kondisi sosial ekonomi masyarakat -...

163

Upload: dinhlien

Post on 15-Jun-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan
Page 2: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

Desa Saibi Samukop dan Saliguma

Kabupaten Mentawai

HASIL BME

DALIYO SUDIYONO

Coral Reef Rehabilitation and Management ProgramLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(COREMAP II – LIPI) Jakarta, 2009 COREMAP-LIPI

Page 3: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

iii

KATA PENGANTAR

elaksanaan COREMAP fase II yang bertujuan untuk menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang, agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, dilindungi dan

dikelola secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan peningkatan tutupan karang merupakan indikator keberhasilan dari aspek bio-fisik. Sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan pendapatan per-kapita penduduk naik sebesar 2 persen per tahun dan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program.

Untuk melihat keberhasilan tersebut perlu dilakukan penelitian benefit monitoring evaluation (BME) baik ekologi maupun sosial-ekonomi. Penelitian BME ekologi dilakukan setiap tahun untuk memonitor kesehatan karang, sedangkan BME sosial-ekonomi dilakukan pada tengah dan akhir program. BME sosial-ekonomi bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan, untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.

Hasil BME sosial-ekonomi ini dapat dipakai untuk memantau perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan evaluasi pengelolaan dan pelaksanaan program, baik di tingkat nasional, kabupaten maupun di tingkat lokasi.

Buku ini merupakan hasil dari kajian BME sosial-ekonomi (T1) yang dilakukan pada tahun 2009 di lokasi-lokasi COREMAP di

P

Page 4: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

iv

Indonesia Bagian Barat. BME sosial-ekonomi ini dilakukan oleh CRITC-LIPI bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan - LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI.

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku ini melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan — LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan studi ini. Kepada para informan yang terdiri atas masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan POKMAS, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi Desa Saibi Samukop dan Saliguma, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mentawai, CRITC Kabupaten Mentawai dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi. Jakarta, Desember 2009 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI Susetiono

Page 5: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

v

RINGKASAN

ujuan umum penelitian ini adalah mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat

pendapatan untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Sedangkan tujuan khususnya adalah : (1).Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di daerah (tingkat kabupaten dan lokasi/ desa); (2).Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai program COREMAP; dan (3). Menggambarkan tingkat pendapatan masyarakat untuk memantau dampak program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat.

Sumber data dalam laporan ini mendasarkan pada hasil survei sosial-ekonomi COREMAP tahun 2009 di dua lokasi program COREMAP II, yaitu Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Seberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai Selatan. Survei dilakukan terhadap 100 rumah tangga sampel yang diambil dari 100 rumah tangga sampel yang telah diteliti tahun 2007 (T0), sehingga dapat dianalisis perubahan kondisi sosial ekonomi dari rumah tangga sampel tersebut dengan adanya program COREMAP. Dalam laporan ini data juga diperoleh dari hasil wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, dokumentasi dan observasi.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umumnya masyarakat di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma yang telah mengenal program COREMAP, sebab program ini telah masuk ke dua desa ini sejak tahun 2005. Namun belum semua anggota masyarakat dilibatkan dalam berbagai program yang ada.Berbagai program kegiatan pokmas, termasuk Pokmas Usaha Ekonomi Produktif pernah dilakukan di desa ini. Hasilnya adalah

T

Page 6: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

vi

sebagian besar belum berhasil atau kandas di tengah jalan. Oleh karena itu, program-program COREMAP tersebut belum mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Pokmas yang pernah dibentuk dan pernah melakukan kegiatan di dua desa tersebut adalah Pokmas Budidaya Kepiting, Pokmas Budidaya Rumput Laut, Pokmas Pembuatan Minyak Nilam, Pokmas Pembuatan Minyak Kelapa (Minyak Manis), Pokmas Penangkapan Ikan (dengan perahu pongpong), Pokmas Usaha Ternak Itik, Pokmas Pengolahan Ikan, dan Pokmas Jender (Warung Pesisir). Di antara pokmas-pokmas tersebut yang masih melakukan kegiatan sampai saat ini hanya Pokmas Pembuatan Minyak Kelapa (Minyak Manis).

Kurang berhasilnya program-program pokmas di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma tersebut antara lain disebabkan :

a. Program-program Pokmas Usaha Ekonomi Produktif yang ditawarkan pihak DKP pada umumnya tidak mendasarkan pada potensi dan kemampuan masyarakat, namun lebih cenderung top down dan diseragamkan. Sehingga tidak sesuai dengan keinginan, partisipasi dan kemampuan yang dimiliki masyarakat.

b. Kurangnya dan tidak adanya pelatihan yang memadai bagi anggota pokmas sebelum melakukan program kegiatan COREMAP. Pada umumnya kemampuan teknologi masyarakat masih terbatas. Hampir semua program yang ditawarkan selama ini adalah kegiatan-kegiatan belum pernah dikenal sebelumnya.

c. Setelah program turun ke masyarakat desa, ternyata kurang adanya bimbingan dan kontrol dari pihak DKP kabupaten, sehingga kegiatan program COREMAP kurang terkontrol dan berjalan sendiri-sendiri.

Page 7: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

vii

d. Umumnya anggota pokmas mengeluh karena kurangnya pendampingan dari para ahli atau petugas yang trampil di bidangnya untuk mendampingi para ketua pokmas dan anggotanya. Pendampingan diharapkan dari mulai persiapan, pelaksanaan/ memproduksi, pemanenan sampai pemasaran. Selama ini dalam satu desa ada tenaga pendamping, namun mereka kurang menguasai bidang-bidang yang akan dilakukan oleh pokmas dan mereka tinggal di desa sangat terbatas waktunya karena terikat kontrak.

e. Banyak kegiatan pokmas yang tidak sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan potensi yang ada. Sehingga masyarakat hanya sekedar menerima jenis kegiatan yang sudah ditentukan dari atas. Oleh karena itu, kegiatan pokmas yang dilakukan tidak sesuai dengan kemampuan yang dikuasai para anggota pokmas.

Program kegiatan usaha ekonomi produktif yang masih berlanjut adalah Pokmas Pengolahan Minyak Kelapa. Kegiatan ini masih terus berjalan disebabkan teknologi yang digunakan adalah telah dikuasai oleh masyarakat di Desa Saliguma. Potensi bahan baku tersedia di desa ini, pemasaran minyak kelapa tak mengalami kesulitan, sebab hampir seluruh rumah tangga di desa ini membutuhkan produk tersebut. Hanya apabila diproduksi besar-besaran barangkali bahan baku lokal tidak akan memenuhi. Keuntungan yang diperoleh pokmas selama ini belum mampu meningkatkan penghasilan rumah tangga anggota pokmas yang cukup berarti. Rata-rata keuntungan yang diterima anggota pokmas per tahun hanya sekitar Rp 300.000 sampai Rp 400.000 atau rata-rata per bulan antara Rp 25.000 sampai Rp 30.000.

Pokmaswas telah terbentuk di dua desa penelitian, armada kapal telah diberikan program COREMAP, namun kegiatan Pokaswas tidak berjalan. Alasan tersendatnya kegiatan terbentur pada masalah kurang adanya dana operasional yang

Page 8: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

viii

tidak mungkin ditanggung oleh anggota Pokmaswas maupun pengurus CREMAP di desa. Alasan yang kedua, para anggota Pokmaswas tidak dibekali surat-surat tugas dari instansi yang berwewenang. Hal tersebut sebagai bukti bahwa tugasnya adalah legal atau dilindungi oleh undang-undang. Juga para anggota Pokmaswas dibekali peralatan komunikasi yang memadai agar dengan mudah dapat melapor/ berkomunikasi pada petugas keamanan laut, seperti KAMLA, Polair dan instasi lainnya apabila ada kejadian-kejadian pelanggaran di laut.

Page 9: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii RINGKASAN v DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xvii BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan Penelitian 3 1.3. Metodologi 4 1.3.1. Lokasi Penelitian 4 1.3.2. Pengumpulan Data 4 1.3.3. Pengolahan Data dan Analisis Data 7 1.4. Pembabakan Penulisan 7 BAB II. PROFIL LOKASI PENELITIAN DESA SAIBI SAMUKOP DAN DESA SALIGUMA 9

2.1. Kondisi Geografis 9 2.2. Potensi Sumber Daya Alam dan Pengelolaannya 11 2.2.1. Keadaan Sumber Daya Alam 11 2.2.2. Wilayah Pengelolaan 16 2.2.3. Teknologi Penangkapan 16 2.2.4. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut 18 2.2.5. Sarana dan Prasarana Sosial-Ekonomi 24

Page 10: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

x

2.3. Kondisi Kependudukan 30 2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 30 2.3.2. Pendidikan dan Ketrampilan 34 2.3.3. Pekerjaan 37 2.3.4. Pemilikan/penguasaan aset

Produksi, kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan 44

BAB III. COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA DI DESA SAIBI SAMUKOP DAN DESA SALIGUMA 53

3.1. Pelaksanaan COREMAP : Permasalahan dan Kendala 54

3.1.1. Tingkat kabupaten : progam dan kegiatan masing-masing komponen 57 3.1.2. Tingkat Desa 69

• Pembentukan, kinerja dan kegiatan LPSTK 69

• Pembentukan, kinerja dan kegiatan Pokmas 76

• Kegiatan sosialisasi dan Pelatihan 90

• Kegiatan pengawasan 96 • Kegiatan UEP 102 • Program-program Fisik 110

3.2. Partisipasi Masyarakat terhadap Program Kegiatan COREMAP II 113

Page 11: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

xi

BAB IV. PENDAPATAN PENDUDUK DAN PERUBAHANNYA DESA SAIBI SAMUKOP DAN DESA SALIGUMA 121

4.1. Pendapatan Penduduk 122 4.1.1. Pendapatan Rumah Tangga dan Per Kapita 122 4.1.2. Pendapatan menurut Kegiatan Kenelayanan 126 4.2. Faktor-Faktor Pengaruh Terhadap Pendapatan 129 4.2.1. Program COREMAP 129 4.2.2. Program Pemerintah di Lain 131 4.2.3. Faktor Lainnya 132

• Faktor internal 132 • Faktor eksternal 133

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 135 5.1. Kesimpulan 135 5.2. Rekomendasi 137 DAFTAR PUSTAKA 139 LAMPIRAN 143

Page 12: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

xii

Page 13: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.3.1 : Komposisi Penduduk Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 33

Tabel 2.3.2 : Komposisi Responden Menurut Umur di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 34

Tabel 2.3.3 : Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan Ditamatkan di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Muara Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 36

Tabel 2.3.4 : Lapangan Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop, dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 40

Tabel 2.3.5 : Jenis Pekerjaan Utama Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 40

Tabel 2.3.6 : Status Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 41

Page 14: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

xiv

Tabel 2.3.7 : Lapangan Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samokop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 43

Tabel 2.3.8 : Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 43

Tabel 2.3.8 : Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 44

Tabel 2.3.9 : Status Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen) 46

Tabel 2.3.10 : Jumlah Rumah Tangga Pemilik Aset Produksi di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

Tabel 3.2.1 : Persentase Responden Menurut Pengetahuan, Keterlibatan, dan Manfaat Program COREMAP II di Desa Saibi Samukop, Tahun 2009. 115

Page 15: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

xv

Tabel 3. 2.2 : Persentase Responden Menurut Pengetahuan, Keterlibatan dan Manfaat Program COREMAP II di Desa Saliguma,Tahun 2009 117

Tabel 4.1.1 : Pendapatan Rumah Tangga dan Pendapatan per Kapita di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 dan 2009 (Persen) 124

Tabel 4.1.2 : Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga per Bulan dari Kenelayanan Menurut Musim di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 dan 2009 128

Page 16: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

xvi

Page 17: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Peta Lokasi COREMAP II Desa Saliguma & Saibi Samukop Kecamatan Siberut Selatan 10

Gambar 2.2 : Rawa dan Hutan Bakau 12

Gambar 2.3 : Kebun Kelapa Rakyat 13

Gambar 2.4 : Kebon Cokelat 14

Gambar 2.5: Perladangan Penduduk 15

Gambar 2.6: Alat tangkap kepiting 16

Gambar 2.7: Teknologi Budidaya Kepiting 16

Gambar 2.8 : Bagan Keramba 18

Gambar 2.9 : Dermaga Kapal Penumpang 26

Gambar 2.10: Sarana Transpor 27

Gambar 2.11: Sarana mobilitas antar rumah/kampung 28

Gambar.2.12 : Kelembagaan Pokmas 29

Page 18: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

ecara umum dalam dua dasawarsa terakhir kondisi terumbu karang di perairan Indonesia telah mengalami degradasi. Proses degradasi tersebut disebabkan oleh

berbagai hal, antara lain disebabkan karena bencana alam maupun oleh ulah manusia. Studi yang dilakukan P2O-LIPI (2004) di 686 stasiun penelitian menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia hanya 5,8 persen dalam kondisi sangat baik, sekitar 25,7 persen dalam status baik, sekitar 30,8 persen dalam status cukup dan ternyata telah mencapai sekitar 31,9 persen yang sudah dalam kondisi kurang baik. Di perairan Indonesia Barat (termasuk di perairan Kepulauan Mentawai) diperkirakan bentangan terumbu karang yang termasuk kurang baik telah mencapai sekitar 36 persen. Sementara bentangan terumbu karang di wilayah Indonesia Barat yang masih dianggap baik hanya tinggal sekitar 5,4 persen. Kondisi tersebut dianggap sudah cukup mengkhawatirkan (Daliyo dkk, 2007).

Makin rusaknya terumbu karang di perairan tersebut disebabkan oleh ulah manusia, yang antara lain adanya penangkapan ikan dan biota terumbu karang lain secara terus-menerus dan dalam kuantitas yang berlebihan (over fishing). Di samping itu, juga penggunaan bom dan racun untuk menangkap sumber daya di terumbu karang masih kadang terjadi. Kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan pembangunan di daerah pesisir, penebangan hutan bakau, penebangan hutan di sepanjang sungai yang menyebabkan terjadinya endapan

S

Page 19: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

2

sedimentasi di daerah terumbu karang dan mematikan terumbu karang (Widayatun dkk, 2002 dan Hidayati dkk, 2002) .

Untuk mengatasi masalah kerusakan terumbu karang tersebut pada awal tahun 2000-an pemerintah Indonesia telah mencanangkan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef Rahabilitation and Managemet Program). Progam pada fase I tersebut bermaksud untuk menggerakan dan meningkatkan usaha pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara lestari bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir Indonesia. Program COREMAP pada prinsipnya mendasarkan pada partisipasi masyarakat atau dapat dikatakan ‘pengelolaan berbasis masyarakat’. Pengelolaan tersebut menggunakan sistem terpadu yang perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat sendiri. Kemudian tujuan COREMAP pada fase II lebih menekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola. Dalam hal ini gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang telah didesentralisasi kepada pemerintah kabupaten dengan sistem pendanaan yang berkelanjutan, namun tetap dikoordinir secara nasional. Desentralisasi pengelolaan ini dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai, melakukan co-manajemen secara berkelanjutan agar kerusakan terumbu karang dapat dicegah dan dampak positif selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Indikator yang dapat digunakan untuk melihat tercapainya tujuan COREMAP antara lain adalah melihat aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan tercapai peningkatan tutupan karang paling sedikit 5 persen per

Page 20: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

3

tahun sampai tercapai level yang sama dengan daerah yang telah dikelola secara baik atau pristine area (daerah terumbu karang yang masih asli/ belum dimanfaatkan). Selanjutnya indikator keberhasilan COREMAP dari aspek sosial-ekonomi adalah : (1) adanya pendapatan penduduk dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang dan kegiatan ekonomi alternatif lainnya, mengalami kenaikan sebesar 10 persen pada akhir program (tahun 2009); dan (2) paling sedikit 70 persen dari masyarakat nelayan (beneficiary) di kabupaten program merasakan dampak positif COREMAP. Dalam hal ini dampak pada tingkat kesejahteraannya dan status sosial ekonominya (World Bank, Project Appraisal Document, 2004)

Keberhasilan COREMAP salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian rencana program dengan permasalahan, potensi dan aspirasi masyarakat. Untuk merancang program yang sesuai dengan permasalahan dan potensi wilayah serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat diperlukan data dasar sosial—ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Data dasar sosial-ekonomi dari hasil baseline merupakan titik awal (T0) program COREMAP II telah dilakukan tahun 2007. Pada tahun 2009 dilakukan kajian sosial ekonomi lagi untuk mengevaluasi perkembangan dan dampak dari program COREMAP II tersebut terhadap masyarakat.

1.2. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.

Page 21: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

4

Adapun tujuan khususnya meliputi :

1. Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di daerah (tingkat kabupaten dan lokasi/ desa).

2. Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai program COREMAP.

3. Menggambarkan tingkat pendapatan masyarakat untuk memantau dampak program COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat.

1.3. METODOLOGI

1.3.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai. Dua desa tersebut dipilih dalam penelitian ini dengan pertimbangan : (1). Keduanya merupakan desa-desa sasaran kegiatan program COREMAP II dan (2). Desa-desa tersebut juga telah dilakukan penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang (T0) pada tahun 2007. Dengan adanya kajian kali ini dapat dikaji/ dievaluasi perkembangan program di desa-desa tersebut dan pengaruh program terhadap kesejahteraan masyarakat.

1.3.2. Pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, kualitatif, observatif dan penggunaan data sekunder. Masing-masing metode tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan. Dalam pendekatan kuantitatif kegiatan yang dilakukan adalah survei dengan menggunakan daftar pertanyaan yang dirancang secara tertutup dan setengah tertutup. Pendekatan survei digunakan untuk mewawancarai para responden rumah tangga dan individu. Penggunaan survei dalam analisis lebih objektif dibandingkan dengan pendekatan kualitatif, di mana subjektivitas

Page 22: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

5

peneliti dapat dihindari. Kelemahan dari survei ini adalah data yang dikumpulkan sangat terbatas pada jawaban tertutup yang tersedia di daftar pertanyaan. Pendekatan ini kurang memberikan keleluasaan para peneliti untuk menggali informasi yang lebih dalam lagi dari responden.

Kelemahan pendekatan kuantitatif tersebut dapat diatasi dengan menggunakan kualitatif. Pendekatan kualitatif lebih menekankan pengumpulan data yang sifatnya kualitatif. Kegiatan yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi lapangan. Pendekatan ini memberikan peluang kepada para peneliti untuk menggali data dan informasi yang lebih mendalam dan kontekstual dari para informan sesuai dengan kondisi dan kejadian di lokasi kajian. Kelebihan pendekatan ini data dan informasi yang dikumpulkan lebih kaya dan mendalam dibandingkan pendekatan kuantitatif.

• Instrumen dan responden

Dengan menggunakan metode penelitian tersebut di atas, kajian ini dibekali dengan 2 paket instrumen, yaitu daftar pertanyaan/ kuesioner dan pedoman wawancara.

Daftar pertanyaan

Daftar pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daftar Pertanyaan Penelitian Benefit Monitoring Evaluation (BME T1) Sosial-Ekonomi. Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis daftar pertanyaan, yaitu Daftar Pertanyaan Rumah Tangga dan Daftar Pertanyaan Individu/ Perorangan. Dalam Daftar Pertanyaan Rumah Tangga terdiri 5 bagian, yaitu : (1). Pengenalan Tempat; (2) Keterangan Rumah Tangga; (3). Keterangan Pencacahan; (4). Ekonomi Rumah Tangga; dan (5). Pemilikan Aset Rumah Tangga. Sementara Daftar Pertanyaan Individu hanya terdiri dari dua bagian, yaitu :

Page 23: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

6

(1). Pengetahuan dan Partisipasi Responden dalam COREMAP; dan (2). Manfaat COREMAP untuk Kehidupan Ekonomi

Pedoman wawancara mendalam

Dalam penelitian ini wawancara mendalam dilakukan dengan para pemangku kepentingan (Dinas Kalautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pengurus COREMAP Tingkat Kabupaten, Yayasan Karekat Indonesia di Kota Tua Pejat, Pengurus COREMAP Tingkat Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma termasuk ketua/ anggota Pokmas dan masyarakat desa penelitian) yang terkait dengan kegiatan kenelayanan. Dalam wawancara mendalam pedoman diperlukan agar wawancara lebih terarah, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian. Pedoman ini berupa daftar dari poin-poin penting yang akan diteliti. Poin-poin tersebut oleh para peneliti dikembangkan dan dilakukan cek dan recek di lapangan. Peneliti akan berhenti melakukannya apabila telah mendapatkan pemahaman yang komprehensif, mendalam dan solid dari informan-informan kunci dan narasumber yang mewakili para pemangku kepentingan dalam masyarakat nelayan.

Pengambilan sampel rumah tangga

Dalam penelitian ini di masing-masing desa dipilih dusun-dusun yang jumlah dan proporsi rumah tangga nelayannya cukup banyak. Masing-masing desa dipilih dua dusun. Jumlah rumah tangga sampel diwawancarai sebanyak 100 rumah tangga, sehingga masing-masing desa mendapat jatah 50 rumah tangga sampel dan masing-masing dusun 25 rumah tangga sampel. Pemilihan rumah tangga sampel di masing-masing desa diambil dari rumah tangga yang pernah diwawancarai pada penelitian awal/ T0 (tahun 2007).

Page 24: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

7

1.3.3. Pengolahan data dan analisis data

Dari hasil penelitian ini telah menghasilkan data rumah tangga dan individu dari desa penelitian. Data yang telah terkumpul diolah secara komputerisasi. Data entry menggunakan program SPSS data entry versi 4. Melalui tahapan cleaning, data tersebut diolah dengan SPSS 11.5 for Windows. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan tabel-tabel frekuensi (frequency tabulation) dan tabel-tabel silang (cross tabulation). Tabel-tabel tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kenelayanan dan kegiatan serta manfaat program COREMAP

1.4. Pembabakan Penulisan

Bagian awal dari tulisan ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dari penelitian, yang meliputi tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian ini. Metodologi penelitian meliputi pemilihan lokasi dan cara pengumpulan data dan tentang analisis data yang digunakan.

Bagian kedua menyajikan profil lokasi penelitian di Desa Saibi Samukop dan Saliguma. Dalam sajian ini meliputi deskripsi keadaan geografi desa penelitian, kondisi sumber daya alam dan kondisi kependudukan. Keadaan geografis mendeskripsikan kondisi fisik daerah penelitian. Sementara kondisi sumber daya alam mendeskripsikan sumber daya yang ada di laut maupun sumber daya yang ada di darat, wilayah pengelolaan, teknologi penangkapan, sarana dan prasarana serta program dan kegiatan dalam pengelolaan SDL. Deskripsi tentang kependudukan meliputi jumlah dan komposisi penduduk, pendidikan dan ketrampilan, pekerjaan dan pemilikan aset produksi.

Bagian ketiga membahas tentang program COREMAP II dan implementasinya. Hal ini meliputi pelaksanaan program-program COREMAP II termasuk permasalahan/ kendala. Bagian

Page 25: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

8

terakhir bab ini membahas tentang pengetahuan, partisipasi dan manfaat yang dirasakan masyarakat terhadap kegiatan/ program COREMAP.

Bagian keempat merupakan inti dari penelitian ini menyajikan tentang pendapatan rumah tangga penduduk di desa penelitian (antara T0 dan T1). Pendapatan rumah tangga (T1) disajikan dalam bentuk rata-rata pendapatan rumah tangga dan pendapatan per kapita dengan membandingkan dengan penelitian sebelumnya (T0). Kemudian dilanjutkan untuk mengupas lebih fokus pada pendapatan rumah tangga, khusus kegiatan kenelayanan. Dalam mengupas pendapatan kenelayanan ini juga akan membandingkan pandapatan rumah tangga pada T0 dan T1 untuk melihat tingkat perubahannya. Pada subbab terakhir membahas tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan pendapatan di desa-desa penelitian. Sebagai penutup dari laporan ini disajikan suatu kesimpulan dari pembahasan dari bagian pertama sampai bagian keempat dan beberapa rekomendasi.

Page 26: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

9

BAB II

PROFIL LOKASI PENELITIAN DESA SAIBI SAMUKOP DAN

DESA SALIGUMA

2.1. KEADAAN GEOGRAFIS

esa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah dua desa yang terletak di Pulau Siberut, tepatnya di wilayah Kecamatan Siberut Selatan. Secara geografis terletak di

wilayah timur Pulau Siberut. Desa Saibi Samukop bertetangga dengan Desa Saliguma. Desa Saibi Samukop memiliki luas wilayah sekitar 456,72 km2. Desa Saibi Samukop yang berjarak 42 km dari kota Muara Siberut. Desa tersebut dapat ditempuh dengan perjalanan laut sekitar 2 jam dengan perahu bermotor.

Wilayah Saibi Samukop semula hanya terdiri dari 5 dusun, yaitu: Dusun Saibi hulu (Sirisurak), Dusun Saibi Muara, Dusun Sibudda Oinan, Dusun Totoet dan Dusun Sua. Sejak tahun 2007 bertambah 3 dusun baru, yang terdiri dari Dusun Samoilalak (pemekaran dusun akibat proyek sosial), Dusun Pangasaat, dan Dusun Masoggunei. Dusun Pangasaat dan Dusun Masoggunei terletak di pusat Desa Saibi. Sementara, Dusun Samoilalak diapit oleh Dusun Sirisurak dengan Saibi Muara (Daliyo dkk, 2007).

Desa Saibi Samukop terletak di tengah-tengah, antara wilayah Siberut Selatan dan Siberut Utara. Sebelah selatan berbatasan Desa Saliguma, sebelah utara dengan Desa Malancan, sebelah barat dengan Desa Simatalu, sedangkan sebelah timur adalah lautan bebas. Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma sejak tahun 2009 telah menjadi wilayah

D

Page 27: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

10

kecamatan baru dan saat ini Desa Saibi Samukop telah menjadi pusat kecamatan. Meskipun sebagai pusat kecamatan berbagai sarana dan prasaranan kota kecamatan masih sangat minim.

Gambar 2.1. Peta Lokasi COREMAP II Desa Saliguma & Saibi Samukop

Kecamatan Siberut Selatan

Sumber : DKP Kab. Kep. Mentawai

Desa Saliguma memiliki luas wilayah 96,55 km2. Pada mulanya Desa Saliguma merupakan gabungan 4 dusun, yaitu Sarabua, Limo, Guluk dan Malabagbag. Saat ini Desa Saliguma saat ini terdiri dari 6 dusun, yaitu Matamiang, Sukaibukat, Malabagbag, Guluk, Gatab dan Limo. Desa ini dapat ditempuh perjalanan laut selama kurang lebih 1 jam dengan menggunakan perahu motor dari kota Muara Siberut. Jarak antara Desa Saliguma- Kota Muara Siberut adalah sekitar 35 km.

Letak Desa Saliguma daratan tidak persis di pinggir pantai Pulau Siberut melainkan berada masuk di Teluk Sabarua. Wilayah pantainya masih penuh ditumbuhi tanaman hutan

Page 28: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

11

bakau yang kondisinya masih cukup bagus. Teluk Sabarua merupakan pintu masuk menuju pemukiman penduduk Desa Saliguma yang ditandai dengan keberadaan Pulau Bulau Bugey atau Pulau Pasir Putih.

Desa Saliguma dan Saibi Samukop memiliki iklim tropis, yaitu suhu dingin dan panas yang sedang (sumber data dari PMDH Koperasi Unand Madani Subelen). Dua desa tersebut resmi terpilih sebagai sasaran lokasi COREMAP II di Kabupaten Kepulauan Mentawai pada tahun 2005. Pemilihan lokasi tersebut mendasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai No: 52 tanggal 14 Mei 2005.

2.2. POTENSI SUMBER DAYA ALAM DAN PENGELOLAANNYA

2.2.1. Keadaan Sumber Daya Alam

• Sumber Daya Laut

Sumber daya laut di Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 78.018,43 km2 dan panjang garis pantai 1.402,7 km, Potensi sumber daya laut masih besar, namun penduduk di dua desa ini belum mampu memanfaatkan secara optimal. Hal ini tercermin dari fakta bahwa selama ini belum banyak keluhan nelayan lokal terhadap keadaan sumber daya ikan. Para nelayan lokal tidak pernah risau atau merasa khawatir bahwa hasil tangkapan makin menurun akibat kehadiran nelayan luar. Dengan peralatan yang masih sederhana penduduk di dua desa ini menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau hanya dijual ke tetangga di dalam desa sendiri. Tidak ada keluhan terhadap kondisi sumber daya kelautan tersebut juga karena kondisi hutan bakau yang masih baik. Hutan bakau merupakan kawasan ekosistem yang berfungsi mempertahankan kelangsungan hidup dari sejumlah biota laut. Sejumlah jenis ikan karang, seperti : kuret (ikan teger lumpur), garapu minyak, jining

Page 29: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

12

Gambar 2.2 : Rawa & Hutan Bakau

atau ikan ikan jenihin, bailegget (ikan janang merah dan berbintik kuning, malaimiang atau ikan saway, somay, bulu kalalaipet atau ikan kwaci) masih dapat ditangkap di perairan sekitar Desa Saliguma. Selain jenis ikan karang, terdapat juga ikan hias dengan berbagai jenis.

Ikan karang merupakan jenis ikan yang telah memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama sejak adanya penampung ikan karang yang menaruh kerambanya di perairan teluk di dua desa tersebut (Pulau Buggey). Selain jenis - jenis ikan, potensi sumber daya laut lain adalah kepiting yang mereka tangkap dengan tangguk dan udang jenis lopster. Lokasi penangkapan ikan yang dilakukan di Saliguma adalah di sekitar daerah Teluk Sarabua, dan daerah sekitar Pulau Buggey. Namun demikian, adakalanya juga mereka menangkap ikan di luar Teluk Sarabua, yaitu daerah tengah laut, dengan jarak ± 5 km dari Teluk Sarabua, dengan menggunakan kapal bagan.

• Sumber Daya Darat

Secara topografis wilayah Pulau Siberut terdiri dari dataran rendah dan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 0 - 275 meter di atas permukaan laut. Lahan wilayah Pulau Siberut termasuk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma yang paling dekat dengan laut adalah lahan rawa pasang-surut. Lahan ini ditumbuhi berbagai tanaman

rawa, seperti tanaman sagu dan tanaman bakau. Hutan bakau, jenis flora yang paling banyak dijumpai di daerah penelitian.

Page 30: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

13

Gambar 2.3 : Kebun Kelapa Rakyat

Rawa-pasang surut adalah lingkungan alam yang menghubungkan laut dengan permukiman penduduk. Di wilayah Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma masih memiliki hutan bakau yang cukup baik. Kondisi hutan bakau yang masih baik tersebut merupakan indikator bahwa ekosistem wilayah pesisir masih lestari.

Rawa pasang surut sangat penting bagi kehidupan penduduk, yakni selain untuk lalu-lintas penduduk yang akan pergi ke kota kecamatan atau ke desa-desa sekitar, juga merupakan sumber kehidupan penduduk di desa-desa daerah penelitian. Ekosistem bakau menghasilkan sumber daya ikan dan biota air, seperti kepiting yang dapat dimanfaatkan penduduk. Tanaman sagu merupakan tanaman pangan yang tumbuh secara alami belum dibudidayakan. Sumber daya darat lainnya yang berasal dari hutan alam adalah rotan (manoa). Rotan adalah sumber daya hutan non kayu yang biasa dimanfaatkan/ dipanen penduduk dan merupakan salah satu sumber mata pencaharian. Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma tersebut memiliki wilayah yang berdekatan dengan Taman Nasional Siberut. Kondisi hutan di sekitar desa-desa tersebut masih alami, sehingga memungkinkan banyak jenis pohon hutan terdapat di sekitar desa penelitian.

Sumber daya daratan lainnya adalah sumber daya perkebunan. Sumber daya perkebunan sebagai salah satu bentuk penggunaan lahan untuk sumber kehidupan. Salah satu sumber daya perkebunan di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah kebun kelapa/ nyiur (cocos

Page 31: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

14

Gambar 2.4 : Kebon Cokelat

nucifera). Kebun tanaman kelapa hampir dijumpai di semua daratan di daerah penelitian dan dimiliki hampir semua rumah tangga. Tanaman kelapa adalah tanaman komoditi bagi penduduk karena menghasilkan kopra. Kopra adalah salah satu hasil utama daerah penelitian. Hasil kelapa juga banyak dimanfaatkan penduduk untuk pengolahan minyak manis (minyak goreng). Dengan adanya pengolahan kelapa menjadi minyak goreng tersebut menyebabkan penduduk dua desa penelitian tidak tergantung pada pasokan minyak goreng dari luar.

Sumber daya darat lainnya yang dikembangkan penduduk desa penelitian adalah kebun cokelat. Kebun cokelat merupakan tanaman komoditi walaupun potensinya tidak sebesar komoditi kopra yang sudah lama diusahakan di daerah penelitian. Di beberapa rumah tangga banyak dijumpai tanaman cokelat yang masih muda,

baru berbuah satu kali dan bahkan tanaman cokelat di beberapa rumah tangga yang lain ada yang belum berbuah sama sekali. Di Desa Saliguma dan Desa Saibi Samukop tanaman alam lainnya adalah nilam (pogosteman cablin). Tumbuhan yang daunnya berbau harum dimanfaatkan penduduk sebagai sumber penghasilan. Tanaman nilam merupakan sumber daya pertanian rakyat yang dapat memberikan penghasilan bagi penduduk. Panen tanaman nilam dapat dilakukan hingga mencapai 6 kali setiap tahun. Namun beberapa tahun terakhir tanaman nilam di desa-desa ini sedang terserang hama, sehingga sudah tidak menghasilkan lagi.

