kebebasan “fiktif” pers indonesia (keterasingan pekerja …isip.usni.ac.id/jurnal/addin...
TRANSCRIPT
1
KEBEBASAN “FIKTIF” PERS INDONESIA
(Keterasingan Pekerja Pers Dari Pekerjaan Dan Dirinya Sendiri Sebagai
Bentuk Dari Konglomerasi Media)
Addin Maulana
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sahid
Jalan Jendral Sudirman. No 86 Jakarta
ABSTRAK
Kajian ini memfokuskan pada praktik konglomerasi media yang terjadi di Indonesia.
Beberapa penelitian terkait hal tersebut menunjukkan bahwa praktik ini terjadi di Indonesia, hal ini
juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bagdikian dalam tulisannya terkait Teori Endless Chain, bahwa konsekuensi dari praktik ini adalah apa yang disampaikan oleh media sangat
bergantung kepada kepentingan-kepentingan penguasanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Kebebasan yang diapat dalam mengeluarkan pendapat, ide dan gagasan tidak sepenuhnya dapat
dilakukan oleh para pekerja di dalamnya. Kebebasan hanya dapat dimiliki oleh meraka yang hanya ketegantungan besar pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebebasan pers yang ada saat ini dapat
dikatakan sebagai kebebasan “fiktif”, kebebasan yang tidak hakiki, kebebasan yang tidak nyata, atau
kebebasan yang hanya menjadi wacana saja, yang dipengaruhi oleh pihak-pihak dimana penulis / penerbit berita memiliki ketergantungan besar atas keberlangsungan hidup dan karirnya.
Kata Kunci: Konglomerasi media, Teori Endless Chain, Kebebasan Pers.
ABSTRAC
This study focuses on media conglomeration practices occurring in Indonesia. Some things
related to the things that happen in Indonesia, this is also in line with The Bagdikian’s Endless Chain Theory, what is conveyed by the media is depend on the benefit of its owner. Thus it can be said that
the freedom that comes in expressing opinions and ideas can not be done by the workers in it.
Freedom can only be done by those who is only a great dependence on himself. Therefore, the current
freedom of the press can be regarded as "fictitious" freedom, unwarranted freedom, unreal freedom, or freedom which is only a discourse, altered by the parties where the author / publisher of the news
has on the sustainability life and career.
Keywords: Conglomeration Media, Endless Chain Theory, Press Freedom.
2
I. PENDAHULUAN
Era demokrasi merupakan era
dimana setiap warga negara memiliki hak
yang sama dalam mengambil keputusan,
berpendapat, serta berpartisipasi terhadap
jalannya roda pemerintahan suatu negara.
Kebebasan yang bertanggung merupakan
kunci dari sebuah demokrasi. Setiap warga
negara memiliki perannya sendiri dalam
berdemokrasi, diharapkan mereka semua
mampu menjalankan perannya secara
optimal untuk ikut serta dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Media massa memiliki peran yang
sangat kuat dalam demokrasi,
keberadaanya merupakan bagian penting
dalam penyampaian informasi kepada
masyarakat sebagai subyek dan obyek
pembangunan dalam demokrasi.
Kebebasan mengemukakan pendapat tentu
merupakan peluang yang dapat
dimanfaatkan oleh media massa untuk
mengemukakan informasi yang benar
kepada masyarakat. Namun, pemerintah
tetap harus memberikan garis pandu bagi
mereka, sehingga keberadaannya juga
dapat dipertanggung jawabkan. Oleh
karena itu, pemerintah mengeluarkan
peraturan terkait Pers atau lembaga yang
memiliki fungsi jurnalistik yang
dirumuskan dalam Undang-Undang
Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Terdapat beberapa poin penting
kenapa Undang-Undang Nomor 40 tahun
1999 tentang Pers perlu dibentuk,
diantaranya adalah sebagai bentuk
kedaulatan rakyat, kebebasan berpendapat
sesuai hari nurani, hak memperoleh
informasi sebagai salah satu hak asasi
manusia dalam upayanya untuk
mencerdaskan dan mensejahterakan
masyarakat, peran profesional pers
nasional sebagai wahana komunikasi
massa (penyebar informasi dan pembentuk
opini), serta peran pers nasional dalam ikut
menjaga ketertiban.
Pada UU No. 40/199 tentang Pers,
pasal 3 (1) menyebutkan bahwa Pers
nasional mempunyai fungsi sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan, dan
kontrol sosial. Kebebasan Pers sendiri
dijamin sebagai salah satu Hak Asasi
Warga negara sesuai dengan pasal 4 (1).
Yang dimaksud dengan -kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga negara-
adalah bahwa pers bebas dari tindakan
pencegahan, pelarangan, dan atau
penekanan agar hak masyarakat untuk
memperoleh informasi terjamin.
Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan
yang disertai kesadaran akan pentingnya
penegakan supremasi hukum yang
dilaksanakan oleh pengadilan, dan
tanggung jawab profesi yang dijabarkan
3
dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai
dengan hati nurani insan pers.
Pasal 5 (1) kemudian menyebutkan
bahwa Pers nasional berkewajiban
memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan
rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah. Artinya adalah tidak
menghakimi atau membuat kesimpulan
atas kesalahan seseorang, terlebih lagi
untuk kasus-kasus yang masih dalam
proses peradilan, serta dapat
mengakomodasikan kepentingan semua
pihak yang terkait dalam pemberitaan
tersebut. Pada pasal 6, disebutkan
beberapa peranan Pers nasional, antara
lain: (1) Memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui; (2) Menegakkan nilai-nilai
dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, dan Hak Asasi
Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
(3) Mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat
dan benar; (4) Melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum;
(5) Memperjuangkan keadilan dan
kebenaran.
Pers yang memiliki kemerdekaan
untuk mencari dan menyampaikan
informasi juga sangat penting untuk
mewujudkan Hak Asasi Manusia. Pers
yang juga melaksanakan kontrol sosial
sangat penting pula untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik
korupsi, kolusi, nepotisme, maupun
penyelewengan dan penyimpangan
lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang,
karena itu dituntut pers yang profesional
dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.
Oleh karena itu, penulis merasakan
perlunya membuat kajian tentang
bagaimana perkembangan, pelaksanaan,
dan penerjemahan dari kebebasan pers
yang merupakan salah satu hak asasi
manusia, terutama pada saat ini dimana
peranan media massa di Indonesia
dirasakan semakin penting baik dalam
kehidupan ekonomi, sosial maupun politik.
I. KERANGKA TEORITIS
Perkembangan Media Massa Di
Indonesia
Triwiboro dan Dhewanto (2015),
menyatakan bahwa perkembangan industri
televisi dan radio di Indonesia dimulai
ketika Angkatan Laut Kerajaan Belanda
pertama kali mengoperasikan fasilitas
radio komunikasi di Sabang pada tahun
1911. Pada saat itu, fasilitas radio
digunakan sebagai alat komunikasi untuk
mengatur lalu lintas kapal laut yang
melintas Selat Malaka, jalur perdagangan
yang sangat padat pada masanya. Setelah
4
Perang Dunia I usai, tepatnya pada tahun
1925, Batavia Radio Society atau Radio
Batavia Vereniging (BRV) mulai didirikan
di Jakarta. Lahirnya BRV inilah yang
mulai mengawali keberadaan radio siaran
di Hindia Belanda (Indonesia). Sejarah
sistem penyiaran televisi di Indonesia
dimulai pada 17 Agustus 1962. Pada saat
itu, Televisi Republik Indonesia (TVRI)
lahir dan untuk pertama kalinya mulai
beroperasi. Siaran pertama dilakukan
untuk menyiarkan peringatan hari ulang
tahun ke-17 proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia dari halaman Istana
Merdeka Jakarta. Pada awalnya TVRI
adalah proyek khusus untuk
menyukseskan penyelenggaraan Asian
Games IV di Jakarta. Siaran TVRI pada
saat itu hanya terkait seputar Asian Games
yang dikoordinir oleh Organizing
Committee Asian Games IV, di bawah
naungan Biro Radio dan Televisi
Departemen Penerangan. Mulai 12
November 1962, TVRI mengudara secara
reguler setiap hari dengan variasi konten
yang berbeda. Pada 1 Maret 1963 TVRI
mulai menayangkan iklan seiring dengan
ditetapkannya TVRI sebagai televisi
berbadan hukum yayasan melalui
Keputusan Presiden RI Nomor 215 Tahun
1963.
Media cetak di Indonesia telah ada
sejak tahun 1744. Saat itu media massa
cetak telah dikuasai sepenuhnya oleh
kolonialisme Belanda. Media massa cetak
yang pertama kali terbit di Batavia pada
tahun 1744 adalah “Batavia Nouvelles”
yang tentu saja berbahasa belanda yang
hanya bertahan 2 tahun. Selanjutnya di
tahun 1828, terbit “Javasche Courant” di
Batavia. Sementara itu pada periode yang
sama di Surabaya telah terbit media massa
cetak “Soerabajasch Advertantiland” yang
kemudian berganti nama menjadi
“Soerabajasch Niews en Advertantiland”.
Adapun di Semarang media cetak yang
bertajuk “Semarangsche Courant” telah
terbit. Di Sumatra terbit “Soematra
Courant” dan di Padang terbit
“Handeslsbland”. Di Makassar terbit
“Celebes courant” dan “Makassar
Handelsbland”. Baru pada tahun 1858
media massa cetak berbahasa melayu
mulai diterbitkan.
Sejak awal penerbitannya, jelas
bahwa apa yang menjadi isi pemberitaan
sangat dipengaruhi oleh siapa yang
berkuasa saat itu. Jika pada jaman belanda,
semua seolah dipaksakan untuk menerima
informasi yang diinginkan oleh penguasa
saat itu, maka tidak berbeda juga dengan
pada saat pendudukan Jepang. Pada jaman
orde baru, terdapat perubahan yang
signifikan pada media massa cetak dengan
dikeluarkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Isi Dekrit itu antara lain adalah larangan
5
pers untuk turut berpatisipasi dalam
kegiatan politik. Dengan kata lain, media
massa cetak dilarang menjadi alat
propaganda kepentingan politik manapun.
Kehidupan pers setelah Reformasi,
mengalami perubahan yang besar. Suatu
kebijakan yang monumental karena
dianggap sebagai tonggak dimulainya
kebebesan pers di Indonesia yakni
dikeluarkannya Permenpen No.
01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan-
Ketentuan SIUPP . Pada Permenpen ini,
sanksi pencabutan SIUPP maupun
pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada
lima peraturan, baik berupa Peraturan
Menteri maupun Surat Keputusan Menteri,
yang keseluruhannya menghambat ruang
gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah
dikeluarkannya Undang- Undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal
di dalam undang-undang ini yang
menyatakan pencabutan semua undang-
undang pers yang ada sebelumnya.
Dengan demikian, pada rezim ini tidak ada
lagi peraturan yang membatasi ruang gerak
pers. Perubahan-perubahan yang begitu
besar dan berlangsung dalam masa yang
sedemikian singkat tersebut, ternyata telah
meningkatkan keinginan orang-orang
maupun lembaga- lembaga yang ada di
masyarakat untuk mendirikan penerbitan
pers.
Teori Ekonomi Politik Komunikasi
Mosco (2009) dalam bukunya The
Political Economy of Communication,
memberikan pengertian ekonomi politik
komunikasi dalam arti sempit yaitu “The
study of the social relations, par- ticularly
the power relations, that mutually
constitute the production, distribution, and
con- sumption of resources, including
communication resources (Halaman:2)”,
artinya bahwa studi tentang hubungan
sosial, terutama hubungan kekuasaan,
yang saling membentuk produksi,
distribusi, dan konsumsi sumber daya,
termasuk sumber daya komunikasi. Secara
luas dan umum, Mosco memberikan
pengertian ekonomi politik komunikasi
sebagai “the study of control and survival
in social life (Halaman:3)”, atau studi
tentang kontrol dan kelangsungan hidup
dalam kehidupan sosial. Kontrol mengacu
secara khusus pada bagaimana masyarakat
mengatur dirinya sendiri, mengelola
urusannya dan beradaptasi, terhadap
perubahan yang tak terelakkan yang
dihadapi semua masyarakat, menurut
interpretasi ini, kontrol adalah proses
politik karena membentuk hubungan
dalam suatu komunitas. Sedangkan
kelangsungan hidup berarti bagaimana
orang menghasilkan apa yang mereka
butuhkan untuk mereproduksi diri mereka
sendiri dan untuk menjaga masyarakat
6
mereka pergi. Menurut interpretasi ini
kelangsungan hidup terutama ekonomi
karena melibatkan proses produksi dan
reproduksi.
Mosco juga dalam buku yang sama
menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) proses
utama yang membentuk Ekonomi Politik
Komunikasi, yaitu:
Commodification is the
process of transforming
things valued for their use
into marketable products
that are valued for what
they can bring in
exchange……
Spatialization is the
process of over- coming the
constraints of geographical
space with, among other
things, mass media and
communication
technologies…… Finally
structuration is the process
of creating social relations,
mainly those organized
around social class,
gender, and
race..(Halaman: 2)
Komodifikasi adalah proses
mengubah hal-hal yang bernilai untuk
digunakan ke dalam produk-produk yang
dapat dipasarkan yang bernilai untuk apa
yang dapat mereka hasilkan. Lebih lanjut
dalam bukunya Mosco menjelaskan bahwa
komodifikasi merupakan titik awal untuk
mulai berteori ekonomi politik
komunikasi. Komodifikasi didefinisikan
sebagai proses transformasi barang dan
jasa, termasuk komunikasi, yang memiliki
nilai untuk penggunaannya, menjadi
komoditas yang dinilai untuk apa yang
akan mereka bawa di pasar, atau dengan
kata lain, mengubah nilai guna menjadi
nilai tukar. Ada tiga jenis komodifikasi
yang penting dalam komunikasi, yaitu:
komodifikasi konten, audiens, dan tenaga
kerja. Komoditas menimbulkan komoditas
baru, dalam apa yang disebut komodifikasi
immanen, dan mereka diciptakan dalam
hubungan dengan barang dan jasa yang
tidak dikomodifikasi, dalam apa yang
disebut komodifikasi eksternal.
Spasialisasi adalah proses mengatasi
kendala ruang geografis antara lain dengan
media massa dan teknologi komunikasi.
Proses ini dilakukan untuk mengatasi
kesenjangan antara jarak dan waktu
dengan mengoptimalisasi teknologi.
Strukturasi adalah proses dimana
struktur sosial terbentuk dari agensi
manusia, bahkan ketika mereka berfungsi
sebagai medium konstitusi sosial.
Ekonomi politik membawa penekanan
pada kekuasaan pada struktur dualisme
agensi. Struktur membatasi individu
7
dengan menggunakan kekuatan ekonomi,
politik, dan budaya. Salah satu
konsekuensi dari penggunaan ini adalah
pembentukan kelas sosial, gender, ras, dan
kategori sosial lainnya yang membentuk
divisi utama di bidang sosial. Tetapi kelas
sosial dan divisi lain bukan hanya
konsekuensi dari tekanan struktural,
mereka juga hasil dari agen individu dan
kelompok sosial yang menggunakan
kekuatan mereka sendiri untuk membentuk
diri mereka di dunia dan dalam hubungan
dengan orang lain.
The Endless Chain Theory
Merangkum dari apa yang
disampaikan oleh Bagdikian dimana salah
satu tulisannya di muat dalam buku The
Political Economy of The Media yang di
susun oleh Golding dan Murdok (1997).
Bagdikian menulis tentang keresahannya
terhadap kondisi penguasaan media oleh
perusahaan-perusahaan besar, dimana
dengan demikian fungsi utama dari media
lama kelamaan menjadi terbiaskan oleh
kepentingan perusahaan yang memiliki
media tersebut. Peran media sebagai
penyampai informasi dan pembentukan
pola pikir masyarakat, menjadikan media
sebagai salah satu alat perusahaan yang
berorientasi laba untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dalam tulisannya, Bagdikian
menceritakan bagaimana kondisi lima
puluh tahun yang lalu, dimana para editor
lebih berterus terang tentang apa yang
wartawan dapat cetak dan tidak karena
kepentingan beberapa pemilik. Ironisnya,
standar jurnalistik yang lebih tinggi saat
ini membuat ini hampir tidak mungkin
dilakukan dalam segala jenis mode
terbuka. Sebaliknya, alasan untuk tidak
mencetak sebuat berita karena kepentingan
pemilik dijelaskan sebagai, "tidak ada
yang tertarik dengan cerita itu". Apakah
ini berarti bahwa berita tersebut
bertentangan dengan kepentingan pemilik
tidak pernah dipublikasikan? Tidak. Tetapi
ini berarti bahwa agar berita tersebut dapat
diterbitkan, mereka harus "lebih mendesak
dan melodramatis" pada berita-berita yang
mendukung minat mereka (pemilik).
Dengan praktik semacam ini, maka
"gambaran total berita yang diterima
masyarakat, dicondongkan ke arah
kepentingan perusahaan."
Bagdikian juga menyampaikan
bahwa sangat sulit bagi publik untuk
mengetahui apakah penerbit menggunakan
pandangan politik perusahaannya untuk
mempengaruhi berita atau tidak. Lagi pula
menurutnya, editor membuat ratusan
keputusan setiap harinya terkait masalah
ini yang merupakan pekerjaan mereka.
Sangat mudah untuk menyembunyikan
8
sudut pandang perusahaan di bawah alasan
lainnya. Ada banyak laporan setiap tahun
tentang reporter, editor, produser televisi
dan penulis yang dipecat atau didemosikan
karena mereka “menginjak kaki”
perusahaan pemiliknya, hasilnya adalah
swasensor (Self-cencorship).
Apakah Korporasi / perusahaan
mempengaruhi Media yang “mereka
miliki”? Untuk pertanyaan tersebut
Bagdikian dengan yakin menjawab bahwa
Korporasi memperngaruhi media yang
dimilikinya. Mungkin salah satu kekuatan
paling penting yang dimiliki perusahaan
media adalah kekuatan untuk menciptakan
ide dan gerakan, yang, jika perlu, "dapat
mencerminkan keinginan yang sangat
pribadi dari pemilik media". Bagdikian
bersama George Orwell pada 1984 dan
gagasannya tentang satu pemilik dari
semua media dan kerusakan yang
dilakukan - dan menjelaskan bahwa
segelintir perusahaan terikat dengan bisnis
dan perbankan memiliki sebagian besar
media mainstream Amerika. Dia
berpendapat bahwa itu bukan konspirasi -
perusahaan besar telah berbagi nilai-nilai
yang tercermin dalam berita mereka dan
budaya populer. Mereka adalah pembentuk
utama opini publik tentang peristiwa dan
maknanya. Mereka memiliki pengaruh
besar dalam pemerintahan. Ketika
kepentingan perusahaan mereka
dipertaruhkan - dalam bentuk pajak,
regulasi dan antitrust - mereka
menggunakan kekuasaan dalam selisih
berita dan dalam kekuatan lobi pribadi
untuk mempengaruhi politisi dan proses
politik.
Dua alasan, menurut Bagdikian,
mengapa perusahaan mencoba untuk
mendominasi media: Alasan pertama
adalah, Uang – Keuntungan / Profit, jelas
bahwa siapapun yang mampu
mendominasi pasar akan mendapatkan
persentasi keuntungan yang jauh lebih
besar dari pada yang tidak. Alasan kedua
adalah, Kekuasaan untuk mempengaruhi -
perusahaan dominan memiliki pengaruh
dominan atas berita, informasi, gagasan,
budaya populer, dan sikap politik publik -
dan memiliki pengaruh dalam
pemerintahan karena mereka
mempengaruhi persepsi audiens mereka
tentang kehidupan publik, persepsi politik
dan politisi.
II. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pada bagian ini, penulis
menyampaikan beberapa penelitian
terdahulu terkait praktik konglomerasi
media di Indonesia, dengan harapan akan
mampu memberikan gambaran terakit
praktik konglomerasi media di Indonesia,
sesuai dengan judul yang penulis ambil.
9
Nugroho, dkk (2013) dalam
penelitiannya yang berjudul “Memetakan
Landskap Industri Media Kontemporer
di Indonesia” menyatakan:
Riset kami menemukan
bahwa pemilik media
membuat media menjadi
sebuah komoditas, dengan
pemirsa diperlakukan
hanya sebagai konsumen,
bukan sebagai warga
negara yang sah… Sebagai
alat untuk kekuasaan,
media menanggung bias
yang tidak dapat dihindari
karena adanya intervensi
dari pemilik media, yang
juga termasuk keharusan
untuk mendukung
kebijakan pemerintah dan
korporasi ketika
menciptakan konten
(terutama konten berita),
serta mendistribusikannya
kepada pemirsa. Informasi
publik di media menjadi
hak istimewa dari
industri..... Warga negara
hanya terpapar oleh
informasi yang terbatas,
karena kebanyakan isu-isu
penting yang berkaitan
dengan sosial, ekonomi,
dan politik disampaikan
oleh media secara
selektif…. Kekuasaan
untuk mengendalikan
media tampaknya telah
menjadi kekuasaan untuk
juga mengendalikan
kebijakan serta Undang-
Undang media, sehingga
menegaskan regulasi ini
lebih berorientasi pada
perusahaan daripada
kepada publik. (Hal. Vii-
ix).
Lebih lanjut, Nugroho (2013)
menjelaskan bahwa struktur konsentrasi
kepemilikan media di Indonesia, yang
didominasi oleh dua belas kelompok
terbesar. Mencerminkan sebuah kendali
tinggi pada tindakan maupun aliran
informasi dari titik pusat hingga ke
periferal. Jaringan seperti yang seperti
pada Gambar 2 tidak hanya menampilkan
hubungan konsentrasi kepemilikan dalam
kerja media, tetapi juga memperlihatkan
secara logis bagaimana kendali medium
dan konten terjadi.
10
Gambar 2. Struktur jaringan kepemilikan media di Indonesia: 2011, Nugroho (2013)
11
Yasir (2017) mengatakan Adanya
monopoli dan pemusatan kepemilikan dan
penguasaan lembaga penyiaraan oleh satu
orang jelas melanggar UU Penyiaran
nomor 32 tahun 2002 pasal 5 butir ketujuh
(g) yaitu: “mencegah monopoli
kepemilikan dan mendukung persaingan
yang sehat di bidang penyiaran”. Selain
itu, Pasal 18 ayat 1 (satu) menjelaskan
“Pemusatan kepemilikan dan penguasaan
Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu
orang atau badan hukum, baik di satu
wilayah siaran maupun di beberapa
wilayah, dibatasi”. Pengaturan seperti ini
jelas berguna untuk mengatur kekuatan
hegomonis media, karena kekuasaan
tersebut dapat mengeksploitasi khalayak
dan pekerjanya yang juga akan
mengabaikan isi atau kepentingan publik
(publik interest). Kepentingan publik
diabaikan dan hanya dieksploitasi untuk
menjadikan kepentingan publik sebagai
komoditas atau buruh kapital dan juga
menjadi komoditas kepentingan politik
pemilik media.
Valerisha (2017) dalam
penelitiannya mengidentifikasi beberapa
temuan dimana peran “penguasa” yang
berada di belakang media, baik secara
eksplisit maupun implisit, mempengaruhi
informasi yang disampaikan oleh media
dalam kasus luapan lumpur di Poring -
Sidoarjo, serta terkait pemberitaan politik
pemilihan Presiden Indonesia tahun 2014
lalu, sebagai berikut:
Temuan yang pertama kali
didapat ditunjukkan oleh
kasus pemberitaan luapan
lumpur di Porong, Sidoarjo.
Peristiwa meluapnya
lumpur tersebut diakibatkan
oleh kegiatan pengeboran
gas yang dilakukan oleh
PT. Lapindo Brantas.
Menariknya, stasiun
televisi TV One dan ANTV
tidak pernah memasang
headline atau judul berita
dengan kalimat “Lumpur
Lapindo”, melainkan
dengan kalimat “Lumpur
Sidoarjo”. Untuk diingat,
PT. Lapindo Brantas adalah
anak perusahaan
pertambangan PT. Energi
Mega Persada yang
bergerak di bidang industri
minyak dan gas bumi.
Perusahaan ini dimiliki
oleh Bakrie & Brothers,
salah satu perusahaan yang
dimiliki oleh keluarga
Bakrie. Yang patut menjadi
perhatian adalah bahwa
Aburizal Bakrie merupakan
anggota dan juga ketua
12
partai Golkar sekaligus
pemilik dari stasiun televisi
TV One.
Temuan kedua ditunjukkan
oleh stasiun televisi Metro
TV yang seringkali
menyiarkan pemberitaan
tentang Partai Nasional
Demokrat (Nasdem) dalam
rupa iklan yang
menunjukkan citra atau
image ketua partai.
Pemberitaan tersebut jika
diperhatikan dari sudut
nilai dan tingkat urgensi,
sebetulnya tidak terlalu
urgen untuk ditampilkan.
Tetapi karena kepentingan
dari sang pemilik, maka
konten tersebut dirasa perlu
dimnuculkan di layar kaca.
Motif di baliknya bisa
macam- macam, mulai dari
memperkenalkan nama
partai kepada audiens,
memberikan informasi
kepada audiens mengenai
kegiatan partai, apa visi
misi partai, bahkan seruan
yang bersifat persuasif
terkait isu-isu tertentu,
khususnya isu yang “dekat”
dengan masyarakat seperti
kepedulian terhadap
masyarakat misalnya. Dan
itu semua dipertontonkan
dengan tujuan membangun
citra atau image sang tokoh
atau partainya.
Sebagaimana diketahui,
bahwa pemilik stasiun
televisi Metro TV adalah
Surya Paloh, ketua Partai
Nasdem.
Temuan-temuan berikutnya
banyak ditunjukkan ketika
memasuki masa kampanye
Pemilu capres dan
cawapres tahun 2014.
Kedua pemilik media berita
utama di Indonesia, yaitu
Surya Paloh (pemilik
MetroTV sekaligus Ketua
Umum Partai Nasdem) dan
Aburizal Bakrie (pemilik
TV One sekaligus Ketua
Umum Partai Golkar),
masing-masing
menggunakan media
televisi miliknya sebagai
alat kampanye politik untuk
memengaruhi opini public,
dengan jalan memasang
iklan. Pada saat itu, partai
Nasdem menjadi
pendukung pasangan calon
13
presiden Joko Widodo
(Jokowi) dari PDI
Perjuangan dan calon wakil
presiden Jusuf Kalla
(Kalla) dari Partai Golkar.
Sedangkan pada saat itu
kubu pasangan Prabowo-
Hatta didukung oleh
Aburizal Bakrie (TV One)
dan Hary Tanoesudibjo
(MNC Group) yang saat itu
masih menjadi anggota
Partai Hanura.
Dari penelitian-penelitian tersebut
dapat diketahui bahwa praktik
konglomerasi media terjadi di Indonesia.
Kepentingan-kepentingan penguasa media
memperngaruhi apa yang disampaikan
oleh media. Konsekuensi dari praktik
tersebut adalah kebebasan yang ada pada
pembuat berita menjadi terbatas dengan
kepentingan-kepentingan tersebut.
III. KESIMPULAN
Ada hal penting yang perlu diingat
dalam pengelolaan suatu lembaga yang
berorientasi kepada laba, bahwa pada
umumnya jenis usaha ini dilakukan oleh
swasta, dan penguasaan pasar merupakan
salah satu jalan untuk mendapatkan
keuntungan. Beranjak dari pemikiran Karl
Marx, dan teorinya tentang kelas dimana
terdapat 2 (dua) jenis kelas yaitu kelas
proletar dan kelas burjois. Keras proletar
merupakan keras pekerja yang miskin,
yang terasing dari pekerjaan dan dirinya
sendiri. Sementara borjouis merupakan
kelas yang kaya yang menindas yang
memiliki alat-alat produksi. Revolusi
dimulai dari semakin besarnya jarak antara
kedua kelas ini.
Dengan kepemilikan media saat ini,
bukan tidak mungkin pekerja yang
terdapat didalamnya merupakan mereka
yang terasing dari pekerjaan dan dirinya
sendiri. Bukan tidak mungkin pemiliki
media massa memiliki kendali penuh
terhadap setiap hasil pekerjaan
perusahaannya guna memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya. Media
massa, merupakan alat yang sangat
berbahaya apabila difungsikan dengan cara
yang tidak semestinya. Media massa
mampu menjadi jembatan penyampaian
ideologi-ideologi baik yang dilakukan
secara paksa maupun tidak kepada
khalayak, yang ditujukan guna
mempengaruhi pasar yang nantinya akan
melahirkan keuntungan bagi
perusahaannya. Media massa juga dapat
dijadikan sebagai alat untuk membentuk
persepsi khalayak terhadap sesuatu,
dimana nantinya dapat mempengaruhi
lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro
14
terhadap pengusaha yang terkait dengan
media massa tersebut.
Penelitian-penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa konglomerasi media
di Indonesia sungguh tengah terjadi,
bahkan sejak beberapa tahun belakangan
ini. Kaum borjouis seolah melihat peluang
besar dari penguasaan media bagi
pencapaian tujuannya, dan dalam hal ini
khalayaklah yang paling banyak dirugikan.
Media massa menjadi senjata yang paling
ampuh saat ini untuk dijadikan sebagai alat
bagi pemilik/penguasa media untuk
menanamkan ideologi-ideologinya
kedalam benak masyarakat sebagai
konsumen bagi media serta konsumen bagi
perusahaan-perusahaan lain yang dimiliki
oleh pemiliki media. Bottomore (1956: 70)
dalam bukunya Karl Marx, Selected
Writings on Sociology and Social
Philosophy, menyampaikan pendapat Karl
Marx tentang keterasingan pekerja sebagai
kondisi dimana “The work is external to
the worker, that is not a part of his nature,
that consequently he does not fulfil himself
in his work but denies himself….. it is not
the satisfaction of a need, but only a means
for satisfying other needs”.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Kebebasan yang diapat dalam
mengeluarkan pendapat, die dan gagasan
tidak sepenuhnya bebas. Kebebasan selalu
terkait dengan apa dan siapa kita
berhubungan, dan seberapa besar pengaruh
hubungan tersebut terhadap dirinya.
Hubungan yang dimaksud dapat berupa
ketergantungan. Kebebasan hanya dapat
dimiliki oleh meraka yang hanya
ketegantungan besar pada dirinya sendiri.
Oleh karena itu, kebebasan pers yang ada
saat ini dapat dikatakan sebagai kebebasan
“fiktif”, kebebasan yang tidak hakiki,
kebebasan yang tidak nyata, atau
kebebasan yang hanya menjadi wacana
saja, yang dipengaruhi oleh pihak-pihak
dimana penulis / penerbit berita memiliki
ketergantungan besar atas
keberlangsungan hidup dan karirnya.
Kebebasan tidak didapat bagi
mereka yang bekerja di perusahaan media
massa, untuk melaksanakan hak asasi nya
dalam mengemukakan pendapat,
memberitakan isu sesuai dengan apa yang
didapatkan, menterjemahkan informasi
sesuai dengan ideologi yang dijunjung
tinggi oleh setiap pribadinya. Kebebasan
hanya didapat oleh pemilik/penguasa
media, dimana dengan bebas dapat
mengemukakan apa yang menjadi
pendapatnya, memberitakan isu sesuai
dengan apa yang dikehendaki, serta
menterjemahkan informasi sesuai dengan
ideologi yang dimilikinya, dan semua itu
dilakukan untuk kepentingannya sendiri,
untuk mencapai tujuannya baik tujuan
ekonomi, sosial, maupun politik, dengan
15
mengesampingkan tujuan mulia dari
kebebasan pers, hak khalayak untuk
mendapatkan informasi yang sebenar-
benarnya, serta hak dari penulis media
untuk mengemukakan pendapat, ide, dan
gagasannya atas suatu isu.
Dampak dari hal ini adalah, apa yang
disajikan dan diberitakan oleh media
massa memiliki maksud/tujuan tertentu
didalamnya, dan tujuan tersebut sangat
erat kaitannya dengan kepentingan pemilik
media. Kita dituntut untuk dapat lebih
pandai dan bijaksana dalam menyikapi
setiap berita ataupun informasi yang
disampaikan melalui media massa.
Memperkaya informasi dengan tidak
hanya dari satu sumber informasi dapat
memberikan pengkayaan bagi kita selaku
khalayak. Informasi yang berupa hiburan,
tidak hanya hiburan, begitu pula dengan
informasi lainnya.
Mari kita kembali merujuk UUD
1945 yang pada pasal 33 ayat 1
menyatakan: ”Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”, kemudian pada ayat 2,
menyatakan: ”Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara”, Dasar negara kita
sebenarnya sudah menolak sistem
konglomerasi sektor ekonomi, tak
terkecuali media. Perlu menjadi perhatian
penting bahwa media mampu menguasai
hajat hidup orang banyak dilihat dari efek
yang mampu dihasilkan, seperti yang
dikatakan oleh Harold Lasswell (1927)
dalam Perloff (2014) bahwa “the power
communications could exert on the mass
soul. Lasswell and others used the term
“propaganda” to describe these effects,
although today these might be referred to
as persuasion or social influence”, yang
artinya, kekuatan komunikasi mampu
menggerakan banyak jiwa, efek ini yang
kemudian dikenal dengan ‘propaganda’
atau yang saat ini lebih dikenal dengan
persuasi atau pengaruh sosial. Begitu pula
yang dinyatakan oleh Littlejohn dan Foss
(2009:79) bahwa “Mass media had
relatively powerful effects in terms of
forming and changing beliefs and that the
audience was relatively passive in terms of
processing messages and accepting them”.
Jika demikian, perlu kajian lebih
lanjut bagaimana sebenarnya pemerintah
bersikap akan hal ini, karena ketika mulai
memerintah, mereka sudah harus
mencopot atribut politiknya dan bekerja
demi kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat, karena itulah alasan mengapa
mereka berada dalam posisi saat ini.
Sehingga, pemerintah sudah seharusnya
berada di tengah masyarakat, melindungi
hak masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang sebenarnya, serta
16
melindungi kebebasan pers untuk
mengemukakan pendapat, ide, dan
gagasannya terhadap suatu isu tertentu,
serta menjadi katalisator proses demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bottomore. 1956. Karl Marx Selected
Writings in Sociology and Social
Philosophy. London: McGraw-Hill,
Inc.
Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen A.
2009. Encyclopedia of
Communiation Theory. USA: SAGE
Publications, Inc.
Mosco, Vincent. 2009. The Political
Economy of Communication, 2nd
Edition. London, SAGE Publication
Ltd.
Nugroho dkk. 2013. Memetakan Lanskap
Industri Media Kontemporer di
Indonesia. Jakarta: Creative
Commons Attribution 3.0.
Perloff, Richard M. 2014. The Dinamic of
Political Communication: Media and
Politic in a Digital Age. Routledge:
New York
Triwibowo, Edwina dan Dhewanto,
Wawan. 2015. Ekonomi Kreatif.
Rencana Pengembangan televise dan
Radio Nasional 2015-2019. Jakarta:
PT Republik Solusi.
Jurnal
Golding, Peter dan Murdock, Graham.
1997. The Political Economy of The
Media, Volume I. p 283-306
Purba, Amir. 2006. Perkembangan
Kehidupan Pers dari Masa Rezim
Orde Baru ke Masa Rezim
Reformasi. Jurnal Wawasan. Vo. 12,
No. 1, p 40-46
Valerisha, Anggia. 2017. Dampak Praktik
Konglomerasi Media Terhadap
Pencapaian Konsolidasi Demokrasi
di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional, Universitas
Parahyangan.
http://journal.unpar.ac.id/index.php/J
urnalIlmiahHubunganInternasiona/ar
ticle/download/2546/2396. Diakses
pada 28 Mei 2018.
Yasir. 2017. Konglomerasi Media dan
Kepentingan Politik Pemilik.
Repository Universitas Riau.
https://repository.unri.ac.id/xmlui/ha
ndle/123456789/8964. Diakses pada
28 Mei 2018.
Peraturan / Undang-undang
Undang-Undang No. 40/199 tentang Pers.
Website
http://www.anneahira.com/media-
massa.htm, diakses pada 28 Mei 2018.