kasus 02 plyndo star

7
Polyndo Star PLC 1 Case 2 (Financial Analysis and Planning) Polyndo Star didirikan pada pertengahan tahun 1990s di Jawa Barat, ketika stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi dinilai baik.. Perusahaan menghasilkan polyester filament yarn (PFY), polyester staple fiber (PSF), dan polyester chip. PFY adalah suatu produk antara yang dapat diproses lebih lanjut imenjadi produk hilir menjadi weaving dan knitting polyester fabrics. PSF adalah bahan baku utama yang digunakan di industri tekstil untuk menghasilkan polyester spun yarn, yang banyak digunakan untuk barang-barang rumah tangga dan pakaian. PSF dapat dicampur dengan serat-serat yang lain. PSF juga digunakan untuk memproduksikan karpet, mainan, kantong tidur, sepatu olahraga, dan diapers. Salah satu alasan didirikannya perusahaan adalah untuk mengantisipasi tingginya pertumbuhan industi yang menggunakan bahan baku polyester, Setelah perusahaan selamat melewati krisis finansial pada tahun 1998, perusahaan segera menjadi perusahaan terbuka (go public) dengan menerbitkan saham baru untuk menambah ekuitas guna mengurangi hutang dan memperluas usaha. Karena itu perusahaan menjadi Perseroan Terbatas terbuka (atau Publicly Listed Company, PLC). Sebelum perusahaan menerbitkan tambahan saham ke publik, di industri polyester terdapat sekitar 13 produsen polyester di Indonesia. Sekarang angka tersebut telah menjadi lebih dari 15 perusahaan. Karena bea masuk impor untuk PSF sebesar 5% dan untuk PFY sebesar 10%, praktis tidak ada pesaing asing pada industri ini. Karena itu untuk tahun- tahun mendatang pesaing utama perusahaan adalah pesaing-pesaing domestik, para pemain lama di industri polyester. Karena perusahaan bukan merupakan pimpinan pasar, maka untuk bersaing dengan para pemain besar perusahaan kadang-kadang menawarkan persyaratan penjualan yang lebih menarik kepada para calon konsumen. Situasi tersebut kadang-kadang menjadi makin problematis karena pertumbuhan industri polyester tidak terlalu tinggi, bahkan relatif “datar”, meskipun perusahaan mampu menikmati 1 Kasus disiapkan oleh Suad Husnan untuk mengilustrasikan praktek-praktek keuangan perusahaan bukan untuk menunjukkan praktek yang benar atau salah. Nama disamarkan dan angka dimodifikasi untuk melindungi informasi tanpa mengurangi permasalahan yang dianalisis. Case 2 1

Upload: lamia

Post on 11-Dec-2015

227 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

IEM

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus 02 Plyndo Star

Polyndo Star PLC1 Case 2(Financial Analysis and Planning)

Polyndo Star didirikan pada pertengahan tahun 1990s di Jawa Barat, ketika stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi dinilai baik.. Perusahaan menghasilkan polyester filament yarn (PFY), polyester staple fiber (PSF), dan polyester chip. PFY adalah suatu produk antara yang dapat diproses lebih lanjut imenjadi produk hilir menjadi weaving dan knitting polyester fabrics. PSF adalah bahan baku utama yang digunakan di industri tekstil untuk menghasilkan polyester spun yarn, yang banyak digunakan untuk barang-barang rumah tangga dan pakaian. PSF dapat dicampur dengan serat-serat yang lain. PSF juga digunakan untuk memproduksikan karpet, mainan, kantong tidur, sepatu olahraga, dan diapers. Salah satu alasan didirikannya perusahaan adalah untuk mengantisipasi tingginya pertumbuhan industi yang menggunakan bahan baku polyester,

