kusta (morbus hansen)
DESCRIPTION
kusta (morbus hansen)TRANSCRIPT
RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
Penyaji: Budhi Prasetia , S Ked
NIM : 2006.04.0.0013
I. IDENTITAS PENDERITA
• Nama : Tn. K
• Umur : 30 tahun
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Alamat : Jojoran IV/2 Surabaya
• Pekerjaan : TNI AL
• Agama : Islam
• Suku/bangsa : Jawa/ Indonesia
• Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2012
II. ANAMNESA
1. Keluhan Utama :
Mati rasa pada lengan atas kanan, lengan bawah kiri, daerah
telunjuk tangan kanan, daerah wajah, daerah dada, dan daerah
punggung, serta kaku pada telunjuk tangan kanannya.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (Autoanamnesa)
Pasien datang dengan keluhan kaku pada tangan kanan tepatnya
pada jari telunjuk. Kaku dirasakan sejak satu tahun yang lalu. Pada
awalnya pasien merasa cekot-cekot seperti rasa panas,kemudian diikuti
rasa nyeri. Nyeri terasa saat jari tangan digerakkan, lalu mulai kaku dan
sekarang juga disertai mati rasa. Selain di tangan kanannya, keluhan
cekot-cekot seperti rasa panas, kemudian diikuti rasa nyeri dan menjadi
1
mati rasa, juga dirasakan di daerah lengan atas kanan, lengan bawah
kiri, daerah wajah, daerah dada, dan daerah punggung. Penderita datang
untuk kontrol mengenai penyakitnnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
• Tujuh tahun yang lalu timbul bercak merah di lengan bawah tangan
kiri. Bercak merah tersebut dirasakan gatal selama semalaman.
Penderita menganggap gatal tersebut hanya gatal biasa, sehingga tidak
diperiksakan ke dokter. Lama-kelamaan gatal pada bercak merah
tersebut menjadi bertambah besar, dan terasa cekot-cekot seperti rasa
panas/ terbakar, dan lama kelamaan menjadi mati rasa, sehingga
penderita tidak merasakan apapun ketika daerah pada bercak merah
tesebut terkena rokok temannya.
• Selain bercak di lengan bawah tangan kiri, timbul bercak serupa di
daerah dada, punggung, dan di daerah lengan atas kiri serta jari telunjuk
tangan kiri.
• Satu tahun yang lalu penderita merasakan bercak merah yang banyak
dan terasa tebal sehingga bila digosok hingga keluar darah pun,
penderita tidak merasakan apapun. Sehingga penderita memeriksakan
dirinya ke Poli Kulit-Kelamin RSAL Dr. Ramelan Surabaya dan
didiagnosa Kusta.
• Selama ini, penderita rutin menjalani pengobatan untuk penyakit kusta
yang di derita. Tetapi sempat penderita tidak meminum obat selama 1
bulan. Saat ini bercak merah sedikit berkurang dan di beberapa tempat
masih mengalami mati rasa.
• Riwayat Hipertensi disangkal
• Riwayat Diabetes Melitus disangkal
• Riwayat alergi disangkal
• Riwayat kontak dengan pasien TB disangkal
2
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga / kerabat dengan keluhan yang sama disangkal
Riwayat alergi makanan, obat – obatan disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Kontak dengan pasien TB disangkal
5. Anamnesis Sosial dan Lingkungan
Penderita tinggal di rumah dengan istri dan anaknya
Lingkungan sekitar penderita tidak ada yang sakit seperti ini.
Penderita rajin mandi, dan rajin berganti pakaian.
Sebelum tinggal di rumah, penderita tinggal di asrama dengan rekan
kerjanya.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 4 – 5 – 6
Status gizi : Kesan Cukup
Tekanan darah : Tidak diukur
Nadi : 79 x / menit
RR : 20 x / menit
Kepala / leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Ekstremitas : Dalam Batas Normal
Status Dermatologi
3
Status lokalis : Regio Facialis
Regio :Facialis dextra et sinistra
Distribusi : Tersebar Asimestris
Efloresensi: Plaque eritematous, batas tegas, permukaan kasar, tidak
tertutup skuama, 7 buah dengan ukuran bervariasi antara 2-6 cm.
