kritik konsep teologi humanisme hasan hanafi
TRANSCRIPT
Kritik Konsep Teologi Humanisme Hasan Hanafi
Jumat, 15 April 2011 09:08 Artikel Oleh : Jarman Arroisi (Peserta PKU Gontor Angakatan IV)
A. Pendahuluan
Secara umum humanisme merupakan suatu paham yang memandang bahwa, manusia
adalah standar segalanya. Paham ini meniscayakan penghapusan agama[1] bahkan Tuhan[2]
sekalipun. Agama[3] bagi humanis diyakini sebagai sekat yang menutup kesadaran manusia[4].
Maka untuk memperoleh kesadaran penuh diperlukan kebaranian menghapuskan agama,
sehingga manusia tidak perlu lagi beragama.
Paham tentang kemanusiaan ini, sejatinya telah mendapatkan perlawanan keras dari
pihak gereja Katolik[5]. Namun derasnya hembusan arus pemikiran liberal, telah berhasil
mempengaruhi pola pkir dan prilaku masyarakat Barat menjadi lebih tersekulerkan. Yang lebih
mencengangkan lagi, adalah umat Islam yang telah memiliki (worldview Islam) pandangan
hidup benar, pun tak luput dari pengaruh dan kontaminasi pemikiran yang liberal itu. Tidak
sedikit ilmuan Muslim yang terpesona, bahkan secara terang-terangan menyebarkan paham
tersebut dibumikan. Hasan Hanafi, adalah salah satu di antara ilmuan Muslim yang
menyuarakan humanisme. Bahkan untuk program pembaharuanya ia menggeser teologi
teosentris ke teologi antroposentris. Padahal sesungguhnya teologi antroposentris yang
disebarkan itu bermasalah. Bagaimana sejatinya konsep teologi humanisme Hasan Hanafi ?
Makalah ini ingin mengkritisi konsep teologi tersebut sehingga akan tampak sisi kelebihan dan
kekurangannya.
B. Genealogi Pemikiran Hasan Hanafi
Untuk mengetahui pemikiran Hasan Hanafi tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kondisi
social yang mengintarinya. Sebuah pemikiran yang lahir dari nalar seseorang biasanya
dipengaruh oleh lingkungannya termasuk pendidikan. Menurut Jean Peaget[6] bahwa,
lingkungan social pendidikan dapat membatu memacu atau menghambat perkembangan struktur
kognitif manusia.[7] Teori ini diperkuat dengan teori yang menyatakan, bahwa pandangan hidup
dan pola fikir seseorang dapat lahir dan berkembang dari akumulasi ilmu pengetahuan yang
diperoleh melalui proses pendidikan. Sebaliknya bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan
yang diajarkan juga ditentukan oleh karakter pandangan hidup suatu bangsa atau peradaban.
Pandangan hidup yang memiliki elemen kepercayaan terhadap Tuhan, misalnya, sudah tentu
akan menerima pengetahuan non-empiris. Sebaliknya pandangan hidup yang mengingkari
eksistensi Tuhan akan menafikan pengetahuan non-empiris dan pengetahuan lainnya. Demikian
pula pandangan hidup ateis akan menganggap sumber pengetahuan moralitasnya hanyalah
sebatas subyektifitas manusia dan bukan dari Tuhan [8]
Teori diatas menjadi lebih kuat apabila dilengkapi dengan ungkapan yang menyatakan,
bahwa karakter intelegensia yang melandasi pemikiran seseorang merupakan hasil relasi social
yang melingkupi.[9] Premis ini sekaligus menjadi bukti pernyataan Muhammad Kamal
Hasan[10], yang menyatakan, bahwa setelah Hasan Hanafi dan kawan-kawanya belajar ditempat
pusatnya para orientalis Prancis, dia terpengaruh pemikiran para orientalis itu.[11] Diantara
pemikiran Barat yang turut membakar semangat kritis dan mempengaruhinya adalah Rene
Descartes (1596-1650),. Seperti yang akan diterangkan nanti, dia tidak segan-segan bahkan
dengan bangga menjadikan pemikiran Descartes sebagai pijakan dasar pemikiran
humanismenya[12].
Maka sebelum mengetahui pokok-pokok pemikiranya, akan lebih tepat jika terlebih
dahulu dijelaskan setting social dimana Hasan Hanafi dibesarkan. Pendekatan sosiologis ini
sangat penting untuk membantu mempermuah memahami pemikiranya. Hasan Hanafi tumbuh
dan dibesarkan pada saat perang Palestina pada tahun 1948. Pada saat itulah kesadaran sosial
Hasan Hanafi sebagai anak muda mulai tumbuh. Hasan Hanafi mulai bergabung dan masuk
menjadi sukarelawan dalam organisasi al-Subban al-Muslimin (Organisasi Pemuda Muslimin),
setelah dia masuk, pemerintah meminta organisasinya mengubah menjadi sebuah partai lain
Mesr al-Fatat (Mesir Muda). Saat itu Hasan Hanafi merasa kagum terhadap kelompok sectarian
dalam menangani persoalan nasional. Pada masa 1950-an merupakan masa-masa bangkitnya
kesadaran social keagamaan Hasan Hanafi. Pada masa inilah dia mulai mengenal pemikiran dan
wacana Islam yang berkembang dilingkungan gerakan Islam (harakah).[13] Pada tahun 1956
Hasan Hanafi mendapat gelar kesarjanaan filsafat dari Universitas Kairo. Dan menempuh
program doctor di Sorbonne University dengan desertasi yang berjudul Essai sur la mothode
d’exegese dan diselesaikan pada tahun 1966. Selama kurang lebih sepuluh tahun dia berada di
Prancis. Dalam kurun waktu tersebut tradisi, pemikiran, dan keilmuan Barat dikuasainya.
Ketika Mesir kalah melawan Israel pada tahun 1967, Hasan Hanafi yang semula menjadi
peneliti teoritis, akademis berubah menjadi peneliti social, pergeseran dari kesadaran individual
yang dominan dalam tesis pertama ke kesadaran social dalam rangka menjawab kekalahan itu,
sebagai seorang pemikir, peneliti dan cendekiawan. Hasilnya adalah diterbitkannya buku
Qadhaya al-Mu’asyirah 1 dalam pemikiran Muslim Kontemporer dan Barat modern, selama tiga
tahun.[14] Setelah menulis buku tersebut dia, kemudian pergi meninggalkan Mesir menuju
Amerika pada tahun 1971-1975[15]. Pada saat itulah dia, mulai mengumpulkan materi bukunya
Min al-Aqidah ila al-Tsaurah lalu menulis al-Tsaurah wa al-Tajdid pada tahun 1976.
Kondisi sosial politik di Mesir pun terus berubah seiring dengan berkembangnya
pemikiran yang ada. Dan perkembangan itu juga yang telah mengantarkanya bersikap kritis.
Sikapnya yang kritis, berani dan lugas terhadap tradisi lama yang telah mapan membuat dirinnya
menjadi sasaran kemarahan kelompok ummat Islam dari kalangan Al-Azhar Kairo. Pada tahun
1997 Front Ulama al-Azhar (Jabhah Ulama al-Azhar) menyerangnya, karena menganggap
bahwa dia telah menyimpang dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad.
Kelompok ini juga menuntut Universitas Kairo, tempat dia mengajar untuk memecatnya.[16]
Ancaman-ancaman ini sempat menimbulkan kekhawatiran akan keselamatannya, apalagi Farag
Fauda, cendekiawan liberal Mesir, tewas terbunuh pada tahun ‘1992’ setelah mendapat ancaman-
ancaman serupa. Tetapi sebagaimana diketahui, dia akhirnya masih selamat dari ancaman
tersebut, khususnya karena justru mendapat perlindungan dari pemerintah Mesir.
C. Teologi Islam
Teologi dalam Islam atau teologi Islam, yang biasa juga disebut ushuluddin, aqidah atau
tauhid, merupakan penegasan bahwa Tuhan itu satu, menciptakan manusia dalam bentuk yang
paling sempurna dangan tujuan menyembah dan mengabdi kepada-Nya.[17] Tujuan penciptaan
manusia mencakup tugas manusia sebagai wakil Tuhan di bumi.[18] Tugas tersebut meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia, seperti masalah keluarga, tata ekonomi, tata sosial,
pengembangan pengetahuan dan lain sebaginya.
Dalam hubungan keluarga mislanya tauhid merupakan pegangan hidup. Keluarga
merupakan bagian dari unit ummah universal. Ia berada ditengah-tengah antara unit kecil
individu pada satu sisi dan unit ummah universal pada sisi lain. Tata hubungan unit keluarga
telah ditekankan oleh Al-Qur’an “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah bahwa Dia
menciptakan untukmu jodoh-jodoh dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya;dan dijadikan-Nya di antara rasa cinta dan kasih sayang”.[19] Islam tidak
mengutuk seks; ia mengangapnya suci, penting dan baik, bahkan menganjurkan manusia laki-
laki dan perempuan agar memenuhi kebutuhan seksual.[20] Akan tetapi, Islam tidak mengangap
seks sebagai satu-satunya tujuan perkawinan semata-mata, melainkan sebagai sarana mengabdi
kepada-Nya. Maka keluarga mutlak perlu, bagi pemenuhan tujuan Illahi. Dan tidak ada tauhid
tanpa pemenuhan seperti itu.[21] Berpegang pada tauhid berarti menghayati perintah-perintah-
Nya sebagai kewajiban dan pada giliranya berusaha untuk merealisasikan materi-materi yang
berwujud nyata dan mengaktualisasikan nilai-nila yang tersirat dalam perintah-perintah tersebut.
Itulah tauhid sebagai pijakan untuk mengelola keluarga.
Selanjutnya dalam masalah ekonomi. Tata ekonomi menjadi perhatian yang tak
terpisahkan dari tauhid. Dalam bukunya Tauhid, Al-Faruqi mengatakan “tindakan ekonomi
merupakan ungkapan spritualitas Islam”.[22] Oleh karena itu ekonomi ummah, kesehatan dan
lain sebagainya merupakan esensi Islam.[23] Jiwa yang adil tidak akan ada tanpa adanya
tindakan ekonomi yang adil. Pandangan Islam yang seperti ini, adalah yang membedakan dari
semua agama yang ada. Islam sangat memperhatikan bagaimana seorang itu berdagang,
berladang, bertanam, melarang riba, mengeluarkan zakat dan lain sebagainya.
Tauhid juga memperhatikan dimensi social. Keyakinan terhadap keEsaan Tuhan[24] bagi
seorang mukmin berimplikasi pada tindakan social. Untuk tujuan-tujuan alamiyah manusia,
Islam membangun sebuah teori tata social. Jika tujuan alamiyah manusia merupakan
keniscayaan, maka tata social perlu adanya. Tata social, dalam Islam dimaksudkan sebagai
sarana untuk memperoleh kesejahteraan, ummah atau kedamaian.[25] Islam sangat
memperhatikan terhadap aspek-aspek pribadi dan ritus-ritus social. Beberapa ritus seprti zakat,
infaq, shadaqah dan haji jelas sekali memiliki sifat dan efek social yang tinggi. Sebaliknya jika
seorang muslim yang telah melaksanakan perintah shalat dan haji tetapi tidak memberi manfaat
social, maka tindakan tersebut tidaklah sempurna. Tata social adalah inti tauhid, dan lebih
penting dibanding tata pribadi. Sesungguhnya Islam telah memandang bahwa tata pribadi
merupakan prasyarat bagi tata social, dan dianggap sebagai tindakan yang menyimpang jika ada
seorang muslim yang hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa peduli dengan masyarakatnya.
Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa seorang yang tidak memiliki kepedulian social
akan terlihat keimananya. Orang mukmin yang sempurna dipastikan memilki nilai social yang
tinggi, mereka tidak merasa keberatan melaksanakan shalat, haji, membayar zakat, mengeluarkan
infaq dan shadaqah. Hal yang demikian terjadi karena mereka menyadari bahwa kepedulian
terhadap masalah-masalah social merupakan perintah Tuhan.
Hal yang demikian juga berlaku bagi pengetahuan. Dalam pandangan Islam, tauhid
merupakan prinsip pengetahuan. Tauhid adalah pengakuan bahwa Allah adalah haq (kebenaran),
itu ada, dan bahwa Dia itu Esa. Pengakuan seperti ini berimplikasi pada keyakinan bahwa semua
keraguan bisa disampaikan kepada-Nya, dan bahwa tidak ada pernyataan yang tidak boleh diuji,
yang tidak boleh dinilai secara pasti.[26] Tauhid adalah pengakuan bahwa kebenaran dapat
diketahui dan manusia mampu mancapainya. Itulah tauhid sebagai prinsip pengetahuan.
Memperoleh pengetahuan dengan cara yang benar[27] adalah salah satu tugas manusia sebagai
khalifah dimuka bumi.
Tauhid mendorong manusia untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai khalifah Tuhan
dimuka bumi sebagai sarana mengabdi kepada-Nya.[28] Penegasan tentang tugas-tugas inilah
yang diajarkan Islam kepada seluruh ummat manusia melalui Nabi Allah Muhammad SAW dan
yang diteruskan oleh Khulafa al-Rashidin, kemudian Tabiin dan yang dirumuskan kaidah-kaidah
teologinya oleh Abu Hasan Asy’ari dan tabiin lain baik sebelum mapun sesudahnya. Teologi
Asy’ari, mengakui sifat-sifat wujud qidam, baqa’ dan wahdaniyah yang sesuai zat-Nya sendiri.
Pengakuan tersebut, berimplikasi pada aktivitas manusia yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Artinya, teologi Asy’ari sangat menekankan kepada semua orang yang beriman
untuk melakukan seluruh aktivitas positif yang dianjurkan agama. Sebagaimana disebutkan
dalam Al-qur’an “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Tuhan) sebagian dari
hasil ushamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk
kamu”. (Q.S, 2:267). Teologi Asy’ari memperhatikan hubungan antara kaya dan miskin, untuk
saling membantu, dengan cara yang kaya mengeluarkan zakat dan sedekahnya untuk diberikan
kepada yang tidak mampu. Teologi Asy’ari juga memperhatikan, akhlaq, budaya, sejarah,
estetika, dinamika internal ummah dan masih cukup banyak masalah-masalah yang dapat
dijelaskan untuk membuktikan bahwa tauhid memperhatikan seluruh aspek kehidupan.[29]
Dengan bahasa yang berbeda sejatinya teologi Asy’ari itu teosentris, yang memiliki sifat
antroposentris.
D. Kritik Hasan Hanafi Terhadap Teologi Islam
Teologi Islam merupakan teologi yang berpusat pada Tuhan (tauhid). Tuhan sentral
segala kehidupan manusia. Hanya kepada Tuhanlah manusia mengabdi dan memohon. Tauhid
seperti yang diajarakan Nabi Allah Muhammad SAW, yang diteruskan oleh Khulafa al-Rashidin,
Tabiin dan yang dirumuskan kaidah-kaidahnya oleh Abu Hasan Asy’ari seperti telah dijelaskan
di atas, menekankan agar dijadikan landasan seluruh aktivitas manusia. Hanya tauhid yang dapat
menghantarkan manusia memperoleh kebahagian hidup dunia dan akherat.[30] Meskipun
demikian, teologi yang diikuti oleh sebagian besar ummat Islam ini, dikritik Hasan Hanafi.
Teologi menurutnya hanya berisi puji-pujian terhadap Tuhan.[31] Demikianlah dia mengkritik
Asy’ari dalam muqadimah al-Turas wa al-Tajdid.
Apa yang dikritik Hasan Hanafi terhadap teologi, yang menurutnya hanya penuh dengan
puji-pujian sebenaranya tidak tepat. Penyebutan sifat-sifat Allah itu sejatinya lebih merupakan
manifestasi keimanan yang berimplikasi pada tindakan-tidakan manusia sebagai khalifah dimuka
bumi yang mencakup seluruh aspek.
Selanjutnya dia, juga mengkritik bahwa teologi itu bermasalah. Karena kalam atau sabda
Tuhan -qadim atau jadid- hanya menimbulkan pertentangan dan bahkan sampai pada
pembunuhan diantara kaum muslimin. Maka pada era sekarang ini menurutnya lebih tepat untuk
menjadikan kalam, objek kajian bagi ilmu-ilmu kamanusiaan modern. Mislanya dengan bantuan
ilmu psikologi, bisa meneliti dasar-dasar psikologis yang melandasi tegaknya ilmu kalam, baik
dalam formulasi pemahaman maupun pengaruhnya di dalam membentuk prilaku individu dan
masyarakat.[32] Dalam kaitan ini dia menawarkan metode Schleimacher, yang menjadikan
psikologi sebagai upaya interpretasi dan menangkap kemauan seseorang.[33] Yang bisa
digunakan untuk memotret kehendak masyarakat. Sehingga orientasi ilmu kalam yang
dikehendakinya, adalah ilmu yang bisa digunakan sebagai terapan aktivitas harian.
Hasan Hanafi melihat ilmu kalam yang dibangun Asy’ari hanya dari satu sisi negativenya
saja (perselisihan yang menyebabkan pembunuhan), -yang sebenarnya muncul sebagai dampak-
tampa melihat sisi positif lainnya. Padahal sejatinya apabila dilihat dari sisi perselisihannya itu
sendiri dengan sudut pandang keimanan, maka sebenarnya perselisihan itu merupakan rahmat
ikhtilafu ummati rahmat. Selain dari pada itu, juga tidak benar kalau kalam diklaim selalu terus
negatife, padahal sejatinya ilmu kalam sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun, berfungsi sebagai
pijakan dasar keimanan (ruh) yang rasional dalam rangka mengkounter setiap bentuk
penyimpangan keimanan yang sesuai dengan madhab salaf dan ahli sunah.[34]
Selain dari pada itu dia juga mengkritik teologi yang hanya membahas dasar-dasar
agama. Ushuluddin yang dibangun oleh orang-orang terdahulu menurutnya hanya merupakan
dasar-dasar pemikiran yang diperoleh melalui metode pembentukan aqidah secara rasional.
Menggunakan intuisi, rasio, daya tangkap dan kemampuan berargumentasi, penyimpulan dan
penelitian, pengetahuan rasional dan pengetahuan empiris. Oleh karena itu ushuluddin
menurutnya dapat dibandingkan dengan usulul fiqh. Karena keduanya sama-sama memiliki
terminologi yang sama yaitu al-ashlu, yang menurut bahasa modern adalah al-ta’shil, yaitu
pembahasan mengenai dasar-dasar teoritis yang di atasnya berdiri tegak ilmu.[35]
Hubungan antara keduanya, merupakan hubungan dasar-dasar teoritis dan dasar-dasar
praksis. Dasar teoritis merupakan kajian pokok ushusluddin dan dasar praksis merupakan pokok
kajian usulul fiqh. Tujuan ushuluddin mengarahkan aktivitas praksis, sementara tujuan usulul
fiqh manjadi timbangan dari aktivitas praksis tersebut. Dengan demikian menurutnya ushuluddin
merupakan teoritisasi dari prilaku praksis atau dapat juga disebut sebagai ilmu praksis. Jika
menjadikan ushuluddin sebagai teoritisasi, bukan landasan prilaku praksis, maka sejatinya
bukanlah istimbat yang akurat.[36] Pemisahan ushuluddin dan usulul fiqh, seperti yang
dilakukan orang-orang terdahulu, menurutnya memiliki persoalan. Bagaimana ilmu-ilmu praksis
lahir dari ilmu-ilimu ushul yang bersifat teoritis ? Seakan-akan ushuluddin merupakan ilmu
yang mandiri, bukan pendorong prilaku. Dan inilah sebabnya mengapa orang-orang terdahulu
membedakan antara aqidah dan tauhid: dan aktivitas-praksis dengan nama fiqh. Dengan
demikian, jika menjadikan usuluddin hanya sekedar persoalan keimanan yang terpisah dari
berbagai aktivitas-praksis, tanpa sedikitpun memiliki dasar-dasar pemikiran, sebagaimana
amaliah praksis menjadi sekedar persoalan ritual semata-mata, maka ushuludidin tidak membumi
dan tidak menyentuh realitas kehidupan.[37] Akibatnya tidak ada yang mengurusi kepentingan
umat manusia ini hampa, serta tidak berisi suatu apa pun.[38] Karena keduanya mengisolasikan
dalam kawasan keimanan semata-mata, serta menutupnya rapat-rapat, maka kedua ilmu ini tidak
membumi. Oleh karena itu, menurutnya ushuluddin sekarang ini harus menjadi pendorong
prilaku, dan tujuan akhir dari segala aktivitas. [39]
Jika Hasan Hanafi mengkritik teologi, -yang menurutnya- tidak membumi, hanya
memuji-muji sifat-sifat Tuhan, selalu terkait dengan masalah-masalah ketuhanan dan keimanan.
Kemudian berharap hadirnya teologi yang membumi yang tidak berhubungan dengan Tuhan,
maka sejatinya dia telah salah dalam memahami teologi itu sendiri. Padahal teologi Islam seperti
telah dijelaskan di atas, sudah sangat komprehensip, mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia.
E. Konsep Teologi Antroposentris Hasan Hanafi
Konsep teologi antroposentris Hasan Hanafi adalah teologi yang berpusat pada manusia.
Menusia merupakan sentral segala kehidupan. Untuk menghadapi realitas kontemporer manusia
harus mampu menjadi poros utama. Konsep teologi antroposentris ini dijelaskannya melalui tiga
premis teoritis; pertama tentang ilmu sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana aku
mengetahui ? kedua, tentang eksistensi sebagai jawaban atas pertanyaan apa yang aku ketahui ?
ketiga, tentang aksiologi (teori nilai) sebagai jawaban atas pertanyaan apa yang aku pikirkan ?
Yang pertama, bagaimana proses epistimologi (pengetahuan) itu diperoleh. Untuk
mendapatkan pengetahuan Hasan Hanafi memulainya dengan menolak terhadap keberadaan
ketidakadilan (jahl), kebimbangan (wahm), dugaan (zhan), asketik (syak), inspirasi (ilham), dan
taklid. Setelah menolak similaritas kognisi-pengetahuan dan antagoni-antagoninya dia berusaha
membangun paradigm-paradigma kognisi, yaitu; sensi (hiss), rasio dan mutawatir. Dengan
demikian berarti epistimologi berangkat dari kognisi-historis. Gambaran epistimologi tersebut
merupakan kognisi umum manusia yang banyak diambil sebagai sumber ketetapan, seperti yang
diterapkanya dalam tradisi-tradisi, hikmah-hikmah dan perumpamaan-perumpamaan yang
kemudian direlasikan kepada manusia. Pada hakekatnya epistimologi merupakan konstruksi teori
kognisi kemanusiaan, yaitu kognisi sensual (hawa nafsu), rasional dan historis. Konsekuensinya
ada kemungkinan mentransformasikan wahyu menuju epistimologi dan memasukkanya kedalam
muatan evolusi kognisi humanistic.[40] Dari uraian di atas dapat ditangkap sebuah pesan, bahwa
epistimologi itu berasal dari pengetahuan umum manusia yang bisa dijadikan sebagai sumber
ketetapan.