Page 32: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

15

Gambar 2.5: Perladangan Penduduk

Di Saliguma terdapat kawasan hutan yang memiliki potensi yang masih besar. Hutan ini dahulu pernah diusahakan oleh perusahaan kayu, namun saat ini sudah tidak ada perusahaan kayu yang beroperasi di Saliguma. Selain kayu, hutan di wilayah Saliguma juga memiliki potensi manao (rotan). Di sepanjang garis pantai Teluk Sarabua + 3 km ditumbuhi oleh hutan bakau yang lebat dan kondisinya relatif masih baik. Di Desa Saibi Samukop tanaman kebun lain yang sudah dikembangkan dan merupakan sumber pendapatan rumah tangga yang cukup baik adalah tanaman pinang. Pengembangan tanaman pinang ini atas bantuan dan bimbingan dari Departemen Kehutanan. Pemanenan buah pinang tidak mengenal musim, apabila ada buah yang sudah tua dapat dipanen kapan saja. Buah pinang dapat dipanen dan dijual sebagai komoditi yang dapat digunakan untuk obat-obatan.

Subsektor pertanian tanaman pangan dengan membuka persawahan dan perladangan juga merupakan potensi sumber alam darat yang sedang dikembangkan di lokasi penelitian. Tanaman ubi, jagung, keladi adalah tanaman palawija yang dikembangkan penduduk di

Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma. Namun umumnya hasil tanaman pangan tersebut hanya untuk konsumsi sendiri.

Page 33: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

16

2.2.2. Wilayah Pengelolaan

Wilayah tangkap nelayan di Desa Saibi Samukop dan Saliguma hanya berada di sekitar perairan Teluk Sabarua. Wilayah pengelolaan selama ini belum sampai di perairan yang jauh dari pantai karena armada yang digunakan masih cukup kecil (umumnya menggunakan mesin dengan kapasitas 5 PK) dan alat tangkap sebagian besar masih berupa pancing dan jaring tangguk. Selain itu, nelayan di dua desa tersebut belum mempunyai wilayah tangkap yang diakui sebagai hak ulayat laut. Dengan adanya wilayah perairan di sekitar desa yang dijadikan Daerah Perlindungan Laut (DPL), maka desa telah diperkenalkan konsep pemilikan wilayah tangkap yang sebelumnya tidak dikenal. Proses memperkenalkan pemilikan wilayah tangkap tidak sekedar mengintroduksi konsep kepemilikan sumber daya laut melainkan pula kelembagaan sosial atau pranata sosial yang melekat pada konsep kepemilikan.

2.2.3. Teknologi Penangkapan

Gambar 2.6: Alat tangkap kepiting

Gambar 2.7: Teknologi Budidaya Kepiting

Page 34: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

17

Teknologi penangkapan SDL yang digunakan pada umumnya adalah jaring (jaring tangguk) dan pancing. Sementara keramba dan bubu sangat jarang. Dua jenis alat tangkap ini adalah teknologi pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Sebagai contoh adalah jaring kepiting, alat tangkap ini berkembang karena di daerah ini terdapat ekosistem hutan bakau pasang surut. Salah satu sumber daya yang terdapat di lingkungan seperti ini adalah kepiting. Belakangan ini terutama sejak adanya program COREMAP di desa ini, diperkenalkan teknologi budidaya kepiting bakau. Pengembangan teknologi ini bisa dimengerti karena di lokasi ini banyak dijumpai kepiting. Introduksi teknologi budi daya kepiting ini pernah dilakukan, namun kegiatan budi daya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat banyak yang gagal. Menurut informasi dari berbagai sumber termasuk para anggota kelompok disebabkan kurangnya pendampingan yang serius dan dilakukan oleh ahlinya.

Jaring adalah jenis teknologi penangkapan yang sebatas untuk menangkap berbagai jenis ikan (utamanya ikan tamban) yang berada di pinggiran sungai, muara sungai atau pantai. Jadi jenis jaring yang berkembang adalah jenis jaring gill-net (jaring tangguk). Penduduk belum bisa mengembangkan jaring seperti purse seine yang dioperasikan di tengah laut, seperti yang dilakukan nelayan dari Sibolga atau Padang. Sedangkan pancing juga termasuk jenis alat tangkap yang dikategorikan sederhana karena untuk mengoperasikannya cukup menggunakan perahu sampan-perahu tanpa motor. Jenis pancing seperti ini dikenal pancing jenis pull-line.

Teknologi alat tangkap yang sederhana untuk pemanfaatan sumberdaya laut yang berupa aktivitas penangkapan ikan di daerah ini tidak hanya menjadi monopoli kaum lelaki, melainkan pula kaum perempuan. Kaum perempuan menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap

Page 35: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

18

Gambar 2.8 : Bagan

pancing dan jaring tangguk yang berukuran besar untuk menangkap ikan di sekitar pantai. Gambaran ini lebih nyata dilakukan oleh kaum perempuan di Desa Saibi Samukop dari pada di Desa Saliguma. Kaum perempuan biasanya menangkap ikan dua kali sehari, yaitu pagi hari jam 5.00 sampai jam 8.00 dan sore antara jam 15.00 sampai jam 17.00.

Bagan adalah termasuk teknologi pemanfaatan sumber daya laut yang telah dikembangkan di daerah ini. Bagan dikembangkan di daerah ini terkait dengan besarnya potensi jenis-jenis ikan karang yang merupakan komoditi ekspor di bidang perikanan laut. Sayangnya nelayan yang menggunakan/ memiliki bagan sangat sedikit. Bagan hanya

dilakukan oleh para pedagang-penampung ikan karang. Namun demikian bagan jenis ini dioperasikan bukan untuk budi daya pembesaran ikan melainkan sebagai tempat penampungan sementara sebelum diangkut atau dibawa oleh kapal-kapal perikanan besar yang singgah di Seberut Selatan. Jenis teknologi budi daya bagan keramba ini merupakan salah satu teknologi budi daya yang diperkenalkan kepada penduduk di desa ini pada kegiatan program COREMAP. Namun saat ini program tersebut belum berhasil.

2.2.4. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut

Secara umum ada dua faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di dua desa penelitian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah penyebab terjadinya kerusakan yang berasal dari masyarakat itu sendiri,

Page 36: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

19

dan faktor eksternal adalah kerusakan yang penyebabnya berasal dari luar masyarakat.

Faktor internal yang berpengaruh terhadap rusaknya terumbu karang di wilayah ini adalah terkait dengan praktik penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, terutama potasium, untuk menangkap kerapu. Penggunaan potasium untuk menangkap kerapu itu dianggap lebih efektif, karena umumnya kerapu bersembunyi di dalam goa yang tidak dapat ditangkap dengan pancing. Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh potasium tergolong tinggi, karena bahan potasium dapat menyebar terbawa arus air. Kerusakan yang terjadi akibat potasium adalah terumbu karang memutih di ujungnya, dan semakin lama akan mati. Beberapa orang setempat diduga sering menggunakan potasium untuk menangkap ikan sebetulnya sudah diketahui identitasnya, namun sulit ditangkap, karena tidak adanya bukti secara langsung.

Penggunaan potasium untuk menangkap ikan itu dimulai sekitar tahun 2003, seiring dengan beroperasinya perusahaan “PT. Hiu Raksa”, yang menampung penjualan ikan hidup (kerapu) dari nelayan. Untuk meningkatkan jumlah ikan kerapu tangkapan nelayan, sehingga jumlah ikan yang diperoleh perusahaan juga semakin banyak, maka perusahaan itu mengajarkan kepada para nelayan cara menangkap kerapu dengan menggunakan potasium. Sejak saat itu hampir semua nelayan menggunakan potasium untuk menangkap kerapu.

Perilaku penangkapan kerapu secara masal menggunakan potasium itu tidak berlangsung lama, karena hal itu berakibat pada menurunnya populasi kerapu secara drastis. Akibatnya saat ini nelayan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan ikan kerapu. Dengan menurunnya populasi kerapu, maka PT. Hiu Raksa juga tidak beroperasi di kawasan itu, karena produksinya tidak banyak lagi. Pada saat ini memang masih ada

Page 37: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

20

beberapa penampung ikan hidup, namun jumlah produksinya tidak banyak.

Untuk meminimalkan penangkapan ikan menggunakan potasium, pihak Tripika (Tiga Pimpinan Kecamatan) Kecamatan Siberut Selatan (Pemerintah Kecamatan, Koramil dan Polsek) pada tahun 2003 itu telah berhasil mengumpulkan para nelayan yang berada di wilayahnya. Hasil dari pertemuan itu diperoleh kesepakatan bahwa menangkap ikan menggunakan potasium tidak diperbolehkan. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut akan diberikan sanksi denda sebesar Rp 500.000,-. Ketentuan lainnya adalah pelarangan penggunaan peralatan kompresor. Larangan penggunaan kompresor ini karena alat ini disalahgunakan sebagai alat bantu dalam penyelaman menangkap ikan dengan menggunakan potasium. Jadi dengan demikian, penggunaan kompresor dianggap sebagai indikasi penangkapan menggunakan potasium.

Penggunaan potasium untuk menangkap ikan bisa diberlakukan dengan ketat, namun larangan penggunaan kompresor dalam kenyataannya tidak bisa diberlakukan seperti itu. Hal itu karena kompresor juga merupakan alat bantu untuk menangkap teripang, yaitu digunakan sebagai alat bantu menyelam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa nelayan yang menggunakan kompresor, namun mereka bisa berkelit dengan menyatakan bahwa alat tersebut digunakan untuk menangkap teripang.

Pada saat ini penggunaan potasium untuk menangkap ikan sudah jarang terjadi. Mereka yang menggunakan, umumnya melakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal itu karena mereka takut atas ancaman sanksi yang diberlakukan, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2003. Pada saat itu ada sembilan unit perahu nelayan dari desa lain yang beroperasi di kawasan perairan dekat Desa Saliguma. Mereka kemudian ditangkap dan didenda sebesar Rp 1.250.000,- per unitnya. Sebelum denda itu

Page 38: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

21

dibayarkan, perahu dan kompresor yang digunakan ditahan, sampai mereka melunasi pembayarannya. Menurut informasi dari beberapa informan, penahanan perahu dan kompresor saat itu mencapai 12 hari, karena pada hari ke 13 denda itu dibayarkan. Sejak saat itu penggunaan potasium di kawasan ini menurun secara drastis.

Selain penggunaan potasium untuk menangkap ikan, faktor lain yang menjadi penyebab rusaknya terumbu karang di wilayah ini adalah pengambilan karang oleh penduduk untuk bahan bangunan, terutama untuk pondasi rumah. Akan tetapi, penggunaan terumbu karang untuk pondasi saat ini pengaruhnya tidak banyak bagi kelestarian terumbu karang, karena jumlah warga yang membangun rumah permanen masih belum banyak. Meskipun demikian hal itu tetap perlu diwaspadai, karena dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa ada kebanggaan tersendiri bagi masyarakat untuk bisa memiliki rumah dengan dinding tembok. Untuk membuat dinding tembok dan pondasinya penduduk menggunakan batu karang. Jika tingkat kesejahteraan penduduk meningkat, dikhawatirkan mereka akan beramai-ramai membangun rumah permanen, yang berakibat pada penggunaan batu karang secara besar-besaran.

Menurut penduduk, batu karang yang diambil adalah terumbu karang yang mati. Akan tetapi, hal itu sulit dipercaya, sehingga diperkirakan karang hidup pun banyak yang diambil untuk bahan bangunan. Kasus yang dikemukakan oleh seorang informan paling tidak memperkuat dugaan itu. Menurutnya, penggunaan karang mati hanyalah sebagai kamuflase untuk membohongi orang lain. Pada saat pengambilan karang mereka tidak memilih karang yang sudah mati, melainkan semua karang yang mudah diambil. Dengan demikian banyak karang yang sebetulnya masih hidup yang juga ikut diambil. Bahkan menurut sumber itu, persentase antara karang hidup dan karang mati yang diambil lebih besar dari karang hidup. Karang mati hanyalah

Page 39: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

22

sebagian kecil, karena jika hanya memilih karang yang mati, selain membutuhkan waktu yang lebih lama juga memilihnya tidak mudah. Penduduk sebetulnya bukan tidak mengetahui fungsi terumbu karang, terutama untuk perlindungan ikan. Akan tetapi, penggunaan karang untuk bahan bangunan tetap saja dilakukan, karena potensi bahan pengganti tidak tersedia di sekitar desa mereka.

Selain faktor internal, faktor eksternal juga ikut berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan perairan laut Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, yaitu penggunaan trawl dan bom untuk menangkap ikan. Hasil wawancara mendalam dengan para informan mengungkapkan bahwa pengguna bom untuk menangkap ikan di kawasan ini umumnya banyak berasal dari luar daerah, terutama dari Sibolga. Hal itu berbeda dengan penangkapan menggunakan potasium, karena penggunaan trawl dan bom itu sama sekali tidak melibatkan nelayan lokal.

Penduduk sangat memusuhi pengoperasian trawl dan penggunaan bom di kawasan perairan mereka, karena pengoperasian trawl dan bom telah mengakibatkan hancurnya terumbu karang di wilayah ini. Selain itu, walaupun tanpa menggunakan trawl ataupun bom, pengoperasian kapal Sibolga di wilayah mereka juga dianggap merugikan masyarakat, karena perahu Sibolga itu umumnya dilengkapi dengan lampu-lampu yang sangat terang untuk daya tarik ikan. Keberadaan lampu-lampu itulah yang dianggap merugikan nelayan lokal, karena dianggap menyedot ikan sehingga para nelayan sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan.

Akibat pengoperasian kapal Sibolga yang menggunakan banyak lampu tersebut, mengakibatkan terjadinya konflik dengan nelayan lokal tidak bisa dihindari. Kasus yang pernah terjadi adalah pengejaran yang dilakukan oleh sekitar 30 nelayan dari Desa Saibi Saibi Samukop terhadap kapal Sibolga, karena

Page 40: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

23

melakukan pengeboman di sekitar desa mereka. Akan tetapi, pengejaran itu tidak berhasil menangkapnya, karena sesudah dekat warga mereka diancam akan ditembak. Kasus yang terjadi pada tahun 2003 itu menurut penduduk memiliki dampak yang positif, karena sejak saat itu kapal Sibolga tidak ada lagi yang berani merapat ke perairan pantai.

Tuntutan pasar juga merupakan faktor eksternal yang secara tidak langsung ikut berpengaruh terhadap perusakan terumbu karang di kawasan ini. Adanya perusahaan penampung ikan hidup sebagai tempat penjualan hasil tangkapan ikan kerapu dari para nelayan, lebih-lebih jika perusahaan itu mengajarkan cara menangkap kerapu yang lebih efisien dengan menggunakan potasium, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh PT. Hiu Raksa tersebut, jelas sangat berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di kawasan perairan Desa Saibi Saibi Samukop dan Desa Saliguma ini.

Pada saat ini PT. Hiu Raksa sudah tidak ada di kawasan ini. Akan tetapi, di kawasan ini masih ada beberapa pedagang yang menampung ikan hidup, yang kemudian dibeli oleh kapal ikan dari Hongkong. Akan tetapi, hal itu tidak banyak berpengaruh bagi perusakan terumbu karang di kawasan ini, karena masyarakat sudah tidak berani lagi menangkap ikan kerapu dengan menggunakan potasium, kecuali secara sembunyi-sembunyi. Itupun saat ini sudah jarang penduduk yang mengkhususkan diri menangkap kerapu, karena populasinya tidak banyak. Jadi umumnya saat ini kerapu yang tertangkap adalah hanya terjadi secara kebetulan, bersama dengan penangkapan jenis ikan yang lain.

Page 41: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

24

2.2.5 . Sarana dan prasarana sosial-ekonomi

• Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan di lokasi penelitian saat ini masih terbatas pada tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pertama. Di Desa Saibi Samukop pada tahun 2009 terdapat 4 unit SD, tersebar di 4 dusun. Rata-rata satu kelas 40 orang murid, rata-rata satu sekolah ada 6 ruang kelas dan 6 orang guru. Sementara di Saliguma hanya memiliki tiga unit SD. Rata-rata satu kelas sekitar 30 orang murid dan jumlah guru per kelas kurang dari 6 orang. Di lokasi penelitian bangunan SD umumnya milik pemerintah. Sementara sekolah TK (Taman Kanak-kanak) dikembangkan oleh yayasan swasta di Desa Saibi Samukop ada 3 unit TK, dengan murid sebanyak 75 orang dan 3 orang guru. Di Desa Saliguma ada 2 unit TK, jumlah murid sekitar 50 orang dengan 2 orang guru. Sejak tahun 2008 di Desa Saibi Saliguma sudah ada SMP Negeri, dengan demikian bagi lulusan SD bisa melanjutkan SMP di desanya sendiri, tidak harus ke kota Muara Siberut lagi dan harus kos di kota tersebut. Pada tahun 2009 jumlah murid SMP di desa tersebut telah mencapai sekitar 120 orang murid, dan memiliki 8 orang guru. Sedangkan di Desa Saliguma sampai sekarang belum memiliki sekolah setingkat SLTP. Lulusan SD Desa Saliguma jika ingin melanjutkan ke sekolah lanjutan, SLTP dan SLTA harus di kota Muara Siberut, yang tidak mungkin ditempuh ulang — alik setiap hari melalui transportasi laut. Oleh sebab itu, dengan kondisi seperti itu tidak semua lulusan SD dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, karena memerlukan biaya tambahan, yakni biaya makan dan indekos. Pada umumnya mereka yang dapat melanjutkan ke SLTP atau SLTA penduduk yang mampu atau sekurang-kurangnya mereka yang memiliki famili di Muara Siberut. Ada juga fasilitas indekos yang lebih murah, yakni asrama milik Yayasan Katolik di Muara Siberut, namun tidak

Page 42: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

25

semua siswa memiliki kesempatan untuk mendapat fasilitas ini karena keterbatasan kamar.

• Kesehatan

Fasilitas kesehatan sampai tahun 2009 yang terdapat di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah Puskesmas. Tenaga medis masing-masing Puskesmas hanya ada seorang bidan. Di Desa Saibi Samukop juga telah dibangun lagi 2 Puskesmas Pembantu, namun belum memiliki tenaga medis. Di samping itu, juga telah ada Balai Pengobatan Yayasan Lemarsepur — bantuan dari Negeri Belanda, dengan tenaga medis seorang perawat. Di Desa Saliguma, di samping memiliki Puskesmas juga telah dibangun satu Balai Pengobatan Masyarakat dan satu Puskesmas pembantu. Namun keduanya belum memiliki tenaga medis. Walaupun Puskesmas tersebut di atas belum memiliki tenaga dokter dan hanya menyediakan tenaga bidan. Mereka telah disediakan rumah dinas. Pelayanan Puskesmas dilakukan setiap saat, sebab tenaga bidan rumah tinggalnya berdekatan dengan Puskesmas tempat praktek. Tenaga dokter hanya berada di Muara Siberut, ibukota kecamatan. Sebenarnya sarana kesehatan yang disediakan pemerintah tersebut hanya merupakan salah satu pilihan untuk berobat.

Di samping itu, ada pilihan lain, yakni pengobatan tradisional. Di setiap desa ada sekitar 20 orang tenaga kesehatan tradisional yang dipercaya mampu mengobati penyakit. Namun demikian, agak sulit mengetahui kapan warga desa berobat ke Puskesmas dan berobat ke tenaga kesehatan tradisional, atau sering disebut sikere/ dukun kampung. Wawancara mendalam dengan informan diperoleh informasi bahwa penduduk yang berobat ke sikere biasanya orang yang menderita sakit tidak sembuh-sembuh karena dipercaya kemasukan roh jahat atau dibikin orang. Penyakit yang sering diderita masyarakat adalah

Page 43: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

26

Gambar 2.9 : Dermaga Kapal Penumpang

diare dan ispa, penyakit ini disebabkan kondisi lingkungan — kekurangan air bersih dan kurang menjaga kebersihan makanan. Penyakit para nelayan umumnya adalah gastritis — penyakit perut yang disebabkan oleh sering terlambat makan; rematik — sering menyelam di laut dalam untuk mencari tripang; asma — bergadang di laut; luka harus dioperasi - terkena mata pancing. Fasilitas yang dikeluhkan oleh tenaga medis di Pustu tersebut adalah belum tersedianya oksigin dan inkubator.

• Sosial - ekonomi

Prasarana sosial-ekonomi yang dimaksud di sini adalah infrastruktur yang digunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sosial-ekonomi, seperti pasar, dermaga, kedai/ warung dll. Sedangkan, pengertian sarana sosial - ekonomi adalah perlengkapan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan

sosial-ekonomi. Berdasarkan dari pengertian tersebut, maka prasarana sosial ekonomi di daerah penelitian dapat dikatakan sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat di dua desa lokasi penelitian, tidak ada dermaga (permanen) desa yang dibangun pemerintah untuk mobilitas sosial-ekonomi perdesaan. Dermaga yang ada hanya dermaga non-permanen yang tersebar di masing-masing permukiman penduduk. Dermaga perahu di desa pada dasarnya dibangun dari swadaya masyarakat. Masing-masing masyarakat cenderung membangun dermaga - tempat bersandar perahu sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan kedekatan

Page 44: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

27

Gambar 2.10: Sarana Transpor

dengan tempat tinggal dan kondisi pasang-surut air laut. Namun baik di Desa Saibi Samukop dan Desa Saiguma telah dibuatkan dermaga baru dari kayu yang dibangun melalui dana program COREMAP pada tahun 2007. Bangunan tersebut kondisinya sampai saat ini masih cukup bagus dan masih digunakan oleh penduduk, terutama di Desa Saibi Samukop. Sementara dermaga di Desa Saliguma dibangun diujung perkampungan penduduk, sehingga jarang digunakan. Dermaga tersebut hanya digunakan apabila air laut surut, sebab dermaga yang dibangun program COREMAP di pantai yang agak dalam. Sehingga ketika air laut surut masih tetap dapat digunakan untuk berlabuh perahu nelayan.

Prasarana sosial-ekonomi terpusat di kota Muara Siberut. Di Muara Siberut terdapat pasar tingkat kecamatan yang cukup ramai terutama pada hari pasar, yaitu tiap hari selasa. Prasarana sosial-ekonomi lainnya adalah pelabuhan yang digunakan tempat perahu yang bersandar dari berbagai desa dan tempat bersandar kapal penumpang yang datang dari Padang dan Tua Pejat. Prasarana dermaga ini juga tempat berlabuh kapal-kapal yang mengangkut hasil bumi yang dibawa ke kota Padang. Di semua desa-lokasi penelitian belum terdapat pasar desa. Prasarana ekonomi yang ada hanya berupa kedai-kedai/ warung. Kedai tersebut melayani kebutuhan pokok penduduk, seperti sembako (sembilan bahan pokok dan kebutuhan rumah tangga lainnya, termasuk menyediakan BBM).

Page 45: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

28

Gambar 2.11: Sarana mobilitas antar

rumah/kampung

Sarana transportasi dari Desa Saibi Samukop ke kota Muara Siberut (pasar kecamatan) reguler berupa perahu motor dengan mesin 15 PK tiap hari selasa. Ongkos transpor adalah sebesar Rp 60.000,-/PP per orang dan waktu yang ditempuh 4 jam PP. Di Desa Saliguma, sarana transportasi yang digunakan ke kota Muara Siberut adalah jenis perahu motor dengan kemampuannya 15 PK tiap hari selasa. Karena jaraknya lebih pendek ongkos hanya Rp 40.000,-PP/ orang dengan waktu tempuh hanya satu jam atau 2 jam PP.

Sarana sosial-ekonomi yang paling banyak digunakan penduduk adalah jenis perahu motor berukuran besar - jenis perahu yang dapat menampung sekitar 6-7 orang. Jenis perahu motor ini sebagai sarana angkutan mobilitas penduduk desa ke desa lain atau ke Muara Siberut. Jenis perahu motor ini belum dimiliki oleh setiap

penduduk. Jenis perahu ini biasanya hanya dimiliki penduduk yang mengusahakan warung kebutuhan bahan pokok di desa. Jadi perahu motor tersebut selain untuk mengangkut barang dagangan, juga sebagai sarana transportasi penduduk.

Sarana sosial-ekonomi lainnya adalah jenis perahu sampan yang digunakan untuk memancing ikan di sungai, muara sungai atau tepi pantai. Perahu sampan ini dimiliki hampir setiap rumah tangga penduduk di desa penelitian. Perahu sampan pada umumnya digunakan untuk mobilitas jarak pendek dari rumah ke rumah atau pergi ke kebun. Perahu sampan juga digunakan para nelayan perempuan untuk mencari ikan di dekat pantai atau dekat hutan bakau. Pada umumnya para nelayan perempuan

Page 46: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

29

Gambar.2.12 : Kelembagaan Pokmas

tersebut menangkap ikan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk rumah tangga sendiri.

• Kelembagaan sosial-ekonomi

Selain kelembagaan sosial-kemasyarakatan

yang berkembang di lokasi penelitian, seperti kelompok Ibu-ibu PKK, kelompok Pemuda Karang Taruna, kelompok Pemuda Protestan, dan kelompok Muda-mudi Katolik (Mudika), terdapat pula kelompok yang merupakan himpunan warga

berdasarkan kegiatan mata pencaharian (Daliyo dkk, 2007). Dibandingkan dengan kelembagaan sosial —kemasyarakatan, kelembagaan sosial— ekonomi berkembang berhubungan dengan program pemberdayaan di desa ini, seperti program COREMAP. Dari program ini telah disiapkan pembentukan kelembagaan pengelolaan terumbu karang. Berbentuk beberapa kelompok masyarakat akan terlibat langsung dalam kegiatan COREMAP di Desa Saliguma. Kelompok-kelompok tersebut, misalnya Kelompok Nelayan Pancing Sikebbukat, Kelompok Nelayan Pancing Simatoiming, Kelompok Nelayan Pancing Suka Maju dan Kelompok Tani Cokelat.

Page 47: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

30

2.3. KONDISI KEPENDUDUKAN

2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk

• Jumlah penduduk

Penduduk Desa Saibi Samukop pada tahun 2006 telah mencapai sebanyak 2.836 orang dan pada 2009 telah meningkat menjadi 3.215 orang. Pada tahun 2006, mereka terdiri dari 1.453 orang laki-laki dan 1.383 orang perempuan dan pada tahun 2009 terdiri dari 1.647 orang laki-laki dan 1.568 orang perempuan. Dengan rasio jenis kelamin adalah 105, yang berarti tiap 100 orang perempuan ada sebanyak 105 orang laki-laki. Rasio tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Dalam penelitian lapangan memang tidak terungkap mengapa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dan fakta tersebut agak menyimpang dari data secara nasional atau yang terjadi di daerah-daerah lainnya yang biasanya jumlah penduduk perempuan lebih besar dari pada laki-laki. Penjelasan dari fakta tersebut kemungkinan lebih banyak penduduk perempuan daerah tersebut yang pindah ke luar. Alasan utamanya adalah karena mereka menikah dengan orang luar desa dan mereka terpaksa harus mengikuti suaminya tinggal di luar desa. Adanya anak-anak muda perempuan yang belajar ke lain daerah (perkotaan) dan setelah selesai belajar tidak kembali ke desa asalnya. Kemungkinan lain adalah adanya migrasi masuk penduduk laki-laki. Alasan yang terakhir tersebut nampaknya kecil kemungkinannya sebab dari hasil wawancara dan observasi jumlah pendatang ke desa ini relatif kecil. Jumlah rumah tangga di Desa Saibi Saliguma tahun 2006 ada sebanyak 590. Dengan demikian rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga adalah 4,8 atau sekitar 5 orang. Rata-rata jumlah anak per rumah tangga dapat diperkirakan sekitar 3 orang anak. Jumlah penduduk dan rumah tangga tersebut tersebar di 8 dusun, yaitu Dusun Saibi

Page 48: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

31

Muara, Simasonggunei, Pangasaat, Samoilalak, Saibi Hulu, Sibudda’qinan, Totoet, dan Dusun Sua. Sedangkan kepadatan penduduk secara umum hanya 3 orang/ km2. Tingkat kepadatan penduduk yang masih jarang, sebab masih banyak areal hutan dan perladangan yang cukup luas yang menyebabkan kepadatannya penduduik masih rendah.

Jumlah penduduk di Desa Saliguma jauh lebih sedikit dibandingkan di Desa Saibi Samukop, yaitu tahun 2006 hanya 1.821 orang dan tahun 2009 menjadi 2.278 orang . Pada tahun 2006, mereka terdiri dari 930 orang penduduk laki-laki dan 891 orang penduduk perempuan. Sementara tahun 2009, mereka terdiri dari 1.180 orang laki-laki dan 1.098 orang perempuan Rasio jenis kelamin adalah 104, berarti setiap 100 orang penduduk perempuan ada sekitar 104 orang penduduk laki-laki.

Sama seperti di Desa Saibi Samukop penduduk laki-laki lebih banyak dari pada penduduk perempuan. Penjelasannya kemungkinan tidak berbeda dengan di Desa Saibi Samukop. Jumlah rumah tangga di Desa Saliguma adalah sebanyak 403. Ini berarti rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,5. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Desa Saliguma sedikit lebih rendah dari pada Desa Saibi Samukop. Kemungkinan tingkat fertilitas di Desa Saliguma lebih rendah dari pada di Desa Saibi Samukop. Jumlah penduduk dan rumah tangga tersebut tersebar di 4 dusun, yaitu Dusun Simatoimiang, Sikebbukat Uma, Malibagbag, dan Limu.

• Komposisi penduduk menurut umur

Subbagian ini membahas tentang komposisi penduduk menurut umur, yaitu komposisi penduduk menurut kelompok umur untuk seluruh penduduk sampel tahun 2007(Tabel 2.3.1) dan komposisi penduduk menurut umur untuk responden (kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga dewasa yang dapat

Page 49: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

32

mewakili) (Tabel 2.3.2). Sementara data penduduk menurut komposisi umur untuk tahun 2009 belum tersedia.

Tabel 2.3.1. menunjukkan bahwa secara umum komposisi penduduk di daerah kajian masih termasuk struktur penduduk muda. Proporsi kelompok penduduk usia muda di bawah 15 tahun masih mencapai di atas 40 persen. Di Desa Saliguma kelompok penduduk muda tersebut bahkan masih berada di atas 50 persen. Sedangkan di Desa Saibi Samukop proporsi kelompok penduduk usia muda tersebut berada di bawahnya, namun masih berada pada angka 43,2 persen. Hal ini mencerminkan bahwa tingkat fertilitas penduduk di desa-desa ini selama 15 tahun terakhir masih cukup tinggi. Di lain pihak proporsi kelompok penduduk usia dewasa atau usia produktif secara umum masih rendah, hanya 52,6 persen. Tingkat rasio beban ketergantungan (dependency ratio) di daerah kajian masih cukup tinggi, yakni sekitar 90 persen. Ini berarti bahwa tiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 90 orang penduduk usia belum produktif, di samping harus menanggung dirinya. Di Desa Saliguma proporsi penduduk usia dewasa/ usia produktif masih sangat rendah, yakni hanya sebesar 48,6 persen. Sehingga rasio ketergantungan penduduk mencapai 106, yang berarti tiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 106 orang penduduk usia belum produktif dan dirinya sendiri. Di Desa Saibi Samukop proporsi penduduk usia produktif adalah 56,8 persen. Tingkat rasio ketergantungan penduduk lebih rendah dari Desa Saliguma, namun masih dalam klasifikasi tinggi, yaitu 76.

Page 50: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

33

Tabel 2.3.1. Komposisi Penduduk Menurut Umur di Desa Saibi Samukop

dan Saliguma,Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen)

No

Kelompok Umur

Desa Saibi Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) 1.2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9

10. 11.

0 - 45 — 9

10 — 14 15 — 19 20 — 24 25 — 29 30 — 34 35 — 39 40 — 44 45 — 49

50 +

18,515,5

9,2 10,9

6,9 11,2

8,5 9,3 6,1 3,1 0,8

12,023,3 16,1

5,2 8,1 8,8 8,4 9,3 4,4 2,4 2,0

15,3 19,4 12,7

8,0 7,5

10,0 8,4 9,3 5,2 2,8 1,4

Jumlah(N)

100,0(259)

100,0(249)

100,0 (508)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

Komposisi menurut umur bagi responden semuanya adalah penduduk usia dewasa/ produktif, yaitu umur 20 tahun ke atas. Sekitar 75 persen di antara mereka adalah kelompok penduduk usia 30 — 50 tahun. Kelompok penduduk ini termasuk kelompok penduduk usia produktif penuh. Di Desa Saibi Samukop kelompok penduduk usia 30 — 50 tahun tersebut adalah 86 persen dan Desa Saliguma hanya mencapai 64 persen.

Page 51: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

34

Tabel 2.3.2 Komposisi Responden Menurut Umur di Desa Saibi Samukop

dan Saliguma,Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen)

No

Kelompok Umur

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

20 — 24 25 — 29 30 — 34 35 — 39 40 — 44 45 — 49

50 +

2,08,0

24,0 28,0 22,0 12,0

4,0

8,018,0 14,0 28,0 16,0

6,0 10,0

5,0 13,0 19,0 28,0 19,0

9,0 7,0

Jumlah (N)

100,0(50)

100,0(50)

100,0 (100)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Muara Siberut, 2007

2.3.2. Pendidikan dan Ketrampilan

Kualitas sumber daya manusia dapat direfleksikan dari tingkat pendidikan yang dicapai penduduk dan tingkat ketrampilan yang dimiliki penduduk. Peningkatan kualitas sumber daya manusia memudahkan penduduk dalam mengadopsi teknologi yang disosialisasikan atau diperkenalkan untuk peningkatan hasil tangkapan, budidaya, pendapatan dan pelestarian sumber daya laut. Tabel 2.3.3 menggambarkan tingkat pendidikan penduduk sampel (tahun 2007) yang berusia 10 tahun ke atas di Desa Saibi Somukap dan Desa Saliguma.

Tabel 2.3.3 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di daerah kajian hanya berpendidikan rendah. Secara umum sekitar 78 persen penduduk usia 10 tahun ke atas hanya berpendidikan SD ke bawah dan sekitar 49 persen tidak pernah tamat SD dan tidak pernah duduk di bangku sekolah. Hanya sekitar 22 persen penduduk yang mampu menamatkan SLTP ke atas. Dari dua desa

Page 52: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

35

yang dikaji, pendidikan penduduk yang paling parah di Desa Saliguma, di mana 83,4 persen hanya berpendidikan tamat SD ke bawah dan yang terbanyak tidak pernah tamat SD dan tidak pernah sekolah. Sedangkan yang mencapai tamat SLTP ke atas hanya 16,6 persen. Di Desa Saibi Samukop mereka yang berpendidikan rendah tersebut adalah 72,5 persen dan yang berpendidikan tamat SLTP ke atas sebanyak 27,5 persen. Banyaknya penduduk yang berpendidikan rendah ini menghambat dalam peningkatan pendapatan, terutama yang berkaitan dengan mengetrapan teknologi yang baru dan inovasi-inovasi baru dalam pengembangan sumber daya laut, pemanfaatan dan pelestariannya.

Ketrampilan yang dimiliki penduduk di daerah kajian tidak terlepas dari kondisi lingkungan, sumber daya alam yang ada dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan. Kaitan dengan kegiatan kenelayanan, ketrampilan yang dimiliki penduduk daerah kajian adalah kemampuan menjalankan armada perahu untuk menangkap ikan. Namun sebagian besar penduduk adalah menjalankan perahu sampan dan hanya sebagian kecil yang memanfaatkan perahu motor. Hal ini berkaitan kemampuan permodalan/ ekonomi untuk membeli mesin perahu. Kemampuan lain yang terkait dengan kenelayanan adalah ada sebagian kecil penduduk yang mampu membuat armada perahu dari kayu untuk berbagai ukuran, yaitu dari sampan yang berukuran kecil 4 x 0,4 m sampai yang ukuran besar 9 x 1m. Ketrampilan membuat perahu ini umumnya dimiliki oleh para tukang kayu, yang jumlahnya sedikit di masing-masing desa, yakni masih di bawah 10 orang. Kaitan dengan kenelayanan lagi adalah ketrampilan dalam pengolahan ikan pasca panen, namun di dua desa penelitian pengolahan ikan pasca panen tersebut belum berkembang. Pada umumnya hasil tangkapan ikan yang biasanya tidak banyak langsung dijual ke pengumpul atau pembeli (rumah tangga) dalam bentuk ikan segar, tanpa melalui proses pengolahan. Ketrampilan dalam kaitannya dengan

Page 53: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

36

kenelayanan tersebut umumnya diperoleh secara turun-menurun dari orang tua ke anak.

Tabel 2.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan Ditamatkan di Desa Saibi

Samukop dan Saliguma, Kecamatan Muara Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen)

No Kelompok Umur Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) 1.

2. 3. 4. 5.

Belum/tak sekolahBelum tak tamat SD SD tamat SLTP tamat SLTA tamat ke atas

6,6

30,1 35,7 17,3 10,2

6,4

54,0 23,0 9,1 7,5

6,5

42,1 29,3 13,2 8,9

Jumlah(N)

100,0(259)

100,0(249)

100,0 (508)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Muara Siberut, 2007

Ketrampilan yang berkaitan dengan kegiatan bertani adalah menanam ubi-ubian, jagung, mengolah sagu, menanam cokelat, kelapa, cengkeh dsb. Ketrampilan tersebut juga diperoleh secara turun-menurun. Oleh karena itu, belum dilakukan cara penanaman dan pemeliharaan dengan teknologi baru yang lebih produktif. Karena dilola secara tradisional, maka jumlah hasil dan kualitas dari usaha pertanian masih cukup rendah. Kemudian ketrampilan untuk pengolahan lebih lanjut hasil pertanian dan perkebunan tersebut juga belum begitu nampak. Hanya untuk hasil pertanian tanaman pangan dari panen langsung dimasak dan dikonsumsi sendiri atau dijual mentah ketetangga terdekat.

Page 54: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

37

2.3.3. Pekerjaan Penduduk

• Pekerjaan utama

Seperti dikemukakan di atas, Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma dipilih sebagai daerah kajian sebab merupakan wilayah pantai yang diharapkan sebagian besar atau cukup besar proporsi penduduknya yang memanfaatkan atau menggantungkan hidupnya dalam penghasilan dari laut. Dari data tahun 2007 menunjukkan bahwa dari lapangan usaha/ pekerjaannya sebagian besar penduduk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma bekerja di sektor perikanan laut (Tabel 2.3.4). Sekitar 42 persen penduduk di desa tersebut bekerja di lapangan usaha pertanian, baik berupa pertanian pangan maupun perkebunan (tanaman keras). Masih cukup besarnya proporsi penduduk yang bekerja di lapangan usaha pertanian sehubungan masih ada potensi lahan pertanian yang berupa perladangan dan kehutanan yang ada di belakang pemukiman mereka. Hanya sayangnya sebagian lahan tersebut berada di daerah perbukitan, yang apabila diolah dengan cara kurang benar akan mengakibatkan penggundulan lahan, munculnya erosi dan menjadi lahan-lahan tandus. Sementara lapangan usaha pengolahan dan jasa di dua desa penelitian masih sangat langka. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja lapangan/ sektor tersebut belum berkembang.

Sementara Tabel 2.3.5. memberikan gambaran kondisi pekerjaan penduduk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma. Secara umum sekitar 57 persen penduduk di daerah kajian jenis pekerjaan utamanya sebagai nelayan. Mereka terdiri dari nelayan pancing, nelayan jaring/jala dan nelayan pencari kepiting. Sebagian besar dari para nelayan tersebut adalah nelayan pancing. Di Desa Saliguma proporsi penduduk yang bekerja sebagai nelayan tersebut jauh lebih banyak (63,2 persen) dibandingkan dengan di Desa Saibi Samukop yang hanya

Page 55: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

38

mencapai 51,5 persen. Namun pada umumnya mereka hanya sebagai nelayan tradisionil dengan peralatan tangkap sederhana (pancing dan jaring) dan perahu tanpa motor/ sampan (lihat Tabel 2.3.5). Wilayah tangkapannya dilakukan hanya di sekitar Pulau Siberut dan hasil tangkapannya tiap kali melaut jauh lebih sedikit dibandingkan nelayan armada perahu motor. Contoh kasus Thomas nelayan tradisionil Desa Saliguma, alat tangkap yang digunakan pancing, armada perahu yang digunakan perahu tanpa motor (sampan). Dia mengaku wilayah tangkapnya hanya di sekitar Pulau Siberut. Pada musim gelombang kuat berani melaut namunh paling banyak 7 kali per bulan, perolehan yang didapat sekali melaut kurang dari 5 kg ikan teger. Pada musim gelombang tenang berani melaut sekitar 25 kali, sekali melaut mendapatkan hasil tangkapan di atas 5 kg, yang berupa ikan beleget dan ikan teger. Berbeda dengan kasus Ruswadi, nelayan Desa Saliguma juga, dia nelayan jaring dengan armada perahu motor tempel, ukuran 6 x 0,8 m, mereka berani melaut ke laut yang lebih dalam. Dalam musim gelombang kuat mereka berani melaut rata-rata sekitar 19 kali sebulan, hasil tangkapan bisa mencapai sekitar 10 kg ikan teter dan ikan beram. Sementara pada musim gelombang tenang tiap bulan melaut 25 kali, rata-rata sekali melaut mencapai lebih dari 10 kg, berupa ikan gambolo, ikan tamban dan ikan teter. Namun nelayan dengan armada perahu motor ini jumlahnya hanya sedikit, tidak mencapai 10 persen dari seluruh nelayan. Dari dua kasus tersebut menunjukkan bahwa dengan perbedaan alat tangkap dan armada akan berbeda baik jumlah hasil tangkapan maupun variasi jenis ikan tangkapannya.

Kemudian penduduk yang bekerja di lapangan pertanian pangan dan perkebunan justru di Desa Saibi Samukop lebih banyak mencapai 48,5 persen, sedangkan di Desa Saliguma hanya 32,9 persen. Mereka kebanyakan adalah sebagai petani ladang dan kebun, juga sebagai petani pemilik dan petani penggarap. Sementara mereka yang berprofesi sebagai pedagang

Page 56: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

39

di Desa Saliguma lebih banyak (2,6 persen) dibandingkan dengan di Desa Saibi Samukop hanya 1,0 persen. Para pedagang tersebut pada umumnya merupakan warungan yang menyediakan bahan kebutuhan rumah tangga (sembako). Di antara para pedagang tersebut ada yang sebagai pengumpul hasil pertanian dan pengumpul hasil perikanan laut.

Mengenai status pekerjaan penduduk kebanyakan sebagai usaha sendiri. Dalam usaha sendiri ini dalam pertanian termasuk petani milik sendiri maupun petani penggarap. Petani penggarap adalah petani yang menguasai lahan untuk diolah dan ditanami tanaman tertentu. Apabila mengalami kegagalan panen merupakan resiko sendiri. Sementara petani buruh termasuk berstatus buruh, yaitu mereka yang bekerja untuk orang lain dan mendapatkan upah. Biasanya mendapatkan upah harian.Mereka tidak menanggung resiko apabila mengalami kegagalan panen. Kegagalan panen hanya ditanggung oleh pemberi kerja. Sedangkan penduduk yang status pekerjaannya sebagai pekerja keluarga tanpa upah cukup tinggi (38,2 persen). Mereka adalah para anggota rumah tangga yang membantu pekerjaan di pertanian atau lainnya dan tidak mendapat upah. Tingginya jumlah penduduk dalam status pekerja keluarga tanpa upah ini merefleksikan gambaran ketenagakerjaan di daerah pedesaan dan di sektor informal, utamanya di pertanian, termasuk perikanan dan peternakan. Status usaha dibantu buruh di daerah kajian belum ada dan status buruh juga sangat kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha-usaha yang membutuhkan tenaga buruh, seperti usaha pengolahan, kerajinan dan usaha formal belum berkembang.

Page 57: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

40

Tabel 2.3.4. Lapangan Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop, dan

Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No

Lapangan Pekerjaan Utama

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (2) (3) (4) 1. 2. 3. 4. 5.

Perikanan Pertanian/ladang Perdagangan Jasa Pengolahan/ industri

50,548,5 1,0 - -

63,232,9 2,6 -

1,3

56,0 41,7 1,7 -

0,6 Jumlah (N) 100,0 (99) 100,0 (76) 100,0 (175)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

Tabel 2.3.5. Jenis Pekerjaan Utama Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop

dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No Jenis Pekerjaan Utama Desa Saibi Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Nelayan pancing Nelayan jaring/ jala Nelayan kepiting Petani ladang Pedagang/warungan Pengrajin

46,5 4,0 1,0

47,5 1,0

-

30,3 31,6

1,3 32,9

2,6 1,3

39,4 16,0

1,1 41,2

1,7 0,6

Jumlah(N)

100,0(99)

100,0(76)

100,0 (175)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Muara Siberut, 2007

Page 58: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

41

Tabel 2.3.6. Status Pekerjaan Utama Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan

Mentawai, 2007 (Persen)

No

Status Pekerjaan utama

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. 2. 3. 4. 5.

Bekerja/usaha sendiri Usaha dibantu ART Usaha dibantu buruh Buruh/karyawan Pekerja keluarga/ tanpa upah

49,5 4,0 - -

46,5

65,8 5,3 -

1,3

27,6

56,6 4,6 -

0,6

38,2 Jumlah (N) 100,0 (99) 100,0 (76) 100,0 (175)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

• Pekerjaan tambahan

Sebagian besar penduduk di daerah kajian memiliki pekerjaan tambahan atau sampingan. Ada sebagian penduduk yang menempatkan kegiatan kenelayanan sebagai jenis pekerjaan pokok/ utama, namun ada juga sebagian penduduk yang menganggap nelayan sebagai pekerjaan tambahan. Sekitar 20 persen penduduk yang menganggap lapangan usaha perikanan atau kegiatan kenelayanan sebagai pekerjaan tambahan. Mereka adalah baik nelayan pancing, nelayan jaring/ jala, nelayan mencari kepiting dan nelayan keramba. Kebanyakan mereka adalah nelayan pancing, hanya sebagian kecil sebagai nelayan pencari kepiting dan nelayan keramba.

Lapangan usaha dan jenis pekerjaan tambahan yang paling banyak dimiliki penduduk di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma adalah lapangan pertanian dan sebagai petani ladang, baik sebagai petani pemilik, petani penggarap maupun sebagai buruh tani. Di Desa Saibi Samukop hampir 90 persen

Page 59: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

42

penduduk memiliki lapangan usaha tambahan di sektor pertanian. Di Desa Saibi Samukop tersebut penduduk yang memiliki pekerjaan tambahan sebagai petani ladang tersebut mencapai 89,8 persen, sedangkan di Desa Saliguma hanya 48,5 persen. Bagi penduduk di dua desa tersebut pertanian ladang merupakan mata pencaharian alternatif setelah kenelayanan, bahkan sebagian mereka menganggap pertanian ladang sebagai pekerjaan utamanya. Ketersediaan jenis pekerjaan pertanian ladang dengan tanaman pangan (ubi, jagung dan sebagian padi) dan tanaman perdagangan (cengkeh, cokelat, pisang, kelapa, kayu manis dsb) in yang menyebabkan daerah ini tidak pernah dilanda kelaparan. Kendatipun mereka kembali makan ubi, jagung, keladi maupun sagu. Jenis-jenis makanan tersebut pada mulanya memang merupakan makanan pokok penduduk di dua desa tersebut. Semenjak adanya program swasembada beras yang dicanangkan Pemerintah Orde Baru yang lalu pola makanan pokok mereka sebagian penduduk beralih mengkonsumsi beras. Dengan kebiasaan dulu makanan pokoknya ubi-ubian, sagu dan jagung tersebut, meskipun mereka tidak dapat melaut karena gelombang besar/ kuat untuk beberapa bulan bagi penduduk di daerah ini masih dapat tetap mendapatkan bahan makanan dari ladang. Dengan masih besarnya peran lapangan usaha pertanian menyebabkan ekploitasi terhadap sumber daya laut oleh penduduk di dua desa tersebut belum begitu besar. Ekploitasi sumber daya laut yang besar-besaran umumnya dilakukan oleh nelayan dari luar yang peralatan dan armadanya lebih modern dan cenderung merusak biota laut.

Mengenai status pekerjaan tambahan bagi penduduk dua desa tersebut yang masih menonjol adalah bekerja sendiri dan usaha dibantu anggota rumah tangga. Kondisi ini mendukung penjelasan pada jenis pekerjaan utama di atas bahwa peran sektor tradisionil (pertanian dan perikanan) masih cukup dominan. Sementara perkembangan sektor modern seperti jasa, pengolahan dan perdagangan masih belum berkembang.

Page 60: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

43

Tabel 2.3.7. Lapangan Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samokop

dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No

Lapangan Pekerjaan Tambahan

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (2) (3) (4) 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Perikanan Pertanian/ladang Perdagangan Jasa Pengolahan/ industri Bangunan

10,289,8

- - - -

36,454,5 3,0 3,0 -

3,0

20,7 75,7 1,2 1,2 -

1,2 Jumlah

(N) 100,0(49)

100,0(33)

100,0 (82)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

Tabel 2.3.8. Jenis Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel di Desa Saibi Samukop

dan Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 (Persen)

No

Jenis Pekerjaan

Tambahan

Desa Saibi

Samukop

Desa

Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Nelayan pancingNelayan jaring/ jala Nelayan kepiting Nelayan keramba Petani ladang Peternak Pedagang/warungan Tukang bangunan

6,1-

4,1 -

89,8 - - -

21,212,1

- 3,0

48,5 9,1 3,0 3,0

13,7 6,1 2,0 1,5

69,2 4,5 1,5 1,5

Jumlah(N)

100,0(49)

100,0(33)

100,0 (82)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

Page 61: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

44

Tabel 2.3.9. Status Pekerjaan Tambahan Penduduk Sampel Desa Saibi Samukop dan

Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007

(Persen)

No

Status Pekerjaan Tambahan

Desa Saibi

Samukop

Desa Saliguma

Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) 1. 2. 3. 4. 5.

Bekerja/usaha sendiriUsaha dibantu ART Usaha dibantu buruh Buruh/karyawan Pekerja keluarga/tanpa upah

30,659,2

- -

10,2

75,815,2

- 9,1 -

48,8 41,5

- 3,6 6,1

Jumlah(N)

100,0(49)

100,0(33)

100,0 (82)

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007

2.3.4. Pemilikan/penguasaan aset produksi, kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan

Ada dua indikator yang disajikan dalam bagian ini, yaitu kepemilikan/ penguasaan aset produksi rumah tangga dan kondisi pemukiman serta sanitasi lingkungan. Aset produksi merupakan sarana dan prasarana bagi rumah tangga dalam usahanya untuk memperoleh penghasilan atau pendapatan bagi rumah tangga. Makin modern sarana dan prasarana yang dimiliki dan dikuasai rumah tangga penghasilan/ pendapatannya akan semakin tinggi. Bagi masyarakat pesisir aset tersebut utamanya merupakan pemilikan/penguasaan rumah tangga untuk kegiatan melaut atau menangkap biota laut. Aset tersebut berupa jenis armada yang dimiliki rumah tangga nelayan dan alat tangkap yang dimiliki untuk menangkap sumber daya laut. Sementara kondisi pemukiman dan sanitasi lingkungan sebagai sarana dan prasarana untuk meningkatkan kesehatan anggota rumah tangga.

Page 62: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

45

Kondisi pemukiman dan sanitasi lingkungan yang semakin baik akan dapat meningkatkan kesehatan anggota rumah tangga.

• Pemilikan dan penguasaan aset produksi

Pada kajian tahun 2007 menunjukkan bahwa hampir semua rumah tangga di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma memiliki perahu tanpa motor/ sampan (Tabel 2.10). Hal ini mendukung pembahasan dalam bab-bab sebelumnya bahwa sebagian besar para nelayan di daerah kajian merupakan nelayan tradisional. Pada kajian tahun 2009 proporsi pemilik perahu tanpa motor tersebut sedikit mengalami penurunan di Desa Saibi Samukop maupun di Desa Saliguma. Namun nampaknya rumah tangga pemilik perahu mesin dalam mengalami peningkatan. Di Saibi Samukop pada tahun 2007 rumah tangga sampel pemilik perahu dalam hanya 8 persen, namun pada kajian terakhir telah mencapai 62 persen. Suatu peningkatan yang cukup tajam dan ini dimungkinkan akan meningkatkan pendapatan dari perikanan tangkap/ kenelayanan di desa Saibi Samukop. Di desa ini rumah tangga sampel pemilik perahu motor tempel juga mengalami sedikit peningkatan dari 4 persen menjadi 6 persen.

Di Desa Saliguma rumah tangga sampel pemilik perahu motor tempel pada tahun 2007 mencapai sebanyak 32 persen, namun pada tahun 2009 menurun hanya tinggal 20 persen rumah tangga. Meskipun jumlah rumah tangga pemilik perahu motor tempel menurun, tetapi jumlah rumah tangga pemilik perahu motor ternyata meningkat tajam, yaitu pada tahun 2007 tidak ada satu rumah tanggapun yang melaporkan, namun pada tahun 2009 meningkat menjadi 16 persen. Hal ini kemungkinan akan berpengaruh terhadap penghasilan kenelayanan terutama pada musim ombak besar, hanya mereka yang masih mampu mencari ikan di laut dalam. Untuk Desa Saibi Samukop dimungkinkan rata-rata pendapatan rumah tangga kenelayanan akan mengalami peningkatan.

Page 63: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

46

Kebanyakan para rumah tangga nelayan memiliki alat tangkap pancing rawai. Jumlah rumah tangga sampel yang memiliki alat tangkap pancing di Desa Saibi Samukop telah meningkat dari 58 persen pada tahun 2007 menjadi 82 persen pada tahun 2009. Namun jumlah rumah tangga pemilik alat tangkap jaring di desa tersebut dalam tahun yang sama justru menurun dari 66 persen menjadi 50 persen.

Di Desa Saliguma, jumlah rumah tangga sampel baik yang memiliki alat tangkap jaring maupun pancing ternyata mengalami penurunan. Dengan melihat jumlah rumah tangga yang memiliki armada perahu dan alat tangkap yang semakin menurun tersebut dapat diperkirakan rata-rata pendapatan rumah tangga kenelayanan di Desa Saliguma juga mengalami penurunan.

Tabel 2.3.10. Jumlah Rumah Tangga Pemilik Aset Produksi

di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007-2009

(Persen)

Keterangan

Frekuensi Pemilik Aset Produksi

Perubahan 2007-2009 Tahun

2007 Tahun 2009

(1) (3) (4) (5) Desa Saibi Samukop

1. Perahu motor dalam2. Perahu motor tempel 3. Perahu tanpa motor 4. Keramba 5. Bubu 6. Jaring/ jala 7. Pancing 8. Alat transportasi

komersial 9. Pemilik lahan pertn

8,04,0

100,0 2,0 4,0

66,0 58,0 2,0

68,0

62,06,0

90,0 - -

50,0 82,0 2,0

86,0

+ 54,0 + 2,0 - 10,0 - 2,0 - 4,0

- 16,0 + 24,0

- 10,0 + 18,0

Page 64: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

47

Desa Saliguma 1. Perahu motor dalam2. Perahu motor tempel 3. Perahu tanpa motor 4. Keramba 5. Bubu 6. Jaring/ jala 7. Pancing 8. Alat transportasi

komersial 9. Pemilik lahan pertn

-32,0 94,0 4,0 4,0

36,0 22,0 2,0

42,0

16,020,0 76,0

- 6,0

32,0 18,0 2,0

96,0

+ 16,0 -12,0 -18,0 -4,0 + 2,0 -4,0 -60,0

0,0

+ 54,0

Sumber : Survei Data Dasar Sosial Terumbu Karang Kec.Siberut Sel, 2007 & 2009

• Kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan

Kondisi permukiman

Pola pemukiman penduduk Desa Saibi Samukop dan Saliguma hampir sama, yakni mengelompok mengikuti kondisi topografi wilayah yang merupakan sebagian dataran dan sebagian perbukitan. Wilayah dataran dimanfaatkan sebagai pemukiman penduduk di desa-desa tersebut. Wilayah tersebut luasnya agak terbatas dan pemukiman penduduk cenderung mendekati pantai untuk mendapatkan akses dan memudahkan komunikasi ke luar desa. Tata ruang penggunaan lahan untuk pemukiman dan lahan perladangan terpisah serta berada di perbukitan. Umumnya lahan perladangan penduduk agak jauh dari dari pemukiman penduduk dan terletak di belakang pemukiman.

Kondisi perumahan

Penyebaran perumahan agak tertata cukup baik, jarak antar rumah dan jarak dengan jalan kurang lebih sama. Kondisi perumahan penduduk di Desa Saibi Samukop dan Saliguma

Page 65: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

48

sebagian besar berupa rumah tidak permanen dan sebagian kecil semi permanen serta ada beberapa rumah yang sudah permanen. Rumah tidak permanen tersebut ditandai dengan dinding pada umumnya masih menggunakan kayu. Sebagian perumahan penduduk masih merupakan rumah panggung. Oleh karena itu, lantai rumah menggunakan kayu. Sebagian kecil yang lain masih berlantai tanah dan ada perkembangan bangunan yang telah menggunakan lantai plesteran (semen). Atap yang digunakan pada umumnya adalah atap rumbia/ daun nipah. Satu-satunya perumahan yang nampak mewah namun masih terbuat dari kayu dan merupakan rumah panggung adalah Pondok Informasi yang dibuat COREMAP. Namun sayang sudah berdiri hampir 5 tahun bangunan tersebut di Desa Saliguma jarang dimanfaatkan. Sementara di Desa Saibi Samukop sama sekali tidak pernah dimanfaatkan. Rumah yang semi permanen merupakan bangunan sekolah, bangunan puskesmas pembantu, masjid dan gereja. Dalam kajian tahun 2009 di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma ada beberapa rumah yang sudah permanen. Rumah-rumah tersebut pemiliknya adalah para pedagang/ toko sembako dan para guru-guru SD. Mereka adalah penduduk dua desa tersebut yang penghasilannya cukup baik.

Sumber air bersih

Di Desa Saibi Samukop baru tersedia 4 bak penampungan air bersih yang dimanfaatkan untuk sumber air minum dan memasak. Dari jumlah tersebut menurut pengakuan penduduk dirasakan sangat kurang jumlah dan penyebarannya. Sedangkan kebutuhan air untuk mandi dan cuci masih menggunakan sumur di masing-masing rumah tangga. Air sumur tersebut tidak digunakan untuk air minum dan memasak sebab di samping kurang bening, juga rasanya agak payau. Sementara di Desa Saliguma telah tersedia 16 bak penampungan air untuk air minum, memasak, mandi dan cuci. Bak penampungan tersebut

Page 66: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

49

merupakan bantuan dari Pemerintah Daerah. Sumber air tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan semua rumah tangga di desa tersebut. Sebagian rumah tangga yang lain masih memanfaatkan air sungai dan air hujan.

Tempat buang air besar dan sanitasi lingkungan

Sebagian besar rumah tangga di Desa Saibi Samukop dan Saliguma belum menggunakan WC/jamban sebagai tempat buang air besar. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang sudah menggunakan WC/ jamban. Harus diakui bahwa, belum dimanfaatkannya bangunan WC umum, sangat berkaitan dengan masih adanya kebiasaan masyarakat membuang hajat besar di sembarang tempat seperti di pekarangan, kebun, pantai, sungai, dan parit-parit.

Sebagai wilayah pantai yang topografinya rendah dan datar masih ditemui rawa-rawa yang belum digunakan untuk usaha produktif. Sebagai wilayah rawa-rawa sebagai media berkembangbiaknya nyamuk, baik nyamuk malaria maupun cikungunya.Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk seperti pekarangan yang becek, parit dan saluran-saluran air yang tidak terurus, membuang sampah di sembarang tempat, rumput tumbuh liar di mana-mana, dan adanya kebiasaan memelihara ternak dengan dilepas pada siang hari, menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat memang belum menjadi bagian dari cara hidup masyarakat. Hal tersebut juga terbukti bahwa WC umum yang berada di belakang sekolah SDN Desa Saibi Samukop yang khabarnya juga bantuan dari COREMAP tergolong strategis letaknya berada di tengah permukiman penduduk, namun juga tidak dimanfaatkan. Bangunan tersebut tampak kotor, pintunya compang-camping dan tidak tersedia air untuk cebok dan menyiram closed. Kondisi ini sangat berkaitan dengan berbagai jenis penyakit yang diderita penduduk seperti,

Page 67: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

50

malaria, desentri, TBC, gatal-gatal, cikungunya dan radang tenggorokan (ISPA),

Di Desa Saliguma bangunan prasarana sosial WC umum, kondisinya masih bagus. Bangunan ini letaknya strategis, berada di tepi jalan lingkungan dan di tengah-tengah permukiman penduduk, sehingga sesungguhnya mudah diakses warga. Secara teknis bangunan ini masih memiliki kekurangan yakni tidak dilengkapi dengan saluran pipa air, sudah dilengkapi dengan instalasi listrik, tetapi aliran listrik memang tidak ada, satu pintu tidak terkunci, dan tiga pintu yang lain terkunci rapat. Tidak diketahui entah siapa dan di mana keberadaan kunci tersebut. Kekurangan bangunan tersebut, sesungguhnya tidak terlalu signifikan, sekiranya masyarakat memang merasa membutuhkan dapat dilengkapi sendiri. Namun karena masyarakat tidak merasa membutuhkan, maka bangunan tersebut tidak pernah dimanfaatkan dan diterlantarkan masyarakat. Bangunan WC umum dikelilingi oleh rumput liar yang tumbuh lebat, menunjukkan bahwa bangunan tersebut tidak pernah digunakan, dan tampaknya masyarakat belum terbiasa membuang hajad besar di WC. Mereka lebih suka membuang hajad besar di pekarangan-pekarangan, got-got / saluran air, dan di pantai.

Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk tampak pada, saluran air yang tidak terurus, tata letak permukiman penduduk yang tidak teratur, pekarangan yang selalu tergenang air bercampur dengan limbah rumah tangga, rumput liar yang tumbuh lebat di pekarangan penduduk, menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan masih rendah. Beberapa jenis penyakit yang dialami warga sama juga dengan yang terjadi di Desa Saibi Samukop, antara lain, malaria, desentri, diare, TBC, gatal-gatal kulit, dan radang saluran pernapasan atas (ISPA). Saat penelitian ini dilakukan, di Desa Saliguma sedang terjangkit wabah cikungunya. Banyak warga

Page 68: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

51

yang terserang cikungunya, termasuk salah satunya adalah Kepala Desa Saliguma. Untuk menanamkan kebiasaan hidup bersih dan sehat agar menjadi bagian dari hidup mereka, masih membutuhkan penanganan yang serius utamanya dari jajaran petugas medis. Sementara itu keberadaan petugas medis masih sangat terbatas di desa ini.

Page 69: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

52

Page 70: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

53

BAB III

COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA DI DESA SAIBI SAMUKOP DAN SALIGUMA

ebagai inti dari laporan, bagian ini membahas tentang program-program COREMAP terutama pada fase kedua di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma dan kegiatan-

kegiatan yang telah dilakukan. Kemudian hasil-hasil yang telah dilakukan dan permasalahan yang dihadapi selama ini. Juga dalam tulisan ini mengungkap tentang pengetahuan masyarakat terhadap program dan kegiatan COREMAP II yang telah dan sedang dilakukan di desa penelitian. Bagaimana keterlibatan masyarakat terhadap kegiatan tersebut dan apa manfaat yang telah dirasakan oleh masyarakat.

Sudah diketahui umum bahwa Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II) atau yang lebih dikenal dengan program penyelamatan terumbu karang sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan melalui berbagai bentuk intervensi ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam mengelola sumberdaya laut yang ramah lingkungan. Secara fisik untuk meningkatkan percepatan pembangunan pada masyarakat pesisir juga ditunjang dengan pembangunan prasarana sosial yang lazim disebut dengan program Village Grand. Semua program kegiatan tersebut disalurkan melalui wadah kelembagaan mulai dari Project Implementation Unit (PIU) di tingkat kabupaten, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Pengelola Terumbu Karang (LPSTK) dan Kelompok Masyarakat (Pokmas) di tingkat desa. Dibentuknya sejumlah lembaga ini diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat berlangsungnya interaksi dua arah, yang berasal dari atas ke bawah mulai dari PIU, LSM, LPSTK, dan ke Pokmas

S

Page 71: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

54

(top down), begitu pula sebaliknya (bottom up), sehingga perpaduan dari ke dua pendekatan tersebut, diharapkan akan ditemukan program-program yang tepat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.

Dalam implementasinya, program tersebut telah dihadapkan dengan berbagai kendala, utamanya menyangkut rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik pada tingkat masyarakat sebagai sasaran binaan COREMAP II, maupun pada tataran pihak yang terlibat dalam implementasi program COREMAP II. Sebagai sebuah perubahan sosial yang direncanakan, implementasi program COREMAP II, mengidap kelemahan yang paling dasar yakni lemahnya pendampingan, minimnya pembinaan dan kegiatan pelatihan, serta tiadanya areal percontohan yang dapat membawa pengaruh yang luas demonstration efect bagi masyarakat, sehingga mempermudah berjalannya proses alih pengetahuan dan teknologi yang diintroduksikan. Berbagai kendala tersebut telah memunculkan berbagai permasalahan dalam implementasinya.

3.1. PELAKSANAAN COREMAP II KENDALA DAN

PERMASALAHAN

Seperti telah diketahui bersama bahwa keberhasilan program COREMAP II sangat ditentukan oleh dukungan dari berbagai pihak instansi terkait dan masyarakat. Lemahnya komitmen dan koordinasi antar stakeholders, telah berakibat tidak terbentuknya tata kelola lingkungan yang baik bagi kelangsungan program kegiatan COREMAP II. Selain itu, tidak optimalnya pembinaan kelembagaan yang menampakkan diri dalam bentuk lemahnya kemampuan manajerial, merupakan salah satu kendala pada aspek kelembagaan.

Program kegiatan COREMAP II sebagai sebuah proses perubahan sosial dan budaya, tampak sarat dengan muatan ilmu

Page 72: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

55

pengetahuan baru, teknologi, dan modal. Hal ini menuntut para pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut bertindak sebagai agen perubahan (agent of change) yang dituntut untuk menguasai teknologi, pengalaman dan keterampilan menyangkut berbagai bidang keahlian sesuai dengan bidang kegiatan yang diintroduksikan. Selain kemampuan teknis, perannya sebagai agen perubahan sosial juga dituntut untuk dapat memahami kondisi sosial budaya masyarakat binaannya, sehingga secara sosial kehadirannya dapat diterima masyarakat, menghilangkan jarak sosial antara pihak yang dibina dengan yang membina, sehingga proses belajar alih pengetahuan dan teknologi dapat berjalan secara alami. Dalam situasi demikian, proses aktivitas pembelajaran akan berjalan secara alami, tidak ada hubungan antara pihak yang membina dengan yang dibina, tidak ada pihak yang merasa digurui dan menggurui, tidak ada pihak yang merasa lebih pintar dan yang lebih bodoh, prinsipnya mereka saling belajar bersama.

Dengan sejumlah bekal tersebut, komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan program, serta suasana pembelajaran yang kondusif akan memungkinkan berlangsungnya pendampingan yang terus menerus yang tidak mengenal lelah. Dengan kata lain keberhasilan program kegiatan yang diintroduksikan dari luar, tingkat keberhasilannya sangat ditentukan oleh seberapa besar “kekuatan menanam”.

Sisi lain upaya memadukan pendekatan yang bersifat top down dan bottom up, mensyaratkan adanya tingkat kemampuan yang sejajar antara ke dua belah pihak dalam hal ini aparat pemerintah (DKP) yang bertindak sebagai agen perubahan, dan LPSTK sebagai wadah organisasi masyarakat. Dengan kata lain terdapatnya mitra sejajar merupakan prasarat untuk dapat bekerjanya model Pengelolaan Sumber Daya Laut Berbasis Masyarakat (PSPBM) (Nikijuluw, 2002, 65). Dengan tingkat kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya laut,

Page 73: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

56

memungkinkan pemerintah memberikan tanggungjawab pengelolaan kepada masyarakat. Dengan PSPBM dalam tulisan ini dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber perikanannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. Pemberian wewenang dan tanggung jawab ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengambil keputusannya sendiri yang pada akhirnya menentukan pada kesejahteraan hidup mereka sendiri. Definisi PSPBM ini menegaskan bahwa, proses demokratisasi, dan pelibatan masyarakat dalam merumuskan program-program yang menyangkut kepentingan dirinya, sedapat mungkin menghindari model pendekatan yang bersifat top down, apa lagi memaksa.

Dalam realitasnya, lemahnya pihak LSM, LPSTK, Pokmas, dan masyarakat, telah mengakibatkan pihak PIU menempatkan dirinya sebagai pihak penentu program kegiatan, dan sebaliknya menempatkan pihak di luar PIU sebagai pihak penerima pasif program kegiatan COREMAP II. Selain itu, belum berhasilnya instansi pemerintah dalam hal ini DKP Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk mereposisi dirinya sebagai aparat pemerintah yang reformis, telah berakibat masih berlanjutnya paradigma lama dalam merumuskan program-program kegiatan COREMAP II. Tabiat perumusan kebijakan yang bersifat sentralistik, menjadikan program-program kegiatan yang dilakukan cenderung mengabaikan kondisi lokal dan aspirasi masyarakat.

Terabaikannya aspirasi masyarakat, pada ujungnya telah melahirkan bentuk partisipasi semu atau mobilisasi, dan munculnya resistensi masyarakat baik secara terselubung maupun yang bersifat terbuka. Adapun bentuk-bentuk resistensi terselubung misalnya tidak menjalankan program-program kegiatan sesuai dengan arahan yang telah diberikan oleh pihak petugas pendamping, tidak menghadiri rapat pertemuan rutin

Page 74: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

57

kelompok, memanfaatkan bantuan tidak sesuai dengan program kegiatan yang sudah disepakati, dan bentuk resistensi terbuka misalnya tetap melakukan aktivitas kegiatan yang dilarang seperti menambang pasir, menambang terumbu karang, melakukan pemotasan, mengambil bia lola dengan menggunakan alat yang dapat merusak terumbu karang, dan merusak papan tanda larangan DPL.

Lemahnya kegiatan pendampingan, sosialisasi pemahaman yang sempit menyangkut kegiatan konservasi yang hanya memuat larangan-larangan, dan kegagalan demi kegagalan dalam mengimplementasikan program kegiatan Mata Pencaharian Alternatif (MPA), Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif (UEP), kesemuanya telah dirasakan dan mengusik kebutuhan subsistensi masyarakat. Munculnya keluhan masyarakat bahwa dengan kehadiran program COREMAP II kegiatan masyarakat dalam memperoleh kebutuhan dasarnya merasa dibatasi.

3.1.1. Tingkat Kabupaten

• Komponen CBM

Seperti telah disinggung pada uraian yang terdahulu, COREMAP II merupakan program penyelamatan terumbu karang dengan menggunakan pendekatan kombinasi antara top-down dan bottom-up, atau dari atas ke bawah dan sebaliknya. Pendekatan yang bersifat top-down dapat diketahui dari keberadaan program yang direncanakan dan diimplementasikan oleh pemerintah pusat melalui National Project Implementation Unit (NPIU) di bawah koordinasi Departemen Kelautan dan Perikanan Pusat (DKP) atau sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pelaksana di daerah dilakukan oleh PIU di bawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di tingkat masyarakat/ desa pelaksana program

Page 75: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

58

kegiatan COREMAP II dilakukan oleh LPSTK dengan melibatkan sejumlah pokmas yang tergabung dalam masing-masing kegiatan. Hubungan yang harmonis di antara lembaga — lembaga tersebut dibangun berdasarkan persepsi yang sama atas potensi yang ada dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Harapannya hubungan yang dibangun atas dasar persepsi yang sama antar lembaga mulai dari tingkat kabupaten sampai desa melahirkan program-program kegiatan yang disepakati oleh dua belah pihak.

Dalam realitasnya ketidaksetaraan kemampuan dan belum berhasilnya instansi pemerintah dalam hal ini DKP dalam mereposisi diri sebagai fasilitator masyarakat, telah melahirkan corak hubungan yang bersifat subordinatif antara PIU, LSM, LPSTK, dan Pokmas. Keberadaan LSM, LPSTK, dan Pokmas hanya diposisikan sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Pihak PIU menempatkan sebagai pihak yang membina, LPSTK dan Pokmas sebagai pihak yang dibina. Dalam pola hubungan yang demikian, maka tidak ada ruang belajar bersama. Pola hubungan subordinatif telah mengukuhkan bentuk pendekatan yang bersifat top-down. Program-program kegiatan yang bersifat “paket program” memang sudah ditentukan dari atas. Program-program tersebut ditawarkan oleh Fasilitator Lapangan (FL) kepada masyarakat. Kepada warga masyarakat yang tertarik dengan program yang ditawarkan petugas FL, diminta untuk segera membentuk wadah kelompok dan mengajukan usulan program yang diminati melalui petugas FL

Di Desa Saibi Samukop, tanpa sepengetahuan pengurus LPSTK, petugas FL membentuk pokmas dan menyusun proposal sesuai dengan format usulan yang sudah ditetapkan dari PIU. Setelah proposal dibuat dan ditandatangani oleh seluruh anggota Pokmas, barulah Ketua LPSTK menanda tangani proposal yang diajukan pokmas. LPSTK itu sendiri dibentuk belakangan setelah pokmas dan proposal selesai dibuat petugas FL. Belum sempat

Page 76: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

59

jajaran pengurus LPSTK mempelajari isi proposal, proposal tersebut sudah diminta petugas FL untuk selanjutnya disampaikan kepada petugas verifikasi di tingkat kabupaten.

Demikian juga jajaran pengurus LPSTK pun tidak mengerti mengenai hal-hal menyangkut apa tugas dan fungsi yang harus dilakukannya. Mereka juga belum sempat mempelajari apa isi buku Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) yang dibuat orang lain, dan panduan tupoksi (tugas pokok aksi) yang semestinya merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki untuk dapat menjalankan tugas lembaga ini. Hingga tahun 2009 buku tersebut tidak berada di Pondok Informasi.

Di Desa Saliguma, program-program kegiatan dibawa oleh petugas FL ke LPSTK, selanjutnya program-program tersebut diumumkan kepada masyarakat. Warga masyarakat yang berminat diminta untuk segera membentuk wadah pokmas dan segera mengajukan permohonan kegiatan kepada LPSTK. Pokmas yang datang lebih dahulu bisa memilih program kegiatan yang memiliki dana yang lebih besar, dan yang datang belakangan tinggal sisa yang belum diambil. Dengan terpaksa pokmas yang datang belakangan terpaksa menerima program kegiatan yang masih tersisa, meskipun tidak diminati, dengan pertimbangan dari pada tidak mendapat bantuan sama sekali. Contoh : Pokmas itik di Desa Saliguma ini sesungguhnya yang diminati adalah usaha penyulingan minyak nilam, tetapi karena yang tersisa adalah untuk usaha ternak itik, terpaksa program tersebut diambil.

Di tingkat kabupaten, proposal-proposal tersebut secara formalitas diseleksi oleh tim verifikasi yang terdiri dari unsur PIU, LSM Kirekat, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan tim Coral Reef Information and Training Center (CRITIC) tingkat kabupaten. Dari seluruh proposal yang masuk, tidak satu pun proposal yang ditolak. Mekanisme penyusunan program kegiatan COREMAP II terasa jauh dari nuansa PSPBM, hampir semua

Page 77: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

60

program kegiatan dirumuskan tanpa melalui proses dialog publik baik dari masyarakat setempat sebagai calon penerima program kegiatan maupun pihak luar yang memiliki keahlian menyangkut bidang kegiatan yang akan ditangani, sehingga mendapatkan pembahasan yang mendalam guna penyempurnaan dan ketepatan program kegiatan yang dirumuskan. Pertanyaan dari mana inisiatif PSPBM, memang tidaklah terlalu penting, sepanjang diterima dan dapat diimplementasikan oleh masyarakat. Kendatipun demikian, akan lebih baik kalau inisiatif pengelolaan berasal dari masyarakat, karena dengan cara demikian masyarakat akan merasa memiliki program PSPBM tersebut. Masyarakat juga akan merasa dihargai atas pengakuan terhadap kemampuannya, dan sikap demikian akan menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat.

Implikasi dari pendekatan yang bersifat top-down, banyak ditemukan program kegiatan yang tidak sesuai dengan kondisi setempat, aspirasi masyarakat, dan kebutuhan setempat. Contoh : program peternakan usaha ternak itik ternyata terhenti karena di Desa Saliguma tidak tersedia pakan berupa dedak dan bekatul, program penangkapan ikan ramah lingkungan dengan memberikan bantuan mesin robin tidak digunakan untuk mencari ikan tetapi dipakai sebagai sarana transportasi pergi ke kebun, budidaya kepiting bakau ternyata jenisnya lain yang bibitnya tidak dapat diketemukan di perairan setempat. Program pengolahan ikan asin di Desa Saibi Samukop tidak dapat berjalan karena hasil tangkapan nelayan setempat sangat terbatas, tidak ada sisa ikan yang dapat diolah. Program-program yang diinginkan masyarakat sesungguhnya adalah program-program pengembangan sektor pertanian, seperti pengembangan tanaman cokelat, kelapa, ternak sapi dan babi. Hampir semua program yang ada sebelumnya tidak dilakukan melalui studi kelayakan terlebih dahulu menyangkut kesesuaian ekologi, ekonomi, dan kesiapan SDM-nya.

Page 78: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

61

Sebelumnya Departemen Kehutanan telah menerapkan program hutan kemasyarakatan dengan mengintroduksi tanaman-tanaman perkebunan komersial, seperti : cokelat, kelapa, pinang, cengkih, rambutan, rotan, terbukti cukup berhasil dilakukan di Desa Saibi Samukop. Masyarakat kini sudah dapat menikmati hasil program tersebut. Banyak waktu dicurahkan pergi ke kebun merawat dan memetik hasil kebunnya. Hal ini jelas dapat ikut berperan untuk mengurangi tekanan ekosistem perairan pesisir.

Kendatipun program - program pengembangan sektor pertanian lebih dapat diterima oleh masyarakat dan lebih dapat menjamin upaya penyelamatan terumbu karang, tetapi bila program ini diusulkan menurut pengakuan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai, tetap akan ditolak oleh DKP Pusat.

Di tingkat kabupaten, implementasi program kegiatan COREMAP II juga dihadapkan pada kendala, lemahnya komitmen dari sejumlah instansi terkait, seperti : Bappeda, Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata, Dinas Kehutanan, Polairud, Kamla, Dinas Pendidikan Nasional, dan sebagainya. Rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pihak PIU sering hanya diwakili oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan. Mereka datang hanya sekedar memenuhi undangan.

Adapun berbagai kegiatan yang telah dilakukan di tingkat kabupaten antara lain:

1. Pelatihan budidaya ikan kerapu dan rumput laut yang diselenggarakan di Balai Benih Lampung pada bulan Juli 2008 yang diikuti oleh perwakilan dari masing-masing desa penerima program COREMAP II di seluruh Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Page 79: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

62

2. Kegiatan pelatihan kerajinan souvenir di Kota Situbondo tahun 2006 yang diikuti oleh masing-masing ketua pokmas penerima program COREMAP II di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

3. Penguatan Kelembagaan COREMAP II di Tingkat Propinsi, Kabupaten dan Desa Lokasi Kegiatan. Kegiatan ini telah dilaksanakan pada tanggal 27 — 29 Nopember 2008 bertempat di Hotel Ambacang. Diselenggarakan oleh CV. SANARI. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi para stakeholders program COREMAP II di Provinsi Sumatera Barat. Upaya tersebut ditempuh dengan menyamakan persepsi di antara pihak pengambil kebijakan dari instansi terkait serta stakeholders pelaksana program kegiatan COREMAP II. Diantaranya yaitu Provincial Advisory Commite (PAC), Regional Coordinating Unit (RCU) Regional Advisory Committee (RAC), Project Implementation Unit (PIU) daerah yang mempunyai potensi terumbu karang, LSM, perguruan tinggi pada lokasi COREMAP II di Propinsi Sumatera Barat. Kegiatan ini diikuti oleh 35 orang dari instansi terkait dan LSM. Dari hasil kegiatan, diperoleh rumusan sebagai berikut : (1). Perlu peningkatan kerja sama, koordinasi dan keterlibatan secara aktif antar lembaga dan masyarakat di dalam pengawasan dan peningkatan penegakan hukum; (2). Perlu kejelasan dan peningkatan peran dan fungsi kelembagaan pada masing-masing tingkat dari pusat, provinsi, kabupaten, sampai ke tingkat desa/ lokasi COREMAP II; (3). Perlu peningkatan program dan kegiatan kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan didukung oleh semua stakeholders; (4). Perlu peningkatan peran serta masyarakat dalam mensukseskan pelaksanaan program COREMAP II; (5). Perlu peningkatan monitoring, controlling dan

Page 80: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

63

pengelolaan terumbu karang apabila program COREMAP telah selesai.

4. Pelatihan pengenalan Ekosistem Terumbu Karang bagi para aparat desa di Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan pelatihan ini telah diselenggarakan pada tanggal 14 — 16 Agustus 2008, bertempat di Hotel Ambacang, diselenggarakan oleh Yayasan PERCA. Tujuan dari penyelenggaraan pelatihan ini adalah untuk : (1). Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta pelatihan dalam mengenal lebih banyak tentang ekosistem terumbu karang; (2). Menyiapkan peserta pelatihan untuk menjadi motivator dalam penyebaran konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang; (3). Membekali peserta pelatihan agar memiliki kemampuan dalam menyampaikan kampanye program COREMAP II dalam kaitannya dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang kepada masyarakat; (4). Menciptakan keserasian gerak dan langkah dalam pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat serta berwawasan lingkungan.. Adapun sasaran utamanya adalah peningkatan pengetahuan dan wawasan para aparat desa mengenai pentingnya program penyelamatan terumbu karang.

5. Pelatihan Muatan Lokal Bidang Kelautan dan Perikanan Bagi Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Sumatera Barat. Pelaksana kegiatan ini CV Wahana Lautan Sejati Consultan (CV. WALASE). Kegiatan dilakukan pada tanggal 24 — 26 Nopember 2008 bertempat di Hotel Ambacang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperkenalkan tentang pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan serta Program COREMAP II kepada guru SD yang akan mengajarkan kepada siswa didiknya serta dapat memberikan mata pelajaran sesuai dengan buku yang telah disusun. Peserta kegiatan pelatihan ini

Page 81: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

64

berjumlah 40 orang guru SD se Provinsi Sumatera Barat. Adapun hasil yang diharapkan dari kegiatan pelatihan ini adalah : (1) Efektifnya pengajaran muatan lokal; (2) Peserta training terlatih dan mampu menyajikan pengajaran muatan lokal kepada anak didik dan menyampaikan informasi program COREMAP II kepada masyarakat.

6. Sosialisasi Muatan Lokal Bidang Kelautan dan Perikanan ke Sekolah di Kabupaten Penerima Program COREMAP II. Kegiatan sosialisasi ini dilakukan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Ekasakti Padang. Kegiatan ini selama 50 hari, dengan jumlah peserta masing-masing kabupaten 40 murid, dilakukan secara bergantian yakni dari Kabupaten Agam, Pasaman Barat, dan Kepulauan Mentawai.

7. Pengadaan Buku Muatan Lokal Bidang Kelautan dan Perikanan untuk Sekolah Dasar. Kegiatan ini telah dilaksanakan oleh CV. Pilar Pratama. Tujuan pengadaan buku muatan lokal adalah untuk memberikan pengetahuan pada siswa/i pada Sekolah Dasar yang ada di wilayah penerima Program COREMAP II.

Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak PIU, sungguhpun demikian implementasi program COREMAP II hasilnya belum sebagaimana yang diharapkan.

• Komponen Monitoring Controlling and Surveilance (MCS)

Di dua desa penelitian telah dibentuk Pokmaswas yang bertugas mengelola dan mengawasi kawasan perairan Daerah Perlindungan Laut (DPL) khususnya dan upaya penyelamatan ekosistem perairan pantai pada umumnya. Untuk memperlancar kegiatan tersebut, di Desa Saibi Samukop kepada Pokmaswas

Page 82: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

65

telah diberikan pelatihan keterampilan mengemudikan perahu motor pompong, pelatihan penyelaman, keterampilan membuat rambu-rambu batas zonasi kawasan perairan DPL, memasang rambu-rambu zonasi, keterampilan melakukan patroli laut, keterampilan membuat pemberkasan laporan pengawasan, menyimpan barang bukti, menangkap pelaku tindak kejahatan dan pelanggaran hukum di laut. Kegiatan pelatihan ini diselenggarakan di Desa Saibi Samukop pada tahun 2008, dengan melibatkan tenaga Kepolisian setempat, Polairud, TNI AL (Kamla), Dinas Perhubungan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kepada Pokmaswas juga telah diberikan bantuan peralatan berupa perahu pompong dengan kekuatan mesin 40 PK, lengkap dengan peralatannya seperti, jangkar, kompas, radio pantai (HT), GPS, dan biaya operasional melaut sebesar Rp 12.000.000. per tahun.

Menurut pengakuan Ketua Pokmaswas, direncanakan patroli laut akan dilakukan tiga kali dalam sebulan, tetapi praktiknya tidak pernah dilakukan, dengan alasan biaya operasional terlalu tinggi. Dalam satu kali pengoperasian menghabiskan sebanyak 35 liter minyak premium, dengan harga rata-rata per liter Rp 8.000. di tingkat pedagang eceran. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen Pokmaswas dalam melakukan pengawasan laut. Sementara itu, belum terjangkaunya pengawasan patroli laut dari tingkat kabupaten, turut andil terhadap lemahnya pengawasan perairan pantai.

Kendala lain yang dihadapi Pokmaswas dalam menjalankan tugasnya adalah tidak dibekali dengan surat tugas dari instansi terkait, sehingga saat ditanya oleh pihak pelanggar Pokmaswas tidak dapat berbuat apa-apa. Pengalaman ini membuat Pokmaswas merasa tidak memiliki kewenangan dan kekuatan bertindak dalam menghadapi pihak pelanggar. Menyangkut status kawasan juga dihadapkan dengan klaim wilayah perairan DPL oleh Suku Sabatiliakek. Hal ini

Page 83: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

66

menunjukkan lemahnya pendekatan sosial budaya dalam menentukan kawasan perairan DPL.

Di Desa Saliguma, kegiatan MCS telah dilakukan melalui pelatihan pengawasan laut, membuat tanda batas zonasi, memasang tanda batas zonasi kawasan DPL, membuat pemberkasan laporan pengawasan, sosialisasi menyangkut pelarangan kegiatan yang dapat merusak ekosistem terumbu karang, melakukan pelatihan penangkapan kepada pihak pelanggar, menyimpan barang bukti, melakukan penyelaman dan melakukan teknik pemantauan terumbu karang. Kegiatan pelatihan ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Saliguma tahun 2007 yang diikuti oleh pengurus dan anggota Pokmaswas. Kegiatan pelatihan ini melibatkan petugas keamanan polisi setempat, TNI AL (Kamla), SKP Kabupaten Kepulauan Mentawai, Perhubungan, Petugas Motivator Desa, dan petugas Fasilitator Desa (FL).

Kendatipun pembekalan sudah diberikan kepada Pokmaswas, namun materi pelatihan tidak dapat optimal terserah oleh peserta pelatihan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan Pokmaswas, yang rata-rata hanya tamat SD (Wawancara dengan petugas Motivator Desa). Kendala lain yang dihadapi Pokmaswas berupa tidak adanya kapal yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan pengawasan. Dari tahun 2006 — 2009, telah dua kali pengadaan kapal dilakukan. Tahun 2006 sudah diberikan bantuan kapal pompong, namun sampai di lokasi, kapal sudah dalam keadaan rusak. Kapal tersebut ditarik ke Muara Siberut untuk diperbaiki, tetapi tidak kunjung selesai. Tahun 2009 didatangkan lagi kapal pengawasan yang ukurannya lebih besar dari pada yang diterima sebelumnya, tinggi sekitar 3 m, panjang bodi 12 m, lebar sekitar 2 m, dengan kekuatan mesin 23 PK. Setiba di pantai Saliguma, kapal tersebut sudah dalam

Page 84: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

67

kondisi rusak, terdampar di pantai, dan mesinnya terendam di air.

Eksistensi kawasan DPL sendiri menghadapi kendala berupa perusakan papan nama DPL dan pencurian tanda batas zonasi DPL, hingga saat ini belum diketahui pelaku dan motivasinya. Awalnya penentuan kawasan DPL hanya dilakukan oleh Kepala Desa dan FL, tanpa melibatkan masyarakat. Tanda batas dan papan nama tersebut sampai sekarang belum ada rencana untuk memperbaikinya. Praktis dari sejak dibentuknya Pokmaswas kegiatan pengawasan perairan pantai tidak pernah dilakukan.

Di tingkat kabupaten, DKP telah melengkapi sarana patroli laut dengan pengadaan kapal patroli laut berkekuatan 400 PK pada bulan Desember 2009. Patroli laut dilakukan sebulan sekali dengan melibatkan instansi terkait, antara lain Kepolisian, TNI AL, Dishub, dan petugas PPNS dari DKP. Kapal patroli ini dioperasikan dengan melibatkan satu orang tenaga teknisi, satu orang tenaga kelasi, dan satu orang nakoda. Tenaga teknisi dan nakoda direkrut dari Dishub, dan tenaga kelasi direkrut dari pemuda setempat.

Beberapa kendala teknis dalam mengoperasikan kapal patroli ini, antara lain : biaya pengoperasian kapal terlalu tinggi terutama untuk beli bahan bakar minyak premium dan belum dikenalinya konstruksi kapal terutama pada bagian lapisan lambung kapal. Karena itu nakoda hanya berani mengoperasikan kapal pada siang hari, karena takut menabrak benda keras yang mengapung di permukaan laut yang dapat berakibat fatal yakni bocornya lambung kapal. Selama ini kapal patroli baru dioperasikan di sekitar perairan Desa Tua Pejat.

Page 85: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

68

• Komponen Coral Reef Information and Training Center (CRITIC)

Pada tahun 2008 Tim CRITIC dari kabupaten telah melakukan kegiatan pemantauan kondisi terumbu karang di perairan pantai Saliguma, hasilnya belum diketemukan adanya perbaikan yang signifikan sejak dilaksanakannya program kegiatan COREMAP II, kondisi terumbu karang masih sangat memprihatinkan. (Laporan Pemantauan CRITIC Kabupaten Kepulauan Mentawai, tahun 2008). Hal ini mengindikasikan masih berlangsungnya praktik-praktik eksploitasi sumberdaya laut dengan menggunakan alat yang dapat merusak terumbu karang, seperti pengambilan bia lola dan penggunaan racun potasium dalam aktivitas penangkapan ikan. Demikian juga aktivitas penambangan pasir laut dan terumbu karang masih tetap dilakukan. Ironisnya pelaku penambang terumbu karang menumpuk batu karang persis di depan papan pengumuman yang berbunyi “Kita lestarikan terumbu karang untuk anak cucu”. Hal ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk resistensi secara terang-terangan terhadap program kegiatan penyelamatan terumbu karang.

Selain kegiatan pemantauan terumbu karang, Tim CRITIC kabupaten juga telah melakukan survei kegiatan yang dilakukan pokmas. Hasil survei menunjukkan tidak optimalnya kegiatan program COREMAP II. Hal ini disebabkan lemahnya pengawasan, kurangnya pelatihan, dan tidak berkelanjutannya kegiatan pendampingan. Kendala lain juga diakui, masih rendahnya kemampuan sumberdaya manusia para petugas yang terlibat dalam kegiatan COREMAP II. Tidak berjalannya secara optimal kegiatan COREMAP II, telah berakibat belum dirasakannya perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Laporan Hasil Survei Sosial Ekonomi Tim CRITIC Kabupaten Kepulauan Mentawai 2008).

Page 86: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

69

3.2. TINGKAT DESA

Uraian mengenai implementasi program kegiatan COREMAP II di tingkat desa, akan mencakup : proses pembentukan, kinerja dan kegiatan LPSTK; pembentukan, kinerja dan kegiatan pokmas; kegiatan sosialisasi dan pelatihan, kegiatan pengawasan, dan terakhir kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP).

• Pembentukan, kinerja dan kegiatan LPSTK

Seperti telah diketahui bersama bahwa berjalannya program kegiatan COREMAP II sangat ditentukan oleh kinerja LPSTK. Untuk melaksanakan tugas yang harus dipikul oleh LPSTK, maka LPSTK harus dibekali dengan buku acuan berupa Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). Di dalam buku ini antara lain dimuat mengenai potensi sumber daya laut, pemanfaatan, permasalahan dan solusi alternatif penanganan masalah kerusakan ekosistem terumbu karang. Agar kegiatan LPSTK lebih focus, LPSTK dibekali dengan lembar khusus yang memuat daftar tugas pokok dan fungsi LPSTK (Tupoksi). Sesuai dengan konsep Pengelolaan Sumber Daya Laut Berbasis Masyarakat (PSPBM), seharusnya LPSTK terlibat langsung dalam melakukan survei RPTK. Kenyataan survei ini dilakukan oleh pihak Universitas Bung Hatta, dan keterlibatan masyarakat hanya sebatas dimintai informasi menyangkut potensi, pemanfaatan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Demikian juga dalam merumuskan tugas pokok dan fungsi LPSTK, masyarakat tidak terlibat, sehingga sampai sekarang jajaran pengurus LPSTK di Desa Saibi Samukop mengaku tidak tahu persis apa sesungguhnya yang menjadi tugas pokok dan fungsi organisasi yang dipimpinnya.

Page 87: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

70

Adapun tugas pokok dan fungsi LPSTK meliputi: (1) Menyusun RPTK terpadu; (2) Mengimplementasikan RPTK terpadu; (3) Menyusun usulan-usulan kegiatan berdasarkan usulan-usulan dari pokmas-pokmas dan kelompok pengawas terumbu karang; (4) Melakukan verifikasi terhadap usulan proposal pokmas; (5) Mengawasi, mengkoordinir, dan mensinergikan kegiatan pokmas; (6) Menerima dan mengeluarkan dana pengembangan usaha (income generation fund) dan menyalurkan dana bentuan desa (Village Grand fund); (7) Membantu melakukan identifikasi potensi ekonomi dan pengembangan investasi usaha pokmas; (8) Melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan petugas COREMAP II, LSM, konsultan dalam melaksanakan keseluruhan program pengelolaan berbasis masyarakat; (9) Mengembangkan lembaga keuangan mikro yang akan melaksanakan Unit Simpan Pinjam; (10) Melaksanakan kegiatan administrasi pembukuan keuangan dan meminta pembukuan keuangan pokmas; (11) Melakukan pemantauan dan evaluasi RPTK secara terpadu.

Bila dicermati, temuan penelitian menunjukkan bahwa kehadiran LPSTK dibentuk hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan administrasi. Lembaga tersebut belum diberdayakan dan difungsikan secara sungguh-sungguh sesuai dengan tupoksinya. Mulai dari menyusun RPTK, menyusun program kegiatan, melakukan evaluasi kegiatan, mengumpulkan laporan kegiatan pokmas, menyusun laporan perkembangan kegiatan pokmas untuk kemudian disampaikan kepada PIU, menyalurkan bantuan dan mengelola keuangan.

Secara kelembagaan, keberhasilan program COREMAP II juga sangat ditentukan oleh bekerjanya pokmas binaan LPSTK. Hal ini mensyaratkan kemampuan manajerial yang harus dimiliki oleh jajaran pengurus LPSTK. Keterampilan ini bisa diperoleh melalui bangku pendidikan, pelatihan, pengalaman kerja, maupun pengalaman berorganisasi. Syarat inilah yang

Page 88: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

71

tidak dimiliki oleh jajaran pengurus LPSTK maupun Pokmas. Sebagai contoh jajaran pengurus LPSTK Desa Saibi Samukop, Ketua LPSTK dijabat oleh Pontius dengan latar belakang pendidikan tamat SLTA melalui program kejar paket C. Sementara itu, Sekretaris dijabat oleh Tastian, yang secara kebetulan merangkap sebagai Sekretaris Desa, berpendidikan tamat SMA. Bendahara sendiri berpendidikan tamat SMA. Kendatipun tingkat pendidikan jajaran pengurus LPSTK di Desa Saibi Samukop sudah tergolong tinggi untuk ukuran setempat, namun jajaran pengurus LPSTK mengaku tidak memiliki keterampilan/kemampuan manajerial yang diperlukan untuk mengelola sebuah lembaga, seperti LPSTK. Tugas yang dibebankan oleh COREMAP II dirasakan sebagai sesuatu pekerjaan baru yang belum pernah mereka peroleh dari bangku sekolah dan pelatihan. Mereka juga tidak memiliki pengalaman berorganisasi pada lembaga lain.

Di Desa Saliguma tingkat pendidikan rata-rata pengurus LPSTK malah lebih rendah lagi. Menurut informasi yang disampaikan petugas Motivator Desa (MD), ketua LPSTK yang dijabat oleh Ferdinalindas hanya tamat SD, Sekretaris dijabat oleh Paskalis tamat SD, tetapi baru-baru ini telah mengikuti program kejar paket C, dan Bendahara dijabat oleh Ejenius yang hanya tamat SD. Ketiganya merupakan pengurus LPSTK lama periode 2006 — 2009. Pengurus LPSTK yang baru diketuai oleh Paskalis (mantan Sekretaris LPSTK), Bendahara dijabat oleh Kancius - SD tidak tamat, dan Sekretaris dijabat oleh Edit - tamat SMA. Sama seperti pengakuan pengurus LPSTK di Desa Saibi Samukop, mereka merasakan bahwa tugas mengurus LPSTK merupakan pekerjaan baru yang selama ini tidak pernah mereka dapatkan di bangku sekolah dan pelatihan. Mereka juga umumnya tidak memiliki pengalaman berorganisasi di lembaga lain. Ditambah dengan minimnya kegiatan pelatihan dan pendampingan yang mereka peroleh, telah memberikan andil terhadap buruknya kinerja LPSTK di dua desa ini.

Page 89: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

72

Untuk menambah wawasan jajaran pengurus LPSTK, seharusnya buku RPTK dan daftar tupoksi LPSTK disimpan di Pondok Informasi agar sewaktu-waktu dapat dibaca, dipelajari dan dipahami oleh jajaran pengurus LPSTK, Pokmas, maupun masyarakat luas. Di Pondok Informasi Desa Saibi Samukop, dua dokumen tersebut tidak diketemukan. Untuk menunjang kelancaran tugas administrasi, LPSTK juga harus dilengkapi dengan prasarana administrasi, seperti : kertas, mesin ketik, alat-alat tulis, dan papan tulis dsb. Di Pondok Informasi Desa Saibi Samukop, kelengkapan alat kerja tersebut tidak tersedia. Ditambah dengan lokasi Pondok Informasi yang agak terpencil dan jauh dari permukiman penduduk, berada di perbukitan, membuat orang malas untuk datang ke Pondok Informasi.

Pondok Informasi di Desa Saibi Samukop hanya terdapat radio, meja, dan kursi yang tidak pernah dimanfaatkan. Bangunan Pondok Informasi tampak tidak terurus, papan-papan namanya roboh, dan bangunan dikelilingi oleh rumput liar yang tumbuh tinggi dan lebat, serta dililit oleh tumbuhan liar. Sementara itu penempatan bangunan tersebut hingga kini masih bermasalah karena tidak seizin pemilik tanah dari Suku Satoko, atau Kepala Desa yang baru periode 2009 — 2014. Andaikata penempatan bangunan Pondok Informasi dimusyawarahkan dengan warga, bangunan tersebut dapat ditempatkan pada lokasi yang strategis , di tengah permukiman penduduk agar mudah dijangkau oleh warga masyarakat.

Keberadaan LPSTK di Desa Saibi Samukop juga dihadapkan pada permasalahan hubungan yang kurang harmonis antara petugas Fasilitator Desa dengan jajaran pengurus LPSTK. Hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara LPSTK dengan petugas Fasilitator Desa. Jajaran pengurus LPSTK tidak mengetahui apa saja yang sudah dilakukan oleh petugas Fasilitator Desa dengan Pokmas, demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh petugas Fasilitator Desa telah menginformasikan

Page 90: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

73

pada Pokmas bahwa dana pendampingan LPSTK sudah habis diambil oleh pengurus LPSTK. Informasi ini memicu timbulnya isu penggelapan uang yang dilakukan oleh jajaran pengurus LPSTK. Sementara itu LPSTK merasa tersudut dengan tindakan petugas Fasilitator Desa tersebut dan tidak bisa membuktikan kepada Pokmas. Di lain pihak Pokmas meyakini betul bahwa informasi yang disampaikan oleh petugas Fasilitator Desa benar adanya. Isu ini kemudian menjadi alasan Pokmas untuk tidak mengembalikan pinjaman dana bergulir.

