ketentuan harta waris pusaka tinggi minangkabau …
TRANSCRIPT
KETENTUAN HARTA WARIS PUSAKA TINGGI MINANGKABAU
TINJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011)
Skripsi
DiajukanUntukMemenuhi Salah Satu PersyaratanMemperolehGelar
Sarjana Hukum (S.H)
Disusun Oleh:
SRI WAHYUNI : 11150430000115
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1443 H/2021 M
i
KETENTUAN HARTA WARIS PUSAKA TINGGI MINANGKABAU
TINJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Disusun Oleh:
SRI WAHYUNI
NIM.11150430000115
Pembimbing
SRI HIDAYATI, M.Ag
NIP. 19710215 199703 2002
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1443 H/2021 M
ii
iii
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Arab
Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
v
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ؼ
Q Qo ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
N En ف
W We ك
H Ha ق
Y Ya م
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ـــــــ a Fathah ـــ
ـــــــ i Kasrah ـــ
ـــــــ u Dammah ـــ
vi
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ai a dan i ـــــ ـــــي
ــوـــــ au a dan u ـــ
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ــاـ â a dengan topi diatas ــ
ـــ ـى î i dengan topi atas ـ
ــوــ û u dengan topi diatas ـ
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif
dan lamال) ), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: اإلجثهاد = al-ijtihâd.
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ةعفشلا = al-syuî
„ah, tidak ditulis asy-syuf „ah.
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh atau
diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
vii
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf
“t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Syarî’ah عةريشال 1
يةملاسلااعةريشال 2 al- syarî’ah al-islâmiyyah
بهدامنةالقارم 3 Muqâranat al-madzâhib
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun
dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan
bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
kata sandangnya. Misalnya, مخاربلا = al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism) atau huruf (harf),
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
تظوراححالمبيتضرورةال 1 al-darûrah tubîhu almahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî لاميقتصادالاسالا 2
viii
ABSTRAK
Sri Wahyuni, NIM :11150430000115. KETENTUAN HARTA WARIS
PUSAKA TINGGI MINANGKABAU TINJAUN HUKUM ISLAM
(AnalisisPutusan Nomor 2306 K/Pdt/2011). Program Studi Perbandingan
Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1443 H/2021 M.
Studi ini bertujuan untuk: (a) untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya
sistem pewarisan harta pusaka di Minangkabau. (b) mengetahui sistem pewarisan
harta dalam Islam atau dalam buku II Komplikasi Hukum Islam. (c) mengetahui
tinjaun Hukum Adat dan Hukum Islam tentang kewarisan. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penulisan ini adalah meteode yang bersifat deskriptif analisis,
dengan pendekatan Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan penelitian bahan pustaka, dengan objek penelitian ialah Undang- undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku II
Tentang Kewarisan dan sebuah Putusan Hakim di Mahkama Agung Nomor:2306
K/Pdt/2011.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: Dalam pratiknya di dalam adat
Minangkabau pemegang harta secara praktis adalah perempuan karena di
tanganya terpusat kerabat matrilineal dan juga dilibatkan dalam bermusawarah
dalam keluarga dana nagari. Namun dalam pemakaian harta, perempuan
dipercayakan untuk mengelola harta pusako karena perempuan di Minangkabau
dikenal sebagai pemegang kunci. Dalam hal ini, harta pusako tinggi tidak bisa di
perjual belikan ataupun digadaikan. Sistem pembagian harta waris yang
digunakan adalah menggunakan sistem matrilineal yakni dibagi berdasarkan garis
keturunan ibu dan seterusnya dan hal ini tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Karena harta waris yang dimaksud dalam ilmu kewarisan adalah harta milik
penuh dari pemiliknya, sedangkan harta pusako tinggi adalah harta milik bersama
yang tidak bisa dibagi-bagi.
Kata Kunci : Hukum Islam, Hukum Adat, Pusako Tinggi
Dosen Pembimbing : Sri Hidayati, M. Ag
ix
KATA PENGANTAR
Pujisyukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena berkat dan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah kezaman ilmiah seperti
sekarang ini.
Kedua orang tuatercinta Ayah handa Agus H. Mahadin dan Ibunda
Nurlaela H.M. Ali Jamaludin, atas pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan
berjuang sampai titik ini dan tak pernah lupa untuk mendoakan, memberikan
arahan serta dukungan kepada penulis.
Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulis Skripsi ini, baik
berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis
tidak akan menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara
khusus akan menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc.M.A. Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan bapak Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. sebagai dosen pembimbing skripsipenulis.
4. Ibu Dr. AfidahWahyuni. M.Ag, Dosen Penasehat AkademikPenulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan Ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif HidayatullahJakarta.
6. Kepada teman-teman seperjuangan PMH 2015 yang telah member
pengalaman yang berharga selama perkuliahan dan juga saudara/saudari
Bima Dompu yang selalu memberi dukungan kepadapenulis.
7. Sahabat penulis (Elvita Hasanah, Hakimah, Raodatul Aini, Nur Afnah,
x
Rini, Wilda, Fitri, Een, Nadia dan Mirna), dan juga sahabat serantuan dan
seperjuangan (Sirajudin, Abang Rijal, Kaka Eka, Abang Agus, Abang
Firman, Abang Adit, AbangSarjan,Nurrabiatul,danAnita)yangselalumen-
supportpenulisdan menjadi teman baik bagi penulis, yang mengajarkan
kehidupan bukan lewat teori namun lewat tingkah laku diri.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi
berkah dan amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga Skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis serta pembaca pada umumnya.Aamiin
Jakarta, 11 Agustus 2021 M
Muharram 1443 H
SRI WAHYUNI
NIM: 11150430000115
xi
DAFTAR ISI
LEMBARAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. i
LEMBARAN PENGESAHAN PANITIAUJIAN SKRIPSI ........................... ii
LEMBARAN PERNYATAAN ....................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................iv
ABSTRAK .................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR..................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 10
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 11
D. Rumusan Masalah ..................................................................... 11
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................ 11
F. Literatur Review ........................................................................ 12
G. Metode Penelitian ...................................................................... 13
H. Sistematika Pembahasan ........................................................... 15
BAB II : SEKILAS TENTANG ADAT MINANGKABAU
A. Sistem Kekerabatan Minangkabau .......................................... 17
B. Ruang Lingkup Kekerabatan Matrilineal ................................ 18
C. Kedudukan Perempuan dan Mamak di Minang ...................... 22
D. Harta pusako di Minangkabau ................................................. 28
E. Waris Adat Minangkabau ......................................................... 37
1. Pengertian Hukum Waris Adat ........................................... 37
2. Asas-asas Waris Adat Minangkabau .................................. 37
3. Ahli Waris ........................................................................... 38
BAB III : POSISI HUKUM ADAT DALAM HUKUM ISLAM
A. Teori hubungan antara adat dengan hukum Islam .................... 40
B. Hukum Adat Sebagai ‘Urf dalam hukum Islam ....................... 42
C. Kehujjahan dan dalil Hukum terhadap Al-‘addah .................... 47
D. Adat Dalam PandanganUshul Fiqh .......................................... 49
xii
E. Hukum Adat Pada Masa Nabi dan Sahabat .............................. 52
BAB 1V : PUTUSAN NOMOR 2306 k/Pdt/2011 DAN ANALISIS
A. Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011 ............................................. 55
1. Kronologis Perkara.............................................................58
2. Eksepsi ................................................................................ 59
3. Tuntutan .............................................................................. 59
4. Putusan ................................................................................ 66
5. Pertimbangn Hakim ............................................................ 66
B. Analisis Menurut Hukum Adat Minangkabau Terhadap
Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011............................................68
C. Analisis menurut Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor
2306K/Pdt/2011.......................................................................70
D. Analisis Penulis ........................................................................ 73
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 76
B. Saran ......................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki julukan negara seribu
pulau, sehingga Indonesia memiliki beragam budaya dengan kekayaan
masing-masing disetiap wilayahnya. Oleh karena itu dengan banyaknya
budaya maka adanya hukum yang mengatur masyarakat budaya tersebut,
yang disebut sebagai hukum adat.
Hukum dalam pemikiran masyarakat adat adalah pemahaman
induvidual dan personal terhadap hukum, maka dalam masyarakat hukum
adat adalah jiwanya, karena tidak mungkin masyarakat adat hidup tanpa
adanya hukum1. Hubungan antara hukum dan masyarakat tidak dapat
dipisahkan, karena dimana ada masyarakat disitu ada hukum (ubi
societas ibi ius). Setiap orang mempunyai kepetingan yang diharapkan
untuk dipenuhi, manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai bahaya
yang mengancam kepetingannya, sehingga seringkali menyebabkan
kepentingannya tidak tercapai2.
Di negara kita Republik Indonesia ini, hukum waris yang berlaku
secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam
hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni
hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum
Perdata Eropa (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat
oleh pemerintah colonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Penyelesaian dengan perdamaian/musyawarah sebelum maupun
setelah terjadinya perselisihan, telah menjadikan dasar bagi masyarakat
untuk mewujudkan kedamaian dan keadilan, hal ini dalam praktik di
1 Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, (Surabaya: Laksbang
Justitia, 2011), h. 3
2 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum SebagaiPengantar, (Yokyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2010), h. 1
2
dalam masyarakat bangsa Indonesia telah dilaksanakan sejak dahulu kala
oleh tetua bangsa Indonesia. Sehingga penyelesaian dengan perdamaian
menjadi acuan penyelesaian sebelum maupun terjadi setelah terjadi
perselisihan. Penyelesaian dengan perdamaian di pengadilan di atur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Peraturan Mahkamah
Agung RI, Nomor 1 tahun 2008. Dimana hakim sebelum mengadakan
pemerikasaan wajib mendamaikan pihak-pihak yang bertentangan. Pada
waktu sidang pertama hakim wajib menunjuk mediator untuk
melaksanakan perdamaian dengan cara mediasi yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan tersebut3.
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang
beragama Islam dan diatur Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia,
yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam Pasal 229. Dalam hukum
waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan
kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari
pihak bapak atau ibu. Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar
pewarisan dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang
atau ahli waris untuk menerima warisan yaitu, Pertama Orang yang
mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan
secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau
pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak
termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah, Kedua orang yang
mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan
meninggal dunia, Ketiga orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki
hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian lurus ke bawah
seperti anak, cucu, dan paman.4
Karena itu mengingat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
3 Ummul Khaira, Pelaksanaan Upaya Perdamaian Dalama Perkara Perceraian,
Vol. 18 No.3, September 2018: h.319-334
4 Ahmad, Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, EdisiRevisi(Jakarta: PT
Raja GrafindoPersada), h. 303-307
3
Islam. Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di
Indonesia termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam,
maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti
dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam
dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau
adat-istiadat parental atau bilateral yaitu yang memberikan hak kepada
setiap kerabat dalam jarak tertentu, baik laki-laki maupun perempuan.
Lain halnya dengan budaya yang menganut adat-istiadat sistem
patrilineal sudah barang tertentu yang berhak mendapat harta kewarisan,
terbatas pada kerabat laki-laki, sedangkan pihak perempuan bukan ahli
waris. Kebudayaan Masyarakat Minagkabau adalah bersifat keibuan
(matrilineal), dengan harta dan tanah diwariskan dari ibu kepada anak
perempuan, sementara urusan agama dan politik merupakan urusan kaum
lelaki (walaupun setengah wanita turut memainkan peranan penting
dalam bidang ini).
Masalah hukum kewarisan Islam adalah sebagian dari sekian
masalah serius tentang hukum Islam yang harus diselesaikan. Di bawah
kerancuannya fiqih waris sulit dipahami dan telah menjadi kegelisahan
umat Islam untuk berada dalam satu pandangan Islam dan menganut
hukum waris yang seragam. Kondisi ini telah meyentuh titik rawan, yaitu
problematika perpindahan harta antar generasi. Oleh karena itu, perlu
adanya pembaharuan hukum kewarisan Islam yang bercorak ke-
Indonesiaan. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa
KHI sebagai hukum tertulis yang diberlakukan sebagai pedoman khusus
bagi umat Islam dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum
termasuk mengenai pembaruan hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis akan tetapi
dilestarikan dan juga dipatuhi oleh masyarakat adat disekitarnya.
Masyarakat adat sangat berpegang teguh terhadap hukum adat yang telah
turun temurun dilestarikan. Dengan adanya masyarakat adat inilah yang
selalu membuat hukum adat terus bertahan tetapi tetap dalam cakupan
4
yang telah diturunkan dan telah dijadikan tradisi sejak dahulu. Akan
tetapi berhubungan dengan hal tersebut sering kali terjadi pertentangan
antara hukum adat dengan hukum yang berlaku lainnya seperti
hukumIslam5.
Hukum Islam sudah berkembang sejak dahulu di Indonesia,
dikarenakan agama Islam sudah masuk di Indonesia sejak dahulu dan
pada akhirnya hingga saat ini masyarakat Indonesia mayoritas memeluk
agama Islam. Hukum Islam merupakan seperangkat kaidah-kaidah
hukum yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul
mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani
kewajiban) yang diakui dan diyakini dan mengikat bagi seluruh pemeluk
agama Islam.
Permasalahan yang sering kali terjadi dan tidak jarang berakhir
konflik antara anggota keluarga yaitu permasalahan waris. Warisan
diartikan sebagai suatu hal yang diturunkan kepada seseorang dari
seseorang (pewaris). Pewaris ialah seseorang yang telah meninggal dunia
dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang
masih hidup, sesuai dengan asas ijbari6 maka pewaris itu menjelang
kematiannya tidak berhak menentukan siapa yang akan mendapatkan
harta yang ditinggalkannya itu, karena semuanya telah ditentukan secara
pasti oleh Allah. Kemerdekaannya untuk bertindak atas harta itu terbatas
pada jumlah sepertiga dari hartanya itu7.
Mengenai waris sendiri menjadi suatu hal yang begitu kompleks
jika dihubungkan antara tradisi dari hukum adat dengan hukum Islam.
Hukum waris adat sendiri adalah hukum adat yang memuat garis-garis
5Marco Manarisip, Ekstensi Pidana Adat Dalam Hukum Nasional, Vol. 1 No. 4
Oktober- Desember 2012, h. 24
6Asas Ijbari adalah peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehandak Allah tanpa tergantung
kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya.
7Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, cetakan pertama,
Jakarta, 2004, h. 204
5
ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu
dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris
sehingga sesungguhnya hukum waris adat ini merupakan penerusan harta
kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.
Sistem keturunan sangat berpengaruh besar dalam sistem
pewarisan hukum adat. Secara teoretis sistem keturunan dapat dibedakan
menjadi 3 corak, yaitu:
a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol
pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo,
Alas, Batak Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara,
Irian).
b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis Ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol
pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan
(Minangkabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang
ditarik menurut garis keturunan orang tua, atau menurut garis
dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak
dibedakan didalam pewarisan (Aceh, Sumatra Timur, Riau,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi danlain-lain).
Sementara itu menurut Surah an-Nisaa’ ayat :7 yang artinya:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang menganut
agama Islam.Masyarakat Minangkabau dilingkupi oleh dua kekuatan
secara simultan, yaitu adat dan agama. Kedua kekuatan ini mempunyai
6
tata nilai yang disebut hukum yang menuntut dari masyarakat
Minangkabau itu loyalitas yang tinggi, yaitu patuh kepada agama sebagai
seorang muslim dan patuh kepada adat sebagai masyarakat
Minangkabau. Hal inilah yang merupakan makna dari falsafah hidup
masyarakat Minangkabau, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah8.Bahwa hukum adat yang ada harus tunduk kepada Syariat,
yaitu hukum Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai Kitabullah.
Untuk itu setiap aturan yang ada dalam masyarakat Minangkabau
harus sesuai dengan Syariat Islam, kemudian aturan tersebut
diundangkan melalui hukum Adat. Setiap aturan adat tidak boleh
menyimpang dari syariat Islam, termasuk juga dalam hukum waris.
Selain waris harus mengikuti ketentuan adat, juga harus sejalan dengan
hukum waris dalam syariat Islam yang dalam hal ini adalah Hukum
Waris Islam (Faraidh).
Sepintas ketentuan kewarisan dalam adat Minangkabau tampak
berbeda dengan ketentuan kewarisan dalam Islam, terlebih dalam warisan
harta pusaka tinggi9. Pertama, tentang hakikat kewarisan itu sendiri.
Secara umum kewarisan itu adalah peralihan harta dari yang telah
meninggal kepada ahli waris yang masih hidup. Inilah kewarisan yang
berlaku dalam Islam. Tetapi dalam adat Minangkabau kewarisan harta
pusaka itu bukanlah peralihan kepemilikan harta dan pembagian harta
dari orang yang telah meninggal dunia kepada yang hidup, melainkan
peralihan fungsi dan tanggung jawab pengelolaan, pengurusan dan
8Artinya : Adat bersendi (berdasar) Syariat, Syariat bersendi Kitabullah
9Di Minangkabau secara umum ada dua macam harta, yaitu harta pusaka
tinggi dan harta pusaka rendah.Yang dimaksud dengan harta pusaka tinggi adalah
harta yang dapat dari tembilang besi, dan pusako rendah didapat dari tembilang
emas.Tembilang besi maksudnya adalah harta yang diperoleh secara turun temurun
dari orang-orang terdahulu.Adapun tembilang emas adalah harta yang berasal dari
hasil usaha sendiri. Lihat: Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka
Panjimas: 1984), h.96
7
pengawasan harta dari generasi yang sudah meninggal kepada generasi
yang masih hidup10. Hal ini sesuai dengan pepatah Adat Minangkabau
“Biriek-biriek turun ka samak, dari samak ka halaman. Dari Niniek
turun ka mamak, dari mamak ka kamanakan.”Yang berarti bahwa harta
pusaka dalam ketentuan adat Minangkabau diwariskan ke keturunan
menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Tetapi untuk pewarisan harta
pencaharian tetap dibagi menurut hukum faraidh11.
Kedua, kewarisan adat Minangkabau dalam hal pemilikan harta,
adat Minangkabau menganut asas kolektif atau komunal yang berarti
kepemilikan bersama. Harta pusaka milik kaum secara bersama-sama dan
bukan milik orang secara perorangan. Sedangkan kewarisan Islam
menganut asas individual12, artinya setiap orang berhak memilikinya
secara perorangan tanpa terikat oleh orang lain.
Ketiga, Islam menganut asas kewarisan bilateral, yaitu masing-
masing dari keluarga (ayah dan ibu) atau dari keturunan laki-laki dan
perempuan berhak menerima warisan dengan sebab-sebab yang telah
ditentukan, yaitu kekerabatan, hubungan pernikahan dan wala’, Sedangkan
dalam adat Minangkabau, tidak menganut asas bilateral13, tetapi kewarisan
yang mengenal ahli waris hanya dari keturunan ibu atau keturunan
perempuan saja. Hal ini karena Minangkabau menganut sistem
kekerabatan matrilineal, yaitu keturunan yang diambil dari garis ibu.
Amir Syarifuddin mengutip Pendapat Syekh.H.Abdul Malik
Karim Amrullah (Ayahanda Buya Hamka) yang merupakan murid dari
10Idrus Hakimy, Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam
Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h, 117
11Ibid, h, 117
12Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟an danHadits,
(Penerbit: Tintamas, Jakarta, 1982), h. 16.
13Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan ProspekDoktrin Islam dan
Adat dalam Masyarakat Matrilinela Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Press, 2013),
h. 115
8
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabau. Beliau berpendapat bahwa
pewarisan harta di Minangkabau tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Beliau mengatakan bahwa harta pusaka itu sama keadaannya
dengan harta wakaf atau harta musabalah14 di zaman Umar ibn Khattab.
Pendapat ini juga diikuti diantaranya oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli
(Pendiri Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiah Canduang)15. Pendapat
yang sama dengan alasan yang berbeda juga disampaikan oleh Idrus
Hakimy bahwa Minangkabau tidak mengenal kesatuan antara ayah dan
ibu seperti dalam Islam, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa
Minangkabau melanggar sistem pewarisan Islam16.
Pewarisan harta di Minagkabau memang tidak sesuai dengan
hukum Islam, dan muncul beberapa argumen yang menyatakan bahwa
dalam masalah pewarisan harta pusaka di Minangkabau membelakangi
hukum Islam karena dalam beberapa literature kitab fiqh tidak ditemukan
sistem pewarisan harta secara kolektif dan sistem waris matrilineal
sebagaimana yang dipraktekan oleh masyarakat Minangkabau. Akan tetapi
ketika kita mencoba melihat ketentuan tentang warisan yang terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diundangkan pada tahun 1991
pada Buku II tentang warisan, terdapat beberapa pasal yang boleh
dikatakan cukup menarik. Karena ada beberapa ketentuan yang terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam yang hampir tidak ditemukan dalam
literature kitab-kitab Fiqh klasik seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr.
M. Amin Suma bahwa tidak semua isi Kompilasi Hukum Islam memuat
hukum Islam apa adanya dan karenanya kurang tepat kalau Kompilasi
14Harta musabalah adalah harta kaum, atau harta milik suatu kelompok
masyarakat. Harta musabalah ini awalnya muncul pada zaman Umar Bin Khattab,
yaitu harta milik Suku Khaibar yang berasal dari harta rampasan perang
15Amir Syarifuddin, Hukum Pewarisan Islam dalam Adat Minangkabau,
(Jakarta:Gunung Agung, 1984), h.278
16Idrus,Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian Mustika Adat BasandiSyarak di
Minangkabau, h. 208
9
Hukum Islam itu dinyatakan isinya melulu hukum Islam17. Di antara
ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 171, Pasal 183, Pasal 189, dan
Pasal 211 tentang Kewarisan. Dalam pembagian waris harta pusaka tinggi
Minangkabau tidak sesuai dengan Hukum Islam, di Minangkabu dalam
pembagian warisan pusaka tinggi tidak menggunakan konsep faraaidh,
melainkan menggunakan konsep yang ada dan berlaku dalam masyarakat
adat Minangkabau selama ini, yaitu diwariskan secara kolektif kepada
kemenakan menurut jalur keibuan (matrilineal).
Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana pemaparan di atas,
secara global dan jelas dapat disimpulakan bahwa pembagian harta waris
menurut pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa
“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila
dua orang atau lebih mereka bersama-bersama dengan anak laki-laki,
maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan.”
Namun demikian, sesuai dengaan pasal 201 Kompilasi Hukum
Islam yang menyatakan bahwa “Apabila wasiat melebihi sepertiga dari
harta warisan, sedangkan ahli waris lainnya ada yang tidak
meneyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga
harta warisan.”
Pembagian waris berdasarkan KHUPerdata, dalam hal ini
mengenai besaran ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan,
memiliki bagian sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan sesuai
dengan ketentuan pasal pasal 852 ayat (1) KHUPerdata yang menjelaskan
sebagai berikut:
“Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar lahirkan dari
lain-lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek,
nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selajutnya dalam garis lurus
17Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan
Teks dan Konteks, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 100
10
ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada
perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu.”
Dalam Kompilasi Hukum Islam dan KHUPerdata di atas, secara
global dan jelas dapat disimpulkan bahwa pembagian harta waris harus
dibagi sesuai dengan KHI atau dengan KUHPerdata. Tetapi dalam Putusan
Nomor 2306 K/Pdt/2011 memutuskan pembagian harta waris
menggunakan hukum adat Minangkabau yaitu, menurut garis matrilineal.
Harta tersebut adalah milik Ibu Kamar (alm) pasca Ibu penggugat dan
tergugat meninggal dunia, harta waris tersebut berupa harta waris pusako
Tinggi dan yang mengelola harta waris pusako tersebut adalah tergugat.
Tergugat langsung mengambil alih dalam mengurus harta waris pusako
tanpa musyawarah dengan penggugat.
Dari permasalahan yang telah dijabarkan, dapatlah diambil kesimpulan
bahwa terdapat masalah yang menarik untuk dibahas oleh penulis, maka didalam
skripsi ini penulis ingin meneliti tentang “KETENTUAN HARTA WARIS
PUSAKA TINGGI MINANGKABAU TINJAUAN HUKUM ISLAM
(Analisis Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011)”.
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang sudah disebutkan di atas, maka penelitian ini
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Bagaimana sistem pembagian waris adat Minangkabau?
b. Ada berapa macam waris yang ada dalam tatanan hukum adat
Minangkabau?
c. Apa yang dimaksud dengan waris pusaka dalam hukum adat
Minangkabau?
d. Bagamana sistem pembagian waris menurut hukum Islam?
e. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang pembagian waris
menggunakana hukum adat?
11
C. Pembatasan Masalah
Melihat banyak masalah yang ada, maka perlu ada pembatasan
masalah agar penelitian lebih terarah dan tidak melebar, maka penulis
membatasinya yaitu tentang ketentuan harta waris pusako tinggi adat
minangkabau tinjauan hukum Islam (Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011).
