keharusan bekerja & etos kerja dalam ajaran rosulullah
TRANSCRIPT
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
( Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Matakuliah Hadits Tematik )
Dosen Pengampu : Fathurrahman Kamal, Lc, M.Si.
Oleh :
Ahdika Khoirotunnisa (20120710004)
Iim Halimatus sa’diah (20120710008)
Umi Solikhah (20120710020)
Isma Nabilah (20120710027)
Komunikasi Konseling Islam
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2014
1
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Kata Pengantar
Alhamdulillah, puji serta syukur selayaknyalah kita panjatkan kehadirat Allah SWT
yang karena ke-Maha Murah-an-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini
dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Hadits Tematik. Dengan harapan bahwa
penulis serta pembaca dapat sama-sama mengambil pelajaran dari hadits yang kami bahas.
Hadits tersebut bertemakan “Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah”.
Rasa terimakasih yang tak terhingga penulis haturkan pada :
1. Kedua Orang tua penulis yang hingga saat ini tak bosan-bosannya memberi
dukungan dengan berbagai bentuknya.
2. Ustadz Fathurrahman Kamal, atas setiap kesabaran beliau dalam mendidik
penulis.
3. Teman-teman KKI 2012, yang bukan saja menjadi teman seperjuangan, kini
menjelma menjadi keluarga.
Demikianlah, pada akhirnya setiap ikhtiar ini akan kembali pada Allah. Penulis
menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, penulis menunggu
kritik yang membangun dari pembaca demi perbaikan tulisan ini.
Yogyakarta, April 2014
Penulis
2
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Surat Pernyataan
Kami yang bertanda tangan dibawah ini:
1. Ahdika Khoirotunnisa (Keharusan Bekerja) (20120710004)
( )
2. Iim Halimatus sa’diah (Biografi Rawi & Takhrij Hadits) (20120710005)
( )
3. Isma Nabila (Etos Kerja dalam Islam) (20120710027)
( )
4. Umi Solikhah (Latar Belakang) (20120710020)
( )
Prodi : Komunikasi & Konseling Islam
Fakultas : Agama Islam
Menyatakan dengan sadar dan sejujurnya bahwa makalah ini adalah benar tulisan
kami, kecuali kutipan-kutipan yang kami cantumkan sumbernya dalam catatan kaki
dan daftar pustaka.
Demikian surat ini kami buat agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Yogyakarta, 2 April 2014
3
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Daftar Isi
Kata Pengantar 2Surat Pernyataan Keaslian..................................................................................................... 3
Daftar Isi 4
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Hadits dan Tarjamahnya 7
B. Biografi Perawi 7
C. Syarah Hadits 7
D. Keharusan Bekerja 9
E. Etos Kerja dalam Islam 14
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 19
Daftar Pustaka 20
4
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada beberapa bangsa yang mengalami pertumbuhan sosial ekonomi dan
modernisasi dengan begitu cepat, tapi juga tidak sedikit negara-negara yang lamban
dalam pertumbuhan ekonomi sosialnya. Para psikolog secara tidak terduga telah
memberi sumbangan penemuan dalam rangka memahami perbedaan itu. Tak terduga
dalam arti mereka menemukan kesimpulan yang sedikit banyak menjelaskan terjadinya
proses tersebut, bermula dari penelitian yang mereka lakukan untuk mengungkap
persoalan lain. Ketika itu mereka mengisolir sejenis “virus mental”, yakni suatu cara
berpikir atau keadaan tertentu yang jarang dijumpai, tetapi bila terjadi pada diri
seseorang, cenderung menyebabkan orang itu berprilaku amat giat.1
Dalam Islam, bekerja adalah kewajiban setiap muslim. Sebab dengan bekerja
setiap muslim akan mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai manusia, makhluk
ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia di atas dunia.2 Bagi seorang muslim,
bekerja adalah fitrah sekaligus salah satu identitas manusia, sehinga bekerja yang
didasarkan kepada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukan fitrah seorang
muslim, tetapi sekaligus meniggikan martabat dirinya sebagai ‘’abdullah (hamba
Allah)’’, yang mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari cara dirinya mensyukuri
kenikmatan dari Allah Rabbul ‘Alamin.3
Al Quran surat Az Zumar [39] ayat 39 menerangkan tentang keharusan bekerja
bagi seorang muslim;
ي عامل قل يا قوم اعملوا على مكانتكم إنفسوف تعلمون
Artinya: “Hai kaumku bekerjalah engkau menurut kemampuanmu masing-masing, kelak engkau akan mengetahui apa hasil amalmu”
Terkait dengan bekerja adalah merupakan fitrah dalam rangka
mengaktualisasikan diri, rupanya hal itu terbaca oleh Abraham Maslow, hingga
kemudian ia menggagas teori kebutuhan yang salah satunya adalah kebutuhan
aktualisasi diri.
1 DR. Ahmad Janan Asifudin, M.A. Etos Kerja Islami (Surakarta : Muhamadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004) Cet. I, hal. 12 Drs. H. Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995) hal. vii3 Ibid. 2
5
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Islam menempatkan budaya kerja bukan hanya sekedar sisipan atau perintah
sambil lalu, tetapi juga menempatkanya sebagai sentral dalam pembangunan umat
karena untuk mewujudkan suatu pribadi dan masyarakat yang tangguh hanya mungkin
apabila penghayatan terhadap esensi bekerja dengan segala kemuliaanya dikajikan
sebagai pokok kajian bagi setiap muslim, ustadz, mubaligh, para tokoh dan sampai
menjadi salah satu kebiasaan dan budaya yang khas di dalam rumah tangga seorang
muslim.4
Terkait dengan Keharusan Bekerja dan Etos Kerja dalam Ajaran Rasulullah Saw,
maka penulis mengambil satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukorie dari
sahabat yang bernama Miqdam bin Ma’di Karib. Hadits ini menceritakan tentang
alangkah baiknya makanan yang dihasilkan dari buah tangan kita bekerja halal.
4 Ibid hal : 7
6
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits dan Tarjamahnya
بن خالد عن ثور، عن يونس، بن عيسى أخبرنا موسى، بن إبراهيم حدثنا
" : أحد أكل ما قال ه الل رسول عن عنه، ه الل رضي المقدام عن معدان،
من يأكل أن من خيرا قط، الم، طعاما الس عليه داود ه الل نبي وإن يده، عمل
يده " عمل من يأكل كانArtinya : Telah menceritakan kepada kami Ibrahin bin Musa, telah
mengabarkan kepada kami ‘Isa bin Yunus, dari Tsaur, dari Kholid bin Ma’dan, dari
Miqdam r.a, dari Rosulullah Saw, ia bersabda “Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari jerih payah tangan nya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud ‘alaihissalam dahulu senantiasa makan dari jerih payahnya sendiri.”