Kedua, apa yang aku ketahui. Tentang ontology Hasan Hanafi menjelaskanya melalui
cara asasi, didasarkan pada pemikiran tentang yang diketahui (al-ma’lum), yaitu eksistensi
eksternal untuk analogi terhadap benda yang lain. Eksistnesi mempunyai makna dan setiap benda
mempunyai implikasi tekstual (dalalah). Eksistensi merupakan sesuatu yang baru atau mungkin
yang memiliki kontekstual(maknawy).[41] Premis kedua tentang ontology ini mengisyaratkan
untuk mengetahui kandungan makna hukum-hukum alam agar manusia menjalankan
kemanfaatanya. Menurut dia bahwa adanya alam adalah untuk manusia.
Ketiga, adalah mengenai masalah apa yang aku pikirkan. Dalam kaitan aksiologi (teori
nilai) Hasan Hanafi memberikan gambaran tentang kebenaran, kebaikan dan keindahan. Oleh
karena nilai-nilai itu adalah kemanusiaan murni, maka ia mengekpresikan tuntutan manusia
sebagai jawaban atas pertanyaan: apa yang aku pikirkan ? Yang dipikirkan adalah kebanaran,
karena ia tuntutan kemanusiaan, kebaikan karena ia kecendrungan kemanusiaan dan keindahan
karena ia perasaan kemanusiaan.[42] Karena nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan
tersebut, asli kemanusiaan, maka objek tauhid menurutnya adalah merupakan objek-objek
kemanusiaan yang dipandang sebagai ekpresi dari ketiga nilai tersebut dalam bentuk khusus.
Tampak dalam menjelaskan aksiologi ini Hasan Hanafi hendak memposisikan manusia sebagai
standar ukuran.[43] Demikian dia memberikan gambaran awal bangunan teologinya.
Untuk memperkokoh bangunan teologinya dia menggunakan dua pilar utama, masing-
masing pilar terdiri dari beberapa aspek. Pilar pertama meliputi; keharusan merumuskan
ideologi yang memiliki identitas yang jelas di tengah-tengah pergumulan ideologi-ideologi
kontemporer yang berpijak di atas realitas. Kecuali itu, diperlukan analisa psikologi masyarakat
sehingga dapat mengenal factor-faktor yang bisa mendorong prilaku mereka. Kedua pandangan
ini berujung pada keharusan merumuskan kembali formulasi ushuluddin dan cabang-cabangnya
seperti misalnya: ilmu illahiyah revolusi, ilmu illahhiyah pembebasan, ilmu illahiyah
pembangunan, ilmu illahiyah perubahan social, ilmu illahiyah perlawanan, ilmu illahiyah
persatuan, ilmu illahiyah sejarah dan seterusnya.[44] Semua merupakan formulasi baru risalah
tauhid.[45] Selain dari pada itu, juga diperlukan formulasi baru tentang ilmu ushuluddin yang
tidak memfokuskan persoalan teoritis semata-mata, melainkan lebih memfokuskan kepada
persoalan praktis, seperti gerakan sejarah setelah proses penyadaran masyarakat.[46] Konsep
teologi antroposentris Hasan Hanafi, sebenaranya bukanlah murni dari pemikiranya, malainkan
mengadopsi -untuk tidak mengatakan terpangaruh- dari pemikiran Rene Descartes (1596-1650)
asal Prancis. Dengan memilih filsafat rasional, Descartes telah mengalihkan kebudayaan Barat
dari teosentris (berkisar sekitar Tuhan) menjadi antroposentris (berkisar sekitar manusia).[47]
Dengan cara menggeser teologi teosentris ke antroposentris seperti itu, dia berharap kesadaran
manusia tumbuh maksimal.
Selanjutnya untuk mensukseskan konsep teologinya dia berharap agar umat Islam mampu
melakukakan terobosan besar yang bersifat progresif. Dalam rangka membangun dan
mempertahankan eksistensi teologinya, dia dalam salah satu bukunya (dirasah al-Islamiyah yang
sudah diterjemahkan menjadi Islamolgi 3), tidak segan-segan untuk menggeser pusat peradaban
dari Tuhan menjadi pusat peradaban kepada manusia. Dalam hal ini dia menyatakan:
“Cita-cita kita adalah menguak tirai-tirai ini, melenyapkan bungkus-bungkus, dan mencabut tutup tersebut untuk melihat manusia. Maka penting bagi kita untuk menggeser peradaban dari bingkai ketuhanan klasik ke bingkai neo-humanisme. Peradaban kita yang teosentris, dimana manusia terpasung di dalam bungkus-bungkus, harus diganti menjadi peradaban antroposentris, dimana manusia keluar dari (pasungan) bungkus-bungkus. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut tidaklah mudah karena kita mencari transferensi revolusi peradaban dari Tuhan ke manusia dan mentransformasikan pusat peradaban dari Teosentris ke Antroposentris. Dengan kerangka ini kita akan memutus krisis manusia pada masa kita sekarang, yaitu ketiadaan atau ketidakjelasan manusia dari pemikiran nasional kita”[48].
Jadi dengan pernyataan di atas, teologi Islam dipahaminya terlalu teosentris dan tidak antroposentris yang berujung pada krisis manusia. Oleh karenanya perlu menghilangkan teologi Islam yang dianggap sebagai sebab krisis dan menggantikanya dengan teologi antroposentris yang responsif terhadap realitas kontempoer. Melihat sikap berani Hasan Hanafi seperti itu, Muhammad Imarah sebagai kolega, yang pernah searah dengan pemikirannya, menyatakan :
“Konsep itu merupakan upaya untuk menghumanisasikan agama dan mengosongkan agama dari muatanya. Upaya tersebut dilakukan dengan cara menghapus konsep-konsep agama yang bernilai mutlak, konstan, dan sacral, mulai dari “Tuhan”, hingga seluruh yang ”gaib” (metafisik). Setelah dihapus, konsep-konsep mutlak itu diganti dengan makna dan pemahaman yang bersifat humanis dan kebumian”[49]
Menurut Imarah, apa yang ditempuh Hasan Hanafi, untuk memanusiakan agama melalui
bukunya at-Turast wat-Tajidid, tidak berbeda dengan pembaharuan Barat yang sekularistik.
Itulah yang hendak dilakukannya terhadap teologi Islam, sebagaimana yang pernah terjadi pada
kaum modernis dalam menerapkan agama Nasrani Barat.
Pilar kedua, dimaksudkan sebagai langkah menyempurnakan bangunan teologinya,
pendukung ini terdiri dari beberapa aspek seperti; kebebasan, keadilan dan toleransi.
1. Konsep Kebebasan
Kebebasan dalam konsep teologi antroposentris Hasan Hanafi merupakan salah satu jiwa
yang dapat mensukseskannya. Bebas dimaksud adalah bebas tidak terikat dengan atribut-atribut
keimanan. Pada saat itulah manusia akan bebas menghadirkan keinginannya. Manusia selama
ini terpasung oleh hal-hal yang bersifat atribut ketuhanan sehingga tak berdaya untuk menjadikan
dirinya sebagai manusia yang ada.[50] Kebebasan menurutnya, merupakan kebutuhan mendasar
manusia, oleh karena itu kegiatan kemanusiaan dapat terbagi dalam dua hal: pertama, kebebasan
akal dan kedua, kerja keras. Semua kegiatan manusia akan berjalan apabila kebebasan telah
ditetapkan sebagai ketetapan cara berpikir dan bekerja. Tanpa adanya kebebasan maka
keberhasilan sulit untuk diraih.[51]
Ketika di tanya mengenai apa yang diperlukan agar umat Islam bisa mencapai
kemerdekaan dalam bidang politik dan ekonomi, Hasan Hanafi menyatakan:
“Untuk bisa mencapai kemerdekaan di kedua bidang tersebut, yang harus dilakukan, pertama adalah memberikan kebebasan dalam negeri bagi rakyat di negara-negara Islam. Suatu negara yang mampu menerapkan kebebasan dalam negerinya, negara itu akan bergantung kepada kekuatan rakyatnya dan bukan kepada kekuatan negara asing. Kedua, perlunya dibentuk pasar bersama negara-negara Islam. Saling membeli dan menjual barang-barang kebutuhan bagi negara Islam. Indonesia menjual kayu, tetkstil, dan barang lainnya ke negara Timur Tengah, sebaliknya Indonesia membeli apa yang diproduksi negara-negara Timteng. Begitulah mestinya ada saling membeli dan menjual sesama negara Islam. Daripada kita membeli kapas, buah-buahan dan barang-barang yang lain dari Amerika dan beberapa Negara Barat lainya”[52]
Dari peryataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan menurut Hasan
Hanafi merupakan jiwa teologinya. Tidak ada keusksesan tampa kebebasan. Karena manusia
pada dasarnya memiliki dua tugas utama, yaitu bebas berkehendak dan bebas berpikir dan
berpendapat. Melalui keduanya manusia akan mendapatkan kesempurnaan, dan kebahagiaan.
Sebagaimana para pemikir Barat mengatakan, bahwa kebangkitan Eropa itu bermula dari dua
pandangan di atas. Mereka tidak pernah bangkit untuk berbuat kecuali menggunakan akal
sebagai pijakan dasar berbuat. Itulah masa depan manusia. Masa depan manusia ditentukan oleh
kemampuan akal, dan dengan akal pula para kelompok-kelompok yang sukses itu bisa menang.
[53]
Dari uraian di atas, diasumsikan bahwa manusia yang masih berhubungan dengan Tuhan,
tidak akan menemukan dirinya sebagai manusia yang ada. Sehingga untuk menjadikan dirinya
ada, menurut Hasan Hanafi, harus melepaskan diri dengan Tuhan, tidak perlu berhubungan
dengan-Nya. Senada dengan pandanganya, J.P Sartre dalam ‘Exientalisme as an Humanisme’,
mengatakan bahwa manusia pada prinsipnya memiliki kebebasan. Kebebasan tersebut bisa
mengantarkan manusia pada kesimpulan, bahwa sejatinya kebaikan dan kebenaran mutlak itu
tidak ada, demikian halnya dengan keadilan mutlak itu juga tidak ada. Pada saat itulah manusia
telah meraih kebebasan penuh, maka Tuhan ketika itu telah tiada. Karena menurutnya kebebasan
manusia bisa terjadi manakala Tuhan telah mati. [54] Dengan demikian putuslah hubungan
antara manusia dengan Tuhan.
2. Konsep Keadilan
Keadilan merupakan jiwa kedua dalam teologi antroposentris Hasan Hanafi. Keadilan,
yang dimaksud adalah sama rata dalam pendistribusian kekayaan negara. Sehingga tidak ada
yang meninggal dalam keadaan kekenyangan dan sebaliknya disana pula ada yang meninggal
dalam keadaan kemiskinan.[55] Menurut Hasan Hanafi, sekiranya sekarang ada suatu system
yang mampu, mendistribuskian kekayaan secara sama rata[56], tentu tidak akan muncul tuntutan.
