komunikasi antar lembaga negara: kajian terhadap

15
707 SEMINAR NASIONAL Politik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi PolitikPekanbaru, 17-18 November 2015 KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP PERSETUJUAN HIBAH ASET PEMBANGUNAN KANTOR DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DI PROVINSI RIAU TAHUN 2011 Muchid Albintani Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh karena kegagalan komunikasi antar lembaga negara [DPD, DPRD dan Pemerintah Provinsi Riau] terhadap persetujuan hibah aset pembangunan kantor Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) di Provinsi Riau. Kegagalan tersebut disebabkan tidak komunikatifnya komunikasi antar aktor pada masing-masing lembaga negara [struktur] sesuai aturan yang ada. Ketidakjelasan batas waktu, overlaping surat, pembatalan sepihak, pemilihan lokasi yang inkonstitusional adalah di antara penyebabnya. Sementara undang-undang memberikan batas waktu yang tegas terhadap kehadiran lembaga negara [Dewan Perwakilan Daerah] yang wajib diwujudkan di daerah [struktur fisik kantor]. Berdasarkan latarbelakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk, pertama, mengindentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi antar DPD, Pemerintah Daerah dan DPRD Riau terhadap persetujuan hibah aset pembangunan kantor tersebut. Kedua, mengidentifikasi dan memformulasi mekanisme komunikasi yang dapat memperlancar keberhasilan pelaksanaan hibah tersebut. Untuk membantu memahami, menjelaskan dan menjawab permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan pendekatan komunikasi-politik-hukum sebagai kerangka teoritisnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi yang didukung dengan wawancara. Teknik analisa data dilakukan secara diskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan pertama, bahwa komunikasi antar lembaga negara menjadikan institusi tidak penting berbanding aktor-aktor yang ada dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena kajian ini difokuskan pada komunikasi antar lembaga [aktor] dan lembaga [insitusi negara], persaingan antara aktor lebih mengedepan dan dominan. Kedua, perwujudan kepentingan atas nama konstitusi yang direpresentasikan oleh lembaga [pemerintahan] negara menjadi tidak lebih penting berbanding kepentingan aktor penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, pada konteks ini komunikasi akan lancar terlaksana apabila para aktor berjalan di atas tatanan konstitusi, kepentingan pusat di daerah, refleksi pemerintahan negara dalam desentralisasi [otonomi daerah] dan komunikasi antar aktor lokal. Dari sini yang terpenting adalah cara berkomunikasinya. Kata Kunci: Hibah Aset, Komunikasi-Politik-Hukum dan Lembaga Negara

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

31 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

707

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

673

KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP PERSETUJUAN HIBAH ASET PEMBANGUNAN KANTOR DEWAN

PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DI PROVINSI RIAU TAHUN 2011

Muchid AlbintaniDosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Riau

AbstrakPenelitian ini dilatarbelakangi oleh karena kegagalan komunikasi antar lembaga negara

[DPD, DPRD dan Pemerintah Provinsi Riau] terhadap persetujuan hibah aset pembangunan kantor Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) di Provinsi Riau. Kegagalan tersebut disebabkan tidak komunikatifnya komunikasi antar aktor pada masing-masing lembaga negara [struktur] sesuai aturan yang ada. Ketidakjelasan batas waktu, overlaping surat, pembatalan sepihak, pemilihan lokasi yang inkonstitusional adalah di antara penyebabnya. Sementara undang-undang memberikan batas waktu yang tegas terhadap kehadiran lembaga negara [Dewan Perwakilan Daerah] yang wajib diwujudkan di daerah [struktur fisik kantor].

Berdasarkan latarbelakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk, pertama, mengindentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi antar DPD, Pemerintah Daerah dan DPRD Riau terhadap persetujuan hibah aset pembangunan kantor tersebut. Kedua, mengidentifikasi dan memformulasi mekanisme komunikasi yang dapat memperlancar keberhasilan pelaksanaan hibah tersebut. Untuk membantu memahami, menjelaskan dan menjawab permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan pendekatan komunikasi-politik-hukum sebagai kerangka teoritisnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi yang didukung dengan wawancara. Teknik analisa data dilakukan secara diskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan pertama, bahwa komunikasi antar lembaga negara menjadikan institusi tidak penting berbanding aktor-aktor yang ada dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena kajian ini difokuskan pada komunikasi antar lembaga [aktor] dan lembaga [insitusi negara], persaingan antara aktor lebih mengedepan dan dominan. Kedua, perwujudan kepentingan atas nama konstitusi yang direpresentasikan oleh lembaga [pemerintahan] negara menjadi tidak lebih penting berbanding kepentingan aktor penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, pada konteks ini komunikasi akan lancar terlaksana apabila para aktor berjalan di atas tatanan konstitusi, kepentingan pusat di daerah, refleksi pemerintahan negara dalam desentralisasi [otonomi daerah] dan komunikasi antar aktor lokal. Dari sini yang terpenting adalah cara berkomunikasinya.

Kata Kunci: Hibah Aset, Komunikasi-Politik-Hukum dan Lembaga Negara

Page 2: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

708

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

674

PENDAHULUANBidang telaah penelitian ini difokuskan terhadap perlunya pendekatan baru dalam memahami realitas kehidupakan kenegaraan khususnya dalam bidang komunikasi politik dan politik hukum pada era Reformasi Indonesia. Studi era Orde Baru dan Reformasi selama ini, hanya berfokus pada pemisahan antara komunikasi politik dan politik hukum. Berdasarkan argumentasi yang dikemukakan penelitian ini berupaya memfokuskan telaahannya mengintegrasikan antara politik komunikasi dan politik hukum yang disebut studi atau kajian [dengan] pendekatan komunikasi-politik-hukum. Telaah ini berupaya menjawab dan memperjelas fenomena komunikasi [hubungan] antar aktor yang berada pada lembaga pemerintahan negara era desentralisasi secara konstitusi [undang-undang dasar] yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah. Kegagalan hubungan antar aktor yang juga merepresentasikan insitusi pemerintahan negara dalam melaksanakan perintah [amanah] konsitusi menyebabkan tidak terlaksananya pembangunan kantor DPD di Provinsi Riau. Kebijakan yang dilakukan melalui rekomendasi DPRD Riau mengalami kegagalan. Ini disebabkan tidak lancarnya komunikasi antar aktor di pemerintahan negara. Dalam konteks ini, komunikasi politik dan politik hukum menjadi kajian penting untuk memahami fenomena kegagalan tersebut. Belajar dari kegagalan pada era reformasi Indonesia memberikan arti penting terhadap terjadinya perubahan kelembagaan kenegaraan. Sebelum Reformasi dan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat enam lembaga tinggi [tertinggi] negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA. Setelah perubahan [amandemen] UUD 1945 diketahui bahwa lembaga negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan KomisiYudisial (KY), tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara lagi. Berdasarkan perubahan yang terjadi dalam konteks kajian ini khusus untuk Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) terdapat beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, lembaga perwakilan daerah ini mengubah sistem perwakilan menjadi dua kamar [bikameral]. Dalam hubungan ini DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari Senat sebagai perwakilan negara bagian dan House of Representatives sebagai perwakilan seluruh rakyat. Sebagai contoh di Amerika Serikat (AS), kedua unsur perwakilan tersebut dinamakan Kongres (Congress) badan yang menjalankan kekuasaan legislatif. Kedua, untuk meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

