prak thl jessica kezia harel 13.70.0098 c1 unika soegijapranata
DESCRIPTION
praktikum teknologi hasil laut kloter C1 tentang kecap ikanTRANSCRIPT
1
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan di dalam praktikum ini adalah pisau, blender, toples, 2 buah
kain sarig 30 x 30 cm, lakban bening, pengaduk kayu dan panci.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan untuk praktikum kali ini adalah tulang dan kepala ikan,
enzim papain kormersial, gula kelapa, garam dan bawang putih.
1.2. Metode
Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam
toples
Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%
Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk
2
Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan
ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)
Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua
Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma
3
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan pembuatan kecap ikan dengan penambahan ezim papain dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)
C1 Enzim papain 0,2% ++ +++ +++ +++ 3,00
C2 Enzim papain 0,4% ++ +++ ++++ +++ 3,20
C3 Enzim papain 0,6% - - - - -
C4 Enzim papain 0,8% ++++ +++++ ++++ +++ 4,00
C5 Enzim papain 1% +++ ++++ ++++ +++ 3,70
Keterangan:
Warna : Aroma
+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam
++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam
+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam
++++ : coklat gelap ++++ : tajam
+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajam
Rasa Penampakan
+ : sangat tidak asin + : sangat cair
++ : kurang asin ++ : cair
+++ : agak asin +++ : agak kental
++++ : asin ++++ : kental
+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penambahan enzim papain akan berpengaruh
terhadap penampakan dan sensori dari kecap ikan yang dihasilkan. Semakin tinggi
konsentrasi enzim papain yang ditambahkan maka warna kecap ikan akan semakin
gelap dan rasa dari kecap asin menjadi semakin asin sehingga menghasilkan aroma yang
tajam. Namun, penambahan enzim ini tidak berpengaruh terhadap penampakan dari
kecap ikan. Semua kelompok mendapatkan penampakan kecap ikan yang dibuat yaitu
memiliki viskositas yang tinggi sehingga kecap ikan menjadi kental. Salinitas yang
dihasilkan setiap kelompok pun berbeda. Kelompok C4 memiliki salinitas tertinggi
yaitu sebesar 4% sedangkan yang terendah adalah kelompok C1 dengan nilai sebesar
3%.
4
3. PEMBAHASAN
Ikan memiliki limbah yang cukup besar yaitu sekitar 50% dari total berat ikan. Limbah
inilah yang kemudian menjadi perhatian penting di bidang industri karena apabila
limbah dibuang di lingkungan akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Padahal
limbah ikan ini memiliki banyak nutrisi dengan nilai yang tinggi seperti protein, lemak
dan enzim. Oleh karena itu, limbah ikan sudah seharusnya dimanfaatkan menjadi
produk lain yang lebih bisa meningkatkan nilai jualnya (Kilinc, 2003). Pengolahan ikan
tersebut bermanfaat untuk memperbaiki bau, cita rasa, penampakan dan tekstur daging.
Limbah perikanan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap ikan. Kecap
ikan merupakan salah satu produk perikanan tradisional yang dibuat dengan metode
fermentasi dan telah dikenal sejak lama dengan ciri khas berupa cairan jernah berwarna
kekuningan sampai coklat, agak kental, memiliki rasa yang gurih asin dengan bau yang
sedikit amis. Kecap ikan menghasilkan aroma yang agak menyengat sehingga agak sulit
digunakan selama proses pengolahan pangan. Oleh karena itu, penambahan kultur
starter dapat diaplikasikan untuk mengurangi aroma yang tidak sedap tersebut. Kultur
starter ini dapat dibuat dengan cara fermentasi ikan dengan enzim pencernaan yang ada
dalam ikan itu sendiri. Contoh kultus starter yang efektif untuk mengurangi aroma tidak
sedap terserbut dapat digunakan kultur koji gandum-barley. Koji dibuat dengan cara
memasukkan Aspergillus oryzae ke dalam beras, barley, kedelai atau gandum yang telah
dikukus kemudian dikeringkan. Adapun tiga cara yang dapat dilakukan untuk membuat
kecap ikan antara lain dengan metode fermentasi bergaram, enzimatis (dengan
penambahan enzim protease papain, bromelin dan fisin) atau melalui proses kimiawi
(McIver et al., 1982).
Dalam jurnal “Characterization of the Traditional Fermented Fish Product Lona ilish of
Northeast India” oleh Manjundar & Basu (2009) produk ikan fermentasi merupaka
produk yang penting sebagai sumber protein terutama untuk daerah Asia Tenggara.
Fermentasi ikan menggunakan teknik yang lama yaitu dengan menggunakan garam
kemudian enzim autolitik yang ada di dalam ikan akan bereaksi dengan garam. Adapun
cara pengawetan yang dilakukan yaitu dengan pengalengan. Waktu fermentasi yang
dilakukan adalah selama 4-6 bulan. Waktu fermentasi ini akan berpengaruh pada
5
kualitas sensori dari ikan yang telah di fermentasi. Hasilnya akan berasa lebih kaya akan
lemak. Proses fermentasi diawali dengan persiapan bahan terlebih yaitu ikan dicuci
kemudian dibersihkan setelah itu dipotong-potong menjadi lebih kecil lalu dicampur
dengan garam perbandingan 4:1. Kemudian, ikan diletakkan pada wadah fermentasi dan
di inkubasi selama 4-6 bulan.
Sebagian besar penyusun ikan adalah air yaitu sebesar 70-80% yang menyebabkan ikan
mudah sekali rusak terutama bila adanya kegiatan mikroba dan enzim di dalam tubuh
ikan. Oleh karena itu, ikan harus diolah dengan benar dan pengolahan ini bertujuan
untuk memperbaiki bau, cita rasa, penampakan serta tekstur dari daging ikan itu sendiri.
Pengawetan ditujukan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan sehingga tidak ada
kesempatan bagi bakteri untuk dapat berkembang biak. Menurut Shih et al. (2003)
dikatakan bahwa pengolahan ikan akan menghasilkan limbah berupa kepala dan isi
perut ikan yang dapat diolah lebih lanjut menjadi kecap ikan.
Pada praktikum ini pembuatan kecap ikan dilakukan melalui proses fermentasi secara
enzimatis dan diberi penambahan enzim papain dengan konsentrasi tertentu. Fermentasi
adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam
tubuh ikan menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh enzim dari tubuh ikan itu sendiri
atau dari mikroorganisme dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol
(Afrianto & Liviawaty, 1989). Dalam proses fermentasi ini mikroba maupun enzim
yang dihasilkan dapat menstimulir cita rasa yang spesifik, mampu meningkatkan nilai
cerna pada bahan pangan, menurunkan kandungan senyawa ati gizi atau bahan lain yang
tidak dikehendaki dan dapat menghasilkan produk atau senyawa turunan yang
bermanfaat bagi manusia (Dougan & Howard, 1975). Menurut jurnal “Amino Acids and
Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce” oleh Dincer et al. (2010) mengatakan
bahwa fermentasi merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk mengawetkan
makanan. Fermentasi ini tidak hanya dapat memperpanjang umur simpan namun juga
bisa menambah flavor dan kualitas nutrisi dari produk yang dihasilkan.
Proses pembuatan kecap ikan secara enzimatik lebih cepat dibandingkan dengan cara
tradisional sehingga lebih menguntungkan secara ekonomis. Namun, mutu kecap ikan
6
yang dihasilkan masih rendah dibandingkan dengan kecap ikan yang diproduksi secara
tradisional. Hal ini terjadi karena dalam proses penguraian protein dengan bantuan
enzim papain terbentuk senyawa peptida tertentu yang dapat menimbulkan rasa pahit
dan aroma yang kurang sedap. Enzim proteolitik seperti halnya bromelin dan papain ini
berfungsi untuk mempercepat hidrolisis protein ikan (Achinewhu, 2002).
