kelompok 1 thp b (psp)

18
PENGERTIAN DAN BATASAN KERACUNAN PSP (Paralitic Shellfish Poisoning) Toksin adalah suatu substansi yang mempunyai gugus fungsional spesifik yang letaknya teratur di dalam molekul, dan menunjukkan aktifitas fisiologis yang kuat. Substansi tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai obat (Hasmimoto, 1979). Substansi toksin harus merupakan suatu substansi yang bersifat protein (proteinaceous) dan antigenik. Vogt dalam Rachmaniar (1991), memberikan batasan toksin sebagai berikut : a. Substansi tersebut terdapat di dalam tubuh hewan, tumbuhan, bakteri dan makhluk hidup lainnya b. Merupakan zat asing bagi korbannya atau bersifat antigen c. Bersifat merugikan bagi kesehatan korbannya. Istilah toksin marin khusus digunakan untuk toksin- toksin yang berasal dari organisme laut. Istilah lain yang digunakan dalam kaitannya dengan toksin yaitu racun (poison) dan bisa (venom). Istilah racun digunakan untuk substansi toksin yang menyebabkan keracunan bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut, sedangkan bisa, bila masuk ke dalam tubuh melalui sengatan atau gigitan. Manuputty et al., (1990) menambahkan bahwa dalam hal ini yang dimaksudkan dengan hewan beracun

Upload: tinny-sumardi

Post on 14-Feb-2015

255 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kelompok 1 Thp B (PSP)

PENGERTIAN DAN BATASAN KERACUNAN

PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Toksin adalah suatu substansi yang mempunyai gugus fungsional spesifik

yang letaknya teratur di dalam molekul, dan menunjukkan aktifitas fisiologis yang

kuat. Substansi tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai obat

(Hasmimoto, 1979). Substansi toksin harus merupakan suatu substansi yang

bersifat protein (proteinaceous) dan antigenik. Vogt dalam Rachmaniar (1991),

memberikan batasan toksin sebagai berikut :

a. Substansi tersebut terdapat di dalam tubuh hewan, tumbuhan, bakteri dan

makhluk hidup lainnya

b. Merupakan zat asing bagi korbannya atau bersifat antigen

c. Bersifat merugikan bagi kesehatan korbannya.

Istilah toksin marin khusus digunakan untuk toksin-toksin yang berasal dari

organisme laut. Istilah lain yang digunakan dalam kaitannya dengan toksin yaitu

racun (poison) dan bisa (venom). Istilah racun digunakan untuk substansi toksin

yang menyebabkan keracunan bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut,

sedangkan bisa, bila masuk ke dalam tubuh melalui sengatan atau gigitan.

Manuputty et al., (1990) menambahkan bahwa dalam hal ini yang

dimaksudkan dengan hewan beracun (poisonus) yaitu hewan-hewan yang

sebagian atau seluruh tubuhnya mengandung racun. Hewan atau manusia yang

menderita akibat racun tersebut, biasanya dengan jalan memakan hewan yang

beracun baik sengaja atau tidak sengaja. Bagian tubuh yang terkena racun dimulai

dari saluran pencernaan.

Saxitoxin atau "paralytic shellfish poison" merupakan penyebab keracunan

yang serius di Amerika Serikat seperti halnya dengan tetrodotoxin di Jepang.

"Paralityc shellfish poison" semula ditemukan dalam tiram (mussels) dan

toksinnya disebut mylotoxin.

Page 2: Kelompok 1 Thp B (PSP)

FAKTOR ATAU PENYEBAB KERACUNAN

PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Menurut Hashimoto, 1980 dalam Sudarmiati dan Zaman (2007), PSP

disebabkan oleh racun yang bersifat akut dan berakibat fatal yang disebabkan oleh

konsumsi kerang dan Dinoflagellata merupakan sumber utama yang memproduksi

racun Saxitoxin. Sebutan tersebut berasal dari diisolasinya racun Dinoflagellata

yang terdapat dalam kerang alaska Saxidomus giganteus. Pada kerang ditemukan

racun tersebut pada bagian siphonnya (alat penghisap). Rachmaniar (1991),

menambahkan bahwa dinoflagellata ini merupakan makanan dari sejenis moluska,

dengan demikian saxitoxin ini akan terakumulasi di dalam tubuh moluska

sehingga menjadikannya beracun. Selain itu sering terjadi proliferasi

dinoflagellata sehingga air laut menjadi merah dan konsentrasi saxitoxin

bertambah. Biota-biota laut lainnya akan memakan dan mengakumulasi plankton

beracun ini sehingga terjadi kematian masal. Peristiwa ini dikenal dengan pasang

merah (Red tide).

