keragaman virulensi dan molekuler virus tungro dari ...pangan.litbang.pertanian.go.id/files/... ·...

20
1 Keragaman Virulensi dan Molekuler Virus Tungro dari Beberapa Daerah Endemis *) R. Heru Praptana 1 , YB. Sumardiyono 2 , Sedyo Hartono 2 , Y. Andi Trisyono 2 dan I. Nyoman Widiarta 3 1) Loka Penelitian Penyakit Tungro, 2) Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 3) Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Abstract Tungro is one of the major diseases in rice which has become a constraint in increasing rice production in Indonesia. Tungro is caused by infection with two different viruses of Rice tungro bacilliform virus (RTBV) and Rice tungro spherical virus (RTSV), both of which can only be transmitted by green leafhoppers especially Nephotettix virescens (Distant) in a semipersistent manner. Since there is an indication of the existance of virulence variation of tungro viruses from different areas and the specific relationship between resistance of varieties and tungro viruses isolates, it is important to study of the virulence and the genetic diversity of tungro viruses from some endemic areas in Indonesia. This study aimed to identify the virulence and the molecular diversity of tungro viruses from several endemic areas in Indonesia. Susceptible variety i.e. TN1 was used in the study. Surveys and collection of infected plants and green leafhoppers were done in several tungro endemic areas, namely West Java, Central Java, Yogyakarta, Central Sulawesi, West Sulawesi, South Sulawesi, Bali and West Nusa Tenggara. Artificial transmission using the test tube method was used in the virulence test. Green leafhoppers caught from the field were used as transmitters. The virulence of tungro viruses was determined on the basis of diseases indexes (DI). The results showed that the virulence of tungro viruses varied among endemic areas in Indonesia. The Central Java isolate was the most virulent and not all isolates from endemic areas in the island of Java were more virulent than those from outside of Java. The presence of RTBV and RTSV was detected in the infected TN1 plants. The existence of molecular diversity of tungro viruses from several endemic areas was observed. The molecular diversity of tungro viruses was not correlated with geographic difference of endemic areas and the virulence. Key words: rice, tungro, RTBV, RTSV, resistant varieties, virulence, molecular diversity 1 Intisari Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada padi yang menjadi kendala dalam peningkatan produksi padi di Indonesia. Tungro disebabkan oleh infeksi dua virus yang berbeda yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro spherical virus (RTSV), yang keduanya hanya dapat ditularkan oleh vektor terutama *) Makalah disampaikan pada Seminar Bulanan Puslitbang Tanaman Pangan, 11 April 2013

Upload: truongdat

Post on 29-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Keragaman Virulensi dan Molekuler Virus Tungro dari Beberapa Daerah Endemis*)

R. Heru Praptana1, YB. Sumardiyono2, Sedyo Hartono2, Y. Andi Trisyono2 dan I. Nyoman Widiarta3

1)Loka Penelitian Penyakit Tungro, 2) Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 3)Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Abstract

Tungro is one of the major diseases in rice which has become a constraint in increasing rice production in Indonesia. Tungro is caused by infection with two different viruses of Rice tungro bacilliform virus (RTBV) and Rice tungro spherical virus (RTSV), both of which can only be transmitted by green leafhoppers especially Nephotettix virescens (Distant) in a semipersistent manner. Since there is an indication of the existance of virulence variation of tungro viruses from different areas and the specific relationship between resistance of varieties and tungro viruses isolates, it is important to study of the virulence and the genetic diversity of tungro viruses from some endemic areas in Indonesia. This study aimed to identify the virulence and the molecular diversity of tungro viruses from several endemic areas in Indonesia. Susceptible variety i.e. TN1 was used in the study. Surveys and collection of infected plants and green leafhoppers were done in several tungro endemic areas, namely West Java, Central Java, Yogyakarta, Central Sulawesi, West Sulawesi, South Sulawesi, Bali and West Nusa Tenggara. Artificial transmission using the test tube method was used in the virulence test. Green leafhoppers caught from the field were used as transmitters. The virulence of tungro viruses was determined on the basis of diseases indexes (DI). The results showed that the virulence of tungro viruses varied among endemic areas in Indonesia. The Central Java isolate was the most virulent and not all isolates from endemic areas in the island of Java were more virulent than those from outside of Java. The presence of RTBV and RTSV was detected in the infected TN1 plants. The existence of molecular diversity of tungro viruses from several endemic areas was observed. The molecular diversity of tungro viruses was not correlated with geographic difference of endemic areas and the virulence. Key words: rice, tungro, RTBV, RTSV, resistant varieties, virulence, molecular diversity

1

Intisari Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada padi yang menjadi

kendala dalam peningkatan produksi padi di Indonesia. Tungro disebabkan oleh infeksi

dua virus yang berbeda yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro

spherical virus (RTSV), yang keduanya hanya dapat ditularkan oleh vektor terutama

*) Makalah disampaikan pada Seminar Bulanan Puslitbang Tanaman Pangan, 11 April 2013

2

Nephotettix virescens (Distant) secara semipersisten. Adanya indikasi bahwa terjadi

variasi virulensi virus tungro dari daerah yang berbeda dan hubungan spesifik antara

ketahanan varietas dengan isolat virus tungro maka diperlukan suatu kajian tentang

virulensi dan keragaman genetik virus tungro dari beberapa daerah endemis di

Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeterminasi keragaman virulensi dan

molekuler virus tungro dari beberapa daerah endemis di Indonesia. Varietas rentan

TN1 digunakan di dalam penelitian. Survei dan koleksi tanaman terinfeksi dilakukan di

beberapa daerah endemis tungro yaitu Jabar, Jateng, DIY, Sulteng, Sulbar, Sulsel, Bali

dan NTB. Penularan buatan dengan metode tabung digunakan dalam uji virulensi virus

tungro. Vektor hasil tangkapan dari lapangan digunakan sebagai penular. Virulensi

virus tungro ditentukan berdasarkan nilai indeks penyakit (DI). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa virulensi virus tungro bervariasi di antara daerah endemis. Isolat

Jateng merupakan isolat paling virulen dan tidak semua isolat dari daerah endemis di

pulau Jawa lebih virulen dibanding isolat dari luar Jawa. Keberadaan RTBV dan RTSV

terdeteksi dalam setiap sampel tanaman TN1 bergejala hasil penularan. Virus tungro

dari beberapa daerah endemis di Indonesia teridentifikasi beragam pada tingkat

molekuler. Keragaman molekuler virus tungro tidak berkorelasi dengan perbedaan

geografi daerah endemis dan virulensi.

