konsep,diskriptif,
DESCRIPTION
nhvjhTRANSCRIPT
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DEDUKTIF PADA MATERI SEGITIGA DI KELAS
VIIC SMP MANBAUL ULUM KEBOMAS GRESIK
Undergraduate Theses from JIPPTUMG / 2009-10-21 19:29:36
Oleh : UTAMI DEWI K.P, Universitas Muhammadiyah Gresik ([email protected])
Dibuat : 2009-10-21, dengan 1 file
Keyword : Model Pembelajaran Deduktif, materi segitiga.;Deduktive Learning model, the subject
triangle
Guru mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran, sehingga guru dituntut dapat
meningkatkan kompetensinya. Guru juga harus mempunyai kemampuan memilih metode, pendekatan,
model pembelajaran yang cocok, serta menguasai materi. Pengalaman mengajar yang dapat membuat
peserta didik memahami konsep yang diberikan guru, salah satunya adalah model pembelajaran
deduktif. Pembelajaran dalam model deduktif dimulai dengan penyajian definisi konsep, kemudian
diikuti dengan contoh dari peserta didik. Pola pikir dalam pembelajaran deduktif sudah terarah karena
konsep– konsep umum sudah diketahui peserta didik sehingga dengan mudah peserta didik dapat
mengidentifikasikan ke hal-hal yang lebih khusus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
aktivitas peserta didik selama proses pembelajaran, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran,
dan ketuntasan belajar peserta didik. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan subjek
penelitian yaitu peserta didik kelas VIIC SMP Manbaul Ulum Kebomas-Gresik tahun ajaran 2008-2009
yang terdiri dari 44 peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik tergolong
tidak aktif, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dikatakan baik, dan hasil belajar peserta
didik tergolong tuntas dengan persentase ketuntasan belajar klasikal sebesar 95,45%.
Deskripsi Alternatif :
Teachers have an important role in learning process so that they must rise their competencies. They
also should have the ability to use the method, approach, learning model which are suitable. They
should master the subject too. The experience of teaching can make the students understand to the
teacher concept given. One of them is deductive learning model. Learning in deductive model was
started with giving of concept definition, then followed with example from student think pattern in
deductive learning was guided because the common concepts were known by student so student can
indentify to particular cases easily. The purposes of the study are to know student activities in learning
process, teacher proficiency in teaching process, and student achievement. The type of this research
was descriptive with the subject of this research was students of 7 th C grade of SMP Manbaul Ulum
Kebomas-Gresik in 2008/2009 school year which consist of 44 student. The research result shows that
student activity is not active, teacher ability to manage learning was good and the result of student
study was comple with presentase of classical study completeness was 95,45%
Copyrights : Copyright (c) 2001 by Digilib Universitas Muhammadiyah Gresik. Verbatim copying and
distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is
preserved.
PENGGUNAAN POLA PIKIR INDUKTIF-DEDUKTIF DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERACUAN KONSTRUKTIVISME
Oleh: Rochmad
Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNNES Semarang
(Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika: Sertifikasi Guru:
Meningkatkan Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus Pascasarjana UNNES Semarang, tanggal
16 Januari 2008)
Abstrak:
Ciri utama penalaran dalam matematika adalah deduktif, atau dengan perkataan lain matematika
bersifat deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan matematika bersifat konsisten.
Pada prinsipnya, dalam pembelajaran matematika pola pikir induktif dan deduktif keduanya dapat
digunakan untuk mempelajari konsep-konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran matematika
dengan fokus pada pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah dapat
diawali menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman khusus yang dialami siswa.
Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan menggunakan pola
pikir induktif. Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau
fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang mungkin, dan
kemudian siswa dapat diarahkan menyusun generalisasi secara deduktif. Selanjutnya, jika
memungkinkan siswa dapat diminta membuktikan generalisi yang diperolehnya secara deduktif. Secara
umum dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif-deduktif. Dalam
pemecahan masalah, memecahkannya kadang hanya menggunakan salah satu pola pikir induktif atau
deduktif, namun banyak masalah dalam memecahkannya menggunakan keduanya pola pikir induktif
dan deduktif secara bergantian.
Kata kunci: Pembelajaran matematika, pola pikir induktif, pola pikir deduktif, pola pikir induktif-
deduktif, pemecahan masalah.
A. Pendahuluan
Matematika merupakan pelajaran di sekolah yang dipandang penting dan dipelajari oleh siswa di
semua tingkat pendidikan. Matematika informal diberikan pada anak-anak prasekolah, misalnya di
“kelompok bermain atau play group” dan di Taman Kanak-Kanak (TK). Mulai di sekolah dasar (SD)
atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) siswa mendapat pelajaran matematika formal. Di TK misalnya, siswa
mulai mengenal klasifikasi secara informal. Anak-anak bermain memilih benda-benda berwarna merah
dari sekelompok benda-benda mainannya dapat dikatakan secara informal siswa melakukan
pengelompokan, dan bahkan secara informal pada diri siswa mulai tertanam “penalaran matematika”,
misalnya siswa menggunakan penalaran matematika ketika mengetahui mana benda-benda yang
termasuk dalam kelompok benda-benda berwarna merah dan yang bukan berwarna merah. Dalam
setiap pengelompokan tentu ada syarat tertentu, secara informal siswa dapat mengklasifikasikan mana
benda-benda yang menjadi anggota kelompoknya, syarat dalam melakukan pengelompokan oleh anak
dilakukan sendiri atau dilakukan dibawah bimbingan guru.
Sejak siswa duduk di kelas 1 SD/MI, mulailah dikenalkan dengan matematika formal. Para siswa mulai
mengenal obyek dasar matematika yang bersifat abstrak misalnya fakta, konsep, prinsip dan struktur
matematika. Dalam mempelajari matematika siswa terlibat dengan berpikir. Soedjadi (2000)
menyatakan dalam matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Meskipun pada
akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika
dapat digunakan pola pikir induktif.
Dewasa ini pembelajaran matematika konstruktivis menjadi perhatian para pemerhati pendidikan untuk
menggeser pembelajaran matematika tradisional yang hasil belajarnya dipandang kurang optimal.
Slavin (2000) menyatakan “students must construct knowledge in their own mind”. Pembelajaran
matematika tradisional berpusat pada guru dengan metode ceramah sebagai metode pembelajaran
utama. Di kelas siswa lebih banyak sebagai pendengar dan menghafal aturan-aturan atau rumus-rumus
matematika kurang memahaminya (Suwarsono, 1999; Ratumanan, 2003; Jaeng, 2004). Marpaung
(dalam Ratumanan, 2003) berpendapat bahwa matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafal.
Pembelajaran matematika beracuan konstruktivieme berpusat pada siswa, guru berperan sebagai
fasilitator terciptanya suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien dan menyenangkan. Guru
menerapkan berbagai metode yang dipandang sesuai dengan bahasan materi matematika yang sedang
dipelajari. Siswa terlibat membangun ide-ide, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan struktur-struktur
matematika berdasar pengalaman siswa sendiri.
Fakta di lapangan guru matematika sekolah kebanyakan mengajar dengan cara tradisional dengan pola:
informasi-contoh soal-latihan sesuai contoh. Paradigma pembelajaran matematika di Indonesia selama
bertahun-tahun adalah paradigma mengajar dan banyak dipengaruhi oleh psikologi tingkah laku, bukan
paradigma belajar (Marpaung, 2003). Menurut Ratumanan (2003) pembelajaran matematika di
Indonesia beracuan behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan hukum latihan.