Sebab Mesir menghadapi masalah ketidakadilan distribusi kekayaan Negara sehingga
melahirkan kesenjangan social, khususnya perekonomian[57] Untuk mewujudkan keadilan di
Mesir, yang sesuai dengan harapannya, Abdurrahman Wahid dalam sebuah pengantar buku Kiri
Islam, karya Shimogaki, menyatakan: “Hasan Hanafi mulai berbicara tentang keharusan bagi
Islam mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan
(taharur, liberation) di dalamanya. Watak pembebasan dari wawasan progresif itu bertumpu
pada dua unsur penopang.”[58] Pertama, gagasan akan keadilan social yang harus ditegakkan,
jika manusia ingin benar-benar berfungsi sebagai pelaksana fungsi ketuhanan (kholifah Tuhan)
di muka bumi. Kedua, keadilan social hanya dapat terwujud bilamana ada kebebasan. Jadi
menurut Hasan Hanafi kebebasan seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan factor yang
menentukan keadilan.
3. Konsep Toleransi
Toleransi atau solidaritas kemanusiaan, bagi Hasan Hanafi merupakan salah satu issu
humanisme yang perlu disebarluaskan. Menurutnya, toleransi merupakan petunjuk bagi kegiatan
social sebagai manifestasi dari kesatuan. Oleh karena itu, secara epistemologi toleransi bisa
dilaksnakan, tidak hanya dalam teori tapi juga dalam prkatik, sebagai undang-undang universal
tentang etika.[59]
Untuk kesatuan, dia menawarkan sikap toleransi dan dialog sebagaimana dipahami
umum yang berangkat dari etika universal.[60] Dialog merupakan cara yang dapat
menyelesaikan masalah-masalah Mesir sekarang dan yang akan datang. Maka, baginya semua
unsur gerakan yang ada hendaknya meniggalkan kepentinganya yang terbatas dan
mengutamakan kepentingan nasional. Untuk mensukseskan program nasional diperlukan sikap
toleransi yang tinggi. Agenda baru nasonal yang dimaksudkanya, seperti keadilan, kebebasan,
pemberdayaan serta peningkatan rakyat.[61] Menurutnya, menghormati, ataupun menyakiti
seseorang adalah persoalan yang tetap dan tidak berubah. Persoalan tetap adalah maqasidu
syari’ah bukan teks atau pun akidah. Hak hidup adalah maqasidu syari’at seperti di sebutkan
dalam al-qur’an “Barang siapa yang membunuh seorang manusia berarti telah membunuh
seluruh manusia dan barang siapa yang menghidupi sesorang manusia berarti menghidupi
seluruh manusia”.[62]
F. Aplikasi Teologi Antroposentris
Dalam agenda pembaharuan Hasan Hanafi, teologi antroposentris merupakan ruh yang
menjiwainya. Pembaharuan yang berjiwakan teologi antroposentris ini diharapkan maraih sukses
besar.[63] Tanpa adanya teologi anroposentris yang di dalamnya terdiri beberapa pilar
pendukung, maka program pembaharuannya sulit meraih kesuksesan. Oleh karenanya konsep
teologi ini merupakan keniscayaan.
Program pembaharuan Hasan Hanafi, dapat diklasifikasikan menjadi tiga agenda, yang
meliputi : pertama, pembaharuan pemikiran atau usaha untuk merekonstruksi tradisi yang sudah
usang menjadi suatu konstruk pemikiran Islam yang sangat sesuai dengan perkembangan zaman.
Baginya, umat Islam perlu melakukan rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam lama.
Dalam bidang ushuluddin misalnya dia lebih memandang Mu’tazilah sebagai refleksi gerakan
rasionalisme dan kebebasan manusia. Konsep tauhid lebih merupakan rasional murni daripada
konsep personifikasi seperti Asy’ariah. Manusia bebas atas segala perbuatanya.[64]
Rasionalisme merupakan keniscayaan untuk memperoleh kemajuan dan kesejahteraan Muslim
serta untuk memecahkan masalah kekinian dalam dunia Islam. Kedua, melawan superioritas
peradaban Barat. Peradaban Barat menurutnya, harus dikembalikan pada tingkat kewajaran,
Barat yang selama ini dikesankan oleh umum sebagai peradaban yang super berkat keberhasilan
studi-studi mereka, kini harus dipelajari menurut versi lain selain Barat, dengan tujuan untuk
membatasi bahwa Barat adalah segala-galanya. Ia mengingatkan kaum Muslim akan bahaya
imperialisme cultural Barat. Untuk melawan kultur Barat, secara khusus dia menulis
oksidentalime yang dimaksudkan sebagai cara orang timur mempelajari Barat dan upaya
melawan serta langkah-langkah mengikis habis peradaban Barat.[65] Ketiga, menafsirkan
kembali serta merekonstruksi realitas kebudayaan manusia dalam sekala global. Dalam realitas
social, ummat Islam dimungkinkan untuk menafsirkan teks dalam rangka merespon
perkembangan jaman. Tafsir ini juga dimungkinkan untuk selalu mengikuti, bukan mendahului
gerakan kemajuan[66] Hasan Hanafi mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks
dan mengusulkan metode hermeneutika untuk menerangkan wahyu Tuhan, agar realitas dunia
Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri.[67]
Dalam kaitannya dengan ketiga program tersebut, Hasan Hanafi memperlihatkan bahwa
persoalan intern umat Islam, dapat digambarkan sebagai ana dalam arti diri sendiri sebagai
pijakan programnya. Dari titik ana tersebut kemudian dicoba untuk dihadapkan pada tiga
dimensi program di atas. Ketiga dimensi program tersebut antara satu dengan yang lain saling
terkait dan tidak dapat dipisahkan. Program pertama, dia ingin menunjukkan bahwa upaya
meletakkan ana pada sejarah masa lampau dan warisan yang ditinggalkannya. Sedangkan
program kedua yaitu dengan meletakkan ana dihadapan peradaban Barat modern. Adapun
program ketiga adalah dengan meletakkan ana pada realitas kontemporer. Ketiga dimensi
program tersebut, digambarkan sebagai segitiga sama kaki, posisi ana berada di tengah-tengah.
Dari titik awal kemudian pada masing-masing garis ditempati oleh masing-masing dari ketiga
dimensi program di atas.[68]
Keterangan :
a. Ana atau posisi kita sebagai pijakan program.
b. Posisi tradisi Islam
c. dPosisi peradaban Barat
d. Posisi realitas kontemporer
Garis segitiga pada masing-masing menggambarkan, bahwa dimensi waktu selalu
berhubungan dengan [a]. ana. Program pertama yakni [b]. terkait dengan masa lampau.
Rencana kedua yaitu [c]. terkait dengan waktu yang akan datang dan program ketiga yaitu [d].
sangat erat dengan waktu sekarang. Sehingga dengan demikian program pertama memiliki
hubungan erat dengan nilai-nilai tradisi, sedangkan yang kedua berhubungan dengan nilia-nilai
kemodernan dan ketiga berhubungan dengan peradaban bersama-sama yang terjadi dengan fakta
dimana kita hidup. Ketiga program tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan:
kebangkitan Islam, revolusi Islam (tauhid) dan persatuan ummat.
G. Kritik Terhadap Teologi Hasan Hanafi
1. Kritik Terhadap Konsep
Konsep teologi antroposentris Hasan Hanafi yang berpusat pada manusia, tidaklah
dikenal dalam tradisi Islam. Teologi antroposentris itu hanya akan menimbulkan masalah, sebab
pengalaman Barat menunjukkan, bahwa humanisme talah pernah mati dan gagal.[69] Untuk
menjelaskan beberapa masalah, problem dan kritik terkait dengan konsep teologi antroposentris
ini, berikut akan disampaikan secara rinci berdasarkan klasifikasi ataupun subnya masing-
masing.
Premis pertama, jika Hasan Hanafi memperoleh epistimologi dimulai dengan menolak
ketidakadilan (jahl), kebimbangan (wahm), dugaan (zhan), asketik (syak), inspirasi (ilham) dan
taklid, serta berusaha membangun paradigm-paradigma kognisi, yaitu; sensi (hiss), rasio dan
mutawatir, maka pengetahuan tersebut bermasalah, karena hanya diperoleh melalui kekuatan
rasio. Sementara sensi dan rasio manusia sangat terbatas. Dia hanya menjadikan wahyu sebagai
sumber yang dimungkinkan, apabila tidak mungkin maka dibuang, dia juga tidak menerima
berita-berita yang benar, padahal dalam Islam epistimologi diperoleh melalui beberapa jalur
seperti panca indera (alhawas al-khamsah), akal sehat (al-akl al-salaim), berita-berita yang benar
(al-khabar al-shidq) dan melalui intuisi (ilham).[70]
Premis kedua, jika ontology dimaknai sebagai eksistensi yang memiliki tekstual dan
kontekstual, maka ontology itu mengandung maksud penaklukkan alam untuk manusia, bukanya
suatu tindakan kepasarahan kepada kehendak Tuhan secara sadar dan bertangungjawab. Oleh
karena manusia menaklukkan alam untuk manusia, maka pandangan ini juga tidak berbeda dari
pandangan humanis yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan manusia. Islam mengajarkan
bahwa alam diciptakan sebagai panggung bagi manusia, sebuah lapangan tempat tumbuh dan
berkembang menikmati anugerah-Nya dan melakukan hal itu secara etis berharga[71], sebagai
manifestasi cinta kepada-Nya.
Premis ketiga, jika aksiologi diartikan sebagai nilai-nilai kemanusiaan murni, maka nila-
nilai tentang kebenaran, kebaikan dan keindahan itu bermasalah. Kebenaran yang datang dari
manusia tidak beriman biasanya cenderung relative, dan seorang relativis tidak menerima
kebenaran mutlak. Apalagi dia juga menjadikan objek tauhid sebagai objek kemanusiaan. Karena
manusia pada kenyataanya akan selalu memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda. Maka
hasil yang diperoleh juga akan beragam. Tetapi kebenaran yang berangkat dari bimbingan
Illahi, mendorong seorang Muslim bersikap cerdas dan intelek tetapi tetap rendah hati. Ia merasa
untuk mencamtumkan dalam penegasan dan penangkalanya dengan ungkapan wallahu a’lam
(Allah yang lebih tahu).[72] Demikian halnya dengan kebaikan, jika kebaikan bermuara pada
manusia akan berujung pada keterbatasan, tetapi kebaikan dalam Islam adalah menunaikan
(taat)segala perintah-Nya seperti ibadah-ibadah wajib dan sunah, itulah istiqamah dalam
kebaikan. Orang yang beriman dari ummat Nabi Muhammad, menurut Ibnu Taimiyah terbagi
menjadi tiga golongan. Pertama mereka yang menganiaya diri mereka sendiri (zalimun linafsihi)
yaitu orang yang suka berbuat dosa. Seorang mukmin yang tidak melaksanakan kewajibanya
sebagai makhluq berarti termasuk mereka yang berdosa. Kedua, mereka yang yang pertengahan
(muqtasidun), yaitu yang hanya melaksanakan ibadah-ibadah wajib saja dan menjaukan hal-hal
yang diharmkan. Ketiga, adalah mereka yang berbuat kebajikan (menunaikan) ibadah-ibadah
wajib dan sunah (sabitun fi al-khairat).[73]
Begitu juga, jika keindahan yang bersandar pada watak dan sifat manusia akan berujung
pada kesombongan. Berbeda dengan estetika Islam yang menjadikan Tuhan sebagai cinta
pertama dan akhir dari obsesinya. Karena itu, seorang seniman Muslim dalam mengekpresikan
karya seninya tidak boleh sombong. Dalam seni Islam apa yang tidak di ekspresikan adalah
alam, kondisi manusia; dan apa yang diekspresikan adalah transendesi Allah.[74] Berada di
hadirat Illah bagi Muslim merupakan eksistensi keidahan.
