kasus bioetik

42
Kasus bioetik

Upload: celina-manna

Post on 06-Feb-2016

92 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

op

TRANSCRIPT

Kasus bioetik

Kehidupan dan kematian

1. Menghentikan / tak memulai bantuan hidup.(“BH”)utk hidup perlu:- makan & minum nutrisi & cairan- bisa hidup 40 hari tanpa makan (gemuk

bisa > lama)2. Henti/mulai “BH”, tergantung:

- hati nurani dokter- agamanya- hukum di negaranya

Contoh kasusKasus Marlia Gray dari Amerika Serikat di Rhode Island pasien sudah vegetatif. Suami minta pemberian makanan artefisial di stop, tetapi dokternya tak mau, karena tak bisa euthanisia, sedangkan Pengadilan setuju utk stop nutrisi & hidarasi.3 kategori pasien utk dihentikan/tak dimulai “BH” :1. pasien kompeten2. pasien tak kompeten, tapi sebelumnya sdh menyatakan kehendak tertulis3. pasien tak kompeten tak pernah tulis kehendak sebelumnya.

Pasien kompeten

• US Suprime Court & pengadilan Rhode Island pasien kompeten punya hak konstitusional utk menyatakan kehendak tanpa peduli akibatnya.

• 1914: kasus Schbendorf v. Society of New York Hospitals Hakim Benyamin Corero memutuskan: “ org dewasa dan pikiran sehat berhak menetukan apa yg akan dilakukan thdp tubuh sendiri. Dokter bedahyg melakukan operasi tanpa izin pasien langgar hukum tanggung jawab thdp kerugian.

Pengadilan Rhode Island 4 kepentingan masyarakat:1. Pemeliharaan kehidupan2. Pencegahan bunuh diri3. Pemeliharaan integritas etika dari profesi

medis4. Perlindungan pihak ke-3 yg tak bersalah.Pemeliharaan kehidupan paling utama hak Utk “BH” terpenting

Pendapat pengadilan1. Kepentingan sosial mengalah thdp kepentingan pribadi

pasien dlm menentukan jln hidupnya, terutama bl pasien sdg menderita kesakitan fisik & mental

2. Pasien menolak “BH” bukan melakukan bunuh diri, tp hanya merelakan jalannya peny secara alamiah

3. Pengadilan menolak membatasi hak pasien utk menolak bantuan pengobatan atas dasar integritas profesi medis menjadi dirugikan. Selama dokter memberi informasi pd pasien ttg risiko &keuntungan suatu prosedur pengobatan, maka pasienlah yg menanggung akibat2 keputusannya menolak kelanjutan pengobatan

4. Pengadilan juga menolak pelaksanaan hak pasien utk menentukan sendiri, bl menyangkut pihak ke-3 yg tak bersalah. Spt keputusan pasien menolak pemberian pengobatan yg akan mengakibatkan penelantaran anak2 kecil, maka permintaannya dpt ditolak.

Pasien tdk kompeten

Bl pasien tak kompeten utk ambil keputusan, mk dokter berkewajiban utk tentukan apakah kehendak pasien thdp menolak atau menghentikan pemberian “BH” telah dicatat dlm suatu surat pernyataan atau tdk.“The health care power of attorney act” seorg dewasa boleh membuat srt kuasa yg memberi wewenang pd seorg lain/agent utk membuat keputusan yg menyangkut bdg kesehatannya agent tsb hrs bertindak sesuai kehendak pasien tsb spt tercantum dlm srt kuasanya.

“Right of the terminally ill act” membolehkan seorg dewasa kompeten utk membuat suatu pernyataan tertulis yg memberi instruksi pd dokternya utk tak memulai / menghentikan pemberian “BH” bila ia dlm kondisi terminal bisa termasuk utk pemberian nutrisi dan hidrasi.

Pasien tak kompeten dan tak membuat srt kuasa

Pengadilan membuat standar penilaianpengganti anggota kelg pasien, wali yg diangkat oleh pengadilan atau dokternya hrs berusaha utk mencari tahu apa yg akan dipilih pasien yg sekarang dlm keadaan tak kompeten ini, satu dan lain hal bl pasien dlm keadaan kompeten utk menolak / menghentikan pemberian “BH”.

