kebijakan pembayaran internasional
TRANSCRIPT
MAKALAH
KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL
Disusun oleh:
Nama : Yanny Dwi Hastuty.R.S
NIM : 201114042
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SURAKARTA
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Neraca pembayaran merupakan catatan sistematis mengenai transaksi
ekonomi antara penduduk suatu negara dan penduduk negara lainnya dalam
periode tertentu. Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) kebijaksanaan
neraca pembayaran diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan bidang
ekonomi, yaitu seperti yang digariskan dalam GBHN 1993, yakni terciptanya
perekonomian yang mandiri dan andal sebagai usaha bersama atas asas
kekeluargaan, berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata, pertumbuhan
yang tinggi, stabilitas nasional yang mantap, bercirikan industri kuat dan maju,
pertanian tangguh, koperasi sehat dan kuat, serta perdagangan maju dengan
sistem distribusi mantap, didorong oleh kemitraan usaha yang kukuh antara badan
usaha koperasi, negara, dan swasta serta pendayagunaan sumber daya alam yang
optimal.
Kebijaksanaan bidang pinjaman luar negeri melengkapi kebutuhan
pembiayaan pembangunan dalam negeri, dan diarahkan untuk menjaga kestabilan
perkembangan neraca pembayaran secara keseluruhan. Kebijaksanaan kurs devisa
diarahkan untuk mendorong ekspor nonmigas dan mendukung kebijaksanaan
moneter dalam negeri.
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Permasalahan Pembayaran Internasioanal
Transaksi-transaksi pembayaran antar daerah tidak dijumpai masalah-
masalah seperti yang dijumpai dalam pembayaran internasional, oleh kerena
semua daerah kekuasaaan sebuah negara menggunakan mata uang yang sama.
Pembayaran menggunakan cek atau giro hanya merupakan pemindah bukuan
bank saja dari saldo kredit pembayaran ke saldo kredit penerma pembayaran.
Pembayaran antar negara tidak demikian, misalnya seorang importir
Indonesia membeli sejumlah barang dari ekportir di Amerika. Transaksi jual beli
ini pelaksanaan pembanyaran lebih kompleks dibandingkan dengan pembayaran
transaksi jual beli antara dua orang penduduk yang tinggal pada suatu negara
yang sama. Hal ini di sebabkan karena mata uang yang berlaku di Amerika
berbeda dengan mata uang yang berlaku di Indonesia.
Pembayaran dapat terjadi dengan mata uang negara ketiga, misalnya
dengan membeli barang dari Jepang dapat membayarnya dengan dolar Amerika
sehingga sebelum mengadakan transaksi pembelian barang-barang dari Jepang
harus terlabih dahulu memperhitungkan kurs-kurs devisa yang memungkinkan
untuk membandingkan nilai barang tersebut dinyatakan dalam dolar Amerika,
dalam yen dan dalam rupiah. Masalah-masalah semacam inilah yang
menyebabkan pembayaran internasional berbeda dengan pembayaran dalam
negeri.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebijakan Pembayaran Internasional
a) Kebijakan ini meliputi tindakan/kebijakan pemerintah rekening modal
(Modal di Luar Sektor Moneter): menyangkut lalu lintas modal masuk dan
keluar.
b) Tindakan/ kebijakan pemerintah:
Penghapusan pembatasan penanaman modal asing (PMA): di bidang
perkebunan kelapa sawit, perdagangan eceran dan grosir.
Pengesahan kerangka kerja sama investasi antar ASEAN
Mengundangkan UU No. 24/1999 tentang lalu lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar
Peraturan BI, PBI No.1/9/PBI/1999: ketentuan mengenai kewajiban
pelaporan lalu lintas (kegiatan) devisa melalui Bank dan LKBB.
3.2 Modal Diluar Sektor Moneter
Modal diluar sektor moneter disebut Neraca Modal karena menyangkut
transaksi modal, yaitu lalu lintas modal yang terdiri dari : lalu lintas modal
pemerintah dan lalu lintas modal swasta.
Transaksi modal meliputi penanaman modal langsung, utang – piutang
jangka panjang maupun jangka pendek, baik yang dilakukan pemerintah maupun
oleh swasta.
Lalu lintas modal pemerintah selama tahun 1997-1999 mengalami saldo
positif karena penerimaan pinjaman pemerintah meningkat dan pelunasan
pinjaman menurun akibat krisis ekonomi.
Lalu lintas modal swasta menghasilkan saldo negatif karena penanaman
modal langsung (investor) menurun drastis akibat capital flight, sedang, lainnya
(pelunasan/angsuran utang LN ) melonjak tinggi akibat jatuh tempo.
3.3 Penghapusan Pembatasan Penanaman Modal Asing (PMA)
3.3.1 Ketentuan Umum
Pertama, Ketentuan Umum tentang penanaman modal asing adalah
kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan
modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal
dalam negeri. Ketentuan tersebut di atas berarti tidak penting prosentase
pemilikan saham asing dalam perusahaan joint venture (patungan). Perusahaan
asing yang menjadi pemegang saham minoritas, perusahaan joint venture
tersebut tetap diklasifikasikan PMA, bahkan bila asing hanya mempunyai 5%.
Kedua, perusahaan joint venture yang saham asingnya sampai 95%,
tetap perusahaan Indonesia. Sebabnya adalah perusahaan joint venture tersebut
berbentuk Perseroan Terbatas, didirikan menurut hukum Indonesia, tunduk pada
hukum Indonesia, dalam hal ini UU Perseroan Terbatas dan undang-undang
lainnya.
3.3.2 Pembatasan Penanaman Modal Asing
Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 memuat daftar bidang usaha
yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang
penanaman modal, mencakup berbagai bidang usaha. Misalnya, disektor
komunikasi dan informatika penyelenggaraan jaringan telekomunikasi yang
tetap, kepemilikan modal asing maksimal 49%. Begitu juga penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi berbasis radio, dengan teknologi circuit switched atau
packet switched, kepemilikan modal asing maksimal 49%.
1. Penanaman modal tidak langsung atau portofolio merupakan penanaman
modal yang dilakukan dengan cara membeli saham Perseroan Terbatas
melalui Bursa Efek tidak termasuk dalam ruang lingkup UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Pemikiran tersebut didasari latar belakang
kebijakan penanaman modal di Indonesia, khususnya mengenai penanaman
modal langsung dan tidak langsung yang pernah diberlakukan sebelumnya.
Misalnya, Keputusan Presiden R.I. No. 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan
Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing
Untuk Diberikan Perlakuan Yang Sama Seperti Perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri, Pasal 2 menyebutkan:
“Perusahaan Modal Asing:
Minimal 75% (tujuh puluh lima persen) yang sahamnya dimiliki oleh
Negara dan/atau swasta nasional.
Minimal 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dijual melalui pasar
modal.
Minimal 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
dan/atau swasta nasional dan yang dijual melalui pasar modal, dengan
ketentuan bahwa saham yang ditawarkan untuk dijual melalui pasar
modal tersebut minimal 20% (dua puluh persen), diberikan perlakuan
sama seperti perusahaan yang dibentuk dalam rangka Undang-Undang
No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.”
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa perusahaan modal asing yang
menjual sahamnya 51% melalui pasar modal atau dalam hal 51% sahamnya
dimiliki Negara dan/atau swasta nasional dan 20% dijual melalui pasar modal,
maka sahamnya yang dijual di pasar modal dianggap sebagai saham milik
investor dalam negeri sehingga diberikan perlakuan sama dengan penanaman
modal dalam negeri atau dengan kata lain berada di luar rezim ketentuan
perundang-undangan tentang penanaman modal asing. Konsekuensi dari
kebijakan-kebijakan tersebut maka perusahaan modal asing tersebut dapat
masuk pula pada bidang-bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal
dalam negeri dan tertutup atau terbatas bagi penanaman modal asing.
Hal ini berbeda bila perusahaan asing tersebut membeli saham tidak
melalui pasar modal. Keputusan Menteri Negeri Negara Penggerak Dana
investasi/Ketua BKPM No. 15/SK/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka
Penanaman Modal Asing tanggal 29 Juli 1994, Pasal 17 menyatakan:
Pelaksanaan pembelian saham perusahaan penanaman modal asing dan/atau
warga Negara asing dimaksud, dapat dilakukan melalui pemilikan langsung
dan/atau pasar modal dalam negeri.
Pembelian saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang
dilakukan melalui pemilikan langsung, hanya dapat dilaksanakan apabila
bidang usaha yang akan dibeli sahamnya tersebut pada saat pembelian
saham terbuka bagi penanaman modal asing."
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kebijakan penanaman modal Indonesia pada masa lalu hingga saat ini,
sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
secara konsisten telah menerapkan perbedaan antara penanaman modal
langsung dan penanaman modal tidak langsung atau penanaman modal melalui
pasar modal (portofolio), dan secara konsisten pula telah memberikan
pengecualian bagi penanam modal asing yang melakukan penanaman modal
tidak langsung untuk dapat memasuki bidang usaha yang terbuka bagi
penanaman modal dalam negeri serta tidak tunduk pada ketentuan mengenai
pembatasan bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing.
2. Penanaman modal tidak langsung atau portofolio meliputi seluruh
pembelian saham yang dilakukan di Bursa Efek tanpa ada perbedaan antara
saham perusahaan terbuka yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali
dan masyarakat. Sebutan pemegang saham pengendali diatur berdasarkan
peraturan pasar modal. Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal tidak menyentuh masalah perbedaan pemegang saham
masyarakat dan pemegang saham pengendali sebagaimana diatur dalam
peraturan pasar modal.
3. PT. PMA yang seluruh sahamnya telah dicatatkan di Bursa Efek (company
listing) tidak terikat pada pembatasan kepemilikan saham oleh pihak asing
sebagaimana diatur dalam peraturan penanaman modal.
Konsisten dengan pengertian penanaman modal tidak langsung atau
penanaman modal melalui pasar modal (portofolio) sebagaimana disebutkan
dalam butir 1 di atas, maka PT. PMA yang seluruh sahamnya telah dicatatkan di
Bursa Efek (company listing), berdasarkan peraturan pada waktu yang lalu
sebagaimana tersebut dalam butir 1, tidak tunduk pada ketentuan mengenai
pembatasan bidang usaha yang tertutup dan/atau terbuka dengan pembatasan
bagi penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam peraturan penanaman
modal dan dapat memasuki bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal
dalam negeri. Contoh, bahwa apabila suatu bidang usaha terbuka bagi
kepemilikan asing maksimum sebesar 51%, maka suatu PT. PMA yang telah
melakukan company listing tidak tunduk pada pembatasan kepemilikan asing
pada bidang tersebut dan lebih dari 51% sahamnya dapat dimiliki oleh
pemegang saham asing sepanjang perolehan sahamnya dilakukan melaui Bursa
Efek.
Pertanyaan utama adalah apakah Daftar Negatif Investasi sebagai
peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal berlaku juga terhadap investasi melalui Pasar Modal? Jika review
menyimak Pasal 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dengan tegas menyatakan ketentuan dalam undang-undang ini berlaku
bagi penanaman modal disemua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia.
Penjelasan Pasal 2 menyatakan, bahwa yang dimaksud “penanaman modal di
semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal
langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.
Pembahasan Pasal 2 ini di Dewan Perwakilan Rakyat adalah sederhana saja,
bahwa pengertian penanaman modal tidak langsung atau portofolio adalah
investasi melalui Pasar Modal. Tidak ada pengertian lain. Begitu juga tentang
penanaman modal langsung (direct investment) adalah penanaman modal yang
tunduk pada Undang-Undang Penanaman Modal yang kemudian menjadi
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007.
Pada waktu yang lalu “Indonesianisasi Saham” termasuk bila
perusahaan asing “go public” di Pasar Modal Indonesia dan pembelinya juga
investor dari negara lain. Pernah pula keluar Peraturan Menteri Keuangan No.
1055/KMK.013/1989 yang membatasi kepemilikan asing di Pasar Modal hanya
sampai 49%. Peraturan tersebut tidak bertahan lama.
3.4 Pengesahan Kerangka Kerja Sama Investasi Antar ASEAN
Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967,
negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu
agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi
difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan
(preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling
melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota
maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects
Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial
Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme
(1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Pada dekade 80-
an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan
upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara
anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan
saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi
kawasan. Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani
Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus
menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1
Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai
mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk
pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan
perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Dalam
perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan
barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi.
KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 menyepakati pembentukan
komunitas ASEAN yang salah satu pilarnya adalah Komunitas Ekonomi ASEAN
(AEC). AEC bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang
ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan
perpindahan barang modal secara lebih bebas.
KTT ke-10 ASEAN di Vientiene tahun 2004 antara lain menyepakati
Vientiane Action Program (VAP) yang merupakan panduan untuk mendukung
implementasi pencapaian AEC di tahun 2020.
ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur bulan
Agustus 2006 menyetujui untuk membuat suatu cetak biru (blueprint) untuk
menindaklanjuti pembentukan AEC dengan mengindentifikasi sifat-sifat dan
elemen-elemen AEC pada tahun 2015 yang konsisten dengan Bali Concord II dan
dengan target-target dan timelines yang jelas serta pre-agreed flexibility untuk
mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN.
KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 telah menyepakati
”Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community
by 2015”. Konteks tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN telah
menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun ”Cetak Biru ASEAN
Economic Community (AEC)”. Cetak Biru AEC tersebut berisi rencana kerja
strategis dalam jangka pendek, menengah dan panjang hingga tahun 2015 menuju
terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN.
Pelaksanaan rencana kerja strategis tersebut dijabarkan lebih lanjut
melalui priority actions yang pencapaiannya dievaluasi dan dimonitor dengan
menggunakan score card. Dukungan berupa kemauan politik, koordinasi dan
mobilisasi sumber daya, pengaturan pelaksanaan, peningkatan kemampuan
(capacity building) dan penguatan institusi, serta peningkatan konsultasi antara
pemerintah dan sektor swasta. Pelaksanaan rencana kerja strategis tersebut juga
akan didukung dengan program pengembangan sumber daya manusia dan
kegiatan penelitian serta pengembangan di masing-masing negara.
Pada KTT ASEAN Ke-13 di Singapura, bulan Nopember 2007, telah
disepakati Blueprint for the ASEAN Economic Community (AEC Blueprint) yang
akan digunakan sebagai peta kebijakan (roadmap) guna mentransformasikan
ASEAN menjadi suatu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang
kompetitif dan terintegrasi dengan ekonomi global. AEC Blueprint juga akan
mendukung ASEAN menjadi kawasan yang berdaya saing tinggi dengan tingkat
pembangunan ekonomi yang merata serta kemiskinan dan kesenjangan sosial-
ekonomi yang makin berkurang. Sebagai upaya untuk memfasilitasi perdagangan
di tingkat nasional dan ASEAN sebagaimana tertuang dalam AEC Blueprint
2015, Indonesia telah melakukan peluncuran National Single Window (NSW)
dalam kerangka ASEAN Single Window (ASW) pada tanggal 17 Desember 2007.
Menurut rencana ASW akan diimplementasikan pada tahun 2009.
3.5 Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1) Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban financial antara
penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiba
finansial luar negeri antar penduduk;
2) Devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi
internasional;
3) Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia sekurangkurangnya 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatic Republik Indonesia di luar negeri;
4) Sistem Nilai Tukar adalah sistem yang digunakan untuk pembentukan harga
mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
Pasal 2
1) Setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa.
2) Penggunaan Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk keperluan
transaksi di dalam negeri, wajib memperhatikan ketentuan mengenai alat
pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
Bank Indonesia.
Pasal 3
1) Bank Indonesia berwenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan
Lalu Lintas Devisa yang dilakukan oleh Penduduk.
2) Setiap Penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan
Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia
Pasal 4
1) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia menetapkan
ketentuan atas berbagai jenis transaksi Devisa yang dilakukan oleh bank.
2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 5
1) Bank Indonesia mengajukan Sistem Nilai Tukar untuk ditetapkan oleh
Pemerintah.
2) Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan Sistem
Nilai Tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Bank Indonesia.
3.6 Kewajiban Pelaporan Lalu Lintas Devisa Melalui Bank Dan LKBB
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan :
1) Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan Aset dan Kewajiban
Finansial Luar Negeri antar penduduk;
2) Aset dan Kewajiban Finansial Luar Negeri adalah aset dan kewajiban
finansial terhadap bukan penduduk, antara lain dalam bentuk simpanan,
surat-surat berharga dan pinjaman baik dalam valuta asing maupun rupiah;
3) Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri;
4) Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
5) Lembaga Keuangan Non Bank meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas,
modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Pasal 2
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank wajib menyampaikan keterangan dan
data kepada Bank Indonesia mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang
dilakukannya secara lengkap, benar dan tepat waktu.
Pasal 3
Keterangan dan data yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia.
Pasal 4
1) Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Bank sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 meliputi:
a. Perpindahan devisa melalui Bank baik untuk kepentingan Bank maupun
nasabah, yaitu transaksi:
Penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam rupiah
maupun valuta asing;
Penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan penduduk di dalam
negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing;
Penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar penduduk dalam
valuta asing.
b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Bank.
2) Bank wajib meminta keterangan dan data kepada nasabah yang melakukan
kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank dimaksud.
3) Nasabah yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank wajib
memberikan keterangan dan data kepada Bank yang bersangkutan.
Pasal 5
Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 meliputi:
a. Perpindahan devisa dalam rangka transaksi:
1. Penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan
2. Non Bank dengan bukan penduduk baik dalam Rupiah maupun valuta
asing;
b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Lembaga Keuangan Non Bank.
Pasal 6
Dalam hal keterangan dan data yang disampaikan diragukan kebenarannya, Bank
Indonesia dapat meneliti kebenaran keterangan dan data tersebut, termasuk
meminta bukti pembukuan, catatan dan dokumen yang berkaitan dengan
kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2.
Pasal 7
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, atas permintaan Bank Indonesia, wajib
memberikan kesempatan bagi pemeriksaan pembukuan, catatan dan dokumen
yang ada padanya.
Pasal 8
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank wajib memberikan bantuan yang
diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala pembukuan, catatan,
dokumen dan penjelasan yang disampaikan oleh yang bersangkutan.
Pasal 9
1) Keterlambatan penyampaian laporan dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebagai berikut:
a. Bagi Bank sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah);
b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
Rupiah); untuk setiap hari keterlambatan.
2) Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang tidak menyampaikan laporan
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagai berikut :
a. Bagi bank sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);
b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh
juta Rupiah); ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang menyampaikan laporan secara
tidak lengkap dan atau tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagai berikut:
a. Bagi Bank paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);
b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank paling banyak sebesar Rp20.000.000,00
(dua puluh juta Rupiah).
Pasal 11
Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
selama 6 (enam) periode berturut-turut atau paling lama 6 (enam) bulan dapat
dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha bank.
Pasal 12
Bagi Lembaga Keuangan Non Bank yang tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 selama 6 (enam) periode berturut-turut atau
paling lama 6 (enam) bulan, Bank Indonesia merekomendasikan sanksi
administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang
berwenang.
Pasal 13
Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan
ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kebijakan Pembayaran Internasional Meliputi:
a) Kebijakan ini meliputi tindakan/kebijakan pemerintah rekening modal
(Modal di Luar Sektor Moneter): menyangkut lalu lintas modal masuk dan
keluar.
b) Tindakan/ kebijakan pemerintah:
Penghapusan pembatasan penanaman modal asing (PMA): di bidang
perkebunan kelapa sawit, perdagangan eceran dan grosir.
Pengesahan kerangka kerja sama investasi antar ASEAN.
Mengundangkan UU No. 24/1999 tentang lalu lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar.
Peraturan BI, PBI No.1/9/PBI/1999: ketentuan mengenai kewajiban
pelaporan lalu lintas (kegiatan) devisa melalui Bank dan LKBB.
4.2 Saran
a) Kebijakan pemerintah harus dijalankan bagi semua pihak agar neraca
pembayaran tetap surplus.
b) Bagi yang melanggar dikenakan sanksi hukum yang setimpal agar jera sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Antisipasi Pelarian Modal, Jurnal Nasional, 26 Agustus 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas
Devisa Dan Sistem Nilai Tukar.
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Jurnal Nasional, 1 Agustus 2009.
UU Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar.