karya ilmiah - library.usu.ac.idlibrary.usu.ac.id/download/fs/07003490.pdfkarya ilmiah ini berjudul...
TRANSCRIPT
ANALISA STRUKTURAL CERITA NA MORA PANDE BOSI LUBIS
KARYA ILMIAH
Dikerjakan
O l e h
Drs. IRWAN NIP. 131925646
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA DAERAH MEDAN
2006
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan berkatNya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Karya Ilmiah ini berjudul “Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi
Lubis”, sebuah certia rakyat Angkota / Mandailing yang berisi pendidikan, nasehat,
hiburan dan percintaan. Walaupun Karya Ilmiah ini masih sederhana tetapi banyak
bantuan dan jerih payah yang penulis peroleh dari beberapa pihak. Oleh karena itu
penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas
Sastra dan semua pihak yang telah membantu pembuatan Karya Ilmiah ini.
Akhirnya penulis mengharapkan agar Karya Ilmiah dapat bermanfaat bagi
pembaca dan pengembangan sastra daerah.
Medan, Desember
2006
Penulis,
Drs. I R W A N
NIP. 131925646
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Batasan Masalah .................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
1.4. Landasan Teori..................................................................................... 2
BAB II UNSUR – UNSUR INTRINSIK......................................................... 4
2.1. Tema..................................................................................................... 4
2.2. Alur ...................................................................................................... 5
2.3. Latar atau setting.................................................................................. 6
2.4. Perwatakan ........................................................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN................................................................................ 9
3.1. Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis ....................................................... 9
3.1.1 Sinopsis ................................................................................................... 9
3.2. Tema..................................................................................................... 11
3.3. Latar atau setting.................................................................................. 13
3.4. Perwatakan ........................................................................................... 16
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................. 24
4.1. Kesimpulan .......................................................................................... 24
4.2. Saran..................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
BAB II
UNSUR – UNSUR INTRINSIK
2.1. Tema
Setiap karya sastra harus mempunyai dasar cerita atau tema yang
merupakan persoalan utama dari sejumlah permasalahan yang ada. Tema dapat
menjalin rangkaian cerita keseluruhan. Penggambaran tokoh, latar maupun alur
semuanya mengacu pada pokok pikiran yang sama. Penggambaran tokoh, latar
maupun alur semuanya mengacu pada pokok pikiran yang sama. Hartoko dan
Rahmanto (1986 : 142) menyatakan,
Tema adalah gagasan dasar umum yang terdapat dalam sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan dan perbedan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif konkrit yang menuturkan urutan peristiwa atau situasi tertentu. Bila dalam sebuah cerita tampil motif mengenai suka duka pernikahan, perceraian dan pernikahan kembali maka kita dapat menyaring tema mengenai tak lestarinya pernikahan. Purwadarminta, (1984 : 104) mengatakan, “…. Tema adalah pokok
pikiran, dasar cerita atau sesuatu yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar
untuk mengarang”.
Tema pada suatu karya sastra dapat ditentukan dengan beberapa langkah.
Esten, (1984:88) menyatakan,
Untuk menentukan tema dalam sebuah karya sastra ada tiga cara yang bisa ditempuh, yakni : 1. Melihat persoalan yang paling menonjol 2. Secara kualitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan
konflik-konfilk yang melajirkan peristiwa-peristiwa. 3. Menghitung waktu perceritaan Cara yang paling umum dan sering digunakan adalah cara kedua yaitu melihat persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik-konflik dengan melihat peristiwa-peristiwa. Selalu berulang-ulang dalam keseluruhan cerita sehingga tema akan selalau terkait pada tokoh, alur dan latar.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Uraian-uraian di atas telah banyak menerangkan pengertian tema
sehingga dapat disimpulkan bahwa tema merupakan salah satu unsur penting
dalam suatu karya sastra. Menetukan tema suatu cerita hanya dapat dilakukan
bila telah memahami karya sastra tersebut secara keseluruhan.
2.2. Alur
Alur merupakan unsur yang sangat penting dalam cerita. Alur berperan
mengatur hubungan peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita. Karena peristiwa-
peristiwa dalam suatu cerita mempunyai hubungan yang erat satu sama lain.
Suatu peristiwa atau kejadian dalam cerita dapat terjadi justru disebabkan oleh
adanya peristiwa sebelumnya. Rangkaian peristiwa yang terdapat dalam suatu
cerita inilah yang disebut alur. Seperti apa yang diungkapkan oleh Semi
(1984:35).
“Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah inter-relasi fungsional yang sekaligus fiksi. Dengan demikian, alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita. Dalam pengertian ini alur merupakan rangkaian suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya”. Alur suatu certia sangat erat hubungannya dengan unsur-unsur yang lain
seperti perwatakan, setting, suasana lingkungan begitu juga dengan waktu.
Berdasarkan hubungan antara tokoh-tokoh dalam cerita, yang biasanya
ditentukan oleh jumlah waktu. Berdasarkan maka alur terbagi atas dua bagian
seperti yng dikemukakan oleh Semi (1984:36).
“Alur yang bagian-bagiannya diikat dengan erat disebut alur erat, sedangkan yang diikat dengan longgar disebut alur longgar. Biasanya alur erat ditemui pada cerita yang memiliki jumlah pelaku menjadi lebih sering dan membentuk jaringan yang lebih rapat”.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Bila dilihat menurut urutan peristiwa, alur dapat dibagi atas dua bagian,
yaitu alur maju dan alur sorot balik. Alur maju ialah rangkaian peristiwa dijalin
secara kronologis.s edangkan alur sorot balik (flash bach) ialah rangkaian
peristiwa dijalin tidak berurutan, tidak kronologis.
Lebih lanjut S. Tafsrif dalam Tarigan (1984:128) menyatakan,
1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan) 2. Generating circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai
bergerak) 3. Rising action (keadaan mulai memuncak) 4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks) 5. Dedoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua
peristiwa)
Pendapat Tafsrif di atas, mengungkapkan beberapa tahap dalam alur maju.
2.3. Latar atau Setting
Suatu cerita dapat terjadi pada suatu tempat atau lingkungan tertentu.
Tempat dalam hal ini mempunyai ruang lingkup yang sangat luas termasuk
nama kota, desa, sungai, gunung, lembah, sekolah, rumah, toko, dan lain-lain.
Seseorang yang hidup di lingkungan sekolah tentu secara umum akan
mempunyai watak yang berbeda dengan orang yang tinggal di lingkungan
kebun. Atau seseorang yang dibesarkan di desa tentu akan memiliki watak
yang berbeda dengan orang yang lahir dan dibesarkan di kota (secara umum).
Unsur waktu juga bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu cerita. Suatu
cerita dapat terjadi pada suatu saat tertentu misalnya pada abad XX, pada masa
penjajahan Jepang di Indonesia, ketika musim hujan, ketika musim semi,
tahun, bulan, hari dan sebagainya. Lingkungan terjadinya peristiwa-persitiwa
atau suasana cerita seperti orang di sekitar tokoh atau juga benda-enda di
sekitar tokoh termasuk ke dalam latar atau setting.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Dalam hal ini Atar Semi (1984:38) mengatakan :
“Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di kampus, di sebuah puskesmas, di dalam penjara, di Paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau kurmunan orang yang berada di sekitar tokoh, juga dapat dimasukkan ke dalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tentu tidak termasuk”. Latar atau setting bukanlah hanya sebagai pelengkap dalam suatu cerita.
Unsur ini sangat mendukung terhadap unsur yang lain seperti tema,
perwatakan. Tempat terjadinya peristiwa, waktu terjadinya peristiwa dalam
suatu cerita tentu tidak dipilih begitu saja oleh pengarang tetapi juga
disesuaikan dengan tindakan tokoh cerita, pesan yang hendak disampaikan
pengaran, atau hal lain. Keberhasilan suatu certia tentu sangat tergantung
kepada keharmonisan (keterpaduan) unsur-unsur tadi.
2.4. Perwatakan
Biasanya di dalam suatu cerita fiksi terdapat tokoh cerita atau pelaku
cerita. Tokoh cerita bisa satu atau lebih. Tokoh yang paling banyak peranannya
di dalam suatu cerita di sebut tokoh utama. Antara yang satu dengan yang lain
ada keterkaitan. Tindakan tokoh cerita ini merupakan rangkaian peristiwa
antara satu kesatuan waktu dengan waktu yang lain. Setiap perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang tokoh tentu ada penyebabnya, dalam hal ini adalah
tindakan-tindakan atau peristiwa sebelumnya. Jadi mengikuti atau menelusuri
jalannya cerita, sama halnya dengan mengikuti perkembangan tokoh melalui
tindakan-tindakan.Robert Stanton dalam Semi (1984:31) menyatakan :
“Yang dimaksud dengan perwatakan dalam suatu fiksi biasanya di pandang dari dua segi. Pertama : mengacu kepada orang atau tokoh yang bermain dalam cerita, yang kedua adlah mengacu kepada perbauran dari minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita”.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Jadi perwatakan mengacu kepada dua hal yaitu tokoh itu sendiri dan
bagaimana watak atau kepribadian yang dimiliki oleh tokoh tersebut.
Dalam suatu cerita fiksi, pengarang menggambarkan atau
memperkenalkan bagaimana watak sang tokoh melalui dua cara yaitu dengan
terus terang pengarang menyebutkan bagaimana sifat tokoh dalam cerita
misalnya keras kepala, tekun, sabar, tinggi hati atau yang lain, dan yang kedua
yaitu pengarang menggambarkan watak tokoh melalui beberapa hal seperti
pemilikan nama, penggambaran melalui dialog antara tokoh dalam cerita.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis
3.1.1. Sinopsis
Daeng Mela yang kemudian digelari Na Mora Pande Bosi Lubis adalah
seorang pahlawan. Pada waktu Malaka jatuh ke tangan Portugis, Daeng Mela
mundur, dan ingin kembali ke negrinya Bugis. Namun dia harus menempuh
jalan darat demi keselamatan dirinya sendiri. Dia memulai perjalanan dari
Labuhan Ruku, dan sampai di Negeri Barus, yang saat ini terkenal sebagai
pelabuhan besar.
Di sana Daeng Mela melapor kepada Raja Hatongga, dan menceritakan
kepandaiannya sebagai pandai besi, sekaligus mendemonstrasikan bagaimana
cara membuat cangkul, kampak, bajak, parang, tombak dan macam-macam
lagi. Caranya bekerja bukanlah seperti orang biasa, besi yang sudah dibakar
bisa dibengkokkan, dan ditipiskan tanpa alat, cukup dengan menggunakan
tangannya.