Langkah awal dalam praktikum ini yaitu tulang dan kepala ikan yang sudah
dihancurkan diambil sebanyak 50 gram. penghancuran daging ikan ini bertujuan untuk
mengeluarkan protein penyusun dan mineral lain yang menyusun tubuh ikan dan untuk
meningkatkan luas permukaan (Sanceda et al., 1996). Setelah itu ditambahkan dengan
enzim papain dengan konsentrasi 0,2% ; 0,4% ; 0,6% ; 0,8% dan 1% untuk masing-
masing kelompok. Selanjutnya ditambahkan dengan 300 ml air kemudian dimasukkan
ke dalam toples dan ditutup lalu diinkubasi selama 4 hari. Penambahan air ditujukan
untuk mendapatkan filtrat yang jernih. Perlakuan ini ditujukan untuk menciptakan
kondisi anaerob sehingga proses fermentasi berjalan lebih cepat serta untuk mencegah
adanya kontaminan yang masuk. Inkubasi sendiri bertujuan agar proses enzimatis yang
dilakukan oleh enzim protease dimana pada praktikum ini digunakan enzim papain dan
juga enzim yang ada pada tubuh ikan agar dapat berjalan dengan lancar. Enzim papain
yang bekerja selama proses inkubasi akan menguraikan protein menjadi senyawa yang
lebih sederhana seperi peptida, asam amino dan pepton (Harrigan, 1976). Hasil
hidrolisis ini adalah polipeptida dimana semula tidak larut di dalam air kemudian akan
menjadi larut dalam air dan akan saling berinteraksi sehingga dapat menciptakan rasa
yang khas (Buckle et al., 2007). Hal tersebut di dalam jurnal “Using Pineapple to
Produce Fish Sauce from Surimi Waste” oleh Sangjindavong et al. (2009) disebutkan
bahwa enzim proteinasi biasa digunakan dalam fermentasi kecap ikan dan makanan
fermentasi lainnya. Bromelin, papain dan ficin adalah sumber enzim protease yang
biasa digunakan. Enzim bromelin yang digunakan dalam penelitian ini berguna untuk
mempercepat proses fermentasi yang dilakukan dengan cara mengurangi waktu
fermentasi. Aktivitas bromelin sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang tinggi justru
akan menghambat reaksi. Suhu dan kadar garam memiliki efek bagi proses fermentasi.
Jika proses terjadi pada suhu yang rendah maka kadar garam yang tinggi dibutuhkan
untuk mendapatkan hasil yang baik.
7
Langkah selanjutnya adalah hasil fermentasi kecap disaring kemudian filtrat direbus
sampai mendidih selama 30 menit. selama perebusan ini ditambahkan dengan bumbu-
bumbu yang sudah dihaluskan yaitu 50 gram bawang putih, 50 gram garam dan 1 butir
gula kelapa. Setelah itu, larutan tersebut didiginkan terlebih dahulu untuk kemudian
disaring kembali untuk kedua kalinya. Kemudian, dilakukan pengamatan secara
sensoris yang meliputi warna, rasa dan aroma serta penampakan dari kecap ikan. Untuk
uji salinitas kecap ikan yang telah dihasilkan diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan
dengan 9 ml akuades kemudian diukur menggunakan hand refractometer. Salinitas ini
merupakan kadar garam yang terlarut di dalam air (UNESCO,1981). Alat yang
digunakan dalam uji adalah hand refractometer yang biasa digunakan untuk mengukur
jatuhnya sinar yang dibiaskan kemudian menentukan besarnya refraksi. Biasanya alat
ini digunakan untuk mengukur kadar gula dan garam (Pearson, 1962).
