bab ii tinjauan pustaka a. kewenangan 1. kewenangan

45
16 Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan Menurut Stout, wewenang dapat dimaknai sebagai pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. Dengan kata lain, menurut pendapat Goorden, wewenang adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang secara implisit diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik. Sedangkan menurut Bagir Manan pengertian wewenang tidak disamakan dengan kekuasan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sementra wewenang dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban (rechen en plichten). Dengan mengasumsikan hal ini dalam konsep otonomi dareah, hak dianggap pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan untuk mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan 1 . 1 Jeddawi Munir. “Hukum Administrasi Negara” Total Media.Yogyakarta. 2012. Hlm 73- 74.

Upload: others

Post on 08-Nov-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

16

Bab II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEWENANGAN

1. Kewenangan

Menurut Stout, wewenang dapat dimaknai sebagai pengertian yang berasal dari hukum

organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan

dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam

hubungan hukum publik. Dengan kata lain, menurut pendapat Goorden, wewenang adalah

keseluruhan hak dan kewajiban yang secara implisit diberikan oleh pembuat undang-undang

kepada subjek hukum publik. Sedangkan menurut Bagir Manan pengertian wewenang tidak

disamakan dengan kekuasan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau

tidak berbuat. Sementra wewenang dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban (rechen en

plichten). Dengan mengasumsikan hal ini dalam konsep otonomi dareah, hak dianggap

pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan untuk mengelola sendiri, sedangkan kewajiban

secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana

mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan

pemerintahan1.

1 Jeddawi Munir. “Hukum Administrasi Negara” Total Media.Yogyakarta. 2012. Hlm 73- 74.

Page 2: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

17

2. Dasar-Dasar Terciptanya Kewenangan dan Sifat-Sifat Kewenangan.

a. Dasar-Dasar Tercitapnya Kewenangan

Dalam Kepustakaan Hukum Administrasi Negara ada dua cara untuk memperoleh

wewenang pemerintahan yaitu Atribusi dan Delegasi, kadang-kadang juga Mandat, ditempatkan

secara sendri untuk memperoleh kewenangan. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut2:

1. Atrbusi

Atribusi adalah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepadaa

suatu organ pemerintah, baik yang sudah ada atau yang baru sama sekali. Suatu

atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata

negara. Suatu atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang

langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materil. Pendapat lain

mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentuk wewenang tertentu dan

pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah

organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Delegasi

Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan

kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung penyerahan, yaitu apa yang

semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan

yang telah diberikan oleh si pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggungjawab

penerima wewenang. Dalam hukum administrasi Belanda telah merumuskan

pengertian delegasi dalam wed Belanda yang terkenal dengan singkatan AWB

2 Dewa Jufri. Moh.2011. “Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektik Pelayanaan Publik” Unhalu Press

.Kendari. 2011.hlm: 78-80.

Page 3: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

18

(algemene wed bestuursrecht). Dalam Pasal 103 AWB, delegasi diartikan sebagai

penyerahan wewenang (untuk membuat besluit) untuk pejabat pemerintah (pejabat

tata usaha Negara) pada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab

pihak lain tersebut. Yang memberi atau melimpahkan wewenang disebut delegans

dan yang menerima disebut delegatoris. Untuk itu, suatu delegasi selalu didahului

oleh adanya suatu atribusi wewenang.

Dalam pemberian atau pelimpahan wewenang ada persyaratan-persyaratan yang

harus dipenuhi, yaitu:

a. delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri

wewenang yang telah dilimpahkan (diserahkan);

b. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya

delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan

perundang-undangan;

c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawean

tidak diperkenankan adanya delegasi;

d. kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang

untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;

e. peraturan kebijakan, artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang

penggunaan wewenang tersebut.

Berdasarkan konsep delegasi tersebut maka tidak dikenal delegasi umum dan tidak

mungkin ada delegasi dari atasan ke bawahan.

Page 4: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

19

3. Mandat

Mandat berbeda dengan atribusi dan delegasi. Pada mandat tidak terjadi suatu

pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari badan atau pejabat

tata usaha negara yang satu kepada yang lain. Dengan kata lain, pejabat menerima

mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di

dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk

pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat).

Adapun tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi

mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.

b. Sifat-Sifat Kewenangan.

Dalam koridor pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan, disebutkan adanya

konsep terikat, fakultatif dan bebas, dalam hal ini Indroharto mendefenisikannya sebagai

berikut3:

a. Wewenang pemerintah bersifat terikat, yakni menjadi apabila peraturan dasarnya

menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat

digunakan atau peraturan dasar sedikit banyak menentukan isi dari keputusan yang

harus diambil. Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar menetukan isi dari

keputusan secara terinci, maka wewenangnya bersifat terikat.

b. Wewenang fakultatif, terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang

bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada

pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-

keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.

3 Jeddewi Murtir.Op.Cit. hlm: 75-76.

Page 5: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

20

c. Wewenang bebas, yakni ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada

badan atau pejabat tata usaha negara untuk menetukan sendiri mengenai isi dari

keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang

lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.

B. KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

1. Konsep dan Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara

a. Konsep Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan

atau pejabat tata usaha negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU

Nomor 51 Tahun 2009)4.

b. Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara

Pengertian keputusan tata usaha negara dalam Pasal 1 Angka 9 tersebut, mengandung

unsur-unsur utama, sebagai berikut5 :

1. penetapan tertulis;

2. oleh badan atau pejabat tata usaha negara;

3. tindakan hukum tata usaha negara;

4. konkrit, individual, dan final;

5. akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

4 Dewa Jufri.Muh.H.Op.Cit. hlm: 85.

5 Ibid .hlm: 85.

Page 6: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

21

Penetapan tertulis dimaksudkan adalah cukup ada hitam di atas putih karena menurut penjelasan

atas pasal tersebut dikatakan bahwa from tidak penting dan bahkan nota atau memo saja sudah

memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.

2. Keabsahan Keptusan Tata Usaha Negara.

Keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda rechtmatgheid (van bestuur).

Rechtmatigheid merupakan sinonim dari legalitas atau legality. Keabsahan dalam ruang

lingkupnya meiputi:

(1) wewenang;

(2) prosedur; dan,

(3) substansi.

Tiga hal tersebut (wewenang, prosedur, dan substansi) harus berdasarkan perundang-undangan

(asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan

diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu

tujuan serta menyangkut tentang substansinya6.

3. Jenis-Jenis dan Pengolongannya Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)

a. Jenis-Jenis Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan-keputusan administrasi negara yang biasa disebut keputusan tata usaha negara

atau disingkat KTUN bersifat penting. Macam-macam KTUN yang pengertiannya

dikembangkan oleh E. Utrecht, menggunakan istilah ketetapan, ketetapan dapat dibedakan

antara7:

a. Ketetapan positif dan ketetapan negatif, ketetapan positif menimbulkan hak dan/atau

kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Ketetapan negatif tidak menimbulkan perubahan

6 Ibid. hlm: 81.

7 Ibid. hlm: 90

Page 7: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

22

dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan negatif dapat berbentuk: pernyataan

tidak berkuasa (onbevoegd verklaring), pernyataan tidak diterima (neitontvankelijk

verklaring) atau suatu penolakan (afwijzinf);

b. Ketetapan deklaratoir versus ketetapan konstitutif. Ketetapan deklaratoir hanya

mengatakan bahwa hukumannya demikian (rechts vastellende berschikking); ketetapan

konstitutif adalah membuat hukum (rechtscheppend).

c. Ketetapan kilat dan ketetapan yang kilat (blijvende), yang oleh Prins disebutkan ada

empat macam ketetapan kilat.

1) Ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi (teks) ketetapan lama;

2) Suatu ketetapan yang negatif, yaitu ketetapan yang hanya mengandung

suatu keputusan untuk masih melakukan tindakan;

3) Penarikan atau penambahan suatu keputusan, yaitu suatu ketetapan yang

tidak memberikan suatu hasil yang positif dan tidak menolah mengambil

suatu ketetapan;

4) Suatu pernyataan pelaksanaan (de uitvoerbaarverklaring).

5) Ketetapan yang berisi (a) dispensasi, (b) ijin (vergunning), (c) lisensi

(licentie), atau (d) konsesi.

