
pemanasan, karena apabila penambahan dilakukan pada saat pemanasan akan
membuat peredaman bumping kurang efektif dan kemungkinan terjadinya letupan
akan semakin besar.
Dari proses refluks diperoleh ekstrak cair sebanyak 157 ml. Ekstrak cair
yang diperoleh dievaporasi untuk memisahkan pelarut dengan metabolit sekunder.
Untuk proses evaporasi ekstrak yang digunakan sebanyak 137 ml sementara
sisanya 20 ml digunakan untuk pengukuran dinamolisis dan KLT. Proses
evaporasi merupakan proses pemanasan dengan labu yang diputar secara terus
menerus untuk mempercepat penuapan pelarut. Proses evaporasi dihentikan
apabila tidak terdapat tetesan pelarut dari kondensor. Karena keterbatasan alat dan
waktu maka proses evaporasi hanya dilakukan selama 15-20 menit, oleh karena
itu ekstrak kental yang diperolah masih banyak mengandung pelarut. Untuk
menghilangkan sisa pelarut ekstrak kental diuapkan diatas tangas air hingga
pelarut habis. Sehingga diperoleh hasil akhir sebanyak 1,83 gram dan
rendemennya sebesar 3,65%.
Untuk perhitungan berat jenis, diperlukan data tentang kerapatan ekstrak
dan kerapatan air. Kerapatan air diperoleh dengan cara menimbang piknometer
kososng dan piknometer yang berisi air. Dari proses ini diperoleh berat air dan
volume air sehingga kerapatan dapat dihitung dengan menggunakan rumus
ρ=m/v. Sedangkan untuk menentukan kerapatan ekstrak digunakan prosedur yang
sama. Berat jenis diperoleh dengan membandingkan kerapatan ekstrak dengan
kerapatan air. Dari percobaan, diperoleh berat jenis ekstrak 0,853
Proses berikutnya yang dilakukan adalah dinamolisis. Dari proses ini
diperoleh pola dinamolisis berbentuk lingkaran yang berwarna kuning dan hijau
pada kertas Whatman. Setiap tumbuhan memiliki pola dinamolisis yang berbeda.
Untuk mengetahui dan memisahkan komponen yang terdapat didalam
ekstrak, dilakukan kromatografi lapis tipis. Pada kromatografi lapis tipis terdapat
dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Untuk fase diam digunakan plat logam
yang dilapisi silika gel dan fase geraknya digunakan metanol, kloroform, asam
asetat (1:95:5). Langkah pertama adalah membuat beberapa titik pada kertas silika
gel. Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut :
0.5 cm = y
6.3 cm = z
0.6 0.6 1 cm= x
Ekstrak ditotolkan pada kertas silika gel (yaitu pada garis x pada gambar)
sebanyak 5 kali dengan menggunakan pipa kapiler. Penotolan dilakukan secara
bertahap dengan selang waktu. Maksudnya, penotolan kedua dilakukan setelah
totolan pertama kering. Dalam satu kertas silika diisi dengan totolan pada dua
tempat, yaitu sonchi dengan proses ekstraksi maserasi dan sonchi dengan proses
ekstraksi refluks. Kertas silika kemudian dimasukkan ke dalam bejana
pengembang yang telah diisi dengan fase gerak. Fase gerak dibuat dengan
mencampurkan MeOH:CHCL3:HOAc dengan perbandingan 1:95:5 sebanyak 5
mL (campuran 4,7 mL kloroform, 0,05 ml Metanol dengan 0,25 mL HOAc).
Campuran fase gerak harus didiamkan terlebih dahulu selama 30 menit agar
larutan jenuh. Perlu diperhatikan setelah larutan pengembang dituangkan, bejana
segera ditutup karena campuran ini mudah menguap. Kertas silika dalam bejana
didiamkan hingga pelarut naik perlahan-lahan hingga mencapai batas (yaitu garis
y pada gambar). Lalu, hasilnya dilihat dibawah sinar UV. Sinar UV yang
digunakan adalah sinar dengan panjang gelombang 254 nm dan 266 nm. Pada
sinat tampak diperoleh 3 totolan yang masing-masing berwarna hijau muda, hijau
tua, dan hijau yang sangat muda. Untuk sinar UV 254 nm, diperoleh satu totolan
saja yang berwarn ungu. Hal ini disebabkan karena pada sinar UV 254 nm terjadi
peredaman yang mengakibatnkan warna yang muncul hanya warna fase diamnya
saja. Sedangkan untuk sinar UV 266 nm, dihasilkan 4 totolan yang masing-
masing berwarna biru muda, orange, kuning, dan pink. Dari hasil KLT ini dapat
ditentukan Rf dengan cara membandingkan jarak noda/z (pada gabar).
Untuk KLT dengan menggunakan ekstrak yang diekstraksi dengan proses
maserasi diperoleh hasil yang sama dengan poses refluks. Hal ini dapat
membuktikan bahwa baik menggunakan metode maserasi maupun refluks akan
menghasilkan pola KLT yang sama.
VIII. KESIMPULAN
Rendemen : 3,65%
Berat ekstrak : 8,53 gram
Rf :
No Rf Sinar tampak Rf UV 254 nm Rf UV 266 nm
1 0,92 Hijau paling muda 0,92 Ungu 0,51 Biru muda
2 0,86 Hijau muda - - 0,71 orange
3 0,73 Hijau tua - - 0,75 kuning
4 - - - - 0,86 Pink
DAFTAR PUSTAKA
Gritter,R.J.J.M. Bobbit and A.G Schwarting.1991. Pengantar Kromatografi.
Bandung.Penerbit ITB
Harborne. J. B. 1996. Metode Fitokimia. ITB. Bandung
Tjitrosoepomo,Gembong.1994.Taksonomi Tumbuhan Obat.Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
Pada Kromatografi Lapis Tipis terdapat dua variabel
penting, yaitu fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam pada
Kromatografi Lapis Tipis merupakan lapian tipis adsorben yang
terikat pada pendukung. Pemisahan komponen-komponen
dengan Kromatografi Lapis Tipis dapat berlangsung melalui dua
mekanisme, yaitu mekanisme adsorpsi dan mekanisme partisi.
Faktor penentu keberhasilan pemisahan komponen pada
Kromatografi Lapis Tipis diantaranya : Kepolaran sistem,
pemilihan sistem adsorpsi, sistem partisi, serta pelarut.
Pemisahan berdasarkan adsorpsi dan partisi pada
Kromatografi Lapis Tipis sangat tergantung pada perbedaan
kepolaran komponen-komponen yang dipisahkan, karena
kepolaran merupakan faktor utama yang menjadi penentu bagi
sifat kelarutan komponen dalam dua fasa cair.
Kromatografi Lapis Tipis dapat digunakan untuk pemisahan
dalam jumlah kecil (µg). Disamping itu pada Kromatografi Lapis
Tipis dapat digunakan pelarut lebih banyak macamnya dan
terdapat ruang yang lebih leluasa. Kelemahan Kromatografi Lapis
Tipis diantaranya penyiapannya memakan waktu, karena plat
harus dibersihkan dulu dengan aseton untuk menghilangkan
lemak. Kemudian harus dilakukan penyaput pelat kaca dengan
penjerap. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan penyaput otomatis.
Bubur silika gel dalam air harus dikocok kuat-kuat selama jangka
waktu tertentu ( misalnya 90 detik ) sebelum penyaputan. Pelat
dapat ditambah dengan indikator fluoresensi untuk pendeteksian
senyawa yang memadamkan fluoresensi apabila dilihat dibawah
UV 254 nm atau memberikan fluoresensi apabila dilihat dibawah
UV 366 nm.
Bilangan Rf pada Kromatografi Lapis Tipis lebih kurang
akan terulang, oleh karena itu diperlukan senyawa pembanding
satu atau lebih penandaan. Bilangan Rf adalah perbandingan
jarak yang ditempuh senyawa pada kromatografi dengan jarak
rambat pengembang. Harga Rf berkisar antar 0,01-0,99.
Bilangan Rf dapat untuk membedakan pigmen satu dengan yang
lain. Untuk mengukur Rf pada Kromatografi Lapis Tipis dengan
seksama, dapat dilakukan dengan membakukan kondisi.
Biasanya kromatografi lapis tipis dilakukan dengan pengembang
naik dalam bejana yang dindingnya dilapisi dengan kertas saring
sehingga atmosfer dalam bejana jenuh dengan fase pelarut.
Kromatografi lapis tipis dapat dilakukan secara mendatar apabila
pelat harus dilewatkembangkan atau penggunaan Kromatografi
Lapis Tipis digabung dengan elektroforesis. Deteksi Kromatografi
Lapis Tipis biasanya dilakukan dengan pereaksi semprot,
misalnya dengan penyemprot asam sulfat pekat yang dilarutkan
dalan etanol.
SPEKTROFOTOMETRI UV-SINAR TAMPAK
Spektrofotometri UV-Visible ini dapat digunakan untuk
identifikasi secara kualitatif ataupun kuantitatif. Sampel yang
diukur sangat sedikit, yaitu sespora dan dilarutkan dalam etanol
95%, dimasukan kedalam kuvet 1-3 mL. kemudian diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 200-400 nm (untuk
sinar UV) dan 400-700 nm (untuk sinar tampak). Selain etanol
dapat digunakan pelarut methanol, air, heksan, eter, eter minyak
bumi. Harus dihindari alkohol mutlak niaga, karena mengandung
benzena yang dapat menyerap didaerah UV pendek. Kloroform
piridina pun harus dihindari karena menyerap didaerah 200-260
nm. Tetapi pelarut ini sangat baik untuk pengukuran spektrum
karotenoid didaerah sinar tampak. Persamaan yang digunakan
pada spektrometri ini adalah Lamberd Beer :
έ = A
cl
έ = absorbsi molekuler
A= Absorbansi
c = konsenterai dalam g mol/L
l = panjang sel dalam cm
Pemurnian merupakan suatu keharusan sebelum dilakukan
penetapan spektrum. Spektrofotometri UV-VIS merupakan pilihan
tunggal untuk penetapan struktur flavinoid. Bila senyawa fenol
ditambah alkali, secara khas spektrum bergeser kearah panjang
gelombang yang lebih besar (mengalami geser batokrom)
dengan absorbansi yang meningkat. Sebaliknya bila larutan
alkali ditambahkan pada larutan netral asam karboksilat, geseran
terjadi kearah yang berlawanan (mengalami geser hipsokrom).
1. Rf = = 0,92
I. PEMBAHASAN
Tujuan percobaan ini untuk mengisolasi metabolit
sekunder dari simplisia capsici fructus (buah cabe) dengan
metode ekstraksi basah, yaitu maserasi dan juga untuk
membandingkan ekstraksi cara panas dengan cara dingin yang
dilakukan oleh masing – masing praktikan. Simplisia digerus
dalam mortir hingga menjadi serbuk yang halus.
Pembuatan serbuk simplisia ini bertujuan untuk
memperluas kontak permukaan dengan cairan penyari. Semakin
kecil atau halus ukuran suatu partikel , maka semakin besar total
luas permukaan keseluruhan serbuk. Dan hal itu akan
menambah kontak permukaan dengan cairan penyari, Sehingga
akan memperbanyak senyawa kimia yang disari oleh cairan
penyari. Tetapi, dalam pembuatan serbuk simplisia tidak boleh
terlalu halus, karena ruang antar serbuk berkurang sehingga
cairan tidak dapat tembus dan akan mempersulit proses
penyarian, mempersulit penyaringan karena butir-butir halus
membentuk suspensi yang sulit dipisahkan dengan cairan
penyari dan dinding sel akan pecah, sehingga zat yang tidak
diinginkan ikut dalam penyarian.
Setelah semua simplisia menjadi serbuk, simplisia
ditimbang seberat 100 gram. Setelah ditimbang kemudian
simplisia dimasukkan kedalam botol kaca dan dilakukan proses
pembasahan menggunakan etanol 95 %. Proses pembasahan ini
bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada cairan penyari
untuk memasuki seluruh pori-pori dalam simplisia sehingga
mempermudah proses penyarian. Alasan menggunakan etanol
95 % adalah karena etanol dengan konsentrasi tersebut
mempunyai kadar air sedikit yaitu hanya 5 %. Banyaknya air
akan mempengaruhi keawetan dari ekstrak yang diperoleh,
karena air adalah media pertumbuhan yang baik bagi bakteri,
jamur, dan mikroorganisme lainnya.
Selain itu air mampu melarutkan beberapa zat tumbuh-
tumbuhan seperti gula, gom, amilum, zat warna, tannin, dan
kebanyakan zat- zat ini adalah bukan komponen yang diinginkan
sebagai ekstrak. Air juga cenderung mengekstraksi bahan dasar
tanaman yang setelah diekstraksi kemudian memisah
meninggalkan endapan yang tidak diinginkan.Dan banyak
senyawa kimia organic yang kompleks dalm tumbuhan lebih
dapat larut dalam alcohol daripada dalam air, sehingga alcohol
sering digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi pendahuluan.
Selain itu alcohol mempunyai sifat sebagai pengawet
antimikroba.
Setelah semua simplisia basah, bahan direndam dalam pelarut
etanol 95 % selama 24 jam. Selama proses perendaman ini,
pelarut meresap kedalam simplisia dan melunakkan sel,
sehingga zat – zat yang mudah larut akan melarut. Sebagai
pembantu, sebelum didiamkan dilakukan pengadukan untuk
memastikan semua serbuk kontak dengan pelarut. Setelah
direndam selama 24 jam, ekstrak cair disaring kedalam wadah
penampung. Dari 100 gram simplisia dalam 400 ml pelarut
etanol 95 % diperoleh ekstrak cair sebanyak 335ml. Dari ekstrak
cair tersebut akan ditentukan besar rendemen, pola dinamolisis,
penetapan bobot jenis dan kromatografi-kromatografi lapis tipis.
Ekstrak cair yang didapat, diambil sebanyak 300ml untuk
dimasukkan kedalam labu dasar bulat untuk dievaporasi dengan
menggunakan alat yang dinamakan evaporator hingga
volumenya kecil dan beratnya konstan tanpa terjadi percikan
pada suhu diantara 30 dan 40 C. Lalu sisanya sebanyak 35 ml
digunakan untuk proses penentuan pola dinamolisis, bobot jenis,
dan kromatografi lapis tipis.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu menghitung
rendemen untuk mengetahui kadar ekstrak dari 100 gram
simplisia dalam 400ml etanol 95 %. Rendemen diperoleh dengan
cara menguapkan .....ml ekstrak cair dalam cawan penguap yang
sebelumnya telah diketahui beratnya, kemudian setelah
diperoleh berat konstan, penguapan dihentikan. Dengan proses
perhitungan akan diketahui berat konstan ekstrak sehingga
dapat ditentukan berat ekstrak dari .....ml ekstrak cair melalui
proses konversi. Perhitungan rendemen dilakukan sebanyak 2
kali, dan dari hasil percobaan didapat rendemen sejumlah........
Langkah kedua yaitu penetapan bobot jenis. Bobot jenis
dapat ditetapkan dengan cara menimbang piknometer dengan
volume tertentu dalam keadaan kosong kemudian piknometer
diisi penuh dengan air lalu ditimbang ulang, sehingga diperoleh
kerapatan air. Dengan melakukan hal yang sama untuk bahan
ekstrak akan diperoleh kerapatan ekstrak cair. Bobot jenis
ekstrak dapat diperoleh dengan membandingkan kerapatan
ekstrak terhadap kerapatan air. Dari hasil percobaan, bobot jenis
ekstrak capsici fructus yaitu sebesar 0,81.
Langkah ketiga yaitu pola dinamolisis. Dinamolisis dapat
dilakukan dengan cara membuat kertas saring whatman
berbentuk lingkaran berdiameter kira-kira 10 cm, lalu titik
pusatnya dilubangi, kemudian dipasang sumbu yang terbuat dari
kertas saring. Kertas saring bersumbu ini kemudian ditutupkan
pada cawan petri yang berisi ekstrak cair dan didiamkan selama
10 menit sehingga terjadi difusi sirkular yang akan membentuk
pola dinamolisis. Dari hasil percobaan, terjadi pergerakan ekstrak
membentuk pola sedikit oval dengan diameter rata-rata 1,84cm.
Bagian terluar pola berwarna kuning, sedangkan bagian dalam
berwarna orange.
Langkah keempat kromatografi lapis tipis. Kromatografi
lapis tipis dilakukan dekat pusat sumbu berwarna oranye,
dengan cara menotolkan bercak ekstrak pada plat yang
kemudian ditanamkan pada pengembang. Penempatan plat pada
pengembang tidak boleh melebihi garis yang ditentukan pada
plat dan harus tegak lurus terhadap pengembang agar
pergerakan noda dan pembacaan harga Rf menjadi akurat. Rf
dihitung dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh
ekstrak terhadap jarak tempuh pelarut. Pada percobaan,
pengembang yang digunakan adalah campuran kloroform-
natrium hidroksida-asam asetat ( 95 : 1 : 5 ). Kemudian plat ini
diletakkan dibawah sinar ultra violet 254 nm dan sinar ultraviolet
366 nm.
II. KESIMPULAN
Bobot jenis ektrak capsici fruktus : 0,81
Diameter pola dinamolisis : 1,84 cm
Rf = 0,92 dan 0,93
Rendemen : 8,11 %
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Penerjemah:
Farida Ibrahim. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Dalimartha, dr. Setiawan. 2003. Atlas Tumbuhan Obat. Jakarta: Trubus
Agriwidya.
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Terbitan Kedua. Penerjemah: Dr. Kosasih
Padmawinata dan Dr. Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB.
Hoestettman, H., Hoestettman, M., Marston, A. 1995. Cara Kromatografi
Preparatif : Penggunaan pada isolasi senyawa alam. Bandung: Penerbit
ITB.
Stahl,E.,1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Penerbit ITB,
Bandung, 84-95.
Syamsuhidayat, S.S, dan Hutapea, J.r.,1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia,
Jilid I, Depkes RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta,
112-113.
Wiryowidagdo, S.,1992, Simposium Penelitian Tumbuhan Obat VII, Ujung
Pandang.
Pada praktikum kali ini kita akan melakukan isolasi metabolit sekunder
dari simplisia Sonchi Folium dengan cara metode ekstraksi panas yaitu
refluks.Setelah penimbangan simplisia, selanjutnya adalah melarutkannya dengan
etanol.Hal ini dikarenakan etanol merupakan salah satu pelarut yang baik.