Kemudian kalau dilihat dari sisi orsinilitas gagasan tentang konsep teologinya,
sesungguhnya juga bukan murni dari pemikiranya, melainkan hasil adopsi dari pemikiran Barat,
yaitu Rene Descartes (1596-1650) asal Prancis.
2. Kritik Terhadap Aspek Teologi
Pilar pertama, kalau dia mangharuskan diri merumuskan ideologi di tengah-tengah
pergumulan ideologi-ideologi kontemporer, berarti secara tidak langsung dia tidak percaya
dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang menjadi sumber ketetapan hukum Islam. Dia
menganggap bahwa hukum Islam tidak lagi mampu berperan menyelesaikan problem
kontemporer. Lebih dari pada itu, kalau yang dimaksud rumusan ideologi itu adalah ideologi
humanis, maka rumusan itu sangatlah rapuh dan terbukti telah bangkrut. Maka sesungguhnya
Hasan Hanafi meniru Barat, tetapi dia lebih buruk daripada hasilnya karena meniru ideologi yang
sangat buruk.
Kecuali itu, jika dia hendak mendorong prilaku baik kemmudian diawali dengan analisa
psikologi masyarakat, maka yang perlu dipertanyakan pertama adalah prilaku baik mana yang
dijadikan standar ? Kedua mungkinkah analisa itu terlaksana dengan mendatangi setiap individu
masyarakat ? sungguh solusi yang ditawarkan merupakan suatu rencana speculative yang tidak
rialis.
Selanjutnya, jika dia mngharuskan merumuskan kembali formulasi ushuluddin dengan
segala cabangnya, maka berarti diapun juga telah mengingkari ushuluddin yang ada selama ini.
Padahal sejatinya ushuludin telah mencakup seluruh aspek kehidupan. Sementara farmulasi
cabang ushuluddin yang diabangunnya tanpa disertai dengan penjelasan secara rinci. Maka tidak
berlebihan jika formulasi itu justru akan menambah permasalahan teologis bagi ummat.
Jika formulasi baru ushuluddin yang dibangunnya memfokuskan persoalan praktis,
seperti gerakan sejarah untuk penyadaran masyarakat, maka diapun telah menilai bahwa
ushuluddin tidak punya peran dalam penyadaran. Padahal seperti telah dijelaskan di atas tauhid
merupakan prinsip dan landasan hidup yang mengilhami seluruh aspek kehidupan. Maka dari
sini sebenarnya terlihat, bahwa kritiknya bisa dikatakan tidak beralasan. Bukankan pengetahuan
tidak termasuk persoalan praktis dan rialis dalam mengarahkan pada kemajuan ?
Jika dia menilai teologi Islam itu teosentris dan tidak antroposentris kemudian
menggantikanya dengan teologi antroposentris, seperti dikatakan Imarah, apa yang ditempuh
Hasan Hanafi, untuk memanusiakan agama melalui bukunya at-Turast wat-Tajidid, tidak
berbeda dengan pembaharuan Barat yang sekularistik. Itulah yang hendak dilakukannya terhadap
teologi Islam, sebagaimana yang pernah terjadi pada kaum modernis dalam menerapkan agama
Nasrani Barat.
Padahal sejatinya teologi Islam itu sudah sangat komprehensif. Tauhid yang dikritknya
sebagai teologi melangit dan tidak membumi merupakan pemahaman salah dan kritik tidak tepat.
Dia melihat bahwa masalah ketuhanan dan keimanan dalam teologi Islam, dianggap sebagai
suatu yang tidak terkait dengan masalah kemanusiaan. Padahal tauhid merupakan pengakuan
ketauhidan-Nya. Konsekwensi dari pengakuan itu, manusia sebagai khalifah dimuka bumi
dituntut mampu menjalankan segala perintah-Nya. Tauhid bukanlah ajaran abstrak semata yang
melangit seperti yang dikritik, akan tetapi berhubungan langsung dengan persoalan kehidupan
individu dan social serta mengilhami rasa tanggungjawab terhadap orang-orang yang
berkekurangan yang diatasi dengan zakat dan melarang riba. Selain dari pada itu, teologi Islam
itu dikritiknya terlalu teosentris yang tidak respon terhadap realitas kontemporer. Padahal jelas
sekali, bahwa teologi Islam itu sebenarnya teosentris dan juga antroposentris, karena telah
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Teologi seperti dijelaskan oleh Iama’il Raji Al-
Faruqi dalam bukunya tauhid, membicarakan tentang; pandangan dunia, sifat ulluhiyah Tuhan,
sumbangan Islam terhadap kebudayaan dunia, prinsip pengetahuan, prinsip sejarah, prinsip etika,
prinsip tata social, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi dan lain sebagainya.
[75]
Pilar kedua, aspek kebebasan. Jika manusia yang diharapkan Hasan Hanafi, bebas tanpa
terikat dengan Tuhan, maka sejatinya ia bukanlah manusia yang sempurna. Manusia sempuran
adalah yang mampu memenuhi hak dan kewajibanya kepada Tuhan-Nya. Oleh karena itu tidak
ada manusia yang bebas tidak terikat. Kebebasan sesorang terbatasi dengan kebebasan manusia
lainya. Disamping karena dia adalah makhluq social yang selalu berhubungan dengan sesamanya
dan Tuhan-Nya.
Dalam hal ini Muhammad Imarah menegaskan, jika Tuhan tidak memiliki hubungan
dengan manusia dan sebaliknya manusia tidak perlu berhubungan dengan Tuhan, maka yang
diperlukan Hasan Hanafi, adalah ilmu tauhid tanpa Tuhan dan tanpa aqidah. Inilah maksud judul
yang dipilih Hasan Hanafi bagi konsepnya Minal Aqidah ila at-Taurah, yaitu untuk
mewujudkan disiplin ilmu tauhid yang membumi dan humanis, yang tidak ada hubunganya
dengan Tuhan.[76] Logikanya, jika manusia ingin bebas, maka dia mesti berkeyakinan, bahwa
Tuhan telah tiada. Gagasan yang demikian, tentu sangat bertentangan dengan fitrah manusia itu
sendiri. Dalam Al-Qur’an dijelaskan secara berulang-ulang tentang hubungan yang sangat erat
antara manusia dengan Tuhanya.[77] Dalam hal ini Al-Attas manyatakan:
“…Man purpose is to do ibadah to God (51:56), and his duty is obedience (ta’at) to God, which conform with essential nature (fitrah) created for him by God (q-u 30:30). But man also “ composed of forgetfulness (nisyan): and he is called insane basically precisely because, having testified to himself the truth of the convenant, which ejoins obedience to God’s commands and prohibitions, he forgot (nisyan) to fulfill his duty and purpose.”[78] Tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada Tuhan dan berkewajiban taat kepada Tuhan sesuai dengan hakekat dasar yang telah diciptakan Tuhan baginya. Tetapi manusia kemudian lupa.
فنسي إليه عهد ألنه إنسانا اإلنسان سمي انماSesungguhnya manusia disebut insane karena setelah berjanji dengan-Nya, ia lupa (nasiya).
Sifat alpa manusia inilah yang menurut Al-Attas menyebabkan seseorang bisa ingkar dan
tercela dan mengarahkannya kepada ketidakadilan (zulm). Jika demikian halnya, apa yang
dibangun Hasan Hanafi, menjauhkan manusia dari berhubungan dengan Tuhan adalah bentuk
ingkar. Ketika manusia telah mengingkari penciptanya, maka kebenaran yang diperoleh dari akal
manusia tentu tidak sempurna. Senada dengan Al-Attas, Wahbah Al-Zahail[79] menyatakan,
bahwa dasar kebebasan Islam sangat jelas dalam hak Tuhan yang diberikan kepada manusia atas
sebab ciptaan Tuhan yang independen bagi hamba-hambaNya. Wujud Tuhan yang independen
mengharuskan senantiasa menjaga kelestarian hak hidup tanpa harus membedakan terhadap
sebab apapun yang terjadi diantara semua manusia. Baik sebagai penguasa maupun sebagai
rakyat biasa, atasan atau bawahan, kaya dan miskin, pintar atau bodoh dan lain-lain. Tugas-tugas
yang diberikan Tuhan atau kewajiban-kewajiban agama yang dibebankan kepada manusia
sesungguhnya mengandung arti memuliakan manusia itu sendiri. Di saat manusia penuh
tangunggujawab, maka ia menjadi agung dan mulia, tetapi ketika manusia lalai dan
meningalkanya tugas tanpa ada beban apa-apa, maka ia menjadi hina.[80] Bebas, berarti penuh
tanggungjawab dalam melaksanakan tugas, itulah sesungguhnya makna kebebasan dalam Islam,
bukan bebas tanpa batas yang tidak tanggungjawab.
Aspek keadilan. Jika keadilan yang diharapkannya hanya bisa ditegakkan apabila ada
kebebasan, maka sesunguhnya keadilan itu tidak akan berbuah apa-apa, bahkan justru sebaliknya
ketidakteraturan, penjarahan seperti saat kondisi Negara tidak aman. Itulah gambaran keadilan
yang berpijak pada kebebasan.
Konsep keadilan Hasan Hanafi, bersifat meterialistik dan kuantitatif, yang tidak didukung
dengan penjelasan system yang jelas. Keadilan ini tidak berbeda dengan yang ada di Barat, yang
merujuk pada Negara dan masyarakat, raja dan rakyat. Padahal keadilan dalam Islam seperti
dijelaskan oleh Al-Attas, merujuk pada diri sendiri: bahwa sesorang itu boleh melakukan
keadilan atau sebaliknya kezaliman terhadap dirinya sendiri. Dengan mengangkat saksi terhadap
diri masing-masing dihadapan Tuhan-Nya.[81] Melalui cara seperti itu kemungkinan zulm kecil,
karena kalau zulm berarti telah menzalimi dirinya sendiri. Keadilan yang disampaikan Al-Attas
mendapat respon positif dari Muhammad Imarah dengan menegaskan, bahwa adil dalam
terminology Islam, adalah lawan dari zalim. Tidak hanya dalam pengertian negatifnya yaitu
menafikan kezaliman, melainkan juga dalam pengertian positif yang tercermin dalam kedaulatan
sikap moderat Islam yang universal. Yang tidak memihak pada satu kutub tertentu, begitu pula
tidak memisahkan diri daripadanya, melainkan unsure-unsur keadilan dan kebenaran terhimpun
didalamnya.[82] Keadilan yang mengandung kebenaran inilah yang disyaratkan oleh Rasulullah
SAW “Tengah-tangah adalah adil: Kami menjadikan kamu satu umat yang tengah-tengah
(terbaik)”. (Hadist Tirmidzi dan Imam Ahmad).[83] Adil dalam Islam bukan berarti harus sama,
(1:1, 2:2 dan seterusnya), melainkan dimaknai sebagai hal yang sesuai dengan porsinya dan
meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk orang dzalim bagi mereka yang meletakkan
sesuatu bukan pada tempatnya. Adil juga bisa dimaknai sesuatu yang serasi.