Racun PSP sering disebut juga sebagai Saxitoxin (diekstrak dari kerang

marga Saxidomus) atau mytilitoxin (diekstra dari marga Mytilus). Ternyata PSP

tersebut berasal dari fitoplankton penyebab 'red tide' : Ptrotogonyaulax dan

Gymnodinium. Populasi Protogonyaulax pada waktu musim panas dapat

mencapai 50.000 sel/ml. Pada waktu kepadatan mencapai 20.000 sel/ml, warna air

laut sudah berubah menjadi merah atau kecoklatan karena adanya pigmen

xanthophyl peridinin. Kerang Saxidomus dan Mytilus yang menyaring plankton

pada waktu terjadinya ledakan tersebut tidak mengalami keracunan, tetapi

menjadi makanan beracun yang sangat fatal bagi manusia. Daya racun PSP sangat

tinggi. Dari 3000 sel Protogonyaulax dengan berat basah 100 mg atau 15 mg berat

kering dapat diekstrak 1 mg racun PSP murni (QUAYLE, 1988 dalam

Panggabean 1994).

Page 3: Kelompok 1 Thp B (PSP)

RACUN PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Saxitoxin atau "paralytic shellfish poison" merupakan penyebab keracunan

yang serius di Amerika Serikat seperti halnya dengan tetrodotoxin di Jepang.

"Paralityc shellfish poison" semula ditemukan dalam tiram (mussels) dan

toksinnya disebut mylotoxin. Kemudian SCHUETT dan RAPPOPORT (dalam

HASHIMOTO 1979) mengisolasi toksin serupa dari "Alaska butter clam",

Saxidormus giganteus dan diberi nama Saxitoxin. Saxitoxin mempunyai rumus

molekul C10H17N7O3.2HCl. Aksi farmakologisnya ialah memblokir susunan

syaraf pusat. Mekanisme saxitoxin sangat mirip dengan tetrodotoxin. Saxitoxin

menyebabkan kematian pada tikus dalam waktu 15 menit, sedangkan tetrodotoxin

dalam waktu setengah jam. Keracunan yang ditimbulkan oleh toksin ini

memberikan gejala sebagai berikut : rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut

yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Sensasi ini

kemudianberlanjut menjadi matirasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus

yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing

dan muntah (Rachmaniar, 1991).

PSP disebabkan oleh racun yang bersifat akut dan berakibat fatal yang

disebabkan oleh konsumsi kerang dan Dinoflagellata merupakan sumber utama

yang memproduksi racun Saxitoxin. Sebutan tersebut berasal dari diisolasinya

racun Dinoflagellata yang terdapat dalam kerang alaska Saxidomus giganteus.

Pada kerang ditemukan racun tersebut pada bagian siphonnya (alat penghisap)

(Sudarmiati dan Zaman, 2007).

Penyakit PSP mulai terdeteksi pada tahun 1700-an di Amerika utara dimana

ada 12 spesies Dinoflagellata yang memproduksi racun penyebab PSP yang

masuk dalam genus Alexandrium, Pyrodinium, Gonyaulax, Gymnodinium. PSP

tersebar di seluruh dunia dari perairan dingin sampai perairan hangat atau tropis.

Sebenarnya penyakit PSP tidak hanya disebabkan oleh konsumsi kerang tetapi

juga dapat disebabkan oleh konsumsi rajungan, gastropoda, mackerel, dan ikan

pemakan plankton (Falconer, 1992).