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan-batasan permasalahan di atas maka pokok
permasalahan dalam skripsi ini penulis rumuskan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana Tinjauan Hukum Adat
Minangkabau dan Hukum Islam terhadap Putusan Nomor 2306
K/Pdt/2011 yang menerima Pembagian Harta waris Pusaka Tinggi?
Kemudian masalah pokok di atas dapat dijawab dengan lebih
dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih terperinci sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pertimbangan Hakim tentang Putusan Kewarisan
Pusaka Tinggi Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011?
2. Bagaimana Pandangan Hukum Adat dan Hukum Islam
terhadap pembagian harta waris Pusaka Tinggi?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Skripsi ini bertujuan untuk:
a. Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya sistem pewarisan
harta pusaka di Minagkabau.
b. Untuk mengetahui sistem pewarisan harta dalam Islam atau
dalam buku II Kompilasi Hukum Islam.
c. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Adat dan Hukum Islam
tentang kewarisan.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah:
12
a. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah keilmuan
tentang kewarisan adat Minangkabau.
b. Sebagai tambahan bacaan bagi kalangan yang berminat
membahas tentang pembagian harta waris adat Minangkabau.
F. Literatur Review
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis
dan dibahas oleh penulis lainnya, penulis me-review beberapa skripsi
dan karya tulis terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan
pembahasan yang penulis angkat. Dalam hal ini penulis menemukan
beberapa skripsi dan karya tulis terdahulu, yaitu:
1. Skripsi yang berjudul Pergeseran Waris Adat Minagkabau ( Jual
beli Harta Pusako di Kecematan Banuhapu kabupaten Agam
Sumatra Barat) yang ditulis oleh Muhammad Hafizz.18 Dalam
skripsi ini menjelaskan tentang pergeseran harta pusaka tinggi di
Kacamatan Banuhampu. Dimana dalam hukum adat Minangkabau
harta pusaka tinggi tidak boleh dibagi, dijual, dan digadai.
Sedangkan di daerah Banuhampu tersebut sudah ada beberapa
keluarga yang menjual harta pusaka tinggi mereka, hal ini
dikarenakan beberapa faktor.
2. Tesis yang berjudul Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta
Pencariandalam lingkungan Adat Minangkabau di Kecematan
Lubuk Kilangan Kota Padang yang ditulis oleh Ria Agustar,SH.
Dalam tesis ini RiaAgustar menjelaskan tentang pelaksanaan
pembagian warisan atas harta pencarian di daerah Kecamatan Lubuk
Kilangan, yang mana masyarakat di sana sudah banyak yang tidak
paham lagi dengan pembagian harta pencarian yang di dalam adat
Minangkabau disebut sebagai “pusako rendah” dan pembagiannya
18Muhammad Hafizz, Pergeseran Hukum Waris Adat Minangkabau (Jual
beli Beli Harta Pusako Tinggi di Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera
Barat), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2013
13
harus berdasarkan ilmu faraaidh (ilmu waris Islam).
Kedua karya penelitian tersebut berbeda yang akan penulis
teliti, karena disini penulis menganalis putusan dalam perkara
pembagian harta Pusako Tinggi di Minangkabau, dari sudut
pandang Hukum Adatnya maupun Hukum Islam yang sudah
berlaku.
G. Medote Penelitian
Guna mendapatkan data dan pengolahan data yang diperlukan
dalam kerangka penyusunan penulisan penelitian ini, penyusun
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu
pedoman penelitian yang disebut metode penelitian, yang dimaksud
dengan metode penelitian adalah cara meluluskan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.
2. Jenis Penelitian
Metode penelitian dibagi menjadi dua, yaitu penelitian
kuantitatif dan kualitatif.19 Penelitian kualitatif berarti tidak
membutuhkan populasi dan sample, penelitian kuantitatif berarti
menggunakan populasi dan sample dalam mengumpulkan
data.20Dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode yang
bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan Yuridis Normatif
(penelitian hukum normatif) yaitu peneletian hukum yang dilakukan
dengan penelitian bahan pustaka.21Dengan objek penelitian ialah
19Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT Rineka
Cipta, 1999) Cet, 1, h. 56
20Zainuddin Alli, Metode Penelitian Hukum (Jakarta :SinarGrafika, 2009), h. 98
21Fahmi Muhammad Ahmadi, dkk, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, h.38
14
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Buku II Tentang Kewarisan dan sebuah Putusan
Hakim Di Mahkama Agung Nomor: 2306 K/Pdt/2011.
3. Sumber Bahan Hukum
Adapun dalam penelitian hukum ini sumber data yang penulis
gunakan adalah sumber data primer dan sekunder yang mencakup:
a. Data primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang yang berhubungan erat
dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini yang
menjadi bahan hukum primernya adalah putusan pengadilan MA
nomor 2306 K/Pdt/2011, undang-undang perkawinan, buku hukum
waris adat minangkabau dan KHI dan juga literature yang
berkaitan dengan hukum waris minangkabau.
b. Data sekunder
Yaitu sumber data yang mendukung dan menjelaskan data-
data primer. Data sekunder ini berupa tulisan lepas di media cetak
dan blog pribadi, rekaman ceramah dan beberapa sumber lainnya.
c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Studi Dokumentasi/Pustaka Library Research, dan
Putusan Mahkama Agung Nomor 2306 K/Pdt/2011. Bahan ini
dipergunakan untuk melengkapi data yang penulis perlukan, yaitu
dengan cara melihat buku-buku dan undang-undang yang terkait
dengan pokok masalah yang akan diteliti.
d. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah studi dokumentasi, yaitu proses pengolahan
data yang dilakukan melalui penggunaan bahan-bahan dokumen
yang diperlukan, dalam hal ini adalah Putusan No.2306K/Pdt/2011,
15
UU Nomor 1 Tahun 1974 (tentang pernikahan) dan KHI, sebagai
rujukan utama dan buku-buku atau literature serta data-data yang
lain.
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah semua data terkumpul, dalam penulisan data yang
diperoleh baik data primer maupun data sekunder maka data
tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan
menggunakan pendekatan Undang-Undang dan Pendekatan Kasus
serta menafsirkan teori sekaligus menjawab permasalahan dalam
penulisan ini.
f. Teknik Penulisan
Dalam hal teknik penulisan, penulisan mengacu pada “Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta Tahun 2017.”
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi
ini adalah di tulis secara bab perbab, dimana antara bab yang satu dengan
bab yang lainnya memeiliki keterkaitan, sistematika penulisan yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
BAB I, merupakan bab Pendahuluan dalam membuka skripsi ini,
dengan uraian bahasa meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II, pada bab ini membahas Sekilas tentang Adat
Minangkabau yang terdiri dari : Sistem Kekerabatan Minangkabau, Ruang
Lingkup Kekerabatan Matrilineal, kedudukan Perempuan dan Mamak di
Minangkabau, Harta Pusako di Minangkabau dan, Waris adat
Minangkabau.
16
BAB III, dalam bab ini juga menguraikan hal-hal yang bersifat
teoritis tentang; teori hubungan antara adat dengan hukum Islam, hukum
adat sebagai ‘Urf dalam hukum Islam, kehujjhan dan dalil hukum terhadap
Al-‘addah atau Al-‘Urf, dan adat dalam pandangan Ushul Fiqh
BAB IV, penulis melakukan analisis putusan Mahkamah Agung
nomor: 2306 K/Pdt/2011 mendeskripsikan putusan MA dengan
menjelaskan kronologis dan pertimbangan hakim dalam persamaan dan
perbedaan antara hukum adat dan hukum Islam. Bab ini merupakan bab
inti dari uraian skripsi dan disini dikemukakan berbagai sudut pandang
berkaitan dengan hal ini.
BAB V, berisi kesimpulan untuk menjawab pokok permasalahan,
setelah kesimpulan dikemukakan pula saran.
17
BAB II
SEKILAS TENTANG ADAT MINANGKABAU
A. Sistem Kekerabatan Minangkabau
1. Pengertian Sistem Kekerabatan
Sebutan Minangkabau merujuk kepada wilayah dan masyarakat
yang biasa disebut dengan: orang Minangkabau (disingkat: orang
Minang), kebudayaan orang Minangkabau. Orang Minangkabau biasa
dikenal sebagai suatu masyarakat matrilineal (maternal berarti ibu,
lineal yang berarti garis), yaitu masyarakat yang membangun sistem
sosial berdasarkan ikatan kekerabatan , keturunan, dan warisan
menurut garis ibu. Seorang ibu akan mewarisi dan mengelompokkan
keturunannya menurut suku yang dimilikinya. Sistem Matrilineal
adalah garis keturunan orang Minangkabau dihitung menurut garis ibu
sehingga suku anak menurut garis ibunya22.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan
merupakan hal yang penting untuk meneruskan garis keturunan (clan)
baik garis keturunan lurus atau menyamping. Seperti di masyarakat
Minangkabau di kenal dengan sistem kekerabatan Matrilineal. Anak
menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan
perempuan). Sistem kekerabatan ini, keturunan menurut garis ibu
dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan
kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap di antara para
warganya yang seketurunan meneurut garis ibu, hal mana yang
menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam warisan) yang
lebih banyak dan lebih penting dari pada keturunan menurut garis
bapak23.
22Laporan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang, Kedudukan dan Peran
BundoKandungdalamSistem Kekerabatan Matrilineal, Di Luhak dan Rantau
Minangkabau, 2015. h. 25
23Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Depok: Rajawali Pers, 2007), h. 79-81
18
Febri Yulika mengutip pendapat Murdoch selain sistem
Matrilineal, sistem kekeluargaan masyarakat dapat diklasifikasikan
juga atas system Patrilineal dan system Bilateral. Sistem Patrilineal
adalah sistem kekeluargaan yang memperhitungkan hubungan
kekeluargaan melalui garis keturuna pria (ayah), sedangkan system
Bilateraladalah sistem kekeluargaan dimana hubungan kekeluargaan
seseorang diperhitungkan baik melalui garis keturunan ayah maupun
ibu24.
2. Garis kekerabatan dan kelompok-kelompok masyarakat
Garis keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat menjadi
inti dari sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau ini adalah
paruik.Setelah Islam masuk ke Minangkabau, hal itu disebut
kaum.Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan dari paruik
adalah jurai.Interaksi sosial yang terjadi antar orang, atau seseorang
dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah
kaum.Dahulu, mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah
gadang.Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang.
Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini bukan hanya
didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga diluar faktor tersebut25.
B. Ruang Lingkup Kekerabatan Matrilineal
Kekerabatan matrilineal adalah garis keturunan yang didasarkan
kepada perempuan (ibu lurus ke atas, anak perempuan lurus ke bawah).
Tidak ketehui secara pasti siapa yang pertama yang membawa sistem ini
ke Minangkabau. Kekerabatan Matrilineal di Minangkabau diikat dengan
satu kesukuan yang ditarik dari satu garis keturunan perempuan. Bagi
24Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau MaknaPengetahuandalamFilsafat
Adat Minangkabau, (Padang Panjang: Institut Seni Indonesia Padang Panjang, 2017), h. 7
25Misnal Munir, Sistem Kekerabatan Dalam KebudayaanMinagkabau
:Perspektif Aliran Filsafat Struktur alisme Jean Claude Levi-Strauss. (JurnalFilsafat).
Vol, No 1, Febuari 2015.h. 15
19
yang keturunan seperti ini disebut satu suku (se-suku). Karena ia diambil
dari garis ibu, maka ia bernama matrilineal (matri=keibuan,
lineal=garis)26.
Dalam kekerabatan matrilineal terdiri dari:
1. Kedudukan anak
Dalam susunan kekerabatan matrilineal dimana sistem pertalian
kewarisan lebih dititik beratkan menurut garis keturunan wanita, maka
lebih diutamakan adalah kedudukan anak wanita dari pada anak
pria.Anak-anak wanita adalah penerus keturunan ibunya yang ditarik
dari satu ibu asal, sedangkan anak pria seolah-olah hanya berfungsi
sebagai pemberi bibit keturunan27.
2. Pertalian darah
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa semua anak pria
dan wanita dalam susunan kekerabatan Matrilineal adalah anak-anak
dalam kekerabatan ibu, jadi semua anak termasuk dala satu kesatuan
“rumah gadang”, “paruik”, (perut), “payung” dan “suku” dari pihak
ibunya bukan dari pihak bapaknya. Dengan demikian maka hubungan
hukum antara anak dan ayahnya di Minang lemah atau kurang, oleh
karena ayahnya tidak se-suku dengan ibunya28.
Maka dari itu, sebenarnya ayahnya tidak bertanggung jawab
atas kehidupan anaknya, karena yang bertanggung jawab adalah ibu
dan mamaknya, sedangkan ayah bertanggung jawab atas
kemanakannya, anak-anak dari saudara wanitanya. Karena waris
pusaka bukan ayah ke anaknya tetapi dari mamak kepada kemanakan.
26Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan
Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Depok: PT Raja GrafindoPersada,
2017), h.115
27Rosdalina, Hukum Adat, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 9
28Ibid
20
3. Pertalian perkawinan
Kedudukan anak terhadap orang tua dan kerabat di lingkungan
kekerabatan Matrilineal juga ditentukan oleh bentuk perkawinan orang
tuanya, Apabila ibu si anak melakukan perkawinan menetap atau
masuk dalam kekerabatan suami, anak kedudukan si anak mengikuti
kedudukan ayahnya. Tetapi apabila ibu kawin dengan ayahnya dalam
bentuk perkawinan semanda, maka anak tetap termasuk dalam
kekerabatan ibunya, tidak menjadi persoalan apakah ayahnya menetap
di pihak ibu atau tidak29.
Masyarakat Minangkabau mengenal filsafah adat yang
berdasarkan kenyataan hidup dan berlaku dalam alam.Bila diteliti
bunyi pepatah adat, baik dari segi sampiran maupun isinya, terlihat
jelas bahwa kata yang lazim dipergunakan adalah kata benda atau kata
sifat yang terdapat dalam alam sekitar. Yang di ibaratkan untuk
kehidupan manusia dan untuk menjadi pedoman bagi tingkah laku
manusia itu. Masyarakat minangkabau memiliki empat tingkatan adat,
yaitu30:
a. Adat yang sebenarnya adat (adat nan sabana adat)
Yang dimaksud dengan adat yang sebenarnya adat itu
adalah kenyataan yang berlaku dalam alam yang merupakan
kodarat ilahi atau sesuatu yang telah dan terus berjalan sepanjang
masa, seperti adat api membakar, adat ayam berkoko, adat laut
berombak. Kalau diperhatikan hubungan antara sifat dengan yang
diberi sifat dalam setiap contoh yang disebutkan, terlihat adanya
bentuk kelaziman hubungan. Walaupun demikian masih
29Rosdalina, Hukum Adat.., h. 11
30 Nasrun, Dasar Filasafat Adat Minangkabau, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971),
h. 15
21
dipergunakan kata adat yang umumnya berarti kebiasaan dalam
setiap hubungan tersebut31.
b. Adat yang diadatkan
Adat yang diadatkan yaitu sesuatu yang dirancang
dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang pertama
menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan
masyarakat dalam segala bidang. Orang minangkabau mengetahui
secara turun temurun bahwa penerus dari adat yang diadatkan itu
adalah dua orang tokoh adat yaitu Datuk Ketumanggungan dan
Datuk Perpatih nan Sabatang, sebagaimana yang terdapat dalam
tambo dan buku-buku adat.
Kedua tokoh tersebut merumuskan adat atas dasar
pengalaman kehidupan dan kemampuannya dalam belajar dari
kenyataan. Yang dijadilan pedoman dasar dari perumusan adat itu
adalah kenyataan yang hidup dalam alam yang disebut adat yang
sebenarnya adat. Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi
kehidupan, terutama segi kehidupan sosial, budaya dan hukum32.
c. Adat yang teradat
Adat yang teradat yaitu kebiasaan setempat yang dapat
bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut
kepentingan. Kebiasaan yang menjadi peraturan ini mulanya
dirumuskan oleh ninik mamak pemangku adat dalam suatu negeri
untuk mewujudkan aturan pokok yang disebut adat yang diadatkan,
yang pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi
setempat. Oleh karena itu, adat yang teradat ini dapat berbeda
31Soejono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: Bharata, 1977), h.
214
32Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, Mustika Adat Basandi Syara’, (Bandung: CV.
Rosda, 1978), h. 136
22
antara satu negeri dengan negeri lain menurtu keadaan, waktu dan
kebutuhan anggotanya. Bila diperbandingkan antara adat yang
teradat dengan adat yang diadatkan, terlihat bedanya dari segi
keumuman berlakunya33.
Adat yang diadatkan bersifat umum pemakaiannya pada
seluruh negeri yang terlingkup dalam suatu lingkaran adat yang
dalam hal ini adalah seluruh lingkungan Minangkabau.Walaupun
kemudian mungkin mengalami perunahan, namun perumahan itu
berlaku merata diseluruh negeri.
d. Adat Istiadat
Adat istiadat adalah kebiasaan yang sudah berlaku dalam
suatu tempat yang berhubungan dengah tingkah laku dan
kesenangan.Kebiasaan ini di biasakan oleh mamak dan ninik
pemangku adat sebagai wadah penampung kesukaan orang banyak
yang tidak bertentangan dengan adat yang diadatkan serta tidak
bertentangan dengan akhlak yang mulia.
Merupakan adat atau aturan dalam pelaksanaan silaturahmi,
berkomunikasi dan berintegrasi dan bersosialisasi dengan
masyarakat dalam suatu daerah, yang dimaksud adalah perkawinan
dll.
C. Kedudukan Perempuan dan Mamak di Minangkabau
Dalam masyarakat Minangkabau yang merujuk pada adat,
perempuan adalah institusi. Ada dua istilah untuk wanita yaitu perempuan
(Perempuan) dan Bundo Kanduang. Kedua hal tersebut memiliki
perbedaan, menurut Anik Juwariyah dan Prima Vidya Asteria yang
mengutip pendapat Hakimy Dt. Rajo Penghulu (1991) mengklasifikasikan
33 Datuk Maruhun Batuah, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, (Jakarta:
Pusaka Asli, 1990), h. 12
23
perempuan ke dalam tiga kategori yaitu perempuan, parampuan
simarewan, dan parampuan mampang tali awan34.
Perempuan (parampuan) berasal dari kata empu yang artinya yang
pertama dan utama.Di Minangkabau perempuan adalah wanita sejati dan
wanita pilihan yang disebut Bundo Kanduang.Simarewan istilah yang
mengaju kepada perempuan yang kurang mempunyai pendirian dan
kurang bijaksana.Mampang Tali Awan adalah perempuan yang tinggi hati
yang sering tidak punya rasa hormat, tenggang rasa, selalu ingin dihormati
kedudukannya, perempuan yang mempunyai sifat seperti ini tidak bisa
dianggap sebagai Budo Kanduang35.
Bunda Kanduang merupakan figur seorang pemimpin yang tampil
spontan di antara perempuan-perempuan yang ada. Penampilannya adalah
berkat charisma dan kemampuan memimpin dan pengetahuan yang
memadai. Dengan dilengkapi kejujuran dan perilaku yang baik
penampilannya diakui dan diterima oleh masyarakat dan Ninik Mamak.
Seperti pepatah-pepitih di atas yang menunjukan kedudukan wanita
menurut adat adalah sebagai pemimpin dalam kaum dan Bundo Kanduang
dalam kampung36.
Limpapeh Rumah Nan Gadang, perempuan Minang atau bundo
kanduang diibaratkan sebagai tiang utama bangunan rumah gadang yang
letaknya di tengah rumah yang akan terlihat pertama sekali ketika orang
akan naik ke rumah padang. Pengibarataan Bundo Kanduang sebagai
limpapeh, karena ia jadi orang pertama dan utama kelihatan oleh ambruk,
maka tiang yang lainnya akan berantakan. Maksud dari limpapeh di
Minangkabau yaitu seorang bundo kanduang yang telah meningkat
menjadi seorang ibu. Jadi, ibu sebagai limpapehrumah gadang adalah
34Anik Juwariyah dan Vidya Asteria, Prima,KonstelasiKebudayaan Indonesia,
Cet. 1(Surabaya: Bintang, 2015), h. 67
35Ibid
36 Ibid
24
tempat meniru, teladan.Tugas seorang ibu yaitu membimbing dan
mendidik anak yang dilahirkan dan semua anggota keluarga lainya.
Secara eksplisit dinyatakan bahwa masyarakat Matrilineal
menempatkan perempuan di posisi yang lebih kuat dibandingkan laki-laki.
Kedekatan hubungan anak lebih dekat dengan keluarga ibu. Konstruksi
masyarakat adat yang memberikan kedudukan dan peran yang kuat pada
perempuan disebut matriakhat. Sedangkan masyarakat matrilineal
merupakan masyarakat yang memberikan hak dan akses atas hak milik
pada perempuan. Namun, masyarakat yang Matrilineal belum menerapkan
matriarkhi37.
Dasar pewarisan dalam adat Minangkabau dalam hal ahli waris
dinyatakan dalam pepatah adat yang menyatakan:
Birik-birik turun ke semah
Tibah disemah berilah makan
Harta ninik turun ke mamak
Darai mamak turun kemenakan.
Berdasarkan pepatah tersebut, yang merupakan hukum adat di
Minangkabau, berarti harta ninik turun ke mamak dan mamak turun ke
kemenakan, yang artinya harta warisan yang merupakan harta pusaka
turun golongan perempuan (ninik, mamak dan kemenakan), dan arti dari
ninik, mamak, dan kemenakana itu tidak dipahami sebagai seorang-
perorang tetapi dipahami sebagai kelompok atau genarasi penerus.
Sedangkan harta warisan yang bukan harta pusaka, tetapi harta
suarang tidaklah demikian, karena harta suarang adalah harta bersama
suami istri, karena harta tersebut adalah harta yang di dapat oleh suami
istri atau harta pencarian selama pernikahan. Dengan demikian harta
tersebut bisa di dapat oleh anak perempuan maupun anak laki-lakinya
karena mereka adalah ahli waris.
37Zakiya Darojat, Kedudukan dan Peran Perempuan dalamPerspektif Islam dan
Adat Minangkabau, Indonesia Journal Of Multidisciplinary Islamic Studies, Vol.3, No.1,
januari 2019, h. 71
25
Berikut ini dijelaskan pengertian mamak, kemenakan dan
kewenangan mamak yaitu sebagai berikut:
1. Pengertian Mamak
Mamak adalah saudara laki-laki dari pihak ibu atau seorang
yang ada hubungannya dengan ibu, umpamanya saudara laki-laki adik
atau kakaknya, atau yang sama fungsinya dengan itu. Alur dan patut
berdiri sendiri yang berarti bahwa kemenakan tunduk kepada
mamaknya. Selajunjutnya, mamak akan tunduk kepada ninik mamak
(penguhulu), sedangkan penghulu tunduk kepada keputusan
musyawarah38. Mamak mempunyai kedudukan yang sejajar dengan
ibu karena beliau saudara kandung. Adat Minangkabau memberikan
kedudukan dan sekaligus kewajiban yang lebih berat kepada mamak
dari pada kepada ibu39.
Hukum adat Minangkabau menganut sistem Matrilineal
(sistem keibuan), yaitu garis keturunan yang disandarkan kepada
perempuan (ibu lurus keatas, anak perempuan lurus ke bawah)40.
Apabila ibu mempunyai saudara laki-laki lebih dari satu orang, maka
yang akan bertanggung jawab terhadap keberadaan keluarga
matrilineal dan menjaga serta menambah harta pusaka. Apabila ibu
mempunyai saudara laki-laki lebih dari satu orang, maka yang akan
bertanggung jawab adalah yang tertua dibantu oleh yang muda.
Apabila ibu tidak mempunyai saudara laki-laki namun
mempunyaianak-anak laki-laki, maka yang akan berfungsi sebagai
38Ninawati Syahrul, Peran dan Tanggung Jawab Mamak Dalam Keluarga:
Tinjauan Terhadap Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis. Vol. 10 nomor 1 Jakarta
Timur 2017, h. 37
39Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan orang Minang, (Jakarta: PT.
Mutiara Sumber Widya, 2006), h. 181
40Yaswirman, Hukum KeluargaKarakteristik dan ProspekDoktrin Islam dan
Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau.(Jakarta: PT Raja GrafindoPersada,
2013), h. 115
26
mamak adalah anak laki-laki tersebut41.
2. Kemenakan
Arti kemenakan dalam adat Minangkabau yaitu laki-laki atau
perempuan dari pihak ibu yang di pertanggungjawabkan oleh
mamaknya.