675

negara. Dewan ini merupakan badan sehari-hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem Utusan Daerah di MPR menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan. Menyambut eksistensi lembaga yang mewakili daerah ini, berdasarkan amanah undang-undang, gubernur pada Rapat Paripurna DPRD Riau, 20 April 2011, telah menyampaikan perihal Hibah Aset Pemerintah Provinsi Riau untuk mendapat persetujuan DPRD Provinsi Riau terkait dengan pembangunan gedung DPD RI di Provinsi Riau. Inilah yang menyebabkan DPRD Riau membentuk Panitia Khusus [PANSUS] untuk membahas dan mendalami Persetujuan Hibah Aset Pemerintah Provinsi. Berdasarkan penyampaian gubernur dan pembentukan pansus untuk kemudian meresponnya, pada tindaklanjutnya m engalami dinamika yang menyebabkan kegagalan proses persetujuan berupa rekomendasi DPRD Riau. Kegagalan ini di antaranya disebabkan oleh permasalahan berikut ini. Pertama, berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Provinsi Riau kepada Pimpinan DPRD Provinsi Riau, Nomor 028/PP/37.05 Tanggal 18 P ebruari 2011, perihal Persetujuan Hibah Aset Pemerintah Provinsi Riau, berisi antara lain: Nilai aset tanah dan bangunan yang akan dihibahkan Pemerintah Provinsi Riau kepada Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia [DPD-RI] senilai Rp.12.837.094.000 [Dua belas milyar delapan ratus tiga puluh tujuh juta Sembilan puluh empat ribu rupiah] termasuk fasilitas (sarana) pelengkap. Kedua, berdasarkan Surat Gubernur Riau kepada Ketua DPRD Provinsi Riau Nomor: 028/ PP/37.10, Tanggal 21 April 2011, perihal Pembatalan Hibah, berisi antara lain: menyadari pemenuhan kewajiban DPD-RI terhadap konstituen daerah yang diwakilinya, maka lokasi tersebut dialihkan [maksudnya lokasi tanah dan bangunan yang akan dihibahkan] pada lahan DPRD Provinsi Riau yang saat ini digunakan sebagai Kantor Dharma Wanita Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Kedua surat ini berbeda yang berasal dari Sekretariat dan Gubernur Riau [ada dua surat yang bertolak belakang]. Bermula dari kedua surat yang bertolak belakang tersebut menyebabkan awal komunikasi yang tersendat dan tidak lencar antara DPRD, DPD dan Pemerintah Provinsi Riau. Berpijak penjelasan tersebut, maka penelitian ini bertujuan: [1] Mengindentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi politik antar DPD, Pemerintah Daerah dan DPRD Riau [komunikan dan komunikator] terhadap persetujuan hibah aset pembangunan kantor DPD di Provinsi Riau [2]. Mengidentifikasi, memformulasi dan menjelaskan mekanisme kelancaran para aktor [komunikator dan komunikan] terhadap keberhasilan komunikasi antar lembaga negara terhadap pelaksanaan persetujuan hibah aset pembangunan kantor DPD di Provinsi Riau.

Page 3: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

709

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

675

negara. Dewan ini merupakan badan sehari-hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem Utusan Daerah di MPR menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan. Menyambut eksistensi lembaga yang mewakili daerah ini, berdasarkan amanah undang-undang, gubernur pada Rapat Paripurna DPRD Riau, 20 April 2011, telah menyampaikan perihal Hibah Aset Pemerintah Provinsi Riau untuk mendapat persetujuan DPRD Provinsi Riau terkait dengan pembangunan gedung DPD RI di Provinsi Riau. Inilah yang menyebabkan DPRD Riau membentuk Panitia Khusus [PANSUS] untuk membahas dan mendalami Persetujuan Hibah Aset Pemerintah Provinsi. Berdasarkan penyampaian gubernur dan pembentukan pansus untuk kemudian meresponnya, pada tindaklanjutnya m engalami dinamika yang menyebabkan kegagalan proses persetujuan berupa rekomendasi DPRD Riau. Kegagalan ini di antaranya disebabkan oleh permasalahan berikut ini. Pertama, berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Provinsi Riau kepada Pimpinan DPRD Provinsi Riau, Nomor 028/PP/37.05 Tanggal 18 P ebruari 2011, perihal Persetujuan Hibah Aset Pemerintah Provinsi Riau, berisi antara lain: Nilai aset tanah dan bangunan yang akan dihibahkan Pemerintah Provinsi Riau kepada Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia [DPD-RI] senilai Rp.12.837.094.000 [Dua belas milyar delapan ratus tiga puluh tujuh juta Sembilan puluh empat ribu rupiah] termasuk fasilitas (sarana) pelengkap. Kedua, berdasarkan Surat Gubernur Riau kepada Ketua DPRD Provinsi Riau Nomor: 028/ PP/37.10, Tanggal 21 April 2011, perihal Pembatalan Hibah, berisi antara lain: menyadari pemenuhan kewajiban DPD-RI terhadap konstituen daerah yang diwakilinya, maka lokasi tersebut dialihkan [maksudnya lokasi tanah dan bangunan yang akan dihibahkan] pada lahan DPRD Provinsi Riau yang saat ini digunakan sebagai Kantor Dharma Wanita Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Kedua surat ini berbeda yang berasal dari Sekretariat dan Gubernur Riau [ada dua surat yang bertolak belakang]. Bermula dari kedua surat yang bertolak belakang tersebut menyebabkan awal komunikasi yang tersendat dan tidak lencar antara DPRD, DPD dan Pemerintah Provinsi Riau. Berpijak penjelasan tersebut, maka penelitian ini bertujuan: [1] Mengindentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi politik antar DPD, Pemerintah Daerah dan DPRD Riau [komunikan dan komunikator] terhadap persetujuan hibah aset pembangunan kantor DPD di Provinsi Riau [2]. Mengidentifikasi, memformulasi dan menjelaskan mekanisme kelancaran para aktor [komunikator dan komunikan] terhadap keberhasilan komunikasi antar lembaga negara terhadap pelaksanaan persetujuan hibah aset pembangunan kantor DPD di Provinsi Riau.

