kertas kebijakan · p pusat pelatihan yang disetujui atc r rencana induk pendidikan dan pelatihan...

56
Urgensi Pelatihan Vokasi Inklusif dengan Melibatkan Serikat Pekerja, Masyarakat Sipil, serta Pelaku Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI Juli 2018 KERTAS KEBIJAKAN

Upload: others

Post on 24-Feb-2020

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Urgensi Pelatihan Vokasi Inklusif dengan Melibatkan Serikat Pekerja, Masyarakat Sipil, serta Pelaku Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia

ENAM REKOMENDASIKEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Juli 2018

K E R T A S K E B I J A K A N

Page 2: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN
Page 3: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Penyusun:

Abdul Waidl

Kun Wardana

Siti Khoirun Ni’mah

Juli 2018

Kertas Kebijakan

Urgensi Pelatihan Vokasi Inklusif dengan Melibatkan Serikat Pekerja, Masyarakat Sipil, serta Pelaku Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia

Enam Rekomendasi Kebijakan Pelatihan Vokasi

Page 4: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kerja Layak

Didukung oleh:

European Union

Institute for Research and Empowerment

Page 5: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

DAFTAR ISI

Daftar Singkatan ivKATA PENGANTAR viRingkasan viii

BAB IKetimpangan Kesempatan Kerja di Indonesia 1Sebab-sebab Ketimpangan 2

BAB IIHasil Penelitian di Lima Daerah 7

BAB III Sebab Terjadinya Ketimpangan Kesempatan Kerja 13Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 14Balai Latihan Kerja 15Politeknik 15

BAB IVUsulan Kebijakan Pengembangan Vokasi di Indonesia 211. Anggaran 212. Berinvestasi pada Pekerja 223. Berinvestasi pada perusahaan 254. Peran Multipihak dalam Pelatihan Kerja 305. Dialog Sosial Tripartit dan Praktik yang Baik 336. Perubahan revolusioner terhadap sistem pendidikan 39

iiiURGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 6: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

AASEAN Association of South East Asia NationASCC ASEAN Socio-Cultural Community/ Masyarakat Sosial

Budaya ASEANAPM Angka Partisipasi Murni

BBLK Balai Latihan KerjaBITC The Boracay Industry Tripartite Council/Dewan Tripartit

Industri Bank Filipina

C CSOs Civil Society OrganizationsCOJTC Certified On-the-Job Training Centre

D DPR Dewan Perwakilan RakyatDUDI Dunia Usaha Dunia Industri

I INFID International NGO Forum on Indonesian DevelopmentILO International Labour Organization

KKKNI Kerangka Kualifikasi Nasional IndonesiaKemendikbud Kementerian Pendidikan dan KebudayaanKemenristekdikti Kementerian Riset dan Pendidikan TinggiKemnaker Kementerian Tenaga Kerja

L LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga KeguruanLPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan

M MEA Masyarakat Ekonomi ASEAN

N NUBE-BDOEANational Union of Bank Employees/ Serikat Pekerja Nasional Karyawan Bank -Banco de oro Employees Association

O OECD The Organisation for Economic Co-operation and Development

OJT On the Job Training

P Pusat Pelatihanyang Disetujui ATC

RRencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan

CET

DAFTAR SINGKATAN

iv KERTAS KEBIJAKANENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 7: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

S

SD sekolah DasarSEACEN The South East Asian Central Banks/Bank Bank Sentral

Asia Tenggara SMP Sekolah Menengah PertamaSMK Sekolah Menengah KejuruanSMA Sekolah Menengah AtasSDF Skills Development Fund/Dana Pengembangan

Keterampilan

T TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

U UMK Upah Minumum Kabupaten/KotaUKM Usaha Kecil Menengah

V VGCL Vietnam General Confederation of Labour/ Konfederasi Umum Buruh Vietnam

W WTO World Trade Organization

vURGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 8: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

KATA PENGANTAR

Dunia sedang menghadapi perubahan yang cepat. Perubahan tersebut dipicu dengan kemajuan tekhnologi yang berdampak terhadap perubahan pola produksi berbasis pada otomatisasi dan robotisasi. Perubahan ini tentu memiliki dampak yang luas bagi Indonesia, terutama di sektor ketenagakerjaan. Mengingat saat ini ketidaksesuaian (mis-match) antara keahlian dan keterampilan dengan kebutuhan industri masih lebar.

Eric Maskin, peraih Nobel Ekonomi tahun 2007, menyebutkan seiring dengan semakin terbukanya perekonomian antar negara akan memperlebar ketimpangan. Ketimpangan terjadi karena adanya kesenjangan keahlian dan keterampilan yang dimiliki antara negara maju dengan negara berkembang. Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, pemerintah perlu berinvestasi terhadap peningkatan sumber daya manusianya. Salah satu caranya dengan meningkatkan keahlian dan keterampilan pekerjanya dalam menguasai alat-alat produksi. Untuk itu, peran pemerintah dalam mendorong peningkatan keahlian dan keterampilan amatlah penting.

Peranan inilah yang diharapkan dari pemerintah oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai organisasi yaitu INFID, Perkumpulan Prakarsa, Lakpesdam NU, P3M, IDFOS, Rumpun Malang, IRE. Apalagi data dari Survei yang dilakukan oleh Perkumpulan Prakarsa di lima daerah yaitu Kota Yogyakarta, Kulonprogo, Wonosobo, Bojonegoro dan Malang menunjukkan hanya 14 persen pekerja yang pernah mengikuti pelatihan. Angka ini lebh tinggi dibandingkan dengan rata-rata pekerja nasional yang pernah mengikuti pelatihan. Data Sakernas dari tahun 2008 sampai 2015 menunjukkan rata-rata hanya 6 persen pekerja yang menyatakan pernah mengikuti pelatihan.

vi KERTAS KEBIJAKANENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 9: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Kertas kebijakan ini merupakan salah satu ikhtiar untuk mendorong meningkatnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Semoga kertas kebijakan ini memberikan kontribusi berarti bagi pembangunan di Indonesia.

Terima kasih yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada tim penulis yaitu Abdul Waidl dan Kun Wardana yang telah mencurahkan waktu dan sumbangan pemikirannya untuk menyusun kertas kebijakan ini. Juga kepada rekan-rekan koalisi yang terus menerus memberikan masukakannya untuk perbaikan kertas kebijakan. Semoga kertas kebijakan ini memberikan sumbangan berarti bagi kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif dan partisipatif di Indonesia.

Jakarta, 14 Juli 2018

Siti Khoirun Ni’mahProgram Manager INFID

viiURGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 10: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

RINGKASAN

Survei Barometer Sosial yang diadakan INFID menunjukkan minimnya kesempatan kerja merupakan sebab terjadinya ketimpangan. Belum lagi, mayoritas pekerja Indonesia hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kerja Layak yang terdiri atas berbagai organisasi masyarakat sipil dan serikat pekerja melakukan survei penilaian kebutuhan anak muda dan perempuan (need assessment) di lima daerah yaitu Kota Yogyakarta, Kulonprogo, Wonosobo, Bojonegoro dan Malang.

Hasil survei menemukan 70 persen responden menyatakan pelatihan memberikan manfaat kemudahan mencari kerja. Hal ini terjadi karena materi pelatihan dianggap relevan dengan pekerjaan yang ada di daerah. Namun hanya 14 persen responden yang menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Sebanyak 86 persen tidak mengikuti pelatihan keterampilan apa pun selama satu tahun terakhir. Sementara 75 persen dari yang mengikuti pelatihan, hanya mengikuti satu kali pelatihan keterampilan. Di antara yang mengikuti pelatihan, 72,9 persen mengikuti pelatihan di tempat kursus, 19,63 persen di BLK, dan 5,61 persen di pesantren.

Semakin tinggi keterampilan yang dimiliki pekerja, semakin tinggi potensinya meningkatkan posisi tawar pekerja. Sementara kondisi kerja di lima daerah tersebut masih kurang layak karena masih banyaknya pelanggaran hak kerja, upah yang diterima belum sebanding dengan “upah“ pekerjaan rumah tangga, juga masih banyak pekerja (66,8 persen) yang menerima upah di bawah UMK kabupaten/kota.

Peta jalan Kebijakan Pelatihan Vokasi yang disusun oleh pemerintah mengakui kualitas Balai Latihan Kerja, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Politeknik yang belum baik dan belum mengikuti perkembangan dunia industri. Misalnya peralatan di BLK yang belum memenuhi kebutuhan industri ditambah dengan minimnya tenaga pengajar yang berkualitas. Namun lebih dari itu, kebijakan ketenagakerjaan yang selama ini terpinggirkan dalam agenda pembangunan menjadi masalah mendasar. Hal ini berdampak dengan minimnya anggaran untuk ketenagakerjaan. Belum lagi, tiadanya komitmen pemerintah untuk meningkatkan investasi bagi pekerja.

viii KERTAS KEBIJAKANENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 11: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Untuk mengurangi ketimpangan kesempatan kerja dengan meningkatkan keterampilan terutama bagi pekerja, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kerja Layak mengusulkan tujuh usulan kebijakan, terdiri atas:

1. Mempertimbangkan realokasi anggaran pendidikan formal ke arah pendidikan vokasi non formal.Kapasitas fiskal saat ini memang masih rendah, hanya berkisar 18 persen dari PDB. Penerimaan pajak yang menjadi andalan pendapatan juga sering tidak mencapai target. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dan DPR harus cepat menentukan prioritas alokasi anggaran. Perlu dipertimbangkan kemungkinan merelokasi alokasi anggaran untuk capaian pendidikan formal menuju kepada pendidikan dan pelatihan vokasi. Capaian pendidikan harus bergeser pada mutu sambil menguatkan akses pendidikan. Hal ini tidak diukur dari sekolah formal non kejuruan, melainkan diperbanyak kepada kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan tantangan zaman seperti revolusi industri 4.0.

2. Berinvestasi pada PekerjaHal ini bisa dilakukan melalui 1) Membangun infrastruktur pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. Pendidikan dan pelatihan di masa depan membutuhkan pendidikan dan pelatihan sepanjang hayat dan berkelanjutan untuk mempersiapkan tenaga kerja bersaing dalam pasar tenaga kerja yang selalu berubah. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan (CET). 2) Membangun Lembaga Pendidikan Teknis yang membantu meningkatkan keterampilan dan kemampuan teknis yang penting bagi pembangunan sosial dan ekonomi negara. Sistem pendidikan vokasi pada dasarnya menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional dan struktur dasar sosial dari suatu masyarakat. Sistem ini harus bersifat dinamis karena akan terpengaruh perubahan kebutuhan pendidikan, masyarakat dan ekonomi yang sangat cepat. Sistem juga harus responsif, relevan dan efektif terhadap kebutuhan pekerja dengan mempunyai perencanaan strategis jangka panjang dan infrastruktur pelatihan.

ixURGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 12: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

3. Berinvestasi pada perusahaan Biasanya, perusahaan besar atau organisasi besar yang mempunyai sumber daya manusia dan keuangan memadai bisa membuat skema pelatihan keterampilan dan peningkatan sendiri maupun lewat afiliasi.

