kewenangan badan pemeriksa keuangan dalam pembentukan
TRANSCRIPT
Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pembentukan Peraturan BPK
M. Luqman Fadlli dan Sony Maulana Sikumbang
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkuat kedudukan BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri. Kebebasan dan kemandirian BPK direalisasikan dengan diundangkannya Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada BPK untuk membuat Peraturan BPK. Peraturan tersebut diakui keberadaannya bahkan sebelum kewenangan pembentukannya ada, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Penelitian ini akan membahas tiga permasalahan utama. Pertama, akan dijelaskan dasar hukum kewenangan pembentukan Peraturan BPK. Kedua, akan dijelaskan kedudukan Peraturan BPK, apakah merupakan produk peraturan perundang-undangan atau tidak. Ketiga, akan dijelaskan dalam hal terjadi pengaturan yang sama, maka peraturan mana yang akan digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis. Kata kunci: kewenangan; pembentukan peraturan; Peraturan BPK; atribusi; delegasi
(The Authority of Badan Pemeriksa Keuangan in the Making of Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan)
Abstract
The amendment of constitution of Republic of Indonesia Year 1945 has strengthen the position of BPK as an independent Audit Board. The independence of BPK has been realized with the enactment of Act Number 15 Year 2006 concerning Audit Board which replaced Act Number 5 Year 1973. Act Number 5 Year 2006 give the authority to Audit Board to make a regulation. The regulation is acknowledged by Act Number 10 Year 2004 even before the authority to make such regulation is given. This study will probe three main subjects. First, it will explain the legal basis for the authority of the establishment of Peraturan BPK. Second, it will explain the legal status of Peraturan BPK, whether it is counted as regulation or not. Third, it will explain how to determine the regulation that will be used in case there are rules that regulate similar matters. The method used in this study is juridical normative which is based on secondary data and presented descriptively and analytically. Keywords: authority; competence; rule-making; Audit Board Regulation; delegated attribution; legislation 1. Pendahuluan
Dalam negara yang demokratis, salah satu hak yang penting dari rakyat melalui
perwakilan yang langsung dipilihnya adalah hak dan wewenang untuk mengawasi dan
menguji kebijaksanaan Pemerintah antara lain di bidang penguasaan dan pengurusan
kekayaan dan keuangan negara. Tugas dan wewenang untuk memeriksa tanggung jawab
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
tentang keuangan negara itu oleh Undang-Undang Dasar 1945 dipercayakan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan, sedang hasil pemeriksaannya harus diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.1
Konsepsi keuangan negara di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memberikan pemahaman filosofis yang tinggi terhadap kedudukan
keuangan negara yang ditentukan APBN sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan. Dengan kata
lain, hakikat public revenue dan expenditure keuangan negara dalam APBN adalah
kedaulatan negara.2
Sehubungan dengan penetapan APBN, DPR memiliki hak begrooting yang
menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih
kuat dari kedudukan pemerintah. Dengan demikian, secara filosofis-yuridis, hal itu
merupakan wujud kedaulatan rakyat melalui DPR. Pemerintah baru dapat menjalankan APBN
setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk Undang-Undang. Di sisi lain,
pemerintah dalam menjalankan APBN wajib mempertanggungjawabkannya kepada DPR.
Pemeriksaan terhadap APBN sebagai bagian dari keuangan negara dilakukan oleh BPK dan
hasilnya disampaikan kepada DPR.3
Keberadaan BPK dalam struktur kelembagaan negara Indonesia terkait dengan fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di bidang pengawasan terhadap kinerja pemerintahan.
Karena fungsi pengawasan oleh DPR itu bersifat politis, diperlukan lembaga khusus yang
dapat melakukan pemeriksaan keuangan (financial audit) secara lebih teknis. Lembaga seperti
ini juga ada di Belanda dengan nama Raad van Rekenkamer. Di Perancis, lembaga yang mirip
dengan lembaga tersebut adalah Cour des Comptes. Bedanya, di dalam sistem Perancis,
lembaga ini disebut cour atau pengadilan karena memang berfungsi juga sebagai forum
yudisial bagi pemeriksaan mengenai penyimpangan yang terjadi dalam tanggung jawab
pengelolaan keuangan negara.4
Para pembentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyadari
bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara
1 Badan Pemeriksa Keuangan, 25 Tahun Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Utama Badan Pemeriksa Keuangan, 1972), hal. 7.
2 Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1992-2002 – Buku VII: Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Nasional, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) hal. 12.
3 Ibid. 4 Ibid., hal 30.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan
yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Kedudukan BPK sebagai lembaga
negara pemeriksa keuangan negara perlu dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan
kinerjanya. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal
kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat
melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sebagai pelaksanaan Pasal 23G ayat (2) Undang-Undang Dasar negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan yang mencabut dan mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1973. Ada hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, yaitu
mengenai kewenangan BPK untuk membentuk Peraturan BPK. Pemberian wewenang itu
disebutkan dalam beberapa pasal antara lain, Pasal 6 ayat (6), Pasal 12, Pasal 15 ayat (5), dan
Pasal 30 ayat (3). Kewenangan tersebut tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1973. Dalam undang-undang tersebut hanya disebutkan bahwa pembagian tugas, tata kerja
dan pengambilan keputusan Badan Pemeriksa Keuangan ditetapkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, tanpa menyebutkan lebih lanjut mengenai mekanisme apa yang digunakan, apakah
melalui peraturan atau ketetapan.11 Dengan demikian BPK hanya bisa mengatur secara
internal dalam lingkup kelembagaannya saja. Sedangkan dalam Undang- Undang Nomor 15
Tahun 2006 telah disebutkan secara eksplisit bahwa mekanisme yang digunakan BPK untuk
mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang dan lain-lain
diatur oleh Peraturan BPK. Karena Peraturan BPK diakui keberadaannya sebagai peraturan
perundang-undangan, maka lingkup pengaturan BPK tidak terbatas pada pengaturan internal,
tetapi juga bisa mengatur keluar.