Faktor yang memengaruhi keberhasilan pembuatan kecap ikan adalah metode yang
digunakan, jumlah garam yang ditambahkan, lamanya inkubasi dan penggunaan bumbu
yang tepat (Astawan & Astawan, 1991). Penambahan bumbu berupa garam, bawang
dan gula kelapa dalam proses pembuatan kecap ikan ini dapat memengaruhi warna dari
kecap ikan yang dihasilkan. Penambahan garam berfungsi untuk memberikan rasa asin,
menguatkan rasa dan memberikan efek pengawetan karena garam dapat menurunkan
kadar Aw serta akan menganggu keseimbangan sel mikroorganisme karena terjadi
peningkatan proton di dalam sel sehingga mikroba perusak dapat dihambat. Hal ini
dipercaya akan memperpanjang umur simpan dari kecap ikan (Cowan, 1974). Di dalam
jurnal “Development of Cultural Context Indicator of Fermented Food” oleh Lee &
Kim (2013) juga dikatakan bahwa penggaraman yang diberlakukan pada ikan akan
menambah umur simpan ikan dimana nantinya akan terbentuk flavor yang khas
dikarenakan adanya disintegrasi pada daging ikan. Fermentasi produk ikan ditentukan
dari kualitas asam laktat yang dihasilkan dan umur simpan yang ditentukan dari kadar
garamnya. Adapun penambahan bawang putih berfungsi untuk memberikan aroma atau
flavor dan juga cita rasa serta untuk meningkatkan umur simpan dari kecap ikan. Hal
tersebut karena bawang putih mengandung zat allicin dimana zat ini efektif untuk
membunuh bakteri sehingga bawang putih dapat digunakan sebagai antimikroba
8
(Fachruddin, 1997). Adapun gula kelapa berfungsi untuk memberikan rasa manis pada
kecap dan terutama untuk memberikan warna coklat karamel pada kecap ikan serta
untuk meningkatkan viskositas pada kecap yang dihasilkan (Lee et al., 1993).
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa karakteristik dari kelompok C5 yang
menggunakan enzim papain dengan konsentrasi 1% yaitu kecap ikan berwarna agak
coklat gelap dengan aroma yang tajam dan rasa yang asin. Kelompok C4 dengan
konsentrasi papain 0,8% menghasilkan kecap berwarna coklat gelap dengan rasa yang
sangat asin dan aroma yang tajam. Untuk kelompok C2 menggunakan konsentrasi 0,4%
memiliki karakteristik kecap ikan berwarna kurang coklat gelap dengan aroma yang
tajam dan rasa yang agak asin. Kelompok C1 dengan konsentrasi enzim papain yang
paling kecil yaitu 0,2% memiliki karakteristik kecap ikan dengan warna kurang coklat
gelap dengan rasa yang asin dan aroma yang tajam. Untuk penampakan dari semua
kecap ikan yang dihasilkan setiap kelompok yaitu agak kental. Sedangkan pada
kelompok C3 tidak didapatkan hasil sama sekali. Hal ini dikarenakan toples yang
digunakan sebagai wadah fermentasi berlubang dari awal sehingga selama proses
inkubasi banyak bakteri dan mikroorganisme yang masuk dan mencemari kecap ikan
tersebut sehingga muncul adanya belatung di dalam toples. Hal ini menurut jurnal
“Processing and Quality Characteristics of Some Major Fermented Fish Products from
Africa : A Critical Review” oleh Anihouvi et al. (2012) lingkungan dengan konsentrasi
garam yang tinggi akan meninggalkan mikroorganisme yang hanya tahan dalam
lingkungan dengan kadar garam tinggi dan akan menghambat pertumbuhan bakteri
asam laktat.
Menurut Amano (1962) semakin banyak enzim yang ditambahkan ke dalam proses
pembuatan kecap ikan maka akan semakin tinggi pula aktivitas protease sehingga warna
cairan akan semakin gelap. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas enzim proteolitik pada
daging ikan menyebabkan warna cairan menjadi coklat. Namun, kelompok C4
menghasilkan warna yang lebih coklat dibandingkan dengan kelompok C5 yang
memiliki konsentrasi enzim lebih besar. Hal ini dapat disebabkan karena adanya
keterbatasan pada indera manusia yang digunakan untuk uji sensoris pada praktikum
kali ini. untuk parameter rasa didapatkan kelompok C4 dan C5 dengan konsentrasi
9
papain yang tinggi menghasilkan rasa yang asin bahkan kelompok C4 sangat asin. Hal
ini menurut Hidayat et al. (2006) dikarenakan konsentrasi papain yang tinggi akan
menghasilkan komponen dengan hasil pemecahan protein yang lebih banyak sehingga
akan menimbulkan rasa yang lebih tajam dan khas. Namun, pada kelompok C1 dengan
konsentrasi papain yang paling rendah justru menghasilkan rasa yang asin.
Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan kesalahan dalam uji sensoris atau karena
penambahan garam yang tidak sesuai takaran yang sudah ditentukan.
Pembentukan aroma sangat berhubungan dengan senyawa asam amino bebas yang
terdapat pada akhir fermentasi yang dipengaruhi oleh waktu fermentasi. Asam amino ini
akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuklah asam lemak bebas (Hidayat et
al., 2006). Oleh karena itu dengan adanya penambahan enzim papain pada kosentrasi
yang besar akan didapatkan aroma yang semakin tajam. Hal ini terbukti dari hasil
pengamatan bahwa kecap ikan yang dihasilkan semua kelompok memiliki aroma yang
tajam. Kemudian dari segi penampakan dapat dilihat semua kelompok memiliki kecap
ikan yang agak kental. Hal ini tidak sesuai dengan Shahidi (1998) yang mengatakan
bahwa semakin banyak enzim protease yang ditambahkan maka akan semakin
mengurangi viskositas dari kecap ikan sehingga produk akan semakin encer. Kekentalan
kecap ikan sangat dipengaruhi oleh waktu dan suhu saat pemanasan, jumlah gula yang
dipakai dan garam yang dilarutkan, jumlah gula dan garam yang bereaksi dengan
senyawa-senyawa amino. Pada hasil pengamatan didapatkan nilai salinitas yang paling
tinggi yaitu pada kelompok C4 dengan konsentrasi enzim papain 0,8% dengan nilai
sebesar 4% sedangkan yang terendah yaitu kelompok C1 dengan kosentrasi enzim
0,2%. Berdasarkan UNESCO (1981) semakin tinggi nilai salinitas maka semakin tinggi
juga rasa asin yang dihasilkan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil praktikum yang
didapatkan karena kelompok C5 dengan penggunaan konsentrasi enzim yang paling
besar yaitu 1% justru menghasilkan nilai salinitas yang lebih kecil dibandingkan dengan
C4 yang hanya menggunakan konsentrasi enzim papain sebesar 0,8%. Ketidaksesuaian
ini dikarenakan uji sensoris yang dilakukan tidak akurat karena penilaian setiap orang
berbeda terhadap hasil yang didapatkan.
10
4. KESIMPULAN
Kecap ikan merupakan produk perikanan tradisional yang dibuat dengan metode
fermentasi.
Ciri khas dari kecap ikan adalah berwarna kekuningan sampai coklat, agak kental,
memiliki rasa yang gurih asin dengan bau yang sedikit amis.
Enzim papain yang ditambahkan akan menguraikan protein menjadi senyawa yang
lebih sederhana seperti peptida, asam amino dan pepton.
Uji salinitas adalah untuk mengetahui kadar garam dan gula yang ada di dalam
kecap ikan.
Penambahan garam berfungsi untuk memberikan rasa asin dan untuk menurunkan
kadar Aw sehingga bisa memperpanjang umur simpan.
Fungsi gula adalah untuk memberi rasa manis dan menambah viskositas dari kecap
ikan serta untuk memberi warna coklat pada produk.
Bawang putih digunakan untuk memberikan aroma dan menciptakan cita rasa untuk
kecap ikan serta berfungsi sebagai antimikroba.
Semakin banyak enzim yang ditambahkan ke dalam kecap ikan maka akan semakin
tinggi pula aktivitas protease sehingga cairan akan berwarna semakin gelap.
Konsentrasi papain yang tinggi akan menghasilkan rasa yang semakin asin dan
khas.
Konsentrasi papain yang besar menghasilkan aroma yang semakin tajam.
Semakin tinggi konsentrasi papain maka viskositas kecap seharusnya semakin
rendah sehingga produk menjadi semakin encer.
Semakin tinggi nilai salinitas maka kecap ikan akan semakin asin.