Namun dalam konteks ASEAN, UKM akan menjadi pusat belajar dan pelatihan pertumbuhan serta peningkatan industri mengingat Kontribusinya pada penciptaan pekerjaan, output, ekspor, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, kewirausahaan dan distribusi kekayaan serta menciptakan peluang ekonomi yang lebih luas. Pada dasarnya, investasi bisa dilakukan pada perusahaan besar, menengah dan kecil.

4. Peran multipihak dalam berinvestasi pada pelatihan kerjaPeran multi pihak ini terdiri dari pemerintah, CSO dan serikat pekerja. Masing-masing perannya sebagai berikut, 1) Peran pemerintah bisa mengembangkan Dana Pengembangan Keterampilan (SDF) dan menggelar koordinasi antar-kementerian serta lembaga. 2) Peran CSO dalam pendidikan dan pelatihan vokasi mencerminkan banyaknya pelaku dan adanya kerja sama yang kuat dengan sektor nonformal. 3) Peran serikat pekerja adalah dengan mengubah pendekatan dari konfrontasi menjadi kolaborasi di antara serikat pekerja, pemerintah dan perusahaan serta mengembangkan gerakan buruh yang kuat dengan meningkatkan keanggotaan di serikat pekerja.

5. Dialog Sosial Tripartit dan Praktik yang Baik Hal ini bisa dilakukan dengan 1) memastikan proses integrasi yang lancar dengan komunikasi atau berbagi informasi dan konsultasi secara terus menerus di antara para pemangku kepentingan. 2) Mengadakan dialog sosial pada persoalan yang sulit seperti merger dan konsolidasi, regulasi baru baik dari pemerintah maupun industri, alih daya dan adopsi teknologi baru atau peningkatan/modifikasi teknologi yang sudah ada. 3)Pelatihan yang memadai harus juga diberikan bagi seluruh staf yang terlibat dalam penjualan produk komersial untuk menjamin bahwa konsumen mendapatkan informasi yang jelas dan akurat yang diperlukan.

6. Perubahan mendasar terhadap sistem pendidikanPertama perlu mempertimbangkan pembagian urusan agak ketat antara pendidikan formal dan non formal. Sekolah formal akan menyediakan beberapa hal yang terkait dengan dasar berbangsa, bernegara, dan membentuk sikap dan watak individu. Sedangkan sekolah non formal menyediakan fasilitas ketrampilan untuk kebutuhan kerja. Kedua, perlu meninjau ulang tentang lama sekolah.

x KERTAS KEBIJAKANENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 13: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Kedua tentang lama bersekolah. Sekolah formal seharusnya bisa dibuat lebih pendek tetapi jauh lebih efektif dan efisien. Sekolah di tingkat dasar (SD) dan menengah (SMP dan SMA) bisa tidak lebih dari 8 tahun (bukan 12 tahun). Selama 8 tahun tersebut, siswa diajak membangun nasionalisme, menguatkan akhlak (moral/etika), membangun kerja sama dan bersikap toleran, membiasakan dan cinta terhadap dunia membaca, sampai hal-hal yang mengarah kepada kepentingan membangun cara berpikir yang logis dan berbasis argumentasi yang kuat.

Ketiga, pemerintah perlu meninjau ulang dan merombak lembaga pencetak guru, yakni LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). LPTK bukan hanya formalitas, tetapi benar-benar mengajarkan tentang metodologi pembelajaran yang efektif dan dialogis dengan siswa. Lembaga ini harus bisa mendorong lulusan yang akrab dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat pembelajaran.

Keempat, kurikulum pendidikan sebaiknya dibuat lebih fleksibel yang bisa menyesuaikan dengan perubahan masyarakat.

xiURGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 14: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

FOTO

: DO

KUM

EN IN

FID

xii KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 15: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

I ndonesia dalam sepuluh tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi antara 5-6 persen. Ini angka yang cukup tinggi, bahkan di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global (Detailnya bisa dilihat dalam tabel di bawah). Pada saat yang sama Indonesia sedang mengalami bonus demografi, yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibanding penduduk tidak

produktif.

Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Dunia (2007 - 2017)

Sumber: Bank Indonesia dan IMF (2018)

Namun selain data yang terlihat positif itu, ternyata Indonesia juga mengalami ketimpangan ekonomi yang tinggi. Ketimpangan bisa dilihat dari, Pertama, gini rasio Indonesia masih cukup tinggi, pada angka 0,391 (BPS, 2017) meski angka ini sebenarnya sudah mengalami penurunan. Gini rasio adalah indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pengeluaran golongan masyarakat miskin dan kaya. Nilainya berada di antara 0 hingga 1, semakin tinggi nilainya berarti semakin tinggi ketimpangan.

BAB I

Ketimpangan Kesempatan Kerja di Indonesia

1URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 16: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Kedua, riset INFID (2017)1 mengenai persepsi masyarakat terhadap ketimpangan sosial. menunjukkan 84 persen responden menyatakan adanya ketimpangan. Ketimpangan terbesar terjadi pada penghasilan dan kesempatan mendapat pekerjaan.

Ketiga, hasil survei yang dirilis oleh Credit Suisse, sebuah lembaga keuangan dari Swiss 2 (2016), yang menyatakan bahwa ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia adalah nomor empat paling buruk di dunia, setelah Rusia, India dan Thailand. Menurut Kredit Suisse, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.

Sebab-sebab KetimpanganBank Dunia menyebut paling tidak ada empat penyebab ketimpangan. Pertama ketimpangan peluang antara anak dari keluarga miskin dan kaya. Kedua adalah ketimpangan pasar kerja, antara pekerja dengan ketrampilan tinggi memiliki gaji jauh lebih besar dibanding dengan pekerja informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan kecil.

Sebab ketiga adalah konsentrasi kekayaan di mana kaum elite menguasai aset keuangan seperti properti dan saham. Keempat adalah ketimpangan dalam menghadapi guncangan yang dialami orang miskin.3

Ketimpangan ini diperkuat dengan fakta bahwa 62 persen angkatan kerja di Indonesia dengan pendidikan SMP ke bawah, seperti grafik di bawah ini.

Grafik 2. Pendidikan Tertinggi Angkatan Kerja di Indonesia pada 2017

Sumber: BPS, 2017

1 Bagus Takwin dkk., Ketimpangan Sosial di Indonesia Meningkat, Pengukuran Ketimpangan Sosial Menurut Persepsi Warga, INFID, 2017

2 https://katadata.co.id/infografik/2017/01/15/ketimpangan-ekonomi-indonesia-peringkat-43 http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide

2 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 17: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Laporan Lembaga Perburuhan Internasional (ILO) pada 2017 menyebutkan, terjadi kenaikan angka pengangguran sebanyak 3,4 juta orang atau 5,8 persen pada 2017. Naik dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 5,7 persen.

Kenaikan jumlah pengangguran itu lebih banyak terjadi di negara-negara menengah termasuk Indonesia, ketimbang negara-negara maju. Tren pengangguran di Indonesia diperkirakan mencapai 0.3 poin dari 2016 ke 2018. Ini adalah peningkatan yang tergolong signifikan.

Grafik 3. Trend dan Proyeksi Pengangguran Global

Sumber: ILO, 2017

Selain ketimpangan dan pengangguran, Indonesia menghadapi satu masalah lagi yaitu terbatasnya akses kaum perempuan dan anak muda terhadap pekerjaan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) anak muda dengan rentang usia 15-29 tahun4 hanya sebesar 54,90 persen. Artinya, dari 100 anak muda rentang usia 15-29 tahun, hanya 55 yang masuk dalam kategori angkatan kerja.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Pada Agustus 2016 TPAK laki-laki mencapai 81,87 persen dan perempuan 50,77 persen. Hal ini dapat diartikan dari 100 orang penduduk usia kerja laki-laki terdapat angkatan kerja sekitar 82 orang, sedangkan dari 100 orang penduduk usia kerja perempuan hanya ada sekitar 51 orang yang termasuk angkatan kerja.

4 Menurut UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, Pasal 1 menyatakan bahwa Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Namun, karena data rentang usia kerja tidak mencakup spesifik usia 16 dan 30 tahun, maka tulisan ini menggunakan data 15-29 tahun.

3URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 18: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Berdasarkan laporan Global Gender Gap pada 2017, Indonesia berada di urutan ke 84 dari jumlah total 144 negara. Secara rinci, partisipasi dan kesempatan ekonomi berada pada urutan 108, pendidikan yang cukup di urutan 88, kesehatan di urutan 60, dan penguatan politik di urutan 63.

Posisi Indonesia lebih rendah dari beberapa negara di ASEAN seperti Filipina di urutan 10, Vietnam di urutan 69, Thailand di urutan 75, dan Myanmar di urutan 83.

Sumber: BPS 2016

Sebenarnya, perempuan dan anak muda bisa menjadi aktor utama pertumbuhan ekonomi. Jumlah perempuan kurang lebih sama dengan jumlah laki-laki sedangkan jumlah anak muda juga terbilang besar5. Jumlah mereka sangat besar dan berpengaruh besar bagi upaya menghadapi tantangan ketenagakerjaan Indonesia ke depan.

Riset WEF (The Future of Jobs, 2016) menyatakan faktor penggerak perubahan peta kerja ke depan mencakup demografi, kondisi sosial ekonomi, dan teknologi. Demografi diartikan sebagai anak muda, pertumbuhan kelas menengah dan meningkatnya aspirasi perempuan.

Selain itu di tingkat ASEAN, negara-negara anggota sepakat untuk meningkatkan kesejahteraan, mata pencaharian dan kemakmuran rakyat sebagai salah satu cetak biru Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASCC). Kesepakatan ini diambil dalam Pertemuan Pimpinan Tinggi ASEAN ke-13 di Singapura pada 20 November 2007.

5 Menurut populationpyramid,net (2018), jumlah penduduk Indonesia tahun 2017 adalah sebanyak 263.510.146, terdiri laki-laki sebanyak 132.608.212 jiwa (50,32persen) dan perempuan sebanyak 130.901.934 jiwa (49,68persen). Sedangkan anak muda dalam rentang usia 15-29 tahun berjumlah 64.887.702 (24,62persen dari total jumlah penduduk Indonesia tahun 2017.

4 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 19: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Tujuan utama ASCC adalah berkontribusi pada realisasi masyarakat ASEAN yang berpusat pada orang dan bertanggung jawab secara sosial untuk mencapai solidaritas dan persatuan yang berkelanjutan di antara bangsa dan rakyat ASEAN. Berdasarkan tujuan di atas, ASCC menggambarkan karakteristik sebagai berikut:(a) Pembangunan Manusia; (b) Kesejahteraan dan Perlindungan Sosial; (c) Keadilan Sosial dan Hak; (d) Memastikan Kelestarian Lingkungan; (e) Membangun Identitas ASEAN; dan (f) Mempersempit Jarak Pembangunan. Tujuan-tujuan ini mensyaratkan pendidikan dan pelatihan harus menjadi prioritas strategis. Investasi di bidang pendidikan dan pelatihan bagi pekerja serta perusahaan bisa dilakukan dengan mendirikan sarana pendidikan jarak jauh, pelatihan sumber daya manusia dan pembentukan kapasitas bagi perusahaan atau UKM.