Hal ini menarik karena dalam UU BPK yang lama (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1973) tidak memberi wewenang BPK untuk membentuk Peraturan BPK, dan perubahan UUD
1945 juga tidak menyebutkan kewenangan BPK dalam pembentukan Peraturan BPK, tetapi
UU Nomor 10 Tahun 2004 mengakui keberadaan Peraturan BPK sebagai peraturan
perundang-undangan. Baru setelah keluar UU BPK yang baru (Undang-Undang Nomor 15
Tahun 206), kewenangan BPK untuk membentuk Peraturan BPK diberikan secara eksplisit.
Sehubungan dengan kewenangan BPK mengeluarkan Peraturan BPK, Jimly
Asshiddiqie mengatakan bahwa kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan (regeling)
pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan prinsip
kedaulatan rakyat merupakan kewenangan eksklusif para wakil rakyat yang berdaulat untuk
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
menentukan sesuatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu
warga negara (presumption of liberty of the sovereign people).5
Hal ini lah yang mendasari penulis untuk menyusun skripsi mengenai Badan
Pemeriksa Keuangan berkaitan dengan Peraturan BPK sebagai produk hukum dan
kewenangan BPK ditinjau dari fungsi-fungsi negara dengan batasan masalah Apakah dasar
hukum kewenangan BPK dalam membentuk Peraturan BPK? Bagaimana kedudukan
peraturan yang dikeluarkan BPK dalam hal produk peraturan perundang-undangan? Jika
terjadi pengaturan yang sama dan bertentangan, peraturan mana yang digunakan?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan lembaga negara
di luar DPR, dalam hal ini BPK, yang memiliki kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan, serta kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sedangkan secara khusus yaitu untuk meninjau sumber kewenangan BPK dalam membentuk
Peraturan BPK; meninjau kedudukan Peraturan BPK dalam peraturan perundang-undangan;
dan mengetahui peraturan mana yang harus digunakan apabila terjadi pengaturan yang sama.
2. Tinjauan Teoritis
2.1. Sumber Kewenangan
Hukum Administrasi Negara mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan
pemerintah, antara lain, mengenai fungsi, aktivitas, otoritas, serta susunan pemerintah suatu
negara.6 Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, kekuasaan dan kewenangan sangatlah
penting.
Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan merupakan
inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging)
sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja
melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut
Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah
laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.7
5 Jimly Asshiddiqie (a), Perihal Undang-Undang, cet. 3, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal.
11. 6 Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2007), hal. 4. 7 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 35.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga
negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana
jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu
berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.8 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua
aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum
semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari
luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan
kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.
Sedangkan Soerjono Soekanto menguraikan beda antara kekuasaan dan wewenang
bahwa “Setiap kemampuan untuk memengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan,
sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang,
yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat”. 9
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Ateng Syafrudin
berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan (authority, gezag) dan wewenang
(competence, bevoegheid). 10 Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan
wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang
merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya
meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang
dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang
utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.11
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis
berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan
wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari
undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya
8 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1998), hal. 39.
9 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 91-92. 10 Ateng Syafrudin, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung
Jawab”, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hal. 22. 11 Indroharto, “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan
Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 65.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
barang siapa diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk
melakukan sesuatu yang tersebut dalam lingkup kewenangan itu.
Dalam Hukum Administrasi Negara, kewenangan dapat bersumber melalui tiga cara,
yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Namun dalam hal pembentukan peraturan perundang-
undangan, hanya ada dua sumber kewenangan pembentukan peraturan yaitu atribusi dan
delegasi.
2.2. Kewenangan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Peraturan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai tataan
(petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur. Sedangkan perundang-undangan
didefinisikan sebagai sesuatu yang bertalian dengan undang-undang; seluk-beluk undang-
undang.12
Peraturan merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya
mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum
(general).13
Dalam Bahasa Belanda, istilah perundang-undangan disebut dengan wetgeving.
Pengertian wetgeving dalam Juridisch woordenboek diartikan sebagai berikut:
a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
b. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.14
Kedua pengertian itu didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan sebagai
berikut:
1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.15
12 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, KBBI Daring,
<http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/> 13 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 133. 14 S.J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd handwoordenboek, (Groningen/Batavia: J.B. Wolters, 1948),
dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 10.
15 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Peundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, ps. 1 angka 1.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.16
Sedangkan mengenai pengertian peraturan perundang-undangan, Maria Farida juga
berpendapat bahwa definisi tersebut tidak sepenuhnya dapat memberikan pemahaman yang
tegas tentang apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, oleh karena
peraturan dari suatu lembaga negara atau pejabat yang berwenang belum tentu merupakan
suatu peraturan perundang-undangan. Peraturan tertulis yang bersifat umum, abstrak, dan
berlaku terus-menerus dapat berupa peraturan perundang-undangan, bisa juga peraturan
kebijakan di bidang pemerintah, dan dapat juga sebagai peraturan yang berlaku secara intern
(intern regelingen).17
Dalam disertasinya, A. Hamid S. Attamimi juga menuliskan bahwa peraturan
perundang-undangan mengandung tiga unsur:
a. norma hukum (rechtsnormen);
b. berlaku ke luar (naar buiten werken); dan
c. bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)18
Ketiga unsur tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
a. norma hukum
Norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan mengandung salah satu sifat-
sifat di bawah ini:
1) perintah (gebod);
2) larangan (verbod);
3) pwngizinan (toestemming); dan
4) pembebasan (vrijstelling).
b. berlaku ke luar
Ruiter berpendapat bahwa norma dalam peraturan perundang-undangan selalu berlaku
ke luar, yaitu ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesamanya maupun antara
rakyat dengan pemerintah. Sedangkan norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian
16 Indonesia (a), op.cit., Pasal 1 angka 2. 17 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), hal. 13. 18 D.W.P. Ruiter, Bestuursrechtelijke wetgevingsleer, (Asen/Maastricht: Van Gorcum, 1987), hal. 7,
dalam A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA I – PELITA IV), Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 314.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
organisasi pemerintahan dianggap bukan norma hukum yang sebenarnya, paling jauh
dianggap sebagai norma organisasi.
c. bersifat umum dalam arti luas
Bersifat umum jika dilihat dari adressaat berarti merujuk kepada alamat yang dituju,
yaitu ditujukan kepada setiap orang (umum), bukan kepada orang tertentu saja (individu).
Serta jika dilihat dari hal yang diaturnya dibedakan pula antara abstrak (mengatur peristiwa-
peristiwa tidak tertentu) dan konkret (mengatur peristiwa-peristiwa tertentu). Dalam hal
peraturan perundang-undangan, maka norma yang dipakai bersifat umum-abstrak.
Menurut Bagir Manan, sebagaimana dikutip Maria Farida, pengertian peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Setiap peraturan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum.
b. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau suatu tatanan.
c. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu.
d. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan lazim disebut dengan wet in materiele zin, atau sering disebut dengan algemeen verbindende voorschrift yang meliputi antara lain: de supra-nationale algemeen verbindende voorschrift, wet, AMvB, de Ministeriele verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen, de provinciale State verordeningen.19
Satjipto Rahardjo menuliskan bahwa peraturan perundang-undangan memiliki ciri
sebagai berikut:
a. Peraturan perundang-undangan bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
b. Peraturan perundang-undangan bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
c. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Pencantuman klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.20
19 Bagir Manan, “Ketentuan-Ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam
Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-20 Oktober 1994), hal. 1-3, dalam Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 10-11.
20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1996), hal. 83-84, dalam Ridwan HR, op.cit., hal. 135.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Menurut Jimly Asshiddiqie, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang berisi norma-norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan oleh
legislator maupun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana undang-undang yang
mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-undang untuk menetapkan peraturan-
peraturan tertentu menurut peraturan yang berlaku.21
Selain peraturan yang berbentuk undang-undang, ada pula peraturan yang disusun dan
ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana undang-undang. Setiap lembaga pelaksana
undang-undang dapat diberi kewenangan regulasi oleh undang-undang dalam rangka
menjalankan undang-undang yang bersangkutan. Di samping itu, pemerintah karena
fungsinya diberi kewenangan pula untuk menetapkan sesuatu peraturan tertentu, di samping
undang-undang itu sendiri dapat pula menentukan adanya lembaga regulasi yang bersifat
tertentu pula. Semua produk hukum tertulis yang berisi norma yang bersifat mengatur
(regeling) itu dalam ilmu hukum kita namakan peraturan perundang-undangan.22
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik persamaan bahwa peraturan perundang-
undangan itu bersifat umum-abstrak, yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Waktu (tidak hanya berlaku pada saat tertentu)
b. Tempat (tidak hanya berlaku pada tempat tertentu)
c. Orang (tidak hanya berlaku pada orang tertentu)
d. Fakta hukum (tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk
berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang, dengan kata lain untuk
perbuatan yang berulang-ulang).23
Untuk membahas lebih lanjut mengenai peraturan perundang-undangan, perlu
diuraikan mengenai ruang lingkup peraturan perundang-undangan terlebih dahulu. Di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum dan sesudah perubahan, hal-hal mengenai
peraturan perundang-undangan tidak banyak dikemukakan, selain menyebut beberapa
jenisnya. Secara eksplisit, Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebut Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, sedangkan
peraturan perundang-undangan lainnya tumbuh dan berkembang seiring dengan praktek
ketatanegaraan dan tata pemerintahan Negara Republik Indonesia.24
21 Jimly Asshiddiqie (b), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, (Jakarta: Sekretarian Jenderal
Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 202. 22 Ibid., hal. 203 23 Ridwan HR, op.cit., hal. 136. 24 Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 183.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, ruang lingkup peraturan perundang-undangan di Indonesia
adalah semua jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud yaitu Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Maajelis Permusyawaratan