Pada tingkat masyarakat beredar pula isu kesukuan yang menyatakan bahwa berbagai bantuan program COREMAP II, hanya dimonopoli oleh kelompok suku tertentu. Pembentukan LPSTK dan Pokmas sendiri ditentukan secara sepihak oleh Kepala Desa yang lama periode 2004 — 2009, yang sekaligus merangkap sebagai tua-tua adat Suku Sanenek.

Berbagai permasalahan tersebut, telah memberi kontribusi terhadap buruknya kinerja LPSTK di Desa Saibi Samukop. Dari sejak dibentuk tahun 2006 hingga penelitian ini dilakukan LPSTK tampak pasif dan tidak melakukan aktivitas apa-apa yang berkaitan dengan kegiatan COREMAP II, dengan alasan masing-masing pengurus sudah disibukkan dengan pekerjaannya terutama bekerja di kebun.

Program COREMAP II sebagai sebuah kebijakan penyelamatan ekosistem terumbu karang telah disertai dengan instrumen kebijakan yang berupa regulasi dan aturan hukum yang jelas, pembentukan institusi atau lembaga pelaksana kebijakan dengan pembagian tugas yang jelas, pengawasan dan pendanaan yang cukup guna berjalannya suatu kebijakan. Kendatipun demikian, realitas di lapangan menunjukkan masih lemahnya pengawasan pada setiap level, yang diduga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan keuangan. Sebagai contoh dana pendamping LPSTK Desa Saibi Samukop sebesar Rp 30.000.000. hingga saat ini masih mengendap di Bank Nagari

Page 91: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

74

Tua pejat. Usaha untuk mencairkan dana tersebut dengan mengajukan proposal kegiatan LPSTK ditolak berkali-kali oleh DKP Kabupaten Kepulauan Mentawai, dengan alasan proposal kegiatan tidak sesuai. Sangat disayangkan penolakan proposal ini tidak disertai dengan petunjuk pembuatan proposal sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak DKP. Hal ini membuat putus asa pihak pengurus LPSTK untuk mencoba kembali mencairkan dana pendampingan tersebut.

Berbeda dengan kondisi LPSTK di Desa Saliguma. Kelengkapan prasarana kerja LPSTK cukup tersedia. Mesin ketik, kertas tulis, peta kegiatan, foto-foto dokumentasi kegiatan, pamflet, papan tulis, meja, almari, kursi, sirine, radio, buku RPTK dan daftar lembar tupoksi LPSTK sudah tersedia. Bangunan Pondok Informasi tampak megah, berlokasi di tengah permukiman penduduk, sehingga mudah dijangkau oleh siapa pun yang berkepentingan dengan program kegiatan COREMAP II. Kondisi bangunan cukup terawat, dan tampaknya sering digunakan untuk berbagai pertemuan warga sekalipun keperluan yang tidak berhubungan dengan kegiatan COREMAP II, seperti pertemuan rutin warga desa, pertemuan warga untuk merayakan hari-hari besar nasional, dan pertemuan warga untuk peringatan hari-hari besar keagamaan.

Kendatipun demikian, tidak bisa dikatakan bahwa kinerja jajaran pengurus LPSTK di Desa Saliguma baik. Sebagai contoh LPSTK tidak pernah melakukan kegiatan monitoring, evaluasi, dan pengawasan terhadap Pokmas. Juga tidak pernah melakukan penagihan dana bergulir kepada Pokmas. Meskipun dalam community contract dinyatakan adanya pemberian sanksi yang tegas bagi Pokmas yang tidak membayar pinjaman berupa penarikan/penyitaan barang perabotan rumah tangga sebesar nilai pinjaman, kenyataannya LPSTK tidak mampu bertindak memberikan sanksi tersebut. Hal ini berpengaruh pada Pokmas lain yang selama ini sudah rutin mengangsur pinjaman dana

Page 92: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

75

bergulir, kemudian menghentikan angsurannya karena pihak LPSTK tidak berlaku adil. Contoh : Pokmas pembuatan minyak kelapa Pokmas Telu Lakek pimpinan Ibu Krisna dan Pokmas Si Telu Tukdak yang ke duanya berkeinginan melunasi pinjamannya dan sudah mengangsur pinjaman berkali-kali, terpaksa menghentikan angsurannya. Pihak LPSTK juga tidak pernah melakukan pemantauan terhadap kegiatan Pokmas, tidak mengetahui identitas anggota Pokmas, dan tidak mengetahui aspirasi Pokmas. Contoh : Pokmas yang berkeinginan melakukan kegiatan pengolahan minyak nilam diberi bantuan untuk usaha ternak itik, Pokmas yang berkeinginan melakukan budidaya tripang malah ditunjuk menjadi Pokmaswas. Dengan kata lain bantuan diberikan kepada pokmas berdasarkan program-program kegiatan yang belum diambil oleh pokmas lain yang datang lebih dulu ke Pondok Informasi. Sementara itu, dari pihak pokmas sendiri tampaknya mengajukan proposal kegiatan semata-mata hanya didorong oleh keinginan mendapatkan bantuan materi. Pertimbangannya dari pada tidak memperoleh bantuan apa-apa, lebih baik diterima apa pun program kegiatannya. Dengan kata lain keterlibatan Pokmas pada program kegiatan COREMAP II tidak didorong oleh motivasi untuk dapat mensukseskan program penyelamatan terumbu karang sekaligus meningkatkan pendapatannya. Akibatnya program kegiatan COREMAP II mengalami kegagalan. Satu-satunya kegiatan yang masih eksis hanyalah kegiatan pembuatan minyak kelapa yang sudah dirintis oleh masyarakat sendiri jauh sebelum program kegiatan COREMAP II dilaksanakan.

Kehadiran LPSTK di Desa Saliguma juga dibentuk oleh Kepala Desa secara sepihak pada tahun 2006, tanpa melibatkan masyarakat luas atau musyawarah desa yang dihadiri oleh pihak PIU, Fasilitator Desa, Motivator Desa, Dewan Perwakilan Desa (DPD) dan seluruh tokoh masyarakat desa baik formal maupun informal. Akibatnya kehadiran jajaran pengurus LPSTK tidak

Page 93: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

76

memiliki pengaruh yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas, sehingga kinerja LPSTK menjadi tidak efektif

• Pembentukan, kinerja dan kegiatan pokmas

Di Desa Saibi Samukop keberadaan pokmas dibentuk terlebih dahulu oleh petugas Fasilitator Lapangan. Pembentukan pokmas ini tanpa terlebih dahulu memahami kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berakibat salah sasaran, karena pokmas yang dibentuk sesungguhnya bukan orang-orang yang memiliki latar belakang sebagai nelayan. Isu yang berkembang di tengah masyarakat, bantuan kegiatan program COREMAP II diberikan pada salah satu suku yang tergolong besar di desa ini. Suku tersebut memiliki sebagian tanah tempat permukiman dan tanah kebun yang luas. Suku tersebut merupakan tempat asal kepala desa yang lama, yakni Suku Sanenek. Suku besar yang lain yang sekarang sedang memegang kekuasaan yakni Suku Satoko, yang memiliki tanah/ lahan sebagian besar pemukiman penduduk. Kepemilikan tanah luas dan didukung oleh jumlah warga suku yang besar, sangat menentukan kekuatan politik lokal dari kelompok dua suku tersebut. Penempatan orang dari suku yang berkuasa pada lembaga pengelola dari suatu program kegiatan, telah dimaknai sebagai penguasaan atas sumberdaya. Implikasi lebih lanjut dari kebijakan yang lebih mengedepankan segi primordialisme secara tidak disadari adalah cenderung mengabaikan sasaran dari program kegiatan COREMAP II yang semestinya menempatkan nelayan sebagai kelompok sasaran utama.

Informasi yang disampaikan oleh Sekretaris LPSTK menyebutkan bahwa sekitar 50 persen warga Saibi Samukop hidup sebagai nelayan, dan 50 persen sebagai petani pekebun. Ironisnya bantuan program COREMAP II jatuh pada kelompok petani pekebun yang umumnya berasal dari Suku Sanenek. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kinerja pokmas. Fakta ini

Page 94: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

77

sekaligus menunjukkan lemahnya pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh petugas Fasilitator Lapangan. Bukti lain atas lemahnya pendekatan sosial budaya adalah munculnya klaim wilayah perairan DPL oleh Suku Sabetiliakek. Fasilitator Lapangan tidak mengetahui sebelumnya kalau lokasi tersebut berada di bawah penguasaan oleh Suku Sabetiliakek.

Di Desa Saibi Samukop terdapat beberapa pokmas, antara lain Pokmas Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan, ada dua pokmas yakni “Pokmas Moile-Moile” diketuai oleh Titus, dan Pokmas Telaga Biru diketuai oleh Erik. Masing-masing pokmas beranggotakan lima orang. Dua pokmas tersebut sudah mendapat bantuan pinjaman dana bergulir sebesar Rp 32.000.000. Jumlah dana bersih yang diterima pokmas sekitar Rp 27.000.000, karena masih harus dipotong uang jasa pengambilan uang oleh LPSTK sebesar 15 persen. Sesuai dengan perjanjian, pinjaman tersebut sudah harus dilunasi dalam jangka waktu tiga tahun, dengan bunga per bulan 0,8 persen. Bantuan tersebut turun pada tahun 2007, uang tersebut langsung dibelikan mesin robin 5 PK sebanyak delapan unit. Perahu pompong program penangkapan ikan ramah lingkungan ini sempat dioperasikan untuk mencari ikan selama hampir empat sampai lima bulan. Hasilnya selalu merugi dan tidak dapat menutup biaya operasional. Dalam satu malam mereka beroperasi memancing ikan hanya dapat antara 0,5 kilogram sampai satu kilogram. Harga ikan per kilogram hanya Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Pembelian minyak premium menghabiskan sekitar lima liter atau Rp 40.000,- (harga per liter Rp 8.000), belum termasuk uang makan dan rokok.

Kini perahu pompong sepertinya dimiliki secara pribadi, digunakan untuk transportasi ke kebun. Saat penelitian, tidak satupun anggota pokmas yang dapat ditemui. Demikian juga keberadaan perahu pompongnya tidak diketemukan di pantai dan muara sungai Saibi. Menurut informasi Sekretaris LPSTK,

Page 95: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

78

perahu-perahu tersebut sedang digunakan oleh pemiliknya pergi ke kebun. Perahu pompong tersebut juga digunakan untuk mengangkut produksi kebun seperti kelapa, pisang, pinang, cengkih dan kakao. Dari sejumlah delapan unit perahu pompong yang ada, kondisinya masih bagus, tetapi tidak ada satu pun yang mengangsur pinjaman. Alasannya karena usaha pencarian ikan selalu merugi.

Pokmas Pengolahan Ikan “Simatulo”, beranggotakan lima orang. Bantuan pinjaman dana bergulir yang sudah diterima sebesar Rp 20.000.000. Total bersih yang diterima sebesar Rp 17.000.000 setelah dipotong 15 persen untuk jasa pengambilan uang oleh LPSTK di Bank Nagari Tua Pejat. Pinjaman tersebut sudah harus dilunasi dalam tempo tiga tahun, dengan besar bunga pinjaman 0,8 persen per bulan. Program kegiatan ini tidak berjalan karena terkendala ketiadaan bahan baku. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan nelayan memang sangat tidak memadai hanya sekedar untuk dikonsumsi sendiri. Nelayan mencari ikan hanya menggunakan pancing dan tangguk. Aktivitas penangkapan ikan justru lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan dan jarang ditemukan laki-laki mencari ikan. Hasil tangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan perempuan berupa ikan tamban yang ukurannya hanya sebesar jari kelingking tangan. Hasil sampingannya kalau sedang mujur adalah udang kelong. Rata-rata dalam satu kali melaut hanya diperoleh ikan sebanyak antara 0,5 kilogram sampai satu kilogram. Sungguh terasa ganjil, bagaimana mungkin Pokmas Pengolahan Ikan dibentuk mengingat memang tidak ada bahan baku yang dapat diolah. Prinsipnya kegiatan pengolahan ikan asin atau pengasapan dilakukan apabila terdapat banyak ikan yang melimpah, sehingga tidak habis dikonsumsi. Untuk sekedar menghindari agar ikan tidak busuk, maka dilakukanlah pengasapan.

Page 96: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

79

Bersamaan dengan hadirnya Proyek Pembangunan Prasarana Desa Mandiri (P2D) pada tahun 2009, semua anggota pokmas pengolahan ikan karena tidak ada kegiatan, mereka terlibat dalam pekerjaan tersebut. Aktivitas pokmas kemudian ditinggalkan dan pinjaman pun tidak dikembalikan. Sementara pengurus LPSTK dan Fasilitator Lapangan pun tidak melakukan pengawasan dan penagihan. Pihak LPSTK merasa tidak bertanggung jawab terhadap kegagalan program COREMAP II, karena tidak mengetahui persisnya asal mula bagaimana program kegiatan tersebut dibentuk.

Pokmas “Padarai”, beranggotakan enam orang dipimpin oleh Akim. Bergerak di bidang usaha budidaya kepiting bakau. Bantuan pinjaman dana bergulir yang sudah diterima sebesar Rp 40.000.000. Total bersih yang diterima Rp 34.000.000 setelah dipotong biaya jasa pengambilan uang sebesar 15 persen oleh LPSTK. Dana tersebut turun pada tahun 2007, dan sudah habis untuk pembuatan media budidaya kepiting bakau. Adapun bahan materialnya antara lain : bambu, waring, dan tali plastik pengikat. Bangunan keramba budidaya kepiting kini tinggal tonggak-tonggak bambu yang berada di tengah-tengah hamparan tumbuhan nipah dan bakau. Kegiatan budidaya kepiting ini pernah dicoba dengan memasukkan bibit kepiting sejumlah 15 ekor, bibit alam yang dicari sendiri oleh anggota pokmas. Setelah dimasukkan ke dalam keramba, sifat kanibal kepiting mulai nampak. Saling memangsa di antara satu dengan yang lain, sehingga mati semua.

Banyak faktor kegagalan budidaya kepiting bakau, antara lain : (1). Belum adanya kegiatan pelatihan; (2). Tidak adanya pendampingan; dan (3). Belum dimilikinya teknik budidaya kepiting bakau. Kegagalan usaha ini berakibat tidak dikembalikannya pinjaman dana bergulir yang sudah mereka terima. Adapun dua pokmas yang lain yakni, Pokmas Warung Pesisir “Simatarik” dan Pokmaswas uraian detailnya akan

Page 97: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

80

diuraikan pada subbab kegiatan Usaha Ekonomi Produktif UEP dan kegiatan Pengawasan.

Di Desa Saliguma pokmas dibentuk kemudian setelah LPSTK. Proses pembentukan pokmas diawali dengan tawaran program kegiatan COREMAP II yang disampaikan oleh Fasilitator Lapangan kepada Ketua LPSTK. Adapun beberapa program kegiatan yang ditawarkan antara lain : budidaya kepiting bakau, usaha ternak itik, budidaya rumput laut, usaha penyulingan minyak nilam, pembuatan minyak kelapa (minyak manis), penangkapan ikan ramah lingkungan, pengembangan usaha kerajinan souvenir, dan kegiatan konservasi terumbu karang melalui pembuatan areal daerah konservasi laut.

Dari program yang ditawarkan oleh Fasilitator Lapangan, kemudian LPSTK mengumumkan program tersebut kepada warga dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan di Pondok Informasi pada akhir tahun 2006. Dalam pertemuan tersebut, Ketua LPSTK menyampaikan pemberitahuan kepada warga agar siapa yang berminat mengikuti program kegiatan COREMAP II segera membentuk pokmas dan mengajukan program yang diminati kepada LPSTK. Dalam pelaksanaannya pokmas tidak mendapatkan program kegiatan sesuai dengan yang diinginkan. Contoh : Pokmas ternak itik yang dipimpin oleh Lamaikere di Dusun Malibakbak, mengusulkan program kegiatan penyulingan minyak nilam, dengan pertimbangan teknik penyulingan dan bahan baku sudah tersedia, pemasarannya mudah, sehingga tidak akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kegiatannya. Di samping itu, tujuh orang anggota yang direkrut adalah berlatarbelakang sebagai petani pekebun yang sebagian besar waktunya banyak dihabiskan di kebun. Harapannya bila usulannya ini dikabulkan, pekerjaan ini bisa dilakukan sambil merawat kebun.

Saat usulan diajukan ke LPSTK, ternyata program kegiatan tersebut sudah diambil oleh pokmas lain, yang masih tersisa

Page 98: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

81

hanyalah program kegiatan usaha ternak itik. Dengan pertimbangan dari pada tidak memperoleh bantuan sama sekali, akhirnya program tersebut akhirnya diterima tanpa berfikir panjang tentang bagaimana usaha tersebut akan dijalankan. Sama dengan pokmas lainnya, mereka menentukan pilihan kegiatan hanya melihat besarnya dana yang akan diperoleh. Saat menerima pinjaman dana bergulir sama sekali tidak terlintas sedikitpun dalam benak mereka, bagaimana nantinya program kegiatan tersebut akan dijalankan? Resiko terburuk apa yang bakal dihadapi dan bagaimana mengantisipasinya? Pendek kata programpun diterima dengan penuh rasa suka cita. Sesungguhnya dari sejak awal bagi jajaran pihak yang terlibat dalam program kegiatan COREMAP II sudah bisa memprediksi bahwa kinerja pokmas tidak akan dapat berjalan baik, mengingat motivasi anggota pokmas mengikuti kegiatan hanya didorong semata-mata ingin mendapat bantuan material, dan bukan karena terdorong ingin mengembangkan usaha, para peserta umumnya minim keterampilan dan pengalaman berkaitan dengan bidang kegiatan yang akan dilakukan. Sisi lain pihak petugas yang terlibat dalam kegiatan ini, juga tidak memiliki kemampuan yang memadai. Satu-satunya pokmas yang kinerjanya bagus hanyalah Pokmas Usaha Ekonomi Produktif (UEP) pembuatan minyak kelapa. Uraian berikut akan menjelaskan secara lebih rinci kinerja masing-masing pokmas di Desa Saliguma.

Pokmas Usaha Ternak Itik, dibentuk pada tahun 2007, berkedudukan di Dusun Malibakbak, beranggotakan tujuh orang, dipimpin oleh Lamaikere. Bantuan dana bergulir telah diterima sebesar Rp 15.000.000. Uang tersebut masih harus dipotong sebesar Rp 1.500.000 sebagai jasa pengambilan uang di Bank Nagari Tua Pejat oleh LPSTK. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam community contract antara Pokmas dengan LPSTK, pinjaman tersebut sudah harus dilunasi dalam jangka waktu tiga tahun. Besar bunga pinjaman adalah 25 persen. Dengan bunga pinjaman sebesar itu memang terasa

Page 99: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

82

memberatkan pokmas. Oleh karena itu, hampir seluruh pokmas menyampaikan keberatannya kepada pengurus LPSTK. Permintaan pokmas untuk menurunkan bunga pinjaman dijawab oleh ketua LPSTK dengan mengatakan sudah menjadi keputusan DKP? Benarkah demikian? Pihak Motivator Desa yang diwawancarai pun tidak yakin kalau DKP menentukan bunga pinjaman sebesar itu. Lalu berapa sesungguhnya bunga pinjaman yang dikenakan kepada kelompok? Motivator Desa pun tidak mengetahui berapa persisnya (Wawancara dengan petugas Motivator Desa). Demikian juga Lamaikere selaku ketua kelompok juga tidak mengetahui berapa persen besar bunga pinjaman harus dibayar.

Semua uang bantuan pinjaman dana bergulir sudah dibelikan dalam bentuk barang, yakni sejumlah 85 ekor itik di Kota Padang, diantaranya 40 ekor itik dewasa, dan 45 ekor siap bertelor. Pada waktu itu, dari Padang juga sekaligus dibelikan cadangan pakan berupa dedak dan bekatul untuk jangka waktu tiga bulan. Sedangkan kandangnya dibuat sendiri oleh para anggota pokmas secara gotong royong. Selama tiga bulan itik masih hidup semua, namun belum ada yang bertelor. Setelah pakan ternak habis, pokmas kebingungan untuk mendapatkan pakan dedak dan bekatul mengingat Desa Saliguma bukan daerah tanaman padi. Atas inisiatif ketua pokmas dan anggotanya itik terpaksa diberi pakan sagu, sebab desa ini merupakan daerah tanaman sagu. Sejak saat itu pertumbuhan itik terganggu, makin kurus, dan lama-lama banyak yang mati. Menurut keterangan Lamaikere kematian itik ini karena pakan yang tidak cocok, dan bukan karena penyakit. Kalau terserang penyakit, biasanya itik akan mati mendadak.

Saat peneliti meninjau lokasi, itik yang tersisa tinggal 12 ekor yang dilepas di pekarangan. Dari sejumlah 12 ekor tersebut, hanya satu dua yang bertelor, itu pun tidak setiap hari. Menurut pengakuan Lamaikere, pokmas memang tidak

Page 100: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

83

menguasai teknik budidaya itik, dan usaha ini memang sama sekali tidak diinginkan. Hingga saat ini pokmas belum pernah sekali pun mengangsur pinjaman, karena usahanya gagal. Dari pihak LPSTK sendiri tidak pernah ada pengawasan dan penagihan. Demikian juga tidak ada pendampingan yang dilakukan oleh Fasilitator Desa, sehingga tidak ada tempat mengadukan kesulitan saat pokmas menghadapi masalah.

Pokmas Kepiting “Sibalukabae”, nama ini diambil dari bahasa Mentawai yang artinya delapan jari kepiting. Kepiting bakau lazim disebut dengan bahasa setempat “Laguk”. Pokmas ini dibentuk pada tahun 2006 atas kesepakatan enam orang anggota, dipimpin oleh Ancius. Pertimbangan pokmas memilih usaha budidaya kepiting karena harganya menjanjikan, harga per kilogramnya sekitar Rp 90.000,- sampai Rp 120.000,-. Pemasarannya mudah, lokasi budidaya cukup tersedia, demikian juga pakan alaminya (ikan tamban) mudah didapat. Sayangnya mengenai karakteristik kepiting, pola makan, media budidaya, dan teknik budidaya belum mereka ketahui. Aktivitas yang sering mereka lihat hanyalah penampungan kepiting yang dilakukan di desa ini oleh seorang pedagang penampung kepiting. Aktivitas inilah yang dipersepsikan sebagai usaha budidaya kepiting. Pada hal yang dimaksud dengan kegiatan budidaya kepiting pada program kegiatan COREMAP lain sama sekali, dan di luar kerangka pengetahuan yang selama ini mereka ketahui. Saat ini keberadaan kepiting bakau pun sudah terasa semakin langka. Saat penelitian ini dilakukan tidak satu pun peneliti menemukan kepiting. Di Desa Saliguma orang yang memiliki kepandaian mencari kepiting pun sangat terbatas, hanya ada empat orang, dua tergolong mahir, dan dua orang masih dalam taraf belajar.

Apa pun dalihnya, pokmas sudah dibentuk, bantuan sudah disalurkan sesuai dengan permintaannya. Pokmas pun mulai bekerja mempersiapkan media berupa dua lokasi budidaya, satu petak kolam di Dusun Matoimiang, dan satu petak

Page 101: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

84

kolam di Dusun Sikeibukat. Pekerjaan mempersiapkan media ini didampingi oleh tenaga ahli dari Universitas Riau (Unri), tetapi pekerjaan mempersiapkan media budidaya belum sempat selesai, mereka keburu habis masa kontrak kerjanya dan terpaksa meninggalkan Desa Saliguma. Sementara itu, tenaga pendamping (Fasilitator Desa) dari Yayasan Kirekat Tua Pejat tidak kunjung datang. Akhirnya pekerjaan mempersiapkan media budidaya pun dilanjutkan tanpa pendampingan hingga selesai.

Kegiatan tahap selanjutnya adalah pengadaan bibit yang didatangkan dari Daerah Serauso Siberut Selatan oleh Fasilitator Desa bersama pengurus LPSTK. Lokasi di Dusun Sikeibukat sudah dua tahap bibit didatangkan, tahap pertama sejumlah 40 ekor kepiting berat total lima kilogram, sampai di lokasi budidaya tinggal 33 ekor yang hidup dan utuh, sebagian yang sudah dalam keadaan cacat, seperti kaki-kakinya patah. Tahap kedua datang sebanyak 45 ekor seberat tujuh kilogram, semua dalam keadaan masih hidup meskipun banyak yang cacat. Harga per kilogram bibit kepiting bakau adalah Rp 15.000,-. Sesuai dengan perjanjian bibit akan diantar sampai di tempat dalam keadaan hidup tanpa cacat. Kenyataannya tidak demikian, dan Fasilitator Lapangan pun tidak mau tahu kondisi ini.

Sesampai di tempat, bibit kepiting segera dimasukkan dalam kolam, siang itu juga dikasih makan ikan tamban, tetapi kepiting tidak mau makan. Esok harinya kepiting mati satu persatu, karena saling memangsa. Beberapa hari kemudian baru diketahui bahwa pemberian makan kepiting harus dilakukan pada malam hari. Pengetahuan ini diperoleh dari petugas Pendamping Lapangan. Hingga saat penelitian ini dilakukan sisa kegiatan tinggal berupa tonggak-tonggak bambu/ pagar yang kondisinya sudah compang-camping.

Dari hasil pengamatan di lapangan, diketahui bahwa media kolam tidak sesuai dengan kondisi alami sebagaimana habitat kepiting. Adapun habitat kepiting aslinya terdiri dari

Page 102: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

85

gundukan-gundukan tanah dan pepohonan yang menyerupai pulau yang dikelilingi air, bukan seperti kolam yang dibuat pokmas kepiting selama ini. Keberadaan tanah dan pepohonan yang menyembul di antara perairan penting untuk memberi ruang gerak kepada kepiting berlari dan bersembunyi dari kejaran lawan. Dari pengakuan anggota pokmas yang diwawancarai, mengakui bahwa mereka tidak mengetahui sifat kanibal kepiting, tidak pula mengetahui bahwa pakan harus cukup, dan diberikan setiap saat agar kepiting tidak lapar. Bila kepiting lapar, maka akan memangsa kepiting lainnya. Kepiting juga harus dipelihara dengan ukuran besar yang sama, bila tidak kepiting yang kecil akan dimangsa oleh yang besar, sedang yang dilakukan selama ini dicampur dalam satu kolam.

Usaha budidaya kepiting dilakukan tanpa diberi pembekalan melalui pelatihan maupun pendampingan. Semua dana bergulir yang disalurkan sebesar Rp 12.600.000,- setelah dipotong jasa pengambilan uang di Bank Nagari oleh LPSTK. Masing-masing anggota menanggung beban hutang sebesar Rp 2.100.000,-. dan harus mengangsur sebesar Rp 150.000,- per bulan selama tiga tahun dengan bunga 25 persen. Karena usahanya gagal, maka pokmas tidak mau mengangsur pinjaman. Sementara itu dari pihak LPSTK sendiri tidak pernah melakukan pengawasan maupun penagihan. Demikian juga petugas Fasilitator Lapangan tidak pernah melakukan pendampingan. Kendatipun demikian, tidak pernah ada sanksi apa pun atas terjadinya kredit macet ini.

Pokmas Rumput Laut, dibentuk pada tahun 2008, berjumlah lima pokmas, masing-masing pokmas beranggotakan enam orang. Dari ke lima pokmas tersebut, hanya dua pokmas yang masih diingat namanya oleh Saul Sabangan, yakni Pokmas Edi Eskabe dan Eru Baga yang artinya saling percaya. Saul Sabanga sendiri menjadi Ketua Pokmas Edi Eskabe. Untuk melaksanakan program budidaya rumput laut, dua orang dari ke

Page 103: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

86

dua pokmas itu, telah dikirim ke Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung (BBPBL) salah satu diantaranya adalah Saul Sabanga sendiri untuk mengikuti pelatihan budidaya rumput laut dan melakukan studi banding ke beberapa tempat di Lampung selama 21 hari (Juli 2009).

Sekembalinya dari mengikuti pelatihan tersebut, Saul Sabanga langsung mensosialisasikan pengetahuan dan keterampilan budidaya rumput laut yang baru saja diperoleh kepada warga Desa Saliguma, utamanya kepada lima pokmas rumput laut yang sudah dibentuk. Kegiatan sosialisasi ini dilakukan berkali-kali di Pondok Informasi, disampaikan secara lisan, sambil menunjukkan beberapa lembar diktat panduan budidaya rumput laut yang ia peroleh dari materi pelatihan di Lampung.

Setelah tahap sosialisasi dalam bentuk lisan dipandang cukup, bersamaan dengan turunnya pinjaman dana bergulir November 2009, segera ditindaklanjuti dengan praktik pembuatan media budidaya rumput laut di perairan pantai Teluk Saliguma yang diikuti langsung oleh ke lima pokmas. Tidak lama pekerjaan membuat media budidaya rumput laut dengan sistem keramba dapat diselesaikan. Beberapa bahan material yang dibutuhkan meliputi : waring, tali plastik, bambuk kayu papan, kayu balok, jerigen, dan jangkar.

Besarnya dana bergulir yang dikucurkan untuk masing-masing kelompok sebesar Rp 14.000.000 dan diterima bersih sebesar Rp 12.600.000 setelah dipotong 10 persen untuk biaya pencairan uang di Bank Nagari oleh LPSTK. Uang sebesar itu telah dibelanjakan sebesar Rp 5.000.000. untuk membeli bahan material media keramba budidaya rumput laut untuk masing-masing pokmas. Uang yang tersisa masing-masing pokmas sebesar Rp 7.000.000. Sisa dana tersebut dicadangkan untuk beli bibit rumput laut.

Page 104: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

87

Agar dapat segera mengisi media tersebut, ke lima pokmas bersepakat untuk mengirimkan dua orang wakil masing-masing pokmas mencari bibit rumput laut di Tua Pejat. Selama satu minggu mereka mondar-mandir ke kantor DKP untuk menemui petugas yang bersedia melakukan pengadaan bibit rumput laut. Oleh petugas DKP disanggupi kalau pengadaan bibit mencapai 10 ton, harganya pun belum diketahui. Selama satu minggu mereka menunggu keputusan DKP, namun tidak kunjung ada keputusan, sementara uang sudah semakin habis untuk sewa hotel, makan, dan biaya mondar-mandir. Akhirnya usaha budidaya rumput laut tidak jadi dilakukan. Saat penelitian ini dilakukan, tidak satupun keramba sebagai tempat budidaya rumput laut yang dapat dilihat bekasnya, ke mana raibnya ke lima unit keramba tersebut tidak diketahui jejaknya.

Pokmas Pengolahan Minyak Nilam, berjumlah empat kelompok, satu pokmas di Dusun Sikaibukat diketuai oleh Imsal, dua pokmas di Dusun Malibakbak yang masing-masing diketuai oleh Justinus dan Nurkata, dan satu pokmas di Dusun Gotab diketuai oleh Amakere. Masing-masing pokmas beranggotakan lima orang. Lima pokmas ini dibentuk pada tahun 2007. Saat itu bahan baku cukup tersedia dan harganya sangat menjanjikan per kilogram Rp 1.000.000 — Rp 12.000.000. Kini harganya turun drastis per kilogramnya hanya Rp 250.000 — Rp 300.000.

Dari empat pokmas yang ada hanya Pokmas Tawalelo di Dusun Sikeibukat yang bisa digali informasinya, yakni dari Matias, sedang pokmas yang lain tidak dapat dijumpai karena kesibukannya di kebun. Jumlah dana bergulir yang diterima masing-masing pokmas Rp 4.000.000. Dari uang sebesar itu Rp 1000.000 sudah diambil oleh satu orang anggota, dan satu orang anggota lagi ke luar tanpa mendapat bagian uang. Keduanya menyatakan ke luar dari keanggotaan pokmas, oleh karena dana bergulir yang diterimanya terlalu kecil. Agar lebih leluasa untuk mengelolanya, sisa dana sebesar Rp 3.000.000 pengelolaannya

Page 105: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

88

diserahkan kepada salah satu anggota, yakni Yustinus. Hampir selama satu tahun usaha penyulingan minyak nilam dilakukan. Pada tahun 2008, tanaman nilam terserang hama busuk batang yang menghancurkan seluruh tanaman nilam yang ada di Desa Saliguma. Akibatnya usaha penyulingan minyak nilam terhenti. Ke tiga pokmas penyulingan minyak nilam yang lain tidak diketahui bagaimana kelanjutan usahanya, apakah berganti dengan usaha lain, atau ditutup untuk sementara waktu sambil menunggu saatnya tanaman nilam pulih kembali.

Sementara itu modal yang tersisa oleh Yustinus dialihkan untuk menambah modal usahanya membuka warung kelontong. Usaha warung kelontong ini masih bertahan sampai sekarang. Hingga saat penelitian ini dilakukan, ke empat pokmas pengolahan minyak nilam belum pernah mengangsur pinjamannya. Menurut pengakuan Matias, seandainya saat harga minyak nilam mencapai Rp 1.000.000 per kilogram, LPSTK mau menagih pinjaman, pokmas tidak akan merasa keberatan. Namun dalam kondisi seperti sekarang ini, pokmas merasa keberatan karena usaha penyulingan minyak nilam sudah terhenti, dan hampir seluruh tanaman nilam di Desa Saliguma sudah musnah.