Guru mendominasi kelas dan menjadi sumber utama pengetahuan, kurang memperhatikan aktivitas
aktif siswa, interaksi siswa, negosiasi makna, dan konstruksi pengetahuan.
Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika beracuan behaviorisme
selama ini kurang berhasil, oleh karena itu perlu dicari alternatif ”penggantinya”, misalnya
pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme. Tulisan ini membahas pembelajaran matematika
beracuan konstruktivisme dan kaitannya dengan penggunaan pola pikir induktif dan deduktif. Tulisan
ini menyajikan salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang
melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.
B. Pembahasan
1. Penalaran Matematika
Fondasi dari matematika adalah penalaran (reasoning). Ross (dalam Lithner, 2000) menyatakan bahwa
salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa penalaran
logika (logical reasoning). Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa
matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-
contoh tanpa mengetahui maknanya.
Banyak penelitian yang dilakukan para psikolog dan pendidik berkaitan dengan penalaran. Penalaran
yang mula-mula dikenalkan oleh Aristotle adalah penalaran silogisme yang idenya muncul ketika orang
ingin mengetahui “apa yang terjadi dibenak” dalam memecahkan masalah yang memuat logika. Lebih
dari 2000 tahun yang lalu Aristotle mengenalkan suatu sistem penalaran atau validasi argumen yang
disebut silogisme. Silogisme memuat tiga urutan argumen: sebuah premis utama (a major premise);
sebuah premis minor (a minor premise); dan sebuah kesimpulan (a conclusion). Suatu kesimpulan yang
dicapai berdasarkan penalaran silogisme dinilai “benar” atau “valid”, jika premis-premisnya
merupakan pernyataan yang benar dan disusun dalam bentuk yang benar.
Dalam belajar matematika memerlukan penalaran induktif dan deduktif. Copeland (1974)
mengklasifikasikan penalaran dalam penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif
digunakan bila dari kebenaran suatu kasus khusus kemudian disimpulkan kebenaran untuk semua
kasus. Penalaran deduktif digunakan berdasarkan konsistensi pikiran dan konsistensi logika yang
digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme benar dan bentuknya (format penyusunannya)
benar, maka kesimpulannya benar. Proses penarikan kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau
sering disebut penalaran deduktif.
Peressini dan Webb (1999) di samping memandang penalaran matematika sebagai konseptualisasi
dinamik dari daya matematika (mathematically powerful) siswa, juga memandang penalaran
matematika sebagai aktivitas dinamik yang melibatkan keragaman mode berpikir. Daya matematika
sebagai suatu integrasi dari berikut ini: (a) suatu kecenderungan positip kepada matematika; (b)
pengetahuan dan pemahaman terhadap sifat-sifat matematika, meliputi konsep-konsep, prosedur-
prosedur dan keterampilan-keterampilan; (c) kecakapan melakukan analisis dan beralasan secara
matematis; (d) kecakapan menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan ide-ide; dan (e)
kecakapan menerapkan pengetahuan matematika untuk memecahkan masalah-masalah dalam berbagai
konteks dan disiplin ilmu (NCTM, 1989 dalam Perissini dan Webb, 1999).
Daya matematika siswa seyogyanya dapat diwujudkan dalam berbagai dimensi supaya mampu
memunculkan berbagai metode matematika yang nantinya dapat membantu siswa dalam memecahkan
masalah tidak rutin dan dapat dijadikan panduan dalam menghadapi perubahan kehidupan dalam
masyarakat yang bergantung pada kemajuan ilmu, teknologi dan informasi. Penalaran matematika
dalam sudut pandang aktivitas dinamik melibatkan keragaman mode berpikir, dan daya matematika
dipandang sebagai komponen integral dari berpikir matematika. Khususnya berpikir matematika yang
melibatkan keragaman matematika dalam keterampilan berpikir untuk memahami ide-ide, menemukan
hubungan antar ide-ide, dan mendukung gambaran atau kesimpulan tentang ide-ide dan hubungan-
hubungannya, dan memecahkan masalah-masalah yang melibatkan ide-ide tersebut (O’Daffer dan
Thornquist dalam Perissini dan Webb, 1999).
Penalaran matematika memiliki peran yang amat penting dalam proses berpikir seseorang. Penalaran
matematika meliputi mengumpulkan bukti-bukti, membuat konjektur-konjektur, menetapkan
generalisasi-generalisasi, membangun argumen-argumen, dan menentukan (dan validasi) kesimpulan-
kesimpulan logis berdasar ide-ide dan hubungan-hubungannya. Untuk mencapai daya matematika
berbagai mode penalaran matematika dilibatkan misalnya induktif (inductive), deduktif (deducttive),
bersyarat (conditional), perbandingan (proporsional), grafik (graphical), keruangan (spatial) dan
penalaran abstrak (abstract reasoning).
2. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
Salah satu dari prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat dengan
mudah menanamkan pengetahuan pada diri siswa. Slavin (2000) menyatakan bahwa siswa harus
mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya. Berkaitan dengan hal ini, guru dapat menciptakan
suasana pembelajaran sehingga informasi, keterampilan dan konsep yang disampaikan menjadi
bermakna dan relevan bagi siswa dengan cara memberi kesempatan kepada para siswa untuk
menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri; serta suasana pembelajaran yang mampu menjadikan
siswa memiliki keberanian dan dengan penuh kesadaran belajar menggunakan strateginya sendiri. Guru
dapat memberi tangga kepada siswa agar dapat digunakan untuk naik menuju ke pemahaman yang
lebih tinggi, tetapi biarkanlah siswa sendiri yang memanjatnya.
Menurut Slavin (2000) proses mengajar belajar yang berpusat pada siswa dan menekankan pada
aktivitas siswa mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya sendiri dinamakan teori pembelajaran
konstruktivistik (constructivist theories of learning). Pembelajaran konstruktivis mengkondisikan
kegiatan siswa dalam interval waktu kerja yang tidak begitu lama memeriksa informasi baru dan
dibandingkan dengan aturan-aturan yang telah diketahuinya, dan mungkin kemudian merevisi aturan-
aturan tersebut. Karena pembelajaran konstruktivis menekankan kepada para siswa agar belajar lebih
aktif di kelas, maka pembelajaran konstruktivis sering dinamakan pembelajaran yang berpusat pada
siswa. Dalam pembelajaran beracuan konstruktivisme guru menjadi pembimbing dan fasilitator. Inti
dari pembelajaran konstruktivis adalah siswa secara individual menemukan dan mentransformasi
informasi yang begitu kompleks dalam benaknya.
Kenyataan bahwa para siswa sering mempelajari konsep-konsep dan prosedur-prosedur matematika
dengan kurang atau tidak memahaminya dikemukakan dalam National Assessment of Educational
Progress (dalam Johnson, Johnson dan Stiff, 1993). William A. Brownel (dalam Johnson, Johnson dan
Stiff, 1993) adalah salah seorang yang mula-mula mengajukan teori pembelajaran matematika
(aritmetika) secara bermakna (meaningful learning) berpendapat bahwa pembelajaran matematika yang
efektif harus menyajikan suatu pemahaman pada konsep-konsep, hubungan-hubungan, dan proses
terjadinya definisi aritmetika. Penelitian menunjukkan bahwa para siswa sering mempelajari prosedur-
prosedur dalam aljabar tanpa memahami makna apa yang mereka pelajari. Reed (dalam Johnson,
Johnson dan Stiff, 1993) menyatakan bahwa jika para siswa memahami struktur-struktur yang
mendasari masalah, susunan kata dalam masalah kurang memberi efek pada kecakapan siswa dalam
memecahkannya atau dalam mengkonstruksi alternatif pemecahannya. Salah satu strategi penting
untuk membantu siswa dalam memahami masalah secara bermakna adalah meminta siswa menulis dan
merumuskan kembali masalah yang sedang dihadapi sebelum siswa menulis penyelesaianya.