Di dalam labu yang telah disediakan, campuran tersebut mulai direfluks
selama kurang lebih 1,5 jam.Refluks itu sendiri merupakan aliran berbalik
kembali; misalnya, pada zat cair dalam labu dengan menggunakan tabung
pendingin yang mengembunkan uap dan meneteskan embun kembali ke dalam
labu.Dalam praktek biasanya, dimasukkan beberapa boiling chip yang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya letupan serta agar panasnya
merata.Pemanasan secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup lama
tersebut diharapkan agar zat-zat / senyawa yang terkandung dalam simplisia
tersebut dapat lebih dapat ditarik lagi. Selama refluks setiap 15 menit sekali aliran
air harus dikontrol, karena apabila aliran air dari kran berhenti mengalir maka
hasil pemanasan larutan didalam labu tidak dapat kembali ke labu dikarenakan
kondensor refluks panas dan uap yang keluar tidak dapat terkondensasi
kembali.Salah satu kelemahan dari metode ini antara lain;pemanasan secara
langsung tidak bisa untuk bahan tidak tahan panas.Salah satu kelebihan dari
metode refluks ini antara lain;efesiensi pelarut karena tidak perlu menggunakan
beberapa pelarut.
Setelah direfluks, ekstrak cair tersebut didinginkan.Dipisahkan menjadi 2
bagian,bagian pertama disimpan dan bagian yang lain dipekatkan dengan cara
evaporasi.Evaporator adalah alat pemekat atau pengental ekstrak cair yang mirip
dengan gasing serta dilengkapi heating mantel yang dapat diatur derajat suhunya
dan juga dilengkapi pipa-pipa untuk mengalirkan methanol/etanol sebagai
pendingin.Proses ini memakan waktu kurang lebih 1 jam tergantung dari volume
ekstrak cairnya.Pada proses evaporasi diharapkan agar panasnya konstan sehingga
reksi pengentalan berjalan sempurna.
Hasil dari evaporasi tersebut harus diuapkan di atas water bath sehingga
didapat hasil ekstrak yang lebih pekat.Dari sini kita bisa mendapatkan berapa gr
ekstrak kental sehingga didapatkan pula rendemennya.Hal ini untuk membuktikan
seberapa murni ekstrak yang kita dapat.Semakin besar rendemen yang didapat
maka semakin baik hasil ekstrak yang kita dapat.Terkadang kita mendapat
beberapa rendemen yang cukup besar tapi belum tentu senyawa itu murni
mungkin msh terdapat pengotor.maka dari itu kita perlu melakukan uji identifikasi
yang lebih spesifik.
Piknometer
Setelah kita mendapatkan hasil dari percobaan kali ini, maka langkah
selanjutnya adalah proses identifikasi.Proses identifikasi ini dimulai dengan kita
mencari bobot jenis ekstrak.Dalam hal ini kita menggunakan piknometer.Pertama
kita harrus mengetahui kerapatan air dengan cara menambahkan air ke dalam
pikno kosong.Perlu diperhatikan sebelum penambahan air pikno harus dalam
keadaan benar-benar bersih, sehingga penghitungannya benar.Tidak lupa juga kita
menambahkan ekstrak cair ke dalam pikno kosong untuk mengetahui kerapatan
ekstrak.Diusahakan agar cairan ekstrak memenuhhi tutup pikno sehingga didapat
hasil yang maksimal.Bobot jenis ekstrak dapat diketahui dari perbandingan dari
keraapatan ekstrak dan air.Lalu bobot jenis yang diketahui disamakan dengan
literature sehingga data semakin akurat.
Dinamolisis
Cara ini digunakan untuk mengetahui pola lingkaran yang didapat dari
ekstrak ini.kertas Whatman yang telah dibolongi tengahnya dan diberi sumbu
yang terbuat saring.Kertas saring bersumbu ini kemudian ditutpkan pada cawan
petri yang berisi ekstrak cair. Biarkan terjadi proses difusi sirkular selama 10
menit.Hasil yang didapat berupa pola 2 lingkaran berwarna.Lingkaran dalam
berwarna hijau.dan lingkaran luar berwarna kuning.Dihitung masing-masing
diameternya.Proses dinamolisis ini merupakan proses pemisahan senyawa secara
manual yang menghasilkan pola lingkaran berwarna yang menandakan masing-
masing kandungan senyawa dalam simplisia tersebut.
Kromatografi Lapis Tipis
Ekstrak kental ini apabila dibiarkan atau didinginkan kemungkinan akan
timbul kristal. Terhadap kristal ini dilakukan pengujiaan kemurnian dengan cara
metode kromatografi lapis tipis.Pada KLT dapat digunakan pemisahan dalam
jumlah kecil ( mikro gram).Cairan ekstrak cair tersebut ditutulkan beberapa kali
pada silica gel yang sudah diberi batas atas dan bawah, hal ini dmaksudkan agar
laju pemisahan terlihat jelas.Seperti yang sudah ditentukan kita akan
menggunakan pelat silica gel.Menurut teori, proses pembuatannya sebagai
berikut; sebelumnya plat dibersihkan terlebih dahulu dengan aseton untuk
menghilangkan lemak. Kemudian harus dilakukan penyaputan pelat kaca dengan
penjerapan, tetapi hal ini dapat diatasi dengan menggunakan penyaput tertentu
( misalnya 90 detik ) sebelum penyaputan. Tergantung pada ukuran partikel
penjerapan, mungkin harus ditambahkan kalsium sulfat hemihidrat ( 15% ) untuk
membantu pelekatan penjerap pada kaca. Setelah penyaputan pelat harus
dikeringkan tdd pada suhu 100-110 celcius selama 30 menit. Sifat penjerap dapat
diubah dengan penambahan garam anorganik, misalnya perak nitrat ( Ag
NO3 ).Dikarenakan pembuatan pelat silica gel memakan waktu yang cukup lama,
maka para praktikan telah disiapkan pelat silica gel tersebut. Silica gel ini
dimasukkan ke dalam chamber yang sudah diberi pengembang kloroform dan etil
eto Acetat dengan perbandingan 6:4.Salah satu keuntungan dari KLT dapat kita
bisa lihat pada saat penambahan pelarut, karena KLT dapat menggunakan
berbagai macam pelarut sehingga ruang geraknya lebih leluasa daripada KKt.
Sebelum silica gel dimasukkan keadaan chamber harus dalam keadaan panas, agar
udara atau atmosfer dalam chamber menjadi jenuh sehingga didapat hasil
pemisahaan yang baik.Silica gel dimasukkan ke dalam chamber harus dalam
keadaan miring agar lajunya bagus.Tidak lupa chamber ditutup kembali dengan
kaca untuk tetaaap menjaga suhu nya.Ditunggu sampai batas waktu 10
menit.Hasil yang sudah dikeringkan, dimasukkan ke dalam UV Betrachter.Hal ini
berfungsi untuk pendeteksian senyawa dengan beberapa cara. Pertama, dilihat
tanpa menggunakan sinar UV,warna yang dicatat adalah warna tearkhir yang
tampak pada titik penutulan.kedua, dilihat di bawah UV 254nm. Ketiga, dilihat
dibawah sinar UV 366nm.Bilangaaan Rf lebih kurang terulangkan, oleh karena itu
diperlukaan senyawaa pembanding satu atau lebih untuk penandaan. Untuk
mengukur Rf pada KLT dengan seksama kita dapat membakukan kondisi, namun
hal ini merupakan suatu prosess yang memakan waktu. Biasanya KLT dilaakukan
dengan pengembangan, pengembangan naik dalam suatu bejana yang dindingnya
dilaapisi dengan kertas saring, sehingga atmosfer dalam bejana jenuh dengan fase
pelarut. Deteksi KLT biasanya dilakukan dengan pereaksi semprot. Pada kali ini
digunakan H2SO4 untuk mendeteksi steroid dan lipid yang berguna. Hal ini
merupakan suatu kelebihan dari KLT dibandingkan KKt.Setelah penyemprotan
H2SO4 dilihat warna yang keluar pada UV 254 dan UV 366nm.
PEMBAHASAN
Percobaan ini pada dasarnya ditujukan untuk mengisolasi suatu senyawa
turunan fenol yakni senyawa oligomer stilbenoid dari tumbuhan meranti, Shorea
multiflora Burck. Dari beberapa percobaan sebelumnya, dalam tumbuhan ini telah
ditemukan beberapa senyawa fitokimia seperti senyawa-senyawa golongan
flavonoid, fenilpropanoid, asam fenolik, polifenol, serta terpenoid. Oleh karena
itu, metode pemisahan, isolasi dan penetapan struktur senyawa fitokimia dalam
tumbuhan ini lebih difokuskan terhadap metode pemisahan, isolasi dan penetapan
struktur golongan senyawa fenol.
EKSTRAKSI DAN ISOLASI
Dalam percobaan ini, bahan mentah yang digunakan untuk isolasi
merupakan kulit kayu dari tumbuhan meranti. Pemilihan bagian tumbuhan ini
dilakukan karena kemungkinan senyawa stilbenoid banyak terdapat dalam bagian
kulit kayu dibandingkan dengan bagian lain pada tumbuhan. Secara prosedural,
pertama-tama dilakukan penggilingan terhadap 7 kg bahan tumbuhan.
Penggilingan bahan dimaksudkan untuk mendapatkan massa bahan yang sesuai
untuk prosedur selanjutnya yaitu ekstraksi. Penggilingan bahan dilakukan sampai
bahan ekstraksi mencapai derajat kehalusan yang tepat. Penghalusan ini bertujuan
untuk menambah permukaan sentuh bahan dengan cairan penyarinya.
Penambahan luas permukaan ini akan menambah efektivitas dari ekstraksi yang
akan dilakukan kemudian. Derajat kehalusan dari bahan diatur berdasarkan bentuk
bahan awal dan derajat kehalusan yang sesuai. Secara prosedural, bahan dari kulit
kayu (cortex) bahan kasar (crude) akan digiling sampai membentuk serbuk
dengan derajat kehalusan tertentu yang tepat bagi bahan.
Setelah bahan digiling sampai berbentuk bahan yang diinginkan, bahan
kemudian dilakukan ekstraksi awal. Ekstraksi awal ini dilakukan melalui metode
ekstraksi dingin yaitu maserasi. Penggunaan metode maserasi disebabkan tidak
adanya informasi mengenai stabililitas senyawa yang akan diisolasi. Oleh karena
itu, metode maserasi merupakan pilihan yang tepat sebagai metode ekstraksi awal
bagi senyawa yang belum diketahui stabilitasnya terhadap suhu tertentu. Karena
dikhawatirkan senyawa yang akan diisolasi merupakan senyawa termolabil, maka
metode maserasi tepat digunakan dalam proses ekstraksi ini. Secara prosedur,
maserasi awal dilakukan menggunakan pelarut aseton. Aseton meruapakan pelarut
yang bersifat non-polar dengan dengan derajat elutropik_________. Pemilihan
aseton sebagai pelarut maserasi disebabkan bahan awal dari maserasi merupakan
kulit kayu yang banyak mengandung lignin. Lignin merupakan suatu senyawa
makromolekul yang termasuk kedalam golongan lipid. Oleh karena senyawa lipid
merupakan suatu senyawa non-polar, sesuai dengan prinsip ”like-dissolve-like”
yang menyatakan bahwa suatu senyawa akan lebih mudah larut pada pelarut
dengan kepolaran yang relatif sama, maka diperlukan pelarut yang non-polar
untuk melarutkan lignin. Lignin harus dipisahkan dari senyawa utama karena akan
mengganggu pada proses pengisolasian lanjut yaitu fraksinasi menggunakan
kromatografi.
Dari proses maserasi awal, kemudian didapatkan ekstrak aseton berupa
residu berwarna coklat dengan berat 180 g. Ekstrak aseton kemudian dilarutkan
kembali dengan menggunakan metanol dan dipartisi dengan menggunaan n-
heksana. Penggunaan metanol sebagai pelarut kedua disebabkan metanol
merupakan pelarut universal yang dapat melarutkan hampir semua metabolit
sekunder pada tumbuhan, sedangkan penggunaan n-heksana ditujukan untuk
menarik lignin yang telah terlarut pada fase aseton. Setelah itu, pelarut diuapkan
pada tekanan rendah dan didapat ekstrak metanol berupa residu berwarna coklat
dengan berat 60 g. Pemisahan pelarut dilakukan pada tekanan rendah dilakukan
untuk memisahkan metanol sebagai pelarut universal yang telah mengandung
senyawa stilbenoid yang akan diisolasi dengan aseton dan n-heksana yang
kemungkinan mengandung senyawa pengotor lain. Pemisahan pelarut dilakukan
pada tekanan rendah disebabkan aseton dan n-heksana akan lebih dulu menguap
dibandingkan metanol pada tekanan rendah, sehingga didapat ekstrak metanol.
Ekstrak metanol kemudian dilarutkan kembali menggunakan aseton.
Penggunaan aseton disini bertujuan untuk memurnikan senyawa stilbenoid yang
akan diisolasi, karena kemungkinan masih terdapatnya senyawa lain selain
senyawa stilbenoid pada fase metanol. Ekstrak tersebut kemudian difraksinasi
dengan menggunakan kromatografi cair vakum (200 g, 7 cm x 10 cm) dengan
menggunakan eluen n-heksana, campuran n-heksana-etil asetat (75:25), etil asetat,
dan metanol dengan kepolaran yang terus ditingkatkan. Penggunaan kromatografi
cair vakum didasarkan atas penggunaan tekanan yang rendah melalui penghisapan
menggunakan kompresor akan meningkatkan kecepatan aliran pelarut dalam
kolom sehingga proses fraksinasi akan berjalan lebih cepat. Fraksinasi dilakukan
dengan menggunakan pelarut dengan kepolaran yang terus meningkat dengan
tujuan untuk memfraksinasi senyawa-senyawa dengan kepolaran yang berbeda.
Dilihat dari jenis pelarut, sifat kepolaran pelarut naik dari non-polar (n-heksana),
semi-polar (n-heksana-etil asetat (75:25) dan etil asetat) dan polar (metanol). Dari
fraksinasi diatas, dihasilkan 28 fraksi.
Setelah didapat 28 fraksi menurut kepolaran pelarut, dilakukan analisis KLT
yang bertujuan untuk menggabungkan fraksi-fraksi tersebut berdasarkan variabel-
variabel KLT yakni Rf dan hRf serta pola bercak yang homogen. KLT dilakukan
pada pelat alumunium berlapis silika gel Merck Kieselgel 60 F254, 0.25 mm. KLT
ini merupakan sistem kromatografi partisi yang dapat digunakan untuk
mempartisi senyawa-senyawa yang dimaksud. Dari analisis KLT ini, ke-28 fraksi
kemudian digabungkan menjadi 7 fraksi utama.
Fraksi utama kedua yang merupakan penggabungan fraksi 12-20 sebanyak
14 g difraksinasi lebih lanjut dengan kromatografi cair vakum (140 g, 7 cm x 10
cm), menggunakan berturut-turut eluen n-heksana, campuran CH2Cl2-MeOH
(9:1), CH2Cl2, dan metanol dengan kepolaran yang terus meningkat. Pemilihan
fraksi utama kedua kemungkinan didasarkan oleh kesamaan pada R f dan hRf serta
pola bercak dengan literatur pada percobaan-percobaan yang pernah dilakukan
sebelumnya terhadap senyawa turunan fenol. Fraksinasi dari fraksi utama kedua
kemudian menghasilkan sembilan fraksi gabungan utama.
Selanjutnya fraksi gabungan ketujuh seberat 1,2 g difraksinasi kembali
menggunakan kromatografi radial dengan eluen campuran n-heksana-etil asetat-
metilen klorida (8:1:1), dan metanol menghasilkan 11 fraksi. Kromatografi radial
dilakukan pada pelat yang berbentuk lingkaran dimana pelarut dielusikan dari titik
pusat pelat sehingga pergerakan eluen berbentuk radial. Pemilihan komposisi
eluen disesuaikan dengan kemungkinan kelarutan senyawa yang akan diisolasi.
Gambar kromatografi radial
Gabungan fraksi ketiga sebanyak 435 mg kemudian difraksinasi berulang
kali menggunakan kromatografi radial dengan campuran eluen kloroform-MeOH
(9:1) menghasilkan sejumlah fraksi yang digabung menjadi dua fraksi utama.
Penggunaan komposisi eluen kloroform-MeOH memungkinkan untuk
mengisolasi senyawa-senyawa mulai dari yang bersifat non-polar sampai polar.
Selanjutnya pada fraksi utama pertama yang merupakan gabungan fraksi 1-9
seberat 240 mg, difraksinasi lebih lanjut menghasilkan sejumlah fraksi utama.
Pada penggabungan fraksi 9-13 sebanyak 35 mg, diperoleh padatan berwarna
kuning yang pada kristalisasi dari campuran kloroform-MeOH (8:2) menghasilkan
ampelopsin A sebanyak 20 mg berupa padatan berwarna kuning pucat yang
homogen pada KLT dengan tiga sistem eluen. Dengan menggunakan cara yang
sama, dari gabungan fraksi utama ketiga, diperoleh senyawa balanokarpol
sebanyak 30 mg. Sedangkan dari gabungan fraksi utama kedua, diperoleh
hopeafenol sebanyak 20 mg berupa padatan berwarna kuning muda yang
homogen pada KLT menggunakan tiga sistem eluen.
Keberadaan dari senyawa-senyawa turunan polifenol tersebut yaitu
ampelopsin A, balanokarpol dan hopeafenol pada masing-masing fraksi
menunjukkan bahwa masing-masing senyawa memiliki karakteristik khusus pada
strukturnya.
PENETAPAN STRUKTUR
Senyawa-senyawa yang berhasil diisolasi kemudian dilakukan penetapan
strukturnya melalui beberapa metode yang berbeda terhadap masing-masing
senyawa. Pada dasarnya, penetapan struktur senyawa ini dilakukan secara fisika
dan kimia. Struktur senyawa balanokarpol ditetapkan berdasarkan data
spektroskopi UV, IR, 1H-NMR, dan MS. Senyawa ampelopsin A ditetapkan
berdasarkan data spektroskopi UV, IR, 1H-NMR, 13C-NMR (1D dan 2D).
Senyawa hopeafenol ditetapkan berdasarkan pembandingan data fisika, seperti
titik leleh, putaran optik, dan perbandingan KLT dengan data senyawa standar.
Pada senyawa balanokarpol yang diisolasi berupa padatan berwarna kuning
pucat, kemudiaan dikarakteristikan melalui metode penetapan titik leleh. Dari
pengujian, didapat bahwa senyawa ini terurai pada 224oC. Kepada senyawa ini
kemudian dilakukan penetapan gugus fungsi menggunakan spektroskopi IR. Dari
pengukuran IR menggunakan cakram KBr, didapatkan bahwa spektrum IR
menunjukkan pita-pita serapan untuk gugus hidroksil pada νmaks 3400 cm-1, cincin
benzena pada 1614, 1513, 1453, dan cincin benzena tersubstitusi para pada 835
cm-1 yang menyarankan suatu stilbenoid. Dari pengukuran UV dalam pelarut
metanol, didapatkan bahwa λmaks terletak pada 204, 227, dan 284 nm. Sedangkan
dalam pelarut metanol dan NaOH, didapatkan bahwa λmaks terletak pada 206, 250,
287 nm.