Page 4: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

710

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

676

TELAAH PUSTAKAUntuk memudahkan menjawab pertanyaan peneltian melalui tujuan penelitian sebelumnya, telaah pustaka menggunakan pendekatan komunikasi politik komunikasi dan politik hukum sebagai pendekatan interdisipliner. Oleh karana pendekatan interdisipliner, maka teori, perspektif, paradigma atau pendekatan di dalam komunikasi dan hukum yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang dikemukakan. Dalam konteks memahami komunikasi dan hukum sebagai pendekatan interdisipler, maka untuk mempermudah menganalisis faktor-faktor dan formulasi pelaksanaan komunikasi antar lembaga negara yakni, DPD, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] diperlukan pendekatan interdisiplin yang disebut dengan komunikasi politik hukum. Pendekatan ini digunakan sebagai referensi merupakan upaya untuk mengidentifikasi hubungan persetujuan produk hukum berupa rekomendasi Pansus DPRD kepada DPD-RI melalui Pemerintah Provinsi Riau yang dalam konteks ini direpresentasikan oleh seorang Gubernur. Upaya ini menjadi penting sebagai langkah penghubung memahami fenomena komuniasi [interaksi antar aktor sebagai komunikator dan komuniken], politik [institusi lembaga negara] dan hukum [hasil produk berupa rekomendasi]. K omunikasi sebagai pendekatan interdisipliner memberikan jalan bagi mengungkap fenomena yang merupakan jawaban antara rekomendasi sebagai produk hukum dan interaksi antar aktor sebagai basis pendekatan komunikasi. Dalam konteks ini maka interaksi antar aktor pembuat dan pengguna kebijakan menuju pada afilisasi yang satu yakni terkait rekomendasi. Berdasarkan pada argumentasi ini yang kemudian menelaah hubungan antara komuniasi, antar aktor di lembaga politik dan produk hukum [rekomendasi] yang dihasilkan untuk ‘sementara’ dalam konteks penelitian ini pendekatan ekonomi politik dan politik hukum sebagai kerangka teoritisnya belum dapat optimal menjadi referensi. Secara teoritis, pendekatan komunikasi [MC Quail 2011], [Mulyana 2011] dan Bahtiar belum dapat menguak tabir dalam fenomena produk hukumnya [berupa rekomendasi]. Sementara, Mahfud [2009], Ashiidiqie [2007] dan [Indrayana 2007], belum dapat menjelaskan fenomena komunikasi dapat peroses pembuatan produk hukum [rekomendasi] yang dapat dimaknai belum dapat maksimal dipergunakan sebagai usaha teoritikal menjawab tujuan tersebut. Oleh karena itu selanjutnya dalam kejian ini, pendekatan Komunikasi-politik-hukum sebagai pendekatan eklektik [gabungan] menjadi penting sebagai alternatif membantu menjelaskan penting hubungan antar aktor lembaga politik [komunikasi] di lembaga politik [kekuasaan] dan proses pembuatan di lembaga negara daerah [DPRD] berupa rekomendasi agar dapat diidentifikasi, diurai dan dijelaskan secara perspektif teortis. Sehinga semua tujuan yang dikemukakan dapat dijawab dengan jelas.

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

677

Berdasarkan argumentasi itulah menurut hemat penulis terdapat beberapa argumentasi yang perlu dijelaskan secara khusus untuk mengurai tujuan. Pertama, oleh kerana fenomena hubungan DPD RI dan Rekomendasi ialah fenomena proses interaksi antara komunikasi politik dan hukum. Kedua, berpisahnya kajian antara komunikasi politik dan politik hukum. Ketiga, keterbatasan pedekatan komunikasi politik untuk memahami fenomena produk hukum [rekomendasi], begitu pula sebaliknya adanya keterbatasan pendekatan komunikasi politik memahami interaksi aktor dalam lembaga perwakilan rakyat di daerah yang akan mengeluarkan sebuah rekomendasi.

Gambar 2.1 berikut ini menunjukkan proses pendekatan eklektik ini. Berdasarkan penjelasan ini komunikasi dan hukum sebagai penyeimbang, sementara politik sebagai pengatur [major]. Dengan ketiga-tiga bidang studi itulah secara teoritis dapat dijelaskan fenomena kegagalan komunikasi dalam struktur kekuasaan lembaga pemerintan negara. Inilah signifikannya pendekatan komunikasi-politik-hukum sebagai referensi.

RKOMUNIKASI

POLITIK

HUKUM

1. FENOMENA PROSES REKOMENDASI

PROSES PEMBUATANREKOMENDASI DI PANSUS

HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA

LEMBAGA NEGARA DI DAERAH YANGMEMPRODUKSI KEBIJAKAN

DPDKOMUNIKASIPOLITIK POLITIK

HUKUM

2. PENDEKATAN MEMAHAMI INTERAKSI ANTARA DPD-GEBERNUR-DPRD

REKOMENDASI

3. PENDEKATAN MEMAHAMI HUBUNGAN DPD-GUBERNUR-DPRD

Gambar 2.1 Pendekatan Komunikasi-Politik-Hukum

Gambar 2.1 dan 2.2 ini menjelaskan bahwa rekomendasi merupakan kawasan yang menjadi interaksi antara komunikasi, politik dan hukum. Kemudain kedua, DPD menjadi area tersendiri bagi berlangsungnya komunikasi politik dan politik hukum. Sementara ketiga, peroses antara rekomendasi dengan DPD yang memerlukan

Page 5: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

711

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

677

Berdasarkan argumentasi itulah menurut hemat penulis terdapat beberapa argumentasi yang perlu dijelaskan secara khusus untuk mengurai tujuan. Pertama, oleh kerana fenomena hubungan DPD RI dan Rekomendasi ialah fenomena proses interaksi antara komunikasi politik dan hukum. Kedua, berpisahnya kajian antara komunikasi politik dan politik hukum. Ketiga, keterbatasan pedekatan komunikasi politik untuk memahami fenomena produk hukum [rekomendasi], begitu pula sebaliknya adanya keterbatasan pendekatan komunikasi politik memahami interaksi aktor dalam lembaga perwakilan rakyat di daerah yang akan mengeluarkan sebuah rekomendasi.