Aspek toleransi. Jika bangunan toleransi Hasan Hanafi berpijak pada etika universal tidak
akan menyelesaikan problem. Karena etika universal sangat subyektif dan tidak dapat dijadikan
standar. Toleransi mestinya berangkat dari nilai-nilai Islam, seperti yang ditawarkan oleh Yusuf
Qardhawi, yang berpijak pada keuniversalan Islam. Ia mengajak kepada kasih sayang bukan
kebencian, toleransi bukan fanatisme, kelembutan bukan kekerasan, dialog bukan pertentangan,
kemajemukan bukan kemanunggalan, perdamaian bukan perang dan rahmat bukan kebencian.
Yang ditekankan adalah ijtihad dalam fikih, terbuka dalam pemikiran, inovasi dalam peradaban
dan komprehensif dalam pengembangan.[84]
Jika toleransi beridiri di atas etika universal, maka yang ada adalah kepentingan. Etika
tidak dapat dijadikan pijakan kerena masing-maisng etika memiliki kepentingan yang berbeda.
Dalam hal ini Muhammad Imarah menyatakan, bahwa toleransi bukan atas kepentingan tetapi
mengandung kemurahan hati tanpa balasan. Dengan kata lain, toleransi adalah keramahan dan
kelemahlembutan dalam setiap hal dan interaksi, tanpa menunggu balasan. Seorang Muslim
mempelajari agamanya dari Tuhan secara langsung, demikian juga bertaubat secara langsung
tanpa perantara atau suap”.[85] Toleransi merupakan karakter dasar Islam yang memilik sifat
prktis-realis yang terbentuk dalam diri umat, bukan hanya idealisme yang sulit diaktualisasikan.
Bukan berpijak pada etika universal seperti yang ditawarkan Hasan Hanafi. Tetapi berpijak pada
nilai-nilai Islam, seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shalalahu alahi wassalam.
“Sesungguhnya saya diutus dengan kehanifan atau (kelurusan) toleransi” (HR. Imam Ahmad)
dan “Agama yang paling dicintai oleh Tuhan ialah berpegang teguh pada toleransi” (HR.
Bukhari dan Imam Ahmad).
3. Kritik Terhadap Aplikasi Konsep
Kalau dalam agenda pembaharuan Hasan Hanafi, teologi antroposentris yang berjiwakan
kebebasan merupakan ruh yang menjiwainya, maka pembaharuan yang diinginkanya, adalah
model Barat yang kering akan nilai-nilai spritual. Kemudian jika dia juga berupaya mengganti
tradisi lama dengan tradisi baru, maka tradisi yang dimaksudkanya adalah tradisi yang rapuh,
karena hanya melihat factor praktisnya saja tanpa disertai dengan nilai. Padahal paham
pembaharuan dalam Islam, adalah, merujuk kepada diri, dan berarti pemulihan kepada
kemurnian asli ajaran agama serta tauladan orang dan masyarakat Islam yang asli. Apabila
terdapat masyarakat Islam sudah tersesat dan keliru dan jahil serta zalim kepada dirinya masing-
masing, maka diarahkan untuk berubah kepada jalan yang lurus dan benar. Kebenaran itulah
yang akan memulihkan kepada keadaan Islam yang sejati asli-itulah kebangkitan dan
pembangunan. Jadi pengertian pembaharuan dalam Islam adalah gerak-gerik yang menuju
kepada arah dasar Islam yang asli, itulah pembangunan.[86]
Meskipun Hasan Hanafi, mengkritik keras akan bahaya imperialisme cultural Barat,
tetapi sesungguhnya dia tak kuasa menghilangkan pengaruh Barat dalam berbagai karyanya. Ide
liberalism Barat, demokrasi dan rasionalisme telah mempengaruhi pikirannya. Hal yang
demikian bisa dilihat dalam beberapa pemikirannya, ternyata dia menggunakan analisis
fenomenologi yang muncul di Barat untuk melawan modernism dengan cara mengunggulkan
satu bagian dari khazanah Islam yang berbasis pada rasionalisme.[87] Bahkan, untuk sebuah
pembaharuan, seperti yang telah diagendakannya, Hasan Hanafi telah mencabut Islam dari
akarnya, sehingga hilanglah muatanya.
Jika dalam merekonstruksi realitas kebudayaan dia menggunakan hermenutika sebagai
pijakan, maka diapun telah terpengaruh pola Kristen. Padahal ummat Kristiani dalam
menggunakan metode tersebut memiliki persoalan sejarah teks yang berbeda dengan Islam.
Dalam Islam tidak dikenal metoda tersebut untuk menafsirkan sebuah teks. Islam telah memiliki
metodenya sendiri yang kaya dengan berbagai pola dalam merespon masalah kontemporer.
Buku-buku tafsir dalam hazanah Islam sangat komprehensif dan cukup untuk keperluan
dimaksud.
Realiatas sekarang membuktikan, bahwa apa yang diagendakan Hasan Hanafi, berbeda
dengan revolusi Tahrir yang sedang terjadi sekarang ini. Agenda revolusi/people power Mesir
bukanlan representasi dari ketiga program pembaharuan di atas. Melainkan, lebih kepada suksesi
kepemimpinan, dengan cara menurunkan rezim Hosni Mubaroq, perubahan konstitusi
(dihapuskanya qonunu Towarik /qonunu musalahah atau darurat militer) yang dibuat Mubaraq -
untuk melanggengkan kekuasaanya dan perubahan kabinet untuk menuju kepemerintahan yang
lebih demokratis. Dengan demikian konsep pembaharuannya sama sekali tidak terkait dengan
realitas Mesir saat ini.
H. Kesimpulan
Teologi antroposentris yang menjadikan manusia sebagai poros utama dalam agenda
pembaharuan Hasan Hanafi, tidak dikenal dalam tradisi Islam. Islam tidak mengenal sentralitas
manusia dengan cara menghumanisasikan agama. Apalagi menyandarkan manusia dengan
menjadikan nilia-nilai humanisme sebagai keniscayaan. Cara seperti itu, adalah cara yang tidak
dapat diterima dari sudut pandang Islam yang benar menurut aliran ahli sunnah waljama’ah.
Pola seperti itu merupakan manifestasi sikap inkar terhadap ajaran Islam. Islam mengajarakan
kepada seluruh ummat manusia untuk menjadikan tauhid sebagai sentral kehidupan.
Islam sudah sangat jelas sikap dan pandanganya. Apa yang dianggap baik dan benar
dalam humanisme bukan dalam pengertian totalitas sebagai agama, melainkan hanya sebagian
kecil dari ajaran Islam. Kebenaran dalam Islam adalah kebenaran yang bersumberkan pada panca
indera (alhawas al-khamsah), akal sehat (al-akl al-salim), berita-berita yang benar (al-akhbar al-
shidq) dan melalui intuisi (ilham) yang telah disampaikan oleh Nabi, sahabat dan para
pengikutnya yang masih setia dalam kebaikan dan kebenaran.
Untuk mengagendakan pembaharuan dalam Islam, tidakalah harus menjadi seorang
humanis seperti yang dikumandangkan Hasan Hanafi, apalagi sampai pada tingkatan
mengosongkan agama dari muatanya. Tetapi yang perlu segera dilakukan adalah mengkaji Islam,
melalui disiplin ilmu yang telah diwariskan oleh para Nabi dan yang telah dikembangkan oleh
ulama terdahulu, secara tekun dan penuh kesungguhan, sehingga dengan menggali warisan lama
itu, diharapkan bisa menemukan konsep baru yang asli untuk menjawab persoalan kontemporer.
Melalui kajian seperti itu, umat Islam akan mampu memformat bangunan baru peradaban Islam
yang dapat menghadapi tantangan zaman. Artinya semangat mengkaji ilmu harus tetap
dilakukan, sehingga darinya didapatkan percikan-percikan mutiara kehidupan, syukur kalau bisa
mendapatkan kembali sesuatu yang lebih, tentang cahaya kebenaran yang telah lama terbenam
atau tersimpan di dalam dokumen ulama dahulu itu. Tetapi, juga harus bisa bersikap kritis dan
selektif tehadap konsep-konsep yang datang dari luar Islam. WTuhanu ‘alam bissawab.
I. Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim.
Al-Kitab, Lembaga al-Kitab Indonesia, 1992.
Al-A’zami, M.M., The History The Qur’anic Text From Revelation to Compilation, Gema
Insani Press, 2005.
Abu Ja’far al-Thobari, Muhammad ibnu Jarir ibnu Yazid ibnu Kastir ibnu Gholib al-Amali,
(224-310 h), Jaami’u al-bayan fi Ta’wiil al-Qur’an,4:28, al-Toba’ah al-Uula 1420
h/2000 m.
Al-Badhowi, Anwaru al-Tanjil wa al-aroru al-Ta’wil, Mauqifu Tafaasir,
http://www.altafsir.com.
Abbas Abu Isa Sunan al-Tirmidzi, Muhammad Ibn, al-Jami’u al-Sahih li al-Sunan al-Tirmidzi,
Maktabah al-Syamilah, Juz 5, hal. 207
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Tauhid, Pustaka, 1988.
Al-Faruqi, Isma’il Raji dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khasanah
Peradaban Gemilang, Mizan, 2003.
Arief, Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, GP, 2008.
Al-Zuhaili, Wahbah, Kebebasan dalam Islam, Pustaka Al-Kausar, 2005.
Azra, Azyumardi, dalam Pengantar Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi Sikap Kita Terhadap
Tradisi Lama, Paramadina, 2003.
Badruzaman, Abad, Kiri Islam Hasan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agman dan Politik,
Tiara Wacana, 2005.
Benekditus XVI, Paus, Paus Menjawab Atas Berbagai Permasalah Gereja dan Ummat, Dioma,
2010.
Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, Bulan Bintang, 1980.
Dokumen Konsili Vatikan II, Obor, 2004
Hanafi, Hasan, al-Din wa al-Tsaurah fi Misr, al-Yasar al-Islami wa Wihdatu al-Wathon, Jilid
VIII, Maktabah Madbul, 1952-1981.
___________, al-Turast wa al-Tajdid Mauqifuna min al-Turast al-Qodim Min al-Aqidah ila al-
Tsaurah al-Muqodimaat al-Nazdariayat, al-Juz al-Awwal, al-Taba’ah al-Uula, 1988,
Daru al-Tanwir li al-Tab’ah wa al-Nasr, Libanon Bairut.
___________, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah Jilid 3, al-Insaanu al-Mutaain (al-Adl), al-Taba’ah
al-Uula, Daaru al-Tanwir 1988.
___________, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah Jilid 5, al-Iman, al-Amal, al Imaamah, al-Taba’ah
al-Uula, 1988, Daaru al-Tanwir.
___________, dan Muhammad Abid al-Jabiri, Hiwar Masriq wa Magrib Nahwi I’adati Binai al-
Fikri al-Qowi al-Arabi, al-Mu’asasat al-Arabiya al-Dirasiyat wa al-Nasr, al-Tauzik fi al-
Ardun, Daru al-Faris, al-Tabah al-Ulla, 1990.