Oleh karena itu, prioritas pendidikan dan berinvestasi pada pekerja serta perusahaan dianggap sebagai tujuan strategis di dalam kerangka pembangunan sumber daya manusia dalam Cetak Biru ASCC.

Prioritas kebijakan tersebut juga akan meningkatkan daya saing dan produktivitas ekonomi negara anggota ASEAN sehingga konsisten dengan pilar dan tujuan Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri  isu ketenagakerjaan menjadi kunci mengatasi ketimpangan sosial dan pengangguran di Indonesia. Pendidikan atau pelatihan ketrampilan (vokasi) merupakan salah satu intervensi strategis yang penting dilakukan oleh pemerintah. Pendidikan dan pelatihan vokasi juga sekaligus diharapkan menjadi jawaban atas tantangan Revolusi Industri 4.0 yang sangat dinamis dan berpeluang besar kian memperlebar kesenjangan ketenagakerjaan Indonesia.

Kertas kebijakan ini merupakan bentuk dukungan terhadap kebijakan vokasi. Beberapa rekomendasi di dalamnya diharapkan dapat membantu pemerintah mengupayakan kebijakan vokasi yang implementatif dan berdampak positif mengatasi ketimpangan.

Kertas kebijakan ini sekaligus menjadi upaya dari masyarakat sipil untuk mendorong Indonesia melaksanakan Nawa Cita dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Nawacita keenam menyatakan, “Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya”. Selain itu mencapai Tujuan Ke-8 dan Ke-10 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yakni “Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi” dan “Berkurangnya Kesenjangan”.

5URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 20: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

FOTO

: DO

KUM

EN IN

FID

6 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 21: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB II

Hasil Penelitian di Lima Daerah

P ada akhir 2017 hingga awal 2018, Koalisi Masyarakat Sipil meneliti kebutuhan anak muda dan perempuan mengenai pekerjaan yang layak di lima kabupaten/kota di Indonesia. Lima daerah yang

dimaksud adalah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kabupaten Malang dan Kabupaten Bojonegoro di Jawa Timur dan Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.

Profil responden survei terdiri atas 41 persen perempuan dan 59 persen laki-laki. Sebanyak 41,68 persen di antarnya bekerja untuk orang lain, 19,19 persen usaha sendiri, 19,44 persen sedang belajar, dan 19,70 persen tidak atau belum bekerja.

Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan pendekatan survei yang dilakukan pada 787 orang responden di lima daerah. Sedangkan metode kualitatif yaitu wawancara dengan para pengambil kebijakan dan observasi lapangan.

7URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 22: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kondisi pekerja anak muda dan perempuan (ekonomi, sosial, lingkungan). Kemudian mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat kesempatan kerja anak muda serta perempuan. Berikutnya adalah mendapatkan informasi kebutuhan anak muda serta perempuan dalam memenuhi kesempatan kerja.

Hasil penelitian pada lima daerah tersebut, rata-rata 70 persen responden menyatakan pelatihan kerja memberikan manfaat kemudahan dalam mencari kerja seperti tabel yang ada di bawah ini. Mereka merasa mudah mencari kerja karena materi pelatihan sesuai dengan pekerjaan.

Hasil ini berbeda dengan responden di Kabupaten Malang, hanya 48 persen yang merasa pelatihan tersebut relevan dengan pekerjaannya. Responden yang menyatakan tidak relevan karena materi pelatihan sulit diterima dan lapangan pekerjaan tidak tersedia di daerah, terutama di Bojonegoro (60 persen).

Grafik 5. Kemudahan Mencari Kerja

Lebih dari 70 persen responden menyatakan tidak ada mekanisme penempatan kerja langsung setelah pelatihan di wilayah masing-masing. Kabupaten Wonosobo merupakan wilayah dengan responden yang merasa ada mekanisme penempatan kerja paling tinggi dibanding wilayah lain sebesar 29 persen. Sedangkan Kabupaten Kulonprogo hanya 27 persen, Malang sebanyak 24 persen, Bojonegoro sebanyak 18 persen) dan Kota Yogyakarta sebanyak 8 persen.

Sumber pembiayaan pelatihan tersebut lebih banyak ditanggung oleh pemerintah maupun perusahaan dibanding dana pribadi para pekerja. Sebanyak 88 persen responden di Wonosobo menyebutkan biaya ditanggung pihak lain dan hanya 12 persen yang menyatakan ditanggung keluarga.

8 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 23: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Grafik 6. Sumber Pembiayaan Pelatihan

Para responden juga menganggap pelatihan yang diberikan BLK tidak atau kurang sesuai dengan pekerjaan yang dimiliki saat ini. Kondisi ini berbeda dengan pelatihan di tempat kursus yang sebagian besar dianggap sesuai dengan pekerjaan.

Di Wonosobo dan Kulonprogo, 100 persen responden menyatakan materi yang diberikan di BLK tidak sesuai dengan pekerjaan, seperti diterangkan pada grafik 7 di bawah ini. Tapi, kondisi berbeda terjadi di Malang, sebanyak 100 persen respons menyatakan materi pelatihan di BLK sesuai dengan pekerjaan.

Grafik 7. Kesesuaian Materi BLK dan Kursus dengan Pekerjaan

9URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 24: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Tapi ternyata tidak banyak pekerja yang memanfaatkan pelatihan untuk peningkatan kapasitas dirinya. Dalam penelitian ini, hanya 14 persen responden yang mengikuti pelatihan. Sisanya, sebanyak 86 persen responden mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan keterampilan apa pun selama satu tahun terakhir. Sementara 75 persen dari yang mengikuti pelatihan, hanya mengikuti satu kali pelatihan keterampilan. Di antara yang mengikuti pelatihan, 72,9 persen mengikuti pelatihan di tempat kursus, sebanyak 19,63 persen di BLK, dan 5,61 persen di pesantren.

Penelitian ini juga mengungkap kondisi ketenagakerjaan di lima kota tersebut. Ternyata, di kota-kota tersebut banyak tenaga kerja mengalami pelanggaran hak dan pelecehan dalam bekerja. Jenis pelanggaran kerja yang sering dialami oleh responden pekerja adalah lembur yang tidak dibayar (22,22 persen) dan pelecehan verbal (16,67 persen).

Hanya 28,17 persen responden yang bekerja yang memiliki hak cuti. Sebanyak 37.36 persen responden yang bekerja tidak memiliki jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Hanya 33 persen responden yang bekerja menerima gaji di atas UMK. Sebanyak 66,8 persen bekerja dengan gaji di bawah UMK.

Pelanggaran lain adalah pendapatan sebagai tenaga kerja upah masih tidak sebanding dengan “upah” pekerjaan dalam rumah tangga. Lima daerah yang diteliti memiliki rentang UMK dari yang terendah Rp1.373.600 (Kabupaten Kulonprogo) sampai yang tertinggi Rp2.368.510 (Kabupaten Malang). Namun UMK tersebut tidak sebanding dengan biaya rata-rata yang dikeluarkan jika harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

10 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 25: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

11URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 26: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

FOTO

: DO

KUM

EN IN

FID

12 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 27: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB III

Sebab Terjadinya Ketimpangan Kesempatan Kerja

S alah satu sebab utama terjadinya ketimpangan kesempatan kerja adalah kebijakan ketenagakerjaan terpinggirkan atau tidak menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan. Sejak Indonesia

merdeka, baru sekarang pemerintah memberikan perhatian terhadap pentingnya keterampilan dan keahlian pekerja.

Pada 1970-an, pemerintah sebenarnya telah mewacanakan pentingnya link and match dalam dunia pendidikan dan perekonomian nasional. Namun wacana tersebut berhenti pada diskursus pendidikan dan tidak menyentuh aspek kebijakan ketenagakerjaan.

Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan pada awalnya adalah upaya pemerintah untuk mengendalikan serikat pekerja. Bukan lembaga dengan kebijakan berorientasi pada kesejahteraan pekerja dan memperkuat pekerja di dalam pembangunan. Kondisi inilah yang menjadikan kebijakan ketenagakerjaan selalu berada di pinggiran, bukan arus utama kebijakan pembangunan.

13URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 28: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Kualitas pendidikan menengah dan perguruan tinggi saat ini belum sepenuhnya relevan dengan prasyarat dan kebutuhan dunia kerja. Profil lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi saat ini terlihat masih belum menguntungkan, baik di jenjang SMK di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Latihan Kerja (BLK) di bawah Kementerian Tenaga Kerja, dan Politeknik di bawah Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi.

Berikut adalah beberapa keadaan sekaligus tantangan bagi pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Balai Latihan Kerja (BLK) dan Politeknik.1

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

1. Dari segi input pendidikan SMK, rata-rata passing grade dari siswa yang masuk SMK lebih rendah dibandingkan yang masuk SMA. Berdasarkan perbandingan secara nasional, passing grade untuk masuk ke pendidikan SMK lebih rendah 17 persen dibandingkan SMA.

2. Dari sisi kualitas terutama terkait dengan pendidik, 78 persen dari guru SMK merupakan guru normatif – adaptif dan hanya 22 persen yang merupakan guru produktif untuk pelajaran kejuruan.

3. Kurikulum SMK tidak banyak berbeda dengan SMA. Pada tahun pertama kurikulum SMK tidak jauh berbeda dengan SMA, tahun kedua mengajarkan praktik dengan komposisi 38 persen dan 62 persen ajaran teori. Pada tahun ketiga 50 persen pelajaran SMK masih berupa teori.

4. Kecenderungan membuka jurusan dengan kebutuhan peralatan minimum. Dari 144 kompetensi, 10 kompetensi terbesar merupakan SMK dengan jumlah investasi berupa laboratorium, narasumber, dan peralatan pendukung yang relatif lebih rendah dari SMK lainnya, yaitu (1) teknik komputer dan jaringan; (2) akuntansi; (3) administrasi perkantoran; (4) teknik kendaraan ringan; (5) teknik sepeda motor; (6) teknik permesinan; (7) pemeliharaan dan perbaikan motor dan rangka pesawat udara; (8) multimedia; (9) pemasaran; dan (10) teknik pendingin dan tata udara.

5. Tidak ada informasi satu atap bagi siswa SMK terkait profil dan kebutuhan masing-masing industri. Para siswa SMK tidak memiliki informasi terkait kebutuhan dan ketrampilan yang dibutuhkan industri.

1 Lihat dalam buku “Roadmap Kebijakan Pengembangan Vokasi di Indonesia 2017-2025”, diterbitkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Desember 2017, hal. xxviii-xxxi.

14 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 29: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Balai Latihan Kerja

1. Peralatan dari BLK di Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan industri. Data World Bank menunjukkan bahwa dari seluruh isu teknis dari BLK di Indonesia, 54 persen di antaranya adalah isu tidak adanya peralatan.

2. Masih belum ada standar Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang ditawarkan dalam program BLK di daerah. Sebagian besar BLK di daerah yang lebih kecil masih belum memiliki standar KKNI pada bidang-bidang tertentu.

3. Kurangnya instruktur atau mentor dengan kapasitas memadai. Permasalahan ini disebabkan oleh banyaknya instruktur BLK yang pensiun atau mengundurkan diri. Saat ini, BLK di Indonesia memiliki 53 persen instruktur dengan pendidikan S-1, sebanyak 12 persen lulusan D-3 dan 23 persen memiliki latar belakang pendidikan SMA.