Raja Hatongga sangat heran, dan takjub. Akhirnya Daeng Mela sangat
disegani di kampung itu, sampai raja merestui perkawinannya dengan adik
perempuan Raja, yang bernama Lenggana. Sesuai dengan adat Tapanuli
Selatan, maka Daeng Mela diberi marga yaitu Lubis. Daeng Mela kini berganti
nama menjadi Na Mora Pande Bosi. Sebagai maharnya, Na Mora Pande Bosi
Lubis hanya memberi tiga helai kain tenun petani.
Demikianlah kedua insan ini membentuk keluarga di Lobu Hatongga
dengan sebidang tanah, dan perumahan yang diberikan raja. Mereka cukup
berbahagia setelah lahir putra kembar, yaitu Sultan Bugis, dan Sulatan
Berayun.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Suatu ketika Na Mora Pande Bosi Lubis pergi berburu ke tempat yang
lebih jauh dari sebelumnya, di Hamaya Jonggi yang terkenal angker. Sampai
enam kali dia menyumpit burung, kena dan jatuh ke tanah, namun tak pernah
jumpa. Begitu pula pada penyumpitan yang ke tujuh kali membuat dia kesal
dan marah. Tiba-tiba muncullah seorang gadis cantik terjadilah dialog. Na
Mora Pande Bosi Lubis begitu terpesona melihat gadis itu, akhirnya dia
mengikuti gadis tadi sampai ke tempat tinggalnya, dan keduanya menjadi
suami istri.
Kerajaan Hatongga menjadi heboh, raja memerintahkan semua orang
untuk mencari Na Mora Pande Bosi Lubis. Terakhir gong sakti dipukul
(dibunyikan). Na Mora Pande Bosi Lubis sadar, dan dia kembali pulang
menemui istrinya dengan membawa keris tidak bersarung lagi.
Di negeri bunian istri kedua Na Mora Pande Bosi Lubis melahirkan
anak kembar dan diberi nama Si Langkitang dan Si Baetang. Setelah besar,
kedua anak ini pergi mencari ayahnya sesuai dengan petunjuk ibunya, dan
ternyata impian mereka terkabul. Keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis
menerima kedua anak itu sebagai anggota keluarga, sama seperti anaknya
kandung.
Suatu ketika terjadi perkelahian antara Sultan Bugis dengan Si
Langkitang, gara-gara berebut putri paman, yang akhirnya dimenangkan oleh
Si Langkitang. Karena mereka saling berkelahi, maka sang ibu membela anak
kandungnya, serta menyuruh kedua anak itu pergi. Kedua anak itu pergi, dan
mereka sampai di Singengu. Singengu adalah daerah pegunungan yang tinggi
dan apabila menatap dari puncaknya, masih tampak Lobu Hatongga. Di sana
dengan suara yang keras si Langkitang bersumpah agar keluarga Na Mora
Pande Bosi Lubis di Lobu Hatongga akan punah.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Demikianlah sumpah Si Langkitang di dengan Ompu Mula Jadi
Nabolon sehingga keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis tidak berkembang
menurunkan marga Lubis di daerah itu.
3.2. Tema
Tema pada cerita Na Mora Pande Bosi Lubis dapat ditentukan dengan
mengamati alurnya yang mengungkapkan persoalan-persoalan yang paling
klimaks dari keseluruhan cerita tersebut.
Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mempunyai alur konflik mulai
memuncak dan klimaks ketika Na Mora Pande Bosi Lubis diperdaya putri
bunian yang sedang berburu, dimana semua hasil buruannya hilang tidak
kelihatan. Akhirnya putri bunian menampakkan diri dan mengakui bahwa
semua hasil buruannya diambilnya. Melihat kecantikan putri bunian itu, Na
Mora Pande Bosi Lubis terpesona dan memperistrikannya di negeri bunian.
Ketika putri bunian lagi hamil, Na Mora Pande Bosi Lubis tersadar setelah
mendengar suara gong yang memanggilnya bahwa dia berada di negeri bunian.
Na Mora Pande Bosi Lubis akhirnya kembali pulang ke Lobu Hatongga
menemui istrinya setelah menitip sarung kerisnya kepada putri bunian.
Putri bunian pun melahirkan anak kembar, kedua anak itu diberi nama Si
Langkitang dan Baetang. Setelah mereka besar, kedua anak itu pergi
mengembara, mencari ayah mereka. Pada suatu tempat mereka menemukan
pekerjaan membuat peralatan dari bahan besi yang kebetulan milik Na Mora
Pande Bosi Lubis. Kedua anak kembar itu mempunyai ketrampilan yang
diwarisi dari ayah mereka. Melihat itu Na Mora Pande Bosi Lubis sangat
simpati lalu menawarkan agar mereka tinggal bersama keluarganya.
“Panggil mereka masuk dan beri makan! “Kata Na Mora Pande Bosi Lubis. Kedua anak itu sangat menarik perhatian Na Mora Pande Bosi Lubis. Timbullah rasa kasihan pada kedua anak itu, dan Na Mora Pande Bosi Lubis menawarkan supaya tak usah meneruskan perjalanan tetapi
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
tetap tinggal bersama keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis” (Sukapiring dan Jhonson Pardosi, 1990:127). Si Langkitang dan Baetang kini sudah dianggap menjadi anggota keluarga
Na Mora Pande Bosi Lubis. Pada mulanya hubungan mereka sangat harmonis
tetapi keharmonisan itu lama kelamaan berubah menjadi pertengkaran antara
Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Pasalnya karena perebutan cinta dari
pariban Sutan Bugis. Perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada suatu hari
Lenggana ibu mereka memanggil Si Baetang karena tidak tahan lagi melihat
perkelahian. Lenggana menanyakan maksud dan tujuan mereka berkelana. Si
Baetang menjawab, bahwa tujuan mereka untuk berkelana untuk mencari ayah
mereka dan sebagai tanda identitasnya, dia menunjukkan sarung keris milik
ayah mereka. Lenggana lalu memberitahukannya kepada suaminya, Na Mora
Pande Bosi Lubis terkejut melihat sarung keris itu karena sarung keris itu
tertinggal ketika bersama putri bunian. Na Mora Pande Bosi Lubis sangat
senang dan haru bahwa dia telah berjumpa dengan anaknya.