Ada 5 faktor yg hrs dipertimbangkan:1. Pernyataan pasien yg pernah diucapkan pd

anggota kelg, teman2 atau petugas kesehatan

2. Agama dan kepercayaan pasien3. Pengaruh thd anggota kelg pasien4. Kemungkinan akibat2 sampingan yg tak

dikehendaki5. Prognosis dgn/tanpa pengobatan

Bbrp keputusan pengadilan yg memberi bentuk & hak pasien

1. Kasus Schoendorf v.v. Society of new York Hospitals (1914) dokter lancang angkat suatu tumor fibroid, sedang pasien hanya beri izin utk pemeriksaan abdomen, yg pd waktu itu dilakukan dgn memberikan enestesi. Walau pasien dgn tegas menyatakan bahwa ia tdk mau dibedah, namun dokter itu telah melakukannya juga, mungkin karena menganggap utk kepentingan pasien sendiri.

Atas gugatan itu Hakim Benyamin Cordozo yg menjadi terkenal ucapannya: “setiap manusia dewasa dan sehat berhak menentukan apa yg hendak dilakukan terhadap badannya sendiri, seorang spesialis bedah yg melakukan suatu pembedahan tanpa izin pasien, dianggap telah melanggar hukum dan harus bertanggung jawab atas kerugiannya”.

2. Kasus Salgo v.s. Leland Stanford Jr University Board of Trustees (1957)pengadilan berpendapat bahwa dokter memiliki kewajiban utk mengungkapkan setiap fakta penting utk menjdai dasar pembuatan suatu izin (persetujuan) oleh pasien terhadap pengobatan yang disarankan.

3. Kasus Natanson vs. Kline (1960)hakim mengatakan bahwa dokter berkewajiban utk mengungkapkan dan menjelaskan kepada pasien dlm bahasa sesederhana mungkin, sifat penyakitnya, sifat pengobatan yg disarankan, alternatif pengobatan, kemungkinan berhasil dan resiko yg dpt timbul, serta komplikasi yg tdk dpt diduga

Hak pasien

1. Hak utk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak utk mati secara wajar.

2. Memperoleh pelayanan kedokteran yg manusiawi sesuai dengan standar profesi kedokteran

3. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yg mengobatinya

4. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yg direncanakan, bahkan dpt menarik diri dari kontrak terapeutik

5. Memperoleh penjelasan ttg riset kedokteran yg akan diikutinya6. Menolak atau menerima keikutsertaaannya dlm riset

kedokteran7. Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan

dikembalikan kepada dokter yg merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan utk memperoleh perawatan atau tindak lanjut

8. Kerahasiaan dan rekam medisnya atas hal pribadi9. Memperoleh penjelasan tentang peraturan

rumah sakit10. Berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau

rohaniawan dan lain-lainnya, yang diperlukan selama perawatan di rumah sakit

11. Memperoleh penjelasan ttg perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium , pemeriksaan rontgen, Ultrasonografi (USG), CT-scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dsb. (kalau dilakukan) biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter, dll

Pedoman Informasi

1. Informasi yg diberikan haruslah dgn bahasa yg dimengerti oleh pasien

2. Pasien harus dapat memperoleh informasi ttg penyakitnya, tindakan 2 yg dpt diambil, kemungkinan komplikasi dan resiko2nya

3. Utk anak2 dan pasien penyakit jiwa, informasi diberikan kpd orang tua atau walinya

Kasus kurang perhatian dokter

1. Ny. A, 35th, istri ke-2 pedagang, menderita gangguan psikosomatik. Telah melakukan “doctor shopping”, diantaranya 2 dokter Spesialis Penyakit Dalam (SpPD), 4 dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi (SpOG). Keluhannya banyak tetapi terutama rasa nyeri di perut bagian kiri bawah. Pemeriksaan fisik umum, ginekologik, laboratorium, USG, dan pap’s smear, telah dilakukan. Seorang SpOG menganjurkan pembedahan, dokter2 spesialis lain tak memberikan penjelasan apapun kepadanya dan hanya memberikan resep.

• Obat2 yg diberikan banyak jenisnya, setelah anamnesa yg memakan waktu panjang (ciri khas pasien psikosomatik), dilakukan pemeriksaan fisik umum dan ginekologik; ternyata tak dijumpai kelainan. Pasien diberi penjelasan seperlunya, tidak diberi resep baru, dirujuk ke SpPD sub bagian psikosomatik.

2.Seorang pasien menderita diare pd suatu malam, 23 Juli 1992, disertai rasa berputar dikepala dan ia jatuh di kamar mandi, dibawa ke UGD RSCM. Seorang dokter muda (ko-asisten) yg tugas jaga memeriksanya, disusul seorang perawat dan seorang dokter muda lain yg mengukur ulang tekanan darahnya. Hasil pengukuran tekanan darah tsb ber-beda2. perawat mengatakan normal, 2 dokter muda tdk memberikan informasi.

