kasus forensik bayi dengan patah tulang klavikula
DESCRIPTION
Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obgyn B sewaktu melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat di sana. Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi. Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah terbentuk kalus. Kepada dokter A, mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang tulang klavikula dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan C karena telah lalai tidak dapat mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami telah dapat menyelesaikan
makalah hasil diskusi kasus ini tepat pada waktunya setelah menjalani diskusi
kelompok terlebih dahulu.
Diskusi tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 27 Oktober 2011. dengan
topik ”BAYI DENGAN PATAH TULANG KLAVIKULA”. Diskusi diikuti oleh
14 peserta, dengan ANDRIANUS S. D. sebagai ketua yang memimpin diskusi dan
JUSTHESYA FITRIANI F.PUTRI sebagai sekretaris. Adapun sebagai tutor adalah
dr. T. Winardi. Diskusi berlangsung pada pukul 12.00-14.00.
Diskusi berjalan lancar dan waktu yang disediakan cukup untuk membahas
topik tersebut. Selama diskusi berlangsung semua peserta berperan serta dalam
membahas topik yang dibahas. akhirnya kami memperoleh kesimpulan dan makalah
ini sebagai hasil diskusi.
1
BAB II
KASUS
Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A,
seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter
obgyn B sewaktu melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B
maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera
sewaktu lahir dan dirawat di sana. Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan
benjolan di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai
penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah
terbentuk kalus. Kepada dokter A, mereka meminta kepastian apakah benar terjadi
patah tulang tulang klavikula dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah
tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena
telah mengakibatkan patah tulang dan C karena telah lalai tidak dapat
mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga
ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia
katakan.
2
BAB III
DISKUSI KASUS
Kronologis Kasus
Bayi lahir di tangani oleh dokter B sebagai spesialis obgin dan di rawta oleh
dokter C yang merupakan spesialis anak. Beberapa hari kemudian orang tuanya
menemukan benjolan di daerah bahu kanan anaknya. Lalu orang tua pasien menemui
dokter A untuk memeriksa anaknya, ternyata dari hasil pemeriksaan radiologi
ditemukan fraktur klavikula kanan yang sudah membentuk kalus. Kemudian dokter A
menyarankan untuk kembali ke dokter B dan dokter C guna mencari tahu apa
penyebab dari fraktur ini. Jika diketahui dokter B dan dokter C bersalah, dokter A
menegur dan menjelaskan kesalahan mereka serta mengingatkan agar mereka lebih
berhati-hati untuk kedepannya.
Pada kasus kali ini, kelompok kami mendapatkan masalah mengenai etika
profesi kedokteran, dimana dokter melakukan tindakan malpraktek. Adapun
penjelasan mengenai malpraktek telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Prinsip moral yang dilanggar oleh dokter pada kasus ini adalah prinsip non-
maleficence, karena dokter B dan dokter C telah merugikan pasien akibat kelalaian
mereka.
Sedangkan hubungan dokter dengan teman sejawatnya pada kasus ini diatur
dalam KODEKI, sebagai berikut :
- Pasal 14 : Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana
ia sendiri ingin diperlakukan.
Umumnya masyarakat kita belum begitu memahami akan adanya hubungan
yang erat antara sesama dokter dan kadang-kadang melakukan sesuatu yang
mengandung sifat adu domba. Tidak jarang terjadi seorang pasien
mengunjungi 2 atau 3 dokter untuk mencari pertolongan, akhirnya memilih
dokter yang dalam ucapan dan perbuatannya cocok dengan apa yang
diinginkannya sendiri. Dengan sendirinya seorang dokter yang mengetahui
kejadian tersebut harus menasehati si pasien untuk tidak berbuat demikian,
karena merugikan kepentingannya sendiri dan dapat membahayakan
3
kesehatannya. Jangan diberi kesempatan padanya untuk menjelekkan nama
Teman Sejawat yang lebih dahulu menolongnya.