Kata kunci: padi, tungro, RTBV, RTSV, varietas tahan, virulensi, keragaman molecular

Pendahuluan

Tungro merupakan salah satu penyakit penting padi yang menjadi kendala

dalam peningkatan produksi padi nasional. Tungro disebabkan oleh infeksi dua virus

yang berbeda yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro spherical virus

(RTSV), yang keduanya hanya dapat ditularkan oleh wereng hijau (vektor) terutama

Nephotettix virescens (Distant) secara semipersisten. Penyebaran tungro tidak hanya

di Indonesia tetapi juga terjadi di India (Muralidharan et al., 2003), Malaysia, Filipina,

Thailand (Suranto, 2004), dan Vietnam (Du et al., 2005). Di Indonesia, rerata luasan

serangan tungro dalam kurun waktu tahun 2001 - 2006 mencapai 3650 ha per tahun

(Raga, 2008). Pada musim tanam (MT) 2010/2011 terjadi serangan seluas 5828 ha

dan meningkat menjadi 7177 ha pada MT 2011 yang tersebar di 33 provinsi

(Kusprayogie et al., 2011).

Penggunaan varietas tahan virus tungro dan vektor merupakan komponen yang

efektif dalam pengendalian tungro (Angeles et al., 2008), dan sesuai untuk berbagai

ekosistem di Indonesia. Suatu varietas tahan tidak dianjurkan untuk ditanam secara

terus-menerus karena dapat meningkatkan tekanan seleksi vektor dan memungkinkan

3

terbentuknya biotipe vektor baru. Keseragaman varietas tahan yang ditanam di suatu

wilayah juga akan mempermudah vektor untuk beradaptasi dan mempercepat

terjadinya mutasi virus tungro, sehingga ketahanan varietas tidak dapat berlangsung

lama. Ketahanan varietas juga bersifat spesifik lokasi, berarti bahwa suatu varietas

menunjukkan reaksi tahan terhadap isolat virus tungro di daerah tertentu tetapi belum

tentu tahan terhadap isolat virus tungro di daerah lain. Hal tersebut mengindikasikan

adanya variasi virulensi virus tungro dari berbagai daerah yang berbeda.

Selama ini kejadian tungro sering ditemukan pada varietas yang sama di

beberapa daerah, bahkan varietas tersebut tidak memiliki gen ketahanan terhadap

virus tungro maupun vektor. Beberapa varietas tahan yang sudah dilepas tidak

semuanya dapat dikembangkan di seluruh daerah endemis dan umumnya kurang

disukai oleh petani. Pengendalian tungro menggunakan varietas tahan harus

disesuaikan dengan variasi vierulensi virus tungro, sehingga diperlukan ketersediaan

dan pemetaan dalam distribusi varietas tahan. Informasi variasi virulensi dan

keragaman genetik virus tungro dari berbagai daerah endemis di Indonesia sangat

diperlukan untuk mengetahui sebaran virus tungro berdasarkan virulensinya, sebagai

pertimbangan dalam pengendalian tungro menggunakan varietas tahan yang sesuai

serta menjadi dasar dalam perakitan varietas tahan tungro baik secara konvensional

maupun melalui teknik rekayasa genetik. Oleh karena itu, diperlukan karakterisasi

keragaman genetik virus tungro dan kesesuaian varietas tahan dengan variasi virulensi

virus tungro dari berbagai daerah endemis di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah

mendeterminasi variasi biologi dan molekuler virus tungro dari beberapa daerah

endemis di Indonesia.

Bahan dan Metode 1. Persiapan Tanaman

Benih varietas rentan terhadap virus tungro dan vektor (TN1) disemai dalam

pot kemudian dimasukkan ke dalam kurungan kasa dan dipelihara di rumah kaca.

Setelah bibit berumur 21 hari, maka bibit siap dibawa ke daerah endemis untuk

diinokulasi virus tungro menggunakan vektor hasil tangkapan di lapangan.

4

2. Isolat Virus Tungro dan Koloni Vektor

Isolat virus tungro dan koloni vektor berasal dari delapan daerah endemis di

Indonesia yaitu Subang (Jawa Barat), Magelang (Jawa Tengah), Sleman (Daerah

Istimewa Yogyakarta), Tabanan (Bali), Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat), Sidrap

(Sulawesi Selatan), Polewali Mandar (Sulawesi Barat) dan Donggala (Sulawesi

Tengah). Di setiap daerah endemis ditentukan empat lokasi pengambilan sampel untuk

penularan dengan jarak antar lokasi kurang lebih 200 m. Di Subang, penularan

dilakukan di rumah kaca BB Padi Sukamandi menggunakan isolat virus tungro dan

vektor koloni Subang. Di Sidrap, pengamatan, koleksi sampel dan uji penularan

dilakukan di pertanaman bulanan kebun percobaan (KP) Lokatungro.

3. Uji Virulensi Virus Tungro Uji virulensi virus tungro dilakukan melalui penularan buatan terhadap bibit padi

di dalam tabung gelas (test tube method) menggunakan vektor dan sumber inokulum

dari pertanaman terserang di setiap daerah endemis. Isolat virus tungro dan vektor

yang digunakan benar-benar telah berinteraksi di dalam kondisi lingkungan setempat

sehingga kemurniannya dapat terjaga. Efisiensi penularan virus tungro dipengaruhi

oleh spesies dan genotipe vektor (Choi et al., 2009). Hasil uji penularan menunjukkan

bahwa terdapat variasi efisiensi dalam menularkan virus tungro dari beberapa koloni

vektor dari daerah endemis yang berbeda (Widiarta et al., 2004).

