konsep,diskriptif,

45
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DEDUKTIF PADA MATERI SEGITIGA DI KELAS VIIC SMP MANBAUL ULUM KEBOMAS GRESIK Undergraduate Theses from JIPPTUMG / 2009-10-21 19:29:36 Oleh : UTAMI DEWI K.P, Universitas Muhammadiyah Gresik ([email protected]) Dibuat : 2009-10-21, dengan 1 file Keyword : Model Pembelajaran Deduktif, materi segitiga.;Deduktive Learning model, the subject triangle Guru mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran, sehingga guru dituntut dapat meningkatkan kompetensinya. Guru juga harus mempunyai kemampuan memilih metode, pendekatan, model pembelajaran yang cocok, serta menguasai materi. Pengalaman mengajar yang dapat membuat peserta didik memahami konsep yang diberikan guru, salah satunya adalah model pembelajaran deduktif. Pembelajaran dalam model deduktif dimulai dengan penyajian definisi konsep, kemudian diikuti dengan contoh dari peserta didik. Pola pikir dalam pembelajaran deduktif sudah terarah karena konsep– konsep umum sudah diketahui peserta didik sehingga dengan mudah peserta didik dapat mengidentifikasikan ke hal-hal yang lebih khusus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas peserta didik selama proses pembelajaran, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, dan ketuntasan belajar peserta didik. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan subjek penelitian yaitu peserta didik kelas VIIC SMP Manbaul Ulum Kebomas-Gresik tahun ajaran 2008-2009 yang terdiri dari 44 peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik tergolong tidak aktif, kemampuan guru

Upload: dyah-septi-andryani

Post on 19-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nhvjh

TRANSCRIPT

Page 1: konsep,diskriptif,

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DEDUKTIF PADA MATERI SEGITIGA DI KELAS

VIIC SMP MANBAUL ULUM KEBOMAS GRESIK

Undergraduate Theses from JIPPTUMG / 2009-10-21 19:29:36

Oleh : UTAMI DEWI K.P, Universitas Muhammadiyah Gresik ([email protected])

Dibuat : 2009-10-21, dengan 1 file

Keyword : Model Pembelajaran Deduktif, materi segitiga.;Deduktive Learning model, the subject

triangle

Guru mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran, sehingga guru dituntut dapat

meningkatkan kompetensinya. Guru juga harus mempunyai kemampuan memilih metode, pendekatan,

model pembelajaran yang cocok, serta menguasai materi. Pengalaman mengajar yang dapat membuat

peserta didik memahami konsep yang diberikan guru, salah satunya adalah model pembelajaran

deduktif. Pembelajaran dalam model deduktif dimulai dengan penyajian definisi konsep, kemudian

diikuti dengan contoh dari peserta didik. Pola pikir dalam pembelajaran deduktif sudah terarah karena

konsep– konsep umum sudah diketahui peserta didik sehingga dengan mudah peserta didik dapat

mengidentifikasikan ke hal-hal yang lebih khusus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

aktivitas peserta didik selama proses pembelajaran, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran,

dan ketuntasan belajar peserta didik. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan subjek

penelitian yaitu peserta didik kelas VIIC SMP Manbaul Ulum Kebomas-Gresik tahun ajaran 2008-2009

yang terdiri dari 44 peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik tergolong

tidak aktif, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dikatakan baik, dan hasil belajar peserta

didik tergolong tuntas dengan persentase ketuntasan belajar klasikal sebesar 95,45%.

Deskripsi Alternatif :

Teachers have an important role in learning process so that they must rise their competencies. They

also should have the ability to use the method, approach, learning model which are suitable. They

should master the subject too. The experience of teaching can make the students understand to the

teacher concept given. One of them is deductive learning model. Learning in deductive model was

started with giving of concept definition, then followed with example from student think pattern in

deductive learning was guided because the common concepts were known by student so student can

indentify to particular cases easily. The purposes of the study are to know student activities in learning

process, teacher proficiency in teaching process, and student achievement. The type of this research

Page 2: konsep,diskriptif,

was descriptive with the subject of this research was students of 7 th C grade of SMP Manbaul Ulum

Kebomas-Gresik in 2008/2009 school year which consist of 44 student. The research result shows that

student activity is not active, teacher ability to manage learning was good and the result of student

study was comple with presentase of classical study completeness was 95,45%

Copyrights : Copyright (c) 2001 by Digilib Universitas Muhammadiyah Gresik. Verbatim copying and

distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is

preserved.

PENGGUNAAN POLA PIKIR INDUKTIF-DEDUKTIF DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERACUAN KONSTRUKTIVISME

Oleh: Rochmad

Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNNES Semarang

(Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika: Sertifikasi Guru:

Meningkatkan Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus Pascasarjana UNNES Semarang, tanggal

16 Januari 2008)

Abstrak:

Ciri utama penalaran dalam matematika adalah deduktif, atau dengan perkataan lain matematika

bersifat deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari

kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan matematika bersifat konsisten.

Pada prinsipnya, dalam pembelajaran matematika pola pikir induktif dan deduktif keduanya dapat

digunakan untuk mempelajari konsep-konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran matematika

dengan fokus pada pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah dapat

diawali menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman khusus yang dialami siswa.

Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan menggunakan pola

pikir induktif. Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau

fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang mungkin, dan

kemudian siswa dapat diarahkan menyusun generalisasi secara deduktif. Selanjutnya, jika

memungkinkan siswa dapat diminta membuktikan generalisi yang diperolehnya secara deduktif. Secara

umum dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif-deduktif. Dalam

Page 3: konsep,diskriptif,

pemecahan masalah, memecahkannya kadang hanya menggunakan salah satu pola pikir induktif atau

deduktif, namun banyak masalah dalam memecahkannya menggunakan keduanya pola pikir induktif

dan deduktif secara bergantian.

Kata kunci: Pembelajaran matematika, pola pikir induktif, pola pikir deduktif, pola pikir induktif-

deduktif, pemecahan masalah.

A. Pendahuluan

Matematika merupakan pelajaran di sekolah yang dipandang penting dan dipelajari oleh siswa di

semua tingkat pendidikan. Matematika informal diberikan pada anak-anak prasekolah, misalnya di

“kelompok bermain atau play group” dan di Taman Kanak-Kanak (TK). Mulai di sekolah dasar (SD)

atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) siswa mendapat pelajaran matematika formal. Di TK misalnya, siswa

mulai mengenal klasifikasi secara informal. Anak-anak bermain memilih benda-benda berwarna merah

dari sekelompok benda-benda mainannya dapat dikatakan secara informal siswa melakukan

pengelompokan, dan bahkan secara informal pada diri siswa mulai tertanam “penalaran matematika”,

misalnya siswa menggunakan penalaran matematika ketika mengetahui mana benda-benda yang

termasuk dalam kelompok benda-benda berwarna merah dan yang bukan berwarna merah. Dalam

setiap pengelompokan tentu ada syarat tertentu, secara informal siswa dapat mengklasifikasikan mana

benda-benda yang menjadi anggota kelompoknya, syarat dalam melakukan pengelompokan oleh anak

dilakukan sendiri atau dilakukan dibawah bimbingan guru.

Sejak siswa duduk di kelas 1 SD/MI, mulailah dikenalkan dengan matematika formal. Para siswa mulai

mengenal obyek dasar matematika yang bersifat abstrak misalnya fakta, konsep, prinsip dan struktur

matematika. Dalam mempelajari matematika siswa terlibat dengan berpikir. Soedjadi (2000)

menyatakan dalam matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Meskipun pada

akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika

dapat digunakan pola pikir induktif.

Dewasa ini pembelajaran matematika konstruktivis menjadi perhatian para pemerhati pendidikan untuk

menggeser pembelajaran matematika tradisional yang hasil belajarnya dipandang kurang optimal.