Hipoesthesi (+), Madarosis (-), Saddle Nose (-), Pembesaran n.
Auricularis magnus sinistra (+)
Status Lokalis : Regio Thoracalis Anterior
4
Regio : Thoracalis Anterior
Distribusi : Tersebar Asimestris
Efloresensi: plaque eritematus, batas jelas, tepi datar, permukaan kasar,
tidak tertutup skuama, 4 buah di thorax anterior dengan ukuran bervariasi
antara 2-5 cm, hipoesthesi (+), punched out lesion (+).
Status Lokalis : Regio Thoracalis Posterior
Regio : Thoracalis Posterior
5
Distribusi : Tersebar Asimestris
Efloresensi: plaque eritematous, batas jelas, tepi datar, permukaan kasar,
tidak tertutup skuama, 5 buah di thorax posterior, anestesi (+), Ukuran
bervariasi antara 3-6 cm, anestesi (+)
Status Lokalis : Regio Brachii Dextra
Regio : Brachii Dextra
Distribusi : Tersebar Asimestris
Efloresensi: Makula Eritematous tepi datar, batas jelas, permukaan
kasar (kusam), tidak terdapat skuama, satu buah ukuran 4 cm, hipoesthesi(+),
pembesaran n. ulnaris dextra (-)
Status Lokalis : Regio AnteBrachii Sinistra
6
Regio : Antebrachii Sinistra
Distribusi : Tersebar Asimestris
Efloresensi: Makula eritematous, tepi datar, batas jelas, permukaan
kasar (kusam), tidak terdapat skuama, satu buah ukuran 10 cm, anestesi (+),
pembesaran n. ulnaris sinistra (-)
Status Lokalis : Regio Manus Dextra
Regio : Manus Dextra
Distribusi : Tersebar Asimestris
Efloresensi: plaque eritematous, batas tidak jelas, tepi datar, permukaan
kasar, tidak tertutup skuama, hipoesthesi (+), claw hand (-), Atrofi otot (-).
7
IV. RESUME
Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan kaku pada tangan kanan tepatnya
pada jari telunjuk sejak satu tahun yang lalu. Awalnya pasien
merasa cekot-cekot seperti rasa panas,kemudian diikuti rasa nyeri.
Nyeri terasa saat jari tangan digerakkan, lalu mulai kaku dan
sekarang juga disertai mati rasa. Selain di tangan kanannya,
keluhan cekot-cekot seperti rasa panas, kemudian diikuti rasa nyeri
dan menjadi mati rasa, juga dirasakan di daerah lengan atas kanan,
lengan bawah kiri, daerah wajah, daerah dada, dan daerah
punggung.
Tujuh tahun yang lalu timbul bercak merah di lengan bawah tangan
kiri. Bercak merah tersebut dirasakan gatal selama semalaman.
Penderita menganggap gatal tersebut hanya gatal biasa, sehingga
tidak diperiksakan ke dokter. Lama-kelamaan gatal pada bercak
merah tersebut menjadi bertambah besar, dan terasa cekot-cekot
seperti rasa panas/ terbakar, dan lama kelamaan menjadi mati rasa,
sehingga penderita tidak merasakan apapun ketika daerah pada
bercak merah tesebut terkena rokok temannya.
Selain bercak di lengan bawah tangan kiri, timbul bercak serupa di
daerah dada, punggung, dan di daerah lengan atas kiri serta jari
telunjuk tangan kiri.
Satu tahun yang lalu penderita merasakan bercak merah yang
banyak dan terasa tebal sehingga bila digosok hingga keluar darah
pun, penderita tidak merasakan apapun. Sehingga penderita
memeriksakan dirinya dan didiagnosa Kusta.
Penderita didiagnosa kusta setahun yang lalu dan selalu rutin
minum obat, tetapi sempat satu bulan tidak meminum obat. Bercak
8
merah yang sudah mulai berkurang tetapi penderita masih
merasakan tebal di daerah bercak tersebut.
Status Generalis:
• Dalam batas normal
Status Dermatologis:
• Regio Facialis :
Plaque eritematous, batas tegas, permukaan kasar, tidak tertutup
skuama, 7 buah dengan ukuran bervariasi antara 2-6 cm. Hipoesthesi
(+), Pembesaran n. Auricularis magnus sinistra (+)
• Regio Thoracalis Anterior :
Plaque eritematus, batas jelas, tepi datar, permukaan kasar, tidak
tertutup skuama, 4 buah di thorax anterior dengan ukuran bervariasi
antara 2-5 cm, hipoesthesi (+),punched out lesion (+).
• Regio Thoracalis Posterior :
Plaque eritematous, batas jelas, tepi datar, permukaan kasar, tidak
tertutup skuama, 5 buah di thorax posterior, anestesi (+), Ukuran
bervariasi antara 3-6 cm, anestesi (+)
• Regio Brachii Dextra:
Makula Eritematous tepi datar, batas jelas, permukaan kasar (kusam),
tidak terdapat skuama, satu buah ukuran 4 cm, hipoesthesi(+)
• Regio Antebrachii Sinistra:
Makula eritematous, tepi datar, batas jelas, permukaan kasar (kusam),
tidak terdapat skuama, satu buah ukuran 10 cm, anestesi (+)
• Regio Manus Dextra :
9
plaque eritematous, batas tidak jelas, tepi datar, permukaan kasar, tidak
tertutup skuama, hipoesthesi (+), claw hand (-), Atrofi otot (-).
Pemeriksaan Penunjang
Tes Sensibilitas
Tes Facialis Thorax
Anterior
Thorax
Posterior
Brachii
Dextra
Antebrachii
Sinistra
Manus
Dextra
Raba - - - - - -
Nyeri + + - - - +
Panas + + - - - +
Dingin Tde Tde Tde Tde Tde Tde
V. DIAGNOSA KERJA
Morbus Hansen (tipe Multi Basilar- Mid Borderline)
VI. DIAGNOSA BANDING
• MH tipe Pausi Baciller
VII. PLANNING
DIAGNOSIS
Mikroskopis :
-Pewarnaan Ziehl Neelsen (BTA)
TERAPI
* Non medikamentosa :
Selalu memakai alas kaki/perlindungan
Memakai sarung tangan saat bekerja
Minum obat secara teratur.
Kontrol tiap bulan atau bila ada keluhan lain.
10
Hindari kontak dengan orang lain
Keluarga harus menjaga kekebalan tubuh mereka
* Medikamentosa :
MDT MB 12-18 bulan
• Hari pertama: Rifampisin 2x300 mg, Dapson 1x100 mg,
Klofazimin 1x 300 mg.
• Hari kedua sampai ke- 28 hari : Dapson 1 x 100 mg/hari,
Klofazimin 1x 50 mg/hari
• Vit B1 3x100 mg
• Sulfas Ferosus 2x1
MONITORING
Efek samping obat
Komplikasi yang dapat timbul
VIII. PROGNOSIS
Dubia Ad Bonam
11
TINJAUAN PUSTAKA
MORBUS HANSEN/ KUSTA/ LEPRA
I. DEFINISI
Penyakit Morbus Hansen/ Kusta/ Lepra adalah penyakit
menular yang menahun/kronis dan disebabkan oleh kuman
kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi,
kemudian dapat menyerang kulit dan jaringan tubuh lainnya
(mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem
reticuloendotelial, mata, otot, tulang, testis) kecuali susunan
saraf pusat.
II. ETIOLOGI
Mycobacterium Leprae merupakan kuman penyebab dari
kusta/ lepra. Kuman ini merupakan bakteri gram positif yang
bersifat obligat intraseluler dengan ukuran 3-8 µm x 0,2-0,5 µm,
bersifat tahan asam dan alkohol, yang ditemukan oleh G.A.
Hansen. Biasanya hidup berkelompok namun ada juga yang
tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama
jaringan bersuhu dingin dibawah suhu tubuh yang normal
sehingga tidak dapat dikultur dalam media buatan. Masa
membelah diri Mycrobacterium leprae memerlukan waktu
yang cukup lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-
21 hari. Sehingga masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan
40 tahun, dengan rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat
ditularkan dari penderita kusta Multibasiler (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung, melalui saluran
pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung dengan
12
penderita yang lama dan erat). Kuman tersebut dapat
ditemukan di folikel rambut, kelenjar keringat,septum dan air
susu ibu.