“Dengan parau ia pun berkata kepada Si Baetang: “Sarung keris ini adalah milik saya dan kamu berdua adalah anak kandungku!!. Kedua makhluk Tuhan itu pun berpelukan sambil mencucurkan air mata tanda gembira” (Sukapiring dan Jhonson Pardosi, 1990 : 128). Pada suatu hari, terjadi lagi perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si
Langkitang. Perkelahian itu sangat seru yang menyebabkan Sutan Bugis luka-
luka yang mengena keris Si Langkitang. Lenggana ibu Sutan Bugis merasa
tidak senang melihat kejadian itu. Lenggana menyuruh Si Langkitang dan Si
Baetang meninggalkan Lobu Hatongga. Mendengar perkataan itu Na Mora
Pande Bosi Lubis tidak dapat memberi komentar dan menyetujuinya. Si
Langkitang dan Si Baetang berakngkat dengan dendam membara di hati
mereka, hingga tiba pada suatu tempat mengutuk agar keturunan Na Mora
Pande Bosi Lubis punah!!… Dengan suara yang keras dan lantang berserulah
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Si Langkitang : “Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di
Lobu Hatongga….. Punahlah….kamu sekalian….. (sukapiring dan Jhonson
Pardosi, 1990:129).
Melihat dari uturan dari konflik sampai klimaks dapatlah diambil
kesimpulan bahwa tema dari cerita Na Mora Pande Bosi Lubis ini adalah
“Kasih Sayang Orang Tua yang berpihak akan merusak hubungan anak”.
3.3. Alur/Plot
Alur merupakan rangkaian kejadian atau peristiwa dalam suatu cerita.
Sebelum menentukan bagaimana alur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis,
terlebih dahulu digambarkan bagaimana cerita ini berjalan, sesuai dengan
pembagian cerita oleh S. Tasrif. Pembagian itu meliputi lukisan keadaan,
peristiwa mulai bergerak, keadaan mulai memuncak, peristiwa memuncak dan
penyelesaiannya.
Mula-mula pengarang melukiskan suatu keadaan, disebut situation.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka daeng Mela sebagai seorang
pejuang yang kalah dalam perang terpaksa mundur dan berencana pulang ke
kampungnya di Bugis. Di tengah perjalanan, setelah meninggalkan negeri
Barus yang pada saat itu terkenal sebagai pelabuhan besar, dia melapor kepada
raja setempat yaitu kerajaan Hatongga. Dia menceritakan keahliannya dan
sekaligus mendemonstrasikan caranya menempa alat-alat pertanian dan alat
perang secara menakjubkan. Raja heran dan takjub, senang terhadap Daeng
Mela, karena senangnya raja merestui perkawinan Daeng Mela dengan adik
perempuannya, Lenggana. Mereka hidup bahagia apalagi setelah dikaruniai
dua orang anak (kembar) Sutan Bugis dan Sutan Berayun.
“Portugis pada masa itu mempunyai alat perang yang sempurna sehingga Daeng Mela dan pahlawan-pahwalan lainnya terpaksa menyerah…. Dan bermaksud pulang kembali ke negerinya Bugis” (Peraturen dan Jhonson, 1990:121).
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
“Na Mora Pande Bosi Lubis sangat banyak jasanya sehingga akhirnya raja pun mengizinkan dan merestui perkawinannya dengan adiknya perempuan” (Peraturen dan Jhoson, 1990:122). “Setelah setahun berlalu, perkawinan mereka dikaruniai oleh tuhan dua orang putra kembar. Dua orang putra kembar itu dinamai Sutan Bugis dan Sutan Berayun” (Peraturen dan Jhonson, 1990 : 123).
Keadaan mulai bergerak atau disebut Generating Circumastance, yaitu
setelah daeng Mela (Na Mora Pande Bosi Lubis) pergi berburu dan berjumpa
dengan seorang putri bunian yang cantik dan mempesona yang akhirnya
dikawininya. Kerajaan Hatongga heboh, istrinya cemas. Setelah gong sakti
dipukul akhirnya Na Mora Pande Bosi Lubis dapat kembali ke rumah,
berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Di negeri bunian, tempat istrinya
putri bunian, telah melahirkan dua orang anak kembar Si Langkitang dan Si
Baentang. Setelah besar, Si Langkitang dan Baetang pergi mencari ayahnya ke
arah matahari terbenam, kemudian mereka berjumpa dengan ayahnya. Mereka
ini diterima dengan baik oleh keluarga Na Mora Pande Bosi Lubis Pada
mulanya mereka cukup bahagia atas kedatangan kedua anak ini, namun
kemudian mulailah terjadi perselisihan antara Si Langkitang (anak putri
bunian) dengan Sutan Bugis karena saling merebut putri pamannya yang
cantik. Selama ini Sutan Bugis telah berpacaran dengan putri pamannya, tetapi
dengan kedatangan Si Langkitang, membuat Sutan Bugis membenci Si
Langkitang.
“Si Langkitang lebih menarik perhatian putri raja yang mengakibatkan pindah cintanya pada anak dari istri bunian itu. Hal ini diketahui oleh Sutan Bugis. Hal ini menimbulkan benci dan marah Sutan Bugis pada Si Langkitang”. (Peraturen dan Jhonson, 1990:127).
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Kebencian dan perasaan dendam memang tidak selamanya dapat
dipendam. Demikianlah Sutan Bugis semakin hari semakin berang dan
membenci Langkitang, dia tidak ingin kalau putri pamannya jatuh dalam
pelukan Si Langkitang. Akhirnya terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis
dengan Si Langkitang. Sutan Bugis kalah, hal ini membuat dia semakin ganas.
Peristiwa ini dapat digolongkan ke dalam rising action. (keadaan mulai
memuncak).
“Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Tetapi perkelahian ini Sutan Bugis kalah, ia menderita luka-luka”. (Peraturen dan Johonson, 1990:127). Kebencian semakin membara, perselisihan semakin memanas apalagi
setelah Sutan Bugis kalah dalam perkelahian. Dia semakin berang dan ganas.
Terjadilah perkelahian sengit. Sutan Bugis kalah dan menderita luka-luka
akibat tusukan keris. Peristiwa ini merupakan klimaks (puncak) dalam cerita
ini.
“Tak lama setelah itu, terjadi lagi perkelahian yang lebih mengkhawatirkan. Mengakibatkan Sutan bugis menderita luka-luka yang mengena keris yang di tangannya sendiri”. (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). Kejadian tadi membuat istri Na Mora Pande Bosi Lubis tidak senang dan
untuk menjaga suasana damai dalam rumahnya sendiri, dia menyuruh kedua
anak dari putri bunian itu (Si Langkitang dan Baetang) untuk pergi. Kedua
anak itu diberi perbekalan tombak untuk menjaga diri, tanduk untuk serunai,
dan sumpit untuk menangkap burung. Sebelumnya, istri Na Mora Pande Bosi
Lubis telah bersabar dan menasehati supaya mereka jangan berkelahi, mereka
adalah satu ayah. Nasehat itu tidak mereka indahkan, akhirnya anak-anak itu
harus pergi dari rumah itu. Menurut Na Mora Pande Bosi Lubis dan istrinya,
keputusan ini merupakan suatu penyelesaian yang tepat. Namun bagi Si
Langkitang, keputusan ini sangat menyakitkan. Dia berusaha agar keturunan
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Na Mora Pande Bosi Lubis punah. Peristiwa ini merupakan akhir dari cerita ini
yang disebut Donoument.
“Untuk menjaga suasana damai berkatalah istri Na Mora Pande Bosi Lubis supaya kedua anak yang datang itu meninggalkan Lobu Hatongga. Hal ini disetujui oleh Na Mora Pande Bosi Lubis….” (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). Si Langkitang dan Si Baetang kini telah berada di Singengu yaitu nama
tempat yang sangat tinggi. Dari tempat ini Lobu Hatongga kelihatan sangat
indah. Dendam sangat membara di hati Si Langkitang, maka dengan lancang
dia berkata : “Hai … keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis, yang berada di
Lobu Hatongga… Punahlah sekalian…!. Perkataan Si Langkitang di dengar
Tuhan Yang Maha Esa maka semua perkataan dan kutukan Si Langkitang
dikabulkan.
“Dengan suatu yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah : “Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga… punahlah …. Kamu sekalian….! Kalimat ini diucapkan tiga kali. Rupanya sumpah di terima oleh Tuhan. Hingga sampai sekarang keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis, Sutan Bugi yang kawin dengan boru tulangnya itu tinggal seorang lagi, itu pun anak perempuan yang tinggal di Sagalangan sekarang”. Dari urutan peristiwa dalam cerita ini, dapat dilihat bahwa peristiwa
berjalan terus dari awal sampai akhir. Tidak ada peristiwa yang kembali ke
belakang, hal ini seperti ini dapat digolongkan ke dalam alur lurus.
Begitu juga hubungan peristiwa yang satu dengan yang lainnya sangat
erat, semua peristiwa dalam cerita mendukung terhadap jalannya cerita dan
juga tema cerita. Dalam hal ini tegolong kepada alur erat.
3.4. Latar atau Setting
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa latar atau setting
meliputi tempat, ruang, waktu, termasuk juga lingkungan dan suasana
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
terjadinya peristiwa. Termasuk benda-benda yang ada dalam peristiwa
tersebut.
Dalam cerita Na Mora Pande Bosi Lubis juga dijumpai beberapa latar
seperti tempat, waktu, suasana, ruang juga benda-benda (alat-alat) yang
berhubungan dengan cerita saatu sama lain mempunyai hubungan atau
keterkaitan. Satu persatu latar tersebut akan diuraikan dibawah ini.
Mula-mula dilukiskan bagaimana Daeng Mela seorang Bugis terdampar di
suatu tempat setelah mengalami kekalahan perang, dan juga kapan peristiwa
itu terjadi.
“Kata yang empunya cerita tersebutlah seorang pahlawan yang bernama Daeng Mela. Ia terdampar di tepi pantai kualuh dalam perjalanannya pulang ke negeri Bugis. Pada masa itu terjadi peperangan Malaka melawan Portugis, pada tahun 1511” (Peraturen dan Jhonson, 1990:121). Apa yang melatarbelakangi kekalahan Daeng Mela dan kawan-kawannya
dalam menghadapi Portugis, adalah peralatan perang yang tidak seimbang.
“Portugis pada masa itu mempunyai alat perang yang sempurna sehingga Daeng Mela dan pahlawan-pahlawan lainnya terpaksa menyerah….” (Peraturen dan Jhonson, 1991:121). Dapat dimengerti bagaimana seorang pahlawan yang kalah dalam perang
masih dapat menyelamatkan diri dengan cara sembunyi-sembunyi supaya
terhindar dari pandangan musuh.
“Kata yang empunya cerita tersebutlah seorang pahlawan yang bernama Daeng Mela. Ia terdampar di tepi sungai kualuh dalam perjalanannya pulang ke negeri Bugis. Pada masa itu terjadi peperangan Malaka melawan Portugis pada tahun 1951” (Peraturen dan Jhonson, 1991:121). Di kerajaan hatongga Daeng Mela harus melaporkan diri, karen adia
seorang pendatang ke kampung teresbut,
“Daeng Mela pun sampai ke tempat itu, orang harus melaporkan diri pada raja Hatongga yang pada waktu itu bertempat tinggal di Parniakan” (Peraturen dan Jhonson, 1991:122).
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Daeng Mela adalah seorang pandai besi yang dapat menempa alat-alat
pertanian seperti tertera pada kutipan di bawah lain :
“Ia membuat cangkul, kampak, bajak, parang, tombak, pedang dan alat-alat pertanian serta alat-alat perang dalam sekejap saja. Caranya setelah besi dibakarnya dengan api ia lalu membentuknya dengan tangannya” (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). Dapat dipahami betapa pentingnya alat-alat pertanian untuk bertani pada
waktu itu. Apalagi pada masa itu merupakan masa-masa yang sulit untuk
mendapatkan peralatan tersebut mengingat belum begitu majunya teknologi.
Justru itu raja sangat sayang pada Daeng Mela.
“Raja sangat sayang pada Daeng alias Na Mora Pande Bosi Lubis hingga pada masa kekuasaannya ia sangat disegani oleh raja yang ada disekitarnya” (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). Dengan kepandaiannya menempa alat-alat pertanian raja sangat kepada
Daeng Mela. Tidak hanya sampai di situ saja, raja pun merestui perkawinan
Daeng Mela dengan adik perempuannya yang bernama Lenggana. Kemudian
Daeng Mela diberi marga Lubis sesuai dengan adat yang berlaku di Tapanuli
Selatan, namanya menjadi Na Mora Pande Bosi Lubis.
Pesta perkawinan mereka berlangsung cukup lama dan waktu itu Na Mora
Pande Bosi Lubis hanya memberi tiga helai kain tenunan petani sebagai
maharnya (ganti emas).
“Pada perkawinan itu Pande Bosi tidak mempunyai emas sebagai maharnya, dan sebagai gantinya diserahkanlah tiga helai tenunan petani… pada perkawinan itu dilaksanakan di rumah raja di Parmiakan dan berlangsung selama satu bulan lamanya” (Peraturen dan Jhonson, 1990:123). Padang si Genduk, tor Sumulak-mulak anjing, dan hanya Jonggi adalah
tempat perburuan bagi Na Mora Pande Bosi Lubis. Suatu saat dimana dia
dipermainkan oleh seorang putri bunian.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
“Demikianlah hari itu setiap burung yang disumpitnya kena dan jatuh ke tanah. Tetapi setelah dicarinya burung itu tidak pernah berjumpa, sampai burung ke enam” (Peraturen dan Jhonson, 1990:124). Kemudian dalam cerita ini suatu latar tempat seorang putri bunian tinggal,
dimana Na Mora Pande Bosi Lubis terperdaya untuk tinggal di tempat itu
dalam waktu yang agak lama.
“Tiga bulan sudah berlalu Na Mora Pande Bosi Lubis itu tidak pulang ke rumahnya, dan dia pun telah memperistri putri bunian yang cantik itu” (Peraturen dan Jhonson, 1990:125). Dari peristiwa tersebut di kerajaan Hatogga, istri Na Mora Pande Bosi
Lubis itu menjadi sangat cemas, kemudian raja memerintahkan untuk gong
sakti agar Na Mora Pande Bosi Lubis segera pulang ke rumahnya. Akhirnya
setelah lelah mencari tidak juga bersua, raja memerintahkan untuk memalu
gong sakti untuk memanggilnya” (Peraturen dan Jhonson, 1990:125). Istri Na
Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di negeri bunian melahirkan anak
kembar. Setelah besar kedua anak kembar itu pergi mencari ayahnya. Suasana
dalam rumah tangga Na Mora Pande Bosi Lubis atas kedatangan anak tadi,
pada mulanya berjalan dengan tenang.
“Kedua anak itu pun tinggallah bersamanya dan kalau dulunya hanya dua orang anaknya sekarang sudah bertambah dua orang lagi, setiap harinya mereka membantu di ladang dan mereka hidup bahagia” (Peraturen dan Jhonson, 1990:127). Kebahagiaan itu tidak bertahan lama, situasi kacau balau dalam
keluarganya.
“Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dengan Si Langkitang. Tetapi dalam perkelahian itu Sutan Bugis kalah, ia menderita luka-luka. Ibunya sangat sedih …” (Peraturen dan Jhonson, 1990:127).
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Satu lagi latar belakang tempat, kedua anak putri bunian mengucapkan
sumpah kebenciannya kepada Sutan Bugis, setelah mereka berdua diusir dari
rumahnya oleh Ibu Sutan Bugis.