4. Tingginya biaya pelatihan yang harus dikeluarkan peserta. Penerapan dari sistem paket dalam pelatihan yang diberikan BLK membuat biaya untuk mengikuti pelatihan menjadi relatif mahal.

5. Kompetensi BLK yang kurang fleksibel. Pemberian pelatihan pada BLK lebih bersifat universal tanpa adanya diferensiasi antar-daerah sesuai dengan potensi pengembangan sektor per daerah.

Politeknik

1. Kurangnya dosen industri bagi pendidikan politeknik. UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 46 ayat (2) menyatakan bahwa untuk menjadi dosen, minimal harus memenuhi kualifikasi minimal lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana. Peraturan ini semakin menyulitkan untuk memenuhi kebutuhan dosen dari sisi industri, terutama untuk program politeknik.

2. Kurang diterapkannya teaching factory, padahal, politeknik dituntut membangun kerja sama dengan mitra industri agar para mahasiswa bisa praktik di perusahaan langsung.

3. Keterbatasan program vokasi di tingkat magister dan doktor terapan. Rendahnya politeknik yang membuka program untuk magister dan doktor terapan menjadi tantangan tersendiri dalam menciptakan kualifikasi tenaga kerja dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di bidang ilmu terapan.

15URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 30: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Persoalan berikutnya adalah kebijakan anggaran belum berpihak pada peningkatan kapasitas para pekerja. Sampai saat ini ketenagakerjaan dan pendidikan vokasi masih belum mendapat anggaran yang memadai.

Jumlah anggaran program pendidikan dan pelatihan vokasi dari tiga kementerian yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Kementerian Riset dan pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebesar Rp2,58 triliun atau sekitar 0,021 persen dari PDB.

Kemendikbud yang pada 2017 mendapat alokasi anggaran belanja sebesar Rp39,8 triliun mengalokasikan dana tersebut pada program penguatan vokasi sebesar Rp614 milyar. Sedangkan Kemenristekdikti yang mendapatkan anggaran sebesar Rp38,7 triliun pada 2017, mengalokasikan sebesar Rp200 miliar untuk program Revitalisasi Pendidikan Vokasi. Sedangkan Kemenaker mendapat alokasi anggaran sebesar Rp3,4 triliun dan mengalokasikan Rp1,7 triliun untuk program penguatan kompetensi.

Bandingkan dengan alokasi anggara negara-negara OECD pada program pasar tenaga kerja. Mereka mengalokasikan dana untuk pendidikan dan pelatihan pekerja dalam jumlah yang besar, rata-rata mencapai 1,32 hingga 1,58 persen dari PDB pada 2009-2015. Denmark bahkan mengalokasikan dana itu lebih dari 3 persen PDB.

Alokasi anggaran untuk pendidikan dan pelatihan yang merupakan bagian dari kebijakan aktif di Indonesia hanya memperoleh alokasi sekitar 10 persen dari anggaran untuk program pasar tenaga kerja, angka itu sebesar 0,13-0,17 persen dari PDB negara-negara OECD.

Grafik 8. Alokasi Anggaran untuk Ketenagakerjaan di Negara-negara OECD (Persen terhadap PDB)

Sumber Data: Diolah dari OECD, 2017

16 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 31: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Belanja publik untuk program pasar tenaga kerja mencakup Layanan Pekerjaan Umum (Public Employment Services - PES), pelatihan, pemberian subsidi dan penciptaan pekerjaan langsung di sektor publik, serta tunjangan pengangguran. Sedangkan PES mencakup penempatan dan layanan, administrasi manfaat dan pengeluaran lainnya.

Pelatihan mencakup kelembagaan, tempat kerja dan pelatihan alternatif atau yang terintegrasi, serta dukungan khusus untuk magang. Insentif pekerjaan termasuk insentif perekrutan, insentif perawatan kerja, dan rotasi kerja dan pembagian kerja.

Pemeliharaan dan dukungan pendapatan kerja mencakup tunjangan pengangguran penuh, asuransi pengangguran, bantuan pengangguran, tunjangan pengangguran parsial, tunjangan pengangguran paruh waktu, kompensasi redundansi dan kebangkrutan.

Namun sayangnya, hingga kini belum ada gambaran pasti tentang model pendidikan dan pelatihan vokasi yang akan dilaksanakan di Indonesia. Misalnya, rujukan mana yang akan digunakan, dari Jerman atau Taiwan, dua negara yang dianggap mempunyai praktik terbaik pendidikan ketenagakerjaan atau Indonesia memiliki sistem tersendiri.

Buku Peta Jalan (Roadmap) Kebijakan Pendidikan Vokasi (2017) juga belum memberikan penjelasan yang cukup tentang bagaimana sistem pendidikan akan diselenggarakan, apakah hanya bertumpu kepada SMK, BLK dan Politeknik atau ada alternatif lain.

Sebenarnya ada harapan untuk memperbaiki sistem pendidikan ini, hal ini terlihat dari perhatian serius Presiden Joko Widodo untuk menguatkan pendidikan dan pelatihan vokasi sebagai jalan keluar problem ketenagakerjaan yang diharapkan berdampak signifikan bagi anak muda dan perempuan.

Hal ini ditandai oleh beberapa hal. Pertama, di pertengahan April 2016, dalam kunjungan kerja ke Jerman, Presiden Jokowi secara khusus meminta kepada Kanselir Jerman, Angela Markel, untuk membantu pendidikan vokasi di Indonesia.

Kedua, secara berturut-turut pada tanggal 9 September 2016 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.

Kemudian pada 13 September 2016 mengadakan Rapat Terbatas dengan instruksi untuk merombak sistem pendidikan dan pelatihan vokasi dan melakukan reorientasi pendidikan serta pelatihan vokasi ke arah demand driven. Pada tanggal 29 September 2016 ada penandatanganan Nota Kesepahaman antara 5 Menteri tentang

17URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 32: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pengembangan Pendidikan Kejuruan dan Vokasi Berbasis Kompetensi yang link and match dengan industri.

Ketiga, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi pada akhir Desember 2017 yang lalu mengeluarkan Buku bertajuk “Roadmap Kebijakan Pengembangan Vokasi di Indonesia 2017-2025”. Buku tersebut memberikan peta keadaan pendidikan dan ketrampilan apa yang dibutuhkan terutama terkait dengan tantangan revolusi industri 4.0.

Namun ada satu persoalan yang membuat Roadmap Kebijakan Pengembangan Vokasi di Indonesia 2017-2025 harus diperhatikan dengan serius. Yaitu adanya upaya untuk meniadakan peran serikat pekerja.

Pada tujuh pilar reformasi sistem vokasi Indonesia, tidak ada satu kata pun yang menyinggung soal serikat pekerja. Tujuh pilar itu hanya terdiri dari 1) reformasi, 2) investasi, 3) transformasi, 4) fokus pada permintaan, 5) pelatihan, 6) pembagian peran dan 7) pemberdayaan.

Pada pilar ketujuh, pihak yang diharapkan terlibat dalam pemberdayaan vokasi adalah asosiasi, industri dan masyarakat, bukan serikat pekerja. Pilihan ini layak dikoreksi, karena serikat pekerja selama ini merupakan aktor penting dalam pengembangan kualitas pekerja.

Persoalan lain dalam pendidikan ketenagakerjaan adalah tidak adanya kemitraan di antara pelaku kepentingan bidang ketenagakerjaan. Relasi antar-pihak yang berkepentingan dalam persoalan ini tidak didasarkan pada kepercayaan untuk bekerja

18 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 33: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

sama. Padahal di dalam hukum ekonomi, tiga pihak yaitu pemerintah, pelaku usaha dan pekerja adalah pihak-pihak yang akan selalu terlibat di dalam kegiatan ekonomi dan saling berkepentingan.

Selama ini, berdasarkan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 15, hubungan antara pekerja dengan perusahaan hanya mengandalkan kontrak perjanjian kerja. Dengan demikian, ada unsur syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Keadaan tersebut menutup peluang kemitraan antara pekerja dan pemberi kerja. Demikian juga hubungan dengan pemerintah menjadi lebih sulit. Hubungan kerja, terutama antara pekerja dan pemberi kerja menjadi lebih hierarkis, bukan hubungan antar-mitra yang bekerja sama mencapai target.

19URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 34: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

FOTO

: DO

KUM

EN IN

FID

20 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 35: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB IV

Usulan Kebijakan Pengembangan Vokasi di Indonesia

1. Anggaran

Selain masalah kualitas, pendidikan dan pelatihan vokasi juga memerlukan anggaran yang memadai. Karena itu, penting untuk mempertimbangkan realokasi anggaran pendidikan formal ke arah pendidikan vokasi non formal.

Dalam soal anggaran, harus diakui bahwa kapasitas fiskal pemerintah memang masih rendah, hanya sekitar 18 persen dari PDB. Salah satu sebab kondisi adalah penerimaan pajak yang menjadi andalan penerimaan pemerintah sering tidak mencapai target. Dalam keadaan tersebut, maka pemerintah dan DPR harus cepat menentukan prioritas alokasi anggaran.

Pendidikan vokasi non formal ini bisa menjadi alternatif karena Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan formal setingkat SMU selama 4 tahun terakhir hanya berkisar pada persentase 60-an persen. Dengan kapasitas fiskal sekitar Rp2 ribu triliun, maka untuk mencapai akses pendidikan formal hingga 12 tahun akan memerlukan waktu yang sangat lama.

21URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 36: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Padahal di sisi lain, tuntutan ketrampilan pekerja demikian kuat dan cepat, bervariasi serta mahal investasinya. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kemungkinan merelokasi alokasi anggaran pendidikan formal kepada pendidikan dan pelatihan vokasi.

Dengan demikian, capaian pendidikan harus bergeser kepada mutu sambil menguatkan akses, yang tidak diukur dari sekolah formal non kejuruan melainkan diperbanyak kepada kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan tantangan zaman seperti revolusi industri 4.0.

2. Berinvestasi pada Pekerja

Harus disadari bahwa landscape ekonomi di dunia dan ASEAN berubah sangat cepat. Karena itu, perlu strategi dan pembangunan tenaga kerja khusus untuk mendorong serta mempertahankan pertumbuhan ekonomi, peningkatan dan restrukturisasi industri.

Globalisasi yang ditandai dengan kemajuan yang sangat cepat di bidang transportasi dan teknologi komunikasi telah mengubah cara pengelolaan sistem produksi di ASEAN. Globalisasi mensyaratkan daya saing dan inovasi, kemudian menghilangkan batas perdagangan dan juga meningkatkan arus modal. Pada era ini, mobilitas buruh dan arus informasi telah menjadi faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi.

Liberalisasi perdagangan dan investasi menjadi kunci sukses pertumbuhan ekonomi ASEAN. Dalam konteks ini, negara-negara anggota ASEAN memerlukan strategi ekonomi jangka panjang dan ketenagakerjaan fleksibel untuk memenuhi tuntutan pasar pekerja yang terus berubah akibat integrasi ekonomi dan globalisasi di pasar.

