kelompok 1 thp b (psp)
TRANSCRIPT
PENGERTIAN DAN BATASAN KERACUNAN
PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Toksin adalah suatu substansi yang mempunyai gugus fungsional spesifik
yang letaknya teratur di dalam molekul, dan menunjukkan aktifitas fisiologis yang
kuat. Substansi tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai obat
(Hasmimoto, 1979). Substansi toksin harus merupakan suatu substansi yang
bersifat protein (proteinaceous) dan antigenik. Vogt dalam Rachmaniar (1991),
memberikan batasan toksin sebagai berikut :
a. Substansi tersebut terdapat di dalam tubuh hewan, tumbuhan, bakteri dan
makhluk hidup lainnya
b. Merupakan zat asing bagi korbannya atau bersifat antigen
c. Bersifat merugikan bagi kesehatan korbannya.
Istilah toksin marin khusus digunakan untuk toksin-toksin yang berasal dari
organisme laut. Istilah lain yang digunakan dalam kaitannya dengan toksin yaitu
racun (poison) dan bisa (venom). Istilah racun digunakan untuk substansi toksin
yang menyebabkan keracunan bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut,
sedangkan bisa, bila masuk ke dalam tubuh melalui sengatan atau gigitan.
Manuputty et al., (1990) menambahkan bahwa dalam hal ini yang
dimaksudkan dengan hewan beracun (poisonus) yaitu hewan-hewan yang
sebagian atau seluruh tubuhnya mengandung racun. Hewan atau manusia yang
menderita akibat racun tersebut, biasanya dengan jalan memakan hewan yang
beracun baik sengaja atau tidak sengaja. Bagian tubuh yang terkena racun dimulai
dari saluran pencernaan.
Saxitoxin atau "paralytic shellfish poison" merupakan penyebab keracunan
yang serius di Amerika Serikat seperti halnya dengan tetrodotoxin di Jepang.
"Paralityc shellfish poison" semula ditemukan dalam tiram (mussels) dan
toksinnya disebut mylotoxin.
FAKTOR ATAU PENYEBAB KERACUNAN
PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Menurut Hashimoto, 1980 dalam Sudarmiati dan Zaman (2007), PSP
disebabkan oleh racun yang bersifat akut dan berakibat fatal yang disebabkan oleh
konsumsi kerang dan Dinoflagellata merupakan sumber utama yang memproduksi
racun Saxitoxin. Sebutan tersebut berasal dari diisolasinya racun Dinoflagellata
yang terdapat dalam kerang alaska Saxidomus giganteus. Pada kerang ditemukan
racun tersebut pada bagian siphonnya (alat penghisap). Rachmaniar (1991),
menambahkan bahwa dinoflagellata ini merupakan makanan dari sejenis moluska,
dengan demikian saxitoxin ini akan terakumulasi di dalam tubuh moluska
sehingga menjadikannya beracun. Selain itu sering terjadi proliferasi
dinoflagellata sehingga air laut menjadi merah dan konsentrasi saxitoxin
bertambah. Biota-biota laut lainnya akan memakan dan mengakumulasi plankton
beracun ini sehingga terjadi kematian masal. Peristiwa ini dikenal dengan pasang
merah (Red tide).
Racun PSP sering disebut juga sebagai Saxitoxin (diekstrak dari kerang
marga Saxidomus) atau mytilitoxin (diekstra dari marga Mytilus). Ternyata PSP
tersebut berasal dari fitoplankton penyebab 'red tide' : Ptrotogonyaulax dan
Gymnodinium. Populasi Protogonyaulax pada waktu musim panas dapat
mencapai 50.000 sel/ml. Pada waktu kepadatan mencapai 20.000 sel/ml, warna air
laut sudah berubah menjadi merah atau kecoklatan karena adanya pigmen
xanthophyl peridinin. Kerang Saxidomus dan Mytilus yang menyaring plankton
pada waktu terjadinya ledakan tersebut tidak mengalami keracunan, tetapi
menjadi makanan beracun yang sangat fatal bagi manusia. Daya racun PSP sangat
tinggi. Dari 3000 sel Protogonyaulax dengan berat basah 100 mg atau 15 mg berat
kering dapat diekstrak 1 mg racun PSP murni (QUAYLE, 1988 dalam
Panggabean 1994).