Setelah perusahaan selamat melewati krisis finansial pada tahun 1998, perusahaan segera menjadi perusahaan terbuka (go public) dengan menerbitkan saham baru untuk menambah ekuitas guna mengurangi hutang dan memperluas usaha. Karena itu perusahaan menjadi Perseroan Terbatas terbuka (atau Publicly Listed Company, PLC). Sebelum perusahaan menerbitkan tambahan saham ke publik, di industri polyester terdapat sekitar 13 produsen polyester di Indonesia. Sekarang angka tersebut telah menjadi lebih dari 15 perusahaan. Karena bea masuk impor untuk PSF sebesar 5% dan untuk PFY sebesar 10%, praktis tidak ada pesaing asing pada industri ini. Karena itu untuk tahun-tahun mendatang pesaing utama perusahaan adalah pesaing-pesaing domestik, para pemain lama di industri polyester.

Karena perusahaan bukan merupakan pimpinan pasar, maka untuk bersaing dengan para pemain besar perusahaan kadang-kadang menawarkan persyaratan penjualan yang lebih menarik kepada para calon konsumen. Situasi tersebut kadang-kadang menjadi makin problematis karena pertumbuhan industri polyester tidak terlalu tinggi, bahkan relatif “datar”, meskipun perusahaan mampu menikmati pertumbuhan penjualan rata-rata sebesar 10 persen pada sepuluh tahun terakhir.

Industri Polyester

Permintaan akan serat buatan manusia yang terbesar dan tertinggi pertumbuhannya adalah permintaan akan serat polyester. Karakteristik fungsional serat tersebut dikombinasikan dengan kemajuan yang konsisten dan ajeg dalam teknologi serat tersebut, telah memicu pertumbuhan permintaan yang tinggi di seluruh dunia.

Indonesia, dengan sejarah industri tekstilnya yang panjang, telah menjadi salah satu produser tekstil polyester yang maju di pasar global. Tetapi kesempatan bisnis masih terbuka di Indonesia karena konsumsi per kapita polyester tetap rendah, hanya separoh konsumsi negara-negara maju. Krisis pada tahun 1998 telah memperlemah permintaan akan polyester di pasar domestik. Untungnya pasar domestik telah mulai pulih semenjak krisis tersebut. Meskipun demikian krisis global pada tahun 2008 telah mulai memukul industri polyester di Indonesia pada tahun 2009. Permintaan internasional akan tekstil

1 Kasus disiapkan oleh Suad Husnan untuk mengilustrasikan praktek-praktek keuangan perusahaan bukan untuk menunjukkan praktek yang benar atau salah. Nama disamarkan dan angka dimodifikasi untuk melindungi informasi tanpa mengurangi permasalahan yang dianalisis.

Case 2 1

Page 2: Kasus 02 Plyndo Star

polyester dan produk-produk yang menggunakan polyester merosot yang menyebabkan jatuhnya permintaan domestik akan PFY dan PSF. Ekspor tekstil Indonesia jatuh ke US$9.34 miliar pada 2009 dibandingkan dengan US$10.39 miliar pada 2008.

Demikian juga permintaan internasional jatuh pada tahun 2009. Karena itu tahun 2009 merupakan tahun yang tidak menentu bagi industri serat dan benang polyester, dengan peningkatan harga bahan baku pada akhir tahun.

Sejak tahun 1995 beberapa produsen polyester Indonesia telah mengekspor produksi mereka karena kapasitas produksi telah melebihi permintaan domestik. Keadaan ini telah menyebabkan persaingan yang sangat ketat di pasar domestik. Karena itu turunnya pasar ekspor sangat dirasakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Untunglah pasar domestik tetap stabil pada tahun 2009, disamping berfluktuasinya harga bahan baku. Harga bahan baku sangat berfluktuasi pada tahun 2008 dan 2009 ketika harga minyak bumi mencapai lebih dari US$ 120 per barrel pada tahun 2008 dan jatuh menjadi hanya US$40 per barrel pada 2009. Pada tahun 2010 harga minyak bumi telah meningkat mendekati US$80 per barrel pada akhir 2010 sebagai akibat mulai pulihnya perekonomian dunia. Tetapi harga bahan baku relative stabil pada tahun 2010 sebagai akibat melemahnya USD.