Seandainya seorang teman sejawat membuat kekeliruan dalam taraf
jabatannya, maka Teman Sejawat yang mengetahui hal tersebut wajib
menasehatinya. Dokter yang keliru harus menerima nasehat ataupun teguran,
asal disampaikan dalam suasana persaudaraan. Sarat utama ialah bahwa
pembicaraan demikian berlaku dibawah emapt mata. Jangan sekali-kali
bertindak menjatuhkan seorang sejawat dari kedudukannya dengan
mempergunakan tenaga-tenaga dari luar seperti ormas dan orpol. Sewaktu
berhadapan dengan pasien, maka seorang dokter tidak boleh memperlihatkan
bahwa ia tidak sepaham dengan teman sejawatnya dengan menyindir ataupun
dengan gerak-gerik yang berarti demikian. Untuk mengadakan dan
mempererat hubungan baik antara Teman Sejawat maka wajiblah :
1. Buat dokter yang baru menetap di suatu tempat, mengunjungi teman
sejawat yang telah ada disitu. Ini tidak perlu dilakukan di kota-kota
besar; tempat dimana banyak dokter yang berpraktek, cukup dengan
pemberitahuan tentang pembukaan praktek baru kepada para teman
sejawat yang tinggal berdekatan. Dianjurkan supaya memperkenalkan
diri kepada spesialis-spesialis yang mungkin akan dikonsultasi pada
hari kemudian.
2. Menjadi anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang setia dan aktif.
Dengan menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan, maka
terlaksanakan kontak pribadi sehingga timbul harga-menghargai. Rasa
persaudaraan dan kolegialitas dapat berkembang.
3. Mengunjungi pertemuan klinik bila ada kesempatan. Dengan demikian
secara mudah dapat mengikuti apa yang terjadi dalam dunia Ilmu
Kedokteran.
Semua ini perlu. Dengan adanya hubungan baik antara teman sejawat
membawa manfaat tidak saja kepada dokter-dokter yang bersangkutan pribadi,
tetapi juga kepada para pasien umumnya yang mengharapkan perlakuan yan
menyenangkan.
4
- Pasal 15 : Seorang dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman
sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang
etis.
Semua pekerjaan seorang dokter umum di Kota Besar berpusat di
kamar praktek, hanya dokter spesialis saja yang dapat mengobati pasiennya
dalam rumah sakit partikelir. Biasanya seseorang menyukai dokter tertentu
dan setia datang kepadanya. Tetapi lebih banyak jumlah mereka yang sering
berpindah dokter. Dokter yang menerima mereka seperti ini tidak dapat
dikatakan merebut pasien dari teman sejawat. Lain halnya, kalau diketahui
bahwa pasien untuk satu penyakit terlebih dulu telah mendapat pertolongan
dari dokter lain. Kepada penderita seperti itu diberitahukan akan bahaya
pengobatan 2x berturut-turut dan menasehatkan supaya kembali ke dokter
pertama. Sangat tercela menasehatkan pasien untuk menghentikan makan obat
dokter yang dikunjungi semula dan memperlakukannya sebagai pasien sendiri.
Tindakan malpraktek pada kasus ini dilakukan oleh 2 dokter, yaitu :
1. Dokter B, seorang dokter obgyn. Ia membantu proses persalinan seorang ibu
(duty), dimana saat anak telah lahir, dokter B tidak menemukan
kelainan/penyakit/cedera pada bayi (dereliction of the duty). Namun setelah
beberapa hari, ibu tersebut baru menemukan benjolan di pundak kanan bayi,
dan setelah berkonsultasi ke dokter A ditemukan bahwa benjolan tersebut
diakibatkan oleh fraktur klavikula yang kemungkinan besar merupakan trauma
lahir yang paling sering terjadi (damage). Trauma lahir ini dapat ditemukan
pada kelahiran letak kepala yang mengalami kesukaran pada waktu
melahirkan bahu atau sering pula ditemukan pada lahir letak sungsang dengan
tangan menjungkit ke atas(4). Dan akibat fraktur tersebut, sekarang sudah
terbentuk kalus yang merupakan penyebab langsung dari penyimpangan
kewajiban dokter tersebut (direct cause).
2. Dokter C, seorang dokter anak. Ia merawat seorang anak (duty). Tetapi ia lalai
karena tidak menemukan kelainan/penyakit/cedera pada anak tersebut
sehingga iapun tidak dapat mendiagnosisnya sebagai fraktur klavikula kanan
(dereliction of the duty) yang sekarang sudah terbentuk kalus (damage).
Akibatnya terjadi pertumbuhan tulang yang abnormal pada bayi tersebut
(direct cause)
5
.
Dan dampak hukum yang diterima oleh kedua dokter pada kasus ini adalah
sebagai berikut :
1. Malpraktek
- Pasal 360 KUHP :
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang
lain mendapatkan luka berat, diancam dengan pidana paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
- Pasal 55 UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan :
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan.
- Pasal 1365 KUH Perdata :
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
- Pasal 1366 KUH Perdata :
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kurang hati-hatinya.
- Pasal 1367 KUH Perdata :
Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang
yang berada di bawah pengawasannya.
6
- Pasal 1371 KUH Perdata :
Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau
karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain
penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai
menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.
2. Kelalaian Dokter
Melanggar Kode Etik Kedokteran
- Pasal 1 :
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah
Dokter.
- Pasal 2 :
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang
tertinggi,
- Pasal 10 :
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani
Kelompok kami menyimpulkan jalan keluar yang terbaik pada kasus ini
adalah sebagai berikut :
1. Tanya info lebih lanjut ke dokter B dan dokter C tentang cara kelahiran,
informed consent, dll
2. Menenangkan pasien dan tidak menjelek-jelekan teman sejawat (dokter B &
dokter C)
3. Kalau terbukti dokter B dan dokter C salah, dokter A wajib menegur dengan
suasana persaudaraan (terdapat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia
tentang Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawat) dan mengingatkan untuk
lebih berhati-hati kedepannya dalam menjalankan tugas mereka sebagai
dokter.
4. Rujuk anak ke dokter spesialis bedah ortopedi anak
7
5. Melaporkan masalah ini ke MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia)
Jika dari langkah-langkah diatas tidak ditemukan solusi, maka orangtua pasien berhak
mencari pengacara dan mengadukan ke polisi untuk mengenakan dokter B dan dokter
C sanksi pidana
8
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Etika profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi
dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya
dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etika kedokteran muncul
dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya macam-macam,
tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-
370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam
berperilaku dan bersikap atau semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menghasilkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran International. Kode
Etik Kedokteran International berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap
pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya,
Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik
Kedokteran International.
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Penilaian baik buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan
pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Secara ringkas, terdapat dua
teori etika yang paling banyak dianut orang, yaitu teori Deontologi yang mengajarkan
bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri dan
lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya. Sedangkan teori
Teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya
atau akibatnya dan lebih berlandaskan ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran
(justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).
Etika profesi kedokteran sangat mempengaruhi jenis hubungan dokter-pasien,
sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau
rambu-rambu hubungan tersebut. Beauchamp and Chidress (1994) menguraikan
bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral
(moral principal) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut
adalah :
9
2. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral
inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.
3. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien dan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat)
lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).
4. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non
nocere” atau “above all do no harm”.
5. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive
justice).
Sedangkan rules derivatnya, adalah sebagai berikut :
1. Veracity, yaitu berbicara benar, jujur dan terbuka (truthfull information).
2. Privacy, yaitu menghormati hak privasi pasien.
3. Confidentiality, yaitu menjaga kerahasiaan pasien.
4. Fidelity, yaitu kesetiaan untuk menjaga janji (loyalitas & promise keeping)
Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika
profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).
Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di
dalam sumpah kedokteran dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu
“kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik
kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan peer-groupnya,
yaitu masyarakat profesinya. Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran
berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada dokter. Meskipun
kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan
secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi “pemimpin” dari
kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum
yang etis.
Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada
umumnya, maka hubungan dokter – pasien juga mengikuti alternatif jenis hubungan
10
yang sama. Pada awalnya hubungan dokter – pasien adalah hubungan yang bersifat
paternalistik dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Namun, sifat hubungan
paternalistik ini dinilai mengabaikan nilai otonomi pasien dan dianggap tidak sesuai
dengan perkembangan moral saat ini. Sehingga berkembanglah teori hubungan
kontraktual (sekitar tahun 1972 – 1975). Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya
pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga
memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan
kepada dokter. Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di
bidang politik. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-
pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat
keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas
segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan
penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien.
Walaupun hubungan dokter – pasien ini bersifat kontraktual, namun
mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi
kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan
upaya yang sungguh-sungguh (inspanning verbintennis). Hubungan kontrak semacam
ini harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu
standar atau benchmark tertentu.
Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai
hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih
hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi
hubungan dokter – pasien. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter – pasien
menjadi “peraturan” dan “kewajiban” saja, sehingga seorang dokter dianggap “baik”
bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules). Hubungan
kontrak tidak lagi mengindahkan empathy, compassion, perhatian, keramahan,
kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll yang merupakan bagian dari
virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan/keutamaan).
Pada hubungan dokter – pasien yang virtue-based dirumuskan bahwa
hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak satupun
ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik
dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi
dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja
11
komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk
informed consent yang berasal dari prinsip autonomy.
Berdasarkan hubungan kontrak di atas munculah hak-hak pasien yang pada
dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu : The Rights to Health Care dan The Rights to Self
Determination. Secara tegas the World Medical Association telah mengeluarkan
Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter
secara bebas, hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam mebuat keputusan klinis dan
etis, hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang
adekuat, hak untuk bermartabat dan hak untuk menerima atau menolak dukungan
spiritual atau moral. Sedangkan pada UU Kesehatan menyebutkan beberapa hak
pasien, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan
persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak untuk kerahasiaan, hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia
dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.
Sedangkan hubungan dokter dengan teman sejawatnya diatur dalam Kode
Etik Kedokteran Indonesia Bab III Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawatnya
pasal 14, 15, 16 dan 17, sebagai berikut :
- Pasal 14 :
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
- Pasal 15 :
Seorang dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
- Pasal 16 :
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
- Pasal 17 :
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan
12
Malpraktek
Dalam beberapa tahun terakhir kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan
kelalaian medis ataupun malpraktek medis tercatat meningkat dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Kalangan kedokteran umumnya berpendapat bahwa
tingginya jumlah penuntutan hukum tidak berhubungan dengan kualitas layanan
kedokteran pada umumnya dan kompetensi para dokter yang memberikan pelayanan.
Bahkan mereka berpendapat bahwa motivasi finansial, pemberlakuan Undang-undang
Perlindungan Konsumen dan peranan para penasehat hukumlah yang lebih
bertanggung jawab atas peningkatan keberanian masyarakat untuk mengajukan
penuntutan hukum kepada dokter.
Sebenarnya, banyaknya kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga
melakukan kelalaian medik, apabila dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat
diharapkan berperan sebagai upaya menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada
masyarakat. Namun di sisi lain, penuntutan tersebut dapat menimbulkan berbagai
dampak negatif.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional
misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional
services to exercise that degree of skill and learning commonly apllied under all the
circumstances in the communityby the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services
or to those entitled to rely upon them”.
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran/ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.
Malpraktik dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter.
Profesional di bidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional
lain di luar kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktik dalam
pekerjaannya masing-masing. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang
melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada
suatu keadaan dan situasi yang sama.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis
menurut World Medical Association (1992), yaitu : “medical malpractice involves the
13
physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient.”
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) yang tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke
dalam pengertian malpraktek.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu :
1. Malfeasance, berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper). Misalnya, melakukan tindakan medis
tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper)
2. Misfeasance, berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance). Misalnya,
melakukan tindakan medis yang menyalahi prosedur.
3. Nonfeasance, berarti tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.
Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi
empat unsur di bawah ini, yaitu :
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis
atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu
pada situasi dan kondisi yang tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu
yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.
Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya
ke-empat unsur di atas dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan
maka gugatan tersebut dinilai tidak cukup bukti.
14
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
( KODEKI )
(S.K. P.B. IDI No:221/PB/A.4/04/2002)
Kewajiban Umum :
Pasal 1 :
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2 :
Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3 :
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi
oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4 :
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5 :
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.
Pasal 6 :
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-
hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7 :
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
15
Pasal 7a :
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b :
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter dan kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c :
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d :
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.
Pasal 8 :
Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Pasal 9 :
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Kewajiban dokter terhadap pasien:
Pasal 10 :
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan semua ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
16
Pasal 11 :
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
Pasal 12 :
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13 :
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih
mampu memberikan.
Kewajiban dokter terhadap teman sejawat:
Pasal 14 :
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15 :
Seorang dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Pasal 16 :
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17 :
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.
17
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna, Budi, dkk. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Cetakan kedua.
Jakarta. 2007.
2. Suhasim, H.R. Pengabdian Profesi dan Pengamalan Etika Kedokteran.
Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti. 1992.
3. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : Yayasan Penerbit IDI. 1978.
4. Nelson, Waldo E. 1996. Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. vol 1. Jakarta : EGC
18