kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

25
1. Pendahuluan Jurnal yang berjudul “Cutaneus delayed type hypersensitivity in patients with atopic dermatitis” merupakan jurnal penelitian tentang diagnosis dini yang ditulis oleh Dana Malajian BA dan Donald V Belsito. Jurnal ini dimuat dalam J Am Acad Dermatol Volume 69, Nomor 2, halaman 232-237. Latar belakang dibuatnya penelitian ini adalah peneliti ingin membahas tentang hubungan antara dermatitis atopik (DA) dan hipersensitivitas kutaneus tipe lambat. Pada penelitian ini dilakukan Peneliti membandingkan reaksi patch test allergen pada kelompok North American Contact Dermatitis Group (NACDG) yang terdiri atas pasien pasien dengan dermatitis atopic (DA) dan tanpa DA. Selanjutnya, penulis menilai apakah pasien atopik dalam data penelitian ini memiliki uji test patch positif terhadap kelas allergen tertentu. Metode yang ditinjau dalam penelitian meliputi penelitian cross sectional. Pasien yang ditinjau dalam penelitian ini Sebanyak 2305 subjek penelitian menjalani uji patch test pada standar seri skrining NACDG. Insidensi reaksi uji patch positif dengan DA (n=297) dan tanpa DA (n=2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan DA memiliki hasil uji patch positif lebih banyak dibandingkan dengan pasien non atopik. Penelitian ini mempunyai keterbatasan karena hanya subjek yang dicurigai menderita dermatitis kontak alergi yang diuji dengan patch test. Populasi penelitian ini juga hanya dilakukan pada kota Kansas (Kansas City Metropolitan (MO) dan Kansas City (KS). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sebjek 1

Upload: sarahutamisr

Post on 25-Oct-2015

121 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

kritisi jurnal ilmu kesehatan kulit dan kelamin

TRANSCRIPT

Page 1: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

1. Pendahuluan

Jurnal yang berjudul “Cutaneus delayed type hypersensitivity in patients with

atopic dermatitis” merupakan jurnal penelitian tentang diagnosis dini yang ditulis oleh

Dana Malajian BA dan Donald V Belsito. Jurnal ini dimuat dalam J Am Acad

Dermatol Volume 69, Nomor 2, halaman 232-237. Latar belakang dibuatnya

penelitian ini adalah peneliti ingin membahas tentang hubungan antara dermatitis

atopik (DA) dan hipersensitivitas kutaneus tipe lambat. Pada penelitian ini dilakukan

Peneliti membandingkan reaksi patch test allergen pada kelompok North American

Contact Dermatitis Group (NACDG) yang terdiri atas pasien pasien dengan dermatitis

atopic (DA) dan tanpa DA. Selanjutnya, penulis menilai apakah pasien atopik dalam

data penelitian ini memiliki uji test patch positif terhadap kelas allergen tertentu.

Metode yang ditinjau dalam penelitian meliputi penelitian cross sectional.

Pasien yang ditinjau dalam penelitian ini Sebanyak 2305 subjek penelitian menjalani

uji patch test pada standar seri skrining NACDG. Insidensi reaksi uji patch positif

dengan DA (n=297) dan tanpa DA (n=2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pasien dengan DA memiliki hasil uji patch positif lebih banyak dibandingkan dengan

pasien non atopik. Penelitian ini mempunyai keterbatasan karena hanya subjek yang

dicurigai menderita dermatitis kontak alergi yang diuji dengan patch test. Populasi

penelitian ini juga hanya dilakukan pada kota Kansas (Kansas City Metropolitan (MO)

dan Kansas City (KS). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sebjek penelitian dengan

DA secara signifikan mengalami reaksi uji patch positif dibandingkan dengan pasien

non atopic. Pasien DA mengalami hipersensitivitas kontak terhadap banyak allergen

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Dermatitis Atopik

2.1.1 Definisi

Dermatitis atopi (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,

disertai gatal, yang umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering

berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalm serum dan riwayat atopi pada

keluarga atau penderita (contohnya seperti rhinitis alergi dan atau asma bronkial.

Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan

likenifikasi, distrbisunya sering di daerah lipatan (fleksural).1

2.1.2 Patogenesis

1

Page 2: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam pathogenesis DA misalnya faktor

genetic, lingkungan, sawar kulit (barier), farmakologis dan imunologik. Konsep dasar

terjadinya DA adalah molekul reaksi imunologik yang diperantarai oleh sel-sel yang

berasal dari sumsum tulang.1,2

DA sering berhubungan dengan abnormalitas barier fungsi kulit, sensitisasi

allergen, dan infeksi kulit berulang. Kadar IgE dalam serum penderita DA dan jumlah

eosinofil perifer dalam darah umumnya meningkat.3

Di bawah ini terdapat beberapa hal yang mempengaruhi DA yaitu:

A. Genetika

Ekspresi gen IL-4 memegang peranan penting dalam ekspresi DA. Kromosom

5q31-33 mengandung kumpulan family gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13 dan GM-

CSF yang diekpresikan oleh sel T-helper 2 (Th2). Perbedaan genetic aktivitas

transkipsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi DA.1 Selain itu, faktor genetika

yang mempengaruhi DA adalah Filagrin yaitu protein yang dikode oleh gen

FLG. Mutasi gen FLG menyebabkan “epidermal differentiation complex” dan

paling banyak ditemukan di Eropa. 2

B. Respon imun pada kulit

Sitokin Th1 dan Th2 berperan dalan pathogenesis peradangan kulit pada DA.

Jumlah Th2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya Th1 menurun.

Dermatitis akut sering berhubungan dengan produksi sel Th2 (IL-4 dan IL-13)

yang memediasi sintesis IgE pada sel endotel sedangkan pada DA kronik hanya

terjadi peningkatan IL-5.3

C. Berbagai faktor pemicu

Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam pathogenesis DA. Makanan

yang paling sering meliputi telur, susu, gandum, kedelai, kacang tanah. Reaksi

yang terjadi pada penderita DA karena induksi makanan berupa dermatitis

eksematosa, urtikaria dan kontak urtikaria.1 DA juga dipengararuhi oleh

aeroallergen (seperti tungau debu rumah dan bulu binatang). Penderita DA

cenderung mudah terinfeksi bakteri, virus dan jamur karena imunitas seluler

menurun (aktivitas Th1 berkurang). 2

2.1.3 Diagnosis

2

Page 3: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Diagnosis DA berdasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka yang

dapat dilihat pada kriteria mayor dan minor di bawah ini: 1,3

A. Kriteria mayor

Pruritus

Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak

Dermatitis di fleksura pada dewasa

Dermatitis kronis dan residif

Riwayat atopi pada penderita atau keluarga

B. Kriteria minor

Xerosis

Infeksi kulit (khususnya S.aureus dan virus herpes simpleks)

Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki

Iktiosis/hiperliniar Palmaris/keratosis pilaris

Pitiriasis alba

Dermatitis di papilla mamae

White dermographism dan delayed branch response

Keilitis

Lipatan infra orbital Dennie Morgan

Konjungtivitis berulang

Keratokonus

Katarak subkapsular anterior

Orbita menjadi gelap

Muka pucat atau eritem

Gatal bila berkeringat

Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak

Aksentuasi perifolikular

Hipersensitif terhadap makanan

Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi

Tes kulit alergi tipe dadakan positif

Kada IgE dalam serum meningkat

Paparan penyakit pada usia dini

3

Page 4: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Diagnosis DA harus memenuhi tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.

Untuk bayi. Kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:1

2.1.4 Penatalaksanaan

A. Penatalaksanaan Umum

Penatalaksanaan DA dilakukan secara sistematis, melalui pendekatan

pengetahuan mengenai pathogenesis penyakit ini, hidrasi kulit, terapi farmakologi, dan

identifikasi serta eliminasi faktor-faktor yang dapat memperparah DA seperti iritan,

allergen, agen infeksi dan stressor emosional. Banyak faktor yang mempengaruhi

kompleksnya gejala DA. Oleh karena itu, rencana penatalaksanaan harus

memperhatikan pola reaksi masing-masing pasien. 3

B. Penatalaksanaan Topikal 3

Hidrasi Kutaneus

Pasien dengan DA mempunyai fungsi barier kulit yang abnormal yang ditandai

dengan meningkatnya transepidrmal water loss dan berkurangnya kandungan

air, kulit kering (Xerosis) yang menambah morbiditas penyakit ini. Mutasi gen

FLG juga menunjukkan penurunan tingkat epidermal faktor-faktor pelembap

alamiah kulit. Dengan merendam tangan dengan air sabun hangat selama 10

menit dan diikuti dengan aplikasi emolien oklusi atau pengobatan topical dapat

mengurangi gejala kekeringan pada kulit pasien. Terapi topical bertujuan untuk

menggantikan lipid epidermal abnormal, memperbaiki hidrasi kulit, dan

mengurangi disfungsi barier kulit. Hidrasi kulit melalui perendaman dan wet

dressing dapat memperbaiki penetrasi transpepidermal glukokortikoid topical.

Dressing juga berguna sebagai barier efektif dalam mencegah goresan kulit,

mempercepat penyembuhan lesi-lesi ekskoriasi.

Steroid Topikal

Topikal steroid (krim betametason valerat 0,1 %) dan inhibitor kalsineurin

topical (krim pimecrolimus 1%) dioleskan pada lesi ekstremitas atas. Kedua

pengobatan tersebut membuat diferensiasi epidermal menjadi normal dan

mengurangi hiperproliferasi epidermal. Kedua agen antiinflamasi tersebut

meningkatkan ekspresi filagrin dan involukrin dala kulit. Betametason valerat

mengurangi gejala klinis dan proliferasi epidermal. Akan tetapi, penggunaan

dua kali sehari lebih dari periode 3 minggu dapat menyebabkan penipisan kulit.

4

Page 5: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Sementara itum pimecrolimus memperbaiki barier epidermal dan tidak

menyebabkan atrofi kutaneus sehingga obat ini dapat digunakan sebagai

pengobatan DA jangka panjang.

Terapi Glukokortikoid Topikal

Glukokortikoid topical digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit eczema.

Agen ini memiliki efek samping potensial sehingga banyak ahli yang

menggunakan agen ini untuk mengatasi eksaserbasi akut DA. Akan tetapi,

penelitian saat ini mengungkapkan bahwa pemberian glukokortikoid topical

dapat digunakan sebagai regimen harian dalam mengatasi DA dan penggunaan

jangka panjang dapat dilakukan pada pasien dengan aplikasi dua kali seminggu

menggunakan fluticasone di area yang telah sembuh (area yang masih dapat

mengalami eczema selanjutnya). Glukokortikoid fluorinated harus dihindari

pada area wajah, genitalia dan intertriginosa (pada area ini sebaiknya dioleskan

glukokortikoid potensi rendah). Kegagalan pengobatan disebabkan karena tidak

adekuatnya terapi. Sangat penting diingat bahwa glukokortikoid topical

digunakan sebanyak 30 gram dalam bentuk krim atau salep untuk menutupi

seluruh permukaan tubuh pada orang dewasa. Oleh karena itu, untuk perawatan

seluruh tubuh diperlukan 840 g glukokortikoid topical.

Inhibitor Kalsinuerin Topikal

Tacrolimus dan pimecrolimus topical telah digunakan sebagai imunomudulator

nonsteroid. Salep tacrolimus 0,03% sebagai pengobatan intermiten terbukti

dapat mengurangi gejala DA berat pada anak yang berusia 2 tahun dan diatas 2

tahun. Salep tacrolimus 0,1% terbukti dapat mengurangi gejala DA ringan –

sedang pada anak yang berusia 2 tahun dan diatas 2 tahun. Kedua obat ini

efektif digunakan dalam mengobati DA dimana salep tacrolimus diberi hingga 4

tahun dan krim pimecrolimus selama 2 tahun.

Agen pendukung lainnya seperti antibiotic (oral atau topical) dapat mengatasi

pasien yang terinfeksi berat S.aureus, antihistamin dapat mengatasi pruritus, dan

fototerapi dapat memperbaiki keadaan DA secara umum.

C. Pengobatan sistemik

Glukokortikoid sistemik seperti prednisone oral jarang diindikasikan pada DA

kronik. Beberapa dokter dan ahli menggunakan Glukokortikoid sistemik untuk

mengurangi waktu pengobatan kulit dengan hidrasi dan terapi topical.

5

Page 6: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Glukokortikoid sistemik dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut dan

harus diperhatikan bahwa penggunaan obat ini harus diturunkan perlahan

(tapering dose).

Siklosporin

Siklosporin merupakan obat imunosupresif yang dapat menekan sitokin. Obat

ini mengikat cyclophilin (yaitu suatu protein intraseluler kompleks yang

menyebabkan inisiasi transkipisi gen sitokin). Penggunaan siklosporin jangka

pendek terbukti dapat mengatasi DA berat dan pengobatan yang refratorik.

Penggunaan oral yang direkomendasikan adalah 5 mg/kg dalam jangka pendek

atau jangka panjang (selama 1 tahun).

Antimetabolit

Mycophenolate mofetil merupakan biosintesis purin yang dapat digunakan

sebagai imunosupresan pada organ transplantasi yang dapat digunakan dalam

mengatasi gangguan inflamasi kulit refraktorik. Pemberian Mycophenolate

mofetil jangka pendek (2 gram sehari) sebagai monoterapi dapat menghilangkan

lesi pada dewasa yang resisten terhadap pengobatan lain (seperti steroid oral

dan topical, psoralen dan sinar UV-A). Methotrexate adalah antimetabolit

dengan efek inhibitor potensial yang dapat mengurangi sintesis sitokin dan

kemotaksis sel. Dosis yang sering digunakan adalah sama seperti pengobatan

psoriasis dan penelitian menunjukkan perbaikan gejala setelah 2-3 bulan

pemberian terapi. Azathioprine adalah analog purin dengan efek antiinflamasi

dan antipoliferasi yang dapat mengatasi DA berat.

D. Pengobatan sistemik

Interferon γ

Interferon γ dapat menekan IgE dan menurunkan proliferasi sel Th2. Penelitian

menunjukkan bahwa Interferon γ dapat memperbaiki klinis pasien dengan cara

mengurangi sirkulasi jumlah eosinofil. Efek samping awal pengobatan adalah

gejala menyerupai flu

Omalizumab

Digunakan untuk mengobati pasien dengan DA berat dan meningkatkan serum

IgE. Penggunaan agen ini digunakan pada pasin dewasa

6

Page 7: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Imunoterapi allergen

Hingga saat ini, masih terus dilakukan penelitian mengenai imunoterapi

allergen karena belum ada bukti yang memuaskan

Fotoferesis Ekstrakorporeal

Fotoferesis Ekstrakorporeal mengurangi jumlah IgE sehingga dapat mengurangi

lesi kulit pada pasien DA berat

Probiotik

Pemberian probiotik Lactobacillus rhamnosus strain CG secara parenteral

terbukti mengurangi insidensi DA pada anak yang beresiko pada usia 2 tahun

pertama. Penelitian terhadap agen ini telah dilakukan pada ibu hamil dan anak

yang mengalami DA. Keduanya menunjukkan perbaikan gejala DA.

Pengobatan Herbal Cina

Pengobatan herbal Cina juga terbukti dapat mengurangi DA berat, tetapi

toksisitas hepatic, efek kardiak, reaksi idiosinkron masih diteliti hingga saat ini

Vitamin D oral

Suplemen vitamin D juga terbukti dalam penelitian menekan respon imun

pasien DA sehingga dapat mengurangi DA berat.

2.2 Hipersensitivitas

Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang berbahaya

karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius. Reaksi

hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat menimbulkan kerusakan

jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Oleh Coobs dan Gell

reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas yaitu: 4

1. Hipersensitivitas Tipe 1

Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera

sesudah badan terpajan dengan allergen. Alergi sering disamakan dengan

hipersensitif tipe I. Contoh hipersensitivitas tpe 1 adalah rhinitis alergi, asma

dan anafilaktik sistemik. Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah:

2. Hipersensitivitas Tipe 2

Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya

antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel

pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan

komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten yang sudah

7

Page 8: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut.Kemudian kerusakan

diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Contoh reaksi

tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit

anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun

3. Hipersensitivitas Tipe 3

Rekasi ini disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila

kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding

pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan

sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian

melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan

menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis

kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat

ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim

proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin. Antigen pada reaksi tipe III

ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan

yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik)

atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan

antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang

efektif

4. Hipersensitivitas Tipe 4

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif

immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin

yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi

terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor

spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan

mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami

transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target

yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan

jaringan. Contoh reaksi hipersensitif tipe 4 adalah dermatitis kontak, reaksi

tuberkulin, asma kronik, alergi rhinitis kronik, penolakan transplan.

8

Page 9: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Tipe I-III dimediasi oleh antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan

perbedaan antigen yang dikenali dan juga kelas dari antibodi yang terlibat pada

peristiwa tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE yang menginduksi aktivasi

sel mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang melibatkan reaksi

komplemen dan juga sel-sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan fagosit

tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang terlibat. Hipersensitif tipe II tertuju

pada antigen yang terdapat pada permukan atau matrik sel, sedangkan hipersensitif tipe

III tertuju pada antigen terlarut, dan kerusakan jaringan disebabkan oleh adanya

komplek imun. 4

Pada hipersensitif tipe II yang dimediasi antibodi IgG dimana antibodi berikatan

dengan reseptor pada permukaan sel akan mengganggu fungsi reseptor tersebut.

Gangguan pada reseptor dapat berupa aktivasi sel yang tak terkontrol maupun fungsi

reseptor hilang karena adanya bloking oleh antibodi itu. Hipersensitif tipe IV dimediasi

oleh sel T dan dapat dibagi menjadi tiga grup. Pada grup pertama, kerusakan jaringan

disebabkan oleh aktivasi makrofag akibat rangsangan sel Th1. Pada mekanisme ini

akan terjadi reaksi inflamasi. Pada grup kedua, kerusakan jaringan disebabkan oleh

aktivasi sel TH2 akibat adanya reaksi inflamasi. Pada mekanisme ini eosinofil

mempunyai peranan besar dalam menyumbangkan kerusakan jaringan itu. Pada grup

ketiga, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivitas sel T sitotoksik, CD8. 4

2.3 Uji Tempel (patch test)

Uji tempel biasanya digunakan untuk diagnosis dermatitis kontak alergi (DKA).

Metode uji ini menggunakan bahan uji (dengan konsentrasi dan bahan pelarut yang

sudah ditentukan) ditempelkan pada kulit normal, kemudian ditutup. Bahan ini

dibiarkan selama 2 hari (minimal 24 jam). Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada

tempat tempelan tersebut dibaca tentang perubahan atau kelainan yang terjadi pada

kulit. Pada tempat tersebut bisa kemungkinan terjadi dermatitis berupa: eritema, papul,

oedema atau fesikel, dan bahkan kadang-kadang bisa terjadi bula atau nekrosis. 1, 5

Pembacaan uji tempel dilakukan 15-30 menit setelah dilepas agar efek tekanan

bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Pembacaan kedua perlu dilakukan

sampai 1 minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan

kedua perlu untuk membedakan respon alergi atau iritasi dan megidentifikasi lebih

banyak respon alergen. 1, 5

9

Page 10: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Pembacaan uji tempel harus memperhatikan hal berikut: 1

1. Dermatitis harus sudah tenang. Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat

terjadi reaksi “angry back” atau “excited skin” yaitu reaksi positif palsu dan

dapat memperburuk penyakit yang sedang diderita

2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian kortikosteroid

sistemik dihentikan sebab dapat meghasilkan reaksi negative palsu

3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca pada hari ke-3 sampai ke-7

setelah aplikasi

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel tidak

menempel dengan baik misalnya terkena air pada punggung (tempat dilakukan

uji tempel)

5. Uji tempel dilakukan dengan bahan standar dan tidak dilakukan pada penderita

yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticarial type)

2.4 Penelitian tentang diagnosis dini

Diagnosis dini dilakukan dengan 2 strategi yaitu 6

1) Skrining

Yaitu bentuk pemeriksaan yang ditujukan pada kelompok orang sehat untuk

mendeteksi penyakit tertentu atau pada kelompok orang tertentu yang memiliki

resiko terhadap penyakit tertentu

2) Case finding

Yaitu diagnosis dini pada sukarelawan (pasien yang berobat ke dokter untuk

memeriksakan kesehatannya.

3. Telaah Kritis Jurnal

Judul Jurnal “Cutaneus delayed type hypersensitivity in patients with atopic

dermatitis” ditulis dalam kalimat sederhana dan tidak terlalu panjang. Judul jurnal juga

menggambarkan keseluruhan isi penelitian dan tidak menggunakan singkatan.

Penulisan nama peneliti dalam jurnal mencantumkan gelar atau titel, seharusnya

penulisan nama dalam jurnal tidak menggunakan gelar atau titel. Peneliti juga berasal

dari satu tempat dan departemen sehingga pada jurnal diberikan penanda berdasarkan

abjad di belakang nama tiap peneliti. Alamat surat menyurat dan penerbit juga

10

Page 11: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

disebutkan juga disebutkan dalam jurnal dengan jelas. Jurnal diterbitkan oleh J Am

Acad Dermatol Volume 69, Nomor 2, halaman 232-237 tahun 2013

Penulisan abstrak telah menggambarkan keseluruhan isi jurnal yaitu

menggambarkan keseluruhan isi jurnal yaitu mulai dari pendahuluan, objektif, metode,

hasil, keterbatasan penelitian dan kesimpulan, penulisan juga tidak memuat singkatan

selain kata baku dan kurang dari 250 kata. Abstrak juga mampu menggambarkan secara

jelas mengenai masalah dan tujuan penelitian.

Pendahuluan pada jurnal ditulis dengan ringkas yang terdiri dari 5 paragraf,

paragraf pertama berisi mengenai Dermatitis atopik (DA), epidemiologi dan penyebab

DA. Paragraf dua berisi Hipersensitivitas kutaneus tipe lambat/cutaneous delayed type

hypersensitivity (CDTH) dan epidemiologinya. Paragraf tiga berisi positif antara DA

dan CDTH. Paragraf empat dan lima berisi laporan penelitian tentang CDTH pada

populasi atopik

Metode dalam penelitian ini menggunakan cross sectional. Pasien yang ditinjau

dalam penelitian ini Sebanyak 2305 subjek penelitian menjalani uji patch test pada

standar seri skrining NACDG. Insidensi reaksi uji patch positif dengan DA (n=297) dan

tanpa DA (n=2008). Penelitian dilakukan di Kansas city (KS). Sebelum uji patch

dilakukan, semua pasien melengkapi kuesioner standar tentang demografik,

pengobatan, dan data pekerjaan. Status atopik (dermatitis, asma, hay fever) dinilai pada

semua pasien; diagnosis DA ditegakkan melalui kriteria Hanifin dan Rajka.

Hasil penelitian dijelaskan dalam bentuk tabel dan grafik telah dilakukan oleh

sejumlah peneliti. Hasil juga menyebutkan uji statistik yang signifikan dengan p<0,001

dimana insidensi reaksi uji patch positif terhadap pasien dengan riwayat DA

dibandingkan pasien tanpa riwayat DA.

11

Page 12: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Telaah kritis tentang terapi:

1. Apakah metode penelitian suatu randomized trial?

Tidak. Penelitian ini bersifat cross sectional study dengan melakukan analisis

statistic menggunakan test chi square (X2) pada 2305 subjek penelitian yang

dicurigai menderita dermatitis kontak alergi yang diuji. Populasi penelitian ini

secara geografis terbatas yang meliputi kota Kansas.

Hal ini dapat kita lihat pada Metode Paragraf 1 alinea 1 halaman 233 yang

menuliskan “between juli 1 1994 and june 30 2012, a total of 2305 patients who

presented with clinical suspicion of allergic contact dermatitis underment patch

testing to NACDG’s in Kansas city and New York. All patients completed a

standardized questionare regarding demographic medical and occupational

study…. dan metode dalam Abstrak alinea 1 halaman 232 “statistical analysis

was doing using X2 testwith Yattes correction.

2. Apakah ada pengobatan yang efektif untuk kelainan tersebut?

Tidak. Dalam penelitian ini tidak dijelaskan pengobatan efektif dalam kelainan

yang disebutkan dalam penelitian (yaitu dermatitis atopi). Dalam penelitian ini,

peneliti ingin melihat hubungan antara dermatitis atopik (DA) dan

hipersensitivitas kutaneus tipe lambat melalui pemeriksaan patch test. Hal ini

dapat kita lihat pada Conclusion dalam abstrak alinea 1 halaman 232

“compared with non atopics, patients with AD are significantly more likely to

have at least 1 patch test reaction and develop contact hypersensitivity to metal

allergens”

3. Apakah ada sesuatu yang tersembunyi pada penyakit tersebut yang memerlukan

skrining?

Iya, peneliti menemukan bahwa pasien dengan dermatitis atopi (DA) secara

signifikan mengalami reaksi uji patch positif dibandingkan dengan pasien non

atopik. Pasien DA mengalami hipersensitivitas kontak terhadap allergen seperti:

nikel, kobalt dan kromium. Hal ini dapat kita lihat pada Discussion paragraph II

alinea 1 halaman 234 “our finding of an increased incidence of CDTH in atopic

patients are consistent with finding….” Kemudian dalam Discussion paragraph

4 alinea 1 halaman 234 “our finding that AD was associated with contact

sensitization to metal allergens can be explained……”

4. Apakah screening test mempunyai angka sensitivitas dan spesifisitas yang

tinggi?

12

Page 13: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

Iya. Penelitian ini menggunakan patch test (uji tempel) untuk menstimulasi

terjadinya reaksi hipersensitivitas kutaneus tipe lambat. Uji ini telah banyak

digunakan dalam diagnosis dermatitis kontak alergi.

5. Dapatkah sistem kesehatan (skala nasional atau profesi) selaras dengan program

screening test yang akan dilaksanakan?

Iya. Patch test (uji tempel) telah banyak digunakan oleh profesi kedokteran dan

kesehatan dalam diagnosis dermatitis kontak alergi.

6. Apakah hasil test yang positif memerlukan tindakan lanjutan berupa tindakan

intervensi atau pemeriksaan lanjutan?

Iya. Reaksi Patch test (uji tempel) positif meningkat pada pasien DA. Peneliti

menyimpulkan bahwa pasien DA mengalami hipersensitivitas kontak terhadap

allergen. Peneliti menganjurkan agar dokter atau praktisi kesehatan selalu

merekomendasikan pasien atopi untuk menghindari bahan berbahan dasar

logam dan tidak melakukan tindikan (piercing) dan tattoo. Hal ini dapat kita

lihat pada Discussion halaman 236 paragraf 10 alinea 2 “we strongly

recommended that health care practioner consel their atopic patients to

minimize cutaneous contact with metal and avoid piercing and tattoing.7

4. Kesimpulan

Jurnal yang berjudul “Cutaneus delayed type hypersensitivity in patients with

atopic dermatitis” merupakan penelitian tentang diagnosis dini yang ditulis oleh Dana

Malajian BA dan Donald V Belsito. Jurnal ini dimuat dalam J Am Acad Dermatol

Volume 69, Nomor 2, halaman 232-237. Berdasarkan telaah kritis yang dilakukan

penulis didapatkan hasil jurnal ini memenuhi jawaban “ya” sebanyak 4 (66,66%) dan

jawaban “tidak” sebanyak 2 (33,33%) pedoman telaah kritis tentang diagnosis dini.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jurnal ini telah layak untuk dibaca dan

dapat diaplikasikan.

13

Page 14: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M, Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI. Jakarta:

138-142.

2. James WD, Timothy GB, Dirk ME. 2011. Andrew’s Disease of The Skin

Clinical Dermatology 7 edition. Elsevier: 71-75.

3. Wollf A, Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Ami SP, David JL. Fitzpatrick’s

Dermatologiy in General Medicine. Mc Graw Hill. Newyork. 2012:166-170.

4. Abbas KA, Litchman AH, Shiv Pillai. 2010. Cellular and Molecular

Immunology Ed 6. Saunders Elsevier. Philadelphia. Hal: 978-980.

5. Dwi Murtiastutik, Avy Arvianti, Indropo Agusni, Sunaso Suyoso. ATLAS:

Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran UNAIR/RSUD Dr. Soetomo.

Surabaya. 2012; 108-109.

6. Soeparto P, Eddy PS, Joewono S. 1998. Epidemiologi Klinis. Penerbit Gramik

FK Unair. Surabaya: 161-163.

14

Page 15: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

LAMPIRAN

TELAAH KRITIS DIAGNOSIS DINI

PEDOMAN KETERANGAN

1. Apakah metode penelitian suatu

randomized trial?

Tidak

2. Apakah ada pengobatan yang

efektif untuk kelainan tersebut?

Tidak

3. Apakah ada sesuatu yang

tersembunyi pada penyakit

tersebut yang memerlukan

skrining?

Ya

4. Apakah screening test mempunyai

angka sensitivitas dan spesifisitas

yang tinggi?

Ya

5. Dapatkah sistem kesehatan (skala

nasional atau profesi) selaras

dengan program screening test

yang akan dilaksanakan?

Ya

6. Apakah hasil test yang positif

memerlukan tindakan lanjutan

berupa tindakan intervensi atau

pemeriksaan lanjutan?

Ya

15

Page 16: kritisi jurnal dermatitis atopic .docx

16