Kinerja perusahaan

Krisis global pada tahun 2008 mempunyai dampak serius pada perusahaan pada tahun 2009. Produktivitas, efisiensi operasi, dan profitabilitas turun cukup besar. Penurunan profitabilitas terutama disebabkan karena turunnya pendapatan dari penjualan. Tetapi pangsa pasar relative tidak berubah karena seluruh industri juga mengalami keadaaan yang sama.

Untunglah ketika perekonomian global mulai membaik pada tahun 2010, kinerja perusahaan mulai membaik pada tahun tersebut. Produksi mulai meningkat sebagai akibat menguatnya permintaan yang dicerminkan oleh meningkatnya penjualan. Demikian juga profitabilitas membaik. Harga bahan baku relative stabil pada tahun 2010 meskipun tidak setinggi pada tahun 2008. Untuk mempertahankan daya saing, kebijakan pemasaran yang agresif digunakan oleh perusahaan. Sebagai akibatnya laba operasional menjadi agak sensitive terhadap pendapatan penjualan karena operating profit margin agak “tipis”. Karena itu penting bagi perusahaan untuk bisa mencapai penjualan yang tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Direktur Keuangan atau Company’s Chief Financial Officer (CFO), “kita perlu menjual lebih banyak agar bisa berproduksi lebih banyak agar bisa menurunkan biaya rata-rata. Biaya tetap kita agak tinggi, misalnya biaya tenaga kerja, listrik, biaya administrasi, depresiasi, sebagian biaya overhead, semuanya biaya tetap. Sayangnya kita tidak dapat mengidentifikasikan biaya-biaya tersebut. Mungkin hanya biaya bahan baku yang merupakan biaya variable.”

Perusahaan Polyndo Star lebih banyak menggunakan hutang jangka panjang daripada hutang jangka pendek. Kebijakan ini banyak dianut oleh perusahaan-perusahaan dalam industri polyester. Sedangkan struktur modal perusahaan lebih banyak hutangnya daripada ekuitasnya. Karena itu industri tersebut sensitif terhadap perubahan suku bunga. Untunglah pada tahun 2009 dan 2010 suku bunga jauh lebih rendah daripada tahun 2008. Meskipun demikian dampak penurunan suku bunga tersebut agak tidak terasa oleh peruahaan karena lebih banyaknya hutang jangka panjang yang digunakan dengan suku bunga tetap. Obligasi jangka panjang diterbitkan pada tahun 2008 dengan suku bunga tetap (fixed coupon rate) sebesar 11,5 persen per tahun dengan nominal Rp1.000 miliar. Hutang jangka pendek dalam bentuk hutang bank dengan suku bunga 11 persen. Jumlah

Case 2 2

Page 3: Kasus 02 Plyndo Star

hutang jangka pendek tersebut disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan akan pendanaan. Pada tahun 2010 perusahaan mengurangi hutang jangka pendek sebesar Rp70 miliar.

Ringkasan laba rugi dan neraca perusahaan untuk tahun 2009 dan 2010 disajikan pada Exhibit 1 dan 2.

Rencana Perusahaan

Perusahaan menyadari bahwa untuk meningkatkan daya saing dan profitabilitasnya haruslah perusahaan menjadi “pemain yang besar” di industri, tidak cukup menjadi “pemain rata-rata”. Dua alternatif strategi sedang dipertimbangan oleh perusahaan. Pertama, memperluas kapasitas produksi dari produk-produk yang diproduksikan saat ini. Strategi ini memungkinkan perusahaan meningkatkan pangsa pasar dan/atau pasar ekspor. Apabila hal ini dapat dilaksanakan maka margin penjualan yang lebih tinggi mungkin bisa dicapai. Kedua, melakukan diversifikasi ke produk-produk yang masih berkaitan, baik ke hulu maupun ke hilir. Alternatif yang kedua memungkinkan peningkatan efisiensi operasional tetapi mempunyai risiko memasuki pasar baru.

