dermatitis atopic

59
Tugas Stase Ilmu Kesehatan Anak REFERAT DERMATITIS ATOPIK Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter Pembimbing : dr. Isna Nurhayati,Sp.A.,M.Kes Diajukan Oleh : Avysia Tri Marga Wulan, S.Ked FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA 1

Upload: avysiadrorien

Post on 03-Jul-2015

1.954 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dermatitis Atopic

Tugas Stase Ilmu Kesehatan Anak

REFERAT

DERMATITIS ATOPIK

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter

Pembimbing : dr. Isna Nurhayati,Sp.A.,M.Kes

Diajukan Oleh :

Avysia Tri Marga Wulan, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA

2010

1

Page 2: Dermatitis Atopic

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang

kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium

akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan

distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan

kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,2009).

Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Pada 70 % kasus dermatitis

atopik umumnya dimulai saat anak-anak dibawah 5 tahun dan 10% saat remaja /

dewasa (William H.C., 2005). Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia

12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak

melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum

usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.

Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak <

5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak  meningkat 5-10% pada 20-30

tahun terakhir (Judarwanto W., 2009).

Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35%

berkembang menjadi rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma,

and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam

atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua

persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan

Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada

survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai

lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2

persen kasus berat (William H.C., 2005). Menurut laporan kunjungan bayi dan

anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus)

dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik

Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari

2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi

(Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit

2

Page 3: Dermatitis Atopic

Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami peningkatan

sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien

(11.05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%)

(Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20 %, 12 persen pada

tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum

tahun 2000) (Tada J., 2002).

3

Page 4: Dermatitis Atopic

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,

disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,

sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi

keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial)

(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

B. Bentuk DA

Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama

(70-80% pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai

dengan peningkatan kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik

atau non alergik, terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan

tanpa sensitisasi terhadap alergen lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa

peningkatan kadar IgE bukan merupakan prasyarat pada patogenesis

dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni (Pure Type), tanpa

berkaitan dengan penyakit saluran nafas dan bentuk campuran (Mixed Type)

yang terkait dengan sensitisasi terhadap alergen hirup atau alergen makanan

disertai dengan peningkatan kadar IgE (Soebaryo R.W., 2009).

C. Etiologi

Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga

disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial).

Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia

kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/

ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi

bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,

mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).

Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus

(Mansjoer A.,dkk., 2001).

4

Page 5: Dermatitis Atopic

faktor pencetus lain diantaranya

Makanan

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge

(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat

mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi

makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE

spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian

uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa

penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih

diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut

untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009). Prevalensi reaksi

alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat.

Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur,

gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut (Roesyanto I.D., &

Mahadi., 2009).

Alergen hirup

Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat

dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat

inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR)

bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4

musim (Judarwanto W., 2009).

Infeksi kulit

Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik

yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis

atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA).

Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni

Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi

Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada

penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang

penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan

mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang

5

Page 6: Dermatitis Atopic

dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang

dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan

Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga

dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat

sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan

makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin

Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan

memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin

Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk,

2009., tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus

aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.

D. Patogenesis

Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor

genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,

dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).

a. Genetik

Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran

kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25.

Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada

peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan

bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang

kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%

(Judarwanto W., 2009).

Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi

keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila

salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan

mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%

bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi

bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA

6

Page 7: Dermatitis Atopic

yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk

mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.

b. Sawar kulit

Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul

utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap

sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat

menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar

mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan

semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi

alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi

ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering

(Soebaryo R.W., 2009).

Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset

CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari

darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,

sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan

terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-

4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-

CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil

(Judarwanto W., 2009).

Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit

adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya

untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di

pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset

CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status

teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini

mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis.

Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi

oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut

mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes

dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis

7

Page 8: Dermatitis Atopic

keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-

sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009).

c. Lingkungan

Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,

eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara

lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan

binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis

(Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).

Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi

sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan

meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).

Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum

semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan

rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang

disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang

selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk

diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah

menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi

menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA  dapat dijelaskan

secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).

d. Imnopatogenesis DA

Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan

menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan

produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.

Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri

tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut

menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal

menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas

untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.

Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini

menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).

8

Page 9: Dermatitis Atopic

Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.

Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer

(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia

dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).

• Reaksi imunologis DA

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam

keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.

Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar

IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang

moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di

kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan

bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.

• Ekspresi sitokin

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada

reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut

ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA

yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-

5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12

dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen

lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi

terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons

terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%

penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik

(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T

helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,

bakteri, dan jamur meningkat.

Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada

pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,

leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami

bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering

9

Page 10: Dermatitis Atopic

digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai

saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat

antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik

(garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya

diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan

bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).

e. Antigen Presenting Cells

Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang

mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE

lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk

mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori

Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di

dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).

f. Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA

antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).

Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,

sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan

mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W.,

2009).

g. Autoalergen

Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung

antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan

protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit

akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis

atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya

antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan

sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas

(Soebaryo R.W., 2009).

10

Page 11: Dermatitis Atopic

Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan

pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2

(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan

allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan

aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early

(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada

EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang

tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed

dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator

tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan

permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin

yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang

menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.

Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,

termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,

eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived

neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,

IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.

Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi

(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

11

Page 12: Dermatitis Atopic

Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).

E. Manifestasi klinisManifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase

perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap

anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka

mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).

Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid

diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.

Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-

rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan

(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

12

Page 13: Dermatitis Atopic

Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:

1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).

Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,

biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi

(Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak

dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas

tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang

menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua

pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor

(Mansjoer A.,dkk., 2001).

Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak

gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA

infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami

infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat

terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.

(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

13

Page 14: Dermatitis Atopic

2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)

Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan

kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,

hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,

akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat

predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang

diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi

dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).

Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah

ekstensor(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan

lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin

J.M., 2005).

Gambar 4.a

14

Page 15: Dermatitis Atopic

Gambar 4.b.

Gambar 4.c.

Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson

E.L., & Hanifin J.M., 2005).

3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)

Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase

akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat

disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk

serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.

Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-

gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat

menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et

15

Page 16: Dermatitis Atopic

plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul

miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh

apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang

rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian

menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai

usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua

(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 5.a.

Gambar 5.b.

Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

16

Page 17: Dermatitis Atopic

Gambar 6: tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).

17

Page 18: Dermatitis Atopic

Gambar 7: tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009).

F. Stigmata pada dermatitis atopik

Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:

• ‘White dermatographism’

Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam

waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan

garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.

• Reaksi vaskular paradoksal

Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA.

Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan

terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan

dibandingkan dengan orang normal (Judarwanto W., 2009). hal ini

diduga karena adanya pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat

dijaringan sekelilinnya (Zulkarnain I., 2009).

• Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)

• Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan

pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan

tanda khas untuk DA. (Judarwanto W., 2009).

• Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis

palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang

hidup. (Zulkarnain I., 2009).

• Garis Morgan atau Dennie

Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun

dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian

bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan

sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah

namun bukan merupakan atonogmomik DA (Zulkarnain I., 2009).

• Sindrom ‘buffed-nail’

18

Page 19: Dermatitis Atopic

Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat

gatal.

• ‘Allergic shiner’

Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan

garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan

melanosit dan peningkatan timbunan melanin.

• Hiperpigmentasi

Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.

• Kulit kering

Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan

berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah

kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan

sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.

• ‘Delayed blanch’

Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya

keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan

dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau

peningkatan permeabilitas kapiler.

• Keringat berlebihan

Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus

bertambah.

• Gatal dan garukan berlebihan

Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal

menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA

gatal dapat bertahan selama 45 menit.

• Variasi musim

Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim

belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit

penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim

19

Page 20: Dermatitis Atopic

panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan

berpengaruh baik pada kulit penderita DA (Judarwanto W., 2009).

hertoge’s Sign

Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata

(Zulkarnain I., 2009).

G. DIAGNOSAPerlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan

gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka

sebagaimana tabel berikut :

  I. Luasnya lesi kulit  

  fase anak / dewasa  

  < 9% luas tubuh = 1

  9-36% luas tubuh = 2

  > 36 % luas tubuh = 3

  fase infantile  

  < 18% luas tubuh = 1

  18-54% luas tubuh = 2

  > 54% luas tubuh = 3

  II. Perjalanan penyakit  

  remisi > 3 bulan/ tahun = 1

  remisi < 3 bulan/ tahun = 2

  Kambuhan /terus mkenerus = 3

  III. Intensitas penyakit  

  gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1

  gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2

  gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3

            

Penilaian skor (Zulkarnain I., 2009): 3-4 : ringan

4.5-7.5 : sedang

 8-9 : berat

20

Page 21: Dermatitis Atopic

Gambar 8: Panel atas menunjukkan DA dengan intensitas eritem dan vesikel. Panel bawah menunjukkan DA kronik dengan likenifikasi dan scaling

didepan mata kaki (William H.C., 2005).