Rakyat, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.25
Penyebutan Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai perautran perundang-undangan sebenarnya tidak tepat jika ditinjau dari teori hierarki
norma hukum negara oleh Hans Nawiasky. Hans Nawiasky mengembangkan teori Hans
Kelsen tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Menurut Nawiasky,
suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma
yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar kepada norma yang lebih tinggi lagi, sampai
pada norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.26
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain berjenjang, norma hukum dari suatu
negara juga berkelompok, yang terdiri dari empat kelompok besar, yaitu:
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’)
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan
Otonom)
Apabila Pancasila yang terdapat dalam pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 itu merupakan Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm),
sedangkan Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis yang
berupa Konvensi Ketatanegaraan Negara merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara (Staatsgrundgesetz), maka Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik
Indonesia yang merupakan “formell Gesetz” dan “Verordnung & Autonome Satzung” adalah
Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga
25 Indonesia (a), op.cit., Pasal 7 ayat 1. 26 Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 44.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
pemerintahan dalam perundang-undangan lainnya yang merupakan peraturan yang bersumber
dari kewenangan atribusi dan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.27
Dengan demikian jenis-jenis peraturan perundang-undangan di Negara Republik
Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Pusat
1) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
2) Peraturan Pemerintah
3) Peraturan Presiden
4) Peraturan Menteri
5) Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen
6) Peraturan Direktur Jenderal Departemen
7) Peraturan Badan Hukum Negara
B. Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Daerah
1) Peraturan Daerah Provinsi
2) Peraturan/Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi
3) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
4) Peraturan/Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota.28
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ruang lingkup peraturan perundang-
undangan tidak hanya terbatas pada undang-undang saja, tetapi juga peraturan-peraturan di
bawahnya. Kewenangan pembentukan peraturan-peraturan di bawah undang-undang berasal
dari peraturan yang lebih tinggi baik melalui atribusi maupun delegasi.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (atributie
van wetgevingsbevoegdheid) adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet
(Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat
terus menerus dan dapat dilaksanakan adas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai
dengan batas-batas yang diberikan.29
Sedangkan delegasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (delegatie
van wetgevingsbevoegdheid) adalah pelimpahan kewenangan membetuk peraturan
perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
27 Ibid., hal 183-184. 28 Ibid. 29 Ibid., hal. 55.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan
dengan tegas maupun tidak.30
Ada perbedaan pendapat mengenai pendelegasian kewenangan pembentukan
peraturan. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pendelegasian kewenangan untuk
mengatur diberikan kepada Pemerintah atau lembaga-lembaga dalam lingkup kekuasaan
eksekutif. Pendapatnya ini berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Jellinek.
Dalam menjalankan fungsi pemerintahan, pemerintah tidak hanya terbatas sebagai
pelaksana undang-undang, tetapi juga sebagai pembuat kebijakan. Menurut Jellinek,
pemerintahan mengandung dua segi, yaitu arti formal dan arti material. Pemerintahan dalam
arti formal mengandung kekuasaan mengatur (verordnungsgewalt) dan kekuasaan memutus
(entscheidungsgewalt), sedangkan pemerintahan dalam arti material berisi dua unsur yaitu
unsur memerintah dan unsur melaksanakan (das elemen der regierung und das der
vollziehung). 31 Hal serupa juga diutarakan oleh Van Wijk dan Konijnenbelt bahwa
pelaksanaan (uitvoering) dapat berupa pengeluaran penetapan-penetapan atau berupa
perbuatan-perbuatan nyata lainnya ataupun berupa pengeluaran peraturan-peraturan lebih
lanjut (gedelegeerde wetgeving).32
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan
pemerintahan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 itu mengandung juga kekuasaan
pengaturan dalam arti membentuk peraturan.
Philipus M. Hadjon juga menuliskan mengenai kekuasaan Presiden dibidang
perundang-undangan yang menjelma dalam berbagai bentuk; pertama, kekuasaan dalam
pembentukan Undang-Undang bersama-sama dengan DPR; kedua, pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; ketiga, pembentukan Peraturan Pemerintah; dan
keempat, pembentukan Keputusan Presiden.33 Istilah Keputusan Presiden sekarang sudah
diganti dengan Peraturan Presiden. pendapat-pendapat tersebut tidak menyebutkan adanya
kewenangan pembentukan peraturan di luar lembaga pemerintahan.
30 Ibid., hal. 56. 31 G. Jellinek, Allgemeine Staatslehre, (Berlin, Zurich: Max Gehlen, 1900), hal. 617, dalam Hamid S.
Attamimi, Peranan...,op.cit., hal. 182. 32 H.D. van Wijk & W. Konijnenbelt, Hoofdstuken van administratiefrecht, (Culemborg: Lemma, 1988),
hal. 149, dalam Ibid. 33 Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2008), hal. 87-88.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Jimly, berpendapat bahwa delegasi kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan tidak hanya terbatas kepada pemerintah saja, tetapi bisa juga didelegasikan kepada
lembaga negara lain di luar lingkup kekuasaan eksekutif. Hal ini dapat dilihat dari tulisannya:
... Dengan demikian, kewenangan lembaga pelaksana untuk membentuk peraturan pelaksana undang-undang harus dimuat dengan tegas dalam undang-undang sebagai ketentuan mengenai pendelegasian kewenangan legislasi (legislative delegation of rulemaking power) dari pembentuk undang-undang kepada lembaga pelaksana atau kepada pemerintah.34
Lembaga pelaksana tersebut bisa merupakan lembaga negara apa saja baik di dalam
maupun di luar lingkup eksekutif yang melaksanakan undang-undang yang dimaksud. Dalam
bukunya yang lain Jimly mengelompokkan peraturan perundang-undangan ke dalam
legislative act dan executive act atau regulative act. Legislative act merupakan peraturan yang
dalam pembuatannya setidak-tidaknya melibatkan lembaga legislatif, dalam hal ini DPR.