Direktur Utama condong untuk memilih strategi pertama yaitu memperluas kapasitas produksi. Pendapat tersebut didukung oleh Direktur Keuangan yang berpendapat bahwa perusahaan bisa memperoleh laba lebih besar apabila berproduksi lebih banyak karena akan dapat menghemat biaya tetap. Lagi pula perusahaan akan tetap menekuni bisnis yang sudah lama dikerjakan. Untuk memperkuat pendapatnya ia menunjukkan rugi laba tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2009 penjualan mencapai Rp2.630 miliar dengan laba operasi Rp95 miliar, atau hanya 3,61% apabila dibandingkan dengan penjualan. Untuk tahun 2010 rasio laba operasi terhadap penjualan mencapai 10,68%. “Peningkatan rasio tersebut, karena penjualan pada tahun 2010 lebih tinggi dari 2009, disebabkan karena tingginya komponen biaya tetap”, demikian Direktur Keuangan menjelaskan. “Dengan menggunakan angka-angka tersebut kita bisa menaksir biaya tetap dan biaya variabel. Total Biaya (Cost of Goods Sold plus GSA Expenses) pada tahun 2009 sebesar Rp2.635 miliar sedangkan pada tahun 2010 sebesar Rp2.992 miliar. Karena Total Biaya = Total Biaya Tetap + Total Biaya Variabel, maka apabila Total Biaya Variabel = (Variable Cost to Sales Ratio) x Penjualan, maka dengan menggunakan angka-angka tahun 2009 dan 2010 kita dapat menaksir Total Biaya Tetap dan Variable Cost to Sales Ratio”, lanjut Direktur Keuangan.

Direktur Operasi meminta penjelasan lebih lanjut tentang konsep yang dijelaskan oleh Direktur Keuangan. “Maksud saya begini. Apabila Total Biaya Tetap sebesar Rp100 dan untuk memproduksikan produk seharga Rp100 diperlukan Biaya Variabel sebesar Rp60, maka Variable Cost to Sales Ratio = 0,6. Dengan demikian apabila kita memproduksikan produk senilai Rp1.000, maka Total Biaya = Rp100 + (0,6 x Rp1.000) = Rp700. Saya menduga Biaya Tetap kita cukup tinggi sehingga kita perlu berproduksi lebih besar”. Demikian tambahan penjelasan Direktur Keuangan.

“Disamping itu rasio-rasio keuangan kita pada tahun 2009 lebih buruk daripada industri. Baru pada tahun 2010 mendekati rasio-rasio industri”, demikian lanjut Direktur Keuangan. Hal ini saya kira karena kira berproduksi terlalu rendah pada tahun 20009. Kita perlu berproduksi lebih banyak agar bisa menekan biaya rata-rata. Karena itulah saya mendukung alternatif yang pertama.

Case 2 3

Page 4: Kasus 02 Plyndo Star

Pertanyaan

1. Evaluasilah kondisi keuangan perusahaan dengan membandingkannya dengan industri (lihat Exhibit 3). Benarkah pendapat Direktur Keuangan tentang perbandingan rasio-rasio keuangan perusahaan apabila dibandingkan dengan industri (halaman 3 alinea terakhir)? Jelaskan.

2. Dengan menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Direktur Keuangan dan angka-angka penjualan dan laba operasional pada tahun 2009 dan 2010, taksirlah komponen biaya tetap dan biaya variable pada tahun-tahun tersebut.

