kedudukan hukum pihak ketiga dalam perlawanan...
TRANSCRIPT
i
KEDUDUKAN HUKUM PIHAK KETIGA DALAM PERLAWANAN
TERHADAP SITA ATAS OBJEK BOEDEL PAILIT BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2013)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Riky Rizkian Harahap
NIM : 1113048000037
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438H/2017
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Riky Rizkian Harahap, NIM 1113048000037, “KEDUDUKAN HUKUM
PIHAK KETIGA DALAM PERLAWANAN TERHADAP SITA ATAS
OBJEK BOEDEL PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2013)”, Strata Satu (S1), Konsentrasi
Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2017 M, viii+75 halaman+lampiran 36.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum pihak ketiga dalam
perlawanan terhadap sita atas objek boedel pailit. Latar belakang skripsi ini adalah
keberatan atas dimasukannya aset boedel pailt yang sudah dibeli oleh pihak ketiga
dari debitur pailit, sehingga pihak ketiga melakukan perlawanan terhadap
penyitaan (derden verzet), namun hakim menolak dengan alasan perjanjian jual
beli tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Peneltian ini bersifat library
research, mengkaji putusan Mahkamah Agung Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2013
dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
mendukung penelitian. Tehnik Pengumpulan data mengunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Dalam penelitian ini menggunakan
tiga bahan hukum yang digunakan yakni, bahan hukum primer terdiri dari
Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, putusan Mahkamah Agung Nomor 156 K/Pdt.Sus-
Pailit/2013, dan aturan perundang-undangan lain yang terkait, bahan hukum
sekunder meliputi buku-buku teks, kamus hukum, dan prosiding. Hasil penelitian
mengemukakan bahwa jual beli yang dilakukan di bawah tangan (ABT) memiliki
kekuatan hukum yang sempurna seperti Akta Jual beli (AJB) apabila perjanjian
tersebut diakui isinya oleh para pihak yang bersangkutan, pengakuan di dalam
pengadilan menjadikan alat bukti pentunjuk oleh hakim sehingga, seharusnya jual
beli tersebut sah dan hakim menyatakan objek boedel pailit tersebut milik pihak
ketiga sehingga harus dikeluarkan dari daftar boedel pailit PT Dwimas Andalan
Bali.
Kata Kunci : Kedudukan Hukum, Jual Beli
Pembimbing I : Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Pembimbing II : M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.H.
Sumber Rujukan dari 1978 sampai 2014
v
KATA PENGANTAR
بسم هالل الرحمن الرحيم
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya yang tidak terhingga. Shalawat serta salam kita curahkan pada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman. Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil ‘alamin peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “KEDUDUKAN HUKUM
PIHAK KETIGA DALAM PERLAWANAN TERHADAP SITA ATAS
OBJEK BOEDEL PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2013)”. Penelitian ini merupakan salah satu
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah & Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peneliti dalam membuat penulisan ini mengalami berbagai kesulitan,
mengingat penulisan tersebut terbilang masih baru, namun hal ini dijadikan
motivasi untuk menggapai cita-cita lebih tinggi. Terciptanya penulisan ini tidak
terlepas dari pengetahuan keilmuan penulis dapatkan dari berbagai sumber. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini ingin penulis sampaikan dengan setulus hati
ucapan terima kasih kepada:
vii
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah & Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum & Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta
masukan atas penyusunan skripsi.
3. Ahmad Bahtiar, M.Hum. dan M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.H. Selaku dosen
Pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberikan arahan, saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Nahrowi, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini
5. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai & sayangi, Drs. Hamka Harahap,
M.M. dan Nurlalela yang menjadi motivasi serta turut mendukung, dan
medoakan untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Kakak peneliti, Dennisa Awaliyah Harahap, S.IKom dan Puspa Dwi Marlita
Harahap, S.E. yang sangat saya sayangi dan cintai telah mendukung,
memberikan semangat dan memberikan masukan kepada Penulis untuk
menyelesaikan penelitian ini.
7. Semua pihak seperjuangan penyusunan skripsi, khususnya kepada Lidana
Sulfi teman bertukar pendapat dalam penyusunan skripsi ini untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum serta mendoakan dan memberikan
semangat dan dukungan kepada Peneliti hingga penelitian ini terselesaikan.
viii
Akhir kata, atas jasa dan dukungan dari semua pihak yang telah membantu
& memberikan masukan kepada peneliti, semoga Allah memberikan balasan yang
berlipat. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan
akademis, bagi masyarakat serta bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Depok, 21 April 2017
Riky Rizkian Harahap
viii
DAFTAR PUSTAKA
PENGESAHAN PEMBIMBING ............................. Error! Bookmark not defined.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......... Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... i
ABSTRAK .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 9
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ................................................... 10
F. Metode Penelitian .............................................................................. 12
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 16
BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN KEPAILITAN
DI INDONESIA ........................................................................................ 18
A. Definisi dan Tujuan Kepailitan ......................................................... 18
B. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit .......................................... 21
C. Perlawanan Terhadap Penyitaan (Derden Verzet)............................. 29
BAB III HAK KEPEMILIKAN ATAS TANAH DI INDONESIA .................... 32
A. Ruang Lingkup Hukum Agraria ........................................................ 32
B. Macam-macam Hak Atas Tanah dan Rumah Susun ......................... 34
C. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya ................................ 39
D. Tindakan Hukum Blokir, Penyitaan dan Sita Umum ........................ 44
BAB IV KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON DALAM
DERDEN VERZET .................................................................................. 50
ix
B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung .......................................... 52
C. Kedudukan Hukum Pelawan Terhadap Sita Atas Objek
Boedel Pailit ...................................................................................... 54
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 67
A. Kesimpulan ........................................................................................ 67
B. Saran .................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 K Pdt.Sus-Pailit 2013 ........... 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepailitan dan penundaan atau pengunduran pembayaran (surseance)
lazimya dikaitkan dengan masalah utang piutang antara seseorang yang dapat
disebut Debitor dengan mereka yang mempunyai dana disebut Kreditor.
Dengan perkataan lain, antara Debitor dengan Kreditor terjadi perjajian utang
piutang atau perjanjian pinjam meminjam uang.1
Kepailitan berasal dari kata “pailit”. Pailit adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang
debitur yang telah jatuh tempo. Si pailit adalah debitur yang mempunyai dua
orang atau lebih krediturnya dan tidak mampu membayar satu atau lebih
utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.2
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para
kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena
kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah
mengalami kemunduran.
1 Man S, Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (Bandung: PT. Alumni, 2006), h. 1
2 Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno. Hukum Perusahaan dan Kepailitan, (Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, 2012), h. 214
2
Lembaga hukum kepailitan, bukan merupakan lembaga yang baru
sama sekali dalam sistem hukum Indonesia. Lembaga kepailitan telah ada
sejak zaman Hindia Belanda yang diatur dalam Verordening op het
Faillissement enden Surseance van Betaling de Europeanen in Nederlands
Indie (Faillissement Verordening/FV), Staatsblad 1905 Nomor 217 junto
Staatsblad 1906 nomor 348.. Pada tanggal 22 April 1998 Pemerintah
mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti 3Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998, tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 87 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3761). Dalam waktu berikutnya, Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tersebut
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 135).4
Ketentuan dalam pasal 12 UUK mengatur bahwa karena
pengangkatannya, Kurator demi hukum berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan pemberesan harta pailit. Yang dimaksud dengan harta pailit
adalah seluruh kekayaan Debitor Pailit yang diperoleh selama kepailitan
tersebut, selain bagian kekayaan Debitor Pailit sebagaimana termaktub dalam
pasal 20 UUKPKPU. Akibat dari kepailitan tersebut berdasarkan pasal 22
UUKPKPU, Debitor Pailit demi hukum kehilangan kekayaannya yang
3 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan.
(Jakarta: Prenada Media Grup, 2008). h. 7
4 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. h. 8
3
termasuk dalam harta pailit dan hak untuk menguasai, mengurus dan
mengalihkan kekayaanya yang termasuk dalam harta pailit dan hak untuk
menguasai, mengurus dan membereskan harta pailit tersebut beralih ke
Kurator.5
Kurator memulai pemberesan harta pailit setelah harta pailit dalam
keadaan tidak mampu membayar dan usaha debitur dihentikan. Kurator
memutuskan cara pemberesan harta pailit dengan selalu memerhatikan nilai
terbaik pada waktu pemberesan. Pemberesan dapat dilakukan sebagai satu
atau lebih kesatuan usaha (going concern) atau atas masing-masing harta
pailit. Kurator melakukan pemberesan dengan penjualan dimuka umum atau
apabila dibawah tangan, dengan pesetujuan hakim pengawas.6
Dalam kasus ini PT DWIMAS ANDALAN BALI yang sudah
dinyatakan pailit dalam putusan No.20/PAILIT/2011/PN.NIAGA.Sby
Permasalahan muncul ketika kurator dalam menjalankan tugasnya
membereskan harta pailit debitur yaitu menetapkan Daftar Harta Pailit PT
Dwimas Andalan Bali yang ternyata tersebut di dalamnya memuat harta
berupa unit-unit apartemen milik Para Pelawan/Pihak Ketiga, yaitu berupa
beberapa unit apartemen yang di beli dari PT Dwimas Andalan Bali. Proses
5 Pane, Marjan E. 2004, Sekilas Tetang Tugas dan Wewenang Kurator. Emmy
Yuhassarie, Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum, Pusat Pengkajian Hukum,
Jakarta. H. 160
6 Imran Nating. Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, ed-1 cet-1 2004), h. 85
4
jual beli atas unit-unit apartemen antara Para Pelawan dengan PT Dwimas
Andalan Bali tersebut antara lain:
1. Jual beli dilakukan dengan penuh itikad baik.
2. Jual beli dilakukan sejak tahun 2008 s/d 2009 jauh sebelum putusan pailit
dibacakan yakni baru pada tanggal 11 Agustus tahun 2011.
3. Telah dilakukan pembayaran lunas yang telah ditegaskan pula di dalam
surat pernyataan tertulis oleh Turut Terlawan I sebagai penjual yang
menyatakan bahwa jual beli telah dibayar lunas dilakukan melalui PPJB.
4. Barang berupa unit-unit apartemen telah diserahkan penguasaan dan
kepemilikannya secara nyata (fietelijkheid) kepada Para Pelawan.
5. Para Pelawan telah mendapatkan hasil dari usaha atas barang yang dibeli
oleh Para Pelawan tersebut. Tidak terjadi sengketa jual beli atau sengketa
kepemilikan diantara PT Dwimas Andalan Bali (Turut Terlawan) sebagai
penjual dengan Para Pelawan sebagai pembeli.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa dengan demikian sangat jelas
dan terang benderang bahwa seharusnya unit-unit apartemen sebagaimana
Para Pelawan/Pihak Ketiga sebutkan di atas tersebut telah sah menjadi milik
Pihak Ketiga. Hal tersebut sebagaimana diatur dan ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 1458 BW (KUHPerdata) yang menegaskan:
“Jual beli telah dianggap terjadi antara kedua belah pihak, segera
setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut
beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya
belum dibayar”
5
Faktanya, dalam jual beli tersebut selain harganya telah disepakati dan
pembayarannya telah dilakukan, juga telah terjadi serah terima barang yang
diperjual belikan secara nyata dari penjual kepada pembeli. Bahwa,
dimasukkannya harta milik Para Pelawan/Pihak Ketiga berupa unit-unit
apartemen ke dalam Daftar Harta Pailit PT Dwimas Andalan Bali oleh
Kurator secara sepihak tanpa dilakukannya verifikasi asset dengan melibatkan
Para Pelawan/Pihak Ketiga terlebih dulu benar-benar telah merugikan hak dan
kepentingan hukum Para Pelawan/Pihak Ketiga. Maka dengan demikian Para
Pelawan/Pihak Ketiga Mengajukan Perlawanan Terhadap Penyitaan. Namun
anehnya Hakim menolak gugatan tersebut dengan alasan bahwa pemohon
tidak mempunyai kedudukan hukum sehingga perlawanan tersebut tidak dapat
di terima atau NO (Niet On Vekrlard). Bahwa perlawanan pihak ketiga
terhadap penyitaan diatur Pasal 195 (6 dan 7), HIR mengatur:
1. Perlawanan terhadap sita eksekutorial.
2. Yang diajukan oleh terlawan/tersita.
3. Yang diajukan oleh pihak ketiga atas dasar hak milik.
4. Perlawanan diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang melaksanakan
eksekusi.