B. Biografi Perawi
Dengan menggunakan aplikasi Gawami’ul Kalim penulis melakukan
penelusuran mengenai biografi Miqdam bin Ma’di Karib. Dari itu diketahui bahwa
nama asli beliau adalah Miqdam bin Ma’di Karib bin ‘Amr bin Yazid bin Ma’di Karib
bin Ibnu Salamah. Tetapi beliau lebih dikenal dengan Miqdam bin Karib al Kanadi.
Miqdam bin Ma’di Karib adalah keturunan dari Kanadi dan Syami.
Dalam tingkatan sahabat Nabi, Miqdam bin Ma’di Karib termasuk dalam
tingkatan shahabi. Beliau tinggal di daerah Hims, syam. Miqdam bin Ma’di Karib
wafat pada tahun 87 H (sebagian ulama berbeda pendapat mengenai tahun wafatnya,
ada yang mengatakan beliau wafat pada tahun 87 H, 88 H dan ada pula yang
mengatakan Miqdam wafat pada tahun 83 H). Miqdam wafat pada usia 91 tahun.
C. Takhrij Hadits
Masih menggunakan aplikasi Gawami’ul Kalim, penulis menelusuri
keshahihan hadits ini. Dari itu diketahui bahwa hadits tersebut terdapat dalam kitab
Shahih Bukhori, Bab Kasbi al-Rajulu wa ‘Amalihi bi Yadihi, nomor 2072.
Sebuah hadist dikatakan shahih jika ia telah memenuhi syarat-syarat berikut ini;
1. Hadisnya musnad
7
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
2. Sanadnya bersambung
3. Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4. Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)5
Dikatakan bahwa sanad hadits ini muttashil dengan rawi yang tidak terputus,
rawinya juga tsiqoh, dan para rawi yang ada dalam hadits ini telah memenuhi
kualifikasi rawi menurut Imam Bukhorie. Ini menunjukkan bahwa hadits tersebut
shahih.
Berikut ini adalah grafik susunan rawi dalam hadits ini, sehingga ia dikatakan
muttashil.
معدى بن المقدام
معدان خالدبن
يزيد ثوربن
يونس بن عيسى
موسى بن ابراهيم
محمدبناسماعيل
Syarah hadits ini dalam gawami’ul kalim adalah sebagai berikut;
Dalam kitab Fathul Bari
Dikatakan bahwa : (Dari Tsaur anaknya Yazid Asy Syamiy bukan anak Zaid al
Madaniy). Beliau juga berkata tentang Miqdam, yang beliau adalah anak dari Ma’di
Karib al Kanadi. Beliau termasuk pada shahabat kecil. Ia wafat pada sekitar tahun 80
di Hims. Tidak ada Hadits lain yang diriwayatkan oleh Miqdam dalam kitab Bukhorie
kecuali hadits ini dalam Bab makanan.
5 Amru Abdul Mun’im Salim, Ilmu Hadits Untuk Pemula , Kitab Asli Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in, Kairo Mesir : Maktabah Ibnu Taymiyah, 1997 M. Hal 13
8
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Beliau mengatakan tentang “ma akala ahadun” dan Ismail menambahkan “min
Bani Adam”.
“tha’aman qottun khoiron min an ya’kula min ‘amali yadihi” dalam riwayat
Isma’il “khoirun”, dengan Ra di dlamah (rafa’) hal itu adalah boleh. Dan dalam
riwayat miliknya (Isma’il) “kaddi yadaih”, yang maksudnya adalah lebih baik dengan
usaha yang dilakukan oleh tangannya sendiri dari pada pemberian orang lain.
Menurut Ibnu Majah melalui jalan ‘Umar bin Sa’ad dari Kholid bin Ma’dan,
usaha yang baik itu adalah usaha yang dihasilkan oleh tangan sendiri.
Dari syarah tersebut dapat kita simpulkan bahwa nafkah dan usaha terbaik
seorang muslim adalah usaha yang dihasilkan oleh tangannya sendiri. Hal itu
menunjukkan bahwa bekerja merupakan satu keharusan bagi seorang muslim.
Namun, baginya bekerja tidak lantas berhenti sebagai usaha mencari uang dan
memenuhi kebutuhan. Bekerja menjadi salah satu caranya beribadah. Dengan etos
kerja seperti yang diajarkan oleh Rasulullah, bekerja bagi seorang muslim adalah
sebuah aktualisasi dari Imannya.
D. Keharusan Bekerja
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia,
sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja
menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya
sebagai “Abdullah (hamba Allah)”, yang mengelola seluruh alam sebagai bentuk dari
cara dirinya mensyukuri kenikmatan dari Allah Rabbul ‘Alamin.
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang
enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk
menyatakan keimanan dalam bentuk kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah
dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia, untuk
kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang.6
Konotasi dan pengertian bekerja hendaknya jangan ditafsirkan sebagai penerima
upah belaka, padahal tidak menunjukkan prestasi apa-apa. Namun bekerja adalah
segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu,
baik kebutuhan jasmani maupun rohani, dan di dalam mencapai tujuannya tersebut ia
6 Drs. H. Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet.2, hlm. 2
9
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal
sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT. Dikatakan sebagai aktivitas
dinamis apabila seluruh kegiatan yang dilakukan seorang muslim mengandung unsur
tantangan, tidak monoton dan selalu berupaya untuk mencari terobosan-terobosan
baru, serta tidak merasa puas dalam berbuat kebaikan.7
Dalam Islam, bekerja dalam hal yang tidak ada larangan Allah padanya adalah
bagian dari ibadah ghoiru mahdhoh. Yaitu jenis ibadah yang tidak secara eksplisit
diatur tata caranya oleh syariah. Akan tetapi, semua konteks ibadah adalah hubungan
dengan Allah yang bernilai pahala yang dicatat oleh Malaikat dan disaksikan oleh
Allah Yang Maha Melihat. Jadi, ketika seorang bekerja maka ia sejatinya sedang
beribadah sebagaimana ia sedang melaksanakan sholat, puasa, zakat dan lainny. Oleh
karena itu, bekerja haruslah berniat ibadah.8
Dalam bahasa Danah Zohar dan Ian Marshall, orang yang memosisikan bekerja
sebagai ibadah adalah orang yang memiliki kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual
adalah kemampuan memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan,
melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang
seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhidiah, serta berprinsip “karena Allah”.9
Berdasarkan dorongan dari firman Allah Q.S. Az-Zumar: 39, dinyatakan bahwa
bekerja adalah manifestasi kekuatan iman.
E. ي عامل قل يا قوم اعملوا على مكانتكم إنفسوف تعلمون
“Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu masing-
masing. Sesungguhnya akupun bekerja, maka kelak kamu akan mengetahui”.
Ayat ini adalah perintah dan karena memiliki nilai hukum “wajib” untuk
dilaksanakan. Siapapun yang berdiam diri, pasif, tidak mau berusaha untuk bekerja,
maka dia telah menghujat perintah Allah. Sadar atau tidak sesungguhnya seseorang
tersebut sedang menggali kubur kenistaan bagi dirinya.
Islam menempatkan budaya bekerja bukan hanya sekedar sisipan atau perintah
sambil lalu, tetapi menempatkannya sebagai tema sentral dalam pembangunan umat
karena untuk mewujudkan suatu pribadi dan masyarakat yang tangguh hanya 7 Ibid, hlm. 10 8 A. Riawan Amin dan Tim FEBS FEUI, Menggagas Manajemen Syariah: Teori dan Praktik The
Celestial Management, (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hlm. 879 Ibid, hlm.90
10
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
mungkin apabila penghayatan terhadap esensi bekerja dengan segala kemuliaannya
dikajikan sebagai pokok kajian bagian bagi setiap muslim, ustadz, mubaligh, para
tokoh dan sampai menjadi salah satu kebiasaan dan budaya yang khas di dalam rumah
tangga seorang muslim.
Gelar indah yang diberikan Allah kepada umat Islam, yaitu khoiru ummah
hanya akan menjadi konsep tak bermakna, bagai konsep di atas kertas keropos,
pemanis bahan diskusi dan hanya sekedar pelengkap dalam seminar-seminar, apabila
tidak ada semangat bekerja serta usaha untuk menanamkan suatu ideologi, bahwa
bekerja, berkreasi, berinovasi itu adalah indah. Hanya pribadi-pribadi yang
menghargai nilai kerja yang kelak akan mampu menjadikan masyarakatnya sebagai
masyarakat yang tangguh. Sebaliknya pribadi yang malas hanyalah akan
mengorbankan masyarakat dan bahkan generasinya sebagai umat yang kedodoran,
terjajah dan terbelenggu.
Hal tersebut harusnya menjadi sindiran bagi umat Islam ketika mencampakkan
perintah untuk bekerja keras, karena umat Islam akan menjadi objek yang rapuh dan
menjadi santapan siapapun yang memiliki etos kerja yang tinggi. Dengan kata lain,
seorang muslim haruslah memiliki semangat untuk menjadi manusia yang
diperhitungkan. Mampu memberi pengaruh kepada lingkungan sekitarnya, sehingga
dengan cepat ia mampu dikenal, diperhitungkan karena berhasil mengaktualisasikan
prestasi dirinya secara mengagumkan dan signifikan.10
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Bahwasanya Allah itu cinta kepada seorang mukmin yang bekerja” (H.R.
Tabrani dan Baihaqi)
Sebagaimana hamba Allah yang meyakini kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah,
maka tertanam dalam lubuk hatinya bahwa mensyukuri nikmat Allah merupakan
kewajiban mutlak yang harus dikerjakan. Bekerja dalam takaran agama Islam adalah
selaras dengan pernyataan syukur kepada Sang Pencipta, bahkan bekerja adalah setara
dengan berjuang fiisabilillah. Ajaran ini memiliki makna, bahwa siapapun yang tidak
bekerja dan hidupnya tidak produktif, maka dia telah berjalan di atas jalan yang
sesat, karena dia tidak mensyukuri nikmat. Secara tidak langsung orang tersebut
dikategorikan sebagai orang yang kufur nikmat.
Diriwayatkan pula Ka’ab bin Umrah yang artinya,
10 Op.cit, Drs. H. Toto Tasmara, hlm. 6-8
11
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
“Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah Saw, bahwa orang itu
sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para Sahabat lalu berkata: “Ya
Rasulullah, andaikata bekerja seperti orang itu dapat digolongkan fisabilillah,
alangkah baiknya”. Maka Rasulullah bersabda: “Kalau ia bekerja itu hendak
menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, ia adalah fisabilillah. Kalau ia bekerja
untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usianya, ia itu fisabilillah.
Kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, ia
adalah fisabilillah...”. (Diriwayatkan oleh Tabrani).
Bekerja untuk mencari fadhilah karunia Allah, menjebol kemiskinan,
meningkatkan taraf hidup dan martabat serta harga diri adalah merupakan nilai ibadah
yang esensial. Karena itu Nabi Saw bersabda,
“Kemiskinan itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran”
Penghargaan Islam atas hasil karya dan upaya manusia untuk bekerja
ditempatkan pada dimensi yang setara setelah iman, bahkan bekerja dapat
menjadikan jaminan diampuninya dosa-dosa manusia, sebagaimana sabda
Rasulullah:
F. من أمسى كاال من عمل يديه أمسىمغفور
“Barang siapa yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja,
berkarya dengan tangannya sendiri, maka di waktu sore itu pulalah ia terampuni
dosanya”. (Riwayat Tabrani dan Baihaqi).
Al-Qur’an dengan tandas dan jelas kiranya tidak perlu meminta tafsir berlebihan
bahwa setiap pribadi muslim wajib bekerja dan wajib berupaya meraih prestasi yang
terbaik dalam lapangan kehidupannya.11
Pada kurun waktu kenabian dan awal kebangkitan Islam sangat jelas terlihat
bahwa penghargaan atas makna bekerja telah diterima oleh seluruh pengikut Rasul
dengan sikap sami’na wa ato’na. Hal ini dapat kita lihat dari sikap keteladanan Rasul
yang merupakan suatu catatan sejarah paling monumental dalam hal kebanggaan
bekerja dan semangat untuk berprestasi atas dasar hasil keringat sendiri.12
Berikut ini digambarkan tentang pribadi Muhammad Saw sebagai seorang
pebisnis terutama yang berkaitan dengan profesi dagang yang beliau tekuni. Pada 11 Ibid, hlm. 9-1212 Ibid, hlm. 8
12
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
masa kecil Muhammad Saw, beliau memiliki pengalaman yang pahit dengan terlahir
sebagai anak yatim. Ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal ketika
Muhammad Saw masih dalam kandungan Ibunya. Sedangkan ibunya, Halimah wafat
ketika Nabi berumur 6 tahun. Kemudian diasuh oleh kakeknya, dan terakhir diasuh
oleh pamannya. Abu Thalib, paman Muhammad Saw hidup dalam kesederhanaan,
sehingga tidak jarang Muhammad kecil harus membantu ekonomi keluarga sang
paman dengan bekerja serabutan kepada penduduk Makkah. Pengalaman masa kecil
seperti inilah yang menjadi modal psikologis beliau ketika menjadi seorang
wirausahawan di kemudian hari.13
Perjalanan karir Muhammad Saw di bidang perdagangan dapat dirumuskan
sebagaimana berikut. Muhammad Saw telah mengenal perdagangan di usia 12 tahun
atau diistilahkan dengan magang (internship). Hal ini terus dilakukan sampai usia 17
tahun ketika beliau telah mulai membuka usaha sendiri. Waktu itu pamannya
menganjurkan beliau untuk berdagang agar beban keluarga mereka dapat berkurang.
Dengan demikian pada usia ini beliau sudah menjadi seorang business manager.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pemilik modal Makkah mempercayakan
pengelolaan perdagangan mereka kepada Muhammad Saw beliau menjadi seorang
investment manager.
Ketika beliau menikah dengan Khadijah dan terus mengelola perdagangannya,
maka status beliau naik menjadi business owner. Ketika usia beliau menginjak
pertengahan 30-an, beliau menjadi seorang investor dan mulai memiliki banyak waktu
untuk memikirkan kondisi masyarakat. Pada saat ini mungkin beliau sudah mencapai
apa yang diistilah oleh Robert Kiyosaky sebagai kebebasan uang (financial freedom)
dan waktu menurut ukuran masa itu.14
Di beberapa kesempatan Muhammad Saw sering memotivasi para Shahabat
untuk berwirausaha. Beliau mengatakan “Berusaha untuk mendapatkan penghasilan
halal merupakan kewajiban, di samping sejumlah tugas lain yang telah diwajibkan”.
Selain itu, beliau juga mengatakan, “tidak ada satupun makanan yang lebih baik
daripada yang dimakan dari hasil keringat sendiri”.15
Di samping itu, sifat kemandirian dan senang berusaha yang telah tertanam
sejak kecil di hati Muhammad Saw, secara tidak langsung menyatakan bahwa
13 Dr. Muhammad Syafii Antonio, Muhammad Saw The Super Leader Super Manager, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2009), cet. 16, hlm. 81-83
14 Ibid, hlm. 9115 Ibid, hlm. 94
13
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
mustahil beliau berdiam diri dan hanya hidup dari pendapatan istrinya. Tidak
mungkin beliau hanya tinggal di rumah saja dan menghabiskan waktu berhari-hari,
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dalam keadaan menganggur tanpa kegiatan
apapun untuk membiayai hidupnya sekeluarga.16
Ada pepatah yang mengatakan, “Arbeid adelt den Mensch” -pekerjaan itu
mempertinggi derajat manusia. Sedang AlbertCamus berkata pula “Ledigheid is des
duivels oorkussen” -manusia tanpa kesibukan akan menjadi santapan setan.17 Dari
pengertian-pengertian sebelumnya, jelaslah bagi muslim bahwa bekerja dengan usaha
sendiri dan hasilnya digunakan dengan baik adalah sebuah ibadah, jihad fisabilillah,
syukur nikmat, penghapus dosa dan peninggi derajat. Oleh karena itu bekerja itu harus
dilakukan dan dibudayakan di setiap pribadi muslim sehingga terwujud citra dan
semangat yang terus memberikan ilham dalam perjalanan kehidupannya, dimana
mereka akan mengukir sejarah dengan tapak-tapak prestatif.18
E. Etos Kerja dalam Islam
Dr. Ahmad Janan dalam bukunya Etos Kerja Islami menyebutkan bahwa dalam
Websters World University Dictionary dijelaskan etos ialah sifat dasar atau
karakteristik eryang merupakan kebiasaan dan watak bangsa atau ras. Koetjoroningrat
mengemukakan pandangannya bahwa etos merupakan watak khas yang tampak dari
luar, terlihat oleh orang lain. Etos berasal dari kata Yunani, ethos, artinyanya ciri,sifat,
atau kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang
dimiliki seseorang, suatu kelompok orang atau bangsa. Dalam Hand Book of
Psychology Term, etos diartikan sebagai pandangan khas suatu kelompok sosial,
sistem niali yang melatarbelakangi adat istiadat dan tata cara suatu komunitas.
Menurut Geertz , etos merupakan sikap mendasar manusia terhadap diri dan dunia
yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluative yang bersifat menilai. Soejono
Soekanto mengartikan etos antara lain: a. nilai-nilai dan ide-ide dari suatu
kebudayaan, dan b. karakter umum suatu kebudayaan. Menurut Nurcholish Madjid,
etos berasal dari bahasa Yunani (ethos), artinya watak atau karakter. Secara lengkap
etos ialah karakter dan sikap, kebiaasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang
bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dan dari kata etos
terambil pula perkataan “etika” yang merujuk pada makna “akhlak” atau beersifat 16 Ibid, hlm. 9117 Op.cit, Drs. H. Toto Tasmara, hlm. 1318 Ibid, hlm. 12
14
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
akhlaqiy, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok manusia termasuk
suatu bangsa. Etos juga berti jiwa khas suatu kelompok manusia yang daripadanya
berkembang pandangan bangasa itu sehubungan dengan baik dan buruk yakni etika.
Bdalam Dictionary of Education dikatakan etos berarti jiwa suatu kelompok,
kebiasaan dan perasaan yang dominan Musa Asy’arie menjelaskan kata “etos” bisa
dikaitkan dengan individu selain dikaitakan dengan masyarakat.
Adapun kerja, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya: kegiatan
melakukan sesutatu. El-Qussy, seorang pakar ilmu jiwa berkebangsaan Mesir
menerangkan bahwa kegiatan atau perbuatan manusia ada dua jenis. Pertamama,
perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan mental, dan kedua tindakan yang
dilakukan secara tidak sengaja. Jenis pertama mempunyai ciri kepentingan, yaitu
untuk mencapai maksud atau mewujudkan tujuan tertentu sedangkan jenis kedua
adalah gerakan random ( random movement)seperti terlihat pada gerakan bayi kecil
yang tampak tidak beraturan, ger4akan reflex dan gerakan-gerakan lain yang terjadi
tanpa dorongan kehendak atau proses pemikiran. Kerja yang dimaksud disini tentu
saja kerja menurut arti yang pertama, yaitu kerja yang merupakan aktivitas sengaja,
bermotif dan bertujuan. Pengertian kerja biasanya terkait dengan penghasilan atau
upaya memperoleh hasil, baik bersifat materiil atau non materiil.