Slavin (2000) menyatakan “students must construct knowledge in their own mind”. Pembelajaran

matematika tradisional berpusat pada guru dengan metode ceramah sebagai metode pembelajaran

utama. Di kelas siswa lebih banyak sebagai pendengar dan menghafal aturan-aturan atau rumus-rumus

matematika kurang memahaminya (Suwarsono, 1999; Ratumanan, 2003; Jaeng, 2004). Marpaung

Page 4: konsep,diskriptif,

(dalam Ratumanan, 2003) berpendapat bahwa matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafal.

Pembelajaran matematika beracuan konstruktivieme berpusat pada siswa, guru berperan sebagai

fasilitator terciptanya suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien dan menyenangkan. Guru

menerapkan berbagai metode yang dipandang sesuai dengan bahasan materi matematika yang sedang

dipelajari. Siswa terlibat membangun ide-ide, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan struktur-struktur

matematika berdasar pengalaman siswa sendiri.

Fakta di lapangan guru matematika sekolah kebanyakan mengajar dengan cara tradisional dengan pola:

informasi-contoh soal-latihan sesuai contoh. Paradigma pembelajaran matematika di Indonesia selama

bertahun-tahun adalah paradigma mengajar dan banyak dipengaruhi oleh psikologi tingkah laku, bukan

paradigma belajar (Marpaung, 2003). Menurut Ratumanan (2003) pembelajaran matematika di

Indonesia beracuan behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan hukum latihan.

Guru mendominasi kelas dan menjadi sumber utama pengetahuan, kurang memperhatikan aktivitas

aktif siswa, interaksi siswa, negosiasi makna, dan konstruksi pengetahuan.

Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika beracuan behaviorisme

selama ini kurang berhasil, oleh karena itu perlu dicari alternatif ”penggantinya”, misalnya

pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme. Tulisan ini membahas pembelajaran matematika

beracuan konstruktivisme dan kaitannya dengan penggunaan pola pikir induktif dan deduktif. Tulisan

ini menyajikan salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang

melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.

B. Pembahasan

1. Penalaran Matematika

Fondasi dari matematika adalah penalaran (reasoning). Ross (dalam Lithner, 2000) menyatakan bahwa

salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa penalaran

logika (logical reasoning). Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa

matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-

contoh tanpa mengetahui maknanya.

Banyak penelitian yang dilakukan para psikolog dan pendidik berkaitan dengan penalaran. Penalaran

yang mula-mula dikenalkan oleh Aristotle adalah penalaran silogisme yang idenya muncul ketika orang

ingin mengetahui “apa yang terjadi dibenak” dalam memecahkan masalah yang memuat logika. Lebih

dari 2000 tahun yang lalu Aristotle mengenalkan suatu sistem penalaran atau validasi argumen yang

Page 5: konsep,diskriptif,

disebut silogisme. Silogisme memuat tiga urutan argumen: sebuah premis utama (a major premise);

sebuah premis minor (a minor premise); dan sebuah kesimpulan (a conclusion). Suatu kesimpulan yang

dicapai berdasarkan penalaran silogisme dinilai “benar” atau “valid”, jika premis-premisnya

merupakan pernyataan yang benar dan disusun dalam bentuk yang benar.

Dalam belajar matematika memerlukan penalaran induktif dan deduktif. Copeland (1974)

mengklasifikasikan penalaran dalam penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif

digunakan bila dari kebenaran suatu kasus khusus kemudian disimpulkan kebenaran untuk semua

kasus. Penalaran deduktif digunakan berdasarkan konsistensi pikiran dan konsistensi logika yang

digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme benar dan bentuknya (format penyusunannya)

benar, maka kesimpulannya benar. Proses penarikan kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau

sering disebut penalaran deduktif.

Peressini dan Webb (1999) di samping memandang penalaran matematika sebagai konseptualisasi

dinamik dari daya matematika (mathematically powerful) siswa, juga memandang penalaran

matematika sebagai aktivitas dinamik yang melibatkan keragaman mode berpikir. Daya matematika

sebagai suatu integrasi dari berikut ini: (a) suatu kecenderungan positip kepada matematika; (b)

pengetahuan dan pemahaman terhadap sifat-sifat matematika, meliputi konsep-konsep, prosedur-

prosedur dan keterampilan-keterampilan; (c) kecakapan melakukan analisis dan beralasan secara

matematis; (d) kecakapan menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan ide-ide; dan (e)

kecakapan menerapkan pengetahuan matematika untuk memecahkan masalah-masalah dalam berbagai

konteks dan disiplin ilmu (NCTM, 1989 dalam Perissini dan Webb, 1999).

Daya matematika siswa seyogyanya dapat diwujudkan dalam berbagai dimensi supaya mampu

memunculkan berbagai metode matematika yang nantinya dapat membantu siswa dalam memecahkan

masalah tidak rutin dan dapat dijadikan panduan dalam menghadapi perubahan kehidupan dalam

masyarakat yang bergantung pada kemajuan ilmu, teknologi dan informasi. Penalaran matematika

dalam sudut pandang aktivitas dinamik melibatkan keragaman mode berpikir, dan daya matematika

dipandang sebagai komponen integral dari berpikir matematika. Khususnya berpikir matematika yang

melibatkan keragaman matematika dalam keterampilan berpikir untuk memahami ide-ide, menemukan

hubungan antar ide-ide, dan mendukung gambaran atau kesimpulan tentang ide-ide dan hubungan-

hubungannya, dan memecahkan masalah-masalah yang melibatkan ide-ide tersebut (O’Daffer dan

Thornquist dalam Perissini dan Webb, 1999).

Page 6: konsep,diskriptif,

Penalaran matematika memiliki peran yang amat penting dalam proses berpikir seseorang. Penalaran

matematika meliputi mengumpulkan bukti-bukti, membuat konjektur-konjektur, menetapkan

generalisasi-generalisasi, membangun argumen-argumen, dan menentukan (dan validasi) kesimpulan-

kesimpulan logis berdasar ide-ide dan hubungan-hubungannya. Untuk mencapai daya matematika

berbagai mode penalaran matematika dilibatkan misalnya induktif (inductive), deduktif (deducttive),

bersyarat (conditional), perbandingan (proporsional), grafik (graphical), keruangan (spatial) dan

penalaran abstrak (abstract reasoning).

2. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme

Salah satu dari prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat dengan

mudah menanamkan pengetahuan pada diri siswa. Slavin (2000) menyatakan bahwa siswa harus

mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya. Berkaitan dengan hal ini, guru dapat menciptakan

suasana pembelajaran sehingga informasi, keterampilan dan konsep yang disampaikan menjadi

bermakna dan relevan bagi siswa dengan cara memberi kesempatan kepada para siswa untuk

menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri; serta suasana pembelajaran yang mampu menjadikan

siswa memiliki keberanian dan dengan penuh kesadaran belajar menggunakan strateginya sendiri. Guru

dapat memberi tangga kepada siswa agar dapat digunakan untuk naik menuju ke pemahaman yang

lebih tinggi, tetapi biarkanlah siswa sendiri yang memanjatnya.

Menurut Slavin (2000) proses mengajar belajar yang berpusat pada siswa dan menekankan pada

aktivitas siswa mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya sendiri dinamakan teori pembelajaran

konstruktivistik (constructivist theories of learning). Pembelajaran konstruktivis mengkondisikan

kegiatan siswa dalam interval waktu kerja yang tidak begitu lama memeriksa informasi baru dan

dibandingkan dengan aturan-aturan yang telah diketahuinya, dan mungkin kemudian merevisi aturan-

aturan tersebut. Karena pembelajaran konstruktivis menekankan kepada para siswa agar belajar lebih

aktif di kelas, maka pembelajaran konstruktivis sering dinamakan pembelajaran yang berpusat pada

siswa. Dalam pembelajaran beracuan konstruktivisme guru menjadi pembimbing dan fasilitator. Inti

dari pembelajaran konstruktivis adalah siswa secara individual menemukan dan mentransformasi

informasi yang begitu kompleks dalam benaknya.

Kenyataan bahwa para siswa sering mempelajari konsep-konsep dan prosedur-prosedur matematika

dengan kurang atau tidak memahaminya dikemukakan dalam National Assessment of Educational

Progress (dalam Johnson, Johnson dan Stiff, 1993). William A. Brownel (dalam Johnson, Johnson dan

Page 7: konsep,diskriptif,

Stiff, 1993) adalah salah seorang yang mula-mula mengajukan teori pembelajaran matematika

(aritmetika) secara bermakna (meaningful learning) berpendapat bahwa pembelajaran matematika yang

efektif harus menyajikan suatu pemahaman pada konsep-konsep, hubungan-hubungan, dan proses

terjadinya definisi aritmetika. Penelitian menunjukkan bahwa para siswa sering mempelajari prosedur-

prosedur dalam aljabar tanpa memahami makna apa yang mereka pelajari. Reed (dalam Johnson,

Johnson dan Stiff, 1993) menyatakan bahwa jika para siswa memahami struktur-struktur yang

mendasari masalah, susunan kata dalam masalah kurang memberi efek pada kecakapan siswa dalam

memecahkannya atau dalam mengkonstruksi alternatif pemecahannya. Salah satu strategi penting

untuk membantu siswa dalam memahami masalah secara bermakna adalah meminta siswa menulis dan

merumuskan kembali masalah yang sedang dihadapi sebelum siswa menulis penyelesaianya.

Sampai saat ini, teori perkembangan intelektual anak yang sering menjadi acuan para pemerhati

pendidikan adalah teori perkembangan inelektual Piaget. Di awal kerjanya ia mengidentifikasi adanya

empat tahap perkembangan kognitif: sensori motor (sensorimotor), preoperasional (preoperational),

operasional konkret (concrete operational), dan operasi formal (formal operational). Tetapi siswa jarang

hanya berada pada satu sisi tahap perkembangan. Para siswa pada jenjang pendidikan setingkat SMA

(high school) sering berada dan bergerak pada operasi konkret dan operasi formal jika mereka sedang

mempelajari keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip baru (Johnson, Johnson

dan Stiff, 1993).

Teori Piaget tentang perkembangan intelektual menaruh perhatian pada proses asimilasi (assimilation)

dan akomodasi (accommodation) informasi dalam skema mental siswa. Asimilasi adalah suatu proses

menempatkan informasi dan pengalaman baru dalam struktur kognitif siswa. Akomodasi adalah hasil

penyetrukturan kembali dalam skema kognitif.

Assimilation is the process by which new experience and information are placed into the cognitive

structure of the leaner. […] Accomodation is the product of any restructuring of that cognitive schema.

(Stiff, Johnson, dan Johnson; 1993:3)

Pembelajaran beracuan konstruktivisme menekankan pada aktivitas siswa membangun (construct)

pengetahuan untuk “menyesuaikan” apa yang baru saja diketahui (atau diyakini). Kadangkala

penyesuaian atau adaptasi tidak dapat dengan mudah dilakukan. Apabila siswa tidak dapat membaca

asimilasi data baru dalam struktur mental yang ada, maka siswa membangun skema-skema atau

hubungan-hubungan baru agar dapat mengakomodasi pengetahuan dalam benaknya. Untuk

Page 8: konsep,diskriptif,

memperoleh pengalaman membangun pengetahuan baru dalam benaknya siswa harus aktif terlibat

dalam merestruktur pengetahuan tersebut.

Sebagai contoh, dalam memperoleh keterampilan menyelesaikan sistem persamaan linear dengan dua

variabel misalnya mula-mula siswa terampil bekerja menggunakan cara “eleminasi”. Dengan berdasar

pengetahuan dan pengalaman siswa ini dimungkinkan menghasilkan penyetrukturan kembali

(restructuring) pemahaman mereka dalam menyelesaikan sistem persamaan linear dengan dua variabel

misalnya menyelesaikan persamaan tersebut dengan menggunakan bantuan matriks.

Bruner (dalam Stiff, Johnson dan Johnson, 1993) merumuskan empat teorema belajar matematika yang

mengacu pada pandangan konstruktivisme. Teorema konstruksi (construction theorem), teorema notasi

(notation theorem), teorema kontras dan variasi (contrast and variation theorem), dan teorema

konektivitas (connectivity theorem).

Teorema konstruksi menyatakan bahwa siswa seyogyanya diberi kesempatan untuk mengkonstruksi

sendiri representasi konsep-konsep, aturan-aturan dan hubungan-hubungannya. Dalam pelaksanaan

pembelajaran di kelas guru sering menyediakan dan menggunakan bantuan benda-benda konkret atau

benda-benda manipulatif untuk membantu siswa dalam belajarnya. Teori notasi menyatakan bahwa

penggunaan notasi yang baik akan menyederhanakan proses kognisi dalam menangkap konsep-konsep,

aturan-aturan dan hubungan-hubungannya. Sebagai contoh, siswa akan lebih memahami konsep

“variabel” jika digunakan representasi ikonik misalnya 19 = __ + 7 dari pada digunakan representasi

baku 19 = x + 7.

Teorema kontras dan variasi menyatakan bahwa kemajuan dari representasi konsep-konsep dari

konkret ke bentuk abstrak bergantung pada pengalaman siswa dalam membandingkan atribut-atribut

suatu konsep dengan atribut-atribut konsep lain yang serupa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

menghadapi dan menyelesaikan berbagai contoh. Teorema konektivitas menyatakan bahwa guru perlu

mendemonstrasikan hubungan antar keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip

matematika. Teorema konektivitas ini dapat mengurangi isolasi antar topik dalam pembelajaran

matematika dan dapat mengantarkan siswa sampai pada tingkat intuisi dan penalaran matematika yang

lebih tinggi, yakni belajar matematika secara bermakna (meaningfull mathematical learning).

3. Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran Matematika

Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan

pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan

Page 9: konsep,diskriptif,

teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan,

menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan

kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif

menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder,

2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new learning

involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua pembelajaran baru

melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.

Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan

menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan

pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh

dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.

Major (2006) memberi contoh pembelajaran barisan aritmetika sebagai berikut. Guru mulai

pembelajaran dengan menulis definisi dipapan tulis: ‘barisan aritmetika adalah barisan yang memiliki

beda sama’. Kemudian guru menjelaskan apa maksud ‘memiliki beda sama’. Kemudian guru

melanjutnya pembelajaran, misalkan suku pertama barisan adalah a, dan beda b, maka a, a + b, a + 2b +

… + (a + (n – 1)b) adalah barisan arimetika. Selanjutnya guru memberi contoh dan memberi soal untuk

dikerjakan siswa.

Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna matematika dalam pembelajaran dengan

pendekatan deduktif. Hal ini disebabkan siswa baru memahami generalisasi atau kosep setelah

disajikan berbagai contoh. Major (2006) menyarankan dalam pembelajaran dengan pendekatan

deduktif: (1) mulailah dengan menyatakan generalisasi secara jelas; (2) tulis definisi dipapan tulis; (3)

jelaskan istilah-istilah dalam definisi; (4) secara hati-hati tekankan hubungan-hubungan sifat dalam

generalisasi; (5) ilustrasikan dengan contoh; dan (5) berilah kesempatan siswa memberi atau

mengerjakan contoh berikutnya.

Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah

dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya

pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran

berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan

melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau

memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-

Page 10: konsep,diskriptif,

prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.

Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan

konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus

menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun

dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi,

tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.

4. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme yang Melibatkan Penggunaan Pola

Pikir Induktif-Deduktif

Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme masih sulit menentukan

pendekatan mana yang lebih baik; pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif atau dengan

pendekatan deduktif. Menurut Prince dan Felder (2006), guru yang baik adalah yang membantu siswa

mempelajari keduanya. Menurut Dameus, A. Tilley, D.S, Brant, M (2004) pendekatan pembelajaran

dapat induktif atau deduktif, atau kombinasi dari keduanya. Major (2006) berpendapat dalam

pelaksanaan pembelajaran lebih baik memuat keduanya kegiatan induktif dan deduktif meskipun tak

dapat dihindari mana yang lebih dominan.