RACUN PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Saxitoxin atau "paralytic shellfish poison" merupakan penyebab keracunan
yang serius di Amerika Serikat seperti halnya dengan tetrodotoxin di Jepang.
"Paralityc shellfish poison" semula ditemukan dalam tiram (mussels) dan
toksinnya disebut mylotoxin. Kemudian SCHUETT dan RAPPOPORT (dalam
HASHIMOTO 1979) mengisolasi toksin serupa dari "Alaska butter clam",
Saxidormus giganteus dan diberi nama Saxitoxin. Saxitoxin mempunyai rumus
molekul C10H17N7O3.2HCl. Aksi farmakologisnya ialah memblokir susunan
syaraf pusat. Mekanisme saxitoxin sangat mirip dengan tetrodotoxin. Saxitoxin
menyebabkan kematian pada tikus dalam waktu 15 menit, sedangkan tetrodotoxin
dalam waktu setengah jam. Keracunan yang ditimbulkan oleh toksin ini
memberikan gejala sebagai berikut : rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut
yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Sensasi ini
kemudianberlanjut menjadi matirasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus
yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing
dan muntah (Rachmaniar, 1991).
PSP disebabkan oleh racun yang bersifat akut dan berakibat fatal yang
disebabkan oleh konsumsi kerang dan Dinoflagellata merupakan sumber utama
yang memproduksi racun Saxitoxin. Sebutan tersebut berasal dari diisolasinya
racun Dinoflagellata yang terdapat dalam kerang alaska Saxidomus giganteus.
Pada kerang ditemukan racun tersebut pada bagian siphonnya (alat penghisap)
(Sudarmiati dan Zaman, 2007).
Penyakit PSP mulai terdeteksi pada tahun 1700-an di Amerika utara dimana
ada 12 spesies Dinoflagellata yang memproduksi racun penyebab PSP yang
masuk dalam genus Alexandrium, Pyrodinium, Gonyaulax, Gymnodinium. PSP
tersebar di seluruh dunia dari perairan dingin sampai perairan hangat atau tropis.
Sebenarnya penyakit PSP tidak hanya disebabkan oleh konsumsi kerang tetapi
juga dapat disebabkan oleh konsumsi rajungan, gastropoda, mackerel, dan ikan
pemakan plankton (Falconer, 1992).
RUMUS STRUKTUR DAN RUMUS EMPIRIS DARI
PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Menurut Rachmaniar (1991), Saxitoxin atau "Paralytic Shellfish Poison"
mempunyai rumus molekul atau empiris C10H17N7O3.2HCl. dengan rumus
struktur sebagai berikut:
Gambar 1. Rumus Struktur PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
SIFAT RACUN PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Saxitoxin atau "Paralytic Shellfish Poison" merupakan neurotoksin kuat,
yaitu senyawa yang dapat menghambat transpor ion natrium. Menurut Baker
dalam Wahyudi (2006), saksitoksin merupakan senyawa racun non protein,
bersifat larut dalam air dan memiliki efek penghambatan transpor ion natrium
pada membran sel. Racun ini mencegah masuknya ion natrium ke dalam sel yang
berpengaruh pada metabolisme sel. Semua sel dan jaringan terpengaruh oleh hal
ini, tetapi yang paling terpengaruh adalah sel saraf, karena aktivitas sel saraf
sangat tergantung dari perbedaan potensial yang dibentuk oleh ion natrium dan
kalium di luar dan di dalam sel.
USAHA MENGHILANGKAN RACUN
PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Telah ditemukan berbagai metode untuk mengevaluasi keberadaan toksin
agar dapat mencegah, menghindari dan mengurangi korban dari keracunan
makanan laut. Salah satunya adalah metode “High Performance Liquid
Chromatography” (HPLC). Menganalisis toksisitas dari jenis toksin DSP dan PSP
dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu injeksi, HPLC dan electrophoresis.
Metode pertama dan terakhir hanya dapat digunakan untu membuktikan tentang
ada tidaknya toksin. Sedangkan metode HPLC dapat dapat menentukan toksin
secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam analisis toksin dengan metose HPLC, alat
ini dapat deprogram sesuai dengan jenis toksin yang dianalisis (Wiadnyana,
1997).
Beberapa cara pengolahan yang sudah dilakukan untuk mengurangi racun
saxitoxin :
1. Jay (1978) : toksin saxitoxin dapat diturun dengan pemanasan di atas 100°C.
2. Stewart (1978) : ozon dapat menurunkan keracunan saxitoxin pada kerang-
kerangan yang terkontaminasi racun tersebut, demikian pula perlakuan
panas dapat menurunkan daya racun di dalam kerang-kerangan.
3. Noguchi et al. (1980) : menurunnya toksisistas pada remis Patinopecten
yessoensin terjadi selama proses “retorting” dan pada toksin yang tersisa
terjadi penurunan kadar nya selama proses penyimpan.
4. Nagashima et al. (1991) : kadar toksin saxitoxin menurun dengan semakin
lamanya waktu pemanasan. Semakin tinggi suhu pemanasan maka waktu
yang diperlukan untuk mengurangi kadar toksin semakin cepat. Pemanasan
pada suhu 100°C selama 30 menit atau 60 menit, kandungan toksin
meningkat dari 15 MU/gr homogenate menjadi 30 MU/gr homogenate,
tetapi menurun secara linier pada waktu pemanasan selanjutnya. Pola
perubahan yang sama terhadap kadar toksin terjadi pada pemanasan 110 dan
120°C. Pada pemanasan suhu 110 dan 120°C terlihat pola perubahan
toksisitas lebih cepat dari pada pemanasan suhu 100°C.
GEJALA DAN TANDA KERACUNAN
PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Toxin ini akan menyerang sistem saraf dan pencernaan. Gejala PSP akan
timbul apabila kadar toksin melebihi batas toleransi 80 µg/100 gram daging
kerang yang dikonsumsi (Hallegraeff, 1991 dalam Mulyani et al, 2012). Hal ini
diperjelas oleh Panggabean (2006), gejala PSP muncul 30 menit hingga 3 jam
setelah makan makanan dari laut yang terpapar racun PSP. Berat ringannya gejala
keracunan tergantung dosis dan tingkat absorbsi racun yang masuk. Dibandingkan
dengan orang dewasa anak-anak mengalami tingkat keracunan lebih parah, karena
mereka lebih sensitif terhadap saxitoxin dan lebih cepat mengubah racun jenis
sulfamat yang kurang poten (toksin C1, C2, B1 dan B2) menjadi turunan
karbamat yang lebih poten. Gejala psp dimulai dengan rasa kesemutan dan kebas
(mati rasa) disekitar bibir dan mulut, kemudian menjalar sampai ke muka dan
leher. Pasien bisa juga mengalami mual dan muntah. Pada gejala ringan sampai
sedang, kesemutan bisa menjalar sampai kedua tangan dan kaki dan sulit
digerakan atau lemas. Korban juga bisa pusing dan tidak bisa bicara dengan benar
dan kehilangan arah (light-headedness). Kesulitan bernapas diawali dengan rasa
tercekik. Pada keracunan berat, bisa melumpuhkan seluruh fungsi otot. Korban
mati bisa terjadi karena bernapas semakin sulit dan hypoxia semakin parah.