“Demikianlah mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu tebing ke tebing lain, dari tebing yang sangat tinggi mereka melihat ke bawah, tebing yang bernama Singengu lebih ataslah Hatongga….Dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah : Hai keturunan ….” (Peraturen dan Jhonson, 1990:129).
3.5. Perwatakan
Berbicara tentang perwatakan berarti harus berbicara dengan tokoh dan
tingkah lakunya dan sifat-sifatnya dalam suatu cerita.
Di dalam cerita Na Mora Pande Bosi Lubis terdapat beberapa orang tokoh
yang akan diuraikan satu persatu. Mereka itu adalah Daeng Mela yang
kemudian diberi nama Na Mora Pande Bosi Lubis, Lenggana, Sutan Bugis, Si
Langkitang, Putri paman, Sutan Berayun dan raja Hatongga.
Na Mora Pande Bosi Lubis dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau
sebagai tokoh utama dalam cerita ini, dari awal cerita sampai akhir, namanya
paling sering disebut, bahkan untuk mengetahui jalan cerita ini sama halnya
dengan mengikuti atau menelusuri perkembangan tokoh ini. Hanya saja pada
akhir cerita kedudukan tokoh ini digantikan oleh anaknya Sutan Bugis.
Na Mora Pande Bosi Lubis adalah seorang pejuang (pahlawan) pada masa
kedatangan dan kedudukan Portugis di Malaka. Sebagai seorang bekas pejuan
dia memiliki keberanian seperti berburu ke hutan ke suatu tempat yang jauh
dari Labuhan Ruku, bahkan sampai ke negeri Barus. Dia tidak gentar
menghadapi apa yang terjadi ketika sedang berburu.
“Jarak yang begitu jauh, lautan yang hendak dilalui begitu luas dan sudah dikuasai pula oleh Portugis hingga Daeng Mela terpaksa memutuskan memilih jalan darat. Dia memulai perjalanannya dari Labuhan Ruku ke negeri Barus” (Peraturen dan Jhonson, 1990:12).
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
“Daerah pemburuannya ialah ke padang Sigenduk, tor Simulak-mulak anjing dan Hananya Jonggi” (Peraturen dan Jhonson, 1990:124). “Setiap burung yang disumpitnya kena dan jatuh ke tanah….namun burung itu tidak dijumpainya di tanah… lalu dia pun berkata “Siapa yang berani mengambil undanku, berani mengambil sumpitanku keluarlah!!!(Peraturen dan Jhonson, 1990:124). Daeng Mela adalah seorang yang mempunyai kelebihan dari yang lain,
terbukti dia dapat menempa alat-alat pertanian secara praktis dan ajaib.
“Ia membuat cangkul, kampak, bajak, tombak, pedang dan alat-alat pertanian serta alat – alat perang dalam sekejab sja. Caranya setelah besi dibakarnya dengan api dia lalu membentuknya dengan tangannya. Ia tidak mempergunakan alat” (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). Sebagai seorang pendatang baru di kerajaan Hatongga dan ia berasal dari
daerah yang berbeda, Na Mora Pande Bosi Lubis termasuk orang yang pandai
beradaptasi.
Ia sangat disenangi oleh raja Hatongga dan seluruh masyarakatannya.
“Raja sangat sayang pada Daeng Mela alias Na Mora Pande Bosi Lubis hingga pada amsa kekuasaannya ia sangat disegani oleh raja yang ada di sekitarnya… Na Mora Pande Bosi Lubis sangat banyak jasanya sehingga akhirnya dia dinikahkan dengan adik perempuan raja atau iboto raja” (Peraturen dan Jhonson, 1990 : 123). Tak ada gading yagn tak retak, begitu juga dengan Na Mora Pande Bosi
Lubis, di samping mempunyai kelebihan juga memiliki kelemahan-kelemahan.
Ia dapat diperdaya putri bunian, begitu juga ketika anak-anaknya berkelahi dia
tidak dapat mengatasinya, akhirnya kedua anaknya harus pergi.
“Karena terpesona akan kecantikan paras putri bunian itu dengan tiada disadarinya diikutkannyalah putri bunian itu sampai ke tempat tinggalnya” (Peraturen dan Jhonson, 1990:125). “Untuk menjaga suasana damai, berkatalah istri Na Mora Pande Bosi Lubis supaya kedua anak yang datang itu meninggalkan Lobu Hatongga.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
Hal ini disetujui oleh Na Mora Pande Bosi Lubis …” (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). Lenggana adalah tokoh yang bertindak sebagai istri Na Mora Pande Bosi
Lubis. Dia adalah seorang istri yang mencintai suaminya. Ketika suaminya
tidak pulang rumah, akibat godaan putri bunian, dia merasa cemas dan segera
melapor kepada raja supaya cepat dicari. Begitu juga terhadap anak dia penuh
dengan kasih sayang, dan selalu memberi nasehat. Bahkan kedua anak dari
putri bunian juga diterima dan diperlakukan sebagai anak sendiri. Akhirnya
memang kedua anak itu disuruh pergi, tetapi sebagai tanda kasih sayang
terhadap anak, mereka memberi peralatan untuk menjaga diri dan mencari
makan.