Page 4: Kelompok 1 Thp B (PSP)

RUMUS STRUKTUR DAN RUMUS EMPIRIS DARI

PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Menurut Rachmaniar (1991), Saxitoxin atau "Paralytic Shellfish Poison"

mempunyai rumus molekul atau empiris C10H17N7O3.2HCl. dengan rumus

struktur sebagai berikut:

Gambar 1. Rumus Struktur PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

SIFAT RACUN PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Saxitoxin atau "Paralytic Shellfish Poison" merupakan neurotoksin kuat,

yaitu senyawa yang dapat menghambat transpor ion natrium. Menurut Baker

dalam Wahyudi (2006), saksitoksin merupakan senyawa racun non protein,

bersifat larut dalam air dan memiliki efek penghambatan transpor ion natrium

pada membran sel. Racun ini mencegah masuknya ion natrium ke dalam sel yang

berpengaruh pada metabolisme sel. Semua sel dan jaringan terpengaruh oleh hal

ini, tetapi yang paling terpengaruh adalah sel saraf, karena aktivitas sel saraf

sangat tergantung dari perbedaan potensial yang dibentuk oleh ion natrium dan

kalium di luar dan di dalam sel.

Page 5: Kelompok 1 Thp B (PSP)

USAHA MENGHILANGKAN RACUN

PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Telah ditemukan berbagai metode untuk mengevaluasi keberadaan toksin

agar dapat mencegah, menghindari dan mengurangi korban dari keracunan

makanan laut. Salah satunya adalah metode “High Performance Liquid

Chromatography” (HPLC). Menganalisis toksisitas dari jenis toksin DSP dan PSP

dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu injeksi, HPLC dan electrophoresis.

Metode pertama dan terakhir hanya dapat digunakan untu membuktikan tentang

ada tidaknya toksin. Sedangkan metode HPLC dapat dapat menentukan toksin

secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam analisis toksin dengan metose HPLC, alat

ini dapat deprogram sesuai dengan jenis toksin yang dianalisis (Wiadnyana,

1997).

Beberapa cara pengolahan yang sudah dilakukan untuk mengurangi racun

saxitoxin :

1. Jay (1978) : toksin saxitoxin dapat diturun dengan pemanasan di atas 100°C.

2. Stewart (1978) : ozon dapat menurunkan keracunan saxitoxin pada kerang-

kerangan yang terkontaminasi racun tersebut, demikian pula perlakuan

panas dapat menurunkan daya racun di dalam kerang-kerangan.

3. Noguchi et al. (1980) : menurunnya toksisistas pada remis Patinopecten

yessoensin terjadi selama proses “retorting” dan pada toksin yang tersisa

terjadi penurunan kadar nya selama proses penyimpan.

4. Nagashima et al. (1991) : kadar toksin saxitoxin menurun dengan semakin

lamanya waktu pemanasan. Semakin tinggi suhu pemanasan maka waktu

yang diperlukan untuk mengurangi kadar toksin semakin cepat. Pemanasan

pada suhu 100°C selama 30 menit atau 60 menit, kandungan toksin

meningkat dari 15 MU/gr homogenate menjadi 30 MU/gr homogenate,

tetapi menurun secara linier pada waktu pemanasan selanjutnya. Pola

perubahan yang sama terhadap kadar toksin terjadi pada pemanasan 110 dan

120°C. Pada pemanasan suhu 110 dan 120°C terlihat pola perubahan

toksisitas lebih cepat dari pada pemanasan suhu 100°C.

Page 6: Kelompok 1 Thp B (PSP)

GEJALA DAN TANDA KERACUNAN

PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Toxin ini akan menyerang sistem saraf dan pencernaan. Gejala PSP akan

timbul apabila kadar toksin melebihi batas toleransi 80 µg/100 gram daging

kerang yang dikonsumsi (Hallegraeff, 1991 dalam Mulyani et al, 2012). Hal ini

diperjelas oleh Panggabean (2006), gejala PSP muncul 30 menit hingga 3 jam

setelah makan makanan dari laut yang terpapar racun PSP. Berat ringannya gejala

keracunan tergantung dosis dan tingkat absorbsi racun yang masuk. Dibandingkan

dengan orang dewasa anak-anak mengalami tingkat keracunan lebih parah, karena

mereka lebih sensitif terhadap saxitoxin dan lebih cepat mengubah racun jenis

sulfamat yang kurang poten (toksin C1, C2, B1 dan B2) menjadi turunan

karbamat yang lebih poten. Gejala psp dimulai dengan rasa kesemutan dan kebas

(mati rasa) disekitar bibir dan mulut, kemudian menjalar sampai ke muka dan

leher. Pasien bisa juga mengalami mual dan muntah. Pada gejala ringan sampai

sedang, kesemutan bisa menjalar sampai kedua tangan dan kaki dan sulit

digerakan atau lemas. Korban juga bisa pusing dan tidak bisa bicara dengan benar

dan kehilangan arah (light-headedness). Kesulitan bernapas diawali dengan rasa

tercekik. Pada keracunan berat, bisa melumpuhkan seluruh fungsi otot. Korban

mati bisa terjadi karena bernapas semakin sulit dan hypoxia semakin parah.