Pokmas Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Pokmas ini berkedudukan di Dusun Sikeibukat, beranggotakan 10 orang. Sumber informasi dari kegiatan pokmas ini digali dari Pioner Salabow salah satu anggota pokmas. Pokmas ini dibentuk pada tahun 2008. Pinjaman dana bergulir sebesar Rp 30.000.000, masing-masing anggota mendapat Rp 3.000.000 dan terima bersih Rp 2.700.000. Uang sebesar itu telah dibelikan mesin pompong merek Yamamoto seharga Rp 2.270.000 pada bulan Juni 2008. Sisanya dibelikan alat tangkap pancing dan jaring. Dari sejumlah 10 mesin robin tersebut, satu unit sudah tidak dapat dioperasikan karena rusak berat, yakni patah as-nya, dan satu unit lagi putus stang sekhernya, dan sebagian yang lain masih dapat dioperasikan. Menurut Pioner Salabow, mesin

Page 106: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

89

Yamamoto termasuk kualitas rendah, menurutnya yang bagus merek Honda atau Mitsubishi.

Hampir seluruh anggota pokmas penangkapan ramah lingkungan mengeluh karena hasil tangkapnya tidak dapat untuk menutupi biaya operasional. Keberadaan ikan sudah terasa semakin langka dan sulit dicari. Kendatipun mereka sudah menangkap ikan sampai ke tengah laut, tetap tidak mendapat hasil tangkapan yang memadai. Dalam sekali melaut menghabiskan bahan bakar premium sebesar lima liter, harga per liter Rp 8000. Jumlah ikan yang didapat sekitar tiga sampai lima ikat, harga per ikat Rp 10.000. Usaha penangkapan ikan ini selalu merugi, oleh karena itu biasanya hanya sekedar untuk dapat dikonsumsi sendiri. Kondisi usaha yang demikian, membuat para anggota pokmas tersebut tidak dapat mengembalikan pinjaman/ mengangsur.

Pokmas Kerajinan Souvenir, pokmas ini beranggotakan tiga orang, diketuai oleh Suhada. Untuk mengembangkan usaha ini Suhada sudah dibekali dengan pelatihan keterampilan, yaitu mengukir bahan-bahan souvenir selama dua minggu di Kota Situbondo Jawa Timur, tahun 2007. Sekembali dari mengikuti pelatihan, ia segera membangun bangunan “Pondok Promosi”, berupa rumah panggung berukuran 12 m2 (3m x 4m) untuk memajang hasil ukirannya. Adapun beberapa barang produk hasil kerajinan antara lain berupa : replika perahu dayung, quraibi (perisai), panah, dayung, dan tombak. Motif ukirannya seperti binatang monyet, burung, dan batik Mentawai. Alat ukirnya berupa: pisau (baluqui), pahat, dan paku yang dipipihkan.

Pinjaman dana bergulir sudah disalurkan sebesar Rp 3.000.000 pada tahun 2007. Kegiatan ini terhenti karena tidak ada tempat pemasarannya. Di Desa Saliguma tidak pernah ada wisatawan yang berkunjung, demikian juga masyarakat setempat tidak ada yang berminat. Bagi masyarakat Saliguma uang yang

Page 107: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

90

didapat lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama pangan ketimbang untuk membeli barang souvenir.

Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa kegiatan pokmas tidak dapat berjalan secara optimal, hampir semuanya tidak berkelanjutan. Satu-satunya kegiatan usaha yang masih eksis hanyalah pembuatan minyak kelapa. Mereka yang tergabung dalam usaha pembuatan minyak kelapa ini memiliki etikat baik untuk mengembalikan pinjaman dana bergulir. Terhentinya angsuran di tengah jalan karena tidak pernah ditagih lagi. Mereka juga terpengaruh oleh pokmas-pokmas yang lain yang menerima pinjaman dana bergulir yang jauh lebih besar, malah tidak pernah mengangsur pinjaman. Sedangkan pihak LPSTK tidak bertindak tegas dengan memberi sanksi sesuai dengan kontrak perjanjian yang sudah ditandatangani.

Menurut informasi dari Motivator Desa (MD), seluruh pokmas mengetahui bahwa pinjaman dana bergulir harus dikembalikan dalam jangka waktu tiga tahun. Bila pokmas tidak mengembalikan pinjaman, maka akan dikenakan sanksi berupa penyitaan barang perabotan rumah tangga yang nilainya ditaksir sama dengan besar pinjaman. Ketentuan ini dimuat dalam community contract yang ditanda tangani oleh masing-masing ketua pokmas dengan LPSTK. Kendatipun demikian, dalam realitasnya pihak LPSTK sendiri tidak melakukan penagihan. Sementara itu di kalangan masyarakat sendiri masih kuat adanya anggapan bahwa bantuan tersebut berasal dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan.

• Kegiatan sosialisasi dan pelatihan

Sudah diketahui bahwa keberhasilan suatu program kegiatan sangat ditentukan oleh seberapa besar kekuatan menanam (internalized), diketahuinya melalui proses berfikir

Page 108: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

91

(coqnition), terbangunnya proses kesadaran sampai pada terbangunnya motivasi untuk bertindak (action) mempraktikkan apa yang sudah dipahaminya.yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Proses tersebut lazim disebut sebagai proses sosialisasi. Dengan komunikasi ide-ide baru dan informasi-informasi baru akan dapat mengubah penilaian masyarakat tentang beberapa hal yang selama ini telah dilakukan masyarakat, yang selanjutnya akan mengubah tindakannya secara sadar kearah tindakan yang baru. Kegiatan sosialisasi yang berhasil akan mendorong seseorang atau warga suatu komunitas melaksanakan kegiatan sesuai dengan apa yang telah diketahui dan dipahaminya (Irving Horwitz, 1972, 491 dan Jefta Leibo, 1990, 70 — 71).

Kegiatan sosialisasi dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain penyampaian suatu pesan dari mulut ke mulut, penyiaran melalui berbagai media massa, pendidikan, penyebaran pamflet, dan memasang papan-papan pengumuman billboard agar orang mudah mengetahui pesan program kegiatan serta sasaran yang ingin dicapainya. Media mana yang paling efektif untuk digunakan, tergantung dari kondisi masyarakat. Di Desa Saibi Samukop sosialisasi program COREMAP II secara visual dilakukan tidak optimal, jejak-jejak kegiatannya tidak tampak. Tidak satupun ditemukan papan-papan pengumuman larangan pengambilan terumbu karang, atau yang memuat gambar-gambar ekosistem terumbu karang yang menarik.

Program kegiatan COREMAP II diketahui oleh warga melalui kunjungan petugas fasilitator lapangan yang dilakukan dari rumah ke rumah. Melalui kunjungan tersebut petugas fasilitator lapangan menawarkan program kegiatan COREMAP II sambil pada saat yang sama melakukan sosialisasi. Kendatipun kegiatan sosialisasi hanya dilakukan melalui kunjungan dari rumah - ke rumah, tetapi hasilnya terasa lebih efektif. Hal ini tampak pada pengakuan responden yang diwawancarai bahwa sebagian besar responden mengetahui program-program kegiatan

Page 109: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

92

yang dilakukan COREMAP. Berbeda halnya yang dilakukan di Desa Saliguma, yang tampaknya dalam melakukan sosialisasi cenderung lebih mengandalkan media visual, seperti pemasangan papan-papan pengumuman, pembuatan peta lokasi kegiatan, penyebaran pamlet, pemasangan poster dan gambar-gambar ekosistem terumbu karang yang diselingi dengan pesan pentingnya penyelamatan terumbu karang buat kelangsungan hidup. Penyampaian program kegiatan COREMAP II juga dilakukan dengan mengundang orang untuk datang ke Pondok Informasi, sehingga orang yang berhalangan hadir karena sedang pergi ke kebun misalnya tidak memiliki informasi yang cukup menyangkut program kegiatan COREMAP yang akan dilakukan. Cara demikian terasa kurang efektif. Hal ini tampak pada tingkat pengetahuan responden yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki masyarakat Desa Saibi Samukop. (Lihat uraian dalam subbab Partisipasi Masyarakat Terhadap Program Kegiatan COREMAP II). Hal ini membuktikan bahwa sosialisasi program kegiatan dengan cara tatap muka akan terasa lebih efektif dilakukan pada masyarakat desa. Cara demikian mensyaratkan kehadiran para pihak yang terlibat dalam program kegiatan COREMAP II harus berada di tengah-tengah masyarakat.

Kegiatan sosialisasi juga bisa dilakukan bersamaan dengan kegiatan pelatihan. Di Desa Saibi Samukop kegiatan pelatihan penyelamatan terumbu karang diberikan kepada Pokmaswas. Adapun pelatihannya meliputi : cara melakukan penyelaman, cara mengoperasikan perahu pompong, membaca peta, membaca GPS, keterampilan melakukan pemberkasan, membuat rumpon, melakukan pemantauan kondisi terumbu karang, melakukan patroli laut, dan menangkap pelaku pelanggaran di laut. Kegiatan pelatihan ini dilakukan pada tahun 2007 selama dua hari, satu hari di Kantor Desa Saibi Samukop, dan satu hari praktik langsung di perairan Tanusa. Adapun beberapa instansi pemerintah yang terlibat meliputi Kepolisian

Page 110: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

93

setempat, Kepala Desa, DKP Kabupaten Kepulauan Mentawai, Dinas Perhubungan, dan TNI AL (Kamla).

Kendatipun sosialisasi telah dilakukan, kegiatan pelatihan penyelamatan terumbu karang telah diberikan, aktivitas pengawasan jarang dilakukan. Alasannya biaya operasional terlalu tinggi, pokmas tidak dibekali dengan surat tugas dari instansi terkait, sehingga dengan baju seragam Pokmaswas saja dirasa tidak cukup. Selama ini kegiatan pengawasan cukup dilakukan oleh masyarakat saja, sambil pulang pergi ke pasar Muara Siberut, mengingat lokasi DPL berada di perlintasan jalur pelayaran dari dan ke pasar Muara Siberut.

Di Desa Saliguma jejak-jejak kegiatan sosialisasi masih tampak, seperti dua papan billboard yang memuat lokasi Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai (KKLD) dan Peta Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Saliguma. Dalam peta tersebut terselip tulisan berwarna merah mencolok yang kalimatnya berbunyi “pentingnya upaya pelestarian terumbu karang karena itu dilarang untuk melakukan aktivitas penangkapan di kawasan perairan yang dikonservasi”. Dua peta ini dipasang di depan Pondok Informasi. Papan pengumuman yang lain terletak di sebelah timur rumah Kepala Desa yang baru periode (2009 — 2014), tepatnya didermaga Desa Saliguma tempat nelayan setempat berlabuh. Papan pengumuman di tempat ini memuat gambar ekosistem terumbu karang lengkap dengan ikan dan tumbuhan yang mengelilinginya. Di samping sebelah kanan papan tersebut bertuliskan “kita lestarikan terumbu karang untuk anak cucu”. Gambar tersebut tampak sudah buram, dan kurang terpelihara, menunjukkan bahwa kegiatan sosialisasi hanya dilakukan pada saat-saat awal program kegiatan COREMAP II mau diluncurkan.

Tulisan yang memuat pelarangan aktivitas penangkapan pada lokasi yang dikonservasi tersebut mengesankan bahwa program penyelamatan terumbu karang melalui kegiatan

Page 111: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

94

COREMAP II hanya berisi larangan-larangan, sehingga dianggap telah mempersempit ruang gerak nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar. Menurut pengakuan petugas Motivator Desa, sekalipun sosialisasi pentingnya upaya pelestarian terumbu karang sudah dilakukan dengan berbagai cara, tetapi masih ada saja tanggapan negatif masyarakat. Bahkan masih ada juga orang yang melakukan aktivitas penambangan pasir laut dan terumbu karang. Lebih menyedihkan lagi mereka melakukan hal itu tanpa merasa bersalah (Wawancara dengan petugas Motivator).

Sebagai petugas Motivator Desa, dia sendiri sudah melaksanakan tugas yang menjadi tanggungjawabnya, antara lain: memotivasi pokmas, menjadi penghubung antara pokmas dengan LPSTK, dan memfasilitasi kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh petugas Fasilitator Lapangan. Tugas lain yang pernah sering dilakukan adalah memberikan pelatihan kepada jajaran pengurus LPSTK mengenai pembukuan keuangan, teknik pembuatan laporan kegiatan pokmas yang harus disampaikan kepada PIU, dan kepada pokmas mengenai cara pembuatan pelaporan kegiatan dan pembukuan keuangan pokmas. Menurut pengakuannya, sesungguhnya sudah banyak kegiatan diberikan kepada masyarakat maupun pokmas, antara laian seperti : pelatihan tentang pemantauan terumbu karang di Tua Pejat selama tiga hari pada tahun 2008, materinya meliputi pengenalan aneka jenis ikan karang, mengidentifikasi jenis-jenis ikan yang dapat dikonsumsi dan produksinya, dan cara-cara penyelamatan terumbu karang. Bertindak sebagai pelatihnya adalah Tim CRITIC dari DKP Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pelatihan tentang manajemen keuangan pokmas maupun LPSTK yang dilakukan oleh tenaga ahli dari CV. Latifa Prima dari Padang tahun 2008. Pelatihan cara penangkapan ikan hias yang ramah lingkungan dengan alat tangkap jaring dan tangguk, dilakukan oleh CV. Minang Bahari dari Padang. Khusus kepada pokmas juga telah diberikan pelatihan pemantauan terumbu

Page 112: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

95

karang yang dilakukan oleh DKP, LSM Kirekat, dan Centre for Social and Economic Research (CSER) di Padang dan Batam. Pelatihan budidaya rumput laut di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung selama 21 hari pada bulan Juli 2009.

Kendatipun demikian dari setiap informan yang diwawancarai dan pada setiap akhir wawancara selalu dimintai pendapat mengatakan bahwa tidak optimalnya program kegiatan COREMAP II adalah kurangnya pendampingan, kurangnya pelatihan yang diberikan oleh pihak yang terlibat dalam program penyelamatan terumbu karang ini. Di sisi lain rendahnya kemampuan menyerap materi pelatihan pada masyarakat, terbatasnya wawasan, kurangnya informasi, rendahnya tingkat keterampilan dan pendidikan merupakan kendala internal yang dihadapi dalam mengimplementasikan program kegiatan COREMAP II.

Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa introduksi program kegiatan COREMAP II adalah sarat dengan muatan ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam pengelolaan sumberdaya laut yang berkelanjutan. Selain itu sifat program tersebut juga sangat padat modal. Secara sosiologis proses alih pengetahuan dan teknologi pada masyarakat perdesaan yang belum berkembang akan terkendala oleh rendahnya keterampilan dan pendidikan masyarakat, terbatasnya wawasan masyarakat dan rendahnya tingkat kemampuan ekonomi masyarakat. Pada masyarakat yang demikian sulit diminta untuk melakukan uji coba cara-cara baru, karena bila usaha ini gagal resikonya akan menenggelamkan ekonomi rumah tangga. Ini juga akan dirasakan sebagai tekanan yang begitu berat bagi kelangsungan hidup keluarga (Soejito Sosrodihardjo, 1987, 100-101). Secara sosial budaya masyarakat nelayan yang pada umumnya masih dalam taraf kehidupan berburu meramu sulit untuk diminta melakukan lompatan peradaban menuju

Page 113: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

96

masyarakat yang mampu menghargai pentingnya tahapan-tahapan proses produksi, seperti halnya pada masyarakat yang sudah mengenal teknik produksi. Lebih lanjut Rogers and Burge (1972, 353-354) menyatakan bahwa inovasi teknologi baru akan diterima kalau ada kesesuaian dengan tingkah laku dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Menyangkut tingkat kompleksitas dari inovasi baru, dikatakan bahwa jika inovasi itu terlalu rumit dan orang perlu mempelajari prosedur-prosedur baru yang terlalu banyak, maka kemungkinan besar inovasi baru tersebut akan ditolak. Contoh kongkrit penolakan inovasi baru adalah pembaharuan bidang kesehatan dengan membangun WC. Bangunan tersebut tidak dimanfaatkan, karena tidak sesuai dengan pola perilaku sehari-hari masyarakat dalam membuang hajat besar.

Jalan menuju transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat yang demikian hanya dimungkinkan melalui cara peniruan atau imitation. Pembuatan pilot project atau demplot tampaknya merupakan pilihan yang paling realistik. Kelemahan lainnya adalah banyaknya program kegiatan yang dilakukan, sehingga sulit dalam pengelolaannya. Dalam kaitannya dengan pengenalan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) masing-masing item kegiatan perlu dilakukan studi kelayakannya secara holistik, bergerak dari hulu ke hilir. Tiga aspek utama yang harus dilihat adalah menyangkut kesesuaian ekologis, ekonomis, dan kesiapan sumberdaya manusia baik pada masyarakat sebagai sasaran binaan maupun para pihak yang terlibat dalam penerapan program kegiatan COREMAP II.

• Kegiatan Pokmaswas

Di Desa Saibi Samukop Pokmaswas dibentuk pada tahun 2007 melalui penunjukkan langsung oleh Kepala Desa yang lama ( 2004-2009). Kelompok ini beranggotakan delapan orang, dipimpin oleh Kisman yang secara kebetulan masih adik kandung

Page 114: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

97

Kepala Desa sendiri. Bantuan peralatan kerja berupa satu unit perahu lengkap dengan mesinnya merek Yamaha 40 PK telah diberikan pada bulan Juni 2008, ditambah dengan biaya operasional sebesar Rp 12.000.000. Dana yang diterima bersih sebesar Rp 9.000.000, dipotong dengan uang jasa pengambilan uang di Bank Nagari Tua Pejat oleh LPSTK. Pembekalan keterampilan menyangkut bidang kerjanya juga sudah diberikan oleh sejumlah instansi terkait. Kendatipun demikian, Pokmaswas ini belum melaksanakan tugas sebagaimana yang diharapkan. Beberapa alasan yang dikemukakan karena pokmas tidak dibekali surat penugasan dan biaya operasional.

Sementara itu ancaman kerusakan terumbu karang masih tetap berlangsung, kendatipun frekuensinya sudah semakin menurun. Ancaman tersebut berupa praktik penangkapan ikan hias dan gurita yang diduga menggunakan potasium. Pelakunya adalah nelayan dari luar, yang diduga berasal dari Sibolga. Praktik penangkapan ikan hias ini pernah dicoba untuk dihentikan oleh Pokmaswas, tetapi pihak pelanggar justru menggertak balik menanyakan surat penugasan yang dimiliki Pokmaswas. Karena pihak Pokmaswas tidak memiliki surat tugas, maka praktik illegal fishing yang bersifat destruktif gagal untuk dilakukan penangkapan.

Dari pihak masyarakat setempat sendiri, penentuan lokasi DPL telah dianggap membatasi berbagai aktivitas kenelayanan di perairan ini. Penentuan lokasi DPL ini dilakukan secara sepihak oleh Kepala Desa yang lama bersama Fasilitator Desa tanpa terlebih dahulu memusyawarahkan dengan masyarakat. Sebelumnya memang telah dilakukan pengkajian terlebih dahulu yang dilakukan oleh pihak Universitas Bung Hatta dari Padang. Laporannya tertuang di dalam buku Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) Desa Saibi Samukop, tahun 2006. Pihak jajaran pengurus LPSTK sendiri tidak mengetahui seperti apa isi buku RPTK tersebut, karena memang tidak ada di Pondok

Page 115: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

98

Informasi. Saat peneliti dari Universitas Bung Hatta melakukan penelitian, memang masyarakat pernah ditanya mengenai potensi laut dan kodisi terumbu karang di sekitar Desa Saibi Sumakop, tetapi tidak mengetahui untuk apa penelitian tersebut dilakukan.

Berapa luas lokasi perairan DPL dan bagaimana status wilayah perairan tersebut, jajaran pengurus LPSTK tidak mengetahuinya. Menurut hasil pengamatan , lokasi DPL berjarak kurang lebih tiga mill laut di sebelah tenggara Desa Saibi Samukop. Jarak tempuh ke lokasi tersebut kurang lebih 15 menit menggunakan perahu pompong berkekuatan lima PK. Lokasi perairan tersebut berupa perairan terbuka dengan kedalaman laut sekitar lima meter sampai 15 m, yang di dasarnya berupa tebaran terumbu karang dan lorong-lorong terumbu karang (gosong) rumah ikan. Pada tepi pantai sebelah barat terdapat hamparan luas tanaman mangrove. Di lokasi perairan ini konsentrasi penangkapan dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan pancing dan jaring, yang dioperasikan dengan menggunakan perahu dayung.

Lokasi DPL yang oleh masyarakat setempat lazim disebut Tanusa, pembuatan batas zonasinya dilakukan pada tahun 2007, kini batas zonasi tersebut sudah hilang. Belakangan lokasi tersebut mendapat klaim wilayah oleh Suku Sabetiliakek yang tidak bisa menerima lokasi tersebut ditetapkan sebagai lokasi DPL, yang sebelumnya penetapan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dari suku tersebut. Pada saat yang sama, masyarakat sendiri memahami bahwa kegiatan konservasi laut yang dilakukan melalui penerapan program kegiatan COREMAP II hanya berisi sejumlah larangan, tanpa memberi petunjuk aktivitas apa saja yang diperbolehkan untuk dilakukan di wilayah perairan tersebut. Hilangnya batas zonasi juga menimbulkan keraguan nelayan di mana aktivitas penangkapan yang boleh dan di mana yang tidak boleh.

Page 116: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

99

Adanya perasaan bahwa program kegiatan COREMAP II telah mempersempit ruang gerak nelayan untuk mencari nafkah, merupakan ancaman internal terhadap keberadaan lokasi DPL. Salah satu hal yang tampak dari ancaman tersebut adalah hilangnya batas-batas zonasi yang hingga penelitian ini dilakukan belum diketahui siapa pelakunya. Hal ini mengindikasikan ketidaktepatan informasi mengenai program konservasi dan sekaligus menunjukkan lemahnya pengawasan.

Lalu bagaimana dengan yang terjadi di Desa Saliguma? Menurut informasi Ketua Pokmaswas, lokasi DPL tumpang tindih dengan lokasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Data yang tercantum pada Peta Kawasan Konservasi Laut Daerah mencatat luas KKLD 108,66 ha, berada pada perairan pantai Kecamatan Siberut Tengah, tepatnya berlokasi di sekitar P. Panjang di Desa Saibi Samukop dan P. Bugai di Desa Saliguma. Lokasi yang lain berada di perairan Siberut Selatan, tepatnya berada di perairan Desa Katurai, sekitar P. Babuk. P. Siloinak, P. Nyang-Nyang. P. Mainu,, P. Badik dan P. Karang Majad. Kawasan konservasi tersebut telah ditetapkan melalui SK Bupati No: 178, Tahun 2006.

Di dalam lokasi KKLD tersebut terdapat lokasi DPL Desa Saliguma seluas 50,532 ha, yang telah ditetapkan melalui SK Desa Saliguma pada tahun 2006. Pada tahun 2006, Kepala Desa yang lama bersama dengan Fasilitator Lapangan telah memasang batas-batas lokasi DPL dan memasang papan pengumuman yang isinya melarang segala aktivitas kenelayanan dilakukan di wilayah perairan tersebut. Tidak lama kemudian, tanda batas kawasan perairan DPL dan papan namanya hilang dan hingga saat ini belum diketahui siapa pelakunya.

Setelah peristiwa pencurian tanda batas dan papan nama tersebut, barulah kemudian dibentuk Pokmaswas pada tahun 2008, beranggotakan enam orang, diketuai oleh Matias. Tujuan pembentukan Pokmaswas ini salah satunya adalah untuk

Page 117: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

100

mengamankan kawasan perairan DPL. Dengan terbentuknya Pokmaswas ini berarti ada dua Pokmaswas di Desa Saliguma, yakni Pokmaswas KKLD yang diketuai oleh Jubir. Kendatipun tugasnya sama yakni mengawasi kawasan konservasi, namun keduanya tidak ada kerja sama, dan dalam kenyataannya dua Pokmaswas ini memang tidak aktif melakukan pengawasan.

Untuk menunjang bekerjanya Pokmaswas di Desa Saliguma, telah diberikan bantuan peralatan kerja berupa satu unit perahu pompong pada tahun 2007. Perahu tersebut sempat dioperasikan selama dua bulan, kemudian rusak dan diperbaiki di Muara Siberut, namun tidak kunjung selesai. Sebagai penggantinya tahun 2009 awal didatangkan lagi perahu pompong baru berukuran besar, panjang bodi 12 meter, tinggi haluan sekitar tiga meter, dan tinggi buritan sekitar 1,5 meter, dan lebar bodi sekitar dua meter, berkekuatan mesin dongfeng 23 PK. Perahu tersebut berwarna biru laut pada bagian lambung bawah, dan berwarna putih pada bagian bodi atas, pada bagian depan berlogo DKP dan COREMAP. Warna perahu tersebut sudah pudar dan tampak kusam. Mesin dan baling-balingnya sudah memerah dimakan karat. Perahu tersebut dari sejak tiba di Desa Saliguma sampai saat penelitian ini dilakukan dalam kondisi rusak berat terdampar di pantai dan mesinnya terendam air laut.

Tidak aktifnya Pokmaswas selain ketiadaan peralatan kerja juga disebabkan oleh rasa kecewa, karena Pokmaswas ini ingin mendapatkan bantuan program budidaya teripang. Namun mereka ditolak oleh LPSTK dengan alasan mereka sudah tergabung dalam Pokmaswas. Praktis sejak dibentuk hingga penelitian ini dilakukan Pokmaswas belum menjalankan tugasnya.

Sementara itu, aktivitas perusakan terumbu karang masih terus berlangsung. Pelaku perusakan tersebut dilakukan baik oleh orang luar maupun oleh nelayan setempat sendiri. Praktik

Page 118: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

101

penangkapan ikan yang bersifat destruktif, yakni penangkapan ikan hias, tripang, lobster, dan ikan kerapu yang diduga dilakukan dengan menggunakan racun potasium. Pada masyarakat nelayan Desa Saliguma masih terdapat seorang pedagang penampung yang melakukan pencarian teripang dengan menggunakan kompresor di lokasi perairan sekitar P. Bugai dan P. Tigo. Pencarian teripang hanyalah sebagai kamuflase untuk mengelabuhi masyarakat dan petugas. Dalam kenyataannya hasil tangkapannya berupa ikan kerapu, lobster, teripang dan gurita. Penggunaan alat kompresor ini telah melibatkan sejumlah 20 orang tenaga kerja. Kuat dugaan bahwa, pengoperasian kompresor tersebut dilakukan dengan menggunakan potasium. Dari pengamatan di sekitar lokasi DPL terdapat dua unit keramba jaring apung yang dilengkapi dengan bangunan pondok, drum-drum biru berisi air tawar, tetapi tidak diketahui siapa nama pemiliknya. Sejumlah informan yang diwawancarai juga tidak tahu pastinya nama pemilik jaring apung tersebut. Dua keramba tersebut selama ini digunakan untuk menampung hasil tangkapan ikan nelayan setempat.

Selain dua kompresor tersebut, juga masih ditemukan aktivitas penambangan pasir dan terumbu karang, juga pengambilan bia lola/kima yang melibatkan sekitar 10 orang nelayan perempuan dengan menggunakan cara-cara yang merusak lingkungan. Onggokan batu karang yang tampaknya baru didaratkan dari laut menumpuk persis di sebelah Rumah Kepala Desa. Dengan santainya pelaku penambang batu karang tersebut bolak-balik mengangkut tumpukan batu karang melintasi jalan kampung menuju rumah tinggalnya. Pemandangan ini seolah mendemonstrasikan sebuah bentuk resistensi secara terbuka terhadap program penyelamatan terumbu karang. Pada hal di atas tumpukan batu karang terdapat billboard besar berukuran 3 m x 2 m. yang memuat gambar ekosistem terumbu karang yang menyelipkan kalimat ajakan “Kita lestarikan terumbu karang buat anak cucu”. Kendatipun

Page 119: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

102

demikian, tidak tertutup kemungkinan orang tersebut memang tidak bermaksud mengabaikan program penyelamatan terumbu karang, mungkin juga memang belum memahami maksud dan tujuan program penyelamatan terumbu karang.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki Pokmaswas maupun petugas keamanan laut dari tingkat kabupaten, berakibat kurang optimalnya kegiatan pengawasan dilakukan. Sementara itu, pada saat yang sama aktivitas eksploitasi sumberdaya laut yang bersifat destruktif masih terus berlangsung.

• Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

Di Desa Saibi Samukop kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dilakukan oleh Pokmas Wanita (Pokmas Jender) yang beranggotakan 10 orang. Dana yang disalurkan sebesar Rp 20.000.000 pada tahun 2007. Dana sebesar itu digunakan untuk pengadaan bangunan warung seluas 12 m2. Bangunan tersebut berlantai plester semen, berdinding papan, dan beratap daun nipah (tobat). Terdapat dua ruang, bagian depan berupa teras, dan ruang utama tempat barang-barang dijual. Tapak bangunan menempati tanah kantor desa, diapit dengan rumah Kepala Desa Lama.

Saat penelitian dilakukan, tim peneliti menemukan bahwa warung pesisir yang menjual sembako (beras, super mie, minyak kelapa, gula, garam, aneka minuman dan makanan jajanan anak-anak, sabun, minyak tanah, rokok, dan lain-lain), telah berubah menjadi perpustakaan desa (taman bacaan). Informasi yang disampaikan oleh Sekretaris LPSTK mengatakan bahwa kegiatan warung pesisir hanya berjalan satu tahun. Kesalahan manajemen di satu pihak dan sikap konsumen yang tidak mendukung kelangsungan usaha, telah mengakibatkan bangkrutnya usaha warung pesisir.

Page 120: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

103

Kesalahan manajemen yang dilakukan meliputi : (1) Tidak melakukan pembukuan menyangkut harga beli barang dan harga jual barang, serta tidak mencatat besarnya omset per hari, sehingga pokmas tidak dapat mengetahui kondisi usahanya untung atau merugi; (2) Pokmas lalai menghitung biaya transportasi yang dikeluarkan untuk belanja barang di Pasar Muara Siberut, yang biayanya cukup besar sekitar Rp 400.000. dalam satu kali jalan, belum termasuk biaya makan; (3) Pokmas juga tidak memiliki relasi tempat berbelanja, sehingga sulit memperoleh barang dengan harga yang murah; (4) Pokmas belum memiliki keterampilan dan pengalaman usaha, rata-rata pendidikan anggota Pokmas rendah hanya tamat SD, bahkan sebagian yang lain buta huruf; (5) Lemahnya pendampingan serta tidak adanya kegiatan pelatihan menyangkut pembukuan usaha, telah memberi kontribusi terhadap kegagalan warung pesisir.

Dari sisi konsumen sendiri, belum ada kesadaran dan pengertian menyangkut kesulitan menjalankan usaha dengan modal yang kecil. Hal ini tampak pada kebiasaan konsumen menghutang barang belanjaan kepada warung pesisir. Pada saat ditagih mereka tetap tidak mau membayar. Alasan yang sering dikemukakan pihak penghutang mengatakan “percuma punya saudara tidak dapat menghutang”. Hal ini menunjukkan adanya pencampur-adukan antara usaha dan nilai-nilai sosial yang lebih mengedepankan jiwa sosial sebagaimana hubungan kekerabatan dalam suatu komunitas yang menjunjung tinggi harmoni sosial. Hal ini juga berkaitan dengan masih kuatnya anggapan bahwa bantuan tersebut berasal dari pemerintah yang diberikan cuma-cuma yang tidak perlu dikembalikan. Pada hal jauh-jauh hari sudah disosialisasikan bahwa dana pinjaman tersebut berupa dana bergulir yang harus dikembalikan.

Sesuai dengn bunyi kontrak perjanjian yang ditanda tangani antara pihak Pokmas Warung Pesisir sebagai pihak ke dua, dan LPSTK (Community contract), antara lain dinyatakan

Page 121: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

104

bahwa pinjaman harus sudah dilunasi dalam jangka waktu tiga tahun.. Besar angsuran per bulan Rp 400.000 ditambah dengan bunga sebesar 0,8 persen dari total pinjaman, atau sebesar Rp 560.000 per bulan. Pinjaman dana bergulir sebesar Rp 20.000.000 yang diterima hanya sebesar Rp 17.000.000, karena masih harus dipotong sebesar 15 persen untuk biaya pengambilan uang di Bank Nagari Tua Pejat.

Menurut pengakuan Jhon Li selaku Ketua Lembaga Keuangan Mikro (LKM), sudah tiga kali dilakukan penagihan kepada pokmas, namun tetap tidak mau mengembalikan/ mengangsur karena usahanya bangkrut. Dengan pertimbangan dari pada rebut-ribut (demi harmoni sosial) akhirnya penagihan dihentikan. Menurut pengakuan LPSTK, dalam “community contract” tidak dinyatakan secara tegas menyangkut sanksi yang harus diterima pihak pokmas bila tidak mengembalikan pinjaman dana bergulir.

Di Desa Saliguma kegiatan UEP melibatkan tiga pokmas wanita, usaha yang dikembangkan berupa pembuatan minyak kelapa (minyak manis). Tiga pokmas tersebut yakni Pokmas Telu Mata, “Si Telu Tukdak”, yang artinya tiga tungku, dan Pokmas Telu Lakek. Pokmas Telu Mata beranggotakan 10 orang, berlokasi di Dusun Matoimiang, dipimpin oleh Kristina. Pokmas Si Telu Tukdak berlokasi yang sama yakni di Dusun Matoimiang, dipimpin oleh Masitoh, dan Kelompok Telu Lakek, berlokasi di Dusun Sikeibukat, beranggotakan enam orang, dipimpin oleh Ana.