Sampai saat ini, teori perkembangan intelektual anak yang sering menjadi acuan para pemerhati
pendidikan adalah teori perkembangan inelektual Piaget. Di awal kerjanya ia mengidentifikasi adanya
empat tahap perkembangan kognitif: sensori motor (sensorimotor), preoperasional (preoperational),
operasional konkret (concrete operational), dan operasi formal (formal operational). Tetapi siswa jarang
hanya berada pada satu sisi tahap perkembangan. Para siswa pada jenjang pendidikan setingkat SMA
(high school) sering berada dan bergerak pada operasi konkret dan operasi formal jika mereka sedang
mempelajari keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip baru (Johnson, Johnson
dan Stiff, 1993).
Teori Piaget tentang perkembangan intelektual menaruh perhatian pada proses asimilasi (assimilation)
dan akomodasi (accommodation) informasi dalam skema mental siswa. Asimilasi adalah suatu proses
menempatkan informasi dan pengalaman baru dalam struktur kognitif siswa. Akomodasi adalah hasil
penyetrukturan kembali dalam skema kognitif.
Assimilation is the process by which new experience and information are placed into the cognitive
structure of the leaner. […] Accomodation is the product of any restructuring of that cognitive schema.
(Stiff, Johnson, dan Johnson; 1993:3)
Pembelajaran beracuan konstruktivisme menekankan pada aktivitas siswa membangun (construct)
pengetahuan untuk “menyesuaikan” apa yang baru saja diketahui (atau diyakini). Kadangkala
penyesuaian atau adaptasi tidak dapat dengan mudah dilakukan. Apabila siswa tidak dapat membaca
asimilasi data baru dalam struktur mental yang ada, maka siswa membangun skema-skema atau
hubungan-hubungan baru agar dapat mengakomodasi pengetahuan dalam benaknya. Untuk
memperoleh pengalaman membangun pengetahuan baru dalam benaknya siswa harus aktif terlibat
dalam merestruktur pengetahuan tersebut.
Sebagai contoh, dalam memperoleh keterampilan menyelesaikan sistem persamaan linear dengan dua
variabel misalnya mula-mula siswa terampil bekerja menggunakan cara “eleminasi”. Dengan berdasar
pengetahuan dan pengalaman siswa ini dimungkinkan menghasilkan penyetrukturan kembali
(restructuring) pemahaman mereka dalam menyelesaikan sistem persamaan linear dengan dua variabel
misalnya menyelesaikan persamaan tersebut dengan menggunakan bantuan matriks.
Bruner (dalam Stiff, Johnson dan Johnson, 1993) merumuskan empat teorema belajar matematika yang
mengacu pada pandangan konstruktivisme. Teorema konstruksi (construction theorem), teorema notasi
(notation theorem), teorema kontras dan variasi (contrast and variation theorem), dan teorema
konektivitas (connectivity theorem).
Teorema konstruksi menyatakan bahwa siswa seyogyanya diberi kesempatan untuk mengkonstruksi
sendiri representasi konsep-konsep, aturan-aturan dan hubungan-hubungannya. Dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas guru sering menyediakan dan menggunakan bantuan benda-benda konkret atau
benda-benda manipulatif untuk membantu siswa dalam belajarnya. Teori notasi menyatakan bahwa
penggunaan notasi yang baik akan menyederhanakan proses kognisi dalam menangkap konsep-konsep,
aturan-aturan dan hubungan-hubungannya. Sebagai contoh, siswa akan lebih memahami konsep
“variabel” jika digunakan representasi ikonik misalnya 19 = __ + 7 dari pada digunakan representasi
baku 19 = x + 7.
Teorema kontras dan variasi menyatakan bahwa kemajuan dari representasi konsep-konsep dari
konkret ke bentuk abstrak bergantung pada pengalaman siswa dalam membandingkan atribut-atribut
suatu konsep dengan atribut-atribut konsep lain yang serupa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
menghadapi dan menyelesaikan berbagai contoh. Teorema konektivitas menyatakan bahwa guru perlu
mendemonstrasikan hubungan antar keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip
matematika. Teorema konektivitas ini dapat mengurangi isolasi antar topik dalam pembelajaran
matematika dan dapat mengantarkan siswa sampai pada tingkat intuisi dan penalaran matematika yang
lebih tinggi, yakni belajar matematika secara bermakna (meaningfull mathematical learning).
3. Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran Matematika
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan
pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan
teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan,
menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan
kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif
menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder,
2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new learning
involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua pembelajaran baru
melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan
menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan
pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh
dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.
Major (2006) memberi contoh pembelajaran barisan aritmetika sebagai berikut. Guru mulai
pembelajaran dengan menulis definisi dipapan tulis: ‘barisan aritmetika adalah barisan yang memiliki
beda sama’. Kemudian guru menjelaskan apa maksud ‘memiliki beda sama’. Kemudian guru
melanjutnya pembelajaran, misalkan suku pertama barisan adalah a, dan beda b, maka a, a + b, a + 2b +
… + (a + (n – 1)b) adalah barisan arimetika. Selanjutnya guru memberi contoh dan memberi soal untuk
dikerjakan siswa.
Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna matematika dalam pembelajaran dengan
pendekatan deduktif. Hal ini disebabkan siswa baru memahami generalisasi atau kosep setelah
disajikan berbagai contoh. Major (2006) menyarankan dalam pembelajaran dengan pendekatan
deduktif: (1) mulailah dengan menyatakan generalisasi secara jelas; (2) tulis definisi dipapan tulis; (3)
jelaskan istilah-istilah dalam definisi; (4) secara hati-hati tekankan hubungan-hubungan sifat dalam
generalisasi; (5) ilustrasikan dengan contoh; dan (5) berilah kesempatan siswa memberi atau
mengerjakan contoh berikutnya.
Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah
dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya
pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran
berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan
melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau
memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-
prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan
konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus
menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun
dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi,
tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
4. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme yang Melibatkan Penggunaan Pola
Pikir Induktif-Deduktif
Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme masih sulit menentukan
pendekatan mana yang lebih baik; pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif atau dengan
pendekatan deduktif. Menurut Prince dan Felder (2006), guru yang baik adalah yang membantu siswa
mempelajari keduanya. Menurut Dameus, A. Tilley, D.S, Brant, M (2004) pendekatan pembelajaran
dapat induktif atau deduktif, atau kombinasi dari keduanya. Major (2006) berpendapat dalam
pelaksanaan pembelajaran lebih baik memuat keduanya kegiatan induktif dan deduktif meskipun tak
dapat dihindari mana yang lebih dominan.
Berdasar uraian di atas dan mengacu pendapat dengan Prince dan Felder (2006), Dameus, A. Tilley,
D.S, Brant (2004), dan Major (2006); penulis berpendapat pembelajaran matematika beracuan
konstruktivisme dapat dirancang mengkombinasikan keduanya memuat kegiatan induktif dan deduktif,
sependapat dengan Major (2006) dalam pelaksanaan pembelajaran lebih baik memuat keduanya
kegiatan induktif dan deduktif meski tak dapat dihindari salah satu dari kegiatan tersebut lebih
dominan.
Dalam makalah ini dikembangkan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang
melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif. Rancangan sintaks pembelajaran dominan pada
kegiatan induktif yang memuat kegiatan siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasar
pengalaman siswa sendiri. Siswa melakukan pengamatan pada hal-hal khusus, misalnya contoh-contoh
suatu konsep dan menuliskan konsep tersebut dengan bahasa siswa sendiri. Dalam kegiatan induktif ini
siswa belajar mengkonstruk pengetahuan matematis menggunakan pola pikir induktif. Ketika siswa
memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif atau deduktif secara bergantian. Dengan
demikian kegiatan deduktif tercakup dalam pemecahan masalah. Dalam pemecahan masalah siswa
terlibat dengan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.
Salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan
penggunaan pola pikir induktif-deduktif serta pembelajaran yang memungkinkan mencakup kegiatan
pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah sebagai berikut: (1) fase
kegiatan pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan
induktif-deduktif; dan (5) fase kegiatan penutupan.
a. Fase kegiatan pembukaan
Kegiatan guru pada fase kegiatan pembukaaan pertama-tama guru membuka pembelajaran.
Menyampaikan tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa agar dapat lebih siap dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran. Selanjutnya guru memeriksa pengetahuan prasyarat misalnya dengan cara
menanyakan hasil pekerjaan rumah, atau menanyakan materi yang berkaitan dengan pembelajaran yang
telah diberikan sebelumnya.
Menurut Kemp (1994: 107) dapat disinyalir bahwa siswa mengalami kesulitan belajar disebabkan
siswa tidak mengetahui dengan pasti atau kurang jelas apa yang diharapkan oleh guru dari siswa. Jika
apa yang diharapkan guru tidak dibatasi dengan jelas, siswa tentu tidak akan tahu dengan pasti apa
yang akan dipelajari dan apa yang perlu dilakukan. Oleh karena itu di awal pembelajaran guru perlu
menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan bagaimana cara belajar untuk
mencapainya.
Tujuan pembelajaran perlu diketahui oleh siswa agar siswa mengetahui apa yang harus dilakukan.
Tujuan pembelajaran untuk suatu pokok bahasan harus diberikan pada saat mereka mulai mempelajari
pokok bahasan itu (Kemp, 1994). Dengan cara seperti ini, siswa akan mengetahui apa yang diharapkan
dari guru dalam mempelajari pokok bahasan tersebut dan dapat mengatur tata cara belajarnya dengan
baik. Kemp (1994: 130) menyatakan terdapat bukti positif yang menunjukkan bahwa siswa yang diberi
tahu tentang tujuan pembelajaran yang harus mereka capai betul-betul mengalami kemajuan yang
memuaskan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan mencapai tingkat keberhasilan yang lebih
besar dibandingkan dengan siswa yang tidak diberi tahu.
Motivasi diperlukan oleh para siswa dalam belajar matematika. Ide awal penelitian Kazemi dan Stipek
(2002) adalah untuk menjawab tantangan bagaimana pentingnya guru memberi motivasi kepada
seluruh siswa agar para siswa bergairah dan terikat kuat dalam belajarnya. Oleh karena itu dalam fase
pembukaan ini guru perlu memberi motivasi kepada siswa agar siswa tebih bergairah dan konsentrasi
dalam belajarnya.
Agar guru dapat mengelola pembelajaran dengan baik, guru perlu mengetahui pengetahuan prasyarat
siswa yaitu dengan cara memberi pertanyaan-pertanyaan yang mendasari sub pokok bahasan
pembelajaran yang akan disampaikan. Menurut Ausubel (dalam Joice dan Weil, 1992: 184): “whether
or not material is meaningful depends more on the preparation of the learner and on the organization of
the material than it does on the method of representation”. Apakah materi yang dipelajari siswa
bermakna atau tidak lebih bergantung pada kesiapan siswa dan pengorganisasian materi dari pada
metode penyajian. Oleh karena itu, sebelum guru memulai pembelajaran perlu memeriksa pengetahuan
prasyarat siswa.
b. Fase kegiatan induktif.
Guru menyampaikan hal-hal khusus berkaitan dengan materi pokok yang akan disampaikan. Guru
mengarahkan siswa melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan pola pikir induktif, misalnya
guru memberi beberapa contoh suatu konsep, siswa diminta mengamati dengan cermat, dan meminta
siswa menulis makna konsep tersebut dengan bahasa siswa sendiri. Dalam fase ini kegiatan belajar
siswa mengkonstruk pengetahuan matematis dengan cara siswa sendiri berdasar hasil pengamatannya.
Dalam fase kegiatan induktif ini dibawah bimbingan dan arahan guru, siswa aktif belajar matematika
secara individu. Meskipun demikian, siswa diberi kesempatan berinteraksi dengan temannya, misalnya
bertukar pendapat dengan teman sebangkunya atau dengan teman-teman di dekatnya. Kegiatan utama
siswa adalah mengamati, memeriksa, menyelidiki, menganalisis, atau memikirkan berdasarkan
kemampuan masing-masing hal-hal yang bersifat khusus dan mengkonstruk konsep atau generalisasi
atau sifat-sifat umum berdasar hal-hal khusus tersebut. Menurut Kemp (1994: 143) terdapat bukti yang
menunjukkan sebagian besar siswa dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan cara yang paling
memuaskan apabila siswa diberi kesempatan belajar menurut kemampuan masing-masing.
Pada fase kegiatan induktif ini prinsip memuat prinsip pertama pembelajaran beracuan konstruktivisme
menurut Tadao (dalam Sa’dijah, 2006), yaitu fase kesadaran, anak dihadapkan pada sumber yang
membangkitkan kesadaran matematisnya dan mulai mengkonstruksi pengetahuan matematis. Guru
menyampaikan contoh-contoh atau kasus-kasus khusus menjadi sumber untuk membangkitkan
kesadaran siswa dan siswa melakukan pengamatan secara hati-hati terhadap contoh atau kasus khusus
yang diamati.
c. Fase diskusi kelas
Ada kelemahan jika pembelajaran di kelas hanya dengan belajar secara individu. Kelemahan tersebut
misalnya kurang terjadi interaksi antar siswa atau antara guru dan siswa. Kemp (1994: 156)
berpendapat bahwa dalam pembelajaran perlu direncanakan kegiatan kelompok. Apabila hanya dipakai
metode satu jalur, misalnya hanya kerja mandiri, kegiatan belajar bisa membosankan dan tidak
menarik. Kemp (1994: 151) juga berbendapat bahwa akhir-akhir ini terdapat kecenderungan
mengurangi waktu untuk pola penyajian materi pembelajaran, lebih menyukai pola belajar mandiri
dalam kegiatan kelompok.
Berdasar pendapat Kemp (1994) dapat disinyalir bahwa kegiatan belajar siswa secara individu dapat
diperkuat melalui interaksi sosial, misalnya diskusi kelompok. Pertemuan kelompok kecil ini dapat
dipakai untuk mengecek kepahaman siswa tentang konsep dan asas yang telah mereka peroleh
sebelumnya (Kemp, 1994: 167). Dalam fase kegiatan induktif siswa diberi kesempatan berdiskusi
dengan teman sebangkunya atau diskusi dalam kelompok dengan beberapa teman didekatnya. Dalam
diskusi ini siswa berinteraksi satu dengan lainnya dan bertukar pemikiran dan pengalaman dalam
rangka mengkonstruk pengetahuan secara individu.