Spektrum massa (EIMS) senyawa balanokaprol memberikan ion molekul
pada m/z 470 yang sesuai untuk dimer resveratrol dengan rumus molekul
C28H22O7. Selanjutnya fragmen ion pada m/z 452 (M+- H2O) mengindikasikan
suatu turunan fenol yang mengandung enam gugus fenol, dan suatu gugus
hidroksil alifatik. Akhirnya dari seluruh spektrum, spektrum massa serta
penetapan posisi atom-atom, disimpulkan bahwa senyawa ialah balanokaprol.
Kesimpulan ini didukung oleh pembandingan data tersebut dengan data yang
dilaporkan untuk balanokarpol yang telah diisolasi sebelumnya dari Balanocarpus
zeylanicus dan Hopea jucunda. Perbandingan dilakukan untuk mencocokan
senyawa yang telah diisolasi dan ditetapkan strukturnya dengan senyawa lain
yang telah ditetapkan lebih dahulu strukturnya.
Pada senyawa ampelopsil A yang diisolasi berupa padatan berwarna
kuning pucat, kemudiaan dikarakteristikan melalui metode penetapan titik leleh.
Dari pengujian, didapat bahwa senyawa ini terurai pada 236oC. Kepada senyawa
ini kemudian dilakukan penetapan gugus fungsi menggunakan spektroskopi IR.
Dari pengukuran IR menggunakan cakram KBr, didapatkan bahwa spektrum IR
menujukkan pita-pita serapan untuk gugus hidroksil pada νmaks 3342 cm-1, cincin
benzena pada 1614, 1515, 1489, 1451, 1339, 1233, 1175, 1134 dan cincin
benzena tersubstitusi para pada 835 cm-1. Dari 1H-NMR, 13C-NMR (1D dan 2D)
didapatkan bahwa Ampelopsin A merupakan stereoisomer dari senyawa
balanokarpol, yaitu pada posisi C-7a, dimana stereokimia relatif untuk ampelopsin
A adalah trans, sedangkan untuk balanokarpol adalah cis.
Spektrum UV senyawa hopeafenol memperlihatkan λmaks (MeOH) pada
203, 231, 280 nm, yang mengindikasikan adanya kromofor fenolik yang tidak
mengalami pergeseran batokromik pada penambahan NaOH. Sedangkan spektrum
IR memperlihatkan adanya pita-pita serapan untuk gugus hidroksil pada νmaks 3335
cm-1, adanya pita serapan untuk metil-alifatik pada 2910 cm-1, dan cincin benzena
tersubstitusi para pada 1615, 1600, 1516, 1456 cm-1. Data UV dan IR di atas
memperlihatkan pola serapan yang khas dan karakteristik untuk suatu senyawa
turunan fenol khususnya oligomer stilbenoid.
Senyawa hasil isolasi ketiga ini sudah dikenal sebelumnya, dan ditemukan
pada sebagian besar genus Shorea, sehingga penetapan strukturnya dilakukan
dengan pembandingan data spektrum UV dan IR serta perbandingan data fisika,
seperti sifat fisik, titik leleh, putaran optik, dan KLT dengan menggunakan tiga
sistem eluen antara senyawa hasil isolasi dengan hopeafenol standar yang berhasil
diisolasi dari Shorea selanica Blume, dan telah berhasil ditetapkan strukturnya
dengan bantuan spektroskopi massa, 1H-NMR, 13C-NMR, dan NMR dua dimensi
(2D). Pada pembandingan KLT kedua senyawa dengan menggunakan eluen n-
heksana : aseton (1:1, Rf: 0,3), kloroform : metanol (75:25, Rf: 0,4), dan metilen
klorida : aseton (1:1, Rf: 0,5) memberikan nilai Rf yang sama dan noda yang
homogen. Demikian pula dengan perbandingan data spektrum UV dan IR antara
senyawa hasil isolasi dengan hopeafenol standar, memperlihatkan pola-pola
serapan yang sama dan identik dengan derajat kesesuaian sebesar 98%.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil isolasi adalah
senyawa hopeafenol.
Oleh karena itu, pada dasarnya setiap senyawa yang berhasil diisolasi dan
ditetapkan strukturnya masih harus dibandingkan dengan senyawa sejenis yang
telah berhasil siisolasi dan ditetapkan sebelumnya.
PEMBAHASAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengisolasi metabolit sekunder
dari simplisia tumbuhan obat dengan metode ekstraksi. Simplisia tumbuhan obat
yang digunakan adalah simplisia jahe merah (Zingiber purpureum) sedangkan
metode ekstraksi yang kita gunakan adalah.metode soxhletasi.. Metode soxhletasi
adalah salah satu metode ekstraksi panas. Ekstraksi panas memerlukan suhu tinggi
sehingga membutuhkan waktu yang lebih cepat jika dibandingkan dengan
ekstraksi dingin. Penyarian dengan cara soxhletasi dilakukan berulang kali agar
penyarian lebih efektif.
Pada praktikum ini digunakan simplisia yang sudah digerus hingga didapat
partikel simplisia yang agak kecil (tidak terlalu halus), yang berguna untuk
memperluas permukaan sehingga interaksi antara cairan penyari dengan
permukaan simplisia lebih banyak. Disamping itu, hal ini juga berfungsi untuk
memecah dinding sel sehingga cairan penyari dapat masuk ke dalam sel dan
mengekstraksi lebih banyak metabolit sekunder. Cairan penyari akan masuk ke
dalam dinding sel dan rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel
sehingga larutan yang terpekat akan didesak keluar. Penyarian akan semakin
efektif bila permukaan serbuk yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin
luas. Jadi, makin halus serbuk simplisia seharusnya makin baik penyariannya, tapi
dalam pelaksanaannya tidak demikian karena pengaruh sifat fisikokimia. Serbuk
yang terlalu halus akan memberikan kesulitan pada proses penyarian, dimana
cairan tidak dapat turun (menyulitkan pembasahan). Hal ini disebabkan oleh
ruang antar sel yang merupakan jalan masuknya cairan berkurang. Selain itu
serbuk yang terlalu halus juga mengakibatkan terbentuknya suspensi yang sulit
dipisahkan dengan hasil penyarian. Serbuk yang terlalu halus juga dapat
mengakibatkan dinding sel pecah sehingga zat yang tidak diinginkan pun dapat
ikut terekstrak. Oleh karena itu untuk tiap simplisia perlu ditetapkan derajat
kehalusan tertentu agar didapat hasil penyarian yang baik.
Simplisia yang digunakan sebanyak 316,47 gram (disesuaikan dengan alat
soxhletasi). Serbuk simplisia yang telah dilapisi oleh kertas whatman dimasukkan
ke dalam tabung soxhlet. Tabung soxhlet tersebut kemudian dipasang pada alat
soxhlet. Sebelumnya pada bagian bawah alat soxhlet, yaitu labu alas bulat, telah
diisi dengan 1000 mL pelarut etanol 95% yang telah ditambahkan dengan batu
didih. Selanjutnya dilakukan pembasahan dengan menggunakan pelarut yang
berasal dari labu dasar bulat. Pembasahan bertujuan untuk mengganti udara dalam
pori–pori, hal ini disebabkan karena dinding sel tumbuhan terdiri dari serabut
selulosa yang dikelilingi oleh air, jika simplisia tersebut dikeringkan maka lapisan
air akan menguap dan terbentuk pori–pori yang diisi oleh udara. Pembasahan ini
memberikan kesempatan pada cairan penyari untuk memasuki seluruh pori-pori
dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya. Agar penyarian
berjalan dengan baik maka pori–pori berisi udara harus didesak dengan air.
Pembasahan juga mengakibatkan terjadinya perbedaan konsentrasi, sedangkan
perbedaan konsentrasi itu sendiri mempengaruhi kecepatan penyarian, makin
besar perbedaan konsentrasi, makin besar daya dorong sehingga makin cepat
penyarian, makin kasar serbuk makin panjang jarak, sehingga konsentrasi zar aktif
yang terlarut dan tertinggal dalam sel makin banyak. Pembasahan dilakukan
hingga semua simplisia terendam. Perendaman dimaksudkan untuk menarik
metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia. Setelah semua simplisia basah,
kondensor disambungkan pada alat soxhlet. Kondensor berfungsi sebagai
pendingin. Pelarut pada labu alas bulat akan dipanaskan hingga menguap. Uap
pelarut yang masuk ke dalam kondensor akan mengalami pendinginan sehingga
akan berubah kembali menjadi cairan dan turun berbentuk tetesan cairan.
Pelarut yang digunakan dalam proses soxhletasi ini adalah etanol.
Pemilihan pelarut yang akan digunakan untuk mengekstraksi harus sesuai dengan
komponen metabolit sekunder yang akan diekstraksi. Keuntungan etanol sebagai
pelarut karena bersifat polar dan tidak bersifat toksik, lebih selektif dan memiliki
daya absorpsi yang baik. Alkohol, bagaimanapun juga adalah pelarut serba guna
yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Alasan menggunakan etanol 95 % adalah
karena etanol dengan konsentrasi tersebut mempunyai kadar air sedikit yaitu
hanya 5 %. Banyaknya air akan mempengaruhi keawetan dari ekstrak yang
diperoleh, karena air adalah media pertumbuhan yang baik bagi bakteri, jamur,
dan mikroorganisme lainnya.
Selain itu air mampu melarutkan beberapa zat tumbuh-tumbuhan seperti gula, gom, amilum, zat warna, tanin, dan kebanyakan zat- zat ini bukan komponen yang diinginkan sebagai ekstrak. Air juga cenderung mengekstraksi bahan dasar tanaman yang setelah diekstraksi kemudian memisah meninggalkan
endapan yang tidak diinginkan. Banyak senyawa kimia organik yang kompleks dalam tumbuhan lebih dapat larut dalam alkohol daripada dalam air, sehingga alkohol sering digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi pendahuluan.
Etanol sebagai pelarut organik polar akan menarik komponen utama
metabolit sekunder dalam simplisia yang bersifat polar. Hal ini sesuai dengan
prinsip like dissolve like. Pelarut yang bersifat polar akan melarutkan komponen-
komponen metabolit sekunder yang bersifat polar pula, sedangkan pelarut yang
bersifat non polar akan cenderung melarutkan komponen metabolit sekunder yang
bersifat non polar. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap,
glikosida, kurkumin, kumarin, antrakuinon, flavonoid, steroid, damar, dan
klorofil. Lemak, malam, tanin, dan saponin hanya akan larut sedikit. Dengan
demikian zat pengganggu yang larut hanya terbatas. Disamping itu, etanol
merupakan senyawa yang mudah menguap, sehingga pada proses pemekatan
(evaporasi) waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan
menggunakan pelarut air.
Ekstrak cair yang diperoleh kemudian ditampung ke dalam wadah yang
telah disediakan. Ekstrak cair tersebut didinginkan. Dipisahkan menjadi 2 bagian,
bagian pertama disimpan dan bagian yang lain dipekatkan dengan cara evaporasi.
Evaporator adalah alat pemekat atau pengental ekstrak cair yang mirip dengan
gasing serta dilengkapi heating mantel yang dapat diatur derajat suhunya dan juga
dilengkapi pipa-pipa untuk mengalirkan metanol atau etanol sebagai pendingin.
Proses ini memakan waktu kurang lebih 1 jam tergantung dari volume ekstrak
cairnya. Pada proses evaporasi diharapkan agar panasnya konstan sehingga reaksi
pengentalan berjalan sempurna. Hasil dari evaporasi tersebut harus diuapkan di
atas penangas air sehingga didapat hasil ekstrak yang lebih pekat.
Setelah dipisahkan, sebanyak 20 ml ekstrak cair diambil untuk kemudian
diuapkan di atas penangas air. Penguapan ini bertujuan untuk menguapkan pelarut
sehingga didapat berat yang sesungguhnya. Proses ini dilakukan dengan
menggunakan cawan penguap. Yang pertama kali dilakukan adalah menimbang
berat cawan penguap yang masih kosong dan diketahui beratnya sebesar 81,76
gram. Ekstrak yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam cawan penguap,
kemudian ditimbang lagi dan diperoleh massa sebesar 99,59 gram. Cawan berisi
ekstrak lalu diuapkan di atas penangas air. Penguapan dilakukan sampai berat
ekstrak yang ditimbang sudah konstan. Ekstrak yang sudah pekat (beratnya
konstan) akan ditentukan rendemennya dengan cara menghitung presentase dari
berat ekstrak sesungguhnya per berat simplisia mula-mula. Berat ekstrak
sesungguhnya merupakan selisih dari berat cawan penguap yang sudah konstan
setelah mengalami penguapan dan berat cawan penguap yang masih kosong, yaitu
sebesar xxxxxxxxxxx gram. Pada proses perhitungan rendemen, didapat hasil
randemen sebesar xxxxx%. Rendemen ini menunjukkan kadar ekstrak dari
simplisia.
Penentuan bobot jenis dari ekstrak yang didapat dilakukan dengan
menggunakan alat piknometer. Piknometer yang digunakan adalah piknometer
bervolume 10 mL. Volume piknometer adalah daya tampung piknometer, yang
biasanya tertera pada piknometer. Pertama-tama piknometer kosong ditimbang
dan diketahui beratnya sebesar 13,18 gram. Kemudian dimasukkan air ke dalam
piknometer, air dimasukkan hingga penuh ke dalam piknometer kosong tersebut
lalu ditutup hingga air keluar dari lubang bagian atas tutup piknometer, hal
tersebut menandakan bahwa piknometer telah penuh dan kemudian ditimbang
lagi. Berat piknometer dan air adalah 23,61 gram sehingga didapat berat air 10,43
gram. Dari berat dan volume air, dapat dihitung kerapatan air dengan membagi
berat air dengan volume air yang digunakan, didapat kerapatan air sebesar 1,043
gram/mL. Setelah itu, piknometer yang tadi diisi dengan air sekarang diisi dengan
ekstrak., kemudian piknometer tersebut ditimbang, dan diperoleh berat
piknometer dan ekstrak sebesar 22,90 gram. Dengan mengurangi berat
piknometer dan ekstrak dengan berat piknometer kosong, didapat berat ekstrak
sebesar 9,72 gram. Kerapatan ekstrak adalah berat ekstrak dibagi dengan volume
piknometer dan didapat nilainya sebesar 0,972 gram/mL. Hasil perbandingan
antara kerapatan ekstrak dan kerapatan air merupakan bobot jenis dari ekstrak
tersebut. Hasil penentuan bobot jenis ekstrak yang didapat adalah sebesar 0,9319.
Penetapan kadar air ekstrak dilakukan dengan menggunakan metode
destilasi toluene. Ekstrak kental ditimbang sebanyak 1.07 gram lalu dimasukkan
ke dalam labu yang sebelumnya telah dibersihkan dan dikeringkan. Ke dalam labu
kemudian ditambahkan 200 ml toluene. Labu kemudian dipasang pada alat
destilasi dan dipanaskan. Setelah suhu melewati titik didih toluene, toluene akan
menguap, mengalami pendinginan pada kondensor, dan menetes pada suatu
penampung. Destilasi dilakukan hingga seluruh air tersuling dan berada pada
penampung. Volume air yang tersuling adalah 0.1 ml. Hal ini berarti pada 1.07
gram ekstrak terdapat 0.1 ml air, sehingga kadar air pada ekstrak adalah 9.35%.
Selanjutnya dilakukan proses dinamolisis terhadap ekstrak yang didapat.
Proses dinamolisis yang dilakukan akan memberikan gambaran secara kualitataif
dari kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak. Karena masing-masing
ekstrak memiliki pola dinamolisis yang berbeda. Uji dinamolisis dilakukan
dengan cara menuangkan ekstrak ke dalam cawan petri sebanyak 10 mL. Cawan
petri tersebut ditutup dengan kertas saring berbentuk lingkaran yang bersumbu di
tengah. Uji dinamolisis dilakukan selama kurang lebih 20 menit hingga noda
bersifat konstan. Noda yang dihasilkan diamati polanya. Berdasarkan hasil
percobaan, pola yang dimiliki oleh Zingiber purpureum menunjukkan pola
lingkaran, diameter 1 berwarna kuning tua sebesar 1,3 cm dan diameter 2
berwarna kuning muda sebesar 4,3 cm.
Uji KLT dilakukan untuk mengamati pemisahan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia Zingiber purpureum. Dari uji KLT ini pemisahan akan terlihat melalui pita-pita yang terbentuk pada silika gel. Sebelum melakukan kromatografi lapis tipis, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah :
o kualitas sorben / zat penjerap / fasa diam,
o prosedur preparasi,
o ketebalan dan keseragaman lapisan,
o kualitas pelarut,
o derajat kejenuhan dalam bejana,
o teknik pengembangan kromatografis,
o jumlah sampel yang ditotolkan,
o suhu.
Pertama-tama pada plat dibuat garis 1 cm dari masing-masing ujung dan
juga dibuat 2 titik sebesar 0,6 cm dari masing-masing sisi. Titik tempat campuran
ditempatkan disebut titik awal. Campuran diletakkan pada titik awal dengan
menotolkannya dengan menggunakan suatu kapiler halus dari kaca, dan
diusahakan agar luas totolan sekecil mungkin. Beberapa kali penotolan dapat
dilakukan pada tempat yang sama asalkan lapisan totolan pertama harus kering
terlebih dahulu sebelum totolan selanjutnya. Karena campuran berada dalam
pelarut etanol yang mudah menguap, maka setelah tiap totolan, plat cukup
dibiarkan sesaat atau ditiup sedikit hingga etanolnya menguap. Jumlah totolan
tidak boleh terlalu banyak karena menyebabkan bercak menjadi asimetris dan
menyebabkan perubahan pada harga Rf.
Pengembang yang digunakan adalah toluene-etil asetat (93:7) sebanyak 5 ml. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mencampur pelarut adalah :
o Hanya pelarut yang mempunyai kepolaran yang hampir sama yang dapat
dicampur. Dalam hal ini etOAc bersifat sedikit lebih polar daripada
toluene, namun pada dasarnya keduanya dapat dianggap kurang polar jika
dibandingkan dengan fasa diam silica gel.
o Kepolaran campuran tidak merupakan fungsi linier dari susunan
campuran, tetapi merupakan fungsi logaritma. Jadi campuran
toluene:etOAc mempunyai kepolaran yang mendekati kepolaran toluene
(makin kurang polar).
o Dapat dibuat elusi landaian dengan menambahkan sedikit demi sedikit
pelarut lain dalam pelarut murni selama kromatografi sehingga kepolaran
meningkat / menurun terus-menerus.
Campuran pelarut dimasukkan ke dalam bejana pengembang dari gelas,
pengerjaan dilakukan di dalam bejana tertutup agar tidak terjadi penguapan
pelarut dan bejana jenuh oleh uap pelarut. Bila bejana tidak jenuh, akan
mempengaruhi harga Rf. Untuk memastikan bejana jenuh sempurna, sebaiknya
dinding bejana dilapisi dengan kertas saring, jika kertas tersebut telah basah
sempurna, berarti bejana tersebut telah jenuh. Karena keterbatasan waktu dan alat,
langkah di atas tidak dilakukan. Tetapi kejenuhan diuji dengan memasukkan
tangan ke dalam bejana, jika terasa cukup hangat, berarti bejan sudah cukup
jenuh.
