kitin prak ivana aprilia 12.70.0145 c4 unika soegijapranata
DESCRIPTION
Kulit Udang, Khitin, KhitosanTRANSCRIPT
KITIN DAN KITOSAN
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh :
Ivana Aprilia Pratiwi 12.70.0145
KELOMPOK A5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2014
Acara I
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
A1 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
30 10 21,765
A2 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
34 28,571 24,875
A3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
20 30 16,462
A4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
4 90 45,455
A5 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%
30 40 10,355
A6 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%
30 20 10,4
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kelompok A1 dan A2 menggunakan kulit udang
dengan HCl 0,75 N dan NaOH 40%, kelompok A3 dan A4 menggunakan kulit udang
dengan HCl 1N dan NaOH 60%, serta kelompok A5 dan A6 menggunakan kulit udang
dengan HCl 1,25 N dan NaOH 80%. Nilai rendemen kitosan tertinggi terdapat pada
sampel A5 sebesar 45,455%. Dan rendemen kitosan terendah pada A5 sebesar10,355%.
Sedangkan untuk nilai rendemen kitin 1 yang paling besar pada sampel A2 sebesar 34%
dan rendemen kitin 1 terkecil pada sampel A4 sebesar 4%. Pada hasil pengamatan
rendemen II, didapatkan nilai paling besar pada sampel A4 sebesar 90% dan untuk nilai
rendemen 2 terkecil pada sampel A1 sebesar 10%.
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum Teknologi Hasil Laut dilakukan praktikum pembuatan kitin dan
kitosan. Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah kulit udang. Menurut
Marganov (2003), kulit udang merupakan salah satu limbah dari udang yang dapat
dijadikan sumber potensial dalam pembuatan kitin dan kitosan. Kitin dan kitosan
termasuk biopolimer yang berpotensi pada berbagai bidang industri, karena kitin
mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, akan tetapi
besar kandungannya dipengaruhi oleh jenis udang dan tempat hidup dari udang tersebut.
Udang sering dijadikan komoditi ekspor yang terdiri dari tiga bagian, yaitu badan dan
kepala secara utuh, badan tanpa kepala, dan dagingnya saja. Sayangnya dalam proses
produksi menyebabkan adanya limbah yang dihasilkan, seperti kepala, ekor, dan kulit.
Sehingga limbah dari sisa udang tersebut menjadi masalah jika dibuang langsung ke
lingkungan karena dapat mencemari lingkungan (Manjang, 1993). Menurut
Lertsutthiwong et al., (2002) limbah dari udang dapat mencapai 45-55% dari berat total
udang. Sehingga perlu penanganan dan pengolahaan limbah tersebut menjadi sesuatu
yang memiliki nilai tinggi, salah satunya dimanfaatkan untuk dijadikan kitin dan
kitosan. Sedangkan menurut Zaku et al., (2011) struktur kimia dari kitin mirip dengan
selulosa yang merupakan komponen utama dari eksoskeleton invertebrata. Selain dari
kulit udang kitin juga berasal dari limbah sisik ikan. Sedangkan kitosan dalah produk
dari turunan kitin yang telah melewati proses ekstraksi.
Struktur yang membedakan antara kitin dan kitosan adalah struktur dari D-glukosamin
dan N-asetil-D-glukosamin. Pada kitosan kopolimernya berantai lurus dan terdiri dari
glukosamin dan n-asetilglukosamin hasil dari proses deasetilisasi kitin. Sifat kitosan
memiliki kelarutan, biodegradasi, dan kemampuan penyerapan yang beda tergantung
kandungan asam amino penyusun rantai polimernya. Menurut Alvarenga et al., (2010)
kitosan tidak dapat larut air, solven organik, dan basis aqueous, tetapi larut pada asam
seperti asam asetat, nitrat, hidroklorat, perklorat, dan fosforat. Pemanfaatan dari kitosan
beragam, seperti fotografi, bioteknologi, kosmetik, obat-obatan, serta produksi pangan.
Sedangkan kitin adalah polisakarida yang tersusun atas monomer 2-asetamida-2-dioksi-
β-D-Glukosa dengan ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit
ulangnya. Struktur kimia dari kitin hampir sama dengan selulosa tetapi berbeda pada
ikatan atom C2. Pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada
kitin yang terikat adalah gugus asetamida. Selain itu kandungan kitin tinggi dengan
kalsium yang berikatan erat dalam bentuk ikatan kitin-protein-kalsium karbonat.