“Hal ini sangat mengkhawatirkan istri Na Mora Pande Bosi Lubis. Ia melapor pada raja. Raja pun memerintahkan semua orang mencari Na Mora Pande Bosi Lubis”. (Peraturen dan Jhonson, 1990:129). “…Berangkatlah kedua anak itu dengan dibekali tombak yang gunanya untuk menjaga diri, tanduk serunai bila mereka berpisah di dalam hutan, sumpit untuk menyumpitkan makanan mereka”. (Peraturen dan Jhonson, 1990: 129). Raja Hatoggan seorang raja yang berkuasa pada saat itu di kerajaan
Hatongga. Dia termasuk orang yang terbuka sifatnya dan sangat mengagumi
seseorang yang ahli seperti Na Mora Pande Bosi Lubis seorang pandai besi
yagn dapat menempa berbagai macam alat pertanian dan alat perang.
“Raja pun takjub serta heran melihat Daeng Mela. Setelah hal tersebut Daeng Mela dinamai orang kampung Hatongga Na Pande Bosi” (Peraturen dan Jhonson, 1990:122). Tokoh lain yaitu Sutan Bugis (Anak dari Na Mora Pande Bosi Lubis),
adalah seorang anak yang sangat mencintai putri pamannya, sehingga di rela
meneteskan darah karena sering berkelahi dengan Si Langkitang agar putri
pamannya tidak lepas dari genggamannya.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
“….. Sampai pada suatu ketika terjadilah hal yang tidak disangka-sangka karena perebutan putri hatongga mempunyai seorang gadis yang sangat cantik”. “…. Terjadilah perkelahian antara Sutan Bugis dan Si Langkitang. Tapi dalam perkelahian ini Sutan Bugis kalah, dia menderita luka-luka” (Peraturen dan Jhonson, 1990:127). Si Langkitang adalah seorang tokoh yang berani dan kuat. Bersama
saudaranya dia mencari ayahnya tanpa memperdulikan bahaya dan resiko di
tengah perjalanan yang begitu jauh, begitu juga dengan perkelahiannya dengan
Sutan Bugis, dia selalu menang. Di samping itu dia memiliki sifat dendam
yang begitu dalam dengan menyumpah keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis
agar punah,
“….. Dengan suara yang keras dan lantang berserulah Si Langkitang ke bawah, “Hai keturunan Na Mora Pande Bosi Lubis yang tinggal di Lobu Hatongga…. Punahlah….” (Peraturen dan Jhonson, 1990 : 129). Putri Paman adalah seorang gadis yang cantik yang tidak memiliki
pendirian yagn menetap, terbukti dia mengalihkan cintanya kepada Si
Langkitang yang kebetulan lebih ganteng dari Sutan Bugis.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis adalah Cerita rakyat berasal dari
Tapanuli Selatan, mengisahkan perjalanan hidup seorang bugis yang diangkat
menjadi bagian dari masyarakat setempat karena telah menikah dengan saudara
kandung raja. Cerita ini mempunyai struktur konvensional sebagai ciri-ciri dari
cerita rakyat. Hal ini dapat dilihat dari Tema, alur, latar dan karakter saling
mendukung dan mengikat satu dengan yang lainnya. Keterpaduan unsur-unsur
pembentuk tersebut menjadikan cerita tersebut mudah dimengerti oleh
masyarakat luas.
Tema cerita Na Mora Pande Bosi Lubis adalah Kasih sayang orang tua
yang berpihak akan merusak hubungan anak. Tema ini dapat disimpulkan
dengan cara menganalisa alur cerita tersebut dimana klimaknya berada pada
keperpihakan kasih sayang orang tua.
Alur cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mengikuti pola alur maju dimana
perkenalan, konlfik mulai memuncak, klimaks dan penyelesaian uraiakan
secara bertahap sampai akhir cerita.
Latar atau setting cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mengungkapkan suatu
tempat dan waktu yang ada di Tapanuli Selatan seperti Pardomuan, Lobu
Hatongga dan Padang Sidempuan serta waktu kejadian-kejadian yang berlaku
pada masyarakat setempat.
Perwatakan cerita Na Mora Pande Bosi Lubis mengungkapkan tokoh
protagonis dan antagonis serta mengungkapkan sifat-sifat dari semua tokoh
yang terdapat pada cerita tersebut.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
4.2. Saran
Diharapkan kepada seluruh masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi
dalam hal penggalian, pembinaan dan pendokumentasian hasil karya sastra
daerah agar keberadaannya dapat diwakilkan kepada generasi yang akan
datang.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007
DAFTAR PUSTAKA
Aruan, Stephanus. 1974. Turi-turian Ni Halak Batak. Sipoholon.
Danandjaya, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta:Grafiti. Pers.
Erlina, Ririen. 1991, Aji Pamasa dan Aji Panurat. Medan : Firma Maju.
Esten, Mursal. Kritik Sastra Indonesia. Padang : Angkasa.
Poerwadaminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Semi, Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
, 1988. Anatomi Sastra. Padang : Angkasa Raya.
Shangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige.
Sidjabat, W.B. 1982. Ahu Sisingamangaraja. Jakarta : Sinar Harapan.
Sihombing, T.M. 1985. Jampar Hala. Jakarta : Tulus Jaya.
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Leksikal Sastra. Jakarta : Gramedia.
Sumardjo, Jakob. 1979. Fiksi Indonesia Dewasa ini. Bandung : Gramedia.
, 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.
Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Batak Toba dan Kebudayaannya.
Bandung : Tarsito.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.
Usman, Zuber. 1963. Kesusastraan Indonesia Lama. Jakarta : Gunung Agung.
, 1973. Ensiklopedia Umum Indonesia. Yogyakarta : Kanisius.
Irwan : Analisa Struktural Cerita Na Mora Pande Bosi Lubis, 2006 USU Repository © 2007