Korban tidak mengalami hipotensi atau kelainan detak jantung. Waktu paruh

racun PSP sangat pendek (90 menit). Korban akut dapat ditolong dengan tindakan

cepat di rumah sakit melalui bantuan respirasi.

Sedangkan menurut Mutaqin (2009), melaporkan bahwa gejala keracunan

PSP sangat cepat sekitar 1-2 jam atau kurang dari 6 jam setelah manusia memakan

kerang. Pada keracunan PSP, gejala awal yang dirasakan adalah kesemutan pada

bibir, kemudian bibir dan rongga mulut akan kelu yang menjalar ke seluruh tubuh.

Selanjutnya otot-otot tubuh akan mengalami kelumpuhan (paralisis), termasuk

otot paru-paru sehingga penderita akan berhenti bernafas, sekalipun jantung masih

berdetak dan otak masih berfungsi. Beberapa kasus kematian diakibatkan

terjadinya proses paralisis dalam sistem pernafasan.

Page 7: Kelompok 1 Thp B (PSP)

MEKANISME TERJADINYA KERACUNAN

PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Ketika terjadi blooming Pyrodinium, spesies ini akan memproduksi toksin

yang disebut Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) dengan konsentrasi yang lebih

tinggi. Melalui proses rantai makanan, toksin tersebut akan berpindah dan

terakumulasi pada zooplankton dan kerang-kerangan yang memakannya.

Selanjutnya, zooplankton akan dimakan oleh ikan sehingga menyebabkan ikan

mati. Demikian pula halnya dengan kerang-kerangan yang dimakan oleh hewan

lain atau manusia, maka hewan dan manusia itupun akan keracunan bahkan

menyebabkan kematian. Berikut ini adalah jenis-jenis toksin yang dihasilkan oleh

bebeberapa mikroalga beracun lainnya yaitu ; Neurotoxic Shellfish Poisoning

(NSP), Ciguatara Fishfood Poisoning (CFP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP)

dan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP).

Sejumlah kecil spesies alga menghasilkan toksin yang dapat ditransferkan

melalui jaringan makanan di mana mereka dapat mempengaruhi dan bahkan

membunuh organisme yang lebih tinggi tingkatannya, seperti zooplankton,

kerang-kerangan, ikan, burung, mamalia laut, dan bahkan manusia yang

mengonsumsinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Sekarang para

peneliti lebih memakai istilah harmful algae blooms (HABs) untuk

menggambarkan fenomena yang berkaitan dengan toksin maupun dampak negatif

dari alga.

Senyawa toksik utama dari ”paralytic shellfish poison” adalah ”saxitoxin”

yang bersifat ”neurotoxin”. Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah ”Paralytic

shellfish poisoning” (PSP). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi

kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata beracun. Dinoflagelata adalah agen

saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya. Kerang-kerangan menjadi

beracun di saat dinoflategelata sedang melimpah karena laut sedang pasang merah

atau ‘red tide’.

Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus),

hewan ini mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin. Dan dilaporkan

menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya. Jenis plankton

Page 8: Kelompok 1 Thp B (PSP)

yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella dan A. tamarensis,

Pyrodinium bahamense. Paralytic shellfish poisoning (PSP) pada umumnya

disebabkan oleh kontaminasi toksin saxitoxin yang dihasilkan oleh alga berbahaya

jenis Alexandrium spp., Gymnodinium catenatum, dan Pyrodinium bahamense.

Untuk mendeteksi PSP digunakan metode direct competitive ELISA Wiadnyana

(1996).