5. Adanya kewajiban dari ketua Pengadilan Negeri yang
memeriksa/memutus perlawanan untuk melaporkan pemeriksaan/putusan
6
perkara perlawanan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan
eksekusi.7
Kedudukan hukum Pihak Ketiga diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat
(1) (3) dan Pasal 57 ayat (2), (3), (4) dan (6) UU Nomor 37 Th. 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU, dimana secara essensial seseorang dapat dianggap
sebagai “Pihak Ketiga” jika dia berkedudukan sebagai Pemilik suatu barang
yang dikuasai oleh Kurator. Padahal seperti yang sudah di jelaskan
sebelumnya bahwa telah terjadi jual beli yang telah di sepakati dengan penuh
itikad baik dan dilakukan pada tahun 2008-2009 jauh sebelum putusan pailit
di putuskan yang pada tanggal 11 Agustus 2011.
Telah di kemukakan pula, bahwa pelawan untuk dapat dinyatakan
sebagai pelawan yang benar, harus merupakan pemilik dari barang yang
disita.8 Dengan demikian, Para Pelawan sebagai pembeli beritikad baik atas
unit-unit apartemen Bali Kuta Residence dari PT Dwimas Andalan Bali sudah
seharusnya mendapatkan perlindungan hukum. Hal tersebut sebagaimana
diatur dan ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yang menegaskan:
7 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek. (Bandung: Alumni, 1979), h. 13
8 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek. h. 138
7
“Hak pihak ketiga atas benda sebagaimana dimaksud ayat (1) yang
diperoleh dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma harus
dilindungi”.
Berdasarkan Pasal 379 RV. Pihak Ketiga yang hendak mengajukan
perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup hanya mempunyai
kepentingan saja tetapi harus nyata-nyata telah dirugikan haknya.9 Faktanya
Para Pelawan bukan hanya memiliki kepentingan saja namun dengan adanya
penyitaan yang di lakukan oleh kurator telah merugikan hak Para Pelawan,
Para Pelawan memperoleh unit-unit apartemen tersebut dilakukan dengan
itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma, tetapi melalui jual beli untuk
investasi dan pembeliannya telah dibayar lunas. Bahwa berdasarkan uraian
tersebut di atas dapat dikatakan memiliki kapasitas/kualifikasi sebagai
“Pelawan yang sah dan benar menurut hukum”.
Berdasakan kasus di atas menunjukan masih ada penegak hukum yang
tidak mengetahui kedudukan hukum pihak ketiga. Dari uraian latar belakang
tersebut peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian Skripsi Berjudul
“KEDUDUKAN HUKUM PIHAK KETIGA DALAM PERLAWANAN
TERHADAP BOEDEL PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (Studi Kasus Putusan Pengadilan
Niaga Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2013)”
9 Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, cet-1, 1998), h. 58
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya,
maka identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Tinjauan umum pengaturan kepailitan di Indonesia.
2. Peran kurator dalam pemberesan harta debitor pailit yang berada dalam
pihak ketiga.
3. Mekanisme pemberesan harta pailit.
4. Kedudukan hukum pihak ketiga dalam perkara kepailitan.
5. Upaya hukum pihak ketiga yang memiliki itikad baik agar mendapatkan
haknya.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait perlawanan pihak
ketiga. Maka penelitian ini difokuskan mengkaji tentang kedudukan
hukum Pelawan/Pihak Ketiga dalam perlawanan terhadap boedel pailit
berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Niaga Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2013).
2. Rumusan Masalah
Rumusan tersebut peneliti rinci dalam pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimana kedudukan hukum pihak ketiga dalam perkara kepailitan?
9
b. Bagaimana upaya hukum pihak ketiga yang memiliki itikad baik agar
mendapatkan haknya?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitan
Penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah bertujuan untuk
mengetahui mengenai kedudukan hukum pihak ketiga dalam perkara
kepailitan. Sedangkan Secara Khusus Penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui kedudukan hukum pihak ketiga dalam perkara
kepailitan.
b. Untuk mengetahui cara pihak ketiga yang memiliki itikad baik
mendapatkan haknya
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penulisan hukum yang telah diketahui, maka
secara garis besar, manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua
yaitu:
a. Manfaat Akademis
Secara akademis diharapkan penelitian ini akan memberikan
manfaat menambah pengetahuan mengenai kepailitan terutama
mengenai kedudukan pihak ketiga dalam perkara kepailitan.
10
b. Manfaat Praktis
Secara Praktis diharapkan hasil penelitian ini menjadi masukan
dalam perkembangan hukum dan khususnya bagi penegak hukum atau
praktisi dalam perkara kepailitan.
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Peneliti telah melakukan penelusuran bahwa telah banyak penelitian
yang berkaitan dengan kepailitan baik dalam bentuk skripsi, tesis, maupun
disertasi. Penelitian terkait hukum kepailitan pernah ada di antaranya :
Skripsi oleh I Komang Indra Kurniawan, Ngakan Ketut Dunia, Ketut
Sukranatha “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga (Natuurlijke
Person) Dalam Hukum Kepailitan Terkait adanya Actio Pauliana” Skripsi
disahkan tahun 2015. Di dalam skripsi ini dibahas mengenai perlindungan
hukum terhadap pihak ketiga (Natuurlijke Persoon) terkait adanya Actio
Pauliana untuk membatalkan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan
dilakukan oleh Debitor untuk kepentingan Debitor tersebut yang dapat
merugikan kepentingan para Kreditornya. Sedangkan dalam skripsi peneliti
membahas mengenai kedudukan pihak ketiga dalam perlawanan terhadap
boedel pailit.
Skripsi Ria Marsella “Kedudukan Hukum Pemohon Pailit Pada
Peradilan di Indonesia Bedasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Niaga Nomor 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/
11
PN.Niaga.Jkt.Pst)”. Di dalam skripsi ini dibahas mengenai keabsahan
kedudukan hukum seorang nasabah dalam mengajukan pailit terhadap PT
Andalan Artha Advisindo, Sedangkan penelitian penulis membahas mengenai
kedudukan pihak ketiga dalam perlawanan terhadap boedel pailit.
Buku Imran Nating “Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam
Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit”. Buku ini membahas mengenai
kewenangan dan tanggung jawab kurator dalam melaksanakan tugas
pengurusan dan pemberesan harta pailit, serta upaya yang dapat dilakukan
oleh kurator terhadap debitur yang tidak koperatif. Sedangkan dalam
pembahasan skripsi peneliti membahas mengenai kedudukan pihak ketiga
dalam perlawanan terhadap boedel pailit.
Jurnal Meiska Veranita “Kedudukan Hukum Penjamin Perorangan
(Personal Guarantor) Dalam Hal Debitur Pailit Menurut Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang”. Jurnal ini membahas mengenai bagaimana kedudukan
hukum seorang penjamin dalam hal debitur pailit. Sedangkan peneliti
membahas mengenai kedudukan pihak ketiga dalam perlawanan terhadap
boedel pailit.
Dengan ini sepanjang penelusuran peneliti, penelitian yang dilakukan
penulis, belum ada yang melakukan penelitian mengenai kedudukan hukum
pihak ketiga dalam kepailitan dengan skripsi berjudul “KEDUDUKAN
HUKUM PIHAK KETIGA DALAM PERLAWANAN TEHADAP BOEDEL
PAILIT BEDASARAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004
12
TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG UTANG (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga
Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2013)” merupakan penelitian yang belum pernah
diangkat sebelumnya sebagai judul skripsi.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.10
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang
bersangkutan.11
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum
10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, cet-III 1986), h. 42
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. h. 43
13
(sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat),
maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif,
yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penetapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif12
yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan serta putusan pengadilan terkait kedudukan pihak
ketiga dalam penelitian ini.
2. Bahan Hukum
Untuk memecahkan permasalahan hukum yang peneliti bahas,
diperlukan sumber-sumber penelitian hukum sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.13
Dalam
penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah
Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, putusan pengadilan terkait dan aturan
perundang-undangan lain yang terkait dengan pokok permasalah
penelitian ini.
b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
12 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . (Malang:
Bayumedia Publishing, Cet-II 2006), h. 295
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-9 2014), h. 141
14
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-hukum dapat
berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat atau
laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan
topik
3. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang di gunakan oleh peneliti adalah
menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang
digunakan adalah pedekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu juga
digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis
ilmiah yang di perlukan guna mempelajari analisis ilmiah yang diperlukan
dalam penelitian normatif,14
yakni pendekatan kasus (case approach), dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-
undangan dilakukan dalam penelitian ini untuk meneliti peraturan yang
berkaitan dan terkait dengan kedudukan hukum para pelawan/pihak ketiga
dalam perkara dimasukkannya harta para pelawan ke daftar harta boedel
pailit akibat dipailitkannya PT DWIMAS ANDALAN BALI berdasarkan
14 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . (Malang:
Bayumedia Publishing, Cet-II 2006), h. 295
15
hirarkinya. Pendekatan kasus dipakai peneliti untuk meneliti kasus yang
menjadi kasus yaitu kedudukan para pelawan/pihak ketiga terhadap dalam
kepailitan PT Dwimas Andalan Bali, dengan menggunakan tipe penelitian
ini akan dapat diungkapkan gambaran yang mendalam dan mendetail
tentang suatu situasi atau objek15
kasus yang diteliti serta Ratio Recidend
yaitu alasan alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai
kepada putusannya.16
Dan pendekatan konsep dilakukan untuk keperluan
penelitian berkaitan dengan kedudukan hukum pelawan/pihak ketiga
terhadap kepailitian.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
sumber non-hukum yang telah dikumpulkan berdasarkan topik
permasalahan yang telah di rumuskan dan di klasifikasi menuru sumber
dan hirarkinya untuk dikaji secara komprehensif17
.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian, baik aturan
perundang-undangan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
15 Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Peneltian Gabungan, (Jakarta:
Kencana, cet-1 2014), h. 339
16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-9 2014), h. 158
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 392
16
permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.18
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah secara deduktif,
dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan
diketahui kedudukan hokum para pelawan/pihak ketiga dalam perkara
dimasukkannya daftar harta pailit PT. Dwimas Andalan Bali milik para
pelawan.
6. Metode Penulisan
Metode Penulisan mengacu kepada buku pedoman skripsi yang di
keluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2012. Metode ini lebih
menekankan kearah penelitian deduktif.
G. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisikan
mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Pembatasan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Tinjauan (Review) Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan
Sistematika Pembahasan.
18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 393
17
BAB II: TINJAUAN UMUM PENGATURAN KEPAILITAN DI
INDONESIA
Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai Definisi
Kepailitan dan Tujuan Kepailitan di Indonesia, Pengurusan Harta
Pailit, Akibat-akibat Hukum Putusan Pailit, dan Perlawananan
Terhadap Penyitaan.
BAB III: HAK KEPEMILIKAN ATAS TANAH DAN RUMAH SUSUN
DI INDONESIA
Pada bab ini peneliti membahas mengenai Ruang Lingkup Hukum
Agraria, Macam-macam Hak Atas Tanah dan Rumah Susun,
Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, dan Tindakan
Hukum Blokir, Sita, dan Sita Umum
BAB IV: KEDUDUKAN HUKUM PELAWAN DALAM (DERDEN
VERZET)
Dalam bab ini peneliti membahas mengenai Kasus Posisi No. 156
K/Pdt.Sus-Pailit/2013, Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
Dalam Memberikan Putusan Nomor 156 K Pdt.Sus-Pailit 2013
dan Kedudukan Hukum Pelawan Terhadap Sita Atas Objek
Boedel Pailit
BAB V: PENUTUP
Bab ini adalah bab terakhir dibahas mengenai Kesimpulan dan
Kritik dan Saran.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM PENGATURAN KEPAILITAN DI INDONESIA
A. Definisi dan Tujuan Kepailitan
1. Definisi Kepailitan
Secara etimologi, pailit berasal dari Perancis “failite” yang berarti
kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah
“failliet”.1 Oleh sebab itu, orang yang mogok atau macet atau berhenti
membayar utangnya dalam Bahasa Perancis disebut lefailli. Kemudian
dalam Bahasa Inggris dikenal istilah “to fail”, dan dalam Bahasa Latin
dipergunakan istilah “fallire”. Sedangkan dalam bahasa Belanda
digunakan istilah yang sama yaitu “failliet” dan dalam hukum Anglo
America, undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act.2
Menurut Poerwadar minta “pailit” artinya “bangkrut”; dan
“bangkrut” artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan,
took, dan sebagainya). Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily,
bankrupt artinya bangkrut, pailit dan bankcrupty artinya kebangkrutan,
kepailitan. Sedangkan menurut UU No. 37 Tahun 2004 yang dimaksud
dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
1 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2007), h. 4
2 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. (Jakarta: Kencana, cet-1 2009), h. 71
19
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
(Pasal 1 ayat 1). Keadaan Perusahaan debitur yang4 berada dalam keadaan
berhenti membayar utangnya tersebut disebut dengan “Insolvable”5
2. Tujuan Kepailitan
Sebagaimana dikutip oleh Jordan et al. dari buku The Early
History of Bankruptcy Law, yang ditulis oleh Louis E. Levinthal, tujuan
utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai berikut:
All bankruptcy law, however, no meter when or where devisd and
anacted, has at least two eneral objects in view. It aims, fist, secure
and equitable devision of the insolvent debtor’s property among all
hhis creditors, and, in the second place, to prevent on the part of
the insolvent debtor conduct detrimental to the interest of his
creditors. In other words, bankruptcy law seek to protect the
creditor, first, from one another and, secondly, from their debor. A
third object, the protection of the honest debtor from his creditors,
by means of the discharge, is sought to be attained in some of the
system of bankruptcy, but this is by no means a fundamental
feature of the law.
Dari hal yang dikemukakan di atas itu dapat diketahui tujuan-
tujuan dari hukum kepailian (bankruptcy law), adalah:
a. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan
Debitor diantara para Kreditornya
4 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Indonesia. (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013), h. 23
5 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Indonesia. h. 24
20
b. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang6
dapat merugikan kepentingan Kreditor
c. Memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari
para Kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan hutangnya.7
3. Syarat dan Putusan Palitan
Didalam Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan dalam yakni:
1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan
oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
3. Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
4. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
6 Sutan Remy Sjahdeini,. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h.37
7 Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998. h.38
21
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal.
5. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
B. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit
Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, debitur
pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta
kekayaannya yang telah dinyatakan pailit (harta pailit). Selanjutnya
pelaksanaan pengurusan atau pemberesan atas harta paili tersebut diserahkan
kepada Kurator yang diangkat oleh Pengadilan, dengan diawasi oleh seorang
Hakim Pengawas yang di tunjuk dari Hakim Pengadilan.
1. Pengurusan Harta Pailit
Tugas utama Kurator adalah melakukan pengurusan dan
pemberesan harta pailit. Kurator diangkat oleh Pengadilan bersamaan
dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Dalam hal debitur atau
kreditur yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan usul
22
pengangkatan Kurator lain kepada Pengadilan, maka Balai Harta
Peninggalan bertindak selaku Kurator.8
Kurator mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas
pengursan dan/atau pemberesan harta pailit (Pasal 67 Ayat [1]). Menurut
Jefrry Hoff, tujuan kepailitan adalah untuk membayar hak para kreditor
yang seharusnya mereka peroleh sesuai dengan tingkat urutan tuntutan
mereka. Oleh karena itu, kurator tidak hanya harus bertindak untuk
kepentingan yang terbaik bagi kreditor, tetapi ia juga harus memerhatikan
kepentingan debitur pailit. Kepentingan-kepentingan ini tidak boleh
diabaikan sama sekali.9
Tahap pengurusan harta pailit adalah jangka waktu sejak debitur
mengajukan rencana perdamaian, di mana rencana perdamaian diterima
oleh kreditor dan dihomologasi oleh Majelis Hakim yang mengakibarkan
kepailitan diangkat, kurator antara lain harus melakukan tindakan sebagai
berikut.
a. Mendata, melakukan verifikasi atas kewajiban debitur pailit. Verifikasi
dari kewajiban debitur pailit memerlukan ketelitian dari kurator. Baik
debitur pailit maupun kreditor harus sama-sama didengar untuk dapat
8 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, ed-1 cet-3 2002), h. 63
9 Imran Nating, Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, ed-1 cet-1 2004), h. 71
23
menentukan status, jumlah keabsahan utang iutang antara debitur pailit
dengan para kreditornya.
b. Mendata, melakukan penelitian asset debitur pailit termasuk tagihan-
tagihan yang dimiliki debitur pailit sehingga dapat ditentukan langkah-
langkah yang harus diambil oleh kurator untuk menguangkan tagihan-
tagihan tersebut.
Kurator harus melindungi keberadaan debitur pailit dan berusaha
mempertahankan nilai kekayaan tersebut. Setiap tindakan yang dilakukan
di luar kewenangannya, harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dari Hakim Pengawas, sebagai contoh melakukan penjualan kekayaan
debitur pailit atau menggunakan kekayaan debitur pailit.10
2. Pemberesan Harta Pailit
Menurut ketentuan 168 ayat (1) FV, bila dalam rapat pencocokan
utang (verifikasi) tidak ditawarkan perdamaian, atau bila perdamaian yang
ditawarkan telah ditolak, atau bila pengesahan perdamaian tersebut oleh
Pengadilan dengan pasti telah ditolak, maka demi hukum harta pailit itu
berada dalam keadaan tidak mampu membayar.
Tindakan selanjutnya terhadap harta Debitor pailit itu adalah
melakukan likuidasi yang dilakukan oleh Kurator. Atas hasil likuidasi itu
kurator mendistribusikannya kepada masing-masing Kreditor tersebut
10 Imran Nating. Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, h. 73
24
yang piutangnya telah diakui dalam proses pencocokan atau verifikasi
utang piutang sesuai dengan urutan tingkat masing-masing piutang mereka
sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang. Tindakan Kurator tersebut
disebut tindakan pemberesan harta pailit.11
Pasal 184 (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan,
dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 15 ayat (1), kurator harus
memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit (setelah dilakukan
pencocokan piutang) tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan
debitor apabila:
a. Usul untuk mengurus perusahaan debitor tidak diajukan dalam12
jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak,
atau
b. Pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan.
Di samping ketentuan Pasal 184 ayat (1) UUK-PKPU tersebut,
perlu pula diperhatikan Pasal 69 ayat (2) UUK-PKPU menentukan, dalam
melaksanakan tugasnya, kurator:
11 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 463
12 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, cet-4 2010), h. 279
25
a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyapaikan
pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ
debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau
pemberitahuan demikian dipersyaratkan.
b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka
(dengan tujuan) meningkatkan nilai harta pailit.13
Kurator memulai pemberesan harta pailit setelah harta pailit dalam
keadaan tidak mampu membayar dan usaha debitur dihentikan. Ia
memutuskan cara pemberesan harta pailit dengan selalu memerhatikan
nilai terbaik pada waktu pemberesan. Pemberesan dapat dilakukan sebagai
satu atau lebih kesatuan usaha (going concern) atau atas masing-masing
harta pailit. Kurator melakukan pemberesan dengan penjualan dimuka
umum atau apabila di bawah tangan, dengan persetujuan Hakim
Pengawas. Dalam melaksanakan penjualan harta debitur pailit, kurator
harus memerhatikan hal sebagai berikut:
a. Harus menjual untuk harga paling tinggi.
b. Harus memutuskan apakah harta tertentu harus dijual segera dan harta
yang lain harus disimpan terlebih dahulu karena nilainya akan
meningkat di kemudian hari.
c. Harus kreatif dalam mendapatkan nilai tertinggi atas harta pailit.
13 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004, h. 280
26
Kurator dalam melaksanakan pemberesan harta pailit memiliki
tugas dan kewenangan sebagai berikut.
a. Setelah kepailitan dinyatakan dibuka kembali, kurator harus seketika
memulai pemberesan harta pailit.
b. Memulai pemberesan dan menjual harta pailit tanpa perlu memperoleh
persetujuan atau bantuan kreditur.14
c. Memutuskan tindakan apa yang dilakukan terhadap benda yang tidak
lekas atau sama sekali tidak dapat dibereskan.
d. Menggunakan jasa bantuan debitur pailit guna keperluan pemberesan
harta pailit, dengan memberikan upah.
Kurator membagikan hasil pemberesan harta pailit kepada kreditor
sesuai dengan daftar pembagian. Pasal 174 UUK mengatur bahwa pada
setiap waktu, bila menurut pendapat Hakim Pengawas tersedia cukup uang
tunai, ia memerintahkan suatu pembagian kepada para kreditor yang
piutangnya telah mendapatkan pencocokan. Kurator tidak perlu menunggu
sampai harta pailit telah habis dijual. Dalam hal ini kurator harus bijaksana
dalam penetuan cukup tidaknya uang tunai yang tersedia karena:
a. Sesuai ketentuan dalam Pasal 173 UUK, jika diangap perlu, maka
masih tetap dapat dilaksanakan pencocokan utang piutang, walaupun
tenggang waktu pencocokan utang piutang sesuai Pasal 10 ayat (1)
UUK telah berakhir.
14 Nating, Imran. Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, ed-1 cet-1 2004), h. 85
27
b. Sesuai Pasal 177 UUK, semua biaya kepailitan pada umumnya harus
dibebankan pada tiap bagian harta pailit.15
3. Tanggung Jawab Kurator Atas Pengurusan dan Pemberesan Harta
Pailit
Dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, Kurator
secara hukum tidak berjalan sendiri (Pasal 13 ayat 1 UUK), Karena selain
kurator, Pengadilan Niaga juga mengangkat Hakim Pengawas
(Supervicory Judge) untuk melakukan pengawasan terhadap Kurator
dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit dengan kewenangan yang
diatur dalam Pasal 63 UUK. Pada prinsipnya, tugas pengawasan ini, pada
satu sisi dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga agar Kurator tetap
bekerja dalam koridor hukum yang telah16
ditetapkan oleh undang-undang.
Sehingga terhadap tugas yang dibebankan oleh UU Kurator dapat
melaksanakan tugasnya untuk kepentingan harta pailit secara, transparan
bertanggung jawab dan tidak memihak.17
Menurut sifatnya kurator dapat melakukan perbuatan melawan
hukum. Oleh karena itu, ia juga bertanggung jawab pribadi terhadap
15 Nating, Imran. Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, h.88
16 Ricardo Simanjuntak, Seminar Sehari Revitalisasi Tugas dan Wewenang
Kurator/Pengurus, Hakim Pengawas dan Hakim Niaga Dalam Rangka Kepailitan, (editor, Emmy
Yuhassarie, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2003) Kemandirian Tugas Kurator Dalam
Melakukan Pengurusan dan Pemberesan Dalam Kepailitan, h. 23
17 Ricardo Simanjuntak, Seminar Sehari Revitalisasi Tugas dan Wewenang
Kurator/Pengurus, Hakim Pengawas dan Hakim Niaga Dalam Rangka Kepailitan, Kemandirian
Tugas Kurator Dalam Melakukan Pengurusan dan Pemberesan Dalam Kepailitan, h. 24
28
kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Hal ini jika tindakan kurator
yang merugikan harta pailit dan pihak ketiga tersebut merupakan tindakan
diluar kewenangan kurator yang diberikan padanya oleh undang-undang,
tidak dapat dibebankan pada harta pailit dan merupakan tanggung jawab
kurator secara pribadi.
Setiap perbuatan kurator yang merugikan terhadap harta pailit
ataupun dalam arti merugikan kepentingan kreditor, baik secara disengaja
maupun tidak disengaja oleh kurator maka kurator harus dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 72 UU Kepailitan, antara lain:
“Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan/kelalaian dalam
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang
meyebabkan kerugian terhadap harta pailit”
Ini berarti kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan
tidak dapat bertindak sewenang-wenang, karena apabila ada perbuatan
kurator yang merugikan harta pailit, maka harta pribadi kurator turut
bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Sebagai bentuk pertanggung
jawabnnya, setiap 3 bulan, kurator harus menyampaikan laporan kepada
hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan
tugasnya18
18 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 151
29
Sebaliknya, tindakan kurator yang dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dan
dilakukan dengan itikad baik. Namun, karena hal-hal di luar kekuasaaan
kurator ternyata merugikan harta pailit, maka tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pribadi kepada kurator dan kerugian
tersebut dapat dibebankan pada harta pailit.19
C. Perlawanan Terhadap Penyitaan (Derden Verzet)
Pada asasnya suatu putusan itu hanya mengikat para pihak yang
berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 B.W). Memerhatikan
Pasal 1917 KUHPerdata, pada prinsipnya putusan hakim hanyalah mengikat
terbatas pada para pihak yang berperkara. Artinya, tidak mengikat terhadap
pihak ketiga. Namun demikian, dalam praktik peradilan perdata tidak jarang
terjadi suatu putusan yang merugikan pihak yang pada mulanya tidak
memiliki kepentingan dengan perkara yang bersangkutan. guna melindungi
pihak ketiga yang dirugikan akibat suatu utusan hakim dapat melakukan
perlawanan yang dikenal dengan istilah derden verzet. Oleh karena itu,
sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 378 RV:20
19 Nating, Imran. Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004). Hal 115
20 Heny Mono. Praktik Berperkara Perdata: Sebobrok apa pun kualitas sistem
penegakan hukum itu, Indonesia tetaplah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan
negara kekuasaan (machstaat). (Malang: Bayumedia, cet-1 2007), h. 141
30
“Pihak-pihak yang berhak mengajukan perlawanan terhadap suatu
putusan yang merugikan hak-hak mereka, jika mereka secara pribadi
atau wakil mereka yang sah menurut hukum, ataupun pihak yang
mereka wakili tidak dipanggil di siding Pengadilan, atau karena
penggabungan perkara atau campur tangan dalam perkara pernah
menjadi pihak.”
Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan
yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan
cara biasa, sebagaimana tertuang dalam ketentuan (Pasal 379 RV):
“Perlawanan ini diperiksa oleh hakim yang menjatuhkan putusan itu.
Perlawanan diajukan dengan suatu pemanggilan untuk menghadap
sidang terhadap semua pihak yang telah mendapat keputusan dan
peraturan umum mengenai cara berperkara berlaku dalam perlawanan
ini”21
Pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan terhadap suatu
putusan tidak cukup hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi harus nyata-
nyata dirugikan hak-haknya. Apabila perlawanan itu dikabulkan, maka
putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga (Pasal
382 RV).22
Dalam Pasal 195 (6), (7) H.I.R., serta Pasal 207 dan Pasal 208 H.I.R.
diatur mengenai perlawanan terhadap sita eksekutorial, baik yang diajukan
oleh yang terkena eksekusi/tersita maupun yang diajukan oleh pihak ketiga.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir maupun sita revindicatoir
tidak berlaku dalam H.I.R.
21 Ropaun Rambe. Hukum Acara Perdata Lengkap. (Jakarta: Sinar Grafika, cet-7 2013),
h. 82
22 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen
Litigasi. (Jakarta: Kencana cet-2 2013), h. 99 b
31
Ketentuan Pasal 195 (6) dan (7) H.I.R tersebut di atas mengatur:
1. Perlawanan terhadap sita eksekutorial.
2. Yang diajukan oleh yang terkena eksekusi/tersita;
3. Yang diajukan oleh pihak ketiga atas dasar hak milik;
4. Perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
melaksanakan eksekusi;
5. Adanya kewajiban dari Ketua Pengadilan Negeri yang
memeriksa/memutus perlawanan itu untuk melaporkan atas pemeriksaan/
putusan perkara perlawanan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
memerintahkan eksekusi;
Meskipun demikian, dalam praktik banyak perkara perlawanan pihak
ketiga terhadap sita jaminan yang diajukan kepada pengadian, perihal upaya
hukum dalam memeriksa dan memutus perkara perlawanan ini dilakukan
menurut acara biasa, sedang dasar pengajuannya dilakukan dengan
berpedoman kepada pasal-pasal R.V. yang mengatur persoalan tersebut.
Untuk perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, baik hal itu yang
diajukan terhadap sita eksekutorial maupun sita jaminan, kepada pihak ketiga
tersebut disebut pelawan sedang kepada pihak penggugat semula disebut
terlawan penyita bagi tergugat semula disebut terlawan tersita.23
23 Retnowulan Susanti dan Iskandar Oeripkartawinaata. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek. (Bandung: Maju Mundur, cet-8 1997), h. 175
32
BAB III
HAK KEPEMILIKAN ATAS TANAH DI INDONESIA
D. Ruang Lingkup Hukum Agraria
1. Pengertian Agraria
Dari berbagai kepustakaan lama, sering dijumpai bahwa perkataan
“Agraria” berasal dari bahasa Yunani/Grik Purba “Ager”, yang berarti
Ladang atau Tanah. Dalam Bahasa Latin “Agrarius”, yaitu apa-apa yang
berhubungan dengan masalah tanah. Dus berarti perladangan pertanahan.
Dari Bahasa, “Akker”, yang berarti lading, tanah pertanian. Dari Bahasa
Inggris, “Land”, yang berarti Tanah/Ladang. Dalam Black Law
Dictionary, Agrarian Law dijelaskan sebagai:
“In Roman Law” Law for the distribution among the people by
public authority, of the land constitution the public domein, usually
territory, of the land conquered from an enemy (Hukum untuk
pembagian tanah milik negara, biasanya rampasan perang diantara
rakyatnya, oleh penguasa negara).1
Apabila menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agaria ), maka
pengertian Agraria, dapat berarti luas dan/sempit. Dalam arti luas, yang
diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang meliputi Bumi, Air dan Ruang
Angkasa. Sedang pengertian agraria dalam arti sempit, diatur dalam Pasal
1 Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, (Yogyakarta: Graha Ilmu, ed-1 cet-1 2011),
h. 3
33
4 ayat (1) UU Pokok Agaria, yaitu tanah. Dalam Pasal 4 ayat (1)
menentukan, bahwa adanya macam-macam Hak atas permukaan bumi
yang disebut tanah tersebut. Jadi pengertian Agraria dalam arti sempit,
adalah permukaan yang disebut tanah.2
2. Pengertian Tanah
S. Rownton Simpson 1967 hal 5 dalam buku Land Law and
Registration. Bahwa tanah itu tidak bergerak, sehinggga secara fisik tidak
dapat diserahkan/dipindah/dibawa dan kedua tanah itu adalah bersifat
abadi, seterusnya dikatakan:
“in its original definition in English Law. Land is not regarder as
comprising merely the surface: it is deem to include everything
which is fixed to it, and also the air which lies above it right up
into the sky, and whatever lies beloow it right down into the centre
of the earth, it includes land covered with water and so even the
sea-bed is land. Land is as unchangeable in extend as the earth
itself: if cannot be increased or decreased or destroyed as can all
other from of wealth.”
Dari uraian tersebut diatas jelaslah bahwa pengertian “land”
menurut hukum inggris adalah pengertian yang kita kenal dengan
pengertian agrarian karena mencangkup bumi, air dan ruang angkasa dan
bahwa menurut hukum Indonesia UU Pokok Agaria hanya bagian terkecil
dari bumi tersebut.3
2 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria: Pertanahan Indonesia, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, cet-1 2003), h. 3
3 A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia: (berdasarkan PP No. 24 Tahun
1997) dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (PP No. 33 Tahun 1998),
(Bandung: Mandar Maju, cet-4 2009), h. 21
34
E. Macam-macam Hak Atas Tanah dan Rumah Susun
1. Hak Milik
Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UU Pokok Agaria adalah hak
turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Turun-temurun artinya Hak
Milik atas tanah dapat berlangsung terus menerus selama pemiliknya
masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka Hak Miliknya
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai
subjek Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas
waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak
mudah hapus. Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang
kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah
yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak
berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan4 penggunaan tanahnya lebih
luas bila dibandngkan dengan hak atas tanah yang lain. Hak Milik atas
tanah harus memerhatikan fungsi sosial atas tanah, yaitu dalam
menggunakan tanah tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain,
penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya,
adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
4 Urip Santoso, Hukum Agaria: Kajian Komprehensif. (Jakarta: Kencana, ed-1 cet-3
2013), h. 92
35
umum, dan tanah harus dipelihara dengan baik agar bertambah kesuburan
dan mencegah kerusakan.5
2. Hak Guna Bangunan
Pengertian Hak Guna Bangunan dijelaskan dalam Pasal 35 UU
Pokok Agaria memberikan pengertian Hak Guna Bangunan, yaitu hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat di
perpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.
Pasal 37 UU Pokok Agaria menegaskan bahwa Hak Guna
Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau
tanah milik orang lain. Sedangkan Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996
Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas
Tanah menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna
Bangunan adalah tanah negara, tanah Hak Pengolahan, atau Tanah Hak
Milik.6
Dalam kaitannya Hak Guna Bangunan, yang dapat mempunyai
Hak Guna Bangunan adalah sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia
5 Urip Santoso, Hukum Agaria: Kajian Komprehensif, h. 93
6 Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, cet-6 2010),
h. 98
36
b. Badan Hukm yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agaria).7
3. Hak Guna Usaha
Menurut Pasal 28 ayat (1) UU Pokok Agaria, yang dimaksud
dengan Hak Guna Usaha adalah Hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut
dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanihan, perikanan, atau perternakan.
Luas tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan minilam 5 hektar
dan luas maksimal 25 hektar, sedangkan untuk badan hukum luas
minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional (Pasal 28 ayat (2) UUPA jo. Pasal 5 PP No. 40 Tahun
1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas
Tanah).8
Dalam rangka pemberian hak atas tanah dalam UU Pokok Agaria,
maka Hak Guna Usaha adalah merupakan bentuk Hak Atas Tanah kepada
pemegang hak, sedangkan syarat untuk memiiki Hak Guna Usaha adalah
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan bekedudukan di Indonesia (Pasal 30 Ayat (1) UU
Pokok Agaria).9
7 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika ed-2
cet-3 2008), h. 21
8 Urip santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, h. 99
9 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, h. 24
37
Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam
ketentuan Pasal 29 UU Pokok Agaria yang menyatakan bahwa:
“Ayat (1), Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25
tahun10
. Ayat (2), untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang
lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling
lama 35 tahun. Ayat (3), atas permintaan pemegang hak dan
mengingat keadaan perusahaanya jangka waktu yang dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu
yang paling lama 25 tahun.”11
4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Pada rumah susun terdapat bagian-bagian yang dapat dimiliki dan
dapat digunakan secara terpisah, yang disebut satuan rumah susun, yang
dimaksud dengan rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, adalah bangunan gedung
bertingkat yang di bangun dalam satu lingkungan, yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal
maupun vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian,
yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah
bersama.12
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 16 Tahun 1985,
yang dimaksud dengan satuan rumah susun adalah rumah susun yang
10 Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, ed-1
cet-4 2007), h. 152
11 Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, h. 153
12 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana ed-1 cet-
4 2014), h. 80
38
tujuan peruntukkan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat
hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
Pada rumah susun ada hak yang bersifat perorangan dan terpisah,
dan hak bersama dari seluruh pemilik satuan rumah susun yang terdiri atas
bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Penguasaan bersama
atas bidang tanah yang diatasnya berdiri rumah susun sebetulnya telah
diletakkan dasarnya oleh Pasal 4 Ayat (1) UU Pokok Agaria yaitu “Atas
dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya bemacam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum.” Perkataan bersama-sama dengan orang lain menunjukkan bahwa
hak atas tanah dapat dimiliki atau dikuasai secara bersama-sama dengan
lain.13
Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang No. 16 Tahun 1985
menentukan ruang lingkup Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu
hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah,14
meliputi
juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang
13 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, h. 81
14 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, h. 91
39
semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan
yang bersangkutan.15
Dalam penjelasan Pasal 8 UU Nomor 1985 dinyatakan bahwa:
“pemilikan satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai
pemegang hak atas tanah bersama yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 26, dan Pasal 42 UUPA. Dalam
hal tanah bersaman berstatus hak milik, yang dapat memiliki
satuan rumah susun yang bersangkutan, terbatas pada perseorangan
warga negara Indonesia yang tidak memiliki kewarganegaraan
ganda. Khusus untuk badan-badan hukum yang dapat memiliki
satuan rumah susun di atas tanah bersama, adalah badan-badan
hukum yang ditunjuk oleh PP Nomor 38 Tahun 1963 di antaranya
bank-bank yang didirikan oleh negaranya, badan-badan social dan
keagamaan serta koperasi pertanian yang memiliki syarat”.16
F. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya
Peralihan Hak Milik Atas Tanah dapat terjadi karena suatu peristiwa
hukum tertentu pada diri seseorang, misalnya karena perkawinan, kematian
maupun karena suatu peristiwa hukum yang dikehendaki secara bersama oleh
Para Pihak yang bermaksud mengalihkan Hak Milik Atas Tanah dengan pihak
yang menerima pengalihan Hak Atas Tanah, misalnya karena jual beli, hibah
maupun tukar menukar.17
Sebagai tanda bahwa telah beralihnya Hak Milik
Atas Tanah maka Pihak yang menerima harus mendaftarkan tanahnya.
15 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, h. 92
16 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, ed-1 cet-3 2009), h. 245
17 Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, ed-1
cet-4 2007), h. 78
40
Menurut Boedi Harsono yang dimaksud dengan pendaftaran tanah
adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus
menerus untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan menyajikan data
tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu
wilayah tertentu.18
Dalam Pasal 1 ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah menjelaskan pengertian pendaftaran tanah yaitu yang
dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah :
”Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi tanah yang sudah ada hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak yang membebaninya.”
Pendaftaran tanah dikenal dengan Recht Kadaster yang bertujuan
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas tanah.19
Selain rechtskadaster, dikenal juga pendaftaran tanah untuk
keperluan penetapan klasifikasi dan besarnya pajak (fiscal kadaster). Tujuan
pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah agar dari kegiatan
pendaftaran itu dapat diciptakan suatu keadaan, dimana:
18 Boedi Harsono, Beberapa Analisi Tentang Hukum Agraria, (Jakarta: Esa Studi Klub,
1978), h. 9
19 Adrian Sutendi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar
Grafika, ed-1 cet-3 2009), h. 112
41
a. Orang-orang dan badan-badan hukum yang mempunyai20
tanah dengan
mudah dapat membuktikan, bahwa merekalah yang berhak atas tanah itu,
hak apa yang dipunyai dan tanah yang manakah yang dihaki. Tujuan ini
dicapai dengan memberikan surat tanda bukti hak kepada pemegang hak
yang bersangkutan.
b. Siapapun yang memerlukan dapat dengan mudah memperoleh keterangan
yang dapat di percaya mengenai tanah-tanah yang terletak diwilayah
pendaftaran yang bersangkutan (baik ia calon pembeli atau calon kreditor)
yang ingin memperoleh kepastian, apakah keterangan yang diberikan
kepadanya oleh calon penjual atau kreditor itu benar. Tujuan ini dicapai
dengan memberikan sifat terbuka bagi umum pada data yang disimpan.21
Pendaftaran tanah yang diharapkan sebagaimana digambarkan oleh
Douglas J. Willem merupakan pekerjaan yang kontinu dan konsisten atas hak-
hak seseorang, sehingga memberikan informasi dan data administrasi atas
bagian-bagian tanah yang didaftarkan. Lengkapnya disebutkan:
The register consist of the individual grant, certificates of folios
contained whitin it at anygiven time. Added to these are documents
that may bedeemed to be embodied in the register upon registration.
Together these iindicated the parcel of land in a particular title, the
person etitle to interest there in and the nature and extent of these
interest. There are also ancillary register wich assist in the orderly
administration of the system such as a parcel index, a nominal index
20 Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I: Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta:
Gramedia Pusaka Utama, Jil-2 1992), h. 80
21 Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I: Buku Panduan Mahasiswa, h. 81
42
losting registered propietors and a day book in wich documents are
entered pending final registration.22
Dalam peraturan pemerintah yang menyempurnakan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah ini, tetap
dipertahankan tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah sebagai yang
pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok
Agraria. Yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah,23
yang
diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang
pertanahan (suatu “rechtskadaster” atau “legal cadaster”.24
Peralihan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun menurut Pasal 10
Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 dibagi menjadi 2, yaitu Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun dapat beralih dari pemiliknya kepada pihak lain, dan
Hak milik Atas Satuan Rumah Susun dapat dipindahkan dari pemiliknya
kepada pihak lain. Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang No, 16
Tahun 1985 memberikan uraian pengertian beralih dan pemindahan hak yang
dimaksud pewarisan adalah peralihan hak yang terjadi karena hukum dengan
meninggalnya pewaris. Adapun pemindahan hak adalah perbuatan hukum
yang dilakukan dengan mengalihkan hak kepada pihak lain, seperti jual beli
tukar-menukar dan hibah.
22 Adrian Sutendi, Sertifikat Hak Atas Tanah. (Jakarta: Sinar Grafika, cet-2 2012), h. 205
23 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. (Jakarta: Djambatan, ed-rev cet-9 2003), h. 474
24 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, h. 475
43
Dua bentuk peralihan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Beralih, yaitu berpindahnya Hak Milik Atas Tanah atau Hak Milik Satuan
Rumah Susun dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang
haknya meninggal dunia atau terjadi karena hukum seperti pewarisan.
2. Pemindahan Hak (dialihkan), Berpindahnya Hak Milik Atas Tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang (subjek) kepada
pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan
tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan hukum
tersebut dapat berupa jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan dalam
modal perusahaan, lelang.25
Suatu yang paling penting dari adanya pemilikan atas satuan rumah
susun tersebut, adanya bukti yang kuat tanah yang dijadikan objek dari rumah
susun tersebut. Hal ini diatur Pasal 9 dinyatakan bahwa sebagai tanda bukti
hak milik atas satuan rumah susun di terbitkan sertifikat hak milik atas satuan
rumah susun “ayat (1)”.26
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang No. 16
Tahun 1985, pendaftaran pemindahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
dilakukan menurut Peraturan Pemerintah Sebagaimana dimaksud Pasal 19 UU
Pokok Agaria. Peraturan Pemerintah yang dimaksud di sini adalah Peraturan
25 Elza Syarief, Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, (Jakarta: KPG, 2014), h.301
26 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, ed-1 cet-3 2009), h. 246
44
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah, yang mencabut
Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Ketentuan tentang pendaftaran pemindahan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun diatur dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997, yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat hanya
dapat mendaftarkan Pemindahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, dan pemasukan dalam perusahaan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Penjabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).27
G. Tindakan Hukum Blokir, Penyitaan dan Sita Umum
1. Tindakan Hukum Blokir
Pengertian dari pencatatan dalam buku tanah atau pemblokiran
sertipikat hak atas tanah dalam peraturan perundang-undangan bidang
pertanahan tidak ada yang memberikan definisi yang pasti. Di dalam Pasal
126 ayat (1) dan (2) Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3/1997 hanya menyatakan bahwa pihak yang
berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek
gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan gugatan yang
27 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana ed-1 cet-
4 2014), h. 99
45
bersangkutan pada ayat (1). Namun secara umum peneliti mendefinisikan
Pemblokiran adalah tindakan Kepala Kantor Pertanahan untuk menolak
melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak atas tanah
terdaftar di kantor pertanahan karena hak atas tanah bersangkutan menjadi
obyek sengketa. Pencatatan atau pemblokiran bertujuan untuk kepentingan
penelitian di dalam penyelesaian sengketa (status quo) oleh karena kalau
tidak demikian penyelesaian sengketa akan mengalami kesulitan di dalam
meletakkan keputusannya nanti, sehingga keputusannya akan merugikan
pihak pembeli yang beritikad baik. Tujuan lainnya adalah untuk
kepentingan pemohon sendiri, sebab apabila tidak dilakukan pemblokiran
terhadap sertipikat hak atas tanah sudah barang tentu gugatan yang
diajukan di Pengadilan tidak akan ada gunanya.28
2. Penyitaan
Penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda), dan didalam
istilah Bahasa Indonesia beslag namun itilah bakunya adalah kata sita atau
penyitaan.29
Penyitaan ialah suatu tindakan pengambilalihan hak seseorang
atau suatu pihak tertentu atas barang-barang tertentu yang dilakuan oleh
hakim pengadilan berdasarkan putusan hakim, yang umumnya terjadi
karena suatu sebab tertentu, misalnya karena si pemilik barang tersebut
adalah debitor yang tidak mau melunasi utangnya pada kreditorya, atau
28 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Alumni,
1991), h. 25
29 Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h. 123
46
karena barang tersebut adalah memang milik penggugat sendiri atau
karena sebab lainnya.30
Sita jaminan dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu; sita jaminan
terhadap barang milik penggugat dan sita jaminan terhadap barang milik
penggugat.
a. Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Pengugat, Pemohon atau
(Kreditur)
1. Revindicatoir Beslag
Sita Jaminan Terhadap barang milik penggugat diatur
dalam Pasal 226 HIR/260 RBg, disebut dengan istilah
revindicatoir beslag,31
sita ini dimaksudkan untuk menjamin dapat
dilaksanakan putusan pengadilan yang meghukum tergugat untuk
menyerahkan sesuatu barang kepada penggugat, barang mana
adalah milik penggugat sendiri yang berada pada tergugat. Dengan
dilakukannya revindicatoir beslag tersebut maka tergugat tidak
dapat lagi memindahtangankan, menjamin dan menyewakan
barang barang yang telah disita kepada orang lain.32
30 Ridwan Halim, Hukum Acara Perdata: Dalam Tanya Jawab, (Bogor: Ghalia
Indonesia, cet-3 2005), h. 141
31 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta:
Pustaka Kartini , cet-1 1998), h. 41
32 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, h. 42
47
2. Marital Beslag
Sita Marital yaitu penyitaan untuk menjamin agar barang
yang disita tidak dijual, jadi tujuan dari Marital Beslag ini adalah
untuk menjamin agar harta bersama tersebut tidak dijual kepada
orang lain atau disembunyikan oleh pihak tergugat.33
Sita marital
ini dapat dimohonkan oleh seorang istri (yang tunduk pada BW)
kepada suaminya dalam hal sengketa perceraian, terhadap barang-
barang yang mempuyai kesatuan harta kekayaan (harta
bersama/gonogini), sesuai ketentuan Pasal 1990 BW, jadi yang
dapat mengajukan sita marital adalah istri.34
Istilah sita harta
bersama memperlihatkan kedudukan yang setara (equal) antara
suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga. Kesetaraan ini
secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974, bahwa hak kedudukan istri seimbang dengan hak kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.35
33 Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik, (Jakarta: SInar Grafika, cet-2
2011), h. 151
34 Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrase & Alternatif serta
Mediasi, (Bandung: Grafitri, cet-5 2007), h. 43
35 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, cet-14 2014), h. 368
48
b. Sita Terhadap Barang Milik Tergugat, Termohon (Debitur)
Adalah sita jaminan terhadap barang milik tergugat yang diatur
dalam Pasal 227 HIR/261 RBG. Sita jaminan ini biasanya disebut
Conservatoir Beslag. Penyitaan ini dimaksudkan untuk menjamin
dapat dilaksanakannya putusan pengadilan yang menghukum tergugat
untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat, yaitu dengan cara
menjual barang-barang milik tergugat yang disita tersebut dan uang
hasil penjualan dipergunakan untuk membayar piutang penggugat.36
3. Sita Umum
Sita Umum merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisah dari
kepailitan, mengenai sita umum dijelaskan oleh Pasal 1 angka 1
UUKPKPU adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini. Sita Umum yang dimaksud dalam kepailitan adalah rangkaian
penyitaan yang meliputi seluruh harta kekayaan Debitor Pailit sejak
putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama Kepailitan, dan sita umum tersebut tidak berlaku terhadap:
a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis
yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya
36 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta:
Pustaka Kartini , cet-1 1998), h. 40
49
yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan
untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat
ditempat itu.
b. Segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pension,
uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim
Pengawas atau
c. Uang yang diberikan kepada Debitor ntuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut Undang-undang.
Sita umum mengakhiri sita dan eksekusi sendiri-sendiri yang
dilakukan oleh para Kreditor sehingga para Kreditor harus tunduk secara
bersama-sama (concursus creditorum). Sita umum yang dimaksud dalam
konsep kepailitan berbeda dengan sita khusus seperti yang telah peneliti
jelaskan sebelumnya.
50
BAB IV
KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON DALAM DERDEN VERZET
Pembahasan mengenai putusan Mahkamah Agung Nomor 156 K/Pdt.Sus-
Pailit/2013 ini berfokus kepada kedudukan hukum (legal standing) pelawan
boedel pailit dalam perkara ini, kedudukan hukum pemohon ini akan peneliti
kaitkan dengan ketentuan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijke Wetbook), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang serta Putusan Hakim terdahulu (Yurisprudensi).
A. Posisi Kasus
Para Pihak dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 K/Pdt.Sus-
Pailit/2013 antara lain Asrida Anwar, Jerry Eka Putra Iskandar, Ir. Andry
Halim, Felix Maria Handawi, Soesanty Joezar, Agustina Esther, Anton
Wijaya, The Izak Setiawan yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada
Agus Samijaya. SH., MH. dan kawan-kawan para advokad, beralamat di Jalan
Kapten Cok Agung Tresna 9 Renon, Denpasar Provinsi Bali sebagai Pemohon
Kasasi dahulu sebagai Pelawan. Para pemohon mengajukan perlawanan
terhadap Putusan No. 20/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby. Adapun pihak-pihak
terlawannya adalah, PT Karsa Industama Mandiri sebagai Termohon I dahulu
Terlawan 1/pemohon pailit (kreditor), Heri Subagyo, S.H., dan Drs. Joko
Prabowo, SH., MH., sebagai Termohon Kasasi II dahulu terlawan II, dan PT.
Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Sentra Kredit Menengah Denpasar
51
sebagai Termohon Kasasi III dahulu Terlawan III. Serta PT. Dwimas Andalan
Bali sebagai Termohon Kasasi dahulu Turut Terlawan.
Pemohon Kasasi adalah pembeli beberapa unit apartemen PT Dwimas
Andalan Bali yang melakukan pembelian melalui Perjanjian Pengikatan Jual
Beli yang dilakukan pada tahun 2008 hingga akhir tahun 2009 dan telah
dibayar lunas jauh sebelum putusan Pailit 2011 dan karenanya jual beli
tersebut dilakukan dengan penuh itikad baik. PT DAB telah mengakui dan
telah menyerahkan kepada pemohon unit-unit apartemen dan selanjutnya Para
Pemohon telah menyerahkan pengelolan unit-unit apartemen kepada PT DAB
untuk difungsikan sebagai hotel. Sehingga atas pengelolaan yang dilakukan
PT DAB, Para Pemohon telah menerima pembagian keuntungan berupa
Return Of Investment (ROI) yang diterima setiap tahunnya dari PT DAB,
sehinga dapat dikatakan Debitor Pailt (PT DAB) dan Para Pelawan sama-sama
memiliki itikad baik..
PT DAB dan Para Pemohon telah melakukan jual beli dan masih
dalam proses balik nama dari atas nama PT DAB ke atas nama Para Pemohon
terbukti dari sekitar 276 unit satuan rumah susun yang di daftarkan PT DAB
untuk AJB dan penerbitan setifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun yang
dilakukan PT DAB antara kurun waktu 2008-2009 sedangkan jatah dari BPN
yang disampaikan oleh Notaris yang mengurus penyelesaian jual beli jatahnya
10 unit untuk 1 (satu) bulan. Hal ini terjadi karana Instansi BPN Kota
Denpasar yang pada saat itu terjadi kelangkaan Form.
52
Kasus terjadi ketika pada 11 Agustus 2011 berdasarkan Putusan Pailit
Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 20/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby, PT. DAB
dinyatakan pailit dan kurator telah memasukkan unit-unit apartemen milik
Para Pemohon tersebut ke dalam Daftar Harta Pailit yang telah di tetapkan
pada 10 Januari 2012 tanpa melakukan verfikasi asset. Sehingga dengan
adanya putusan pailit dan dimasukkannya unti-unit apartemen milik Para
Pemohon menyebabkan terhentinya proses administrasi dan menyebabkan
kerugian hak Para Pemohon.
B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
Dalam pertimbangan putusan pailit No. 156 K/ Pdt.Sus-Pailit/2013,
majelis hakim mempertimbangkan dari segi kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon sebagai Pihak Ketiga (derden verzet). Majelis hakim
mempertimbangkan apakah Para Pemohon secara hukum benar-benar pemilik
sah dari unit-unit apartemen yang diajukan dalam perkara ini untuk
dimintakan pengeluaran dari Daftar Harta Pailit.
Majelis Hakim berpendapat bahwa Para Pelawan mengajukan gugatan
perlawanan terhadap harta pailit, sedangkan Para Pelawan tidak dapat
membuktikan mereka adalah pemilik sah atas objek unit-unit apartemen yang
ada dalam Daftar Harta Pailit, dengan demikian Para Pelawan tidak memiliki
Kapasitas untuk mengajukan gugatan dan berkedudukan sebagai Pelawan
Pihak Ketiga.
53
Majelis Hakim kemudian mempertimbangkan bahwa Para Pelawan
yang berkedudukan sebagai pihak yang beritikad baik dapat menempuh jalur
hukum sebagai Kreditor Konkuren sesuai dengan Pasal 37 UUKPKPU. Serta
hal-hal lain yang berkenaan dengan penilaian hasil pembuktian yang bersIfat
penghargaan suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan
dalam penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum, adanya kelalaian dalam
memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan-perundang-undangan
sehingga menyebabkan batalnya putusan atau pengadilan tidak berwenang
atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana diatur dalam UU No.14
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.
Majelis hakim mempertimbangkan bahwa Putusan PN Surabaya No.
29/Plw.Pailit/2012/PN.Niaga Sby., Jo Nomor: 20/Pailit/2011/PN.Niaga Sby
tanggal 17 Desember 2012 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang sehinggga permohonan kasasi harus di Tolak.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis hakim memutuskan sebagai
berikut:
1. Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1.
Asrida Anwar, 2. Jerry Ekaputra Iskandar, 3. Ir. Andry Halim, 4. Felix
Maria Handawi, 5. Soesanty Joezar, 6. Agustina Esther, 7. Anton Wijaya,
dan 8. Thie Iza Setiawan, tersebut.
54
2. Menghukum Para Pemohon Kasasi/Para Pelawan untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
C. Kedudukan Hukum Pelawan Terhadap Sita Atas Objek Boedel Pailit
M. Yahya Harahap menjelaskan dalam praktik, tergugat sering
megajukan keberatan atas penyitaan diletakkan terhadap harta kekayaannya
dengan dalih, barang yang disita adalah milik pihak ketiga. Dalil dan
keberatan itu kebanyakan tidak dihiraukan pengadilan atas alasan, sekiranya
barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui
derden verzet atau perlawan pihak ketika terhadap conservatoir beslag.
Demikian penengasan Putusan MA No. 3089 K/Pdt/1991 yang menjelaskan,
sita jaminan (CB) yang1 diletakkan di atas milik pihak ketiga memberikan hak
kepada pemiliknya untuk mengajukan derden verzet. Dalam kasus perkara ini,
pelawan telah membeli unit-unit apartemen yang disita oleh Termohon II
dengan itikad baik maka dia (pelawan) berhak mengajukan derden verzet.2
Berdasarkan Pasal 3 angka 1 UUKPKPU bahwa :
“Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang
berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan
hukum Debitor.”
1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, cet-13 2013), h. 299
2 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h. 300
55
Dalam Penjelasan:
“Yang dimaksud dengan "hal-hal lain", adalah antara lain, actio
pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara
dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu
pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk
gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan
dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya. Hukum
Acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk "hal-hal
lain" adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi
perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan
jangka waktu penyelesaiannya.”
Sehingga dapat peneliti simpulkan bahwa dalam perkara kepailitan,
hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia termasuk mengenai kedudukan hukum pihak ketiga maupun
pembuktiannya.
Bahwa esensinya, seseorang dapat dikatakan sebagai pihak ketiga atau
derden verzet apabila dia berkedudukan sebagai pemilik barang yang disita,
dalam hal kepailitan yang melakukan penyitaan adalah kurator. Para Pemohon
telah membuktikan bahwa unit-unit apartemen yang dikuasai Kurator telah
Para Pemohon beli dari PT DAB dengan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual
Beli) atau kata lainnya adalah Akta dibawah Tangan (ABT). PPJB atau AJB
dilakukan oleh para pihak tanpa dilakukan di hadapan notaris.
Apakah akibat hukumnya jika jual-beli tanah tidak dilakukan di
hadapan PPAT seperti diharuskan oleh Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961?
Apakah jual beli tersebut sah menurut hukum? Artinya, apakah perbuatan
yang dilakukan itu menurut hukum merupakan jual beli yang mengakibatkan
beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak pembeli?
56
Haruskah jual-beli tanah dibuktikan dengan akta PPAT itu? Pada hakikatnya
membuat juga keharusan, bahwa jual beli itu dilakukan di hadapan penjabat
tersebut. Sebab jika tidak demikian, bagaimana PPAT itu dapat membuat
aktanya. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka perbuatan yang tidak
dilakukan di muka PPAT itu bukanlah jual beli yang mengakibatkan
beralihnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli.
Sehubung dengan pendapat di atas ditunjuk pasal-pasal 43 dan 44
UUPA yang berfungsi sebagai sanksi daripada ketentuan pasal 19 itu, harus
dianggap sebagai petunjuk bahwa ketentuan tersebut merupakan peraturan3
yang diadakan dalam rangka acara pendaftaran pemindahan hak atas tanah,
yang bertujuan memberikan alat pembuktian yang kuat kepada pembeli.
Untuk dapat mendaftar atau mencatat peralihan sesuatu hak atas tanah oleh
Kepala KPT (Kantor Pendaftaran Tanah) diperlukan suatu bukti bahwa
memang benar telah dilakukan jual beli. Pasal 19 UUPA menjelaskan, bukti
itu harus berupa akta yang dibuat oleh PPAT. Dengan sendirinya PPAT hanya
akan dapat membuat akta itu jika jual belinya dilakukan dihadapannya.
Tetapi biarpun demikian, hal itu tidak berarti, bahwa jika tidak
dilakukan di hadapan PPAT suatu jual beli tanah yang telah memenuhi syarat-
syarat material (baik yang mengenai penjual, pembeli maupun tanahnya)
3 Efendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, ed-1 cet-3 1991), h.
27
57
menjadi tidak sah, artinya bukan suatu perbuatan hukum yang mengakibatkan
beralihnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada pihak yang telah
membayar harganya. Pasal 19 UUPA tidak menentukan demikian. Tanpa
dilakukan pendaftaran, sesuatu pemindahan hak sudahlah sah, asal syarat-
syarat yang bersifat materiil dipenuhi. Selain itu sahnya pemindahan hak tidak
hanya dapat dibuktikan dengan tanda hak-hak yang dikekluarkan oleh Instansi
Pendaftaran Tanah, melainkan dapat juga dengan alat pembuktian lain.4
Berdasarkan Pasal 5 UUPA, hukum Agraria yang berlaku di Indonesia
adalah Hukum Adat. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di dalam hukum adat
yang berlaku mengenai Peralihan Hak yan sifatnya tunai, tidak mengenal
lembaga Juridische Levering. Dengan demikian suatu hak atas tanah sudah
beralih sejak jual beli/lelang itu dilakukan yang tentu saja jual beli/lelang
tersebut dilakukan dengan mengindahkan syarat-syarat materiil.5
Pasal 43 dan 44 UUPA pun tidak memuat ketentuan, bahwa jika terjadi
pelanggaran yang dimaksudkan itu jual beli yang dilakukan menjadi tidak sah.
Pasal-pasal tersebut diadakan dengan tujuan agar mereka yang bersangkutan
menolak6 untuk berbuat demikian, dengan harapan supaya semua jual beli
tanah dilakukan di hadapan PPAT. Atas dasar pertimbangan itulah, maka
4 Samun Ismaya, Hukum Administrasi Pertanahan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, ed-1 cet-1
2013), h. 125
5 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria: Pertanahan Indonesia, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, jil-2 2004), h. 63
6 Efendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, ed-1 cet-3 1991), h.
28
58
biarpun tidak dilakukan di muka PPAT (dan dengan demikian tidak dibuat
akta oleh PPAT), akan tetapi kalau syarat-syaratnya yang bersifat material
dipenuhi, jual beli itu adalah sah, artinya mengakibatkan beralihnya hak yang
bersangkutan kepada pembeli.7
Perikatan jual beli serta peralihan hak telah tuntas meski belum tercatat
dan sertifikat hak atas tanah. Dalam hal ini, pelawan dapat disejajarkan
dengan kedudukan secured creditor layaknya Kreditor Separatis. Berdasarkan
asasnya, peralihan hak atas tanah terjadi saat terpenuhinya asas “terang” dan
“tunai”. Sementara yang dimaksud dengan “terang” ialah penjabat yang
berwenang dalam bidang pertanahan, yakni PPAT bukan penjabat Kantor
Pertanahan. Dengan demikian, ketika pembeli dan penjual menghadap PPAT
untuk jual beli, dan juga telah terbayar harga jual beli, peralihan hak telah
terjadi, meski balik nama belum dilakukan oleh Kantor Pertanahan.8
Alat Bukti di bawah tangan tidak di atur dalam HIR, namun diatur
dalam staatsblad 1867 No.29 untuk Jawa dan Madura, dan Pasal 286 sampai
Pasal 305 RBg. Akta dibawah tangan diakui dalam KUHPerdata. Dalam Pasal
1320 telah menjelaskan syarat sahnya perjanjian. Dilihat dari 4 syarat sahnya
perjanjian, dapat ditafsirkan bahwa suatu akta yang tidak dibuat oleh dan
dihadapan PPAT adalah tetap sah sepanjang para pihak telah sepakat dan
7 Efendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, h. 29
8 Hery Shietra, “Jual-Beli Tanah Sebelum Penjual Jatuh Pailit Adalah Sah dan Pembeli
Dilindungi Oleh Hukum”, Artikel diakses pada tanggal 24 Februari 2017 dari http://www.hukum-
hukum.com/2016/06/jual-beli-tanah-sebelum-penjual-jatuh.html
59
memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Fungsi akta ada 2,
yaitu fungsi formal yang menetukan lengkapnya (bukan sahnya), dan fungsi
akta sebagai alat bukti di kemudian hari.
Kekuatan pembuktian antara akta autentik dengan akta dibawah tangan
memiliki perbedaan. Dilihat dari kekuatan pembuktian lahir di mana sebuah
akta autentik ditandatangai oleh Penjabat yang berwenang, maka beban
pembuktian diserahkan kepada yang mempersoalkan keautentikannya.
Adapun untuk akta dibawah tangan, maka secara lahir akta tersebut sangat
berkait dengan tanda tangan, jika tanda tangan diakui, akta dibawah tangan
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.9
Kekuatan pembuktian formal pada akta autentik memiliki kepastian
hukum, karena penjabatlah yang menerangkan kebenaran dari apa yang
dilihat, didengar, dan dilakukan penjabat. Sedangkan untuk akta dibawah
tangan, pengakuan dari pihak yang bertanda tangan menjadi kekuatan
pembuktian secara formal. 10
Para pelawan telah membeli dan membayar lunas unit-unit apartemen
tersebut kepada PT DAB sejak tahun 2008 jauh sebelum adanya putusan
pernyataan pailit terhadap PT DAB pada tahun 2011. Para Pemohon dan PT
DAB menyerahkan masing-masing unit apartemen ke pada Para Pemohon.
9 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 56
10 Adrian Sutendi, Sertifikat Hak Atas Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, cet-2 2012), h. 181
60
Kemudian bahwa setelah menerima penyerahan unit-unit apartemen tersebut
Para Pelawan menyerahkan pengelolaan unit-unit apartemen tersebut ke PT
DAB untuk di fungsikan menjadi hotel dan bahkan Para Pemohon telah
memperoleh pembagian keuntungan berupa Return Of Investment (ROI) dari
PT DAB. Jual beli adalah perjanjian konsensuil, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata yang menegaskan:
“Jual beli telah dianggap terjadi antara kedua belah pihak, segera
setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut
beserta harganya meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya
belum dibayar”.11
Faktanya Para Pemohon telah membeli unit-unit apartemen tersebut
dan telah dibayar lunas jauh sebelum adanya putusan pailit. Sehingga Para
Pemohon dapat dikualifikasikan sebagai pembeli yang beritikad baik. Sebagai
pembeli beritikad baik sudah seharusnya mendapatkan perlindungan hukum,
hal ini dikemukakan dalam Pasal 49 Ayat (3) UUKPKPU, yang menegaskan:
“Hak pihak ketiga atas benda sebagaimana dimaksud ayat (1) yang
diperoleh dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma harus
dilindungi”
Fakta yang tak terbantahkan menjadi senjata peneliti dalam
menganalisis kasus ini bahwa Debitur Pailit (PT DAB) menyatakan mengakui
telah terjadinya jual beli antara PT DAB dengan Para Pemohon di muka
persidangan.
11 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
ed-1 cet-2 2004), h. 48
61
Berdasarkan putusan MA No. 1043 K/Sip/1971. Antara lain dikatakan,
apabila tergugat mengakui isi yang tercantum dalam ABT yang ada di dalam
surat perjanjian adalah tanda tangannya, maka pembayaran dan jumlah yang
disebut di dalam akta mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat berdasakan pasal 1875 KUHPerdata.12
Atau berdasarkan Putusan
MA No. 4434 K/Pdt/1986, daya kekuatan pembuktian materiil pada ABT
benar-benar ditegakkan atas alasan isi tidak dibantah dengan tegas dikatakan,
berdasarkan surat pernyataan tergugat tentang besarnya utangnya tidak
dibantah secara tegas oleh penggugat (kreditur), maka surat pernyataan itu
mempunyai nilai kekuatan pembuktian sempurna. Berdasarkan Pasal 1875
KUHPerdata dan Pasal 288 RBg. Suatu ABT yang diakui oleh orang terhadap
siapa tulisan atau akta itu hendak dipakai, dianggap sebagai diakui sehingga
ABT tersebut mempunyai daya kekuatan hukum yang sempurna dan
mengikat, seperti Akta Otentik:
1. Kepada orang-orang yang menadatangani.
2. Serta kepada ahli waris orang-orang itu dan kepada orang yang mendapat
hak dan mereka.13
Maka dari itu Para Pelawan telah membuktikan bahwa mereka adalah
pemilik sah atas unit-unit apartemen dan berkedudukan (legal standing)
12 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, cet-13 2013), h 592
13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h 592
62
sebagai pihak ketiga dan oleh karenanya upaya hukum yang dilakukan oleh
Para Pemohon adalah sudah tepat dan benar. Sehingga menurut analisa
peneliti sudah layak dan patut bila perjanjian jual beli (PPJB) antara Para
Pemohon dan penjual yang sudah sampai pada proses antrian AJB dan balik
nama tersebut dapat dilanjutkan proses administrasinya.
Putusan Hakim Mahkamah Agung menempatkan Para Pemohon
sebagai kreditur konkuren adalah tidak tepat karena dalam perkara ini tidak
ada utang piutang antara Debitur Pailit dengan Para Pemohon, melainkan jual
beli yang telah lunas, Maka dari itu telah terjadi kekeliruan Hakim Mahkamah
Agung dalam mempertimbangkan dan memberikan putusan. Bahwa menurut
teori tujuan hukum yakni, hukum diselenggarakan untuk memperoleh
kepastian hukum, keadailan dan kemanfaatan. Kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi
dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim
lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.14
Keadilan adalah sesuatu yang sukar didefinisikan, tetapi bisa dirasakan
dan merupakan unsur yang tidak harus ada dan dapat dipisahkan dari hukum
sebagai perangkat asas dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan
(kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat.15
Keadilan berasal dari Tuhan
14 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana cet-3 2009), h. 158
15 Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta. Pengantaar Ilmu Hukum: Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 2000), h. 52-
53
63
YME dan setiap orang diberi kemampuan, kecakapan untuk meraba dan
merasakan keadilan itu. Dan segala apa yang ada di dunia ini semestinya
menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia.
Menurut Gustav Radbuch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling
utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Secara historis, pada
awalnya menurut Gustav Radbuch tujuan kepastian hukum menempati
peringkat yang paling atas diantara tujuan hukum yang lain. Namun, setelah
melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah
kekuasaan Nazi melegalisasikan praktek-praktek yang tidak
berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat
hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu.
Gustav Radbuch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan
menempatkan tujuan keadilan menempati posisi di atas tujuan hukum yang
lain.16
Seorang hakimpun harus memiliki hati nurani dalam memberikan
putusan untuk mencapai tujuan hukum tersebut, keputusan Hakim Agung
terhadap apartemen yang telah dibeli lunas oleh Para Pemohon menjadi harta
pailit adalah keputusan yang tidak berkeadilan dan tidak berlandaskan hati
nurani, sehingga jauh dari apa yang dimaksud dalam tujuan hukum yang di
cita-citakan. Sebagaimana dituliskan dalam hadist sebagai berikut:
16 Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di
Indonesia”, Perspektif Global, Universitas Negeri Yogykarta, 2015
64
ه السلام قاه بعث رسىه حذثا عورو بي عىى قاه أخبرا شرل عي سواك عي ح عل ش عي عل
ه وسلن إل الوي قاضا فقلت ا رسىه الله ترسل وأا حذث ا لسي ولا علن ل الله صل الله عل
ل الخصواى فلا تقضي حت تسوع هي بالقضاء فقاه إى الله سهذ ي ذ قلبل وثبت لسال فئرا جلس ب
ضاء ا شننت ف قالآخر موا سوعت هي الؤوه فئه أحري أى تبي لل القضاء قاه فوا زلت قاضا أو ه
بعذ
Artinya: Dari Ali ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mengutusku ke Yaman sebagai hakim, lalu kami katakan, "Wahai
Rasulullah, apakah anda akan mengutusku sementara saya masih
muda dan tidak memiliki ilmu mengenai peradilan?" Kemudian
beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah akan memberi petunjuk
kepada hatimu, dan meneguhkan lisanmu. Apabila ada dua orang
yang berseteru duduk di hadapanmu maka janganlah engkau
memberikan keputusan hingga engkau mendengar dari orang yang
lain, sebagaimana engkau mendengar dari orang yang pertama,
karena sesungguhnya keputusan akan lebih jelas bagimu. Ali
berkata, Setelah itu aku tetap menjadi hakim atau aku tidak merasa
ragu dalam memberikan keputusan. [HR. Abu Daud 81]
Menurut Prof. Subekti, S.H. Keadilan berasal dari Tuhan YME dan
setiap orang diberi kemampuan, kecakapan untuk meraba dan merasakan
keadilan itu. Dan segala apa yang ada di dunia ini semestinya menimbulkan
dasar-dasar keadilan pada manusia. Dengan demikian, hukum tidak hanya
mecarikan keseimbangan antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu
sama lain, akan tetapi juga untuk mendapatkan keseimbangan antara tuntutan
keadilan tersebut dengan “keadilan” dan “kepastian hukum”.17
Pendapat
tersebut sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT :
17 Zainal Asikin. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 21
65
ي الاس أى تحنوىا بال عذه إى الله عوا إى الله ؤهرمن أى تؤدوا األهاات إل أهلها وإرا حنوتن ب
عا بصراعظنن به إى الله ماى سو
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar
lagi Maha melihat. [Q.S An-Nisa ayat 58].
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia memerintahkan agar amanat-
amanat itu disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Hal ini merupakan
perintah Allah Swt. yang menganjurkan menetapkan hukum di antara manusia
dengan adil. Karena itulah maka Muhammad ibnu Ka'b, Zaid ibnu Aslam, dan
Syahr ibnu Hausyab mengatakan bahwa ayat ini diturunkan hanya berkenaan
dengan para umara, yakni para penguasa yang memutuskan perkara di antara
manusia. (Tafsir Ibnu Katsir).
Sehingga sudah seharusnya Hakim memutuskan apabila sita yang telah
diletakkan atas harta kekayaan Debitur Pailit, kemudian hal itu dilawan
berdasarkan alasan harta itu milik Pihak Ketiga, dan dari hasil pembuktian di
pengadilan memperoleh fakta, harta itu benar benar milik pihak ketiga, maka
putusan yang harus di putuskan hakim sekiranya adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan Para Pelawan adalah pembeli yang beritikad baik yang harus
dilindungi oleh undang-undang.
2. Menyatakan sah perjanjian jual beli/PPJB yang dilakukan PT. DAB
dengan Para Pemohon.
66
3. Memerintahkan Terlawan II untuk menyerahkan sertikat unit-unit
apartemen milik Para Pemohon kepada Para Pemohon.
4. Memerintahkan unit-unit apartemen milik Pemohon untuk dilanjutkan
dengan segala hak dan kewajibannya dalam perjanjian AJB dan Penerbitan
Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun proses administrasinya, dan
5. Memerintahkan untuk memberitahukan kepada penjabat yang
bersangkutan agar pengumuman sita dicabut dan objek sitaan dipulihkan
ke dalam keadaan tidak berada di bawah penyitaan.18
18 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h. 300
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya,
maka terjawab rumusan masalah dan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa Kedudukan Hukum para pemohon adalah pemohon yang sah
karena Perjanjian apabila telah memenuhi 4 syarat sebagaimana dalam
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata (BW) maka perjanjian itu dianggap
telah sah dan mengikat bagi para pihak yang menandatanganinya. Para
pemohon membuat perjanjian tersebut dengan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) atau Akta Bawah Tangan (ABT), walaupun belum berbentuk
kekuatan hukum Akta Bawah Tangan tidak sekuat Akta Otentik namun
apabila para pihak mengakui isi perjanjian dalam Akta Bawah Tangan/
Perjanjian Pengikatan Jual Beli maka kekuatan hukum pembuktian ABT
mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dan sama dengan Akta
Otentik sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 1875. Para pelawan
telah membeli dan membayar lunas unit-unit apartemen tersebut kepada
PT DAB, bahkan telah terjadi kerja sama atara para pemohon dengan PT
DAB untuk mengelola unit-unit apartemen milik para pemohon agar di
fungsikan menjadi hotel dan bahkan Para Pemohon telah memperoleh
pembagian keuntungan berupa Return Of Investment (ROI) dari PT DAB,
68
dengan demikian Para Pemohon dengan PT. DAB sudah melakukan jual
beli yang sudah para pemohon bayar secara lunas bahkan para pemohon
dengan PT. DAB sudah melakukan kerja sama secara komersial
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata. Faktanya
para pemohon sudah membeli unit-unit apartemen tersebut tidak secara
cuma-cuma dan telah dibayar lunas, dan PT DAB telah menyerahkan unit-
unit apartemen kepada Para Pemohon bahkan sudah terjadi kerja sama
bisnis antara Para Pemohon dengan PT DAB jauh sebelum adanya putusan
pailit terhadap PT DAB sehingga jual beli tersebut diakui kedua belah
pihak dan dapat dikatakan sebagai jual beli yang memiliki itikad baik.
Sebagai pembeli beritikad baik sudah seharusnya mendapatkan
perlindungan hukum hal ini di kemukakan dalam Pasal 49 Ayat (3)
UUKPKPU.
2. Sebagaimana sudah dijelaskan poin 1 (satu) kedudukan hukum Para
Pemohon adalah pihak ketiga yang merasa haknya dirugikan dengan
dimasukkannya unit-unit apartemen milik Para Pemohon ke dalam daftar
boedel pailit PT DAB, sehingga apabila pemohon dapat membuktikan
dengan jelas apakah harta yang di masukan itu adalah bukan milik debitur
pailit melainkan milik Para Pemohon maka sudah benar dan tepat tindakan
atau upaya hukum yang dilakukan Para Pemohon karena ini merupakan
jual beli yang telah lunas bukan utang piutang yang belum dibayarkan,
69
sehingga menurut analisis peneliti hakim kurang cermat dalam
menetapkan bahwa para pemohon seharusnya menjadi kreditur konkuren.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis ingin
memberikan saran kepada penegak hukum agar kiranya dapat menerapkan
hukum sesuai berlandaskan pada Peraturan Perundang-Undangan agar
terwujudnya cita-cita dan tercapainya keadilan, maka dengan ini penulis
memberikan saran agar:
1. Tarnsaksi tanah seharusnya segera mungkin di buat dalam bentuk AJB
yang otentik, bukan PPJB atau perjanjian lainnya terlebih ABT sehingga
apabila terjadi sengketa pihak yang merasa dirugikan dengan mudah
membuktikan bahwa telah terjadinya transaksi.
2. Melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agraria karena
menurut UUPA jual beli adalah pemindahan hak atas tanah yag bersifat
permanen sehingga yang di maksud “terang” adalah Penjabat Pembuat
Akta Tanah sedangkan istilah “tunai” artinya ketika terjadi jual beli yang
dibuktikan dengan adanya akta otentik dan adanya pembayaran secara
lunas, maka seketika itu juga peralihan hak atas tanah telah terjadi secara
sempurna. Namun dipasal 19 menyatakan bahwa bukti kepemilikan ialah
sertifikat hak atas tanah sehingga dengan adanya ini terjadi inkonsistensi
dan tumpang tindihnya antara ketentuan tersebut.
70
3. Perlu adanya sinkronisasi antara UU No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang dengan UU. No.
8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen. Karena dalam kasus ini
jual beli sudah terjadi namun dikarenakan PT DAB dipailitkan maka
kewenangan harta milik debitur beralih kepada kurator sehingga
penyelesaian perpindahan hak secara administratf harus terhenti, maka
dari itu pembeli yang beritikad baik sudah seharusnya dilindungi oleh
undang-undang dan tidak bisa UU KPKPU mengenyampingkan UU
Perlindungan Konsumen karena merupakan UU yang sederajat disisi lain
pembeli yang beritikad baik harus dilindungi dan disisi lain hak Kreditor
harus dilindungi namun tetap harus tidak berbenturan dengan hak
konsumen atau pembeli beritikad baik.
4. Pihak Termohon II dalam perkara ini seharusnya memeriksa secara cermat
dan teliti dan tidak mengabaikan asas kepatutan, kewajaran, keadilan dan
itikad baik sehingga tidak sewenang-wenang dalam menetapkan Daftar
harta Pailit milik pihak ketiga.
71
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Achmad Chomzah, Ali, Hukum Agraria: Pertanahan Indonesia, Jakarta: Prestasi
Pustaka, jil-1 cet-1 2003
__________, Hukum Agraria: Pertanahan Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka,
jil-2 2004
Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013
__________, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012
Asyhadie, Zaeni dan Budi Sutrisno. Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Jakarta:
PT Gelora Aksara Pratama, 2012
Aunurrohim, Mohamad, Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di
Indonesia”, Perspektif Global, Universitas Negeri Yogykarta, 2015
Gultom, Elfrida R, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Literata, 2010
Hadi Shubhan, M. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, & Praktik di Peradilan,
Jakarta: Kencana, 2008
Halim, Ridwan, Hukum Acara Perdata: Dalam Tanya Jawab, Bogor: Ghalia
Indonesia, cet-3 2005
Harahap, Krisna, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrase & Alternatif
serta Mediasi, Bandung: Grafitri, cet-5 2007
Harsono, Budi, Beberapa Analisi Tentang Hukum Agraria, Jakarta: Esa Studi
Klub, 1978
__________, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, ed-rev cet-9
2003
Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press, 2007
72
__________, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta: Kencana,
cet-1 2009
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang:
Bayumedia Publishing, cet-3 2006
Ismaya, Samun, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta: Graha Ilmu, ed-1 cet-1
2011
__________, Hukum Administrasi Pertanahan, Yogyakarta: Graha Ilmu, ed-1 cet-
1 2013
Kusumaatmadja, Mochtar dan Arief Sidharta, Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu
Hukum. Bandung: Alumni, 2000
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, cet-9 2014
__________, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana cet-3 2009
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, Cet-1, 1998
Muljadi, Kartini dan Gunawan widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana,
ed-1 cet-4 2007
Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Alumni,
1991
Mono, Heny. Praktik Berperkara Perdata: Sebobrok apa pun kualitas sistem
penegakan hukum itu, Indonesia tetaplah negara yang berdasarkan hukum
(rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat). Malang:
Bayumedia, cet-1 2007
Nating, Imran .Peran dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, ed-1 cet-3
2004
Parlindungan, A. P, Pendaftaran Tanah di Indonesia: (berdasarkan PP No. 24
Tahun 1997) dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah
(PP No. 33 Tahun 1998), Bandung: Mandar Maju, cet-4 2009
Perangin, Efendi, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajawali, ed-1 cet-3 1991
73
Rambe, Ropaun. Hukum Acara Perdata Lengkap. Jakarta: Sinar Grafika, cet-7
2013
Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, cet-6
2010
__________, Hukum Agaria: Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana, ed-1 cet-3
2013
__________, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana ed-1
cet-4 2014
Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, cet-2
2011
Sastrawidjaja, Man S. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Bandung: PT. Alumni, 2006
Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami
Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002
__________, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, cet-4 2010
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, cet-3 1986
Supramono, Gatot, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana, 2013
Sutendi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika, ed-1 cet-3 2009
__________, Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika, cet-2 2012
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, ed-1 cet-3 2009
Sugeng, Bambang dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh
Dokumen Litigasi. Jakarta: Kencana cet-2 2013
Sutanti, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek. Bandung: Alumni, 1997
__________, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Alumni,
1979
74
Soimin, Soedharyo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika
ed-2 cet-3 2008
Syahrani, Riduan, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,
(Jakarta: Pustaka Kartini , cet-1 1998)
Syarief, Elza, Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, Jakarta: KPG, 2014
Wargakusumah, Hasan, Hukum Agraria I: Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta:
Gramedia Pusaka Utama, Jil-2 1992
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, ed-1 cet-2 2004
Yahya Harahap, M, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika,
cet-13 2013
__________, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, cet-14 2014
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, ed-1 cet-3 2002
Yusuf, Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Peneltian Gabungan,
Jakarta: Kencana, cet-1 2014
Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook)
Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peaturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
75
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Prosiding :
Pane, Marjan E., Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum, (Jakarta:
Pusat Pengkajian Hukum, editor Emmy Yuhassarie, 2004). Sekilas Tetang
Tugas dan Wewenang Kurator.
Simanjuntak, Ricardo, Seminar Sehari Revitalisasi Tugas dan Wewenang
Kurator/Pengurus, Hakim Pengawas dan Hakim Niaga Dalam Rangka
Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, editor Emmy Yuhassarie,
2003) Kemandirian Tugas Kurator Dalam Melakukan Pengurusan dan
Pemberesan Dalam Kepailitan
Website :
Hery Shietra, “Jual-Beli Tanah Sebelum Penjual Jatuh Pailit Adalah Sah dan
Pembeli Dilindungi Oleh Hukum”, Artikel diakses pada tanggal 24
Februari 2017 dari http://www.hukum-hukum.com/2016/06/jual-beli-
tanah-sebelum-penjual-jatuh.html