kesmavet standarisasi rumah potong hewan

16
PENDAHULUAN Perlakuan daging sebelum, saat dan sesudah pemotongan sangat menentukan ada tidaknya pencemaran. Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan, jumlah mikroba dalam daging segar harus kurang dari 1 juta. Daging segar juga harus bebas dari E. coli , Salmonella dan Coliform . Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Hingga saat ini daging yang dijual di pasar swalayan dan pasar tradisional masih banyak yang terkontaminasi oleh mikroba patogen. Untuk itu, penyediaan daging yang halal, sehat dan aman dikonsumsi masyarakat menjadi upaya yang sangat penting, dimulai dari rantai pertama yang menjadi titik kritis pencemaran, yaitu RPH. RPH yang memenuhi standar kualitas, jaminan kehalalan serta kehigienisan daging akan meningkatkan efisiensi penanganan daging yang dijual produsen ke konsumen. Rumah Potong Hewan juga menjadi kunci penting dalam rantai produksi dan distribusi daging. RPH yang berkualitas bisa mengurangi kerugian akibat penjualan daging yang tercemar oleh mikroba patogen dan bisa mencegah penyebaran penyakit dari hewan ke manusia (zoonisis ). Upaya ini merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti semua peraturan perundangan yang terkait dengan aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan yang telah sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE), dimana Indonesia adalah anggotanya. Saat ini beberapa RPH di Indonesia telah memiliki sertifikasi mutu yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Namun sertifikasi mutu belum mencakup prinsip

Upload: azhyumardi-nata

Post on 18-Jan-2016

36 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

PENDAHULUAN

Perlakuan daging sebelum, saat dan sesudah pemotongan sangat menentukan ada

tidaknya pencemaran. Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan, jumlah mikroba dalam

daging segar harus kurang dari 1 juta. Daging segar juga harus bebas dari E.

coli, Salmonella dan Coliform. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Hingga

saat ini daging yang dijual di pasar swalayan dan pasar tradisional masih banyak yang

terkontaminasi oleh mikroba patogen. Untuk itu, penyediaan daging yang halal, sehat dan aman

dikonsumsi masyarakat menjadi upaya yang sangat penting, dimulai dari rantai pertama yang

menjadi titik kritis pencemaran, yaitu RPH. RPH yang memenuhi standar kualitas, jaminan

kehalalan serta kehigienisan daging akan meningkatkan efisiensi penanganan daging yang dijual

produsen ke konsumen. Rumah Potong Hewan juga menjadi kunci penting dalam rantai produksi

dan distribusi daging. RPH yang berkualitas bisa mengurangi kerugian akibat penjualan daging

yang tercemar oleh mikroba patogen dan bisa mencegah penyebaran penyakit dari hewan ke

manusia (zoonisis).

Upaya ini merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti semua peraturan

perundangan yang terkait dengan aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan yang telah

sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE), dimana Indonesia adalah

anggotanya. Saat ini beberapa RPH di Indonesia telah memiliki sertifikasi mutu yang dilakukan

oleh pihak ketiga yang independen. Namun sertifikasi mutu belum mencakup prinsip

kesejahteraan hewan secara keseluruhan di setiap rantai pasokannya (supply chain). Berdasarkan

kondisi tersebut dan guna menjamin ketersediaan pasokan daging sapi dan keterjangkauan harga,

terdapat beberapa solusi yang diputuskan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, yang terbagi

menjadi tiga solusi.

Page 2: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

A. PEMBAHASAN

Penyakit Brucellosis (Keluron Menular)

Brucellosis adalah penyakit keluron menular pada hewan yang disebakan oleh bakteri

Brucella abortus yang menyerang sapi, domba, kambing, babi, dan hewan /ternak lainnya.

Brucellosis bersifat zoonosa artinya penyakit tersebut menular dari hewan ke manusia.