Vektor hasil tangkapan dari pertanaman terserang, satu per satu dimasukkan

ke dalam kurungan yang sebelumnya telah diisi dengan rumpun tanaman terinfeksi

(bergejala tungro) yang diperoleh dari pertanaman terserang. Setelah kurang lebih 5

jam, vektor diinfestasikan pada bibit TN1 di dalam tabung gelas yang telah diisi air

setinggi 1 cm masing-masing 2 ekor imago. Penularan dilakukan terhadap 10 bibit TN1

di setiap petak pengamatan (10 tabung per petak pengamatan). Setelah 24 jam

penularan di dalam tabung reaksi, bibit TN1 ditanam pada pot kemudian dimasukkan

ke dalam kurungan kasa dan dipelihara di dalam rumah kaca. Sepuluh bibit TN1

ditanam dalam pot kemudian dimasukkan ke dalam kurungan kasa sebagai

pembanding (tanpa diinokulasi virus tungro).

Pengamatan dilakukan terhadap insidensi tungro, tingkat keparahan gejala

tungro dan tinggi tanaman ketika tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST).

Insidensi tungro ditentukan dengan menghitung jumlah tanaman terserang (tanaman

5

yang menunjukkan gejala tungro) dibagi dengan jumlah tanaman yang diamati

kemudian dikalikan 100%. Tingkat keparahan gejala tungro dievaluasi berdasarkan

sistem skor sesuai dengan Standard Evaluation System for Rice (SESR) (IRRI, 1996),

yaitu sebagai berikut:

Skor 1 = tidak ada gejala serangan

3 = tinggi tanaman lebih pendek 1-10%, perubahan warna daun dari

kuning ke kuning oranye tidak nyata

5 = tinggi tanaman lebih pendek 11-30%, perubahan warna daun dari

kuning ke kuning oranye tidak nyata

7 = tinggi tanaman lebih pendek 31-50%, perubahan warna daun dari

kuning ke kuning oranye nyata

9 = tinggi tanaman lebih pendek >50%, perubahan warna daun dari

kuning ke kuning oranye nyata

Berdasarkan skor tingkat keparahan gejala tersebut kemudian dihitung indeks

penyakit dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

DI = tn

nnnnn )9()7()5()3()1(

DI : Disease Index (indeks penyakit)

n : Jumlah tanaman yang menunjukkan nilai skor tertentu

tn : Total tanaman yang diskor

Tingkat keparahan gejala tungro ditentukan berdasarkan nilai DI, yang berarti

bahwa semakin tinggi nilai DI maka gejala yang ditimbulkan semakin parah dan

sebaliknya. Virulensi virus tungro ditentukan berdasarkan tingkat keparahan gejala,

yang berarti bahwa semakin tinggi nilai DI maka tingkat virulensi virus tersebut

semakin tinggi dan sebaliknya.

4. Analisis Molekuler Virus Tungro

Analisis molekuler ditujukan untuk mendeteksi keberadaan virus tungro di

dalam tanaman TN1 yang menunjukkan gejala pada uji virulensi virus tungro serta

mengetahui keragaman molekuler virus tungro.

6

a. Ekstraksi DNA dan RNA Ekstraksi DNA ditujukan untuk memperoleh DNA RTBV. Ekstraksi DNA

dilakukan mengikuti metode CTAB (Deng et al., 1995) yang dimodifikasi. Modifikasi

dilakukan pada volume buffer CTAB yang digunakan dan tanpa penggunaan RNAse

untuk pemurnian. Ekstraksi RNA ditujukan untuk memperoleh ssRNA RTSV.

Ekstraksi RNA dilakukan menggunakan Isogen RNA Extraction Kit (Amersham

Pharmacia) dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang dilakukan adalah tanpa

penggunakan nitrogen cair untuk ekstraksi sampel dan peningkatan kecepatan

dalam sentrifugasi.

b. Analisis RT-PCR dan PCR Analisis RT-PCR dilakukan untuk membentuk complementary-DNA (cDNA) dari

RTSV. Sebelum dilakukan analisis PCR untuk RTSV, RNA hasil ekstraksi harus diubah

terlebih dahulu menjadi cDNA menggunakan First Strand cDNA Synthesis Kit

(Fermentas) di dalam mesin PCR. Primer yang digunakan untuk pembentukan cDNA

adalah oligo d(T) karena genom RTSV mempunyai poly (A) pada ujung 3‟.

Analisis PCR dilakukan untuk mendeteksi keberadaan virus tungro pada setiap

sampel daun tanaman TN1 hasil penularan. Reagen yang digunakan dalam analisis

PCR untuk deteksi RTBV adalah Mega Mix Blue (MMB) (Microzone Limited) sedangkan

pureTaq Ready to Go PCR Bead (GE Healthcare) digunakan untuk deteksi RTSV. Primer

GCAGAACAGAACTCTAAGGC (F) dan GTCTAAGGCTCATGCTGGAT (R) digunakan untuk

mendeteksi RTBV dengan target amplifikasi sekuen ORF2 yang berukuran sekitar 430

bp. Primer AAACGGTCATTGTGGGGAGGT (F) dan CAGGCCCAGCAACGACATAA (R)

digunakan untuk deteksi RTSV dengan target amplifikasi sekuen CP1 - CP2 yang

berukuran sekitar 1115 bp. Optimasi volume reaksi dan program PCR yang sesuai

untuk deteksi RTBV dan RTSV ditunjukkan pada Lampiran 1.

c. Analisis PCR-RFLP

Analisis PCR-RFLP dilakukan untuk mengetahui keragaman molekuler virus

tungro berdasarkan keberadaan dan posisi restriction site pada sekuen DNA hasil PCR.

Enzim restriksi DraI digunakan untuk analisis DNA RTBV sedang enzim BstYI dan

HindIII digunakan untuk analisis DNA RTSV. Penentuan enzim restriksi didasarkan

pada analisis restriksi terhadap sekuen RTBV dan RTSV yang ada di Gen Bank National

7

Center for Biotechnology Information (NCBI) menggunakan program Genetyx 7.0.

Hasil analisis PCR dan PCR-RFLP dielektroforesis pada PAGE bersama 1 kb DNA ladder

di dalam buffer TBE 1x dan divisualisasi pada UV transilluminator.