3. Misalkan perusahaan ingin memperluas kapasitasnya pada tahun 2011. Tambahan aset tetap sebesar Rp200 miliar akan dibeli pada awal tahun. Usia ekonomis asset tersebut selama 10 tahun tanpa nilai sisa. Tambahan hutang jangka panjang, dengan tenor 5 tahun, dengan bunga 10 persen akan diterbitkan pada awal tahun untuk membiayainya. Penjualan diharapkan akan naik sebesar 20 persen. Tambahan beberapa asumsi untuk tahun 2011 adalah sebagai berikut.

a. Biaya tetap untuk fasilitas produksi lama sama seperti perhitungan saudara/ri pada pertanyaan 2. Tetapi tambahan investasi pada asset tetap akan menaikkan biaya tetap sebesar Rp40 miliar (Rp20 miliar dari tambahan depresiasi dan Rp20 miliar lagi dari biaya tetap yang harus dikeluarkan secara tunai (out of pocket fixed costs).

b. Rasio biaya variable terhadap penjualan (variable cost to sales ratio) sama seperti jawaban saudara/ri pada pertanyaan 2.

c. Beban depresiasi asset tetap lama sebesar Rp175 miliar.

d. Rasio asset lancar terhadap penjualan (ratio of current assets to sales) pada tahun 2011 sama seperti tahun 2010.

e. Perusahaan akan mendistribusikan dividen sebesar Rp30 miliar (dari laba tahun 2010).

f. Rasio hutang dagang dan accruals terhadap penjualan (ratios of trade payable and accruals to sales) pada 2011 sama dengan rasio pada 2010.

g. Tidak ada penerbitan ekuitas baru pada tahun 2011.

h. Apabila perusahaan memerlukan tambahan external financing, hutang bank jangka pendek akan ditambah sesuai kebutuhan. Tetapi apabila internal financing lebih dari cukup untuk mendukung operasi, hutang jangka pendek akan dikurangi. Tambahan hutang bank akan dilakukan pada awal tahun, tetapi pengurangan hutang bank akan dilakukan pada akhir tahun.

Apakah Polyndo Star akan memerlukan tambahan dana ataukah mampu menghasilkan kelebihan dana (excess funds)? Tunjukkan perhitungannya.

4. Dengan menggunakan proyeksi pada pertanyaan 3 apakah diharapkan profitabilitas meningkat? Bagaimana dengan aspek-aspek yang lain?

---sh---

Yogyakarta, September 2013

Case 2 4

Page 5: Kasus 02 Plyndo Star

Exhibit 1Polyndo Star Inc.Income statement summary (in billion rupiah)

2009 2010Sales revenuesCost of goods sold

2,630-2,454

3,350-2,905

Gross profitGeneral, Selling, and Administrative expenses

176-81

445-87

Operating incomeOther expenses*

95-195

358-187

Earnings before taxCorporate income tax (30%)**

-100+30

171-51

Net Income after tax -70 120*mainly interest expense**In practice this means that the Company did not need to pay corporate income tax in 2009, and paid only Rp.21 billion in 2010. In other words, for the period 2009 to 2010 the Company paid only Rp.21 billion due to the losses in 2009.

Exhibit 2Polyndo Star Inc.Balance sheet summary (in billion rupiah)

End of 2009 End of 2010Current assetFixed Assets, net

1,1922,280

1,6592,105

Total assets 3,572 3,764Trade payablesAccrualsShort term bank loansLong-term bonds***Paid in capitalRetained earnings

416154720

1,000750532

530182650

1,000750652

Total liabilities and equity 3,572 3,764*** The maturity is in 2013

Exhibit 3Some industry financial ratios in 2009 and 2010

2009 2010Operating income / Sales (%)Operating income / Total Assets (%)Net Income After Tax / Total Equity (%)

6.33.4

-3.2

13.29.69.5

Sales / Total Assets 0.54 0.73Current Assets / Current Liabilities 1.10 1.22Total liabilities / Total Equity 1.75 1.70

Case 2 5