Kemenakan terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu :
a. Kemenakan bertali darah, yaitu kemenakan kandung yaitu anak-
anak dari saudara-saudara perempuan mamak.
b. Kemenakan bertali sutera, yaitu kemenakan jurai yang lain tapi
masih berhubungan darah dengan jurai mamak.
c. Kemenakan bertali emas, yaitu kemenakan di bawah lutut, orang
yang bekerja pada kita dengan diberi mas (uang) dan dengan
persetujuannya dijadikan kemenakan.
d. Kemenakan bertali budi, yaitu orang-orang yang hidup,
mencengkam terbang menumpu terjadi dari orang-orang yang
pindah dari tempat asalnya ke tempat baru dan di tempat yang baru
mencari mamak baru42.
Sistem masyarakat Minangkabau sampai sekarang, bahkan
selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem
adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu atau
ninik mamak, dalam kaitan bermamak sangatlah penting.
Peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan faktor
penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem
matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak. Sistem
41Sri Sudaryatmi Sukino, T.H. Sri Kartini, Beberapa Aspek Hukum Adat,
(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponorogo Semarang, 2000), h. 14
42Rangkoto, N.M., Dt Bandaro, Hubungan Mamak DenganKemenakanDahulu
dan Sekarang Serta Pasambahan Adat, (Bukit Tinggi, 1984), h. 7
27
Matrilinal tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum
perempuan saja, tetapi punya hubungan yang sangat kuat dengan
institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klan.
3. Kewenangan Mamak
Dalam adat Minangkabau kewenangan mamak seraca normatif ialah:
a. Mamak berperan dalam mendidik, membimbing dalam pewarisan
peran. Mengawasi pendidikan serta tempat bertanya oleh
kemenakan dalam pendidikan43.
b. Peran mamak dalam harta pusaka adalah memelihara, mengawasi
memanfaatkan harta pusaka. Mempertahankan harta pusaka tetap
ada sesuai dengan fungsi adat. Mamak juga bertanggung jawab
dalam mengembangkan harta pusaka kaumnya agar kesejahteraan
kaumnya dan kemenakan-kemenakannyatetap terjamin44.
c. Peran mamak dalam pernikahan yaitu mencarikan jodoh bagi
kemenakan khususnya kemenakan perempuan, penanggung jawab
atas kesempakatan pernikahan sepenuhnya, mamak juga
bertanggung jawab atas biaya pernikahan kemenakan tapi jika
mamak kekurangan biaya maka harta pusaka yang dimiliki
kaumnya boleh digadaikan untuk keberlangsungan pernikahan
kemenakannya45.
Di dalam adat Minangkabau menganut sistem Matrilineal
atau dari garis keturunan ibu bukan dari garis keturunan ayah.
43 Amir M.S, , Adat Minangkabau Pola dan……(Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2006), h. 183
44Elizabeth E. Graves, ,penerjemah: Novi Andri, Leni Marlina, Nurasni,AsalUsul
Elite Minangkabau Modern, cetke I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2017), h. 14
45Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalamLingkungan
Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), h. 165
28
D. Harta Pusako di Minangkabau
Harta pusako dalam terminology Minangkabau disebut harato jo
pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan wujud secara
materil seperti sawah, ldang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.
Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi secara turun temurun
baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di
Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh
berada yaitu sako dan pusako46.
Berikit ini adalah arti dari sako dan pusako yaitu sebagai berikut:
1. Pengertian Sako
Sako adalah milik kaum secara turun menurun menurut sistem
matrilineal yang tidak terbentuk material, seperti gelar penghulu,
kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat
kepadanya. Sako merupakan hak laki-laki didalam kaumnya. Gelar
demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walaupun dalam
kedaan apapun juga. Pengaturan warisan gelar itu terletak atau terfokus
kepada sistem kelarasan yang dianut atau kaum itu.
Sako sebagai kekayaan tanpa wujud diwariskan secara turun
temurun menurut jalur sebagai berikut:
a. Gelar penghulu diwariskan secara turun-temurun kepada
kemenakan yang laki-laki.
b. Garis keturunan diwariskan secara turun temurun kepada anak
perempuan.
c. Gelar bapak khusus pada daerah rantau Pariaman diwariskan
secara turun temurun kepada anak laki-laki.
46Abidin, H. Masoed bin Zainal Abidin Jabbar, Sistem Kekeluargaan
Matrilineal, Artikel, di akses pada tanggal 17 Januari 2020 jam 12:30
29
d. Hukum adat beserta pepatah petitih serta adat sopan santun dan tata
krama diwariskan kepada semua anak kemenakan dalam negeri,
selingkup Adat Alam Minangkabau47.
2. Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut
sistem matrilineal yang berbentuk material seperti, sawah, ladang,
rumah gadang dan lainnya. pusako di manfaatkan oleh perempuan di
dalam kaumnya. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia
bukan pemilik pusako kaumnya. Dalam pengaturan pewaris pusako,
semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukanya.
Kedudukan harta pusako ini terbagi dalam Pusako tinggi dan Pusako
rendah48.
Macam-macam barang yang dapat diteruskan kepada generasi
berikutnya ditinjau dari beberapa segi yaitu sebagai berikut:
a. Dari Segi Wujud Bendanya
Ada dua bentuk dari segi wujud bendanya harta pusaka ada
dua macam yaitu tanah dan bukan tanah. Yang dimaksud dengan
tanah ialah tanah dengan segala sesuatu yang tumbuh di atasnya,
apa yang tersimpan didalamnya apa-apa yang berada di atasnya.
Yang dimaksud bukan tanah adalah segala sesuatu yang bukan
berwujud tanah. Yang bukan tanah dipisahkan lagi kepada yang
tidak bergerak seperti rumah dan yang dapat bergerak ada yang
menyangkut gelar kebesaran seperti pakaian kebesaran berikut
kerisnya dan ada pula yang sama sekali tidak berhubungan dengan
gelar kebesaran seperti ternak dan kendaraan.
47Edison Piliang dan Hasrun, Dt. Maraja Sungut, TAMBO MINANGKABAU “
Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau”, (Bukti Tinggi: Kristal Multimedia, 2014), h.
262
48 A. A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, (Jakarta: Grafiti Press, 1984), h. 163
30
Tanah menempatkan kedudukan utama dalam harta pusaka,
karena tanah dalam adat Minangkabau merupakan salah satu unsur
dalam organisasi matrilineal Minangkabau. Di samping itu bagi
oranng Minangkabau dianggap sebagai salah satu kriteria yang
menentukan marabat seseorang dalam kehidupan negari. Seseorang
yang mempunyai tanah asal dianggap orang asli dalam negari yang
dianggap lebih berhak atas kebesaran-kebesaran dalam negeri49.
b. Dari Segi Bentuknya
Dari segi bentuknya, dapat dipisahkan pada dua macam
yaitu harta hutan tinggi dan hutan rendah.Yang dimaksud dengan
hutan tinggi adalah segala tanah yang belum diolah dan belum
dijadikan tanah pertanian, dengan arti masih tetap tinggal
sebagaimana yang dianugrahkan Allah. Adapun hutan rendah
adalah segala tanah yang telah digarap dan usahakan menjadi tanah
pertanian atau perumahan. Sedangkan tanah yang pernah
diusahakan tetapi telah ditinggalkan kemabali sampai menjadi
hutan, dikelommpokkan lagi menjadi hutan tinggi.
c. Harta Pusaka dari Segi Asalnya
Dari segi bagaimana caranya harta atau tanah itu berada
ditangan seseorang yang mati atau akan beralih kepada ahli
warisnya yaitu:
1) Secara Dipusakai
Harta yang dipusakai adalah harta yang didapat
seseorang dari angkatan sebelumnya sebagai akibat kematian
angkatan tersebut. Harta pusaka itu dipisahkan pula menjadi
dua macam yaitu pusaka tinggi dan pusaka rendah. Perbedaan
penamaan tinggi dan rendah itu terletak pada waku jadinya
49 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam… (Jakarta: PT
Gunung Agung, 1982),h. 213
31
harta itu50.
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
mengkutip pendapat Hamka “pusaka tinggi ialah pusaka yang
didapat dengan tembilang besi, pusaka rendah didapat dengan
tembilang emas”.Yang dimaksud dengan tembilang besi adalah
harta yang didapat secara tururn temurun dari orang-orang
terdahulu. Tembilang emas adalah hasil jerih payah sendiri.
Selain dari itu ada juga yang menyebutnya dengan “harta
bersama”, artinya harta yang diperoleh selama hidup berumah
tangga. Bukan harta warisan dari orang tua ataupun pemberian
orang lain51.
Adapun pembagian harta pusako adalah:
a) Harta Pusako Tinggi
Harta Pusako Tinggi adalah yang diwarisi secara
turun temurun dari beberapa genarasi menurut garis
keturunan ibu.Harta pusako tinggi juga juga dikatakan
sebagai harta bersalin (harta bersalin) karena persalin
terjadi dari generasi selanjutnya. Penguasaan harta pusako
tinggi berada pada anggota kumpulan perempuan.Hak
kepemilikan, berada ditangan perempuan tertua pada setiap
tingkatan pengelompokan mereka. Hasil-hasil usaha
pertanian atau komerasialisasi dari pusako tinggi disempan
dan keluarkan oleh perempuan tertua tersebut, di berbagai
daerah di Minangkabau disebut dengan Mamak Induk (ibu
yang tertua).
50 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam… (Jakarta: PT
Gunung Agung, 1982), h. 216
51Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, (Jakarta: Maloho Jaya Abadi
Press, 2010), h. 147
32
Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusako
dari mamak ke kemenakan ini dalam adat Minangkabau
disebut juga dengan “Pusako Basalin”. Bagi harta pusako
tinggi berlaku keturunan adat sebagai berikut:
Berbirik-birik tabang ka lansek
Dari lansek ka tunggak tuo
Ka tunggak tuo kayu baterah
Tareh nan dari tapak tuo
Dari ninik turun ka gaek
Dari gaek turun ke uo
Dari uo turun ka mande
Dari mande turun ka puan
Artinya:
Berbirik-birik terbang ke lansek
Dari lansek ke tonggak tua
Tonggak tua kayu berteras
Teras yang tampak tuan
Dari nenek buyut turun ke buyut
Dari buyut turun ke nenek
Dari nenek turun ke ibu
Dari ibu turun ke perempuan52
Ciri-ciri harta pusaka tinggi yaitu: 1) tidak dapat
diketahui secara pasti asal usulnya, 2) dimiliki oleh
masyarakat suku minangkabau secara bersama-sama untuk
kepentingan bersama, 3) tidak dapat berpindah tangan
keluar dari masyarakat suku Minangakabau yang
52Amir M. S, Adat Minangkabau: (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), h.
94
33
memilikinya kecuali bila dilakukan oleh masyarakat
tersebut secara bersama-sama53.
Harta pusako tinggi di suku Minangkabau
menempati posisi yang sangat tinggi. Harta ini pada
awalnya merupakan harta yang menjamin hidup anak dan
kemenakan. Harta pusaka tinggi hanya bisa bertambah dan
tidak bisa berkurang. Namun ada empat keadaan yang
membuat harta pusaka tinggi ini boleh berkurang, yaitu54:
(1) Untuk memperbaiki Rumah Gadang artinya apabila
rumah Gadang perlu diperbaiki tapi tidak memiliki
biaya yang yang cukup, maka boleh menggadaikan
harta pusaka tinggi. Sebab rumah Gadang merupakan
pusat administrasi kekerabatan matrilineal serta
lambing keutuhan organisasi kaum.
(2) Gadih Besar Belum Bersuami artinya untuk
mengawinkan perempuan yang telah cukup dewasa,
tapi belum juga kawin adalah suatu yang kurang dan
sangat memalukan keluarga, untuk menutup malu dan
kekurangan tersebut segala daya dan dana diusahakan
dari harta Pusaka Tinggi55.
(3) Biaya Mayat Terbujur di Tengah Rumah artinya biaya
pengurusan jenazah dan segala sesuatu yang
menyangkut dengan peristiwakematian, maka harta
pusaka tinggi boleh digadaikan apabila benar-benar
tidak ada biaya untuk penyelenggaraan jenazah.
53Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan (Jakarta: Gunung Agung,
1960), hlm. 216
54Muhammad Rajab, Sistem Kekerabatan Minangkabau (center of Minangkabau
tudies, 1969), h. 23
55Idrus Hakimi, Pegangan Penghulu, Bundo Kandung dan Pidato Dua
Pasambahan Adat di Minangkabau, (Bandung: RemajaKarya, 1978), h. 53
34
(4) Pembangkit Batang Terandam artinya untuk
menegakkan penghulu karena penguhulu sebelumnya
telah meninggal dan jabatannya sudah lama
ditangguhkan. Dalam adat Minangkabau acara bertagak
penghulu membutuhkan biaya yang besar. Inilah yang
menjadi syarat mutlak untuk terlaksanya adalah kata
sepakat dengan ahli waris yang bersangkutan dengan
pusaka tersebut.
Bila diperhatikan keseluruhannya menyangkut
kepentingan masyarakat suku Mingakabau, adalah wajar
bila harta yang dipergunakan diambil dari harta pusaka
tinggi yang menjadi milik masyarakat tersebut. Dalam
tahap pertama dengan segala usaha dicoba mengusahakan
sendiri atas kebutuhan masyarakat yang dibutuhkan, bila
tidak memungkinkan, sedangkan kebutuhannya sudah
sangat mendesak maka berlakulah pepatah “Tidak Kayu
Jenjang Dikeping, Tidak Emas Bungkal Diasah” artinya
adat membenarkan harta Pusaka Tinggi itu dikurangi secara
gadai atau dijual dengan tata cara yang dibenarkan oleh
adat suku Minangkabau56.
b) Harta Pusako Rendah
Harta pusaka rendah adalah warisan yang
ditinggalkan oleh seseorang pada generasi pertama, yang
statusnya masih dipandang rendah, karena disamping ahli
warisnya masih sedikit, juga karena cara memperolehnya
yang tidak berasal dari pewarisan kerabatnya secara
kolektif. Mereka dapat melakukan kesepakatan bersama
56Dt. Maruhun Batuah dan Tanameh, D.H. Bagindo, Hukum Adat dan Adat
Minangkabau,(Pusaka Asli Universitas Andala Padang, 1978)., h. 226
35
untuk memanfaatkannya, baik dijual maupun di bagi-bagi
di antara mereka. Menurut pendapat Prof Dr. Yaswirman
yaitu apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan dari harta
pusaka rendah yaitu dengan tidak menjual atau dibagi-bagi,
lalu pada waktu diwariskan kepada generasi berikut secara
terus menerus sehingga sulit menelusurinya, maka ia akan
menjadi harta pusako Tinggi57.
Harta pusaka rendah juga di artikan sebagai harta
yang pusakai seseorang atau kelompok, yang dapat
diketahui secara pasti asal-usul harta itu58.
Harta pusaka rendah dalam buku Amir Syarifuddin,
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau adalah harta yang dipusakai seseorang
atau kelompok yang dapat diketahui secarapasti asal-
usulnya harta itu. Ini dapat terjadi bila harta itu diterimanya
dari satu angkatan di atasnya seperti ayah atau mamaknya,
begitu pula dari dua tingkat diatasnya yang masih dapat
dikenalnya, seperti ninik, baik oleh ayah atau ninik atau
mamak, harta itu didapatnya melalui usahanya sendiri59.
Warisan harta pusaka rendah yang telah diwarisi
selama empat generasi semacam inilah kita sebut dengan
“harta susuk” yaitu harta pusaka rendah yang disisipkan
kedalam harta pusaka tinggi yang suah diterima tururn
temurun.
57Yaswiran, Hukum Keluarga (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 155
58Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Pelaksanaan Hukum Waris di,
(Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), h. 148
59Amir Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT Gububg Agung,
1982) h. 217
36
Harta pusaka rendah yang diterima anak laki-laki
dari orang tuanya boleh saja dihibahkan kepada keluarga
istrinya, tetapi pada umumnya justru dipisahkan kepada
suadaranya yang perempuan untuk menambah harta pusaka
kaumnya60.
c) Harta Pencaharian
Harta pencaharian adalah segala harta benda yang
peroleh dengan usahanya sendiri, atau karena diberi orang
lain61. Harta hasil usaha sendiri itu yang dapat dipisahkan
kepada dua bentuk: Pertama, tembilang besi yaitu tanah
yang didapatkan melalui hasil taruko dari tanah ulayat
kaum, Kedua, tembilang emas yaitu harta atau tanah yang
didapatnya dengan cara membeli ataumemperoleh sesuatu
dari hasil usahanya sendiri. Harta pencaharian ini adalah
harta yang dicari oleh suami istri, diperoleh selama mereka
dalam stastus perkawinan dan disebut Harta Gono Gini62.
d) Secara Hibah
Hibah adalah harta yang dimiliki oleh sesorang atau
beberapa orang sebagai hasil pemberian dari orang lain
bukan disebabkan oleh kematian dari yang punya harta.
Harta ini menjadi hak milik bagi orang yang menerima,
dalam bentuk hak milik penuh, harta hibah tersebut dapat
diwariskan kepada anak cucu63.
60Amir M.S, PewarisanHarato, (Jakaarta Citra Harta Prima, 2011), h. 98
61Dt. SanggoenoDiradjo Ibrahim, Tambo Alam Minangkabau “ Tatanan Adat
Warisan Nenek Moyang Orang Minang”, (Bukti Tinggi: Kristal Multimedia, 2012), h.
224
62Tj. A,Amir Sjarifoedin, Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain
SampaiTuanku Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2011), h. 100
63Amir Syarifuddin, Ibid, h. 218
37
E. Waris Adat Minangkabau
1. Pengertian Hukum Waris Adat
Di dalam bagian hukum adat pengaruhnya terhadap hukum
waris adat dan sebaliknya hukum warispun berdiri sentra dalam
hubungan hukum-hukum adat lainnya, karena hukum waris meliputi
aturan-aturan hukum yang berlainan dengan proses yang terus menerus
dari abad kea bad, ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik
materil maupun inmateril dari suatu angkatan berikutnya64.
Hukum Waris Adat yaitu merupakan perangkat kaidah yang
mengatur tentang cara atau proses tentang pengoperan dan peranan
harta kekayaan baik yang berwujud benda maupun yang tidak
berwujud65.
2. Asas-asas Waris Adat Minangkabau
Masyarakat adat Minangkabau memiliki asas-asas hukum waris
yang bersandar pada sistem kemasyarakatannya dan bentuk
perkawinannya.
Adapun asas-asas Hukum waris Minangkabau tersebut adalah:
a. Asas Unilateral
Artinya, hak mewarisnya di dasarkan hanya pada satu garis
kekeluargaan yaitu garis ibu ( Matrilineal) dan harta warisnya
adalah harta pusako yang diturunkan dari nenek moyang melalui
garis ibu, diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan 66.
b. Asas Kolektif
Asas ini berarti bahwa yang berhak atas harta pusako
bukanlah orang perorangan , tetapi suatu kelompok secara
bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka harta tidak dibagi-bagi
64Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT.
PradayaParamitha, 2002),
h. 39
65Sigit Sapto Nugroho, Hukum Waris Adat Di Indonesia, (Solo: Pustaka Iltizam,
2016), h. 20
66Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Di Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 231
38
dan disampaikan kepada kelompok penerimanya dalam bentuk
kesatuan yang tidak terbagi.
c. Asas Keutamaan
Asas keutamaan atau garis pokok keutamaan ialah suatu
garis yang menentukan lapisan keutamaan antara golongan-
golongan dalam keluarga si pewaris, artinya bahwa aka nada
golongan yang satu lebih di utamakan dari golongan yang lainnya.
Akibatnya adalah sesuatu golongan belum boleh dimasukkan
dalam perhitungan jika masih ada golongan yang lebih utama67.
3. Ahli Waris
Ahli Waris ialah orang-orang yang berhak meneruskan peranan
dalam pengurusan harta pusako, berdasarkan pada asas kolektif dalam
pemilikan dan pengolahan harta serta hubungan seorang pribadi
dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hakpakai. Menurut adat
Minangkabau pemegang harta secara praktis adalah perempuan karena
ditangannya terpusat kekerabatan Matrilineal68.
Di dalam adat Minangkabau pemegang harta pusaka adalah
perempuan karena di tangannya terpusat kerabat Matrilineal, namun
bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh perempuan tersebut
ternyata pada umumnya kekuasaanya itu mempunyai hubungan yang
rapat dengan peranannya dalam kelangsungan keturunan dan tidak
akan menempatkannya pada pusat kekuasaan jadi sesungguhnya
kedudukan wanita yang dominan di dalam rumah tangga sama sekali
tidak memojokkan kaum laki-laki69.
67Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas,1976), h. 20
68DH. Bagindo Tanameh, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Pusaka Asli
(Jakarta: 1990), h.48
69Yakub, B. Nurdin, Hukum Kekerabatn Minangkabau, (bukit Tinggi: Pustaka
Indonesia, 1995), h. 51
39
Ahli waris atas harta pencarian seseorang yang tidak
mempunyai anak dan istri adalah ibunya.Kalau ibu sudah tidak ada,
maka hak turun kepada saudaranya yang perempuan dan untuk
selajutnya kepada ponakan yang semuanya berada dirumah ibunya.
Sedangkan ahli waris pencarian seorang perempuan ialah kaumnya
yang dalam hal ini tidak berbeda antara yang punya anak dengan yang
tidak mempunyai anak70.
Kemenakan yang akan menjadi ahli waris dibedakan
berdasarkan tingkatan yang ada didalam masyarakat Minangkabau
yaitu waris satampuak, waris sajangka, waris saheto dan waris
sadepo. Yang di maksud dari waris satampuak adalah kemenakan
kandung, yaitu dusanak dari saudara perempuan.Waris sajangka
adalah kemenakan ”dunsanak ibu”, yaitu anak dari saudara perempuan
yang ibunya bersaudara dengan ibunya si pewaris (mamak). Waris
saheto adalah kemenakan “dunsanak nene”, yaitu anak dari saudara
perempuan dari nenek yang sama. Waris sadepo adalah kemenakan
“dunsanak moyang”, yaitu kemenakan dari keturunan yang sama71.
70Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan Subakti
Pusponoto, (Jakarta: Pradya Paramita, 1989), h. 212
71Amir Syarifuddin , h. 236
40
BAB III
POSISI HUKUM ADAT DALAM HUKUM ISLAM
A. Teori hubungan antara adat dengan hukum Islam
Dalam menghadapi adat bangsa arab, hukum Islam menempuh cara-cara
antara lain72:
1. Hukum Islam mengadopsi adat secara utuh, baik dari segi prinsip
maupun dari segi pelaksanaan. Sebagai contoh, pemberian uang
tembusan darah (diat) yang harus dibayar pihak pelaku pembunuh
kepada keluarga yang terbunuh, demikian juga jual beli ariyah, yaitu
menukarkan buah-buahan yang sudah kering (tamar) dengan buah-
buahan yang basah (ruthat) dengan takaran yang berbeda walau
keduanya satu jenis. Artinya adat tersebut pada dasarnya yang berlaku
bukan lagi adat tetapi hukum Islam, walaupunmaterinya diresepsi dari
adat.
2. Hukum Islam mengadopsi adat dari aspek prinsip, tetapi dalam
pelaksanaannya sesuaikan dengan hukum Islam. Misalnya dalam kasus
ila’ dan dzihar yang sudah berlaku dalam adat Arab pra. Dzihar yaitu
ucapan suami kepada istrinya yang mempersamakan istrinya dengan
ibunya. Dalam adat Arab pra-Islam, ucapan dzihar mencegah
hubungan suami istri dan sekaligus perceraian dalam hukum Islam,
ucapan Dzihar juga bermakna pencegahan untuk melakukan hubungan
suami istri, tetapi tidak memutuskan hubungan perkawinan. Suami
dapat kembali menggauli istrinya setelah membayar kaffarat al-dzihar.
Sementara ila’ ialah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya
dalam masa tertentu. Dalam adat Arab pra-Islam, ucapan Ila’ sudah
dapat dianggap sebagai perceraian. Prinsip Ila’ diadopsi oleh hukum
72Abd Rauf, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Hukum Islam” hukumadat, relasi,
hukum Islam, Vol. IX No,1, Juni 2013. h. 29
41
Islam, namun penyelesaiannya dengan normal Islam, yaitu suami
diberi waktu untuk berpikir apakah akan kembali kepada istrinya
dengan membayar kaffarat sumpah atau menceraikannya secara resmi.
Dengan demikian, Islam mengakui keberadaan Ila’ tetapi bukan
sebagai pemutus atau perceraian secara langsung .
3. Hukum Islam me-nasakh atau menyatakan tidak berlaku lagi adat dan
lembaga lama, baik dari segi prinsip maupun dari segi pelaksanaan.
Dalam hal tersebut, hukum Islam berlaku secara utuh menggantikan
pola lama yannng dipratikkan masyarakat. Misalnya, adat Arab pra-
Islam dalam meminum khamar atau berjudi.
Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliyah, yaitu masa
di mana bangsa Arab selalu melakukan peperangan dan bertidak tidak
adil.Kehidupan mereka sedikit banyak, tergantung hasil rampasan
perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka
taklukan.Pada masa jahiliyah, anak laki-laki yang belum dewasa serta
perempuan, tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan
orang yang meninggal dunia.Bahkan mereka beranggapan, janda dari
orang yang meninggal itu dianggap sebagai warisan dan boleh
berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Sementara kaum perempuan tidak masuk dalam kelompok ahli
waris karena fisiknya yang tidak memungkinkan untuk memanggul
senjata dan bergulat di medanlaga serta jiwanya yang sangat lemah
bila melihat darah. Pada masa jahiliyah, pembagian harta warisan
dilakukan dengan berpijak pada dua sistem, yaitu sistem keturunan dan
sistem sebab73.
4. Apabila terdapat perbedaan prinsip antar hukum Islam dengan hukum
adat, maka pelaksanaan hukum Islam menjadi prioritas dan adat dapat
dilaksanakan bila keadaan memungkinkan. Misalnya, perbedaan
73 Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka
Media Perintis, 2012). h. 7
42
prinsip kewarisan unilateral menurut adat arab denga prinsip kewarisan
bilateral menurut hukum Islam.
Dari uraian tersebut bahwa sikap hukum Islam untuk meresepsi
atau menolak adat tergantung pada unsur maslahah dan unsur
mafsadah. Artinya, selama adat tersebut bermanfaat dan tidak
mendatangkan kerusakan, adat tersebut dapat terus diberlakukan. Adat
seperti itulah yang dapat dijadikan dasar penetapan hukum.
B. Hukum Adat Sebagai Urf’ Dalam Hukum Islam
Secara etimologi urf’ berasal dari kata ‘rafah-ya’rifu yang berarti:
sesuatu yang dikenal dan baik, sesuatu yang tertinggi, berurutan,
pengakuan, dan kesabaran. Secara terminology,‘urf adalah keadaan yang
sudah tetap dalam diri manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula
oleh tabiat yang sehat74. Definisi ini menjelaskan bahwa perkataan dan
perbutan yang dilakukan dan belum dibiasakan oleh sekelompok manusia,
tidak dapat disebut sebagai Urf’. Begitu juga hal-hal yang sudah menjadi
kebiasaan, namun ia bersuber dari nafsu dan syahwat, seperti minuman
khamar dan seks bebas, yang sudah menjadi tradisi sekelompok
masyarakat, tidak bisa dikategorikan sebagai urf’. Artinya, urf’ bukanlah
sebua kebiasaan yang menyimpang dari norma dan aturan.
1. Proses terbentuknya al-urf’ atau Adat
Imam Kamaluddin Suratman mengutip perkataan Ahmad
Fahmi Abu Sunnah bahwa‘urfterbentuk setelah melalui empat
tahapan, yaitu: al-mayl (kecenderungan), al-‘mal (aksi), al-taqlil
(pembedakan), al-tiqrar (repetisi). Sebuah adat/ ’urf terbentuk dari
kecendongan sekelompok individu pada suatu aksi ataupun lafal
tertentu karena beberapa faktor. Di antara faktor-faktornya adalah:
pertama, tabiat dan pengaruh stuktur sosial dan lingkungan, baik
74Wahab al-Zuhailiy, Usul al-Fiqh al-Islamiy, Vol. II (Damaskus: Dar al-Fikr,
Cetakan 16, 2008), h. 104
43
bersifat alamiah ataupun dogmatis, seperti dogma keagamaan, doktrin
kepercayaan, mitos, dan sebagainya. Kedua, keinginan, dorongan hati
dan “syahwat” suatu masyarakat atau komunitas tertentu.Ketiga,
adanya momentum atau kesempatan yang tepat dalam satu dekade. Ini
biasanya didorong oleh proses peleburan antara satu budaya dengan
yang lainnya. Setelah salah satu atau ketiganya muncul, kemudian hal
itu diikuti oleh individu-individu lainnya, dan mereka melakukannya
secara berulang-ulang, hingga menjadi sebuah kebiasaan yang diikuti
oleh orang-orang di sekitarnya75.
2. Macam-macam Urf
Secara umum, para ulama ushul fiqh membagi ragam ‘urf dari tiga
perspektif, yaitu76:
a. Dari segi bentuk/sifatnya ‘urf terbagi menjadi dua:
1) ‘Urf lafzhi yakni kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu, sehingga ada makna khusus yang
terlintas dalam pikiran mereka, meskipun sebenarnya dalam
kaidah bahasa ungkapan itu bisa mempunyai arti lain. Beberapa
contok klasik yang akan kita temui dalam banyak literature
Ushul Fiqh untuk urf dalambentuk ini adalah kata walad, yang
arti sebenarnya bisa berupa putra atau putri seperti dalam
firman Allah SWT:
Artinya: Allah mensyariyatkan (mewajibkan) kepadamu
tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, ( yaitu) bagian
seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian seorang anak
perempuan.
Akan tetapikebiasaan orang-orang Arab memahami
kata walad dengan arti kata anak laki-laki. Selain itu kata
75Ahmad Fahmi dan Abu Sunnah, al-urfwa al-adah fi Ra’y al- Fuqaha’, (Kairo:
Lembaga Penerbitan Al-Azhar, 1947), h. 17-21
76Sunan, dkk, “Konsep ‘Urf Penetapan Hukum Islam”, Tsaqafah, peradaban
Islam, Vol. 13, No. 2, November 2017. h.284
44
dabbahyang sebenarnya berarti binatang melata, oleh
penduduk Iraq difahami sebagai keledai. Contoh yang
berkenaan dengan hukum adalah kata thalaq dalam bahasa
arab, yang sebenarnya berarti lepas atau melepaskan, tapi
kemudian di fahami konotasi putusnya ikatan “thalaqtuki”,
maka terjadi talak dipernikahan mereka.
2) ‘Urf‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan atau mu’amalah. Seperti jual beli tanpa ijab dan
qabul, yang itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Atau
garansi dalam membeli sesuatu, seperti garansi jam bahwa jam
itu bagus untuk waktu tertu. Atau jual beli dengan antaran
barang tanpa tambahan biaya. Atau memberikan mahar dalam
pernikhan dalam kalangan masyarakat Arab sebelum datangnya
Islam. Dan lain sebagainnya.
b. Dari segi cakupannya, ataupun keberlakuannya di kalangan
masyarakat maka ‘urf ini dibagi menjadi dua bagian juga yakni ‘urf
yang umum dan yang khusus:
1) ‘Urf yang umum adalah tradisi atau kebiasaan yang berlaku
secara luas di dalam masyarakat dan di seluruh daerah. Akan
tetapi mendapatkan batasan yang jelas tentang batasan dan
cakupan ‘urf yang umum ini. Apakah hanya berlakunya
kebiasaan di kalangan mayoritas masyarakat ‘urf itu bisa
disebut dengan ‘urf amm atau tidak. Ataukah ‘urf yang hanya
berlaku disuatu tempat saja seperti Minangkabau saja bisa
dikatakan ‘urf yang umum atau tidak.
2) Urf yang khusus adalah kebiasaan yang berlaku pada
masyarakat tertentu dan di daerah tertentu atau di kalangan
tertentu. Meskipun para ulama ushul fikih tidak mensyaratkan
zaman tertentu dalam mengkategorikan ‘urf yang khusus ini,
tapi dari beberapa contoh yang sering mereka ajukan terlihat
bahwa waktu juga termasuk kondisi yang bisa membedakan
45
sesuatu apakah ia termasuk dari ‘urf yang umum atau yang
khusus.
c. ‘Urf ditinjau dari sisi kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya
oleh syria’ah) ada dua macam ‘urf, yaitu77:
1) ‘Urf yang fasid yaitu sesuatu yang saling dikenal manusia,
tetapi sesuatu itu bertentangan dengan hukum syara’, atau
menghalalkan yang haram dan akan membatalkan yang wajib,
misalnya: kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung
atau suatu tempa yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat
diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang
diajarkan agma Islam.
2) ‘Urf yang shahih atau al-‘adahashahihah yaitu sesuatu yang
telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan
dengan dalil syara’, juga tidak menghalalkan yang haram dan
tidak juga membatalkan yang wajib, misalnya: mengadakan
tunangan sebelum melangsungkan akad pernikahan. Hal ini
dipandang baik dan telah menjadi kebiasaan di dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
3. Syarat-syarat Al-‘urf
Syarat-syarat ‘urf yang bisa diterima oleh hukukm Islam
yaitu78 sebagai berikut:
a. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al-
Qur’an dan Sunnah.
b. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash
syaria’ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan,
kesempitan, dan kesulitan.
77Abdul Wahab khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam ( IlmuUshhukFikih),
(Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada, 1996), h. 134-135
78A. Djazuli, Ilmu Fiqh :Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 89
46
c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa
dilakukan oleh beberapa orang saja.
Satria Effendi mengkutip Abdul Karim Zaidan meneyebutkan
beberapa persyaratan bagi ‘urf yang bisa dijadikan landasan hukum79 :
a. ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih dalam arti tidak
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Misalnya :‘urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan
tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urfsemacam ini berlaku dan harus
dikerjakan, karena Allah SWT berfirman dalam QS. Ath- Thalaq
ayat 6 yang Artinya:
“ Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuan dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri
yang sudah di talaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah mereka
nafkahnya hingga mereka bersallin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik, dan jika kammu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
b. 'urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi
kebiasaan mayoritas penduudk negeri ini. Oleh karena itu, kalau
hanya merupakan kebiasaan orang-oarang tertentu saja, tidak bisa
dijadikan sebagai sebuah sadaran hukum.
c. ‘urf harus sudah ada ketiga terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘urf itu.
d. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan
dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang
berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang
berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan
‘urf.
79Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta :KencanaPrenada Media Group, 2005), h.
153
47
Suatu ‘urf dapat dijadikan hukum apabila ia memenuhi
beberapa syarat yaitu ‘urftersebut masih tetap berlaku pada saat
hukum yang didasarkan pada ‘urf tersebut ditetapkan, tidak terjadi
kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘urf oleh pihak-pihak
yang terlibat didalamnya.
C. Kehujjahan dan Dalil Hukum Terhadap Al-‘adah/ Al-‘urf
Kehujjahan ‘urf ini menyebutkan bahwa para ulama sepakat
menolak ‘urf yang fasid, dan mereka sepakat menerima ‘urf yang shahih
sebagai hujjah syar’iyah. Hanya saja dari segi intesitas, Mazhab Hanafiyah
dan Malikiyah lebih banyak menggunkan ‘urf dibandingakan dengan
Mazhab lainnya.
Para ulama juga menyepakati bahwa urf fasid harus dijauhkan dari
kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. Jika terdapat keadaan
darurat maka mengamalkan ‘urf fasid dapat di toleransi dan ini hanya
apabila darurat dan sangat dibutuhkan.
Karena perbedaan intesitas itu, ‘urf digolongkan kepada sumber
dalil yang perselisihkan80.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, sebagai berikut :
1. Firman Allah dalam surah Al-A’raf (7) : 199:
ٱلع ذ خ ل ين ه ٱلج ضع ن أ عر و رب ٱلع رف أم و فو
Artinya; Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’aruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh(Q.S Al-
A’raf(7) : 199)
Kata al-‘urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh
mengerjakan, oleh ulama ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik
dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, maka ayat
80 Mardani, Ushul Fikih, (Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada, 2013), h. 237
48
tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan susuatu yang telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat81.
a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 180:
ا ر ــ يــــ خ ك ر ــ إ تــــ وت ــ ٱلمــــ د ك ــ ــــ أ ر ــ ضــــ إ ذ ا ي ــ ع لــــ ب ــ ك تــــ
تق ين قاع ل ىٱلم وف عر ب ٱلم ب ين ٱل قر و ل د ين ل لو ية ص ٱلو
Artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seoranng di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’aruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S Al-Baqarah (2)
: 180)82.
Yang dimaksud mengerjakan yang ma’aruf pada ayat-ayat di atas,
yaitu mengerjakan kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan
norma agama Islam serta dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat
dan kebiasaan manusia yang berlaku. Berdasarkan itu maka ayat tersebut
dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap
baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
1. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 89 berbunyi:
ر ير أ وت حر ت ه سو أ وك ي أ هل و م ات طع م نأ وس ط م ين س م ة ت ه ۥإ طع ام ع ش ر ر ف ف ق ب ة
“Kaffarat (melanggar sumpah) memberikan makan sepuluh orang
miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu
atau member pakaian”.
81 Satria Effendi, M. Zein, UshulFiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 10
82Deperteman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV. Toha Putra
Semarang, 1989), h. 44
49
Kata awsat tidak di nash kan ukurannya dengan ketentuan pasti,
maka ukurannya kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan atau
pakaian yang dimakan atau dipakai keluarga tersebut83.
Golongan Hanafiah menempatkan ‘urf sebagai dalil dan
mendahulukannya atas qiyas, yang disebut istihsan ‘urf. Golongan
Malikiah menerima ‘urf terutama ‘urf penduduk Madinah dan
mendahulukannya dari hadist yang lemah. Demikian pula berlaku
dikalangan ulama syafi’iyyah yang menetapkannya dalam sebuah kaidah:
setiap yang datang padanya syar’ secara mutlak dan tidak ada ukurannya
dalam syara’ secara mutlak dan tidakk ada ukurannya dalam syara’ atau
bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf84.
D. Adat Dalam Pandangan Ushul Fiqh
Istilah adat berasal dari bahasa Arab yang bermaksud amalan
kebiasaan seseorang atau masyarakat keseluruhannya secara khusus.Adat
menurut bahasa berasal dari kata إعد sedangkan akar katanya ىعود-إعد yang
berarti (ترأر pengulangan).Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah
terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat85.
Tetapi yang perlu digaris bawahi bahwa tidak setiap kebiasaan
disebut adat.Suatu kebiasaan bisa dikatakan sebagai adat apabila dilakukan
secara berterusan dan diyakini oleh masyarakat sebagai hukum yang harus
dipatuhi.
Sedangkan arti adat dikalangan ulama fiqih adalah sebagai norma
yang sudah melekat dalam hati akibat pengulang-ulangan sehingga
83A. Dzajuli, Kaidah-kaidah Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), h. 81
84Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta: KencanaPrenda
Media Group, 2012). h. 74-75
85Fatmah Taufik Hidayat dan Izhar Ariff, Mohd Bin Mohd Qasim. 2016. Kaedah
Adat Muhakkamah Dalam Pandangan Islam (SebuahTinjaunSosiologi Hukum),
JurnalSosiologi. Vol 9 Nomor 1, h. 69
50
diterima sebagai realitas yang rasional yang layak menurut penilaian akal
sehat. Sebagai contoh norma yang bersifat individual adalah seperti
kebiasaan tidur, makan munum, dll. Sedangkan norma social adalah
sebentuk kebenaran umum yang diciptakan, disepakati, dan dijalankan
oleh komunitas tertentu, sehingga menjadi semacam keharusan sosil yang
harus ditaati86.
Islam datang dengan seperangkat norma Syara’ yang mengatur
kehidupan muamalah yang harus yang harus dipatuhi umat Islam sbagai
konsekuensi dari keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagian
dari adat lama itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan dengan
hukum syara’ yang dating kemudian. Adat yang bertentangan dengan
sendirinya tidak mungkin dilaksanakan oleh umat Islam secara bersamaan
dengan hukum syara. Pertemuan antara adat dan syariat tersebut terjadilah
perbenturan, penyerapan, dan pembaruan antara keduanya. Dalam hal ini
yang diutamakan adalah proses penyeleksian ‘adat yang di pandang masih
diperlukan untuk dilaksanakan. Adapun yang dijadikan pendoman dalam
menyeleksi ‘adat lama itu adalah kemaslahatan menurut wahyu. Adat
dapat dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu87:
1. Adat yang lama secara substansinya dan dalam hal pelaksanaanya
mengadung unsur kemaslahatan. Maksudnya dalam perbuatan itu
terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudaratnya atau unsur
manfaatnya lebih besar dari unsure mudaratnya.
2. Adat lama yang pada prinsipnya secara substansialnya mengandung
unsur maslahat (tidak mengadung unsure mafsadat atau mudarat),
namun dalam pelaksanaanya tidak dianggap baik oleh Islam.
3. Adat lama yang pada prinsipnya dan pelaksanaanya mengadung unsur
mafsadat (merusak). Maksudnya, yang dikandungnya hanya unsur
86Maioen Zubair, Formulasi Nalar FiqihTelaahKaidahFiqihKonseptual,
(Surabaya: Khalista,2005), h. 274
87Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 393
51
perusak dan tidak memiliki unsur manfaatnya atau ada unsur
manfaatnya tetapi unsur perusaknya lebih besar.
4. Adat atau ‘urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang
banyak karena tidak mengadung unsure mafsadat (perusak) dan tidak
bertentangan dengan dalil syara yang datng kemudian, namun secara
jelasbelum terserap kedalam syara’ baik secara langsung atau tidak
langsung.
Ulama sepakat menerima adat dalam bentuk pertama dan kedua
karena adat tersebut telah menjadi hukum Islam, meskipun berasal
dari adat lama. Adat dalam bentuk pertama dan kedua ini
kelompokkan kepada adat atau ‘urf yang shahih. Adat dalam bentuk
ini dapat berlajut dengan terus dilaksanakan berdampingan denga
hukum syara’ yang ditetapkan kemudian dengan cara mengutamakan
hukum syara’ yang ditetapkan wahyu tanpa mengurangi atau
merugikan pelaksanaannya ditinjau dari ketentuan hukum syara’
tersebut. Umpamanya tentang kententuan ashabah dalam hukum
waris.Ashabah ini sebenarnya ketentuan dalam adat masa jahiliah di
amsyarakat Arab, dimana yang berhak menerima harta warisan dari
yang meninggal hanyalah keturunan laki-laki terdekat yang dibungkan
kepada pewaris melalui garis laki-laki.Al-Qur’an memperkenalkan
kewarisan furud yang pada umumnya adalah perempuan.Dalam hal ini
Nabi mengambil kebijaksanaan untuk mengakui kewarisan menurut
adat, tetapi kewarisan menurut furud yang ditetapkan dalam Al-Quran
lebih dahulu dilakukan.
Demikian pula di dalam fiqh mazhab Hanafiyyah terdapat
sejumlah hukum yang didasarkan atas ‘urf. Di antaranya ialah: apabila dua
orang saling dakwa-mendakwa berbeda pendapat dan tidak ada bukti pada
salah seorang dari mereka, maka perkataan yang diterima adalah orang
yang disaksikan oleh ‘urf. Apabila suami-istri tidak sepakat yang harus
didahulukan dan mahar yang diakhirkan penyerahannya, maka hukum
52
yang diputuskan adalah kebiasaan. Barang siapa yang bersumpah tidak
akan memakan daging, kemudia ia memakan ikan, maka ia tidak
melanggar sumpahnya, atas dasar kebiasaan (‘urf). Benda yang dapat
dipindah-pindahkan sah untuk diwakafkan apabila ‘urf tentang itu berlaku.
Persyaratan dalam perjanjian adalah sah apabila ada pengakuan oleh
syara’, atau dikehendaki oleh perjanjian itu sendiri, atau diberlakukan oleh
‘urf88.
E. Hukum Adat pada Masa Nabi dan Sahabat
Pada masa Nabi Muhammad, orang-orang di dataran Arab telah
mengadopsi berbagai macam adat.Praktek adat ini, dalam banyak hal,
telah mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat.Walaupun hukum
adat tidak dilengkapi oleh sanksi maupun otoritas, perannya yang penting
di dalam masyarakat tidak meraagukan lagi. Satu contoh yang dapat
dikemukakan disini misalnya dalam tindakan orang Islam
mempertahankan perbuatan hukum Nabi Ibrahim, terutama dalam
upacara-upacara yang berhubungan dengan Kabah dan sunatan (Khitan).
Upacara-upacara tersebut berperan sebagai dasar kurtural dalam
pembentukan tradisi sosial setempat89.
Karena Islam tidak dituntut untuk membawa kode hukum yang
keseluruhannya bersifat baru dan unik, maka dikatan di sini bahwa Nabi
sendiri memang tidak mempunyai keinginana yang real untuk secara
komplit menghapuskan sistem adat pra-Islam. Macdonal yang dikutip oleh
Ratno Lukito mengemukakan bahwa Muhammad “ tidak menciptakan dua
belas aturan atau sepuluh komandemen, kode-kode atau kosinderen
lainnya. Konsep tentang kode hukum yang koplit dengan demikian masih
asing bagi pemikiran beliau. Dalam pandangan Schacht yang dikutip oleh
88Abdul Wahhab Khallaf, IlmuUshul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang,
Toha Putra Group, 1994), h. 124
89Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat Di Indonesia,
(Jakarta: INIS, 1998), h. 6
53
Ratno Kukito, Nabi memang tidak punya alasan yang kuat untuk
mengubah hukum adat yang ada dalam masyarakat karena ia sendiri
bertujuan tidak untuk menciptakan sistem hukum yang secara total baru
akan tetapi lebih bertujuan “ untuk mengajarkan manusia bagaimana cara
bertingkah laku, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari,
dalam rangka menyelamatkan diri dari pengadilan akhirat dan supaya
masuk surga’. Dalam hubungannya dengan keberlangsungan hukum adat,
oleh karenanya, Nabi Muhammad tidak melakukan tindakan-tindakan
prinsip-prinsip ajarannya yang fundamental. Konsep Sunnah taqririyyah
sendiri sesungguhnya merupaka bukti yang kuat bahwa Nabi memang
membiarkan keberlakuan beberapa adat setempat yang dapat diterimanya.
Hukum kewarisan menunjukkan suatu bukti bahwa Nabi tidak
menghapus dengan total sistem hukum yang ada dalam masyarakat.
Walaupun Qur’an memperkenalkan beberapa reformasi terhadap hukum
kewarisan, namun tidak dikatakan bahwa reformasi ini secara komplit
menghapuskan hukum adat masyarakat Arab sebelum Islam90. Dalam hal
ini, selain untuk ayah, dalam adat pra Islam tidak ada satupun kelompok
yang mendapat warisan menurut Quran akan mendapat bagian harta,
demikian pula, dalam beberapa kasus terdapat perbedaan yang mencolok
antara aplikasi hukum kewarisan adat pra Islam dan kewarisan menurut
aturan Quran. Namun begitu, peran adat dalam mempengaruhi orientasi
yang patriarkal sifatnya dalam hukum waris Islam tidak dikesampingkan.
Dapat pula diajukan suatu argumentasi bahwa hukum waris Islam pada
dasarnya hanya melapiskan ke atas (Simperimpeso) terhadap aturan waris
adat yang ada dalam masyarakat, dimana hukum waris adat yang ada
dalam masyarakat, di mana hukum waris adat hanya diubah beberapa
bagiannya, akan tetapi tidak berati dihapuskan keseluruhannya.
90Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam…….(Jakarta: INIS, 1998), h.
9
54
BAB IV
PUTUSAN NOMOR 2306 K/Pdt/2011 DAN ANALISIS
A. Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011
1. Kronologis Perkara
Perkara perdata dalam tingkat Kasasi ini di mana para
penggugat yang bernamaYumisdi, Anwar Enek, Mawardi Syam dan
Yusminar menggugat yang bernama Dra. Syamsinar Syam, mereka
adalah saudara kandung, Bermamak Berkemakan dari Ibu Kamar
(alm), dalam Suku Tanjung Pilakut Gunung Sariak, yang meninggal
dunia pada tanggal 29 Pebuari 199391.
Ibu para penggugat mempunyai tiga saudara kandung yaitu
yang bernama Sawiya, Ayub Rajomudo dan Muhammad Zein, mereka
mempunyai harta kaum yang ditinggalkan oleh Pik Apuk dan harta
peninggalan tersebut sudah dibagi-bagikan. Masing-masing
mendapatkan harta pusako tinggi dan dari pihak Sawiya, Ayub
Rajomudo dan Muhammad Zein harta pusako tinggi tersebut udah
dijual oleh anak-anaknya mereka.
Disini tinggal harta pusako tinggi dari Ibu Kamar (alm) yang
masih utuh dan belum dibagi-bagi. Ibu Kamar (alm) meninggalkan
tujuh orang anak yaitu: Yumisdi, Anwar Enek, Mawardi Syam,
Yusminar, Syamsinar Syam, dan dua anak lainnya meninggal dunia
yang bernama Dasril (alm) dan Afrizal (alm). Disini yang mengusai
harta pusako tinggia dalah Syamsinar Syam.
Ibu para penggugat dan terguggat sebelum meninggal dunia
ada meninggalkan Harta Kaum yang berasal dari pusako Tinggi Suku
Tanjung Pilakut Gunug Sariak yang sifatnya Hiduik bapadok ganggam
91Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor: 2306 K/Pdt/2011, Tentang
Pembagian Harta Waris Pusako Tinggi, h. 2
55
bauntuak dan juga ada tanah yang berasal dari Konsilidasi (pengganti)
dan tanah kaum yang telah di pergunakan untuk kepentingan umum
Jalan By Pass.
Bahwa penggugat I mengaku selaku Mamak Kepala Waris dan
Penggugat II, Penggugat III dan Penggugat IV, tidak menerima cara-
cara yang dilakukan oleh Tergugat sebab tanpa dengan musyawarah
telah mengusai dan mendirikan bangunan di atas tanah bidang I berupa
bangunan kayu dan selajutnya telah menyewakan selama 10 tahun
dengan nilai sewa Rp. 125.000.000.00 kepada pihak pemilik
Showroom Jepara yang sewanya diterima oleh tergugat dan tanah
bidang II telah didirikan bangunan permanen yang dipergunakan dan
didirikan bangunan Sekolah TK oleh Tergugat dan tanah bidang III
yang telah di terbitkan Surat Keputusannya oleh Wali Kota sebagai
tanah Konslidasi (Pengganti) di kusai oleh Pihak Tergugat92.
Bahwa Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III dan
Penggugat IV, telah berulang kali mengundang Pihak Tergugat, untuk
dapat menyelesaikan Penguasaan tanah bidang, I, II dan III tersebut
secara musyawarah dan kekeluargaan namun tidak di indahkan dengan
berbagai dalih yang tidak dengan beralasan.
Kemudian penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan
Negeri Padang, untuk dapat di lakukan pembagian dibagi 5 (lima)
antara penggugat dan tergugat baik atas tanah bidang I maupun bidang
II dan bidang III secara adil kepada Penggugat dan Tergugat.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut para di atas para penggugat
mohon kepada Pengadilan Negeri Padang agar memberikan putusan
sebagai berikut:
92Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor: 2306 K/Pdt/2011, Tentang
Pembagian Harta Waris Pusako Tinggi, h. 3
56
1. Menerima dan mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya
2. Menyatakan perbuatan Tergugat yang menguasai obyek
perkara bidang I, bidang II dan bidang III, adalah merupakan
perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan perbuatan Tergugat menguasai Surat Keputusan
Walikota Tanah Konslidasi (pengganti) bidang III, adalah
merupakan perbuatan melawan hukum;
4. Menyatakan sah secara hukum Tanah bidang I seluas 150M²
dipergunakan Sebagai Pandam Perkuburan Jurai Kamar (alm) Ibu
para Penggugat dan Tergugat;
5. Menyatakan sah secara hukum penjualan tanah bidang I seluas
297M² yang Dilakukan para Penggugat;
6. Menyatakan para Penggugat berhak atas tanah bidang I dengan
luas 1.332.8M², bidang II dengan luas1.512M² dan bidang III
dengan luas1.440 M²;
7. Menyatakan hak Tergugat atas Tanah bidang I seluas 333,8M²,
tanah bidang II dengan luas 378M² dan bidang III 360M²;
8. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan hak para Penggugat
jika ingkar dengan upaya paksa dengan bantuan pihak
Kepolisian Republik Indonesia;
9. Menghukum Tergugat untuk dapat membayar ongkos yang timbul
dalam perkara ini;
Bahwa para penggugat telah sepakat untuk mengeluarkan
bagian tanah bidang I seluas 150 M2 yang dipergunakan untuk Pandan
Perkuburan yang sekarang ini telah berkubur Ibu Kamar, Afrijal, anak
Tergugat dan saudara sejurai lainnya. Dan berdasarkan kesepakatan
para penggugat telah menjual tanah bagian bidanng I seluas 297 M2
kepada pihak lain untuk membiayai pengobatan yang bernama Afrizal
(alm), yang di halangi oleh Tergugat sebagai Kakak maupun kaum
57
secara Adat hal tersebut tidak dibenarkan, karena fungsi harta pusaka
adalah untuk menolong93.
Dalam hal ini Pengadilan Negeri Padang telah mengambil
putusan, yaitu Putusan Nomor 80/Pdt.G/2009/PN.Pdg tanggal 4
Agustus 2010 yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi
• Menolak eksepsi-eksepsi dari tergugat seluruhnnya dalam pokok
perkara.
• Menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima.
• Menghukum para penggugat untuk membaya rongkos yang timbul
dalam perkara ini.
Dalam tingkat banding atas permohonan para penggugat/para
pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Padang. Kemudian para penggugat naik ketingkat
Kasasi karena menurut para penggugat Pengadilan Tinggi salah
menerapkan hukum.
Bahwa Judex Facti dalam memutuskan dan mengadili perkara
ini tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan yang
berlaku, dengan alasan hukum memori banding pemohon kasasi di
tingkat banding pada intinya adalah memohon supaya Judex Facti
tidak memberikan keputusan terhadap gugatan rekonvensi yang
pemohon kasasi ajukan dalam perkara ini. Hal ini dikarenakan
Pengadilan Negeri Padang dalam mengadili perkara ini tidak
memberikan putusan yang lengkap atau dengan kata lain tidak tuntas
dalam mengadili perkara ini.
93Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor: 2306 K/Pdt/2011, Tentang
Pembagian Harta Waris Pusako Tinggi, h. 4
58
Akan tetapi Judex Facti tidak mempertimbangkan memori
banding yang pemohon kasasi ajukan. Judex Facti tidak memberikan
keputusan terhadap gugatan rekovensi yang diajukan dalam perkara
ini. Seharusnya Judex Facti memberikan keputusan yang lengkap
dalam perkaran ini, yaitu dengan memberikan keputusan terhadap
gugatan rekovensi yang pemohon ajukan, bukan dengan memberikan
putusan yang menguatkan keputusan pengadilan Negeri Padang yang
tidak lengkap tersebut. Karena pemohon kasasi tidak memperoleh
kepastian hukum mengenai objek yang dipersengketakan, dan
kepastian hukum tersebut merupakan tugas utama dari suatu peradilan.
2. Tuntutan
Dalam hal ini, sudah di jelaskan dalam perkara tersebut bahwa
tergugat berdasarkan hal-hal di atas tergugat selaku Anggota kaum
ingin menguasai seluruh harta peninggalan Ibu Kamar (alm) dan
penggugat I selaku Mamak kepala waris bersama para penggugat
lainnya telah berulang kali berusaha untuk menyelesaikan persoalan
tersebut secara musyawarah dan kekeluargaan namun tidak di
indahkan oleh Tergugat.
Dalam hal ini, penggugat mengajukan gugatan ini, untuk dapat
di lakukan pembagian dibagi 5 (lima) antara penggugat dan tergugat
baik atas tanah bidang I maupun bidang II dan bidang III secara adil
kepada para Penggugat dan Tergugat. Para penggugat juga meminta
menyatakan secara sah secara hukum Tanah bidang I seluas 150 M2
dipergunakan sebagai Pandam Perkuburan Jurai Kamar (alm) Ibu para
penggugat dan tergugat, dan menginginkan sah secara hukum
penjualan tanah bidang I seluas 297 M2 yang dilakukan para
penggugat, dan para penggugat menginginkan atas tanah bidang I
denganluas 1.332,8 M2, bidang II denganluas 1.512 M2 dan bidang III
dengan luas 1.440 M2. Dan para penggugat menginginkan bahwa hak
59
tergugat atas tanah bidang I seluas 333,8 M2, tanah bidang II
denganluas 378 M2 dan bidang III seluas 360 M2.
Dalam hal ini, para penggugat meminta Judex Facti dalam
memutuskan dan mengadili perkara ini dengan cara mengadili menurut
ketentuan yang berlaku dan memohon supaya Judex Facti memberikan
keputusan terhadap gugatan rekonvensi yang pemohon kasasi ajukan
dalam perkara ini. Dalam hal ini Pengadilan Negeri Padang dalam
mengadili perkara ini tidak memberikan putusan yang lengkap atau
dengan kata lain tidak tuntas dalam mengadili perkara ini94.
3. Eksepsi
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai
berikut:
1) Gugatan Penggugat Tidak Berdasarkan Hukum:
Bahwa penggugat sebagaimana gugatannya meminta supaya
Pengadilan membagi objek perkara berupa 3 (tiga) bidang tanah
harta pusaka kaum diantara penggugat dengan tergugat dengan
rincian untuk penggugat sejumlah 4/5 bagian dan untuk tergugat
sisanya sejumlah 1/5 bagian, bahwa menurut hukum adat
Minangkabau gugatan penggugat atas harta pusaka tersebut
tidaklah berdasarkan kepada hukum dengan alasan sebagai berikut:
a) Hukum waris harta pusaka kaum menurut hukum adat
Minangkabau adalah kepemilikan bersifat kolektif dan
bukanlah bersifat pribadi-pribadi, oleh karena itu gugatan
penggugat yang meminta supaya harta pusaka kaum atas tiga
bidang tanah pusaka kaum tersebut untuk dibagi secara pribadi-
pribadi antara penggugat dengan tergugat jelas tidak
94Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor: 2306 K/Pdt/2011, Tentang
Pembagian Harta Waris Pusako Tinggi, h. 17
60
berdasarkan hukum dan bertentangan hukum adat
Minangkabau.
Bahwa pusaka tinggi (harta pusaka kaum) oleh
masyarakat Minangkabau di sebut atau di istilahkan juga
dengan harta kemenakan. Bila harta pusaka tersebut berupa sawah
disebut juga “sawah kemenakan” atau bila harta tersebut berupa
rumah atau rumah gadang disebut juga dengan “rumah kemenankan”
yang merupakan warisan dari nenek moyang dan di warisi secara
turun temurun yaitu sebagai milik bersama dari kaum, dan ditujukan
untuk menghidupi dan kemajuan dari kemenakan-kemenakan
(penerus keturunan) dalam kaum tersebut dan bukan sebaliknya di
tujukan untuk kepentingan mamak-mamak secara pribadi-pribadi,
begitulah harta pusaka tersebut.
Pewarisan harta pusaka tersebut terus dilaksanakan
secara turun temurun tidak terputus-putus, dengan istilah “dari
ninik turun ka mamak, dan dari mamak turun ka kemenakan”.
Dimana fungsi dan tugas anggota kaum yang laki-laki
(Mamak) terhadap harta pusaka menurut hukum adat
Minangkabau adalah bertugas menambah dan menjaga harta
pusaka kaum tersebut supaya dapat dinikmati untuk keperluan
seluruh kemenakan dalam kaum dan menjaganya agar tidak
berpindah/beralih kepada pihak lain.
b) Bahwa hukum adat Minangkabau melarang perbuatan
membagi harta pusaka kaum secara pribadi-pribadi, apalagi
dibagi-bagikan pada masing-masing anggota kaum yang laki-
Iaki untuk dijadikan milik pribadi-pribadi, karena hal tersebut
tentulah akan mengurangi harta kaum tersebut, dan hal tersebut
jelas merugikan kemenakan-kemenakan sebagai pihak yang
berhak atas harta pusaka tersebut.
Bahwa pembagian harta kaum tersebut hanya
dimungkinkan dengan istilah adat dengan pembagian secara
“Ganggam Bauntuak" bahwa model pembagian ganggam
61
bauntuk adalah dengan ketentuan, dimana jika harta tersebut
dibagi secara berkaum maka pembagian tersebut dibagi
seberapa banyak jumlah jurai yang ada dalam kaum tersebut,
dan bila harta tersebut dibagi dalam jurai.
Bahwa hukum adat yang menggariskan pembagian
harta tersebut kepada perempuan, juga dilaksanakan dalam
kaum Penggugat dan Tergugat, dan hal ini sebenarnya
dimengerti oleh Penggugat sebagaimana terlihat dari posita
gugatan Penggugat angka 3, dimana ketiga bidang tanah
sengketa tersebut didalilkan sebagai berasal dari "ganggam
bauntuak" dari ibu Kamar almarhum, posita tersebut Tergugat
kutipkan sebagai berikut:
Bahwa ibu para Penggugat dan Tergugat sebelum
meninggal dunia ada meninggalkan Harta Kaum yang berasal
dari Pusaka Tinggi Suku Taryung Pilakut Gunung Sarik yang
sifatnya hidup bapadok ganggam bauntuak..dan seterusnya.
Bahwa berdasarkan dalil posita gugatan Penggugat
diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan hukum bahwa
pembagian harta pusaka atas harta kaum Penggugat dan
Tergugat tersebut dilakukan menurut hukum adat Minangkabau
yaitu secara "ganggam bauntuak". dan tidaklah dapat
dibenarkan pembagian tersebut diganti secara pribadi-pribadi
sebagaimana menurut versi Penggugat yang telah merujuk
kepada " hukum waris perdata barat (BW)'" (bagian laki-Iaki
sama dengan bagian perempuan).
c) Bahwa pembagian secara ganggam bauntuak tersebut diatas,
apabila akan dilakukan terhadap ketiga bidang tanah pusaka
tersebut sebagaimana dali/Penggugat (kehendak dari
Penggugat), maka jelaslah belum dapat dilaksanakan sekarang
ini dalam kaum, hal ini dikarenakan "ganggam bauntuak"
barulah dapat dilakukan apabila anggota kaum dalam suatu
62
kaum sudah begitu banyak dan bertekad untuk mengurus
hidupnya masing-masing (ganggam bauntuak, hiduik bapadok)
diantara jurai atau paruik (namun tidak menghapus hak saling
mewarisi diantara mereka seumpama pada jurai/induak yang
lain punah tidak ada penerus kemenakan perempuan),
sementara faktanya antara Penggugat denganTergugat masih
satu induak (satu ibu), yaitu sama-sama anak dari Kamar
almarhum (artinya harus ada dua induak (ibu) baru bisa dibagi),
dan didalam kaum hanyalah Tergugat selaku anggota kaum
perempuan yang memiliki keturunan, yaitu 9 (sembilan) orang
anak, dimana diantaranya ada 2 orang anak perempuan dan
telah pula melahirkan keturunan-keturunan, bahwa kalaupun
ganggam bauntuak tersebut akan dilakukandalam kaum, maka
ganggam bauntuak tersebut barulah dapat dilakukan nantinya
oleh cicit-cicit dari kamar (bukan oleh cucu-cucu kamar),
karenatidakmungkindilakukanolehcucu-cucu kamar karena
Penggugat 4 (Yusnimar) sendiri tidak mempunyai keturunan.
2) Penggugat Tidak Berkwalitas Mengajukan gugatan
Adapun alasan Tergugat menyatakan Penggugat tidak
berkwalitas mengajukan gugatan dalam perkara ini dengan alasan
sebagai berikut:
a) Bahwa Yumisdi (Penggugat I) bukanlah sebagai Mamak
Kepala Waris (MKW) dalam kaum suku Tanjung Pilakut
Gunung Sariak sebagaimana gugatannya, karena anggota kaum
yang menjabat sebagai Mamak Kepala Waris adalah Muhamad
Zein (saudara kandung dari ibu Kamar almarhum) dan
merupakan Laki-laki tertua dalam kaum dan sekaligus Mamak
kandung dari para Penggugat dan Tergugat, maka oleh karena
Penggugat I bukan menjabat Mamak Kepala Waris, maka
karenanya tidak berkwalitas/berwenang untuk mengajukan
gugatan berkaitan dengan ketiga tumpak tanah yang
63
diperkarakan untuk dibagi tersebut. Hal ini sesuai dengan
hukum adat Minangkabau yang menentukan bahwa yang
berhak untuk mengurus baik keluar dan maupun kedalam
berkenaan dengan harta pusaka adalah hanya Mamak Kepala
Waris dalam kaum, yang dalam hal ini adalah Muhamad Zein.
b) Bahwa selain hal diatas, yang diperkarakan oleh Penggugat
dalam perkara sekarang ini adalah meminta supaya Pengadilan
membagi harta pusaka kaum kepada masing-masing Penggugat
dengan Tergugat (pribadi-pribadi), bahwa berkaitan dengan
gugatan tersebut maka bila dihubungkan dengan pernyataan
Penggugat kepada kaum berdasarkan Surat Pernyataan tanggal
23 April 1996 maka oleh karenanya Penggugat I tidak berhak
dan berkwalitas untuk memperkarakan harta pusaka kaum
untuk dibagi, karena Penggugat I dalam pernyataan tersebut
telah menyatakan: "bahwa harta pusaka tidak boleh dibagi dan
kalau dibagi akan dimakan sumpah sebagaimana amanat dari
almarhum ibu Kamar.
c) Begitu juga halnya dengan Penggugat 3 (Mawardi Syam),
dimana telah pula membuat surat pernyataan dihadapan kaum
dan disetujui oleh Mamak Kepala Waris (Muhamad Zein),
dimana dengan tegas Penggugat 3 telah menyatakan:
"melepaskan haknya terhadap harta kaum" sebagaimana bunyi
dari Surat Pernyataan tangga l22 Pebruari 2005.
d) Selain hal yang dikemukakan diatas, Penggugat juga tidak
berkwalitas dan berhak meminta supaya atas harta pusaka
kaum tersebut untuk dibagi secara pribadi diantara Penggugat
dengan Tergugat, karena sebagaimana yang Tergugat uraikan
diatas (eksepsi gugatan tidak berdasarkan hukum).
3) Gugatan Penggugat Kurangan Pihak
a) Bahwa gugatan yang diajukan penggugat sekarang ini
adalah kurang pihak, hal ini dikarenakan sebagaimana dalil
64
gugatan para Penggugat sendiri (Penggugat mendalilkan
Penggugat I adalah selaku Mamak Kepala Waris) yang
menyatakan bahwa "ketiga tumpak tanah yang diperkara
Penggugat untuk dibagi menjadi dua bagian tersebut
merupakan berasal dari harta pusaka tinggi kaum". Anggota
kaum bukan hanya Para Pengguat dengan Tergugat maka
seharusnya Penggugat tidak hanya menggugat Tergugat
sendiri saja dalam perkara sekarang ini, dan seharusnya
Penggugat juga menarik anggota kaum yang lain, Seperti
Muhamad Zenselaku Mamak Kepala Waris (MW) yang
merupakan saudara kandung dari ibu Kamar, dan berikut
seluruh anggota kaum yang ada dalam kedua jurai/paruik
dalam kaum, yaitu jurai/paruik Kamar dan jurai/paruik
Sawija, dimana dalam jurai/paruik Kamar yaitu anak-anak
dari Tergugat yang berjumlah 10 orang serta cucu-cucu
Tergugat yang telah dewasa, diantaranya:
Damsiwar (lk), Junaidi (Lk), Edril (lk) Ely Zuharni
(Pr), Yendri (lk), Alvy Yunandar (lk), Elia Nova (Pr) dan
Rahmad (lk) sedangkan anggota jurai/paruik Sawija,
diantaranya: Acik (lk), Zamzami (lk), Bustami (lk), Kartini
(Pr) berikut ke 8 (delapan) anaknya serta cucu-cucunya
yang dewasa, Safrifuddi (lk) dan 3 (tiga) orang anak-anak
dari Nurgaya (pr) berikutcucu-cucunya yang dewasa.
b) Bahwa selain hal diatas, dimana berdasarkan dalil posita
gugatan Penggugat angka 4 yang mendalilkan "bahwa
tanah bidang I dikuasai sebagian oleh pemilik showroom
Jepara karena disewakan oleh Tergugat, makam menurut
hukum maka seharusnya pihak penyewa bangunan kayu
pemilik Showroom Jepara tersebut juga harus ditarik
sebagai pihak dalam perkara ini sebagai pihak yang juga
menguasai objek perkara tanah bidang I; dan begitu pula
65
halnya dengan kedudukan pihak sekolah Taman Kanak-
kanak (TK) yang didalilkan dalam posita gugatannya oleh
Penggugat.
c) Bahwa Penggugat seharusnya juga menarik Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dalam perkara sekarang ini, hal
ini dikarenakan tanah tumpak I dan tanah tumpak II telah
diterbitkan oleh BPN sertifikat Hak Milik
atastanahtersebut.
4) Gugatan Penggugat Kabur (obscuurlibel)
Adapun alasan Tergugat menyatakan gugatan
Penggugat kabur adalah sebagai berikut:
a) Bahwa antara dalil-dalil posita dalam gugatan saling
bertentangsatu dengan yang lainnya, begitupula antara posita
dengan petitum, hal ini terbukti dimana Penggugat mendalilkan
bahwa ketiga bidang tanah yang disengketakan tersebut adalah
harta kaum supaya, dan Penggugat berkaum bersama-sama
dengan Mamak Kepala Waris (Penggugat I ) meminta supaya
Pengadilan Negeri membagi harta pusaka tersebut diantara
Penggugat dengan Tergugat masing-masing seperlima bagian.
b) Bahwa selanjutnya antara posita angka 5 yang meminta upaya
tanah sengketa dibagai 5 (lima), bertentangan dengan petitum
angka 6 dan 7 yang menyatakan tanah sengketa hanya dibagi 2
(dua) bagian antara Penggugat dengan Tergugat.
c) Bahwa selain alasan hukum diatas, gugatan Penggugat disusun
tidak sesuai dengan hukum acara perdata atau melanggar syarat
formil, dimana Penggugat yang telah mencapur adukan antara
tuntutan pembagian harta pusaka kaum dengan tuntutan mohon
atas jual beli tanah kaum atas tanah bidang I untuk disahkan.
5) Gugatan Pengguga terror inpersona, bahwa adapun alasan
gugatan Penggugat sekarang ini adalah error inpersona karena
Tergugat bukanlah selaku pihak yang menguasai terhadap
66
tanah sengketa bidang III sebagaimana posita gugatan
Penggugat.
6) Gugatan tidak ada hubungan hukum
Bahwa hukum tentang harta pusaka adalah berbeda dengan hukum
harta warisan, dimana harta warisan bersifat hak pribadi-pribadi
dari ahli waris yang dapat dialihkan oleh ahli waris tersebut
(pemiliknya) sekendaknya, dan ahli waris mana merupakan "anak
atau cucu (bila si anak meninggal dunia ) dari si pewaris". Harta
warisan tersebut berbeda atau berlainan dengan harta pusaka kaum,
harta pusaka adalah milik bersama dari suatu kaum, yang ahli
warisnya adalah "kemenakan dalam kaum tersebut". dan bukan
anak atau cucu dari si pewaris.
4. Putusan
Dalam permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu
tanggal 21 Desember 2011 memutuskan bahwa alasan-alasan kasasi
tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan
hukum karena para penggugat tidak mempunyai kwalitas untuk
menggugat, karena yang bersangkutan bukan Mamak Kepala Waris
dalam kaumnya.
Menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi/para
penggugat: 1. YUMISDI, 2. ANWAR ENEK, 3. MAWARDI SYAM,
4. YUSMINAR. Menolak permohonan kasasi dari pemohon
kasasi/tergugat : Dra. SYAMSINAR SYAM.
5. Pertimbangan Hakim
Bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini yang amarnya
menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Padang adalah putusan yang
sangat keliru dengan alasan hukum sebagai berikut: Dalam hal ini
putusan Pengadilan Negeri Padang sangat keliru dalam memberikan
putusan, karena pada bagian pokok perkara yang isinya menyatakan
67
gugatan penggugat tidak dapat diterima adalah salah dalam
menerapkan hukum. Isi dari amar di dalam hukum acara ini dalam
pokok perkara tersebut adalah berkaitan dengan materi gugatan yang
diperkarakan, dan bukan berkaitan dengan formalitas surat gugatan.
Bahwa dengan perkara saat ini, di mana seluruh eksepsi yang diajukan
oleh penggugat/pemohon kasasi ditolak, maka ketentuan sesuatu
seharusnya isi amar putusan pada bagian dalam pokok perkara tersebut
adalah menolak atau mengabulkan apa yang diperkarakan oleh
penggugat/Pemohon kasasi95.
Dalam hal ini para penggugat meminta supaya objek perkara
berupa 3 (tiga) bidang tanah supaya dibagian para penggugat dengan
tergugat selaku ahli waris dari almarhumah Kamar, akan tetapi tanah
tersebut adalah tanah Pusako Tinggi dari kaum Penggugat dan
Tergugat.
Sebab menurut hukum adat tentang tanah Pusako Tinggi adalah
hak turun temurun dari anggota kaum terhadap tanah pusako tinggi
tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan hal tersebut
maka seharusnya Pengadilan Negeri Padang dalam perkara ini
memberikan amar putusan pada bagian Dalam Pokok Perkara tersebut
adalah Menyatakan Menolak Gugatan Penggugat.
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah
Agung berpendapat96:
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, dan
ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh para pemohon kasasi: Yumisdi
dan kawan-kawan tersebut harus ditolak.
95Putusan Pengadilan Mahkamah AgungNomor: 2306 K/Pdt/2011, Tentang
Pembagian Harta Waris Pusako Tinggi, h. 19
96Ibid h. 20
68
B. Analisis Menurut Hukum Adat Minangkabau terhadap Putusan
Nomor 2306 K/Pdt/2011
Menurut adat Minangkabau pemegang harta secara praktis adalah
perempuan karena di tangannya terpusat kerabat matrilineal. Mamak
berperan mengawas dan mengatur harta tersebut97. Sistem hukum warisan
atas dasar kekerabatan ini sudah berlaku sejak dahulu kala, sebelum
masuknya ajaran-ajaran Agama di Indonesia, seperti agama Hindu, Islam
dan Kristen98.
Maka hal tersebut, semua anak-anak hanya dapat harta warisan dari
ibunya sendiri dan menjadi ahli waris tersebut, baik untuk harta Pusako
Tinggi yaitu harta yang dari turun temurun dari beberapa generasi,
maupun harta Pusako Rendah yang hartanya turun dari satu generasi.
Hukum warisadat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip
garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, yang
mungkinmerupakanprinsip patrilineal murni, patrilineal beralihalih
(Alternerend) matrilineal ataupun bilateral, adapunprinsip unilateral
berganda (dubbel unilateral) prinsip-prinsip garis keturunan terutama
berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta waris
peninggalan yang diwariskan (baik materiel maupun immateriel)99.
Dalam hal ini, harta Pusako Tinggi tidak bisa di perjual belikan
ataupun digadaikan, karena sesuai dengan kata pepatah dalam
Minangkabau yang berbunyi “Jua Indak Dimakan Bali, Gadai
IndakDimakan Sando” yang artinya tanah ulayat di Minangkabau tidak
boleh diperjual belikan dan tidak boleh pula di gadai. Menggadaikan harta
97Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 88 98Hilman Handikusuma, Cetakanke-V, Hukum Waris Adat (Bandung: Citra
Aditya Bakti,1993), h. 23. 99 P.N.H. Siman juntak, Pokok-pokok Perdata Indonesia, (Jakarta:Djambatan,
2002), h. 299
69
Pusako Tinggi hanya dapat dilakukan apabila ada musyawarah bersama
antara pentinggi kaum.
Asas kolektif di dalam adat Minangkabau yaitu penerimaan harta
pusako bukanlah orang-perorang, tetapi secara satu kelompok bersama-
sama dan harta tersebut tidak bisa dibagi-bagikan dan juga harus
disampaikan kepada kelompok dalam bentuk kesatuan yang tak terbagi-
bagi. Dalam asas ini juga bahwa penerimaan hartap usako atau seorang
yang mempunyai hak penerimaan harta pusako dan dalam adat
Minangkabau ada tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak
lebih berhak dibandingkan dengan pihak yang lain, dan selama yang lebih
berhak masih ada, maka yang lain belum mempunyai hak.
Dalam kasus sengketa Putusan Nomor 2306 K/Pdt/2011 dalam
tingkat Kasasi, Mahkamah Agung mempelajari dan meneliti dengan
seksama berkas perkara yang terdiridari Berita Acara persidangan
peradilan tingkat pertama dan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak yang
berpekara, salinan resmi Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor
80/Pdt.G/2009, pada tanggal 4 Agustus 2010 dan memeriksa salinan
Putusan Pengadilan Tinggi Padang dalam putusan Nomor
172/PDT/2010/PT.PDG, pada tanggal 30 November 2010. Setelah
memperhatikan dan mempertibangkan Hukum Majelis Hakim pengadilan
Negeri Padang, ternyata Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padang dalam
mengadili perkara ini tidak tuntas. Judex Fakti tidak memberikan
keputusan terhadap gugatan Rekonvensi yang diajukan dalam perkara ini.
Hal ini jelas membuktikan Judex Facti dan memutus dan mengadili
perkara ini tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan yang
berlaku.
Maka Mahkamah Agung akan mempertimbangkannya terlebih
dahulu sebelum mempertimbangkan Objek Perkara tersebut yang digugat
oleh penggugat/pembanding sebenarnya harta tersebut bukan untuk
70
dibagi-bagi atau harta Pusako Rendah melainkan Harta Pusako Tinggi dan
harta tersebut tidak bisa dibagi-bagi. Bahwa menurut Hukum Adat
Minangkabau tentang harta Pusako Tinggi adalah hak Turun Temurun dari
anggota kaum dan karenanya segala perbuatan kaum terhadap tanah
Pusako Tinggi tersebut adalah perbuatan melawan hukum.
Dalam masyarakat adat Minangkabau sistem kekerabatannya diatur
secara matrilineal atau berdasarkan garis keturunan ibu. Menurut adat
Minangkabau harta pusako harus jatuh ketangan anggota kerabat dari garis
keibuan, dalam hal ini adalah anak dari saudara perempuan yang telah
meninggal, yaitu kemenaknya. Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan
masyarakat Minangkabau sampai sekarang, karena masyarakat
Minangkabau tidak terputus hubungan kekerabatan walaupun berada di
luar Indonesia dan telah menjadi warga Negara Asing. Sepanjang garis
keturunan ibu masih melekat kepada dirinya. Sistem ini selalu
disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya.
Terutama dalam mekanisme pemerannya di dalam kehidupan sehari-hari.
C. Analisis Menurut Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor 2306
K/Pdt/2011
Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal
kepada orang yang masih hidup100. Hukum kewarisan adalah hukum yang
menatur tentang pemindahan yang lebih tepat adalah perpindahan hak
kemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing
dalam hal ini di atur di dalam (Ps. 171 huruf a KHI)101.
100 Ahmad warson Munawwir, Kamus Al Munawwir (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 1634 101 Ahmad Rofiq. Hukum Perdata Islam di Indonesi, Edisi Revisi (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada, 2015), h. 281
71
Dalam hal ini pembagian harta waris secara hukum Islam yaitu:
a. Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima
bagian yang telah ditentukan besar kecilnya, seperti 1/2, 1/3,
atau 1/6.
b. Ahli waris ‘asabah, yaitu ahli waris uang menerima bagian sisa
setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud. Ahli
Waris Dzawi al-arham yaitu ahli waris karena hubungan darah
tetapi menurut ketentuan al-Qur’an tidak berhak menerima
warisan. Dzawal al-arham adalah golongan kerabat yang tidak
termasuk golongan ashab al-furud dan ‘asabah. Keraba
tgolongan ini baru mewarisi jika tidak ada kerabat yang
termasuk kedua golongan tersebut102.
Di dalam hukum waris Islam tidak mengatur Sistem Kekerabatan
Matrilineal atau di sebut dengan garis keturunan kaum Ibu, tetapi di dalam
hukum Islam seorang perempuan tetap mendapatkan hak warisnya akan
tetapi setengah dari kaum laki-laki atau bandingannya seorang anak laki-
laki menerima sebanyak yang di dapat dua orang anak perempuan. Sebab
dalam ini, hukumwaris Islam sudah di atur di dalam Firman Allah Surat
An-Nisa’ Ayat 11:
ل لذ ك د أ ول ف ي ٱلل ي ي وص ٱثن ت ين ف وق ن س اء ك ن ف إ ٱل نث ي ين ظ ثل م ك ر
ا نه م م د و ل ل يه ل ب و و ٱلن صف ا ف ل ه د ة و ك ان ت إ و ك ت ر ا م ث ل ث ا ف ل ه ن
ن ي ف إ لل د ل ه ۥو إ ك ا ك ات ر م م ٱلسد س ٱلثل ث ه ف ل م اه ث ه ۥأ ب و ر و و ل د له ۥو
ك اب اؤ ء د ين أ و ا ب ه ي ي وص ية ص و ب عد ن م ٱلسد س ه ف ل م ة إ خو ل ه ۥ ك ا ف إ
ن م ة يض ف ر ن فعا ل ب أ قر أ يه و ت در لا ك أ بن اؤ او ع ل يم ك ا ٱلل إ ٱلل
يما
102 Otje Salman dan Haffas, Mustofa, Hukum Waris Islam, (Jakarta: PT Refika
Aditama, 2002), h. 53.
72
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka memperoleh
separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing- yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya.
Berdasarkan penjelasan Surat An-Nisa’ ayat 11 tersebut yaitu anak
perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapatkan seorang anak laki-laki dengan bandingan
seorang anak laki-laki menerima sebanyak dua orang anak perempuan.
Berdasarkan penjelasan Surat An-Nisa’ ayat 11 tersebut yaitu anak
perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapatkan seorang anak laki-laki dengan bandingan
seorang anak laki-laki menerima sebanyak dua orang anak perempuan.
Ibu mempunyai hak dalam menerima harta warisan dari anak-
anaknya baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Begitupun ayah
sebagai ahli waris, laki-laki berhak menerima harta warisan dari anak-
anaknya baik dari anak laki-laki maupun perempuan sebanyak seperenam
(1/6) bagian, bila pewaris meninggalkan anak.
Di dalam Putusan Mahkamah Agung dalam tingkatan Kasasi
Nomor 2306 K/Pdt/2011 dalam hal ini hakim memutuskan sesuai dengan
hukum Adat yang berlaku di Minangkabau, karena dalam perkara tersebut
memperkarai harta Pusako Tinggi, sebab di dalam Adat Minangkabau
73
harta warisan dalam bentuk Pusako Tinggi tidak bisa di bagi-bagikan dan
berlaku sistem kekerabatan Matrilineal.
D. Analisis Penulis
Menurut penulis dalam kasus ini, pusako tinggi berasal dari orang
tua Ibu kamar (alm), dan saudaranya ibu Kamar (alm) dan orang tua
mereka udah membagikan harta pusako tersebut ke masing-masing jurai.
Pusako tinggi dari Ibu Kamar (alm) tersebut di kuasai oleh anak
perempuan dan keturunan perempuan, yang memiliki keturunan
perempuan adalah Samsinar dan Yusminar dia perempuan tapi tidak punya
anak atau tidak mempunyai keturunan.
Menurut para penggugat Syamsinar telah menguasai kesulurahan
harta pusako tinggi tersebut, maka pengadilan negeri tersebut menolak
gugatan tersebut dan pengadilan Tinggi menguatkan pengadilan negeri dan
menolak gugatan tersebut dan juga Mahkamah Agung Juga menolak
karena hakim menggunakan Hukum Adat.
Menurut para penggugat bahwa paman-pamannya mereka atau
saudara-saudara dari ibunya telah membagikan harta tersebut kesemua
anak-anaknya dan harta tersebut udah di jual. Karena awalnya udah di bagi
dalam empat jurai dari orang tuanya Ibu Kamar (alm), maka seharusnya
dalam hal ini juga bisa dibagi-bagikan, walaupun harta pusako tinggi itu
tidak bisa dibagi-bagikan menurut Hukum Adat Minangkabau tapi
menurut Hukum Islam bisa dibagi, karena empat jurai dari Ibu Kamar
(alm) udah melakukan pembagian.
Dengan demikian, pembagian harta warisan pusako tinggi dalam
budaya Minangkabau tentu tidak bertentangan dengan hukum islam. Hal
ini di lakukan agar memudahkan masyarakat dalam memahami hukum
warisan yang berbasis budaya dengan mengacu pada hukum islam.
Terlebih Indonesia dengan beragam budaya, selama itu tidak keluar dari
hukum islam maka tidak bertentangan dengan islam. Hanya dalam
74
pelaksanaan dan tata cara yang berbeda, sedangkan nilai-nilai dan ajaran
yang terkandung menurut saya tetap bagian dari hukum islam.
Karena pembagian harta pusako tinggi berkaitan dengan wakaf ahli
maka disini saya akan menjelaskan sedikit tentang wakaf ahli. Wakaf ahli
adalah wakaf yang ditunjukan kepada orang-orang tertentu, satu orang
atau lebih, keluarga si Wakif atau bukan.103 Secara hukum islam hal ini
dibenarkan dan darinya didasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, dari sahabat Anas Bin Malik RA,
tentang adanya wakaf keluarga Abu Tholhah terhadap kaum kerabatanya.
Disebutkan pada ujung hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut:
Artinya: saya telah mendengar ucapan mu tentang hal tersebut.
Saya berpendapat sebaiknya kamu berikannya kepada keluarga terdekat.
Maka Abu Tholhah membagikanya untuk para keluarga dan anak-anak
pamanya104.
Wakaf ahli juga sering disebut wakaf Dzurri atau wakaf ‘alal
aulad yakni wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial
dalam lingkungan keluarga atau lingkungan kerabat sendiri. Wakaf ahli ini
juga mempunyai dua aspek kebaikan yaitu: kebaikan sebagai amal ibadah
wakaf dan kebaikan silaturahmi terhadap keluarga yang diberikan harta
wakaf.
Dalam penjelasan diatas maka terlihat dengan jelas bahwa wakaf
ahli dalam hukum islam dan pusako tinggi tidak bertentangan sama sekali.
Dengan begitu penerapan atau pelaksanaan pusako tinggi dalam budaya
minangkabau jelas telah menjalankan pembagian pusako tinggi tersebut
sesuai hukum islam dalam wakaf ahli. Wakaf ahli ini juga bisa menjaga
103 Muhammad, Wakaf Ahli: antaraeksistensi dan revitalisasi,Jurnal Syariah
Darussalam vol 4, no 2, juli-des 2019, h. 12
104 Abdurrohman Kasdi, Fikihwakaf: dariwakafklasikhinggawakafproduktiv,
Yogyakarta: 2017, Idea Press Yogyakarta, h. 87.
75
kelangsungan hidup keturunan, begitupun dengan pusako tinggi tujuannya
adalah untuk menjaga kelangsungan hidup para jurai. Sehingga nilai yang
di ajarkan dalam budaya pusako tinggi tersebut untuk mendidik setiap
keturunan agar sejauh manapun mereka merantau tetap kembali dan
berkumpul dengan keluarga. Mempererat keluarga dan menjadikan
keluarga yang harmonis secara utuh.
76
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan
menjadi beberapa bagian yaitu:
1. Pembagian harta waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan
dari orang yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya
seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya dan sudah di tentukan dalam
Al-Qur’an surah an-nisa secara gamblang dan dapat disimpulkan
bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang
mendapatkan setengah ½, seperempat1/4, seperdelapan1
/8, duapertiga2/3,
sepertiga1/3, danseperenam1
/6.
Hukum waris adat adalah meliputi aturan-aturan hak yang
bersangkut paut dengan proses dan sangat mengesankan tentang
penerusan dan pengoperan harta kekayaan yang berwujud (materil)
dan yang tidak berwujud (imm-teriil) dan suatu generasi kepada
generasi berikutnya.
Pada kesimpulanya Pandangan Hukum Adat dan Hukum Islam
terhadap pembagian harta waris Pusaka Tinggi tidak bertentangan
sama sekali, apa yang menjadi hukum adat tersebut tidak keluar dari
ajaran agama Islam. Hanya saja ahli waris dalam Pusako Tinggi adat
minang kabau perlu pengkajian lebih dalam terkait hukum islamnya.
2. Menurut hukum adat tentang tanah Pusako Tinggi adalah hak turun
temurun dari anggota kaum terhadap tanah pusako tinggi tersebut
adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka
seharusnya Pengadilan Negeri Padang dalam perkara ini memberikan
amar putusan pada bagian Dalam Pokok Perkara tersebut adalah
Menyatakan Menolak Gugatan Penggugat.
77
3. Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, dan ternyata
bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang maka permohonan kasasi
yang diajukan oleh para pemohon kasasi: Yumisdi dan kawan-kawan
tersebut harus ditolak.
B. SARAN
1. Seharusnya pada sebuah daerah seperti di Minangkabau diberikan
pembekalan kepada masyarakat dan generasi muda mengenai sistem
aturan yang berlaku di daerah tersebut seperti mengenai sistem aturan
bagaimana harta keluarga atau harta kaum digunakan dalam kehidupan
ataupun diwariskan kepada generasi selanjutnya agar tidak buta
terhadap aturan yang udah berlaku di Minangkabau dan melakukan
kesalahan serta pelanggaran terhadap hukum yang berlaku di
minangkabau.
2. Diharapkan majelis hakim pengadilan tinggi dalam memberikan
putusan harus tertata dan harus meberikan kepastian hukum. Supaya
pihak-pihak yang berperkara tidak kebingungan. Karena di dalam adat
Minangkabau dalam pembagian harta warisan dikenal harta pusako
tinggi dan pusako rendah, dalam hal ini masyarkat juga harus paham
dalam pembagian harta tersebut.
78
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhailiy, Wahab, Usul al-Fiqh al-Islamiy, Vol. II (Damaskus:
Dar al-Fikr, Cetakan 16, 2008).
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta :Sinar Grafika,
2009).
Amir M.S, Adat Minangkabau Poladan Tujuan orang Minang,
(Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2006).
.............., Pewarisan Harato Pusaka Tinggidan Pencaharian di
Minangkabau, (Jakaarta Citra Harta Prima, 2011).
Djazuli, Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005).
A. A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, (Jakarta: Grafiti Press, 1984).
Amin Suma, Muhammad, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam
Pendekatan Teksdan Konteks, (Jakarta: Rajawali Press, 2013)
Anwar, Chairul, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat
Minangkabau, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997).
Darojat, Zakiya, Kedudukan dan Peran Perempuan dalam
Perspektif Islam dan Adat Minangkabau, Indonesia Journal Of
Multidisciplinary Islamic Studies, Vol.3, No.1, januari 2019.
79
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, (Jakarta: Maloho
Jaya Abadi Press, 2010).
Deperteman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV.
Toha Putra Semarang, 1989).
Dt. Sanggoeno Diradjo, Ibrahim, Tambo Alam Minangkabau“
Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang”, (Bukti Tinggi:
Kristal Multimedia, 2012).
Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group,
2019).
E. Graves, Elizabeth; penerjemah: Novi Andri, Leni Marlina,
Nurasni, Asal Usul Elite Minangkabau Modern, cetke I, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2017).
Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana,
2005).
Fahmi, Muhammad Ahmadi, dkk, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Fahmi Abu Sunnah, Ahmad, al-urfwa al-adah fi Ra’y al- Fuqaha’,
(Kairo: Lembaga Penerbitan Al-Azhar, 1947).
Handikusuma, Hilman, Cetakanke-V, Hukum Waris Adat
(Bandung: Citra Aditya Bakti,1993).
80
Hafizz, Muhammad, Pergeseran Hukum Waris Adat Minangkabau
(Jualbeli Beli Harta Pusako Tinggi di Kecamatan Banuhampu Kabupaten
Agam Sumatera Barat), Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2013.
Hakimi, Idrus, Pegangan Penghulu, Bundo Kandung dan Pidato
Dua Pasambahan Adat di Minangkabau, (Bandung: Remaja Karya, 1978).
..................., Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam
Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994).
...................., Mustika Adat Basandi Syara’, (Bandung: CV. Rosda,
1978).
..................., Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di
Minangkaba.
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta:
Tintamas,1976).
............., Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟andan
Hadits, (Penerbit: Tintamas, Jakarta, 1982).
H. Masoed Abidin bin Zainal Abidin Jabbar, Sistem Kekeluargaan
Matrilineal, Artikel, di akses pada tanggal 17 Januari 2020 jam 12:30
Juwariyah, Anik dan Prima Vidya Asteria, Konstelasi Kebudayaan
Indonesia, Cet. 1(Surabaya: Bintang, 2015).
81
Kasdi, Abdurrohman, Fikihwakaf: dari wakaf klasik hingga wakaf
produktiv, Yogyakarta: 2017, Idea Press Yogyakarta
Khaira, Ummul, Pelaksanaan Upaya Perdamaian Dalam Perkara
Perceraian, Vol. 18 No.3, September 2018.
Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat Di
Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998).
Laporan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang,
Kedudukandan Peran Bundo Kandung dalam Sistem Kekerabatan
Matrilineal, Di Luhakdan Rantau Minangkabau, 2015.
Mardani, Ushul Fikih, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
Manarisip, M arco, Ekstensi Pidana Adat Dalam Hukum Nasional,
Vol. 1 No. 4 Oktober- Desember 2012.
Muhammad, Wakaf Ahli: antaraeksistensi dan revitalisasi,Jurnal
Syariah Darussalam vol 4, no 2, juli-des 2019
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Sebagai Pengantar,
(Yokyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010).
Munawwir, ahmad warson, Kamus Al Munawwir (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997).
Munir, Misnal, Sistem Kekerabatan Dalam Kebudayaan
Minagkabau :Perspektif Aliran Filsafat Strukturalisme Jean Claude Levi-
Strauss. (Jurnal Filsafat). Vol, No 1, Febuari 2015.
82
Maruhun Batuah, Datuk, Hukum Adat dan Adat Minangkabau,
(Jakarta: Pusaka Asli, 1990).
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT.
Pradaya Paramitha, 2002).
Nasrun, Dasar Filasafat Adat Minangkabau, (Jakarta:Bulan
Bintang, 1971).
Nugroho, Sigit Sapto, Hukum Waris Adat Di Indonesia, (Solo:
Pustaka Itizam, 2016).
N.M. Rangkoto dan Dt Bandaro, Hubungan Mamak Dengan
Kemenakan Dahuludan Sekarang Serta Pasambahan Adat, (Bukit Tinggi,
1984).
Piliang, Edison dan Hasrun Dt. Maraja Sungut, TAMBO
MINANGKABAU “ Budayadan Hukum Adat di Minangkabau”, (Bukti
Tinggi: Kristal Multimedia, 2014).
Putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor: 2306 K/Pdt/2011,
Tentang Pembagian Harta Waris Pusako Tinggi
Rajab, Muhammad, Sistem Kekerabatan Minangkabau (center of
Minangkabau tudies, 1969).
Rauf,, Abd “Kedudukan Hukum Adat Dalam Hukum Islam” hukum
adat, relasi, hukum Islam, Vol. IX No,1, Juni 2013.
83
Rato, Dominikus, Hukum Perkawinandan Waris Adat, (Surabaya:
LaksbangJustitia, 2011)
Rosdalina, Hukum Adat, (Yogyakarta: Deepublish, 2017).
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesi, Edisi Revisi
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2015).
Salman, Otje dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Jakarta:
PT Refika Aditama, 2002).
Simanjuntak, P.N.H, Pokok-pokok Perdata Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 2002).
Sudaryatmi, Sri, Sukino, dkk, Beberapa Aspek Hukum Adat,
(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponorogo Semarang, 2000).
Soekanto, Soejono, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: Bharata,
1977).
Sunandan dkk, “Konsep ‘Urf Penetapan Hukum Islam”, Tsaqafah,
peradaban Islam, Vol. 13, No. 2, November 2017.
Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 1999) Cet, 1.
Sjarifoedin Tj. A, Amir. Minangkabau Dari Dinasti Iskandar
Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima,
2011).
84
Syarifuddin, Pelaksaan Hukum Kewarisan Islam dalam
Lingkungan Adat Mingakabau, (Jakarta: PT Gubug Agung, 1982).
Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta:
KencanaPrenda Media Group, 2012).
......................, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, cetakan
pertama, Jakarta, 2004.
......................., Hukum Pewarisan Islam dalam Adat
Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984).
......................., Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2014).
Syahrul, Ninawati, Perandan Tanggung Jawab Mamak Dalam
Keluarga: Tinjauan Terhadap Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis.
Vol. 10 nomor 1 Jakarta Timur 2017.
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan
Subakti Pusponoto, (Jakarta: Pradya Paramita, 1989).
Taufik Hidayat, Fatmah dan MohdIzhar Ariff Bin Mohd Qasim.
2016. Kaedah Adat Muhakkamah Dalam Pandangan Islam (Sebuah
Tinjaun Sosiologi Hukum), Jurnal Sosiologi. Vol 9 Nomor 1.
Utomo, Laksanto, Hukum Adat, (Depok: RajawaliPers, 2007).
Wahab khallaf, Abdul, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushhuk
Fikih), (Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada, 1996).
85
..............................., Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama
Semarang, Toha Putra Group, 1994).
Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin
Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilinela Minangkabau, (Jakarta:
Rajawali Press, 2013).
Yulika, Febi, Epistimologi Minangkabau Makna Pengetahuan
dalam Filsafat Adat Minangkabau, (Padang Panjang: Institut Seni
Indonesia Padang Panjang, 2017).
Yakub, B. Nurdin, Hukum Kekerabatan Minangkabau,
(BukitTinggi: Pustaka Indonesia, 1995).
Zubair, Maimoen, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih
Konseptual, (Surabaya: Khalista,2005).