Korban tidak mengalami hipotensi atau kelainan detak jantung. Waktu paruh
racun PSP sangat pendek (90 menit). Korban akut dapat ditolong dengan tindakan
cepat di rumah sakit melalui bantuan respirasi.
Sedangkan menurut Mutaqin (2009), melaporkan bahwa gejala keracunan
PSP sangat cepat sekitar 1-2 jam atau kurang dari 6 jam setelah manusia memakan
kerang. Pada keracunan PSP, gejala awal yang dirasakan adalah kesemutan pada
bibir, kemudian bibir dan rongga mulut akan kelu yang menjalar ke seluruh tubuh.
Selanjutnya otot-otot tubuh akan mengalami kelumpuhan (paralisis), termasuk
otot paru-paru sehingga penderita akan berhenti bernafas, sekalipun jantung masih
berdetak dan otak masih berfungsi. Beberapa kasus kematian diakibatkan
terjadinya proses paralisis dalam sistem pernafasan.
MEKANISME TERJADINYA KERACUNAN
PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Ketika terjadi blooming Pyrodinium, spesies ini akan memproduksi toksin
yang disebut Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) dengan konsentrasi yang lebih
tinggi. Melalui proses rantai makanan, toksin tersebut akan berpindah dan
terakumulasi pada zooplankton dan kerang-kerangan yang memakannya.
Selanjutnya, zooplankton akan dimakan oleh ikan sehingga menyebabkan ikan
mati. Demikian pula halnya dengan kerang-kerangan yang dimakan oleh hewan
lain atau manusia, maka hewan dan manusia itupun akan keracunan bahkan
menyebabkan kematian. Berikut ini adalah jenis-jenis toksin yang dihasilkan oleh
bebeberapa mikroalga beracun lainnya yaitu ; Neurotoxic Shellfish Poisoning
(NSP), Ciguatara Fishfood Poisoning (CFP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP)
dan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP).
Sejumlah kecil spesies alga menghasilkan toksin yang dapat ditransferkan
melalui jaringan makanan di mana mereka dapat mempengaruhi dan bahkan
membunuh organisme yang lebih tinggi tingkatannya, seperti zooplankton,
kerang-kerangan, ikan, burung, mamalia laut, dan bahkan manusia yang
mengonsumsinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Sekarang para
peneliti lebih memakai istilah harmful algae blooms (HABs) untuk
menggambarkan fenomena yang berkaitan dengan toksin maupun dampak negatif
dari alga.
Senyawa toksik utama dari ”paralytic shellfish poison” adalah ”saxitoxin”
yang bersifat ”neurotoxin”. Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah ”Paralytic
shellfish poisoning” (PSP). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi
kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata beracun. Dinoflagelata adalah agen
saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya. Kerang-kerangan menjadi
beracun di saat dinoflategelata sedang melimpah karena laut sedang pasang merah
atau ‘red tide’.
Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus),
hewan ini mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin. Dan dilaporkan
menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya. Jenis plankton
yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella dan A. tamarensis,
Pyrodinium bahamense. Paralytic shellfish poisoning (PSP) pada umumnya
disebabkan oleh kontaminasi toksin saxitoxin yang dihasilkan oleh alga berbahaya
jenis Alexandrium spp., Gymnodinium catenatum, dan Pyrodinium bahamense.
Untuk mendeteksi PSP digunakan metode direct competitive ELISA Wiadnyana
(1996).
Keracunan Saxitoxin menimbulkan gejala seperti rasa terbakar pada lidah,
bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Kemudian
berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang
hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan
muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat
pengatur pernapasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya
disebabkan karena kerusakan pada sistem pernapasan.