Kondisi ekonomi beberapa negara ASEAN dengan pasar domestik yang besar mungkin mendapatkan tantangan yang lebih berat dalam mengubah kondisi ketenagakerjaan dibanding negara yang ekonomi domestiknya lebih kecil dan tergantung pada kebutuhan eksternal sebagai sumber dari pertumbuhan ekonominya. Namun demikian, seluruh ekonomi ASEAN perlu secara kritis dan dengan angka yang memadai berinvestasi pada tenaga kerja serta perusahaan berdasarkan pilar tujuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Investasi pada tenaga kerja harus dilakukan dengan rasional sesuai visi misi dan sasaran kebijakan. Visinya adalah meningkatkan daya kerja dan daya saing tenaga kerja sedangkan misinya adalah mendorong tenaga kerja yang gigih, terampil dan cekatan untuk ekonomi nasional dan kawasan.

22 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 37: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Beberapa langkah investasi pada pekerja bisa dirumuskan sebagai berikut :

1. Membangun infrastruktur pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. Pendidikan dan pelatihan pekerja di masa depan dilakukan sepanjang hayat dan berkelanjutan. Hal ini diperlukan untuk menyiapkan tenaga kerja menghadapi persyaratan keterampilan kerja yang terus berubah. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan (CET).

Sebagai bagian dari Rencana Induk CET, pemerintah harus meningkatkan kapasitas infrastruktur, menetapkan hubungan yang kuat antara CET dan lembaga pendidikan para pekerja.

Selain itu juga mendirikan Lembaga Khusus Pendidikan Dewasa untuk mengembangkan kemampuan pendidik dewasa dalam pelatihan para pekerja dengan pendekatan sebagai berikut ;

a. Jaringan Pendidikan Tinggi Dewasa untuk memfasilitasi badan dan lembaga yang akan menampung para praktisi CET (Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan)

b. Pelatihan Berbasis Industri. Yaitu mengarahkan pelatihan keterampilan khusus bagi pekerja dengan infrastruktur dan keterampilan yang menjadi syarat perusahaan dan asosiasi. Pendekatan ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Pusat pelatihan perusahaan yang memenuhi persyaratan soal staf, fasilitas dan kurikulum bisa berlaku menjadi Pusat Pelatihan yang Disetujui (ATC) yang diberi wewenang melaksanakan pelatihan pada sertifikasi Lembaga Pendidikan Teknis umum.

Pusat pelatihan seperti ini juga bisa memberikan skema magang. Model seperti ini terbilang berhasil di Singapura sejak beroperasi pada 1980, kemudian Taiwan, Korea Selatan dan banyak negara lainnya.

c. Pelatihan Keterampilan Tertentu. Pelatihan ini dilaksanakan untuk perusahaan yang membutuhkan program khusus bagi stafnya. Di Singapura, lembaga pendidikan teknis seperti ini telah melaksanakan 350 kursus untuk 500 perusahaan yang sangat bermanfaat bagi para pekerja. Model yang sama juga digunakan di banyak negara maju seperti AS, Jepang dan negara-negara Eropa.

d. Pusat Pelatihan On The Job Training (OJT) tersertifikasi (COJTC). Perusahaan yang memiliki komitmen dan infrastruktur memadai untuk melakukan OJT terstruktur bisa disertifikasi sebagai COJTC. Lembaga didirikan untuk

23URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 38: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

merencanakan, merancang dan melaksanakan program OJT yang disesuaikan dengan kebutuhan pekerjanya. Di Singapura, COJTC diberikan wewenang untuk menerbitkan sertifikat OJT saat menyelesaikan pelatihan karyawannya. Skema pelatihan tersebut telah berhasil di Singapura dan menerima dukungan yang kuat dari para pemberi kerja.

e. Ujian Sertifikasi Perdagangan Nasional dan Umum. Bisa digelar dengan menggunakan sistem tiga level dengan mulai dari pekerja dasar, semi terampil dan terampil atau setara dengan pengrajin ahli. Standar Sertifikasi Perdagangan Nasional harus didasarkan pada kompetensi dan bisa diterapkan pada magang penuh waktu dan program paruh waktu.

f. Pengembangan sistem pelatihan teknis yang baik membutuhkan visi yang jelas, perencanaan strategis, inisiatif dan implementasi yang efektif.

Pendidikan dan pelatihan vokasi mencakup program pendidikan dan pelatihan, dan biasanya mengarah ke pekerjaan tertentu. Model seperti ini melibatkan pelatihan praktis dan juga teori yang relevan dengan sistem pendidikan, masyarakat dan industri.

Faktor utama yang berpengaruh adalah perubahan yang cepat dalam globalisasi, perubahan teknologi produksi, teknologi Informasi & komunikasi, integrasi kawasan dan kebutuhan peningkatan serta restrukturisasi industri.

Kondisi ini membuat para pekerja harus mempunyai keterampilan yang relevan di dalam dinamika pasar buruh yang terus berubah ini. Mereka perlu mengenal penggunaan teknologi informasi dan sistem mesin dan produksi otomatis.

Fokus utama dalam membangun infrastruktur-organisasi pendidikan dan pelatihan adalah produktivitas pekerja di semua tingkatan. Para pekerja harus mempunyai kompetensi kunci untuk dapat bekerja secara lebih mandiri, berkomunikasi secara efektif dan mampu beradaptasi terhadap teknologi serta lingkungan kerja yang terus berubah.

24 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 39: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

2. Lembaga Pendidikan TeknisKeterampilan dan kemampuan teknis sangat penting bagi pembangun sosial dan ekonomi suatu negara. Karena itu, sistem pendidikan vokasi menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional dan struktur dasar sosial dari suatu masyarakat. Sistem harus bersifat dinamis harus mengikuti perubahan kebutuhan pendidikan, masyarakat dan ekonomi yang berubah sangat cepat.

Pendidikan dan pelatihan vokasi harus mengikuti perubahan kebutuhan di tempat kerja, aspirasi generasi muda dan peningkatan pasar global yang kian kompetitif.

Kondisi ini menimbulkan tantangan dan peluang baru dalam membentuk karakteristik sistem pelatihan vokasi dan teknis. Masing-masing sistem unik karena harus menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, lembaga dan ekonomi suatu negara.

Namun, ada fitur umum mendasar dari setiap pendidikan dan pelatihan vokasi. Yaitu sistem harus responsif, relevan dan efektif terhadap kebutuhan pekerja serta mempunyai perencanaan strategis jangka panjang, infrastruktur pelatihan serta sistem penyampaian yang efektif.

Di Singapura, sistem pendidikan dan pelatihan teknis berkualitas telah terbentuk. Di Malaysia dan Thailand, sistem ini sedang berkembang dan menjadi semakin efektif.

Ada suatu kebutuhan akan kolaborasi yang lebih efektif, koordinasi dan upaya bersama di antara para pemangku kepentingan seperti sistem tripartit di Singapura dan di antara lembaga publik, perusahaan dan pekerja, khususnya pekerja yang telah menjadi anggota serikat pekerja.

3. Berinvestasi pada perusahaanPerusahaan besar biasanya sudah mempunyai sumber daya manusia dan keuangan yang memadai untuk pelatihan keterampilan dan peningkatan sendiri maupun lewat afiliasinya. Namun perusahaan yang tergolong kecil atau UKM belum tentu bisa.

Dalam konteks ASEAN, investasi difokuskan untuk meningkatkan kapasitas usaha kecil dan menengah (UKM) untuk meningkatkan kapasitas industri.

Tingkat pengembangan UKM dan kemampuan pelatihannya di negara-negara ASEAN sangat berbeda. Singapura, Malaysia dan Thailand mempunyai tingkat pengembangan UKM yang lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya, khususnya di bidang pelatihan dan peningkatan keterampilan.

25URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 40: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Namun, para pemimpin ASEAN berkomitmen mengembangkan UKM sebagai salah satu pilar utama untuk meningkatkan kebijakan daya saing, inklusifitas dan kesetaraan ASEAN sebagaimana tercantum di dalam Cetak Biru MEA.

Skala perusahaan adalah penentu tingkat partisipasi dalam pengembangan kapasitas tenaga kerja, khususnya pelatihan tenaga kerja dan peningkatan keterampilan. Data di seluruh negara OECD menunjukkan bahwa UKM berperan kurang dari 50 persen di dalam aktivitas pelatihan daripada perusahaan besar.

1. Hambatan pelatihanUKM disebut sebagai pihak yang menghadapi tantangan khusus terkait pelatihan. Berbagai studi yang dilakukan oleh negara-negara anggota OECD dan ILO menunjukkan hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut.

a. Kurang informasi. Perusahaan kecil tidak mempunyai banyak informasi tentang pelatihan apa yang tersedia untuk mereka dan juga bukti dari manfaatnya.

b. Menghindari risiko. Perusahaan kecil cenderung berorientasi pada tujuan jangka pendek, yaitu bertahan hidup, dan beroperasi pada lingkup yang lebih pendek, berbeda dengan perusahaan besar. Hal ini menyebabkan nilai pengurangan yang lebih tinggi di hampir semua perhitungan manfaat pelatihan.

c. Pasokan pelatihan. Perusahaan kecil sering kali mengalami masalah mengakses pelatihan sesuai dengan kebutuhan mereka baik jenis maupun kualitasnya. Selain itu, skala ekonomi perusahaan juga menjadikan biaya pelatihan meningkat.

d. Kemampuan manajemen. Berdasarkan berbagai macam survei yang dilakukan oleh OECD, alasan utama perusahaan kecil tidak menyediakan pelatihan adalah keyakinan manajemen bahwa tenaga kerja telah mampu dan mahir.

e. Padahal, hal ini bisa jadi salah dan membuat manajemen tidak mampu mengembangkan strategi bernilai tambah dan mengembangkan produk.

f. Hal-hal eksternal. Manfaat bagi keterampilan tenaga kerja tidak dibatasi hanya pada pemberi kerja yang berinvestasi pada pelatihan karena bagian keuntungan yang “melimpah” bisa dirasakan oleh setiap pegawai, negara dan pegawai lainnya.

g. Pertimbangan tersebut mengurangi insentif pemberi kerja untuk melatih dan memicu pola pelatihan yang dirancang untuk mengurangi kerugian tersebut. Perusahaan yang lebih besar sering kali membayar upah yang lebih tinggi,

26 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 41: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

sehingga kualifikasi formal dianggap oleh perusahaan kecil lebih bernilai bagi karyawan daripada usaha itu sendiri. Karena itu, banyak perusahaan besar yang hanya memberikan pelatihan khusus di dalam perusahaan yang menghasilkan keterampilan yang kurang bisa dialihkan ke pasar terbuka.

h. Ketidaksempurnaan pasar modal. Biaya pelatihan yang tinggi bagi perusahaan kecil sering kali diperparah oleh sulitnya perusahaan mencari pinjaman untuk pelatihan setiap pegawai. Masalah lain adalah kurang informasi di pasar keuangan tentang biaya dan manfaat dari pelatihan.

i. Keseimbangan keterampilan rendah. Diakui secara luas bahwa tuntutan pelatihan di antara pemberi kerja skala kecil sering timbul karena kegagalan sistem. Ini disebut sebagai “ekuilibrium keterampilan rendah”. Hal ini membuat, produk jasa yang dihasilkan berkualitas rendah karena dikerjakan oleh pekerja yang kurang terampil. Permintaan pasar, strategi produksi dan tingkat keterampilan menjadi terkunci di dalam jalur siklus penguatan diri yang tidak mandiri.

2. UKM sebagai pusat belajar dan pelatihan pertumbuhan dan peningkatan industriUsaha kecil dan menengah (UKM) bisa memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di negara berkembang. Kontribusinya pada penciptaan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, ekspor, pemberdayaan ekonomi, kewirausahaan, distribusi kekayaan dan peluang ekonomi telah diakui dan dikenali oleh para pembuat kebijakan. Potensinya sering kali tidak direalisasikan akibat sejumlah faktor yang terkait dengan kapasitas UKM.

Kapasitas UMK yang kecil juga menjadi batasan internasionalisasi fungsi, seperti pelatihan, inovasi teknologi dan akreditasi kualitas. Namun ada sejumlah kebijakan pelatihan dan peningkatan yang terbukti efektif dalam mengurangi batasan bagi UKM ini. Kebijakan dan praktik berikut tersebut adalah sebagai berikut :

a. Jejaring dan pengelompokan pembelajaran dan pelatihanUsaha kecil yang beroperasi pada satu wilayah yang berdekatan dengan berbagai kepentingan usaha seperti produk, kebutuhan infrastruktur dan aktivitas pelatihan berpotensi berkembang lebih besar.

Di dalam kelompok tersebut, bisa muncul inisiatif bersama untuk mengembangkan produk, selain itu ada efektivitas biaya karena bisa ditanggung bersama dan mudah berkoordinasi.

27URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 42: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Di kelompok tersebut ada juga kemampuan untuk eksplorasi, percobaan dengan proses baru, produk baru atau pasar baru. Dengan aktivitas bersama dan kolaboratif, lingkungan atau ekosistem tersebut menciptakan aktivitas bersama untuk pembelajaran, pelatihan dan peningkatan keterampilan.

Singapura telah menerapkan kawasan industri untuk pengelompokan UKM pada kompetensi dan kategori produk tertentu. Contoh lain kelompok UKM yang berdaya saing bisa diambil dari pengalaman negara OECD seperti Jerman, Jepang, Perancis dan AS. Contoh lain adalah kesuksesan ekonomi dari berbagai kelompok UKM yang beroperasi di Italia di sektor-sektor seperti tekstil, kulit, perhiasan dan rangka kacamata dan yang lainnya juga telah didokumentasikan.

b. Kolaborasi di antara perusahaan besar dan kecil sebagai penyedia (sub kontraktor).Hubungan antara perusahaan besar dan kecil mempunyai banyak potensi untuk mengembangkan kelompok dan akses pada pelatihan.

Bukti empiris menunjukkan bahwa jaringan penyedia atau sub kontraktor sering kali butuh dukungan agar bisa berkembang. Ada sejumlah contoh inisiatif yang dirancang untuk tujuan ini.

Penekanan pada pengembangan seperti skema pelatihan membutuhkan sistem pengelolaan yang cermat agar dapat meletakkan perusahaan kecil dengan tepat pada jaringan tersebut.

Sistem pembelajaran dan keterampilan antara perusahaan besar dan UKM lokal cukup lazim diadopsi di Asia Timur, khususnya di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia. Di Thailand dikembangkan pada kluster suku cadang dan komponen otomotif), di Filipina pada sektor otomotif, elektronik dan jasa dan Indonesia pada mesin, furnitur dan logistik.

c. Partisipasi dan keterlibatan di rantai nilai kawasan dan globalIntegrasi rantai nilai sering meminta penyedia lokal agar dapat memenuhi standar produk dan layanan yang menonjol di dalam rantai. Banyak studi menunjukkan bahwa keterampilan tenaga kerja di level penyedia lokal sangat penting untuk memenuhi persyaratan ini.

Karena keterbatasan sumber daya, UKM cenderung sulit berinvestasi pada pelatihan tenaga kerja daripada perusahaan besar. Mereka juga menganggap sulit mengidentifikasi persyaratan keterampilan atau untuk mengantisipasi tuntutan keterampilan.

28 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 43: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Sistem pendidikan dan vokasi dan pelatihan yang berfungsi baik menjadi sangat penting agar dapat merekrut pekerja yang mempunyai kemampuan menghadapi lingkungan kerja dan keterampilan teknis yang berubah. Hasilnya, UKM bisa terhubung dengan rantai nilai, survei monitoring OECD-WTO membenarkan bahwa keterampilan adalah batasan utama dari sisi persediaan bagi UKM.

d. Kemitraan antara perusahaan dan pemerintah dalam menyediakan pendidikan dan pelatihan.Dukungan pemerintah pada lingkungan ekonomi yang pro usaha agar memberikan pendidikan dan pelatihan kepada perusahaan sangat penting.

Peningkatan perusahaan harus melembaga dalam manfaat pajak, pelatihan dan peningkatan ketrampilan bersubsidi. Selain itu harus ada mekanisme investasi manusia dan sumber daya fisik dari masyarakat bisnis yang terus menerus dan mempunyai target.

Negara-negara ASEAN bisa mengambil pengalaman sukses dan mengadopsi dari Jepang, Korea Selatan, Singapura, Belanda, Jerman dan negara-negara Skandinavia.

Sebagai contoh, pemerintah Singapura telah meluncurkan beberapa skema yang memberikan pendanaan penuh atau parsial pada organisasi lokal, termasuk UKM, perusahaan lokal yang besar, perusahaan multinasional, untuk program pengembangan kapasitas pekerja. Skema pendanaan ini termasuk pemberian uang tunai, skema pendanaan ekuitas oleh pemerintah, skema inkubator bisnis, skema pendanaan hutang dan insentif pajak.

Ini adalah skema yang bisa membantu mengurangi biaya konsultasi dan implementasi inisiatif pengembangan kemampuan seperti program pelatihan dan peningkatan produktivitas, peningkatan TI, sistem SDM dan inisiatif berpusat pada konsumen.

Terkait dengan hibah dari pemerintah, di Singapura ada 4 hibah yang tersedia yaitu Enterprise Training Support (ETS), Capability Development Grant (CDG), Customer Centric Initiative (CCI) dan Innovation and Capability Voucher (ICV). Dalam konteks ini, perusahaan bisa masuk ke ETS untuk paket SDM dan pelatihan secara utuh untuk melatih dan mengembangkan pegawai dan meningkatkan produktivitas dan bagi CDG, perusahaan bisa mengurangi sampai dengan 70 persen biaya proyek, terkait dengan konsultasi, tenaga kerja, sertifikasi pelatihan, produktivitas peningkatan dan kemampuan usaha pengembangan.

29URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 44: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

e. Federasi Pemberi KerjaFederasi pemberi kerja bisa mengkoordinasikan pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi perusahaan dan pekerja. Ini untuk mengurangi biaya pelatihan dan bisa menghadapi pemerintah dan bantuan teknis dari luar.

Banyak studi menunjukkan bahwa lingkungan ekonomi telah menjadi lebih kompetitif dan kompleks dengan cara ini. Perusahaan, khususnya perusahaan menengah dan kecil yang tidak dapat merencanakan dan mengelola pelatihan serta peningkatan keterampilan pada persyaratan jalur produk dan pasar buruh bisa tertolong.

Contohnya, Federasi Manufaktur Singapura (SMF) bekerja dengan berbagai industri dan badan pengembangan tenaga kerja untuk mempromosikan skema bantuan pemerintah dan mengembangkan inisiatif baru yang mendukung restrukturisasi sektor manufaktur lokal. SMF menawarkan banyak aktivitas mulai dari pameran perdagangan dan misi kursus pelatihan dengan pendanaan dari pemerintah. Beberapa skema bantuan yang selama ini telah dilakukan adalah International Marketing Activities Programme (IMAP), Continuous Learning Scheme, SPUR for Enterprise dan Skills Development Fund (SDF).

4. Peran Multipihak dalam Pelatihan Kerja

1. Peran pemerintah Secara umum, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelatihan dan peningkatan keterampilan. Selain penyediaan pendidikan dasar, pemerintah diharapkan terus berkomitmen dalam merencanakan dan mendirikan pendidikan dewasa dan pelatihan dan peningkatan keterampilan. Ada sejumlah praktik dan kebijakan yang bisa diadaptasi oleh ASEAN dan kemudian disesuaikan dengan karakteristik sosial dan lembaga masing-masing negara. Di antaranya :

a. Dana Pengembangan Keterampilan (SDF)Para pemberi kerja diharuskan berkontribusi pada Iuran Pengembangan Keterampilan untuk semua karyawan, baik karyawan penuh waktu, paruh waktu, sementara maupun pekerja asing.

Dewan Dana Providen Pusat (CPF) mengumpulkan Iuran Pengembangan Keterampilan atas nama Badan Pengembangan Tenaga Kerja Singapura. Hasil iuran akan disalurkan pada Dana Pengembangan Keterampilan (SDF) dan

30 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 45: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

diteruskan sebagai hibah pada perusahaan yang mengirimkan pekerjanya untuk mengikuti pelatihan.

Malaysia juga mempunyai model pendanaan yang sama untuk mendanai pelatihan dan peningkatan keterampilan pekerja lewat Dana Providen Karyawan (EPF).

b. Pelatihan di semua tingkatan Contoh lain di Singapura adalah, Kementerian Tenaga Kerja dan Badan Pengembangan Tenaga Kerja berkoordinasi dengan Lembaga Pendidikan Teknis (ITE), Kemampuan Sumber Daya Manusia Nasional, Lembaga Kepemimpinan Modal Manusia, Kongres Serikat Pekerja Nasional (NTUC) dan politeknik, dan Federasi Pemberi Kerja Nasional Singapura (SNEF) untuk menyediakan pendidikan dan peningkatan ketrampilan secara berkelanjutan kepada pekerja di semua tingkatan.

Pendekatan jangka panjang dan pro-aktif dalam merencanakan dan mengelola pendidikan dan pelatihan pekerja sangat berkontribusi pada keberhasilan penyesuaian dalam perubahan demand dan supply pekerja di Singapura. Dalam investasi peningkatan keterampilan pekerja, tidak cukup jika hanya bergantung pada kekuatan pasar karena hal ini membutuhkan periode lama. Sementara, permintaan pekerja yang relevan dan terampil di pasar buruh didorong kekuatan eksternal, jangka pendek dan mengerucut.

Oleh karena itu, pemerintah dan instansi terkait harus mempunyai rencana jangka panjang untuk mewadahi dinamika suplai dan demand di pasar tenaga kerja.

2. Peran CSO dalam perluasan akses pelatihan vokasi Struktur pendidikan harus terbuka bagi masyarakat dan bisa membangun kerja sama dengan sektor nonformal. Keterlibatan masyarakat diperlukan untuk menanamkan perasaan memiliki dan menjadi anggota komunitas.

Struktur pendidikan harus mencerminkan keragaman masyarakat tempat mereka berada, khususnya anak muda dan perempuan. Selain itu juga harus bisa mengenali keterampilan yang diperoleh melalui pembelajaran informal dan pendidikan non-formal. Kegiatan ekstra kurikuler juga harus dipertimbangkan sebagai bagian dari pendekatan pendidikan yang holistik.