Gambar 1. Gambar Mycobacterium Leprae
III. EPIDEMILOGI
Kusta merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia.
Di Indonesia banyak terdapat di daerah Maluku, Sulawesi,
Irian, Jatim, Kalbar, Kalsel, Kaltim. Sedangkan di Jawa Timur
sendiri banyak terdapat di daerah Tapal kuda seperti
banyuwangi, Situbondo, Pasuruan, Surabaya, Gresik,
Lamongan, Tuban, Madura. Kusta biasanya banyak terdapat di
daerah dengan sosial ekonomi yang rendah. Pada awal tahun
1997 tercatat kurang lebih 890.000 penderita dan di Indonesia
sendiri tercatat 31.699 penderita. Meskipun jumlah kasus kusta
di seluruh dunia dalam 12 tahun terakhir telah menurun, tetapi
penyakit ini masih merupakan penyakit yang wajib diberantas
mengingat komplikasi yang berat pada akhirnya.
IV. PATOGENESIS
Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali
dari kuman Mycobacterium Leprae. Kuman ini biasanya
berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat
tahan asam (BTA). Kuman Morbus Hansen ini pertama kali
13
menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali
susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum
diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti
adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut
berperan. Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen
diakibatkan M. leprae yang memiliki bagian G domain of
ekstrasellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan
dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan
mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas
II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan
Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan
makrofag. Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem
imunitas seluler sehingg makrofag gagal memakan M. Leprae
akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan mengakibatkan
kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas dan hal ini akan
merangsang makrofag bekerja terus-menerus untuk
menghasilkan sitokin dan GF (Growth Factor) yang lebih
banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau
nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak
akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah
penebalan saraf tepi.
Pada kusta tipe TT kemmpuan fungsi sistem imunitas
seluler tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan
kuman. Tetapi setelah semua kuman di fagositosis, makrofag
14
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif
dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans.
Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi yang
berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan APC non professional. Akibatnya
akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik,
motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan
menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang
selanjutnya akan mati rasa (anestesi). Kerusakan fungsi
motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki
atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok.
Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan
pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita
cacat seumur hidup. Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam
hal ini dapat berupa hipopigmentasi, bercak-bercak merah,
infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi
granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat
mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Penyakit ini dapat
menimbulkan ginekomasti akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus
seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi
impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan
kadar testosterone dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh
testis. Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot
mata mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip,
15
sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-
benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan
mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga
dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
N.orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagophtalmus yang selanjutnya menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendirian atau
bersama-sama akan menyebabkan kebutaan.
V. KLASIFIKASI
Pedoman utama menentukan klasifikasi kusta menurut WHO
adalah sebagai berikut:
Tanda Utama PB MB1. Bercak kusta
( macula datar, papul meinggi, infiltrat, plak eritem, nodus)
Jumlah 1 s/d 5Hipopigmentasi/
eritemadistribusi tidak
simetris
Jumlah >5
2. Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi
Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
3. Sediaan apusan BTA negative BTA positif
16
Tanda lain yang bisa dipertimbangkan pada penentuan klasifikasi
kusta adalah sebagai berikut:
Kelainan kulit & hasil pemeriksaan
PB MB
1.Makula mati rasa
a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
b.Distribusi Unilateral atau bilateral asimetris
Bilateral simetris
c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
d.Batas Tegas Kurang tegas
e. Kehilangan rasa pada bercak
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas jika ada terjadi pada yang sudah lanjut
f. Kehilangan kemampuan berkeringat, rambut rontok pada bercak
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi yang sudah lanjut
2. Infitrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang tidak ada
b.Membrana mukosa (hidung tersumbat, hidung berdarah)
Tidak ada Ada, kadang tidak ada
3.Ciri-ciri Central healing - Punched out lesion
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
4.Nodulus Tidak ada Kadang ada
5.Deformitas Dini Simetris, lambat
17
Ridley dan Jopling membagi penyakit kusta menjadi berbagai
tipe atau bentuk, yaitu:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa
satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang
berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik
dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran
psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya
teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya
kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang
adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula
atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah
lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya
gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris.
Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang
menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai
bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi,
dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat
mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi
punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian
tengah oval dan berbatas jelas.
18
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih
kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang
hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada
bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy (LL)
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan
halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada
stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi
lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan
yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor
tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis,
iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar
limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and
glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis,
bakterioskopis, dan histopatologis. Namun diagnosis secara
19
klinislah yang terpenting dan sederhana. Tidak cukup hanya sampai
diagnosis saja, tetapi perlu ditentukan tipenya, sebab penting untuk
terapinya. Diagnosis kusta ditegakkan bila ada 1 atau lebih Tanda
Cardinal, yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula)
atau meninggi ( Plak ). Mati rasa pada bercak bersifat total
atau sebagian saja terhadap rasa raba, suhu, nyeri. Dapat
juga terjadi achromi, atrophi, anhidrosis.
Gambar 2. Ruam erytromatous
2. Penebalan saraf tepi dengan gangguan saraf,
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : paralisis/ paresis
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak,
edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Ditemukan kuman M. Leprae ( BTA) pada hapusan kulit
cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif.
Bila tidak atau belum ditemukan tanda-tanda cardinal maka kita
hanya dapat mengatakan tersangka kusta, dan penderita perlu diamati
dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan.
20
Deformitas pada kusta dapat dibagi menjadi deformitas primer
dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung karena
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang
mendesak dan merusak jaringan sekitar, yaitu kulit, mukosa tractus
respiratorius, tulang jari, wajah. Deformitas sekunder terjadi akibat
kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan saraf antara lain:
1. Nervus Ulnaris :
a. Anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari
manis
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
2. Nervus Medianus :
a. Anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah
b. Tidak mampu aduksi ibu jari
c. Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
d. Ibu jari kontraktur
e. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. Nervus Radialis
a. Anastesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk
b. Tangan gantung ( wrist drop)
c. Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. Nervus Polplitea lateralis
a. Anatesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum
pedis
b. Kaki gantung ( foot drop)
21
5. Nervus Tibialis posterior
a. Anastesia telapak kaki
b. Claw toes
6. Nervus Facialis
a. Cabang temporal dan zigomatic menyebabkan
lagoftalmus
b. Cabang bukal, mandibular, dan servikal
menyebabakan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
7. Nervus Trigeminus
a. Anastesia kulit wajah, kornea, dan konjungitva mata
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah, hal
ini tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
1. Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman kusta
tersebut masih utuh bentuknya maka memiliki kemungkinan
penularan lebih besar daripada bentuk kuman yang telah
hancur akibat pengobatan.
2. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah
yang terdapat lesi basah, berganti-gantian baju, handuk,
melalui sekret serta udara.
3. Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam
memenuhi kebutuhan hidup seperti makanan yang bergizi,
tempat tinggal yang kumuh.
4. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial
juga dimana orang-orang yang mengalami keadaan sosial
rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan hygienenya seperti
membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat
22
permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak
bagus.
5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam
masuk dan berkembangnya virus M.Leprae.
VII. PENUNJANG DIAGNOSIS
A. Index Bacteriologis (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam
sediaan hapus, IB digunakan untuk menentukan tipe kusta
dan mengevaluasi hasil pengobatan. Sediaaan dibuat dari
kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL
NEELSEN. Bakterioskopik negative pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai
berikut :
Index Bacteriologi
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2+ Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3+ Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4+ Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5+ Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6+ Bila> 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
23
B . Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh
BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan
kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu
menentukan resistensi terhadap obat.
S seluruh BTA utuh (solid)
IM = ------------------------------------------- X 100%
S seluruh BTA yang diperiksa (solid+non-solid)
Lokasi
Pengambilan
Kepadatan Solid Non-Solid
1. Daun telinga
kiri
5+ 5 95
2. Daun telinga
kanan
4+ 6 94
3. Paha kiri 4+ 3 97
4. Bokong kanan 4+ 4 96
Jumlah 17+ 18 382
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat
serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insidens penyakit. Prinsip pengobatannya antara
lain:
24
1. Anti kusta MDT (multi drug terapy)
2. Atasi Penyulit
Reaksi Kusta. Ulkus dll
3. Terapi Supportif
Vit B1 . Anti anemia
4. Rehabilitasi Medis
5. Rehabilitasi Sosial / Psiko terapi
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin dan DDs dimulai tahun 1981. Program
ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut:
MDT PB
Dapson Rifampisin
Dewasa 100mg/hr 600mg/bln
Anak 50mg/hr 450mg/bln
Lama pengobatan 6 blister diminum selama 6-9 bulan
MDT MB
Dapson Rifampisin Klofazimin
Dewasa 100mg/hr 600mg/bln 300mg/bln dan
50mg/hr
Anak 50mg/hr 450mg/bln 150mg/bln dan 50
mg/2hr
Lama pengobatan 12 blister diminum selama 12-18 bulan
IX. REAKSI KUSTA
25
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalanan
penyakit kusta yang kronis yang merupakan suatu reaksi kekebalan
(SIS) atau reaksi antigen-antibodi (sistem hormonal) dengan akibat
yang merugikan penderita terutama pada syaraf-syaraf tepi yang
menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Dalam klasifikasi yang
bermacam-macam itu, yang tampaknya paling banyak dianut akhir-
akhir ini yaitu :
1. Reaksi reversal atau reaksi upgrading = Reaksi Lepra non
nodular = Reaksi Tipe I = Tipe IV Reaksi hipersensitivitas tipe
lambat
Pada penderita tipe PB maupun MB
Kebanyakan terjadi 6 bulan pertama pengobatan
Akibat meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat
terhadap kuman kusta
Dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih
2. E.N.L = Erytema Nodusum Leprosum = Reaksi Lepra nodular =
Reaksi Tipe II = Tipe III
Pada penderita tipe MB
Merupakan reaksi humoral (kuman kusta yang utuh maupun
yang tidak utuh menjadi antigen)
Tubuh membentuk antibodi dan komplemen (antigen + antibodi
+ komplemen = immunokompleks)
Berlangsung selama 3 minggu atau lebih
Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama
Tabel Perbedaan Reaksi Tipe I dan Reaksi tipe II:
26
FAKTOR PENCETUS
1. setelah pengobatan antikusta yang intensif
2. stres fisik / psikis
3. Imunisasi
4. kehamilan, persalinan, menstruasi
5. infeksi, trauma, kurang gizi dll
PENATALAKSANAAN REAKSI KUSTA
1. Prinsip pengobatan reaksi ringan
Berobat jalan, istirahat dirumah
Pemberian analgetik / antipiretik, obat penenang bila perlu
Bila dianggap perlu dapat diberikan Cloroquine Base 150 mg 3x
1 tablet selama 3-5 hari
MDT diberikan terus dengan dosis tetap
Perubahan kulit atau saraf dalam bentuk peradangan
2. Prinsip pengobatan reaksi berat
Pemberian prednison
27
Pemberian analgetik, sedatif
Imobilitas lokal / istirahat dirumah
Bila ada indikasi rawat inap penderita dikirim ke rumah sakit
MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah
Menghindari / menghilangkan faktor pencetus
Bila ada indikasi rawat inap, penderita dikirim ke rumah sakit
Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan Lampren
Skema Pemberian Prednison :
• 2 minggu pertama : 40mg/hari (1x8tab) pagi sesudah makan
• 2 minggu kedua : 30mg/hari (1x6tab) pagi sesudah makan
• 2 minggu ketiga : 20mg/hari (1x4tab) pagi sesudah makan
• 2 minggu keempat : 15mg/hari (1x3tab) pagi sesudah makan
• 2 minggu kelima : 10mg/hari (1x2tab) pagi sesudah makan
• 2 minggu keenam : 5mg/hari (1x1tab) pagi sesudah makan
Tabel Terapi Reaksi Kusta :
28
DAFTAR PUSTAKA
Daili dkk. Kusta. KSMHI
Djuanda Adhi dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi
kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
James William D et al. 2006. Andrew’s Disease of the Skin:
eleventh edition. China : Saunders elsevier
29