Tanpa melihat dan apalagi memeriksa pasien, dokter jaga yg menerima laporan dari dokter muda, langsung memerintahkan mereka memasang infus dan sonde lambung. Pasien dianjurkan rawat inap. Karena tdk ada tpt tidur yg kosong pasien dibawa ke RSGS. Di RSGS pasien diperiksa langsung oleh dokter yg bertugas. Setelah membaca surat rujukan dari RSCM, dokter menjelaskan bahwa pasien dlm keadaan baik, infusnya tak perlu dilanjutkan, dan sonde lambung dikeluarkan. Pasien dibenarkan utk pulang (Media Indonesia, 27 Juli 1992)

3. Sepasang suami istri infertil berobat pd SpOG krn belum memiliki anak setelah menikah selama 3 thn. Pd analisis semen suami, dijumpai oligospermi dan lekospermidirujuk kepada seorang dokter spesialis kulit dan kelamin (SpKK). Setelah setahun berobat, pasutri tsb datang kembali ke SPOG dan menceriterakan bahwa sang suami mendapat suntikan obat mahal 3x seminggu (ternyata perawat yg menyuntik menunjukkan ampul Amikin kepadanya, tetapi tdk mengetahui sakit apa).

• Ketika ditanyakan balasan konsul SpKK tsb tdk mau memberinya, bahkan berkata: “kalau tdk mau berobat kepada saya , kembali saja ke SpOG” dalam hal ini SpOG tdk dpt meneruskan pemeriksaan dan pengobatan pd pihak istri krn tdk ada informasi ttg penyakit suaminya dari SpKK yg telah memeriksanya.

Kasus pencabutan ventilatorDlm kasus ini dipersoalkan|:1. Pembunuhan (penganiayaan) yg dilakukan dgn kekerasan

oleh terdakwa atau2. Pencabutan ventilator, dlm arti penghentian pemberian

pernafasan artefisial

Dikenal dg: “people vs Bowles”keputs 28 Maret 2000:Garry Bowles , terdakwa dituduh tlh melakukan pembunuhan tkt pertama ok tlh memukuli bibinya sendiri sp mati.Ibu Garry & bibinya tinggal berdekatan di Ypsilanti. Bibinya, 79 th dan sdh tampak td2 Alzheimer tkt pertama. Salah seorg keponakannya melakukan kunjungan tiap hari menanyakanApakah semuanya baik & bl perlu utk membantu jika ada kebutuhan.

Tg 11 Maret 2000, setlh kunjungi bibinya, keponakan tsb pulang, tp 1 jam kmd ia ditelepon tetangganya yg berpesan agar hati2, krn ia melihat Garry memasuki rumah korban. Kmd ia menelepon bibinya, sang bibi yg mengatakan Garry meminta sejumlah uang kepadanya, keponakannya sepakat utk tak memberikan uang tsb, dan meminta terdakwa utk meninggalkan rumah itu. Besoknya, 12 Maret korban tak mejawab ketika keponakannya mencoba mengadakan kontak dari tpt kerjanya. Mk ia langsung ke rumah bibinya, ia hrs mendobrak pintu, bibinya tergeletak di lantai, dan terlihat telah mengalami penganiayaan berat dibawa ke UGD rumah sakit.

Di rumah tsb tak tak tampak kerusakan selain pintu yg didobrak dan 2 TV hilang. Terdakwa Garry segera ditangkap, dan diminta penjelasannya pd tg 12 Maret tsb. Ia mengaku tlh pergi ke rumah bibinya utk minta bantuan keuangan utk beli minuman yg sdh jadi kebiasaannya. Ssdh berada disitu ia mencuri TV, ia tlh memukul bibinya beberapa kali dan ditinggalkan tergeletak di lantai.

Korban dlm keadaan komatose dan dibantu nafas dgn ventilatoria Tdk akan sembuh kembali dari luka2nya akibat penganiayaan berat Oleh Garry. Dokter2 yg merawatnya tlh menyatakan bhw pasien Menderita luka syaraf plg berat dan tak melihat akan ada perbaikan . Berdasarakan nasihat medik, tg 14 Maret 2000, kelg korban memutuskan utk membiarkan pasien bernafas sendiri, ok suplai oksigen tak cukup ke jantung, mk ia mendpt serangan jantung 8,5 jam kemudian. Para dokter menjelaskan pognosis utk dpt tertolong < 10%, dan kemungkinan pasien utk dpt bernafas spontan dan meninggalkan rumah sakit dgn kesembuhan segi fungsional “zero” terdakwa dituntut berlapis, I: pembunuhan tkt I dlm menjalankan perampokan, ke II tindakan Pembunuhan dg ancaman hukuman seumur hidup.