Ke dalam bejana yang telah jenuh, dimasukkan pelat silica gel yang telah
diberi totolan ekstrak. Satu pelat dapat diisi dua sampai tiga totolan. Dalam
percobaan, pelat diberi dua totolan yang berdampingan, yaitu ekstrak Zingiber
purpureum yang diperoleh dengan cara sohxlet. Tinggi campuran pelarut dalam
bejana cukup beberapa milimeter, dan titik awal tidak boleh terendam dalam
campuran pelarut tersebut. Bejana ditutup dan campuran pelarut dibiarkan
merambat naik sampai bagian atas pelat yang telah ditandai sebelunya(1 cm dari
tepi atas), garis ini disebut garis depan. Jadi garis depan adalah titik tertinggi yang
dicapai fasa gerak/ pelarut pada fasa diam setelah pengembangan selesai. Faktor
retensi Rf diperoleh dengan membandingkan jarak tempuh noda/komponen
terhadap jarak tempuh pelarut (garis depan). Pada percobaan, noda terakhir berada
tepat pada garis depan, sehingga diperoleh harga Rf =1.
Selama pengembangan, komponen yang lebih polar akan terikat lebih kuat
pada lapisan silica gel sehingga akan tertahan lebih lama, sedangkan komponen
yang kurang polar akan cepat bergerak bersama campuran pelarut (yang relatif
kurang polar jika dibandingkan dengan silica gel). Kromatogram yang diperoleh
menunjukkan adanya lima bercak yang terpisah, berarti bahwa komponen yang
berada di garis depan adalah komponen yang paling kurang polar di antara
komponen-komponen lainnya. Dari percobaan, Rf dari bercak yang dihasilkan
dihitung sehingga didapat hasil 0,925; 0,55; 0,4625; 0,344 dan 0,256. Seharusnya
digunakan larutan baku pembanding untuk mengidentifikasi metabolit sekunder
apa yang terdapat dalam simplisia. Bentuk noda yang ideal pada kromatografi
kertas dan kromatografi lapis tipis adalah yang benar-benar bulat sehingga luas
dapat diukur, tetapi pada prakteknya tidak selalu bulat karena beberapa hal :
o Zat yang ditotolkan terlalu banyak (volume besar atau konsentrasi tinggi)
o Pada waktu pengembangan, lapisan tipis mudah rusak sehingga elusi
noda tidak bersamaan
o Bila menggunakan lebih dari satu pelarut, maka terjadi lebih dari satu
front, sehingga noda berbentuk garis tipis
o Bila satu komponen dapat terjadi dalam lebih dari satu bentuk, akan
terjadi dua noda.
Jika didiamkan beberapa lama, noda pada kromatogram dapat hilang,
untuk itu digunakan suatu penyemprot bercak agar noda tetap terlihat.
Penyemprot bercak yang digunakan adalah asam sulfat 10% dalam methanol.
Asam sulfat merupakan suatu penampak bercak yang umum digunakan. Reaksi
ini dapat terbentuk dengan pemanasan pelat pada 0-120°C. Dasarnya adalah
bahwa dengan pemanasan sampai 100°C, senyawa organik akan hangus/menjadi
karbon (arang) dan tampak berupa bercak hitam pada latar belakang putih. Karena
itu metode ini hanya cocok untuk fasa diam yang benar-benar berupa bahan
anorganik seperti silica gel maupun alumina, dan tidak dapat digunakan jika fasa
diamnya adalah bahan organik atau pelat yang menggunakan pati sebagai
pengikat. Dari percobaan didapat warna hijau kebiruan, biru, biru keunguan serta
ungu.
Metode yang cukup umum digunakan untuk deteksi kromatogram adalah
penggunaan sinar UV panjang gelombang 254 nm dan 366 nm, khususnya untuk
noda yang tidak berwarna. Karena noda pada kromatogram yang diperoleh
berwarna, noda dapat dideteksi pada tiga keadaan, yaitu pada sinar biasa, sinar
UV 254 nm dan 366 nm. Untuk fasa diam silica gel biasa, fluoresensi di bawah
sinar UV hanya terjadi jika senyawa tersebut berfluoresensi. Tapi bila yang
digunakan adalah silica gel berfluoresensi, noda muncul sebagai bercak hitam.
Dari percobaan, noda yang timbul pada pengamatan disinar UV 254 nm (biasa)
berwarna kuning sedangkan pada UV 366 nm berwarna ungu.
PEMBAHASAN
Dalam percobaan kali ini kita melakukan isolasi metabolit sekunder dari
simplisia tumbuhan obat dengan metode ekstraksi. Simplisia tumbuhan obat yang
kita gunakan adalah simplisia Capsici fructus sedangkan metode ekstraksi yang
kita gunakan adalah.metode maserasi. Metode maserasi adalah salah satu metode
ekstraksi dingin. Ekstraksi dingin ini tidak memerlukan suhu yang tinggi sehingga
waktunya relatif lebih lama dibandingkan dengan ekstraksi cara panas yang
memerlukan suhu tinggi.
Pertama-tama simplisia ditimbang sebanyak 93,31 gram, kemudian serbuk
simplisia dimasukkan ke dalam maserator. Maserator terdiri dari tabung yang
berbentuk silinder dan selang dibawahnya untuk mengalirkan ekstrak yang telah
tersari. Kemudian ke dalam maserator ditambahkan pelarut sampai seluruh serbuk
terendam dalam pelarut (250 mL).
Pelarut yang digunakan dalam proses maserasi ini adalah etanol. Pelarut yang akan digunakan untuk mengekstraksi harus sesuai dengan komponen metabolit sekunder yang akan diekstraksi. Alkohol, bagaimanapun juga adalah pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Etanol digunakan sebagai pelarut untuk menarik senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia sehingga dapat melarutkan senyawa metabolit sekunder tersebut.
Etanol sebagai pelarut organik polar akan menarik komponen utama
metabolit sekunder dalam simplisia yang bersifat polar. Hal ini sesuai dengan
prinsip like dissolve like. Pelarut yang bersifat polar akan melarutkan komponen-
komponen metabolit sekunder yang bersifat polar pula, sedangkan pelarut yang
bersifat non polar akan cenderung melarutkan komponen metabolit sekunder yang
bersifat non polar.
Dalam pembahasan ini “ekstraksi” mengacu pada pengertian ekstraksi
dalam bidang farmasi, bukan dalam bidang kimia secara umum. Ekstraksi dalam
bidang kimia diartikan sebagai proses pemisahan dimana zat terlarut
didistribusikan di antara dua pelarut yang tidak bercampur. Sedangkan dalam
bidang farmasi diartikan sebagai proses penarikan suatu senyawa dari bahan
mentah atau setengah murni dengan perlakuan menggunakan pelarut yang sesuai.
Ekstrak cair yang diperoleh kemudian ditampung ke dalam wadah yang
telah disediakan. Sebelumnya di dalam maserator tersebut telah diletakkan kapas
sebagai penyaring untuk menghindari masuknya serbuk simplisia ke dalam
ekstrak yang akan diambil. Maserator yang berisi simplisia tersebut kemudian
didiamkan selama 24 jam, diharapkan simplisia akan tersari oleh pelarutnya
sehingga dapat turun melalui selang sehingga didapat cairan ekstrak.
Setelah mengekstraksi, ekstrak yang didapat diukur volumenya, kemudian
dilakukan penguapan terhadap ekstrak tersebut di atas waterbath. Penguapan
selain bertujuan untuk memperkental ekstrak dan memekatkan ekstrak juga
bertujuan untuk mengukur berat sesungguhnya/rendemen dari ekstrak tersebut
setelah pelarutnya diuapkan. Proses ini dilakukan dengan menggunakan cawan
penguap. Yang pertama kali dilakukan adalah menimbang berat cawan penguap
yang masih kosong. Ekstrak yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam cawan
penguap lalu diuapkan di atas penangas air. Penguapan dilakukan sampai berat
ekstrak yang ditimbang sudah konstan. Ekstrak yang sudah pekat akan ditentukan
rendemennya dengan cara menghitung presentase dari berat ekstrak sesungguhnya
per berat simplisia mula-mula. Berat ekstrak sesungguhnya merupakan selisih dari
berat cawan penguap yang sudah konstan setelah mengalami penguapan dan berat
cawan penguap yang masih kosong.
Pada proses perhitungan rendemen yang didapat, dilakukan dua kali
percobaan, hasil rendemen yang didapat adalah 9,002 % dan 9,1 %, yag apabila
dirata-ratakan hasil rendemen tersebut sekitar 9.051%. Rendemen ini
menunjukkan kadar ekstrak dari simplisia. Jumlah rendemen yang didapat sangat
kecil karena maserasi hanya dilakukan sekali (selama 24 jam). Seharusnya untuk
memperoleh rendemen yang baik (cukup besar) dilakukan ekstraksi berulang
selama 3 x 24 jam sehingga didapat kadar sari kurang lebih 22 %.
Jika dibandingkan dengan rendemen yang diperoleh dari hasil soxhletasi
(kurang lebih 13 %), rendemen hasil maserasi lebih kecil. Hal ini disebabkan
karena pada proses soxhletasi mekanismenya menyerupai ekstraksi berulang.
Penentuan bobot jenis dari ekstrak yang didapat dilakukan dengan
menggunakan alat piknometer. Pertama-tama piknometer kosong ditimbang
kemudian dimasukkan sejumlah ekstrak hingga penuh ke dalam piknometer
kosong tersebut lalu ditutup hingga cairan ekstrak keluar dari lubang bagian atas
tutup piknometer. Hal tersebut menandakan bahwa piknometer telah penuh,
kemudian piknometer tersebut ditimbang. Catat hasil penimbangannya. Kerapatan
ekstrak adalah berat ekstrak di dalam piknometer dikurangi dengan berat
piknometer kosong dibagi dengan volume piknometer, karena seperti yang kita
ketahui bahwa kerapatan merupakan hasil bagi dari massa dibagi volume. Volume
piknometer adalah daya tampung piknometer, yang biasanya tertera pada
piknometer. Kemudian piknometer yang telah bersih dan kering diisi dengan air
hingga penuh dan ditimbang. Hal ini juga bertujuan untuk menentukan kerapatan
air. Hasil perbandingan antara kerapatan ekstrak dan kerapatan air merupakan
bobot jenis dari ekstrak tersebut. Hasil penentuan kerapatan air adalah 1,106
gram/mL; kerapatan ekstrak 0,91 gram/ mL; jadi bobot jenis ekstrak yang didapat
adalah sebesar 0,823.
Selanjutnya dilakukan proses dinamolisis terhadap ekstrak yang didapat.
Proses dinamolisis yang dilakukan akan memberikan gambaran secara kualitataif
dari kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak. Karena masing-masing
ekstrak memiliki pola dinamolisis yang berbeda. Uji dinamolisis dilakukan
dengan cara menuangkan maserat ke dalam cawan petri sebanyak 1/3 dari volume
cawan petri. Cawan petri tersebut ditutup dengan kertas saring berbentuk
lingkarang yang bersumbu di tengah. Uji dinamolisis dilakukan selama kurang
lebih 10 menit. Noda yang dihasilkan diamati polanya. Berdasarkan hasil
percobaan, pola yang dimiliki oleh Capsici fructus menunjukkan pola lingkaran,
cenderung elips berwarna jingga dengan lapisan luar berwarna kuning muda
kecoklatan. Warna kuning muda menunjukkan etanol yang terpisah sebagai
pelarutnya. Selain sebagai penyaring, kertas saring berfungsi untuk kromatografi
sederhana. Dari kertas saring diukur diameter lingkaran dalam adalah 2,76 dan
4,33. Pola ini menunjukkan karakteristik simplisia Capsici fructus.
Uji KLT dilakukan untuk mengamati pemisahan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia Capsici fructus. Dari uji KLT ini pemisahan akan terlihat melalui pita-pita yang terbentuk pada silika gel. Mula-mula kertas silika gel dipotong dengan ukuran tertentu (2,5 x 7,5 cm) lalu kertas tersebut ditandai dengan garis diujung atas dan bawah masing-masing 1 cm lalu hasil maserat ditotolkan di ujung bawah titik. Pengembang yang digunakan adalah kloroform, metanol, dan asam asetat dengan perbandingan 95 : 1 : 5. Kloroform yang dipakai 9,5 mL. Asam asetat yang dipakai adalah 10 tetes. Metanol yang dipakai sebanyak 2 tetes. Pengembang yang dipakai adalah pengembang yang bersifat non polar karena metabolit sekunder dalam ekstrak bersifat polar.
Cairan pengembang berfungsi sebagai fasa gerak sedangkan silika gel
berfungi sebagai fase diam. Pada percobaan ini tidak digunakan cairan penampak
bercak, hanya digunakan sinar ultraviolet 254 nm dan 366 nm. Rf dari bercak
yang dihasilkan dihitung sehingga didapat hasil 0,4545 dan 0,94545. Hasil ini
tidak dapat dibandingkan dengan literatur karena pada KLT nilai Rf tidak
terulangkan. Seharusnya digunakan larutan baku pembanding untuk
mengidentifikasi metabolit sekunder apa yang terdapat dalam simplisia.
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan diperoleh :
1 Rendemen : 9,051 %
2. Bobot jenis ekstrak : 0,823 gram/mL
3. Pola dinamolisis menghasilkan diameter sebesar
a. Lingkaran dalam : 2,76
b. Lingkaran luar : 4,33
4. Rf hasil KLT : 0,4545 dan 0,94545
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1977. Materia Medika Jilid III. Jakarta : Depkes RI.
Depkes RI. 1985. Tanaman Obat Indonesia Jilid I. Jakarta : Depkes RI.
Gritter, R. J., J. M. Bobbit and A. E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi.
Bandung : Penerbit ITB.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia.. Kosasih P, Translator. Second Edition.
Bandung : ITB.
Soedibyo, Moeryati, B. R. A. 1998. Alam Sumber Kesehatan : Manfaat dan
Kegunaan. Jakarta : Balai Pustaka.
Sujadi. 1998. Metode Pemisahan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Tjokronegoro, Roekmiati. 2000. Teknik Pemisahan Kimia. Bandung: Jurusan
Kimia FMIPA UNPAD.
VII. PEMBAHASAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengisolasi metabolit
sekunder dari simplisia tumbuhan obat dengan metode ekstraksi. Simplisia
tumbuhan obat yang digunakan adalah simplisia jahe merah (Zingiber
purpureum) sedangkan metode ekstraksi yang kita gunakan adalah.metode
soxhletasi.. Metode soxhletasi adalah salah satu metode ekstraksi panas.
Ekstraksi panas memerlukan suhu tinggi sehingga membutuhkan waktu
yang lebih cepat jika dibandingkan dengan ekstraksi dingin. Penyarian
dengan cara soxhletasi dilakukan berulang kali agar penyarian lebih
efektif.
Pada praktikum ini digunakan simplisia yang sudah digerus hingga
didapat partikel simplisia yang agak kecil (tidak terlalu halus), yang
berguna untuk memperluas permukaan sehingga interaksi antara cairan
penyari dengan permukaan simplisia lebih banyak. Disamping itu, hal ini
juga berfungsi untuk memecah dinding sel sehingga cairan penyari dapat
masuk ke dalam sel dan mengekstraksi lebih banyak metabolit sekunder.
Cairan penyari akan masuk ke dalam dinding sel dan rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel sehingga larutan
yang terpekat akan didesak keluar. Penyarian akan semakin efektif bila
permukaan serbuk yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas.
Jadi, makin halus serbuk simplisia seharusnya makin baik penyariannya,
tapi dalam pelaksanaannya tidak demikian karena pengaruh sifat
fisikokimia. Serbuk yang terlalu halus akan memberikan kesulitan pada
proses penyarian, dimana cairan tidak dapat turun (menyulitkan
pembasahan). Hal ini disebabkan oleh ruang antar sel yang merupakan
jalan masuknya cairan berkurang. Selain itu serbuk yang terlalu halus juga
mengakibatkan terbentuknya suspensi yang sulit dipisahkan dengan hasil
penyarian. Serbuk yang terlalu halus juga dapat mengakibatkan dinding sel
pecah sehingga zat yang tidak diinginkan pun dapat ikut terekstrak. Oleh
karena itu untuk tiap simplisia perlu ditetapkan derajat kehalusan tertentu
agar didapat hasil penyarian yang baik.
Simplisia yang digunakan sebanyak 316,47 gram (disesuaikan
dengan alat soxhletasi). Serbuk simplisia yang telah dilapisi oleh kertas
whatman dimasukkan ke dalam tabung soxhlet. Tabung soxhlet tersebut
kemudian dipasang pada alat soxhlet. Sebelumnya pada bagian bawah alat
soxhlet, yaitu labu alas bulat, telah diisi dengan 1000 mL pelarut etanol
95% yang telah ditambahkan dengan batu didih. Selanjutnya dilakukan
pembasahan dengan menggunakan pelarut yang berasal dari labu dasar
bulat. Pembasahan bertujuan untuk mengganti udara dalam pori–pori, hal
ini disebabkan karena dinding sel tumbuhan terdiri dari serabut selulosa
yang dikelilingi oleh air, jika simplisia tersebut dikeringkan maka lapisan
air akan menguap dan terbentuk pori–pori yang diisi oleh udara.
Pembasahan ini memberikan kesempatan pada cairan penyari untuk
memasuki seluruh pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah
penyarian selanjutnya. Agar penyarian berjalan dengan baik maka pori–
pori berisi udara harus didesak dengan air. Pembasahan juga
mengakibatkan terjadinya perbedaan konsentrasi, sedangkan perbedaan
konsentrasi itu sendiri mempengaruhi kecepatan penyarian, makin besar
perbedaan konsentrasi, makin besar daya dorong sehingga makin cepat
penyarian, makin kasar serbuk makin panjang jarak, sehingga konsentrasi
zar aktif yang terlarut dan tertinggal dalam sel makin banyak. Pembasahan
dilakukan hingga semua simplisia terendam. Perendaman dimaksudkan
untuk menarik metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia. Setelah
semua simplisia basah, kondensor disambungkan pada alat soxhlet.
Kondensor berfungsi sebagai pendingin. Pelarut pada labu alas bulat akan
dipanaskan hingga menguap. Uap pelarut yang masuk ke dalam kondensor
akan mengalami pendinginan sehingga akan berubah kembali menjadi
cairan dan turun berbentuk tetesan cairan.
Pelarut yang digunakan dalam proses soxhletasi ini adalah etanol.
Pemilihan pelarut yang akan digunakan untuk mengekstraksi harus sesuai
dengan komponen metabolit sekunder yang akan diekstraksi. Keuntungan
etanol sebagai pelarut karena bersifat polar dan tidak bersifat toksik, lebih
selektif dan memiliki daya absorpsi yang baik. Alkohol, bagaimanapun
juga adalah pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan.