1.1 Patogenesis

Permulaan infeksi brucellosis terjadi pada

kelenjar limfe supramamaria. Pada uterus, lesi

pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar

uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif,

kotiledon kemudian terinfeksi disertai terbentuknya

eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella banyak

terdapat pada vili khorion, karena terjadi

penghancuran jaringan, seluruh vili akan rusak

menyebabkan kematian fetus dan abortus. Jadi kematian fetus adalah gangguan fungsi plasenta

disamping adanya endotoksin. Fetus biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah

kematian. Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa.

1.2 Gejala Klinis Bruscellosis Pada Sapi

Janin yang mati akibat penyakit Brucella Abortus, Demam dan keguguran (keluron).

Untuk sapi betina yang diduga menderita Brucellosis karena : Sapi dara bunting pertama

mengalami keguguran pada usia kebuntingan 5-7 bulan, Sapi betina dewasa produktif mengalami

keguguran pada usia 5-7 bulan, Sapi betina dewasa pernah diketahui mengalami keguguran pada

usia kebuntingan 5-7 bulan dan setelah dilakukan 3-4 kali inseminasi buatan belum bunting lagi.

Pada sapi jantan dewasa terutama yang dipilih sebagi donor semen atau yang dipakai sebagai

pejantan kawin alam. Sapi jantan lainnya pada kelompok ternak tertentu yang menderita orkiditis

dan atau epididimitis.

Page 3: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

1.3 Diagnosa Brucella abortus (pemeriksaan ante-mortem)

Pemeriksaan penyakit brucellosis ini didasakan pada gejala klinis dan uji di laboratorium.

Pemeriksaan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya abortus dan hygroma pada persendian lutu

dan data epidemiologi.

1.3 Diagnosa Brucella abortus (pemeriksaan post-mortem)

Pemeriksaan di laboratorium, dengan melakukan uji serologis, yaitu Rose Bengal Plate

Test (RBPT, sebagai uji skrining). Sera yang bereaki positif pada RBPT kemudian dilanjutkan

dengan uji Serum Aglutinasi Test (SAT), Complement Fixation test (CFT) atau Enzyme-Linked

Immuno Sorbent Assay (ELISA). Pad sapi perah sering menggunakan uji Milk Ring Test yaitu

memeriksa air susu. Hewan yang bereaksi positif pada uji-uji serologis diatas disebut reactor

brucellosis. Sedangkan isolosai kuman penyebab dapat diperoleh dari leleran yang keluar dari

kelamin betina, fetus yang diabortus, cairan dari persendian yang mengalami peradangan dan

limfoglandula

B. PEMBAHASAN

SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE)/NGOROK

Penyakit SE adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang-

kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe

tertentu. Penyakit biasanya berjalan secara akut , dengan angka kematian yang tinggi, terutama

pada penderita yang telah menunjukkan tanda-tanda klinik yang jelas. Sesuai dengan namanya,

pada kerbau dalam stadium terminal akan menunjukkan gejala-gejala ngorok (mendengkur),

disamping adanya kebengkakan busung pada daerah-daerah submandibula dan leher bagian

bawah. Gambaran seksi pada ternak memamah biak menunjukkan perubahan-perubahan sepsis.

Penyebab penyakit SE adalah bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus yang

mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler.

Page 4: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

2.1 Pathogenesis

Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernafasan. Gerbang utama

pemasukan pasteurella rupanya terletak di daerah tonsil. Pembengkakan daerah tekak merupakan

gejala awal dari penyakit. Pada hewan-hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau muda yang

tidak kebal, septicemia akan segera terjadi dengan bakterimia pasif yang bersifat terminal.

Meskipun beberapa protein yang berdifat toksik dalam jumlah kecil telah ditemukan dalam

kuman pasteurela, eksotoksin yang konvensional tidak pernah berhasil ditunjukkan adanya.