Pada kasus yang berat dapat mengakibatkan gangguan pernapasan dalam
waktu 24 jam setelah konsumsi kerang-kerangan yang beracun. Jika pasien tidak
bisa bernapas atau detak tidak terdeteksi, pernapasan buatan dan CPR diperlukan
sebagai pertolongan pertama. Tidak ada penawarnya dan terapi merupakan cara
terbaik untuk penyembuhan pasien. Pertolongan hanya dapat dilakukan dengan
cara menguras isi perut dan memberikan pernafasan buatan. Pada suatu penelitian
sampel klinis dari terjangkitnya PSP di Alaska tahun 1994, pembuangan saxitoxin
dari darah manusia berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam, juga pada
pasien yang mengalami kelumpuhan pernafasan dan dibantu dengan bantuan
pernafasan. Pembuangan ini sebagian besar melalui urin. Saat ini masih belum
tersedia penangkal untuk PSP Antibodi monoklonal anti saxitoxin yang diuji
secara in vitro dan in vivo menunjukkan perlindungan terhadap terikatnya
saxitoxin dan pengurangan gerakan di sekeliling saraf akibat saxitoxin pada saraf
mencit, diduga antibodi mungkin berpotensi menyediakan reagen yang berguna
untuk perlindungan terhadap toksisitas secara in vivo. Sebagai tambahan,
penghalang saluran K, 4-aminoantipirin, baru-baru ini menunjukkan pembalikan
efek secara signifikan pada serangan saxitoxin dalarn mencit, mungkin hal ini
berguna sebagai penangkal bagi PSP. Pada penderita PSP akan muncul gejala
yang dimulai dengan kekebalan pada wajah, bibir dan jari-jari tangan, gatal-gatal,
kejang mulut, pening, paralisis, serangan jantung hingga kegagalan sistem
pernafasan dalam waktu 3 sampai 12 jam.
PSP dapat dihindari dengan program monitoring proaktif dalam skala besar,
yaitu dengan mengukur tingkat toksin pada kerang-kerangan dan penutupan
segera pada area yang terkontaminasi racun ini.
PROSEDUR ANALISA KADAR RACUN
PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)
Menganalisis toksisitas dari jenis toksin DSP dan PSP dapat dilakukan
dengan 3 metode yaitu injeksi pada tikus atau “mouse bioassay”, menggunakan
“High Performance Liquid Chromatography” (HPLC) dan “Electrophoresis”.
Metode pertama dan terakhir hanya dapat digunakan untuk membuktikan tentang
ada dan tidaknya toksin. Sedangkan metode HPLC dapat menentukan toksin
secara kuantitatif dan kualitatif (Kotaki et.al, 1981; Yasumoto et.al, 1981; Lee
et.al, 1987; Oshima et.al, 1989 dalam Wiadnyana, 1997). Dalam analisis toksin
dengan metode HPLC, alat ini dapat deprogram sesuai dengan jenis toksin yang
dianalisis (Wiadnyana, 1997).
Menurut Sidabutar (1998), analisis toksin PSP dengan metode “mouse
bioassay” menggunakan mencit. Ekstraksi contoh dilakukan dengan mengambil
100 gram daging kerang yang sudah dihaluskan. Ditambahkan 100 ml larutan HCl
0,1 N dan dipanaskan sampai mendidih dan kondisi keasaman dipertahankan pada
pH 3. Campuran diencerkan menjadi 200 ml dan diaduk. Kemudian disentrifuse
untuk memperoleh ekstrak bening yang mengandung toksin. Tiap ekstrak contoh
disuntikkan pada mencit secara intraperitional sebanyak 1 ml dengan 3 kali
ulangan. Kadar toksin PSP (paralytic shellfish poisson) kemudian dihitung dengan
rumus:
Toksin PSP (μg/10 g tissue) = MU FK dillution factor 200
(Mu : mouse unit; FK : faktor koreksi)
Menurut Wiadnyana (1997), pada analisis toksin PSP dengan metode
HPLC, digunakan 3 pompa, 1 pemanas dan 1 monitor flouresense dan 1
integerator. Pompa 1 dihubungkan dengan mobile phase dan injector. Pompa 2
dihubungkan dengan larutan pereaksi. Larutan mobile phase dan sampel yang
diinjeksi masuk ke dalam kolom dan bertemu dengan larutan pereaksi. Ketiga
larutan tersebut menjadi satu dan menuju ke pemanas (70°C). pompa 3
dihubungkan dengan larutan 0,5 N asam asetat (gunanya untuk menetralkan
larutan) dan bertemu dengan larutan dari pompa 1 dan 2. Semuanya bertemu pada
monitor fluoresense dan hasilnya dicetak pada integrator. Monitor fluoresense
juga dihubungkan dengan pembuangan. Sebelum pengukuran sampel, terlebih
dahulu diukur larutan baku untuk kalibrasi.