Alasan menggunakan etanol 95 % adalah karena etanol dengan konsentrasi
tersebut mempunyai kadar air sedikit yaitu hanya 5 %. Banyaknya air akan
mempengaruhi keawetan dari ekstrak yang diperoleh, karena air adalah
media pertumbuhan yang baik bagi bakteri, jamur, dan mikroorganisme
lainnya.
Selain itu air mampu melarutkan beberapa zat tumbuh-tumbuhan seperti gula, gom, amilum, zat warna, tanin, dan kebanyakan zat- zat ini bukan komponen yang diinginkan sebagai ekstrak. Air juga cenderung mengekstraksi bahan dasar tanaman yang setelah diekstraksi kemudian memisah meninggalkan endapan yang tidak diinginkan. Banyak senyawa kimia organik yang kompleks dalam tumbuhan lebih dapat larut dalam alkohol daripada dalam air, sehingga alkohol sering digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi pendahuluan.
Etanol sebagai pelarut organik polar akan menarik komponen
utama metabolit sekunder dalam simplisia yang bersifat polar. Hal ini
sesuai dengan prinsip like dissolve like. Pelarut yang bersifat polar akan
melarutkan komponen-komponen metabolit sekunder yang bersifat polar
pula, sedangkan pelarut yang bersifat non polar akan cenderung
melarutkan komponen metabolit sekunder yang bersifat non polar. Etanol
dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin,
kumarin, antrakuinon, flavonoid, steroid, damar, dan klorofil. Lemak,
malam, tanin, dan saponin hanya akan larut sedikit. Dengan demikian zat
pengganggu yang larut hanya terbatas. Disamping itu, etanol merupakan
senyawa yang mudah menguap, sehingga pada proses pemekatan
(evaporasi) waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan
menggunakan pelarut air.
Ekstrak cair yang diperoleh kemudian ditampung ke dalam wadah
yang telah disediakan. Ekstrak cair tersebut didinginkan. Dipisahkan
menjadi 2 bagian, bagian pertama disimpan dan bagian yang lain
dipekatkan dengan cara evaporasi. Evaporator adalah alat pemekat atau
pengental ekstrak cair yang mirip dengan gasing serta dilengkapi heating
mantel yang dapat diatur derajat suhunya dan juga dilengkapi pipa-pipa
untuk mengalirkan metanol atau etanol sebagai pendingin. Proses ini
memakan waktu kurang lebih 1 jam tergantung dari volume ekstrak
cairnya. Pada proses evaporasi diharapkan agar panasnya konstan sehingga
reaksi pengentalan berjalan sempurna. Hasil dari evaporasi tersebut harus
diuapkan di atas penangas air sehingga didapat hasil ekstrak yang lebih
pekat.
Setelah dipisahkan, sebanyak 20 ml ekstrak cair diambil untuk
kemudian diuapkan di atas penangas air. Penguapan ini bertujuan untuk
menguapkan pelarut sehingga didapat berat yang sesungguhnya. Proses ini
dilakukan dengan menggunakan cawan penguap. Yang pertama kali
dilakukan adalah menimbang berat cawan penguap yang masih kosong
dan diketahui beratnya sebesar 81,76 gram. Ekstrak yang didapat
kemudian dimasukkan ke dalam cawan penguap, kemudian ditimbang lagi
dan diperoleh massa sebesar 99,59 gram. Cawan berisi ekstrak lalu
diuapkan di atas penangas air. Penguapan dilakukan sampai berat ekstrak
yang ditimbang sudah konstan. Ekstrak yang sudah pekat (beratnya
konstan) akan ditentukan rendemennya dengan cara menghitung
presentase dari berat ekstrak sesungguhnya per berat simplisia mula-mula.
Berat ekstrak sesungguhnya merupakan selisih dari berat cawan penguap
yang sudah konstan setelah mengalami penguapan dan berat cawan
penguap yang masih kosong, yaitu sebesar 0.42 gram. Pada proses
perhitungan rendemen, didapat hasil randemen sebesar 3.026%. Rendemen
ini menunjukkan kadar ekstrak dari simplisia.
Penentuan bobot jenis dari ekstrak yang didapat dilakukan dengan
menggunakan alat piknometer. Piknometer yang digunakan adalah
piknometer bervolume 10 mL. Volume piknometer adalah daya tampung
piknometer, yang biasanya tertera pada piknometer. Pertama-tama
piknometer kosong ditimbang dan diketahui beratnya sebesar 13,18 gram.
Kemudian dimasukkan air ke dalam piknometer, air dimasukkan hingga
penuh ke dalam piknometer kosong tersebut lalu ditutup hingga air keluar
dari lubang bagian atas tutup piknometer, hal tersebut menandakan bahwa
piknometer telah penuh dan kemudian ditimbang lagi. Berat piknometer
dan air adalah 23,61 gram sehingga didapat berat air 10,43 gram. Dari
berat dan volume air, dapat dihitung kerapatan air dengan membagi berat
air dengan volume air yang digunakan, didapat kerapatan air sebesar 1,043
gram/mL. Setelah itu, piknometer yang tadi diisi dengan air sekarang diisi
dengan ekstrak., kemudian piknometer tersebut ditimbang, dan diperoleh
berat piknometer dan ekstrak sebesar 22,90 gram. Dengan mengurangi
berat piknometer dan ekstrak dengan berat piknometer kosong, didapat
berat ekstrak sebesar 9,72 gram. Kerapatan ekstrak adalah berat ekstrak
dibagi dengan volume piknometer dan didapat nilainya sebesar 0,972
gram/mL. Hasil perbandingan antara kerapatan ekstrak dan kerapatan air
merupakan bobot jenis dari ekstrak tersebut. Hasil penentuan bobot jenis
ekstrak yang didapat adalah sebesar 0,9319.
Penetapan kadar air ekstrak dilakukan dengan menggunakan
metode destilasi toluene. Ekstrak kental ditimbang sebanyak 1.07 gram
lalu dimasukkan ke dalam labu yang sebelumnya telah dibersihkan dan
dikeringkan. Ke dalam labu kemudian ditambahkan 200 ml toluene. Labu
kemudian dipasang pada alat destilasi dan dipanaskan. Setelah suhu
melewati titik didih toluene, toluene akan menguap, mengalami
pendinginan pada kondensor, dan menetes pada suatu penampung.
Destilasi dilakukan hingga seluruh air tersuling dan berada pada
penampung. Volume air yang tersuling adalah 0.1 ml. Hal ini berarti pada
1.07 gram ekstrak terdapat 0.1 ml air, sehingga kadar air pada ekstrak
adalah 9.35%.
Selanjutnya dilakukan proses dinamolisis terhadap ekstrak yang
didapat. Proses dinamolisis yang dilakukan akan memberikan gambaran
secara kualitataif dari kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak.
Karena masing-masing ekstrak memiliki pola dinamolisis yang berbeda.
Uji dinamolisis dilakukan dengan cara menuangkan ekstrak ke dalam
cawan petri sebanyak 10 mL. Cawan petri tersebut ditutup dengan kertas
saring berbentuk lingkaran yang bersumbu di tengah. Uji dinamolisis
dilakukan selama kurang lebih 20 menit hingga noda bersifat konstan.
Noda yang dihasilkan diamati polanya. Berdasarkan hasil percobaan, pola
yang dimiliki oleh Zingiber purpureum menunjukkan pola lingkaran,
diameter 1 berwarna kuning tua sebesar 1,3 cm dan diameter 2 berwarna
kuning muda sebesar 4,3 cm.
Uji KLT dilakukan untuk mengamati pemisahan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia Zingiber purpureum. Dari uji KLT ini pemisahan akan terlihat melalui pita-pita yang terbentuk pada silika gel. Sebelum melakukan kromatografi lapis tipis, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah :
o kualitas sorben / zat penjerap / fasa diam,
o prosedur preparasi,
o ketebalan dan keseragaman lapisan,
o kualitas pelarut,
o derajat kejenuhan dalam bejana,
o teknik pengembangan kromatografis,
o jumlah sampel yang ditotolkan,
o suhu.
Pertama-tama pada plat dibuat garis 1 cm dari masing-masing
ujung dan juga dibuat 2 titik sebesar 0,6 cm dari masing-masing sisi. Titik
tempat campuran ditempatkan disebut titik awal. Campuran diletakkan
pada titik awal dengan menotolkannya dengan menggunakan suatu kapiler
halus dari kaca, dan diusahakan agar luas totolan sekecil mungkin.
Beberapa kali penotolan dapat dilakukan pada tempat yang sama asalkan
lapisan totolan pertama harus kering terlebih dahulu sebelum totolan
selanjutnya. Karena campuran berada dalam pelarut etanol yang mudah
menguap, maka setelah tiap totolan, plat cukup dibiarkan sesaat atau ditiup
sedikit hingga etanolnya menguap. Jumlah totolan tidak boleh terlalu
banyak karena menyebabkan bercak menjadi asimetris dan menyebabkan
perubahan pada harga Rf.
Pengembang yang digunakan adalah toluene-etil asetat (93:7) sebanyak 5 ml. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mencampur pelarut adalah :
o Hanya pelarut yang mempunyai kepolaran yang hampir sama yang
dapat dicampur. Dalam hal ini etOAc bersifat sedikit lebih polar
daripada toluene, namun pada dasarnya keduanya dapat dianggap
kurang polar jika dibandingkan dengan fasa diam silica gel.
o Kepolaran campuran tidak merupakan fungsi linier dari susunan
campuran, tetapi merupakan fungsi logaritma. Jadi campuran
toluene:etOAc mempunyai kepolaran yang mendekati kepolaran
toluene (makin kurang polar).
o Dapat dibuat elusi landaian dengan menambahkan sedikit demi
sedikit pelarut lain dalam pelarut murni selama kromatografi
sehingga kepolaran meningkat / menurun terus-menerus.
Campuran pelarut dimasukkan ke dalam bejana pengembang dari
gelas, pengerjaan dilakukan di dalam bejana tertutup agar tidak terjadi
penguapan pelarut dan bejana jenuh oleh uap pelarut. Bila bejana tidak
jenuh, akan mempengaruhi harga Rf. Untuk memastikan bejana jenuh
sempurna, sebaiknya dinding bejana dilapisi dengan kertas saring, jika
kertas tersebut telah basah sempurna, berarti bejana tersebut telah jenuh.
Karena keterbatasan waktu dan alat, langkah di atas tidak dilakukan.
Tetapi kejenuhan diuji dengan memasukkan tangan ke dalam bejana, jika
terasa cukup hangat, berarti bejan sudah cukup jenuh.
Ke dalam bejana yang telah jenuh, dimasukkan pelat silica gel
yang telah diberi totolan ekstrak. Satu pelat dapat diisi dua sampai tiga
totolan. Dalam percobaan, pelat diberi dua totolan yang berdampingan,
yaitu ekstrak Zingiber purpureum yang diperoleh dengan cara sohxlet.
Tinggi campuran pelarut dalam bejana cukup beberapa milimeter, dan titik
awal tidak boleh terendam dalam campuran pelarut tersebut. Bejana
ditutup dan campuran pelarut dibiarkan merambat naik sampai bagian atas
pelat yang telah ditandai sebelunya(1 cm dari tepi atas), garis ini disebut
garis depan. Jadi garis depan adalah titik tertinggi yang dicapai fasa gerak/
pelarut pada fasa diam setelah pengembangan selesai. Faktor retensi Rf
diperoleh dengan membandingkan jarak tempuh noda/komponen terhadap
jarak tempuh pelarut (garis depan). Pada percobaan, noda terakhir berada
tepat pada garis depan, sehingga diperoleh harga Rf =1.
Selama pengembangan, komponen yang lebih polar akan terikat lebih
kuat pada lapisan silica gel sehingga akan tertahan lebih lama, sedangkan
komponen yang kurang polar akan cepat bergerak bersama campuran
pelarut (yang relatif kurang polar jika dibandingkan dengan silica gel).
Kromatogram yang diperoleh menunjukkan adanya lima bercak yang
terpisah, berarti bahwa komponen yang berada di garis depan adalah
komponen yang paling kurang polar di antara komponen-komponen
lainnya. Dari percobaan, Rf dari bercak yang dihasilkan dihitung sehingga
didapat hasil 0,925; 0,55; 0,4625; 0,344 dan 0,256. Seharusnya digunakan
larutan baku pembanding untuk mengidentifikasi metabolit sekunder apa
yang terdapat dalam simplisia. Bentuk noda yang ideal pada kromatografi
kertas dan kromatografi lapis tipis adalah yang benar-benar bulat sehingga
luas dapat diukur, tetapi pada prakteknya tidak selalu bulat karena
beberapa hal :
o Zat yang ditotolkan terlalu banyak (volume besar atau konsentrasi
tinggi)
o Pada waktu pengembangan, lapisan tipis mudah rusak sehingga
elusi noda tidak bersamaan
o Bila menggunakan lebih dari satu pelarut, maka terjadi lebih dari
satu front, sehingga noda berbentuk garis tipis
o Bila satu komponen dapat terjadi dalam lebih dari satu bentuk,
akan terjadi dua noda.
Jika didiamkan beberapa lama, noda pada kromatogram dapat
hilang, untuk itu digunakan suatu penyemprot bercak agar noda tetap
terlihat. Penyemprot bercak yang digunakan adalah asam sulfat 10%
dalam methanol. Asam sulfat merupakan suatu penampak bercak yang
umum digunakan. Reaksi ini dapat terbentuk dengan pemanasan pelat
pada 0-120°C. Dasarnya adalah bahwa dengan pemanasan sampai 100°C,
senyawa organik akan hangus/menjadi karbon (arang) dan tampak berupa
bercak hitam pada latar belakang putih. Karena itu metode ini hanya cocok
untuk fasa diam yang benar-benar berupa bahan anorganik seperti silica
gel maupun alumina, dan tidak dapat digunakan jika fasa diamnya adalah
bahan organik atau pelat yang menggunakan pati sebagai pengikat. Dari
percobaan didapat warna hijau kebiruan, biru, biru keunguan serta ungu.
Metode yang cukup umum digunakan untuk deteksi kromatogram
adalah penggunaan sinar UV panjang gelombang 254 nm dan 366 nm,
khususnya untuk noda yang tidak berwarna. Karena noda pada
kromatogram yang diperoleh berwarna, noda dapat dideteksi pada tiga
keadaan, yaitu pada sinar biasa, sinar UV 254 nm dan 366 nm. Untuk fasa
diam silica gel biasa, fluoresensi di bawah sinar UV hanya terjadi jika
senyawa tersebut berfluoresensi. Tapi bila yang digunakan adalah silica
gel berfluoresensi, noda muncul sebagai bercak hitam. Dari percobaan,
noda yang timbul pada pengamatan disinar UV 254 nm (biasa) berwarna
kuning sedangkan pada UV 366 nm berwarna ungu.
VIII. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan diperoleh ekstrak Zingiber purpureum dengan parameter ekstrak sebagai berikut
1 Rendemen : 3,026 %
2. Bobot jenis ekstrak : 0,932 gram/mL
3. Pola dinamolisis menghasilkan diameter sebesar
c. Lingkaran dalam : 1,3 cm
d. Lingkaran luar : 4,3 cm
4. Rf hasil KLT : 0.925 ; 0.55; 0.4265; 0.344; 0.256
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 1997. Ilmu Meracik Obat : Teori dan Praktik. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Ansel, Howard.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat.
Penerjemah: Farida Ibrahim. Jakarta: penerbit Universitas Indonesia press.
Departemen Kesehatan RI. 1986. Sediaan Galenik dan Uji Klinik Obat
Tradisional. Jakarta : departemen kesehatan RI.
Harborne, J. B. 2006. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terbitan Kedua. Diterjemahkan oleh Kosasih P. Dan Iwang
Soediro. Penerbit ITB. Bandung.
Panitia Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Panitia Farmakope Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi keempat. Jakarta
: Departemen Kesehatan RI.
1. Pola Dinamolisis
Keterangan :
1
2
3
NO. DIAMETER WARNA
1 0,8 cm Putih kekuningan (lebih pekat)
2 2,5 cm Kuning muda
3 3,7 cm Putih kekuningan
VII. DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Dalam percobaan kali ini kita melakukan isolasi metabolit sekunder dari
simplisia tumbuhan obat dengan metode alat Soxhlet. Metode Soxhlet adalah
salah satu metode ekstraksi panas. Ekstraksi panas ini memerlukan suhu yang
tinggi sehingga waktunya relatif lebih cepat dibandingkan dengan ekstraksi cara
dingin yang memerlukan suhu rendah. Ekstraksi menggunakan alat Soxhlet
merupakan salah satu metode ekstraksi padat-cair yang menggunakan prinsip
ekstraksi panas. Pada ekstraksi ini, uap cairan penyari akan naik ke atas tempat
simplisia melalui pipa samping, kemudian dikondensasikan kembali oleh
kondensor tegak, lalu cairan penyari tersebut akan turun kembali ke tempat
simplisia. Peristiwa ini terjadi terus menerus sehingga disebut juga ekstraksi
berkesinambungan. Ada beberapa keuntungan dari cara ekstraksi menggunakan
alat Soxhlet antara lain cairan penyari yang digunakan lebih sedikit sehingga
waktu ekstraksi lebih cepat, pada ekstraksi ini, langsung diperoleh ekstrak yang
lebih pekat karena lebih banyak ekstrak yang terekstraksi, dan ekstraksi dapat
dilakukan sesuai keperluan tanpa penambahan cairan penyari. Namun, ada
beberapa kerugian dari penggunaan alat Soxhlet untuk ekstraksi simplisia
tumbuhan obat, yakni tidak cocok untuk digunakan pada zat yang termolabil,
karena larutan penyari digunakan terus menerus.
Simplisia tumbuhan obat yang kita gunakan adalah simplisia Alpinia
galanga folium atau daun lengkuas. Simplisia yang ada digerus hingga didapat
partikel simplisia agak kecil (tidak terlalu halus) untuk memperluas permukaan
sehingga interaksi antara cairan penyari dengan permukaan simplisia lebih
banyak, disamping itu juga berfungsi untuk memecah dinding sel sehingga cairan
penyari dapat masuk kedalam sel dan mengekstraksi lebih banyak metabolit
sekunder. Cairan penyari akan masuk kedalam dinding sel dan rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi
antara larutan didalam sel dan diluar sel maka larutan yang terpekat akan didesak
keluar. Penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk yang bersentuhan
dengan cairan penyari semakin luas. Dengan demikian maka makin halus serbuk
simplisia seharusnya makin baik penyariannya, tetapi dalam pelaksanaanya tidak
demikian karena pengaruh sifat fisikokimia. Serbuk yang terlalu halus akan
memberikan kesulitan pada proses penyarian, cairan tidak dapat turun
(menyulitkan pembasahan). Hal ini disebabkan serbuknya terlalu halus sehingga
ruang antar sel berkurang. Sementara ruang antar sel ini merupakan jalan
masuknya cairan. Selain itu serbuk yang terlalu halus juga mengakibatkan
terbentuknya suspensi yang sulit dipisahkan dengan hasil penyarian. Serbuk yang
terlalu halus juga dapat mengakibatkan dinding sel pecah sehingga zat yang tidak
diinginkan pun dapat ikut terekstrak. Oleh karena itu untuk tiap simplisia perlu
ditetapkan derajat kehalusan tertentu agar didapat hasil penyarian yang baik.