Gejala-gejala dan lesi bersifat konsisten dengan kejaan endotoksin yang ditemukan dalam jumlah

banyak dan berbentuk lipopolisakarida. Pada hewan yang sepenuhnya rentan, kematian dapat

terjadi dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi. Beberapa sapi asia asli memiliki ketahanan

yang lebih tinggi, dan jalan penyakit pada sapi-sapi tersebut menjadi kurang cepat, dengan

kematian terjadi setelah 3 atau 4 hari.

2.2 Diagnosa Brucella abortus (pemeriksaan ante-mortem)

Pemeriksaan berdasarkan gejala klinis pada kerbau ditandai dengan kedunguan, salivsi,

serta demam yang mencapai sekitar 40-410C. Pada waktu penyakit berkembang penderita

terlihat berbaring, malas bergerak, serta mengalami kesukaran bernafas. Penyakit dengan bentuk

tenggorokan yang umum, ditandai dengan busung yang meluas kedaerah leher bagian ventral

sampai ke gelambir dan kadang-kadang juga satu atau dua kaki muka. Pada penderita yang

sepenuhnya rentan, busung bersifat difus, dengan batas tepi yang meluas. Tekanan pembuluh

darah balik menurun dan dalam keadaan terminal diikuti dengan shock endotoksin. Kuman

pasteurela dapat diisolasi dari tinja, kemih, air susu, dan saliva sebelum selama hewan dalam

keadaan sekarat. Dalam keadaan demikian penderita merupakan sumber penularan bagi hewan

yang lain.

Terlihat adanya busung pada glottis dan jaringan-jaringan perilaringeal maupun peritracheal.

Perdarahan titik mungkin terlihat pada selaput lender organ-organ tubuh, sedangkan cairan busung tidak

tercampur darah. Kelenjar limfe yang terdapat di dalam rongga dada dan perut Nampak mengalami

bendungan. Bendungan yang bervariasi terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari abomasum sampai

usus besar. Diare berat berdarah dijumpai setelah injeksi lipopolisakarida kuman serotype B:2 yang

dimurnikan. Mungkin zat tersebut yang bertanggung jawab atas terjadinya lesi dalam usus serta gejala-

gejala pada kejadian lapangan.

Page 5: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

2.3 Diagnosa Brucella abortus (pemeriksaan post-mortem)

Pemeriksaan berdasarkan uji laboratorium yaitu : fibrinogen darah meningkat semejak gejala

mulai tampak. Dalam percobaan infeksi terhadap hewan percobaan, adanya kuman di dalam

darah (bakterimia), yang hanya dapat dikenal secara penanaman kuman, dan tidak secara

mikrodkopik, terjadi dalam waktu 12 jam. Hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau, biasanya

mengalami kematian dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi.

Pemeriksaan Secara Laboratorium apabila busung tekak dijumpai, diagnosis segera dapat

ditentukan berdasarkan gejala-gejala klinis. Kasus yang tidak disertai dengan pembengkakan

daerah tekak dan leher mungkin terkacaukan dengan antraks, sampar sapi atau pasteurellosis

yang disebabkan oleh kuman pasteurela serotype yang lain. Penderita hamper selalu mengalami

kematian pada fase bakterimia. Pasteurela dapat ditemukan pada sediaan apus darah atau eksudat

jaringan yang mengalami perubahan patologik, misalnya cairan busung, cairan perikard, dan

sebagainya. Kuman dapat dilihat dengan jelas, dengang pewarnaan Romanowsky, sedangkan di

laboratorium yang paling banyak digunakan adalah pewarnaan Leishman yang diencerkan.

Uji presipitasi secara agar gel double diffusion dan teknik fluoresen antibody telah

digunakan dalam penentuan diagnosis. Galur kuman serotype B:2 dan E:2 merupakan biotipe

tersendiri secara mofologik, sifat biakan maupun sifat-sifat biokimiawinya. Kedua serotype

tersebut hanya dapat dibedakan secara uji serologik.