Gambar 2.1 berikut ini menunjukkan proses pendekatan eklektik ini. Berdasarkan penjelasan ini komunikasi dan hukum sebagai penyeimbang, sementara politik sebagai pengatur [major]. Dengan ketiga-tiga bidang studi itulah secara teoritis dapat dijelaskan fenomena kegagalan komunikasi dalam struktur kekuasaan lembaga pemerintan negara. Inilah signifikannya pendekatan komunikasi-politik-hukum sebagai referensi.

RKOMUNIKASI

POLITIK

HUKUM

1. FENOMENA PROSES REKOMENDASI

PROSES PEMBUATANREKOMENDASI DI PANSUS

HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA

LEMBAGA NEGARA DI DAERAH YANGMEMPRODUKSI KEBIJAKAN

DPDKOMUNIKASIPOLITIK POLITIK

HUKUM

2. PENDEKATAN MEMAHAMI INTERAKSI ANTARA DPD-GEBERNUR-DPRD

REKOMENDASI

3. PENDEKATAN MEMAHAMI HUBUNGAN DPD-GUBERNUR-DPRD

Gambar 2.1 Pendekatan Komunikasi-Politik-Hukum

Gambar 2.1 dan 2.2 ini menjelaskan bahwa rekomendasi merupakan kawasan yang menjadi interaksi antara komunikasi, politik dan hukum. Kemudain kedua, DPD menjadi area tersendiri bagi berlangsungnya komunikasi politik dan politik hukum. Sementara ketiga, peroses antara rekomendasi dengan DPD yang memerlukan

Page 6: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

712

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

678

persetujuan DPRD dan Pemerintah Daerah tidak dapat dipisahkan [terintegrasi]. Berdasarkan pelbagai penjelasan [melalaui gambar] secara teoritis dapat dimengerti bahwa hubungan antar lembaga negara selama ini tidak dapat menjamin terlaksananya amanah undang-undang. Padahal DPD merupakan lembaga negara sendiri yang berada dalam kewasan yang sama atau representasi daerah dalam kerangka desentralisasi [otonomi daerah].

Pendekatan Komunikasi-politik-hukum memberikan referensi untuk menjelaskan sesuai tujuan yang dikemukakan. Berdasarkan penjelasan ini, maka studi terhadap keberadaan kantor DPD di provinsi ini sessuai amanah undang-undang itulah perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah Indonesia.

Gambar 2.2 Pendekatan komunikasi-Politik-Hukum

METODOLOGIDesain penelitian ini adalah murrni kualitatif. Penelitian berlangsung di Provinsi Riau. Data dikumpulkan melalui dokumen yang diterbitkan yang didukung hasil wawancara. Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif.

Komunikasi Antar Lembaga Negara dan Hibah Aset Kantor Dewan Perwakilan Daerah

Sesuai tujuan yang telah diungkapkan sebelumnya dalam pendahuluan, bagian ini menjelaskan dua hal penting terkait dengan, pertama faktor yang mempenngaruhi

Ekonomi-Politik-Hukum Ekonomi-Politik-HukumOtorita Batam

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

679

komunikasi antar lembaga negara dan, kedua formulasi kelancaraan komunikasi antar lembaga pemerintahan negara.

A. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Lembaga Negara Menyadari pemenuhan kewajiban DPD-RI terhadap konstituen daerah yang diwakilinya menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi komunikasi antar aktor di lembaga negara yang akan dijelaskan berikut ini.

1. Interaksi Antar Komunikator dan Komunikan Dalam menentukan proses komunikasi antar komunikator dan komunikan penting diketahui, diidentifikasi dan dimengerti antar keduanya. Apalagi ini berlangsung di antara para aktor di lembaga pmerintahan negara seperti DPD RI, DPRD dan Pemerintah Provinsi Riau. Interaksi ini menuju pada peroses komunikasi-politik-hukum yang memerlukan rekomendasi. Oleh karena itu, proses interaksi antar komunikator dan komunikan sangat penting. Interaksi inilah yang tak dapat dipisahkan [saling terintegrasi] antara ketiga lembaga ini dalam konteks rekomendasi yang saling berlid-klindan. Yang penting sebagai bahan anlisis mendasar adalah bahwa lembaga ini merupakan representasi daerah. Oleh kareanya kegagalan komunikator dan komunikan tampak perihal ada dua surat berurutan [18 Februari 2011 tentang Hibah, dan 21 A pril 2011 tentang pembatalan hibah yang memiliki selisih 21 hari]. Dengan surat yang berbeda antara surat Sekretariat Daerah Provinsi Riau dan Gubernur Riau tersebut menunjukkan ketidaksinkronan [tidak ada koordinasi] di dalam jajaran internal pemerintah daerah. Kegagalan komunikasi internal menyebabkan dan berdampak pada proses komunikasi di luar lembaga. Sehingga berpengaruh terhadap hasil yang diinginkan.

2. Kepentingan Antar Aktor Yang BerbedaPenjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa kepentingan aktor yang berbeda dengan latar belakang institusi yang berbeda, melandasi sekaligus mempengaruhi komunikasi antar lembaga negara. Berpijak dari permohonan pergantian Hibah Aset yang dilakukan sepihak oleh Pemerintah Daerah tanpa koordinasi dan komunikasi terlebih dahulu baik dengan DPD-RI maupun PANSUS yang digantikan dengan tanah DPRD Provinsi Riau yang saat ini digunakan sebagai Kantor Dharma Wanita Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Padahal kantor ini yang jelas-jelas sedang difungsikan [barang atau objek yang dihibahkan belum sesuai dengan Permendagri 17/2007 Pasal 78 , tentang Hibah Ayat (2) Huruf C]. Sesuai regulasi ini menjelaskan bahwa, “Bangunan atau Tanah yang dihibahkan tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”.

Page 7: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

713

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

679

komunikasi antar lembaga negara dan, kedua formulasi kelancaraan komunikasi antar lembaga pemerintahan negara.

A. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Lembaga Negara Menyadari pemenuhan kewajiban DPD-RI terhadap konstituen daerah yang diwakilinya menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi komunikasi antar aktor di lembaga negara yang akan dijelaskan berikut ini.