Keracunan Saxitoxin menimbulkan gejala seperti rasa terbakar pada lidah,

bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Kemudian

berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang

hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan

muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat

pengatur pernapasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya

disebabkan karena kerusakan pada sistem pernapasan.

Pada kasus yang berat dapat mengakibatkan gangguan pernapasan dalam

waktu 24 jam setelah konsumsi kerang-kerangan yang beracun. Jika pasien tidak

bisa bernapas atau detak tidak terdeteksi, pernapasan buatan dan CPR diperlukan

sebagai pertolongan pertama. Tidak ada penawarnya dan terapi merupakan cara

terbaik untuk penyembuhan pasien. Pertolongan hanya dapat dilakukan dengan

cara menguras isi perut dan memberikan pernafasan buatan. Pada suatu penelitian

sampel klinis dari terjangkitnya PSP di Alaska tahun 1994, pembuangan saxitoxin

dari darah manusia berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam, juga pada

pasien yang mengalami kelumpuhan pernafasan dan dibantu dengan bantuan

pernafasan. Pembuangan ini sebagian besar melalui urin. Saat ini masih belum

tersedia penangkal untuk PSP Antibodi monoklonal anti saxitoxin yang diuji

secara in vitro dan in vivo menunjukkan perlindungan terhadap terikatnya

saxitoxin dan pengurangan gerakan di sekeliling saraf akibat saxitoxin pada saraf

mencit, diduga antibodi mungkin berpotensi menyediakan reagen yang berguna

untuk perlindungan terhadap toksisitas secara in vivo. Sebagai tambahan,

penghalang saluran K, 4-aminoantipirin, baru-baru ini menunjukkan pembalikan

efek secara signifikan pada serangan saxitoxin dalarn mencit, mungkin hal ini

berguna sebagai penangkal bagi PSP. Pada penderita PSP akan muncul gejala

yang dimulai dengan kekebalan pada wajah, bibir dan jari-jari tangan, gatal-gatal,

Page 9: Kelompok 1 Thp B (PSP)

kejang mulut, pening, paralisis, serangan jantung hingga kegagalan sistem

pernafasan dalam waktu 3 sampai 12 jam.

PSP dapat dihindari dengan program monitoring proaktif dalam skala besar,

yaitu dengan mengukur tingkat toksin pada kerang-kerangan dan penutupan

segera pada area yang terkontaminasi racun ini.

PROSEDUR ANALISA KADAR RACUN

PSP (Paralitic Shellfish Poisoning)

Menganalisis toksisitas dari jenis toksin DSP dan PSP dapat dilakukan

dengan 3 metode yaitu injeksi pada tikus atau “mouse bioassay”, menggunakan

“High Performance Liquid Chromatography” (HPLC) dan “Electrophoresis”.

Metode pertama dan terakhir hanya dapat digunakan untuk membuktikan tentang

ada dan tidaknya toksin. Sedangkan metode HPLC dapat menentukan toksin

secara kuantitatif dan kualitatif (Kotaki et.al, 1981; Yasumoto et.al, 1981; Lee

et.al, 1987; Oshima et.al, 1989 dalam Wiadnyana, 1997). Dalam analisis toksin

dengan metode HPLC, alat ini dapat deprogram sesuai dengan jenis toksin yang

dianalisis (Wiadnyana, 1997).

Menurut Sidabutar (1998), analisis toksin PSP dengan metode “mouse

bioassay” menggunakan mencit. Ekstraksi contoh dilakukan dengan mengambil

100 gram daging kerang yang sudah dihaluskan. Ditambahkan 100 ml larutan HCl

0,1 N dan dipanaskan sampai mendidih dan kondisi keasaman dipertahankan pada

pH 3. Campuran diencerkan menjadi 200 ml dan diaduk. Kemudian disentrifuse

untuk memperoleh ekstrak bening yang mengandung toksin. Tiap ekstrak contoh

disuntikkan pada mencit secara intraperitional sebanyak 1 ml dengan 3 kali

ulangan. Kadar toksin PSP (paralytic shellfish poisson) kemudian dihitung dengan

rumus:

Toksin PSP (μg/10 g tissue) = MU FK dillution factor 200

(Mu : mouse unit; FK : faktor koreksi)

Page 10: Kelompok 1 Thp B (PSP)

Menurut Wiadnyana (1997), pada analisis toksin PSP dengan metode

HPLC, digunakan 3 pompa, 1 pemanas dan 1 monitor flouresense dan 1

integerator. Pompa 1 dihubungkan dengan mobile phase dan injector. Pompa 2

dihubungkan dengan larutan pereaksi. Larutan mobile phase dan sampel yang

diinjeksi masuk ke dalam kolom dan bertemu dengan larutan pereaksi. Ketiga

larutan tersebut menjadi satu dan menuju ke pemanas (70°C). pompa 3

dihubungkan dengan larutan 0,5 N asam asetat (gunanya untuk menetralkan

larutan) dan bertemu dengan larutan dari pompa 1 dan 2. Semuanya bertemu pada

monitor fluoresense dan hasilnya dicetak pada integrator. Monitor fluoresense

juga dihubungkan dengan pembuangan. Sebelum pengukuran sampel, terlebih

dahulu diukur larutan baku untuk kalibrasi.

Dalam analisi toksin PSP dengan menggunakan metode electrophoresis,

sampel harus dipurifikasi terlebih dahulu untuk menghindari pengaruh dari

partikel-partikel yang berasal dari bahan yang dianalisis. Sementara dengan

metode HPLC, ekstraksi dapat langsung diinjeksi ke dalam rangkaian. Namun

demikian, sampel yang dipurifikasi dapat memberikan hasil yang lebih baik

(Wiadnyana, 1997).

Page 11: Kelompok 1 Thp B (PSP)

DAFTAR PUSTAKA

Falconer, L.R.1992. Algal Toxins in Seafood and Drinking Water. Academic Press Inc. London.

Manuputty, A. E, Soekarno, dan Tuti, Y. 1990. Beberapa Jenis Coelenterata yang dapat Menghasilkan Toksin, Pengaruhnya Terhadap Manusian, Serta Ciri-ciri Biologinya. Seminar Nasional Obat dan Pangan Kesehatan dari laut, Jakarta.

Mulyani, Widiarti, R. dan Wisnu W. 2012. Sebaran Spasial Spesies Penyebab Harmful Algal Bloom (Hab) Di Lokasi Budidaya Kerang Hijau (Perna Viridis) Kamal Muara, Jakarta Utara, Pada Bulan Mei 2011. Jurnal Akuatika Vol. III No. 1/ Maret 2012 (28-39) ISSN 0853-2523. UI, Jakarta.

Mutaqin, A. M. 2009. Pengujian Toksisitas Kerang Mas Ngur (Atactodea striata). TESIS. IPB, Bogor.

Panggabean, L. M. G. 2006. Toksin Alam dari Mikroalgae. Oseana, Volume XXXI, Nomor 3, 2006:1-12. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.

___________________. 1994. "Red Tide" Di Indonesia : Perlukah Diwaspadai ?. Oseana, Volume XIX, Nomor 1 : 33 – 38. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.

Rachmaniar, 1991. Toksin Marin Suatu Pengantar. Oseana, Volume XVI, Nomor 1:1–11. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.

Sidabutar, T. 1998. Gymnodium catenatum (Graham), Spesies Baru Fitoplankton Beracun di Teluk Ambon. LIPI. Jakarta.

Sudarmiati, S dan Zaman, B. 2007. Mekanisme Keracunan Saraf Akibat Konsumsi Kerang-kerangan yang Terkontaminasi Dinoflagellata Beracun (Studi Literatur) Volume 1, Nomor 1, Tahun 2007. UNDIP, Semarang.

Wahyudi, A. J. 2006. Kepiting Beracun Suku Xanthidae: Kajian dan Hipotesis Faktor-faktor Penyebabnya. Oseana, Volume XXXI, Nomor 4, Tahun 2006:31-38. Balai Penelitian dan Pengembangan Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta.

Wiadnyana, N,N. 1996, Mikroalga berbahaya di Indonesia. Oseanology dan Limnology di Indonesia, 29, 15 – 28.

Page 12: Kelompok 1 Thp B (PSP)

_______________. 1997. Toksisitas pada Plankton dan Makanan Laut: Metode Analisis dengan HPLC. [Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Vol 5 No.2: 73-82]. Fakultas Perikanan, IPB. Bogor.