Berdasar uraian di atas dan mengacu pendapat dengan Prince dan Felder (2006), Dameus, A. Tilley,

D.S, Brant (2004), dan Major (2006); penulis berpendapat pembelajaran matematika beracuan

konstruktivisme dapat dirancang mengkombinasikan keduanya memuat kegiatan induktif dan deduktif,

sependapat dengan Major (2006) dalam pelaksanaan pembelajaran lebih baik memuat keduanya

kegiatan induktif dan deduktif meski tak dapat dihindari salah satu dari kegiatan tersebut lebih

dominan.

Dalam makalah ini dikembangkan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang

melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif. Rancangan sintaks pembelajaran dominan pada

kegiatan induktif yang memuat kegiatan siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasar

pengalaman siswa sendiri. Siswa melakukan pengamatan pada hal-hal khusus, misalnya contoh-contoh

suatu konsep dan menuliskan konsep tersebut dengan bahasa siswa sendiri. Dalam kegiatan induktif ini

siswa belajar mengkonstruk pengetahuan matematis menggunakan pola pikir induktif. Ketika siswa

memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif atau deduktif secara bergantian. Dengan

demikian kegiatan deduktif tercakup dalam pemecahan masalah. Dalam pemecahan masalah siswa

terlibat dengan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.

Page 11: konsep,diskriptif,

Salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan

penggunaan pola pikir induktif-deduktif serta pembelajaran yang memungkinkan mencakup kegiatan

pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah sebagai berikut: (1) fase

kegiatan pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan

induktif-deduktif; dan (5) fase kegiatan penutupan.

a. Fase kegiatan pembukaan

Kegiatan guru pada fase kegiatan pembukaaan pertama-tama guru membuka pembelajaran.

Menyampaikan tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa agar dapat lebih siap dalam mengikuti

kegiatan pembelajaran. Selanjutnya guru memeriksa pengetahuan prasyarat misalnya dengan cara

menanyakan hasil pekerjaan rumah, atau menanyakan materi yang berkaitan dengan pembelajaran yang

telah diberikan sebelumnya.

Menurut Kemp (1994: 107) dapat disinyalir bahwa siswa mengalami kesulitan belajar disebabkan

siswa tidak mengetahui dengan pasti atau kurang jelas apa yang diharapkan oleh guru dari siswa. Jika

apa yang diharapkan guru tidak dibatasi dengan jelas, siswa tentu tidak akan tahu dengan pasti apa

yang akan dipelajari dan apa yang perlu dilakukan. Oleh karena itu di awal pembelajaran guru perlu

menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan bagaimana cara belajar untuk

mencapainya.

Tujuan pembelajaran perlu diketahui oleh siswa agar siswa mengetahui apa yang harus dilakukan.

Tujuan pembelajaran untuk suatu pokok bahasan harus diberikan pada saat mereka mulai mempelajari

pokok bahasan itu (Kemp, 1994). Dengan cara seperti ini, siswa akan mengetahui apa yang diharapkan

dari guru dalam mempelajari pokok bahasan tersebut dan dapat mengatur tata cara belajarnya dengan

baik. Kemp (1994: 130) menyatakan terdapat bukti positif yang menunjukkan bahwa siswa yang diberi

tahu tentang tujuan pembelajaran yang harus mereka capai betul-betul mengalami kemajuan yang

memuaskan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan mencapai tingkat keberhasilan yang lebih

besar dibandingkan dengan siswa yang tidak diberi tahu.

Motivasi diperlukan oleh para siswa dalam belajar matematika. Ide awal penelitian Kazemi dan Stipek

(2002) adalah untuk menjawab tantangan bagaimana pentingnya guru memberi motivasi kepada

seluruh siswa agar para siswa bergairah dan terikat kuat dalam belajarnya. Oleh karena itu dalam fase

Page 12: konsep,diskriptif,

pembukaan ini guru perlu memberi motivasi kepada siswa agar siswa tebih bergairah dan konsentrasi

dalam belajarnya.

Agar guru dapat mengelola pembelajaran dengan baik, guru perlu mengetahui pengetahuan prasyarat

siswa yaitu dengan cara memberi pertanyaan-pertanyaan yang mendasari sub pokok bahasan

pembelajaran yang akan disampaikan. Menurut Ausubel (dalam Joice dan Weil, 1992: 184): “whether

or not material is meaningful depends more on the preparation of the learner and on the organization of

the material than it does on the method of representation”. Apakah materi yang dipelajari siswa

bermakna atau tidak lebih bergantung pada kesiapan siswa dan pengorganisasian materi dari pada

metode penyajian. Oleh karena itu, sebelum guru memulai pembelajaran perlu memeriksa pengetahuan

prasyarat siswa.

b. Fase kegiatan induktif.

Guru menyampaikan hal-hal khusus berkaitan dengan materi pokok yang akan disampaikan. Guru

mengarahkan siswa melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan pola pikir induktif, misalnya

guru memberi beberapa contoh suatu konsep, siswa diminta mengamati dengan cermat, dan meminta

siswa menulis makna konsep tersebut dengan bahasa siswa sendiri. Dalam fase ini kegiatan belajar

siswa mengkonstruk pengetahuan matematis dengan cara siswa sendiri berdasar hasil pengamatannya.

Dalam fase kegiatan induktif ini dibawah bimbingan dan arahan guru, siswa aktif belajar matematika

secara individu. Meskipun demikian, siswa diberi kesempatan berinteraksi dengan temannya, misalnya

bertukar pendapat dengan teman sebangkunya atau dengan teman-teman di dekatnya. Kegiatan utama

siswa adalah mengamati, memeriksa, menyelidiki, menganalisis, atau memikirkan berdasarkan

kemampuan masing-masing hal-hal yang bersifat khusus dan mengkonstruk konsep atau generalisasi

atau sifat-sifat umum berdasar hal-hal khusus tersebut. Menurut Kemp (1994: 143) terdapat bukti yang

menunjukkan sebagian besar siswa dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan cara yang paling

memuaskan apabila siswa diberi kesempatan belajar menurut kemampuan masing-masing.

Pada fase kegiatan induktif ini prinsip memuat prinsip pertama pembelajaran beracuan konstruktivisme

menurut Tadao (dalam Sa’dijah, 2006), yaitu fase kesadaran, anak dihadapkan pada sumber yang

membangkitkan kesadaran matematisnya dan mulai mengkonstruksi pengetahuan matematis. Guru

menyampaikan contoh-contoh atau kasus-kasus khusus menjadi sumber untuk membangkitkan

kesadaran siswa dan siswa melakukan pengamatan secara hati-hati terhadap contoh atau kasus khusus

yang diamati.

Page 13: konsep,diskriptif,

c. Fase diskusi kelas

Ada kelemahan jika pembelajaran di kelas hanya dengan belajar secara individu. Kelemahan tersebut

misalnya kurang terjadi interaksi antar siswa atau antara guru dan siswa. Kemp (1994: 156)

berpendapat bahwa dalam pembelajaran perlu direncanakan kegiatan kelompok. Apabila hanya dipakai

metode satu jalur, misalnya hanya kerja mandiri, kegiatan belajar bisa membosankan dan tidak

menarik. Kemp (1994: 151) juga berbendapat bahwa akhir-akhir ini terdapat kecenderungan

mengurangi waktu untuk pola penyajian materi pembelajaran, lebih menyukai pola belajar mandiri

dalam kegiatan kelompok.

Berdasar pendapat Kemp (1994) dapat disinyalir bahwa kegiatan belajar siswa secara individu dapat

diperkuat melalui interaksi sosial, misalnya diskusi kelompok. Pertemuan kelompok kecil ini dapat

dipakai untuk mengecek kepahaman siswa tentang konsep dan asas yang telah mereka peroleh

sebelumnya (Kemp, 1994: 167). Dalam fase kegiatan induktif siswa diberi kesempatan berdiskusi

dengan teman sebangkunya atau diskusi dalam kelompok dengan beberapa teman didekatnya. Dalam

diskusi ini siswa berinteraksi satu dengan lainnya dan bertukar pemikiran dan pengalaman dalam

rangka mengkonstruk pengetahuan secara individu.

Dalam fase diskusi kelas ini guru memimpin diskusi dalam rangka memperoleh kesimpulan atau

kesepakatan terhadap hasil-hasil konstruksi pengetahuan matematis awal siswa. Hasil dikonstruksi

pengetahuan matematis siswa mungkin berbeda-beda bergantung pada pengetahuan awal masing-

masing. Beberapa siswa diminta menyampaikan hasil kerjanya secara lisan atau tertulis. Guru memberi

ulasan atau komentar, dan selanjutnya memberi kesimpulan atau kesepakatan terhadap makna konsep

yang pelajari siswa. Dengan demikian, siswa tidak semata-mata menghafal definisi suatu konsep tetapi

siswa terlibat dalam memperoleh definisi tersebut.

d. Fase kegiatan induktif-deduktif

Dalam fase kegiatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994:

90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu

metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai

“ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan

pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang

bersifat khusus” Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat

Page 14: konsep,diskriptif,

berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan

secara bergantian.

e. Fase kegiatan penutup

Pada fase kegiatan penutup ini kegiatan pembelajaran adalah memberi kuis (tes singkat) secara

individu, memberi tugas dikerjakan di rumah, dan menutup pembelajaran. Kuis (tes singkat) berupa

soal yang harus diselesaikan siswa dalam waktu yang relatif singkat. Untuk melaksanakan kuis

diperlukan alat penilaian. Alat penilaiaannya dapat tes tertulis atau lisan. Tujuannya untuk mengukur

seberapa jauh siswa telah menguasai pengetahuan ditinjau dari aspek pemahaman konsep, penalaran

dan komunikasi, atau pemecahan masalah.

Guru memberi tugas dengan memberi soal-soal yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas

untuk dikerjakan di rumah. Tugas rumah diarahkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan tujuan

siswa dapat lebih memahami konsep atau struktur matematika yang dipelajari dan untuk melatih siswa

terbiasa menggunakan pola pikir induktif-dedukif dalam memecahkan masalah. Selanjutnya guru

menutup pembelajaran.

C. Penutup

Agar siswa dapat belajar matematika di sekolah secara bermakna, siswa dituntut terampil memahami

konsep-konsep matematika dari pola pikir induktif menuju deduktif. Pembelajaran matematika

beracuan konstruktivisme dengan melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif merupakan salah

satu alternatif pembelajaran matematika yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang

berpusat pada siswa.

Dalam pemecahan masalah siswa kadang menggunakan pola pikir induktif, kadang deduktif, dan

kadang keduanya. Dalam pemecahan masalah kadang sulit memisahkan antara penggunaan pola pikir

induktif dan deduktif. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran matematika beracuan konsruktivisme

penggunaan pola pikir induktif dan deduktif keduanya dapat digunakan untuk membangun misalnya

suatu konsep matematika berdasar pengalaman siswa sendiri.

Pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan

pemecahan masalah dapat diawali menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman

khusus yang dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan matematika

dengan menggunakan pola pikir induktif. Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan

menyajikan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul,

Page 15: konsep,diskriptif,

memperkirakan hasil yang mungkin, dan kemudian jika memungkinkan siswa dapat diarahkan

menyusun generalisasi secara deduktif. Secara umum dalam memecahkan masalah siswa menggunakan

pola pikir induktif-deduktif.

Salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan

penggunaan pola pikir induktif-deduktif sebagai berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase

kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan induktif-deduktif; dan (5) fase

kegiatan penutupan.

http://rochmad-unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html

6.Dalam proses pembuktian suatu sifat, teori, atau dalil, dikenal dengan dua jenis pembuktian yaitu

induktif dan deduktif. Bagaimana proses kedua pembuktian tersebut dalam matematika? Apa

kekurangan dan kelebihan masing – masing?

Pembuktian deduktif dan induktif

Penalaran deduktif memberlakukan prinsip – prinsip umum untuk mencapai kesimpulan – kesimpulan

yang spesifik.

Penalaran induktif menguji informasi yang spesifik yang mungkin berupa banyak potongan informasi

yang spesifik untuk menarik suatu kesimpulan umum.

Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif.

Perbedaan dasar antara keduanya dapat disimpulkan dari dinamika deduktif tentang progesi secara

logis dari bukti – bukti umum kepada kebenaran atau kesimpulan yang khusus, sementara dengan

induksi dinamika logisnya justru sebaliknya.

Penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukan

suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat berlaku secara umum.

Pembuktian melalui deduksi adalah sebuah jalan pemikiran yang menggunakan argumen – argumen

deduktif untuk beralih dari premis – premis yang ada, yang dianggap benar, kepada kesimpulan –

kesimpulan yang mestinya benar apabila premis – premisnya benar.

Pembuktian yang menggunakan penalaran induktif biasanya menggunakan kalimat impilkatif yang

berupa pernyataan jika…maka…, kemudian dikembangkan dengan menggunakan pola pikir yang

disebut silogisme yaitu sebuah argumen yang terdiri atas tiga bagian. Didalamnya terdapat dua

pernyataan yang banar (premis ) yang menjadi dasar dari argumen tersebut. Di dalam logika sebagai

cabang (inti) matenatika yang banyak membahas tentang silogisme terdapat beberapa aturan yang

menyatalkan apakah silogisme itu valid atau tidak.

Page 16: konsep,diskriptif,

Contoh 1 :

- semua manusia fana (pasti akan mati) (premis mayor)

- deni adalah manusia (permis minor)

- deni pasti akan mati (kesimpulan)

contoh 2 :

misalkan pembuktian secara deduktif sebagai berikut : andaikan m dan n sembarang dua bilangan

bulat, maka 2m + 1 dan 2n + 1, tentunya masing – masing merupakan bilangan ganjil, jika kita

jumlahkan :

(2m + 1) + (2n + 1) = 2 (m + n + 1)

Karena m dan n adalah bilangan bulat, maka (m + n +1)bilangan bulat, sehingga 2(m + n + 1)adalah

bilangan genap. Jadi jumlah bilangan ganjil selalu genap.

Matematika itu merupakan ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan kepada

observasi (induktif)tetapi generalisasi yang didasarkan pada pembuktian secara deduktif

http://forumgurumatematikasmp2serang.blogdetik.com/2009/10/13/39/

MATEMATIKA : Ilmu Deduktif

Matematika seringkali dilukiskan sebagai ilmu yang terdiri dari suatu kumpulan system matematika

dimana masing-masing system mempunyai struktur yang sifatnya deduktif. Suatu system deduktif

dimulai dengan memilih beberapa unsur yang tidak didefinisikan yang disebut unsur primitive. Unsur-

unsur tersebut digunakan sebagai dasar komunikasi. Misalnya dalam geometri, unsur “titik” dan

“lengkungan” merupakan suatu unsur yang tidak didefinisikan di semua pernyataan yang melibatkan

titik dan lengkungan. Titik dianggap ada, tetapi tidak dapat dinyatakan dalam suatu kalimat dengan

tepat, sebab titik itu merupakan unsur yang tidak didefinisikan. Begitu pula dengan lengkungan.

Lengkungan kita peroleh (gambarnya) apabila mulai dari suatu titik kita buat suatu jalan dengan pensil

(misalnya) sampai di suatu titik lain atau titik asal berangkat. Meskipun kita tidak dapat memberikan

pengertian dengan tepat, tetapi kita sepakat bahwa unsur-unsur tersebut ada. Selanjutnya unsur-unsur

tersebut dalam matematika (geometri) disebut unsure-unsur yang tidak didefinisikan yang eksistensinya

diakui ada. Tanpa adanya suatu pemikiran seperti itu matematika tidak akan terwujud.

Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan tersebut kita rumuskan unsur-unsur yang didefinisikan,

misalnya “lengkungan tertutup sederhana adalah lengkungan yang titik berangkat dan titik berhentinya

sama dan tidak saling memotong”.

Page 17: konsep,diskriptif,

Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan dan unsur-unsur yang didefinisikan itu kita buat asumsi-

asumsi dasar atau aksioma-aksioma. Sehubungan dengan hal itu, ET. Rusefendi menyatakan bahwa

“aksioma atau postulat adalah pernyataan dasar dalam matematika yang tidak dibuktikan kebenarannya

karena kebenarannya tidak disangsikan lagi”. (ET. Rusefendi, 1989 : 149). Aksioma-aksioma ini dipilih

sebagai kesepakatan yang biasanya Nampak sesuai dengan pengalaman-pengalaman kita, dan

merupakan pernyataan yang menunjukkan hubungan dasar diantara unsur-unsur pokok di dalam system

tersebut. Berikut beberapa contoh aksioma yang lain :

1. Melalui sebuah titik sembarang ke sebuah titik sembarang lainnya dapat ditarik sebuah garis

lurus.

2. Semua sudut siku-siku satu sama lain sama besar.

3. Melalui sebuah titik yang tidak terletak pada sebuah garis lurus dapat ditarik sebuah garis lurus

yang sejajar dengan garis itu.

Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, unsur-unsur yang didefinisikan, dan aksioma disusunlah

teori-teori atau dalil-dalil yang dapat dibuktikan kebenarannya dan berlaku umum. Misalnya “jumlah

sudut-sudut sebuah segitiga besarnya ”. Dalil itu tidak hanya berlaku pada segitiga kecil atau segitiga

siku-siku, tetapi berlaku untuk sembarang segitiga.

Dalil-dalil yang dirumuskan itu banyak sekali. Jadi, matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur

yang tidak didefinisikan, unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil, dimana

dalil-dalil itu setelah dibuktikan kebenarannya, berlaku secara umum.

Setiap system deduktif adalah konsisten terhadap dirinya dan bebas dari kontradiksi terhadap dirinya.

Pendekatan logis yang digunakan dalam matematika adalah kiya mulai dengan definisi-definisi dan

aksioma-aksioma dan menurunkan suatu teorema yang didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang

dapat dibuktikan dengan menggunakan alasan-alasan deduktif dan kumpulan aksioma yang telah kita

sepakati. Jadi kita mulai dengan daftar unsur-unsur yang tidak didefinisikan kemudian merumuskan

aturan-aturan untuk menggabungkan unsur-unsur yang tidak didefinisikan tadi dan kemudian

mengaplikasikan aturan-aturan itu.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu deduktif, sehingga ilmu

Page 18: konsep,diskriptif,

matematika menuntut diterapkannya cara berpikir dengan penalaran deduktif, yaitu suatu proses

berpikir dalam menarik suatu kesimpulan dengan menggunakan pola berpikir silogisme.

http://pro-edukasi.blogspot.com/2009/10/matematika-ilmu-deduktif.html

http://digilib.unitomo.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunitomo-

5ngy4qbbphgcxfuxgv4ewc3glifrvq-endangsria-237&PHPSESSID=cgmfuogdi

Teori Dienes

Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya

pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori pieget,

dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem

yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.

Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi

tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan

mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan

bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang

konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau

obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik

dalam pengajaran matematika.

Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep

tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh

hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.

Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan

menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-

anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan

Page 19: konsep,diskriptif,

mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan

lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam

permainan semula..

Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-

tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:

1. Permainan Bebas (Free Play)

Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep

bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang

aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk

mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai

membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami

konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik

mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang

merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.

2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)

Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola

dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat

dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah

memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai

mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk

berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami

siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep

yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan

Page 20: konsep,diskriptif,

suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk

yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak

diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah,

kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya.

Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman

terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal),

atau tidak merah (biru, hijau, kuning).

3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)

Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan

sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari

kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan

kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-

sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan

permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang

tebal, anak diminta

mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut

(anggota kelompok).

4. Permainan Representasi (Representation)

Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para

siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil

menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu.

Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada

pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang

Page 21: konsep,diskriptif,

sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon

(misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini.

Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga

0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ..... diagonal ……. diagonal

5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan

merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol

matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari

banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan

rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.

6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)

Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-

siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat

baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur

matematika seperti aksioma, harus mampu

merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah

mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu

merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema

tersebut.

Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta

membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang

sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya.

Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif,

Page 22: konsep,diskriptif,

asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah

sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung

selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan

materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat.

Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple

embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang

dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent)

dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.

Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan

lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak

didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya

imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple

embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel

matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana

sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin

banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi

anak dalam memahami konsep tersebut.

Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan

yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk

membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-

temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk

mengabstraksikan pelajaran tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik,

peta dan akhirnya memadukan simbolo - simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah

ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi

Page 23: konsep,diskriptif,

dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses

pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada

hanya sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan

matematika ke satu bidang baru.

Dari sudut pandang tahap belajar, peranan guru adalah untuk mengatur belajar anak didik dalam memahami bentuk aturan-aturan susunan benda walaupun dalam skala kecil. Anak didik pada masa ini bermain dengan simbol dan aturan dengan bentuk-bentuk kongkret dan mereka memanipulasi untuk mengatur serta mengelompokkan aturan-aturan Anak harus mampu mengubah fase manipulasi kongkret, agar pada suatu waktu simbol tetap terkait dengan pengalaman kongkretnya.

h)

Metode Deduktif

Metode ini dimulai dengan pemberian penjelasan tentang prinsip-

prinsip isi pelajaran, kemudian disusul dengan penerapan atau contoh-

contohnya pada situasi tertentu. Metode ini bergerak dari yang bersifat

umum ke yang bersifat khusus. Metode ini tepat digunakan bila: (1)

siswa belum mengenal pengetahuan yang sedang dipelajari; (2) isi

pelajaran meliputi terminologi, teknis, dan bidang yang kurang

membutuhkan proses berpikir teoritis; (3) pengajaran mengenai

pelajaran tersebut mempunyai persiapan yang baik dan pembicara yang

baik; dan (4) waktu yang tersedia singkat. Dalam menggunakan metode

ini tahap yang perlu dilakukan guru adalah mempersiapkan

pembelajaran dengan baik kemudian guru

menjelaskan/menerapkan/menganalisis suatu konsep, prinsip atau

prosedur kepada siswa, kemudian berbekal penjelasan guru, siswa

menerapkan konsep, prinsip atau prosedur dalam menyelesaikan

masalah. Pada pembelajaran matematika di SD, metode ini dapat

digunakan misalnya pada saat guru menjelaskan tentang rumus-rumus

dan penerapannya, seperti: rumus keliling, luas ataupun volum, atau

pada saat guru menjelaskan prosedur penyelesaian suatu masalah,

seperti menentukan sudut terkecil yang dibentuk oleh jarum jam yang

Page 24: konsep,diskriptif,

menunjukkan waktu atau pukul tertentu.

i)

Metode Induktif atau Discovery atau Socratic

Metode ini dimulai dengan pemberian berbagai kasus, fakta, contoh,

atau sebab yang mencerminkan suatu konsep atau prinsip. Kemudian

siswa dibimbing untuk berusaha keras mensintesis, menemukan atau

menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran tersebut. Metode ini tepat

digunakan apabila: (1) siswa telah mengenal atau mempunyai

pengalaman yang berhubungan dengan mata pelajaran tersebut; (2)

yang dianjurkan berupa keterampilan komunikasi antar pribadi, sikap,

pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan; (3) guru mempunyai

keterampilan mendengarkan yang baik, fleksibel, terampil mengajukan

pertanyaan, serta sabar; dan (4) waktu yang tersedia cukup panjang.

Pada metode ini tahap yang perlu dilaksanakan guru adalah mengajukan

masalah dan membimbing siswa untuk menemukan pemecahannya.