1. Interaksi Antar Komunikator dan Komunikan Dalam menentukan proses komunikasi antar komunikator dan komunikan penting diketahui, diidentifikasi dan dimengerti antar keduanya. Apalagi ini berlangsung di antara para aktor di lembaga pmerintahan negara seperti DPD RI, DPRD dan Pemerintah Provinsi Riau. Interaksi ini menuju pada peroses komunikasi-politik-hukum yang memerlukan rekomendasi. Oleh karena itu, proses interaksi antar komunikator dan komunikan sangat penting. Interaksi inilah yang tak dapat dipisahkan [saling terintegrasi] antara ketiga lembaga ini dalam konteks rekomendasi yang saling berlid-klindan. Yang penting sebagai bahan anlisis mendasar adalah bahwa lembaga ini merupakan representasi daerah. Oleh kareanya kegagalan komunikator dan komunikan tampak perihal ada dua surat berurutan [18 Februari 2011 tentang Hibah, dan 21 A pril 2011 tentang pembatalan hibah yang memiliki selisih 21 hari]. Dengan surat yang berbeda antara surat Sekretariat Daerah Provinsi Riau dan Gubernur Riau tersebut menunjukkan ketidaksinkronan [tidak ada koordinasi] di dalam jajaran internal pemerintah daerah. Kegagalan komunikasi internal menyebabkan dan berdampak pada proses komunikasi di luar lembaga. Sehingga berpengaruh terhadap hasil yang diinginkan.

2. Kepentingan Antar Aktor Yang BerbedaPenjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa kepentingan aktor yang berbeda dengan latar belakang institusi yang berbeda, melandasi sekaligus mempengaruhi komunikasi antar lembaga negara. Berpijak dari permohonan pergantian Hibah Aset yang dilakukan sepihak oleh Pemerintah Daerah tanpa koordinasi dan komunikasi terlebih dahulu baik dengan DPD-RI maupun PANSUS yang digantikan dengan tanah DPRD Provinsi Riau yang saat ini digunakan sebagai Kantor Dharma Wanita Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Padahal kantor ini yang jelas-jelas sedang difungsikan [barang atau objek yang dihibahkan belum sesuai dengan Permendagri 17/2007 Pasal 78 , tentang Hibah Ayat (2) Huruf C]. Sesuai regulasi ini menjelaskan bahwa, “Bangunan atau Tanah yang dihibahkan tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”.

Page 8: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

714

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

680

Berdasarkan pada realitas inilah yang menyebabkan tidak kontinuitasnya rencana pelaksanaan persetujuan hibah tersebut. Sehingga benar-benar merefleksikan kepentingan aktor yang berbeda yang mengakibatkan pula terjadinya perbedaan. Sehingga berdampak pada proses pelaksanaan dan dikeluarkanya rekomendasi.

3. Kepentingan Kelembagaan Birokrasi Pusat di DaerahKoordinasi internal antara SKPD di Pemerintah Daerah dan komunikasi yang dilakukan Pemerintah Daerah dengan Pansus belum menunjukan interaksi intensif sesuai keingian dari DPD RI. Oleh karena itu, walaupun didukung berdasarkan kajian yang sudah dilakukan, menjadi tidak relevan akibat dari pembatalan sepihak yang dilakukan Pemerintah Daerah [sesuai hasil laporan Nomor 095A/LAP/0.3-KJPP/II/11 dan No Proyek 09.0 25/PRO/0.3-KJPP/II/11 tentang Penilaian Aset a.n KJPP Abdullah Fitriantoro & Rekan ADD Consulting] kepada Biro Perlengkapan Pemerintahan Provinsi Riau Jl. Jenderal Sudirman Pekanbaru. Memahami realitas ini membuktikan juga jika koordinasi internal tersebut berlandas pada kepentingan kelembagaan Birokrasi di daerah yang seolah-olah tidak atau bukan bagian dari pemerintah pusat. Padahal kedua lembaga ini baik daerah dan pusat yang letaknya di daerah adalah bagian dari pemerintah pusat.

4. Persaingan Antar Aktor Dalam Kelembagaan PolitikPertimbangan lain menyangkut antisipasi perkembangan masa depan. Mengingat tugas dan fungsi DPRD semakin berat, mempertimbangan pengembangan sarana pendukung di daerah dalam kawasan DPRD Provinsi Riau untuk menunjang tugas dan fungsi dimaksud, sementara dilain pihak lahan yang tersedia da lam kawasan sangat terbatas merupakan reflekasi empirik bahwa persaingan antar aktor dalam lembaga kenegaraan negara ditunjukkan. Permohonan dari DPD-RI tentang lokasi kantor yang harus terletak di kawasan atau jalan protokoler yang tidak berdasarkan pada aturan hukum dan hanya berdasarkan pada referensi yang dilakukan di daerah lain dan belum dapat dibuktikan secara nyata [konkret].

Realitas ini menjadikan sandaran bahwa persaingan antar aktor dalam kelembagaan politik tampak adanya. Institusi politik yang merepresntasikan domokrasi yang mewakili dari secara simultani juga bagian dari peserta pemilu. Dalam konteks ini pula popularitas menjadi penting dikedepankan. Oleh karena itu apa yang terjadi dalam hubungan dengan hiba dan rekomendasi hanyalah bagian dari objektif bagi memahami fenomena persaingan tersebut. Hal yang tak dapat ditolak adalah ‘kesewenangan’ dari pemerintah provinsi yang menggantikan lokasi yang mana masih diperuntukan bagi kegioatan kesetetariatn DPRD Provinsi. Persoalan akan menjadi lain apabila pemernatahan yang direpresentasikan oleh gubernur sebagai kepala daerah satu orang dengan. Ini juga dapat menunjukan ketidaksenangan pemerintah [eksektuif] dengan sikap DPRD yang terlalu berpihak

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

681

kepada DPD RI. Walau pada kenyataannya sulit membuktikan keberpihakan lembaga wakil rakyat ini tidak dapat diwakili sebagai persoalan personal melainkan kolektif institusional. Dalam hubungan ini harus diakui bahwa DPRD adalah juga representasi personal. Sementara itu DPD RI juga adalah representasi daerah yang diwakilinya. Hanya saja memang agak sulit dibantah jika ketidaksnangan aktor [gubernur] secara personal terhadap anggota DPD misalnya, juga dapat mempengaruhi keputusan ini. Oleh karena itu, persaingan komunikasi-politik-hukum antar aktor tidak dapat dihindari. Sebagai konsekuensinyai lebih jauh di antaranya adalah kegagalan yang terjadi dalam proses rekomendasinya.