Semarang, 20 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen
Jessica Kezia Harel Michelle Darmawan
13.70.0098
11
5. DAFTAR PUSTAKA
Achinewhu SC, Oboh CA (2002) Chemical,microbiological and sensory properties of
fermented fish products from Sardinella sp. in Nigeria. J Aquatic Food Product
Technol 11(2):53–59
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Amano K (1962) The influence of fermentation on the nutritive value of fish with
special reference to fermented fish products of Southeast Asia. In: Heen E,
Kreuzer R (eds) Fish in nutrition. Fishing News (Books), London, pp 180–200
Anihouvi, V. B., Kindossi, J. M., Hounhouigan, J. D. (2012). Processing and Quality
Characteristics of some major Fermented Fish Products from Africa: A Critical
Review. International Research Journal of Biological Sciences. vol. 1 (7), 72-84.
Astawan, M.W. & M.Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wootton, M. 1987. Ilmu Pangan.
(Purnomo, H., dan Adiono, Pentj). Jakarta: UI-Press.
Cowan, S. T. 1985. Manual for the Identification of Medical Bacteria. Cambridge
University Press, Cambridge. 238 p.
C. H. Lee, K. H. Steinkraus, P. J. Reilly, “Fish Fermentation Technology”, Tokyo,
Japan, United Nations Univ. Press, (1993), pp. 1-10.
Dincer, T., Cakli, S., Kilinc, B. And Sebnem Tolasa. (2010). Amino Acids and Fatty
Acid Composition Content of Fish Sauce. Journal of Animal and Veterinary
Advances. Vol. 9, No. 2 : 311-315.
Dougan, J. and G.E. Howard. 1975. Some flavoring constituents of fermented fish
sauces. J. Sci. Food Agric. 26: 887-894.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.
HarriganWF, McCanceME (1976) Laboratory methods in food and dairy microbiology.
Academic Press, London
Hidayat, N., Padaga, M.C. dan Suhartini, S. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta:
C.V. Andi Offset.
Kilinc B (2003) Fish sauce technology. EU J Fish Aquatic Sci 20(1/2):263–272
12
Lee, O. J. and Jin Young Kim. (2013). Development of Cultural Context Indicator of
Fermented Food. International Journal of Bio-Science and Bio-Technology. Vol.
5 No. 4.
Majumdar, RK. And S. Basu. (2009). Characterization of the traditional fermented fish
product Lona ilish od Northeast India. Indian Journal of Traditional Knowledge.
Vol. 9 (3), pp. 453-458.
McIver, R.C., R.I. Brooks and G.A. Reineccius. 1982. Flavor of fermented fish sauce. J.
Agric. Food Chem. 30(6): 1017-1020.
Pearson D (1962) The chemical analysis of food, 5th edn. J.&A. Churchill, London
Sanceda NG, Kurata T, Arakawa N (1996) Accelerated fermentation process for the
manufacture of fish sauce using histidine. J Food Sci 61(1):220–225
Sangjindavong, M., Mookdasanit, J., Pongtep, W. (2009). Using Pineapple to Produce
Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795
Shahidi, F. & J. R. Botta. (1998). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology &
Quality. Chapman & Hall. USA.
Shih, I. L.; L. G. Chen; T. S. Yu; W. T. Chang; & S. L. Wang. (2003). Microbial
Reclamation of Fish Processing Wastes for the Production of Fish Sauce. Enzyme
and Microbial Technology 33 (2003) 154–162.
UNESCO. (1981). The Practical Salinity Scale 1987 and International Equation of State
of Seawater 1980/. Tech. Pap. Mar. Sci, 36:25pp.
13
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
( )
Kelompok C1
Hasil pengukuran = 30
( )
Gram Papain :
Kelompok C2
Hasil pengukuran = 60
( )
Gram Papain :
Kelompok C3
Hasil pengukuran = -
( )
Gram Papain : -
Kelompok C4
Hasil pengukuran = 40
( )
Gram Papain :
14
Kelompok C5
Hasil pengukuran = 37
( )
Gram Papain :
6.2. Diagram Alir
6.3. Laporan Sementara
6.4. Abstrak Jurnal
15