Setelah penggerusan simplisia ditimbang sebanyak 50 gram, kemudian
serbuk simplisia disiapkan dalam kertas saring Whatman dan dimasukkan ke
dalam tabung Soxhlet. Sebelumnya pada dasar tabung Soxhlet telah dilapisi oleh
kapas, kemudian serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung dan atasnya
ditutup dengan kapas kembali. Kemudian ke dalam labu alas bulat, dituangkan
250 ml etanol 95 % hingga mencapai ½ bagian volume labu, lalu ditambahkan
batu didih. Batu didih digunakan untuk menghindari terjadinya bumping dan
untuk memusatkan pemanasan karena batu didih memiliki sudut yang dapat
memecahkan gelembung-gelembung yang terjadi pada saat pemanasan. Selain itu,
batu didih memiliki pori-pori yang dapat memusatkan pemanasan yang terjadi.
Pelarut yang digunakan dalam proses ini adalah etanol. Pemilihan pelarut yang
akan digunakan untuk mengekstraksi harus sesuai dengan komponen metabolit
sekunder yang akan diekstraksi. Keuntungan etanol sebagai pelarut karena bersifat
polar dan tidak bersifat toksik, lebih selektif dan memiliki daya absorpsi yang
baik. Penggunaan alkohol 95% juga agar mencegah dan menghambat
pertumbuhan kapang dan kuman selama proses maserasi karena kapang dan
kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas. Alkohol, bagaimanapun juga
adalah pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Etanol sebagai
pelarut organik polar akan menarik komponen utama metabolit sekunder dalam
simplisia yang bersifat polar. Hal ini sesuai dengan prinsip like dissolve like.
Pelarut yang bersifat polar akan melarutkan komponen-komponen metabolit
sekunder yang bersifat polar pula, sedangkan pelarut yang bersifat non polar akan
cenderung melarutkan komponen metabolit sekunder yang bersifat non polar.
Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin,
kumarin, antrakuinon, flavonoid, steroid, damar, dan klorofil. Lemak, malam,
tanin, dan saponin hanya akan larut sedikit. Dengan demikian zat pengganggu
yang larut hanya terbatas.
Prosedur selanjutnya adalah pemasangan alat Soxhlet pada tempatnya dan
dilakukan pembasahan dari bagian atas tabung Soxhlet terhadap simplisia. Kapas
dalam tabung Soxhlet yang terkena etanol bertujuan agar tidak ada serbuk
simplisia yang keluar pada saat dilakukan penyaringan karena kapas berfungsi
sebagai filter. Pembasahan dilakukan agar kapas menempel pada dinding tabung
untuk menghindari adanya ruang antara kapas dengan tabung Soxhlet sehingga
dapat mencegah terselipnya serbuk simplisia. Pembasahan juga untuk mengganti
udara dalam pori-pori, hal ini disebabkan karena dinding sel tumbuhan terdiri dari
serabut selulosa yang dikelilingi oleh air, jika simplisia tersebut dikeringkan
lapisan air akan menguap dan terbentuk pori-pori yang diisi oleh udara.
Pembasahan ini memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada cairan penyari
memasuki seluruh pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian
selanjutnya. Agar penyarian berjalan dengan baik maka pori-pori berisi udara
harus didesak dengan air. Pembasahan juga mengakibatkan terjadinya perbedaan
konsentrasi, sedangkan perbedaan konsentrasi itu sendiri mempengaruhi
kecepatan penyarian, makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar daya
dorong sehingga makin cepat penyarian, makin kasar serbuk makin panjang jarak,
sehingga konsentrasi zat aktif yang terlarut dan tertinggal dalam sel makin
banyak. Setelah dibasahi kemudian dinyalakan heating mantle sampai suhu
mencapai titik didih pelarut. Ekstraksi simplisia dilakukan hingga tetesan pelarut
hampir tidak berwarna.
Ekstrak cair yang diperoleh kemudian ditampung ke dalam wadah yang
telah disediakan. Setelah mengekstraksi, ekstrak yang didapat diukur volumenya.
Hasil penyarian dengan cara Soxhlet perlu didiamkan selama waktu tertentu.
Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan
tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari, contohnya seperti malam dan lain-lain.
Setelah itu sebanyak 42,8 ml ekstrak cair yang telah dikentalkan dengan
alat rotavapor diuapkan di atas waterbath. Penguapan selain bertujuan untuk
menguapkan pelarut sehingga didapat berat yang sesungguhnya. Proses ini
dilakukan dengan menggunakan cawan penguap. Yang pertama kali dilakukan
adalah menimbang berat cawan penguap yang masih kosong. Ekstrak kental yang
tadi telah didapat kemudian dimasukkan ke dalam cawan penguap lalu diuapkan
di atas penangas air. Penguapan dilakukan sampai berat ekstrak yang ditimbang
sudah konstan dan stabil. Ekstrak yang sudah pekat (beratnya konstan) akan
ditentukan rendemennya dengan cara menghitung persentase dari berat ekstrak
sesungguhnya per berat simplisia mula-mula. Berat ekstrak sesungguhnya
merupakan selisih dari berat cawan penguap yang sudah konstan setelah
mengalami penguapan dan berat cawan penguap yang masih kosong.
Pada proses perhitungan rendemen, didapat hasil randemen sebesar 1,58
%. Rendemen ini menunjukkan kadar ekstrak dari simplisia. Jumlah rendemen
yang didapat sangat kecil karena kurangnya pengadukan dan ukuran serbuk
kurang halus ketika penggerusan serta pembasahan yang kurang sempurna.
Penentuan bobot jenis dari ekstrak yang didapat dilakukan dengan
menggunakan alat piknometer. Pertama-tama piknometer kosong ditimbang
kemudian dimasukkan sejumlah ekstrak hingga penuh ke dalam piknometer
kosong tersebut lalu ditutup hingga cairan ekstrak keluar dari lubang bagian atas
tutup piknometer. Hal tersebut menandakan bahwa piknometer telah penuh,
kemudian piknometer tersebut ditimbang. Catat hasil penimbangannya. Kerapatan
ekstrak adalah berat ekstrak di dalam piknometer dikurangi dengan berat
piknometer kosong dibagi dengan volume piknometer, karena seperti yang kita
ketahui bahwa kerapatan merupakan hasil bagi dari massa dibagi volume. Volume
piknometer adalah daya tampung piknometer, yang biasanya tertera pada
piknometer. Kemudian piknometer yang telah bersih dan kering diisi dengan air
hingga penuh dan ditimbang. Hal ini juga bertujuan untuk menentukan kerapatan
air. Hasil perbandingan antara kerapatan ekstrak dan kerapatan air merupakan
bobot jenis dari ekstrak tersebut. Hasil penentuan kerapatan air adalah 1,051
gram/mL; kerapatan ekstrak 0,947 gram/ mL; jadi bobot jenis ekstrak yang
didapat adalah sebesar 0,901.
Selanjutnya dilakukan proses dinamolisis terhadap ekstrak yang didapat.
Proses dinamolisis yang dilakukan akan memberikan gambaran secara kualitatif
dari kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak. Karena masing-masing
ekstrak memiliki pola dinamolisis yang berbeda. Uji dinamolisis dilakukan
dengan cara menuangkan maserat ke dalam cawan petri sebanyak 1/3 dari volume
cawan petri. Cawan petri tersebut ditutup dengan kertas saring berbentuk
lingkaran yang bersumbu di tengah. Uji dinamolisis dilakukan selama kurang
lebih hingga tidak terjadi pelebaran noda lagi, hingga stabil. Noda yang dihasilkan
diamati polanya. Berdasarkan hasil percobaan, pola yang dimiliki oleh daun
lengkuas menunjukkan pola lingkaran, diameter 1 berwarna putih kekuningan
(lebih pekat), diameter 2 berwarna kuning muda, sedangkan diameter 3 berwarna
putih kekuningan. Selain sebagai penyaring pada dinamolisis, kertas saring
berfungsi untuk kromatografi sederhana. Dari kertas saring diukur diameter yang
diperoleh berturut-turut adalah 0,8 ; 2,5 ; dan 3,7. Pola ini menunjukkan
karakteristik simplisia daun lengkuas.
Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dilakukan untuk mengamati
pemisahan metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia daun lengkuas.
Dari uji KLT ini pemisahan akan terlihat melalui pita-pita yang terbentuk pada
silika gel. Mula-mula pelat silika gel dipotong dengan ukuran tertentu lalu pelat
tersebut ditandai dengan garis diujung atas dan bawah masing-masing 1 cm. Pada
garis bawah dibuat 2 titik, yaitu titik a dan b untuk penotolan maserat, dimana
penotolan titik b lebih pekat daripada titik a untuk membedakan hasil pergerakan
bercak pada pelat KLT. Lalu hasil maserat ditotolkan di ujung bawah kedua titik
tersebut. Penotolan dilakukan berulang pada tempat yang sama dengan rentang
waktu tertentu untuk menghindari kemungkinan totolan terlalu lebar, karena jika
penotolan dilakukan saat totolan sebelumnya masih basah. Pengembang yang
digunakan adalah toluen dan asetil asetat dengan perbandingan 93:7. Toluen yang
dipakai 9,3 mL dan asetil asetat yang dipakai adalah 0,7 ml. Pengembang yang
dipakai adalah pengembang yang bersifat non polar karena metabolit sekunder
dalam ekstrak bersifat polar.
Cairan pengembang berfungsi sebagai fasa gerak sedangkan silika gel
berfungi sebagai fase diam. Pada percobaan ini digunakan cairan penampak
bercak, tetapi sebelumnya digunakan sinar ultraviolet 254 nm dan 366 nm tanpa
penampak bercak. Pada sinar ultarviolet 254 nm didapat hasil Rf sebesar 0,0812
pada titik a dan 0,094 pada titik b. Pada sinar ultraviolet 366 nm didapat hasil Rf
sebesar 0,244 pada titik a dan 0,263 pada titik b. Kemudian pada kertas KLT
tersebut disemprotkan penampak bercak vanilin sulfat untuk mengetahui lebih
jelas warna pada kertas. Setelah itu dilakukan pengeringan dalam oven. Tidak
didapatkannya hasil Rf ketika dilakukan pengeringan, dikarenakan beberapa
kesalahan pada saat pengerjaan, diantaranya, belum jenuhnya campuran untuk
KLT yaitu antara toluen dan asetil asetil, terlalu banyaknya vanilin sulfat yang
disemprotkan pada kertas KLT, serta terlalu lamanya pengeringan kertas KLT
dalam oven. Hasil ini tidak dapat dibandingkan dengan literatur karena pada KLT
nilai Rf tidak terulangkan. Seharusnya digunakan larutan baku pembanding untuk
mengidentifikasi metabolit sekunder apa yang terdapat dalam simplisia.
VIII. KESIMPULAN
Penyarian metabolit sekunder dari tumbuhan Alpinea galanga dapat
dilakukan dengan menggunakan ekstraksi soxhlet dengan rendemen yang didapat
sebesar 13,88 %.
DAFTAR PUSTAKA
Carter, B. 1975. Dispensing for Pharmaceutical Students Twelfth Edition. Pitman
Medical Publishing Co.Ltd. London.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Dirgen
POM. Direksorat Pengawasan Obat Tradisional.
Depkes RI. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV.
Duke, J. 2005. Phytochemical and Etnobotanical Databases.Belstsuille
Agricultural Research Center. Maryland.
Fessenden & Fessenden. 1982. Kimia Organik, jilid 1. Jakarta: Gelora Aksara d
Pratama.
Harborne, J.B., 1984. Metode Fitokimia, terjemahan K. Padmawinata dan I.
Sudiro. Bandung: ITB press.
Herbert, R. B. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder edisi ke-2. Diterjemahkan
oleh Bambang Srigandono. IKIP Press. Semarang.
Tjitrosoepomo. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat. Gadjah Mada Press.
Jogjakarta.
LAMPIRAN
Gambar 1 : Bekker glass berisi ekstrak, gelas KLT, Gambar 2 : Cawan penguap berisi
ekstrak
piknometer, cawan dan kertas dinamolisis
Gambar 3 : Pola Dinamolisis Ekstrak Gambar 4 : Gelas KLT berisi toluen dan etil
asetat
Gambar 5 : Hasil KLT dengan vanilin sulfat Gambar 6 : piknometer berisi vanilin
sulfat
Gambar 7 : rotavapor
Gambar 8 : Alat Soxhlet
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
Teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Egon Stahl dengan menghamparkan penyerap pada lempeng gelas, sehingga merupakan lapisan tipis. Sistem ini segera popular karena memberikan banyak keuntungan, misalnya peralatan yang diperlukan sedikit, murah, sederhana, waktu analisis cepat dan daya pisah cukup baik (Sudjadi, 1988).
Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik
langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat
adalah :
o Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
o Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus
(adsorpsi/penjerapan)
o Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap
(keatsirian) (Gritter et al,1991)
Cara kerjanya adalah sebagai berikut : campuran yang akan dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, lebih menguntungkan jika dipakai pelarut pengembangan atau pelarut yang kepolarannya sama dengan pengembang dan ditotolkan berupa becak (garis tengah 15 mm) pada lapisan dekat salah satu ujung (kira-kira 2 cm dari ujung). Penotolan biasanya dilakukan memakai kapiler kaca, tetapi dapat pula dilakukan dengan semprit atau alat otomatis.
Pelarut dibiarkan menguap atau dihilangkan dengan bantuan aliran udara kering atau nitrogen. Lapisan kemudian dimasukkan ke dalam bejana pengembang yang berisi pelarut yang dalamnya sekitar 1 cm yang akan bertindak sebagai fase gerak. Ini dilakukan demikian rupa sehingga pelarut berkontak dengan lapisan pada ujung yang dekat dengan bercak totolan, tetapi tentu saja di bawah totolan itu. Lalu bejana ditutup ketat dan pelarut dibiarkan sampai 10 – 15 cm di atas totolan cuplikan.
Jika fase gerak dan fase diam telah dipilih dengan tepat, bercak cuplikan awal akan dipisahkan menjadi sederet bercak, masing-masing bercak diharapkan merupakan komponen tunggal dari campuran.
Titik tempat campuran ditotolkan pada ujung pelat atau lembaran disebut titik awal dan cara menempatkan cuplikan itu di sana disebut penotolan. Garis depan pelarut ialah bagian atas fase gerak atau pelarut ketika ia bergerak melalui lapisan, dan setelah pengembangan selesai, merupakan tinggi maksimum yang dicapai oleh pelarut. Perilaku senyawa tertentu di dalam sistem kromatografi tertentu dinyatakan dengan harga Rf. Angka ini diperoleh dengan membagi jarak yang ditempuh oleh bercak zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pelarut. Keduanya diukur dari titik awal, dan harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1.
Rf = A / B Garis depan
B
A
Titik awal
Sekarang kromatografi mencakup beberapa macam proses didasarkan pada distribusi diferensial dari komponen-komponen sampel antara dua fasa. Salah satu fasa yang tinggal dalam sistem dinamai fasa diam (stationary phase), fasa lain yang melalui fasa diam dinamai fasa gerak (mobile phase). Pergerakan dari fasa gerak menimbulkan migrasi diferensial komponen-komponen dalam sampel (Tjokronegoro, 2000).
Fasa diam
Kondisi optimum suatu pemisahan merupakan hasil kecocokan antara fasa diam dan fasa gerak. Dalam KLT fasa diam harus mudah didapat. Fasa diam berupa lapisan tipis (tebal 0,1-2 mm) yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, tetapi dapat pula terbuat dari pelat polimer atau logam. Lapisan melekat kepada permukaan dengan bantuan bahan pengikat biasanya kalsium sulfat atau amilum (Gritter,1991).
Jenis-jenis fasa diam yang dapat digunakan :
Silika gel :
Silika gel dengan pengikat
Silika gel dengan pengikat dan indikator fluorosensi
Silika gel tanpa pengikat dengan indikator fluorosensi
Silika gel tanpa pengikat
Silika gel untuk preparative
Alumina
Keiselguhr
Selulosa
(Sudjadi,1988)
Fasa Gerak
Untuk fasa diam yang menggunakan silika gel, alumina, dan fasa diam lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi kolom serapan. Sistem tak berair paling banyak digunakan, yang meliputi (sifat hidrofob menaik) methanol, asam asetat, etanol, aseton, etil asetat, eter, kloroform (perlu diperhatikan pada kloroform yang distabilkan dengan etanol), benzene, sikloheksan dan eter petroleum. Campuran pelarut yang terdiri dari dua atau tiga pelarut dapat pula digunakan. Penyusunan sistem pelarut dapat dipilih sesuai dengan kemampuannya membentuk ikatan hydrogen dalam satu seri dari hidrofil sampai ke hidrofob. Kombinasi pelarut yang mempunyai sifat berbeda memungkinkan didapatnya sistem pelarut yang cocok (Sudjadi,1988).
Faktor Retensi (Rf)
Derajat retensi pada kromatografi lempeng biasanya dinyatakan sebagai
faktor retensi Rf :
Rf = Jarak yang ditempuh senyawa terlarut
Jarak yang ditempuh pelarut
Jarak yang telah ditempuh pelarut dapat diukur dengan mudah dan jarak tempuh
cuplikan diukur pada pusat bercak itu, atau pada titik kerapatan maksimum
(Sudjadi,1988).
VI. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
1. Organoleptik Ekstrak
Bentuk : Cairan
Warna : Merah jingga
Bau : Bau etanol-cabai
Rasa : Pedas
2. Randemen Ekstrak
Berat simplisia : 25.65 g
Berat ekstrak yang diuapkan : 0.22 g
Berat ekstrak total : 2.728 g
Randemen ekstrak (%) = berat ekstrak total x 100%
berat simplisia
= 2.728 g x 100%
25.65 g
= 10.635 % b/b
3. Bobot Jenis Ekstrak
Berat piknometer kosong : 13.69 g
Berat piknomete + air : 23.78 g
Berat air : 10.09 g
Volume piknometer : 10 mL
Kerapatan air : b = 10.09 = 1.009 g/mL
v 10
Berat piknometer + ekstrak : 21.97 g
Volume piknometer : 10 mL
Berat ekstrak : 8.28 g
Kerapatan ekstrak : b = 8.28 = 0.828 g/mL
v 10
Bobot jenis ekstrak : = = 0.8206
4. Kadar Air Ekstrak
Berat ekstrak uji : 1 g
Volume air : 0.2 mL
Kadar air : (%) = % = 20%
5. Pola Kromatogram Lapis Tipis
No.
bercakRf
Pengamatan
Sinar
tampak
UV
254 nm
UV
366 nm
H2SO4 10%
(sebelum dioven)
H2SO4 10%
(sesudah dioven)
UV
254 nm
UV
366 nm
UV
254 nm
UV
366 nm
1 -oranye
pekat
ungu
keabuan
biru
muda
ungu
keabuan
biru
muda
ungu
keabuan
biru
muda
2 0.175oranye
muda- - -
biru
muda-
biru
muda
3 0.35oranye
muda- - - - - -
4 0.7125 - - - - - -biru
muda
5 0.825 - - - - - -biru
muda
6 0.9875oranye
pekat
ungu
keabuan
biru
muda-
biru
muda-
biru
muda
Perhitungan Rf :
Rumus : Rf =
1. a = 0 cm b = 8 cm
Rf1 = = 0.0
2. a = 1.4 cm b = 8 cm
Rf2 = = 0.175
3. a = 2.8 cm b = 8 cm
Rf3 = = 0.35
4. a = 5.7 cm b = 8 cm
Rf4 = = 0.7125
5. a = 6.6 cm b = 8 cm
Rf5 = = 0.825
6. a = 7.9 cm b = 8 cm
Rf6 = = 0.9875
6. Pola Dinamolisis
............................. GAMBAR
Keterangan :
Diameter 1 : 5.025 cm ; warna : bening
Diameter 2 : 3.233 cm ; warna : kuning
Diameter 3 : 2.133 cm ; warna : oranye
DAFTAR PUSTAKA
Gritter, R. J., J. M. Bobbit and A. E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi.
Bandung : Penerbit ITB.
Sujadi. 1998. Metode Pemisahan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Tjokronegoro, Roekmiati. 2000. Teknik Pemisahan Kimia. Bandung: Jurusan
Kimia FMIPA UNPAD.
Pada praktikum kali ini kita akan melakukan isolasi metabolit sekundear
dari simplisia Sonchi Folium dengan cara metode ekstraksi panas yaitu
refluks.Setelah penimbangan simplisia, selanjutnya adalah melarutkannya dengan
etanol.Hal ini dikarenakan etanol merupakan salah satu pelarut yang baik.
Di dalam labu yang telah disediakan, campuran tersebut mulai direfluks
selama kurang lebih 1,5 jam.Refluks itu sendiri merupakan aliran berbalik
kembali; misalnya, pada zat cair dalam labu dengan menggunakan tabung
pendingin yang mengembunkan uap dan meneteskan embun kembali ke dalam
labu.Dalam praktek biasanya, dimasukkan beberapa boiling chip yang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya letupan serta agar panasnya
merata.Pemanasan secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup lama
tersebut diharapkan agar zat-zat / senyawa yang terkandung dalam simplisia
tersebut dapat lebih dapat ditarik lagi. Selama refluks setiap 15 menit sekali aliran
air harus dikontrol, karena apabila aliran air dari kran berhenti mengalir maka
hasil pemanasan larutan didalam labu tidak dapat kembali ke labu dikarenakan
kondensor refluks panas dan uap yang keluar tidak dapat terkondensasi
kembali.Salah satu kelemahan dari metode ini antara lain;pemanasan secara
langsung tidak bisa untuk bahan tidak tahan panas.Salah satu kelebihan dari
metode refluks ini antara lain;efesiensi pelarut karena tidak perlu menggunakan
beberapa pelarut.
Setelah direfluks, ekstrak cair tersebut didinginkan.Dipisahkan menjadi 2
bagian,bagian pertama disimpan dan bagian yang lain dipekatkan dengan cara
evaporasi.Evaporator adalah alat pemekat atau pengental ekstrak cair yang mirip
dengan gasing serta dilengkapi heating mantel yang dapat diatur derajat suhunya
dan juga dilengkapi pipa-pipa untuk mengalirkan methanol/etanol sebagai
pendingin.Proses ini memakan waktu kurang lebih 1 jam tergantung dari volume
ekstrak cairnya.Pada proses evaporasi diharapkan agar panasnya konstan sehingga
reksi pengentalan berjalan sempurna.
Hasil dari evaporasi tersebut harus diuapkan di atas water bath sehingga
didapat hasil ekstrak yang lebih pekat.Dari sini kita bisa mendapatkan berapa gr
ekstrak kental sehingga didapatkan pula rendemennya.Hal ini untuk membuktikan
seberapa murni ekstrak yang kita dapat.Semakin besar rendemen yang didapat
maka semakin baik hasil ekstrak yang kita dapat.Terkadang kita mendapat
beberapa rendemen yang cukup besar tapi belum tentu senyawa itu murni
mungkin msh terdapat pengotor.maka dari itu kita perlu melakukan uji identifikasi
yang lebih spesifik.
Piknometer
Setelah kita mendapatkan hasil dari percobaan kali ini, maka langkah
selanjutnya adalah proses identifikasi.Proses identifikasi ini dimulai dengan kita
mencari bobot jenis ekstrak.Dalam hal ini kita menggunakan piknometer.Pertama
kita harrus mengetahui kerapatan air dengan cara menambahkan air ke dalam
pikno kosong.Perlu diperhatikan sebelum penambahan air pikno harus dalam
keadaan benar-benar bersih, sehingga penghitungannya benar.Tidak lupa juga kita
menambahkan ekstrak cair ke dalam pikno kosong untuk mengetahui kerapatan
ekstrak.Diusahakan agar cairan ekstrak memenuhhi tutup pikno sehingga didapat
hasil yang maksimal.Bobot jenis ekstrak dapat diketahui dari perbandingan dari
keraapatan ekstrak dan air.Lalu bobot jenis yang diketahui disamakan dengan
literature sehingga data semakin akurat.
Dinamolisis
Cara ini digunakan untuk mengetahui pola lingkaran yang didapat dari
ekstrak ini.kertas Whatman yang telah dibolongi tengahnya dan diberi sumbu
yang terbuat saring.Kertas saring bersumbu ini kemudian ditutpkan pada cawan
petri yang berisi ekstrak cair. Biarkan terjadi proses difusi sirkular selama 10
menit.Hasil yang didapat berupa pola 2 lingkaran berwarna.Lingkaran dalam
berwarna hijau.dan lingkaran luar berwarna kuning.Dihitung masing-masing
diameternya.Proses dinamolisis ini merupakan proses pemisahan senyawa secara
manual yang menghasilkan pola lingkaran berwarna yang menandakan masing-
masing kandungan senyawa dalam simplisia tersebut.
Kromatografi Lapis Tipis
Ekstrak kental ini apabila dibiarkan atau didinginkan kemungkinan akan
timbul kristal. Terhadap kristal ini dilakukan pengujiaan kemurnian dengan cara
metode kromatografi lapis tipis.Pada KLT dapat digunakan pemisahan dalam
jumlah kecil ( mikro gram).Cairan ekstrak cair tersebut ditutulkan beberapa kali
pada silica gel yang sudah diberi batas atas dan bawah, hal ini dmaksudkan agar
laju pemisahan terlihat jelas.Seperti yang sudah ditentukan kita akan
menggunakan pelat silica gel.Menurut teori, proses pembuatannya sebagai
berikut; sebelumnya plat dibersihkan terlebih dahulu dengan aseton untuk
menghilangkan lemak. Kemudian harus dilakukan penyaputan pelat kaca dengan
penjerapan, tetapi hal ini dapat diatasi dengan menggunakan penyaput tertentu
( misalnya 90 detik ) sebelum penyaputan. Tergantung pada ukuran partikel
penjerapan, mungkin harus ditambahkan kalsium sulfat hemihidrat ( 15% ) untuk
membantu pelekatan penjerap pada kaca. Setelah penyaputan pelat harus
dikeringkan tdd pada suhu 100-110 celcius selama 30 menit. Sifat penjerap dapat
diubah dengan penambahan garam anorganik, misalnya perak nitrat ( Ag
NO3 ).Dikarenakan pembuatan pelat silica gel memakan waktu yang cukup lama,
maka para praktikan telah disiapkan pelat silica gel tersebut. Silica gel ini
dimasukkan ke dalam chamber yang sudah diberi pengembang kloroform dan etil
eto Acetat dengan perbandingan 6:4.Salah satu keuntungan dari KLT dapat kita
bisa lihat pada saat penambahan pelarut, karena KLT dapat menggunakan
berbagai macam pelarut sehingga ruang geraknya lebih leluasa daripada KKt.
Sebelum silica gel dimasukkan keadaan chamber harus dalam keadaan panas, agar
udara atau atmosfer dalam chamber menjadi jenuh sehingga didapat hasil
pemisahaan yang baik.Silica gel dimasukkan ke dalam chamber harus dalam
keadaan miring agar lajunya bagus.Tidak lupa chamber ditutup kembali dengan
kaca untuk tetaaap menjaga suhu nya.Ditunggu sampai batas waktu 10
menit.Hasil yang sudah dikeringkan, dimasukkan ke dalam UV Betrachter.Hal ini
berfungsi untuk pendeteksian senyawa dengan beberapa cara. Pertama, dilihat
tanpa menggunakan sinar UV,warna yang dicatat adalah warna tearkhir yang
tampak pada titik penutulan.kedua, dilihat di bawah UV 254nm. Ketiga, dilihat
dibawah sinar UV 366nm.Bilangaaan Rf lebih kurang terulangkan, oleh karena itu
diperlukaan senyawaa pembanding satu atau lebih untuk penandaan. Untuk
mengukur Rf pada KLT dengan seksama kita dapat membakukan kondisi, namun
hal ini merupakan suatu prosess yang memakan waktu. Biasanya KLT dilaakukan
dengan pengembangan, pengembangan naik dalam suatu bejana yang dindingnya
dilaapisi dengan kertas saring, sehingga atmosfer dalam bejana jenuh dengan fase
pelarut. Deteksi KLT biasanya dilakukan dengan pereaksi semprot. Pada kali ini
digunakan H2SO4 untuk mendeteksi steroid dan lipid yang berguna. Hal ini
merupakan suatu kelebihan dari KLT dibandingkan KKt.Setelah penyemprotan
H2SO4 dilihat warna yang keluar pada UV 254 dan UV 366nm.
VI. DATA PENGAMATAN
Nama Simplisia : Capsici fructus
Metode Ekstraksi : Maserasi (Maserasi Dingin)
7. Organoleptik Ekstrak
Bentuk : cairan
Warna : merah
Bau : pedas dan menyengat
Rasa : pedas
8. Rendemen Ekstrak
Berat simplisia : 63,49 g
Berat ekstrak yang diuapkan : 0,59 g
Berat ekstrak total : 5,84 g
Rendemen ekstrak : 9,198 % b/b
9. Bobot Jenis Ekstrak
Berat piknometer kosong : 10,13 g
Berat piknometer + air : 20,05 g
Berat air : 9,92 g
Volume piknometer : 10 mL
Kerapatan air : 0,992 g/mL
Berat piknometer + ekstrak : 18,28 g
Volume pknometer : 10 mL
Berat ekstrak : 8,15 g
Kerapatan ekstrak : 0,815 g/mL
Bobot jenis ekstrak : 0,8216 g/mL
10. Kadar air Ekstrak
Berat ekstrak uji : 1,01g/mL
Volume air : 0,1 mL
Kadar air : 9,9 % v/b
11. Pola Kromatogram Lapis Lipis
No.
Bercak
Rf Pengamatan
Sinar Tampak UV 254 nm UV 366 nm
1 0 orange pekat ungu keabuan biru muda
2 0,175 orange muda - -
3 0,35 orange muda - -
4 0,7125 - - -
5 0,825 - - -
6 0,9875 orange pekat ungu keabuan biru muda
Rf Pengamatan dalam H2SO4 10 %
No.
Bercak
Sebelum dioven Setelah dioven
UV 254 nm UV 366 nm UV 254 nm UV 366 nm
1 0 ungu keabuan biru muda ungu keabuan biru muda
2 0,175 - biru muda - biru muda
3 0,35 - - - -
4 0,7125 - - - biru muda
5 0,825 - - - biru muda
6 0,9875 - biru muda - biru muda
12. Pola Dinamolisis
Keterangan :
VII. PERHITUNGAN
5. Rendemen
Berat simplisia : 63.49 g
no Diameter (cm) warna
1 0,967 Jingga +++++
2 1,50 Jingga +++
3 2,0 Jingga ++++
4 2,63 Jingga ++
5 4,7 Jingga +
Berat ekstrak yang diuapkan : 0.59 g
Berat ekstrak total = 146 x 0.59 = 5.84 g 25
Rendemen ekstrak = Berat ekstrak total x 100% Berat simplisia
= 5.84 x 100% = 9.198 % 63.49
6. Bobot Jenis Ekstrak
Berat piknometer kosong : 10.13 g
Berat piknometer + air : 20.05 g
Volume piknometer : 10 mL
Volume piknometer + ekstrak : 18.28
Berat air = 20.05 – 10.13 = 9.92 g
Kerapatan air = Berat air volume piknometer
= 9.92 = 0.992 g/mL 10
Kerapatan ekstrak = Berat air volume piknometer
= 8.15 = 0.815 g/mL 10
Bobot jenis ekstrak = kerapatan ekstrak Kerapatan air
= 0.815 g/mL = 0.8126 0.992 g/mL
7. Kadar Air Ekstrak
Massa ekstrak kental : 1.01 g/mL
Volume : 0.1 mL
Kadar air ekstrak = Volume x 100% Massa ekstrak kental
= 0.1 x 100% = 9.9 % 1.01 g/mL
8. Rf
Rf = a/b
Bercak no.2 Rf = 1,4 cm = 0,175 8 cm
Bercak no.3 Rf = 2,8 cm = 0,35 8 cm
Bercak no.4 Rf = 5,7 cm = 0,7125 8 cm
Bercak no.5 Rf = 6,6 cm = 0,825 8 cm
Bercak no.6 Rf = 7,9 cm = 0,9875 8 cm
VIII. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini dilakukan ekstraksi simplisia Capsici fructus
untuk memperoleh metabolit sekunder. Metode ekstraksi yang dipakai
adalah metode ekstraksi cara dingin. Metode ekstraksi cara dingin biasanya
dilakukan pada simplisia yang termolabil. Ekstraksi cara dingin memerlukan
waktu yang lebih lama daripada ekstaksi cara panas. Metode ekstraksi yang
digunakan adalah maserasi.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam simplisia yang telah
dihaluskan dalam cairan penyari, yaitu etanol 95%. Etanol digunakan karena
bersifat polar dan tidak bersifat toksik, lebih selektif dan memiliki daya
absorpsi yang baik.selain itu etanol juga bersifat netral, sulit ditumbuhin
oleh tapang dan kumang, dapat bercampur baik dengan air pada segala
perbandingan dan memerlukan panas yang sedikit untuk pemekatan.
Simplisia yang digunakan harus dihaluskan agar luas permukaan
menjadi bertambah sehingga kontak antara cairan penyaring dan simplisia
akan semakin banyak dan cepat. Pada proses awal maserasi dilakukan
pembasahan terhadap sample dengan tujuan untuk memberikan kesempatan
kepada cairan penyaring untuk memasuki seluruh pori – pori simplisia
sehingga mempermudah proses pencarian. Pada proses pengeringan
simplisia, cairan dalam dinding sel akan menguap sehingga terbentuk pori –
pori berisi udara yang menyebabkan berat simplisia menjadi lebih kecil. Jika
seluruh cairan penyaring langsung ditambahkan maka akan terjadi
pengapungan dari simplisia karena berat sel pada simplisia lebih ringan.
Volume yang diperlukan dalam proses pembasahan kurang lebih 10 mL
dalam waktu 10 menit. Setalah dilakukan pembasahan cairan penyaring
dapat ditambahkan sebanyak 250 mL sehingga jumlah cairan penyari total
adalah 260 mL. Kemudian bejana ditutup rapat dengan plastik wrap dan
kertas alumunium foil untuk mencegah kontaminan masuk. Bejana bewarna
coklat agar proses terlindung dari cahaya, karena cahaya dapat
mempengaruhi reaksi yang terjadi. Kemudiaan bejana dibiarkan selama
minimal 24 jam. Selama proses maserasi, zat aktif dalam simplisia akan
larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel
dan diluar sel maka larutan larutan yang terpekat akan didesak keluar.
Setelah 24 jam proses maserasi akan diperoleh ekstrak kasar (crude
extrac) yang akan ditampung dan dihitung volumenya. Volume yang
diperoleh adalah 246 mL yang memiliki selisih dengan banyaknya cairan
penyari yang ditambahkan pada awal maserasi, hal ini dapat terjadi karena
kesalahan teknis saat penambahan cairan penyari yang tidak menggunakan
gelas ukur atau alat volumetri lainnya tetapi hanya digunakan beaker glass
yang keakuratannya kecil dan adanya cairan penyari yang menguap.
Setelah diperoleh ekstrak kasar, selanjutnya ditentukan harga
rendemen, bobot jenis, pola dinamolisis dan analisisnya dengan ekstrak hasil
ekstraksi cara panas melalui metode Kromatografi Lapis Tipis. Awalnya,
ekstraksi kasar dibagi menjadi dua bagian yaitu 100 mL untuk penentuan
bobot jenis, pola dinamolisis dan analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis
dan sisanya untuk dipekatkan.
Ekstrak kasar dipekatkan dengan menggunakan alat rotavapor
selama kurang lebih 30 menit lalu dilanjutkan dengan evaporasi ekstrak
diatas penangas air sampai diperoleh ekstrak kering, pada prinsipnya kedua
cara ini bertujuan sama, yaitu mengeringkan ekstrak. Kelebihan rotavorapor
ini adalah melalui alat ini kita dapat memperoleh cairan penyari kembali
secara utuh, sehingga menghemat biaya yang dihabiskan. Setelah diperoleh
ekstrak kering maka kita dapat menghitung rendemennya dengan rumus
yang sudah ada yaitu sebesar 9,198 % b/b. Ekstrak kering ini kemudiaan
disimpan untuk praktikum selanjutnya.
100 mL ektrak kasar tadi digunakan untuk beberapa pengujian.
Untuk memperoleh bobot jenis ekstrak digunakan piknometer sebagai alat
bantu, karena piknometer merupakan alat volumetri yang akurat yang
dapatmenunjukan volume dan berat dari sampel. Setelah dilakukan
penimbangan dan analisis volume diperoleh kerapatan ekstrak sebesar 0,815
gram/mL. Lalu besarnya bobot jenis ekstrak dapat dihitung dengan
membandingkan keraptan ekstrak dan kerapatan air (9,92 gram/ml )
sehingga diperoleh bobot jenis ekstrak sebesar 0,8216. Penentuan kerapatan
air dilakukan sama dengan perlakuan pada ekstrak.