B. Kelancaran Komunikasi Antar Lembaga Negara Berdasarkan pada penjelaskan sebelumnya bahwa kegagalan dan rekomendasi yang tertunda diberikan oleh DPRD bersumber dari ketidakjelaskan pemerintah provinsi menyediakan lokasi. Dalam hubungan ini DPD tidak memiliki kewenangan untuk menolak atau menuntutnya. Oleh karena itu faktor yang mempengrahui komunikasi antar lembaga negara terkait dengan kelancaran perlu diciptakan formulasi yang pas atau sejalan antar aktor yang terlibat pada lembaga pemerinatahan negara di pusat dan daerah tersebut . Adapun formulasi dimaksudkan untuk mencapai kelancaran berkomunikasi antara komunikator dengan komunikan. Ini dapat dilihat dari hasil akhir kerja pansus yang pada asasnya tidak atau belum memberikan rekomendasi dan mengembalikannya kepada kebijakan pemerintah provinsi sebagai pihak yang empunya lahan [aset]. Hal ini yang oleh pansus disampaikan dalam rapat Paripurna dewan. Memahami realitas dengan argumentasui yang dikemukakan oleh pansus tersebut ada beberapa hal yang akan disampaikan dalam upaya memperlancar komunikasi aktor antar lembaga negara.

1. Mewujudkan Kepentingan KonstitusiPenjelasan kelancaran komunikasi dengan argumentasi mewujudkan konstitusi yang menjadi pedoman bagi lahirnya sebuah undang-undang menjadi kesepakatan antar aktor pada lembaga pemerintahan negara. Apalagi pada kenyataanya berdasarakan undang-undang MD3 adalah dasar hukumnya. Regulasi ini merupakan penopang bagi kesepakatan normatif terhadap ukuran keberhsilan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan. Adapun keberhasilan sesuai amanah UU MD3 maka paling lambat 29 Agustus 2011 kantor DPD sudah ada di daerah [di Provinsi Riau]. Argumentasi mewujudkan kepentingan konstituen dan menjalankan amanah undang-undang merupakan kewajiban para aktor dalam struktur pemerintahana negara. Jastifikasi konstitusi

Page 9: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

715

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

681

kepada DPD RI. Walau pada kenyataannya sulit membuktikan keberpihakan lembaga wakil rakyat ini tidak dapat diwakili sebagai persoalan personal melainkan kolektif institusional. Dalam hubungan ini harus diakui bahwa DPRD adalah juga representasi personal. Sementara itu DPD RI juga adalah representasi daerah yang diwakilinya. Hanya saja memang agak sulit dibantah jika ketidaksnangan aktor [gubernur] secara personal terhadap anggota DPD misalnya, juga dapat mempengaruhi keputusan ini. Oleh karena itu, persaingan komunikasi-politik-hukum antar aktor tidak dapat dihindari. Sebagai konsekuensinyai lebih jauh di antaranya adalah kegagalan yang terjadi dalam proses rekomendasinya.

B. Kelancaran Komunikasi Antar Lembaga Negara Berdasarkan pada penjelaskan sebelumnya bahwa kegagalan dan rekomendasi yang tertunda diberikan oleh DPRD bersumber dari ketidakjelaskan pemerintah provinsi menyediakan lokasi. Dalam hubungan ini DPD tidak memiliki kewenangan untuk menolak atau menuntutnya. Oleh karena itu faktor yang mempengrahui komunikasi antar lembaga negara terkait dengan kelancaran perlu diciptakan formulasi yang pas atau sejalan antar aktor yang terlibat pada lembaga pemerinatahan negara di pusat dan daerah tersebut . Adapun formulasi dimaksudkan untuk mencapai kelancaran berkomunikasi antara komunikator dengan komunikan. Ini dapat dilihat dari hasil akhir kerja pansus yang pada asasnya tidak atau belum memberikan rekomendasi dan mengembalikannya kepada kebijakan pemerintah provinsi sebagai pihak yang empunya lahan [aset]. Hal ini yang oleh pansus disampaikan dalam rapat Paripurna dewan. Memahami realitas dengan argumentasui yang dikemukakan oleh pansus tersebut ada beberapa hal yang akan disampaikan dalam upaya memperlancar komunikasi aktor antar lembaga negara.

1. Mewujudkan Kepentingan KonstitusiPenjelasan kelancaran komunikasi dengan argumentasi mewujudkan konstitusi yang menjadi pedoman bagi lahirnya sebuah undang-undang menjadi kesepakatan antar aktor pada lembaga pemerintahan negara. Apalagi pada kenyataanya berdasarakan undang-undang MD3 adalah dasar hukumnya. Regulasi ini merupakan penopang bagi kesepakatan normatif terhadap ukuran keberhsilan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan. Adapun keberhasilan sesuai amanah UU MD3 maka paling lambat 29 Agustus 2011 kantor DPD sudah ada di daerah [di Provinsi Riau]. Argumentasi mewujudkan kepentingan konstituen dan menjalankan amanah undang-undang merupakan kewajiban para aktor dalam struktur pemerintahana negara. Jastifikasi konstitusi

Page 10: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

716

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

682

dalam hubungan ini diintregasikan sebagai pejabat negara. Kata negara yang melekat diakuai umumnya oleh para pihak [aktor] yang terlibat di dalam. Sehingga dalam konteks atas nama konstitusi sangat sukar untuk mempermsalahkan kegagalan ini menjadi kegagalan antar komunikator dan komunikan. Sejauh dari hasil penelitian yang didukung data dan tanggapan yang diproleh memeng menunjukan bahwa konstitusi atau kewajiban tidak menjadi lebih penting. Jika tangapan ini direduksi berdasarkan realitas kegagalan yang ada jelas menunjukkan bahwa ada ketidakharminisan tersendiri [keasingan] antara aktor dan struktur. Ini disibabkan konstitusi tidak menjadi jaminan terjadinya hubungan yang harmonis antar aktor tersebut. Bahkan yang menarik menurut hemat penulis, kewilayahan [lokaliti] satu keprimordialan juga dinilai tidak menjadi hal yang mendukungnya. Oleh karena itu jika realitas ini menjadi argumenatsi maka semakin tampak bahwa formulasi kelancaran sangat diprluakan dalam konteks untuk mendukung keperluan yang sama [pada kelembagaan], tetapi dengan objek yang berbeda. Iktibar dari proses hibah aset dan rekomendasi ini menjadi penting sebagai referensi terkait perihal komunikasi antar aktor pada kelembagaan negara. Oleh karena itulah maka menjadi penting jika argumentasi landasan konstitusional dan amanh undang tidak lagi normatif saja melainkan sudah impelemnetaif yang wajib dipatuhi.