Skema seperti ini membutuhkan pendidikan inklusif yang dirumuskan oleh semua institusi dan pemangku kepentingan di semua tingkatan. Tata kelola untuk

31URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 46: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

pendidikan inklusif memerlukan mekanisme kerja sama dan pengembangan kapasitas yang diperkuat dengan pendanaan yang cukup. Hal ini untuk menjembatani pemerintah, di tingkat pusat dan daerah, masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya agar bisa memobilisasi pendidikan sebagai cara untuk mendorong inklusif sosial melalui pendidikan formal dan pembelajaran non-formal.

3. Peran serikat pekerja dalam pelatihan dan peningkatan keterampilan kerjaGlobalisasi dan kemajuan teknologi memunculkan tantangan serius bagi pergerakan buruh dan serikat pekerja. Tren utama yang menantang peran dan relevansi serikat pekerja adalah kebutuhan akan fleksibilitas pasar buruh yang lebih luas dan perlunya efisiensi serta fleksibilitas untuk keragaman kebutuhan di antara pekerja.

Oleh karena itu penting sekali bagi serikat pekerja untuk mengembangkan rencana strategis agar tetap relevan dalam mewakili pekerja di masa depan dengan menetapkan program implementasi yang spesifik. Perencanaan strategis jangka panjang ini bisa dilakukan di area sebagai berikut:

a. Serikat pekerja harus mengubah sasaran dasar dari jaminan pekerjaan dan mengubah kebijakan pendekatannya untuk menghadapi perusahaan dari konfrontasi menjadi kolaborasi di antara serikat pekerja, pemerintah dan perusahaan.

b. Meningkatkan daya kerja lewat pendidikan sepanjang hayat dan sertifikasi keahlian. Singapura memberi contoh yang tepat dalam hal ini, yaitu dengan Program Pengembangan Ulang Keahlian (SRP) dan Dana Pendidikan dan Pelatihan NTUC (Kongres Serikat Pekerja Nasional).

c. Memperkuat daya saing lewat tanggung jawab bersama, menetapkan serikat pekerja sebagai nilai tambah bagi pemberi kerja. Sistem kolaboratif buruh dan manajemen ini telah dipraktikkan di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Swedia, Jerman dan negara lainnya. Ketika ada nilai bersama dalam proses produksi, maka suasana akan lebih kondusif dan efektif dalam perencanaan maupun penerapan pelatihan untuk peningkatan keterampilan.

d. Mempromosikan kesehatan, keselamatan kerja, aktivitas sosial dan kegiatan rekreasional untuk membantu pekerja mempunyai kehidupan serta gaya hidup yang lebih baik serta berkontribusi pada produktivitas perusahaan.

e. Berkontribusi pada pembangunan masyarakat seperti aktivitas di dalam

32 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 47: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

penggalangan dana, memberikan hibah pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.

f. Mengembangkan gerakan buruh yang kuat dengan meningkatkan keanggotaan di serikat pekerja. Contohnya, Lembaga Studi Buruh di Singapura didirikan pada 1990 untuk memperkuat kepemimpinan serikat pekerja lewat pelatihan, pendidikan dan penelitian. Studi empiris telah membuktikan bahwa kepemimpinan serikat pekerja yang terdidik akan berkontribusi secara signifikan pada pelatihan dan peningkatan pekerja yang efektif.

Selain itu, serikat pekerja yang kuat dan mempunyai pendekatan kolaboratif terhadap perusahaan serta pemerintah akan menjadi alat kebijakan yang penting untuk meningkatkan instrumen kebijakan makroekonomi dalam mengelola krisis ekonomi.

Lingkungan ekonomi masa depan eksternal akan dipengaruhi oleh banyak guncangan dan krisis baik sekarang atau di masa lalu. Telah ada gerakan buruh yang kuat di sebagian besar negara ASEAN tetapi dengan pola pengembangan, fokus dan dampak yang berbeda terkait dengan pelatihan vokasi dan peningkatan keterampilan.

Perlu adanya Pusat Kawasan ASEAN yang bisa menjembatani pertukaran pengalaman praktik dalam memajukan investasi di bidang pelatihan dan pendidikan pekerja.

5. Dialog Sosial Tripartit dan Praktik yang Baik

Contoh praktik dari dialog sosial tripartit yang baik bisa diambil dari Vietnam. Di negara ini, menurut serikat pekerja bank yang berafiliasi dengan Konfederasi Umum Buruh Vietnam (VGCL), mereka mendapat jaminan pekerjaannya akan tetap aman meski program integrasi dan liberalisasi ekonomi ASEAN mulai dilaksanakan.

Di negara-negara lain dampak integrasi dan liberalisasi ekonomi ASEAN pada sektor perbankan dan serikat pekerja belum jelas. Namun, ada sebuah laporan tentang gelombang merger dan konsolidasi bank yang menyebutkan tidak banyak karyawan dan serikat pekerja diajak berkonsultasi tentang hal tersebut.

Selain itu, ada fenomena baru dalam rekayasa pekerjaan sektor perbankan

33URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 48: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

khususnya akibat penerapan Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) dalam operasional bank. Beberapa pekerjaan menjadi hilang, misalnya bank mendirikan ATM interaktif yang memungkinkan klien melakukan transaksi tanpa berhadapan dengan teler manusia. ICT juga bisa mengakibatkan beban kerja yang lebih intensif, khususnya pada operasional kantor bank.

Ada juga asumsi bahwa bank-bank akan mengintensifkan upaya mengembangkan pengaturan yang lebih ramping sebagai antisipasi lingkungan ekonomi yang lebih kompetitif di bawah ASEAN yang liberal.

Pekerja di Vietnam cukup beruntung mendapat jaminan keamanan kerja, karena pekerjaannya mendapatkan perlindungan. Praktik Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) seperti itu layak diterapkan di negara-negara lain.

Tetapi kondisi di Vietnam itu harus dijelaskan lebih dalam. Saat ini Vietnam sedang mengejar program liberalisasi secara bertahap dan terarah untuk mencegah penggantian pekerjaan dan restrukturisasi sektor secara serampangan. Investasi asing pada bank hanya diperbolehkan sampai 30 persen dari total ekuitas. Misi dari bank dalam memberikan jasa perbankan ke sektor ekonomi tertentu benar-benar dijaga secara hati-hati.

Contohnya, bank umum terbesar di Vietnam adalah Agricultural Bank yang mempunyai jaringan cabang di seluruh negara dan memberikan jasa perbankan kepada jutaan petani. Karena itu, perkembangan Vietnam sebagai kekuatan pertanian ASEAN tidak lepas dari perantara dan pengembangan program dari bank ini.

Praktik tripartit lain yang layak dikutip adalah Dewan Tripartit Industri Bank Filipina (BITC), yang telah ada sejak pergantian milenium. BITC telah menyelesaikan banyak persoalan buruh dan manajemen di masa lalu.

Persoalan paling penting yang telah diatasi oleh BITC adalah masalah alih daya. Masalah ini telah membuat marah serikat pekerja di seluruh negeri dan membuat perdebatan mitra sosial tripartit secara terus menerus.

Persoalan ini dapat diatasi dengan sistem baru atas inisiatif Serikat Pekerja Nasional Karyawan Bank (NUBE) yang membuat BITC memutuskan pekerjaan mana dalam industri perbankan yang tidak bisa dialihdayakan karena “bawaan” sektor tersebut. Setelah itu disusun UU perbankan (UU Republik No. 8791) yang melarang bank-bank mengalihdayakan “fungsi perbankan bawaan”.

34 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 49: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pekerjaan apa dalam dunia perbankan yang merupakan “pekerjaan bawaan”? Anggota panel dari Bank Sentral Filipina, yaitu Dr. Noel Ravalo menjelaskan bank adalah pengambil simpanan unik di dalam ekonomi.

Berdasarkan definisi tersebut, Bank Sentral menjelaskan bahwa fungsi bawaan dari bank adalah pengambil simpanan, pinjaman, manajemen risiko, audit internal, kepatuhan terhadap regulasi yang ada dan manajemen bank. Oleh karena itu, setiap pekerjaan yang terkait dengan hal tersebut di atas dianggap bawaan.

Berdasarkan klarifikasi ini, BITC membawa dialog ke tingkat yang lebih tinggi dengan membahas cara mengalihdayakan pekerjaan di luar yang ditandai sebagai pekerjaan bawaan. Pada bulan Desember 2011, ITC mengeluarkan Resolusi No. 1, dengan judul penjelas – “Mengadopsi Kode Sukarela Industri Perbankan tentang Praktik terbaik dalam Penyelesaian Sengketa dan Pengalihdayaan/Kontrak pada Fungsi Bank Tertentu”.

Resolusi yang bersejarah ini mewajibkan bank melakukan konsultasi secara proaktif dengan serikat pekerja jika ada rencana atau program pengalihdayaan. Resolusi ini juga melembagakan konsiliasi-mediasi sebagai bagian dari program proaktif penyelesaian sengketa di industri ini.

Sistem tripartit yang juga telah mapan dipraktikkan di Singapura. Pada puncak GFC, Perdana Menteri Singapura mengadakan siaran langsung di televisi yang menayangkan dialog dengan serikat pekerja dan karyawan tentang bagaimana negara ini menjadi negara ASEAN yang paling terdampak oleh GFC, namun bisa bertahan.

Singapura menjadi saingan Hong Kong sebagai penghubung/hub keuangan Asia dengan kondisi sektor keuangan yang stabil. Stabilitas ini disebabkan oleh stabilitas hubungan di antara bank-bank Singapura dan serikat pekerjanya.

Contohnya di Bank OCBC. Pada perusahaan ini menggelar konsultasi secara teratur antara bank dan dua serikat pekerja, yaitu serikat pekerja pejabat bank dan serikat pekerja staf bank. Persoalan yang ditangani berkisar dari keluhan di kalangan bawah sampai pembayaran berbagai macam bonus serta kekhawatiran tentang manajemen dan karyawan saat krisis dan merger.

Program serikat pekerja-bank yang utama adalah keseimbangan kehidupan-pekerjaan, hal ini mensyaratkan karyawan melewatkan waktu bersama keluarga. Bank juga menyediakan fasilitas perawatan anak di salah satu lantai atau bangunan bertingkat di jantung kawasan komersial di Singapura.

35URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 50: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Contoh lain di Filipina. Serikat pekerja di sana yaitu NUBE’s Banco de oro Employees Association (NUBE-BDOEA) mempunyai kemitraan percontohan dengan Banco de Oro (BDO), yang sekarang merupakan bank terbesar di negara ini. Keduanya mempunyai pengalaman perjanjian kerja bersama selama lebih dari tiga dekade.

BDO menghormati NUBE-BDOEA dan ketentuan di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) bahwa setiap program modernisasi perbankan tidak bisa menjadi alasan untuk menggantikan karyawan. Selain itu ada ketentuan lain yang menyebutkan bahwa karyawan di bank mana pun yang merger dengan BDO harus memenuhi syarat sebelum menjadi anggota NUBE-BDOEA. Oleh karena itu NUBE-BDOEA sekarang menjadi serikat pekerja terbesar di Filipina dengan anggota sebanyak 15.000 pekerja.