Kandungan itu yang menyebabkan pengolahan limbah kulit udang sulit karena daya
cerna protein limbah sulit teruruai (Muzzarelli, 1985). Menurut Zaku et al. (2011), kitin
dan kitosan memiliki beberapa kelebihan tidak beracun, tidak berbau, dan mudah
terbiodegradasi secara enzimatis. Selain itu memiliki struktur unik yaitu formasi garam
polioksi, kemampuan membentuk film, serta dapat ter-chelate dengan ion logam.
Kelebihan lainnya adalah memiliki nitrogen yang tinggi (6,89%), yang melebihi
nitrogen selulosa.
2.2. Langkah Kerja Kitin & Kitosan
Dalam praktikum ini tahap sebelumnya adalah proses pencucian dan pengeringan
limbah kulit udang. Pada tahap ini sudah dilakukan oleh asdos sebelumnya. Setelah
didapatkan kulit udang kering, dilakukan proses penepungan dengan cara
menghancurkannya kemudian mengayak dengan 40-60 mesh. Tahapan ini sudah sesuai
menutut Puvvada et al. (2012), bahwa prinsip ekstraksi kitin dan kitosan dimana
eksoskeleton udang harus dikeringkan dahulu kemudian dihancurkan untung
mendapatkan bentuk tepung. Menurut Mizani (2007), proses utama dari ekstraksi
limbah udang adalah demineralisasi (perlakuan asam) dan deproteinasi (perlakuan
basa). Sedangkan menurut Rahayu & Purnavita (2007) secara umum proses pembuatan
kitosan terdiri dari 3 tahap, yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Pada
tahap demineralisasi bertujuan menurunkan kadar mineral (CaCO3) menggunakan asam
konsentrasi rendah untuk mendapatkan kitin. Pada tahap deproteinasi bertujuan untuk
menurunkan kadar protein yang dilakukan dengan cara melarutkan dalam larutan alkali
encer dengan pemanasan yang cukup. Tahap terakhir adalah deasetilasi bertujuan
menghilangkan gugus asetil pada kitin dengan melakukan pemanasan dalam larutan
alkali kuat pada konsentrasi tinggi.
Pada praktikum ini sudah sesuai dengan teori semua tahapan tersebut. Pertama
dilakukan demineralisasi dengan cara mencuci limbah kulitmenggunakan air mengalir,
kemudian dikeringkan dan dihaluskan. Setiap kelompok kemudian menambahkan HCl
dengan perbandingan 10:1 (HCl: berat tepung udang) dengan konsentrasi berbeda
(kelompok 1 dan 2 konsentrasi 0,75 N ; kelompok 3 dan 4 konsentrasi 1 N dan
kelompok 5 dan 6 konsentrasi 1,25 N) kemudian diaduk selama 1 jam sambil
dipanaskan pada suhu 90oC (sampai cairan berkurang). Setelah itu dicuci dengan air
hingga pH netral. Pengujian pH dilakukan menggunakan kertas lakmus, hingga berubah
menjadi hijau.langkah terakhir melakukan pengeringan selama 24 jam dalam oven
bersuhu 80oC.
