kasus b

Upload: rurin-ayurinika-putri-soewito

Post on 14-Jan-2016

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KASUS BESAR

SIROSIS HEPATIS DECOMPENSATA DENGAN ACUTE KIDNEY INJURY DAN HIPERTENSI

Oleh :Kharisma Setya HarnaniG99141082Asih Anggraini G99141083

Pembimbing dr. Aritantri Darmayani, M.Sc, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDIS U R A K A R T A2015HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Besar Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

SIROSIS HEPATIS DECOMPENSATA DENGAN ACUTE KIDNEY INJURY DAN HIPERTENSI

Oleh :Kharisma Setya HarnaniG99141082Asih Anggraini G99141083

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal :

Pembimbing

dr. Aritantri Darmayani, M.Sc, Sp. PD

STATUS PENDERITA

I. ANAMNESISA. Identitas Penderita Nama : Ny. MNo. RM: 01298683Jenis kelamin: PerempuanUmur: 59 tahunSuku: JawaAlamat:Pracimantoro WonogiriAgama:IslamPendidikan: SMPStatus: MenikahPekerjaan: Ibu rumah tanggaTanggal masuk RS:25 April 2015Tanggal dikasuskan:27 April 2015

B. Data Dasar:Autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 April 2015.

1. Keluhan Utama:Nyeri perut kanan atas sejak 3 hari SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang:Pasien datang dengan keluhan nyeri perut. Nyeri perut dirasakan di sebelah kanan atas. Nyeri dirasakan sejak 10 hari SMRS dan dirasa memberat sejak 3 hari SMRS. Nyeri perut dirasakan seperti ditusuk-tusuk jarum dan menjalar ke punggung. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasakan berkurang dengan istirahat. Selain itu, pasien juga mengeluh perut kembung sejak 3 hari SMRS. Pasien merasa perutnya sangat penuh. Kembung dirasakan terus-menerus. Pasien juga mengeluh demam sejak 7 hari SMRS. Demam dirasakan sumer-sumer. Pasien mengaku sudah minum obat penurun panas dan demam dirasa berkurang. Pasien juga mengalami mual namun tidak muntah. Pasien mengeluhkan badannya menjadi kuning. Keluhan kuning mulai dirasakan sejak 10 hari SMRS. Kuning terjadi di seluruh tubuh. Semakin hari kulit pasien di rasa semakin terlihat kuning. Pasien mengeluhkan penurunan nafsu makan sejak 10 hari SMRS. Pasien mengaku makan 2-3x / hari sekitar 4-5 sendok tiap kali makan. Keluhan disertai dengan lemas di seluruh tubuh.Pasien mengaku sudah memeriksakan diri ke klinik dokter umum dan sudah meminum obat yang diberikan namun dirasa tidak ada perubahan, maka pasien meminta rujukan ke RSDM.Dua bulan SMRS, pasien juga mengeluh sering pegal-pegal pada pinggang. Nyeri pada pinggang dirasakan hilang timbul. Nyeri dirasa makin memberat jika digunakan untuk beraktivitas berat. Nyeri pinggang dirasa berkurang dengan istirahat dan pemberian obat penghilang rasa sakit. Pasien juga mengeluhkan BAK sedikit. Pasien BAK sekitar 3-4x / hari @ gelas aqua. Warna air kencing kuning pekat seperti air teh. Tidak ada keluhan air kencing berpasir. Tidak ada darah. Tidak ada nyeri saat BAK. Tidak ada rasa tidak puas saat berkemih. Pasien belum BAB sejak 4 hari SMRS. BAB terakhir berwarna kecoklatan dan kosistensi keras.Pasien merupakan penderita tekanan darah tinggi sejak 3 tahun SMRS. Pasien sering mengalami keluhan cengeng di leher dan tengkuk kaku. Keluhan tersebut terutama dirasakan jika pasien terlalu lelah beraktivitas atau terlalu banyak pikiran. Keluhan berkurang dengan istirahat atau minum obat tensi. Pasien mengaku jarang kontrol ke dokter dan konsumsi obat. Pasien hanya kontrol ke dokter jika keluhan muncul.

3. Riwayat Penyakit DahuluPenyakitOnset/ Kronologis

Riwayat mondokDisangkal

Riwayat operasiDisangkal

Riwayat Penyakit PencernaanDisangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga PenyakitOnset/ Kronologis

Riwayat sakit tekanan darah tinggi(+)ibu, kakak laki laki, kakak perempuan

Riwayat sakit jantung(+) ayah

Riwayat sakit gula(+) kakak laki-laki dan ibu

Riwayat asmaDisangkal

Riwayat alergiDisangkal

Riwayat Penyakit Ginjal (+) kakak perempuan

Riwayat sakit kuningDisangkal

Riwayat Keluarga

P

Jantung (+) HT, DM (+)

HT, DM, Ginjal (+) HT (+) HT (+)Keterangan:P = Pasien = Laki lakiX= meninggal = Perempuan- Ayah pasien meninggal tahun 1995 karena sakit jantung.- Ibu pasien meninggal tahun 2001 karena sakit komplikasi.- Kakak perempuan pasien meninggal tahun 2008 karena sakit komplikasi.

5. Riwayat KebiasaanKebiasaanKeterangan

MerokokDisangkal

AlkoholDisangkal

Obat-obatan bebasDisangkal

Jamu-jamuan(+) jamu rebusan umbi-umbian

Minuman berasaDisangkal

Makan-minumPasien makan 2-3x / hari dengan nasi, tahu-tempe, daging, telur dan sayuran. Pasien minum 4-5 gelas aqua /hari. Pasien sering konsumsi teh manis 1-2 gelas aqua / hari.

Olah ragaPasien jarang berolah raga, sehari-hari hanya melakukan aktivitas fisik ringan.

6. Riwayat Sosial EkonomiPasien adalah seorang perempuan usia 59 tahun. Pasien saat ini sudah tidak bekerja sejak 10 tahun yang lalu. Sebelumnya pasien bekerja sebagai penjual nasi bungkus. Pasien tinggal bersama ketiga anaknya. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS Kesehatan.

C. PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan fisik dilakukan tanggal 27 April 2015:1. Keadaan umum:Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4/V5/M6 2. Tanda vital Tensi: 150/90 mmHg Nadi: 88 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup, equal Frekuensi nafas: 20 x /menit Suhu: 36.60C VAS: 43. Status gizi Berat Badan: 55 kg Tinggi Badan:150 cm4. Kulit: Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (+), ekimosis (-)5. Kepala: Bentuk mesocephal, rambut mudah rontok (-), atrofi m.temporalis (+)6. Mata: Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), pandangan kabur (-/-)7. Telinga: Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)8. Hidung: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)9. Mulut:Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), tiphoid tounge (-), papil lidah atrofi(-), ulserasi (-), stomatitis angularis (-), oral thrush (-), ikterik sublingual10. Leher: JVP R+3cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-), leher kaku (-)11. Thorax:Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, pembesaran kelenjar getah bening aksila (-/-), spider nevi (-)12. Jantung Inspeksi:Ictus kordis tidak tampak Palpasi:Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V 2 cm medial LMCS Perkusi: Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra Batas jantung kiri bawah: SIC V 2 cm medial LMCS Kesan jantung tidak melebar Auskultasi:Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising(-), gallop (-)13. Pulmoa. Depan Inspeksi Statis: Normochest, simetris Dinamis:Pengembangan dada simetris kanan = kiri, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercostal(-) Palpasi Statis: Simetris Dinamis: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri Perkusi Kanan:Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas absolut paru hepar Kiri:sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC VI linea medioclavicularis sinistra

Auskultasi Kanan: Suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-) Kiri:Suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-)b. Belakang Inspeksi Statis: Normochest, simetris Dinamis:Pengembangan dada simetris kanan = kiri, retraksi intercostal (-) Palpasi Statis: Simetris Dinamis:Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri Perkusi Kanan: Sonor Kiri: Sonor Peranjakan diafragma 4 cm Auskultasi Kanan: Suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-) Kiri: Suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-)13. Abdomen Inspeksi:Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, scar (-), striae (-) Auskultasi:Bising usus (+) normal 10x/menit, bising epigastrium (-) Perkusi:timpani (+), undulasi (-), pekak alih (+), pekak sisi (+), area traube pekak, liver span 7 cm Palpasi:Supel, nyeri tekan (+) di hipochondriaca dekstra, murphys sign (-)

