analisa kasus-star wars

47
STAR WARS “In Space, No One Can Hear You Scream” Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Asesmen Klinis Dosen Pengampu: Arif Tri Setyanto.,S.Psi.,M.Psi.,Psi. Disusun Oleh: Kelompok 9 Alma Marikka Geraldina (G0112009) Dara Ayu Yulianti (G0112028) Kadek Widya Gunawan (G0112054) Nurul Indah Oktavianti (G0112070) Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Upload: widya-gunawan

Post on 07-Sep-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Analisa Kasus-Star Wars

TRANSCRIPT

STAR WARSIn Space, No One Can Hear You ScreamDisusun guna memenuhi tugas mata kuliah Asesmen KlinisDosen Pengampu: Arif Tri Setyanto.,S.Psi.,M.Psi.,Psi.

Disusun Oleh: Kelompok 9Alma Marikka Geraldina(G0112009)Dara Ayu Yulianti(G0112028)Kadek Widya Gunawan(G0112054)Nurul Indah Oktavianti(G0112070)

Program Studi Psikologi Fakultas KedokteranUniversitas Sebelas MaretSurakarta2015

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSkizofrenia adalah ganguan dengan serangkaian simtom yang meliputi gangguan konteks berpikir, bentuk pemikiran, persepsi, afeksi, rasa terhadap diri (sense of self), motivasi, perilaku, dan fungsi interpersonal. Meskipun secara statistik presentasi penduduk yang memiliki gangguan ini sangat sedikit, jumlah satu persen mewujud menjadi kebutuhan yang besar akan sumber-sumber yang dapat merawat orang-orang dengan gangguan skizofrenia tersebut.Gangguan yang disebut dengan skizofrenia ini pertama kali diidentifikasi sebagai penyakit oleh dokter Prancis, Benedict Morel (1809-1873), dan secara sistematis didefinisikan oleh psikiater Jerman, Emil Kraeplin (1856-1926). Dementia praecox merupakan istilah awal yang digunakan oleh Kraeplin untuk menyebut skizofrenia. Dementia praecox dianggap sebagai degenerasi otak (dementia) yang dimulai di usia muda (praecox) dan menyebabkan disintegrasi seluruh kepribadian.Psikolog Swiss, Eugen Bleuler (1857-1939) menantang pandangan Kraeplin bahwa dementia praecox merupakan penyakit otak. Bleuler (1911) mengajukan perubahan dramatis baik dalam nama maupun pemahaman gangguan tersebut. Menurut Bleuler nama yang tepat untuk gangguan ini adalah skizofrenia yang bermakna pecahnya (schiz) atau kurangnya integrasi antara fungsi-fungsi psikologis individu.Sekarang, skizofrenia telah dianggap sebagai gangguan yang sangat kompleks, heterogen, dan merupakan gangguan multidimensional yang memiliki simtom negatif yang signifikan dan menyebabkan disabilitas pada berbagai bidang kehidupan penderitanya. Sampai saat ini, belum ditemukan treatmen yang tepat untuk mengatasi simtom skizofrenia. Beberapa terapi dengan menggunakan farmakoterapi dan intervensi psikososial nampaknya menjadi bidang yang mampu memberikan treatmen menjanjikan untuk kasus-kasus skizofrenia, kedua bidang tersebut merupakan area penelitian aktif untuk pengembangan treatmen skizofrenia.Sejumlah isu-isu kunci yang berhasil diidentifikasi dalam perencanaan treatmen untuk pasien dengan skizofrenia diantaranya: 1) Asesmen domain gejala negatif tertentu, yaitu mendefinisikan respon dan remisi gejala negatif; 2) Asesmen terhadap hasil fungsional, yaitu pengukuran dari hasil-hasil dalam uji klinis; dan 3) Asesmen terhadap durasi/tingkat persisten dari respon fungsional perilaku. Kelompok asesmen tersebut, mencapai kriteria keberhasilan dengan ditemukannya batas ambang tercapai fungsi yang berlangsung tetap/persisten dari waktu ke waktu (Schooler et al., 2015). Lamanya batas ambang pencapaian fungsi dari hasil penelitian Schooler dan koleganya menunjukkan bahwa suatu intervensi/treatmen yang efektif bagi skizofrenia setidaknya harus mampu memberikan outcome berupa tercapainya respon fungsional individu dalam durasi minimal 3 sampai 6 bulan secara berkelanjutan dan dibuktikan dengan asesmen secara berkala.Meskipun telah dilakukan berbagai macam upaya untuk mengidentifikasi intervensi yang efektif, namun belum ada treatmen yang mampu diterima secara luas dalam definisi keberhasilannya untuk manangani simtom-simtom negatif dari skizofrenia. Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, maka kami akan membahas tentang analisis kasus dari gangguan skizofrenia mulai dari simtom-simtom negatif yang muncul sampai pada memberikan rekomendasi terhadap terapi yang cocok digunakan dalam menangani simtom-simtom negatif dari skizofrenia.B. KasusSusan, 15 tahun, mendapatkan rujukan tentang penempatan kelas oleh sekolahnya. Baru-baru ini ia telah pindah ke lingkungannya yang sekarang dengan keluarganya, dan setelah periode singkat di kelas reguler, dia ditempatkan di kelas untuk anak yang terganggu secara emosional. Susan terbukti sangat sulit untuk mengontrol dirinya, dan memiliki pemahaman yang sangat sedikit untuk tugas sekolahnya di kelas lima, meskipun kosakatanya tampaknya baik. Dia membuat gaduh kelas dengan menirukan suara-suara binatang dan bercerita tentang hal-hal yang fantastis, sehingga membuat anak-anak lain menertawakan dirinya.Di rumah, Susan berperilaku agresif, ia menggigit atau memukul orang tuanya atau saudaranya jika frustrasi. Dia sering merasa bosan, tidak memiliki teman, dan menemukan kesulitan untuk menguasai dirinya. Dia menghabiskan banyak waktu untuk menggambar robot, pesawat luar angkasa, dan penemuan yang fantastis atau futuristik. Kadang-kadang dia mengatakan dia ingin mati, tapi dia tidak pernah berupaya bunuh diri dan tampaknya belum memikirkan untuk bunuh diri. Ibunya mengatakan bahwa sejak lahir Susan telah berbeda dan bahwa awal kemunculan perilaku Susan saat ini tidak mempunyai tanggal pasti yang menunjukkan dimulainya hal itu.Susan memiliki sejarah prenatal dan perinatal yang normal. Perkembangannya tertunda, dan dia tidak mengucapkan kata-kata tunggal sampai usia 4 atau 5 tahun. Sejak Susan masuk sekolah, ada kekhawatiran tentang kemampuannya. Asesmen dan evaluasi berulang-ulang yang dilakukan mematahkan dugaan bahwa Susan memiliki IQ lebih rendah dari 70, ternyata IQ Susan lebih tinggi dari dugaan. Karena ayahnya bekerja di militer, keluarga Susan sering berpindah-pindah, sehingga catatan pemeriksaan maupun rekam medis yang sebelumnya tidak tersedia.Orang tuanya melaporkan bahwa Susan selalu sulit dan gelisah dan beberapa dokter mengatakan dia tidak hanya terbelakang mental namun memiliki gangguan mental yang serius. Hasil asesmen yang dilakukan Susan pada usia 12 tahun karena kesulitan di sekolah menunjukkan bukti proses berpikir yang aneh dan struktur ego yang terfragmentasi. Ketika usia itu, Susan dapat tidur nyenyak di malam hari dan tidak bangun dengan mimpi buruk atau permintaan aneh, hal itu telah menjadi fitur perilaku Susan sebelumnya. Belakangan ini Susan dilaporkan tidur sangat buruk dan cenderung mengganggu isi rumah dengan bangun dan berkeliaran di malam hari. Ibunya menekankan ketidakpastian Susan, cerita lucu yang diceritakannya, dan cara di mana Susan berbicara pada dirinya sendiri dengan suara lucu. Ibunya menganggap cerita Susan sebagai cerita yang membuat anak-anak percaya dan kurang memperhatikannya. Ibunya mengatakan sejak Susan pergi untuk menonton film Star Wars dia telah terobsesi dengan ide-ide tentang ruang angkasa, pesawat ruang angkasa, dan masa depan.Orangtuanya berada di usia awal 40 tahunan. Ayahnya, setelah pensiun dari dinas militer, sekarang bekerja sebagai seorang installer alat listrik. Ibu Susan memiliki banyak keyakinan yang tidak biasa tentang dirinya sendiri. Dia mengklaim telah tumbuh di India dan telah memiliki masa kecil yang sangat aneh, penuh episode dramatis dan kekerasan. Banyak dari episode ini terdengar sangat mustahil. Suaminya menghentikan dia berbicara tentang masa lalunya di hadapannya dan mencoba untuk mengalihkan topik ke pembahasan masalah Susan. Orangtua Susan tampaknya memiliki hubungan yang agak terbatas, ayahnya pendiam, kepala dari rumah tangga dan ibu yang menanggung beban tugas keluarga sehari-hari. Sang ibu, sebaliknya, banyak bicara dan sangat mendalam ketika menceritakan masa lalaunya. Dia banyak berpikir tentang pengalaman masa kecil yang aneh itu. Adik Susan sekarang usia 12 tahun dan merupakan anak yang tampaknya normal dengan pretasi sekolah rata-rata. Dia tidak menghabiskan banyak waktu di rumah atau dengan keluarganya, tapi lebih suka bermain dengan temannya. Dia malu karena perilaku Susan dan menghindari untuk pergi keluar dengannya.Dalam wawancara Susan tampil sebagai seseorang yang tinggi, kelebihan berat badan, remaja yang tampak pucat, berpakaian tidak rapi dan penampilannya yang acak-acakan. Dia mengeluh tentang insomnia yang ia derita, meskipun sangat sulit untuk memperoleh rincian tentang gangguan tidurnya itu. Dia berbicara panjang lebar tentang kepentingan dan pekerjaannya. Dia bilang dia membuat robot yang mengamuk di ruang bawah tanah dan hendak menyebabkan banyak kerusakan, tapi dia mampu menghentikannya dengan remote control. Dia mengklaim telah membangun robot dari suku cadang komputer, yang ia diperoleh dari museum lokal.Ketika ditanya lebih rinci tentang kerja robotnya, Susan menjadi semakin tidak jelas; ketika diminta untuk menggambar salah satu penemuannya, dia menggambar kereta api dan berlanjut ke perhitungan matematika yang kompleks untuk mendukung rincian struktural, yang sebenarnya terdiri dari pengulangan tidak berarti dari simbol matematika (seperti, penjumlahan, pengurangan, pembagian, perkalian). Ketika pewawancara mengungkapkan beberapa ketidakpercayaan secara halus, Susan dengan sopan menjawab bahwa banyak orang tidak percaya bahwa dia adalah seorang supergenius. Dia juga berbicara tentang kemampuannya yang bisa mendengar apa yang orang lain tidak bisa dengar dan mengatakan dia dalam komunikasi dengan semacam makhluk. Susan pikir makhluk itu mungkin makhluk gaib, atau mungkin makhluk itu makhluk dari planet lain. Susan bisa mendengar makhluk itu berbicara dan bertanya padanya; makhluk itu tidak mencoba untuk memberitahukan apa yang harus dilakukan oleh Susan. Suara itu berada luar kepalanya dan tak terdengar oleh orang lain. Susan tidak menganggap pertanyaan-pertanyaan yang diterimanya sebagai sesuatu yang menjengkelkan; suara-suara itu tidak membuatnya marah atau pun takut.Gurunya berkomentar bahwa meskipun kemampuan membaca Susan ada di tingkat kelas lima, namun pemahamannya jauh lebih rendah. Dia cenderung untuk membaca apa yang tidak ada dalam teks dan kadang-kadang mengubah arti dari paragraf. Kemampuan mengejanya ada di tingkat kelas tiga, dan kemampuan matematikanya, sedikit di bawah itu. Susan bekerja keras di sekolah, meskipun sangat lambat. Jika dirinya ditekan, dia menjadi marah, dan pekerjaannya memburuk.