Dalam fase diskusi kelas ini guru memimpin diskusi dalam rangka memperoleh kesimpulan atau
kesepakatan terhadap hasil-hasil konstruksi pengetahuan matematis awal siswa. Hasil dikonstruksi
pengetahuan matematis siswa mungkin berbeda-beda bergantung pada pengetahuan awal masing-
masing. Beberapa siswa diminta menyampaikan hasil kerjanya secara lisan atau tertulis. Guru memberi
ulasan atau komentar, dan selanjutnya memberi kesimpulan atau kesepakatan terhadap makna konsep
yang pelajari siswa. Dengan demikian, siswa tidak semata-mata menghafal definisi suatu konsep tetapi
siswa terlibat dalam memperoleh definisi tersebut.
d. Fase kegiatan induktif-deduktif
Dalam fase kegiatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994:
90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu
metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai
“ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan
pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang
bersifat khusus” Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat
berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan
secara bergantian.
e. Fase kegiatan penutup
Pada fase kegiatan penutup ini kegiatan pembelajaran adalah memberi kuis (tes singkat) secara
individu, memberi tugas dikerjakan di rumah, dan menutup pembelajaran. Kuis (tes singkat) berupa
soal yang harus diselesaikan siswa dalam waktu yang relatif singkat. Untuk melaksanakan kuis
diperlukan alat penilaian. Alat penilaiaannya dapat tes tertulis atau lisan. Tujuannya untuk mengukur
seberapa jauh siswa telah menguasai pengetahuan ditinjau dari aspek pemahaman konsep, penalaran
dan komunikasi, atau pemecahan masalah.
Guru memberi tugas dengan memberi soal-soal yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas
untuk dikerjakan di rumah. Tugas rumah diarahkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan tujuan
siswa dapat lebih memahami konsep atau struktur matematika yang dipelajari dan untuk melatih siswa
terbiasa menggunakan pola pikir induktif-dedukif dalam memecahkan masalah. Selanjutnya guru
menutup pembelajaran.
C. Penutup
Agar siswa dapat belajar matematika di sekolah secara bermakna, siswa dituntut terampil memahami
konsep-konsep matematika dari pola pikir induktif menuju deduktif. Pembelajaran matematika
beracuan konstruktivisme dengan melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif merupakan salah
satu alternatif pembelajaran matematika yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang
berpusat pada siswa.
Dalam pemecahan masalah siswa kadang menggunakan pola pikir induktif, kadang deduktif, dan
kadang keduanya. Dalam pemecahan masalah kadang sulit memisahkan antara penggunaan pola pikir
induktif dan deduktif. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran matematika beracuan konsruktivisme
penggunaan pola pikir induktif dan deduktif keduanya dapat digunakan untuk membangun misalnya
suatu konsep matematika berdasar pengalaman siswa sendiri.
Pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan
pemecahan masalah dapat diawali menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman
khusus yang dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan matematika
dengan menggunakan pola pikir induktif. Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan
menyajikan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul,
memperkirakan hasil yang mungkin, dan kemudian jika memungkinkan siswa dapat diarahkan
menyusun generalisasi secara deduktif. Secara umum dalam memecahkan masalah siswa menggunakan
pola pikir induktif-deduktif.
Salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan
penggunaan pola pikir induktif-deduktif sebagai berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase
kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan induktif-deduktif; dan (5) fase
kegiatan penutupan.
http://rochmad-unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html
6.Dalam proses pembuktian suatu sifat, teori, atau dalil, dikenal dengan dua jenis pembuktian yaitu
induktif dan deduktif. Bagaimana proses kedua pembuktian tersebut dalam matematika? Apa
kekurangan dan kelebihan masing – masing?
Pembuktian deduktif dan induktif
Penalaran deduktif memberlakukan prinsip – prinsip umum untuk mencapai kesimpulan – kesimpulan
yang spesifik.
Penalaran induktif menguji informasi yang spesifik yang mungkin berupa banyak potongan informasi
yang spesifik untuk menarik suatu kesimpulan umum.
Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif.
Perbedaan dasar antara keduanya dapat disimpulkan dari dinamika deduktif tentang progesi secara
logis dari bukti – bukti umum kepada kebenaran atau kesimpulan yang khusus, sementara dengan
induksi dinamika logisnya justru sebaliknya.
Penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukan
suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat berlaku secara umum.
Pembuktian melalui deduksi adalah sebuah jalan pemikiran yang menggunakan argumen – argumen
deduktif untuk beralih dari premis – premis yang ada, yang dianggap benar, kepada kesimpulan –
kesimpulan yang mestinya benar apabila premis – premisnya benar.
Pembuktian yang menggunakan penalaran induktif biasanya menggunakan kalimat impilkatif yang
berupa pernyataan jika…maka…, kemudian dikembangkan dengan menggunakan pola pikir yang
disebut silogisme yaitu sebuah argumen yang terdiri atas tiga bagian. Didalamnya terdapat dua
pernyataan yang banar (premis ) yang menjadi dasar dari argumen tersebut. Di dalam logika sebagai
cabang (inti) matenatika yang banyak membahas tentang silogisme terdapat beberapa aturan yang
menyatalkan apakah silogisme itu valid atau tidak.
Contoh 1 :
- semua manusia fana (pasti akan mati) (premis mayor)
- deni adalah manusia (permis minor)
- deni pasti akan mati (kesimpulan)
contoh 2 :
misalkan pembuktian secara deduktif sebagai berikut : andaikan m dan n sembarang dua bilangan
bulat, maka 2m + 1 dan 2n + 1, tentunya masing – masing merupakan bilangan ganjil, jika kita
jumlahkan :
(2m + 1) + (2n + 1) = 2 (m + n + 1)
Karena m dan n adalah bilangan bulat, maka (m + n +1)bilangan bulat, sehingga 2(m + n + 1)adalah
bilangan genap. Jadi jumlah bilangan ganjil selalu genap.
Matematika itu merupakan ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan kepada
observasi (induktif)tetapi generalisasi yang didasarkan pada pembuktian secara deduktif
http://forumgurumatematikasmp2serang.blogdetik.com/2009/10/13/39/
MATEMATIKA : Ilmu Deduktif
Matematika seringkali dilukiskan sebagai ilmu yang terdiri dari suatu kumpulan system matematika
dimana masing-masing system mempunyai struktur yang sifatnya deduktif. Suatu system deduktif
dimulai dengan memilih beberapa unsur yang tidak didefinisikan yang disebut unsur primitive. Unsur-
unsur tersebut digunakan sebagai dasar komunikasi. Misalnya dalam geometri, unsur “titik” dan
“lengkungan” merupakan suatu unsur yang tidak didefinisikan di semua pernyataan yang melibatkan
titik dan lengkungan. Titik dianggap ada, tetapi tidak dapat dinyatakan dalam suatu kalimat dengan
tepat, sebab titik itu merupakan unsur yang tidak didefinisikan. Begitu pula dengan lengkungan.
Lengkungan kita peroleh (gambarnya) apabila mulai dari suatu titik kita buat suatu jalan dengan pensil
(misalnya) sampai di suatu titik lain atau titik asal berangkat. Meskipun kita tidak dapat memberikan
pengertian dengan tepat, tetapi kita sepakat bahwa unsur-unsur tersebut ada. Selanjutnya unsur-unsur
tersebut dalam matematika (geometri) disebut unsure-unsur yang tidak didefinisikan yang eksistensinya
diakui ada. Tanpa adanya suatu pemikiran seperti itu matematika tidak akan terwujud.
Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan tersebut kita rumuskan unsur-unsur yang didefinisikan,
misalnya “lengkungan tertutup sederhana adalah lengkungan yang titik berangkat dan titik berhentinya
sama dan tidak saling memotong”.
Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan dan unsur-unsur yang didefinisikan itu kita buat asumsi-
asumsi dasar atau aksioma-aksioma. Sehubungan dengan hal itu, ET. Rusefendi menyatakan bahwa
“aksioma atau postulat adalah pernyataan dasar dalam matematika yang tidak dibuktikan kebenarannya
karena kebenarannya tidak disangsikan lagi”. (ET. Rusefendi, 1989 : 149). Aksioma-aksioma ini dipilih
sebagai kesepakatan yang biasanya Nampak sesuai dengan pengalaman-pengalaman kita, dan
merupakan pernyataan yang menunjukkan hubungan dasar diantara unsur-unsur pokok di dalam system
tersebut. Berikut beberapa contoh aksioma yang lain :
1. Melalui sebuah titik sembarang ke sebuah titik sembarang lainnya dapat ditarik sebuah garis
lurus.
2. Semua sudut siku-siku satu sama lain sama besar.
3. Melalui sebuah titik yang tidak terletak pada sebuah garis lurus dapat ditarik sebuah garis lurus
yang sejajar dengan garis itu.
Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, unsur-unsur yang didefinisikan, dan aksioma disusunlah
teori-teori atau dalil-dalil yang dapat dibuktikan kebenarannya dan berlaku umum. Misalnya “jumlah
sudut-sudut sebuah segitiga besarnya ”. Dalil itu tidak hanya berlaku pada segitiga kecil atau segitiga
siku-siku, tetapi berlaku untuk sembarang segitiga.
Dalil-dalil yang dirumuskan itu banyak sekali. Jadi, matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur
yang tidak didefinisikan, unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil, dimana
dalil-dalil itu setelah dibuktikan kebenarannya, berlaku secara umum.
Setiap system deduktif adalah konsisten terhadap dirinya dan bebas dari kontradiksi terhadap dirinya.
Pendekatan logis yang digunakan dalam matematika adalah kiya mulai dengan definisi-definisi dan
aksioma-aksioma dan menurunkan suatu teorema yang didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang
dapat dibuktikan dengan menggunakan alasan-alasan deduktif dan kumpulan aksioma yang telah kita
sepakati. Jadi kita mulai dengan daftar unsur-unsur yang tidak didefinisikan kemudian merumuskan
aturan-aturan untuk menggabungkan unsur-unsur yang tidak didefinisikan tadi dan kemudian
mengaplikasikan aturan-aturan itu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu deduktif, sehingga ilmu
matematika menuntut diterapkannya cara berpikir dengan penalaran deduktif, yaitu suatu proses
berpikir dalam menarik suatu kesimpulan dengan menggunakan pola berpikir silogisme.
http://pro-edukasi.blogspot.com/2009/10/matematika-ilmu-deduktif.html
http://digilib.unitomo.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunitomo-
5ngy4qbbphgcxfuxgv4ewc3glifrvq-endangsria-237&PHPSESSID=cgmfuogdi
Teori Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya
pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori pieget,
dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem
yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi
tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan
mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan
bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau
obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik
dalam pengajaran matematika.
Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep
tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh
hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-
anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan
mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan
lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam
permainan semula..
Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-
tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
1. Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep
bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang
aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk
mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai
membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami
konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik
mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang
merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola
dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat
dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah
memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai
mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk
berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami
siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep
yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan
suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk
yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak
diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah,
kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya.
Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman
terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal),
atau tidak merah (biru, hijau, kuning).
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan
sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari
kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan
kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-
sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan
permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang
tebal, anak diminta
mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut
(anggota kelompok).
4. Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para
siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil
menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu.
Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada
pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang
sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon
(misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini.
Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga
0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ..... diagonal ……. diagonal
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol
matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari
banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan
rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-
siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat
baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur
matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah
mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema
tersebut.
Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta
membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang
sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya.
Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif,
asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah
sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung
selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan
materi matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat.
Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple
embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang
dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent)
dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.
Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan
lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak
didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya
imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple
embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel
matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana
sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin
banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi
anak dalam memahami konsep tersebut.
Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan
yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk
membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-
temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk
mengabstraksikan pelajaran tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik,
peta dan akhirnya memadukan simbolo - simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah
ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi
dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses
pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada
hanya sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan
matematika ke satu bidang baru.
Dari sudut pandang tahap belajar, peranan guru adalah untuk mengatur belajar anak didik dalam memahami bentuk aturan-aturan susunan benda walaupun dalam skala kecil. Anak didik pada masa ini bermain dengan simbol dan aturan dengan bentuk-bentuk kongkret dan mereka memanipulasi untuk mengatur serta mengelompokkan aturan-aturan Anak harus mampu mengubah fase manipulasi kongkret, agar pada suatu waktu simbol tetap terkait dengan pengalaman kongkretnya.
h)
Metode Deduktif
Metode ini dimulai dengan pemberian penjelasan tentang prinsip-
prinsip isi pelajaran, kemudian disusul dengan penerapan atau contoh-
contohnya pada situasi tertentu. Metode ini bergerak dari yang bersifat
umum ke yang bersifat khusus. Metode ini tepat digunakan bila: (1)
siswa belum mengenal pengetahuan yang sedang dipelajari; (2) isi
pelajaran meliputi terminologi, teknis, dan bidang yang kurang
membutuhkan proses berpikir teoritis; (3) pengajaran mengenai
pelajaran tersebut mempunyai persiapan yang baik dan pembicara yang
baik; dan (4) waktu yang tersedia singkat. Dalam menggunakan metode
ini tahap yang perlu dilakukan guru adalah mempersiapkan
pembelajaran dengan baik kemudian guru
menjelaskan/menerapkan/menganalisis suatu konsep, prinsip atau
prosedur kepada siswa, kemudian berbekal penjelasan guru, siswa
menerapkan konsep, prinsip atau prosedur dalam menyelesaikan
masalah. Pada pembelajaran matematika di SD, metode ini dapat
digunakan misalnya pada saat guru menjelaskan tentang rumus-rumus
dan penerapannya, seperti: rumus keliling, luas ataupun volum, atau
pada saat guru menjelaskan prosedur penyelesaian suatu masalah,
seperti menentukan sudut terkecil yang dibentuk oleh jarum jam yang
menunjukkan waktu atau pukul tertentu.
i)
Metode Induktif atau Discovery atau Socratic
Metode ini dimulai dengan pemberian berbagai kasus, fakta, contoh,
atau sebab yang mencerminkan suatu konsep atau prinsip. Kemudian
siswa dibimbing untuk berusaha keras mensintesis, menemukan atau
menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran tersebut. Metode ini tepat
digunakan apabila: (1) siswa telah mengenal atau mempunyai
pengalaman yang berhubungan dengan mata pelajaran tersebut; (2)
yang dianjurkan berupa keterampilan komunikasi antar pribadi, sikap,
pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan; (3) guru mempunyai
keterampilan mendengarkan yang baik, fleksibel, terampil mengajukan
pertanyaan, serta sabar; dan (4) waktu yang tersedia cukup panjang.
Pada metode ini tahap yang perlu dilaksanakan guru adalah mengajukan
masalah dan membimbing siswa untuk menemukan pemecahannya.
Sedangkan tahap yang perlu dilakukan siswa dalah memahami masalah,
memproses data dan menganalisanya kemudian menggeneralisasikan ke
dalam bentuk umum. Pada pembelajaran matematika, metode ini dapat
digunakan misalnya dalam menemukan rumus luas atau keliling bangun
datar, volum bangun ruang atau menemukan hubungan antara panjang,
lebar, keliling, dan luas.
Belajar Konsep
Konsep atau pengertian adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mem-
punyai ciri-ciri yang sama, orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi ter-
hadap objek-objek yang dihadapinya, sehingga objek ditempatkan dalam golongan tertentu.
Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk repressentasi mental tak
berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata {lambang ba-
hasa}.