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A NNomor 2306 K/Pdt/2011
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara :
1. YUMISDI, bertempat tinggal di Koto Panjang di belakang
TVRI Padang, RT. 05/RW.06 di Kota Padang ;
2. ANWAR ENEK, bertempat tinggal di Pilakut Kapuk
Kalumbuak RT. 004, RW. 004, Kelurahan Kalumbuak,
Kecamatan Kuranji, Kota Padang ;
3. MAWARDI SYAM, bertempat tinggal di Kalumbuak Nomor
05 RT. 012, RW. 004, Kelurahan Kalumbuak, Kecamatan
Kuranji, Kota Padang ;
4. YUSNIMAR, bertempat tinggal di Wisma Indah Kulumbuak
Nomor 5 RT. 001, RW. 002, Kelurahan Kalumbuak,
Kecamatan Kuranji, Kota Padang , kesemuanya dalam hal
ini memberi kuasa kepada Erizal Efendi,SH.,MH., para
Advokat, berkantor di Komplek Taman Graha Indah Lestari
Blok B/9, Jalan Cidur Mato, Lapai, Padang ;
Para Pemohon Kasasi I dan juga sebagai para Termohon
Kasasi II dahulu Penggugat/para Pembanding,
M e l a w a n :
Dra. SYAMSINAR SYAM, bertempat tinggal di Jalan Gajah
Mada Depan MAN 2 RT. 2 RW. 8, Kota Padang, dalam hal ini
memberi kuasa kepada Asnil Abdillah,SH., Advokat, berkantor
di Jalan Adi Negoro Nomor 36 Petak 6, Gianting, Lubuk Buaya,
Padang ;
Termohon Kasasi I dan juga sebagai Pemohon Kasasi II dahulu
Tergugat/Terbanding,
Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
para Pemohon Kasasi I dan juga sebagai para Termohon Kasasi II dahulu
Hal. 1 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
sebagai para Penggugat telah menggugat sekarang Termohon Kasasi I dan
juga sebagai Pemohon Kasasi II dahulu sebagai Tergugat di muka persidangan
Pengadilan Negeri Padang pada pokoknya atas dalil-dalil :
Bahwa para Penggugat dan Tergugat adalah Beradik Kakak, Bermamak
Berkemenakan dari Ibu Kamar (aIm) dalam Suku Tanjung Pilakut Gunung
Sariak, yang meninggal dunia pada tanggal 29 Pebruari 1993 ;
Bahwa Yumisdi selaku Penggugat I adalah Mamak Kepala Waris dalam
Suku Tanjung Pilakut Gunung Sariak, berdasarkan Surat Pernyataan
Penunjukkan pengganti Mamak Kepala Waris yang dibuat dan ditanda tangani
pada tanggal 20 Nopember 2006 dan diketahui serta di tanda tangani oleh
anggota kaum bersama Orang Tuo Suku Tanjung Pilakut Gng. Sariak ;
Bahwa Ibu para Penggugat dan Tergugat sebelum meninggal dunia ada
meninggalkan Harta Kaum yang berasal dari Pusaka Tinggi Suku Tanjung
Pilakut Gunung Sariak yang sifatnya hiduik bapadok ganggam bauntuak dan
juga ada tanah yang berasal dari Konslidasi (pengganti) dan tanah Kaum yang
telah di pergunakan untuk kepentingan umum Jalan By Pass, adapun tanah
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Satu bidang tanah sesuai dengan SHM Nomor 1926/SU Nomor 12/01/
006 Nomor 00729/2006, Luas 2116 M² atas nama Dasril (NKW), Anwar
Afrizal dan Yumisdi, dengan batas sepadan :
• Sebelah Barat berbatas dengan Jalan By Pass ;
• Sebelah Timur berbatas dengan bagian tanah itu juga dan Jalan ke
Masjid ;
• Sebelah Selatan berbatas dengan Jalan Ke Mesjid dan tanah SHM
M.675 ;
• Sebelah Utara berbatas dengan tanah Negara ;
Terletak di Kelurahan Gunung Sariak Kecamatan Kuranji, Kota Padang ;
2. Satu bidang tanah sesuai dengan SHM Nomor 707/GS Nomor 15 tanggal 8
Januari 1994, Luas 1.890 M² atas nama Kamar, dengan batas sepadan :
• Sebelah Barat berbatas dengan Jalan ke Sungai Sapiah ;
• Sebelah Timur berbatas dengan tanah Milik Adat ;
• Sebelah Selatan berbatas dengan tanah Milik Adat ;
• Sebelah Utara berbatas dengan tanah Milik Adat ;
• Terletak di Kelurahan Sungai Sapiah, Kecamatan Kuranji, Kota Padang ;
2
2
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
3. Satu bidang tanah yang berasal dari tanah konslidasi (Pengganti) Luas
1.800 M² atas nama Kamar ,dengan batas sepadan :
• Sebelah Barat berbatas dengan tanah pengganti tanah adat ;
• Sebelah Timur berbatas dengan Jalan By Pass ;
• Sebelah Selatan berbatas dengan tanah Pengganti Sri Denny ;
• Sebelah Utara berbatas dengan tanah Pengganti Nursun/Uwan ;
Terletak di Kelurahan Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang ;
Bahwa Penggugat I selaku Mamak Kepala Waris dan Penggugat II
Penggugat III dan Penggugat IV, tidak dapat menerima cara-cara yang di
lakukan oleh Tergugat sebab dengan tanpa musyawarah telah menguasai dan
mendirikan bangunan di atas tanah bidang I berupa bangunan kayu dan
selajutnya telah menyewakan selama 10 tahun dengan nilai sewa Rp
125.000.000,00 kepada pihak pemilik Showroom Jepara yang sewanya diterima
oleh Tergugat dan tanah bidang II telah didirikan bangunan permanen yang di
pergunakan dan didirikan bangunan Sekolah TK oleh Tergugat dan tanah
bidang III yang telah di terbitkan Surat Keputusannya oleh Wali Kota sebagai
tanah Konslidasi (Pengganti) di kuasai oleh Pihak Tergugat ;
Bahwa Penggugat I selaku Mamak Kepala Waris dan Penggugat II,
Penggugat III dan Penggugat IV, telah berulang kali mengundang Pihak
Tergugat, untuk dapat menyelesaikan Penguasaan tanah bidang I, II dan III
tersebut secara Musyawarah dan Kekeluargaan namun tindak di indahkan
dengan berbagai dalih yang tidak dengan beralasan ;
Bahwa para Penggugat telah sepakat untuk mengeluarkan bahagian
tanah bidang I seluas 150 M² yang dipergunakan untuk Pandan Perkuburan
yang sekarang ini telah berkubur Ibu Kamar, Afrizal, anak Tergugat dan
saudara sejurai lainnya ;
Bahwa para Penggugat telah berusaha untuk membantu saudara
kandung para Penggugat dan Tergugat yang bernama Afrizal (alm) yang
menderita sakit Tumor selama 15 Tahun untuk membiayai pengobatan maka
dengan melakukan Musyawarah Kaum karena ketiadaan para Penggugat apa
lagi Tergugat selaku Kakak Kandung tidak memperdulikan apalagi untuk
membantu pembiayaan, melihat saja tidak, dan berdasarkan kesepakatan para
Penggugat telah menjual tanah bagian bidang I seluas 297 M² kepada Pihak lain
yang di halangi oleh Tergugat sebagai Kakak maupun Anggota Kaum secara
3
Hal. 3 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Adat hal tersebut tidak di benarkan, karena fungsi harta pusaka adalah untuk
menolong ;
Bahwa Tergugat berdasarkan hal-hal yang disebutkan pada Point
tersebut diatas Tergugat selaku Anggota Kaum ingin menguasai seluruh harta
peninggalan Ibu Kamar (alm) dan Penggugat I selaku Mamak Kepala Waris
bersama para Penggugat lainnya telah berulang kali berusaha untuk
menyelesaikan persoalan tersebut secara Musyawarah dan Kekeluargaan,
namun tidak di indahkan oleh Tergugat ;
Bahwa tiada jalan lain bagi para Penggugat selain mengajukan gugatan
ini, untuk dapat di lakukan pembagian dibagi 5 (lima) antara para Penggugat
dan Tergugat baik atas tanah bidang I maupun bidang II dan bidang III secara
adil kepada para Penggugat dan Tergugat ;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas para Penggugat mohon
kepada Pengadilan Negeri Padang agar memberikan putusan sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya ;
2. Menyatakan perbuatan Tergugat yang menguasai obyek perkara bidang I,
bidang II dan bidang III, adalah merupakan perbuatan melawan hukum ;
3. Menyatakan perbuatan Tergugat menguasai Surat Keputusan Walikota
Tanah Konslidasi (pengganti) bidang III, adalah merupakan perbuatan
melawan hukum ;
4. Menyatakan sah secara hukum Tanah bidang I seluas 150 M² dipergunakan
sebagai Pandam Perkuburan Jurai Kamar (alm) Ibu para Penggugat dan
Tergugat ;
5. Menyatakan sah secara hukum penjualan tanah bidang I seluas 297 M² yang
dilakukan para Penggugat ;
6. Menyatakan para Penggugat berhak atas tanah bidang I dengan luas
1.332.8 M², bidang II dengan luas 1.512 M² dan bidang III dengan luas 1.440
M² ;
7. Menyatakan hak Tergugat atas Tanah bidang I seluas 333,8 M², tanah
bidang II dengan luas 378 M² dan bidang III 360 M² ;
8. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan hak para Penggugat jika ingkar
dengan upaya paksa dengan bantuan pihak Kepolisian Republik Indonesia ;
9. Menghukum Tergugat untuk dapat membayar ongkos yang timbul dalam
perkara ini ;
4
4
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Subsidair :
Mohon putusan yang seadil-adilnya, jika Ketua dan Majelis Hakim berpendapat
lain (ex a quo et bono) ;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat mengajukan
eksepsi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut :
1. gugatan Penggugat Tidak Berdasarkan Hukum ;
Bahwa Penggugat sebagaimana gugatannya meminta supaya Pengadilan
membagi objek perkara berupa 3 (tiga) bidang tanah harta pusaka kaum
diantara Penggugat dengan Tergugat dengan rincian untuk Penggugat
sejumah 4/5 bagian dan untuk Tergugat sisanya sejumlah 1/5 bagian, bahwa
menurut hukum adat Minangkabau gugatan Penggugat atas harta pusaka
tersebut tidaklah berdasarkan kepada hukum dengan atasan sebagai berikut
:
a. Hukum waris harta pusaka kaum menurut hukum adat Minangkabau
adalah kepemilikan bersifat kolektif dan bukanlah bersifat pribadi-pribadi,
maka oleh karena itu gugatan Penggugat yang meminta supaya harta
pusaka kaum atas ketiga bidang tanah pusaka kaum tersebut untuk
dibagi secara pribadi-pribadi antara para Penggugat dengan Tergugat
jelas tidak berdasarkan hukum dan bertentangan dengan hukum adat
Minangkabau ;
Bahwa harta pusaka tinggi (harta pusaka kaum) oleh masayarakat
Minangkabau disebut atau diistilahkan juga dengan harta kemenakan ;
Bila harta pusaka tersebut berupa sawah disebut juga "sawah
kemenakan" atau bila harta tersebut berupa rumah atau rumah gadang
disebut juga dengan "rumah kemenakan" adalah merupakan warisan dari
nenek moyang dan diwarisi secara turun temurun adalah sebagai milik
bersama dari kaum, dan ditujukan untuk menghidupi dan kemajuan dari
kemenakan-kemenakan (penerus keturunan) dalam kaum tersebut dan
bukan sebaliknya ditujukan untuk kepentingan Mamak-mamak secara
pribadi-pribadi, begitulah hukum harta pusaka tersebut. karena harta
pusaka bukanlah harta pencarian dari ayah dan ibu (harta warisan).
Nenek moyang memperuntukannya harta pusaka tersebut untuk penerus
keturunannya dikemudian dari kaum tersebut (kemenakan-kemenakan),
harta pusaka tersebut dijaga oleh Mamak-mamak untuk dapat diwarisi
5
Hal. 5 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dari generasi satu kegenerasi berikutnya, pewarisan harta pusaka
tersebut terus dilaksanakan secara turun temurun tidak terputus-putus,
dengan istilah "dari Ninik turun ka Mamak, dan dari Mamak turun ka
Kemenakan"; Bahwa berkaitan dengan harta pusaka tersebut, dimana
fungsi dan tugas anggota kaum yang laki-Iaki (Mamak) terhadap harta
pusaka menurut hukum adat Minangkabau adalah bertugas menambah
dan menjaga harta pusaka kaum tersebut supaya dapat dinikmati untuk
keperluan seluruh kemenakan dalam kaum dan menjaganya agar tidak
berpindah/beralih kepada pihak lain, bahwa anggota kaum laki-Iaki
tidaklah berhak atas harta pusaka tersebut apabila dipergunakan selain
untuk kepentingan kaumnya selaku pemilik dari harta tersebut, laki-Iaki
dalam kaum diperistilahkan sebagai "'kabau pahangkuik abu, atau gajah
paliliang bukik" dan bukan sebaliknya untuk "mengurangi atau
menghabiskan harta pusaka" yang merupakan hak dari kemenakannya
dan atau hak dari penerus dari kaum tersebut ;
b. Bahwa hukum adat Minangkabau melarang perbuatan membagi harta
pusaka kaum secara pribadi-pribadi, apalagi dibagi-bagikan pada
masing-masing anggota kaum yang laki-Iaki untuk dijadikan milik pribadi-
pribadi, karena hal tersebut tentulah akan mengurangi harta kaum
tersebut, dan hal tersebut jelas merugikan kemenakan-kemenakan
sebagai pihak yang berhak atas harta pusaka tersebut ;
Bahwa pembagian harta kaum tersebut hanya dimungkinkan dengan
istilah adat dengan pembagian secara “Ganggam Bauntuak", pembagian
model ini sekalipun harta kaum tersebut dibagi namun kepemilikannya
tetap secara kolektif milik kaum dan bukan secara pribadi-pribadi, bahwa
model pembagian ganggam bauntuak adalah dengan ketentuan, dimana
jika harta tersebut dibagi secara berkaum maka pembagian tersebut
dibagi seberapa banyak jumlah jurai yang ada dalam kaum tersebut, dan
bila harta tersebut dibagi dalam jural, maka pembagian dalam jurai
tersebut didasarkan kepada jumlah paruikjanduang yang ada dalam jurai
tersebut, dan bila harta tersebut dibagi berdasarkan paruik maka
pembagian harta tersebut didasarkan kepada jumlah induak yang ada
dalam paruik tersebut, begitulah seterusnya pembagian harta tersebut
yang pada intinya pembagian harta kaum didasarkan kepada jumlah
6
6
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
perempuan (induak), hal ini tidak lepas dari sistem garis keturunan
masyarakat Minangkabau yang berdasarkan "Materilinial atau garis
keturunan dari ibu” ;
Bahwa hukum adat yang menggariskan pembagian harta tersebut
kepada perempuan, juga dilaksanakan dalam kaum Penggugat dan
Tergugat, dan hal ini sebenarnya dimengerti oleh Penggugat
sebagaimana terlihat dari posita gugatan Penggugat angka 3, dimana
ketiga bidang tanah sengketa tersebut didalilkan sebagai berasal dari
"ganggam bauntuak" dari ibu Kamar almarhum, posita tersebut Tergugat
kutipkan sebagai berikut :
Bahwa ibu para Penggugat dan Tergugat sebelum meninggal dunia ada
meninggalkan Harta Kaum yang berasal dari Pusaka Tinggi Suku
Taryung Pilakut Gunung Sarik yang sifatnya hidup bapadok ganggam
bauntuak.. dan seterusnya” ;
Bahwa berdasarkan dalil posita gugatan Penggugat diatas maka dapat
ditarik suatu kesimpulan hukum bahwa pembagian harta pusaka atas
harta kaum Penggugat dan Tergugat tersebut dilakukan menurut hukum
adat Minangkabau yaitu secara "ganggam bauntuak". dan tidaklah dapat
dibenarkan pembagian tersebut diganti secara pribadi-pribadi
sebagaimana menurut versi Penggugat yang telah merujuk kepada
"hukum waris perdata barat (BW)'" (bagian laki-Iaki sama dengan bagian
perempuan) ;
Bahwa pembagian harta pusaka yang mendasarkan kepada jumlah
induak/ibu (perempuan) sebagaimana disebut diatas, karena
perempuanlah sebagai penerus keturunan dari suatu kaum, karena
perempuanlah yang akan melahirkan kemenakan-kemenakan
(keturunan) dari kaum (keluarga) yang sekaligus akan meneruskan
pewarisan harta tersebut, dan dalam hal ini tugas mamaklah untuk
meneruskan harta pusaka tersebut kepada Kemenakan untuk diwarisi,
karenanya tidak dibenarkan menghilangkan atau menghapus harta
pusaka yang merupakan hak waris dari kemenakan-kemenakan ;
Bahwa harta pusaka adalah hak dari kemenakan dan bukanlah hak dari
anak pisang (anak Mamak), karena anak pisang bukan anggota kaum,
makanya hukum adat hanya membolehkan pembagian harta pusaka
7
Hal. 7 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
secara "ganggam bauntuak", maka tidak benarkan dibagi kepada
anggota kaum yang laki-Iaki, karena jelas akan mengurangi harta kaum
tersebut, karena keturunan dari laki-Iaki (anak pisang) tidak berhak atas
harta pusaka kaum dari ayahnya; Anggota kaum laki-laki/mamak
hubungannya dengan harta pusaka kaum adalah bagaimana mengurus
harta pusaka tersebut (misalnya kalau berupa sawah bagaimana sawah
tersebut produktif dan hasilnya dapat dipergunakan untuk kaumnya) serta
menjaga/mengamankan harta pusaka tersebut dari gangguan pihak lain,
supaya harta tersebut dapat diwariskan kepada kemenakannya, begitulah
fungsi Mamak dalam kaum ;
Bahwa berkaitan dengan ganggam bauntuak yang diuraikan diatas, maka
betullah dalil yang dinyatakan Penggugat pada angka 3 posita
gugatannya, karenanya memang harta pusaka atas tiga bidang tanah
tersebut berasal dari harta pusaka tinggi yang dibagikan secara "hiduik
bapadok, ganggam bauntuak" kepada ibu Kamar (anggota kaum
perempuan) sebagai mewakili hak untuk jurainya (bukan sebagai pribadi,
dan bukan dibagikan kepada saudara laki-lakinya atau pun berbagi
dengan saudara laki-laki, dan begitulah hukum atas ketiga bidang tanah
sengketa tersebut sebagai harta kaum, yang apabila dibagi nantinya oleh
keturunan Kamar maka haruslah dibagi menurut hukum adat
Minangkabau yaitu secara "ganggam bauntuak" dilakukan karena harta
pusaka tersebut bukanlah harta warisan sebagai harta milik pribadi
berasal dari pencarian oleh ayah/ibu ;
Bahwa pembagian dengan model ganggam bauntuak disebut diatas
dimaksudkan bahwa harta tersebut hanya diwarisi oleh kemenakan dari
kaum tersebut dan supaya harta tersebut tetap sebagai harta kaum dan
tidak berkurang jumlahnya, hal ini sesuai dengan pepatah adat berkaitan
dengan harta pusaka yang menyatakan "Patah tumbuah hilang baganti,
pusako tetap baitu jua" (patah tumbuh hilang berganti, pusaka tetap
begitu juga). dan kewajiban dari anggota kaum laki-Iakilah (mamak/dalam
suatu kaum untuk menjaga harta pusaka (hana kemenakan/tersebut
supaya aman dan dapat diwarisi oleh keturunannya nantinya, dan
menurut hukum adat seorang Mamak di ibaratkan sebagai sebuah pagar
untuk melindungi tanaman ;
8
8
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
c. Bahwa pembagian secara ganggam bauntuak tersebut diatas, apabila
akan dilakukan terhadap ketiga bidang tanah pusaka tersebut
sebagaimana dali/Penggugat (kehendak dari Penggugat), maka jelaslah
belum dapat dilaksanakan sekarang ini dalam kaum, hal ini dikarenakan
"ganggam bauntuak" barulah dapat dilakukan apabila anggota kaum
dalam suatu kaum sudah begitu banyak dan bertekad untuk mengurus
hidupnya masing-masing (ganggam bauntuak, hiduik bapadok) diantara
jurai atau paruik (namun tidak menghapus hak saling mewarisi diantara
mereka seumpama pada jurai/induak yang lain punah tidak ada penerus
kemenakan perempuan), sementara faktanya antara Penggugat dengan
Tergugat masih satu induak (satu ibu), yaitu sama-sama anak dari Kamar
almarhum (artinya harus ada dua induak (ibu) baru bisa dibagi), dan
didalam kaum hanyalah Tergugat selaku anggota kaum perempuan yang
memiliki keturunan, yaitu 9 (sembilan) orang anak, dimana diantaranya
ada 2 orang anak perempuan dan telah pula melahirkan keturunan-
keturunan, bahwa kalaupun ganggam bauntuak tersebut akan dilakukan
dalam kaum, maka ganggam bauntuak tersebut barulah dapat dilakukan
nantinya oleh cicit-cicit dari kamar (bukan oleh cucu-cucu kamar), karena
tidak mungkin dilakukan oleh cucu-cucu kamar karena Penggugat 4
(Yusnimar) sendiri tidak mempunyai keturunan ;
Berdasarkan uraian diatas maka terbuktilah gugatan Penggugat atas ketiga
bidang tanah pusaka tersebut tidak berdasarkan hukum ;
2. Penggugat Tidak Berkwalitas Mengajukan gugatan ;
Bahwa adapun alasan Tergugat menyatakan Penggugat tidak berkwalitas
mengajukan gugatan dalam perkara ini dengan alasan sebagai berikut :
a. Bahwa Yumisdi (Penggugat I) bukanlah sebagai Mamak Kepala Waris
(MKW) dalam kaum suku Tanjung Pilakut Gunung Sariak sebagaimana
gugatannya, karena anggota kaum yang menjabat sebagai Mamak
Kepala Waris adalah Muhamad Zein (saudara kandung dari ibu Kamar
almarhum) dan merupakan Laki-laki tertua dalam kaum dan sekaligus
Mamak kandung dari para Penggugat dan Tergugat, maka oleh karena
Penggugat I bukan menjabat Mamak Kepala Waris, maka karenanya
tidak berkwalitas/berwenang untuk mengajukan gugatan berkaitan
dengan ketiga tumpak tanah yang diperkarakan untuk dibagi tersebut, hal
9
Hal. 9 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
ini sesuai dengan hukum adat Minangkabau yang menentukan bahwa
yang berhak untuk mengurus baik keluar dan maupun kedalam
berkenaan dengan harta pusaka adalah hanya Mamak Kepala Waris
dalam kaum, yang dalam hal ini adalah Muhamad Zein ;
b. Bahwa selain hal diatas, yang diperkarakan oleh Penggugat dalam
perkara sekarang ini adalah meminta supaya Pengadilan membagi harta
pusaka kaum kepada masing-masing Penggugat dengan Tergugat
(pribadi-pribadi), bahwa berkaitan dengan gugatan tersebut maka bila
dihubungkan dengan pernyataan Penggugat kepada kaum berdasarkan
Surat Pernyataan tanggal 23 April 1996 maka oleh karenanya Penggugat
I tidak berhak dan berkwalitas untuk memperkarakan harta pusaka kaum
untuk dibagi, karena Penggugat I dalam pernyataan tersebut telah
menyatakan: "bahwa harta pusaka tidak boleh dibagi dan kalau dibagi
akan dimakan sumpah sebagaimana amanat dari almarhum ibu Kamar ;
c. Bahwa begitu juga halnya dengan Penggugat 3 (Mawardi Syam), dimana
telah pula membuat surat pernyataan dihadapan kaum dan disetujui oleh
Mamak Kepala Waris (Muhamad Zein), dimana dengan tegas Penggugat
3 telah menyatakan: "melepaskan haknya terhadap harta kaum"
sebagaimana bunyi dari Surat Pernyataan tanggal 22 Pebruari 2005 ;
d. Bahwa selain hal yang dikemukakan diatas, Penggugat juga tidak
berkwalitas dan berhak meminta supaya atas harta pusaka kaum
tersebut untuk dibagi secara pribadi diantara Penggugat dengan
Tergugat, karena sebagaimana yang Tergugat uraikan diatas (eksepsi
gugatan tidak berdasarkan hukum), bahwa membagi harta pusaka
menurut hukum adat Minangkabau haruslah dilakukan secara ganggam
bauntuak, maka oleh karenanya pembagian harta pusaka tersebut adalah
merupakan hak dari jurai, paruik atau induak, dan oleh sebab dalam
perkara sekarang ini yang berhak apabila harta pusaka berupa ketiga
bidang tanah tersebut supaya dilakukan pembagian adalah merupakan
hak dari jurai,paruik atau induak yang ada dalam kaum Penggugat dan
Tergugat, dan bukanlah hak dari Penggugat maupun Tergugat ;
3. gugatan Penggugat Kurangan Pihak ;
• Bahwa gugatan yang diajukan penggugat sekarang ini adalah kurang
pihak, hal ini dikarenakan sebagaimana dalil gugatan para Penggugat
10
10
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
sendiri (Penggugat mendalilkan Penggugat I adalah selaku Mamak
Kepala Waris) yang menyatakan bahwa "ketiga tumpak tanah yang
diperkara Penggugat untuk dibagi menjadi dua bagian tersebut
merupakan berasal dari harta pusaka tinggi kaum" maka oleh karena
anggota kaum bukan hanya Para Pengguat dengan Tergugat maka
seharusnya Penggugat tidak hanya menggugat Tergugat sendiri saja
dalam perkara sekarang ini, dan seharusnya Penggugat juga menarik
anggota kaum yang lain, karena anggota kaum dalam kaum Penggugat
dengan Tergugat tidak hanya para Penggugat dengan Tergugat, tetapi
banyak anggota kaum lain yang sudah akhir balik, dan anggota kaum
yang lain tersebut haruslah ditarik sebagai pihak dalam perkara ini,
seperti Muhamad Zen selaku Mamak Kepala Waris (MW) yang
merupakan saudara kandung dari ibu Kamar, dan berikut seluruh
anggota kaum yang ada dalam kedua jurai/paruik dalam kaum, yaitu
jurai/paruik Kamar dan jurai/paruik Sawija, dimana dalam jurai/paruik
Kamar yaitu anak-anak dari Tergugat yang berjumlah 10 orang serta
cucu-cucu Tergugat yang telah dewasa, diantaranya :
Damsiwar (lk), Junaidi (Lk), Edril (lk) Ely Zuharni (Pr), Yendri (lk), Alvy
Yunandar (lk), Elia Nova (Pr) dan Rahmad (lk) sedangkan anggota jurai/
paruik Sawija, diantaranya: Acik (lk), Zamzami (lk), Bustami (lk), Kartini
(Pr) berikut ke 8 (delapan) anaknya serta cucu-cucunya yang dewasa,
Safrifuddi (lk) dan 3 (tiga) orang anak-anak dari Nurgaya (pr) berikut
cucu-cucunya yang dewasa ;
• Bahwa selain hal diatas, dimana berdasarkan dalil posita gugatan
Penggugat angka 4 yang mendalilkan "bahwa tanah bidang I dikuasai
sebagian oleh pemilik showroom Jepara karena disewakan oleh
Tergugat, maka menurut hukum maka seharusnya pihak penyewa
bangunan kayu pemilik Showroom Jepara tersebut juga harus ditarik
sebagai pihak dalam perkara ini sebagai pihak yang juga menguasai
objek perkara tanah bidang I; dan begitu pula halnya dengan kedudukan
pihak sekolah Taman Kanak-kanak (TK) yang didalilkan dalam posita
gugatannya oleh Penggugat, maka seharusnya juga dilibatkan dalam
perkara sekarang ini, oleh karena pihak sekolah TK tersebut merupakan
pihak yang juga menguasai objek perkara tanah bidang II ;
11
Hal. 11 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa Penggugat seharusnya juga menarik Badan Pertanahan Nasional
(BPN) dalam perkara sekarang ini, hal ini dikarenakan tanah tumpak I
dan tanah tumpak II telah diterbitkan oleh BPN sertifikat Hak Milik atas
tanah tersebut ;
Berdasarkan uraian diatas maka terbuktilah gugatan penggugat kurang pihak
;
4. gugatan Penggugat Kabur (obscuur libel) ;
Adapun alasan Tergugat menyatakan gugatan Penggugat kabur adalah
sebagai berikut :
a. Bahwa antara dalil-dalil posita dalam gugatan saling bertentang satu
dengan yang lainnya, begitu pula antara posita dengan petitum, hal ini
terbukti dimana Penggugat mendalilkan bahwa ketiga bidang tanah yang
disengketakan tersebut adalah harta kaum supaya, dan Penggugat
berkaum bersama-sama dengan Mamak Kepala Waris (Penggugat I)
meminta supaya Pengadilan Negeri membagi harta pusaka tersebut
diantara Penggugat dengan Tergugat masing-masing seperlima bagian ;
Bahwa berdasarkan hal diatas maka terbuktilah posita gugatan saling
bertentangan, karena hukum waris yang menentukan pembagian untuk
masing-masing anak, baik anak perempuan atau anak laki-laki sama
banyak adalah hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata Barat (BW),
yang nota bene tidak berlaku terhadap Penggugat dengan Tergugat,
sementara harta peninggal yang dimintakan untuk dibagi oleh Penggugat
adalah harta pusaka milik kaum, dan bukan harta warisan pencarian
orang tua Penggugat dengan Tergugat, maka seharusnya hukum yang
cocok atas ketiga bidang tanah sengketa tersebut adalah hukum adat
Minangkabau karena tanah sengketa adalah harta pusaka kamu, yaitu
pembagian yang dilakukan secara ganggam bautuak ;
Bahwa begitulah fakta posita gugatan Penggugat yang tidak
mendasarkan pembagian tersebut kepada hukum adat Minangkabau,
akan tetapi mendalilkan supaya tanah sengketa tersebut dibagi
berdasarkan hukum perdata barat (KUHPerdata), sebagaimana dalil
gugatan Penggugat pada angka 5, yang kutipannya sebagai berikut :
“Bahwa tidak ada jalan lain...dan seterusnya dibagi 5 (lima) antara para
Penggugat dan tergugat .. dan seterusnya" ;
12
12
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
b. Bahwa selanjutnya antara posita angka 5 yang meminta upaya tanah
sengketa dibagai 5 (lima), bertentangan dengan petitum angka 6 dan 7
yang menyatakan tanah sengketa hanya dibagi 2 (dua) bagian antara
Penggugat dengan Tergugat ;
c. Bahwa selain alasan hukum diatas, maka gugatan Penggugat juga
merupakan suatu gugatan yang kabur karena gugatan Penggugat
disusun tidak sesuai dengan hukum acara perdata atau melanggar syarat
formil, hal ini terbukti dimana Penggugat yang telah mencapur adukan
antara tuntutan pembagian harta pusaka kaum dengan tuntutan mohon
atas jual beli tanah kaum atas tanah bidang I untuk disahkan; bahwa
kedua peristiwa hukum tersebut adalah berbeda, dan seharusnya
gugatan tersebut diajukan secara terpisah, bukan sebaliknya disatukan
seperti sekarang ini; dan begitu juga dengan penyebutan tanggal
kematian dari ibu almarhum Kamar oleh Penggugat selaku anak-anaknya
yang keliru dengan menyebutkan tanggal 29 Pebruari 1993, yang pada
tanggal kematiannya adalah tanggal 24 Pebruari 1993, sebagaimana
surat keterangan kematian yang dikeluarkan pihak Kelurahan ;
5. gugatan Penggugat error in persona, bahwa adapun alasan gugatan
Penggugat sekarang ini adalah error in persona karena Tergugat
bukanlah
selaku pihak yang menguasai terhadap tanah sengketa bidang III
sebagaimana posita gugatan Penggugat ;
6. gugatan tidak ada hubungan hukum ;
Bahwa hukum tentang harta pusaka adalah berbeda dengan hukum harta
warisan, dimana harta warisan bersifat hak pribadi-pribadi dari ahli waris
yang dapat dialihkan oleh ahli waris tersebut (pemiliknya) sekendaknya, dan
ahli waris mana merupakan "anak atau cucu (bila sianak meninggal dunia)
dari sipewans". dan harta warisan tersebut berbeda atau berlainan dengan
harta pusaka kaum; harta pusaka adalah milik bersama dari suatu kaum,
yang ahli warisnya adalah "kemenakan dalam kaum tersebut". dan bukan
anak atau cucu dari sipewaris, karena harta pusaka bukanlah berasal dari
hasil pencarian sipewaris, kepemilikannya merupakan hak kaum atau
keturunan/penerus kaum tersebut, maka harta pusaka tersebut tidak boleh
dibagi-bagi sebagaimana versi Penggugat, karena jelas hal tersebut
13
Hal. 13 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
merugikan kemenakan dalam kaum, dengan demikian jelaslah bahwa
hubungan hukum antara Penggugat dengan ketiga tumpak tanah sengketa
tersebut bukanlah suatu hubungan hak milik bersifat pribadi, karena ketiga
bidang tanah tersebut bukanlah harta warisan pencarian ayah dan atau ibu
Penggugat ;
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka cukuplah alasan
hukum untuk menyatakan gugatan Penggugat dalam perkara ini supaya
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvanklijke verklaard) ;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Padang telah
mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 80/Pdt.G/2009/PN.Pdg tanggal 4
Agustus 2010 yang amarnya sebagai berikut :
Dalam Eksepsi :
• Menolak eksepsi-eksepsi dari Tergugat seluruhnya ;
Dalam Pokok Perkara :
• Menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima ;
• Menghukum para Penggugat untuk membayar ongkos yang timbul dalam
perkara ini, yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp 976.000,00
(sembilan ratus tujuh puluh enam ribu Rupiah) ;
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan para
Penggugat/para Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Padang dengan putusan Nomor 172/
PDT/2010/PT.PDG tanggal 30 Nopember 2010 ;
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
para Penggugat/para Pembanding dan Tergugat/Terbanding masing-masing
pada tanggal pada tanggal 17 dan 14 Pebruari 2011 kemudian terhadapnya
oleh para Penggugat/para Pembanding dan Tergugat/Terbanding dengan
perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus masing-masing tanggal
13 Oktober 2009 dan 31 Agustus 2009 diajukan permohonan kasasi secara
lisan masing-masing pada tanggal1 Maret 2011 dan 28 Pebruari 2011
sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi Nomor 09/2011/PN.Pdg
dan Nomor 08/2011/PN.Pdg., dan yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Padang, permohonan mana diikuti dengan memori kasasi yang memuat alasan-
alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut masing-
masing pada tanggal 14 dan 11 Maret 2011 ;
14
14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa setelah itu oleh Termohon Kasasi/Tergugat dan Termohon
Kasasi/Penggugat yang masing-masing pada tanggal 14 Maret 2011 dan
tanggal 6 April 2011 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Pemohon
Kasasi/Penggugat dan Pemohon Kasasi/Tergugat diajukan jawaban memori
kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Padang pada tanggal
18 April 2011 ;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka
oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
Tergugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
Para Pemohon Kasasi/para Penggugat ;
1. Bahwa Pengadilan Tinggi Padang dan Pengadilan Negeri Padang selaku
Judex Facti telah salah menerapkan hukum dan telah melanggar ketentuan
hukum yang berlaku ;
2. Bahwa Pengadilan Tinggi Padang dan Pengadilan Negeri Padang Selaku
Judex Facti dalam putusannya Pada halaman 34 “Menimbang untuk
membuktikan dalil sangkalannya tersebut Tergugat telah mengajukan bukti
T-1 dan bukti T.2 dimana dari bukti T-1 (Ranji Keturunan Pik Apuk suku
Tanjung Pilakut Gunung Sarik tertanggal 2 Pebruari 2003) dan bukti bukti
T-2(surat pernyataan pengangkatan Mamak Kepala Waris kaum suku
Tanjung tertanggal 10 Januari 2009) terlihat bahwa Muhammad Zen adalah
sebagai Mamak Kepala Waris dalam kaum Para Penggugat dan Tergugat”
bahwa pertimbangan hukum Judex Facti demikian tidak beralasan hukum
sama sekali sebab ke 2 (dua) surat bukti a quo telah dimentahkan oleh :
• Surat bukti P-1 Foto copy Surat Pernyataan Penunjukan Pengganti Mamak
Kepala Waris dari Dasril (alm) kepada Yumisdi diketahui Mamak nan bajinih
adat Darwas Dt.Rajo Lelo selaku Orang Tuo Suku Tanjung dan Erman
Pandito Basa selaku Pandito Suku Tanjung 20 Nopember 2006 ;
• Surat bukti P.2 foto copy Sertifikat hak milik Nomor 1926/SU tanggal 12
Januari 2006 No .00729/2006 seluas 2.116 Sebagai Pemegang Hak Dasril
(MKW), Anwar, Afrizal dan Yumisdi ;
15
Hal. 15 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Surat bukti P.9. foto copy surat pernyataan dari M. Zen Rajo Mudo tertanggal
15 September 2009 ;
Bahwa Putusan Judex Facti a quo didasarkan atas pertimbangan hukum
yang tidak benar dan salah sebab surat bukti T.1 dan T 2 yang diajukan
TUK/Terbanding/Tergugat tidak diketahui, tidak disetujui dan Para
Penggugat tidak ikut Menandatanganinya dan merupakan rekayasa TUK,
maka putusan yang demikian beralasan hukum dibatalkan ditingkat Kasasi ;
3. Bahwa para TUK/para Pembanding/para Penggugat untuk menguatkan dan
menegaskan bahwa Yumisdi sebagai Mamak Kepala Waris (MKW) dalam
Kaum para Penggugat/para Pembanding/para Pemohon Untuk Kasasi (PUK)
dan Tergugat/Terbanding/Termohon Untuk Kasasi (TUK) dalam permohonan
kasasi ini disampaikan 2 (dua) surat bukti tambahan/baru P.18 (salinan Surat
Pernyataan M. Zen yang dibuat dan ditanda tangani dihadapan
Rismadona,SH., Notaris di Padang Legalisasi Nomor 1.672/L-2011 tanggal
28 Januari 2011 pada pokoknya mengakui bahwa Yumisdi adalah Mamak
Kepala Waris (MKW), dan surat bukti P.19 (Salinan Surat Pernyataan
H.Mawardi Syam yang dibuat dan ditanda tangani dihadapan
Rismadona.SH., Notaris di Padang Legalisasi Nomor 1.672/L-2011 tanggal
28 Januari 2011 pada pokoknya Menegaskan yang menjadi Mamak Kepala
Waris (MKW) dalam kaum Para Penggugat dan Tergugat adalah Yumisdi)
kedua surat bukti terlampir, maka dengan demikian beralasan hukum
Putusan Judex facti yang demikian dibatalkan ditingkat Kasasi ;
4. Bahwa para TUK/Para Pembanding/para Pembanding ingin menegaskan
bahwa Pik Apuk mempunyai empat orang anak yaitu 1. Sawiya., 2. Kamar.3,
.Ayub Rajo Mudo dan 4. M.Zen, semasa hidupnya telah sepakat membagi
seluruh harta mereka dengan pembagian tersebut Sawiya mendapat
bahagian tanah sesuai dengan P.15 (foto copy Sertifikat Hak Milik Nomor
654/GS 4198/1991 Luas ± 4695 M² atas Nama Pemegang Hak Sawiya
Mamak Kepala Hindu dalam kaum) dan M.Zein telah mendapat bahagian
tanah disungai Sapih langsung dijual sesuai dengan surat bukti P.14 (foto
copy sertifikat Hak milik Nomor 1329/GS. Nomor 16 tahun 1994 luas ± 630
M² atas nama Nurdiati dan Rifdayanti) dan begitu juga dengan Ayub Rajo
Mudo telah mendapat bahagian dan langsung dijual, sedangkan bahagian
orang Tua Para Penggugat dan Tergugat adalah objek perkara dalam
16
16
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
perkara ini, maka terhadap harta yang telah dilakukan pembagian dimana
MKW nya adalah anak laki-laki dari perempuan yang mendapat bahagian,
dalam perkara ini Yumisdi adalah Mamak Kepala Waris Para Penggugat dan
Tergugat dalam jurai Kamar (alm) sesuai surat bukti P.1.P.2.P.9.18 dan P.19
dan bukanlah M. Zen ;
5. Bahwa para TUK/Para Pembanding/para Penggugat dalam memori kasasi
ini menyampaikan dimana ibuknya Kamar (alm) dapat melakukan
pembagian seluruh hartanya secara musyawarah (dengan damai) bersama
dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai mana yang dimaksud dalam
poin 4 tersebut diatas, sedangkan para Penggugat ingin melakukan
pembagian secara musyawarah dan damai ditolak oleh TUK/Terbanding/
Tergugat, maka secara hukum tidak ada jalan lain bagi Para Penggugat
selain mengajukan gugatan hal ini untuk menghindari pertengkaran
disebabkan oleh sikap Tergugat ingin menguasai seluruh objek perkara ;
Pemohon Kasasi/Tergugat :
1. Bahwa Judex Facti dalam memutus dan mengadili perkara ini tidak
melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan yang berlaku ;
Bahwa alasan hukum memori banding Pemohon Kasasi di tingkat banding
pada intinya adalah memohon supaya Judex Facti memberikan keputusan
terhadap gugatan rekonvensi yang Pemohon Kasasi ajukan dalam perkara
ini. Hal ini di karenakan Pengadilan Negeri Padang dalam mengadili perkara
ini tidak memberikan putusan yang lengkap atau dengan kata lain tidak
tuntas dalam mengadili perkara ini ;
Bahwa akan tetapi Judex Facti tidak mempertimbangkan memori banding
yang Pemohon Kasasi ajukan. Judex Facti tidak memberikan keputusan
terhadap gugatan rekonvensi yang diajukan dalam perkara ini. Hal ini jelas
membuktikan Judex Facti dalam memutus dan mengadili perkara ini tidak
melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan yang berlaku, dimana
seharusnya Judex Facti memberikan keputusan yang lengkap dalam perkara
ini, yaitu dengan memberikan keputusan terhadap gugatan rekonvensi yang
Pemohon Kasasi ajukan, bukan dengan memberikan putusan yang
menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Padang yang tidak lengkap
tersebut. Keputusan Judex Facti tersebut jelas merugikan bagi Pemohon
Kasasi, karena Pemohon Kasasi tidak memperoleh kepastian hukum
17
Hal. 17 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
mengenai objek yang dipersengketakan, dan kepastian hukum tersebut
merupakan tugas utama dari suatu peradilan ;
Bahwa gugatan rekonvensi Pemohon Kasasi tersebut adalah perkara
mudah, perkara jelas dan sama sekali tidak rumit apabila Judex Facti ada
keinginan untuk memberikan keputusan terhadap perkara tersebut. Bahwa
yang mendasari gugatan rekonvensi tersebut adalah pensertifikatan tanah
pusaka tinggi milik kaum yang dilakukan oleh Termohon Kasasi (Yumisdi
dan Anwar Enek) dengan cara melawan hukum karena tanpa izin dan
persetujuan Pemohon Kasasi, Mamak Kepala Waris Muhamad Zein dan
anggota kaum lainnya, tanah pusaka tersebut dikenal dengan tanah sertifikat
Hak Milik Nomor 1926 (objek pekara konvensi) dan pemisahannya yaitu
tanah sertifikat Hak Milik Nomor 2358 yang dicatatkan ke atas nama Yumisdi
(Termohon Kasasi/ Tergugat Rekonvensi 1/Penggugat Konvensi 1) dan
Anwar (Termohon Kasasi/Tergugat Rekonvensi 2/Penggugat Konvensi 2)
dan dua orang anggota kaum lainnya yang sudah meninggal dunia yaitu
Dasril dan Afrizal ;
Bahwa untuk membuktikan apakah benar Termohon Kasasi (Yumisdi dan
Anwar Enek) telah melakukan perbutan melawan hukum yang telah
merugikan Pemohon Kasasi dalam pensertifikatan tanah tersebut maka
Judex Facti tinggal melihat atas nama siapa Sertifikat Hak Milik Nomor 1926
dan Sertifikat Hak Milik Nomor 2358 (pemisahan) tersebut, dan jawabannya
jelas bukan atas nama Pemohon Kasasi/Penggugat Rekonpesi. Apabila
belum yakin, maka Judex Facti dapat membaca gugatan konvensi dari
Termohon Kasasi yang menyatakan hal-hal sebagai berikut :
Bahwa tanah SHM Nomor 1926 tersebut berasal dari tanah pusaka tinggi
ganggam bauntuak bagi jurai almarhum ibu Kamar ;
Bahwa status tanah SHM Nomor 1926 tersebut bukan harta pribadi,
melainkan harta pusaka tinggi terbukti dan ditegaskan sendiri oleh
Penggugat 1 (Yumisdi) yang menyatakan dirinya dalam perkara ini bertindak
selaku Mamak Kepala Waris, karena menurut hukum adat yang berhak
bertindak atas tanah pusaka tinggi adalah Mamak Kepala Waris ;
Bahwa berdasarkan surat gugatan Termohon Kasasi tersebut maka terbukti
pensertifikat tanah sengketa melawan hukum sebagai dalil gugatan
rekonvensi adalah terbukti, karena tidak melibatkan Pemohon Kasasi,
18
18
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Muhamad Zein selaku Mamak Kepala Waris dalam kaum dan anggota kaum
lainnya, dan oleh karenanya beralasan menurut hukum gugatan rekonvensi
tersebut dikabulkan dalam perkara ini ;
2. Bahwa Judex Facti dalam memeriksa dan mengadili perkara telah salah
dalam menerapkan hukum ;
Bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini yang amarnya menguatkan
keputusan Pengadilan Negeri Padang adalah putusan yang sangat keliru
dengan alasan hukum sebagai berikut :
Bahwa putusan Pengadilan Negeri Padang dalam perkara ini adalah putusan
yang sangat keliru, karena amar putusan pada bagian Dalam Pokok Perkara
yang isinya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima adalah
telah salah dalam menerapkan hukum. Menurut hukum acara isi dari amar
suatu putusan pada bagian Dalam Pokok Perkara tersebut adalah berkaitan
dengan materi gugatan yang diperkarakan, dan bukan berkaitan dengan
formalitas surat gugatan. Bahwa berkaitan dengan perkara sekarang ini,
dimana seluruh eksepsi yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon Kasasi
ditolak, maka sesuai ketentuan maka seharusnya isi amar putusan pada
bagian Dalam Pokok Perkara tersebut adalah Menolak atau Mengabulkan
apa yang diperkarakan oleh Penggugat/Pemohon Kasasi ;
Bahwa berkaitan dengan ketentuan diatas, dimana gugatan para Penggugat
dalam perkara ini adalah meminta supaya objek perkara berupa 3 (tiga)
bidang tanah supaya dibagi antara para Penggugat dengan Tergugat selaku
ahli waris dari almarhum Kamar. Bahwa gugatan Penggugat tersebut jelas
tidak terbukti, karena ketiga bidang tanah tersebut bukanlah harta pribadi
dari almarhum Kamar, akan tetapi adalah tanah pusaka tinggi dari kaum
Penggugat dan Tergugat ;
Bahwa menurut hukum adat tentang tanah pusaka tinggi adalah hak turun
temurun dari anggota kaum, dan karenanya segala perbuatan yang
menghilangkan hak anggota kaum terhadap tanah pusaka tinggi tersebut
adalah perbuatan melawan hukum ;
Bahwa berdasarkan penjelasan diatas, maka seharusnya Pengadilan Negeri
Padang dalam perkara ini memberikan amar putusan pada bagian Dalam
Pokok Perkara tersebut adalah Menyatakan Menolak gugatan Penggugat ;
19
Hal. 19 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti
tidak salah menerapkan hukum karena para Penggugat tidak mempunyai
kwalitas untuk menggugat, karena yang bersangkutan bukan Mamak Kepala
Waris dalam kaumnya;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata
bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para
Pemohon Kasasi : Yumisdi dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon
Kasasi ditolak, maka para Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar ongkos
perkara dalam tingkat kasasi ini ;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009,
Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan ;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi/para
Penggugat : 1. YUMISDI, 2. ANWAR ENEK, 3. MAWARDI SYAM, 4.
YUSNIMAR tersebut ;
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Tergugat : Dra.
SYAMSINAR SYAM tersebut ;
Menghukum para Pemohon Kasasi/para Penggugat untuk membayar
ongkos perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 500.000,00 lima ratus ribu
Rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Rabu tanggal 21 Desember 2011 oleh H. ATJA
SONDJAJA,SH.,MH., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Majelis, SOLTONI MOHDALLY,SH.,MH., dan I MADE
TARA,SH.,MH., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta
20
20
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh EDY PRAMONO,SH.,MH.,
Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Hakim-Hakim Anggota : Ketua Majelis,ttd/ SOLTONI MOHDALLY,SH.,MH., ttd/ H. ATJA SONDJAJA,SH.,MHttd/ I MADE TARA,SH.,MH
Panitera Pengganti,Ongkos-ongkos Kasasi : ttd/ EDY PRAMONO,SH.,MH1. M e t e r a i…………….. Rp 6.000,002. R e d a k s i…………….. Rp 5.000,003. Administrasi kasasi……….. Rp 489.000,00 Jumlah ………………Rp 500.000,00
Untuk Salinan :Mahkamah Agung RI.Atas nama Panitera,
Panitera Muda Perdata,
Dr. PRI PAMBUDI TEGUH,SH.,MH.NIP : 196103131988031003
21
Hal. 21 dari 21 hal. Put. No. 2306 K/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21