Dlm penutupan pembelaannya, pengacara mengatakan terdakwa tak ada maksud utk melukai korban. Ia mengatakan bhw keputusan anggota kelg pasien utk memberikan pernafasan spontan pd pasien merupakan “penyebab sela “ terdakwa tak dpt dianggap bertanggung jawab thdp meninggalnya pasien. Di tkt banding I: tak cukup bukti kematian korban akibat “penyebab sela” dg cabut VentilatorCourt of appeals tolak argumentasi ini& tetap putuskan Terdakwa bersalah tlh lakukan pembunuhan tkt I. dasar pertimbangannya: kematian pasien ok tindakan terdakwa, bukan ok penyebab sela tsb.

Kasus suster Theresia

Suster Theresia, biarawati, 86 thn, penerima hadiah Nobel Perdamaian 1979, tlh menolak upaya pengobatan > lanjut atas penyakitnya. …. “Biarkan saya mati.” katanya ber-ulang2 pd salah satu dokternya. jadi bingung.Tugas profesi kedokteran utk sembuhkanpenyakit dan jaga kesehatan pasien, spy pasien bisa kerja/lakukan sesuatu yg disenanginya. Maka segala sesuatu dipertaruhkan & dikorbankan utk pulihkan kesehatan.

Apakah pertahankan kehidupan merupakan nilai absolut? Apakah profesi kedokteran memp kewajiban moral & etis utk perpanjang hidup seseorgsecara mutlak?Apakah seorg bayi yg lahir dg cacvat genetik sangat berat dan tak akan bisa hidup lama & normal, atau bayi yg sdh vegetative harus tetap diusahakan kehidupannya? Bagaimana kalau org Tuanya tak dapat lagi membiayai pengobatannya?

• Apakah setiap pasien tanpa pandang usia dlm keadaan fisik & prognosis buruk harus tetap dipertahankan kehidupannya selama mungkin?

• problema pelik jadi isue moral dan etik• Ada 2 kubu bertentangan:

1.Kehidupan adalah nilai suci yg hrs dipertahankan secara mutlak dgn cara apapun (sanctity of life). Kehidupan dianugerahkan oleh Tuhan, selain Tuhan tak seorang manusiapun boleh menyentuhnya. Hidup & mati adalah ditanganNya.

2.“kualitas hidup” pertahankan hidup tdk absolut. Pengembalian/pertahankan kesehatan dlm kasus ttt tak usah dilakukan jika akan sia sia (futile). Atau menurut pasien sudah sedemikian rupa, hidupnya sdh tak layak lagi, lebih baik mati. kualitas hidup baginya memp nilai > tinggi dp kuantitas umur yg hrs dijalani. dokter tak perlu coba lakukan prosedur medik/bedah, bl dlm suatu kasus ttt tindakan tsb tak berguna lagi.mis. seorg pasien menderita kanker otak stadium lanjut, bl timbul pneumonia,mk tak hrs obati pneumonia tsb dg memberikan antibiotika. akan perberat pasien, tp bila pasien kesakitan, tetap hrs berikan obat utk kurangi sakit kurangi penderitaan.

Juga pemberian nutrisi & cairan tetap dilanjutkan, ok memp arti simbolik, psikologik, disamping pertimbangan medik, etik, dan legal yg dpt halalkan penghentian pemberian makanan & minuman ( Jeanie Kayser-Jones). Menurut pendapat umum, bila dihentikan pasien akan mati ok dehidrasi dan kelaparan.

Pendapat lain: dgn hentikan cairan & nutrisi, pasien tak akan menderita lagi, ok sdh tak rasakan apa2 lagi.

• Ilmu pengetahuan hukum medik membedakan:– Pembunuhan,– Bunuh diri, – Membiarkan datangnya kematian

• Pembunuhan seseorg dg sengaja mengakhiri jiwa seseorg lain.

• Bunuh diri dilakukan oleh korban itu sendiri thdp dirinya.

• Membiarkan datangnya kematian menjatuhkan pilihan pd kematian dari kehidupan , ok menganggap kematian adalah > baik dp kesakitan/penderitaan/tekanan batin yg tak tertahankan lagi.

• Euthanasia meninggal dg cara baik arti berdekatan dg membiarkan datangnya kematianDulu: – euthanasia aktifmelakukan suatu tindakan ttt shg

pasien meninggal, misal mengakhiri pemberian nafas buatan melalui respirator

– Euthanasia pasif tdk dimulai melakukan tindakan utk memperpanjang hidupnya yg tdk begitu bermanfaat lagi, bahkan akan menambah penderitaan. Misal: tak memberikan syok terapi & tak sambung pernafasan dg ventilator seorg pasien manula penderita peny jantung kronik yg dpt serangan jantung utk kesekian kalinya & sdh tak sadarkan diri utk wkt agak lama

• Prof. Leenen (pakar hukum Kesehatan Belanda) terapi yg tak ada guna lagi, tak usah diteruskan.

• Teolog & moralis Roman Katholik dlm kasus2 ttt, tindakan medis luar biasa tak usah dilakukan

• Rumusan baru: tindakan medik yg memberi beban berat yg tak seimbang /tak ada gunanya lagi, tak wajib diberikan.

• Pertemuan grup dokter dg Paus Pius XII: apakah penekanan kesakitan & kesadaran dg pemakaian narkotik diizinkan oleh agama & moral utk dilakukan dokter pd pasiennya (juga bl kematian sdh dekat)m& bila seseorg dpt membayangkan bhw pemakaian narkotika tsb akan memperpendek kehidupan? Paus: bl tak ada cra lain, dan juga bl dlm situasi khusus itu tindakan tsb tak dilarang oleh agama lain atau moral, jawabnya”ya”

Baby”Doe”: 9 April 1982: lahir di Bloomington, Indiana, AS Down Syndrome+ esophageal atresia+tracheal esophageal fistula. Juga diduga ada kelainan kardiovaskular dan ususnya tak normal. orang tua menolak utk dilakukan operasi mati kelaparan dlm bbrp hari . 1984: Pres. Ronald Reaganaturan melindungi anak spt itu. Th 1985 aturan tsb direvisi. jadi “masalah terbuka” harus diputuskan oleh keluarga dan staf medis.

Catatan Baby Doe

• Bl bayi normal dg atresia esofagus, tp org tua nolak operasi tak etis, ok operasi mudah.

• Sindroma Down, cacat tak terlalu besar, kdg kesan hidup dg gembira. Biasanya org tua yg kecewa, bukan anaknya sendiri yg menderita.

• Kasus baby Jane Doe, 1983, dg spina bifida berat dan hidrosefali. org tua nolak operasi, ok sering ssdh operasi tak baik, kualitas hidup tak baik

• yg ptg tetap hidup, tp kualitas hidup juga penting

Kasus Karen Aqnn Quinlan, 21 thn, New Jersey, AS. OD tak sadar, nafas 2x terhenti @± 15 menit, tp resusitasi berhasil. otak rusakkoma, vegetatif., dg respirator. Ayahnya minta dihentikan semua bantuan, diizinkan The New Jersey Supreme Court, setelah Komisi Etik Rumah Sakit berpendapat bhw Karen tak bisa siuman lagi, setelah respirator dilepas, 1975 Karen bisa bernafas sendiri, hidup dlm koma sd th 1985, meninggal ok pneumonia

Catatan Karen Quinlan

• Menghentikan bantuan respirator bukan sebagai penyebab kematian pasien, ttp pasien tetap meninggal ok penyakitnya. Jadi alat bantu hidup hanya utk menyembuhkan, tak boleh dipakai bila hasil tak lain hanya utk memperpanjang penderitaan.

Nancy Cruzan, 22 th: kecelakaan mobil, 11 Jan 1983 ditemukan tim ambulans tanpa tanda pernafasan/denyut jantung, tp berhasil dipulihkanke Missouri State Hospital, masih tak sadar. Perkiraan tak bernafas 12 – 14 menit otak rusakkoma persistent vegetative state. Stlh 3 minggu, dipasang gastrotomy tube utk nutrisi & hidrasi. org tua nutrisi & hidrasi dihentikan, spy meninggal dg tenang, tp RS nolak, menunggu izin pengadilan. Beberapa x ke pengadilan meninggal 26 Des 1990.

Catatan Nancy Cruzan

• Ssdh resusitasi, bisa nafas spontan, tp dlm keadaan persistent vegetative state. Org tuanya minta bantuan nutrisi&hidrasi dihentikan, RS tak mau tanpa izin pengadilan.

• Sekarang hidrasi&nutrisi artefisial tetap diberikan sp pasien meninggal dianggap sarana biasa, bukan pengobatan, walau bisa bertahun-tahun.

• Peran otonomi terlihat setelah ada teman Nancy yg ungkapkan kesaksian, Nancy pernah katakan tak mau kehidupannya diperpanjang secara artefisial seandainya ia dlm keadaan koma tetap.

Daftar pustaka

1. Etika kedokteran & hukum kesehatan, M. Jusuf Hanafiah, Amir Amri

2. Kumpulan kasus Bioethics & biolaw, J. Guwandi

3. Etika Biomedis, K. Bertens