C. PEMBAHASAN

PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)

Penyakit mulut kuku adalah penyakit akut dan sangat menular pada: sapi, kerbau, babi,

kambing, domba dan hewan berkuku genap lainnya. Sedangkan hewan berkuku satu (kuda dll.)

kebal terhadap virus ini.

3.1 Patogenesis 

Page 6: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

Jalur utama infeksi pada ruminansia adalah melalui

penghirupan (secara aerosol) tetapi konsumsi pakan yang

terinfeksi, inokulasi dengan vaksin yang tercemar,

inseminasi dengan semen yang tercemar dan kontak dengan

peralatan ternak yang tercemar semuanya dapat

menimbulkan infeksi. Pada hewan yang terinfeksi melalui

saluran pernafasan, replikasi awal virus berlangsung pada

faring, diikuti oleh viremia yang menyebar ke jaringan dan

organ yang lain sebelum mulainya penyakit klinis. Pengeluaran virus mulai sekitar 24 jam

sebelum mulainya penyakit klinis dan berlangsung selama beberapa hari. Virus PMK dapat

tinggal dalam faring beberapa jenis hewan sampai beberapa lama setelah sembuh. Pada sapi

virus dapat dideteksi sampai 2 tahun setelah terinfeksi, pada domba sampai sekitar 6 bulan.

Kemenetapan virus tidak terjadi pada babi. Uap air yang dikeluarkan oleh hewan yang terinfeksi

mengandung sejumlah besar virus, khusunya yang dihasilkan oleh babi. Sejumlah besar virus

juga dikeluarkan dalam susu (Fenner, 2011.)

3.2 Gejala klinis pemeriksaan ante-mortem

Gejala yang ditimbulkan bervariasi tergantung pada kondisi dan factor virulensi dari

Penyakit mulut dan kuku tersebut. Gejala klinis yang mula mula terlihat antara lain suhu tubuh

meningkat dan akan terlihat jelas pada sapi yang masih muda. Kenaikan ini akibat dari fase

viremia dari virus picorna virus. Dan biasanya suhu tersebut akan turun setelah terbentuknya

lepuh-lepuh.

Lepuh-lepuh tersebut dapat ditemukan didalam mulut sehingga menyebabkan

meningkatnya saliva dalam mulut sehingga terbentuk busa disekitar bibir.

Lepuh tersebut juga dapat ditemukan pada ambing yang menyebabkan produksi susu turun dan

kadang dapat menyebabkan keguguran. Pada tracak biasanya lepuh terjadi bersamaan dengan

proses yang terjadi didalam mulut. Lepuh yang terjadi menyebabkan rasa sakit atau nyeri pada

hewan yang menderita, sehingga menyebabkan hewan tersebutmalas bergerak dan hanya mau

berbaring. Kesembuhan dari lesi yang tidak mengalami komplikasi akan berlangsung dengan

cepat berkisar antara 1-2minggu, namun apabila ada infeksi skunder maka kesembuhan akan

tertunda.

Page 7: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

3.3 Diagnosa PMK (pemeriksaan post-mortem) 

Diagnosis dari penyakit mulut dan kuku didasarkan pada gejala klinis yang ditimbulkan.

Selain itu dilakukan koleksi sampel pada hewan yang menderita untuk diperiksa dilaboratorium.

Sampel isolasi dapat diambil melalui cairan lepuh, keropeng bekas lepuh, dan sampel darah

(Anonim1., 2008). 

PEMBAHASAN

AVIAN INFLUENZA

Influenza burung atau avian influenza atau dikenal dengan flu burung, merupakan

penyakit infeksi akibat virus influenza tipe A yang biasa mengenai unggas. Virus influenza

sendiri termasuk adalam famili orthomyxovirus yang terdiri dari 3 tipe yaitu tipe A, tipe B dan

tipe C. Virus influenza tipe B dan C dapat menyebabkan penyakit pada manusia dengan gejala

ringan dan tidak fatal sehingga tidak terlalu menjadi masalah. Virus influeza tipe A dibedakan

menjadi banyak sub tipe berdasarkan petanda berupa tonjolan protein pada permukaan sel virus.

Ada 2 protein petanda pada virus influenza tipe A yaitu protein hemaglutini yang dilambangkan

dengan H dan protein neuraminidase yang dilambangkan dengan N. Ada 15 macam protein H,

yaitu H1-H15, sedangkan N terdiri dari 9 macam yaitu N1-N9. Kombinasi dari kedua protein ini

bisa menghasilkan banyak sekali varian sub tipe dari virus influenza tipe A.

4.1 Patogenesis

Penyebaran virus avian influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet infection) dimana

virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran napas atau langsung

memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet). Virus yang tertanam pada membran mukosa

akan terpajan mukoprotein yang mengandung asam sialat yang mengikat virus. Reseptor spesifik

Page 8: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

yang dapat berikatan dengan virus influenza berkaitan dengan spesies dari mana virus berasal. 

4.2 Gejala klinis pemeriksaan ante-mortem

Pemeriksaan berdasarkan gejala perubahan fisiologis unggas : Jengger, pial, kulit perut,

yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru keunguan (sianosis), kadang-Kadang ada cairan dari

mata dan hidung, pembengkakan dl daerah bagian muka dan kepala, pendarahan di bawah kulit

(sub kutan), Pendarahan titik (plechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki. Batuk bersin dan

ngorok serta nggas mengalami diare dan kematian tinggi.

4.3 Diagnosa Avian Influenza (pemeriksaan post-mortem) 

Pemeriksaan dilakukan berdasarkan uji lanboratorium, diantaranya yaitu : Uji konfirmasi;

kultur dan identivikasi virus H5N1. Uji real time nested PCR untuk H5. Uji serologi :

Imunofluorenscence (IFA) test : ditemukan antigen positif dengan mengunakan antibody

monoklonal influenza A H5N1. Uji netralisasi : didapatkan kenaikan titer antibody spesifk

influenza A H5N1 sebanyak 4 kali paired serum dengan uji netralisasi. Uji penapisan : Rapid test

untuk medeteksi influenza A, HI Test dengan darah kuda untuk mendeteksi H5N1, 

Enzim immunoassay (ELISA) untuk mendeteksi H5N1.

Pemeriksaan lain : hematologi : hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit,

total limfosit. Umumnya ditemukan leukopeni, limfositosis ringan dan trombositopenia. Kimia :

Albumin/globulin, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, kreatin kinase, analisa gas darah. Umumnya

dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin,

peningkatan kreatinin kinase, analisa gas darah dapat normal atau abnormal. Kelainan

laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan. Pemeriksaan

radiologi : pemeriksaan foto thoraks PA dan lateral (bila diperlukan). Dapat ditemukan gambaran

infiltrat di paru yang menunjukan bahwa kasus ini adalah pneumonia.

PEMBAHASAN

NEWCASTLE DESEASE (ND)

Page 9: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

Kesim[ilam

Pemeriksaan Ante-Post MortemPemeriksaan Kesehatan Ante Mortem

Pemerikasaan ante mortem adalah pemeriksaan kesehatan setiap ekor sapi, ternak atau

unggas yang akan dipotong. Pemeriksaan ante mortem dilakukan dengan mengamati dan

mencatat ternak sapi sebelum disembelih yang meliputi jumlah ternak, jenis kelamin,

keadaan umum, serta kelainan yang tampak.

Hasil akhir pemeriksaan ini dapat dibagi tiga kelompok :

1. Ternak yang dipotong secara reguler adalah ternak yang memenuhi syarat normal.

2. Ternak yang ditolak yaitu ternak yang menderita suatu penyakit menular, masih produktif

dan betina bunting

3. Ternak yang menderita kelainan lokal seperti fraktur, abses, neoplasma dan ternak yang

kondisinya meragukan (Arka dkk, 1988).