Hasil dan Pembahasan

1. Keragaman Virulensi Virus Tungro

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman TN1 memberikan respons

gejala yang berbeda-beda setelah diinokulasi dengan isolat virus tungro dari beberapa

daerah endemis. Gejala serangan yang ditimbulkan bervariasi dari daun yang berwarna

hijau kekuningan hingga kuning serta tingkat kekerdilan yang berbeda dari agak kerdil

hingga kerdil. Umumya, tanaman yang terinfeksi virus tungro menjadi kerdil dan daun

berwarna oranye (Calleja, 2010). Gejala serangan pada tanaman terinfeksi terlihat jelas

berbeda dengan tanaman kontrol terutama perbedaan tinggi tanaman (Gambar 1). Hal

tersebut menunjukkan bahwa vektor hasil tangkapan di pertanaman telah memperoleh

dan berhasil menularkan virus tungro. Keberhasilan penularan dan timbulnya gejala

khas tungro menunjukkan bahwa vektor telah membawa kedua virus tungro dan

menularkannya pada bibit TN1. Vektor dapat memperoleh dan menularkan kedua virus

tungro secara bersama-sama atau RTSV saja dan tidak dapat memperoleh dan

menularkan RTBV jika tidak memperoleh RTSV sebelumnya (Choi et al., 2009).

Rerata insidensi tungro hasil penularan dari setiap isolat virus tungro berkisar

antara 70 - 100% (Tabel 1). Seluruh tanaman TN1 yang diinokulasi dengan isolat

Jateng, Sulteng, Sulsel dan Bali menunjukkan gejala terinfeksi virus tungro, namun

terjadi variasi penurunan tinggi tanaman dan nilai DI. Jika dibandingkan dengan

kontrol, penurunan tinggi tanaman akibat infeksi isolat virus tungro berkisar antara 35

- 57%. Isolat Jateng dan Sulteng menyebabkan penurunan tinggi lebih dari 50%

sehingga tanaman terlihat lebih kerdil dibandingkan dengan tanaman yang diinokulasi

dengan isolat yang lain. Indeks penyakit tungro berkisar antara 6 - 9 dan isolat Jateng

menyebabkan DI yang paling tinggi. Isolat Jateng, Sulteng, Sulsel dan Bali

menyebabkan insidensi tungro yang sama namun penurunan tinggi dan DI berbeda.

Namun sebaliknya, isolat DIY dan Sulsel menyebabkan penurunan tinggi dan DI yang

sama tetapi insidensi tungro berbeda. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masing-

masing isolat mempunyai kemampuan menginfeksi yang berbeda.

8

a

b

c

d

e

f

g

h

Gambar 1. Gejala tungro pada TN1 setelah diinokulasi dengan isolat virus tungro dari

beberapa daerah endemis: a) Jabar; b) Jateng; c) DIY; d) Sulteng; e) Sulbar; f) Sulsel; g) Bali dan h) NTB; K = Kontrol; 1 dan 2 = tanaman TN1 terinfeksi virus tungro

K 1 2 K 1 2

K 1 2 K 1 2

K 1 2 K 1 2

K 1 2 K 1 2

9

Tabel 1. Respons tanaman TN1 setelah diinokulasi dengan isolat virus tungro dari beberapa daerah endemis

Isolat Insidensi

Tungro (%) Tinggi

Tanaman (cm)

Indeks Penyakit

(DI) Gejala

Jabar 90,00 16,83 7,15 ak, kh

Jateng 100,00 12,60 9,00 k, kn

DIY 70,25 19,23 6,35 ak, kh

Sulteng 100,00 14,23 7,85 k, kn

Sulbar 70,00 15,60 7,35 ak, kh

Sulsel 100,00 19,20 6,35 ak, kh

Bali 100,00 16,03 7,00 ak, kh

NTB 90,25 17,73 6,85 ak, kh

Kontrol 0,00 29,35 1,00 h

Keterangan: k = kerdil; ak = agak kerdil; kh = hijau kekuningan; kn = kuning; h = hijau

Setiap isolat virus tungro menunjukkan virulensi yang berbeda walaupun

berasal dari sumber inokulum (varietas padi yang terinfeksi di setiap daerah endemis)

yang sama. Isolat Jateng dan Sulteng menyebabkan gejala paling parah hingga

tanaman menjadi kerdil dan berwarna kuning. Isolat dari daerah endemis yang lain

menyebabkan tanaman menjadi agak kerdil dan variasi perubahan warna daun.

Perbedaan tingkat keparahan gejala tersebut mengindikasikan adanya variasi virulensi

virus tungro dari daerah endemis yang berbeda. Berdasarkan nilai DI, isolat Jateng

merupakan isolat yang paling virulen, sedangkan isolat DIY dan Sulsel lebih rendah

virulensinya dibandingkan dengan isolat yang lain.

Membedakan kemampuan dalam menginfeksi dan tingkat keparahan gejala

yang ditimbulkan merupakan tahap yang diperlukan di dalam identifikasi keragaman

virus tungro (Azzam and Chancellor, 2002). Perbedaan strain virus tungro merupakan

salah satu faktor yang menyebabkan adanya variasi keparahan gejala tungro (Choi et

al., 2009). Variasi gejala dan respons tanaman menjadi dasar untuk menentukan strain

virus tungro dari berbagai isolat yang berbeda. Hasil penularan isolat virus tungro dari

Manukwari, Medan dan Serang pada varietas TN1 dan FK 135 menggunakan vektor

koloni Subang juga menunjukkan adanya variasi virulensi antar isolat (Suprihanto et

al., 2007). Oleh karena itu, informasi ketahanan dan kesesuaian varietas tahan

terhadap masing-masing isolat virus tungro dari berbagai daerah endemis diperlukan

sebagai dasar pengendalian dan perakitan varietas tahan tungro spesifik isolat.

10

Berdasarkan tingkat keparahan gejala, ada indikasi bahwa terjadi variasi

virulensi virus tungro dari daerah yang berbeda terhadap varietas tahan (Widiarta dan

Kusdiaman, 2002). Beberapa varietas tahan tungro yang sudah dilepas seperti Tukad

Petanu dianjurkan ditanam di seluruh daerah endemis, Tukad Unda terbatas di Nusa

Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan serta Tukad Balian hanya sesuai dikembangkan

di Bali dan Sulawesi Selatan (Widiarta et al., 2003). Hasil uji multilokasi varietas Tukad

Petanu di beberapa daerah endemis menunjukkan adanya perbedaan virulensi virus

tungro dari Bali, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (Choi, 2004).

Di antara daerah endemis tungro, ada kemungkinan terdapat variasi genetik

virus tungro, sehingga diperlukan beberapa varietas tahan dengan latar belakang

genetik yang berbeda untuk menjaga durabilitas ketahanannya (Azzam and Canchellor,

2002). Oleh karena itu, perakitan varietas berdasarkan sumber gen tahan dan isolat

virus tungro harus terus-menerus dilakukan (Hasanuddin et al., 2001), maka

pengembangan varietas saat ini lebih ditekankan pada perakitan varietas tahan virus

tungro berdasarkan kesesuaian antara tetua tahan dan virulensi virus tungro (Widiarta

et al., 2004), dan mempertimbangkan preferensi pengguna.

B. Keragaman Molekuler Virus Tungro

Hasil analisis PCR menunjukkan bahwa telah terdeteksi adanya RTBV dan RTSV

pada setiap sampel tanaman TN1 hasil penularan yang bergejala tungro. Hasil analisis

PCR ditunjukkan oleh adanya satu pita DNA dengan tingkat kejelasan dan ketebalan

yang berbeda serta ukuran sesuai dengan target amplifikasi dari setiap primer.

Keberadaan RTBV berdasarkan analisis PCR ditunjukkan oleh adanya satu pita DNA

berukuran sekitar 430 bp yang konsisten teramplifikasi pada semua sampel (Gambar

2a). Berdasarkan sekuen lengkap RTBV di DNA Data Bank of Japan (DDBJ) nomor

asesi M65026, target amplifikasi primer RTBV adalah sekuen basa nukleotida antara

576 – 1006 (bagian dari ORF 2). Demikian juga dengan analisis PCR untuk deteksi

RTSV, telah dihasilkan satu pita DNA berukuran sekitar 1115 bp yang konsisten

teramplifikasi pada semua sampel (Gambar 2b). Berdasarkan sekuen lengkap RTSV di

DDBJ nomor asesi M95497, target amplifikasi primer RTSV adalah sekuen basa

nukleotida antara 2494 – 3608 (bagian dari CP1-CP2). Kesesuaian antara posisi pita

DNA pada PAGE dengan ukuran target amplifikasi menunjukkan bahwa analisis PCR

menggunakan primer spesifik sangat sensitif dalam mendeteksi keberadaan RTBV dan

RTSV di dalam tanaman terinfeksi. Deteksi virus tungro pada bibit tanaman dari

11

persemaian dan vektor infektif dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik

terutama RTBV menunjukkan sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik

ELISA (Takahashi et al., 1993). Keberhasilan dalam deteksi kedua virus tungro di

dalam setiap sampel tanaman TN1 hasil penularan menunjukkan bahwa infeksi kedua

virus tungro telah terjadi pada pertanaman di lapangan dan tanaman TN1 hasil

penularan telah teinfeksi kedua virus tungro yang ditularkan oleh vektor hasil

tangkapan dari lapangan.

a

b

Gambar 2. Elektroforesis hasil analisis PCR beberapa isolat virus tungro pada PAGE:

a) Pita DNA RTBV sebesar 430 bp hasil analisis PCR dengan primer RTBV; b) Pita DNA RTSV sebesar 1115 bp hasil analisis PCR dengan primer RTSV; JB = Jabar; JT = Jateng; DIY = DIY; ST = Sulteng; SS = Sulsel; SB = Sulbar; B = Bali; NTB = NTB dan M = Marker

Hasil analisis RFLP dari DNA RTBV hasil PCR menunjukkan bahwa hanya empat

isolat yang dapat dipotong oleh enzim DraI yaitu Sulteng, Sulbar, Bali serta NTB dan

masing-masing isolat tersebut terpotong menjadi 2 pita DNA (Gambar 3a).

Berdasarkan sekuen target amplifikasi pada sekuen RTBV yang ada di DDBJ, enzim

12

DraI dapat memotong sekuen tersebut menjadi dua bagian dengan ukuran masing-

masing sekitar 130 bp dan 300 bp. Isolat Sulbar terpotong menjadi 2 pita DNA dengan

ukuran sekitar 300 bp dan 100 bp, sedang isolat Sulteng, Bali dan NTB terpotong

menjadi 2 pita dengan ukuran sekitar 400 bp dan satu pita sangat pendek sekitar 30

bp yang tidak terlihat pada PAGE.

a

b

c

Gambar 3. Elektroforesis hasil analisis PCR-RFLP beberapa isolat virus tungro pada

PAGE: a) DNA RTBV dengan enzim DraI; b) DNA RTSV dengan enzim BstYI; c) DNA RTSV dengan enzim HindIII; JB = Jabar; JT = Jateng; DIY = DIY; ST = Sulteng; SS = Sulsel; SB = Sulbar; B = Bali; NTB = NTB dan M = Marker

13

Analisis RFLP menggunakan enzim BstYI terhadap DNA RTSV menghasilkan dua

potongan pita DNA pada semua isolat (Gambar 3b). Ukuran dua potongan pita DNA

isolat Sulsel dan Bali terlihat berbeda dengan isolat yang lain. Isolat Sulsel terpotong

menjadi dua pita DNA berukuran sekitar 700 bp dan 400 bp serta isolat Bali sekitar 750

bp dan 350 bp. Sedangkan isolat yang lain terpotong menjadi dua pita DNA dengan

ukuran sekitar 650 bp dan 450 bp. Berdasarkan sekuen target amplifikasi pada sekuen

RTSV di DDBJ, enzim BstYI dapat memotong menjadi dua atau tiga bagian dengan

variasi ukuran, bahkan terdapat sekuen dari suatu isolat yang tidak terpotong.

Demikian juga dengan hasil analisis RFLP menggunakan enzim HindIII yang

menunjukkan bahwa terdapat dua isolat yang tidak terpotong yaitu Sulteng dan Sulbar

(Gambar 3c). Isolat lainnya terpotong menjadi dua dengan ukuran sekitar 700 bp dan

400 bp kecuali dua potongan pita DNA isolat Bali berukuran sekitar 750 dan 350 bp.

Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis PCR-RFLP terhadap sekuen CP1 - CP2 pada

beberapa kelompok isolat RTSV dari daerah endemis yang berbeda menggunakan

kedua enzim yang sama. Hasil analisis menunjukkan bahwa enzim BstYI dapat

memotong sekuen tersebut menjadi dua atau tiga bagian dengan ukuran yang berbeda

antar kelompok isolat dan terdapat kelompok isolat yang tidak dapat terpotong.

Demikian juga dengan enzim HindIII, terdapat beberapa kelompok isolat yang tidak

terpotong dan kelompok isolat yang terpotong menjadi dua bagian dengan ukuran

yang sama antar kelompok isolat (Azzam et al., 2000a). Keberadaan potongan pita

DNA dengan ukuran yang berbeda antar isolat menunjukkan adanya keragaman baik

RTBV maupun RTSV pada tingkat molekuler.

Dendrogram kekerabatan isolat RTBV berdasarkan hasil analisis RFLP

menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok isolat RTBV sesuai dengan kedekatannya

(Gambar 4a). Kelompok pertama terdiri dari isolat Jabar, Jateng, DIY, Sulsel dan

Sulbar, sedangkan kelompok ke dua meliputi isolat Sulteng, Bali dan NTB. Dendrogram

kekerabatan isolat RTSV berdasarkan hasil analisis RFLP menggunakan enzim BstYI

dan HindIII juga menunjukkan adanya dua kelompok isolat RTSV (Gambar 4b). Isolat

Bali terpisah dari kelompok yang terdiri dari tujuh isolat yang lain dan ketujuh isolat

tersebut terbagi menjadi tiga sub kelompok. Hal tersebut menunjukkan bahwa

terdapat pola kekerabatan molekuler yang berbeda antara isolat RTBV dengan RTSV

dari masing-masing daerah endemis.

14

a

b

Gambar 4. Dendrogram kekerabatan molekuler beberapa isolat virus tungro berdasarkan analisis PCR-RFLP: a) RTBV; b) RTSV; JB = Jabar; JT = Jateng; DIY = DIY; ST = Sulteng; SS = Sulsel; SB = Sulbar; B = Bali dan NTB = NTB

Berdasarkan kelompok isolat pada dendrogram kekerabatan, keragaman

molekuler isolat RTBV tidak secara tegas berkorelasi dengan perbedaan geografi.

Terlihat bahwa isolat Sulsel berada di dalam satu kelompok dengan isolat Jabar, Jateng

dan DIY. Demikian juga dengan isolat Sulteng, Bali dan NTB yang targabung di dalam

satu kelompok. Sebaran isolat RTSV di dalam dendrogram kekerabatan menunjukkan

adanya korelasi antara perbedaan geografi dengan keragaman molekuler secara lebih

tegas kecuali isolat NTB. Terlihat bahwa hanya isolat NTB tergabung pada posisi yang

sama dengan isolat Jabar, Jateng dan DIY. Hal tersebut mengindikasikan adanya

kombinasi pada tingkat molekuler antara RTSV dan RTBV di beberapa daerah endemis

dengan geografi yang berbeda. Keberadaan kelompok isolat RTBV yang secara tegas

berbeda dari dua provinsi di Filipina dengan geografi yang berbeda yaitu Isabela dan

15

North Cotabato yang ditunjukkan oleh pola potongan pita DNA hasil analisis RFLP

terhadap sekuen DNA utuh dari setiap isolat (Arboleda and Azzam, 2000). Analisis yang

sama juga telah digunakan untuk menunjukkan adanya keragaman molekuler antar

dan intra isolat RTBV dari empat provinsi di Filipina yaitu Polangui, Isabela, Davao dan

Iloilo (Villegas et al., 1997).

Analisis PCR-RFLP telah dilakukan terhadap sebagian sekuen ORF3 dan ORF4

pada enam isolat RTBV dari daerah endemis yang berbeda di India yaitu West Bengal,

Tamil Nadu, Punjab, Andhra Pradesh, Orissa dan Assam menggunakan enzim MseI

(Joshi et al., 2003), yang menunjukkan adanya keragaman molekuler antar isolat.

Analisis PCR-RFLP juga dilakukan terhadap sekuen CP pada delapan isolat RTBV dari

daerah yang berbeda di Indonesia yaitu Jabar-1, Jabar-2, Jateng, Jatim, Bali, NTB,

Kalsel dan Sulsel menggunakan enzim EcoRV dan PstI (Suprihanto, 2005), serta isolat

dari tiga daerah endemis yang berbeda yaitu Medan, Serang dan Manukwari

menggunakan enzim EcoRV, NsiI dan PstI yang menunjukkan adanya keragaman pada

tingkat molekuler antar isolat (Suprihanto et al., 2007). Demikian juga dengan RTSV,

analisis PCR-RFLP terhadap sekuen CP1 - CP2 pada kelompok isolat RTSV dari dua

provinsi di Filipina yaitu North Cotabato dan Nueva Ecija serta kelompok isolat dari dua

daerah endemis di Indonesia yaitu Bali dan Subang menggunakan enzim BstYI dan

HindIII yang menunjukkan adanya keragaman molekuler antar kelompok isolat (Azzam

et al., 2000a).

Keragaman molekuler RTBV dan RTSV berdasarkan analisis PCR-RFLP dapat

menjadi dasar untuk deteksi dan pemantauan penyebaran virus tungro. Pola potongan

pita DNA pada masing-masing isolat dapat digunakan sebagai penanda (marker) di

dalam identifikasi keragaman isolat di daerah endemis yang sama ataupun di daerah

baru yang tidak ada serangan sebelumnya, dari musim ke musim dan pada berbagai

jenis varietas yang terserang. Perubahan komposisi dan keragaman genetik RTBV dan

RTSV telah diamati pada musim kemarau dan musim hujan di suatu daerah terserang

di Filipina (Azzam et al., 2000b). Keragaman isolat RTBV di daerah yang sama telah

terdeteksi melalui analisis PCR-RFLP dengan waktu pengambilan sampel dan dari jenis

varietas yang berbeda (Joshi et al., 2003). Analisis PCR-RFLP biasa digunakan untuk

mendeteksi atau membuktikan adanya mutasi spesifik pada restriction site yang

ditambahkan atau dihilangkan setelah diketahui peta restriksi sekuen DNA hasil PCR

yang akan dianalisis (McPherson and Moller, 2006).

16

A. Keragaman Molekuler dan Virulensi Virus Tungro

Keragaman molekuler virus tungro berdasarkan analisis PCR-RFLP menunjukkan

bahwa terdapat dua kelompok isolat RTBV dan RTSV. Pola kekerabatan yang terbentuk

tidak memperlihatkan adanya hubungan antara keragaman molekuler dengan virulensi

masing-masing isolat. Isolat Jateng merupakan isolat paling virulen, namun baik RTBV

maupun RTSV isolat Jateng secara konsisten tergabung dalam satu kelompok dengan

isolat Jabar dan DIY yang lebih rendah virulensinya. Demikian juga dengan isolat

Sulteng dan NTB yang tergabung dalam satu kelompok walaupun virulensi kedua isolat

tersebut berbeda.

Pola potongan pita DNA yang terbentuk juga tidak dapat membedakan antara

isolat paling virulen dengan isolat yang lebih rendah virulensinya ataupun antara isolat

dengan virulensi yang sama. Potongan pita DNA pada isolat Jateng sama dengan

isolat Jabar dan DIY yang berlawanan tingkat virulensinya. Isolat DIY dan Sulsel

mempunyai virulensi yang sama tetapi terdapat dua pita DNA yang berbeda pada

masing-masing isolat (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa pola potongan pita

DNA hasil analisis PCR-RFLP dari ORF2 pada RTBV serta CP1 - CP2 pada RTSV tidak

berhubungan dengan virulensi masing-masing isolat. Diketahui bahwa ORF2 serta CP2

- CP2 hanya sebagian dari genom RTBV dan RTSV. Diduga bahwa, virulensi

berhubungan dengan interaksi bagian tersebut dengan bagian-bagian fungsional yang

lain dari genom RTBV dan RTSV. Oleh karena itu, diperlukan amplifikasi bagian genom

yang lain dan dianalisis menggunakan enzim yang disesuaikan dengan peta restriksi

dari sekuen isolat virus tungro yang telah teridentifikasi.

Tabel 2. Potongan pita DNA hasil analisis PCR-RFLP dan virulensi virus tungro dari beberapa daerah endemis

Isolat RTBV RTSV Virulensi

DraI (bp) BstYI (bp) HindIII (bp) DI

Jabar Jateng DIY Sulteng Sulbar Sulsel Bali NTB

430 430 430

400; 30 330; 100

430 330; 100 330; 100

650; 450 650; 450 650; 450 650; 450 650; 450 700; 400 750; 350 650; 450

700; 400 700; 400 700; 400

1100 1100

700; 400 750; 350 700; 400

7,15 9,00 6,35 7,85 7,35 6,35 7,00 6,85

Keterangan: DraI, BstYI dan HindIII = enzim restriksi; DI = indeks penyakit

17

Namun demikian, korelasi antara keragaman molekuler dengan virulensi tidak

bisa hanya dilihat dari salah satu virus tungro saja, karena keparahan gejala ditentukan

oleh infeksi kedua virus tungro. Oleh karena itu, kekerabatan molekuler antar isolat

virus tungro tidak berkorelasi dengan virulensi. Hasil analisis sekuen gen CP pada RTSV

strain Vt6 dan A-Shen yang sangat berlawanan virulensinya menunjukkan bahwa CP

pada kedua strain tersebut tidak berkorelasi dengan virulensi (Isogai et al., 2000).

Persentase kesamaan basa nukleotida dan asam amino dari ORF2 antara RTBV isolat

Filipina dan G2 adalah 100%, namun masing-masing dapat menimbulkan gejala yang

berbeda. Lain halnya dengan RTBV strain G1 dan Ic, bahwa dalam genom keduanya

hanya terdapat sedikit variasi basa nukleotida, namun penularan masing-masing strain

tersebut dengan vektor dan RTSV yang sama pada varietas FK 135 menghasilkan

gejala yang berbeda (Cabauatan et al., 1999). Perbedaan tipe dan tingkat keparahan

gejala dapat disebabkan oleh beberapa isolat Cauliflower mosaic virus (CaMV) dengan

perbedaan sekuen basa nukleotida antar isolat sebesar 5% (Frischmuth, 2002).

Diduga bahwa virulensi virus tungro melibatkan interaksi sejumlah gen dalam

genom virus tungro serta interaksi yang sangat kompleks antara kedua partikel virus

tungro. Virulensi virus dapat ditentukan oleh beberapa gen yang terekspresi secara

bersama-sama (Valkonen, 2002). Perbedaan sejumlah asam amino antara isolat perlu

dibuktikan apakah terdapat korelasi dengan virulensi melalui penelitian lebih lanjut.

Diduga dapat ditemukan lagi sejumlah basa nukleotida yang berbeda di sepanjang

bagian genom lainnya pada masing-masing isolat sehingga memungkinkan adanya

perbedaan sejumlah asam amino. Oleh karena itu, analisis sekuen pada bagian genom

yang lain dari setiap isolat diperlukan untuk memperoleh data keragaman molekuler

virus tungro yang lebih lengkap.

Kesimpulan

Virulensi virus tungro bervariasi di antara daerah endemis di Indonesia. Isolat

Jateng merupakan isolat paling virulen dan tidak semua isolat virus tungro dari daerah

endemis di pulau Jawa mempunyai virulensi yang lebih tinggi dibanding isolat dari luar

Jawa. Virus tungro dari beberapa daerah endemis di Indonesia teridentifikasi beragam

pada tingkat molekular. Keragaman dan hubungan kekerabatan molekular virus tungro

tidak berkorelasi dengan perbedaan geografi daerah endemis dan virulensi. Pola

18

potongan pita DNA hasil analisis PCR-RFLP dapat digunakan sebagai penanda di dalam

deteksi keragaman isolat virus tungro di daerah endemis yang lain maupun di

beberapa daerah dalam satu provinsi atau pulau tertentu untuk mengetahui komposisi

populasi virus tungro.

Daftar Pustaka Angeles ER, Cabunagan RC, Tabien RE and Khush GS. 2008. Resistance to tungro

vectors and viruses. p. 117-141. In Tiongco, E.R., E.R. Angeles and L.S. Sebastian (ed.), Rice tungro virus disease: a paradigm in disease management. Science City of Munoz, Nueva Ecija: Philippine Rice Research Institute and Honda Research Institute Japan Co. Ltd., 2008.