Konsep dibedakan atas konsep konkret dan konsep yang harus didefinisikan. Konsep
konkret adalah pengertian yang menunjuk pada objek-objek dalam lingkungan fisik. Konsep
ini mewakili benda tertentu, seperti meja, kursi, tumbuhan, rumah, mobil, sepeda motor dan
sebagainya. Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi
tidak langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan hidup fisik, karena realitas itu tidak
berbadan. Hanya dirasakan adanya melalui proses mental. Misalnya, saudara sepupu,
saudara kandung, paman, bibi, belajar, perkawinan, dan sebagainya, adalah kata-kata yang
tidak dapat dilihat dengan mata biasa, bahkan dengan mikroskop sekalipun. Untuk
memberikan pengertian pada semua kata itu diperlukan konsep yang didefinisikan dengan
menggunakan lambang bahasa.
Ahmad adalah saudara sepupu Mahmud; merupakan kenyataan {realitas}, tetapi tidak
dapat diketahui dengan mengamati Ahmad dan Mahmud. Kenyataan itu dapat diketahui
dengan menggunakan lambang bahasa. Kata “saudara sepupu” dijelaskan. Penjelasan atas
kata “saudara sepupu” itulah yang dimaksudkan disini dengan konsep yang didefinisikan.
Berdasarkan konsep yang didefinisikan, didapatkan pengertian, sauadara sepupu adalah
anak dari paman atau bibi.
Akhirnya, belajar konsep adalah berfikir dalam konsep dan belajar pengertian. Taraf ini
adalah taraf konprehensif. Taraf kedua dalam taraf berfikir. Taraf pertamanya adalah taraf
pengetahuan, yaitu belajar reseptif atau menerima.
6. Belajar Kaidah
Belajar kaidah {rule} termasuk dari jenis belajar kemahiran intelektual {intellectual skill},
yang dikemukakan oleh Gagne. Belajar kaidah adalah bila dua konsep atau lebih di-
hubungkan satu sama lain, terbentuk suatu ketentuan yang mereprensikan suatu keteraturan.
Orang yang telah mempelajari suatu kaidah, mampu menghubungkan beberapa konsep. Mis-
alnya, seseorang berkata, “besi dipanaskan memuai”, karena seseorang telah menguasai
konsep dasar mengenai “besi”, “dipanaskan” dan “memuai”, dan dapat menentukan adanya
suatu relasi yang tetap antara ketiga konsep dasar itu {besi, dipanaskan, dan memuai}, maka
dia dengan yakin mengatakan bahwa “besi dipanaskan memuai”.
Kaidah adalah suatu pegangan yang tidak dapat diubah-ubah. Kaidah merupakan su-
atu representasi {gambaran} mental dari kenyataan hidup dan sangat berguna dalam men-
gatur kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa kaidah merupakan suatu keteraturan yang
berlaku sepanjang masa. Oleh karena itu, belajar kaidah sangat penting bagi seseorang se-
bagai salah salah satu upaya penguasaan ilmu selama belajar di sekolah atau di perguruan
tinggi {universitas}.
semoga uraian di atas dapat menjadi penghubung dalam memahami belajar kaidah-kaidah di
dalam menuntut ilmu..
Cara Individu Memperoleh Konsep-konsepMenurut teori Ausubel (1968), individu memperoleh konsep melalui dua cara, yaitu melalui for-masi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep menyangkut cara materi atau informasi di-terima peserta didik. Formasi konsep diperoleh individu sebelum ia masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep yang diperoleh semasa kecil termodifikasi oleh pengalaman sepan-jang perkembangan individu. Formasi konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif dan merupakan suatu bentuk
belajar menemukan (discovery learning) melalui proses diskriminatif, abstraktif dan diferensi-asi. Contoh pemerolehan konsep pada anak adalah ketika anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Misalnya, pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun memanggil Bapak dan Ibunya pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya selalu bersama-sama anak tersebut. Anak menyebut diri yang memandikan dan meninabobokkan saat tidur adalah Ibu dan menggendong serta mengajaknya bermain adalah Bapak.
Sedangkan asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan infor-masi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif. Bi-asanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat membedakan antara konsep gajah den-
gan hewan-hewan lainTingkat-tingkat Pencapaian Konsep
Empat tingkat pencapaian konsep menurut Klausmeier (Dahar, 1996:88) adalah sebagai berikut:
1). Tingkat konkretPencapaian tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret. Dengan demikian da-pat dikatakan juga anak mampu membedakan stimulus yang ada di lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini anak sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam struktur kognitifnya.
2). Tingkat identitasSeseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara memainkannya, bukan hanya dengan melihatnya lagi.
3). Tingkat klasifikatori
Pada tingkat ini anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah.
4). Tingkat formal
Pada tingkat ini anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.
Strategi Pembelajaran Konsep di SDAda 2 strategi utama yang dapat digunakan untuk pembelajaran konsep, yaitu melalui pendekatan inkuiri dan pendekatan ekspositori. Pada pendekakatan inkuiri, para peserta didik dapat diperlihatkan sekelompok benda yang berbeda yang satu sekelompok benda yang merupakan contoh dari konsep yang ingin disampaikan, dan sekelompok benda yang lain merupakan yang bukan contoh dari konsep yang ingin disampaikan. Cara penyampaiannya dapat bermacam-macam dari pengkelompokkan secara tertulis atau melalui bentuk gambar maupun suara. Selanjutnya, para peserta didik diminta untuk melakukan permainan tebak-tebakan. Mereka diminta melengkapi kelompok benda yang merupakan contoh konsep dan juga yang bukan contoh konsep. Mungkin diantara mereka ada yang berhasil mengkategorikan kelompok benda yang contoh dan bukan contoh konsep tersebut, dan adapula yang tidak berhasil. Pada akhirnya, para peserta didik akan tergiring dan termotivasi untuk berfikir dan menemukan contoh-contoh dari konsep yang dimaksud yang mereka kembangkan sendiri. Pendekatan inkuiri lebih cocok digunakan untuk peserta didik di kelas-kelas awal SD, tentunya dengan bimbingan guru.
Strategi kedua untuk mengajarkan konsep adalah dengan pendekatan ekpositori. Berbeda dengan inkuiri, pada pendekatan ekspositori, peserta didik dimotivasi sejak awal untuk menemukan contoh-contoh yang dikembangkannya sendiri untuk mengkategorikan sebuah
konsep. Namun demikian, tetap guru harus menjelaskan secara rinci tentang konsep yang dibicarakan. Pendekatan ekspositori lebih sesuai digunakan di kelas-kelas tinggi di SD, karena para siswa di kelas tinggi di SD sudah dapat diajak berpikir detil, dan komprehensif.
DIarsipkan di bawah: PEMBELAJARAN, PGSD | Ditandai: PGSD
« PROSES ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Ilmu Budaya Dasar »
MENGAJAR KONSEP PENJUMLAHAN BILANGAN NEGATIF
Operasi penjumlahan bilangan bulat negatif merupakan salah satu materi yang sulit di kuasai oleh siswa, padahal materi ini merupakan prasyarat beberapa pokok bahasan di tingkat selanjutnya. Konsep penjumlahan bilangan bulat negatif merupakan konsep dasar yang harus dikuasai siswa. Namun meskipun materi ini sudah diajarkan sejak SD, ternyata di tingkat SMP masih banyak yang belum men-guasainya.