Pemeriksaan Kesehatan Post-Mortem

Pemeriksaan daging post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan daging setelah dipotong

terutama pada pemeriksaan karkas, kelenjar limfe, kepala pada bagian mulut, lidah, bibir,

dan otot masseter dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa.

Maksud dilakukan pemeriksaan post-mortem adalah untuk membuang dan mendeteksi

bagian yang abnormal serta pengawasan apabila ada pencemaran oleh kuman yang

berbahaya, untuk memberikan jaminan bahwa daging yang diedarkan masih layak untuk

dikonsumsi.

Pemeriksaan post-mortem yang dilakukan antara lain pemeriksaan karkas pada

limfoglandula, pemeriksaan kepala yaitu pada bibir, mulut, otot masseter, dan pemeriksaan

organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa. Pemeriksaan ini merupakan

pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan intensitas normal setiap hari. Jika terdapat

abnormalitas pada karkas, organ visceral atau bagian-bagian karkas lainnya dapat

dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak (Soeparno, 1992).

Page 10: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

Menurut Arka dkk (1985), keputusan hasil akhir pemeriksaan dapat digolongkan atas :

1. Karkas serta organ tubuh yang sehat diteruskan kepasaran untuk konsumsi masyarakat.

2. Karkas serta organ-organ tubuh yang mencurigakan ditahan untuk pemeriksaan yang

lebih seksama.

3. Bagian-bagian yang sakit dan abnormal secara lokal hendaknya diiris dan disingkirkan

sedangkan selebihnya dapat diteruskan ke pasaran umum.

4. Karkas dan organ-organ tubuh yang sakit dan abnormal secara umum atau keseluruhan

atau seluruh karkas dan organ-organ tubuh tersebut disingkirkan semua.

5. Karkas dan organ tubuh yang sehat yang akan diteruskan ke pasar umum diberikan cap

“BAIK”.

Sumber: Prof. IB. Arka, Guru Besar FKH Universitas Udayana

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syamsul. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keamanan Pangan Asal Ternak di

Indonesia IVARTAZOA Vol. 16 No . / Th. 2006

Direktorat Kesmavet Dirjen Peternakan Departemen Pertanian, Pedoman teknis Kegiatan

Penataan RPH Tahun Anggaran 2010

http://septinalove.blogspot.com/2010/03/rumah-potong-hewan-rph-sapi.html

http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=743

http://higiene-pangan.blogspot.com/2008/10/product-safety-di-rph.html

http://www.hijauku.com/2011/09/29/jamin-keamanan-pangan-sejak-dini-mulai-dari-rph/

http://disnak.sumbarprov.go.id/index.php?disnak=berita&j=1&id=108

http://agriternak.blogspot.com/2011/03/pedoman-pemotongan-ternak.html

http://agriternak.blogspot.com/2011/03/pedoman-pengangkutan-ternak-ke-rph.html

http://karantina.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=175:penyelenggaraan-kesejahteraan-hewan&catid=45:opini

http://duniaveteriner.com/2009/04/simpul-kritis-hewan-kurban/print

Page 11: Kesmavet Standarisasi Rumah Potong Hewan

DAFTAR PUSTAKA

Jawetz, M, 1996,Mikrobiologi Kedokteran, 270-272, EGJ, Jakarta

http://edis.ifas.ufl.edu/VM026

http://www.indomedia.com/bpost/012007/22/kalsel/lbm7.htm

Anonim1., 2008. Penyakit Mulut dan Kuku. http://www.vet-klinik.com/Peternakan/Penyakit-

mulut-dan-kuku.html. Diakses Pada Tanggal; 2/12/2011 4:15:02

Anonim2., 2009. Leaflet PMK. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Bina Produksi

Peternakan. Direktorat Kesehatan Hewan. Kesiagaan Darurat PMK (Emergency Center for

FMD).