Etos kerja, menurut Mochtar Buchori dapat diartikan sebagai sikap dan
pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja: ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai cara
kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa. Ia juga
menjelaskan bahwa etos kerja merupakan dari tatanan nilai (value system). Etos kerja
seseorang adalah bagian dari tata niali individualnya. Demikian pula etos kerja suatu
kelompok masyarakat atau bangsa, ia merupakan bagian dari tata nilai yang ada pada
bangsa atau masyarakat itu. Etos kerja adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan
batin manusi, moral dan gaya estetik serta suasana batin mereka. Ia merupakan sikap
mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfkelsikan dalam kehidupan nyata.
Etos kerja adalah pancaran dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadap kerja.
Dr. Ahmad Janan menyimpulkan bahwa etos sebagai karakter dan kebiasaan
sedangkan kerja yang di maksud dalam konteks etos kerja itu adalah kerja bermotif
dan terikat dengan penghasilan atau upaya memperoleh hasil, baik bersifat materiil
atau non materiil.
Dari sejumlah definisi dan penjelasan di atas, meski beragam, namun dapat di
tangkap maksud yang berujung pada pemahaman bahwa etos kerja merupakan
15
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap hidup
manusia yang mendasar terhadapnya. Lalu selanjutnya dimengerti bahwa timbulnya
kerja dalam konteks ini adalah karena termotivasi oleh sikap hidup mendasar itu. Etos
kerja dapat berada pada individu dan masyarakat.
Sejalan dengan itu, Mochtar Buchori mengemukakan adanya kemungkinan etos
kerja manusia terwujud sebagai hasil dari suatu proses sosial historis. Berarti etos
kerja bukan suatu sifat bangsa yang constant. Ia bisa mengalami pasang surut. Musa
Asy’arie pun berdendapat, etos kerja merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Ia
dibentuk ole proses kebudayaan panjang yang kemudian membentuk kepribadian.
Maka, jika masyarakat tetentu mempunyai etos kerja yang berbeda dari masyarakat
lainnya, hal itu disebabkan oleh proses panjang kebudayaan dan tantangan yang
dialami. Dengan demikian, sepanjang etos kerja dipahami sebagian dari budaya,
upaya pembinaan dan peningkatan etos kerja individu atau masyarakat dapat
dilakukan. Dengan perkataan lain dapat di transformasikan lewat pedidikan.
Adapun etos kerja menurut arti yang bertolak dari etika,yaitu moralitas dan
kebajikan dalam bekerja, ia dapat dijabarkan dalam bentuk kode etik sebagai kode of
conduct. Kode etik inilah yang kemudian memnjelma menjadi etika kerja, etika
profesi, atau kerja sebagai kearifan sikap dalam bekerja. Etos kerja menunjukan ciri-
ciri perilaku berkualitas tiggi pada seseorang yang mencerminkan keluhuran serta
keunggulan watak. Dengan berpedoman kepada etos kerja itulah seseorang
melaksanakan kerja dengan baik. Jadi, bukan sekedar etiket dalam arti format
lahiriyah belaka. Pengertian etos kerja sebagi karakter dan kebiasaan yang terpancar
dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadap kerja, dan pengertian yang bertolak
dari asas etis, hakikat makna tidak menimbulkan pengertian yang kontradiktif, justru
dapat saling mendukung. Karena keduanya sangat erat berhubungan dengan aspek
kejiwaan dan spiritualitas.
1. Karakteristik Etos Kerja Islami
Karakteristik-karakteristik etos kerja islami dalam buku Etos Kerja Islami
karangan Dr. Ahmad Janan di gali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan
amal saleh dengan memberikan prioritas penekanan pada etos kerja islami beserta
prinsip-prinsip dasarnya sebagai fokus. Argumentasi yang melatarbelakangi
ditempuhnya acara ini adalah karena etos kerja apapun menurut pemahaman Quraniy
tidak dapat menjadi islami bila tidak dilandaskan pada konsep iman dan amal saleh.
Suatu kerja atau perbuatan, meski secara nyata memberikan manfaat bersifat
16
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
keduniaan bagi orang lain, namun tanpa disertai iman pada pelakunya, kerja itu tidak
akan membuahkan pahala di akhirat kelak.
Di dalam al-Qur’an amat banyak di temukan ungkapan امنوا dirangkaikan الذين
dengan ungkapan وءملواالصالحات kata-kata وءملواالصالحات امنوا dalam kitab الدين
suci tersebut terdapat 31 tempat. Ungkapan yang menggunakan redaksi المؤمنين لحات الصا يعملون ada di dua tempat, dan الذين وهومؤمن الصالحات من يعمل من
juga ada di dua tempat. Bila Allah menyebut امنوا selalu dilanjutkan dengan الذين
.وعملواالصالحات Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa Iman dan Amal Saleh
merupakan suatu rangkaian yang memiliki kaitan amat erat, bahkan tidak terpisahkan.
Tidak ada amal saleh tanpa iman, dan iman akan merupakan sesuatu yang
mandul bila tidak melahirkan amal saleh. Dari ajaran al-Qur’an atau al-Hadis dapat
dipahami bahwa Islam terdiri aqidah dan syari’ah (akhlaq termasuk di dalamnya). Al-
Qur’an sering menyebutnya aqidah dengan kata Iman, dan menyatakan syari’ah
menurut arti luas dengan ungkapan amal saleh. Keduanya merupakan kesatuan.
Aqidah berfungsi sebagai pangkal dan dasar, sedangkan amal saleh atau syar’iah
menurut arti luas merupakan bentuk-bentuk yang terbangun diatasnya. Artinya amal
saleh adalah pancaran iman atau aqidah yang menjiwainya.
Dalam pada itu masih terdapat satu unsur lagi yang bersama iman dan amal
saleh dalam membentuk segitiga pola hidup yang kokoh dan benar, yaitu keilmuan.
Ilmu ternyata menjadi landasan sekaligus menjadi jembatan yang harus ada bagi iman
dan amal saleh ilmu juga merupakan suatu bentuk kesadaran Muslim yang amat
sentral. Dalam Islam, agama identic dengan ilmu sedangkan ilmu adalah bagian dari
kewajiban yang bersifat keagamaan, yakni wajib nagi setiap muslim dan muslimah
untuk mencarinya. Tiap-tiap ajaran Islam dapat diamalkan secara benar dan baik
hanya bila di dukung oleh pengetahuan atau ilmu tentang ajaran itu. Dengan
demikian, menurut prespektif Islam, iman, ilmu dan amal merupakan rangkaian yang
saling mensyaratkan dan saling menyempurnakan. Pengalaman ajaran Islam menuntut
dukungan ilmu, kalau dicermati ternyata bersifat menyeluruh. Mulai dari pengamalan
rukun Islam sampai dengan aktivitas keduniaan yang amat luas. Aktivitas keduniaan
agar bernilai ibadah terbukti menuntut persyaratan ilmu seperti tentanh bagaimana
syarat agar kegiatan-kegiatan tersebut menjadi bernilai ibadah. Disamping itu, amal
yang berorientasi pada hasil akan jauh produktif lebih produktif bila di dukung oleh
ilmu yang lebih lengkap. Jadi tidak berlebihan jika Islam di katakan adalah agama
ilmu di samping agama amal. Iman sendiri baru dapat menjadi aqidah dan berfungsi
17
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
dengan baik bila sudah di dukung oleh ilmu minimal tentang iman terhadap apa yang
diimani. Dinamika yang mencerahkan iman atau aqidah, menyebabkan lahirnya
kesadaran dan niat harus beramal saleh. Iman yang dicerhkan oleh cara pemahaman
ilmiah holistis proporsional terhadap ajaran-ajaran agma, memang berpotensi besar
utuk menjadi sumber motivasi internal maupun eksternal bagi etos kerja islami di
samping menjadi sumber ilmu dan nilai.
Dalam al-Qur’an, ungkapan ama (saleh) kebanyakan berbentuk fi’il, yaitu عمالا
16صالحا kali, لحا صا ,empat kali اعما صالحا صالحا dan يعمل masing-masing تعمل
dua kali, صالحا لحا dan نعمل صا ا عملو .masing-masing satu kali وا
Dalam Etos Kerja Islami karangan Dr. Ahmad Janan mengutip disertasi Said
Mahmud, al-Qur’an dalam menunjuk perbuatan-perbuatan tertentu yang dapat
dikategorikan amal saleh, menggunakan berbagai ungkapan, selain istilah amal saleh
itu sendiri. Misalnya: al-birr, iman, ihsan, infaq, ma’ruf, khair, al-‘adl, taqwa, dan lain
sebagainya. Kenyataan demikian menunjukkan luasnya pengertian yang di cakup oleh
istilah amal saleh sehingga meliputi kawasan kerja batin dan aqidah, di samping
kawasan ibadah, mu’amalah, akhlak, dan pelaksanaan tugas khalifah. Sudah barang
tentu menunjukkan pula besarnya perhatian agama Islam yang tidak tanggung-
tanggung terhadap amal saleh ini.
Dari konsep iman, ilmu dan amal saleh sebagaimana tersebut di atas, dapat di
gali dan dirumuskan karakteristik-karakteristik etos kerja Islami sebagai berikut:
a. Kerja Merupakan Penjabaran Aqidah
Manusia adalah makhluk yang dikendalikan oleh sesuatu yng bersifat batin
dalam dirinya, bukan oleh fisik yang tampak. Ia terpengaruh dan diarahkan oleh
keyakinan yang mengikatnya. Salah, benar, atau bagaimana keyakinan itu, niscaya
mewarnai segala perbuatan “ikhtiariyyah” orang itu. Keyakinan tersebut bila telah
tertanam mantap dalam hati, akan berusaha menyembul bersama kehendak
pemiliknya. Faktor agama memang tidak menjadi syarat timbulnya etos kerja tinggi
seseorang. Hal itu terbukti dengan banyaknya orang tidak beragama mempunyai etos
kerja yang baik. Tetapi berdasarkan teori tersebut di atas, orang itu pasti memiliki
keyakinan, pandangan atau sikap hidup tertentu yang menjadi pemancar bagi etos
kerja yang baik tersebut. Jadi ajaran agama agama merupakan salah satu faktor yang
dapat menjadi sebab timbulnya keyakinan, pandangan serta sikap hidup mendasar
yang menyebabkan etos kerja tinggi manusia terwujud. Cukup jelas kiranya etos kerja
tinggi seseorang memerlukan kesadaran bersangkut paut dengan pandangan hidupnya
18
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
secara lebih menyeluruh. Hal mana memberi makna pada orang itu berkenaan dengan
kehidupan kerja. Dalam Islam keyakinan orang muslim dan muslimah bahwa kerja
berkaitan dengan tujuan mencari rida Allah, yakni dalam rangka ibadah.
Dari pemahaman akal dapat diketahui bahwa wahyu banyak mengungkap
realitas sesuatu juga ajaran yang baik dan buruk serta boleh dan tidak boleh yang
berkenaan dengan kerja. Selain itu ajaran wahyu juga banyak memberikan dorongan
yang kuat agar manusia giat bekerja dalam artian lahir dan batin. Maka dari itu,
sehubungan dengan kerja aqidah dan ajaran Islam menjadi sumber nilai dan sumber
ilmu, di samping sumber motivasi. Sebagai sumber nilai, Islam menetapkan norma-
norma terkait dengan kerja. Banyak pekerjaan yang diperkenankan dalam agama ini,
namun ada juga pekerjaan-pekerjaan yang tidak boleh dilakukan seperti meminta-
minta bagi orang yang tidak dalam keadaan terpaksa, melacur, berjudi, mencuri atau
merampas hak orang lain, mengurangi timbangan dalam berdagang, dan pekerjaan
lain yang zalim. Dalam hal itu, nilai-nilai Islam yang mengandung ajaran yang dapat
dikembangkan menjadi suatu bentuk etika kerja Islami.
Kerja dalam prespektif Islam ternyata menuntut diupayakannya keseimbangan
proporsional yang dikehendaki agama ini, menyangkut hubungan manusia dengan
sang pencipta dan hubungan antar manusia, hubungan antara kepentingan individu
dan masyarakat, duniawi dan ukhrawi, dan sebagainya.
Nabi Muhammad sendiri memberikan teladan bagi masyarakat muslim yang
baru di Madinah ketika itu secara umum menggunakan sepertiga waktunya untuk
beribadah (dalam arti khusus), sepertiga lagi untuk istirahat, dan sepertiga lainnya
untuk bersenang-senang dengan keluarga dan aktivitas sosial. Unsur utama etika kerja
islami adalah petunjuk syari’ah, bahwa kerja apapun hendaknya dilakukan dengan
sebaik-baiknya guna menunjang kehidupan pribadi, keluarga, dan orang-orang yang
menggu uluran tangan. Nilai kerja demikian dalam pandangan Islam adalah sebanding
dengan nilai amaliah wajib. Jadi, kerja positive bercorak keduniaan juga merupakan
tugas keagamaan.
Selanjutnya terkait dengan aqidah dan ajaran Islam sebagai sumber motivasi
kerja islami, secara konsepsional memang harus berangkat dari pengakuan terhadap
realita, bahwasanya Islam berdasarkan ajaran wahyu bekerja sama dengan akal adalah
agama amal atau agama kerja. Bahwasannya untuk mendekatkan diri dan memperoleh
rida Allah, seorang hamba harus beramal saleh yang dikerjakan dengan ikhlas hanya
karena Allah, yakni dengan memurnikan tauhid, sesuai dengan QS. Al-Kahfi/ 18: 110,
19
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
yang artinya, “….Barang siapa mengharap akan menemui Tuhannya, hendaklah ia
beramal dengan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukkan dalam menyembah
Tuhannya dengan sesuatu apapun”.
Sejarah telah membuktikan bahwa aqidah Islam berpotensi besar untuk menjadi
sumber motivasi yang mampu mengubah dan membangun sikap hidup mendasar,
karakter, serta kebiasaan perilaku manusia dalam arti amat positif. Aqidah yang
berhasil di tanamkan Nabi saw kepada pengikutnya ketika beliau menjadi Rasul
terbukti telah menimbulkan kemajuan termasuk etos kerja Islami yang luar biasa pada
sejumlah besar dari mereka, yaitu orang-orang Muhajirin, orang-orang Ansar, bahkan
orang-orang yang sebelumnya termasuk “komunitas Jahiliyyah”. Etos kerja mereka
tentu tidak lepas dari motivasi serta nilai-nilai yang dipancarkan oleh aqidah Islam
yang mereka miliki.
Dalam hadis Rasulullah yang artinya, “Sesungguhnya semua pekerjaan
tergantung pada niatnya. Barang siapa yang hijrahnya tertuju kepada Allah dan Rasul-
Nya berarti ia hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan orang yang berhijrah
untuk keduniaan maka ia akan memperolehnya; kalau kepada seorang wanita ia akan
menikahinya. Jadi, hijrah seorang itu tergantung pada niatnya”. Dari hadis tersebut
dapat kita pahami bahwa perbuatan atau kerja seseorang tergantung pada niat dan
komitmen yang mendasarinya. Isi hadis tersebut juga mengisyaratkan bahwa tujuan
akhir hidup dan kerja manusia adalah Allah, beribadah kepadaNya dan mencari rida-
Nya.
Secara psikologis, tabiat manusia memang sangat ditentukan oleh niat dan
siakapnya. Sedangkan sikap seseorang amat terpengaruh oleh nilai-nilai yang
diyakini. Niali terpentng yang mutlak harus di pegang teguh oleh setiap orang Islam
ialah sikap tauhid atau sikap mengesakan Allah. Sikap tauhid yang utuh dari
seseorang akan mewarnai seluruh sikap dan tindakan-tindakannya.
Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa kerja berlandaskan niat
beribadah hanya kepada Allah adalah salah satu karakteristi penting etos kerja islami
yang tergali dan timbul dari karakteristik pertama ( kerja merupakan penjabaran
aqidah).
b. Kerja Dilandasi Ilmu
Tiap-tiap ajarannya dapat diamalkan secara benar dan baik hanya di dukung
oleh ilmu. Menurut pandangan agama ini, sumber kebenaran dan ilmu pengetahuan
yang hakiki ialah Allah. Dia menurunkan dua macam sumber kebenaran, yakni: 1.
20
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Wahyu, dapat ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an, dan 2. Hukum keteraturan alam
atau sunnatullah, yaitu taqdir yang ketetapannya di alam ini mungkin dapat diketahui
secara objektif. Untuk memahami wahyu (al-Qur’an) di gunakan metode penafsiran.
Sedangkan untuk memahami keteraturan alam dengan hukum-hukumnya digunakan
metode penelitin empiris daan rasional. Menurut al-Ghazaliy dalam buku Etos Kerja
Islami karangan Dr. Ahmad Janan perbedaan antara ilmu yang bersumber dari wahyu
dan ilmu yang bersumber dari hukum-hukum keteraturan alam, adalah bahwa yang
pertama dasarnya ittiba’, sedangkan yang kedua adalah berdasarkan penelitian,
penemuan, dan kreasi. Jadi, lebih dinamis dan wajar jika sering mengalami revisi dan
inovasi.
Aqidah dan sistem keimanan orang Islam bersumber dari wahyu yang
berinteraksi dengan akal. Akal dalam pengertian Islam, bukan sekedar otak. Ia adalah
daya memahami yang tetrdapat dalam jiwa manusia. Pengertian akal umumnya
mencakup jerja otak dan kerja qalb dalam rangka memahami sesuatu. Jadi akal
merupakan alat untuk memahami sesuatu. Tanpa penggunaan akal wahyu tidak akan
bisa di mengerti, di terima, dan diakui sesuai dengan keadaan sewajarnya sebagai
wahyu Ilahi. Saling melengkapinya wahyu dengan akal bagi orang Islam merupakan
sesuatu yang badihiy dan mendasar, timbul dari prinsip tauhid menurut aqidah Islam.
Salah satu realitas jalan (manhaj) islami ialah berdampingan an-naql dengan
al-‘aql, wahyu dengan akal dalam proses memperoleh kesadaran, pemahaman, dan
ilmu. Di banding makhluk lain, keistimewaan sekaligus kelebihan manusia terutama
bertolak dari akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Ajaran wahyu dapat
diamalkan setelah lebih dulu dipahami. Selain itu, karena mempunyai akkalah
manusia berhasil menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mencapai kebudayaan
dan peradaban tinggi. Dengan memahami keteraturan hukum alam, manusia dapat
meperkirakan apa yang akan terjadi disekitarnya, mampu menyusun teori-teori ilmu
pengetahuan, rencana masa depan, dan dapat memperhitungkannya. Dari hasil-hasil
sunnatullah manusia dapat membangun ilmu pengetahuan. Dalam hal itu, agama dan
keteladanan Rasulullah saw menghendaki agar manusia memanfaatkannya sesuai
dengan hukum alam ciptaan Allah, maka keilmuan sehubungan dengan pengakuan
adanya sunnatullah ini secara langsung atau tidak menuntut serta mendidik orang
Islam agar dalam bekerja bersikap rasional, ilmiah, proaktif, kratif, menguasai iptek,
menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan profesional.
21
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Islam merupakan agama ilmu dan amal hal itu menuntut umat Islam untuk
mengupayakan peningkatan serta pemerataan keduanya secara sungguh-sungguh.
Beberapa hal yang khas dalam etos kerja islami perlu dinyatakan lebih tegas, antara
lain:
1) Ilmu yang mendasari etos kerja islami adalah wahyu dan keteraturan hukum
alam.
2) Ilmu aqli (madani) dalam Islam dipandang amat penting serta menempati
posisi yang tinggi bersama iman.
3) Proses memperoleh ilmu madani atau ilmu aqli adalah keteraturan hukum
alam. Pemahaman itu memperkuat iman serta mendidik orang Islam untuk
beretos kerja tinggi , bersikap ilmiah, proaktif, berdisiplin tinggi, dan
seterusnya.
4) Ilmu atau teori tentang kesatuan alam berimplikasi pada diperolehnya
pemahaman bahwa beretos kerja tinggi islami adalah tuntutan bersifat kodrati
bagi setiap muslim dan muslimah.
c. Kerja dengan Meneladani Sifat-sifat Ilahi serta Mengikuti Petunjuk-petunjuk-Nya
Sebagai khalifahtu fil lard wajar jika manusia diarahkan untuk melakukan
penyesuaian dalam rangka melakukan identifikasi dengan kebijakan dan ketetapan-
ketetapan Allah. Namun karena keterbatasan manusia yang tidak akan mampu
melakukan penyesuaian yang memadai, maka bisa dipahami jika kemudian ia
berusaha meneladani sifat-sifat-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Asy-
Syura ayat 11 yang artinya, “Tak ada sesuatupun yang menyerupainya”. Namun hal
itu tidak lantas kita tidak mungkin meneladani sifat-sifat Allah.
Etos kerja islami sebagai etos kerja umumnya tidak akan terwujud tanpa sifat
giat dan aktif dalam memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya. Keistimewaan
orang yang beretos kerja islami adalah aktivitasnya dijiwai oleh dinamika aqidah dan
motivasi ibadah. Orang beretos kerja islami menyadari bahwa potensi yang
dikaruniakan dan dapat dihubungkan dengan sifat-sifat Illahi pada dasarnya
merupakan amanah yang mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya secara bertanggung
jawab sesuai dengan ajaran Islam.
Bekerja bagi seorang muslim haruslah diniatkan untuk mencari rida Allah. Hal
itu memberikan konsekuensi kerja tidak dilakukan dengan sikap seenaknya atau
secara acuh tak acuh. Bekerja demi rida Allah amat erat kaitannya dengan ihsan yang
dalam hal ini dapat diartikan bekerja secara optimal dan sebaik-baiknya.
22
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Selanjutnya yaitu amanah sebagai ciri etos kerja tinggi islami dapat dijabarkan
dengan menjaga mutu kerja, menepati janji, dan jujur. Amanah dapat ditafsirkan
berupa amaliah wajib agar diamalkan, amaliah yang dilarang agar dihindari.
Mempertanggung jawabkan amanah juga merupakan salah satu bentuk akhlaq
bermasyarakat.
Berdasarkan penjelasan dan pembahasan tentang tiga karakteristik etos kerja
islami tadi dapat kita simpulkan bahwa; pertama,sikap hidup mendasar menjadi
sumber motivasi etos kerja islami. Kedua, bahwasanya keilmuan sebagai pengakuan
atas berlaku efektifnya sunnatullah atau takdir Allah secara obyektif. Hal itu akan
membuat manusia bekerja secara rasional menggunakan ilmu pengetahuan, kreatif,
tekun, disiplin, teratur, menggunakan perencanaan yang baik, fisioner, dan
profesional. Ketiga, dengan meneladani sifat-sifat Illahi dapat digali sikap kerja aktif,
kretif, tekun, konsekuen, adil, kerja didukung ilmu pengetahuan dan teknologi,
fisioner, berusaha efektif dan efisien, percaya diri, dan mandiri. Keempat, ciri etos
kerja islami adalah giat, proaktif, menghargai waktu, kompetitif, optimis, bersemangat
tinggi untuk sesuatu yang bermanfaat, bekerja keras, adil, bertanggung jawab, bekerja
sama dengan orang lain, hemat, ulet dan sabar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam Islam, bekerja adalah kewajiban setiap muslim. Sebab dengan bekerja
setiap muslim akan mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai manusia, makhluk
ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia di atas dunia. Hadits dari Miqdam bin
Ma’di Karib yang telah kita bahas tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa alangkah
baiknya makanan yang dihasilkan dari buah tangan kita bekerja halal.
Hadits itu juga menunjukkan bahwa bekerja bagi seorang muslim adalah
sebuah keharusan. Namun, baginya bekerja tidak lantas berhenti sebagai usaha
mencari uang dan memenuhi kebutuhan. Bekerja menjadi salah satu caranya
beribadah. Dengan etos kerja seperti yang diajarkan oleh Rasulullah, bekerja bagi
seorang muslim adalah sebuah aktualisasi dari Imannya.
Etos kerja yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, ialah;
pertama,sikap hidup mendasar menjadi sumber motivasi etos kerja islami.
23
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
Kedua, bahwasanya keilmuan sebagai pengakuan atas berlaku efektifnya
sunnatullah atau takdir Allah secara obyektif. Hal itu akan membuat manusia bekerja
secara rasional menggunakan ilmu pengetahuan, kreatif, tekun, disiplin, teratur,
menggunakan perencanaan yang baik, fisioner, dan profesional.
Ketiga, dengan meneladani sifat-sifat Illahi dapat digali sikap kerja aktif, kretif,
tekun, konsekuen, adil, kerja didukung ilmu pengetahuan dan teknologi, fisioner,
berusaha efektif dan efisien, percaya diri, dan mandiri.
Keempat, ciri etos kerja islami adalah giat, proaktif, menghargai waktu,
kompetitif, optimis, bersemangat tinggi untuk sesuatu yang bermanfaat, bekerja keras,
adil, bertanggung jawab, bekerja sama dengan orang lain, hemat, ulet dan sabar.
24
Keharusan Bekerja & Etos Kerja dalam Ajaran Rosulullah
DAFTAR PUSTAKA
DR. Ahmad Janan Asifudin, M.A. Etos Kerja Islami (Surakarta : Muhamadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004) Cet. I, hal. 1 Drs. H. Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995) hal. vii Amru Abdul Mun’im Salim, Ilmu Hadits Untuk Pemula , Kitab Asli Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in, Kairo Mesir : Maktabah Ibnu Taymiyah, 1997 M. Hal 13
Drs. H. Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet.2, hlm. 2 Ibid, hlm. 10 A. Riawan Amin dan Tim FEBS FEUI, Menggagas Manajemen Syariah: Teori dan Praktik The
Celestial Management, (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hlm. 87 Ibid, hlm.90 Op.cit, Drs. H. Toto Tasmara, hlm. 6-8 Ibid, hlm. 9-12 Ibid, hlm. 8 Dr. Muhammad Syafii Antonio, Muhammad Saw The Super Leader Super Manager, (Jakarta: Tazkia
Publishing, 2009), cet. 16, hlm. 81-83 Ibid, hlm. 91 Ibid, hlm. 94 Ibid, hlm. 91 Op.cit, Drs. H. Toto Tasmara, hlm. 13 Ibid, hlm. 12
25