21

Page 22: Dermatitis Atopic

H. Diagnosis Banding

Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada

bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Diagnosis Banding lainnya:

Dermatitis Kontak Alergi

Dermatophytosis atau dermatophytids

Sindrom defisiensi imun

 Sindrom Wiskott-Aldrich

Sindrom Hyper-IgE

Penyakit Neoplastik

Langerhans’ cell histiocytosis

 Penyakit Hodgkin

Dermatitis Numularis

Dermatitis Seborrheic

Skabies

Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai

telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan

papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada

telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota

keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari

scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap

pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida.

Dermatitis seboroik infantil  

Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset

invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah

terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan.

Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis

atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik

akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.

22

Page 23: Dermatitis Atopic

Dermatitis kontak

Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada

kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena

sepatu (Judarwanto W., 2009).

I. Terapi

Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan

didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan

pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk

mengatasi kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di

SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk

menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,

mencari factor pencetus dan mengurangi kekambuhan.secara konvensional

pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

Menghindari bahan iritan

Mengeliminasi allergen yang telah terbukti

Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)

Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)

Kortikostreroid topikal

Pemberian antibiotik

Pemberian antihistamin

Mengurangi stress

Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.

(Kariossentono H., 2006).

a. Edukasi:

Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya

multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah

bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta

penting juga untuk mencari faktor pencetus serta menghindari atau

menghilangkannya (Sugito T.L., 2009).

23

Page 24: Dermatitis Atopic

a. 1. Mandi dan emolien

Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa

gatal, jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit melainkan

menepuk-nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang mengandung

antiseptik, karena dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi

sekunder.

Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur sangat

penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki integritas

sawar kulit. Bentuk salap dan krim memberi sawar lebih baik dari pada

lotion.

a. 2. Mengatasi gatal

Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah, anti

inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin

oral (Sugito T.L., 2009).

Kompres basah bermanfaat dalam menangani eksema yang berat,

sedangkan pembalut yang mengandung obat misalnya pasta zinc dn

iktamol atau zinc oksida dan ter batubara, yang dipakai diatas steroid

topical bermanfaat untuk mengobati eksema pada ekstremitas (Graham

B.R., 2005).

Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan

efek samping lokal (atrofi, striae, hipertrikosis, hipopigmentasi,

teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik (supresi aksis hipothalamus-

pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan, sindrom Chusing).

Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum, potensi

kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas lesi serta cara

pemakaian.

Prinsip penggunaan:

i. Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat

dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu lama

ii. Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas tinggi

(muka, interginosa, bayi).

24

Page 25: Dermatitis Atopic

iii. Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/

likenifikasi berat.

iv. Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (≤ 2

minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti

dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi nonsteroid untuk

terapi pemeliharaan

v. Inhibitor kalsineurin topikal

Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan

kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi

sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang lainnya

sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper, serta

meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap

takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3

tahun keatas)

b. Untuk DA yang refrakter

i. kortikosteroid sistemik,

Prednisolon lebih dianjurkan karena lebih cepat diekskresi oleh

tubuh.

ii. Fototerapi

Kombinasi UVA dan UVB atau bersama psoralen

(fotokemoterapi) dapat memperbaiki DA dan menyebabkan remisi

panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan dini dan keganasan

kulit pada pengobatan jangka panjang.

iii. Obat lainnya

Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat,

interferon gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin,

imunoterapi alergen dan probiotik) (Sugito T.L., 2009).

25

Page 26: Dermatitis Atopic

c. Pengobatan sistemik

i. Kortikosteroid

Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam jangka

pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling atau diturunkan

perlahan (tapering), segera ganti dengan kortikostreroid topikal).

ii. Antihistamin

Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat,

terutama malam hari, karena itu antihistamin yang dipakai

mempunyai efek sedatif misanyal hidroksisin atau difenhidramin.

iii. Anti infeksi

Untuk pengobatan koloni S.aureus yang belum resisten dapat

diberikan eritromisin, asitromisin, atau klaritromisin, sedangkan

untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin atau generasi

pertama sefalosporin.

iv. Interferon

IFN-γ diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan

proliferasi sel Th2. Pengobatan dengan IFN-γ rekombinan

menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah

eosinofil total dalam sirkulasi. (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

d. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi

Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres terbuka. Bila

dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan sedang. Pada lesi kronis

dan likenifikasi dapat diberikan salep kortikosteroid kuat

(Mansjoer A.,dkk., 2001).

Penderita DA yang disertai infeksi harus diberikan kombinasi

antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal

(Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009).

26

Page 27: Dermatitis Atopic

e. Probiotik dan DA

Untuk penggunaan probiotik,beberapa randomized controlled trials

dengan jumlah sampel kecil menunjukkan penurunan derajad keparahan DA

dan dapat mencegah DA sampai derajat tertentui dkk .menurut penelitian

Isaular CFU Lactobacillus GG yang diberikan selama 2-4 minggu sebelum

lahir sampai 6 bulan sesudah lahir menurunkan kejadian DA sampai 50%

pada bayi-bayi dengan risiko tinggi DA (Sugito T.L., 2009).

Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya

memerlukan pengembalian penderita pada kondisi “Th1-Th2” yang

seimbang. Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perubahan

paradigma pencegahan alergi dari paradigma penghindaran factor resiko

menjadi paradigma induksi aktif toleransi imunologik. Konsep probiotik

pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif respon imunologik

menuju keseimbangan “Th1-Th2”. Pada uji klinik, probiotik dibuktikan

dapat menurunkan gejala alergi yang berhubungan dengan dermatitis

atopik dan alergi makanan. Kelemahan uji klinik adalah

ketidakmampuannya dalam menghasilkan informasi mengenai mekanisme

dan hubungan sebab akibat. Ekstrapolasi dan sintesis atas fakta-fakta ilmiah

yang telah dihasilkan oleh uji klinik dan penelitian mekanisme probiotik

pada hewan coba menunjukkan bahwa probiotik dapat menurunkan reaksi

alergi melalui aktivasi TLR2 dan TLR4. Penelitian probiotik pada ibu hamil

menunjukkan bahwa efek dini probiotik pada sistem imun ibu bukanlah

pada supresi Th1 tetapi pada aktivasi Tregulator yang berfungsi menjaga

homeostasis Th1-Th2, sehingga kelangsungan kehamilan tidak terganggu

(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

J. Komplikasi

Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di

kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah

mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,

vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).

27

Page 28: Dermatitis Atopic

Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan

disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum

ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela,

baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi

akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada

daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi

penyebaran ke daerah kulit normal.

Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni

Staphylococcus aureus (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

K. Pencegahan

Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI yang

diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan

keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI

eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari

pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi

alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu

melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi

sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan

menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk

menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna dan faktor

imunomodulator. Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat ASI

eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita dermatitis atopik

(Budiastuti M., 2007).

L. Prognosis

Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih

buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan

spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja,

sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.

28

Page 29: Dermatitis Atopic

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu:

DA luas pada anak

Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial.

Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung

Awitan (onset) DA pada usia muda

Anak tunggal

Kadar IgE serum sangat tinggi.

29

Page 30: Dermatitis Atopic

BAB III

PENUTUP

Perkembangan dermatitis atopik merupakan hasil perpaduan antara faktor

genetik, lingkungan, imunologis, dan farmakologis. Karena semakin hari angka

kejadian dermatitis atopik ini semakin berkembang sejalan dengan kemajuan

teknologi, dan industri yang menghasilkan banyak polutan dan iritan, maka

langkah untuk mencegah dermatitis atopik ini sangat bermanfaat untuk mencegah

kenaikan prevalensi dan diharapkan dengan mengenali lebih dalam tentang

penyakit dermatitis atopik ini diharapkan pula dapat mengurangi angka kesakitan

yang terjadi baik pada masa infantil, anak-anak maupun dewasa.

30

Page 31: Dermatitis Atopic

BAB IV

DISKUSI

A. Macam-Macam uji alergi

Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal,

uji tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel).

Uji gores sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat.

1.  Uji kulit intradermal  Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml

semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga

timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang

menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing

dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm.

Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada

kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan

untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi

mungkin untuk mendeteksi  racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa

resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan tenaga medis

yang berkompeten melalui pelatihan spesialis.

2.  Uji tusuk  Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih

sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah

volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku

dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50%

gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk

dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau

dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang

digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk

uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit,

31

Page 32: Dermatitis Atopic

diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji

tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji

intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan

potensi yang lebih rendah. Kontrol Untuk kontrol positif digunakan 0,01%

histamin pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme

akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarut gliserin.

Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat

yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari

sebelum uji kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai

pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit

dilakukan. Obat golongan agonis β juga mempunyai pengaruh, akan tetapi

karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga

mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja

terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas

yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah

dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah 10

menit dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan

positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan

adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter terbesar

(D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan ukuran

(D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi dengan

pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur diameternya. Kertas

dapat disimpan untuk dokumentasi. Dengan teknik dan interpretasi yang

benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini mempunyai

spesifitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat, murah,

aman dan tidak menyakitkan. Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai

metode utama untuk diagnosis alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian

besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan

spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan

32

Page 33: Dermatitis Atopic

demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya

tergantung pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas. 

3. Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif

rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test adalah

perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat penting.

Pasien harus benar-benar dan tepat mengenai risiko dan manfaat.