24

BAB IILANDASAN TEORI

A. PengertianSkizofrenia adalah ganguan dengan serangkaian simtom yang meliputi gangguan konteks berpikir, bentuk pemikiran, persepsi, afeksi, rasa terhadap diri (sense of self), motivasi, perilaku, dan fungsi interpersonal.Dalam PPDGJ III, skizofrenia dijelaskan sebagai gangguan yang ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudaian. Pikiran, perasaan dan perbuatan yang paling intim/mendalam sering terasa diketahui oleh atau terbagi dengan orang lain, dan waham-waham dapat timbul, yang menjelaskan bahwa kekuatan alami dan supranatural sedang bekerja mempengaruhi pikiran dan perbuatan penderita dengan cara-cara yang sering tidak masuk akal.Gangguan yang disebut dengan skizofrenia ini pertama kali diidentifikasi sebagai penyakit oleh dokter Prancis, Benedict Morel (1809-1873), dan secara sistematis didefinisikan oleh psikiater Jerman, Emil Kraeplin (1856-1926). Dementia praecox merupakan istilah awal yang digunakan oleh Kraeplin untuk menyebut skizofrenia. Dementia praecox dianggap sebagai degenerasi otak (dementia) yang dimulai di usia muda (praecox) dan menyebabkan disintegrasi seluruh kepribadian.Psikolog Swiss, Eugen Bleuler (1857-1939) menantang pandangan Kraeplin bahwa dementia praecox merupakan penyakit otak. Bleuler (1911) mengajukan perubahan dramatis baik dalam nama maupun pemahaman gangguan tersebut. Menurut Bleuler nama yang tepat untuk gangguan ini adalah skizofrenia yang bermakna pecahnya (schiz) atau kurangnya integrasi antara fungsi-fungsi psikologis individu.Gejala dalam skizofrenia dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu: gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif1. Gejala Positif (Positive Symptoms)Positif simptoms merupakan perilaku psikosis yang tidak muncul pada individu yang sehat. Seseorang dengan simptom positif ini sering merasa tidak terhubung dengan realita. Simptom ini dapat sewaktu-waktu muncul lalu sewaktu-waktu hilang. Positif simptom ini terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:a) Halusinasi merupakan sesuatu yang dapat didengar, dilihat atau dirasakan ole penderita, namun tidak dirasakan oleh orang lain. Suara merupakan tipe halusinasi yang palig sering muncul pada penderita skizofrenia. Suara-suara tersebut dapat berbicara pada penderita skizofrenia terkait perilakunya, atau meminta penderita untuk melakukan sesuatu atau bahkan memperingatkan penderita tentang suatu bahaya. Terkadang, suara-suara tersebut saling berbicara satu sama lain. Seseorang dengan skizofrenia bisa saja telah mendengar suara-suara tersebut dalam kurun waktu yang lama, sebelum keluarga atau teman-teman terdekatnya mengetahui permasalahan tersebut. Bentuk lain dari halusinasi ini adalah melihat orang atau objek yang sebenarnya tidak ada, mencium sesuatu yang tidak tercium oleh orang lain dan merasakan sesuatu yang tak terlihat menyentuh mereka padahal tidak ada seorang pun yang berada didekatnya. b) Delusi merupakan keyakinan yang salah. Seseorang dengan skizofrenia mempercayai delusinya bahkan setelah orang lain membuktikan bahwa keyakinannya tidak benar ataupun logis. Seseotag dengan skizofrenia dapat memiliki delusi yang aneh, seperti memepercayai bahwa tetangganya mampu mengatur perilakunya dengan kekuatan gelombang magnetik. Mereka juga bisa saja meyakini bahwa orang orang dalam televisi secara langsung mengirimkan pesan untuk mereka atau mempercayai bahwa radio yang merek dengar telah menyebarluaskan pemikiran mereka kepada khalayak. Terkadang juga mereka myakini bahwa dirinya dala figur sejarah yang terkenal. Mereka bisa saja memiliki delusi yang paranoid dan percaya bawa orang lain sedang berusaha mencelakai mereka, seperti dengan cara berlaku kejam, meracuni, memata-matai, dan lain sebagainya. Keyakinan seperti ini biasa dikenal dengan sebutan delusions of persecutions.c) Gangguan pemikiran merupakan cara berpikir yang tidak biasa. Salah satu bentuk dari gangguan ini dikenal dengan sebutan disorganized thinking. Hal in terjadi ketika seseorang tidak mampu menyusun pikirang-pikirannya atau tidak mampu menhubungkan pemikiran mereka kepada realita. Mereka bisa saja berbicara dengan memutarbalikkan perkataan sehingga sulit untuk dimengerti. Atau istilah lain yang biasa kita dnegar adalah thought blocking. Kondisi dimana seseorang tiba-tiba berhenti berbicara. Ketika ditanyakan mengapa mereka tiba-tiba berenti berbicara, mereka akan mengatakan bahwa ada yang tiba-tiba mengambil pikirannya dari kepala mereka. Akhirnya, seseorang dengan gangguan pemikiran sering mengatakan kata-kata yang tidak memiliki arti atau neologisms.d) Gangguan Pergerakan biasanya muncul sebagai perilaku agitasi pergerakan tubuh. Seseorang dengan gangguan ini bisanya sering mngulang-ulang gerakan yang sama berkali-kali. Dalam kondisi ekstrem, seseorang bisa mnejadi katatonik. Katatonik adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat bergerak dan tidak dapat merespon orang lain. Katatonik adalah kondisi yang jarang ditemukan pada era ini, namun hal ini pernah menjadi sesuatu yang lazim ketika treatment untuk skizofrenia belum ada. 2. Gejala Negatif (Negative Symptoms)Negatif simptom biasanya berkaitan dengan terganggunya emosi dan perilaku yang normal. Simptom ini lebih sulit dilihat sebagai bagian dari gangguan dan dapat disalahartikan sebagai depresi atau kondisi sejenis lainnya. Yang termasuk simptom ini, diantaranya:a) Flat effect : wajah seseorang yang tidak tidak memiliki ekspresi atau mereka berbicara dengan nada suara yang datar.b) Kekurangan kebahagaiaan dalam kehidupan sehari-hari.c) Kurangnya kemampuan untuk memulai aktivitas.d) Berbiacara sangat sedikit, walupun mereka diharuskan untuk berbicara.Orang dengan negatif simptom membutuhkan bantuan dalam tugas sehari-hari mereka. Mereka sering melalaikan kebersihan diri. Hal ini membuat mereka terlihat malas dan tidak berkeinginan untuk merawat diri mereka sedniri, tetapi hal ini sebenarnya terjadi sebagai salah satu akibat skizofrenia.3. Gejala Kognitif (Cognitive symptoms)Kognitif simptom tidak dapat diabaikan. Seperti halnya negatif simptom, kognitif simptom juga sulit didefinisikan sebagai bagian dari gangguan. Biasanya, hal ini hanya terdeteksi ketika dilakukan serangkaina tes. Kognitif simptom, terbagi atas:a) Executive Function yang buruk (kemampuan untuk memahami informasi dan menggunakannya untuk membuat keputusan).b) Sulit fokus atau sulit memusatkan perhatian.c) Kinerja memori yang bermasalah (kemampuan untuk menggunakan informasi setelah mempelajarinya).Kognitif simptom biasanya mengakibatkan seseorang kesulitan dalam menjalani kehidupan normal. Hal ini biasanya mengakibatkan emotional distress yang cukup memprihatinkan.

B. Etiologi1. Teori somatogenika) Faktor genetisMenurut Charney, Nestler, Gottesman & Bunney (dalam Nugraeni, 2011), skizofrenia dipengaruhi kuat oleh faktor genetis. Menurut Erlenmeyer-Kimling dkk., serta Kendler & Diehl, peningkatan risiko Skizofrenia pada orang-orang yang memiliki hubungan biologis dengan penderita gangguan. Semakin dekat hubungan kekerabatan dengan seorang penderita skizofrenia semakin besar pula kecenderungan untuk mengidap hal yang sama. Kembar identik memiliki tingkat kecenderungan paling tinggi, hampir 48% (Wong, Gottesman & Petronis dalam Halgin & Whitbourne, 2010) dan mereka yang memiliki hubungan kekerabatan lebih jauh akan memiliki tingkat kecenderungan yang semakin rendah.Menurut APA (dalam American Journal of Psychiatri, 2008) secara keseluruhan, keluarga tingkat pertama dari orang-orang yang mengalami skizofrenia (orang tua dan saudara kandung) memiliki sekitar sepuluh kali lipat risiko yang lebih besar untuk mengalami skizofrenia dibandingkan orang lain yang berada di sekitarnya.b) Faktor biokimiaMenurut Kane (dalam Nugraeni, 2011) obat-obatan neuroleptik menghambat dan mengurangi aktivitas reseptor dopamin sehingga dapat menghambat transmisi berlebih dari impuls-impuls neuron yang dapat meningkatkan perilaku skizofrenia. Menurut hipotesis dopamin, delusi, halusinasi dan rendahnya atensi yang ditemukan pada skizofrenia dapat disebabkan oleh suatu aktivitas berlebihan dari neuron yang saling berkomunikasi satu sama lain melalui transmisi dopamine (Carlsson dalam Halgin & Whitbourne, 2010). Menurut Busatto dkk. (dalam Nugraeni, 2011), kita seharusnya juga memperhatikan bahwa neurotransmitter seperti norepinefrin, serotonin, dan GABA, juga mempengaruhi perilaku Skizofrenia.c) Infeksi virusMenurut Mertensen dkk., serta Tam & Sewell (dalam Nugraeni, 2011), teori virus dapat mempengaruhi penemuan dari banyaknya jumlah orang yang kemudian mengalami skizofrenia apabila dilahirkan pada musim dingin. Ketidaknormalan otak merupakan hasil dari infeksi virus pada masa prenatal, nutrisi janin yang tidak adekuat (kurang bergizi), kerusakan genetis, atau trauma kelahiran, atau komplikasi (McGlashan & Hoffman, McNeil, Cantor-Graae & Weinberger, Rosso dkk., Wahlbeck dkk. dalam Nugraeni, 2011).d) Ketidaknormalan otakOtak dari pasien skizofrenia rata-rata lima persen lebih kecil dari volume otak pada individu normal, dengan pengurangan volume terbesar pada korteks serebral (Cowan & Kandel, dalam Nugraeni, 2011). Ketidaknormalan korteks prefrontalis (yang mengendalikan berbagai fungsi kognitif dan emosional) pada penderita skizofrenia mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam mengorganisasikan pikiran-pikiran serta perilaku-perilaku dengan turut menampilkan tugas-tugas kognitif pada tingkat yang lebih tinggi, seperti memformulasikan konsep, memprioritaskan informasi dan memformulasikan tujuan dan rencana (Barch dkk., Bertolino dkk., dalam Nugraeni, 2011).Gangguan pada fisiologis otak di daerah subkortikal dapat mengakibatkan ketidakseimbangan neurotransmitter sehingga terjadi ketidaknormalan pada pengaturan emosi, perhatian, pembentukan ingatan, berpikir.2. Teori Psikogenika) Teori psikoanalitik Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari perkembangan yang terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada perkembangan ego dan defek-defek ini memberikan kontribusi terhadap gejala-gejala skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2007). b) Dinamika keluarga Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang disfungsi. Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan stres emosional yang merupakan hal yang rentan pada pasien skizofrenia untuk mengatasinya. Dinamika keluarga tersebut berupa double bind communication, schisms and skewed family, pseudomutual dan pseudohostile families, dan emosi yang diekspresikan secara tinggi (Kaplan & Sadock, 2007).

C. PsikodinamikaGangguan kognitif adalah gangguan yang paling sering ditemukan dalam skizofrenia. Gangguan kognitif yang muncul antara lain gangguan bahasa, gangguan pikiran dan gangguan persepsi. Gangguan-gangguan ini tidak harus muncul semua namun sedikitnya salah satu gangguan kognitif ini terjadi pada pasien skizofrenia. Gangguan bahasa yang terjadi dapat berupa asosiasi longgar (tidak adanya hubungan antarkalimat), inkoherensi, neologisme (membentuk kata baru yang hanya ia yang paham maknanya) dan blocking (pembicaraan berhenti secara mendadak). Gangguan persepsi berupa halusinasi. Halusinasi yang paling sering terjadi adalah halusinasi auditorik atau suara-suara. Gangguan pikiran berupa waham. Waham seringkali tidak logis dan bizar. Terdapat dua kelompok waham yaitu waham primer (tidak logis, jarang terjadi, tanpa penyebab) dan waham sekunder (lebih logis, dapat diikuti, cara pasien menerangkan gejala skizofrenik lain).Kondisi emosi pasien skizofrenia juga mengalami gangguan. Pasien skizofrenia kehilangan kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik. Ambivalensi afektif dan sensitivitas emosi juga ditemui pada pasien skizofrenia. Tak sedikit pasien skizofrenia merasa tersinggung ketika ada orang yang sedang berbisik-bisik bercerita meskipun orang lain itu tidak sedang membicarakan si pasien skizofrenia. Pasien skizofrenia juga sulit untuk mengontrol emosinya. Pada kasus Susan (Star Wars), bahwa dia akan menggigit atau memukul anggota keluarganya ketika ia sedang frustrasi. Tidak hanya itu, jika Susan sedang tertekan dia akan mengalami frustrasi.Pasien skizofrenia juga mengalami hambatan dalam kegiatan sehari-harinya. Hambatan tersebut dikarenakan adanya gangguan perilaku. Gangguan perilaku ini dapat berupa stupor atau gaduh gelisah, fleksibilitas lilin, katalepsi, stereotipi, manerisme, negativisme, otamatik komando, ekolalia dan ekopraksia. Selain itu, pasien skizofrenia juga menarik diri dari pergaulan sosial sehingga lebih sedikit mengalami interaksi dengan orang lain. Penelitian menunjukkan dukungan keluarga yang diberikan kepada pasien skizofrenia pun sangat sedikit, baik dalam dukungan emosional dan dukungan sosial. Hal tersebut membuat kemungkinan kekambuhan skizofrenia terjadi dengan cepat.Faktor somatogenik bisa menjadi salah satu faktor yang memunculkan gangguan yang terjadi pada pasien skizofrenia. Ketidaknormalan korteks prefrontalis (yang mengendalikan berbagai fungsi kognitif dan emosional) pada penderita skizofrenia mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam mengorganisasikan pikiran-pikiran serta perilaku-perilaku. Ketidaknormalan otak inilah yang menyebabkan munculnya gangguan kognitif dan emosi pada pasien skizofrenia. Munculnya halusinasi atau waham akan menyebabkan pasien berbeda dari orang lain dan dicap sebagai orang yang aneh. Gangguan kognitif yang menyebabkan dirinya berbeda dengan orang lain memicu gangguan emosi yang berasal dari eksternal.Keadaan emosi yang buruk dan sensitif ditambah dengan adanya gangguan kognitif akhirnya menyebabkan kesulitan dalam mengorganisasikan perilaku. Gangguan perilaku ini dapat bertambah buruk apabila tidak ada dukungan dari keluarga atau orang yang dekat dengan si pasien. Perilaku yang aneh dan gangguan kognitif seperti halusinasi atau waham membuat pasien skizofrenia dijauhi oleh masyarakat dan semakin berpengaruh ke emosinya yang menyebabkan gejala skizofrenia semakin parah.Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien skizofrenia mengalami gangguan kognitif, emosi dan perilaku. Gangguan ini kognitif lebih disebabkan karena faktor somatogenik, yaitu terganggunya korteks prefrontalis. Gangguan emosi bisa disebabkan oleh faktor somatogenetik maupun psikogenik. Gangguan perilaku lebih disebabkan karena ketidakfungsian fungsi kognitif dan emosi. Ketiga aspek ini saling berkaitan sehingga menyebabkan gejala-gejala pada skizofrenia muncul.

D. TerapiSkizofrenia tidak memiliki penyebab tunggal dan merupakan serangkaian gangguan. Oleh karena itu treatmen harus didasarkan pada suatu pendekatan multifaset yang menyatukan berbagai komponen teoretis. Berikut adalah model penanganan komprehensif yang ada saat ini:1. Treatmen Biologisa) Prefrontal LobotomySebelum tahun 1950, pengobatan untuk penderita skizofrenia adalah menggunakan prefrontal lobotomy. Prefrontal lobotomy adalah proses pembedahan lobus frontalis pada pendertia. Metode ini diperkenalkan oleh Moniz pada tahun 1935, namun kemudian metode ini diabaikan karena meskipun sangat membantu dalam menurutnkan agresifitas pada orang yang mengalmai delusi dan halusinasi, namun menghasilkan dampak negatif yang lebih fatal, yaitu menghilangkan motivasi, kreativitas, dan fungsi kognitif secara signifikan.b) ECT (Electro Convulsive Therapy)ECT merupakan jenis pengobatan untuk orang yang mengalami gangguan dengan cara mengalirkan aliran listrik ke tubuhnya, salah satunya adalah skizofrenia. Di masa lalu, ECT sering digunakan sebagai bentuk pengobatan di rumah sakit jiwa, namun ECT adalah metode yang sangat mengerikan karena memiliki efek samping seperti ketidaksadaran sementara, kerancuan pikir, hilangnya ingatan, dan kekejangan otot yang menyertai serangan otak sehingga mengakibatkan cacat fisik. Saat ini ECT masih digunakan di rumah sakit jiwa, namun dengan cara yang lebih manusiawi. Pasien diberikan obat bius ringan kemudian disuntik dengan penenang otot, lalu aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang memiliki belahan otak yang tidak dominan. Metode baru ini mencegah terjadinya kejang otot, luka, kerancuan pikiran, hilangnya ingatan, dan bersifat terapis bukan serangan. Terapi ini biasa dilakukan dalam hitungan minggu.Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa metode ini hanya cocok untuk pengobatan gangguan jiwa lain yang bersifat ringan.c) Penggunaan obat-obatan psikotikDatangnya obat-obatan psikotik tahun 1950 menggantikan lobotomy dan ECT dalam penanganan penderita skizofrenia. Obat-obatan psikotik biasa disebut neuroleptic yang berarti memperbaiki saraf. Neuroleptic menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan simtom psikotik. Dosis penggunaan obat ini biasanya disesuaikan dengan gangguan yang dialami pasien,sehingga obat-obatan ini selanjutnya diklasifikasi dalam 3 kategori:i. Rendah: klorpromazin (thorazine), thioridazine (mellaril).ii. Sedang: trifluoperazina (stelazine), thiothixine (navane).iii. Tinggi: haloperidol (haldol), flufenazina (prolixin).Gambarannya adalah pasien yang sangat terganggu diberikan dosis rendah karena lebih bersifat menenangkan, namun pasien yang tidak terlalu terganggu diberikan obat dalam dosis tinggi namun memiliki efek samping yang serius.Obat-obatan tersebut mengandung zat kimia yang terkait dengan neuron yang biasanya akan bereaksi terhadap neurotransmiter dopamin, dan menimbulkan hasil perilaku, yaitu perilaku terapeutik dan perilaku menganggu. Hasil terapeutik berarti frekuaensi dan intensitas simtom psikotik berkurang karena reseptor dopamin dinonaktifkan pada biagian otak yang memengaruhi pikiran dan perasaan. Efek negatinya adalah pengguna mangalami simtom secara tiba-tiba seperti gemetaran yang tidak dapat dikontrol, kekakuan otot, dan pergerakan mata yang tidak disadari karena fungsi endokrin pada diri individu terpengaruh.Terapi menggunakan obat-obatan tentunya tidak lepas dari efek samping. Efek samping dari penggunaan neuroleptic ini adalah gangguan saraf yang tidak dapat diperbaiki yang disebut dengan tardive dyskinesia, yang membuat individu tidak mampu mengontrol gerakan tubuhnya, jika dikonsumsi dalam jangka waktu panjang berdasarkan pemikiran akan efek samping yang muncul, maka para ahli psikofarmakologi memunculkan obat-obatan baru yang disebut obat antipsikotik generasi kedua (second-generation antipsychotic; SGA). Contoh obat-obatan yang termasuk dalam SGA adalah klozpina (clorazil), amisulpride (solian), risperidone (risperdal), olanzapine (syprexa), quetiapine (seroquel), dan sertindole (serlect). Obat-obatan jenis kedua ini lebih baik dalam menangani simtom negatif, ganguan pikiran, gangguan mood, serta kontrol impuls. Meski begitu obat-obatan ini hanya menyembuhkan simtom tertentu bukan skizofrenia.Pertimbangan yang masih diperdebatkan adalah apa individu dengan skizofrenia harus mengonsumsi dosis penuh obat-obatan tersebut apabila tidak sedang mengalami simtom positif yang nyata dari gangguan ini. Beberapa klinisi mengurangi dosis atau menghentikan konsumsi obat ketika mereka dapat berfungsi dengan baik, namun penghentian obat ini tetpa harus dimonitor dan di evaluasi terlebih dahulu.2. Treatmen PsikologisIntervensi psikologis yang digunakan pada penderita skizofrenia berasal dari perspektif perilaku yang mengasumsikan bahwa banyak kesulitan yang dihadapi oleh individu dengan sikzofrenia terjadi karena mereka memiliki pola perilaku yang aneh dan maladaptif. Treatmennya berfokus pada simtom individual yang berinteraksi denngan pemfungsian dan penyesuaian sosiala) Program tanda penghargaan (token)/sosial learning progamMetode ini memiliki tekanan pada hadiah yang diberikan setiap kali penderita memunculkan perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan sosial. Tetapi akan tidak mendapatkan koin atau di denda jika perilaku yang mereka munculkan tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya.Lebih lanjut prosedur dari metode ini, yaitu para individu diberikan hadiah koin plastik yang disebut token. Setiap kali perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan sosial dimunculkan, pasien diberikan token, tetapi jika perilaku yang tidak sebagimana mestinya dimunclkan maka pasien tidak mendapatkan token atau malah di denda. Selanjutnya token ini digunakan sebagai nilai tukar untuk sebuah hal istimewa yang mereka inginkan, seperti 2 token untuk pergi ke toko makanan ringan, 10 token untuk pergi di akhir pekan, dan lain-lain.harapan dari pemberian token ini adalah, seiring dengan berjalannya waktu, perilaku yang baru ni akan menjadi kebiasaan dan tidak bergantung pada penguat berupa token. Setelah perilaku yang diharapkan sering dimunculkan oleh pasien maka pemberian token