Pengamatan pola dinamolisis dilakukan dengan menggunakan kertas
saring Whatman yang dilubangi kecil ditengahnya. Digunakan kertas ini
karena serat selulosanya memungkinkan adanya difusi sekular senyawa,
selain itu kertas yang digunakan harus dalam keadaan utuh ( tidak dilipat )
untuk menghindari perubahan pola dinamolisis karena kedudukan kertas
telah berubah. Lalu dipasang sumbu yang terbuat dari kertas yang sama
bersumbu ditutupkan pada cawan petri berisi ekstrak cair. Sumbu ini tidak
boleh terlalu tebal untuk mempermudah proses difusi pada kertas
selanjutnya ekstrak didiamkan selama kurang lebih 10 menit hingga ekstrak
naik ke sumbu ( daya difusi ) dan membentuk pola warna. Warna yang
terbentuk ada 5 macam dengan diameter yang juga berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan kecepatan difusi dari senyawa – senyawa yang
terkandung dalam ekstrak.
Analisis dengan menggunakan KLT dilakukan pada dua ekstrak yang
diperoleh dari cara ekstraksi yang berbeda, yaitu dengan cara panas dan cara
dingin. Larutan pengembang sebagai fasa gerak digunakan toluen:etil asetat
dengan perbandigan 70:30. Fase gerak dibiarkan selama 20 menit agar
terjadi penjenuhan. Sampel ditutulkan pada selica gel (fasa diam) yang telah
diberi tanda sebanyak 6 kali penotolan. Penotolan dilakukan dalam interval
waktu tertentu untuk menghindari kemungkinan totolan terlalu lebar, juga
penotolan dilakukan saat totolan sebelumnya masih basah. Selanjutnya plat
silica gel dimasukkan dalam bejana berisi pengembang dan diamati
pergerakan totolan sampai pengembang mencapai batas atas plat, lalu
dikeringkan dan diamati pada sinar tampak, sinar UV 254 nm dan 366 nm.
Penampakan warna ditulis dan nilai Rf dihitung. Pada sinar tampak
seharusnya terdapat enam bercak tanpa penambahan zat apapun, akan tetapi
hal ini tidak terjadi, plat hanya menunjukkan empat bercak. Hal ini
dimungkinkan karena pada saat penotolan, ekstrak yang ditotolkan kurang
banyak. Begitu pun pada pengamatan di bawah sinar UV 254 nm dan 366
nm untuk kedua ekstrak hasil ekstraksi yeng berbeda diperoleh hasil yang
sama. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan semua cara ekstraksi tidak
mempengaruhi kandungan zat aktif yang ada pada simplisia.
Penetapan kadar air ekstrak dilakukan dengan metode distilasi
menggunakan toluen. Sejumlah berat ekstrak (1 mg) dimasukkan dalam lanu
destilasi dan ditambahkan toluen, lalu dipasangkan pada alat destilasi.
Larutan toluen akan menguap dan terkondensasi menjadi cairan kembali
terpisah dari ekstrak. Begitupun dengan air akan menguap dan terkondensasi
menjadi cairan terpisah dari ekstrak. Molekul air akan bergerak menuruni
lapisa toluen karena berat jenisa air lebih besar dari berat jenisa toluen.
Pisahkan fraksi air dan fraksi toluen. Fraksi toluen dapat digunakan kembali
untuk distilasi berikunya. Kadar air dapat dihitung dengan membagi volume
fraksi air dengan berat ekstrak yang ditentukan kadar airnya. Dari percobaan
diperpleh kadar air sebesar 9.9 %.
IX. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :
Rendemen ekstrak : 9,198 % b/b
Bobot jenis ekstrak : 0,8216 g/mL
Kadar air ekstrak : 9,9 % v/b
Rf : Bercak no.2, Rf = 0,175
Bercak no.3, Rf = 0,35
Bercak no.4, Rf = 0,7125
Bercak no.5, Rf = 0,825
Bercak no.6, Rf = 0,9875
Pada dinamolisis diperoleh 5 lingkaran dengan warna dan diameter yang
berbeda, semakin kecil diameternya semakin pekat warnanya. Perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan kecepatan difusi dari senyawa – senyawa yang
terkandung dalam ekstrak.
Daftar Pustaka
Harborne, J.B. 1984. Metode Fitokimia. Diterjemahkan oleh : K Padmawinata.
Penerbit ITB. Bandung.
Macek, K. Pharmaceutical applications of Thin-Layer Chromatography. Elsevier
Publishing Company. Amsterdam.
Roth, H.J. & Blaschke, G. 1994. Analisis Farmasi. Diterjemahkan oleh : Sarjono
Kisman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Kanisius. Yogyakarta.
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS PREPARATIF
Salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan paling murah
dan memakai peralatan paling dasar ialah kromatografi lapis tipis preparative
(KLTP). Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan dalam jumlah gram, sebagian
besar pemakaian hanya dalam jumlah milligram. KLTP bersama – sama dengan
kromatografi kolom terbuka, masih dijumpai dalam sebagian besar publikasi
mengenai isolasi bahan alam, terutama dari laboratorium yang tidak dilengkapi
dengan cara pemisahan modern. Akan tetapi, seperti yang diterangkan kemudian,
terdapat banyak masalah pada KLTP.
Penjerap (Adsorben)
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memeriksa pengaruh ketebalan
penjerap terhadap kualitas pemisahan (Stahl 1967) tetapi ketebalan yang paling
sering dipakai adalah 0,5 – 2 mm. ukuran pelat kromatografi biasanya 20 x 20 cm
atau 20 x 40 cm. pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran pelat sudah tentu
mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLTP. Penjerap yang
paling umum ialah silica gel dan dipakai untuk pemisahan campuran senyawa
liofil maupun campuran senyawa hidrofil. Untuk pembuatan lapisan tanpa retak
dianjurkan memakai penjerap niaga yang tersedia. Ukuran partikel dan porinya
kurang lebih sama dengan ukuran tingkat mutu KLT.
Pelat KLTP dapat dibuat sendiri atau dibeli dengan sudah terlapisi penjerap
(biasanya disebut pelat siap pakai atau pelat pralapis). Keuntungan membuat pelat
sendiri ialah bahwa ketebalan dan susunan lapisan dapat kita atur sendiri. Jadi,
perak nitrat, senyawa dapar, dsb. Dapat dicampur dengan penjerap. Pembuatan
lapisan penjerap yang diperlukan dapat dikerjakan dengan memakai salah satu
dari alat penyaput niaga yang banyak jenisnya misalnya dari Camag, Desaga, dsb.
Petunjuk untuk pembuatan pelat biasanya terdapat pada kemasan penjerap yang
bersangkutan.
Penotolan cuplikan
Cuplikan dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada pelat KLTP.
Pelarut yang baik ialah pelarut atsiri (heksana, diklorometana, etil asetat), karena
jika pelarut kurang atsiri terjadi pelebaran pita. Konsentrasi cuplikan harus sekitar
5 – 10 %. Cuplikan ditotolkan berupa pita yang harus sesempit mungkin karena
pemisahan bergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan tangan
(pipet) tetapi lebih baik dengan penotol otomatis (camag, desaga, dsb). Untuk pita
yang terlalu lebar, dapat dilakukan pemekatan dengan cara pengembangan
memakai pelarut polar sampai kira-kira 2 cm diatas tempat penotolan. Kemudian
pelat dikeringkan dan dielusi dengan pelarut yang diinginkan (Stahl 1967). Pelat
pralapis khusus dengan daerah pemekatan dapat dibeli.
Memilih fase gerak dan mengembangkan pelat KLTP.
Pada KLTP terdapat banyak peubah tetapi sebagai petunjuk umum, cuplikan 10-
100mg dapat dipisahkan pada lapisan silika gel atau alumunium oksida 20x20cm
yang tebalnya 1mm (Szekely 1983). Jika tebalnya diduakalikan maka banyaknya
cuplikan yang dapat dipisah bertambah 50%.
Pilihan pelarut ditentukan berdasarkan pemeriksaan pendahuluan memakai KLT
analitik. Karena ukuran partikel penjerap kira-kira sama, pelarut yang dipakai
pada KLT analitik dapat dipakai langsug pada KLTP. Buku acuan baku mengenai
kromatografi lapis tipis yang disusun oleh Stahl (1967) memuat sejumlah besar
sitem pelarut terpilih untuk berbagai golongan senyawa.
Baru-baru ini satu metode (model PRISMA yang didasarkn pada segitiga
keselektifan pelarut Snyder telah diuraikan untuk membantu pengoptimumam fase
gerak (Nyiredy dkk. 1985,e,f).
Fase gerak biner berikut (dalam berbagai perbandingan) sangat sering dipakai
pada pemisahan secara KLTP: N-heksana-etilasetat, N-heksana-aseton,
kloroform-metanol. Penambahan sedikit asam asetat atau dietil amina berguna
untuk memisahkan, berturut-turut senyawa asam dan senyawa basa.
Pngembangan pelat KLTP biasanya dilakukan dalam bejana kaca yang dapat
menampung beberapa pelat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut
pengembang dengan bantuan sehelai kertas saring yang tercelup dalam
pengmbang.
Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara pengembangan berulang.
Jika pemisahan secara KLTP telah dicapai, pelat dikeringkan dan kemudian
dimasukan lagi ke dalam bejana. Bergantung pada Rf pita, proses dapat diulang
beberapa kali, walaupun ada kerugian waktu.
Isolasi senyawa yang sudah terpisah
Kebanyakan penjerap KLTP mengandung indikator fluoresensi yang membantu
mendeteksi kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang dipisahkan
menyerap sinar UV. Akan tetapi, beberapa indicator menimbulkan masalah yaitu
bereaksi dengan asam kadang-kadang bahkan dengan asam asetat.
Untuk senyawa yang tidak menyerap sinar UV, ada beberapa pilihan:
a). menyemprot dengan air misalnya saponin
b). menutup pelat dengan sepotong kaca menyemprot salah satu sisi dengan
pereaksi semprot
c). menambahkan senyawa pembanding.
Pita yang kedudukanya telah diketahui dikerok dari pelat dengan spatula atau
pengerok berbentuk tabung yang disambungkan ke pengumpul vakum. Cara
terakhir tidak dapat dilakukan untuk senyawa peka karena penjerap yang
mengandung senyawa yang sudah murni terus-menerus terkena aliran udara dan
resiko kena otooksidasi selalu ada. Cara mengumpulkan manapun yang dipakai,
senyawa harus diekstraksi dari penjerap dengan pelarut yang paling kurang polar
yang mungkin (sekitar 5 ml pelarut untuk 1 gram penjerap). Harus diperhatikan
bahwa makin lama senyawa berkontak dengan penjerap makin besar kemungknan
penguraian. Ekstrak disaring melalui ‘frit’ kaca berkeporian 4 dan kemudian
melalui membrane 0,2-0,45µm.
Pencemar dalam senyawa yang dimurnikan dengan KLTP.
Penjerap KLTP mengandung pengikat dan indicator fluoresensi yang susunan
kimianya biasanya tidak diketaui. Ketika senyawa yang dipisahkan dengan KLTP
diekstraksi, pengikat, indicator, dan pencemar lain kemungkinan besar terekstraksi
pula. Pada kenyataannya, makin polar pelarut pengekstraksi makin banyak bahan
yang tak diinginkan yang terekstraksi. Masalah selanjutnya ialah bahwa senyawa
luar tersebut sering tidak menyerap sinar UV dan tidak terdeteksi ketika
melakukan analisis KLT akhir senyawa hasil pemurnian. Szekely (1983) telah
menganalisis pencemar yang diekstraksi dari pelat silika gel blanko secara
gravimetri, spektrometri inframerah dan RMI-1H dan hasilnya menunjukan
adanya ftalat dan polyester. Oleh karena itu sangat dianjurkan melakukan
pemurnian tahap akhir dengan filtrasi gel memakai sephadex LH-20.
VII. PEMBAHASAN
Dalam praktikum ini diakukan pemisahan metabolit sekunder dari hasil
fraksinasi ekstrak simplisia Sonchi Folium dengan metode Kromatografi Lapis
Tipis Preparatif dengan fase diam yang digunakan adalah plat silica gel dan fase
gerak yang digunakan adalah pengembang yang terdiri dari larutan n-heksan dan
etil asetat dengan perbandingan 7 : 3.
Setelah ekstrak diperoleh dari hasil fraksinasi sebelumnya dan dipilih
fraksi yang hanya mengandung 2 komponen maka fraksi tersebut dipekatkan
terlebih dahulu diatas waterbath. Sambil menunggu ekstrak menjadi kental, plat
silica gel juga disiapkan dengan cara memanaskan bubur silica yang telah
ditempatkan diatas pelat kaca pada oven dengan suhu 110-120C selama 30
menit, fungsi dari pemanasan ini dimaksudkan agar molekul-molekul silica yang
sebelumnya menjadi bubur menjadi aktif dan dapat melakukan pemisahan, setelah
plat silica kering dan diperoleh ekstrak kental, maka selanjutnya dilakukan
penotolan pada plat silica gel. Penotolan dilakukan dengan pipa kapiler tanpa
jarak pemisah antara satu dengan yang lainnya agar diperoleh pita sebagai garis
awal pengembangan, selanjutnya plat ini dimasukkan ke dalam chamber yang
telah berisi larutan pengembang yang sudah dijenuhkan. Penjenuhan pengembang
biasa dilakukan agar pengembang tidak bereaksi dengan senyawa lain dan untuk
mempercepat pergerakan pengambang.
Setelah dimasukkan ke dalam chamber dan diamati pergerakannya hingga
mencapai tanda batas atas, dapat dilihat bahwa pita hasil pemisahan yang
terbentuk pada plat silica gel terdiri dari dua garis yang terpisah dengan jarak yang
cukup jauh, hal ini sesuai dengan hasil saat fraksinasi awal pada fraksi yang
digunakan untuk pemisahan ini. Pita yang terbentuk tidak berupa garis lurus yang
utuh yang lurus dan sejajar, padahal seharusnya pita yang terbentuk berbentuk
garis lurus. Hal ini dapat terjadi karena penotolan ekstrak dilakukan kurang rapat
dan tidak lurus, dan juga dimungkinkan karena pengembang yang digunakan
kurang jenuh. Kedua pita yang terbentuk kemudian dikerok dan dilarutkan dalam
etil asetat dalam dua wadah yang berbeda.
Setelah diperoleh dua hasil kerokan dari KLT preparative, selanjutnya
kedua ekstrak itu lalu diuji kemurniannya dengan menggunakan KLT lagi, hanya
jenis KLT yang digunakan bukan KLT preparati tapi KLT biasa, pengembang
yang digunakan juga merupakan pengembang yang sama dengan pada KLT
preparative sebelumnya. Kedua ekstrak tadi lalu ditotolkan pada plat silica gel,
sebanyak lima kali penotolan, dengan jarak tertentu, untuk menghindari
tercampurnya kedua ekstrak juga dilakukan penotolan dengan interval waktu
tertentu saat ekstrak hasil penotolan awal sudah kering sempurna. Setelah
dilakukan penotolan selanjutnya plat silica gel ini dimasukkan ke dalam chamber
yang telah berisi pengembang yang telah dijenuhkan dan diamati pergerakannya
sampai mencapai tanda batas. Plat silica ini lalu dikeringkan dan diamati bercak
warnanya. Pada sinar tampak tidak terlihat bercak warna yang tampak, akan tetapi
pada panjang gelombang 366 nm terlihat masing-masing bercak pada kedua
ekstrak. Selanjutnya untuk lebih memastikan kemurnian ekstrak maka selanjutnya
dilakukan KLT dua dimensi.
KLT dua dimensi ini dilakukan pada salah satu ekstrak yang menunjukkan
hanya satu komponen pada KLT sebelumnya. Proses awal yang dilakukan juga
sama, yaitu penotolan sample, hanya saja terjadi perbedaan letak penotolan yaitu
pada sudut plat silica gel. Pada tahap pertama pengembang yang digunakan masih
sama dengan pengembang pada KLT sebelumnya, yaitu n-heksan dan etil asetat
dengan perbandingan 7: 3 yang juga telah dijenuhkan, setelah diamati
pergerakannya hingga mencapat tanda batas, plat silica tersebut dikeringkan dan
diamati pada sinar tampak dan uv 254 nm dan uv 366 nm sambil mempersiapkan
pengembang kedua untuk tahap KLT dua dimensi selanjutnya.
Pada tahap kedua KLT dua dimensi, plat yang digunakan masih sama
yaitu, silak gel yang bertindak sebagai fase diam, sedangkan pengembang yang
digunakan adalah n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 1 : 1, setelah
pengembang siap dan jenuh, selanjutnya plat silica yang tadi telah diamati pada
KLT dua dimensi tahap pertama diputar 90 sehingga posisi bercak hasil KLT
pertama menjadi titik awal pemisahan pada KLT yang kedua. Setelah dimasukkan
lalu pergerakan bercak tersebut diamati hingga mencapai titik batas atas.
Penampakan warna ditulis dan harga Rf dihitung. Berdasarkan literatur,
tempuyung merupakan tanaman yang mengandung beberapa golongan senyawa
flavanoid. Hasil penampakan bercak menunjukkan adanya senyawa golongan
flavanoid dan golongan flavanol dengan adanya bercak biru muda, kuning, orange
kecoklatan dan pink (merah keunguan) pada penampakan dengan sinar ultraviolet
panjang gelombang 366 nm. Tempuyung mengandung banyak senyawa kimia
seperti golongan flavanoid (Kaemferol, Luteolin-7-O-Glikosida dan epigenin-7-
O-Glikosida), kumarin, taraksasterol serta asam fenolat bebas. Kandungan
flavanoid total dalam daun tempuyung 0,1044% dan 0,5% pada akarnya dengan
jenis terbesar adalah epigenin-7-O-Glikosida (3,4,5). Pustaka lain menyebutkan
bahwa daun tempuyung mengandung senyawa kimia antara lain Luteolin, Flavon,
Flavonol dan Auron. Secara kimia, flavanoid mengandung cincin aromatik yang
tersusun dari 15 atom karbon dengan inti dasar yang tersusun dalam konjugasi C6-
C3-C6 (dua inti aromatik terhubung dengan 3 atom karbon). Keberadaan cincin
aromatik ini menyebabkan pitanya terserap kuat pada daerah panjang gelombang
UV visibel.
Hasil yang diperoleh saat kedua taha KLT dua dimensi ini adalah sama,
yaitu merupakan satu bercak penotolan dengan warna yang sama dan hanya dapat
terlihat pada sinar uv dengan panjang gelombang 366 nm. Hal ini cukup
mendukung bahwa ekstrak yang telah dipisahkan ini telah murni.
VIII. KESIMPULAN
Dari hasil pecobaan dipeoleh kesimpulan bahwa di dalam tumbuhan
Sonchi folium terdapat kandungan senyawa metabolit sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
Gritter,R.J.J.M. Bobbit and A.G Schwarting.1991. Pengantar Kromatografi.
Bandung.Penerbit ITB
Harborne. J. B. 1996. Metode Fitokimia. ITB. Bandung
Tjitrosoepomo,Gembong.1994.Taksonomi Tumbuhan Obat.Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press