Penggunaan HCl sesuai dengan teori Shahidi & Botta (1994) dimana demineralisasi
biasanya menggunakan larutan asam klorida. Hal ini karena garam mineral terutama
CaCO3 yang berikatan secara fisik pada kitin akan larut oleh HCl menjadi CaCl2 yang
kemudian dikeluarkan gas CO2. Proses pemisahan mineral juga terlihat dari gas CO2
berupa gelembung-gelembung udara yang terlihat saat larutan HCl ditambahkan ke
dalam sampel (Austin,1988). Sedangkan pemanasan bertujuan untuk mempermudah
pelepasan silika (kalsium karbonat) dan mineral dalam kulit udang karena kalsium
karbonat akan mudah larut pada suhu tinggi (Austin,1988). Menurut (Murtihapsari, _ )
dengan dilakukan pengadukan akan mempermudah larutan menjadi homogen sehingga
saat pemanasan akan terbentuk endapan di bagian dasar. Endapan tersebut merupakan
kalsium klorida hasil reaksi kalsium karbonat dan asam klorida. Pencucian air bertujuan
untuk menghilangkan HCl yang yang sebelumnya diberika pada sampel. Selain itu
pencucian bertujuan mencegah degradasi produk selama pengeringan kitin karena HCl
berlebih (bila tidak dihilangkan) dapat memutus rantai/cincin kitin saat pemanasan. Hal
ini didukung oleh Austin (1988) karena kitin mengandung beberapa gugus amino bebas
sebagai akibat dari deasetilasi selama pengeringan atau akibat pembentukan asetilasi
yang tidak sempurna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembilasan penting untuk
mengefektifan proses demineralisasi. Hari berikutnya, setelah pengeringan, berat
cawan+sampel kering ditimbang kembali sehingga dapat diketahui berat rendemen kitin
I-nya (Austin, 1988).
Langkah kedua adalah proses deproteinasi. Langkah ini merupakan lanjutan dari hari
selanjutnya dilakukan proses deproteinasi. Langkah yang dilakukan dengan
mencampurkan hasil tepung dari demineraliasi dengan NaOH (perbandingan 6:1).
Penambahan NaOH 3,5% ini bertujuan untuk menghasilkan kitin dengan kandungan
mineral dan residu protein paling rendah dibanding cara lain (Suhardi, 1993). Hal ini
juga didukung oleh Bastaman (1989), yang mengatakan bahwa ekstraksi kitin secara
kimiawi dilakukan deproteinasi menggunakan basa kuat (dalam praktikum basa kuat
yang digunakan yaitu NaOH). Kemudian langkah seperti demineralisasi dilakukan
kembali yakni dengan pengadukan selama 1 jam dengan suhu 90oC. Kemudian disaring
dan dinetralkan residu yang diperoleh dengan cara mencucinya dan mengeceknya
dengan kertas lakmus. Jika pH sudah netral dilakukan pengeringan dengan suhu 800C
selama 24 jam untuk menghasilkan kitin. Menurut Hargono & Haryani (2004), tujuan
deproteinasi adalah untuk memisahkan atau melepaskan ikatan antara protein dan kitin.
Tujuan dilakukan pengadukan agar padatan menjadi homogen dengan NaOH sehingga
mampu mendenaturasi protein secara merata dan efisien. Selain itu tujuan dari
pemanasan akan menguraikan protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga
proses deproteinasi akan semakin mudah. Selain itu menurut Ramadhan et al. (2010),
pemanasan dan pengadukan bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH sehingga hasil
kitin akan optimal. Pencucian dengan air hingga pH netral bertujuan untuk
menghilangkan NaOH dalam larutan (Marganof, 2003). Sedngkan Ramadhan et al.
(2010), mengatakan bahwa proses pencucian hingga pH netral mempengaruhi sifat kitin
dengan alkali karena efektivitas proses hidrolisis basa pada gugus asetamida dan rantai
kitin semakin baik. Kesimpulannya proses pencucian ini penting dilakukan karena akan
menghasilkan kitin yang baik. Proses pengeringan bertujuan untuk menghilangkan
kadar air yang tersisa ketika pencucian sehingga hasil rendemen yang terbentuk hanya
rendemen kitin saja. Dalam perhitungan berat sampel setelah pengeringan disebut berat
kitin. Dari berat basah yang didapat sebelum pengeringan. Menurut Puspawati &
Simpen (2010) pada proses pembuatan kitin, tahap demineralisasi dilakukan pertama
kemudian dilanjutkan tahap deproteinasi. Hal tersebut sesuai teori yang mengatakan,
proses isolasi kitin melalui tahap demineralisasi-deproteinasi akan menghasilkan
rendemen yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tahap isolasi kitin tahap
deproteinasi-demineralisasi. Hal ini dikarenakan mineral akan membentuk pelindung
keras pada kulit udang dan kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan protein.
Sehingga akan lebih baik dengan menghilangkan mineral terlebih dahulu dengan proses
demineralisasi kemudian melanjutkan dengan proses deproteinasi sehingga hasilnya
lebih optimal.
Langkah terakhir adalah deasetilasi kitin, yaitu proses pengubahan kitin menjadi kitosan
menggunakan larutan sodium hidroksida pada suhu tinggi. Bahan yang digunakan
adalah kitin hasil proses deproteinasi. Kemudian ditambah dengan NaOH 40% (untuk
kelompok A1 dan A2), NaOH 50% (untuk kelompok A3 dan A4), dan NaOH 60%
(untuk kelompok A5 dan A6) dengan perbandingan NaOH: kitin = 20:1. Penggunaan
NaOH bertujuan untuk memutus ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen
sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2). Selain itu penggunaan NaOH sudah
tepat karena merupakan larutan basa dengan konsentrasi tinggi sehingga kitin relatif
tahan terhadap proses deasetilasi (Karmas, 1982). Berikut struktur kimia hasil
transformasi kitin menjadi kitosan melalui proses hidrolisis:
(Solomons, 1980).
Pada tahap deasetilasi terjadi proses hidrolisa amida oleh basa. Kandungan kitin
berperan sebagai amida, dan basanya adalah NaOH. Prinsip reaksi ini adalah reaksi
adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian akan dieliminasi
menjadi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan amida berupa kitosan (Wardaniati &
Setyaningsih, _ ). Menurut Hargono dan Djaeni (2003), penambahan NaOH dengan
konsentrasi 20-50% akan menghilangkan gugus asetil (CH3CHO-) yang terikat pada
gugus amina dalam kitin. Kemudian dilakukan pemanasan dalam waterbath pada suhu
90oC selama satu jam sambil sesekali diaduk. Pemanasan berfungsi untuk memutuskan
gugus amina yang ada. Sedangkan kan pengadukan akan memecah ikatan N-asetil
glukosamin dengan kitin (Puspawati & Simpen, 2010). Setelah pemanasan, didinginkan
selama 30 menit penguraian komponen-komponen kitin lebih sempurna. Setelah
pemanasan, dilakukan pencucian dengan air hingga pH netral. Pencucian dilakukan
menggunakan air, dengan mengendapkan padatan. Hal ini dilakukan berulang-ulang
hingga mencapai pH netral. Tujuan pencucian pada tahap ini sama seperti tahap
deproteinasi yaitu agar NaOH hilang. Tahap pencucian ini dilakukan berulang-ulang
hingga pH netral karena pada kondisi basa jika dicuci dengan air, maka basa akan
menurun menjadi semakin mendekati pH netral. Terakhir adalah penirisan endapan dan
dimasukkan ke dalam wadah yang telah diketahui beratnya. Endapan tersebut ditimbang
dan diperoleh berat kitin. Kitin tersebut dikeringkan selama semalam pada suhu 70oC.
Pengeringan dilakukan untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat dalam serbuk
karena proses pencucian. Setelah pengeringan diperoleh bubuk yang diidentifikasi
sebagai berat kitosan. Dari data berat kitin dan berat kitosan maka dapat diperoleh berat
rendemen kitosan (Karmas, 1992).
2.2. Hasil Pengamatan
Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa semua sampel menghasilkan
rendemen yang berbeda-beda. Nilai rendemen kitosan tertinggi terdapat pada sampel A4
sebesar 45,455%. Dan rendemen kitosan terendah pada A5 sebesar10,355%. Sedangkan
untuk nilai rendemen kitin 1 yang paling besar pada sampel A2 sebesar 34% dan
rendemen kitin 1 terkecil pada sampel A4 sebesar 4%. Pada hasil pengamatan rendemen
II, didapatkan nilai paling besar pada sampel A4 sebesar 90% dan untuk nilai rendemen
2 terkecil pada sampel A1 sebesar 10%. Hasil pengamatan remenden kitin 1 hasilnya
kurang sesuai dengan teori menurut Johnson dan Peterson (1974) mengatakan bahwa
penambahan asam atau basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi disertai proses atau
waktu yang lebih panjang, hal ini akan mengakibatkan lepasnya ikatan protein dan
mineral dengan kitin serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang. Sehingga
jika konsentrasi HCl yang ditambahkan semakin tinggi maka rendemen kitin yang
dihasilkan juga akan semakin banyak pula. Hal ini dikarenakan senyawa-senyawa
mineral pada serbuk udang akan lebih mudah dilepaskan. Berdasarkan teori tersebut
dapat disimpulkan bahwa penambahan HCl dengan konsentrasi yang lebih besar akan
menghasilkan rendemen kitin I (setelah proses demineralisasi) yang lebih banyak pula.
Ketidak sesuaian ini dapat terjadi karena kesalahan dalam menimbang berat kering
ataupun basah pada tepung udang yang digunakan. Selain itu kesalahan dapat terjadi
karena kurang telitinya saat mencuci sehingga ada sebagian sampel yang ikut terbuang.
Sedangkan pada hasil pengamatan rendemen kitosan didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori menurut Hong et al. (1989), yang mengatakan bahwa NaOH dengan
konsentrasi lebih tinggi menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal
ini karena penambahan NaOH menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul
kitosan sehingga berat molekulnya akan menurun. Dari hasil pengamatan, setelah proses
deasetilasi yang mengubah iktin menjadi kitosan, didapatkan bahwa rendemen terendah
dihasilkan oleh kelompok A5 dan A6. Hal ini sudah sesuai dengan teori diatas karena
pada kelompok A5 dan A6 menggunakan NaOH pada proses diasetilasi dengan
konsetrasi yang tinggi yaitu 60%. Pada kelompok A1 dan A2 yang menggunakan
konsentrasi NaOH kecil yaitu 40% mendapatkan hasil rendemen yang besar. Sedangkan
pada kelompok A4 seharusnya nilainya tidak mencapai 45,55%. Hal ini terjadi karena
kesalahan praktikan dalam melakukan pencucian sehingga sebagian hasil dari sampel
ikut terbuang. Hal ini juga yang menyebabkan pada kelompok A5 pada rendemen kitin
2 pun didapatkan hasil mencapai 90%. Hasil tersebut menjadi berbeda jauh dengan
kelompok lain, karena berat sampel yang tersisa juga hanya sedikit jika dibandingkan
kelompok lain.
Selain itu, faktor lainnya yang mempengaruhi hasil rendemen kitin dan kitosan adalah
suhu. Menurut Puspawati et al. (2010), semakin tinggi suhu maka derajat deasetilisasi
dari kitosan yang terbentuk menjadi lebih tinggi. Akan tetapi pemanasan ini juga
bertujuan untuk meningkatkan derajat deastelasi dari kitosan sedangkan pengadukan
digunakan untuk meratakan kitin yang dihasilkan sehingga deasetilasi lebih maksimal.
Sedangkan tahap pendiamkan selama 30 menit bertujuan untuk membuat bubuk kitosan
pada larutan mengendap sempurna dan tidak ikut terbuang saat proses pencucian.
Sedangkan faktor yang menyebabkan berhasil atau tidak saat pembuatan kitin antara
lain jenis bahan baku yang digunakan, serta proses ekstraksi kitin yang dibagi menjadi
dua metode yakni proses demineralisasi dan proses deproteinasi. Untuk mendapatkan
kualitas kitin yang baik dipengaruhi oleh tahapan dan kondisi proses termasuk lamanya
proses pengolahan, suhu pengeringan, konsentrasi zat kimia yang ditambahkan, dan pH
proses pengekstrakan kitin (Laila & Hendri, 2008). Pemanasan (pengeringan) yang
semakin lama, maka akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein terlarut
berkurang banyak. Akan tetapi jika, pemanasan dilakukan dalam waktu yang lebih
singkat, akan mengakibatkan kandungan protein menjadi lebih rendah karena protein di
dalam kitin belum larut sepenuhnya (Winarno, 1997).
2.3. Pembahasan Jurnal
Berdasarkan jurnal yang berjudul Biopolymer Composite Of Chitosan And Methyl
Methacrylate For Medical Applications dilakukan penelitian tentang biopolimer dari
citosan dan metil metacilat yang dimanfaatkan untuk kesehatan. Pada hasil penelitian ini
disimpulkan bahwa adanya kemampuan untuk merepaskan senyawa obat kedalam
tubuh. Alasan kitosan dapat dijadikan bahan biomaterial karena adanya kemampuan
untuk di hancurkan ( dicerna), bersifat tidak toksik dan antitrombogenik (Ranhakumary,
2005).