Masing-masing pasien kontraindikasi dan tindakan pencegahan

harus diperhatikan. 

Uji gores kulit  harus dilakukan oleh yang terlatih dan

berpengalaman staf medis dan paramedis, di pusat-pusat dengan

fasilitas yang sesuai untuk mengobati reaksi alergi sistemik

(anafilaksis).

Praktisi medis yang bertanggung jawab harus memesan panel tes

untuk setiap pasien secara individual, dengan mempertimbangkan

karakteristik pasien, sejarah dan temuan pemeriksaan, dan alergi

eksposur termasuk faktor-faktor lokal.

Staf teknis perawat dapat melakukan pengujian langsung di bawah

pengawasan medis (dokter yang memerintahkan prosedur harus di

lokasi pelatihan yang memadai sangat penting untuk

mengoptimalkan hasil reproduktibilitas.

Kontrol positif dan negatif sangat penting. 

Praktisi medis yang bertanggung jawab harus mengamati reaksi dan

menginterpretasikan hasil tes dalam terang sejarah pasien dan tanda-

tanda.

33

Page 34: Dermatitis Atopic

Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas

dan bentuk yang dapat dipahami oleh praktisi lain.

Konseling dan informasi harus diberikan kepada pasien secara

individual, berdasarkan hasil tes dan karakteristik pasien dan

lingkungan setempat.

4. Patch Tes (Tes Tempel).

Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada

penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil

tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia

tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.

Syarat tes ini :

1. Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang

berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh

bergesekan.

2. 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung

steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat

oles, krim atau salep.

5. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).

Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes

ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah

tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat

diketahui setelah 4 jam.

34

Page 35: Dermatitis Atopic

Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi

oleh obat-obatan.

6. Skin Test (Tes kulit).

Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang

disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan

obat yang akan di tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca

setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.

7. Tes Provokasi.

Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,

makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi

untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan

untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan

sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko

tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes

provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE

spesifik metode RAST.

Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind

Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan

dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval

15 – 30 menit.

Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes

terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya

untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.

Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.

Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes

harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.

B. Indikasi Penggunaan Antibiotik pada Dermatitis Atopik.

AB sistemik dg tujuan :

Mencegah eksaserbasi akut krn infeksi di tempat lain

35

Page 36: Dermatitis Atopic

Dengan indikasi : superinfeksi bakteri, Antibiotik sistemik

Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA

yang luas dengan infeksi sekunder.

Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin,

kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada

krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus

yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare

akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau

sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila

alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan

perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin

akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin

resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan uji

kepekaan terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap

penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan

tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi dengan

ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA

pada anak.

C. Penegakan diagnosis Dermatitis Atopi dari:

i. Anamnesa:

Onset terjadinya Predileksi UKK Faktor pencetus Riwayat alergi anggota keluarga

ii. Klinis:

Kulit kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis berkurang dan

kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung tipe

astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata,sering merasa cemas, egois,

frustasi, agresif, atau merasa tertekan

36

Page 37: Dermatitis Atopic

Gejala Utama Dermatitis Atopik :

Rasa Gatal sehingga istilah “ gatal – garuk – gatal “, sampai

mengganggu aktivitas sehari-hari dan pola tidur penderita.

Pada bayi ditandai oleh kelainan kulit berupa eritema, papul, vesikel,

dan krusta yang terasa sangat gatal. Lesi biasanya basah dan

simetris.

Kelainan dimulai pada kedua Pipi, dahi atau kulit kepala berambut

dan dapat meluas ke tubuh dan Ekstremitas.

Pada Anak ditandai oleh Papul, Skuama, dan Likenifikasi yang

terasa sangat gatal. Lesi Biasanya kering, terdapat pada lipat siku,

lipat lutut, pergelangan tangan dan pergelangan kaki

iii. Penunjang:

Tes uji Alergi

37

Page 38: Dermatitis Atopic

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni

Staphylococcus Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin

Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. Departemen / SMF

Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya.

William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.

Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;

www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.

Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk

of atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran,

Volume 39, No. 4, Hal. 192-198.

Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam

Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).

Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51

Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11.

460-65.

Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.

Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L.,

Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai

Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51.

Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.

Dermatitis Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II.

Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal.

Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik.

dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S.,

(Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.

38

Page 39: Dermatitis Atopic

Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja

S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis

Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55

Endaryanto E., & Harsono A., 2010. Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi

melalui induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi Imunologi

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr. Soetomo

Surabaya.

Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan

UNS Press. Surakarta. Hal.8-12.

Graham B.R., 2005. Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.Hal.73-74.

Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am

Acad Dermatol. 53(1): 115-28.

Bhakta I.M.,2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S.,

Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal: 632-35

39