Hubungan ini menjadi semakin dalam selama bertahun-tahun. Masalah-masalah pekerja dan serikat pekerja serta manajemen diselesaikan lewat berbagai saluran, keluhan umum diselesaikan dengan metode yang biasa, untuk masalah yang sulit diselesaikan lewat saluran “hot-line”, yaitu komunikasi antara BDO dan NUBE-BDOEA.

Perkembangan positif baru-baru ini adalah perjanjian bank untuk NUBE-BDOEA untuk mendirikan sistem pengurus kantor yang melibatkan 1.000 lebih cabang BDO di seluruh Filipina. Perjanjian ini luar biasa karena kenyataannya sistem pengurus kantor merupakan fitur utama dari serikat pekerja demokratis dan modern yang biasanya diabaikan di Filipina.

Pada 2014, ruang untuk dialog sosial dan kemitraan sosial dibawa ke level yang lebih tinggi, BDO dan NUBE-BDOEA mengorganisir “Forum Kemitraan Buruh-Manajemen” di Luzon, Visayas dan Mindanao. Forum selama dua hari ini memungkinkan manajer cabang dan pengurus kantor di seluruh kepulauan duduk bersama, membahas secara terbuka persoalan-persoalan di level cabang dan nasional. Kemudian mereka menemukan solusi yang adil dan dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Pada 2009, Bank-Bank Sentral Asia Tenggara (SEACEN), mengeluarkan studi yang ditulis oleh Dr Romeo Suares dengan mengutip beberapa masalah SDM. Yaitu adalah menarik bakat terbaik (penguasaan, pemilihan, mempertahankan bakat); perputaran staf yang tinggi akibat lingkungan kerja buruk dan kurangnya motivasi, termasuk menarik peluang migrasi/mobilitas keluar; litigasi oleh karyawan saat ini dan di masa lalu atas keputusan atau tindakan SDM yang tidak adil; dan hubungan yang tidak jelas antara kinerja dan penghargaan.

Dari studi tersebut, tampak bahwa Bank Sentral melakukan investasi pada praktik

36 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 51: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

manajemen SDM agar mampu memberikan layanan berkualitas. Praktik manajemen SDM yang baik ini termasuk pengembangan program strategis untuk peningkatan keterampilan karyawan dan meningkatkan komitmen kerja lewat berbagai macam program perhatian dan enkulturasi karyawan.

Kata baru dalam MSDM – “keterlibatan karyawan” – akan menjadi mustahil jika bank-bank tidak berinvestasi pada praktik MSDM yang baik dan menghormati serikat pekerja dan karyawan. Di samping ketersediaan teknologi modern, klien bank masih mendukung adanya manusia yang dapat memberikan layanan berkualitas dengan cara yang menyenangkan, dengan tersenyum.

Keterlibatan karyawan berarti keterikatan dan komitmen karyawan terhadap pekerjaan. Hal ini juga dilahirkan oleh jaminan pekerjaan, rasa memiliki, peluang belajar, keseimbangan kehidupan-pekerjaan, tunjangan dan kompensasi yang wajar, kepercayaan dan tata nilai, penghormatan atas hak seseorang, dan “suara” di tempat kerja.

Pada 2014, sebuah studi dari Sekolah Buruh dan Hubungan Industri yang ditulis oleh Marie Edo menemukan bahwa keterlibatan karyawan lebih tinggi di bank domestik dibandingkan dengan operasional teknologi tinggi bank umum asing karena bank domestik telah berinvestasi pada praktik MSDM yang baik.

Dalam konteks ini ada beberapa rekomendasi yang patut mendapat perhatian, sebagai berikut:

1. Memastikan proses integrasi yang lancar. Ini bisa dicapai lewat komunikasi atau berbagi informasi, konsultasi di antara para pemangku kepentingan tentang langkah integrasi dan regulasi di level nasional dirancang dan diterapkan dengan lancar dan terarah.

Dengan cara ini, penggantian atau dislokasi pekerjaan yang tidak perlu bisa dihindari, peningkatan karyawan dan staf manajerial ke tingkat persaingan yang lebih tinggi bisa dikelola dengan baik, dan publik bisa diyakinkan adanya layanan yang tak terganggu.

2. Mengadakan dialog sosial pada persoalan integrasi yang sulit. Persoalan ini antara lain merger dan konsolidasi, regulasi baru yang diberlakukan oleh pemerintah atau industri, alih daya fungsi pekerjaan tertentu atau memperkerjakan penyedia layanan, dan adopsi teknologi baru atau peningkatan/modifikasi teknologi yang sudah ada.

37URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 52: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa penyesuaian untuk memenuhi persyaratan persaingan global, regional dan nasional bisa berhasil ketika seluruh pihak duduk bersama untuk mencari solusi dan pendekatan yang saling menguntungkan atau mengembangkan langkah penyesuaian untuk memaksimalkan manfaat bagi semua pihak terkait.

Bank ASEAN yang mempunyai keberhasilan dan praktik yang baik tentang dialog sosial yang layak ditiru. Salah satu model percontohan adalah Dewan tripartit Industri Perbankan Filipina (BITC), yang bertemu secara reguler untuk membahas persoalan buruh. Hasilnya, BITC mempunyai perjanjian tripartit pada aturan-aturan tentang alih daya di industri, yang merupakan persoalan pelik di banyak negara di dunia.

Contoh baik lainnya tentang apa yang bisa diwujudkan oleh dialog sosial adalah perjanjian keseimbangan kehidupan-pekerjaan antara serikat pekerja bank Singapura dan perjanjian tripartit di Vietnam tentang liberalisasi bank tanpa penggantian buruh.

3. Pelatihan yang memadai harus diberikan bagi seluruh staf yang terlibat dalam penjualan produk komersial. Ini untuk menjamin bahwa konsumen mendapatkan informasi yang jelas dan akurat.

Dalam proses penyesuaian yang akan diwujudkan, keterampilan dan pengetahuan karyawan, profesional dan manajer harus ditingkatkan. Jika mampu dan mau, mereka berhak diberikan pelatihan dan dilatih ulang agar dapat melaksanakan tugas-tugas yang dituntut oleh restrukturisasi keuangan.

Perhatian khusus harus diberikan – lewat konsultasi dan dialog – pada kebutuhan khusus karyawan perempuan, yang mendominasi industri ini. Mitra sosial industri harus mempromosikan kesempatan yang sama dan memastikan seluruh staf termasuk perempuan dan karyawan berusia muda diperlakukan tanpa diskriminasi. Kebijakan ini harus tercermin di seluruh sistem sumber daya manusia, kebijakan dan prosedur rekrutmen, pelatihan dan pengembangan, penilaian kinerja serta promosi di seluruh kawasan.

4. Pelatihan, Pembelajaran Sepanjang Hayat dan Pemekerjaan. Sektor jasa telah berinvestasi di berbagai program pelatihan berkelanjutan bagi staf untuk meningkatkan keterampilan yang diperlukan. Tujuannya adalah menerapkan strategi bank dan memberikan layanan berkualitas kepada nasabah. Program pelatihan tersebut harus juga berkontribusi pada pengembangan jalur karier

38 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 53: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

karyawan. Pelatihan perlu dilakukan secara teratur dan terus menerus sesuai dengan kebutuhan karyawan dan prioritas bisnis.

Dengan adanya hubungan yang tak terhindarkan antara pembelajaran sepanjang hayat dan pemekerjaan, memberikan pembelajaran sepanjang hayat dapat menunjukkan komitmen pemberi kerja kepada tenaga kerjanya dan memfasilitasi pengembangan hubungan kerja jangka panjang yang dibangun di atas komitmen bersama.

Dari semua uraian di atas, dialog sosial yang tulus dan berkelanjutan jelas merupakan suatu keharusan. Ini pada kenyataannya merupakan cara membangun kesatuan dan harmoni nasional. Kita harus mempunyai lebih banyak dialog sosial jika ingin mempunyai visi Indonesia yang inklusif, stabil dan berkelanjutan.

6. Perubahan revolusioner terhadap sistem pendidikanAda beberapa hal yang terkait dengan upaya perubahan sistem pendidikan yang tidak biasa (business unsual). Pertama, perlu mempertimbangkan pembagian urusan agak ketat antara pendidikan formal dan non formal. Sekolah formal akan menyediakan beberapa hal yang terkait dengan dasar berbangsa, bernegara, dan membentuk sikap dan watak individu. Sedangkan sekolah non formal menyediakan fasilitas ketrampilan untuk kebutuhan kerja.

Kedua, perlu meninjau ulang tentang lama bersekolah. Sekolah formal seharusnya bisa dibuat lebih pendek tetapi jauh lebih efektif dan efisien. Sekolah di tingkat dasar (SD) dan menengah (SMP dan SMA) bisa tidak lebih dari 8 tahun (bukan 12 tahun). Selama 8 tahun tersebut, siswa diajak membangun nasionalisme, menguatkan akhlak (moral/etika), membangun kerja sama dan bersikap toleran, membiasakan dan cinta terhadap dunia membaca, sampai hal-hal yang mengarah kepada kepentingan membangun cara berpikir yang logis dan berbasis argumentasi yang kuat.

Jika lulus tingkat SMA, seorang anak tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, maka dia bisa mengakses berbagai kursus (pendidikan non formal) yang singkat terkait dengan ketrampilan yang dibutuhkan. Negara akan menyediakan banyak peluang belajar singkat dan seorang siswa dapat meningkatkan kapasitas dan kompetensi yang sangat dinamis.

39URGENSI PELATIHAN VOKASI INKLUSIF DENGAN MELIBATKAN SERIKAT PEKERJA, MASYARAKAT SIPIL, SERTA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA

Page 54: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

Ketiga, pemerintah perlu meninjau ulang dan merombak lembaga pencetak guru, yakni LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). LPTK harus dibuat lebih serius dan bergengsi. LPTK bukan formalitas, tetapi benar-benar mengajarkan tentang metodologi pembelajaran yang efektif dan dialogis dengan siswa. Demikian pula LPTK harus mendorong lulusan yang akrab dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat pembelajaran. Intinya, LPTK harus memproduksi guru yang profesional.

Keempat, kurikulum pendidikan sebaiknya dibuat lebih fleksibel. Dunia berubah dengan sangat cepat, oleh karena itu dibutuhkan respons yang juga cepat. Selain itu, setiap daerah memiliki kekhasan karena kondisi demografi, geografis, dan sosial-budaya yang berbeda. Semua itu membutuhkan respons yang akurat dan menjawab kebutuhan. Bila kurikulum dibuat seragam dan sulit merespons keadaan, maka pendidikan hanya akan menjadi wadah pembelajaran yang macet dan stagnan.

40 KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN PELATIHAN VOKASI

Page 55: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN
Page 56: KERTAS KEBIJAKAN · P Pusat Pelatihan yang Disetujui ATC R Rencana Induk Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan CET DAFTAR SINGKATAN iv KERTAS KEBIJAKAN ENAM REKOMENDASI KEBIJAKAN

NGO in Special Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations, Ref. No : D1035

Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar MingguJakarta Selatan, 12540

Phone : 021 7819734, 7819735