Extraction and characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products:
Biological and physicochemical properties jurnal karya Limam (2011), melakukan
penelitian tentak ekstraksi kitin dan kitosan dari jenis creustacean menjadi produk yang
bermanfaat. Produk ini kemudian diuji aktivitas biologisnya seperti antimikrob, dan
antifungi dengan menggunakan strain Escherichia coli. Selain itu juga di uji kandungan
antioksidannya.
Extraction of chitin and chitosan from shrimp (metapenaeus monoceros) shell by
chemical method dilakukan penelitian mengunakan udang, yang kemudian diekstraksi
secara kimia. Pada penelitian ini tahapan yang dilakukan sesuai dengan yang dilakukan
saat praktikum. Terdiri dari proses dimineralisasi, deproteinasi, dan dimetilisasi
(Naznin, 2005).
Tijani (2012), dalam jurnalnya yang berjudul Extraction and Characterization of Chitin
from Nigerian Sources melakukan penelitian dengan cara ekstraksi dan mencari
karakteristik kitin dari 4 sumber yang ada di Nigeria. Analisis yang dilakukan adalah
analisis proksimat, XRD, dan SEM yang kemudian dihubungkan dengan kitin. Dari
analisa proksimat menunjukan kandungan moisture dan protein pada udang paling besar
kandungannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis sumber bahan baku
mempengaruhi kandungan kitinnya.
Patria( 2013) dalam jurnalnya yang berjudul Production and characterization of
Chitosan from shrimp shells waste melakukan penelitian untuk memproduksi kitin dari
limbah kulit udang. Hal ini karena limbah yang dihasilkan dari udang cukup besar
prosentasenya. Selain itu kandungan yang ada didalam kitin yang sebenarnya sangat
berguna jika diolah menjadi alasan untuk melakukan penelitian ini. Pada penelitian ini
dilakukan perlakuan yang berbeda untuk kemudian dilihat efeknya terhadap hasil.
Perlakuan yang diberikan adalah suhu pemanasan dan lamanya waktu pemanasan.
Dimana didapatkan hasil bahwa suhu dan waktu pemanasan memberikan hasil yang
tidak signifikan saat proses diasetilasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
pemanasan yang baik adalah 1000C selama 80 menit.
3. KESIMPULAN
Kulit udang dapat dijadikan sumber kitin dan kitosan melalui proses ekstraksi
Pembuatan kitosan terdiri dari deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi
Demineralisasi bertujuan menghilangkan mineral yang ada pada limbah udang
dengan menggunakan larutan asam klorida
Deproteinasi bertujuan mengurangi kadar protein dengan menambahkan NaOH 3,5%
(larutan alkali encer) sambil diberi pemanasan
Deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil pada kitin dengan pemanasan
dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi melalui proses hidrolisa amida
Larutan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan kandungan
mineral yang dimiliki oleh kulit udang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang
dihasilkan akan semakin tinggi pula.
Penambahan NaOH 3,5% pada proses deproteinasi bertujuan untuk memaksimallkan
proses penghilangan mineral dan protein yang dimiliki oleh kitin.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH pada proses deasetilasi maka rendemen kitosan
yang dihasilkan akan semakin rendah.
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam produk kitin dan kitosan
Pembilasan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas demineralisasi dan mencegah
degradasi selama pengeringan.
Pemanasan mempermudah pelepasan kalsium karbonat dan mineral kulit udang
Pengadukan mempermudah larutan menjadi homogen sehingga pemanasan terjadi
secara merata pada seluruh bagian larutan yang dipanaskan
Kesalahan praktikan menjadi penyebab ketidaksesuaian hasil dengan teori, seperti
penyaringan yang kurang sempurna dan penakaran bahan yang kurang tepat
Semarang, 23 November 2014
Praktikan, Asisten dosen
- Stella Gunawan
Ivana Aprilia Pratiwi
(1.70.0145)
4. DAFTAR PUSTAKA
Alvarenga; E. S. D.; C. P. D. Oliveira; & C. R. Bellato. (2010). An Approach to Understanding the Deacetylation Degree of Chitosan. Carbohydrate Polymers 80 (2010) 1155–1160.
Austin, P. R. (1988) Chitin Solution dan Purification of Chitin. Dalam Methods in Immonology. Vol 161. Biomass Part B. Wood WA, Kellog ST (ed).Academic Press, San Diego.
Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Queen’s University. Belfast. 143 p. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/marganof.htm
Hargono & K. Haryani. (2004). Pengaruh Ukuran Partikel Limbah Kulit Udang Terhadap Derajat deasetilasi Kitosan. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. 1974. Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Karmas, E., (1982), Poultry and Seafood Technology, Noyes Data Corporation, USA.Knorr, D. (1982). Function Properties of Chitin and Chitosan. Journal of Food Science. (47)36.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.
Lertsutthiwong, P; Ng C. How; S. Chandrkrachang; & W. F. Stevens. (2002). Effect of Chemical Treatment on the Characteristics of Shrimp Chitosan. Journal of Metals, Materials And Minerals. Vol. 12 No. 1 Pp. 11-18, 2002.
Limam.(2011).Extraction and characterization of chitin and chitosan from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. Trends Biomater. Artif. Organs, Vol 18 (2), January 2005
Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.
Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September 2007.
Murtihapsari, A. S. P. ( _ ). Ekstraksi Khitosan Dari Limbah Udang Putih (Penaeus Merquiensis) Asal Sorong Papua Dengan Teknik Deproteinisasi Dan Demineralisasi.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.
Nazinin.(2005).Extraction of chitin and chitosan from shrimp (metapenaeus monoceros) shell by chemical method.Pakistan Journal of Biological Sciences 8(7):1051-1054,2005
Patria.( 2013). Production and characterization of Chitosan from shrimp shells waste. Aquaculture International JournalAq
Puspawati, N.M. & I.N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia 4(1) : 79-90.
Puvvada, S.Y., Vankayalapati, S., and Sukhavasi, S. (2012). Extraction of Chition from Chitosan from Exoskeleton of Shrimp for Application in the Pharmaceutical Industry. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263 Radhakumary.(2005). Biopolymer Composite Of Chitosan And Methyl Methacrylate For Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs, Vol 18 (2), January 2005
Rahayu, L. H. & S. Purnavita. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan dari Kitin Limbah Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. Reaktor, Vol. 11 No.1, Juni 2007, Hal. : 45-49
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.
Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Shahidi, F. and J. R. Botta. (1994). Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academics & Profesional. London.
Solomons, G. T. W. (1980) Organic Chemistry, 2nd ed., John Wiley & Sons Inc., New York.
Suhardi. (1993) , Khitin Dan Khitosan, buku monograf, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tijani.(2012).Extraction and Characterization of Chitin from Nigerian Sources. Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies.ISSN 1583-1078
Wardaniati, R.A. & S. Setyaningsih. (____). Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. Universitas Diponegoro. Semarang.
Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Zaku, S. G.; S. A. Emmanuel; O. C. Aguzue; & S. A. Thomas. (2011). Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known source. African Journal of Food Science Vol. 5(8), pp. 478 - 483, August, 2011.
5. LAMPIRAN
5.1. Hasil Perhitungan
Rendemen kitin I =
berat _ker ingberatbasah
x100 %
Rendemen kitin II =
berat kitin
beratbasah
x100 %
Rendemen kitosan =
beratkitosan
beratkitin
x100 %
Kelompok A1
rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
rendemen kitin II=0,55
× 100 %=10 %
rendemen kitosan=0,3701,7
×100 %=21,765 %
Kelompok A2
rendemen kitin I=1,75
×100 %=34 %
rendemen kitin II=0,62,1
×100 %=28,571 %
rendemen kitosan=0,3981,6
×100 %=24,875 %
Kelompok A3
rendemen kitin I=15
×100 %=20 %
rendemen kitin II=0,62
×100 %=30 %
rendemen kitosan=0,4022,442
× 100 %=16,462 %
Kelompok A4
rendemen kitin I=0,25
×100 %=4 %
rendemen kitin II=0,0010,011
× 100 %=90 %
rendemen kitosan=0,0050,011
×100 %=45,455 %
Kelompok A5
rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
rendemen kitin II=0,82
× 100 %=40 %
rendemen kitosan=0,3213,1
× 100 %=10,355 %
Kelompok A6
rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
rendemen kitin II=0,73,5
×100 %=20 %
rendemen kitosan=0,2082
×100 %=10,4 %