2. Mengintegrasikan Kepentingan Pusat dan Daerah Pada penjelasan terkait dengan kelancaran komunikasi mengemuka bahwa anggota DPD, DPRD dan gubernur adalah organ pusat di daerah dan daerah refleksi pusat. Mengaktualiskan realitas ini menempatkan pada hubungan pusat dan daerah. Komukasi-politik-hukum dalam konteks ini termanifestasi pada berubahnya pola hubungan pusat dan daerah sendiri sejak 1999. Perubahan ini diawali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 T ahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lalu amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mempertegas perubahan ini dengan menyatakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Berdasarkan penjelansan ini tampak bahwa pemerintah daerah adalah representasi pusat di daerah. Sementara DPRD adalah bagan integral dari daerah yang DPD merupakan perwujudan pusat di daerah begitu pula daerah ke pusat. Sehingga teristimewa untuk DPD adalah bahwa ‘dearah adalah daerah pusat dan pusat adalah pusat daerah’. Istilah ini adalah dalam kontek mendukung peran DPD dalam berkomunikasi sebagai komunikator sangat menentukan utamanya terhadap komunikan. Oleh karena itu sangat dapat dimaklumi jika kegagalan atau respon yang dinilai dari pemrintah daerah merupakan refleksi dari cara berkomunikasi aktor yang

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

683

ada di DPD yang mewakli masyaralat daerahnya. Dari sini dapat dimengerti jika kegagalan tersebut menempatkan perlunya mengintegrasikan kepentingan pusat di daerah.

3. Pusat Daerah Pemerintahan Negara Otonomi daerah atau desentralisasi merupakan representasi dari keberadaan dewan perwakilan daerah. Oleh karena itu, argumen kepentingan konsitusi dan mengintgrasikan kepentingan pusat daerah melalui kehadiran DPD di daerah di wilayah pemilihannya merupakan sebuah keniscayaan. Berpijak pada sebuah keniscayaan yang tidak boleh tidak itulah normatifnya keberadan DPD di daerrah [Provinsi Riau] melalui kehadiran fisiknya atau kantor perwakilannya. Itulah sebabnya kehadioran DPD, p ertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Gagasan untuk lebih meningkatkan peran utusan daerah yang perannya terbatas pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan untuk melembagakan utusan daerah yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif yang bukan hanya sekali dalam lima tahun. Selanjutnya anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya berdasarkan putusan Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah apabila terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana penyuapan, korupsi, dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih, atau melakukan perbuatan yang tercela lainnya. Berdasarkan pada argumentasi dengan penjelasn yang ada memperlihatkan sekaligus memperkuat posisi DPD merupakan lembaga pusat dan daerah yang merupakan pemerinatahan negara. DPD merupakan replikasi pusat di daerah dan daerah di pusat. Representasi kelembagaan pemernitahan negara ini yang menjadi signifikan bagi keberadaan perwakilannya di daerah.

4. Deseminasi Desentralisasi Komunikasi Setelah mewujudkan kepentingan konstitusi, mengintegrasikan kepentin,gan pusat daerah dan dearah pusat merupakan pemerintahan negara menjadikan penting dalam analisis selanjutnya bahwa desminiasi [penyebarluasan] tentang DPD sebagai bagain dari desentralsiasi komunikasi menjadi penting. Dalam hubungan ini, komunikasi politik hukum desimnimasi densentralisasi adalah hal utama. Sebagai contoh dalam konteks lokal [daerah] misalnya ditemukan bahwa hal koordinasi internal antara SKPD di Pemerintah Daerah dan komunikasi yang dilakukan Pemerintah Daerah dengan pansus belum berjalan sebagaimana mestinya.

Page 11: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

717

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

683

ada di DPD yang mewakli masyaralat daerahnya. Dari sini dapat dimengerti jika kegagalan tersebut menempatkan perlunya mengintegrasikan kepentingan pusat di daerah.

3. Pusat Daerah Pemerintahan Negara Otonomi daerah atau desentralisasi merupakan representasi dari keberadaan dewan perwakilan daerah. Oleh karena itu, argumen kepentingan konsitusi dan mengintgrasikan kepentingan pusat daerah melalui kehadiran DPD di daerah di wilayah pemilihannya merupakan sebuah keniscayaan. Berpijak pada sebuah keniscayaan yang tidak boleh tidak itulah normatifnya keberadan DPD di daerrah [Provinsi Riau] melalui kehadiran fisiknya atau kantor perwakilannya. Itulah sebabnya kehadioran DPD, p ertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Gagasan untuk lebih meningkatkan peran utusan daerah yang perannya terbatas pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan untuk melembagakan utusan daerah yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif yang bukan hanya sekali dalam lima tahun. Selanjutnya anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya berdasarkan putusan Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah apabila terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana penyuapan, korupsi, dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih, atau melakukan perbuatan yang tercela lainnya. Berdasarkan pada argumentasi dengan penjelasn yang ada memperlihatkan sekaligus memperkuat posisi DPD merupakan lembaga pusat dan daerah yang merupakan pemerinatahan negara. DPD merupakan replikasi pusat di daerah dan daerah di pusat. Representasi kelembagaan pemernitahan negara ini yang menjadi signifikan bagi keberadaan perwakilannya di daerah.

4. Deseminasi Desentralisasi Komunikasi Setelah mewujudkan kepentingan konstitusi, mengintegrasikan kepentin,gan pusat daerah dan dearah pusat merupakan pemerintahan negara menjadikan penting dalam analisis selanjutnya bahwa desminiasi [penyebarluasan] tentang DPD sebagai bagain dari desentralsiasi komunikasi menjadi penting. Dalam hubungan ini, komunikasi politik hukum desimnimasi densentralisasi adalah hal utama. Sebagai contoh dalam konteks lokal [daerah] misalnya ditemukan bahwa hal koordinasi internal antara SKPD di Pemerintah Daerah dan komunikasi yang dilakukan Pemerintah Daerah dengan pansus belum berjalan sebagaimana mestinya.

Page 12: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

718

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

684

Oleh karena itu, walaupun didukung berdasarkan kajian yang sudah dilakukan menjadi tidak relevan akibat dari pembatalan sepihak yang dilakukan Pemerintah Daerah terkait hibah tersebut. Berdasarkan penjelasan ini tampak bahwa komunikasi terkait dengan mendesiminasi desentralisasi merupakan bagian penting dari DPD yang belum dilakukan. Pemerintah Provinsi Riau yang secara internal tidak seirama dan saling berkordinasi, tidak atau belum dilakukan. Inilah yang menjadi substansi persoalan mengapa kegagalan ini terjadi. Sementara DPRD sebagai lembaga legislatif memiliki andil sebagai mediasi yang posisinya sangat strategis dalam mengintgrasikan kepentingan ketiga lembaga pemerintahan negara ini.

KESIMPULANBerdasarkan pelbagai penjelasan, makalah hasil laporan penelitian ringkas ini menyimpulkan, pertama bahwa komunikasi antar lembaga negara menjadikan institusi tidak penting berbanding aktor-aktor yang ada dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena kajian ini difokuskan pada komunikasi antar lembaga [aktor] dan lembaga [insitusi negara], persaingan antara aktor lebih mengedepan dan dominan. Kedua,perwujudan kepentingan atas nama konstitusi yang direpresentasikan oleh lembaga [pemerintahan] negara menjadi tidak lebih penting berbanding kepentingan aktor penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, pada konteks ini komunikasi akan lancar terlaksana apabila para aktor berjalan di atas tatanan konstitusi, kepentingan pusat di daerah, refleksi pemerintahan negara dalam desentralisasi [otonomi daerah] dan kom unikasi antar aktor lokal. Dari sini yang terpenting adalah cara berkomunikasinya.

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

685

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1993. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia. Bachtiar Aly. 2010. Komunikasi Politik Sebagai Penjuru Penyelesaian Konflik dan

Mengoptimalkan Sinergis Hubungan Pusat dan Daerah. Makalah. Seminar Nasional di UMB Jakarta. 15 Mei 2010.

Bustanul Arifin dan Didik J Rachbini. 2001. Ekonomi politik dan kebijakan publik.

Jakarta: Grasindo. Deddy Mulyana. 2011. Mau Ke Mana Ilmu Komunikasi Kita? Pengantar Hal. 2-15

dalam Ilmu Komunikasi Sekarang dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.

Eko Harry Susanto. 2010. Komunikasi Manusia: Esensi dan Apalikasi dalam

Dinamika Sosial Ekonomi Politik . Jakarta: Mitra Wacana Media. Francis Fukuyama. 2005. Memperkuat negara tata pemerintahan dan tata dunia abad

21. Terj. A. Zaim Rofiqi. Jakarta: Preedom institute dan Gramedia pustaka utama.

Ilmu Komunikasi Sekarang dan Tantangan Masa Depan. 2011. (ed). Farid Hamid dan Heri Budianto. Jakarta: Kencana Pedana Media Group.

Jalaluddin Rahmat. 1999. Kritik Paradigma Pasca –Positivisme Terhadap

Positivisme. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. III. Hal 66-71. Jimly Asshiddiqie. 2007. Pokok-pokok hukum tata negara Indonesia pasca reformasi.

Jakarta: BIP Kelompok Gramedia. Jimly Asshiddiqie. 2005. Konstitusi & konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.

Jakarta: Konstitusi Press.. Jimly Asshiddiqie. 2005. Sengketa kewenangan antar lembaga negara. Jakarta:

Konstitusi Press.

Page 13: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

719

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

685

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1993. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia. Bachtiar Aly. 2010. Komunikasi Politik Sebagai Penjuru Penyelesaian Konflik dan

Mengoptimalkan Sinergis Hubungan Pusat dan Daerah. Makalah. Seminar Nasional di UMB Jakarta. 15 Mei 2010.

Bustanul Arifin dan Didik J Rachbini. 2001. Ekonomi politik dan kebijakan publik.

Jakarta: Grasindo. Deddy Mulyana. 2011. Mau Ke Mana Ilmu Komunikasi Kita? Pengantar Hal. 2-15

dalam Ilmu Komunikasi Sekarang dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.

Eko Harry Susanto. 2010. Komunikasi Manusia: Esensi dan Apalikasi dalam

Dinamika Sosial Ekonomi Politik . Jakarta: Mitra Wacana Media. Francis Fukuyama. 2005. Memperkuat negara tata pemerintahan dan tata dunia abad

21. Terj. A. Zaim Rofiqi. Jakarta: Preedom institute dan Gramedia pustaka utama.

Ilmu Komunikasi Sekarang dan Tantangan Masa Depan. 2011. (ed). Farid Hamid dan Heri Budianto. Jakarta: Kencana Pedana Media Group.

Jalaluddin Rahmat. 1999. Kritik Paradigma Pasca –Positivisme Terhadap

Positivisme. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. III. Hal 66-71. Jimly Asshiddiqie. 2007. Pokok-pokok hukum tata negara Indonesia pasca reformasi.

Jakarta: BIP Kelompok Gramedia. Jimly Asshiddiqie. 2005. Konstitusi & konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.

Jakarta: Konstitusi Press.. Jimly Asshiddiqie. 2005. Sengketa kewenangan antar lembaga negara. Jakarta:

Konstitusi Press.

Page 14: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

720

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

686

Jimly Asshiddiqie. 2005e. Model-model pengujian konstitusional di berbagai negara. Jakarta: Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry 2002f. Mahkamah konstitusi: kompilasi

ketentuan UUD, UU dan peraturan di 78 negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002.

M. Alwi Dahlan. 1999. Teknologi Informasi dan Demokrasi. Jurnal IKSI No.4

Oktober. Moh. Mahfud MD. 2009. Konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu. Jakarta:

Rajagrafindo Persada. Stephen W Littlejohn dan Karen A. Foss. 2008. Theories of Human Communication,

9th Editoin. Belmont: Thomson Wadwort. Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. 2011. Teori Komunikasi Theories of

Human Communication. (Terjm) Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika.

Sugiono. 2014. Cara mudah menyusun menysuun: Sktipisi,, Tesis dan Dosertasi.

Bandung: Alfa Beta

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya (Amandemen Pertama Sampai Keempat). 2006. Jakarta: Fokus Media.

Undang-undang No.22 Tahun 2003 T entang Susunan Kedudukan Mejelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang No.18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Isitimewa Aceh Darussalam.

Undang-undang No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

687

Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan Dan kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan Pemerintah No. 17 T ahun 2005 t entang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 t entang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan Pemerintah No. 53 T ahun 2005 t entang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 25 Tahun 2004 t entang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Page 15: KOMUNIKASI ANTAR LEMBAGA NEGARA: KAJIAN TERHADAP

721

SEMINAR NASIONALPolitik, Birokrasi dan Perubahan Sosial Ke-II “Pilkada Serentak, Untung Rugi dan Korupsi Politik”

Pekanbaru, 17-18 November 2015

687

Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan Dan kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan Pemerintah No. 17 T ahun 2005 t entang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 t entang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan Pemerintah No. 53 T ahun 2005 t entang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 25 Tahun 2004 t entang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD.