kewajiban pembukuan pada an dagang

Download Kewajiban Pembukuan Pada an Dagang

If you can't read please download the document

Upload: bekichod

Post on 21-Jun-2015

1.119 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

ARTIKEL PENGANTAR HUKUM BISNISKEWAJIBAN PEMBUKUAN PADA BADAN USAHA

DISUSUN OLEH :

ANDRYAN0802113160

DOSEN PEMBIMBING: Drs. HARDI.SH.MM.Ak NIP:131794473

UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2008/2009

Kewajiban Pembukuan pada Badan Usaha Setiap perusahaan yang beroperasi atau berkedudukan di wilayah hukum Indonesia wajib melaksanakan pembukuan sesuai dengan prinsip san undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kewajiban melaksanakan pembukuan bagi perusahaan diatus dalam undang-undang berikut ini : A. Pasal 6 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) Ayat 1 : Barangsiapa menyelenggarakan perusahaan, wajib tentang kekayaan dan semua hal yang berhubungan denga perusahaannya, menurut syarat syarat perusahaannya mengadakan pencatatan sedemikian, sehingga sewaktu-waktu dari catatan yang daidakan dapat diketahui hak-hak dan kewajibannya. Ayat 2 : Ia wajib saban tahun, dalam enam bulan pertama dari tiap tahun, menurut syaratsyarat perusahaannya, membuat neraca dan ditandatangani sendiri. Ayat3 : Ia wajib menyimpan buku-buku dan surat-surat bukti, dimana ia mengadakan pencatatan seperti termaktub dalam ayat pertama, juga neraca untuk selama tiga puluh tahun, surat-surat dan surat-surat kawat yang selama sepuluh tahun. Pasal 28, UU No. 6 tahun 1983 Ayat 1 : Orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia harus mengadakan pembukuan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan yang cukup untuk menghitung penghasilan kena pajak atau harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, guna perhitungan jumlah pajak terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat 4 : Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur tentang keadaan kas dan bank daftar piutang dan daftar persediaan barang, dan pada setiap tahun pajak berakhir wajib pajak harus menutup pembukuaannya dengan membuat neraca dan perhitungan rugi laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya. Ayat 6 : Pembukuan atau pencatatan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib pajak harus disimpan selama sepuluh tahun. Pasal 33, UU No 7, tahun 1983 Ayat 1 : Wajib pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia, sehingga dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak. Ayat 2 : Pada setiap tahun pajak terakhir, wajib pajak menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan perhitungan rugi-laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya. Pasal 6, UU No. 8 Tahun 1983 Ayat 1 : Setiap pengusaha kena pajak diwajibkan mencatat semua jumlah harga perolehan dan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam pembukuan perusahaan Ayat 2 : Pada catatan dalam pembukuan itu harus dicantumkan secara terpisah dan jelas, jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang pajak, yang tidak

B.

C.

D.

terutang pajak, yang dikenakan tarif 0%, dan yang dikenakan pajak penjualan barang mewah. 1) 2) 3) 4) 5) Dari Undang-undang tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : Setiap pengusaha wajib menyelenggarkan pembukuan menurut syarat-syarat tertentu. Kata wajib mengandung sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakan Pembukuan dilakukan untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban perusahaan, serta untuk menghitung penghasilan kena pajak dan pajak terutang Pembukuan sekurang-kurangnya mencakup catatan kas/bank, utang-piutang dan persediaan barang yang dilakukan secara konsisten Setiap akhir tahun pajak, pengusaha harus membuat laporan neraca dan perhitungan rugi/laba Dokumen catatan disimpan dalam waktu tertentu

Untuk mengetahui besarnya Penghasilan Kena Pajak, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan didefinisikan sebagai : suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Tidak diwajibkan melakukan pembukuan. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut diwajibkan melakukan pencatatan. Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di

tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak badan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembukuan : Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. Prinsip Taat Azas Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahuntahun sebelumnya, untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan : a. Stelsel pengakuan penghasilan (akrual); b. Tahun buku; c. Metode penilaian persediaan; d. Metode penyusutan dan amortisasi a. Stelsel Pengakuan Penghasilan dan Biaya Stelsel Akrual Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai. Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai di bidang konstruksi dan metode lainnya yang dipakai di bidang usaha tertentu seperti Build Operate and Transfer (BOT), Real Estate, dan lainlain. Stelsel Kas Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan

penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi lainnya. Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut : 1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan. 2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. 3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten). Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran. Prinsip Taat Azas Pada dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip Taat azas dalam pembukuan misalnya dalam penerapan : 1) 2) 3) 4) Penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), Tahun Buku metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi, metode penilaian persediaan dan sebagainya.

Namun demikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan-alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat-akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut. Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri. Misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu. Contoh : Wajib Pajak dalam tahun 2002 menggunakan metode penyusutan garis lurus atau straight line method. Dalam tahun 2003 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva

dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining balance method. Untuk keperluan tersebut, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2003 dengan menyebutkan alasanalasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut. Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak, oleh karena itu perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Tahun Pajak adalah sama dengan tahun takwim (tahun kalender) kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, maka penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) enam bulan pertama atau lebih. Contoh : a. Pembukuan 1 Juli 2002 sampai dengan 30 Juni 2003, tahun pajaknya adalah tahun 2002. b. Pembukuan 1 Oktober 2002 sampai dengan 30 September 2003, tahun pajaknya adalah tahun 2003. Rekonsiliasi/ Penyesuaian Fiskal. Besarnya Penghasilan Kena Pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan yang menjadi obyek PPh (tidak final) dengan pengurangan yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan pajak (Deductable Expenses) dan Rugi tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan. Rekonsiliasi fiscal dilakukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Hal ini karena adanya perbedaan kententuan dalam Standart Akuntansi Keuangan dan keputusan Manajemen (dasar pembukuan komersial) dengan ketentuan perpajakan. Perbedaan tersebut antara lain : 1) Perbedaan dalam Metode Penyusutan. Secara umum, ketentuan pajak hanya mengakui adanya dua metode penyusutan., metode garis lurus dan metode saldo menurun. 2) Adanya perbedaan dalam menentukan masa manfaat/ umur ekonomis Aktiva tetap. Dalam ketentuan pajak pengelompokan aktiva tetap telah ditetapkan secara seragam berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Tidak menutup kemungkinan kelompok aktiva tetap tersebut tidak sama dengan masa manfaat yang sebenarnya/berdasarkan keputusan manajemen. 3) Perbedaan dalam Metode penghitungan persediaan. Dalam ketentuan pajak hanya diijinkan untuk menghitung persediaan dengan metode rata-rata dan metode FIFO. 4) Adanya beban/biaya2 yang berdasarkan keputusan manajemen dan standart akuntansi keuangan dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan, namun secara fiscal tidak dapat diperhitungkan atau hanya dapat diperhitungkan dengan syarat-syarat tertentu. 5) Adanya penghasilan yang telah dikenakan PPh tersendiri (PPh Final) dan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tsb. Dalam akuntansi penghasilan dan biaya tersebut merupakan komponen penghasilan dan biaya yang tidak terpisah dalam laporan keuangan tersendiri. 6) Adanya Penghasilan yang bukan merupakan Obyek PPh.

Perhitungan Pajak terutang Tarif PPh Untuk WP Badan Dalam Negeri dan BUT Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 10% (sepuluh persen) di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d. Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 15% (lima belas persen) di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 30% (tiga puluh persen) PPh Terutang dihitung dengan mengalikan tariff yang berlaku tersebut (Tarif Pasal 17) dengan Penghasilan Kena Pajak. Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap : Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp. 250.000.000,00 Pajak Penghasilan terutang : 10% x Rp 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp 150.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00 (+) = Rp. 57.500.000,00 Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Contoh : Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.