Dari tiga pokmas tersebut, hanya dua pokmas yang sempat dikunjungi, satu pokmas yang lain tidak berhasil dikunjungi karena sedang pergi ke kebun. Satu pokmas lagi di luar program COREMAP II yang dikunjungi sebagai pembanding. Pokmas Telu Mata dibentuk pada tahun 2006 atas inisiatif dari ibu-ibu guru yang tinggal di Dusun Matoimiang. Tujuan pembentukan Pokmas ini adalah untuk membentuk sebuah

Page 122: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

105

wadah kegiatan simpan pinjam. Di antara anggota bersepakat untuk mengumpulkan simpanan pokok sebesar Rp 50.000, dan ditambah simpanan wajib sebesar Rp 10.000 per bulan pada setiap anggota. Uang simpanan tersebut sewaktu-waktu bisa dipinjam bila kebutuhan mendesak. Semula anggotanya hanya guru-guru SD dan TK. Dalam perkembangannya kemudian banyak ibu-ibu rumah tangga petani yang bergabung menjadi anggota pokmas. Mulai bulan Nopember 2006, usaha simpan pinjam ini ditambah dengan usaha pembuatan minyak kelapa. Tujuan usaha ini adalah untuk mempermudah ibu-ibu dalam memperoleh minyak kelapa dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Kalau tersisa baru kemudian dijual. Dalam satu kali membuat minyak, kepada masing-masing anggota diharuskan menyetor sebanyak 15 butir kelapa yang dipetik dari hasil kebun kelapa masing-masing. Dari sejumlah 150 butir kelapa yang terkumpul akan menghasilkan minyak kelapa sebanyak antara 13 liter sampai 14 liter. Dalam satu minggu sekali, yaitu tiap hari Senin kelompok ini membuat minyak kelapa. Nilai jual per liter Rp 10.000, harga ini berlaku saat harga murah seperti sekarang ini. Pada setiap akhir tahun menjelang Natal dan tahun baru, keuntungan seluruh hasil usaha dibagikan ke seluruh anggota. Pada tahun 2007 — 2008 masing-masing anggota mendapat bagian sebesar Rp 400.000. Sisanya sebesar Rp 2.000.000 disimpan sebagai uang kas kelompok.

Pada tahun 2007, pokmas ini mendapat pinjaman dana bergulir dari program COREMAP II sebesar Rp 4.000.000. Uang sebesar itu masih dipotong Rp 300.000 untuk jasa pengambilan uang oleh LPSTK. Dana bersih yang diterima pokmas Rp 3.700.000. Pinjaman tersebut sudah harus dilunasi dalam jangka waktu tiga tahun, dengan jumlah pengembalian Rp 4.500.000. Seluruh dana pinjaman yang diterima sudah dibelikan mesin kukur kelapa seharga Rp 3.000.000. Sisanya dibelikan perabotan kerja, seperti : ember, wajan, kuali, tangguk air dan alat saring kelapa. Sampai saat penelitian ini usaha tersebut masih berjalan,

Page 123: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

106

dan sudah mengangsur pinjaman sebesar Rp 2.000.000. Sudah hampir dua tahun pokmas ini tidak mengangsur pinjaman, alasannya pokmas lain yang menerima pinjaman yang jauh lebih besar mencapai puluhan juta malah tidak mengangsur sama sekali. Selain itu pihak LPSTK juga tidak mau menagih lagi ke pokmas, entah karena merasa malu atau enggan untuk menagihnya.

Sebenarnya pihak pokmas sendiri ada keinginan untuk melunasi pinjamannya. Sebab dengan bantuan tersebut pihak pokmas merasa terbantu, terutama dengan pengadaan mesin kukur kelapa, sehingga tidak capek-capek lagi harus memarut kelapa secara manual, waktu kerja jauh lebih cepat dan terhindar dari resiko jari-jari terkena parut. Kendatipun demikian, kegiatan pokmas ini tidak sepi dari permasalahan. Salah satu permasalahan yang sempat menimpa pokmas adalah penjadwalan waktu kerja yang telah menimbulkan perpecahan di antara anggota. Hampir selama satu tahun pekerjaan membuat minyak kelapa dilakukan pada waktu pagi hari sekitar jam 9.00 — 12.00 WIB. Sebagian ibu-ibu yang bekerja adalah ibu-ibu rumah tanngga petani, sedang ibu-ibu guru tidak bisa hadir pada jam-jam tersebut. Setiap kali datang, pekerjaan sudah hampir selesai. Hal ini membuat anggota lainnya kecewa dan merasa diperlakukan tidak adil. Mereka memutuskan ingin ke luar dari keanggotaan pokmas.

Menyikapi permasalahan seperti ini, Krisna selaku ketua Pokmas mengusulkan untuk diubah waktu jam kerjanya, yakni setelah jam 12.00 WIB, agar semua anggota dapat berkumpul sama-sama terlibat dalam pekerjaan membuat minyak kelapa. Usul ini dapat diterima oleh semua anggota, sehingga pokmas terhindar dari perpecahan. Salah satu cara lain untuk menghindari perpecahan pokmas, Krisna melakukan pembukuan usaha yang transparan. Kepada anggota sewaktu-waktu dapat melihat catatan atau secara bergantian melakukan pencatatan.

Page 124: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

107

Pokmas Si Telu Tukdak, berdiri pada tahun 2006 atas prakarsa dari semua anggota pokmas tersebut. Sama seperti pokmas Telu Mata, Pokmas Telu Tukdak terbentuk dari kegiatan simpan pinjam. Kepada masing-masing anggota pokmas dikenakan setoran wajib per bulan Rp 5000. Uang ini disimpan sebagai uang kas kelompok. Yang sewaktu-waktu bisa dipinjam oleh anggota bila diperlukan. Kecuali itu, uang tersebut juga dapat digunakan kalau sewaktu-waktu anggota atau kelompok memerlukan, misalnya untuk membeli peralatan kerja yang rusak.

Modal awal yang dikeluarkan oleh kelompok, seperti : membeli alat parut kelapa, sendok, kuali, ember, wajan. Perlengkapan tersebut dibeli dari iuran kelompok, masing-masing sebesar Rp 7.000 ditambah dengan peralatan kerja yang dibawa masing-masing anggota. Dalam satu minggu sekali pembuatan minyak kelapa dilakukan pada tiap hari Senin pagi Kepada masing-masing anggota diwajibkan menyetor biji kelapa sebanyak 10 buah. Dari 60 buah biji kelapa yang terkumpul, biasanya menghasilkan antara 6 liter sampai enam setengah liter. Harga jual per liter Rp 10.000 pada saat murah seperti sekarang ini dan Rp 12.000 saat harga mahal. Usaha ini sudah berjalan empat tahun lebih dan masih aktif hingga sekarang. Setiap akhir tahun hasil keuntungan usaha dibagikan kepada masing-masing anggota, yang besarnya masing-masing menerima Rp 300.000.

Kelompok ini mendapat pinjaman dana bergulir dari program COREMAP II sebesar Rp 2.800.000 pada tahun 2007. uang pinjaman tersebut harus sudah dilunasi dalam jangka waktu tiga tahun. Jumlah dana pengembalian yang harus dibayar Rp 3000.000. uang pinjaman tersebut sudah habis dibelanjakan antara lain : untuk membeli mesin kukur Robin seharga Rp 900.000, lima buah ember, alat kukur gerinjo, kuali, jerigen penampung minyak dan kukusan periuk Pokmas sendiri tidak tahu menahu uang jasa yang dipotong LPSTK. Hinngga saat ini,

Page 125: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

108

pokmas sudah mengembalikan uang pinjaman sebesar Rp 1.000.000. Namun sejak terpilihnya pengurus yang baru 2009 angsuran dihentikan, karena pengurus yang baru tidak melakukan penagihan.

Kelompok ini masih eksis sampai sekarang. Masitoh selaku pimpinan pokmas mengelola usaha ini dengan tertib administrasi pembukuan dan transparan. Latar belakang pendidikan Masitoh adalah tamat Aliyah di Padang, dan pernah menjadi karyawan di sebuah supermarket selama lima tahun di Kota Tangerang. Pengalaman kerja ini memungkinkan Masitoh memiliki kemampuan wirausaha, dan memiliki ketrampilan administrasi dalam melakukan pembukuan usaha.

Pokmas Tiga Serangkai, dibentuk pada tahun 2007 atas inisiatif bersama dari seluruh anggota. Kelompok ini beranggotakan 10 orang, berdomisili di Dusun Malibakbak. Tujuan pembentukan kelompok ini memang untuk mengembangkan usaha keluarga. Disadari bila menjual sendiri-sendiri dirasakan tidak ekonomis, karena akan menyita waktu dan tenaga banyak orang. Konsentrasi usaha dilakukan di rumah Anastasia Pipin. Bahan baku diterima dari anggota masing-masing, dan diterima Anastasia sudah dalam keadaan diparut/ dikukur. Masing-masing anggota harus memarut 10 buah kelapa. Pekerjaan ini dilakukan dalam seminggu sekali yang jatuh pada setiap hari Sabtu. Sebagai modal cadangan, kepada masing-masing anggota diwajibkan membayar iuran per bulan Rp 5000. Uang tersebut digunakan sebagai uang kas kelompok, yang sewaktu-waktu bisa dipinjam oleh anggota apabila membutuhkan, atau untuk menutupi kebutuhan kelompok, seperti membeli kelapa bila kebetulan tidak ada salah satu anggota yang tidak bisa menyetor karena sedang berhalangan, atau membeli peralatan kerja.

Dari sejumlah 100 biji kelapa, akan menghasilkan minyak sekitar 13 liter. Harga per liter dijual Rp 12.000 di pasar

Page 126: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

109

setempat, dan Rp 16.000 di pasar Muara Siberut. Dengan perhitungan harga kelapa per biji Rp 1000, maka dalam satu kali pembuatan minyak akan diperoleh keuntungan rata-rata sebesar Rp 56.000. Dalam satu bulan akan diperoleh Rp 224.000. Seluruh keuntungan hasil usaha akan dikumpulkan oleh Anastasia Pipin, dan akan dibagi kepada seluruh anggota. Hasil pembagian usaha dalam satu tahun sebesar Rp 400.000.

Salah satu kesulitan yang dirasakan oleh pokmas ini adalah keterbatasan alat kerja berupa mesin kukur kelapa. Untuk mengatasi kesulitan ini, melalui program COREMAP II meminta bantuan modal peralatan, sehingga bisa lebih menghemat waktu dan tenaga. Persoalan berikutnya menyangkut kelangkaan bahan baku buah kelapa. Hal ini berakibat rendahnya produktivitas dan kualitas minyak, karena diolah dari buah kelapa yang masih muda. Sementara ini pemasaran tidak menjadi masalah, karena selalu habis terjual di pasar setempat, dan akan dijual ke pasar Siberut bila tidak habis terjual. Saat pinjaman dana bergulir disalurkan melalui program COREMAP II tahun 2007, kelompok ini sudah mengajukan proposal, tetapi entah apa alasannya sehingga kelompok ini luput dari perhatian para pihak yang terlibat dalam program kegiatan COREMAP II di Desa Saliguma.

Satu hal yang perlu dikemukakan dalam usaha pembuatan minyak kelapa ini adalah belum dimanfaatkannya limbah minyak kelapa yang lazim disebut “tai minyak”, atau orang Jawa menyebut “blendo/blondo” dibuang begitu saja. Pada hal blendo dapat diolah lebih lanjut menjadi makanan yang memiliki nilai rasa dan ekonomi yang tinggi, berupa kue dan lauk. Menurut pengakuan mereka tai minyak terasa asam, dan tidak enak dikonsumsi, karena pemrosesan yang salah, yakni santan dimasak setelah dua sampai tiga hari diendapkan. Untuk mendapatkan rasa blendo yang manis dan beraroma wangi, maka santan kelapa harus sesegera mungkin dimasak menjadi minyak kelapa. Untuk menambah rasa manis blendo, kelapa bisa

Page 127: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

110

diperas dengan air kelapanya. Limbah tai minyak kelapa tampaknya merupakan potensi tersendiri yang perlu dimanfaatkan melalui pengolahan lebih lanjut, sehingga menjadi bahan makanan yang memiliki nilai tambah untuk peningkatan pendapatan ekonomi rumah tangga nelayan.

• Program-program fisik

Di samping program-program non-fisik, COREMAP II juga telah memberikan bantuan-bantuan yang berupa fisik. Program-program tersebut jenisnya hampir sama antara Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma. Jenis-jenis program yang telah diimplemtasikan adalah : (1). Pondok Informasi; (2). Dermaga kayu (tambat perahu); dan (3). Jamban umum/ WC.

Di Desa Saibi Samukop telah dibangun empat pintu WC umum, bangunan tambat perahu (dermaga kayu), dan bangunan Pondok Informasi. Bangunan tersebut dikerjakan oleh kontraktor pada tahun 2006. Kondisi bangunan masih bagus, hanya karena penempatan bangunan tidak pada lokasi yang strategis, maka kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Bangunan dermaga kayu, berdekatan dengan WC umum terletak di tepi Sungai Saibi menempati pekarangan penduduk, dan terletak di belakang rumah tinggal orang, sehingga sulit dijangkau dari jalan desa sehingga jarang digunakan. Bangunan dermaga yang sudah ada sebelumnya (dermaga lama) berupa turap semen permanen yang langsung dihubungkan dengan jalan desa, sehingga lebih sering digunakan masyarakat.

Dana untuk bangunan dermaga kayu milik COREMAP II tersebut akan lebih bermanfaat sekiranya dialihkan untuk merehab dermaga yang ada. Kemudian bisa ditambah dengan bangunan peneduh yang dilengkapi dengan tempat duduk dan lantai yang diplester semen, sehingga dapat digunakan untuk menaruh barang yang akan diangkut atau yang diturunkan dari

Page 128: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

111

perahu. Tempat ini sekaligus menjadi media berkumpul warga, sehingga mempermudah warga untuk saling berkomunikasi. Selanjutnya bangunan WC umum ditempatkan di sekitar dermaga tempat aktivitas warga berlangsung akan lebih bermanfaat.

Selanjutnya bangunan Pondok Informasi di Desa Saibi Samukop dibangun agak terpencil dari permukiman penduduk. Berada di tanah perbukitan, menempati tanah milik suku Satoko, yang sekarang menjadi Kepala Desa periode 2009 — 2014. Menilik bangunan yang dikelilingi oleh rumput-rumput liar yang tumbuh lebat, menunjukkan bahwa bangunan tersebut jarang dimanfaatkan oleh jajaran pengurus LPSTK dan Pokmasnya. Hal ini diakui oleh Sekretaris LPSTK sendiri. Bangunan tersebut di dalamnya kosong, hanya ada kursi dan meja. Barang-barang perabotan kantor saeperti mesin ketik, kertas-kertas, papan tulis, disimpan oleh Kepala Desa yang lama, untuk menghindari kemungkinan dicuri orang.

Bangunan Pondok Informasi dibangun tanpa sepengetahuan pemilik tanah. Dengan alasan kesulitan pengadaan lahan, maka bangunan prasarana sosial dari program COREMAP II oleh Kepala Desa yang lama ditempatkan di lokasi-lokasi yang kurang strategis seperti yang dijumpai sekarang ini. Menurut pengakuan Kepala Desa yang baru, bangunan prasarana sosial program COREMAP II dibangun tanpa melalui musyawarah warga. Seandainya dimusyawarahkan dulu, bangunan Pondok Informasi dapat dibangun di tempat yang strategis yang mudah untuk dijangkau masyarakat. Bahkan Kepala Desa yang baru mengaku tidak merasa keberatan seandainya ditanah pekarangannya dibanguin Pondok Informasi, sehingga bangunan tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat. Sangat disesalkan bahwa pengadaan bangunan prasarana sosial dari program COREMAP II hanya ditentukan secara sefihak oleh Kepala Desa, Fasilitator Lapangan dan Kontraktor.

Page 129: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

112

Di Desa Saliguma juga dari COREMAP telah membangun bak penampungan air dan WC. Bab penampungan air masih terus dimanfaatkan, namun WC yang dibangun COREMAP tersebut tidak pernah dugunakan sampai sekarang. Alasan belum digunakannya hampir sama dengan di Desa Saibi Samukop, yaitu faktor kebiasaan buang air besar menggunakan kebun, sungai dan pantai yang dianggap lebih praktis. Sedangkan lokasi pembangunan dermaga kayu juga kurang tepat. Lokasinya jauh dari pusat pemukiman penduduk memiliki dan yang biasa menggunakan perahu. Sehingga dermaga tersebut jarang digunakan. Dermaga tersebut hanya digunakan apabila air laut surut dan perahu harus merapat.

Pondok Informasi di Desa Saliguma lokasinya cukup strategis dibandingkan di Desa Saibi Samukop. Kondisi bangunannya masih cukup bagus, masih sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan warga, baik yang terkait dengan kegiatan COREMAP maupun kegiatan yang lain. Di dalam bangunan Pondok Informasi terdapat; papan yang memuat struktur organisasi LPSTK, daftar panduan Tupoksi LPSTK, peta sketsa lokasi kegiatan COREMAP II, papan yang memuat nama-nama pokmas dan kegiatannya, buku RPTK, dokumen-dokumen kegiatan COREMAP II yang berupa foto-foto kegiatan dan proposal serta community contract yang ditandatangani antara Pokmas dan LPSTK. Adapun peralatan kerja yang tersedia antara lain, radio komunikasi pantai, mesin ketik, kertas-kertas, kursi, meja, dan almari. Di depan bangunan Pondok Informasi terdapat menara pemancar radio, dua papan billboard yang memuat peta Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan peta Daerah Konservasi Laut di tiga desa yakni Saibi Samukop, Saliguma, dan Katurai. Dalam peta ini terselip tulisan berwarna merah, konservasi ekosistem terumbu karang penting bagi kehidupan, “Karena itu aktivitas penangkapan dilarang”. Peta itu dibuat pada tahun 2008 oleh Bakosurtanal.

Page 130: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

113

3.2. Partisipasi Masyarakat Terhadap Program Kegiatan COREMAP II

Terminologi partisipasi masyarakat sering dipahami secara sempit, yakni keterlibatan dari warga suatu komunitas pada suatu program kegiatan. Istilah partisipasi juga sering rancu dengan istilah “mobilisasi”. Ke duanya sama-sama memiliki konotasi “terlibat” dalam suatu program kegiatan, tetapi memiliki arti dan makna yang berbeda. Dalam mobilisasi keterlibatan seseorang atau warga dari suatu komunitas terhadap suatu program kegiatan karena adanya unsur keterpaksaan karena perintah, atau sering juga karena adanya iming-iming dengan imbalan materi atau janji-janji yang membuat masyarakat terbuai oleh pihak luar, tanpa memperhitungkan resiko dan tindakan untuk mengantisipasinya.

Pengertian partisipasi dalam arti luas melibatkan proses kejiwaan yang panjang, melalui proses penyadaran, menanamkan pengetahuan secara koqnitif, afektif, sampai pada seseorang atau warga tergerak jiwa dan raganya untuk terlibat dalam suatu program kegiatan. Dengan kata lain, lahirlah partisipasi aktif masyarakat yang tumbuh karena adanya motivasi yang tinggi atas manfaat suatu program kegiatan bagi kepentingan hidup warga suatu komunitas.

Dalam implementasi program kegiatan, partisipasi masyarakat memiliki arti yang sangat penting, antara lain : (1) Partisipasi masyarakat dapat menjadi informasi yang tepat, sehingga para pihak yang terlibat dalam suatu program kegiatan dapat menghindari kemungkinan terjadinya miskonsepsi; (2) Partisipasi masyarakat dapat menumbuhkan rasa tanggungjawab masyarakat; (3) Partisipasi dari suatu warga komunitas dapat diharapkan terbangunnya komitmen masyarakat; (4) Dengan partisipasi masyarakat diharapkan dapat untuk menggali swadaya masyarakat; (5) Partisipasi masyarakat dapat menumbuhkan rasa kemandirian masyarakat dan rasa percaya diri masyarakat; (6)

Page 131: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

114

Partisipasi itu sendiri merupakan tujuan suatu program kegiatan (Boyle, 1981, 84).

Lebih lanjut Kusumastanto (2003) menyatakan bahwa pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut terdapat tiga hal yang paling utama : (1) Untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat; (2) Keterlibatan masyarakat dalam proses kegiatan mulai dari perencanaan dan implementasi, membuat masyarakat ikut merasa memiliki program kegiatan yang dijalankan pemerintah, sehingga keberhasilan suatu program dapat lebih terjamin; (3) Partisipasi masyarakat merupakan hak demokrasi untuk mendukung program pembangunan itu sendiri.

Dengan mengemukakan segi kualitatif dari keterlibatan masyarakat, diharapkan utamanya bagi para pihak yang terlibat dalam suatu program kegiatan untuk dapat bersikap lebih hati-hati dalam menyikapi keterlibatan masyarakat yang bersifat massal dan mudah dikuantifikasi, dan sekaligus dapat digunakan sebagai bukti untuk mengklaim atas keberhasilan suatu program. Sangat boleh jadi partisipasi tersebut bersifat semu dan sesaat, sehingga ketika bantuan materi berakhir, masa waktu proyek berakhir, dan pertanggungjawaban administrasi selesai, maka berakhir pula aktivitas program kegiatan tersebut.

Lalu bagaimana partisipasi masyarakat di Desa Saibi Samukop dan masyarakat di Desa Saliguma pada implementasi program kegiatan COREMAP II. Tulisan di bawah ini akan menyoroti partisipasi masyarakat baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Partisipasi secara kuantitas diperoleh dari survei langsung kepada masyarakat di dua desa penelitian, yang masing-masing desa akan diambil 50 responden, sedang partisipasi kualitatif akan diperoleh melalui wawancara mendalam kepada informan baik yang terlibat langsung pada program kegiatan COREMAP II maupun yang tidak. Data kualitatif juga akan diperoleh melalui pengamatan langsung di

Page 132: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

115

lapangan. Adapun hasil survei dapat dilihat pada Tabel 3.1. di bawah ini.

Tabel 3.2.1. Persentase Responden Menurut Pengetahuan, Keterlibatan, dan

Manfaat Program COREMAP II Di Desa Saibi Samukop, Tahun 2009

No Program COREMAP II Mengetahui Terlibat Bermanfaat

(1) (2) (3) (4) (5) 1 Keberadaan COREMAP 98 - - 2 Penyelamatan TK 96 - - 3 Peningkatan pengetahuan

pentingnya penyelamatan TK

82 12 -

4 Pengawasan pesisir dan laut

78 12 -

5 Pembentukan LPSTK 82 12 - 6 Pelatihan UEP 76 15 - 7 Pendampingan UEP 64 6 - 8 Rencana pemanfaatan

pelestarian TK 72 2 -

9 Pokmas Konservasi 74 4 - 10 Pokmas UEP 72 4 - 11 Pokmas jender - warung

pesisir 52 - -

12 Usaha tidak merusak TK 10 10 - 13 Pemberian dana bergulir 90 10 10 14 Pelatihan/ bimbingan

keterampilan 74 8 2

15 Usaha perdagangan warung

88 4 2

16 Usaha budidaya 86 18 12 17 Usaha perikanan tangkap 56 2 2 18 Usaha ternak ayam 46 - -

Sumber : Hasil Survei PPK – LIPI 2009

Angka persentase dalam tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan COREMAP II, dan segala jenis program kegiatannya

Page 133: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

116

cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Pertimbangan kedekatan ikatan kesukuan dalam mendistribusikan program kegiatan kepada masing-masing pokmas cukup kuat; (2) Ukuran permukiman penduduk Desa Saibi Samukop yang relatif kecil dan mengelompok, sehingga memungkinkan tingginya frekuensi hubungan antar warga masyarakat; (3) Kegiatan penyampaian program kegiatan yang disampaikan langsung kepada masyarakat oleh Fasilitator Lapangan sambil melakukan sosialisasi terhadap pentingnya program kegiatan. Corak hubungan yang bersifat tatap muka, pada masyarakat perdesaan tampaknya lebih efektif dibanding dengan melalui berbagai media visual.

Di Desa Saibi Samukop, kendatipun pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan COREMAP II sudah cukup tinggi, tetapi mengenai keterlibatan masyarakat dan manfaat yang dirasakan terhadap program-program COREMAP, jumlah angka persentase responden yang melaporkan sangat rendah. Sementara ketika ditanyakan tentang bagaimana keadaan ekonomi rumah tangga setelah adanya program kegiatan COREMAP II, ternyata sebanyak 52 persen menyatakan sama saja. Dengan demikian tidak mengalami perubahan atau program COREMAP belum berdampak terhadap pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga di desa penelitian. Bahkan ada sebanyak 6 persen yang mengaku lebih buruk. Hal ini disebabkan sebagian program-program tersebut berhasil dan bahkan mereka harus menanggung hutang kepada program. Namun demikian ada sekitar 28 persen yang ternyata menjawab lebih baik. Kalau kita melihat sebagian besar program banyak yang gagal, mereka yang melaporkan lebih baik tersebut kebetulan mendapat penghasilan yang lebih baik dari sumber lain di luar yang terkait dengan program COREMAP.

Jawaban-jawaban tentang kondisi ekonomi rumah tangga di Desa Saib Samukop tersebut menunjukkan adanya konsistensi

Page 134: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

117

dengan jawaban keterlibatan dan manfaat yang angkanya masih rendah sekali.

Kondisi di Desa Saibi Samukop tersebut nampaknya agak berbeda dengan di Desa Saliguma. Hal tersebut dapat dicermati dari Tabel 3.2.

Tabel 3.2. 2. Persentase Responden Menurut Pengetahuan, Keterlibatan,

Dan Manfaat Program COREMAP II Di Desa Saliguma, Tahun 2009

No Program Kegiatan Mengetahui Terlibat Bermanfaat

(1) (2) (3) (4) (5) 1 Keberadaan COREMAP II 90 - - 2 Penyelamatan TK 84 - - 3 Pentingnya penyelamatan

TK 68 32 -

4 Pengawasan pesisir dan laut

34 8 -

5 Pembentukan LPSTK 52 24 - 6 Pelatihan UEP 48 20 - 7 Pendampingan UEP 20 10 - 8 Perencanaan pelestarian

TK 14 2 -

9 Kegiatan konservasi 20 20 - 10 Pokmas ekonomi produktif 46 24 -

11 Pemberian dana bergulir 72 38 30 13 Pelatihan keterampilan

UEP 52 16 12

14 Usaha perdagangan warung

8 2 2

15 Usaha budidaya 52 12 4 16 Usaha perikanan tangkap 52 18 18 17 Usaha ternak ayam 46 4 2 18 Pembuatan minyak kelapa 50 6 2 19 Pengolahan ikan asin - - - 20 Kerajinan souvenir 50 2 2

Sumber: Hasil survei PPK – LIPI 2009

Page 135: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

118

Tabel 3.2. tersebut di atas menunjukkan bahwa di Desa Saliguma kegiatan sosialisasi menyangkut keberadaan kegiatan program COREMAP II, kegiatan peningkatan pengetahuan terhadap pentingnya pelestarian ekosistem terumbu karang, dan upaya penyelamatannya cukup efektif, tetapi menyangkut masing-masing kegiatan usaha secara detail umumnya responden belum banyak yang mengetahui. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya persentase responden yang mengetahui program kegiatan COREMAP II. Selanjutnya mengenai keterlibatan dan manfaat kegiatan, penilaian masyarakat juga rendah. Konsistensi jawaban juga ditunjukkan pada pertanyaan mengenai kondisi ekonomi rumah tangga sesudah adanya program kegiatan COREMAP II, sebanyak 70 persen responden menjawab ‘sama saja’, dan hanya 2 persen yang menjawab ‘lebih baik’, dan selebihnya tidak menjawab. Adapun alasan belum berubahnya kondisi ekonomi rumah tangga, jawaban responden sangat bervariasi, karena program kegiatan kurang pendampingan 10 persen, program kegiatan COREMAP II gagal 26 persen, tidak ikut program COREMAP II 28 persen, belum dapat bantuan 2 persen, dan tidak dilaksanakan sesuai dengan keinginan masyarakat 2 persen.

Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap program kegiatan COREMAP II di Desa Saliguma diduga ada hubungannya dengan teknik sosialisasi yang lebih banyak mengutamakan penyampaian melalui media visual, luasnya wilayah Desa Saliguma, dan cara mendistribusikan program kegiatan yang hanya diminta datang ke Pondok Informasi bagi warga yang berminat mengikuti program kegiatan. Cara demikian terbukti kurang efektif, dibanding dengan komunikasi tatap muka langsung kepada warga masyarakat.

Secara kualitatif tingkat partisipasi masyarakat terhadap program kegiatan COREMAP II di Desa Saibi Samukop dan Saliguma juga tampak masih rendah. Indikasinya, belum mampu

Page 136: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

119

menggali keswadayaan masyarakat, belum tumbuhnya komitmen dan rasa tanggung jawab masyarakat, dan tidak berkelanjutannya program kegiatan. Pendek kata masih jauh dengan apa yang dikemukakan oleh Boyle (1981).

Page 137: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

120

Page 138: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

121

BAB IV

PENDAPATAN PENDUDUK DAN PERUBAHANNYA DI DESA SAIBI SAMUKOP

DAN DESA SALIGUMA

endapatan merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan program COREMAP. Dalam salah satu tujuan program COREMAP

antara lain adalah untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga, terutama rumah tangga nelayan. Pembahasan tentang pendapatan penduduk di daerah penelitian meliputi rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan dan rata-rata per kapita/ bulan. Dalam bagian ini juga dibahas tentang sumber pendapatan rumah tangga, untuk mendapatkan informasi tentang sumber-sumber pendapatan yang berkontribusi pendapatan rumah tangga. Informasi ini penting untuk kebijakan sumber mana yang pendapatannya harus terus ditingkatkan. Pendapatan rumah tangga khusus kenelayanan juga mendapatkan bahasan khusus. Bagaimana pendapatan nelayan pada musim gelombang kuat, musim pancaroba dan musim gelombang tenang. Untuk meningkatkan pendapatan nelayan tersebut program apa yang perlu dilakukan, agar mereka dapat melaut setiap saat tanpa terkendala oleh musim. Armada yang perlu dimiliki dan alat tangkap yang harus digunakan. Kemudian juga akan dibahas tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Apakah pendapatan tersebut dipengaruhi oleh program COREMAP, program pemerintah lainnya ataukah ada faktor lain yang berpengaruh.

P

Page 139: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

122

4.1. PENDAPATAN PENDUDUK

4.1.1. Pendapatan Rumah Tangga dan per Kapita

Perkembangan pendapatan rumah tangga di Desa Saibi Samukop dan Saliguma tersaji pada Tabel 4.1.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa ternyata secara umum pendapatan rumah tangga di daerah kajian masih dalam tarap rendah dan selama beberapa tahun teraakhir cenderung mengalami penurunan. Di Desa Saibi Samukop rata-rata pendapatan rumah tangga/ bulan pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 935.026,00 menurun menjadi Rp 791.980,00 tahun 2009 atau terjadi penurunan 15 persen. Sementara di Desa Saliguma telah terjadi penurunan yang lebih drastis. Pada tahun 2007 rata-rata pendapatan rumah tangga/ bulan sebesar Rp 430.678,00 dan pada tahun 2009 menurun menjadi Rp 260.673,00 atau terjadi penurunan sebesar 39,5 persen. Penurunan pendapatan rumah tangga di dua desa tersebut sebagai akibat terjadinya penurunan pendapatan rumah tangga dari beberapa sumber pendapatan tertentu. Sumber-sumber pendapatan rumah tangga tersebut akan dibahas dalam subbab ini.

Penurunan pendapatan rumah tangga tersebut jelas akan berdampak terhadap pendapatan perkapita di dua desa tersebut. Di Desa Saibi Samukop pada tahun 2007 pendapatan per kapita adalah Rp 192.821,00, pada tahun 2009 menurun menjadi Rp 118.833,00. Tingkat penurunan pendapatan per kapita tersebut lebih besar daripada penurunan rata-rata pendapatan rumah tangga. Penurunan rata-rata pendapatan rumah tangga sebesar 15 persen, sedangkan penurunan rata-rata per kapita mencapai 38 persen. Penurunan pendapatan perkapita yang jauh lebih tinggi tersebut menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang belum masuk angkatan kerja yang bekerja masih cukup tinggi.

Page 140: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

123

Sementara di Desa Saliguma yang jumlah pendapatan per kapita jauh lebih rendah dari pada Desa Saibi Saliguma, pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 97.326,00 telah penurunan menjadi Rp 58.668,00 atau penurunan sekitar 39 persen pada tahun 2009. Tingkat penurunan rata-rata pendapatan per kapita di Desa Saliguma ternyata tidak banyak berbeda dibandingkan dengan tingkat penurunan rata-rata pendapatan rumah tangga. Secara umum kondisi perekonomian masyarakat di Desa Saibi Samukop masih lebih baik dari pada di Desa Saliguma.

Bagaimana distribusi pendapatan rumah tangga tersebut? Penurunan rata-rata pendapatan rumah tangga tersebut nampaknya berdampak terhadap perubahan struktur pendapatan. Di Desa Saibi Samukop, membandingkan pendapatan rumah tangga tahun 2007 dengan tahun 2009 ternyata telah terjadi perubahan struktur pendapatan rumah tangga yang mencolok. Jumlah rumah tangga sampel pada kelompok rumah tangga berpendapatan paling rendah (di bawah Rp 500.000,00/ bulan) telah terjadi peningkatan dari 12 persen menjadi 44 persen. Sementara proporsi jumlah rumah tangga pada kelompok pendapatan di atas Rp 500.000,00/ bulan mengalami penurunan yang drastis.