Dalam analisi toksin PSP dengan menggunakan metode electrophoresis,
sampel harus dipurifikasi terlebih dahulu untuk menghindari pengaruh dari
partikel-partikel yang berasal dari bahan yang dianalisis. Sementara dengan
metode HPLC, ekstraksi dapat langsung diinjeksi ke dalam rangkaian. Namun
demikian, sampel yang dipurifikasi dapat memberikan hasil yang lebih baik
(Wiadnyana, 1997).
DAFTAR PUSTAKA
Falconer, L.R.1992. Algal Toxins in Seafood and Drinking Water. Academic Press Inc. London.
Manuputty, A. E, Soekarno, dan Tuti, Y. 1990. Beberapa Jenis Coelenterata yang dapat Menghasilkan Toksin, Pengaruhnya Terhadap Manusian, Serta Ciri-ciri Biologinya. Seminar Nasional Obat dan Pangan Kesehatan dari laut, Jakarta.
Mulyani, Widiarti, R. dan Wisnu W. 2012. Sebaran Spasial Spesies Penyebab Harmful Algal Bloom (Hab) Di Lokasi Budidaya Kerang Hijau (Perna Viridis) Kamal Muara, Jakarta Utara, Pada Bulan Mei 2011. Jurnal Akuatika Vol. III No. 1/ Maret 2012 (28-39) ISSN 0853-2523. UI, Jakarta.
Mutaqin, A. M. 2009. Pengujian Toksisitas Kerang Mas Ngur (Atactodea striata). TESIS. IPB, Bogor.
Panggabean, L. M. G. 2006. Toksin Alam dari Mikroalgae. Oseana, Volume XXXI, Nomor 3, 2006:1-12. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.
___________________. 1994. "Red Tide" Di Indonesia : Perlukah Diwaspadai ?. Oseana, Volume XIX, Nomor 1 : 33 – 38. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.
Rachmaniar, 1991. Toksin Marin Suatu Pengantar. Oseana, Volume XVI, Nomor 1:1–11. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.
Sidabutar, T. 1998. Gymnodium catenatum (Graham), Spesies Baru Fitoplankton Beracun di Teluk Ambon. LIPI. Jakarta.
Sudarmiati, S dan Zaman, B. 2007. Mekanisme Keracunan Saraf Akibat Konsumsi Kerang-kerangan yang Terkontaminasi Dinoflagellata Beracun (Studi Literatur) Volume 1, Nomor 1, Tahun 2007. UNDIP, Semarang.
Wahyudi, A. J. 2006. Kepiting Beracun Suku Xanthidae: Kajian dan Hipotesis Faktor-faktor Penyebabnya. Oseana, Volume XXXI, Nomor 4, Tahun 2006:31-38. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.
Wiadnyana, N,N. 1996, Mikroalga berbahaya di Indonesia. Oseanology dan Limnology di Indonesia, 29, 15 – 28.
_______________. 1997. Toksisitas pada Plankton dan Makanan Laut: Metode Analisis dengan HPLC. [Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Vol 5 No.2: 73-82]. Fakultas Perikanan, IPB. Bogor.