Arboleda, M. and O. Azzam. 2000. Inter- and intra-site genetic diversity of natural field

populations of rice tungro bacilliform virus in the Philippines. Archives of Virology, 145: 275-289.

Azzam, O., M.L.M. Yambao, M. Muhsin, K. L. McNally and K. M. L. Umadhay. 2000a.

Genetic diversity of rice tungro spherical virus in tungro-endemic provinces of the Philippines and Indonesia. Archives of Virology, 145: 1183-1197.

Azzam, O., M. Arboleda, K. M. L. Umadhay, J. B. de los Reyes, F. S. Cruz, A.

Mackenzie, and K. L. McNally. 2000b. Genetic composition and complexity of virus populations at tungro-endemic and outbreak rice sites. Archives of Virology, 145: 2643-2657.

Azzam, O. and T.C.B. Chancellor. 2002. The biology, epidemiology and management of rice tungro disease in Asia. Plant Disease, 86: 88-100.

Cabauatan, P.Q., U. Melcher, K. Ishikawa, T. Omura, H. Hibino, H. Koganezawa and O.

Azzam. 1999. Sequence changes in six variants of rice tungro bacilliform virus and their phylogenetic relationships. Journal of General Virology, 80: 2229-2237.

Calleja, D.O. 2010. Water shortage due to El Niño breeds „tungro‟ in rice plantations.

http://balita.ph/2010/02/17/tungro-rice-disease-alert-up-in-bicol/. Diunduh pada 20 Januari 2012.

Choi, R.I. 2004. Current Status of Rice Tungro Disease Research and Future Program.

p. 3-14. In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta dan Sunihardi (eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro: Status dan Program. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7–8 September 2004.

Choi. I.R., P.Q. Cabauatan and R.C. Cabunagan. 2009. Rice Tungro Disease. Rice Fact

Sheet, IRRI, Sep. 2009: 1-4.

19

Deng, Z.N., A. Gentile, E. Nicolosi, E. Domina, A. Vardi and E. Tribulato. 1995. Identification on in vivo and in vitro lemon mutans by RAPD markers. Journal Horticultural Science, 70(1): 117-125.

Du, P.V., R.C. Cabunagan and I.R. Choi. 2005. Rice “yellowing syndrome” in Mekong

river delta. Omonrice, 13: 135-138. Frischmuth, T. 2002. Recombination in Plant DNA Viruses. p. 339-363. In Khan, J.A.

and J. Diikstra (ed.), Plant Viruses As Molecular Pathogens. The Haworth Press. Inc. 2002.

Hasanuddin, A., I.N. Widiarta dan M. Muhsin. 2001. Penelitian teknik eliminasi sumber

inokulum RTSV: Suatu strategi pengendalian tungro. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menristek dan DRN.

IRRI. 1996. Standard Evaluasi System for Rice. Los Banos, Philippines. 52 p. Isogai, M., P.Q. Cabauatan, C. Masuta, I. Uyeda and O. Azzam. 2000. Complete

nucleotide sequence of rice tungro spherical virus genome of the highly virulent strain Vt6. Virus Genes, 20(1): 79-85.

Joshi, R., V. Kumar and I. Dasgupta. 2003. Detection of molecular variability in rice

tungro bacilliform viruses from India using polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism. Journal of Virological Methods, 109: 89-93.

Kusprayogie, Y., U. Nuzulullia dan D.R. Gabriel. 2011. Prakiraan Serangan OPT Utama

Padi pada MT 2011/2012. Buletin Peramalan OPT, Vol.11/No.2/ Edisi XIII /Okt./2011.

McPherson, M.J. and S. G. Moller. 2006. PCR, Second Edition. Taylor & Francis Group.

305 p. Muralidharan, K., D. Krishnaveni, N.V.L. Rajarajeswari and A.S.R. Prasad. 2003. Tungro

epidemics and yield losses in paddy fields in India. Current Science, 85(8):1143-1147.

Raga, I.N. 2008. Perkembangan Dan Penyebaran Penyakit Tungro Di Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Penyakit Tungro: Revitalisasi Strategi Pengendalian Penyakit Tungro Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Beras Nasional, Makassar, 5-6 September 2007.

Suprihanto. 2005. Diferensiasi beberapa isolat rice tungro virus dengan kultivar padi

diferensial dan PCR-RFLP. Tesis. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suprihanto, I.N. Widiarta dan D. Kusdiaman. 2007. Virulensi Virus Tungro dari Tiga

Daerah Endemis di Indonesia. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN 2007.

20

Suranto. 2004. Pengelolaan Virus Tungro Melalui Pendekatan Bioteknologi. Status dan Program Penelitian Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro. p. 15-25. In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta dan Sunihardi (eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro: Status dan Program, Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7–8 September 2004

Takahashi, Y., F.R.Tiongco, P.Q. Cabauatan, H. Koganezawa, H. Hibino and T. Omura.

1993. Detection of Rice Tungro Bacilliform Virus by Polymerase Chain Reaction for Assessing Mild Infection of Plants and Viruliferous Vector Leafhoppers. Phytopathology, 83(6): 655-659.

Valkonen, J.P.T. 2002. Natural Resistance to Viruses. p. 367-397. In Khan, J.A. and J.

Diikstra (ed.), Plant Viruses As Molecular Pathogens. The Haworth Press. Inc., 2002.

Villegas, L.C., A. Druka, N.B. Bajet and R. Hull. 1997. Genetic Variation of Rice Tungro

Bacilliform Virus in the Philippines. Virus Genes, 15(3): 195-201. Widiarta, I.N., Yulianto dan A. Hasanuddin. 2003. Pengendalian terpadu penyakit

tungro dengan strategi eliminasi peranan virus bulat. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Puslitbangtan. Balitpa. Hal.: 513-527.

Widiarta, I.N., Burhanuddin, A.A. Daradjat, dan A. Hasanuddin. 2004. Status dan

Program Penelitian Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro. p. 61-89. In A. Hasanuddin, I.N. Widiarta dan Sunihardi (eds.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro: Status dan Program, Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7–8 September 2004.