Perubahan pendapatan rumah tangga tersebut juga terjadi di Desa Saliguma. Jumlah rumah tangga pada kelompok pendapatan di bawah Rp 500.000,00 telah meningkat tajam dari 68 persen (tahun 2007) menjadi 84 persen (tahun 2009). Jadi pada tahun 2009 sebagian besar rumah tangga di Desa Saliguma hanya di bawah Rp 500.000,00. Dengan demikian sebaliknya jumlah kelompok rumah tangga berpendapatan di atas Rp 500.000,00 mengalami penurunan yang drastis. Jadi di dua desa penelitian selama beberapa tahun terakhir telah terjadi pemiskinan rumah tangga. Hal tersebut terjadi disebabkan ada penurunan pendapatan rumah tangga dari sumber tertentu, baik di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma.

Page 141: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

124

Tabel 4.1.1 Pendapatan Rumah Tangga dan Pendapatan per Kapita

di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 dan 2009

(Persen)

No

Kelompok

Pendapatan (ribuan rupiah)

Frekuensi Rumah Tangga

(persen)

Perubahan 2007-2009

Tahun 2007

Tahun 2009

(1) (2) (3) (4) (5) Desa Saibi Samukop

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

< 500500 — 999

1.000 — 1.499 1.500 — 1.999 2.000 — 2.499 2.500 — 2.999

3.000 + Jumlah

(N)

12,054,0 22,0 10,0

- 2,0 -

100,0 (50)

44,042,0 12,0

- - -

2,0 100,0 (50)

+ 32,0 -12,0

- 10,0 - 10,0 - - 2,0 + 2,0

Rata2 Pdpt RT/bl (Rp) Rata2 Pdpt/Kapita (Rp)

935.026 192.821

791.980118.833

-15,3 -38,4

Desa Saliguma 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

< 500500 — 999

1.000 — 1.499 1.500 — 1.999 2.000 — 2.499 2.500 — 2.999

3.000 + Jumlah

(N)

68,028,0 2,0 2,0 - - -

100,0 (50)

84,012,0 4,0 - - - -

100,0 (50)

+16,0 -16,0

+ 2,0 -2,0

- - -

Rata2 Pdpt RT/bl (Rp) Rata2 Pdpt/Kapita (Rp)

430.67897.326

260.67358.668

-39,5 -39,7

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang Kec.Siberut Selatan, 2007-2009.

Page 142: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

125

Mengenai sumber pendapatan rumah tangga, bagi penduduk Desa Saibi Samukop maupun Desa Saliguma sebetulnya yang paling utama adalah dari hasil darat. Pendapatan utama mereka kebanyakan dari perkebunan dan pertanian. Hasil perkebunan di Desa Saliguma kebanyakan masyarakat adalah dari hasil cokelat, kelapa, nilam, cengkeh dan pisang. Hasil-hasil perkebunan tersebut pada umumnya dipanen untuk dijual. Di Desa Saibi Samukop tanaman yang sedang dikembangkan dan berkontribusi terhadap penghasilan rumah tangga adalah juga tanaman pinang, cokelat, cengkeh, nilam dan rotan. Namun dalam tahun terakhir tanaman nilam sedang terkena wabah hama daun, sehingga tidak ada kontribusi pendapatan dari sumber tanaman nilam. Juga ada tanaman cokelat dan cengkeh yang sedang tidak berbuah, karena gangguan hama. Kondisi tanaman-tanaman perkebunan tersebut yang nampaknya berkontribusi terhadap penurunan pendapatan rumah tangga baik di Desa Saibi Samukop maupun di Desa Saliguma.

Sementara hasil pertanian tanaman pangan berupa keladi, jagung, ubi kayu, ubi jalar pada umumnya hanya dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga sendiri. Di dua desa tersebut juga masih ada tanaman sagu yang menghasilkan bahan makanan pokok sagu. Sebagian masyarakat di dua desa tersebut ada yang masih mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok, di samping keladi dan ubi. Sementara beras masih harus mendatangkan dari luar daerah.

Sumber pendapatan rumah tangga yang lain dan hanya di beberapa rumah tangga adalah dari usaha warungan kebutuhan rumah tangga, usaha kerajinan souvenir (di Desa Saliguma), ada rumah tangga yang memiliki usaha pembuatan perahu kayu atau perbaikan/bengkel perahu. Di Saibu Samukop ada Pak Napung adalah satu-satunya orang di desa ini yang dapat membuat dan memperbaiki perahu kayu. Ada juga sebagian kecil rumah tangga mendapatkan penghasilan dari usaha membuat minyak kelapa

Page 143: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

126

(minyak manis) dan ada pula yang memiliki sumber pendapatan sebagai guru SD dan SLTP. Rumah tangga yang sumber pendapatannya dari guru ini nampaknya yang penghidupan rumah tangganya lebih baik dari pada masyarakat pada umumnya. Hal ini nampak dari pemilikan aset rumah tangga dan kondisi rumah tinggalnya yang lebih baik dari pada rumah tangga pada umumnya.

4.1.2. Pendapatan menurut Kegiatan Kenelayanan

Seperti telah diungkapkan dalam bab II bahwa baik di Desa Saibi Samukop maupun di Desa Saliguma lebih dari 50 persen kepala rumah tangga sampel adalah mengaku nelayan. Namun sumber pendapatan rumah tangga mereka sebagian besar berasal dari sumber pendapatan di darat (bukan kenelayanan). Karena jumlah hasil dari kenelayanan rata-rata rumah tangga di dua desa tersebut selama ini umumnya masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri dan hanya sebagian kecil hasil tangkapan yang dijual. Berikut akan mengungkap pendapatan rumah tangga sampel dari kenelayanan.

Namun demikian, pada pekerjaan kenelayanan, tingkat pendapatan yang diperoleh sangat dipengaruhi faktor alam. Proses kegiatan ekonomi di kalangan nelayan berhubungan dengan faktor musim ikan. Selain itu, hasil tangkapan ikan juga dipengaruhi oleh sifat ikan yang cepat membusuk (fugitive) memerlukan bahan pengawet, yaitu memerlukan es untuk mencegah ikan agar tidak busuk. Bahan ini yang kadang sulit terpenuhi di daerah-daerah yang tidak memiliki sarana untuk pembuatan es.

Di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, ekonomi kenelayanan umumnya masih lebih bertaraf subsisten dan sumber pendapatan mereka di kenelayanan sangat dipengaruhi faktor musim. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa

Page 144: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

127

sebagian besar rumah tangga baik di Desa Saibi Samukop maupun Desa Saliguma kegiatan menangkap ikan belum digunakan sebagai sumber pendapatan rumah tangga utama. Sumber pendapatan utama sebagian besar rumah tangga masih bersumber dari hasil sumber daya darat. Pada Tabel 4.1.3 menunjukkan bahwa di Desa Saibi Samukop terjadi peningkatan pendapatan rumah tangga per bulan dari kenelayanan di setiap musim dari tahun 2007 - 2009. Sementara Desa Saliguma justru mengalami sedikit penurunan. Dilihat dari jumlah nelayan yang melaut, ternyata ada kecenderungan makin menurun. Di Desa Saibi Samukop jumlah rumah tangga sampel yang anggotanya melaut menurun dari 50 rumah tangga tahun 2007 menjadi 45 rumah tangga tahun 2009. Sementara di Desa Saliguma jumlah rumah tangga sampel yang anggotanya melaut telah turun drastis dari 50 rumah tangga menjadi hanya 13 rumah tangga.

Di Desa Saibi Samukop terjadinya peningkatan pendapatan rumah tangga dari kenelayanan tersebut karena nampaknya mereka banyak yang masih tangguh untuk tetap melaut. Dengan berkurangnya jumlah orang yang melaut akan meningkatkan hasil tangkapan mereka yang masih setia melaut. Dengan demikian mengurangi pesaing diantara mereka dalam memanfaatkan sumber daya laut. Di samping itu, penurunan jumlah nelayan yang melaut (penjual ikan), penawaran menurun, sementara pembeli/ permintaan bertambah, sehingga akan meningkatkan harga ikan. Apalagi para nelayan di dua desa tersebut umumnya menangkap ikan belum sampai jauh dari pantai atau di laut lepas dengan keterbatasan armada dan alat tangkapnya. Para pencari ikan terutama di Desa Saibi Samukop tersebut ternyata para pencari ikan ternyata tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki, namun juga dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka menangkap ikan dengan menggunakan jaring tangguk, mereka tidak menggunakan perahu/ sampan, mereka hanya menangkap ikan di sekitar pantai. Jenis ikan yang ditangkap kebanyakan hanya ikan tamban. Sekali melaut mereka

Page 145: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

128

hanya mendapatkan ikan antara 1 — 2 kg, umumnya hanya untuk konsumsi sendiri dan dijual ke tetangga. Jadi peningkatan pendapatan kenelayanan di Desa Saibi Samukop tersebut antara lain karena meningkatnya partisipasi kaum perempuan/isteri dalam kegiatan melaut yang akhir-akhir ini nampaknya meningkat. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kaum perempuan tersebut di Desa Saliguma tidak sebanyak di Desa Saibi Samukop.

Tabel 4.1.2. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga per Bulan dari Kenelayanan Menurut Musim di Desa Saibi Samukop dan Saliguma, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2007 dan 2009

No Musim

Pendapatan Rumah Tangga/bl Perub 2007-2009 Tahun 2007 Tahun 2009

(1) (2) (3) (4) (5) Desa Saibi Samukop

1. 2. 3.

Musim Gel.Kuat Musim Pancaroba Musim Gel. Tenang

164.081 202.720 482.700

263.859 462.537 626.964

+60,8

+128,1 +29,7

Rata-rata Pendapatan RT/bl

(N) 283.167

(50) 451.120

(50)

+59,3

Desa Saliguma

1. 2. 3.

Musim Gel.Kuat Musim Pancaroba Musim Gel. Tenang

81.520 130.210 195.380

87.843 104.325 147.740

+7,7 -19,8 -24,4

Rata-rata Pendapatan RT/bl

(N) 135.703

(50) 113.302

(50)

-16,5

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang Kec. Siberut Selatan, 2007-2009

Page 146: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

129

4.2. FAKTOR-FAKTOR BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN

4.2.1. Program COREMAP

• Pengaruh langsung

Program COREMAP terutama yang langsung untuk meningkatan pendapatan rumah tangga selama ini boleh dikatakan belum berhasil. Dalam kegiatan COREMAP II, sejak tahun 2005 pokmas-pokmas untuk ekonomi produktif telah terbentuk, dana telah dikucurkan dan bahkan beberapa pokmas telah mengadakan aktivitas kelompok. Namun pada umumnya banyak yang kandas di jalan. Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya di Desa Saibi Samukop pernah ada kegiatan antara lain : Pokmas Budi Daya Kepiting, Pokmas Warung Pesisir, Pokmas Nelayan Tangkap (dengan perahu mesin pongpong) dan Pokmas Pengolahan Ikan. Di Desa Saliguma jenis kelompoknya lebih banyak, yaitu Pokmas Rumput Laut, Pokmas Budidaya Kepiting, Pokmas Pengolahan Minyak Manis, Pokmas Pemeliharaan Itik, Pokmas Tangkap (dengan armada pongpong) dan Pokmas Pembuatan Minyak Nilam. Sebagian besar kegiatan pokmas-pokmas tersebut tidak berlanjut atau berhenti. Hanya di Desa Saliguma ada pokmas pembuatan minyak kelapa yang masih berlanjut. Namun demikian dari hasil wawancara dengan para ketua kelompok dan anggota kelompok pembuatan minyak kelapa tersebut bahwa kegiatan yang mereka lakukan selama ini belum sampai mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Hanya sekedar mengisi kegiatan kelompok ibu-ibu saja (Pokmas Jender). Di desa ini ada 3 pokmas pembuatan minyak kelapa yang masih aktif. Namun kegiatan pokmas tersebut dalam satu minggu hanya sekali melakukan kegiatan, yaitu ada yang hanya tiap hari minggu dan ada yang hanya tiap hari senin. Program COREMAP II telah memberikan bantuan pinjaman dana untuk membeli mesin kukur kelapa. Namun keuntungan pokmas-pokmas tersebut selama masih cukup kecil. Keuntungan pendapatan pokmas dikumpulkan sampai satu tahun. Kemudian

Page 147: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

130

keuntungan tersebut dibagikan sama kepada para anggota. Penerimaan masing-masing anggota pokmas per tahun berkisar antara Rp Rp 300.000 sampai Rp 400.000,- atau rata-rata sebelum hanya sekitar Rp 30.000. Jadi peran kegiatan Pokmas Pembuatan Minyak Kelapa dalam peningkatan pendapatan rumah tangga para anggota kelompok masih sangat kecil.

• Tidak langsung

Di samping program — program berupa dana untuk modal usaha produktif, baik di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma ada program COREMAP berupa bantuan fisik yang diwujudkan dalam bangunan pondok informasi, dermaga kayu dan WC umum. Meskipun secara ekonomi bantuan fisik tersebut tidak langsung berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga, namun mestinya memiliki keuntungan lain. Bantuan sarana WC memang belum banyak digunakan yang mestinya membantu meningkatkan kesehatan lingkungan. Program bantuan dermaga kayu dari COREMAP. Program ini mestinya merupakan prasarana tambat perahu yang dapat meningkatkan pendapatan kenelayanan. Namun juga belum digunakan secara maksimal untuk sandaran perahu nelayan disebabkan lokasi penempatan bangunannya kurang tepat. Mengenai bantuan bangunan pondok informasi di Desa Saibi Samukop sama sekali belum digunakan, mengingat bangunannya jauh dari tempat tinggal penduduk pada umumnya. Sedangkan di Desa Saliguma pondok informasi tersebut dibangun tidak jauh dari permukiman penduduk dan selama ini masih sering digunakan, meskipun belum maksimal. Radio komunikasi meskipun sudah ada, namun belum pernah digunakan untuk komunikasi. DKP Kab. Kepulauan Mentawai mengharapkan radio komunikasi tersebut dapat digunakan.

Page 148: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

131

4.2.2. Program Pemerintah Lain

Program-program pemerintah lain yang langsung untuk meningkatkan pendapatan penduduk baik di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma belum pernah ada. Rencananya program PNPM Mandiri pedesaan (dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa) akan masuk, kemungkinan pada tahun 2009. Program ini akan memberikan pinjaman permodalan untuk usaha kecil di desa penelitian. Namun apabila program tersebut tanpa diikuti dengan pendampingan usaha oleh pendamping yang mampu, kemungkinan mengalami kegagalan juga akan terjadi. Sehingga bukannya peningkatan pendapatan yang terjadi, tapi pemiskinan karena mereka terpaksa harus menanggung hutang.

Program yang telah lama masuk adalah program bantuan fisik, yaitu pengerasan jalan kampung dari Pemerintah Daerah yang terus berlangsung sampai tahun 2009. Dampak dari program pengerasan jalan tersebut, kondisi permukiman di dua desa tersebut dibandingkan antara saat penelitian tahun 2007 dengan tahun 2009 sudah lebih teratur dan bersih. Bahkan saat sudah dijumpai sepeda-sepeda motor yang dimiliki oleh warga di desa tersebut. Memang dengan adanya pengerasan jalan kampung sedikit memperlancar hubungan antar dusun dan antar warga. Namun pengaruh terhadap peningkatan perekonomian masyarakat belum nampak.

Juga adanya bantuan bak air bersih di dua desa penelitian telah bermanfaat untuk meningkatkan pemenuhan air bersih bagi masyarakat. Program tersebut merupakan bantuan dari Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesehatan lingkungan dan kesejahteraan rumah tangga. Hanya program tersebut belum menjangkau ke seluruh rumah tangga di desa penelitian.

Page 149: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

132

4.2.3. Faktor Lainnya

• Faktor Internal

Sumber pendapatan utama rumah tangga masyarakat dua desa kajian umumnya masih berasal dari usaha kegiatan di daratan. Kegiatan tersebut berasal dari usaha perkebunan (cokelat, pinang, kelapa, pisang, cengkih dan dulu minyak nilam) dan usaha pertanian pangan (jagung, keladi, ubi) dan tanaman sagu. Dalam hal ini usaha penangkapan ikan di laut masih merupakan sumber pendapatan tambahan, utamanya untuk mendapatkan lauk pauk sehari-hari.

Usaha-usaha ekonomi produktif di desa penelitian belum berkembang dan sebagian besar belum berhasil. Secara internal faktor penyebabnya adalah modal yang diberikan dari program COREMAP selama ini terlalu kecil sehingga belum mencukupi untuk usaha kelompok. Sementara permodalan dari program lain di luar COREMAP belum pernah ada yang masuk desa penelitian. Kualitas sumber daya manusia desa penelitian yang masih terbatas, belum memiliki kemampuan/ ketrampilan yang sesuai dengan kegiatan pokmas yang akan dilakukan. Ada pengakuan dari para ketua dan anggota pokmas, mereka mau menerima program COREMAP apa saja yang diinginkan oleh COREMAP kabupaten, meskipun belum memahami dan menguasai kegiatan yang akan dilakukan. Bagi mereka yang penting menerima bantuan uang modal, dari pada tidak menerima sama sekali. Masalah kemampuan untuk melakukan kegiatan kelompok ekonomi produktif yang akan dilakukan, akan mereka pelajari sambil berjalan. Keluhan lain yang dirasakan para ketua dan anggota pokmas adalah masih kurangnya pelatihan ketrampilan untuk mendidik anggota pokmas agar mereka dapat berhasil melaksanakan program COREMAP yang akan dilakukan. Kemudian yang lebih penting lagi sangat kurangnya/ tidak adanya pendampingan yang terkait dengan

Page 150: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

133

kegiatan pokmas yang akan dilakukan. Kemudian ada kegiatan pokmas yang gagal karena terkena bencana (gempa).

Kaitannya dengan peningkatan pemanfaatan sumber daya laut untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Keterbatasan armada transpotasi (perahu pongpong dengan mesin 5 PK bantuan COREMAP) dan alat tangkap menyebabkan para nelayan belum berani meningkatkan produksi hasil laut dan memasuki perairan laut dalam untuk mendapatkan hasil laut yang lebih banyak. Di samping itu, kendala lainnya adalah kebanyakan masyarakat desa kajian masih menganggap kegiatan pertanian di darat masih sebagai sumber pendapatan utama dan kegiatan melaut hanya sebagai sumber pendapatan tambahan.

• Faktor Eksternal

Faktor pemasaran menjadi kendala yang cukup besar bagi pengembangan Pokmas Ekonomi Produktif. Hal ini terkait dengan jauhnya pasar dan mahalnya ongkos/ kesulitan transportasi. Untuk usaha penangkapan ikan selama ini masih bersifat kecil-kecilan dan sebagian besar masih untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri. Terbatasnya armada dan alat tangkap yang digunakan mengakibatkan jenis-jenis ikan yang ditangkap hanya ikan-ikan pantai (seperti ikan tamban, teri dan kepiting).

Faktor iklim juga menjadi kendala dalam pemanfaatan sumber daya laut menangkap ikan. Dengan armada yang sederhana pada musim-musim gelombang kuat sangat jarang para nelayan yang melaut. Mereka pada musim gelombang kuat lebih mengarahkan ke kegiatan sehari-harinya di darat, yaitu ke kebun atau ladang. Mereka menanam, menyiang dan memetik hasil tanaman di darat bersama keluarganya.

Degradasi sumber daya pesisir dan laut di desa kajian selama ini lebih dilakukan oleh para nelayan dari luar dari pada

Page 151: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

134

dari desa ini. Sebab eksplotasi sumber daya laut yang dilakukan nelayan dua desa ini masih sangat terbatas. Namun untuk pemanfaatan batu karang selama nampaknya masih terus berlangsung, pada umumnya hanya untuk kepentingan rumah tangga sendiri, seperti untuk pondasi bangunan rumah dan jalan. Namun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan rumah tangga, akan semakin meningkat pula kebutuhan batu karang untuk bahan bangunan. Fenomena ini mau tidak mau akan mengganggu kelestarian terumbu karang di perairan desa ini. Sementara kondisi hutan bakau selama ini masih cukup baik, belum menunjukkan degradasi yang berarti. Namun ada keluhan dari nelayan pencari kepiting, bahwa populasi kepiting di desanya sudah semakin menurun. Dalam hal dirasakan dengan makin menurunnya jumlah hasil tangkapan selama ini.

Page 152: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

135

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. KESIMPULAN

ada umumnya masyarakat di Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma yang telah mengenal program COREMAP, sebab program ini telah masuk tahun 2005. Namun belum

semua anggota masyarakat dilibatkan dalam kegiatan program. Berbagai program kegiatan pokmas, termasuk Pokmas Usaha Ekonomi Produktif pernah dilakukan, meskipun sebagian besar belum berhasil atau kandas ditengah jalan. Sehingga program tersebut belum mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Pokmas tersebut adalah Pokmas Budidaya Kepiting, Pokmas Budidaya Rumput Laut, Pokmas Pembuatan Minyak Nilam, Pokmas Pembuatan Minyak Kelapa (Minyak Manis), Pokmas Penangkapan Ikan (dengan perahu pongpong), Pokmas Usaha Ternak Itik, Pokmas Pengolahan Ikan, dan Pokmas Jender (Warung Pesisir). Kunci kurang berhasilnya program-program tersebut antara lain disebabkan :

a. Para pengurus COREMAP II di tingkat desa maupun ketua pokmas dan anggota umumnya hanya berpendidikan rendah, sehingga kemampuan manajemen pelaksanaan dari perencanaan sampai pelaksanaan jenis kegiatan yang sedang dilakukan kurang menguasai.

b. Program-program Pokmas Usaha Ekonomi Produktif yang ditawarkan pihak DKP pada umumnya tidak mendasarkan pada potensi dan kemampuan masyarakat, namun lebih cenderung top down dan diseragamkan. Sehingga tidak sesuai dengan keinginan, partisipasi dan kemampuan yang dimiliki masyarakat.

P

Page 153: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

136

c. Kurangnya dan tidak adanya pelatihan bagi anggota pokmas sebelum melakukan program khusus yang akan dikerjakan. Pada umumnya kemampuan teknologi masyarakat masih terbatas. Hampir semua program yang ditawarkan selama ini adalah kegiatan-kegiatan belum pernah dikenal sebelumnya.

d. Sangat kurangnya kontrol dari pihak DKP dan kurangnya pendampingan dari para ahli/trampil di bidangnya untuk para ketua pokmas dan anggotanya, sehingga kegiatan pokmas selama ini tidak berjalan dengan baik, bahkan banyak yang gagal.

e. Banyak kegiatan pokmas yang tidak sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan potensi yang ada. Sehingga masyarakat hanya sekedar menerima jenis kegiatan yang sudah ditentukan dari atas. Oleh karena itu, kegiatan pokmas yang dilakukan tidak sesuai dengan kemampuan yang dikuasai para anggota pokmas.

Program kegiatan usaha ekonomi produktif yang masih berlanjut adalah Pokmas Pengolahan Minyak Kelapa. Kegiatan ini masih terus berjalan disebabkan teknologi yang digunakan adalah telah dikuasai oleh masyarakat di Desa Saliguma. Potensi bahan baku tersedia di desa ini, pemasaran minyak kelapa tak mengalami kesulitan, sebab hampir seluruh rumah tangga di desa ini membutuhkan produk tersebut. Hanya apabila diproduksi besar-besaran barangkali bahan baku lokal tidak akan memenuhi. Keuntungan yang diperoleh pokmas selama ini belum mampu meningkatkan penghasilan rumah tangga anggota pokmas yang cukup berarti. Rata-rata keuntungan yang diterima anggota pokmas per tahun hanya sekitar Rp 300.000 sampai Rp 400.000 atau rata-rata per bulan sekitar Rp 30.000.

Pokmaswas telah terbentuk di dua desa penelitian, armada kapal telah diberikan program COREMAP, namun kegiatan Pokaswas tidak berjalan sebagai mana mestinya. Alasan

Page 154: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

137

tersendatnya kegiatan terbentur pada masalah kurang adanya dana operasional yang cukup tinggi dan tidak mungkin ditanggung oleh anggota Pokmaswas maupun pengurus COREMAP di desa. Alasan yang kedua, para anggota Pokmaswas tidak dibekali surat-surat tugas dari instansi yang berwewenang. Hal tersebut penting sebagai bukti bahwa tugas mereka adalah legal atau dilindungi oleh undang-undang. Juga para anggota Pokmaswas perlu dibekali peralatan komunikasi yang memadai agar dengan mudah dapat melapor pada petugas keamanan laut, seperti KAMLA, Polair dan instasi lainnya apabila ada kejadian pencurian, pengeboman ikan/ biota laut di perairan desanya.

5.2. REKOMENDASI

Dari beberapa kesimpulan yang disajikan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa rekomendasi yang kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk beberapa langkah perbaikan.

1. Semua program kegiatan COREMAP yang akan diturunkan ke tingkat desa sebaiknya mendasarkan pada hasil kajian/ studi kelayakan dari desa target. Hal ini dimaksudkan agar program kegiatan yang akan diintroduksir sesuai dengan potensi alam, potensi sumber daya manusianya, yaitu aspirasi, keinginan, kemampuan/ ketrampilan yang telah dimiliki/ dikuasai masyarakat. Akses terhadap pasar dan bahan pendukung lainnya harus terpenuhi.

2. Sebelum program COREMAP dimasukkan ke lokasi target seharusnya perlu sosialisasi program-program yang akan dilakukan. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat mengetahui dan dapat memilih program mana yang sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan potensi yang ada di desanya. Sehingga akan membuka motivasi dan partisipasi masyarakat, sebab merasa bahwa program yang akan diterima akan bermanfaat bagi masyarakat.

Page 155: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

138

3. Semua program yang diturunkan ke pokmas harus dimulai dari sosialisasi, pelatihan-pelatihan cara melakukan program tersebut dan pendampingan dari kegiatan tersebut dari awal kegiatan sampai produksi serta pemasarannya. Pendamping yang diturunkan mestinya mereka yang memiliki kemampuan (keahlian/ketrampilan) dalam bidang jenis program yang dilakukan masyarakat.

4. Alangkah baiknya bila program-program yang diberikan didahulunya dengan kegiatan seperti demplot-demplot yang dilakukan oleh para ahli. Demplot ini sebagai percontohan dan kalau berhasil akan lebih mudah ditiru oleh masyarakat dan sekaligus sebagai tempat latihan dan bertanya bagi masyarakat.

Page 156: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

139

DAFTAR PUSTAKA

BAPPEDA Pemkab Mentawai (2004) Laporan Akhir Profil Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai.Tua Pejat : BAPPEDA Pemkab Mentawai.

BAPPEDA Pemkab Mentawai (2004a) Analisis Pengembangan Profil Ekonomi Kabupaten Kepulauan Mentawai. Tua Pejat : BAPPEDA Pemkab Mentawai.

BAPPEDA Pemkab Mentawai (2005) Laporan Akhir Penyusunan Revisi RTRW Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tua Pejat : BAPPEDA Pemkab Mentawai.

BAPPEDA Pemkab. Mentawai (2005a) Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2005. Tua Pejat : BAPPEDA, Pemkab Mentawai.

Badan Pusat Statistik (2005) Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Kepualauan Mentawai Tahun 2005. Tua Pejat : BPS bekerjasama dengan BAPPEDA Kab. Mentawai

Bandiyono, Suko dkk (2007) Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang di Sikakap, Kabupaten Mentawai. Jakarta : COREMAP-LIPI & PPK-LIPI.

Boyle, Patrick, 1981, Planning Better Program, New York : Mc Groh Hill Book Company.

Daliyo dkk, 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II Desa Saibi Samukop dan Saliguma Kabupaten Kepulauan Mentawai, CRITIC — LIPI Jakarta

Page 157: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

140

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, 2008. Laporan Kegiatan Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang, Mangrove, Padang lamun, Estuaria, kegiatan COREMAP II Sumatera Barat, Padang : DKP Prov. Sumatera Barat.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Mentawai/Tim CRITIC, Laporan Pemantauan Kondisi Terumbu Karang di Desa Saliguma, 2008, Tua Pejad : DKP Kab. Kep.Mentawai.

______, 2008. Laporan Monitoring dan Evaluasi Program Kegiatan COREMAP II di Desa Saliguma.

Hidayati, Deny dkk (2002) Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia : Studi Kasus Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-wangi, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara . Jakarta : COREMAP LIPI.

Homer-Dixon, T. (1994). “Enviromental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases”. International Security, 19 (5) Hal. 5-40.

Horowitz Irving Louis, 1972. Three World of Development. The Theory and Practice of International Stratification, London : Oxfoord University Press.

Jefta Leibo, 1995. Sosiologi Pedesaan Mencari Suatu Strategi Pembangunan Pedesaan Berparadigma Ganda, Yogyakarta : Penerbit Andi Ofset Yogyakarta.

Kusumastanto, 2005, Ocean Polecy, Humaniora Bandung.

Page 158: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

141

Lynch, Owen J. (2002). Whose Resources ? Whose Common Good ?. Toward a new paradigm of Environmental Justice and National Interest in Indonesia. Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Nawawi dan Ari Wahyono (2007) Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia : Desa Katurai, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Jakarta : COREMAP-LIPI dan PPK-LIPI

Nontji, Anugerah (1987) Laut Nusantara. Jakarta : Penerbit PT Jambatan.

Rogers M Evert and Burdge J. Rafel, 1972. Social Change in Rural Societies, New York : Prentice Hall Inc Englewood.

Soejito Sosrodihardjo, 1987, Aspek Sosial Budaya Dalam Pembangunan Pedesaan, Yogyakarta : Tiara Wacana.

Victor PH Nikijuluw. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Jakarta : PT. Cidesindo.

Widayatun dkk (2002) Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia : Studi Kasus Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua. Jakarta : COREMAP LIPI.

YKI (2006) Pengelolaan Berbasis Masyarakat – COREMAP II Kab. Kep. Mentawai : Laporan Akhir. Tuapejad : Yayasan Kirekat Indonesia (YKI).

Page 159: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

142

Zerner, C. (1996). Sea Change : The Role of Culture, Community and Property Rights in Managing Indonesia’s Marine Fisherie”. Jakarta: Yayasan Obor.

Page 160: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

143

LAMPIRAN Lampiran 1 : ISTILAH LOKAL ayam = gaugou angsa = aso anjing = jojok air = ainan arus = ojuk badai = makata bubu = legeu babi = sakoko bakau = bakat beras = bera bukit = leko cengkeh = sangke cuaca = manua desa = pulaggaicjat dukun = kere gosong = padarai gula = gulo hulu = kanlu hujan = urat ikan = kiba ikan gembolo = kanase ikan hiu = simanggu ikan pari = buluk ikan kerapu = kure ikan tongkol = ambu-ambu jaring = jarig jalan = enungan ketela pohon = baelati

Page 161: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

144

kebun/ladang = mone kelapa = toitet karang = bukku kerikil = onei kepiting = labug laut = batkoat lampu = alito muara = monga minyak tanah = suat alito minyakgoreng = pakkale mata air = bubuakat nanas = maset pancing = kakabli perahu = abag perahu motor = abag motro pisang = bago pepaya = sakelo pantai = bebetokoat pasir putih = buge/ ngai pinang = loinang pasang = movojo pasang kering = kaiojo pasar = pasakia rumah = lalep rokok = ube sungai = batoinan sagu = sagae sapi = cawi sawah = kuberakat sumur = sumu udang = tutu ubi = gobi warung = jaga

Page 162: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

145

Lampiran 2 :

Tabel 2.1. Sarana dan Prasarana Desa Saibi Samukop, Kec. Siberut Selatan, Kab.Mentawai, 2009

No

Jenis Sarana dan

Prasarana Jumlah Kondisi

(1) (2) (3) (4)

1 Kantor Kepala Desa 1 unit Kurang baik, berfungsi

2 Gedung TK 3 unit Berfungsi 3 Gedung SD 4 unit Baik 4. Gedung SMP 1 unit Baik 5. Gereja 9 unit Baik, berfungsi 6. Mesjid 1 unit Baik, berfungsi 7. Puskemas Pembantu 2 unit Baik, berfungsi 8. Posyandu 2 unit Kurang berfungsi

9. Jalan desa (di pusat desa/Saibi)

4 km Baik, berfungsi

10. Pondok Informasui 1 unit Tidak terawat

11. Televisi (TV) Handphone (HP)

50 unit 100 unit

Milik pribadi Milik pribadi

Sumber: Hasil pendataan kondisi umum Desa Saibi Samukop , tahun 2009

Page 163: KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BME_Sosek_Mentawai_2009_-_Saibi-Saliguma.pdfdari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan

146

Tabel 2.2. Sarana dan Prasarana Desa Saliguma,

Kec. Siberut Selatan, Kab.Mentawai, 2009

No

Jenis Sarana dan

Prasarana Jumlah Kondisi

(1) (2) (3) (4)

1 Kantor Kepala Desa 1 unit Kurang baik, berfungsi

2 Gedung TK 2 unit Berfungsi3 Gedung SD 3 unit Baik, berfungsi 4 Gereja 2 unit Baik, berfungsi 5 Mesjid 1 unit Baik, berfungsi 6 Lapangan bola dan volly 1 tempat Baik, berfungsi 7 Puskemas Pembantu 2 unit Baik, berfungsi

8. Balai Pengobatan Masyarakat

1 unit Baik, belum berfungsi

8 Posyandu Kurang berfungsi 9 Jalan Desa 4 km Baik, berfungsi

10 Pondok Informasi 1 unit Baik, berfungsi

11 Warung minum & sembako

9 unit Berfungsi

12 Televisi (TV) 38 unit Milik pribadi

13

Armada perahu :Mesin 40 PK Mesin 25 PK Mesin 15 PK Mesin 10 PK Mesin 5 PK Sampan (perahu tanpa mesin)

1 unit 1 unit

10 unit 14 unit 14 unit 15 unit

Milik pribadi Milik Puskesmas Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi Milik pribadi

Sumber: Hasil pendataan kondisi umum Desa Saliguma, tahun 2009