digantikan dengan pemerian pujian, dan selanjutnya dihilangkan secara bertahap.b) Pelatihan keterampilan sosial (sosial skill training)Individu dengan skizofrenia seringkali berbicara atau berperilaku dengan cara yang dipandag abnormal. Pada pelathan keterampilan sosial, perilaku menyimpang individu diidentifikasi dan dijadikan target kemudian penguat menjadi faktor pendorong bagi individu untuk memunculkan perilaku yang lebih dapat diterima oleh lingkungan sosial.Peran klinisi dalam mengimplementasikan program ini adalah dengan melakuakn hal berkut:i. Membantu individu menentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang spesifik dan relevan secara personal.ii. Mengungkapkan harapan yang realitstis.iii. Membantu individu menciptakan situasi interpersonal yang mungkin dihadapi pada masa depan.iv. Membangun kondisi-kondisi yang mengaitkan situasi yang diantisipasi dengan cara menanyakan pertanyaan mengenai emosi atau komunikasi yang ingin dilakukan oleh orang tersebut, kepada siapa, dimana, dan kapan.v. Mengembangkan skenario bermain peran yang menyediakan kesempatan untuk latihan perilaku.vi. Menyediakan umpan balik yang postif dan korektif bagi individu terkait perilaku verbal dan nonverbal, gaya bercakap-cakap,serta persepsi sosial.vii. Melatih individu dalam latihan perilaku pada kondisi yang menunjukkan kemunculan, dorongan, dan pemahaman, mengenai perilaku verbal dan non verbal yang sesuai.viii. Memberikan tugas rumah yang spesifik, dapat dipenuhi, dan fungsional yang dapat dipraktikkan oleh individu dalam situasi kehidupan nyata.ix. Menerima laporan dari individu mengenai tugas rumah yang dibuatnya, sehingga dapat ditentukan langkah untuk mencapai tujuan baru, mempraktikkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau mengatasi masalah untuk menghilangkan halangan yang dihadapi oleh seseorang.c) Terapi kognitif-perilakuTerapi ini merupakan program lanjutan dari program keterampilan sosial. Program keterampilan sosial tidak hanya dilakukan dalam ruang lingkup kesehatan mental namun membutuhkan lingkungan yang mampu mengondisikan penyembuhan bagi pasien, yaitu anggota keluarga dari penderita skizofrenia, demi meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dan berinteraksi sosial.Teknik kognitif-perilaku digunakan klinisi untuk membantu klien mendeteksi tanda awal kekambuhan, memberikan pendekatan yang lebih positif dalam mengevaluasi kemampuan untuk menghadapi masalah sehari-hari dan mengembangkan rentang cara yang lebih luas untuk mengatasi tekanan dan kecemasan. Proses berpikir yang terganggu dan bahkan delusi dapat dikurangi menggunakan intervensi kognitif-perilaku.Melalui sebuah penelitian, Zimmerman (2005), memiliki pandangan bahwa terapi kognitif-perilaku memiliki efek yang lebih baik daripada obat-obatan, khususnya ketika para pasien berada pada fase akut suatu gangguan.Terapi kogitif-perilaku akan bekerja secara lebih baik pada pasien ketika dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan sosial, karena program keterampilan sosial kurang mampu mengurangi perilaku menyimpang yang menjadi ciri penderita skizofrenia. Kombinasi ini akan mengubah cara berpikir pasien serta meiningkatkan kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan.3. Treatmen Sosiokultural Skizofrenia tidak hanya merupakan gangguan bagi individu yang mengalaminya, tetapi juga berpengaruh dengan orang-orang lain yang hidup di sekitar individu tersebut, terutama dengan simtom yang ada pada penderita. Maka dari itu, pusat dari suatu treatmen integratif adalah suatu pendekatan terapeutik yang meilbatkan suatu fokus pada interaksi dan hubungan.a) Terapi MilieuTerapi Milieu adalah suatu model yang melibatkan proses sosial sebagai suatu alat untuk mengubah perilaku individu. Terapi ini muncul berdasarkan pemikiran bahwa tekanan untuk menjadi seragam dengan norma sosial yang konvensional mencegah individu dengan skizofrenia untuk memunculkan simtom perilaku bermasalah. Pendekatan model ini memerlukan agar semua pasien berada dalam ruang lingkup treatmen kemudian saling bertukar pikiran dengan terapis yang berperan sebagai faslitator. Kondisi ini akan memunculkan komunitas terapeutik untuk menyediakan suatu lingkungan yang mendukung perubahan positif dan perilaku sosial yang tepat sehingga menghasilkan pemfungsian positif bagi pasien, efek menormalkan lingkungan dimaksudkan untuk membantu individu membuat suatu transisi yang lebih lancar dan efektif untuk hidup diluar komunitas terapi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga pasien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.Terkadang pendekatan seperti ini juga disertai dengan program pelatihan dan psikoedukasi bagi keluarga pasien. Program tersebut menyediakan informasi kepada keluarga mengenai gangguan psikotik dan treatmennya, berusaha menurunkan tekanan dan stres dalam keluarga, menyediakan dukungan sosial pada keluarga, berfokus pada pengembangan strategis untuk masa depan, meningkatkan fungsi terhadap seluruh anggota keluarga, dan bekerja untuk membentuk suatu hubungan kolaboratif antara tim treatmen dan keluarga. Prgoram treatmen yang mengombinasikan obat-obatan dengan intervensi psikososial dipandang paling menjanjikan untuk memaksimalkan fungsi sehari-hari individu yang mengidap skizofrenia.b) Assertive Community Treatment (ACT)ACT merupakan sebuah program penanganan pasien skizofrenia dengan model integrasi. Pendekatannya dilakukan oleh suatu tim progesional yang terdiri dari psikolog, psikiater, perawat kesehatan, dan pekerja sosial yang mengunjungi klien ke rumah dan tempat mereka bekerja, yang membantu pasien untuk mendapatkan rekomendasi medis untuk membantu kondisi keuangan mereka, memperoleh penanganan kesehatan yang sesuai, dan mengatasi krisi yang terjadi, termasuk memberikan pelayanan pada pasien bukan menunggu mereka mendatangi fasilitas untuk mendapatkan bantuan yang mungkin merupakan usaha yang terlalu berat bagi penderita gangguan.ACT dinilai paling menguntungkan bagi individu yang lebih terganggu dengan suatu sejarah perawatan di rumah sakit untuk waktu lama dan memiliki keterampilan untuk berfungsi secara psikososial yang sangat terbatas serta memerlukan bantuan untuk menjalani hidup sehari-hari.

5

BAB IIIANALISIS KASUS

A. Asesmen yang DilakukanAsesmen adalah proses mengumpulkan informasi yang biasanya digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yang nantinya akan dikomunikasikan kepada pihak-pihak terkait oleh asesor (Nietzel dkk,1998). Asesmen merupakan suatu pengukuran psikologis yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang didasari informasi yang dapat diandalkan. Dalam penegakan diagnosa, terlebih dahulu diperlukan proses asesmen untuk mengetahui sebab-sebab yang melatarbelakangi suatu gangguan, sehingga penegakan diagnosa yang dilakukan tepat dan akurat.Pada kasus Susan, asesmen dilakukan dengan melakukan wawancara, baik itu kepada Susan (individu yang mengalami gangguan), Ibunya, dan orang lain di lingkungan sekitar individu yang mengalami gangguan; observasi atau pengamatan langsung dari klinisi selama proses konsultasi berlangsung; hasil dari alat tes serta dengan menggunakan life record.1. Wawancaraa) Susan (Individu yang mengalami gangguan)Dalam sesi interviu yang berlangsung, Susan berbicara panjang lebar mengenai kepentingan dan pekerjaannya. Susan berkata bahwa dia membuat robot yang mengamuk di ruang bawah tanah dan hendak menyebabkan banyak kerusakan, tetapi dia mampu untuk menghentikannya dengan remote control. Dia mengklaim bahwa dia membangun robotnya dari suku cadang komputer yang diperolehnya dari museum lokal.Ketika ditanya lebih jauh mengenai kerja robotnya, Susan menggambar kereta api lalu berlanjut ke perhitungan matematika yang kompleks untuk mendukung rincian struktural, yang sebenarnya terdiri dari pengulangan tidak berarti dari simbol (misalnya: ditambah, dikurangi, membagi, mengalikan).Pewawancara yang menanggapi Susan dengan ketidakpercayaan, dijawab Susan dengan sopan bahwa memang banyak orang yang tidak percaya bahwa dia adalah seorang yang supergenius.Susan menjelaskan mengenai kemampuannya yang bisa mendengar apa yang orang lain tidak bisa dengar, dan mengatakan bahwa dia sedang dalam komunikasi dengan semacam makhluk dari planet lain, atau karena keangkeran dirinya. Dia menjelaskan bahwa dia bisa mendengar suara makhluk itu sedang berbicara dengannya, memberikan pertanyaan dan bukan memberikan instruksi tentang apa yang harus dilakukan. Susan menganggap pertanyaan ini sebagai sesuatu yang tidak menjengkelkan, serta tidak membuatnya takut atau marah.b) Ibu SusanIbunya mengatakan bahwa sejak lahir Susan sudah berbeda, dan perbedaannya itu terus berlanjut secara bertahap sampai sekarang. Ibunya juga menceritakan mengenai perilaku Susan yang menurutnya tidak jelas. Susan sering menceritakan cerita lucu pada dirinya sendiri dengan suara lucu, namun ibu Susan menganggap hal itu hanya cerita anak-anak dan tidak mempedulikannya.Perilaku Susan yang aneh menurut ibu Susan, dimulai semenjak dia pergi untuk menonton film Star Wars yang membuatnya terobsesi dengan ide-ide seputar luar angkasa, pesawat luar angkasa, dan masa depan.c) Orang lain disekitar SusanOrang-orang yang berada di sekitar Susan dipandang sebagai sumber informasi, terutama orang-orang yang berada dalam dunia sekolah Susan dan dokter yang pernah menangani Susan.Guru Susan di sekolah mengatakan jika kemampuan membaca Susan ada di tingkat kelas lima, namun pemahamannya jauh lebih rendah. Dia cenderung untuk membaca apa yang tidak ada dan kadang mengubah arti dari paragraf tersebut. Kemampuan mengejanya ada di tingkat kelas lima, dan kemampuan matematikanya sedikit di bawah itu. Dia bekerja keras di sekolah, meskipun sangat lambat. Jika diritnya ditekan, dia menjadi marah dan pekerjaannya memburukDokter yang menangani Susan mengatakan jika Susan tidak hanya keterbelakangan mental namun memiliki gangguan mental yang serius.2. Observasia) Susan (Individu yang mengalami gangguan)Observasi yang dilakukan pada Susan berpusat pada penampilan fisik susan yang ditampilkan pada sesi wawancara. Saat sesi wawancara, Susan tampil sebagai seorang remaja yang tinggi, kelebihan berat badan, tampak pucat, dan berpakaian tidak rapi. Penampilannya terlihat acak-acakan.b) Orangtua SusanKlinisi juga mengamati orangtua dari Susan, selaku significant others yang berada di sekitar individu penyandang gangguan. Ayah Susan adalah seorang yang pendiam, sedangkan Ibu susan adalah orang yang ramah dan banyak bicara.3. Tesa) Tes IQSebagai bahan evaluasi untuk gangguan Susan, dilakukan tes IQ yang menunjukkan bahwa IQ Susan lebih dari 70. Hal ini melebihi ekspektasi yang diharapkan dari Susan. Tes ini dilakukan berulang, dan hasil tes yang sebelum-sebelumnya tidak ditemukan.b) Tes PrestasiPrestasi Susan didapatkan dari hasil belajar Susan di sekolah. Susan memiliki kesulitan dalam hal pemahaman bagi seorang anak di tingkat kelas lima, meskipun kosakatanya tampak baik.4. Life Recorda) Latar Belakang Orangtua i. AyahAyah Susan berada pada umur awal 40-an. Telah pensiun dari pekerjaannya di dinas militer dan sekarang bekerja sebagai insinyur. Ayah Susan adalah seorang figur yang mendominasi keluarga, namun cenderung diam dan tidak banyak berkomentar tentang kondisi keluarga khususnya kondisi Susan.ii. IbuIbu Susan memiliki banyak keyakinan yang tidak biasa tentang dirinya sendiri. Dia mengklaim telah tumbuh di India dan telah memiliki masa kecil yang sangat aneh, penuh episode dramatis dan kekerasan. Banyak dari episode ini terdengar sangat mustahil. Ibu Susan merupakan figur kebalikan dari suaminya, ia jauh lebih banyak bicara dibanding suaminya.b) Kehidupan Dalam KeluargaSusan adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya adalah seorang laki-laki yang umurnya berjarak 3 tahun dari Susan. Adik Susan adalah anak laki-laki pada umumnya. Namun, ia jarang berada di rumah dan berinteraksi dengan keluarga. Hal ini dikarenakan ia merasa malu dengan sikap Susan yang aneh. Dengan kurangnya dukungan dari orang terdekatnya, Susan sering merasa bosan dan frustrasi. Jika sudah mencapai puncaknya, ia bisa saja menggigit atau memukul orang tua dan saudaranya.c) Perpindahan Tempat TinggalSusan mendapatkan rekomendasi untuk pindah sekolah dari daerah asalnya. Perpindahan Susan ke daerah yang berbeda sedikit banyak mempengaruhi pola hidup dan lingkungannya. Terlebih lagi, Susan harus pinda ke kelas khusus anak-anak yang emosionalnya terganggu. d) PendidikanPada awalnya Susan menmepuh pendidikan di kelas reguler. Namun, karena perilaku anehnya yang juga mengganggu teman-teman sekelasnya, Susan dipindahkan ke Kelas Khusus Anak-Anak yang Terganggu Secara Emosional. Setelah diadakan beberapa asesmen terkait kemmpuan intelektualnya, kemampuan membaca Susan berada pada tingkat kelas 5, sedangkan kemampuan memahami bacaan berada di level yang lebih rendah. Kemampuan mengejanya ada di tingkat kelas tiga, dan kemampuan matematikanya, sedikit di bawah itu. e) Perkembangani. Perkembangan prenatal dan perinatal Susan bisa dibilang normal. Namun, Susan mengalami kesulitan berbicara, yaitu hingga berumur 4 sampai 5 tahun ia masih belum mampu menggunakan kata-kata tunggal. ii. Pada awalnya, guru dan orang tua nya mengira bahwa Susan memiliki retardasi mental dan Iqnya pasti dibawah 70. Namun, setelah melalui serangkaian tes, ternyata IQ Susan berada pada batas normal, diatas 70. Susan tidak memiliki gangguan dalam hal inteligensinya. Namun, Susan tertangkap sering membaca sesuatu yang tidak terdapat pada bacannya. Ia terlihat sedang mengarang-ngarang kalimat dalam sebuah paragraf. iii. Ketika Susan berumur 12 tahun, ia tidak memiliki gangguan tidur, tidak pernah tiba-tiba terbangun di malam hari atau mimpi buruk. Berbeda dengan kondisniya sekarang (usia 15 tahun), Susan sangat sering bangun di tengah malam dan mengganggu orang lain dnegan kebiasaasannya yang berjalan-jalan di malam hari.f) KebiasaanSejak kepndahannya ke tempat tinggal baru, Susan memiliki kebiasaan menggambar benda-benda luar angkasa, robot-robot, ataupun berbagai hal yang terlihat sangat fantastis dan futuristik. Ibu Susan mengatakan kebiasaan ini mulau muncul ketika selesai menonton film Star Wars.

Berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan, klinisi dapat melakukan analisa dan membuat suatu prediksi atau diagnosis gangguan yang dialami oleh Alan. Hasil asesmen yang didapat sudah cukup untuk membuat diagnosis, namun akan lebih tepat bila dilakukan asesmen tambahan.Sebaiknya dilakukan wawancara yang lebih mendalam pada orangtua Susan, baik ayah atau ibunya, mengenai pola asuh yang diberikan kepada anaknya, hal ini akan lebih jauh melihat penyebab sentral yang memicu berkembangnya gangguan Susan. Pencarian data mengenai pola asuh sebaiknya juga didukung dengan studi life record mengenai silsilah keluarga Susan. Individu mana dari keluarga yang menurunkan genetik Skizofren pada Susan. Sehingga ketika genetik itu ditemukan, maka penyebab pemicunya bisa terlihat apa gangguan tersebut berasal dari ibunya dengan perlakuannya terhadap Susan atau yang lain. Penelusuran ini bisa juga disertai dengan pendalaman latar belakang yang lebih mendalam mengenai orangtua Susan, seperti cerita ibunya yang tidak masuk akal tentang masa kecilnya di India. Pendalaman bisa dilakukan lewat wawancara atau life record. Ketidakmasukakalan ini bisa jadi bahwa itu memang benar adanya dan ibunya mengalami semacam traumatis dari hal itu, atau malah sebenarnya cerita itu tidak ada dan ibunya memiliki gangguan lain yang selanjutnya seperti menular terhadap Susan, melalui pengasuhannya.

B. Diagnosis MultiaxialDiagnosa adalah dasar ilmiah dan formal dalam melakukan klasifikasi atau penggolongan perilaku abnormal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pengelompokkan gejala klinik yang teramati. Diagnosis multiaksial adalah simpulan faktor-faktor biologis, psikologis dan sosial yang mempengaruhi diagnosa klien dilihat dari precipitating factor & etiologi gangguan. Operasional diagnosis multiaksial telah ditentukan dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder), PPDGJ, dan ICD. Menurut PPDGJ III, diagnosis multiaksial terdiri dari lima aksis. Aksis pertama berisi gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi gangguan klinis, aksis kedua berisi gangguan kepribadian dan retardasi mental, aksis ketiga berisi kondisi medik umum, aksis keempat berisi masalah psikososial dan lingkungan, dan aksis kelima berisi penilaian fungsi secara global.Menurut PPDGJ III diagnosis multiaksial yang dapat ditegakkan dari kasus Alan antara lain adalah: Aksis I: F20.3 Skizofrenia tak terinci (undifferentiated) Aksis II: F60.3 gangguan emosi tak stabil Aksis III: - Aksis IV: Primary support group, masalah berkaitan lingkungan sosial Aksis V: GAF Sebelum: 55 GAF Sesudah : 75

C. Terapi yang CocokTreatmen yang dapat diberikan kepada penderita skizofrenia terdiri dari treatmen biologis berupa farmakoterapi dan treatmen psikologis berupa intervensi psikososial yang berfokus pada simtom-simtom negatif untuk mengembalikan respon fungsional dari penderita (Schooler et al, 2015).1. Treatmen BiologisTreatmen biologi yang efektif digunakan menurut hasil eksperimen para ahli klinis adalah penggunaan obat-obatan psikotik (farmakoterapi): olanzapine antipsychotic treatment/OLA treatment.Olanzapine merupakan jenis obat antipsikotik atipikal (Atypical Antipsychotic Drugs/AAPDs) yang banyak digunakan pada anak-anak dan remaja untuk mengobati berbagai gangguan kejiwaan. Cara kerja dari olanzapine adalah dengan mengatur pelepasan neurotransimitter (hormon yang digunakan untuk komunikasi antar sel saraf/neuron) seperti dopamine (DA), serotonin (5HT), GABA, dan norefineprin sehingga akan memperlambat proses transmisi antar neuron pada saraf. Penghambatan transmisi dari DA, 5HT, GABA, dan norefinefrin pada neuron saraf dapat menurunkan jumlah transmisi berlebihan dari impuls-impuls neuron sehingga menghabat munculnya delusi dan halusinasi yang terjadi pada penderita skizofrenia. Sebuah temuan terbaru dari S. Xu dan koleganya (2015) menunjukkan bahwa penelitian efek obat-obatan AAPDs, termasuk olanzapine dengan menggunakan subjek binatang laboratorium yang termasuk dalam siklus hidup usia remaja menyebabkan penurunan DA dan GABA terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Hasil ini menurut S. Xu dan koleganya mengindikasikan bahwa OLA treatment pada manusia, khususnya usia remaja menyebabkan perubahan jangka panjang dalam tingkat neurotransmitter dan OLA efektif bagi remaja dengan skizofrenia. Namun diluar efektivitasnya tersebut, seperti halnya pengunaan obat-obatan psikotik lain, efek samping dari OLA juga harus diperhatikan dengan menakar penggunaan dalam dosis yang wajar.2. Treatmen PsikologisTreatmen psikologis yang efektif digunakan menurut hasil eksperimen para ahli klinis adalah social skill training and cognitive remediation.Beberapa penelitian mutakhir belakangan ini menunjukkan bahwa perbaikan kogntif (Cognitive Remediation/COG REM) yaitu pelatihan strategi dalam fungsi neurokognitif menghasilkan perbaikan moderat dalam neurokognisi. COG REM meningkatkan perbaikan fungsi kognitif ketika dikombinasikan dengan intervensi rehabilitasi lainnya dalam (Wykes et al., 2011). Pada beberapa studi, COG REM dikombinasikan dengan intervensi rehabilitasi berbasis perilaku (behavioral-based rehabilitation intervention). Misalnya pada studi dari Kurtz et al. (2015) yang memadukan efek COG REM dengan program pelatihan keterampilan sosial (Social Skill Training/SST) yang melibatkan enam puluh empat orang dengan skizofrenia selama jangka waktu enam bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok partisipan yang mengikuti COG REM memiliki peningkatan signifikan dalam fungsi-fungsi kognitifnya seperti lebih perhatian (fokus), kinerja memori yang membaik, serta memperbaiki fungsi emosi/afeksi seperti meningkatkan empati. Hasil penelitian ini sekaligus mendukung hasil dari penelitian sebelumnya (Kurtz et al., 2008). Berdasarkan hasil yang ada, Kurtz dan koleganya menyebutkan bahwa perbaikan dalam kinerja memori menunjukkan bahwa pelatihan neurokognitif keterampilan yang berkaitan dengan menyimpan informasi dalam pikiran dan memanipulasi informasi, dapat ditingkatkan bagi pasien skizofrenia (Kurtz et al., 2015). Temuan ini menunjukkan bahwa intervensi COG REM yang dipadukan dengan SST telah berkonstribusi terhadap perbaikan dalam fungsi kognitf dan afektif dari pasien skizofrenia.

18

BAB IVPENUTUP

A. KesimpulanJadi, berdasarkan hasil analisis kasus yang kami lakukan, Susan didiagnosis menderita gangguan skizofrenia tak terinci (undifferentiated). Skizofrenia adalah ganguan dengan serangkaian simtom yang meliputi gangguan konteks berpikir, bentuk pemikiran, persepsi, afeksi, rasa terhadap diri (sense of self), motivasi, perilaku, dan fungsi interpersonal. Skizofrenia tak terinci (undifferentiated) merupakan jenis gangguan skizofrenia yang memenuhi kriteria diagnosis umum gangguan skizofrenia dalam PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa-III), namun tidak memenuhi kriteria manapun dalam diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, serta tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-skizofrenia.Penyebab dari skizofrenia sampai saat ini belum terdefinisikan dengan jelas. Namun, faktor-faktor yang mungkin jadi penyebab skizofrenia antara lain adalah faktor teori somatogenik berupa faktor genetis, faktor biokimia, infeksi virus dan ketidaknormalan otak, dan teori psikogenik yang berupa faktor psikoanalisis dan dinamika keluarga.Penanganan skizofrenia dapat dilakukan dengan farmakoterapi seperti penggunaan OLA treatment bagi skizofrenia pada remaja dalam kaitannya dengan kasus Susan (15 tahun) maupun nonfarmakologi. Penanganan nonfarmakologi yang diketahui efektif untuk skizofrenia adalah kombinasi antara intervensi social skill training (SST) dan cognitif remediation (COG REM).

B. Saran1. Berdasarkan kasus yang ada dapat diketahui bahwa Susan berada pada usia remaja pertengahan yaitu 15 tahun. Kami rasa perlu untuk mempertimbangkan fase ini dalam melakukan diagnosis. Fase remaja adalah fase labil, dimana individu yang berada pada masa ini cenderung melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan.2. Penggalian terhadap kasus kurang mendalam khusunya yang berkaitan dengan silsilah dari keluarga pasien, karena wawancara ke keluarga kurang mendalam dan latar belakang dari orangtua juga lebih digali lebih lanjut.3. Keluarga secara aktif memberikan dukungan emosional dan juga sosial agar mengurangi kekambuhan dari gejala-gelaja skizofrenia.4.

DAFTAR PUSTAKA

Halgin, Richard P. & Whitbourne, Susan Krauss. 2010. Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologis jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika.Harold I Kaplan; Benjamin J Sadock; Jack A Grebb. 2010. Sinopsis Psikiatri Jilid Dua. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.Nugraeni, Tyaseta Rabita. 2011. Penyebab Schizophrenia Pada Anak Dilihat Dari Pola Asuh Dalam Keluarga (Skripsi tidak dipublikasikan). Universitas Gunadarma.Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J. 2007. Sinopsis Psikiatri ed.10. Jakarta: Binarupa Aksara.Kurtz, Matthew M., Mueser, Kim T., (2008). Social skills training for schizophrenia: a meta-analysis of controlled research. J. Consul. Clin. Psychol., 76, 491504.Kurtz, Matthew M., Mueser, Kim T., Thime, Warren R., Corbera, Silvia., Wexler, Bruce E. (2015). Social skills training and computer-assisted cognitive remediation in schizophrenia. Schizophrenia Research, 162, 35-41.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Cetak Pertama, 1993. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.Schooler, Nina R., Buchanan, Robert W., Laughren, Thomas, Leucht, Stefan, Nasrallah, Henry A., Potkin, Steven G., et al. (2015). Defining therapeutic benefit for people with schizophrenia: Focus on negative symptoms. Schizophrenia Research, 162, 169-174.Robert L. Spitzer; Miriam Gibbon; Andrew E. Skodol; Janet B. W. Williams; Michael B. First. 2002. DSM-IV-TR Casebook A Learning Companion to the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision. Washington DC: American Psychiatric Publishing, Inc.Xu, S., Gullapalli, Rao P., Frost, Douglas O. (2015). Olanzapine antipsycotic treatment of adolescent rats cause long term changes in glutamate and GABA levels in the nucleus accumbens. Schizophrenia Research, 161, 452-457.

25