E. Utrecht, menyebut keputusan admisistrasi itu dengan istilah penetapan. Atas pengaruh

Prajudi Admosudirdjo yang sangat luas dibidang hukum administrasi negara, maka para sarjana

hukum sampai sekarang sangat terbiasa menggunakan istilah “penetapan” sebagai sebutan untuk

produk kegiatan penetapan dalam bidang administrasi. Produk penetapan itu seharusnya disebut

sebagai ketetapan seperti pendapat E. Utrecht, menurut Pradjudi Admosudirdjo, KTUN yang

Page 8: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

23

disebut sebagai penetapan itu dapat dibagi dua, penetapan positif dan penetapan negatif, sebagai

berikut8:

a. Penetapan positif terdiri dari lima golongan penetapan, yaitu:

1) Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya, misalnya:Pemerintah

menyatakan suatu daerah tertutup karena ada wadah suatu penyakit menular;

2) Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja,

misalnya: Pemberinya menyatakan suatu pelabuhan sebagai pelabuhan samudera,

atau pelabuhan berstatus internasional;

3) Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;

4) Yang memberikan beban (kewajiban) kepada suatu instansi atau perorangan;

5) Yang memberikan suatu keuntungan kepada suatu instansi atau perorangan, yang

banyak dicari orang adalah justru yang memberikan keuntungan.

Adapun keputusan (penetapan) administrasi yang memberikan keuntungan,

adalah:

Dispensasi, yaitu suatu pernyatan dari pejabat administrasi negara yang

berwenang, bahwa suatu perundang-undangan tertentu memang tidak berlaku

terhadap kasus yang diajukan seorang (atau instansi) di dalam surat

permintaannya;

1) Izin atau pergunning, yaitu suatu dispensasi dari suatu larangan;

2) Lisensi, yaitu suatu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan

keuntungn atau laba;

3) Konsesi, yaitu suatu penetapan yang memerlukan kewaspadaan,

kewicaksanaan, dan perhitungan yang sematang-matangnya, oleh karena

8 Ibid.hlm: 90-92.

Page 9: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

24

suatu instansi (orang) yang mendapat konsesi (konsesionaris) selain

mendapat dispensasi, ijin dan lisensi, juga diberikan semacam “wewenang

pemerintahan”, yang memungkinkan kepadanya memindah-mindahkan

kampung, menbuat jalan, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan memasang

jaringan telepon. Oleh karena itu, pemberian konsesi haruslah dengan

kewaspadaan, kewicaksanaan dan perhitungan yang sematang-matangnya.

b. Penetapan negatif merupakan penetapan yang berlaku sekali saja (eenmalig),

sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi.

Tentang pembagian uraian Prayudi Atmosudirdjo tentang penetapan (beschikking)

sebagaimana telah diuraikan tersebut, oleh Tiik Triwulan Tutik, memberi catatan

terhadap Pendapat Prayudi Admosudirdjo, sebagai berikut9:

1) Beschikking, lahir dari suatu permohonan dan dengan itu dibedakan atas

penetapan positif dan negatif. Melihat pada keputusan praktik, tidak selamanya

beschikking lahir atas suatu permohonan yang berkepentingan; lebih-lebih

belastende beschikking.

2) Ijin atau vergunning, adalah dispensasi dari suatu larangan. Rumusan yang

demikian menumbuhkan dispensasi dengan izin, dispensasi beranjak dari

ketentuan yang pada dasarnya “melarang” suatu perbuatan, sebaliknya ijin

beranjak dari ketentuan yang pada dasarnya tidak melarang suatu perbuatan tapi

untuk dapat melakukannya disyaratkan prosedur tertentu harus dilalui. Dispensasi

merupakan suatu relazatio regis. Dalam hal ini bahwa dalam keadaan tertentu

suatu ketentuan hukum dinyatakan tidak berlaku untuk hal tertentu.

9 Ibid. hlm: 92.

Page 10: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

25

3) Lisensi adalah ijin yang bersifat komersial dan mendatangkan keuntungan. Dalam

rumusan ini perlu diperhatikan bahwa ijin itu sendiri tidak komersial, mungkin

yang dimaksud adalah bidang usahanya yang bersifat komersial dan

mendatangkan keuntungan

b. Penggolongan Keputusan Tata Usaha Negara

Selanjutnya, dalam keputusan hukum administrasi (negara) berbahasa Belanda, antara

lain dalam buku B. de Goede Beel van het Nederlands Bestuurrecht terdapat pengelompokan

beschikking atas10

:

a. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) yang menguntungkan versus yang

memberi beban (begunstigende en belanstende beschikking);

b. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) bebas (gebonden en vrij beschikking);

Demikian pula, dalam buku P.de Haan cs, “bessturecht in de sociale rechtsstaat” terdapat

penggolongan bescikking atas11

:

a. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) perorangan versus Keputusan Tata

Usaha Negara (KTUN) kebendaan (persoonlijk en zakelijk beschikking);

b. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) bersifat deklaratif dan yang bersifat

konstitutif (recht suats tellenden rechts schappend beschikking);

c. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) bebas dan Keputusan Pejabat Tata

Usaha Negara (KTUN) terikat (vrij en gebonden bescikkingen);

d. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang memberi beban dan yang

menguntungkan (belastende en begunstigende beschikkingen);

10

Ibid. hlm: 93. 11

Ibid. hlm: 93-94.

Page 11: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

26

e. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) seketika/kilat dan Keputusan Pejabat

Tata Usaha Negara (KTUN) langgeng (eenmalig en voortdurendeebeschikkingen);

Persoonlijk en zakelijk beshikkingen (keputusan yang menyangkut pribadi dan status hukum)

dapat dijelaskan sebagai berikut. Persoonlijk beschikking adalah keputusan yang menyangkut

pribadi orang tertentu, sedangkan zakelijk beschikking, keputusan yang menyangkut status

hukum dari benda tersebut.Begunstigende en belastende beschikking (keputusan yang memberi

manfaat dan beban) dapat dijelaskan sebagai berikut. Keputusan yang memberi manfaat bagi

yang dikenai keputusan adalah begunstigend beschikking dan keputusan yang memberi beban

bagi yang dikenai keputusan merupakan belastend beshikking.Gebonden en vrije beshikkingen

(exekutife decision and discretionary) (keputusan terikat dan bebas) dapat dibedakan sebagai

berikut. Dalam hal peraturan umum telah menetapkan ketentuan, keadaan-keadaan yang

mengikat yang harus dipatuhi dalam pembuatan keputusan, maka keputusan semacam itu

merupakan “gebonden beschikking”. Dalam hal tidak ada ketentuan-ketentuan yang demikian

dan organ administrasi negara diberi freis ermessen (pouruoir discretionaire) untuk membuat

keputusan makakeputusan semacam itu adalah “vrije beschikking”. Perbedaan antara gebonden

en vrije beschikking diintrodusir dari hukum Perancis dan Jerman. Menurut Vetel (Perancis)

dalam hal ada ketentuan undang-undang atau peraturan, organ administrasi negara terkait pada

ketentuan tersebut tanpa kemungkinan untuk melakukan pilihan. Sebaliknya administrasi negara

akan menggunakan pouvoirdiscretutioneire apabila undang-undang atau peraturan memberikan

kebebasan bertindak. Merkel (Jerman) membedakan freie und gebundene

verwaltungsferfugungen.

Page 12: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

27

Selanjutnya, perbedaan ketetapan dengan keputusan dari istilah beschikking oleh Prins.dalam

bukunya Inleiding in het administratiefrrecht van indonesie membagi ketetapan dalam beberapa

golongan, sebagai berikut12

:

a. Ketetapan yang menguntungkan dan ketetapan-ketetapan yang lainnya (guntige en

andere beschikingen). Lepas dari kepentingan pihak ketiga maka pada dasarnya

dalam suatu ketetapan yang jelas menguntungkan (onvedeeld gunsting), tidak perlu

diadakan motivering (alasan) dan kepada yang bersangkutan tidak perlu diberi

kesempatan untuk meminta banding.

Adapun ketetapan yang mengutungkan antara lain :

1) Ketetapan spontan (serta merta) yang memberikan beban/perintah (bevel)

2) Ketetapan negatif.

3) Ketetapan yang memuluskan sebagai dari permohonan

4) Ketetapan spontan, yang menarik kembali ke suatu ketetapan yang

mengutungkan

Di antara ketetapan yang tidak menguntungkan terdapat ketetapan “bersifat

khusus”yaitu peringatan yang sungguhpun tidak menimbulkan kewajiban baru bagi

yang bersangkutan, tetapi dapat terancam oleh sanksi-sanksi yang sebelumnya tidak

dapat dikenakan kepadanya.

b. Ketetapan-ketetapan deklaratoir dan konstitutif (declaratoire en cobtitutieve

beschiking). Ada dua jenis peraturan jika ditinjau dari sudut proses penyelesaiannya

yaitu:

1) Peraturan yang tidak memerlukan suatu ketetapan (yang menyelenggarakan

peraturan itu) agar dapat menyelesaikan suatu soal yang konkret,dan;

12

Ibid .hlm: 94-96.

Page 13: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

28

2) Peraturan yang walaupun juga secara langsung memberikan hak kepada yang

bersangkutan tetapi masih memerlukan suatu ketetapan agar dapat

menyelesaikan hala yang kongkrit.

Pada jenis ketetapan yang kedua ini pada dasarnya tugas administrasi negara

hanya mencatat (constateren).Meski demikian dalam hal ini terdapat dua

kategori,yaitu jika ketetapan itu hanya menyatakan sesuatu hal (recht-

vatstellende beschikking). Tetapi, jika ketetapan bukan hanya menyatakan saja

dan administrasi negara dengan teliti menyelidiki benar (wewenang

mengadakan tindakan berdasarkan freies ermessen), maka ketetapan itu

disebut ketetapan konstitutif (constitutief).

c. Ketetapan-ketetapan yang kilat dan tetap (vluchtige en blijvende beschikking).

Ketetapan yang kilat (vluchtig) adalah ketetapan yang berlaku berakibat pada suatu

saat penedek saja, yakni saat yang ditetapkanya.

d. Ketetapan deispensasi (dispensatie), izin (vergunning) lisensi (licentie) konsensi

(concessive)

C. Asas Pembagian Kekuasaan dan Pembagian Kewenangan Dalam Menjalankan

Pemerintahan Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah

1. Asas-Asas Pembagian Kekuasaan

a. Asas Desentralisasi

System penyelenggaraan pemerintah dalam Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi

dua bentuk, yaitu sebagai berikut13

:

13

Utang Rosidin. “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi „Dilingkup Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Dengan

Perubahan-Perubahannya‟”. Pustaka Setia. Bandung. 2010. hlm: 86.

Page 14: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

29

1. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, yaitu segala sesuatu dalam Negara itu

langsung dan diurus pemerintah pusat, sedangkan darah-daerah hanya tinggal

melaksanakannya.

2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, yaitu daerah-daerah diberi kesempatan

dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi

daerah) yang dinamakan daerah otonom (swatantra).

Desentralisasi adalah suatu istilah yang luas dan selalu menyangkut kekuatan (power),

biasanya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat

kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga pemerintah di daerah untuk

menjalankan urusan-urusan pemerintahan di daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun

2004 Pasal 1 Ayat (7), desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wewenang pemerintahan

tersebut adalah wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat saja, sedangkan pemerintahan

daerah hanya melaksanakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat sesuai dengan

aspirasi masyarakat daerahnya, walaupun daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya secara luas, nyata, dan bertanggungjawab.14

Kewenangan daerah ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,

kecuali kewenangan yang dikecualikan dalam Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 ini,

sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) yaitu kewenangan dalam bidang politik luar negeri,

pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan agama.15

14

Ibid.hlm: 86-87. 15

Ibid .hlm: 87.

Page 15: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

30

Tujuan utama desentralisasi adalah16

:

1. Tujuan politik, yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik di tingkat daerah

untuk terwujudnya stabilitas politik nasional.

2. Tujuan ekonomis, yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa pembangunan akan

dijalankan secara efektif dan efisian di daerah-daerah dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan nasional.

b. Asas Dekonsentrasi

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam

hubungannya dengan tugas pemerintahan, pemerintah pusat dapat menyerahkan urusan-urusan

pemerintahannya kepada daerah secara dekonsentrasi, yaitu untuk urusan-urusan pemerintahan

yang diserahkan ini tetap menjadi tanggungjawab pemerintah pusat17

.

Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah tidak semua urusan pemerintah

pusat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas desentralisasi. Pertimbangan dan

tujuan diselenggarakan asas dekonsentrasi ini di antaranya adalah18

:

1. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan

pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum.

2. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem

administrasi negara.

3. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional

4. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

16

Ibid .hlm: 87. 17

Ibid.hlm: 88. 18

Ibid.hlm: 88.

Page 16: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

31

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan atau kepala wilayah atau

kepala instansi vertical tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah yang meliputi19

:

1. Pelimpahan dari aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya ke aparatur lain

dalam satu tingkatan pemerintahan disebut dekonsentrasi horizontal;

2. Pelimpahan wewenang dari pemerintah atau dari suatu aparatur pemerintah yang

lebih tinggi tingkatannya ke aparatur lain dalam tingkatan pemerintahan yang lebih

rendah disebut dekonsentrasi vertikal;

3. Dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah provinsi dan ibukota negara. Wilayah

provinsi dibagi ke dalam wilayah kabupaten dan kota. Kemudian wilayah-wilayah

kabupaten dan kota dibagi dalam kecamatan. Asas dekonsentrasi semacam ini disebut

dekonsentrasi teritorial.

Suatu hal yang esensial dalam pelaksanaan dekonsentrasi adalah urusan atau wewenang

yang dilimpahkan itu sepenuhnya menjadi urusan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan

yang dilimpahi itu semata-mata sebagai pelaksana saja.Undang-undang No. 32 tahun 2004 Pasal

1 ayat (8) menjelaskan makna dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di

wilayah tertentu. Dengan demikian dekonsentrasi adalah tanggungjawab pemerintah pusat,

sedengkan daerah, dalam hal ini provinsi, hanya diberi wewenang karena kedudukannya sebagai

wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu, gubernur selain pelaksana desentralisasi, juga

melaksanakan asas dekonsentrasi. Beerdasarkan isi dekonsentrasi harus dekat dengan

kepentingan masyarakat dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta ketahananwilayah

19

Ibit.hlm: 88-89.

Page 17: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

32

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa,

dan kreativitas serta kesadaran nasional.20

c. Asas Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan adalah tugas-tugas untuk turut serta dalam melaksanakan tugas

pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah

daerah tingkat atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Urusan yang ditugaskan itu sepenuhnya masih menjadi wewenang pemerintah atau provinsi.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka (9) yang berbunyi “tugas

pembantuan adalah pengusaan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa, dari

pemerintah provinsi kepada kabupaten kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota

kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”21

..

Berdasarkan hal tersebut hakekat tugas pembantuan adalah sebagai berikut22

.

1. Tugas pembantuan adalah tugas membantu menjalankan urusan pemerintahan dalam

tahap implementasi kebijakan yang bersifat operasional;

2. Urusan pemerintah yang dapat ditugasbantukan adalah yang menjadi kewenangan dari

institusi yang menugaskannya;

3. Kewenangan yang dapat ditugaspembantukan adalah kewenangan yang bersifat atributif,

sedangkan kewenangan yang bersifat delegatif tidak ditugasbantukan pada institusi lain.

20

Ibid. hlm: 89. 21

Ibid. hlm: 89-90. 22

Ibid. hlm: 90-70.

Page 18: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

33

Kewenangan ini terdiri atas:

1) Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat pada satuan

pemerintahan atas dasar peraturan perundang-undangan yang membentuknya;

2) Kewenangan delegatif adalah kewenangan yang didelegasikan dari satuan

pemerintah yang lebih besar kepada satuan pemerintah yang lebih kecil.

Kewenanang delegatif tidak biasa didelegasikan kepada pemerintah lainnya

karena bukan kewenangan yang melekat pada suatu pemerintah yang

bersangkutan;

4. Urusan pemerintah yang ditugasbantukan tetap menjadi kewenangan dari institusi yang

bersangkutan;

5. Kebijakan, strategi, pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia

disediakan oleh institusi yang menugaskannya;

6. Kegiatan operasional diserahkan sepenuhnya pada institusi yang diberi penugasan

diwajibkan melaporkan dan mempertanggungjawabkan urusan pemerintahan yang

dikerjakannya kepada institusi yang menugaskan;

7. Institusi yang menerima penugasan diwajibkan melaporkan dan

mempertanggungjawabkan urusan pemerintahan yang dikerjakannya kepada institusi

yang menugaskan;

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas

Pembantuan, maksud dan tujuan adanya tugas pembantuan adalah23

:

1. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan

pembangunan, serta pelayanan umum;

23

Ibid.hlm: 31.

Page 19: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

34

2. Memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu

pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa.

2. Pembagaian Kewenangan

Hubungan dalam bidang kewenangan berkaitan dengan cara pembagian urusan

penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tanga daerah. Cara

penentuan ini sebagai bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Digolongkan sebagai otonomi

luas, apabila memenuhi ketentuan berikut.Pertama urusan-urusan rumah tangga daerah

ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula.Kedua

apabila system supervise dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah otonom

kehilangan kemandirian untuk menentukan aecara bebas cara-cara mengatur dan mengurus

rumahtangga daerahnya. Ketiga sehubungan keuangan antara pusat dan daerah yang

menimbulkan hal-hal keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang

gerak otonomi daerah24

.

Dalam penyelenggaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diselenggarakan

kepada daerah jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap

menjadi wewenang pemerintah pusat.otonomi luas bisa bertolak dari prinsip; semua urusan

pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan

sebagai urusan pusat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) Undang-undang Nomor

32 tahun 2004, yaitu25

:

1. Politik luar negeri;

2. Pertahanam;

3. Keamanan;

24

Ibid.hlm: 147. 25

Ibid.hlm: 148.

Page 20: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

35

4. Yustisi;

5. Moneter dan fiskal nasional; dan

6. Agama

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah dalam bidang berikut26

:

1. Politik luar negeri, adalah urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk warga

Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar

negeri, melakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan

luar negeri, dan sebagainya.

2. Pertahanan, misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan

damai dan perang, menyatakan Negara atau sebagian Negara bahaya, membangun dan

mengembangkan system pertahanan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan

untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap warga negaranya, dan sebagainya.

3. Keamanan, misalnaya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan

kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum Negara,

menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya menggangu keamanan Negara, dan

sebagainya.

4. Moneter dan fiskal nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang,

menetapkan kebujakan moneter/fisksal, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya.

5. Fiscal, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengankat haki dan jaksa, mendirikan

lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan hakim dan keimigrasian, memberikan

grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti

undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berlaku secara nasional.

26

Ibid. hlm: 148-149.

Page 21: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

36

6. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,

memberi hak pengakuan terhadap keadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam

penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.

Selain ke-6 (keenam) urusan tersebut merupakan wewenang pemerintah daerah. Dengan

demikian, urusan yang dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi tidak terbatas. Daerah diberi

kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sekira-kiranya mampu

dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan memiliki potensi untuk dikembangkan guna

meningkatkan kesejahtraan rakyat27

.

Pelaksanaannya kewenangan Pemerintah Pusat didasarkan pada Pasal 10 Ayat (4)

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Darerah yang berbunyi “Dalam

menjalankan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), Pemerintah yang

menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada

perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau menugaskan kepada pemerintah

daerah dan/atau pemerintahan desa” dan Pasal 10 Ayat (5) yang berbunyi “Dalam urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah diluar urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada Ayat (3), Pemerintah dapat: a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan

pemerintahan; b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil

Pemerintah; atau c. Menugaskan sebagaian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau

pemerintahan desa berdasarkan asas tugas bantuan.

D. PERIJINAN.

1. Konsep Perijinan

Izin adalah suatu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi.

Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para

27

Ibid.hlm: 149.

Page 22: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

37

warga. Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan

pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan

perundang-undanganan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang

memohon untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini

menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan

pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin. Didalamnya dapat

diadakan perbedaan bedasarkan berbagai figure hukum. Tanda pengenal bersama dari figure

hukum ini ialah bahwa semuanya menimbulkan akibat yang kurang lebih sama, yakni bahwa

dalam bentuk tertentu diberi perkenan untuk melakukan sesuatu yang mestinya dilarang28

.

Izin dalam arti sempit sebagai pengikatan aktifitas-aktifitas pada suatu peraturan izin

pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu

tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur

tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap salah. Namun

dimana ia menginginkan pengawasan sekedarnya. Contoh hal ini ialah izin bangunan. Melalui

izin ini, larangan membangun bagi pemohon ditiadakan, sejauh menyangkut bangunan yang

diuraikan dengan jelas dalam permohonan. Yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah

bahwa suatu tindakan dilarang, kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-

ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu

bagi tiap kasus29

.

Van der Pot, izin merupakan keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan

yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan. Prajudi Atmosudirjo, izin

(vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh

28

N.M Spelt & J. E. D. M. ten Berge., PENGANTAR HUKUM PERIZINAAN. Terjemahan Pelipus Mandiri Hajon, 1993, YURIDIKA, Surabaya. 1991.hlm: 1. 29

Ibid .hlm: 2-3.

Page 23: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

38

undang-undang. pada umumnya pasal undang-undang yang bersangkutan disebutkan “dilarang

membangun tanpa izin….dan seterusnya”. H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, izin

adalah suatu keputusan administrasi negara yang merupakan suatu perbuatan yang pada

umumnya dilarang, tetapi diperkenankan dan bersifat konkret. Asep Warlan Yusuf, izin suatu

instrument pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum

administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Sjachran Basah, izin adalah perbuatan

hukum administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal konkret

berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan undang-undang30

.

Didalam Peraturan Mentri Dalam Negeri No: 20 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, Izin didefinisikan

sebagai dukumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau

peraturan lain yang merupakan bukti legalitas, yang menyatakan sah atau diperbolehkannya

seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu31

. .

2. Tujuan Perijinan

Mengikat tindakan-tindakan pada suatu system perizinan pembuat undang-undang dapat

mengejar berbagai tujuan. Motif-motif untuk menggunakan system izin dapat berupa32

:

a. keinginan mengarahkan (mengendalikan “struen”) aktifitas-aktifitas tertentu (misalnya

izin bangunan)

b. mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan)

c. keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada

monumen-monumen)

d. hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk)

30

Dewa Jufri. Muh. H.Op.Cit. hlm: 109-110. 31

Ibid.hlm: 110. 32

N. M. Stepelt. Op.Cit. hlm: 4-5.

Page 24: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

39

e. pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas-aktifitas (izin berdasarkan

“drank-on horecawet”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).

Dapat dijelaskan sebagai berikut33

:

a. Keinginan Mengarahkan Aktivitas-aktivitas Tertentu.

Pemerintah dapat menggunakan instrumen izin untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas

tertentu yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat, misalnya pada izin

mendirikan bangunan (IMB) atau istilah lain disebut mendirikan bangun bangunan

(IMB). untuk dapat memperoleh IMB, pemohon harus mengajukan permohonan dengan

memenuhi berbagai persyaratan. Instansi yang akan menangani permohonan akan melihat

berbagai persyaratan yang ada, misalnya mengenai gambar yang memuat potongan

bangunan, bahan, konstuksi dan sebagainya. termasuk yang dilihat, tentu saja

rekomendasi dari instansi terkait, misalnya kalau bangunan itu didirikan dekat sungai

maka diperlukan rekomendasi dari instansi yang berwenang dalam pengawasan dan

pengelolaan sungai; kalau bangunan itu dekat bandara, perlu ada rekomendasi dari

instansi yang berwenang terhadap ketinggian dan keamanan agar tidak mengganggu lalu

lintas udara; kalau itu didirikan untuk usaha yang memerlukan pemotongan sekat

pemisah jalur, harus ada rekomendai dari LLAJR. Bahkan kegiatan membangun tersebut

harus disesuaikan dengan rencana tata ruang kota/kabupaten.

Pemerintah mengarahkan aktivitas membangun dengan menyesuaikannya dengan

rencana pemerintah. misalnya; pada kawasan yang oleh pemerintah direncakan untuk

pemukiman, tentu tidak diperbolehkan kalau ada anggota masyarakat yang memohon izin

untuk mendirikan bangunan dan untuk keperluan industri. Pada kawasan yang

direncanakan oleh pemerintah untuk pusat perkantoran, tidak diperkenankan kalau ada

33

Dewa Jufri. Muh. Op.Cit. hlm: 125-124

Page 25: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

40

pemohon izin yang akan mendirikan rumah tinggal. Pada kawasan yang direncanakan

untuk paru-paru kota, tentu tidak diperkenankan untuk mendirikan bangunan tempat

tinggal.

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh warga akan dikendalikan dan diarahkan

melalui stelsel perizinan ke arah yang dikehendaki oleh pemerintah. Sekalipun tanah

yang akan dibangun tersebut tanah milik warga yang bersangkutan secara sah, bukan

berarti mereka dapat menggunakan tanah itu sesuka hati merekaa. Pemerintah tetap

berwenang mengatur warganya. Bahkan, kalau warga tersebut tidak mau menaati apa

yang ditentukan oleh pemerintah, mereka tidak diberikan izin, yang pada gilirannya kalau

tetap membangun terhadap warga tersebut dapat dilakukan penertiban dan penindakan.

b. Mencegah bahaya terhadap lingkungan

Menurut ketentuan pasal 67 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan

pengelolaan lijngkungan hidup. (PPLH) di tentukan bahwa “setiap orang berkewajiban

memelihara kelestarian ;lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan /atau

kerudsakan lingkungan hidup” pada pasal 68 di sebutkan bahwa “setiap orang yang

melalukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait

dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka,

dan tepat waktu: b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, c. menaati ketentuan

tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu

Pemerintah mempunyai kepentingan agar objek-objek tertentu agar berguna bagi

masyarakat tetap terjaga dan terlindungi. Objek tersebut perlu mendapat perlindungan

karena berbagai alasan, misalnya alasan sejarah, benda tersebut sangat di perlukan untuk

Page 26: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

41

keperluan pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Contoh: izin pengelolaan peninggalan

kepurbakalaan, yaitu izin pengelolaan situs sejarah tertentu berupa peninggalan sejarah

yang menggambarkan perkembangan budaya dan peradaban manusia pada suatu waktu

terntentu, yang memang patut mendapatkan perlindungan

d. Membagi benda-benda yang sedikit

Kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan sumber daya yang jumlahnya sangat

terbatas. Apabila ada warga masyarakat yang membutuhkan hal tersebut maka

kesempatan yang adapun terbatas. Pemerintah memandang hal yang demikian perlu

ditanggapi secara tepat. Misalkan; suatu daerah tertentu mempunyai potensi alam berupa

sarang burung wallet. Terhadap sarang burung wallet dilakukan pengelolaan, bukan saja

memetik hasilnya yang berupa sarang burung, tetapi juga untuk memelihara habitatnya

sehingga potensi itu tidak langsung habis dalam sekali panen dan tetap terjaga agar tetap

dapat dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang. Izin pengelolaan dan pengambilan

sarang burung walet diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada seeorang individu

atau kelompok usaha untuk jangka waktu tertentu.

e. Mengarahkan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas

Pemberian izin dapat ditujukan untuk pengarahan dengan menyeleksi orang dan aktivitas-

aktivitas tertentu yang dilakukan oleh warga masyarakat. Hal dimaksud, contohnya surat

izin mengemudi (SIM). Untuk memperoleh SIM seseorang harus melalui serangkaian

proses pengujian, baik ujian teori, ujian praktik, termasuk kir dokter. Setelah lolos dari

pengujian tersebut yang bersangkutan baru dapat diberikan SIM.

Page 27: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

42

3. Syarat-Syarat Perizinan Dan Syarat Perizinan Pendirian Rumah Ibadah.

Dengan menetapkan syarat-syarat, akibat hukum tertentu digantungkan pada peristiwa

dikemudian hari yang belum pasti. Kadangkala syarat-syarat dengan mengikuti hukum perdata,

dibedakan dalam syarat-syarat penghapusan dan syarat-syarat penangguhan, ketetapan justru

memperoleh kekuatan setelah adanya peristiwa34

.

1). Pada umumnya sistem izin terdiri atas larangan, persetujuan yang merupakan dasar

perkecualian (izin), dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin seabagai

berikut35

:

a. Larangan

Larangan dan wewenang suatu organ pemerintah dilakukan dengan memberikan izin

dan harus ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagai

konsekuensi dari asas legalitas dalam negara hukum demokratis. Dalam hal ini

pemerintah ( kekuasaan eksekutif ) hanya memiliki wewenang-wewenang yang

dengan tegas diberikan kepadanya dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-

Undang lain. Larangan itu merupakan sesuatu yang membebani warga, oleh karena itu

pembebanan itu mesti mendapat persetujuan warga dengan mendasarkan pada

peraturan perundang-undangan.

b. Persetujuan yang Merupakan Dasar Kekecualian (Izin)

Izin muncul jika norma larangan umum dikaitkan dengan norma umum yang

memberikan kepada suatu organ pemerintah wewenang untuk menggantikan larangan

itu dengan persetujuan dalam suatu bentuk tertentu. keputusan yang memberikan izin

adalah suatu keputusan tata usaha negara. keputusan ini adalah keputusan sepihak dari

34

N. M. Stepelt. Op.Cit .hlm: 14. 35

Dewa Jufri. Muh. H.Op.Cit. hlm: 115-117.

Page 28: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

43

suatu organ pemerintah yang diberikan atas dasar wewenang ketatanegaraan atau

ketatausahaan untuk menciptakan suatu keadaan yang konkrit dan individual sehingga

suatu hubungan hukum menetapkannya secara meningkat, membebaskaanya atau

dalam kondisi tertentu suatu permohonan itu ditolak.

c. Ketentuan-ketentuan yang Berhubungan dengan Izin

Ketentuan-ketentuan adalah syarat-syarat yang menjadi dasar bagi organ pemerintah

dalam pemberian izin. dalam banyak hal secara fakta, izin dikatikan dengan syarat-

syarat berhubungan erat dengan fungsi sistim perizinan sebagai salah satu instrumen

penguasa. Pemerintah sebagai pihak yang berkuasa memiliki kewenangan untuk

memaksa warga masyarakat. demikian pula pemerintah dapat melarang suatu hal

supaya tidak dilakukan oleh warga masyarakat. suatu larangan tidak dilakukan tanpa

alasan yang jelas dan tanpa pijakan yang tegas. untuk adanya larangan harus ada

kewenangan terlebih dahulu bagi organ pemerintah. kalau tidak ada kewenangan yang

jelas dan tegas mengenai hal ini, organ pemerintah tidak dapat melarang warga

masyarakat. dalam kaitan itu berlakulah asas bahwa “untuk adanya suatu larangan

mesti ada peraturan yang tegas dan jelas yang isinya melarang dilakukannya sesuatu”.

Bila tidak ada peraturan. bukan berarti lalu dapat ditafsirkan tidak boleh (dilarang)

dilakukan sesuatu. oleh karena itu, mutlak bagi sebuah larangan ada peraturannya

terlebih dahulu.

Dalam hal-hal tertentu ada kemungkinan sesuatu yang secara umum dilarang,

kemudian diperbolehkan oleh penguasa. bahkan, ada juga larangan yang tidak

dimaksudkan secara sungguh-sungguh. untuk adanya kemungkinan penyimpangan dari

ketentuan larangan tersebut, organ pemerintah tertentu diberikan kewenangan untuk

Page 29: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

44

melakukan penyimpangan. tanpa ada kewenangan seperti itu, organ pemerintah tidak bisa

diberikan izin.

Selain larangan dan izin, dalam kaitan dan izin juga seringkali ada ketentuan-ketentuan

dalam persyaratan. Ketentuan ini dapat menyangkut hal yang harus dipenuhi dan

diindahkan oleh pemohon sebelum dikeluarkan izin, dapat pula menyangkut hal-hal yang

musti dipenuhi setelah izin itu diterbitkan. Ketentuan-ketentuan ini sering terjadi, seperti

klausula menyatakan, “mau tidak mau harus diindahkan oleh pemohon izin”. Persyaratan

itu ada yang bersifat aministratif dan ada pula yang bersifat substanstif. Persyaratan dan

ketentuan yang diberlakukan bagi pemohon dan pemegang izin adakalanya dimaksudkan

untuk kepentingan pemohon sendiri, untuk orang-orang yang terkait didalamnya, dan

juga untuk kepentingan yang lebih luas.

2) Secara kuhsus syarat izin pendirian rumah ibadah diatur dalam Pasal 14 yang terdiri dari 3

(Tiga) Ayat sebagai berikut:

Ayat (1) berbunyi “Pendirian Rumah Ibadat harus memenuhi persyaratan administrasi

dan persayaratan teknis pembangunan gedung”;

Ayat (2) berbunyi “Selain memenuhi persyaratan yang dimaksud Ayat (1) pendirian

rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit

90 (Sembilan Puluh) orang yang disahkan oleh Pejabat setempat sesaui

dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (3);

b. Dukungan Masyarakat paling sedikit 60 (Enam Puluh) orang yang disahkan

oleh Lurah/Kepala desa.

Page 30: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

45

c. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Depertamen Agama Kabupaten/Kota;

dan

d. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota.

Ayat (3) yang berbunyi “Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)

harus a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi pemerintah

daerah berkewajiban memfasilitasi pembangunan rumah ibadah.

4. Perizinan Sebagai Upaya Peningkatan Pelayanan Publik

Birokrasi perizinan merupakan salah satu kendala bagi dunia usaha di Indonesia. Praktik

dilapangan menunjukan proses perizinan belum memiliki kejelasan prosedur sehingga

menimbulkan kesan tidak transparan, ketidak menentunya waktu dan biaya tinggi. Salah satu

tugas pemerintah yang menjadi tuntutan masyarakat adalah terselenggarannya pelayanan publik

yang baik. Menurut H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, secara pelayanan publik

meliputi tiga aspek, yaitu: (a) administrasi, (b) pengadaan infrastruktur, dan (c) pemenuhan

kebutuhan dasar36

.

Perizinan merupakan suatu manifestasi yang meliputi aspek aspek tersebut, dan dengan

demikian perizinan merupakan wujud pelayanan publik yang sangat menonjol dalam tata

pemerintahan. Dalam hubungan antara pemerintah dengan warga masyarakat seringkali

perizinan menjadi indicator untuk menilai apakah suatu organisasi pemerintahan sudah mencapai

kondisi good governance atau belum. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemerintah membuat

suatu kebijakan mengenai model perizinan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24

Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu37

.

36

Ibid. hlm: 175. 37

Ibid. hlm:126.

Page 31: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

46

Tujuan kebijaksanaan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik serta dapat

memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik, dan

hal yang paling penting dalam kebijakan tersebut adalah terwujudnya pelayanan publik yang

cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau38

.

Kebijakan terhadap model pelayanan terpadu satu pintu merupakan sebuah revisi

terhadap kebijakan pemerintah sebelumnya yaitu mengenai pelayanan terpadu satu atap yang

diterapkan sejak tahun 1997 melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 503/125/ PUOD,

tanggal 16 januari 1997 tentang Pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Atap dan Instruksi

Menteri Dalam Negeri No. 25 tahun 1998 Tentang Pelayanan Terpadu Satu Atap. Revisi ini

didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa implementasi penyelenggaraan pelayanan terpadu

satu atap di daerah banyak mengalami kendala terkait dengan mekanisme perizinan yang masih

rumit dan kendala koordinasi lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sulit, sehingga

tidak berjalan dan berfungsi secara optimal39

.

Konsep pelayanan terpadu satu pintu merupakan salah satu kegiatan penyelenggaraan

perizinan dan non-perizinan, dimana proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan

sampai kepada tahap penerbitan permohonan izin dilakukan secara terpadu dalam satu tempat,

dengan menganut prinsip-prinsip seperti; a. kesederhanaan, b. transparansi, c. akuntabilitas, d.

menjamin kepastian biaya, waktu serta adanya kejelasan prosedur40

.

Dengan konsep kebijakan pelayanan terpadu satu pintu, pemohon cuma datang ke satu tempat

dan bertemu dengan petugas-petugas perizinan dan menghindari adanya pungutan tidak resmi.

Konsep ini adalah salah satu kebijakan pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

38

Ibid. hlm:126 39

Ibid. hlm:126 40

Ibid. hlm: 126-127.

Page 32: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

47

Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 sebagai implementasi kebijakan pemerintah yang terkait

dengan peningkatan pelayanan publik41

.

E. KEPUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1. Keputusan Peradilan Tata Usaha Negara.

Ada 2 (dua) macam keputusan Peradilan Tata Usaha Negara, yakni42

:

1. Putusan akhir (lind vonis)

Putusan akhir (lind vonis) adalah putusan yang sifatnya mengakhiri suatu

sengketa dalam tingkat tertentu.

2. Bukan putusan akhir (putusan sela/ tusen vonnis/schorsing)

Bukan putusan akhir (putusan sela/ tusen vonnis/schorsing) adalah putusan yang

dikeluarkan oleh hakim sebelum mengeluarkan putusan akhir dengan maksud

menpermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam rangka memberikan

putusan akhir. Putusan bukan akhir ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam,

yakni

a. Putusan preparatoir. Putusan untuk mengabungkan dua perkara menjadi

satu atau putusan untuk menetapkan tengggang waktu dimana para pihak

harus bertindak.

b. Putusan interlocutoir yankni putusan berisi perintah kepada salah satu

pihak untuk membuktikan suatu hal.

41

Ibid. hlm: 127. 42

Marbun. F, S. “PRADILAAN ADMINISTRASI NEGARA DAN UPAYA ADMINISTRASIF DI INDONESIA”. Cetakan ketiga, FH UII Pers .Yogyakarta.2011. hal 353-354.

Page 33: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

48

2. Sifat-Sifat dan Tujuan Keputusan Peradilan Tata Usaha Negara.

a). Sifat-Sifat Keputusan Tata Usaha Negara

1. Macam-Macam Sifat Keputusan Akhir Yaitu43

:

a. Menghukum (condemnatoir)

b. Menciptakan (constitutif)

c. Menerangkan (deklaratif)

2. Macam-Macam Sifat Keputusan Bukan Akhir Yaitu44

:

a. Tidak di buat putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita

acara.

b. Belum memiliki kekuatan hukum tetap

c. Tidak dapat diajukan permintaan pemeriksaan banding secara tersendiri, kecuali

dimohonkan bersama-sama putusan akhir.

b). Tujuan Keputusan Peradilan Tata Usaha Negara.

Yang menjadi tujaun dari putusan akhir adalah untuk mengahkiri sengketa yang di ajukan

kepengadilan, sedangkan yang menjadi tujuan putusan bukan akhir adalah untuk mempermudah

proses pemeriksaan demi mencapai tujuan ahkir45

.

3. Bentuk-Bentuk Putusan Yang Dikeluarkan Oleh Hakim.

Beberapa putusan dapat keluarkan hakim tata usaha negara antara lain46

:

1. Putusan atau penetapan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara

sebelum pokok sengketa di periksa. Putusan atau Penetapan diputuskan dalam Acara

43

Ibid. hlm : 353-354 44

Ibid. hlm: 354-355 45

Lihat Marbun. F, S. “PRADILAAN ADMINISTRASI NEGARA DAN UPAYA ADMINISTRASIF DI INDONESIA”. Cetakan ketiga, FH UII Pers . Yogyakarta.2011. hlm: 353-355. 46

Ibid. hlm: 355-356.

Page 34: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

49

Rapat Permusyarawatan yang berisi suatu gugatan dinyatakan tidak diterima atau

tidak berdasarkan:

a. Pokok gugatan nyata-nyata tidak termaksud dalam wewenang hakim

Peradilan Tata Usaha Negara, baik kompetensi relatif maupun kompetensi

absolut;

b. Syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi meskipun telah diberitahukan dan

diperingatkan;

c. Gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;

d. Apa yang dituntut dalam gugatan nyatanya telah terpenuhi oleh keputusan

Tata Usaha Negara;

e. Gugatan di ajukan sebelum lewat waktunya atau telah lewat waktunya.

Terhadap penetapan ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diajukan

perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari

setelah diajukan. Perlawan diajukan seperti halnya mengajukan gugatan.

Putusan terhadap perlawan itu tidak dapat digunakan.

f. Adanya permohonan penggugat untuk beracara (bersengketa) dengan cuma-

Cuma. Penetapan itu berlaku untuk tingkat pertama dan terahkir.

2. Putusan atau penetapan yang dikelaurkan oleh hakim Peradilan Tata Usaha Negara

sebelum pokok sengketa di periksa. Putusan atau penetapan diputuskan dalam acara

pemeriksaan persiapan.

3. Putusan yang dikeluarkan pada saat pemeriksaan pokok sengketa dilakukan dan

merupakan putusan akhir. Putasan atau penetapan tersebut dapat berisi menyatakan

gugatan gugur, gugatan tidak diterima, gugatan di tolak atau dikabulkan.

Page 35: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

50

4. Sengketa Yang Dapat Masuk Kedalam Peradilan Tata Usaha Negara.

Perkembangan praktik peradilan mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

sebagai obyek gugatan di pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dalam beberapa tahun ini

marak digugat, yaitu berupa produk-produk hukum berupa surat keputusan, dimana pejabat yang

menerbitkannya secara formal berada diluar lingkup TUN, tetapi substansinya merupakan urusan

pemerintah. Demikian pula dengan adanya gugatan-gugatan yang objek gugatannya berupa

surat-surat keputusan pejabat TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada

diluar urusan pemerintahan (Eksekutif)47

.

Praktik peradilan sering dipertukarkan atau dicampur adukkan antara penyalahgunaan

wewenang dengan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in haeren dengan

penyalahgunaan wewenang. Padahal antara konsep penyalahgunaan wewenang dengan konsep

cacat prosedur merupakan dua hal yang berbeda. Kesalahan prosedur terjadi tidak terlalu in

haeren dengan penyalahgunaan wewenang. Kesalahan prosedur yang in haeren dengan

penyalahgunaan wewenang jika pelaksanaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan yang

telah ditetapkan48

.

Istilah toedsigsgroden (belanda) secara harafia berarti dasar pengujian. Dalam UU nomor

5 Tahun 1986, yang telah dihubah dengan UU nomor 9 tahun 2004 dan kemudian diubah dengan

UU nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, istilah yang digunakan dalam Pasal 53 Ayat (2) Adalah ”alasan

menggugat”. Istilah ini (alasan menggugat) lebih dilihat dari sudut pandang penggugat

sedangkan istilah “Toestsingsgronden” lebih dilihat dari sudut hakim dalam menilai keabsahan

suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Baik dari sudut pandang penggugat maupun dari sudut

47

Lotulung Efendi Paulus . “HUKUM TATA USAHA NEGARA DAN KEKUASAAN “ . Salemba Humanika. Jakarta.2013. hlm: 27. 48

Op Cit Dewa Jufri.Muh.H.hlm:81.

Page 36: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

51

pandang hakim, kedudukan masalah bertumpu pada ada tidaknya “cacat yuridis” dalam

perbuatan pemerintah. Cacat yuridis tersebut, dapat disebabkan karena antara lain: (1) salah kira

(dwaling), (2) paksaan (dwang), dan (3) tipuan (bedrong)49

.

F. Bentuk Gugatan, Kepentingan Gugatan Dan Dasar-Dasar Gugatan.

1. Bentuk Gugatan dan Kepentingan.50

Gugatan adalah suatu permohonan berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN yang

diajukan ke pengadilan administrasi untuk mendapatkan putusan. Suatu gugatan harus dibuat

dalam bentuk tertulis. Persyaratan tertulis merupakan hal penting untuk dijadikan pegangan para

pihak dan hakim dalam memeriksa sengketa selama proses pemeriksaan berlangsung. Bagi

mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dapat memintakan bantuan Panitera

merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis51

.

Di Nederland suatu gugatan juga diisyaratkan harus tertulis, bahkan dapat

dilakukan melalui telegram atau telex, kecuali gugatan melalui telepon belum dapat

diterima. Jika selama ini timbul persoalan apakah dimungkinkan gugatan dan proses

pemeriksaan diajukan melalui pos, sehingga para pihak tidak harus hadir secara fisik

terus-menerus, mengingat secara geografis wilayah Indonesia sangat luas, ternyata

menurut Surat Edaran Mahkamah Agung dapat saja dilakukan kemungkinan mengajukan

gugatan melalui pos masih terdapat ketidakseragaman penerapannya di beberapa

pengadilan administrasi.

Mereka yang dapat mengajukan gugatan ialah orang atau badan hukum perdata,

yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu keputusan

(beschikking) oleh badan atau pejabat TUN baik di pusat maupun daerah. Kepentingan

49

Ibid hal: 82- 83 50

Marbun. F Op.cit hlm: 51

.Ibid.hlm 247.

Page 37: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

52

penggugat yang dirugikan harus bersifat langsung terkena, artinya kepentingan tersebut

tidak boleh terselubung dibalik kepentingan orang lain (rechtstreeks belang). Hal ini

sesuai dengan adagium yang menyatakan point d’interet, point d’ action, artinya tidak

ada kepentingan tidak ada aksi. Misalnya seorang kreditur dari suatu badan yang

memperoleh izin dan subsidi dari pemerintah, merasa dirugikan akibat keputusan

pemerintah memberhentikan subsidi terhadap badan tersebut. Kreditur itu merasa

dirugikan karena tagihannya terhadap badan yang semula di subsidi tidak dapat diperoleh

darinya. Contoh lain, tidak diterimanya gugatan seorang anggota Organisasi Siaran

Veronica (Veronica Omroep Organisatie) untuk memperoleh waktu siaran, dengan

alasan tidak ada kepentingan yang langsung terkena.

Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak mengenal prinsip action

popularis, yaitu suatu prinsip yang memberikan hak gugat kepada setiap orang atau setiap

penduduk, namun dalam sengketa lingkungan di Indonesia ditemukan yurisprudensi,

bahwa suatu organisasi yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan hidup dapat

diterima sebagai Penggugat, mengajukan gugatan mengatas-namakan kepentingan umum

atau kepentingan orang banyak atau masyarakat (algemeen belang). Demikian pula

dalam lingkungan peradilan perdata di Indonesia, pernah diputus oleh Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat bahwa organisasi lingkungan dapat diterima sebagai penggugat mengajukan

gugatan mengatas-namakan kepentingan umum (algemeen belang52

).

Di Nederland juga ditemukan yurisprudensi yang memungkinkan suatu organisasi

yang bergerak dibidang lingkungan hidup, diterima sebagai Penggugat mengajukan

gugatan dengan mengatas-namakan kepentingan umum.

52

Page 38: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

53

Menurut Paulus Effendie Lotulung, suatu organisasi lnigkungan hidup untuk

dapat bertindak sebagai Pengguat mengatas-namakan kepentingan umum (algemeen

belang), harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Tujuan organisasi tersebut ialah melindungi lingkungan hidup atau menjaga

kelestarian alam. Tujuan tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam

Anggaran Dasar Organisasi tersebut.

b. Harus berbentuk badan hukum atau yayasan

c. Harus secara berkesinambungan menunjukan adanya kependuliannya terhadap

lingkungan hidup secara nyata di masyarakat

d. Harus cukup representatif.

Dalam peraturan Mahkamah Agung RI No 1 Tahun 2002 ditentukan mengenai

Gugatan Perwakilan Kelompok yang padanannya sama dengan istilah class actionatau

legal standing sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1997

tentang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen serta Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan istilah

Hak Gugat Organisasi.

Hak Gugat Organisasi atau Gugatan Perwakilan Kelompok atau class action atau

legal standing lazim digunakan dalam praktek peradilan di Negara-negara anglo saxon

yang menganut system common law yang menciptakan kaidah hukum melalui putusan

pengadilan. Hak Gugat Organisasi ini kemudian diikuti juga di Negara-negara yang

menganut system hukum Eropa Kontinental yang menciptakan kaidah hukum melalui

statute law atau Undang-Undang yang dibuat parlemen, sebagaimana di Indonesia

ditemukan dalam beberapa Undang-Undang tersebut diatas.

Page 39: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

54

Di Amerika Serikat dalam US Federal of Civil Procedure (1938) yang

diundangkan 1966, ditentukan persyaratan class action sebagai berikut.

a. Numerosity artinya untuk lebih praktis dan efisien apabila gugatan diajukan

sendiri-sendiri bagi penggugat yang jumlahnya puluhan, ratusan bahkan ribuan,

maka gugatan cukup diajukan oleh wakil kelompok (class representative) yang

mewakili kelompok (class members);

b. Commonality artinya memiliki persamaan fakta, peristiwa dan dasar hukum antara

yang mewakili dengan yang diwakili;

c. Typically artinya memiliki persaman tuntutan dan pembelaan antara yang

mewakili dan yang diwakili;

d. Adequacy of Respresentation artinya yang mewakili mampu menjamin secara

jujur mampu melindungi kepentingan mereka.

Ketentuan persyaratan tersebut diatas memiliki persamaan dengan pasal 1 huruf a

Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2002 menyebutkan Gugatan Perwakilan

Kelompok adalah suatu Tata Cara Pengajuan Gugatan dalam mana satu orang atau lebih

yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri

dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki

kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok

dimaksud.

Dalam merumuskan suatu gugatan harus dicantumkan secara lengkap Identitas

Pengugatan. Jika gugatan diajukan oleh seorang kuasa hukum maka dalam surat gugatan

harus disebutkan terlebih dahulu nama dari pihak Penggugat Pribadi (in person) dan baru

disebutkan nama kuasa yang mendampinginya.

Page 40: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

55

Untuk menemukan badan atau pejabat TUN yang akan digugat, harus diketahui

sifat wewenang yang dimiliki badan atau pejabat TUN yang akan digugat tersebut.

Apabila sifat wewenang yang dimiliki badan atau pejabat TUN yang memberikan

mandate (mandans). Sedangkan apabila wewenang bersifat delegasi maka yang digugat

adalah badan atau pejabat TUN yang menerima delegasi (delegataris). Untuk mengetahui

dasar wewenang tersebut harus dilacak para peraturan dasarnya.

Hal lain yang perlu diperhatikan apakah keputusan yang akan digugat harus

diselesaikan lebih dahulu melalui upaya administratif. Jika upaya administratif yang

tersedia hanya berupa “keberatan” maka gugatan dapat diajukan langsung ke PTUN dan

bukan ke Pengadilan Tinggi TUN. Tetapi apabila yang tersedia upaya administratif

berupa keberatan dan atau banding administratif sesuai dengan peraturan dasarnya, maka

gugatan diajukan ke Pengadilan Tinggi TUN.

Mekanisme perlindungan hukum lainnya bagi warganegara untuk mengguat

tanggung-jawab penyelenggara Negara atas kelalaiannya dalam memenuhi hak-hak

warga Negara yang disebut Citizen Lawsuit pernah diajukan berupa gugatan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, antara lain:

- Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yang dideportasi di Nunukan;

- Gugatan operasi Yustisia oleh LBH Jakarta;

- Gugatan hak untuk memilih dalam Pemilu.

Semua gugatan tersebut dinyatakan tidak diterima. Gugatan diajukan terhadap

tindakan atau perbuatan faktual yang dilakukan atau tidak dilakukan badan atau pejabat

tata usaha Negara. Di Australia Negara bagian New South Wales pada Pengadilan

Pertanahan dan Lingkungan (Law & Envirounment Court-Sidney) gugatan diterima

Page 41: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

56

apabila didasarkan pada 2 faktor, yaitu kepentingan masyarakat luas dan faktor

penguasaan sumber daya alam atau sektor-sektor yang memiliki dimensi publik.

2. Dasar atau Alasan Gugatan

Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1986, dasar atau alasan diajukannya

gugatan terhadap suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN, karena

keputusan yang dikeluarkan tersebut oleh penggugat dianggap:

a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik bersifat

prosedural atau formal dan bersifat material atau substansial. Maupun karena dikeluarkan

oleh badan atau pejabat TUN yang tidak berwenang (onbevoegheid), yang berkaitan

dengan ratione materiae atau ratione loci atau ratione temporis; bersifat prosedural berarti

berkaitan dengan hukum acara di lingkungan pemerintah (non kontentiosa) atau prosedur

dikeluarkannya keputusan (beschikking) yang disengketakan. Bersifat formal berkaitan

dengan atribusi atau dasar hukum dikeluarkannya keputusan yang disengketakan.

b. Dikeluarkan atas dasar penyalah-gunaan wewenang (de tournament de pouvoir);

c. Dikeluarkan atas dasar perbuatan sewenang-wenang (a bus de droit/ willikeur)

Setelah dikeluarkannya Undang-Undang No 9 Tahun 2004, dasar atau alasan

gugatan membatalkan suatu keputusan TUN adalah:

a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik bersifat

prosedural/formal dan bersifat materiil atau subtansial, maupun dikeluarkan oleh badan

atau pejabat TUN yang tidak berwenang (onbevoegheid), yang berkaitan dengan ratione

materiae atau ratione loci atau ratione temporis; bersifat prosedural berarti berkaitan

dengan hukum acara di lingkungan pemerintah (Non kontentiosa) atau prosedur

Page 42: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

57

dikeluarkannya keputusan yang disengketakan, sedangkan bersifat normal berarti

berkaitan dengan attribusi atau dasar hukum dikeluarkannya keputusan yang

disengketakan.

b. Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Di dalam penjelasan pasal 53 UU NO 9 tahun 2004 disebutkan, asas-asas umum

pemerintahan yang baik disebut mengacu pada UU No 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

yang meliputi:

- Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam Negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan kepatutan dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggara Negara

- Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memproleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan Negara tetap memperhatikan perlindungan atas hak pribadi,

golongan dan rahasia Negara;

- Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan

kewajiban penyelenggara Negara;

- Asas professionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan

kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

- Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir dari

kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada

masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Page 43: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

58

- Asas tertib penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan,

keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara;

- Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan

cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

Asas-asas tersebut diatas lebih ditujukan untuk ketertiban penyelenggaraan

Negara dan bukan asas yang khusus ditujukan untuk dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Asas tersebut bukan merupakan sebuah norma yang mudah diukur

didalam pelaksanaannya. Dalam praktek ternyata hakim PTUN tetap dapat menggunakan

asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van berhoorlijk bestuur)

yang banyak digunakan di Belanda dan sebagian telah dijadikan yurisprudensi di

Indonesia.

Sebelum menyusun tuntutan hendaknya diuraikan terlebih dahulu peristiwa atau

fakta yang menunjukan adanya hubungan hukum dengan dasar gugatan (fundamentum

petendi/posita). Hal pokok yang dapat dituntut dalam gugatan (petitum/petita) hanya satu

tuntutan pokok saja, yaitu agar Keputusan badab atau pejabat TUN yang disengketakan

dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa desertai tuntutan ganti rugi dan atau

rehabilitasi. Dalam Hukum Acara PTUN tidak dikenal tuntutan provisi, yang dikenal

hanya permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang disengketakan

(schorsing). Demikian juga bentuk tuntutan subsidair yang ada hanya tuntutan pokok dan

tuntutan tambahan.

Faktor penting yang menentukan bahwa kepentingan seseorang terkait langsung

dengan keputusan yang disengketakan dan telah menimbulkan kerugian bagi dirinya,

terletak pada kemampuannya membuktikan bahwa keputusan tersebut telah menimbulkan

Page 44: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

59

kerugian bagi dirinya secara langsung. Apabila keputusan yang disengketakan ternyata

tidak langsung menimbulkan akibat hukum baginya, maka kepentingannya tidak terkena

dan gugatan akan dinyatakan ditolak.

Apakah ada kemungkinan suatu kepentingan akan menjadi hilang, misalnya di

saat proses pemeriksaan berlangsung badan atau jabatan TUN menarik kembali

keputusan yang sedang dalam sengketa, sehingga tidak lagi bermanfaat untuk

meneruskan gugatan. Dalam posisi khusus ini sangat dimungkinkan kepentingan akan

menjadi hilang, namun pada sisi lain apakah mungkin hal seperti itu akan terjadi? Sebab

sesuai dengan asas praduga rechtmatig atau asas vermoeden van rechmatigheid atau

presumtio iustae causa, atau keputusan harus dianggap benar menurut hukum dan demi

kepastian hukum tidak mungkin batal apabila tidak digugat serta dinyatakan batal oleh

hakim. Contoh lain, apakah seorang penggugat akan kehilangan gugatannya apabila

seorang tetangga yang digugat dengan kesadarannya sendiri memberhentikan atau

memindahkan bangunan yang sedang dalam proses gugat (obyek sengketa).

Apakah dimungkinkan gugatan terhadap suatu keputusan badan/pejabat TUN

dilakukan hanya untuk sebagian saja? Artinya yang digugat hanya bagian-bagian tertentu

saja dari keputusan tersebut, sedangkan bagian lainnya tidak ikut digugat? Dalam hal ini

dapat saja terjadi yang digugat hanya sebagian dari keputusan itu, sebab bertitik tolak dari

pangkal sengketa dan sifatnya yang digugat hanya hal-hal yang menimbulkan kerugian

bagi penggugat. Sejalan dengan itu putusan pengadilan TUN juga dimungkinkan untuk

menolak dan/atau menerima sebagian gugatan penggugat. Jadi ada akibat-akibat hukum

tertentu dari keputusan yang diguga itu dinyatakan tetap berlaku.

Page 45: Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. KEWENANGAN 1. Kewenangan

60

Ada pula baiknya gugatan sedapat mungkin dilampiri dengan surat keputusan

badan/pejabat TUN yang disengketakan. Sedangkan apabila yang digugat adalah

keputusan badan/pejabat TUN berupa keputusan fiktif negatif, sebaiknya disertakan pula

arsip surat permohonan yang ditolak (tidak dijawab) dan tanda terima permohonan

tersebut. Dalam hal gugatan diajukan oleh Badan Hukum Perdata, sebaiknya disertakan

statuta atau Aturan Dasar yang mengatur pihak yang berwenang mewakili Badan Hukum

Perdata tersebut didalam pengadilan dan/atau diluar pengadilan.