Bahkan di tingkat SMA masih ada saja yang bingung menghadapi masalah penjumlahan bilangan negatif ini. Saya pernah bertanya pada siswa berapa hasil -7 + 4, ternyata lebih dari separo bagian siswa di kelas menjawab salah, kesalahan terbanyak adalah siswa menjawab -11. Kali ini akan saya ceritakan pengalaman saya mengajar anak SD dan SMP dengan metode yang kita pinjam dari pelajaran IPA yaitu muatan listrik. Kita tahu bahwa muatan listrik positif bertemu dengan negatif akan menjadi netral atau bisa dikatakan nol. Ini kita jadikan kesepakatan yang paling utama. Jadi kalau -4 bertemu +4 akan jadi nol.Begini jelasnya, misalnya kita akan menghitung 6 – 7 , berarti positif 6 bertemu negatif 6 hasilnya nol, sisanya masih negatif 1, artinya hasilnya -1.Perhatikan gambar berikut :
Contoh lain, -4 -3 hasilnya dapat dijelaskan dengan gambar berikut :
Mudah-mudahan penjelasan saya dapat dipahami dan menurut pengalaman saya metode ini cukup mu-dah dan efektif. Silakan dicoba.
APAKAH PENDEKATAN DAN STRATEGI PENGAJARAN INDUKTIF?
Mengumpul dan mentafsir maklumat-maklumat kemudian membuat generalisasi/kesimpulan Bermula dengan memberi beberapa contoh yang khusus Contoh-contoh mempunyai prinsip yang sama Murid dibimbing memikir, mengkaji, mengenalpasti & mentafsir maklumat untuk membuat
generalisasi/kesimpulan Matematik, bahasa dan sains banyak menggunakan pengajaran induktif Kaedah inkuiri-penemuan diamalkan apabila mengajar sains
o Contoh kusus ikan emas, udang, sotong, beruduo Memerhati & mengkaji – bernafas melalui insango Mentafsir dan membuat generalisasi – Haiwan hidup dalam air mempunyai insang untuk
bernafas. Prinsip Penggunaan Strategi Pengajaran Induktif
o Sediakan contoh-contoh yang sesuaio Soalan-soalan disediakan untuk membimbing membuat kesimpulano Guru tidak menghuraikan isi pelajaran, murid dibimbing untuk mencari kesimpulano Jenis contoh khusus dipelbagaikan tetapi mengandungi ciri yang samao Contoh-contoh khusus yang dipilih haruslah sesuai & mencukupi.o Murid-murid digalakkan memberi contoh yang samao Guru tidak harus memberi contoh sekaliguso Sediakan alat bantu mangajaro Penggunaan deria-deria murid dalam aktiviti – lihat, dengar, hidu & sentuh.o Pengajaran mengikut urutan yang tepat – contoh-contoh spesifik membawa kepada
kesimpulan umum.
APAKAH PENDEKATAN DAN STRATEGI PENGAJARAN DEDUKTIF?
Strategi Pengajaran Deduktif merupakan kaedah mengajar yang kompleks kerana murid perlu memperolehi kefahaman yang mendalam /mencukupi serta berupaya memilih rumus, hukum, teorem, peraturan yang telah dipelajari dengan tepat untuk diaplikasi pada contoh-contoh khusus.
Bermula daripada berberapa rumus, prinsip, hukum, teorem/peraturan Digunakan kesimpulan baru, generalisasi baru daripda rumus, hukum, peraturan Proses pengajaran:
o Prinsip/rumuso Kaedah deduktifo Aplikasi rumus/prinsipo Mendapat rumus baru, prinsip baru dsb.o Guru memberi tahu murid objektif pelajaran pada peringkat awal,o Murid dibimbing mengingat kembali hukum, prinsip, teori, peraturan bagi mendapat
kesimpulan yang baru/ menyelesaikan masalah.
.
Ilustrasi Pembelajaran Inkuiri Model Silver di Kelas X pada Sub Pokok Bahasan Fungsi Kuadrat
Pada kegiatan pembelajaran, guru memberikan masalah pada siswa sebagai berikut:Dari selembar karton manila, guru akan membuat kotak yang permukaan atasnya terbuka dan berukuran (p x p x 4) cm seperti tampak pada gambar
Siswa diminta membuat suatu bentuk model matematika yang menyatakan luas permukaan kotak tersebut.Siswa diberi waktu untuk mengamati kotak tersebut dan mencoba membuat model matematikanya. Siswa secara individu atau berkelompok, diharapkan dapat mencari luas permukaan kotak yang terbuka yaitu ( panjang x lebar + panjang x tinggi + panjang x tinggi + lebar x tinggi + lebar x tinggi). Sehingga diperoleh luas permukaan kotak terbuka tersebut yaitu: L = p2 + 16p. Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan pada siswa, berapa panjang sisi alas kotak jika luas permukaan kotak 161 cm2? Diharapkan siswa menjawab bahwa jika sisinya p cm, maka p akan didapat dari perhitungan: 161 = p2 + 16pp2 + 16p – 161 = 0(p + 23) (p – 7) = 0 p = – 23 atau p = 7Jadi panjang sisi alas kotak adalah 7 cm. Dalam hal ini, ada kemungkinan siswa melakukan perhitungan yang berbeda untuk mendapatkan panjang sisi alas kotak berdasarkan pengalaman atau pengetahuan terdahulu yang telah diperolehnya. Kemudian guru atau siswa mengajukan masalah/pertanyaan yang berkaitan dengan masalah di atas. Siswa dapat berbagi dengan temannya dan menjawab pertanyaan tersebut. Guru atau siswa dapat mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Berapa luas permukaan kotak jika panjang sisi alasnya 5 cm?” Bagaimana jika panjang sisinya 8 cm dan seterusnya. Kemudian guru mengarahkan menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat tabel berikut untuk dilengkapi.
Panjang sisi (p cm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Luas permukaan kotak (L cm2) … …. … … … … … … … ....
Setelah dilengkapi siswa mengamati apakah terdapat hubungan antara luas permukaan kotak dan panjang sisinya. Ternyata luas permukaan kotak tergantung dari panjang sisinya, dan nampak semakin besar panjang sisi kotak, luas permukaan kotak juga semakin besar. Selanjutnya guru mengarahkan siswa untuk mendapatkan konsep fungsi. Diharapkan siswa mendapatkan konsep fungsi tersebut dengan saling berdiskusi baik secara kelompok atau dalam kelas klasikal.Dari masalah tadi bahwa saling ketergantungan antar luas permukaan dan panjang sisi kotak merupakan suatu fungsi. Jika luas permukaan kotak merupakan fungsi dari sisi kotak yaitu p, maka saling ketergantungan ini dapat ditulis:L (p) = p2 + 16p. Pangkat tertinggi dari peubah/variabel p adalah 2, maka fungsi ini disebut fungsi kuadrat dalam p. Peubah bebas adalah p dan L (p) merupakan peubah terikat. Himpunan semua nilai p disebut daerah asal fungsi. Pada masalah ini, daerah asal fungsi dapat ditulis:{ p 1 ≤ p ≤ 10 }. Sedangkan semua himpunan nilai L (p) disebut daerah hasil. Selanjutnya siswa dapat kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga siswa dapat menuliskan beberapa contoh fungsi kuadrat yang lain dengan berbagai peubah, dan sampai siswa dapat menulis bentuk umum fungsi kuadrat yaitu f(x) = ax2 + bx + c. Setelah itu, siswa ditekankan untuk dapat memberikan contoh-contoh yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Pembelajaran yang demikian diharapkan mampu membuat siswa aktif. Aktivitas pemecahan masalah dan pengajuan masalah yang diberikan selama proses pembelajaran akan membuat siswa lebih aktif sehingga kreativitas matematiknya dapat muncul dan berkembang. Silakan mencoba pembelajaran ini.