___________, al-Turast wa al-Tajdidid Mauqifuna min al-Turast al-Ghorb, Muqodimah fi ilmi
al-Istigrob, Daaru al-Faniyah wa al-Tauzi’, 1991.
___________, Islamologi 3 dari Teosentris ke Antroposentris, LKIS, 2004.
___________, Pembaharuan Wacana Keagamaan: “Mulai dari Realita, Baru Teks” dalam Orientalisme
Vis a Vis Oksidentalisme Serial Dialog Pencerahan Afkar, Pustaka Pirdaus, Jakarta, Cetakan
pertama Agustus 2008.
___________, Hermeneutika Al-Qur’an, Nawesea, 2009
Hanafi, A., MA, Pengantar teologi Islam, Pustaka Al-Kausar, 1967.
Ibrahim, Zakaria, Muskilaat al-Insaan 2, Maktabah al-Misra, tt.
Imarah, Muhammad, Islam Tanpa Agama Versi Hasan Hanafi, dalam Daud Rasyid, Islam
dalam Berbagai Dimensi, GIP, 1998.
____________, Perang Terminologi Islam dan Barat, Robbani Prees, 1998.
____________, Meluruskan Salah Paham Barat atas Islam Kritik di Balik Hegemoni Wacana
Barat atas Islam, Sajadah Press, 2007.
Kamal Hasan, Muhammad, dalam Pengantar buku: M.M. Al-A’zami, The History The Qur’anic
Text From Revelation to Compilation, Gema Insani Press, 2005.
Malik Toha, Anis, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, Kelompok Gema Insani, 2005.
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, Belukar, 2008.
Naquib Al-Attas, Syed Muhammad, Islam and Secularism, ISTAC, Kualalumpur, 1993.
_____________, Risalah untuk Kaum Muslim, Institut Antar Bangsa Pemikiran dan Tamadun
Islam (ISTAC) Kuala Lumpur, 2001.
_____________, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya Dalam Islam, ISTAC, Kuala
Lumpur, 2002.
____________, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Universty Sains Malysia,
2007.
Peaget, Jean, (dalam Bringuier, 1980 hlm. 110.), Dalam Wikipedia, Valmband,
Arthachristianti. Woedpress. Com, Pembebalajaran Guru, di unggah, pada tanggal 14
Maret 2011.
Qardhawi, Yusuf, Fiqih Maqoshid Syariah Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran
Liberal, Pustaka al-Kausar, 2007.
_____________, Kita & Barat Menjawab Berbagai Pertanyaan Menyudutkan Islam, Pustaka al-
Kausar, 2007.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, kaitanya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno
hingga sekarang, Pustaka Pelajar, 2004.
Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme telaah Kiritis Pemikiran
Hasan Hanafi, LKIS, 2000.
Syam Haris, Religion as a Source Violence in An Atheist Manifesto,
http://www.truthdig.com/dig/item/200512, an atheis manifesto, Dec. 7 2005. Tt. P.
Sugandi, Yulia, Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menunju Praksis, Pustaka Pelajar, 2002.
Taimiyah, Ibnu, Catatan-catatan Spiritual Ibnu Taimiyah, Akbar, 2009.
Varela, Charles R., Science For Humanism The Recovery of Human Agency Ontological
Investigation, First published 2009.
Wahid, Abdurrahman, dalam Pengantar Kazua Shimogaki, Kiri Islam Telaah Kritis Pemkiran
Hasan Hanafi, LKiS, 2000.
Wan Daud, Wan Mohd Nor dalam Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-
attas, Mizan, 2002.
Wisok, Johanes P. Humanisme Sekular, dalam Bambang Sugiharto (Ed.) Humanisem dan
Humaniora Relevansinya bagi Pendidikan. Jalasutra, 2008.
Zarkasyi, Amal Fathullah, Ilmu Kalam, Tarikhu al-Madhab al-Islamiyah wa Qodhayaha al-
Kalaimiyah, Matba’at Darussalam Gontor, 2003.
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Pandangan Hidup, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam, makalah
disampaikan pada workshop Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan di Sekolah Tinggi
Lukman ul Hakim, Hidayatullah Surabaya, 12-13 Agustus 2005.
_______________, Liberalisme Pemikiran Islam, (Gerakan bersama Misionaris Orientalis dan
Kolonialis), CIOS-ISID Gontor, 2008.
Zuhri, Damanhuri, Republika 21 Mei 2010, Wawancara Damanhuri Zuhri dan H. Muarif dengan
Hasan Hanafi di Hotel Arcadia Jakarta Pusat, Untuk menyampaikan pemikirannya dalam
Simposium Internasional tentang peran Islam dalam era globalisasi, atas undangan
Panitia Festival Istiqlal ke II.
Gontor, 6 April 2011
[1] Humanisme secular meyakini bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan menggali pengalaman hidupnya sediri dan menarik pelajaran, nilai dan makna yang penting dari petualanganya itu. Humanisme secular tidak mengandung konotasi agama. Sehingga tidak perlu bantuan pihak lain, yang diperlukan adalah memisahkan secara tegas dan total kehiduppan real manusia dari agama dan Tuhan. Lihat Johanes P. Wisok, Humanisme Sekular, dalam Bambang Sugiharto (Ed.) Humanisem dan Humaniora Relevansinya bagi Pendidikan. Jalasutra, 2008, hal. 85-94
[2] Ludwing Feurdbach, seorang humanis radikal (1804-1872), menolak kepercayaan kepada Tuhan yang mahaadil, mahatahu, dan sebagainya supaya ia sendiri menjadi adil dan tahu. Teologi harus menjadi antropologi, hanya denga cara itu manusia bisa menemukan kembali hakikatnya untuk direalisasikan. Ibid. hal. 117
[3] Menurut Syam Harris (ahli filsafat, yang belajar tentang agama barat dan timur) sesungguhnya dewasa ini dan bahkan sebelumnya agama merupakan sumber conflict. Seperti conflict yang terjadi di beberapa Negara: Palestinan antara Yahudi dan Muslim, Balkan, Bosnia, Srilangka, Etiopia dll., adalah karena factor agama. Ada dua factor yang memicu terjadinya confilc dalam agama itu yaitu: pertama, seseorang yang membunuh orang itu karena ada kepercayaan bahwa Tuhan menyuruhnya untuk berbuat seperti itu. Kedua, agama menyuruh orang untuk berjihad. Lihat Syam Haris, Religion as a Source Violence in An Atheist Manifesto, http://www.truthdig.com/dig/item/200512, an atheis manifesto, Dec. 7 2005. Tt. P.
[4] Hasan Hanafi, Islamologi 3 dari Teosentris ke Antroposentris, LKIS, 2004, hal. 68
[5] Pihak Gereja Katolik, sangat menentang bagi jama’atnya yang menyimpang atau tidak lagi menjadikan doktrin gereja sebagai pijakannya. Hal ini sangat bertentangan dengan doktrin gereja yang menyatakan, bahwa diluar Gereja tidak ada kesalamatan (extra eclesiam nulla salus). Lihat, Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, Kelompok Gema Insani, 2005, hal. 20., Lihat, Al-Kitab, Lembaga al-Kitab Indonesia, 1992, dalam Yesaya 56:1, yang berbunyi” Taatilah hukum dan teggakkanlah keadilan, sebab sebentar lagi akan datang keselamatan yang dari padaKu.”, juga dalam, Yesaya 65:6, “Sesungguhnya, telah ada tertulis di hadapanKu: Aku tidak akan tinggal diam, malah Aku akan mengadakan pembalasan, ya, pembalasan terhadap diri mereka”., hal. 810-820. Perlawanan gereja terhadap doktrin humanisme juga berlaku sampai sekarang. Menurut Paus Binekditus XVI, menusia yang membebaskan rencananya sendiri-sendiri hanya berakhir pada permusuhan. Tentu situasi seperti ini tidak menyenangkan. Lihat Paus Benekditus XVI, Paus Menjawab Atas Berbagai Permasalah Gereja dan Ummat, Dioma, 2010, hal. 64-65, Lihat Dokumen Konsili Vatikan II, Obor, 2004, hal. 392.
[6] Jean Peaget, adalah ahli teori dalam perkembangan pengetahuan.
[7] Jean Peaget, (dalam Bringuier, 1980 hlm. 110.), Dalam Wikipedia, Valmband, Arthachristianti. Woedpress. Com, Pembebalajaran Guru, di unggah, pada tanggal 14 Maret 2011.
[8] Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Pandangan Hidup, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam, makalah disampaikan pada workshop Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan di Sekolah Tinggi Lukman ul Hakim, Hidayatullah Surabaya, 12-13 Agustus 2005.
[9] Yulia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menunju Praksis, Pustaka Pelajar, 2002, hal. 25
[10] Muhammad Kamal Hasan, adalah Rektor Universitas Islam International Malaysia (UIIM), pada tahun 2005.
[11] Lihat Muhammad Kamal Hasan, dalam Pengantar buku: M.M. Al-A’zami, The History The Qur’anic Text From Revelation to Compilation, Gema Insani Press, 2005, hal. xxiii
[12] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, Bulan Bintang, 1980, hal. 44
[13] Azyumardi Azra, dalam Pengantar Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Paramadina, 2003, hal. xii
[14] Hasan Hanafi, al-Turast wa al-Tajdid Mauqifuna min al-Turast al-Qodim, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah al-Muqodimaat al-Nazdariayat, al-Juz al-Awwal, al-Taba’ah al-Uula, 1988, Daru al-Tanwir li al-Tab’ah wa al-Nasr, Libanon Bairut, hal. 46
[15] Kepergian Hasan Hanafi, ke Amerika sebenarnya merupakan pilihannya ketika pemerintahan Mesir memberikan pilihan kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan gerak-geriknya yang membuat gerah dan merah kuping pemerintah, atau pergi ke luar negeri. Lihat Abad Badruzaman, Kiri Islam menggugat Kemapanan Agama dan Politk.
[16] Azumardi Azra, Loc. Cit.
[17] Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali agar supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Q.S, al-Tin, 95:4;al-Dzariayat, 51:56).
[18] Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di bumi” (QS, al-Baqarah 2:3).
[19] QS, Ar-rum, 30:21
[20] QS, Al-Baqarah, 2:223
[21] Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, Pustaka, 1988, hal. 139
[22] Ibid. hal. 161
[23] Sekiranya di langit dan di bumi ada Tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha suci Allah Pemilik Arsy dari sifat-siafat yang mereka berikan. (QS, Al-Anmbya’, 21:22)
[24] Ibid.
[25] Ibid. hal. 87
[26] Ibid. hal. 45
[27] Al-Attas menegaskan bahwa pengetahuan itu bisa diperoleh dari berbagai saluran, seperti panca indera (alhawas al-khamsah), akal sehat (al-akl al-salim), berita-berita yang benar (al-khabar al-shidq) dan melalui intuisi (ilhaam). Lihat dalam Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-attas, Mizan, 2002, hal. 158
[28] Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. QS, al-Dzariyat, 51:56
[29]Lihat Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, Pustaka, 1988, hal. xiii-xvi
[30] Lihat A. Hanafi, MA, Pengantar teologi Islam, Pustaka Al-Kausar, 1967, hal. 115-118
[31] Puji-pujian itu dinyatakan dengan ungkapan; “Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, Maha Agung dan Terpuji, Dia sendiri yang berhak di-Esakan, yang kemuliaan-Nya tak tertandingi oleh sifat-sifat manusia, yang tak mempunyai penentang maupun bandingan. Dialah yang memulai dan yang mengulangi yang melakukan apa yang dikehendaki”. Lihat Hasan Hanafi, al-Turast wa al-Tajdid Op. cit. hal. 7
[32] Ibid. hal. 56
[33] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, 2008, hal. 155
[34]Amal Fathullah Zarkasyi, Ilmu Kalam Tarihk al-Madhahib al-Islamiyah wa Qadhayaha al-Kalamiyah, Darussalam, 2003, hal. 6
[35] Hasan Hanafi, Loc. cit.
[36] Ibid. hal.60
[37] Ibid.
[38] Ibid. hal. 62
[39] Ibid. hal. 61
[40] Lihat Hasan Hanafi, Islamologi 3 Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, LKiS, 2004, hal. 69
[41] Ibid. hal. 70
[42] Ibid. hal. 71
[43]Jika ketetapan nila-nilai merujuk pada manusia, maka perbedaan hasilnya mesti selalu berbeda dan hal tersebut dapat dibuktikan dengan segera melalui menggunakan metode hermenutika Jurgen Habermas, yang bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan terselubung yang melatarbelakangi sebuah teks. Setiap individu menggunakan intrepertasinya sesuai dengan motifnya masing-masing. Lihat Syamsuddin Arief, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, GP, 2008, hal.181
[44] Hasan Hanafi, tidak menjelaskan dan memberikan keterangan secara rinci, tentang maksud dari masing-masing istilah formulasi barunya mengenai cabang-cabang ushuluddin atau kalam itu.
[45] Hasan Hanafi, al-Turast wa al-Tajdid, Op. cit. hal. 71-73
[46] Ibid. hal. 74
[47] Hasan Hanafi, dalam salah satu makalahnya “Theologie on anthropologie” sebagaimana dikutip Marcel, dalam bukunya L Humanisme De L’Islam –buku tersebut diterbitkan pertama kali pada tahun 1979. Satu tahun kemudian tahun 1980, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, oleh M. Rasjidi, dengan judul edisi Indonesia, Humanisme dalam Islam, terbitan Bulan Bintang. Dalam makalah tersebut, Hasan Hanafi mengutip pernyataan Rene Descartes (1596-1650), seorang ahli filsafat yang dengan sifat dan metodologinya mewarnai pemikiran sehari-hari di Benua Eropa, barangkali telah menyebabkan salah satu factor pemisahan yang mendalam antara Timur dan Barat. Dengan memilih filsafat ‘rasional’, Descartes telah mengalihkan kebudayaan Barat dari ‘teosentris’ (berkisar sekitar Tuhan) menjadi ‘antroposentris’ (berkisar sekitar manusia), Lihat, Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, Bulan Bintang, 1980, hal. 44
[48] Hasan Hanafi, Islamologi 3, Op. cit. hal. 68
[49] Muhammad Imarah, Islam Tanpa Agama Versi Hasan Hanafi, dalam Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, GIP, 1998, hal. 118
[50] Hasan Hanafi, Islamologi 3, Op. cit. hal. 78
[51] Hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah Jilid 3, al-Insaanu al-Mutaain (al-Adl), al-Taba’ah al-Uula, 1988, Daaru al-Tanwir, hal. 186-191
[52] Damanhuri Zuhri, Republika Tanggal 21 Mei 2010, Wawancara Wartawan Republika Damanhuri Zuhri dan H. Muarif dengan Hasan Hanafi di Hotel Arcadia Jakarta Pusat, Untuk menyampaikan pemikirannya dalam Simposium Internasional tentang peran Islam dalam era globalisasi, atas undangan Panitia Festival Istiqlal ke II.
[53] Hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah Jilid 5, al-Iman, al-Amal, al Imaamah, al-Taba’ah al-Uula, 1988, Daaru al-Tanwir, hal. 454-455
[54] Zakaria Ibrahim, Muskilaat al-Insaan 2, Maktabah al-Misra, tt. hal. 191
[55] Hasan Hanafi dan Muhammad Abid al-Jabiri, Hiwar Masriq wa Magrib Nahwi I’adati Binai al-Fikri al-Qowi al-Arabi, al-Mu’asasat al-Arabiya al-Dirasiyat wa al-Nasr, al-Tauzik fi al-Ardun, Daru al-Faris, al-Tabah al-Ulla, 1990, hal. 12
[56] Hasan Hanafi tidak menjelaskan secara detil maksud dari ‘keadilan sama rata’ dalam pendistribusian kekayaan Negara. Apakah seperti (1:1, 2:2) ? masih meninggalkan persoalan.
[57] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah fi Misr, al-Yasar al-Islami wa Wihdatu al-Wathon, Jilid VIII, Maktabah Madbul, 1952-1981, hal. 35-38
[58] Abdurrohman Wahid, “Hasan Hanfi dan Exsprimentasinya”, dalam, Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi, LKiS,2000, hal. xii
[59] Hasan Hanafi, Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan Sebuah Pendekatan, dalam Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal, Pustaka Pelajar, 2007, hal 7
[60] Istilah etika universal atau etika global sesungguhnya merupakan produk budaya Barat. Jika toleransi yang dijadikan pijakan berangkat dari sumber etika Barat, maka toleransi model ini berbeda dengan toleransi yang ditawarkan Islam. Dalam hal toleransi sikap Islam sangat jelas, yakni sepanjang masih dalam mu’amalah sesama manusia, dan tidak bertangan dengan keimanan tidak menjadi soal, tetapi jika menyangkut keimanan, maka toleransi tidak ada. Lihat Q.S. 109 : 1-6
[61] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah fi Misr, al-Yasar al-Islami wa Wihdatu al-Wathon, Jilid VIII, Maktabah Madbul, 1952-1981, hal. 35
[62] Hasan Hanafi, Pembaharuan Wacana Keagamaan: “Mulai dari Realita, Baru Teks” dalam Orientalisme Vis a Vis Oksidentalisme Serial Dialog Pencerahan Afkar, Pustaka Pirdaus, Jakarta, Cetakan pertama Agustus 2008. hal. 31
[63] Hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah Jilid 3, Loc. Cit.
[64] Kazoa Shimogaki, Op. cit. hal. 122
[65] Hasan Hanafi, al-Turas wa al-Tajdid Mauqifuna min al-Turast al-Gorby Muqadimat fii ilm al-Isytigrob, Darul al-Faaniyah, 1991, hal. 15
[66] Hasan Hanafi, Hermeneutika Al-Qur’an, Nawesea, 2009. hal. 29
[67] Ibid. hal. 35
[68] Hasan Hanafi, al-Turast wa al-Tajdidid Mauqifuna min al-Turast al-Ghorb, Muqodimah fi ilmi al-Istigrob, Daaru al-Faniyah wa al-Tauzi’, 1991, hal. 12
[69] Menurut Charles salah satu factor penting yang menjadi penyebab utuama matinya humanisme adalah karena kebebasan itu sendiri. Alasan Charles sangat beralasan mengingat, penggunaan perspektif Giddens's memungkinkan kita untuk menemukan bahwa teori fenomenologi kebebasan itu sendiri yang ternyata menjadi alasan penting bagi runtuhnya perdebatan sains dan humanisme saat kami memasuki tahun 1980-an. Lihat Charles R. Varela, Science For Humanism The Recovery of Human Agency Ontological Investigation, First published 2009, 270 Madison Avenue, New York, NY 10016.
[70] Al-Attas menegaskan bahwa pengetahuan itu bisa diperoleh dari berbagai saluran, seperti panca indera (alhawas al-khamsah), akal sehat (al-akl al-salaim), berita-berita yang benar (al-khabar al-shidq) dan melalui intuisi (ilhaam). Lihat dalam Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-attas, Mizan, 2002, hal. 158
[71] Lihat Al-Faruqi, tentang alam sebagai ladang Tuhan dalam Tauhid, Op.cit. hal. 58.; Lihat( QS, Al-Baqarah, 2:29, Al-Mulk, 67:2).
[72] Ibid. hal. 47, Lihat (QS, Al-An’am, 6:80).
[73] Ibnu Taimiyah, Catatan-catatan Spiritual Ibnu Taimiyah, Akbar, 2009, hal. 99 Lihat QS, Al-Fathir, 35:32.
[74] Isma’il Raji Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang, Mizan, 2003, hal. 5
[75] Lihat Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, Pustaka, 1988, hal. xiii-xvi
[76] Muhammad Imarah, Islam Tanpa Agama Versi Hasan Hanafi, dalam Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, GIP, 1998, hal. 124
[77] Q.S 4:28, 10:12, 11:9, 14:34, 15:26, 16:4, 17:11, 67, 83, 100, 18:54, 19:66, 67, 21:37, 22:66, 23:12, 29:8, 31:14, 32:7, 33:72, 36:77, 39:8, 49, 41:49, 51, 42:48, 43:15, 46:15, 50:16, 55:3, 14, 75:3, 5, 10, 13, 14, 36, 76:1, 2, 79:35, 80:17, 24, 82:6, 84:6, 86:5, 89:15, 23, 90:4, 95:4, 96:5, 6, 99:3, 100:6, 103:2. Lihat juga dalam tafsir al-Thabari, kata al-insan dan hubunganya dengan Tuhan sebagaimana pada 4:28 “Yuriidullah anyukhofafa ankum wakhuliko al-insaanu dhoiifa” di tafsirkan bahwa Tuhan menghendaki kamu dalam kemudahan untuk menikahi perempuan yang mukmin jika kamu dalam kelemahan, karena memang sesungguhnya kamu diciptakan dalam kondisi yang lemah yang tidak tahan meniggalkan perjinaan dan sabar. Dengan memperhatikan hubungan manusia dengan Tuhan seperti dalam tafsir tersebut dapat dilihat dengan jelas, bahwa fitrah manusia itu sesungguhnya sangat lemah sehingga karenanya tetap membutuhkan pertolongan Tuhan. Lihat, Muhammad ibnu Jarir ibnu Yazid ibnu Kastir ibnu Gholib al-Amali Abu Ja’far al-Thabari (224-310 h), Jaami’u al-bayan fi Ta’wiil al-Qur’an,4:28, al-Taba’ah al-Uula 1420 h/2000 m.
[78]Ibid., p. 140.
[79] Wahbah al-Zuhail adalah seorang penulis produktif dan ulama Syiria yang sangat pakar dalam bidangnya.
[80] Wahbah az-Zuhail, Kebebasan dalam Islam, Pustaka Al-Kausar, 2005, hal. 10-12
[81] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur, 2001, hal. 38
[82] Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam dan Barat, Rabbani Press, 1988, hal. 147
[83] Muhammad Ibn Abbas Abu Isa Sunan al-Tirmidzi, al-Jami’u al-Sahih li al-Sunan al-Tirmidzi, Maktabah al-Syamilah, Juz 5, hal. 207
[84] Yusuf Qardhawi, Fiqih Maqoshid Syariah Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, Pustaka al-Kausar, 2007, hal. 158-159
[85] Muhammad Imarah, Meluruskan Salah Paham Barat atas Islam Kritik di Balik Hegemoni Wacana Barat atas Islam, Sajadah Press, 2007, hal. 29-30
[86]Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslim, Institut Antar Bangsa Pemikiran dan Tamadun Islam (ISTAC) Kuala Lumpur, 2001, hal. 88-89
[87] Kazuo Shimogaki, Op. cit. hal. 5