14. Ekstremitas --

--

--

--

Akral dingin Oedem

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Darah 25 April 2015PemeriksaanHasilSatuanRujukan

DARAH RUTIN

Hemoglobin11.5g/dl12.0-15.6

Hematokrit33%33-45

Leukosit10.9ribu/ul4.500 11.800

Trombosit237ribu/ul150.000-450.000

Eritrosit3.91106/ul4.1-5.1

INDEX ERITROSIT

MCV84.2/um80.0-96.0

MCH29.4Pg28.0-33.0

MCHC35.0g/dl33.0-36.0

RDW11.4%11.6-14.6

MPV7.0Fl7.2-11.1

PDW16%25-65

HITUNG JENIS

Eosinofil3.80%0-4

Basofil 0.40%0-2

Neutrofil 74.20%55-80

Limfosit13.30%22-44

Monosit8.30%0-7

Golongan DarahA

KIMIA KLINIK

GDS107mg/dl60 - 140

SGOT30u/l 50 % nilai dasar dan urin output < 0,5 ml/kg/jam, 12 jam. Pada kasus ini AKI dapat terjadi pada prarenal karena adanya riwayat hipertensi dan sirosis hepatis yang dapat menyebabkan sindrom hepatorenal. Hipertensi dapat menyebabkan kegagalan penurunan resistensi arteriol eferen sehingga terjadi hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouria, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organic ginjal. Kerusakan hepar lebih lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.

XI. SIROSIS HEPATIS 1. DefinisiIstilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirrosyang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodul-nodulyang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis.Secara lengkap Sirosis hati adalah Kemunduran fungsi liver yang permanen yang ditandai dengan perubahan histopatologi. Yaitu kerusakan pada sel-sel hati yang merangsang proses peradangan dan perbaikan sel-sel hati yang mati sehingga menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hati yang tidak mati beregenerasi untuk menggantikan sel-sel yang telah mati. Akibatnya, terbentuk sekelompok-sekelompok sel-sel hati baru (regenerative nodules) dalam jaringan parut.2. InsidensiPenderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun.3. Etiologi Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh banyak keadaan, antara lain; konsumsi alkohol, virus hepatitis B dan C, gangguan imunologis, zat hepatotoksik, dan lain-lain. Penyebab utama sirosis hepatis di negara barat:

Sumber : Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto (2008)4. PatofisiologiPada sirosis, hubungan antara darah dan sel-sel hati hancur. Meskipun sel-sel hati yang selamat atau dibentuk baru mungkin mampu untuk menghasilkan dan mengeluarkan unsur-unsur dari darah, mereka tidak mempunyai hubungan yang normal dan intim dengan darah, dan ini mengganggu kemampuan sel-sel hati untuk menambah atau mengeluarkan unsur-unsur dari darah. Sebagai tambahan, luka parut dalam hati yang bersirosis menghalangi aliran darah melalui hati dan ke sel-sel hati. Sebagai suatu akibat dari rintangan pada aliran darah melalui hati, darah tersendat pada vena portal, dan tekanan dalam vena portal meningkat, suatu kondisi yang disebut hipertensi portal. Karena rintangan pada aliran dan tekanan-tekanan tinggi dalam vena portal, darah dalam vena portal mencari vena-vena lain untuk mengalir kembali ke jantung, vena-vena dengan tekanan-tekanan yang lebih rendah yang membypass hati. Hati tidak mampu untuk menambah atau mengeluarkan unbsur-unsur dari darah yang membypassnya. Merupakan kombinasi dari jumlah-jumlah sel-sel hati yang dikurangi, kehilangan kontak normal antara darah yang melewati hati dan sel-sel hati, dan darah yang membypass hati yang menjurus pada banyaknya manifestasi-manifestasi dari sirosis (Sacher, 2004). Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta dan peningkatan resistensi vena portal. Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg. Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik) (Runyon, 2009).Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis. Tekanan portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga normal. Hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik, dan supra hepatik. Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70% hipertensi portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui, sedangkan obstruksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak mempunyai riwayat penyakit hati sebelumnya (Kumar, 2008).Pada sirosis, canaliculi adalah abnormal dan hubungan antara sel-sel hati canaliculi hancur/rusak, tepat seperti hubungan antara sel-sel hati dan darah dalam sinusoid-sinusoid. Sebagai akibatnya, hati tidak mampu menghilangkan unsur-unsur beracun secara normal, dan mereka dapat berakumulasi dalam tubuh. Dalam suatu tingkat yang kecil, pencernaan dalam usus juga berkurang. Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada keadaan koma. 5. KlasifikasiA. Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :1. Sirosis hati kompensata. Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.2. Sirosis hati Dekompensata Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini. Biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya : ascites, edema dan ikterus.B. Klasifikasi sirosis hati menurut Child Pugh :Skor/parameter123