Sedangkan tahap yang perlu dilakukan siswa dalah memahami masalah,

memproses data dan menganalisanya kemudian menggeneralisasikan ke

dalam bentuk umum. Pada pembelajaran matematika, metode ini dapat

digunakan misalnya dalam menemukan rumus luas atau keliling bangun

datar, volum bangun ruang atau menemukan hubungan antara panjang,

lebar, keliling, dan luas.

Belajar Konsep

Konsep atau pengertian adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mem-

punyai ciri-ciri yang sama, orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi ter-

hadap objek-objek yang dihadapinya, sehingga objek ditempatkan dalam golongan tertentu.

Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk repressentasi mental tak

berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata {lambang ba-

hasa}.

Page 25: konsep,diskriptif,

Konsep dibedakan atas konsep konkret dan konsep yang harus didefinisikan. Konsep

konkret adalah pengertian yang menunjuk pada objek-objek dalam lingkungan fisik. Konsep

ini mewakili benda tertentu, seperti meja, kursi, tumbuhan, rumah, mobil, sepeda motor dan

sebagainya. Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi

tidak langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan hidup fisik, karena realitas itu tidak

berbadan. Hanya dirasakan adanya melalui proses mental. Misalnya, saudara sepupu,

saudara kandung, paman, bibi, belajar, perkawinan, dan sebagainya, adalah kata-kata yang

tidak dapat dilihat dengan mata biasa, bahkan dengan mikroskop sekalipun. Untuk

memberikan pengertian pada semua kata itu diperlukan konsep yang didefinisikan dengan

menggunakan lambang bahasa.

Ahmad adalah saudara sepupu Mahmud; merupakan kenyataan {realitas}, tetapi tidak

dapat diketahui dengan mengamati Ahmad dan Mahmud. Kenyataan itu dapat diketahui

dengan menggunakan lambang bahasa. Kata “saudara sepupu” dijelaskan. Penjelasan atas

kata “saudara sepupu” itulah yang dimaksudkan disini dengan konsep yang didefinisikan.

Berdasarkan konsep yang didefinisikan, didapatkan pengertian, sauadara sepupu adalah

anak dari paman atau bibi.

Akhirnya, belajar konsep adalah berfikir dalam konsep dan belajar pengertian. Taraf ini

adalah taraf konprehensif. Taraf kedua dalam taraf berfikir. Taraf pertamanya adalah taraf

pengetahuan, yaitu belajar reseptif atau menerima.

6. Belajar Kaidah

Belajar kaidah {rule} termasuk dari jenis belajar kemahiran intelektual {intellectual skill},

yang dikemukakan oleh Gagne. Belajar kaidah adalah bila dua konsep atau lebih di-

hubungkan satu sama lain, terbentuk suatu ketentuan yang mereprensikan suatu keteraturan.

Page 26: konsep,diskriptif,

Orang yang telah mempelajari suatu kaidah, mampu menghubungkan beberapa konsep. Mis-

alnya, seseorang berkata, “besi dipanaskan memuai”, karena seseorang telah menguasai

konsep dasar mengenai “besi”, “dipanaskan” dan “memuai”, dan dapat menentukan adanya

suatu relasi yang tetap antara ketiga konsep dasar itu {besi, dipanaskan, dan memuai}, maka

dia dengan yakin mengatakan bahwa “besi dipanaskan memuai”.

Kaidah adalah suatu pegangan yang tidak dapat diubah-ubah. Kaidah merupakan su-

atu representasi {gambaran} mental dari kenyataan hidup dan sangat berguna dalam men-

gatur kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa kaidah merupakan suatu keteraturan yang

berlaku sepanjang masa. Oleh karena itu, belajar kaidah sangat penting bagi seseorang se-

bagai salah salah satu upaya penguasaan ilmu selama belajar di sekolah atau di perguruan

tinggi {universitas}.

semoga uraian di atas dapat menjadi penghubung dalam memahami belajar kaidah-kaidah di

dalam menuntut ilmu..

Cara Individu Memperoleh Konsep-konsepMenurut teori Ausubel (1968), individu memperoleh konsep melalui dua cara, yaitu melalui for-masi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep menyangkut cara materi atau informasi di-terima peserta didik. Formasi konsep diperoleh individu sebelum ia masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep yang diperoleh semasa kecil termodifikasi oleh pengalaman sepan-jang perkembangan individu. Formasi konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif dan merupakan suatu bentuk

belajar menemukan (discovery learning) melalui proses diskriminatif, abstraktif dan diferensi-asi. Contoh pemerolehan konsep pada anak adalah ketika anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Misalnya, pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun memanggil Bapak dan Ibunya pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya selalu bersama-sama anak tersebut. Anak menyebut diri yang memandikan dan meninabobokkan saat tidur adalah Ibu dan menggendong serta mengajaknya bermain adalah Bapak.

Sedangkan asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan infor-masi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif. Bi-asanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat membedakan antara konsep gajah den-

Page 27: konsep,diskriptif,

gan hewan-hewan lainTingkat-tingkat Pencapaian Konsep

Empat tingkat pencapaian konsep menurut Klausmeier (Dahar, 1996:88) adalah sebagai berikut:

1). Tingkat konkretPencapaian tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret. Dengan demikian da-pat dikatakan juga anak mampu membedakan stimulus yang ada di lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini anak sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam struktur kognitifnya.

2). Tingkat identitasSeseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara memainkannya, bukan hanya dengan melihatnya lagi.

3). Tingkat klasifikatori

Pada tingkat ini anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah.

4). Tingkat formal

Pada tingkat ini anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.

Strategi Pembelajaran Konsep di SDAda 2 strategi utama yang dapat digunakan untuk pembelajaran konsep, yaitu melalui pendekatan inkuiri dan pendekatan ekspositori. Pada pendekakatan inkuiri, para peserta didik dapat diperlihatkan sekelompok benda yang berbeda yang satu sekelompok benda yang merupakan contoh dari konsep yang ingin disampaikan, dan sekelompok benda yang lain merupakan yang bukan contoh dari konsep yang ingin disampaikan. Cara penyampaiannya dapat bermacam-macam dari pengkelompokkan secara tertulis atau melalui bentuk gambar maupun suara. Selanjutnya, para peserta didik diminta untuk melakukan permainan tebak-tebakan. Mereka diminta melengkapi kelompok benda yang merupakan contoh konsep dan juga yang bukan contoh konsep. Mungkin diantara mereka ada yang berhasil mengkategorikan kelompok benda yang contoh dan bukan contoh konsep tersebut, dan adapula yang tidak berhasil. Pada akhirnya, para peserta didik akan tergiring dan termotivasi untuk berfikir dan menemukan contoh-contoh dari konsep yang dimaksud yang mereka kembangkan sendiri. Pendekatan inkuiri lebih cocok digunakan untuk peserta didik di kelas-kelas awal SD, tentunya dengan bimbingan guru.

Strategi kedua untuk mengajarkan konsep adalah dengan pendekatan ekpositori. Berbeda dengan inkuiri, pada pendekatan ekspositori, peserta didik dimotivasi sejak awal untuk menemukan contoh-contoh yang dikembangkannya sendiri untuk mengkategorikan sebuah

Page 28: konsep,diskriptif,

konsep. Namun demikian, tetap guru harus menjelaskan secara rinci tentang konsep yang dibicarakan. Pendekatan ekspositori lebih sesuai digunakan di kelas-kelas tinggi di SD, karena para siswa di kelas tinggi di SD sudah dapat diajak berpikir detil, dan komprehensif.

DIarsipkan di bawah: PEMBELAJARAN, PGSD | Ditandai: PGSD

« PROSES ANALISIS KEBIJAKAN   PUBLIK Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Ilmu Budaya   Dasar »

MENGAJAR KONSEP PENJUMLAHAN BILANGAN NEGATIF

Operasi penjumlahan bilangan bulat negatif merupakan salah satu materi yang sulit di kuasai oleh siswa, padahal materi ini merupakan prasyarat beberapa pokok bahasan di tingkat selanjutnya. Konsep penjumlahan bilangan bulat negatif merupakan konsep dasar yang harus dikuasai siswa. Namun meskipun materi ini sudah diajarkan sejak SD, ternyata di tingkat SMP masih banyak yang belum men-guasainya.

Bahkan di tingkat SMA masih ada saja yang bingung menghadapi masalah penjumlahan bilangan negatif ini. Saya pernah bertanya pada siswa berapa hasil -7 + 4, ternyata lebih dari separo bagian siswa di kelas menjawab salah, kesalahan terbanyak adalah siswa menjawab -11. Kali ini akan saya ceritakan pengalaman saya mengajar anak SD dan SMP dengan metode yang kita pinjam dari pelajaran IPA yaitu muatan listrik. Kita tahu bahwa muatan listrik positif bertemu dengan negatif akan menjadi netral atau bisa dikatakan nol. Ini kita jadikan kesepakatan yang paling utama. Jadi kalau -4 bertemu +4 akan jadi nol.Begini jelasnya, misalnya kita akan menghitung 6 – 7 , berarti positif 6 bertemu negatif 6 hasilnya nol, sisanya masih negatif 1, artinya hasilnya -1.Perhatikan gambar berikut :

Contoh lain, -4 -3 hasilnya dapat dijelaskan dengan gambar berikut :

Mudah-mudahan penjelasan saya dapat dipahami dan menurut pengalaman saya metode ini cukup mu-dah dan efektif. Silakan dicoba.

APAKAH PENDEKATAN DAN STRATEGI PENGAJARAN INDUKTIF?

Page 29: konsep,diskriptif,

Mengumpul dan mentafsir maklumat-maklumat kemudian membuat generalisasi/kesimpulan Bermula dengan memberi beberapa contoh yang khusus Contoh-contoh mempunyai prinsip yang sama Murid dibimbing memikir, mengkaji, mengenalpasti & mentafsir maklumat untuk membuat

generalisasi/kesimpulan Matematik, bahasa dan sains banyak menggunakan pengajaran induktif Kaedah inkuiri-penemuan diamalkan apabila mengajar sains

o Contoh kusus ikan emas, udang, sotong, beruduo Memerhati & mengkaji – bernafas melalui insango Mentafsir dan membuat generalisasi – Haiwan hidup dalam air mempunyai insang untuk

bernafas. Prinsip Penggunaan Strategi Pengajaran Induktif

o Sediakan contoh-contoh yang sesuaio Soalan-soalan disediakan untuk membimbing membuat kesimpulano Guru tidak menghuraikan isi pelajaran, murid dibimbing untuk mencari kesimpulano Jenis contoh khusus dipelbagaikan tetapi mengandungi ciri yang samao Contoh-contoh khusus yang dipilih haruslah sesuai & mencukupi.o Murid-murid digalakkan memberi contoh yang samao Guru tidak harus memberi contoh sekaliguso Sediakan alat bantu mangajaro Penggunaan deria-deria murid dalam aktiviti – lihat, dengar, hidu & sentuh.o Pengajaran mengikut urutan yang tepat – contoh-contoh spesifik membawa kepada

kesimpulan umum.

APAKAH PENDEKATAN DAN STRATEGI PENGAJARAN DEDUKTIF?

Strategi Pengajaran Deduktif merupakan kaedah mengajar yang kompleks kerana murid perlu memperolehi kefahaman yang mendalam /mencukupi serta berupaya memilih rumus, hukum, teorem, peraturan yang telah dipelajari dengan tepat untuk diaplikasi pada contoh-contoh khusus.

Bermula daripada berberapa rumus, prinsip, hukum, teorem/peraturan Digunakan kesimpulan baru, generalisasi baru daripda rumus, hukum, peraturan Proses pengajaran:

o Prinsip/rumuso Kaedah deduktifo Aplikasi rumus/prinsipo Mendapat rumus baru, prinsip baru dsb.o Guru memberi tahu murid objektif pelajaran pada peringkat awal,o Murid dibimbing mengingat kembali hukum, prinsip, teori, peraturan bagi mendapat

kesimpulan yang baru/ menyelesaikan masalah.

.

Ilustrasi Pembelajaran Inkuiri Model Silver di Kelas X pada Sub Pokok Bahasan Fungsi Kuadrat

Page 30: konsep,diskriptif,

Pada kegiatan pembelajaran, guru memberikan masalah pada siswa sebagai berikut:Dari selembar karton manila, guru akan membuat kotak yang permukaan atasnya terbuka dan berukuran (p x p x 4) cm seperti tampak pada gambar

Siswa diminta membuat suatu bentuk model matematika yang menyatakan luas permukaan kotak tersebut.Siswa diberi waktu untuk mengamati kotak tersebut dan mencoba membuat model matematikanya. Siswa secara individu atau berkelompok, diharapkan dapat mencari luas permukaan kotak yang terbuka yaitu ( panjang x lebar + panjang x tinggi + panjang x tinggi + lebar x tinggi + lebar x tinggi). Sehingga diperoleh luas permukaan kotak terbuka tersebut yaitu: L = p2 + 16p. Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan pada siswa, berapa panjang sisi alas kotak jika luas permukaan kotak 161 cm2? Diharapkan siswa menjawab bahwa jika sisinya p cm, maka p akan didapat dari perhitungan: 161 = p2 + 16pp2 + 16p – 161 = 0(p + 23) (p – 7) = 0 p = – 23 atau p = 7Jadi panjang sisi alas kotak adalah 7 cm. Dalam hal ini, ada kemungkinan siswa melakukan perhitungan yang berbeda untuk mendapatkan panjang sisi alas kotak berdasarkan pengalaman atau pengetahuan terdahulu yang telah diperolehnya. Kemudian guru atau siswa mengajukan masalah/pertanyaan yang berkaitan dengan masalah di atas. Siswa dapat berbagi dengan temannya dan menjawab pertanyaan tersebut. Guru atau siswa dapat mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Berapa luas permukaan kotak jika panjang sisi alasnya 5 cm?” Bagaimana jika panjang sisinya 8 cm dan seterusnya. Kemudian guru mengarahkan menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat tabel berikut untuk dilengkapi.

Panjang sisi (p cm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Luas permukaan kotak (L cm2) … …. … … … … … … … ....

Setelah dilengkapi siswa mengamati apakah terdapat hubungan antara luas permukaan kotak dan panjang sisinya. Ternyata luas permukaan kotak tergantung dari panjang sisinya, dan nampak semakin besar panjang sisi kotak, luas permukaan kotak juga semakin besar. Selanjutnya guru mengarahkan siswa untuk mendapatkan konsep fungsi. Diharapkan siswa mendapatkan konsep fungsi tersebut dengan saling berdiskusi baik secara kelompok atau dalam kelas klasikal.Dari masalah tadi bahwa saling ketergantungan antar luas permukaan dan panjang sisi kotak merupakan suatu fungsi. Jika luas permukaan kotak merupakan fungsi dari sisi kotak yaitu p, maka saling ketergantungan ini dapat ditulis:L (p) = p2 + 16p. Pangkat tertinggi dari peubah/variabel p adalah 2, maka fungsi ini disebut fungsi kuadrat dalam p. Peubah bebas adalah p dan L (p) merupakan peubah terikat. Himpunan semua nilai p disebut daerah asal fungsi. Pada masalah ini, daerah asal fungsi dapat ditulis:{ p 1 ≤ p ≤ 10 }. Sedangkan semua himpunan nilai L (p) disebut daerah hasil. Selanjutnya siswa dapat kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga siswa dapat menuliskan beberapa contoh fungsi kuadrat yang lain dengan berbagai peubah, dan sampai siswa dapat menulis bentuk umum fungsi kuadrat yaitu f(x) = ax2 + bx + c. Setelah itu, siswa ditekankan untuk dapat memberikan contoh-contoh yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Pembelajaran yang demikian diharapkan mampu membuat siswa aktif. Aktivitas pemecahan masalah dan pengajuan masalah yang diberikan selama proses pembelajaran akan membuat siswa lebih aktif sehingga kreativitas matematiknya dapat muncul dan berkembang. Silakan mencoba pembelajaran ini.