Sedangkan executive act adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga pelaksana. Jimly
mengatakan bahwa pengertian executive act dalam arti luas merupakan semua lembaga yang
menetapkan sesuatu dalam rangka menjalankan undang-undang.35
Pendapat inilah yang akhirnya lebih diterima dan diterapkan di Indonesia dengan
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengakui
keberadaan peraturan perundang-undangan yang lain yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
2.3. Kewenangan Pembentukan Peraturan BPK
Dalam menjalankan tugasnya, BPK dapat mengeluarkan Peraturan BPK. Keberadaan
Peraturan BPK dapat ditelusuri dari UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa
peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diakui keberadaannya sebagai
34 Jimly Asshiddiqie (a), op.cit., hal. 149. 35 Jimly Asshiddiqie (c), Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Pers, 2006),
hal. 44-45.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
peraturan perundang-undangan.36 Namun dasar hukum pemberian kewenangan BPK untuk
mengeluarkan peraturan tersebut baru diatur dua tahun setelahnya, yaitu dalam UU Nomor 15
Tahun 2006. Sumber kewenangan BPK untuk mengeluarkan peraturan BPK bisa dilihat dari
rumusan pasal-pasal berikut ini:
Pasal 6 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK.
Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan
Peraturan BPK.
Pasal 15 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK
diatur dengan peraturan BPK.
Pasal 30 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara
persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK diatur dengan Peraturan
BPK.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, BPK dapat membentuk peraturan
perundang-undangan dalam wadah Peraturan BPK. Penjelasan lebih lanjut mengenai
Peraturan BPK akan dibahas pada bab berikutnya.
3. Pembahasan
3.1. Keberadaan Peraturan BPK
Jika ingin menelusuri keberadaan Peraturan BPK, maka dimulai dengan melihat
ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 beserta penjelasannya:
Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
36 Pasal 7 ayat (4): Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat (4): Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
e. Peraturan Daerah.
(2) ...
(3) ...
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Penjelasan Pasal 7 ayat (4) menyebutkan:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dari rumusan tersebut dapat dilihat bahwa Peraturan yang dikeluarkan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan diakui keberadaannya sebagai peraturan perundang-undangan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mengakui” (bentuk aktif dari diakui) berarti:
1. mengaku akan (kesalahan, dosa, dsb);
2. menyatakan sah (benar, berlaku, dsb);
3. menyatakan berhak (atas);
4. memasuki (tt setan, jin, dsb).37
Dilihat dari arti kedua, mengakui berarti menyatakan sah dan berlaku, sehingga
peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan adalah peraturan yang sah
keberadaan dan keberlakuannya. Dengan demikian bisa diartikan bahwa ketentuan tersebut
merupakan atribusian dalam pembentukan peraturan Peraturan BPK.
Namun dalam membaca ketentuan undang-undang tidak boleh sepenggal-sepenggal.
Perlu diperhatikan bahwa peraturan tersebut diakui sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada saat itu belum ada peraturan perundang-
undangan yang memerintahkan kepada BPK untuk membuat peraturan. Dengan kata lain,
dalam undang-undang ini tidak ada atribusian maupun delegasian kewenangan pembentukan
Peraturan BPK.
Kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Dalam undang-undang
inilah pertama kali nama Peraturan BPK disebutkan secara jelas. Hal ini dapat dilihat dari
37 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, KBBI Daring, <http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php>
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
rumusan Pasal 1 angka 17 yang mendefinisikan bahwa “Peraturan BPK adalah aturan hukum
yang dikeluarkan oleh BPK yang mengikat secara umum dan dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.”
Berkaitan dengan hal itu, BPK dapat mengeluarkan Peraturan BPK sebagaimana
disebutkan dalam:
Pasal 6 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK.
Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan
Peraturan BPK.
Pasal 15 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK
diatur dengan peraturan BPK.
Pasal 30 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara
persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK diatur dengan Peraturan BPK.
Dengan demikian, keberadaan Peraturan BPK menjadi jelas setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 karena sejak saat itu BPK memiliki kewenangan
pembentukan Peraturan BPK yang secara tegas diperintahkan oleh undang-undang.
3.2. Dasar Pembentukan Peraturan BPK
Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal dua macam sumber kewenangan
pembentukan peraturan perundang-undangan. Dasar pembentukan peraturan perundang-
undangan bisa berasal dari atribusi atau delegasi.
Atribusi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (attributie
van wetgeningsbevoegdheid) ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-
undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau Wet kepada suatu
lembaga negara/pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang
diberikan.38
Delegasi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (delegatie
van wetgevingsbevoegdheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah, baik dinyatakan dengan tegas
38 Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 55.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
maupun tidak dinyatakan dengan tegas. Pada kewenangan delegasi tersebut tidak diberikan,
melainkan “diwakilkan”, dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti
kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.39
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dibedakan unsur-unsur atribusian dan
delegasian sebagai berikut:
Tabel 1. Perbedaan Atribusi dan Delegasi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Atribusi Delegasi
Pemberian kewenangan pembentukan
peraturan perundang-undangan oleh
UUD atau UU kepada suatu lembaga
negara
Pelimpahan kewenangan dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kepada
peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah
Kewenangan diberikan Kewenangan tidak diberikan, tetapi diwakilkan
Bersifat terus-menerus Bersifat sementara
Kewenangan dapat dilaksanakan atas
prakarsa sendiri
Kewenangan baru dapat dilaksanakan
sepanjang pelimpahan tersebut masih ada Sumber: Diolah oleh penulis dari Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan:
Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 55-56.
Dari pengertian di atas, bagaimanakah dasar pembentukan Peraturan BPK? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka tidak terlepas dari pembahasan mengenai keberadaan
Peraturan BPK yang sebelumnya telah dijelaskan.
Pertama, dilihat dari sumber kewenangan penentuan Peraturan BPK. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menyebutkan perihal Peraturan BPK,
namun hanya menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa
Keuangan diatur dengan undang-undang”. Hal tersebut merupakan amanat UUD untuk
membuat undang-undang yang berkaitan dengan BPK kepada lembaga pembentuk undang-
undang, dalam hal ini yang memiliki atribusian untuk membentuk undang-undang adalah
DPR bersama dengan Presiden berdasarkan Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (2) jo. Pasal 5
ayat (1). Berdasarkan perintah tersebut, maka keluar berbagai undang-undang yang berkaitan
dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 15
39 Ibid., hal. 56.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan40. Dalam undang-undang ini, disebutkan
mengenai definisi Peraturan BPK dan bahwa Peraturan BPK akan digunakan untuk mengatur
lebih lanjut mengenai hal-hal tertentu sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Kedua, jika dilihat dari rumusannya, undang-undang tidak memberikan kewenangan
pembentukan peraturan, tetapi mewakilkan kewenangan tersebut sebatas menyangkut
mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK; tata cara pelaksanaan wewenang BPK; tata cara
pemilihan anggota BPK; tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua serta pembagian tugas dan
wewenang Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK; dan keanggotaan, tugas, wewenang, dan
tata cara persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK diatur dengan Peraturan BPK.41
Ketiga, kewenangan pembentukan Peraturan BPK bersifat sementara. Artinya jika UU
BPK dicabut maka BPK tidak bisa membuat Peraturan BPK. Berbeda halnya dengan
kewenangan DPR yang setiap saat bisa mengusulkan rancangan undang-undang dan
membahasnya bersama dengan Presiden.
Keempat, BPK tidak bisa membentuk Peraturan BPK atas prakarsa sendiri. BPK
hanya bisa membentuk Peraturan BPK selama perintah untuk mengatur dalam UU BPK
masih ada.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dasar pembentukan
Peraturan BPK berasal dari delegasian kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi (dalam hal ini UU BPK) kepada peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah (Peraturan BPK). Namun dapatkah kewenangan pembentukan peraturan
diberikan kepada BPK? Bukankah kewenangan pembentukan peraturan hanya dapat
didelegasikan kepada lembaga eksekutif saja?
Dalam perkuliahan Hukum Administrasi Negara, memang benar bahwa kewenangan
pengaturan didelegasikan kepada pemerintah, berkaitan dengan fungsi pemerintahan yang di
dalamnya terkandung juga fungsi pengaturan sebagaimana dijelaskan pada Bab II. Namun ada
pengertian pemerintahan dalam arti luas yang dikemukakan oleh Jimly dalam bukunya yang
meliputi kegiatan eksekutif, legislatif dan yudikatif.42 Dalam Bahasa Inggris, pengertian
40 Undang-Undang lain yang berkaitan dengan Badan Pemeriksa Keuangan antara lain:
• UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara • UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara • UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
41 Lihat Undang-Undang Noor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 6 (6), Pasal 12, Pasal 15 ayat (5), dan Pasal 30 ayat (3).
42 Jimly Asshiddiqie (d), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. VII.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Government sendiri juga memiliki lingkup yang berbeda. Di Inggris, istilah Government
hanya berkaitan dengan kekuasaan eksekutif dari suatu negara, yang meliputi kepala
pemerintah dan kabinet serta seluruh pelaksana di bawahnya. Sementara di Amerika Serikat,
pengertian Government mencakup kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.43
Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, Jimly Asshiddiqie
mengelompokkan peraturan perundang-undangan ke dalam produk legislasi dan produk
regulasi, sehingga muncul istilah legislative act dan executive act atau regulative act.
Perbedaan antara legislasi dan regulasi adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh
lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan
rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh
lembaga eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan
untuk mengatur itu dari produk legislasi yang bersangkutan.44
Dengan kata lain, legislative act adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh lembaga legislatif, sedangkan executive act atau regulative act adalah peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif yang dasar pembentukannya
biasanya berasal dari delegasi kewenangan dari legislative act. Lembaga eksekutif yang
mengeluarkan produk regulasi tersebut tidak terbatas pada lembaga eksekutif dalam lingkup
pemerintah saja, karena Jimly mendefinisikan executive act dalam arti sempit dan dalam arti
luas.
Executive act dalam arti sempit adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
lembaga-lembaga eksekutif dalam rangka melaksanakan undang-undang. Sedangkan dalam
arti luas, semua lembaga negara yang menetapkan sesuatu dalam rangka menjalankan
ketentuan undang-undang apabila menetapkan suasuatu peraturan sebagai pelaksana undang-
undang yang bersangkutan, maka peraturan tersebut dapat pula disebut executive act. Sebagai
executive act, bentuk peraturan yang dimaksud tidak disebut sebagai produk legislatif
melainkan disebut sebagai produk regulatif atau regulasi, bukan legislasi.45
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan
memiliki kewenangan pengaturan dari pengertian eksekutif dalam arti luas. Kewenangan
regulasi yang dimiliki BPK berasal dari kewenangan delegasian, yaitu dari Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
43 Safri Nugraha, dkk, op.cit., hal. 4. 44 Jimly Asshiddiqie (c), op.cit., hal. 27-28. 45 Ibid., hal. 44-45.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
3.3. Kedudukan Peraturan BPK sebagai Peraturan Perundang-undangan
Kedudukan Peraturan BPK sebagai peraturan perundang-undangan diakui oleh
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 8 ayat (1) menyebutkan:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.46
Jika dilihat, rumusan tersebut tidak menyebutkan jenis peraturan perundang-undangan
secara tegas, hanya menyebutkan peraturan yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga. Dengan
demikian peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tidak terbatas pada
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan saja, tetapi juga peraturan lain yang dikeluarkan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan. Namun sepanjang pencarian penulis, Badan Pemeriksa
Keuangan tidak pernah mengeluarkan peraturan yang mengikat secara umum selain dalam
bentuk Peraturan BPK.
Untuk mengetahui kedudukan Peraturan BPK sebagai Peraturan Perundang-undangan,
pertama harus dicari terlebih dahulu apakah Peraturan BPK dapat dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan teori hierarki norma oleh Hans Nawiasky, yang didasarkan pada
pemikiran Hans Kelsen bahwa Suta norma hukum di negara mana pun selalu berlapis-lapis
dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.47
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis dan berjenjang,
norma-norma hukum tersebut juga berkelompok ke dalam empat kelompok besar:
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’)
46 Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Peundang-Undangan, UU No. 10
Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Penjelasan Pasal 7 ayat (4). 47 Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 44.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan
Otonom)48
Apabila Pancasila yang terdapat dalam pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 itu merupakan Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm),
sedangkan Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis yang
berupa Konvensi Ketatanegaraan Negara merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara (Staatsgrundgesetz), maka Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik
Indonesia yang merupakan “formell Gesetz” dan “Verordnung & Autonome Satzung” adalah
Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga
pemerintahan dalam perundang-undangan lainnya yang merupakan peraturan yang bersumber
dari kewenangan atribusi dan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.49
Peraturan BPK, dalam kelompok di atas termasuk ke dalam kelompok keempat, yaitu
sebagai peraturan pelaksana karena merupakan ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Namun karena BPK bukan merupakan lembaga
pemerintahan, maka kedudukan Peraturan BPK sebagai peraturan perundang-undangan
dinilai kurang tepat jika dilihat dari penjelasan tersebut karena peraturan pelaksana yang
dimaksud adalah peraturan yang dibuat oleh lembaga dalam ranah eksekutif.
Sebenarnya ada dua pendapat mengenai peraturan perundang-undangan ini. Pertama,
pendapat Hamid Attamimi dan Maria Farida yang menyatakan bahwa peraturan perundang-
undangan yang termasuk dalam aturan pelaksana hanya peraturan yang dikeluarkan oleh
lembaga pemerintahan. Pendapat ini dipengaruhi oleh teori pemerintahan dalam arti luas yang
mana di dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengatur sebagaimana diuraikan pada BAB II.
Kedua, pendapat Jimly Asshiddiqe yang menyatakan bahwa peraturan pelaksana tidak
hanya terbatas pada peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan, tetapi juga
lembaga lain sepanjang lembaga tersebut adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang
yang memerintahkannya. Jimly menyebut peraturan pelaksana tersebut dengan istilah
executive act yang memiliki dua arti. Dalam arti sempit adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah, sedangkan dalam arti luas adalah peraturan yang dikeluarkan oleh setiap
lembaga pelaksana undang-undang.
Pendapat Jimly inilah yang lebih diterima sehingga kemudian diimplementasikan
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang diganti dengan Undang-Undang Nomor
48 Ibid., hal. 55. 49 Ibid., hal. 183.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian,
Peraturan BPK dapat dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan.
Setelah jelas kedudukan Peraturan BPK sebagai peraturan perundang-undangan,
kemudian dimanakah posisi Peraturan BPK diantara peraturan perundang-undangan lainnya?
Hal ini sangat tidak jelas, karena dalam hierarki peraturan perundang-undangan menurut
Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tidak disebutkan kedudukan Peraturan BPK dan
petuturan perundang-undangan lainnya. Sehingga bisa menimbulkan ketidakpastian perihal
peraturan mana yang harus digunakan jika ada pengaturan mengenai hal yang sama.
Posisi Peraturan BPK dalam hierarki norma adalah berada pada kelompok keempat,
sedangkan posisi dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah berada di bawah
undang-undang. Namun karena ketidakjelasan posisinya dengan peraturan perundang-
undangan yang lain, maka untuk menentukan peraturan mana yang harus digunakan ketika
ada pengaturan yang sama adalah dengan melihat dasar kewenangan pembentukannya,
apakah dibentuk berdasarkan perintah undang-undang atau perintah dari peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang. Peraturan yang dibentuk berdasarkan delegasian dari
Undang-Undang tentu lebih tinggi kedudukanya dibandingkan dengan peraturan yang
dibentuk berdasarkan delegasian Peraturan Pemerintah. Misalnya, Peraturan BPK dibentuk
berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 kedudukannya lebih tinggi
daripada Peraturan Menteri yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Selain itu dapat juga dilihat dari materi muatan peraturan yang bersangkutan. Dalam
praktek, Undang-Undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan langsung kepada
Menteri, sehingga kedudukan Peraturan BPK dengan peraturan Menteri adalah sama-sama di
bawah Undang-Undang, atau antara Peraturan BPK dengan Peraturan BI yang mana kedua
peraturan tersebut sama-sama berasal dari delegasian Undang-Undang. Dengan demikian
tidak bisa menggunakan cara seperti disebut sebelumnya. Maka muncul cara kedua yaitu
melihat materi muatan peraturan tersebut. Sepanjang materi yang bertentangan berisi tentang
materi muatan Peraturan BPK,50 maka pengaturan yang diberikan oleh Peraturan Menteri
dapat diabaikan.
Dalam hal ternyata kedua Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan
pengaturan tersebut memberikan materi muatan yang sama, maka hal tersebut menjadi ranah
50 Materi muatan Peraturan BPK berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2006 adalah: Pengaturan mengenai
tata cara pelaksanaan tugas BPK; Pengaturan mengenai tata cara pelaksanaan wewenang BPK; Pengaturan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK Pengaturan mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan kedua cara tersebut, maka adat ditentukan peraturan mana yang
digunakan dan peraturan mana yang dapat diabaikan.
4. Kesimpulan
Badan Pemeriksa Keuangan dalam menjalankan tugasnya dapat membentuk Peraturan
BPK. Dalam Hukum Administrasi Negara, kewenangan pengaturan hanya dapat
didelegasikan kepada pemerintah berkaitan dengan fungsi pemerintah yang didalamnya
terkandung fungsi pengaturan. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa delegasi
kewenangan untuk mengatur bisa diberikan tidak terbatas pada pemerintah saja, tetapi pada
lembaga pelaksana secara luas. Pendapat inilah yang akhirnya lebih diterima dan diterapkan
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengakui keberadaan Peraturan BPK sebagai peraturan
perundang-undangan. Kewenangan pengaturan tersebut diperoleh dari Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 yang mendelegasikan untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan tugas BPK; tata cara pelaksanaan wewenang BPK; tata cara pemilihan anggota
BPK; tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua serta pembagian tugas dan wewenang Ketua,
Wakil Ketua dan Anggota BPK; dan keanggotaan, tugas, wewenang, dan tata cara
persidangan Majelis Kehormatan Kode Etik BPK.
Kedudukan Peraturan BPK sebagai peraturan perundang-undangan diakui
keberadaannya berdasarkan delegasian kewenangan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006. Kedudukan tersebut dalam hierarki tidak jelas jenjangnya antara peraturan BPK dengan
peraturan perundang-undangan yang lain yang berada di bawah undang-undang karena tidak
disebutkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011. Jika dilihat dari sumber kewenangan pembentukannya, maka kedudukan
Peraturan BPK adalah di bawah Undang-Undang, tetapi tidak bisa disejajarkan dengan
Peraturan Pemerintah karena tidak disebutkan dengan jelas.
Dalam hal terjadi pengaturan yang sama dan bertentangan maka diperlukan beberapa
cara untuk menentukan peraturan mana yang harus digunakan. Pertama, dilihat dari sumber
kewenangan pembentukannya. Peraturan yang bersumber dari delegasian Undang-Undang
tentu lebih tinggi dari peraturan yang bersumber dari delegasian Peraturan Pemerintah. Kedua,
dilihat dari materi muatan peraturan yang bersangkutan.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
5. Saran
Pertama, Peraturan BPK adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
berdasarkan delegasian dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Pada prinsipnya semua
bentuk pengaturan yang berasal dari kewenangan mengatur yang diberikan oleh undang-
undang memang seharusnya tunduk pada pengawasan oleh pembentuk undang-undang. Untuk
itu perlu diatur bentuk pengawasan oleh DPR terhadap BPK sebatas dalam hal pembentukan
Peraturan BPK agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam membentuk Peraturan BPK.
Pengawasan oleh DPR tersebut harus dibatasi sebatas pembentukan Peraturan BPK saja, dan
tidak boleh melakukan pengawasan terhadap BPK dalam menjalankan fungsinya sebagai
lembaga inspektif.
Kedua, perlu diatur secara lebih jelas mengenai kedudukan Peraturan BPK karena jika
ada peraturan yang sejenis dan bertentangan, misalnya antara Peraturan BPK dengan
Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Bank Indonesia, maka akan menjadi polemik
tentang peraturan mana yang harus digunakan.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Daftar Pustaka
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Pers, 2006.
_______. Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi, 2006.
_______. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
_______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Badan Pemeriksa Keuangan. 25 Tahun Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Jakarta:
Sekretariat Utama Badan Pemeriksa Keuangan, 1972.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1999.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Kantaprawira, Rusadi. Hukum dan Kekuasaan. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1998.
Nugraha, Safri., dkk. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005.
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945. Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan, 1992-2002 – Buku VII: Keuangan, Perekonomian Nasional,
dan Kesejahteraan Nasional. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2010.
Disertasi
Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi
pengaturan dalam kurun waktu PELITA I – PELITA IV), Disertasi Doktor Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990.
Artikel dan Jurnal
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013
Indroharto, “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” dalam Paulus Efendie Lotulung. Himpunan
Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Syafrudin, Ateng. “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung
Jawab” dalam Jurnal Pro Justisia Edisi IV. Bandung: Universitas Parahyangan, 2000.
Internet
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, KBBI Daring,
<http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/>
Peraturan Perundang-Undangan
_______. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10
Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389.
_______. Undang-Undang Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, UU No. 15 Tahun 2006, LN No. 85
Tahun 2006, TLN No. 4654.
_______. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12
Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.
Kewenangan Badan..., M. Luqman Fadlli, FH UI, 2013