Bilirubin(mg %)< 2,02 - < 3> 3,0

Albumin(mg %)> 3,52,8 - < 3,5< 2,8

Protrombin time (Quick %)> 7040 - < 70< 40

Asites0Min. sedang(+) (++)Banyak (+++)

Hepatic EncephalopathyTidak adaStadium 1 & 2Stadium 3 & 4

Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 (prognosis baik) Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang) Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)

C. Klasifikasi Sirosis Hepatis menurut etiologi:1. Sirosis Laennec Sirosis Laennec disebabkan oleh alkoholisme kronis. Perubahan pertama pada hati yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap di dalam sel-sel hati (infiltrasi lemak) dan alkohol menimbulkan efek toksik langsung terhadap hati. Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik yang mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan, menurunnya pengeluaran trigliserida dari hati dan menurunnya oksidasi asam lemak (Price & Wilson, 2005).2. Sirosis Pascanekrotik Sirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbercak pada jaringan hati, sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya. Hepatosit dikelilingi dan dipisahkan oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan di selingi dengan parenkim hati normal, biasanya mengkerut dan berbentuk tidak teratur dan banyak nodul (Price & Wilson, 2005). 3. Sirosis biliaris Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pascahepatik. Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dan kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, hati membesar, keras, bergranula halus dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan utama dari sindrom ini. Terdapat dua jenis sirosis biliaris: primer (statis cairan empedu pada duktus intrahepatikum dan gangguan autoimun) dan sekunder (obstruksi duktus empedu di ulu hati) (Price & Wilson, 2005).6. Manifestasi KlinisDasar diagnosis minimal 5 dari manifetasi (Kriteria Haryono- Subandiri) (Guntur, 2008) :Hepatoselluler : Sklere ikterik Spider nevi(teleangiektasis) Ginecomastia Atrofi testis Palmar eritemHipertensi Portal Varices oesofagus Splenomegali Kolateral dinding perut Ascites Hemorroidperlu Rectal ToucherGejala yang timbul tergantung pada tingkat berat sirosis hati yang terjadi. Sirosis Hati dibagi dalam tiga tingkatan yakni Sirosis Hati yang paling rendah Child A, Child B, hingga pada sirosis hati yang paling berat yakni Child C. Gejala yang biasa dialami penderita sirosis dari yang paling ringan yakni lemah tidak nafsu makan, hingga yang paling berat yakni bengkak pada perut, tungkai, dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik pada tubuh penderita terdapat palmar eritem, spider nevi.

Palmar Eritem Spider Naevi7. Komplikasi1. Edema dan ascites Ketika sirosis hati menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal untuk menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-tama berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini disebut edema atau pitting edema. (Pitting edema merujuk pada fakta bahwa menekan sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu pergelangan atau kaki dengan edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang berlangsung untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan. Ketika sirosis memburuk dan lebih banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi cairan ini (disebut ascites) menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang meningkat. 2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna untuk bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga perut mengandung suatu jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan infeksi dengan baik, dan bakteri-bakteri yang masuk ke perut (biasanya dari usus) dibunuh atau menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan ke hati dimana mereka dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul didalam perut tidak mampu untuk melawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri menemukan jalan mereka dari usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi didalam perut dan ascites, dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau SBP, kemungkinan terjadi. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam nyawa. Beberapa pasien-pasien dengan SBP tdak mempunyai gejala-gejala, dimana yang lainnya mempunyai demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan perut, diare, dan memburuknya ascites. 3. Perdarahan dari Varises-Varises Kerongkongan (Oesophageal Varices) Pada sirosis hati, jaringan parut menghalangi aliran darah yang kembali ke jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi portal). Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup tinggi, ia menyebabkan darah mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui darah untuk membypass hati adalah vena-vena yang melapisi bagian bawah dari kerongkongan (esophagus) dan bagian atas dari lambung. Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan peningkatan tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada kerongkongan yang lebih bawah dan lambung bagian atas mengembang dan mereka dirujuk sebagai esophageal dan gastric varices; lebih tinggi tekanan portal, lebih besar varices-varices dan lebih mungkin seorang pasien mendapat perdarahan dari varices-varices kedalam kerongkongan (esophagus) atau lambung. Perdarahan juga mungkin terjadi dari varices-varices yang terbentuk dimana saja didalam usus-usus, contohnya, usus besar (kolon), namun ini adalah jarang. Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien yang diopname karena perdarahan yang secara aktif dari varices-varices kerongkongan mempunyai suatu risiko yang tinggi mengembangkan spontaneous bacterial peritonitis. 4. Hepatic encephalopathy Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam usus. Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia, dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka dikeluarkan dari darah dan di-detoksifikasi (dihilangkan racunnya). Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur waktu siang hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang normal) adalah diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-gejala lain termasuk sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau melakukan perhitungan-perhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau tingkat-tingkat kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic encephalopathy yang parah/berat menyebabkan koma dan kematian. 5. Hepatorenal syndrome Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat mengembangkan hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius dimana fungsi dari ginjal-ginjal berkurang. Itu adalah suatu persoalan fungsi dalam ginjal-ginjal, yaitu, tidak ada kerusakn fisik pada ginjal-ginjal. Sebagai gantinya, fungsi yang berkurang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam cara darah mengalir melalui ginjal-ginjalnya. Hepatorenal syndrome didefinisikan sebagai kegagalan yang progresif dari ginjal-ginjal untuk membersihkan unsur-unsur dari darah dan menghasilkan jumlah-jumlah urin yang memadai walaupun beberapa fungsi-fungsi penting lain dari ginjal-ginjal, seperti penahanan garam, dipelihara/dipertahankan. 6. Hepatopulmonary syndrome Jarang, beberapa pasien-pasien dengan sirosis yang berlanjut dapat mengembangkan hepatopulmonary syndrome. Pasien-pasien ini dapat mengalami kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentu yang dilepas pada sirosis yang telah berlanjut menyebabkan paru-paru berfungsi secara abnormal. Persoalan dasar dalam paru adalah bahwa tidak cukup darah mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah kecil dalam paru-paru yang berhubungan dengan alveoli (kantung-kantung udara) dari paru-paru. Darah yang mengalir melalui paru-paru dilangsir sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara didalam alveoli. Sebagai akibatnya pasien mengalami sesak napas, terutama dengan pengerahan tenaga. 7. Hyperspleenism Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan (filter) untuk mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel darah putih, dan platelet-platelet (partikel-partikel kecil yang penting uktuk pembekuan darah) yang lebih tua. Darah yang mengalir dari limpa bergabung dengan darah dalam vena portal dari usus-usus. Ketika tekanan dalam vena portal naik pada sirosis, ia bertambah menghalangi aliran darah dari limpa. Darah tersendat dan berakumulasi dalam limpa, dan limpa membengkak dalam ukurannya, suatu kondisi yang dirujuk sebagai splenomegaly. Adakalanya, limpa begitu bengkaknya sehingga ia menyebabkan sakit perut. Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar lebih banyak dan lebih banyak sel-sel darah dan platelet-platelet hingga jumlah-jumlah mereka dalam darah berkurang. Hypersplenism adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, dan itu behubungan dengan suatu jumlah sel darah merah yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih yang rendah (leucopenia), dan/atau suatu jumlah platelet yang rendah (thrombocytopenia). Anemia dapat menyebabkan kelemahan, leucopenia dapat menjurus pada infeksi dan thrombocytopenia dapat mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada perdarahan yang diperpanjang (lama). 8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma) Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko kanker hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk pada fakta bahwa tumor berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu yang berasal dari mana saja didalam tubuh dan menyebar (metastasizes) ke hati.

8. PenatalaksanaanA. Pemeriksaan Diagnostika. Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrate lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati,b. Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus empedu yang mungkin sebagai faktor predisposisi.c. Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagusd. Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi system vena portal,e. Pemeriksaan Laboratorium :Bilirubin serum, AST(SGOT)/ALT(SPGT),LDH, Alkalin fosfotase, Albumin serum, Globulin, Darah lengkap, masa prototrombin, Fibrinogen, BUN, Amonia serum, Glukosa serum, Elektrolit, kalsium, Pemeriksaan nutrient, Urobilinogen urin, dan Urobilinogen fekal.B. PenatalaksanaanPengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :1. Simtomatis2. Supportif, yaitu :a. Istirahat yang cukupb. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitaminc. Pengobatan berdasarkan etiologi

A. ACUTE KIDNEY INJURY1. PengertianSecara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI klasik) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien (Brady et al., 2005).Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 1 (Bagshaw, 2008).

2. Pendekatan DiagnosisPada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi (Brady, 2005; Roesli, 2008; Markum 2006).

3. Pemeriksaan KlinisPetunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI (Brady, 2005; Roesli, 2008; Markum 2006). Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut (Roesli, 2008; Markum 2006).Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom (Roesli, 2008; Markum 2006).4. Pemeriksaan PenunjangDari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented muddy brown granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddy brown granular cast pada nefritis interstitial (Schrier, 2004).Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel 4) (Schrier, 2004).

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1% (Schrier, 2004).Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi (Schrier, 2004).Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Schrier, 2004).5. Tata LaksanaPada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin (Sutarjo, 2008).Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum (Sutarjo, 2008).a. Terapi NutrisiKebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (Sutarjo, 2008).b. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan DopaminDalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78).20,21 Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:1) Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.2) Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam) (Mohani, 2008).Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Mohani, 2008).Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Mohani, 2008).Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI (Mohani, 2008).

6. Tata Laksana KomplikasiPengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH200 mg/dl), edema paru, ensefalopati uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau 1 g proteinuria (Cohen, 2008).b. Modifikasi Gaya Hidup Pelaksanaan gaya hidup yang positif mempengaruhi tekanan darah memiliki implikasi baik untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi. Promosi kesehatan modifikasi gaya hidup direkomendasikan untuk individu dengan pra-hipertensi dan sebagai tambahan terhadap terapi obat pada individu hipertensi. Intervensi ini untuk risiko penyakit jantung secara keseluruhan. Meskipun dampak intervensi gaya hidup pada tekanan darah akan lebih terlihat pada orang dengan hipertensi, dalam percobaan jangka pendek, penurunan berat badan dan pengurangan NaCl diet juga telah ditunjukkan untuk mencegah perkembangan hipertensi. Pada penderita hipertensi, bahkan jika intervensi tersebut tidak menghasilkan penurunan tekanan darah yang cukup untuk menghindari terapi obat, jumlah obat atau dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang efektif menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan, mengurangi asupan NaCl, meningkatkan asupan kalium, mengurangi konsumsi alkohol, dan pola diet yang sehat secara keseluruhan (Kotchen, 2008).Mencegah dan mengatasi obesitas sangat penting untuk menurunkan tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Rata-rata penurunan tekanan darah 6,3/3,1 mmHg diobseravsi setelah penurunan berat badan sebanyak 9,2 kg. Berolah raga teratur selama 30 menit seperti berjalan, 6-7 perhari dalam seminggu, dapat menurunkan tekanan darah. Ada variabilitas individu dalam hal sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan variabilitas ini mungkin memiliki dasar genetik. Berdasarkan hasil meta-analisis, menurunkan tekanan darah dengan membatasi asupan setiap hari untuk 4,4-7,4 g NaCl (75-125 meq) menyebabkan penurunan tekanan darah 3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada hipertensi dan penurunan lebih rendah pada orang darah normal. Konsumsi alkohol pada orang yang mengkonsumsi tiga atau lebih minuman per hari (minuman standar berisi ~ 14 g etanol) berhubungandengan tekanan darah tinggi, dan penurunan konsumsi alkohol dikaitkan dengan penurunan tekanan darah. Begitu pula dengan DASH (Dietary Approaches to StopHypertension) meliputi diet kaya akan buah-buahan, sayuran, dan makanan rendahlemak efektif dalam menurunkan tekanan darah (Kotchen, 2008).Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengatasi HTModifikasiRekomendasiPenurunan potensial

TD sistolik

Diet natriumMembatasidiet natrium tidak2-8 mmHg

lebih dari 2400 mg/hari atau

100 meq/hari

PenurunanBeratMenjaga berat badannormal;5-20 mmHg per 10 kg

BadanBMI = 18,5-24,9 kg/penururnanBB

Olahraga aerobicOlahraga aerobik secara teratur,4-9 mmHg

bertujuanuntuk melakukan

aerobik 30 menit

Latihansehari-haridalam

seminggu.Disarankanpasien

berjalan-jalan 1 mil per hari di

atas tingkat aktivitas saat ini

Diet DASHDiet yang kaya akan buah-4-14 mmHg

buahan,sayuran,dan

mengurangi jumlah lemak jenuh

dan total

MembatasiPria 2 minum per hari, wanita2-4 mmHg

konsumsi alcohol1 minum per hari

Modifikasigaya hidup merupakan upaya untuk mengurangi tekanan darah, mencegah atau memperlambat insiden dari hipertensi, meningkatkan efikasi obat antihipertensi, dan mengurangi risikopenyakit kardiovaskular (National Institutes of Health, 2003).c. Terapi Farmakologis Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 adalah:1) Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist2) Beta Blocker (BB)3) Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)4) Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)5) Angiotensin II Receptor Blocker atau A receptor antagonist/blocker (ARB) Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah tercapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro, 2009).Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas Utama Obat Antihipertensi Menurut ESH (European Society of Hypertension) (2003).

Kelas ObatIndikasiKontraindikasi

MutlakTidak Mutlak

DiuretikaGagaljantungkongestif,goutKehamilan

(Thiazide)usia lanjut, isolated systolic

hypertension, ras Afrika

Diuretika (Loop)Insufisiensi ginjal,Gagal

jantung kongestif

Diuretika (antiGagaljantungkongestif,Gagalginjal,

aldosteron)pasca infark miokardiumhiperkalemia

Penyekat Anginapektoris,PascaAsmapenyakitPenyakit

infarkmiokardium,Gagalparuobstruktifpembuluhdarah

Jantungkongestif,menahun, A-Vperifer,

kehamilan, takiaritmiablock(derajat 2intoleransi

atau 3)glukosa,atlit

atau pasien yang

aktif secara fisik

CalciumUsia lanjut, isolated systolicTakiaritmia,

Antagonisthypertension,anginagagaljantung

(dihydropiridine)pektoris,penyakitkongestif

pembuluhdarahperifer,

aterosklerosiskarotis,

kehamilan

CalciumAnginapektoris,A-Vblock

Antigonistaterosklerotiskarotis,(derajat 2atau

(verapamil,takikardia supraventrikuler3), gagal jantung

diltiazem)Kongestif

PengahambatGagaljantungkongestif,Kehamilan,

ACEdisfungsiventrikelkiri,hiperkalemia,

Pascainfarkmiokardium,stenosisarteri

non-diabetik nefropatirenalis bilateral

AngiotensinIINefropatiDMtipe2,Kehamilan,

receptormikroalbuminuriadiabetik,hiperkalemia,

antagonistproteinuria,hipertropistenosisarteri

(AT1-blocker)ventrikel kiri,batuk karenarenalis bilateral

ACEI

-BlockerHiperplasiaprostat (BPH),HipotensiGagal jantung

hiperlipidemiaortostatiskongestif

Tatalaksana Hipertensi Menurut JNC 7

KlasifikasiTDSTDDPerbaikanTerapi Obat Awal

Tekanan(mmHg)(mmHg)Pola Hidup

Tanpa IndikasiDengan

Darahyang MemaksaIndikasi yang

Memaksa

Normal< 120Dan < 80Dianjurkan

ya

Prehipertensi120-139Atau80-yaTidakIndikasiObat-obatan

89obatuntukindikasi

yang memaksa

Hipertensi140-159Atau 90-YaDiuretikajenisObat-obatan

derajat 199Thiazideuntukuntukindikasi

sebagianbesaryangmemaksa

kasusdapatobat

dipertimbangkaantihipertensi

n ACEI,ARB,lain(diuretika,

BB,CCB, atauACEI,ARB,

kombinasiBB,CCB)

sesuai

kebutuhan

Hipertensi 160Atau YaKombinasi2

derajat 2100obatuntuk

sebagianbesar

kasus umumnya

diuretikajenis

Thiazidedan

ACEI atau ARB

atauBBatau

CCB

XI. KESIMPULANDari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis sirosis hepatis decompensata, Acute Kidney Injury dan hipertensi stage I. Diet hepar dan ekstra putih telur digunakan untuk meningkatkan asupan protein sehingga intake protein bertambah. Diberikan spironolactone digunakan untuk memotong patogenese ascites oleh karena hiperaldosteronisme sekunder. Propanolol digunakan untuk menurunkan tekanan portal. Monitoring KUVS dan BC untuk mengevaluasi perkembangan AKI serta pemberian diuretic untuk mengatasi kelebihan cairan dimana pada pasien ini tampak dari adanya asites. Captopril untuk menurunkan tekanan darah. Prognosis ad vitam, ad sanam dan ad fungsionam adalah dubia ad malam.

XII. SARAN DAN USUL1. Monitoring perkembangan AKI diperlukan untuk mengetahui prognosis menjadi CKD.2. Modifikasi diet dan gaya hidup lebih diutamakan untuk mengontrol tekanan darah.

XIII. DAFTAR PUSTAKABagshaw SM, George C, Bellomo R (2008). A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant, 23(1):1569-74.Bickley LS (2009). Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 232-355.Brady HR, Brenner BM (2005). Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrisons principle of internal medicine. Edisi 16. New York: McGraw-Hill, pp:1644-53.Cohen LD, Townsend RR (2008). In the Clinic Hypertension. www.annals.org/intheclinic/ (Diakses tanggal 9 Mei 2015).European Society of Hypertension-European Society of Cardiology Guidelines Committee (2003) European Society of Hypertension-European cardiology Guidelines for Management of Arterial Hypertension. J Hypertens. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12777938 (Diakses tanggal 9 Mei 2015).Guntur A (2012). Bed side teaching ilmu penyakit dalam. Surakarta: UNS Press, p: 20.Joint National Comitte on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure 7 (JNC 7) (2007). Seventh report of the joint national committe on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure JNC express. NIH Publication, 3(1): 4-8.Kotchen TA (2008). Hypertensive Vascular Disease. In: Fauci, A.S., et al, ed. Harrisons Principles of Internal Medicine. United States of America: Mc Graw Hill, 1549. Kumar V, Cotran SR, Robbins LS (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Markum HM (2009). Gagal ginjal akut. Dalam Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, pp: 585-9.Mohani CI (2008). Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun MB, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI, pp: 9-10.National Institutes of Health (2003). The Seventh Report of the Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/ (Diakses tanggal 9 Mei 2015). Price S, Lorraine M (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Richard S (2002). Anatomi klinik. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Roesli RM (2008). Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin, pp: 41-66.Roesli RM (2008). Epidemiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli RM, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin, pp:27-40.Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A (2004). Acute renal failure: definitions, diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest, 114(1):5-14.Schwartz (2000). Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sjamsuhidajat R, de Jong W (2005). Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sutarjo B (2008). Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI, pp: 53-59.Yogiantoro M (2009). Hipertensi esensial. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, pp: 1079-85.